SKRIPSI - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/61827/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf ·...

62
KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN DALAM PERSKPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL SKRIPSI Oleh NADYA FAJRIN SAIMONA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2020

Transcript of SKRIPSI - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/61827/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf ·...

  • KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN

    DALAM PERSKPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL

    SKRIPSI

    Oleh

    NADYA FAJRIN SAIMONA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2020

    http://www.kvisoft.com/pdf-merger/

  • ABSTRAK

    KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN

    DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL

    Oleh

    NADYA FAJRIN SAIMONA

    Hukum positif Indonesia mengatur perzinahan dalam Pasal 284 KUHP, dalam KUHP

    Pasal 284 tindak pidana perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki dan

    perempuan yang telah terikat perkawinan. Pengertian ini tidak sesuai dengan latar

    belakang masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa perzinahan bukan saja

    hanya dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang telah terikat dalam ikatan

    perkawinan melainkan siapa saja baik orang tersebut terikat perkawinan maupun

    tidak, hal ini dikarnakan masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-

    nilai serta norma-norma yang hidup di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini

    adalah bagaimana perluasan tindak pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun2019,

    serta apakah perluasan tindak pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun2019 sudah

    sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,

    Narasumber terdiri dari Anggota Komisi I DPRD Bagian Hukum dan Hak Asasi

    Manusia, Anggota Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, dan Dosen Bagian

    Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dalam penelitian

    ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.

    Hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian ini adalah terdapat perluasan tindak

    pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun 2019 meliputi perluasan subyek tindak

    pidana perzinahan, yang sebelumnya tindak pidana perzinahan hanya dapat

    dikenakan apabila salah satu pihak telah terikat dalam perkawinan, menjadi setiap

    orang melakukan perzinahan dikenakan tindak pidana, sedangkan dalam jenis delik

    aduan dalam RKUHP 2019masih termasuk kedalam delik aduan absolut hanya

    diperluas yang sebelumnya dapat menjadi pengadu hanya suami atau istri sedangkan

    di RKUHP 2019 adalah suami, istri, orangtua dan anak serta perluasan pemidanaan

    sebelumnya hanya dikenakan pidana penjara selama 9 bulan bertambah menjadi 1

    Tahun penjara dan denda kategori II.

  • Nadya Fajrin Saimona Perubahan perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP Tahun2019 telah

    sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana meliputi aspek yuridis

    yaitu KUHP yang berlaku di Indonesia sudah lama sehingga perlu disesuaikan

    dengan perkembangan budaya serta teknologi pada saat ini, aspek sosiologis bahwa

    nilai-nilai yang ada didalam KUHP belum mencerminkan nilai-nilai yang hidup di

    Indonesia dimana perzinahan merupakan perbuatan yang menurut masyarakat

    melanggar nilai agama, norma dan budaya masyarakat Indonesia, aspekfilosofis

    bahwa pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilandaskan pada tujuan nasional

    yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia, aspek politik yaitu Negara Indonesia

    sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. harus memiliki hukum sendiri

    yang selaras dalam UUD NRI 1945, sehingga dapatterwujudnya tujuan diadakanya

    pembaharuan hukum pidana yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan didalam

    masyarakat Indonesia.

    Saran dalam penelitian ini hendaknya tindak pidana perzinahan melalui kebijakan

    formulasi dapat membuat rancangan mengenai delik perzinahan yang sebelumnya

    termasuk kedalam delik aduan absolut menjadi delik aduan relatif dan segera

    diundangkan sehingga masyarakat mendapatkan rasa keadilan dan terwujudnya

    tujuan dari pembaharuan hukum pidana yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

    Kata kunci: Kebijakan Formulasi, Perluasan Perzinahan, Pembaharuan

    RKUHP.

  • KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN

    DALAM PERSKPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL

    Oleh

    NADYA FAJRIN SAIMONA

    Skripsi

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

    Pada

    Bagian Hukum Pidana

    Fakultas Hukum Universitas Lampung

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2020

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis di lahirkan di Pringsewu pada tanggal 08 April 1998 , anak

    pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak A. Fajar

    Kurnianto dan Ibu Noviarita. Penulis memulai jenjang pendidikannya di

    Taman Kanak-kanak (TK) Aisyah Pagelaran, diselesaikan pada Tahun

    2004, selanjutnya penulis melanjutkan SD Negeri 1 Patoman, Pagelaran diselesaikan pada

    Tahun 2010, setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Pringsewu diselesaikan pada Tahun

    2013 dan melanjutkan SMA Negeri 1 Pringsewu selesai pada Tahun 2016.

    Tahun 2016 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Hukum Fakultas Hukum Universitas

    Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada Tahun 2019 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja

    Nyata (KKN) Periode II di Pulau Tabuan, Desa Sawang Balak, Kecamatan Cukuh Balak,

    Kabupaten Tanggamus. Kemudian pada Tahun ini 2020 penulis menyelesaikan skripsi sebagai

    salah satu syarat mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  • MOTO

    Lakukan yang terbaik, sehingga aku tak akan menyalahkan diriku sendiri atas

    segalanya.

    ~Magdalena Neuner~

    Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Tanda manusia

    masih hidup adalah ketika ia mengalami ujian, kegagalan dan penderitaan.

    ~Socrates~

    Rahasia keberhasilan adalah kerja keras dan belajar dari kegagalan.

    ~Nadya Fajrin Saimona~

  • PERSEMBAHAN

    Dengan segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat

    Hidayah-Nya dengan segala kerendahan hati, Kupersembahkan

    Karya Kecilku ini kepada :

    Kedua Orang TuaTercinta,

    A. Fajar Kurnianto dan Noviarita

    Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukung apapun yang aku

    jalani, terimakasih untuk semua kasih saying dan cinta yang luarbiasa

    sehingga aku bisa menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada

    masa depan.

    Adik Irfan Pramudtya dan Bintang Kurnia

    Tersayang yang selalu mendoakan, membantu serta mendampingiku dalam segala hal,

    Terimakasih karna telah menjadi alasanku untuk terus berjuang

    Menata masa depan yang lebih baik.

    Almamater Universitas Lampung

    Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Pidana

  • SAN WACANA

    Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

    Allah SWT, sebab hanya dengan izin dan kehendakNya semata, penulis dapat

    menyelesaikan skripsi berjudul: KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN

    TINDAK PIDANA PERZINAHAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN

    KUHP NASIONAL sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana

    Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak

    terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara

    langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

    menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada.

    1. Prof. Dr Karomani M.Si selaku Rektor Universitas Lampung.

    2. Prof. Dr. Maroni, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

    Lampung

    3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H.,

    M.H. selaku Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

    Universitas Lampung.

    4. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan, motivasi dan

    sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  • 5. Ibu Emilia Susanti, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

    melungkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan

    pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    6. Ibu Firganefi, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembahas I yang telah meluangkan

    waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran,

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    7. Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas II yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan

    pikiran, sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

    8. Bapak Ade Arif, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

    memberikan pengarahannya dan nasihat-nasihatnya selama masa perkuliahan.

    9. Bapak dan Ibu staf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Uniiversitas Lampung

    yang telah dengan iklas memberikan ilmu pengetahuan yang begitu berharga

    dalam proses perkuliahan.

    10. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku

    tercinta ayah dan ibu tersayang yang telah memberikan kasih dan sayang,

    yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil sehingga

    penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas

    segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu

    bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagian.

    11. Adikku tersayang, Irfan Pramuditya dan Bintang Kurnia terima kasih atas doa,

    dukungan, perhatian dan motivasimu selama ini.

  • 12. Untuk sahabatku Nurul, Hesni, Aji, Pia, Shinda yang telah memberikan cerita

    dan kisah, terima kasih atas dukungan dan kebahagiaan yang telah kalian

    berikan semoga kita semua menjadi orang sukses.

    13. Angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas

    kebaikan kalian semua dukungan doa, bantuan serta waktu yang diberikan

    untuk penulis sehingga terselesaikan skripsi ini.

    Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan Barokah, dunia dan

    akhirat khususnya bagi sumber mata air ilmuku, serta dilipat gandakan atas segala

    kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat

    bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan

    mengamalkan ilmu pengetahuan.

    Bandar Lampung, 12 Maret 2020

    NADYA FAJRIN SAIMONA

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

    B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 7

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 7

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..................................................... 8

    E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

    II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana ..................................... 15

    B. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana................................................. 18

    C. Teori Pemidanaan............................................................................. 21

    D. Tinjauan Umum Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ........... 26

    E. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam KUHP…...…. .......... 36

    F. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP 2019 .......... 37

    III METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Masalah ......................................................................... 39

    B. Sumber dan Jenis Data .................................................................... 40

    C. Penentuan Narasumber..................................................................... 41

    D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................. 41

    E. Analisis Data .................................................................................... 42

  • IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)

    Tahun 2019 ...................................................................................... 43

    B. Perluasan Tindak Pidana Perzinahan RKUHP Tahun 2019 dalam perspektif pembaharuan hukum pidana .......................................... 56

    V PENUTUP

    A. Simpulan .......................................................................................... 76

    B. Saran ................................................................................................. 77

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat

    (3) UUD 1945. Hukum hadir dan dibuat sebagai jalan yang diharapkan dapat

    memberi penyelesaian yang tepat dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan

    memberantas segala bentuk tindak pidana. Hadirnya hukum sebagai alat

    mencegah terjadinya kejahatan. Kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang

    bertentangan dengan moral kemanusiaan dan melanggar hukum.1 Salah satu

    bentuk kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

    (KUHP) di Indonesia yaitu mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dalam Tindak

    Pidana Perzinahan.

    Perzinahan dianggap kejahatan terhadap kesusilaan yang melanggar adat-istiadat

    serta hukum yang berlaku di Indonesia. Perzinahan diatur didalam hukum positif

    Indonesia buku II KUHP bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal

    284. Menurut Pasal 284 KUHP yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan

    yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan

    perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pengertian ini dirasa

    tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia yang sangat menjunjung tinggi norma

    dan adat istiadat.

    1Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta. PT Aksara

    Baru. hlm.13.

  • 2

    Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, melalui suatu kebijakan

    hukum pidana atau politik hukum pidana. Pengertian kebijakan atau politik

    hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut

    Prof. Sudarto, „‟Politik Hukum‟‟ adalah:

    a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

    keadaan dan situasi pada suatu saat.

    b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

    menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

    digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

    untuk mencapai apa yang dicita-citakan.2

    Kebijakan hukum pidana dapat diartikan usaha untuk mewujudkan peraturan-

    peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.3 Usaha

    dan kebijakan untuk membuat suatu peraturan hukum pidana pada hakikatnya

    tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Upaya

    penanggulangan kejahatan dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur penal yang

    lebih menitikberatkan pada sifat represif (pemberantasan) sesudah kejahatan

    terjadi, dan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventif

    (pencegahan) sebelum kejahatan terjadi.4

    Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana hakikatnya merupakan

    bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh

    karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana

    merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Usaha penanggulangan

    2 Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung. Sinar baru. hlm 20. 3Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung.Sinar baru. hlm.159. 4Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Sinar baru Alumni, hlm. 118.

  • 3

    kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga

    merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat, oleh karena itu

    kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari

    kebijakan atau politik sosial.5

    Tahap-tahap dalam pelaksanaan politik hukum pidana terdiri dari :

    1) Kebijakan Formulasi 2) Kebijakan Aplikasi 3)Kebijakan Eksekusi

    1) Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh badan pembuat

    undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan

    memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang

    akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan

    untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti

    memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

    2) Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat penegak

    hukum. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan

    perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang.

    3) Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum secara konkret oleh aparat-

    aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana

    bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah

    ditetapkan dalam putusan pengadilan. Aparat pelaksana pidana dalam

    melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-

    undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai

    keadilan suatu daya guna.

    5Barda Nawawi Arief. 2011. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep

    KUHP Baru. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. hjlm. 28.

  • 4

    Pembaharuan hukum pidana dalam aspek kebijakan formulasi yang dilakukan

    pemerintah saat ini adalah revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

    Salah satu tindak pidana yang mengalami perluasan yaitu Tindak Pidana

    Perzinahan. Perzinahaan sebelumnya diatur dalam buku II bab XIV Pasal 284

    KUHP, yaitu kejahatan terhadap kesusilaan. Lengkapnya Pasal 284 KUHP

    berbunyi sebagai berikut :

    (1)a. Laki-laki yang beristeri berbuat zina, sedang diketahuinya bahwa Pasal

    27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku padanya:

    b. Perempuan yang bersuami berbuat zina; c. Laki-laki yang turut melakukannya perbuatan itu, sedang diketahuinya

    bahwa kawannya itu bersuami;

    d. Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya;

    (2)Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang

    tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang

    waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan

    ranjang karena alasan itu juga;

    (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75; (4)Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum

    dimulai;

    (5)Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan

    selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum

    putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap;

    Mengenai penjelasan pada Pasal 284 KUHP tersebut, maka unsur-unsur yang

    harus dipenuhi antara lain:

    1. Merusak kesopanan atau kesusilaan (bersetubuh).

    2. Salah satu/kedua-duanya beristri atau bersuami.

    3. Salah satu berlaku Pasal 27 KUHP Perdata.

    Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar

    belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar

    belakang diadakanya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek

  • 5

    sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan.

    Permbaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan dan

    pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya. Dengan

    demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu

    upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai

    dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural dari masyarakat

    Indonesia.6

    Konsep Pembaharuan Hukum Pidana pada Rancangan Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana Tahun 2019 (RKUHP) mengenai tindak pidana perzinahan

    mengalami beberapa perubahan jika dibandingkan dengan KUHP sebelumnya,

    RKUHP tentang Perzinahan diatur dalam Pasal 417. Adapun bunyi Pasal tersebut

    yaitu:

    1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara

    paling lama 1 (satu) Tahun atau denda kategori II.

    2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.

    3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

    4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

    Ketentuan KUHP di mana zina hanya berlaku bagi pelaku di mana salah seorang

    atau kedua pelaku persetubuhan merupakan orang yang sudah terikat dengan

    ikatan perkawinan. Sedangkan pada ketentuan zina dalam Pasal 417 Ayat (1)

    RKUHP Tahun 2019 perbuatan zina merupakan tindakan persetubuhan yang

    dilakukan oleh kedua orang yang tidak terikat dengan ikatan perkawinan yang

    6 Ibid.,hlm. 29.

  • 6

    sah, baik satu atau kedua belah pihak sudah terikat dengan ikatan perkawinan

    sebelumnya maupun kedua-duanya belum terikat pada ikatan perkawinan.7

    Terhadap pembaharuan hukum pidana dalam hal ini mengalami pro dan kontra.

    Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai tindak pidana perzinahan

    memiliki pengertian yang berbeda dengopan konsepsi yang diberikan masyarakat.

    Masyarakat Indonesia memiliki pandangan dan struktur sosial budaya masyarakat

    yang bersifat kekeluargaan, kolektivistik dan monodualistik.8 Masalah tindak

    pidana perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara

    pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP Pasal 284 dengan

    kepentingan/nilai sosial masyarakat.

    Perbedaan serta kesenjangan pandangan dan pengertian mengenai perbuatan zina

    yang dapat dipidana, menurut KUHP dengan pengertian zina menurut norma-

    norma agama dan adat, yang diyakini sebagian besar bangsa Indonesia.

    Kesenjangan ini, tidak dapat diakomodasi dalam penegakan hukum pidana, karena

    hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas bahwa tidak satu perbuatan pun

    diperlolehkan untuk melanggar hukum oleh hakim bila belum dinyatakan secara

    jelas oleh hukum pidana serta selama perbuatan itu belum dilakukan, sehingga

    pada dasarnya norma-norma di luar undang-undang tidak dapat menjadi hukum

    positif, meskipun diakui keberadaannya oleh masyarakat. Berdasarkan latar

    belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis akan melakukan penelitian yang

    berjudul Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam

    Perspektif Pembaharuan KUHP Nasional.

    7R.Soesilo. 1976. KUHP serta komentarnya lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politea. hlm 209. 8Bahiej. A. 2016. Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan Overspel dalam Hukum Pidana

    Indonesia. Yogyakarta. hlm 53.

  • 7

    B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

    1. Permasalahan

    Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan

    dibahas dalam skripsi ini adalah :

    a. Bagaimakah kebijakan formulasi perluasan tindak pidana perzinahan dalam

    perspektif Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2019?

    b. Apakah kebijakan perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP

    Tahun 2019 sudah sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum

    pidana?

    2. Ruang Lingkup

    Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana materil, dengan mengkaji dan

    meneliti isi suatu peraturan atau kaidah hukum. Adapun ruang lingkup penelitian

    ini merupakan kajian hukum pidana yang mengkaji mengenai kebijakan formulasi

    perluasan tindak pidana perzinahan dalam perspektif RKUHP Nasional.

    Selanjutnya ruang lingkup penelitian dilakukan pada Instansi DPRD Provinsi

    dengan waktu penelitian dilaksanakan 2019-2020.

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

    a. Untuk mengetahui Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana

    Perzinahan dalam Perspektif KUHP Nasional.

    b. Untuk mengetahui Kebijakan perluasaan Tindak Pidana Perzinahan dalam

    KUHP yang sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana

  • 8

    2. Kegunaan Penelitian

    Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini

    adalah:

    a. Secara Teoritis penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu

    pengetahuan hukum pidana khususnya hukum materil terkait Tindak

    Pidana Perzinahan.

    b. Kegunaan Praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan

    bagi kalangan praktisi hukum terkait penerapan tindakan perzinahan baik

    yang dirumuskan KUHP maupun RKUHP 2019.

    D. Kerangka Teoritis dan Koseptual

    1. Kerangka Teoritis

    Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi-

    abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan

    untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

    relevan untuk penelitian. Mengenai permasalahan yang pertama, penulis

    menggunakan teori kebijakan formulasi.

    a. Teori Kebijakan Formulasi

    Kebijakan Formulasi termasuk kedalam politik hukum pidana atau yang

    sering disebut politik kriminal. Menurut Soerjono Soekanto, politik hukum

    pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan

    nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya

    delinkuensi dan kejahatan maka politik hukum pidana merupakan upaya

  • 9

    secara rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi

    dan kejahatan.

    Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang

    terdiri dari tiga tahap kebijakan. Pertama, tahap kebijakan formulatif, yaitu

    tahap perumusan hukum pidana. Kedua, tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap

    penerapan hukum pidana. Ketiga tahap kebijakan eksekutif, yaitu tahap

    pelaksanaan hukum pidana. Kebijakan formulasi dalam aspek hukum pidana

    dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan ketentuan pidana tentang suatu

    obyek yang belum diatur di dalam KUHP dan peraturan lain di luar KUHP.

    Perumusan formulasi dalam ketentuan pidana harus memiliki prinsip

    harmonisasi, baik internal maupun eksternal.

    KUHP mengatur tindak pidana perzinahan dalam Buku II Bab XIV tentang

    kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 284 yang secara jelas mengatur mengenai

    tindak pidana perzinahan. Barangsiapa melakukan persetubuhan oleh orang

    yang sudah terikat dalam suatu perkawinan dan dilakukan dengan orang

    selain dari suami atau isterinya, maka dapat dikenakan sanksi penjara.

    Pandangan RKUHP Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Perzinahan ada di

    dalam Pasal 417, yang secara jelas mengatur laki-laki atau perempuan yang

    tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau

    perempuan yang diketahui bahwa laki-laki atau perempuan tersebut berada

    dalam ikatan perkawinan dapat dikenakan sanksi penjara.

  • 10

    b. Mengenai permasalahan yang kedua, penulis menggunakan teori pembaharuan

    hukum pidana, terdapat pertimbangan-pertimbangan berupa landasan-landasan

    yang harus diperhatikan, diantaranya:9

    1. Landasan Filosofis

    Pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilandaskan pada tujuan nasional

    yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang

    merdeka dan berdaulat. KUHP saat ini merupakan peninggalan pemerintah

    kolonial Hindia Belanda, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup

    di dalam masyarakat Indonesia. Alinea keempat Pembukaan UUD Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 harus dijadikan tolak ukur untuk

    pelaksanaan pembaharuan. Dengan kata lain pembaharuan hukum pidana

    harus menjadi sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan

    seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

    mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

    berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.10

    2. Landasan Sosiologis

    Secara sosiologis, pembaharuan hukum pidana dilakukan karena adanya

    kehendak untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kebutuhan ini

    didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa yang merdeka

    dan berdaulat. Terlebih lagi bagi negara yang pernah mengalami masa

    penjajahan dan saat ini masih mewarisi sistem hukum dari negara yang

    menjajahnya, baik melalui asas konkordansi, yurispundensi dan doktrin

    9 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

    Indonesia. DRAFT NASKAH AKADEMIK RANCANGAN KITAB UNDANG-

    UNDANG HUKUM PIDANA. Jakarta. hlm. 162. 10 Ibid.

  • 11

    yang ditanamkan oleh penjajah yang pada perkembangan selanjutnya tidak

    banyak dipahami oleh generasi baru. Pembaharuan hukum bagi negara

    tersebut mutlak untuk dilakukan sehingga terwujud hukum pidana

    nasional.11

    3. Landasan Yuridis

    KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor

    Nederlandsch-Indie. Setelah Indonesia merdeka keberlakuannya didasarkan

    pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Setelah

    diundangkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan

    berlakunya undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum

    pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, terwujud kesatuan

    hukum pidana materil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang

    bersumber pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang

    selanjutnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.12

    4. Landasan Politis

    Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus

    memiliki hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional,

    selaras dengan tujuan nasional sebagaimana tersurat dalam Undang-undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada bidang politik terdapat

    perkembangan legislasi yaitu adanya tuntutan untuk mengakomodir nilai-

    nilai kearifan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.13

    11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid.

  • 12

    2. Konseptual

    Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-

    konsep khusus yang merupakan kesimpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan

    istilah yang ingin atau akan diteliti agar tidak terjadi kesalahan pemahaman

    terhadap permasalahan, maka penulis akan memberikan beberapa konsep dari

    berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

    a. Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang

    pelaku atau oleh sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan

    dan cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.14

    b. Kebijakan Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh badan

    pembuat Undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang

    melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan

    situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam

    bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil

    perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat

    keadilan dan daya guna.15

    c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), keseluruhan dari

    peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan

    termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang

    dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.16

    14 Hamdan, M. 1997. Poltik Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 48. 15Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

    hlm. 91. 16 Muchsin. 2006. Ihtisar Ilmu Hukum. Jakarta. Iblam.hlm. 84.

  • 13

    d. RKUHP adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang

    akan dirancang untuk mengatur suatu tindak pidana yang sebelumnya

    belum pernah diatur dalam KUHP.17

    e. Pembaharuan Hukum Pidana, yaitu suatu upaya untuk melakukan

    peninjauan dan penilaian kembali agar sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-

    politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi

    kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di

    Indonesia.18

    E. Sistematika Penulisan

    Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,maka

    penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

    I. PENDAHULUAN

    Bab ini berisikan pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar

    Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

    Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbegai konsep atau kajian yang berhubungan

    dengan penyusunan skripsi mengenai Kebijakan Formulasi dalam revisi Tindak

    Pidana Perzinahan secara umum dan konkret.

    17www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_KUHP_dengan_lampiran.pdf

    diakses pada hari Selasa, 24 September 2019 pukul 19.08. 18 Barda Nawawi Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Kencana Prenada.

    hlm 35.

  • 14

    III. METODE PENELITIAN

    Bab ini berisikan metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan

    masalah, sumber data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan

    pengolahan data serta analisis data.

    IV. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

    Bab ini berisi mengenai hal-hal dan cara-cara yang dapat dilakukan dalam

    meneliti sekaligus mencari prosedur dan pendekatan-pendekatan yang

    berhubungan dengan masalah ini sehingga mendapatkan jawaban dari berbagai

    permasalahan.

    V. PENUTUP

    Merupakan bab yang berisikan hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti

    berupa kesimpulan dan saran dari penulis mengenai permasalahan yang diteliti.

  • 15

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana

    1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

    Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau secara umum dapat

    diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan

    pemerintah dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola,

    mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, atau bidang-bidang

    penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian peraturan, dengan

    tujuan yang mengarah pada kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.

    Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.

    Sacipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih

    dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum

    tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada

    hukum yang seharusnya berlaku (Ius constituendum). Dengan demikian,

    kebijakan hukum pidana dapat diartikan kebijakan dari negara (pemerintah) untuk

    menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam

    menanggulangi kejahatan.19

    19 Md, Moh. Mahfud. 2009.Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. hlm

    112.

  • 16

    Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut

    proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses

    pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diantara berbagai alternatif

    yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang.

    Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai

    kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana

    (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban

    pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun

    tindakan). Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja

    sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni

    tahapan kebijakan hukum pidana.

    2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

    Definisi kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas

    tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan perundang-

    undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup

    kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Dalam

    hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi

    perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan

    hukum pidana yang terdiri dari :

    a. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan

    hukum pidana.

    b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana.

    c. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum

    pidana.

  • 17

    Kebijakan hukum pidana terkandung tiga kewenangan, yaitu kekuasaan

    legislatif/formulatif berwenang merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana

    berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana, pertanggungjawaban

    pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap

    aplikasi menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum. Tahapan

    eksekutif/administrative melaksanakan hukum pidana oleh aparat.20

    Kebijakan formulasi dalam perspektif hukum pidana harus memperhatikan

    harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum

    yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi

    apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat

    ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal

    policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan

    atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada

    permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan

    hukum, kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat

    dikenakan.

    Suatu perbuatan dapat menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, harus

    mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

    1. Perbuatan tersebut haruslah benar-benar perbuatan yang jahat atau tidak

    dikehendaki oleh masyarakat atau merugikan masyarakat. Dengan kata lain

    jahat berarti merugikan atau menyerang kepentingan hukum (baik

    kepentingan hukum individu, masyarakat maupun kepentingan hukum

    negara)

    20Shafrudin. 1998. Politik Hukum Pidana. Lampung. Universitas Lampung. hlm. 33.

  • 18

    2. Kesiapan aparatur penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana itu

    nantinya, baik itu kesiapan secara kualitatif yang menyangkut

    profesionalisme aparatur, maupun dari segi kuantitatif, yakni apakah

    seimbang dengan kuantitas aparat sehingga tidak menjadi beban baginya.

    3. Cost and benefit principle, artinya biaya pembuatan suatu peraturan pidana

    harus benar-benar diperhitungkan apakah sudah sesuai dengan tujuan

    dibentuknya peraturan pidana, atau apakah sudah tersedia biaya yang

    memadai dalam penegakan hukum itu nantinya, sebab ketidaksiapan biaya

    penegakan hukum (termasuk pengadaan sarana dan prasarananya) justru

    akan menyakiti masyarakat.

    B. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana

    Secara etimologi kriminalisasi berasal dari kata bahasa inggris kriminalization,

    kriminalisasi merupakan suatu tindakan mengenai perbuatan-perbuatan tertentu

    yang oleh masyarakat atau golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang

    dipidana yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau proses penetapan

    suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi

    yang melanggar larangan. Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses

    penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. 21

    Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materil yang membahas

    penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi

    pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai

    perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan

    21 Sudarto. Op.cit. hlm.31.

  • 19

    sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan

    atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh

    masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang

    dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi

    perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara

    kerja atas namanya.22 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa

    kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai

    sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-

    penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).23

    Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini

    yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang

    menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang

    tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang

    dipandang tercela dan perlu dipidana. Pengertian kriminalisasi tersebut

    menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu

    perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun

    menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu

    perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk

    penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.

    Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan mengenai

    22 Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia. Jakarta.

    1981. hlm. 62 23 Wignjosoebroto, Soetandyo. 1993. “Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan

    Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi Dan

    Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum UII.

    Yogyakarta.. hlm. 1.

  • 20

    beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu

    sebagai berikut :

    a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of kriminal sanction.

    b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual

    maupun potensial.

    d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium

    e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable f. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik. g. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan

    bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali

    h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan

    kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

    Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat meliputi perubahan besar dalam

    susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bersama dan

    perubahan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitas serta

    jiwa. Perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan fungsi

    masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung juga perubahan nilai, sikap dan pola

    tingkah laku masyarakat. Perubahan nilai pada dasarnya adalah perubahan

    pedoman kelakuan dalam kehidupan masyarakat. Asas adalah prinsip-prinsip atau

    dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan

    mengenai aktivitas hidup manusia.24

    Penanggulangan kejahatan diperlukan berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

    diberikan kepada pelaku kejahatan berupa pidana. Karena, pidana masih dianggap

    relevan untuk menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang

    berupa non-pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pidana sebagai sarana

    24 Koentjaraningrat, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi” dalam BPHN,

    Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta. Jakarta. hlm. 25.

  • 21

    pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam hukum pidana

    yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

    yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa

    yang akan datang.

    Konsepsi politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, disamping

    melalui pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang hukum

    pidana tidak lepas juga dengan usaha menuju kesejahteraan masyarakat melalui

    kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti kebijakan untuk menanggulangi

    kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan

    usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Dua masalah sentral dalam kebijakan

    kriminal dengan menggunakan sarana penal atau hukum pidana ialah masalah

    penentuan, perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa

    yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

    C. Teori Pemidanaan

    Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan

    integratif di dalam tujuan pemidanaan. Pemidanaan mempunyai tujuan plural

    dimana kedua teori tersebut menggabungkan pandangan Utilitarian dengan

    pandangan retributivist.

    Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

    menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan

    retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang

  • 22

    Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip

    keadilan.25 Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan:

    a. Teori Absolut/ Retribusi

    Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang

    telah melakukan suatu tindak pidana. Imamanuel Kant memandang pidana

    sebagai „’Kategori Imperatif‟‟yakni seseorang harus dipidana oleh hakim

    karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu

    tuntutan keadilan.26 Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah

    meyatakan pendapat bahwa teori pembalasan meng atakan pidana tidaklah

    bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat, kejahatan itu

    sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara

    mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan tidaklah perlu memikirkan

    manfaat penjatuhan pidana.27

    b. Teori Tujuan/ Relatif

    Penganut teori ini memandang sesuatu yang dapat digunakan untuk

    mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah

    maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi

    dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan

    menjadikan dunia tempat yang lebih baik.

    Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada

    tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena membuat

    25 Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. hlm.33. 26 Muladi dan Barda Nawawi Arief . 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni,

    Bandung.hlm. 45. 27 Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta.

    Bandung. hlm.55.

  • 23

    kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan

    kejahatan) maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan

    ketertiban dalam masyarakat.

    Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan

    menjadi dua istilah, yaitu:

    1. Prevensi special (speciale preventive) atau Pencegahan Khusus

    Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi

    khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi

    perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki

    terpidana untuk menjadi masyarakat yang baik dan berguna, sesuai

    dengan harkat dan martabatnya.

    2. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum

    Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk

    mempertahanakan ketertiban masyrakat dari gangguan penjahat.

    Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya

    dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan

    yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah

    laku anggota masyarakat pada umunya untuk tidak melakukan tindak

    pidana.

    c. Teori Gabungan

    Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori

    gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga

    dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan

  • 24

    ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui balas

    pembalasan yang adil.28

    Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruh, yaitu:

    1. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi

    sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam

    bukunya “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah

    suatu sanksi yang memiliki ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan

    terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan

    diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah yang

    berguna bagi kepentingan umum.

    2. Teori gabungan yang menitikberatkan tata tertib masyarakat.

    Pembalasan adalah sifat pidana tetapi tujuannya adalah melindungi

    kesejahteraan masyarakat.

    3. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan

    tata tertib masyarakat.29

    Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya

    terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu:

    a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu

    upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hodup Bersama

    dengan melakukan pencegahan kejahatan.

    28 Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina

    Cipta. Bandung 29 Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi.

    Pradya Paramita. Jakarta.

  • 25

    b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan

    pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang

    bersifat tidak hukum.30

    Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas

    perbuatan tidak hukum. Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa

    pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu

    yang akan membawa kerukunan serta sebagai suatu proses Pendidikan untuk

    menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Jadi memang sudah

    seharusnya tujuan pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat

    yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikemanusiaan sesuai

    dengan Pancasila.

    d. Teori Integratif

    Teori Integratif ini diperkenalkan oleh Muladi, guru besar dari Fakultas

    Hukum Universitas Diponegoro. Pendekatan semacam ini

    mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang

    tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka

    mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

    Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atas

    alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis ideologis, maupun yuridis.

    Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud adalah:

    1. Pencegahan (umum dan khusus); 2. Perlindungan Masyarakat; 3. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan 4. Pengimbalan/Pengimbangan.

    30 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

  • 26

    D. Tinjauan Umum Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

    1. Makna Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

    Hukum pidana sebagai hukum yang bersifat publik, menemukan arti pentingnya

    dalam wacana hukum di Indonesia. Sifat publik yang dimiliki hukum pidana

    menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan

    demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara

    Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang erat dengan

    nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan

    sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan

    nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru

    memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya.

    Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum

    pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya

    hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan

    berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum

    pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam

    masyarakat. Hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika

    Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia, maka selayaknya hukum pidana

    Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri.31

    Idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia

    sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara

    31Prima Angkupi, Pembaharuan Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-

    politics/criminallaw/2077234-pembaharuan-hukum-pidana-dalam

    perspektif/#ixzz1sXHWBKsL, di akses pada tanggal 27 april 2012 pukul 15.09

  • 27

    politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas

    menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Pembaharuan hukum

    pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan

    peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,

    sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan

    sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.32

    Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu

    menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan

    kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van

    Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek

    van Strafrecht Negeri Belanda Tahun 1886.33 Dari hal tersebut, terkandung tekat

    dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang

    dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi

    hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi

    dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan

    substansi hukum pidana yang dicita-citakan.

    Makna dari pembaharuan hukum pidana bagi kepentingan masyarakat Indonesia

    mengacu pada dua fungsi dalam hukum pidana, yang pertama fungsi primer atau

    utama dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan

    fungsi skunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi

    kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah

    digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk menanggulangi

    32 Barda Nawawi Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT.

    Kencana Prenada Media Group, Jakarta. hlm. 30 33 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni. Bandung, hlm. 4.

  • 28

    kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, disamping

    usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut,

    pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas

    penegakan hukum. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana terkait pula pada

    masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. KUHP warisan kolonial ini

    dilatarbelakangi pada pemikiran/paham individualisme-liberalisme dan sangat

    dipengaruhi oleh aliran klasik dan neoklasik Terhadap teori hukum pidana dan

    pemidanaan dari kepentingan kolonial Belanda di Negeri-negeri jajahannya. 34

    Upaya pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu KUHP nasional

    merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat guna tercipta penegakan hukum

    yang adil. Hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan melalui

    undang-undang hukum pidana, sehingga ketakutan akan kejahatan dapat dihindari

    melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidananya. Hukum pidana

    dengan ancaman sanksi pidana tidak bisa menjadi jaminan hukum atau ancaman

    utama terhadap kebebasan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan

    bernegara. Sanksi pidana yang dimaksud disini untuk memulihkan situasi semula

    akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang ataupun oleh

    sekelompok orang memerlukan adanya kepastian dan penegakan hukum. Sanksi

    pidana yang semacam itu akan didapatkan dengan terbentuknya KUHP Nasional

    yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia, bukan lagi KUHP yang

    diberlakukan oleh bangsa penjajah untuk bangsa yang dijajah hanya untuk

    kepentingan penjajah bukan untuk kepentingan nasional penegakan hukum

    Indonesia.

    34 Teguh dan Aria. 2011. Hukum Pidana Horizon baru Pasca Reformasi. Jakarta Raja Grafindo

    Persada. hlm. 8.

  • 29

    2. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana

    Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar

    belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar

    belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari

    aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek

    kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan

    penegakan hukum). Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus

    merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek

    dan kebijakan yg melatarbelakanginya. Dengan demikian, pembaharuan hukum

    pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya melakukan reorientasi

    dan reformasi hukum pidana yg sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-

    filosofi, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

    kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

    Makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh dengan dua

    cara sebagai berikut :35

    1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :

    a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

    hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah

    sosial dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

    masyarakat)

    b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

    hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

    (khususnya upaya penanggulangan kejahatan)

    35 Barda Nawawi Arief, 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Madia Group.

    Jakarta. hlm. 29- 30.

  • 30

    c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

    pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

    substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

    2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada

    hakikatnya merupakan bagian dari upaya melakukan peninjauan dan penilaian

    kembali nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang

    melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum

    pidana yang dicita-citakan. Pembaharuan hukum pidana sudah menjadi

    kebutuhan yang mendesak untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka

    mencapai tujuan dari pidana yang lebih baik dan manusiawi. Kebutuhan

    tersebut sejalan dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu

    penegakan hukum yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum

    pidana di era reformasi ini.

    Pada era reformasi ini, ada 3 faktor tatanan hukum pidana yang sangat

    mendesak dan harus segera diperbarui. Pertama, hukum pidana positif untuk

    mengatur aspek kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan

    perkembangan zaman. Sebagian tatanan hukum pidana positif merupakan

    produk hukum peninggalan kolonial seperti KUHP. Kedua, sebagian

    ketentuan hukum pidana positif tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi

    yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kemandirian, HAM,

    dan demokrasi. Ketiga, penerapan ketentuan hukum pidana positif

    menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat, khususnya para aktivis politik,

    HAM, dan kehidupan demokrasi di negeri ini.36 Menurut Sudarto, sedikitnya

    36 Ibid,.hlm. 9.

  • 31

    ada tiga alasan mengapa perlu segera dilakukan suatu pembaharuan hukum

    pidana Indonesia, yaitu :37

    1. Alasan politis, Indonesia yang memperoleh kemerdekaan sejak Tahun

    1945 sudah wajar mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. KUHP dapat

    dipandang juga sebagai lambang dan kebanggaan suatu negara yang telah

    merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan politik bangsa asing. Apabila

    KUHP suatu negara yang dipaksakan untuk diberlakukan di negara lain,

    maka dapat dipandang dengan jelas sebagai lambang atau simbol dari

    penjajahan oleh negara yang membuat KUHP itu.

    2. Alasan sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan

    pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang.

    Ini berarti nilai sosial dan budaya bangsa itu dapat tempat dalam

    pengaturan hukum pidana. Ukuran mengkriminalisasikan suatu perbuatan,

    tergantung dari nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di dalam

    masyarakat tentang norma kesusilaan dan agama sangat berpengaruh di

    dalam kerangka pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.

    3. Alasan praktik, sehari-hari untuk pembaharuan hukum pidana adalah

    karena teks resmi KUHP adalah teks yang ditulis dalam bahasa Belanda.

    Teks yang tercantum selama ini dalam KUHP disusun oleh Moeljatno, R.

    Soesilo, R. Trisna, dan lain-lain merupakan terjemahan belaka.

    Terjemahan “partikelir” dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan

    oleh suatu undang-undang.

    37 Ibid. hlm. 7-8.

  • 32

    Apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat rakyat Indonesia

    harus mengerti bahasa belanda. Kiranya hal ini tidak mungkin untuk

    diharapkan lagi dari bangsa yang sudah merdeka dan mempunyai bahasa

    nasionalnya sendiri. Dari sudut ini, KUHP yang ada sekarang, jelas harus

    diganti dengan KUHP nasional. Dalam pembaharuan hukum pidana di

    Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam

    hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana yang

    berlaku secara nasional sebagaimana pendapat Sudarto diatas selain itu juga

    merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang

    menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum

    pidana juga haruslah berubah. Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan

    hakikat dari pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:

    a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

    hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

    masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai

    atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat).

    b. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada

    hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

    (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

    c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

    pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui

    substansi hukum (legal subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan

    penegakan hukum.38

    38 Barda Nawawi Arief. Log.cit. hlm. 29.

  • 33

    Pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa

    ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP

    secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah

    kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari

    masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi

    hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran

    bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RKUHP yang sudah kesekian kalinya

    direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan.

    3. Aspek Pembaharuan Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP

    Upaya pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu KUHP Nasional

    Merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dihindari lagi, sebagaimana telah

    diuraikan di atas guna terciptanya penegakan hukum yang adil. Keamanan dalam

    naungan hukum didambakan oleh warga masyarakat yang mengalami ketakukan

    terhadap kejahatan (fear of crime) sehingga perlu upaya penanggulangan

    kejahatan melalui perundang-undangan pidana, dalam rangka menanggulangi

    kejahatan melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidanya. Artinya,

    adanya usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang

    pidana dengan sanksi pidananya merupakan bagian yang integral dari usaha

    perlindungan terhadap masyarakat. Menelaah rancangan KUHP setidaknya

    bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu

    masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta

    pidana dan pemidanaan yang akan diuraikan sebagai berikut :

    a. Tindak Pidana

    Menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan, pada

    pokoknya konsep bertolak dari dasar bahwa sumber hukum yang utama adalah

  • 34

    undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian

    yang formal. Konsep memperluas perumusan asas legalitas secara materil, yaitu

    ketentuan Pasal 1 Ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang

    hidup dalam masyarakat. Namun yang perlu di ingat bahwa berlakunya hukum

    yang hidup hanya untuk tindak pidana yang tidak ada bandingannya atau tidak

    diatur dalam undang-undang.

    Perluasan asas legalitas juga dilakukan konsep terhadap rumusan asas legalitas,

    yaitu bahwa ketentuan dalam Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang

    hidup yang menentukan bahwa hukum adat setempat patut dipidana bilamana

    perbuatan itu tidak ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan.

    Selanjutnya juga konsep tidak membedakan lagi kualifikasi tindak pidana berupa

    kejahatan dan pelanggaran, namun menyatukannya dengan istilah tindak pidana.

    Kebijakan untuk menghilangkan pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini

    didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : (1) pembedaan tindak pidana

    secara kualitatif berupa kejahatan dan pelanggaran tidak dapat dipertahankan lagi

    (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia Belanda

    yang relevan dengan pengadilan pada waktu itu.

    b. Pertanggungjawaban Pidana

    Bertolak dari pemikiran keseimbanga monodualistik, konsep memandang bahwa

    asas kesalaha (asas kulpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang

    harus dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Oleh karena itu

    ditegaskan dalam konsep Pasal 35 bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan

    merupakan asas yang sangat fundamental dalam memepertanggungjawabkan

    pembuat yang telah melakukan tindak pidana. Walaupun prinsipnya bertolak dari

  • 35

    pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu

    konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat

    dalam Pasal 37 dan pertanggungjawaban pengganti dalam Pasal 36. Masalah

    kesalahan baik kesesatan mengenai keadaannya maupun kesesatan mengenai

    hukumnya, menurut konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku

    tindak pidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Ini berbeda

    29 dengan doktrin kuno dalam hukum pidana, bahwa kesesatan mengenai

    keadaanya tidak di pidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap

    dipidana.

    c. Pidana dan Pemidanaan

    Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat

    untuk mencapai tujuan, maka merumuskan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50

    yaitu :

    1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

    2. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana 3. Memulihkan keseimbangan 4. Mendatangkan rasa damai dalam masyarakat 5. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

    menjadi orang baik dan berguna.

    6. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

    Pedoman pemidanaan dalam Pasal 51 yang dapat dijadikan acuan bagi hakim

    dalam memberikan pidana. Disamping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan,

    konsep KUHP juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan

    hakim dalam Pasal 51 Ayat (2). Pedoman pengampunan hakim merupakan

    implementasi dari ide individualisasi pidana. Dengan dasar ini maka hakim

    diperbolehkan memaafkan orang yang nyata melakukan tindak pidana dengan

  • 36

    alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Sistem

    pemidaan yang dianut dalam konsep adalah elastis (tidak kaku), yang intinya

    memberi keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi yang

    sekiranya tepat untuk pelaku tindak pidana. Namun kebebasan dan keleluasaan

    tersebut tetap dalam batas-batas menurut undang-undang.

    E. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam KUHP

    Perzinahan dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang

    lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam

    hubungan perkawinan. Masalah perzinahan merupakan salah satu contoh adanya

    benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dan nilai-nilai

    sosial masyarakat. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih

    menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai

    sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang

    lebih bercorak individualis. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang ada

    didunia memandang berbeda terhadap tindak pidana perzinahan sebagai bagian

    dalam tindak pidana mengenai kesusilaan dan perbedaan cara pandang dan nilai-

    nilai yang melatarbelakanginya. Tindak pidana perzinahan diatur dalam Pasal 284

    KUHP, salah satu Pasal yang termasuk dalam buku II bab XIV yaitu kejahatan

    terhadap kesusilaan. Pasal 284 KUHP berbunyi sebagai berikut :

    (1) a. Laki-laki yang beristeri berbuat zina, sedang diketahuinya bahwa Pasal 27

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku padanya;

    a. Perempuan yang turut melakukannya perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami;

    b. Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya;

  • 37

    (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang

    tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang

    waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan

    ranjang karena alasan itu juga;

    (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75;

    (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum

    dimulai;

    (5) Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama

    perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang

    menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap;

    Penjelasan mengenai Pasal 284 KUHP sebagai berikut:

    1. Zina menurut Pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki laki dan perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang

    bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka

    sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak.

    2. Pasal 284 KUHP membedakan antara orang-orang yang tunduk pada Pasal 27 BW dan orang-orang yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW.

    3. Pasal 284 KUHP tersebut berlaku aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan

    (dipermalukan). Pengaduan tersebut berlaku bagi pihak yang dirugikan dan

    pasangan perzinahan.

    4. Walaupun belum terdapat pengaduan dari pihak yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila menjumpai peristiwa

    perzinahan.

    F. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP Tahun 2019

    Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2019 yang sedang dalam

    pembahasan masih menyisakan banyak permasalahan. Terutama dalam hal tindak

    pidana yang diatur dan bobot pemidanaannya. Di mana masih banyak tindak

    pidana yang dirasa mengekang kebebasan warga negaranya dan overkriminalisasi.

    Tindak Pidana Zina diatur RKUHP 2019 dalam Pasal 417. Adapun bunyi Pasal itu

    sendiri yaitu:

    1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara

    paling lama 1 (satu) Tahun atau denda kategori II.

    2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.

  • 38

    3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

    Apabila merujuk pada ketentuan zina dalam rancangan undang-undang Pasal 417

    Ayat (1) sampai (3) RKUHP Tahun 2019 tersebut dapat disimpulkan bahwa

    perbuatan zina merupakan tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh kedua

    orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah, baik satu atau kedua belah

    pihak sudah terikat dengan ikatan perkawinan sebelumnya maupun kedua-duanya

    belum terikat pada perkawinan. RKUHP tidak lagi membatasi status perkawinan,

    berkarasteristik gender-neutral dan tidak mensyaratkan gugatan cerai. Pihak yang

    dapat mengajukan pengaduan adalah pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak

    dari perbuatan tersebut, RKUHP Pasal 417 dikhawatirkan dapat menyebabkan

    terjadinya kriminalisasi.39

    39 Eko Sugiyanto. 2016. Pujiyono dan Budi Wisaksono. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya

    Penanggulangan Tindak Pidana Perzinahan. Diponegoro Law. hlm. 42.

  • 39

    III. METODE PENELITIAN

    Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan

    suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah dan menyimpulkan data yang data

    memecahkan suatu permasalahan.

    A. Pendekatan Masalah

    Penulisan skripsi ini digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis

    empiris. Membahas kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perzinahan dalam

    perspektif pembaharuan KUHP Nasional yaitu melakukan penelitian

    menggunakan nilai-nilai dan norma dan peraturan perundang-undangan yang

    sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Pendekatan secara yuridis

    normatif dimaksudkan dapat memperoleh gambaran jelas, keadaan dari obyek

    yang diteliti, oleh karena itu penelitian ini bersifat deskriptif, untuk mengetahui

    pendapat individu, keadaan, nilai dan norma serta peraturan hukum yang ada di

    Indonesia menyangkut perzinahan. Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan

    dengan cara mempelajari hokum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang

    didapat secara objektif di lapangan baik berupa pendapat, sikap dan perilaku

    hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektivitas hukum.

  • 40

    B. Sumber dan Jenis Data

    1. Data Primer

    Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data

    primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya

    berkaitan dengan penelitian.

    2. Data Skunder

    Data skunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau

    penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan

    masalah atau materi penelitian, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

    hukum skunder, dan bahan hukum tersier.40

    a. Bahan hukum primer terdiri dari:

    1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-undang Nomor 73

    Tahun 1958 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

    2) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2019

    b. Bahan hukum skunder terdiri dari:

    Bahan hukum yang bersifat menjelaskan terhadap bahan primer.41 Bahan

    hukum ini terdiri dari berbagai literatur, buku-buku teks, artikel, jurnal,

    pendapat-pendapat sarjana, kasus-kasus hukum, yurispundensi dan hasil-

    hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian,

    Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan karya

    ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

    40Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2015. Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris,

    Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hlm 156. 41Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Meteologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya. Bayumedia

    Publishing.hlm. 64.

  • 41

    c. Bahan hukum tersier terdiri dari bahan hukum yang memberikan pejelasan

    terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari hasil-

    hasil penelitian, literatur-literatur, petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang

    berkaitan dengan pokok bahasan.

    C. Penentuan Narasumber

    Narasumber atau orang yang akan diwawancarai dalam proses penelitian ini

    adalah aparat penegak hukum dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

    Universitas Lampung. Para narasumber di pandang lebih mengetahui tentang

    peraturan hukum mengenai tindak pidana perzinahan, KUHP dan RKUHP,

    dengan rincian sebagai berikut;

    1. Anggota Legislatif komisi I DPRD bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia

    Provinsi Lampung : 1 orang

    2. Anggota Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR : 1 orang

    3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

    ________

    Jumlah : 3 orang

    D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

    1. Prosedur Pengumpulan Data

    Data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh melalui prosedur

    sebagai berikut:

    a. Studi Kepustakaan (Library Research)

    Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data skunder dengan

    melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah

    bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang disusun

    dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 42

    b. Studi Lapangan (Field Research)

    Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data

    primer dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada

    beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan

    dengan penelitian ini.

    2. Prosedur Pengolahan Data

    Setelah data yang dikehendaki terkumpul, baik dari studi kepustakaan maupun

    studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-

    langkah sebagai berikut :

    a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh, diperiksa, dan diteliti kembali mengenai

    kelengkapan, kerjasama, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan

    dan kesalahan.

    b. Klasifikasi, yaitu kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang

    telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan

    dan akurat untuk di analisis lebih lanjut.

    c. Sistematisasi, data adalah penyusun data secara sistematis yaitu sesuai dengan

    pokok bahasan sehigga memudahkan analisis data.

    E. Analisis Data

    Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan

    mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian dilapangan kedalaman

    bentuk penjelasan secara sistematis yang menguraikan mengenai tindak pidana

    Perzinahan dalam Pembaharuan KUHP.

  • 76

    V. PENUTUP

    A. Simpulan

    1. Perzinahan diatur dalam hukum positif Indonesia Pasal 284 Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana (KUHP). Pengertian didalam Pasal 284 KUHP belum

    sesuai dengan latar belakang serta karakteristik nilai-nilai agama, nilai

    kesopanan serta nilai kesusilaan dalam masyarakat Indonesia. Sehingga dalam

    kehidupan sehari-hari banyak ditemui tindakan main hakim oleh masyarakat

    yang menerapkan hukum adatnya, dikarenakan hukum positif yang berlaku

    tidak mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Usaha pemerintah

    dalam menanggulangi kejahatan perzinahan adalah dengan merevisi tindak

    pidana perzinahan Pasal 284 KUHP. Perluasan tindak pidana perzinahan

    didalam RKUHP Tahun 2019 dalam Pasal 417 meliputi 3 hal, yaitu perluasan

    subyek, perluasan delik aduan serta perluasan pemidanaan.

    2. Kebijakan formulasi yang merancang undang-undang guna pembaharuan

    hukum pidana harus memperhatikan landasan-landasan dari pembaharuan

    hukum pidana diantaranya landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan

    politis dan landasan yuridis, sehingga nantinya Indonesia dapat memiliki

    hukum yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia. Selain itu

    delik perzinahan yang berlaku dalam KUHP saat ini masih termasuk dalam

    delik aduan absolut, pandangan barat yang melatarbelakangi KUHP berbeda

    dengan pandangan masyarakat Indonesia. Perkawinan dalam pandangan

  • 77

    masyarakat Indonesia terkait dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat.

    Dengan ditetapkannya tindak pidana perzinahan sebagai tindak pidana aduan

    absolut, prevensinya lemah karena memberi peluang dan dasar legitimasi

    kepada seseorang untuk merasa bebas melakukan perzinahan, agar tidak

    terjadinya bentrokan kepentingan sebaiknya tindak pidana perzinahan menjadi

    delik aduan relatif, sehingga terciptanya tujuan dari pembaharuan hukum

    pidana yaitu keadilan serta kesejahteraan di dalam masyarakat.

    B. Saran

    Saran dalam penulisan skripsi ini adalah :

    1. Hendaknya pemerintah sebagai badan yang berwenang merancang undang-

    undang mengenai tindak pidana perzinahan dapat membuat rancangan

    mengenai delik perzinahan yang sebelumnya termasuk kedalam delik aduan

    absolut menjadi delik aduan relatif .

    2. Diharapkan untuk segera disahkan dan diundangkan oleh badan legislatif,

    sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan mewujudkan

    tujuan dari pembaharuan hukum pidana yaitu keadilan serta kesejahteraan

    masyarakat.

  • 78

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Literatur

    Bahiej. A. 2016. Tinjauan Yuridis atas Tindak pidana Perzinahan Overspel dalam

    Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.

    Christianto H. 2016. Norma Kesusilaan Sebagai Batasan Penemuan Hukum

    Progresif. Perkara Kesusilaan di Bangkalan Madura. Jurnal Hukum &

    Pembangunan. Jakarta.

    Dwidja Priyatno. 2004. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggung Jawaban

    Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.

    Eko Sugiyanto. 2016. Pujiyono dan Budi Wisaksono. Kebijakan Hukum Pidana

    Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perzinahan. Diponegoro

    Law. Bandung.

    Hadikusuma. Hilman. 1990. Hukum perkawinan Indonesia: menurut

    perundangan, hukum adat, hukum agama. Mandar Maju. Jakarta.

    Hamdan, M. 1997. Poltik Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.