Skripsi Fahim Lengkap Punya

download Skripsi Fahim Lengkap Punya

of 34

Transcript of Skripsi Fahim Lengkap Punya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam pembukaan UUD 1945 salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.1 Masalah kesehatan yang dihadapi adalah masalah penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kusta merupakan penyakit menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae dengan perjalanan penyakit yang lama dan bisa menular. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dalam bahasa Hebrew Zarrath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor baik dari penderita, petugas kesehatan, geografis tempat tinggal penderita yang sulit terjangkau, dan vaksin yang belum ditemui untuk mencegah penyakit ini. Sampai saat ini penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga dan termasuk petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta maupun cacat yang ditimbulkannya.2,3 Penyakit kusta dapat menyerang semua kelompok umur dengan frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun dimana merupakan usia produktif sehingga penyakit kusta dianggap suatu masalah kesehatan serius dalam masyarakat. Penyakit ini menyerang saraf perifer sebagai afinitas utama dengan komplikasi cacat primer maupun sekunder yang tampak menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas sehingga penderitanya ditakuti, dijauhi, dan diisolasi secara sosial. Kusta tergolong dalam

1

masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya sehingga program pencegahan cacat merupakan hal yang penting dalam pemberantasan kusta.3 Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2006 penderita kusta banyak di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan WHO pada 2004, Indonesia menempati urutan ketiga penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil. Total jumlah kasus di dunia pada tahun 2004 adalah 497.791 kasus dengan India menjadi penyumbang terbesar dengan 260.063 kasus, Brazil 49.384 kasus dan Indonesia 16.549 kasus.4 Pada tahun 1991 WHO telah mengeluarkan resolusi, yaitu eliminasi kusta tahun 2000 dengan harapan angka kejadian kusta kurang dari 1/10.000 penduduk. pada tahun 2001 2003 Indonesia telah berhasil dalam eliminasi kusta secara nasional. Angka prevalensi kusta secara nasional pada tahun 2001 adalah 0,85 per 10.000 penduduk, tahun 2002 prevalensi sedikit meningkat menjadi 0,95 per 10.000 penduduk, dan pada tahun 2003 kembali menurun menjadi 0,8 per 10.000 penduduk. (Depkes RI, 2003). Pada tahun 2005 dan 2006 angka prevalensi kusta meningkat di atas 1/10.000 penduduk. Hal ini karena banyaknya kasus baru yang ditemukan melalui deteksi dini penderita kusta. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penemuan kasus baru secara nasional pada tahun 2000 hingga 2005 terus meningkat, data terakhir tahun 2006 sebanyak 18.000 temuan kasus baru, turun 1.695 dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, sebanyak 1.500-1.700 (10%) kasus kecacatan tingkat 2 ditemukan setiap tahunnya. Dalam menanggapi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai kebijakan, yakni melalui kebijakan deteksi dini kasus kusta dan pengobatan dengan Multi Drug Therapy (MDT), mencegah kecacatan, mengubah image (pandangan) masyarakat luas,serta menjamin ketersediaan dan kualitas MDT.4,5,6

2

Sejauh ini, 17 provinsi di Indonesia masih tergolong sebagai daerah endemis kusta. Di Indonesia terdapat kantong - kantong kusta yang sebagian besar berada di kawasan timur Indonesia seperti Papua, Kalimantan, Halmahera, Sulawesi Selatan dan yang terbanyak di Jawa Timur. 5 Melalui Program Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due To Leprosy 2011-2015, WHO mulai mengajak untuk focus pada upaya mengurangi rasio kasus baru kusta dengan kecacatan tingkat 2 per 100.000 populasi, dengan target penurunan 35% padatahun 2015 dari data tahun 2010. Hal ini relevan untuk dicapai dengan melihat besarnya beban akibat kecacatan kusta.Keputusan ini diambil pada pertemuan Global Leprosy Programme Managers pada WHO-South-East Asia Regional Office di New Delhi tanggal 2022 April 2009.7,8,9 Dengan kemajuan teknologi di bidang penyuluhan kesehatab, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang kusta, maka kusta seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Namun karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti mengenai kusta, terutama mengenai tandai dini dan akibat penyakit yang ditimbulkannya, penderita tidak cepat pergi berobat sehingga menjadi cacat dan penularan penyakit berjalan terus. Peneliti merasa perlu untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai karakteristik penderita kusta. Oleh kerana itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Karakteristik Penderita Kusta Yang Menjalani Rawat Inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar Periode Januari 2011- Desember 2011.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, khususnya fenomena yang ada, peneliti merumuskan masalah Bagaimanakah Karakteristik Penderita Kusta yang Rawat Inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar Periode Januari 2011- Desember 2011?

3

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar periode Januari 2011Desember 2011. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan umur. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan jenis kelamin. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan tingkat pendidikan. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan status ekonomi. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan tipe penyakit. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan derajat kecacatan. Untuk mengetahui distribusi penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan jenis kasus. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain: Menambah wawasan pengetahuan mengenai karakteristik penderita kusta yang menjalani rawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid pada khususnya, dan di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya.

4

Memberikan informasi ilmiah yang diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi kesehatan dalam menyusun perencanaan program eliminasi penyakit kusta secara optimal di Makassar khususnya dan Provinsi Sulawesi Selatan umumnya.

Dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk mengembangkan penelitian sejenis terkait dengan penyakit dan pencegahan komplikasinya di masyarakat.

Bagi peneliti sendiri, pada khususnya, semoga proses serta hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan pembelajaran yang berharga terutama untuk perkembangan keilmuwan peneliti.

5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kusta Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinisyaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerangsaluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dandalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.11 2.1.1. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta 2 Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 zaman yaitu : 1. Zaman Purbakala Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal di dalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita kusta dan mereka merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.

2. Zaman Pertengahan Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

6

3. Zaman Modern Dengan ditemukannnya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut : Pada tahun 1951 dipergunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) sebagai pengobatan penderita kusta. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.

2.2. Etiologi Penyakit Kusta Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi).12 Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan buatan.13 Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.12,14 2.2.1. Pewarnaan15 Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehls Neelsen dengan cara : Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin. Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit. Cuci dengan air. Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai warna merah dilepaskan oleh alkohol. Cucilah dengan air menit. Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama - 2 menit.7

Cuci dengan air. Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop.

Hasil pembacaan : BTA (+) : bewarna merah BTA (-) : bewarna biru Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI). Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil pengobatan. Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1. bakteri Mycobacterium leprae BACTERIAL INDEX (BI)15 : (-) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandangan.

( 1+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan. ( 2+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan. ( 3+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 4+ ) : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 5+ ) : 100 1000 kuma BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 6+ ) : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. MORPHOLOGICAL INDEX (MI)15 : Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae : Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat warna secara merata

8

Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus sebagian atau seluruhnya. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun membentuk garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 200 kuman) yang utuh (solid) atau putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam suatu bentuk ikatan atau lingkaran.

Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir (granulated) membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari 500 BTA.

2.2.2. Struktur Antigen Penderita lepra memberikan hasil negatif pada tes kulit yang dilakukan dengan penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous. Tes ini disebut tes lepromin.15 Tes lepromin merupakan tes imunologi yang spesifik dan digunakan untuk: mengetahui ketahanan hospes terhadap Mycobacterium leprae, menentukan prognosis penyakit lepra, dan mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.16 Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut :16 Early Fernandez Reaction (dibaca setelah 48 jam). Reaksi timbul cepat dalam kurun waktu 24-48 jam. Dikatakan positif bila terdapat eritema (kemerahan) dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema (kemerahan) saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan. Delayed Mitsuda Reaction (dibaca setelah 4-6 minggu). Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm. Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil lepra yang utuh.

9

2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi Penderita Kusta Menurut Orang a. Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1,12 kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.2 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 61,10% dan penderita perempuan 38,90%.8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti terdapat 125 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 58,40% dan penderita perempuan 41,60%.9 b. Distribusi dan Frekuensi Menurut Umur Penyakit kusta dapat menyerang semua umur.12 Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.17 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 17-24 tahun (proporsi 30,60%). 8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak dalah golongan umur 20-39 tahun (proporsi 56,80%).9

2.3.2. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu angka prevalensi < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah disembuhkan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000.2 Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB (proporsi 15,36%) dan 15.498 penderita kusta tipe MB (proporsi 84,64%) dengan angka prevalensi 86 per10

1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.2 Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB (proporsi 11,19%) dan 254 penderita kusta tipe MB (proporsi 88,81%).6 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta yang terdiri dari 33 penderita kusta tipe PB (proporsi 30,60%) dan 75 penderita kusta tipe MB (proporsi 69,40%).8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta tipe PB (proporsi 38,40%) dan 77 penderita kusta tipe MB (proporsi 61,60%).9 2.3.3. Faktor Determinan Penyakit Kusta2 a. Host Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse). Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-107. Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M & PL) (1996) menunjukkan gambaran sebagai berikut: Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga kelompok berikut ini, yaitu : Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.11

Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita penyakit kusta bisanya tipe PB. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB. Agent Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 270-300 Celcius.

2.4. Klasifikasi Penyakit Kusta Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita dinyatakan Release from Treatment ( RFT).2 2.4.1. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):18 a. Indeterminate (I) Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin. b. Tuberkuloid (T) Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah. c. Borderline (B) Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan Tuberkuloid. d. Lepromatosa (L) Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas. Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata di seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.12

2.4.2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)19 Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologi, dan imunologis. a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT) Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan. c. Tipe Mid Borderline (BB) Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional. d. Tipe Borderline Lepromatous (BL) Lesi pada tipe ini berupa makula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan saraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine. e. Tipe Lepromatosa (LL) Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine).

Berikut ini adalah gambar penderita kusta menurut Ridley-Jopling :

13

Gambar 1 : Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Bordeline (dikutip dari Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis Clinical Dermatology 5th Edition 2005)

Gambar 2 : Penderita Kusta Tipe Lepramatosa (dikutip dari Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis Clinical Dermatology 5th Edition 2005)

14

2.4.3. Klasifikasi WHO (1982) yaitu : 2 a. Tipe PB (Pausibasiler) Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular. b. Tipe MB (Multibasiler) Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular.

Berikut ini adalah gambar penderita kusta tipe PB dan MB

Gambar 3 : Penderita Kusta Tipe PB

Gambar 4 : Penderita Kusta Tipe MB

(dikutip dari Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis Clinical Dermatology 5th Edition 2005)

Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB pada kriteria seperti pada tabel di bawah ini :

15

Tabel 1 (dikutip dari kepustakaan 2)

16

2.5. Reaksi Kusta 2.5.1. Pengertian2 Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya : 1. Penderita dalam kondisi lemah 2. Kurang gizi 2.5.2. Jenis Reaksi2 Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan reaksi tipe II a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading) Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita. Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (konstitusi). Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.

b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum) Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks). Gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh.17

Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

2.6. Kecacatan Pada Penderita Kusta2 Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat kusta dicap seumur hidup sebagai penderita kusta walaupun sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah. 2.6.1. Proses terjadinya cacat kusta2 Terjadinya cacat tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak. Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses : Infiltrasi langsung Mycobacterium leprae kesusunan saraf tepi dan organ(misalnya mata). b. Melalui reaksi kusta 2.6.2. Tingkat Cacat2 WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta menjadi tiga tingkat, yaitu: a. Tingkat 0 Jika mata , tangan atau kaki tetap utuh, maka dinyatakan tingkat cacat 0 b. Tingkat 1 Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan, maka dinyatakan tingkat cacat 1. Anastesi mata tidak dilakukan pemeriksaan. Kelemahan otot masuk cacat 1 kecuali mata. c. Tingkat 2 Jika ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea) maka dinyatakan tingkat cacat. Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu : luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak18

mati rasa), alis mata menipis (madarosis), hidung pelana, mati rasa selain pada telapak (pada kulit umum atau pada bercak); kiting, kelemaham otot atau kehilangan jari yang disebabkan oleh kecelakaan. 2.7. Pencegahan dan Pengawasan13, 18 Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya kerena penyakitnya saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan.18 Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan.13 Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anakanak dari orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa, maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut.18 2.7.1. Pencegahan Primodial Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.20 2.7.2. Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.20, 21 Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.2019

2.7.3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.20, 21 Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah. Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau cardinal sign pada badan, yaitu :2 a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi). b. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bias berupa: a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise) c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak. c. Ditemukan Basil Tahan Asam Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif). Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda - tanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).

Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) 1. Tanda-tanda pada kulit a. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh b. Kulit mengkilap c. Bercak yang tidak gatal d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut. e. Lepuh tidak nyeri.20

2. Tanda-tanda pada saraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka. b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka c. Adanya cacat (deformitas) d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

2.7.4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention) Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.20 Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya.22 Pencegahan tertier meliputi: a. Pencegahan Kecacatan18 Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada

penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. Upaya pencegahan cacat terdiri atas : a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis Pengobatan secara teratur dan adekuat Deteksi dini adanya reaksi kusta Penatalaksanaan reaksi kusta

b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

b. Rehabilitasi 17 Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali21

ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan). 2.8. Program Pemberantasan Penyakit Kusta2 Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) harus memenuhi resolusi tersebut. Suatu kenyataan bahwa kusta tersebar di Indonesia secara tidak merata dan prevalensi rate (PR) sangat bervariasi menurut propinsi, Kabupaten/Kota/Kecamatan. Penderita terdaftar di Indonesia sampai dengan desember 2003 sebanyak 18.312 penderita. Eliminasi kusta di Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah dicapai secara nasional pada pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi dan kabupaten masih banyak yang belum mencapai eliminasi. Sampai akhir desember 2003, baru 18 dari 30 propinsi dan 325 dari 440 Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi. 2.8.1. Tujuan2 a. Tujuan Jangka Panjang 1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. 2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar. 3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang terkena penyakit kusta. b. Tujuan Jangka Pendek2 1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemik rendah sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%. 2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan (RFT Rate) lebih dari 90%. 3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah RFT kurang dari 5%.22

4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk kasus yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis. 5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan starategi sesuai endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan penunjangnya. 2.8.2. Target2 1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008. 2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010. 3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020. 2.8.3. Kebijakan2 1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan playananan kesehatan dasar di puskesmas. 2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan uma-cuma. 3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.

2.9. Pengobatan Penderita Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang efektif. 12,18 Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat (drop-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.18

23

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : 2 2.9.1. Tipe PB 2,23 Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson. a. Jenis dan obat untuk orang dewasa: 1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas. 2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah. b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak : 1. DDS 1-2 mg / kg berat badan 2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan c. Lama pengobatan Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan. 2.9.2. Tipe MB 2,23 Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin (lamprene). a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa: 1. Lamprene 300 mg / bulan 2. Rifampisin 600 mg / bulan 3. DDS 100 mg / bulan Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan. 1. DDS 100 mg / hari 2. Lamprene 50 mg / hari Kedua obat ini diminum di rumah.

b. Dosis Lamprene untuk anak-anak: Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan Harian : 50 mg / 2 kali / minggu Umur 11 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan Harian : 50 mg / 3 kali / minggu Lama pengobatan 2 tahun Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk dalam masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik24

minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).2

25

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan maksud serta tujuan penelitian maka dapat dikemukakan beberapa faktor yang berhubungan dengan karakteristik pada penderita kusta yang dirawat inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar, yakni: umur, jenis kelamin, ras, riwayat kontak, lingkungan, status ekonomi, status gizi, dan tempat bermukim (daerah asal). Sedangkan faktor - faktor yang menentukan terapi dan perkembangan penyakit adalah tipe penyakit dan derajat kecacatan. Pada penelitian ini juga diteliti jenis kasus penderita untuk mengetahui jumlah kasus baru yang ditemukan. Pada penelitian ini yang akan diteliti adalah : 1. Umur Perkembangan fisik dan imunitas manusia sejalan dengan pertambahan umur. Berdasarkan teori, infeksi oleh kuman kusta lebih mudah pada usia anak - anak yang memiliki sistem imun yang belum sempurna. Namun berdasarkan data sebelumnya, penyakit ini jarang ditemukan pada usia yang sangat muda. Serangan untuk pertama kali juga jarang pada usia di atas 70 tahun. Frekuensi terbanyak ditemukan pada umur 30 - 50 tahun. 2. Jenis kelamin Penyakit kusta dapat menyerang semua orang tetapi laki - laki lebih banyak dijangkiti penyakit kusta daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. 3. Tingkat pendidikan Penyakit kusta dapat terjadi pada semua orang tetapi semakin tinggi pendidikan seseorang maka kewaspadaannya terhadap suatu penyakit juga akan semakin besar.

26

4. Status ekonomi Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang sulit menular, tetapi keadaan tempat tinggal yang kumuh, sanitasi yang jelek dan imunitas yang rendah memudahkan penularan penyakit ini. Keadaan ini merupakan gambaran masyarakat dengan status ekonomi yang rendah. 5. Tipe penyakit Pengklasifikasikan penyakit kusta yang digunakan unuk strategi pengobatan adalah menurut WHO, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB) dengan tipe terbanyak menurut insiden adalah tipe Multibasiler (MB). 6. Derajat kecacatan Terjadinya cacat pada penderita kusta menimbulkan stigma negatif dikalangan masyarakat yang berdampak pada psikososial dan status ekonomi penderita. Terjadinya kecacatan pda penderita kusta tergantung waktu penatalaksanaannya. Semakin cepat penderita ditangani akan mencegah kecacatan yang bersifat permanen. 7. Jenis kasus Berdasarkan data, jumlah kasus baru semakin meningkat seiring proaktif petugas lapangan dalam penemuan penderita kusta. 3.2 Kerangka konsep yang diteliti

Umur Jenis kelamin

Jenis kasus

Derajat kecacatan

faktor resiko pada penderita dengan reaksi kustaStatus Ekonomi Tipe kusta

Tingkat pendidikan

27

3.3 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Penderita kusta Penderita penyakit kusta adalah yang dinyatakan menderita kusta berdasarkan diagnosa dokter, dan hasil pemeriksaan laboratorium Basil Tahan Asam (BTA) yang dirawat inap di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar tahun 2011 sesuai yang tercatat di dalam rekam medis. 2. Umur Definisi: Usia penderita saat pertama kali datang berobat di RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar sesuai dengan yang dicantumkan dalam rekam medik penderita. Alat ukur: check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur: dengan mencatat variabel umur sesuai dengan yang tercantum di rekam medik Hasil ukur: 1. 0 15 tahun 2. 16 25 tahun 3. 26 35 tahun 4. 36 45 tahun 5. > 45 tahun 3. Jenis kelamin Definisi : Perbedaan seksual yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan mencatat variabel jenis kelamin sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik. Hasil ukur :

28

1. laki-laki 2. perempuan 4. Tingkat pendidikan Definisi : Jenjang pendidikan terakhir yang sedang atau yang telah ditempuh oleh pasien Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan mencatat variabel jenjang pendidikan sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik. Hasil ukur : 1. belum sekolah/tidak sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. S1 Kriteria objektif adalah belum sekolah/tidak sekolah, SD, SMP, SMA, S1. 5. Status ekonomi Definisi : Kondisi ekonomi pasien yang dinilai berdasarkan jenis tagihan masuk saat berobat di Rumah Sakit Dr. Tadjuddin Chalid. Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan mencatat variabel status ekonomi sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik.

29

Hasil ukur : 1. Status ekonomi rendah pada pasien yang berobat dengan menggunakan kartu JPS atau Askeskin 2. Status ekonomi menengah ke atas pada pasien yang berobat dengan menggunakan kartu Askes pegawai atau perusahaan serta pasien yang berobat dengan jalur umum

6. Tipe Penyakit Definisi : Pembagian jenis kusta berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan yang dibagi berdasarkan kriteria WHO yang tercatat dalam rekam medik pasien Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan dengan mencatat variabel tipekusta sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik. Hasil ukur :

1. Tipe Multibasiler (MB) 2. Tipe Pausibasiler (PB) 7. Derajat kecacatan Definisi : Stadium kecacatan yang dialami oleh penderita menurut klasifikasi WHO yang tercatat dalam rekam medik. Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan mencatat variabel derajat kecacatan sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik. Hasil ukur : 1. tingkat 0 2. tingkat 130

3. tingkat 2 8. Jenis kasus Definisi : Jenis kasus pasien yang tercatat pada rekam medis berdasarkan belum atau telah mendapat terapi MDT sebelumnya. Alat ukur : check list yang diisi oleh peneliti. Cara ukur : dengan dengan mencatat variabel jenis kasus sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik. Hasil ukur :

1. Kasus baru 2. Kasus lama

31

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk

mendeskripsikan karakteristik pada pasien kusta yang dirawat inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar berdasarkan data yang tercatat dalam rekam medik di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar pada tahun 2011, yakni terhitung sejak Januari 2011 sampai Desember 2011 (12 bulan).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian adalah di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. 4.2.2 Waktu Penelitian Waktu Penelitian adalah selama 2 minggu terhitung dari tanggal 9 April 2012 sampai dengan 22 April 2012.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian adalah penderita kusta yang di rawat inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar Provinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2011 Desember 2011.

32

4.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah penderita kusta yang dirawat inap di RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar Provinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2011 Desember 2011. 4.3.2.1 Cara Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel. 4.3.2.2 Kriteria Seleksi Kriteria Inklusi: Terdaftar sebagai penderita kusta dengan reaksi yang rawat inap dalam periode Januari 2011 Desember 2011 di RSK dr.Tadjuddin Chalid Memiliki rekam medik yang lengkap

Kriteria Eksklusi: Rekam medik yang tidak lengkap pencatatannya. Penderita kusta yang rawat inap di luar periode tahun 2011.

4.4 Jenis Data dan Instrumen Penelitian 4.4.1 Jenis Data Penelitian Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui rekam medik subjek penelitian.

4.4.2 Data Instrumen Penelitian Alat pengumpul data dan instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar checklist yang dengan tabel-tabel tertentu untuk merekam atau mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik.

33

4.5 Manajemen Data 4.5.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak pemerintah dan RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar. Kemudian nomor rekam medik pasien kusta dalam periode yang telah ditentukan dikumpulkan untuk memperoleh rekam medik pasien tersebut di bagian Rekam Medik RSK dr.Tadjuddin Chalid Makassar. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam checklist yang telah disediakan. 4.5.2 Pengolahan Data Pengolahan dilakukan setelah pencatatan data rekam medik yang dibutuhkan ke dalam checklist dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 18.0 untuk memperoleh hasil statistik deskriptif yang diharapkan. 4.5.3 Penyajian Data Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel untuk menggambarkan karakteristik penderita disertai dengan penjelasan yang sesuai.

4.6 Etika Penelitian Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah dan rumah sakit sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian. Menjaga kerahasiaan identitas yang terdapat dalam rekam medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.

34