SKRIPSI DINAMIKA FUNGSI RUMAH TONGKONAN DI...
Transcript of SKRIPSI DINAMIKA FUNGSI RUMAH TONGKONAN DI...
SKRIPSI
DINAMIKA FUNGSI RUMAH TONGKONAN DI RANTEALLO
KABUPATEN TORAJA UTARA
Disusun dan diajukan oleh
Varian Valiant Ervic Manguma
E071171501
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
LEMBAR PENERIMAAN
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
v
KATA PENGANTAR
Syalom, Salam Sejahtera Untuk Kita Semua
Segala Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat
dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Dinamika Fungsi Rumah Tongkonan Di Ranteallo Kabupaten
Toraja Utara ” dengan baik sesuai dengan Kehendak-Nya. Skripsi ini
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari selama proses penyusunan skripsi ini bahwa
skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan karena keterbatasan ilmu dan
kemampuan yang dimiliki sehingga penulis terbuka, dengan senang hati
menerima saran dan kritikan yang dapat membangun untuk perbaikan karya
tersebut kedepannya. Terwujudnya penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
partisipasi dan bantuan, terutama kepada orang tua penulis dengan penuh
rasa hormat mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis
yaitu, Bapak Victor Manguma dan Ibu Since Erna Lamba yang telah
memberikan dukungan, nasehat serta doanya dalam menyelesaikan studi.
Semoga penulis juga dapat menjadi anak yang membanggakan untuk kedua
orang tua. Begitu pula saya ucapkan terima kasih kepada adik penulis satu-
satunya Devin Dave Ervic Manguma yang sudah ikut mendukung,
membantu serta mendoakan dalam selama proses penulisan. Selain itu
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut
andil dalam menyelesaikan studi penulis, teruntuk kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh Staf.
3. Dr. Yahya, MA selaku Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
vi
4. Muhammad Neil, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin.
5. Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA selaku pembimbing yang telah
memberikan pengalaman, ilmu dan pengetahuan selama penulis
pada tahap proses penyusunan proposal penelitian skripsi.
6. Dr. Tasrifin Tahara, M.Si selaku pembimbing II sekaligus
pembimbing akademik yang selama ini telah meluangkan waktunya
bagi penulis dan dengan sabar membimbing penulis sampai selesai.
7. Tim penguji Bapak Dr. Yahya, MA, Bapak Ahmad Ismail,
S.Sos.,M.Si, Bapak Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA, dan Bapak Dr.
Tasrifin Tahara, M.Si, yang telah memberikan saran dan kritik yang
membangun dalam memperbaiki skripsi ini.
8. Dosen Departemen Antropologi Sosial Dr. Yahya, MA, Prof. Dr.
Mahmud Tang, MA, Prof. Dr. Nurul Ilmi Idrus, Ph.D, Prof. Dr. M.
Yamin Sani, MS, Prof. Dr. Hamka Naping, MA, Prof. Dr. Supriadi
Hamdat, MA, Prof. Dr. Munsi Lampe, MA, Prof. Dr. Anshar Arifin,
MS, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si, Dr. Muhammad Basir, MA, Dr.
Safriadi, M.Si., Ahmad Ismail, S.Sos.,M.Si, Icha Musywirah
Hamka, S.Sos, M.Si, Hardianti Munsi, S.Sos, M.Si, dan
Muhammad Neil, S.Sos., M.Si yang telah berbagi ilmu dan
pengalaman selama penulis belajar di Kampus Universitas
Hasanuddin.
vii
9. Staff pegawai Departemen Antropologi Sosial, bapak M. Idris S,
S.Sos, bapak Muh. Yunus, Ibu Anni yang selalu membantu dalam
proses kelengkapan berkas penulis.
10. Kalatiku Paembonan (Bupati Toraja Utara), Daud Pala’langan
(Camat Tallunglipu Toraja Utara), Rininta Maliku (Lurah Kecamatan
Tallunglipu) yang telah memberikan izin dan membantu mengarahkan
dalam proses penelitian di Tongkonan Ranteallo, Toraja Utara.
11. Bapak Ferry, dan Ayus selaku pemilik rumah yang telah memberikan
tempat tinggal selama penulis berada dilokasi penelitian, serta seluruh
informan yang telah berpartisipasi dan meluangkan waktunya untuk
membantu penulis dalam proses pengumpulan data sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
12. Melan Bano (E21116503) yang selalu memberikan semangat dan
mendampingi selama proses penulisan.
13. Seluruh kawan JS yang sudah memberikan dukungan dan doanya.
Semoga tetap terjalin hubungan yang baik dan tetap bisa
bekerjasama.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan dan terkhusus bagi para pembaca. Akhir kata, penulis
mengucapkan permohonan maaf atas segala kekurangan. Terima kasih.
Makassar, 21 Desember 2020
VARIAN VALIANT ERVIC MANGUMA
viii
ABSTRAK
Varian Valiant Ervic Manguma (E071171501). Dinamika Fungsi Rumah Tongkonan di Ranteallo Kabupaten Toraja Utara. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA dan Dr. Tasrifin Tahara, M.Si. Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan fungsi pada rumah adat Tongkonan, perubahan aktivitas masyarakat Toraja pada rumah adat Tongkonan dan faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi pada rumah adat Tongkonan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan ialah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dalam menganalisis tujuan penelitian secara komprehensif dan mendalam untuk mendapatkan informasi yang valid. Teknik penentuan informan yang digunakan ialah purposive (sengaja). Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan pengamatan (observasi), wawancara mendalam dengan informan, dan dipertegaskan dengan berbagai kajian pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan fungsi rumah Tongkonan Ranteallo Kabupaten Toraja Utara, terkait perubahan struktur bangunan dan juga aktivitas masyarakat sekitar lingkungan Tongkonan. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti masuknya agama Kristen, pemerintahan baru dan teknologi.
Kata Kunci : Perubahan fungsi, Toraja, Tongkonan, Rumah adat
ix
ABSTRACT
Varian Valiant Ervic Manguma (E071171501). The Dynamics Of The Function Of The Tongkonan House In Ranteallo, North Toraja Regency. Under the guidance of Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA and Dr. Tasrifin Tahara, M.Si. Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, Hasanuddin University.
This study aims to describe the change of function in Tongkonan traditional house, changes in toraja people's activities in Tongkonan traditional house and factors that cause changes in function in Tongkonan traditional house. In The research uses, qualitative approach with descriptive method in analyzing research objectives comprehensively and in-depth to obtain valid information. The technique of determining informants used is purposive (Intentional). Data collection techniques used are observations, in-depth interviews with informants, and strengthened by various literature studies relevant to research topics. The results showed that there was a change in the function of the Tongkonan Ranteallo house in North Toraja Regency, related to changes in the structure of the building and also the activities of the community around the Tongkonan environment. This is influenced by several factors such as the entry of Christianity, the new government and technology.
Keyword : Change of function, Toraja, Tongkonan, traditional house
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii
LEMBAR PENERIMAAN ....................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
BAB I ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Masalah Penelitian ..................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
a. Manfaat Akademik ................................................................................... 6
b. Manfaat Praktis .......................................................................................... 7
BAB II .................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 8
A. Rumah Tongkonan ..................................................................................... 8
1) Konsep Arsitektur Rumah Adat Tongkonan ........................................... 9
2) Fungsi Tongkonan Pada Masa Lampau ................................................ 10
3) Ciri Khas Rumah Tongkonan ................................................................ 12
B. Struktural Fungsional................................................................................ 19
C. Dinamika Kebudayaan ............................................................................. 21
D. Teori Perubahan Sosial Dan Kebudayaan ................................................ 23
BAB III ................................................................................................................. 29
METODE PENELITIAN........................................................................................ 29
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................................. 29
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 30
C. Informan Penelitian .................................................................................. 30
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 31
E. Teknik Analisis Data ................................................................................. 33
F. Etika Penelitian......................................................................................... 34
xi
BAB IV ................................................................................................................. 35
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................................................... 35
A. Kondisi Wilayah Toraja Utara .................................................................. 35
B. Mata Pencaharian .................................................................................... 37
C. Kondisi Sosial Budaya Kelurahan Tallunglipu ........................................... 39
D. Aspek Demografi ...................................................................................... 44
E. Aspek Geografis ....................................................................................... 45
F. Sejarah Ranteallo ..................................................................................... 46
BAB V .................................................................................................................. 48
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 48
A. Perubahan Fungsi Rumah Adat Tongkonan Bagi Masyarakat Toraja ....... 48
1. Struktur Dan Fungsi Lama Rumah Tongkonan ...................................... 48
a. Bagian Atas Rumah Tongkonan ............................................................ 50
b. Bagian Badan Tongkonan ..................................................................... 53
c. Bagian Kolong Rumah Tongkonan (Suluk banua) ............................... 59
2. Struktur Dan Fungsi Baru Rumah Tongkonan ....................................... 61
a. Bagian Atas Tongkonan ........................................................................ 61
b. Bagian Badan Tongkonan ..................................................................... 65
c. Bagian Kolong Rumah Tongkonan (Suluk banua) ............................... 71
B. Perubahan Aktivitas Yang Terjadi Pada Masyarakat di Tongkonan
Ranteallo .......................................................................................................... 73
1. Perubahan aktivitas terkait politik .............................................................. 73
2. Perubahan aktivitas masyarakat terkait kepercayaan ............................... 77
3. Perubahan aktivitas terkait mata pencaharian ....................................... 80
4. Perubahan aktivitas terkait teknologi ..................................................... 82
C. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Fungsi Rumah Tongkonan ................. 85
a. Faktor internal........................................................................................ 86
b. Faktor eksternal ..................................................................................... 88
BAB VI ................................................................................................................. 97
PENUTUP ........................................................................................................... 97
A. Kesimpulan .............................................................................................. 97
B. Saran ..................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 104
xii
DAFTAR TABEL
Table 1 Nama-Nama Informan ........................................................................................ 31
Table 2 Nama-nama Kepala Desa ................................................................................. 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pembagian dunia rumah tongkonan.....................................................49
Gambar 2.Sketsa bagian badan Tongkonan yang lama (Kale Banua). ................... 53
Gambar 3.Sketsa bagian badan Tongkonan yang baru (Kale Banua). .................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sulawesi selatan memiliki banyak kearifan lokal yang terdiri dari
ragam adat istiadat, budaya dan seni yang dimiliki daerah yang ada di
Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan juga terdapat banyak etnis dan suku.
Tetapi yang paling mayoritas adalah suku makassar, suku bugis, dan suku
Toraja. Begitupun, pemakaian bahasa sehari-hari, ketiga etnis ini lebih
dominan dari yang lainnya. Bahkan kebudayaan yang paling terkenal
hingga mancanegara adalah budaya Tana Toraja, yang dikenal sangat
khas dan menarik.
Toraja memiliki keunikannya sendiri melalui karya seni Arsitektur
yang sangat menonjol yakni berupa rumah adat Tongkonan. Rumah adat
merupakan suatu bangunan dengan struktur, cara pembuatan, bentuk dan
fungsi serta ragam hias yang memiliki ciri khas tersendiri, diwariskan secara
turun – temurun dan dapat digunakan untuk melakukan kegiatan kehidupan
oleh penduduk sekitarnya (Said,2004: 47) sehingga rumah adat Toraja
(Tongkonan) menjadi satu bentuk bangunan rumah yang sangat banyak
peranannya dalam perkembangan kehidupan orang Toraja. Menurut Pakan
(2018:2) Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja yang merupakan
tempat tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial
budaya orang toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perorangan,
2
melainkan dimiliki secara komunal dan turun temurun oleh keluarga atau
marga suku Tana Toraja.
Rumah adat tongkonan sangat sarat dengan ukiran mengandung
makna yaitu melambangkan status sosial pemilik tongkonan menempati
lapisan atas, seperti untuk mengenal latar belakang atau status sosial
pemilik tongkonan menempati lapisan atas, seperti mengenal latar
belakang atau status sosial serta nama marga seseorang hanya dengan
menanyakan tongkonan asalnya. Selanjutnya, dikemukakan bahwa
seseorang dalam pola hidup, yang artinya pola pikir diwujudkan dalam
perilaku harus ditempatkan di dalam kerangka dan struktur yang sudah
melembaga didalam adat, sebab orang adalah bagian dalam persekutuan
komunitas yang berakar dalam tongkonan (Kobong 2008:86) .
Pada mulanya tongkonan dibangun waktu datangnya penguasa adat
yang pertama ke Tana Toraja, yang menguasai daerah serta memerintah
penduduknya. Rumah tongkonan menjadi tempat di mana penguasa adat
tinggal dijadikan sebagai tempat untuk memberi perintah dan keterangan-
keterangan kepada penduduk di sekitar tongkonan datang dan duduk
mendengar serta menyelesaikan segala masalah di antara mereka
(Tangdilintin dkk.1977:24). Dirumah tongkonan inilah segala urusan
pemerintahan diatur dan dibuat. Penduduk yang berada di
sekitar tongkonan juga biasa datang dan duduk mendengar serta
menyelesaikan segala masalah di antara mereka. Karena kata tongkon dari
tongkonan, secara harafiah berarti duduk yang memiliki makna duduk
3
berkumpul, bermusyawarah, berdiskusi, merundingkan segala bentuk
masalah bersama-sama untuk mencapai suatu kesepakatan, duduk untuk
menetapkan aturan-aturan adat yang akan diberlakukan dalam masyarakat
(Tangdilintin, 2014b:39).
Rumah tongkonan juga sebagai pusat tempat orang berkumpul bagi
kelompok keluarga yang berasal dari nenek moyang dan keturunannya
yang masih hidup. Dengan kata lain, anggota Tongkonan dianggap sebagai
tipe kelompok utama dari masyarakat (Said 2004:52; Sandarupa
2004:360). Untuk mendengar peraturan atau perintah serta tempat
menyelesaikan berbagai macam persoalan yang timbul dari keluarga
keturunan tongkonan. Sedangkan banyak masyarakat umum menganggap
bahwa tongkonan hanya sebagai tempat menyelesaikan persoalan di
lingkungan keluarga (Tangdilintin dkk. 1997:23). Selain itu, Rumah
tongkonan juga dapat berupa rumah tradisional (banua) dan lumbung padi
(alang atau korang). Rumah tongkonan serta lumbung selalu berpasangan,
dan sebuah rumah dapat memiliki satu sampai tiga alang yang letaknya
berjejer dan berhadapan dengan banua (Kis-Jovac dkk. 1988:44).
Setelah itu terjadi perkembangan pada kebudayaan masyarakat Toraja,
dimana mereka mulai untuk membuat pemukiman sendiri yang dibangun
berdasarkan hubungan tali kekerabatan yang berarti satu perkampungan
hanya dihuni oleh orang-orang yang berasal dari satu nenek moyang. Di
pemukiman itulah mereka membangun tongkonan sebagai pusat dan
4
dikelilingi oleh rumah-rumah dan bangunan sosial lainnya. Sehingga setiap
tongkonan hanya untuk satu keturunan atau leluhur yang sama.
Dalam mengurus rumah adat Tongkonan, menurut Tato’ De’na dalam
Idrus (2016:15) menjelaskan bahwa yang disebut sebagai To ma’Kampai
merupakan orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola keluarga,
upacara, serta memelihara tongkonan dan propertinya. To’ ma’ Kampai
bisa seorang laki-laki atau perempuan tetapi harus berasal dari anggota
keluarga Tongkonan. Rumah tongkonan (banua) ini melambangkan
sebuah simbol martabat (siri’) keluarga. Oleh karena itu tidak dapat
disertifikatkan sebagai kepemilikan pribadi karena harta tersebut
merupakan harta komunal.
Rumah tongkonan ini tidak dapat disertifikatkan sebagai kepemilikan
pribadi karena harta tersebut merupakan harta komunal. Rumah tongkonan
ini hanya dapat dipelihara, dikelola, sementara harta tongkonan lainnya
dapat dimanfaatkan atau digunakan (hak pakai atau hak guna) oleh
anggota tongkonan dengan jumlah batasan yang ditentukan oleh to
ma’kampai tongkonan. Harta tongkonan (mana’ tongkonan) dapat di
tambah oleh anggota Tongkonan, tapi tidak dikurangi. Menggadaikan
rumah tongkonan dianggap sebagai penghianat atau penggadai/penjual
nenek moyang (ma’baluk nene’k na) dan diekspresikan bahwa lebih baik
memotong kepala kita daripada menggadaikan atau menjual tongkonan
kita’, yang mengindikasikan signifikannya kesakralan dan penghargaan
terhadap tongkonan. Menggadaikan atau menjual harta tongkonan,
5
khususnya Rumah tongkonan dan lahan dimana ia didirikan, dipercaya
akan membawa bencana (Idrus 2016:17-18).
Tetapi setelah terjadi perkembangan kebudayaan dari masa ke masa,
rumah adat ini telah menyebar ke masyarakat, sehingga hampir seluruh
masyarakat Toraja telah memilikinya serta berfungsi sebagai rumah tempat
tinggal bagi mereka. Oleh karena itu, rumah Tongkonan diduga sudah
mengalami berbagai perubahan. DI perkirakan akan berdampak langsung
bagi kehidupan masyarakat Toraja, terutama kebudayaan-kebudayaan
masa lampau masyarakat Toraja yang tidak dapat bertahan seutuhnya.
Jika benar terjadi perubahan pada fungsi dan maknanya maka
identitas masyarakat toraja juga diperkirakan akan berubah. Oleh sebab itu,
masyarakat Toraja seharusnya dapat menyadari arti penting rumah adat
tongkonan yang bersifat sakral dan merupakan peninggalan leluhur yang
harus dijaga dan dipertahankan nilainya karena rumah adat Tongkonan
merupakan identitas budaya Toraja yang begitu berharga. Apalagi hal ini
sangat penting bagi generasi-generasi selanjutnya (generasi muda) yang
sudah tidak mengetahui lagi peranan atau fungsi dari Tongkonan.
Penelitian ini mengenai dinamika fungsi pada rumah Tongkonan,
berfokus pada aktivitas apa saja yang dilakukan pada masyarakat toraja
dan perubahan fungsi apa saja pada rumah Tongkonan sebagai sebuah
dinamika kebudayaan masyarakat Toraja. Penelitian ini dilaksanakan pada
Tongkonan Ranteallo yang berada di Kabupaten Toraja Utara yang
merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Tana Toraja.
6
B. Masalah Penelitian
a. Bagaimana perubahan struktur dan perubahan fungsi rumah
Tongkonan pada masa lampau dan masa Kini ?
b. Perubahan aktivitas apa yang terjadi pada masyarakat Tongkonan
Ranteallo setelah terjadi perubahan fungsi?
c. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi pada
Tongkonan Ranteallo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditemukan dalam
penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mendeskripsikan bagaimana perubahan fungsi pada
Tongkonan Ranteallo Kabupaten Toraja Utara
b. Untuk menggambarkan perubahan aktivitas masyarakat Toraja pada
Tongkonan Ranteallo Kabupaten Toraja Utara
c. Untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan
fungsi pada Tongkonan Ranteallo Kabupaten Toraja Utara.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
1. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman
serta bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya
gambaran dinamika fungsi rumah tongkonan yang mengalami
perubahan fungsi seiring berjalannya waktu
7
2. Diharapkan pula dapat menjadi bahan penelitian lanjutan terkait
dinamika fungsi rumah Tongkonan di Kabupaten Toraja Utara.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti
Penelitian ini di samping sebagai salah satu upaya untuk memenuhi
tugas akhir dalam program strata satu (S1) Program Studi
Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin dan diharapkan mampu menambah keilmuan penelitian
dalam bidang sosial secara mendalam.
2. Program studi antropologi
Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
program studi ilmu antropologi mengenai Dinamika Fungsi Rumah
Tongkonan dalam kebudayaan masyarakat Toraja.
3. Bagi Pemerintah
Sebagai kontribusi dengan cara memberikan masukkan dan bahan
petimbangan dalam membuat aturan dan kebijakan selanjutnya.
4. Bagi masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memahami Dinamika
Fungsi Rumah Tongkonan masyarakat Toraja dan pembangunan
kelembagaan masyarakat.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Tongkonan
Rumah adat tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja.
Pengertian kata Tongkonan menurut Said (2004:49), kata tongkonan terdiri
dari kata “tongkon” yang berarti duduk, mendapat akhiran ”an” menjadi
tongkonan artinya tempat duduk bersama-sama anggota yang terhimpun
untuk menjadi suatu kelompok individu yang berasal dari satu keturunan.
Rumah tongkonan terbentuk berdasarkan dari hubungan
kekerabatan atau keturunan. Hal ini berawal dari sepasang suami istri yang
membangun rumah sendiri atau bersama anak dan cucunya. Rumah itu
kemudian menjadi tongkonan dari semua orang yang berada dalam garis
keturunan suami-istri tersebut. Oleh karena itu, tongkonan tidak dapat di
miliki secara individu, melainkan diwariskan secara turun-temurun oleh
marga suku Toraja. Sehingga marga atau rumpun keluarga ini merasa perlu
membangun rumah yang merupakan simbol kesatuan rumpun tersebut dan
rumah itu disebut “Tongkonan”. Adanya hubungan tongkonan, masyarakat
Toraja dapat dengan mudah menelusuri atau mengetahui garis
keturunannya dan tidak menutup kemungkinan seseorang berasal lebih
dari satu tongkonan. Hal ini disebabkan oleh adanya pertalian kekerabatan
dalam bentuk pernikahan antara dua tongkonan. Tongkonan merupakan
9
pusat kepemimpinan di bidang kemasyarakatan dan keagamaan. (Weni
Rahayu 2017 :12-13).
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, Tongkonan menjadi sumber
rujukan dan penyelesaian masalah bagi keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Berbagai pertanyaan dan informasi masalah sosial, budaya,
dan keagamaan dapat diperoleh di sana. Segala konflik dan perselisihan
juga dapat diselesaikan. Hal ini sesuai dengan filosofi peletakan tangga
masuk Tongkonan yang berada di sisi kiri. Masyarakat dengan berbagai
pertanyaan dan permasalahannya memasuki tongkonan dari sisi kiri.
Setelah di dalam tongkonan, mereka dapat menanyakan permasalahannya
kepada pimpinan tongkonan. Pihak-pihak yang berselisih pun dapat
mencari penyelesaiannya dengan berdiskusi di dalam tongkonan. Setelah
ditemukan jawaban dan penyelesaian masalahnya, mereka keluar dari sisi
kanan. Jadi, orang memasuki tongkonan dengan berbagai masalah, begitu
keluar ia sudah menemukan solusinya (Weni Rahayu 2017 :14).
1) Konsep Arsitektur Rumah Adat Tongkonan
Rumah Tongkonan merupakan salah satu rumah adat yang
berarsitektur vernakural. Ditinjau dari bahan bangunan setempat atau lokal
untuk semua konstruksi bagunan yaitu kayu dan bambu, atap alang-alang
dan daun kelapa yang menunjukan kealamiannya. Dapat juga dilihat dari
jumlah susunan tanduk kerbau yang ditempatkan atau dipasang pada tiang
penunjang atap (tolak somba) hingga dekorasi yang berunsur alam (Artha
2013:101). Arsitektur vernakular ini merupakan arsitektur yang tumbuh dan
10
mulai berkembang, berangkat dari arsitektur rakyat yang lahir dari
masyarakat etnik dan sangat kuat pada tradisi etnik. Arsitektur vernakular
ini dibangun oleh pekerja-pekerja yang hanya berdasarkan pada
pengalaman dengan menggunakan teknik dan bahan lokal. Hal ini yang
menjadi alasan mendasar masyarakat untuk menetapkan tempat bangunan
tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya perubahan.
2) Fungsi Tongkonan Pada Masa Lampau
Fungsi utama rumah adat Tongkonan yang sering dijadikan sebagai
tempat berkumpulnya para raja dan bangsawan. Bila diilustrasikan, maka
tongkonan di masa lalu fungsinya hampir sama seperti sebuah balai di
masa kini. Para raja dan bangsawan terdahulu memang sering
mengadakan berbagai pertemuan baik resmi maupun tak resmi di rumah
ini. Tak heran bila rumah tongkonan sarat akan makna bagi para penduduk
Tana Toraja karena menjadi tempat penting hadirnya keputusan-keputusan
besar.
Kemudian seiring berjalannya waktu Tongkonan diartikan
masyarakat menjadi tempat duduk bersama. Bersama yang dimaksudkan
adalah satu rumpun keluarga yang diikat oleh suatu ikatan satu keturunan
atau merasa berasal dari satu keluarga sehingga rumpun keluarga ini
merasa perlu membangun rumah yang merupakan simbol kesatuan
rumpun tersebut dan rumah itu disebut “Tongkonan” Rumah ini adalah
rumah keluarga Toraja yang diwariskan turun-temurun. Tongkonan memiliki
makna yang penting bagi keluarga Toraja. Tak heran bila rumah Tongkonan
11
tak bisa dimiliki secara perorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun
antara anggota keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Tongkonan tidak hanya sebagai tempat hunian semata tapi juga
mengandung fungsi dan makna yang bersumber dari filosofi orang Toraja .
Menurut Pakan (2018:4), Fungsi Tongkonan bagi orang Toraja sebagai
tempat rumpun keluarga dalam melaksanakan upacara-upacara yang
berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem
kemasyarakatan dan lainnya. Selain itu, tongkonan juga berfungsi sebagai
tempat membicarakan dan memutuskan aturan-aturan dalam masyarakat
yang mengatur hubungan interaksi sosial, juga sebagai pusat pembinaan
tentang gotong royong, tolong menolong dan lainnya.
Menurut Moh Arfah dkk (1977:23), peranan/ fungsi Tongkonan
dalam perkembangannya dikenal beberapa tingkatan , diantaranya adalah
a. Tongkonan Layuk (maha tinggi, agung) adalah rumah adat Toraja,
yang memiliki fungsi dan kedudukan sebagai tempat
mencipta/merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku bagi
masyarakat.
b. Tongkonan Pakaindoran /Pakamberan adalah rumah yang
merupakan tempat melaksanakan pemerintahan, aturan-aturan
dari masing-masing daerah adat. Dalam menjalankan
pemerintahan, mereka berpedoman pada falsafah hidup orang
Toraja, yaitu tata cara Ada’ Apa’ Sulapa (Falsafah hidup
berdasarkan empati).
12
c. Tongkonan Batu A’riri (tiang batu) adalah tongkonan yang tidak
mempunyai peranan dan fungsi adat, tetapi hanya sebagai rumah
pertalian keluarga. Fungsi rumah tersebut sebagai tempat
menyelesaikan masalah yang timbul dalam kalangan anggota
keluarga.Tongkonan Batu A’riri
d. Tongkonan Pa’rapuan atau Banua Pa’ Rapuan adalah rumah
perikatan keluarga rendahan, yang sebenarnya fungsinya sama
dengan Batu A’ riri yaitu sebagai tempat menyelesaikan masalah
yang timbul dalam kalangan anggota keluarga. Fungsi Tongkonan
dalam pembinaan keluarga tidak saja menyelesaikan pertikaian
dalam kalangan anggota keluarga, tetapi juga dalam hal ada
keluarga yang meninggal dunia, maka pelaksanaan upacaranya
diselesaikan dalam Tongkonan. Tongkonan juga berfungsi dalam
pembinaan kekerabatan dan gotong royong..
3) Ciri Khas Rumah Tongkonan
Sebagaimana rumah adat daerah lain, tongkonan juga memiliki
keunikan. Berikut ini beberapa ciri khas tongkonan dalam Weni Rahayu
(2017:14)
1. Rumah Panggung
Tongkonan merupakan rumah panggung yang berbentuk persegi
panjang. Bahan utamanya terbuat dari lembaran papan dan batang kayu.
Jenis kayu yang digunakan adalah kayu uru yang merupakan tanaman lokal
dari Sulawesi. Kayu uru memiliki kualitas yang sangat baik. Meskipun tidak
13
di pernis atau di plitur, kayu uru dapat bertahan hingga ratusan tahun.
Bagian bawah rumah panggung dimanfaatkan sebagai kandang kerbau.
2. Atap Seperti Perahu
Atap rumah tongkonan berbentuk melengkung seperti perahu
dengan kedua ujung atap menjulang. Sekilas bentuknya mirip dengan
rumah adat bolon dari Sumatera Utara. Bahan atapnya adalah tumpukan
bilah bambu yang bagian atasnya dilapisi rumbia, alang-alang, ijuk, atau
seng. Bahkan ada juga tongkonan tua yang atapnya terbuat dari batu
(banua dipapa batu). Konon, hal ini merupakan sebuah pengingat terhadap
leluhur masyarakat Toraja yang merupakan pelaut ulung. Tongkonan selalu
dibuat menghadap ke utara. Bentuk kapal itu untuk mengenang nenek
moyang mereka yang datang dari utara dengan menggunakan kapal. Ketika
nanti meninggal mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di
utara.
3. Tanduk Kerbau
Pada tiang utama (tulak somba) di bagian depan terdapat rangkaian
tanduk kerbau. Tanduk-tanduk kepala kerbau disusun berjajar dari atas ke
bawah.Tanduk kerbau ini jumlahnya tidak sama pada setiap tongkonan.
Kerbau di Tana Toraja dianggap sebagai lambang kelimpahan dan
kemakmuran. Makin banyak tanduk kerbau di depan tongkonan, berarti
keluarga itu berkedudukan tinggi atau makmur. Tanduk kerbau tersebut
berasal dari pengorbanan saat upacara penguburan anggota keluarga.
Jumlah tanduk kerbau melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik
14
rumah. Hal itu juga menunjukkan tingginya derajat keluarga yang mendiami
rumah tersebut. Semakin banyak tanduk yang terpasang, semakin tinggi
pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan.
4. Patung Kepala Kerbau
Di bagian depan atas rumah terdapat patung kepala kerbau
(kabongo’). Ada tiga jenis patung kepala kerbau, yaitu warna hitam, putih,
dan belang. Untuk pemilik rumah yang dituakan, ada tambahan patung
kepala ayam atau naga.
5. Rahang Kerbau dan Babi
Pada bagian kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang
rahang kerbau yang pernah disembelih. Sementara itu, pada bagian kanan
yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
6. Berpasangan dengan Alang Sura’
Tongkonan merupakan rangkaian bangunan yang terdiri atas banua
sura’ (rumah yang diukir/rumah utama) dan alang sura’ (lumbung yang
diukir). Keduanya dianggap sebagai pasangan suami-istri. Kadang-kadang
dilengkapi dengan lumbung yang tidak berukir (lemba) dan rumah
panggung dengan ruangan yang lebih luas. Banua dan alang berperan
sebagai pengganti orang tua. Banua melambangkan seorang ibu yang
melindungi anak-anaknya. Sementara itu, alang melambangkan peran
ayah yang menjadi tulang punggung keluarga. Letak deretan banua dan
alang saling berhadapan.
15
Alang berfungsi untuk menyimpan padi yang masih ada tangkainya.
Tiang-tiangnya terbuat dari kayu palem (bangah) yang licin. Dengan
demikian, tikus tidak dapat masuk ke dalamnya. Pada bagian depan atas
bangunan terdapat ukiran ayam dan matahari (pa’bare’ allo) yang
merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara. Di antara banua dan
alang terdapat halaman memanjang yang disebut ulu ba’ba. Halaman ini
biasanya dimanfaatkan untuk tempat bekerja, menjemur padi, tempat
bermain anak anak, serta menjadi “ruang pengikat” dan penyatu dalam
kompleks. Selain itu, halaman tersebut juga menjadi tempat
melangsungkan kegiatan ritual dalam upacara kematian atau pemakaman
jenazah.
7. Menghadap ke Utara
Rumah tongkonan selalu dibangun menghadap utara yang
dihubungkan dengan arah sang pencipta, yaitu Puang Matua. Arah selatan
dihubungkan dengan nenek moyang dan dunia kemudian atau puya. Arah
timur dihubungkan dengan kedewaan (deata). Sementara itu, arah barat
dikenal sebagai nenek moyang yang didewakan. Banua tongkonan dan
alang biasanya dibangun secara bertahap. Pembangunannya memiliki
selisih waktu yang cukup lama. Jumlahnya menunjukkan tingkat sosial-
ekonomi dari keluarga pemiliknya. Letak banua tongkonan tertua berada di
ujung barat atau arah matahari tenggelam. Diikuti banua tongkonan
berikutnya secara berturut-turut ke arah timur atau arah matahari terbit.
16
8. Ornamen Ukiran Dinding
Tongkonan yang terbuat dari kayu dipenuhi dengan hiasan ukiran.
Banyak sekali motif ukiran yang dibuat oleh suku Toraja. Setiap ukiran
memiliki nama khusus. Motif ukiran ada bermacam-macam, seperti hewan,
tumbuhan, bentuk geometri, benda di langit, cerita rakyat, dan lain-lain. J.S.
Sande menemukan setidaknya ada 67 motif ukiran Toraja. Ukiran Ukiran
tersebut mengandung makna dan nilai-nilai kehidupan yang berhubungan
erat dengan falsafah hidup orang Toraja. Di antaranya nasihat agar
menjalani hidup dengan baik dan benar, selalu bekerja keras, saling
menghargai, selalu menjaga persatuan dan kekeluargaan serta ketakwaan
kepada Tuhan. Berikut ini beberapa jenis ukiran Toraja beserta maknanya.
1) Pa’tedong
Pa’tedong berasal dari kata tedong yang berarti kerbau. Bentuknya
seperti bagian muka seekor kerbau. Ukiran ini melambangkan
kesejahteraan bagi masyarakat Toraja.
2) Pa’ Barre Allo
Pa’ barre allo berasal dari kata barre (terbit/bulat) dan allo (matahari).
Bentuknya seperti bulatan matahari. Ukiran ini melambangkan
kepercayaan bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di
dunia berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa) dan pemilik
Tongkonan berkedudukan paling tinggi dan mulia.
17
3) Pa’Manuk Londong
Pa’Manuk Londong berasal dari kata manuk (ayam) dan londong
(jantan). Ukiran yang berupa ayam jantan ini melam bangkan
kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya, pemahaman dan
intuisinya tepat, dan selalu berkata benar.
4) Pa’kapu’ Baka
Pa’kapu Baka berbentuk seperti simpulan-simpulan penutup bakul
yang sering digunakan orang Toraja sebagai tempat menyimpan harta
benda. Ukiran ini melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, pemilik
rumah mempunyai kepemimpinan yang sulit ditiru orang lain dan pandai
menjaga rahasia keluarga.
5) Pa’ Ulu Karua
Pa’ ulu karua berasal dari kata ulu (kepala) dan karua (delapan).
Ukiran ini melambangkan harapan agar di dalam tongkonan muncul
anggota keluarga yang berilmu tinggi sehingga berguna bagi keluarga dan
masyarakat.
6) Pa’ Ulu Gayang
Pa’ ulu gayang berasal dari kata ulu (kepala) dan gayang (keris
emas). Bentuk ukirannya menyerupai kepala keris emas. Ukiran ini
melambangkan laki-laki bangsawan yang mulia, kaya, dan bijaksana.
7) Pa’ Bombo Uai
18
Bentuk ukiran seperti anggang-anggang yang dapat meniti air
dengan sangat cepat. Ukiran ini bermakna bahwa manusia harus memiliki
cukup kemampuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya.
8) Ne’ Limbongan
Limbongan adalah sumber mata air yang tidak pernah kering
sehingga dianggap sebagai sumber kehidupan. Bentuk ukiran seperti aliran
air yang memutar dengan panah di keempat arah mata angin. Ukiran ini
melambangkan rezeki yang datang dari empat penjuru mata angin yang
bersatu di dalam danau dan memberi kebahagiaan.
9) Pa’ara’ Dena’ I
Bentuk ukiran seperti bulu pada burung pipit yang dianggap sebagai
hewan perusak tanaman padi. Ukiran ini bermakna agar manusia
menempuh kehidupan dengan sikap dan pendirian yang jujur.
10) Pa’kangkung
Bentuknya seperti pucuk pada daun kangkung. Ukiran ini bermakna
agar manusia dapat berguna bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Dalam semua ukiran yang terdapat di tongkonan, terdapat empat warna
dasar yang dominan, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih.). Warna hitam
merupakan simbol kematian dan kegelapan. Warna kuning melambangkan
anugerah dan kekuasaan Ilahi. Warna merah adalah simbol kehidupan
manusia. Sementara warna putih berarti suci. Warna-warna yang
digunakan berasal dari alam.
19
B. Struktural Fungsional
Kebudayaan dalam perspektif structural fungsional adalah
keterkaitan antara subsistem kebudayaan yang menghasilkan sesuatu lain.
Misalnya, keterkaitan struktural sosial dengan kebudayaan pada suatu
masyarakat tertentu. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan
diwariskan secara biologis dan unsur-unsur kebudayaan sebagai sesuatu
keseluruhan yang terjadi (Wahyudin 2017:113).
Menurut Keesing (1981:208) mengatakan bahwa baik pola perilaku
maupun sistem konseptual mempunyai “struktur”, dalam artian tidak kacau
balau atau sembarangan. Menurut Keesing, adanya struktural ini
memberikan tinjauan perspektif terhadap antropologi. Dari struktur yang
ada, pengelolaan terhadap pengetahuan mengenai cara manusia dan
keanekaragaman manusia dapat ditinjau lebih dalam.
Konsep pokok dalam struktur fungsional adalah gagasan tentang
fungsi itu sendiri. Pengertian fungsi merujuk kepada manfaat budaya bagi
sesuatu, seperti fungsi budaya dapat mempersatukan masyarakat.
Fungsionalisme akan terkait dengan sifat dasar budaya manusia.
Kehidupan budaya tidak jauh beda dengan organisme hidup. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup, manusia membutuhkan organisasi yang
menciptakan budaya tertentu. Organisasi tersebut sering disebut interaksi.
Dalam aspek fungsional, adapun keterkaitannya dengan antropologi
berhubungan dengan pengembangan konsep struktural dan fungsional.
Konsep struktural dan fungsional adalah dua konsep yang di dalamnya
20
terjadi hubungan timbal-balik (Feedback) dari antara keduanya. Teori
fungsional jika dilihat dari aspek kebudayaan telah dijelaskan oleh
Malinowski dalam sejarah teori antropologi oleh koentjaraningrat
mengatakan bahwa fungsi unsur-unsur kebudayaan melalui segala
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya Koentjaraningrat (1982:171).
Menurut Malinowski agar dapat memahami latar dan fungsi dari
aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep
tersebut dirumuskan ke dalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek
kebudayaan, yakni :
1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya
terhadap aspek lainnya.
2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi
secara fungsional.
4. Esensi atau inti dari kegiatan /aktivitas tersebut tak lain adalah
berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian
mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala
kegiatan/aktivitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
21
Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan
kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini
berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan
tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Menurut Radcliffe Brown, masyarakat sebagai sebuah struktur sosial
terdiri atas jaringan hubungan sosial yang kompleks antara anggota-
anggotanya. Satu hubungan sosial antara dua orang anggota tertentu pada
suatu waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak dipandang sebagai satu
hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan
hubungan sosial yang lebih luas, yang melibatkan keseluruhan anggota
masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus dilihat sebagai
bagian dari satu struktur sosial.
C. Dinamika Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu
kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat harus senantiasa
memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para
anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin
kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan
motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan
melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup.
22
Mengenai implikasi dinamika kebudayaan dalam masyarakat,
menurut Linton (1984:195) Masyarakat dan kebudayaan saling
ketergantungan satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu
kesatuan fungsional tanpa kebudayaan, demikian sebaliknya. Atas dasar
hubungan fungsional inilah maka dalam masyarakat tercipta Esprit de corps
dan para anggotanya dapat hidup dan bekerjasama dalam segala aspek
kehidupan.
Sementara menurut Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor yang
dikutip dalam Horton & Chester (1996:58) mengatakan bahwa kebudayaan
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan lain
yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat; maka tingkat
perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat
dengan masyarakat yang lain.
Lain halnya dengan pendapat Susanto (1983:57) mengatakan
bahwa banyak penyebab perubahan dalam masyarakat ilmu pengetahuan
(mental manusia) penyebaran unsur-unsur kebudayaan (difusi) melalui
kemajuan teknologi serta penggunaannya oleh masyarakat, komunikasi
dan transportasi, urbanisasi, atau peningkatan harapan dan tuntutan
manusia. Semua ini mempengaruhi dan mempunyai akibat dalam
masyarakat, yaitu perubahan masyarakat melalui kejutan karenanya
terjadilah perubahan masyarakat yang biasa disebut rapid social change.
23
D. Teori Perubahan Sosial Dan Kebudayaan
Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami
perubahan. Perubahan kebudayaan pada dasarnya terjadi karena adanya
modifikasi dalam perangkat-perangkat ide yang disetujui secara sosial oleh
warga masyarakat yang mendukungnya. Perubahan kebudayaan juga
dapat disebabkan oleh adanya gejala-gejala lingkungan yang dihadapi
manusia cenderung cepat berubah, akan tetapi karena kebudayaan itu
adalah pedoman/desain menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang
bersangkutan, maka sebenarnya kebudayaan itu bersifat tradisional.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi pada isi, struktur ataupun konfigurasi
cara-cara hidup tertentu, tetapi juga dapat terjadi pada bentuk, fungsi atau
nilai-nilai dari unsur-unsur terkecil ataupun yang lebih besar atau juga
pranata-pranatanya (Suparlan 1986:116).
Lain halnya menurut pendapat Hartanto dalam Alimuddin (2012:12)
bahwa pengaruh nilai dan pandangan terhadap sistem kepercayaan suatu
masyarakat sangat berpengaruh pada kebudayaannya. Pengaruh ini
masuk kedalam norma-norma, gagasan-gagasan sebagai kultural sistem,
pola aktivitas masyarakat, dan benda-benda hasil karya masyarakat
tersebut sebagai material kulturyang termasuk dalam mengatur lingkungan
fisik (arsitektur). Begitu pun pendapat Pelras dalam Alimuddin (2012: 20) ia
berpendapat bahwa agama merupakan unsur penting yang menentukan
suatu identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu, dengan diterimanya
agama kristen sebagai agama baru bagi masyarakat Toraja. Hal ini menjadi
24
suatu peristiwa yang sangat penting karena menjadi peristiwa berubahnya
kepercayaan masyarakat Toraja dari Aluk Todolo menjadi beragama
Kristen.
Menurut Haviland (1993 : 251) menjelaskan mengenai salah satu
penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat
menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan
lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun
sosial. Berbeda dengan menurut Soekanto (2009:262-263) menjelaskan
bahwa faktor-faktor penyebab perubahan/dinamika dibagi menjadi dua
golongan besar, sebagai berikut :
A. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam masyarakat
sendiri, antara lain sebagai berikut :
1). Bertambahnya atau berkurangnya penduduk
Pertumbuhan penduduk yang cepat dapat menyebabkan perubahan
dalam struktur masyarakat seperti munculnya kelas sosial yang baru dan
profesi yang baru. Selain itu pertambahan jumlah penduduk juga
mengakibatkan bertambahnya kebutuhan- kebutuhan seperti sandang,
pangan, dan papan. Padahal sumber sumber pemenuhan kebutuhan tidak
seimbang, sehingga akan timbul masalah sosial seperti pengangguran,
kemiskinan, kriminalitas, dan lain-lain. Kondisi ini akan mengubah pola
interaksi dan meningkatnya mobilitas sosial. Selain itu, berkurangnya
penduduk yang diakibatkan oleh migrasi dan urbanisasi akan
25
mengakibatkan kekosongan dalam pembagian kerja dan jumlah angkatan
kerja, sehingga akan memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan.
2). Adanya penemuan baru (discovery)
Penemuan baru dalam masyarakat di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial.
3) Pertentangan (konflik) masyarakat
Dalam interaksi sosial di masyarakat yang heterogen dan dinamis,
pertentangan-pertentangan (konflik) mungkin saja terjadi baik antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan
kelompok. Apalagi pada masyarakat yang berkembang dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern akan selalu terjadi pertentangan,
misalnya golongan muda yang ingin mengadopsi budaya asing, golongan
tua yang tetap mempertahankan tradisi lama. Konflik ini akan menimbulkan
perubahan nilai-nilai, pola perilaku dan interaksi yang baru di masyarakat
tersebut.
4) Terjadinya pemberontakan (revolusi)
Revolusi adalah perubahan yang sangat cepat dan mendasar yang
dilakukan oleh individu atau kelompok. Revolusi akan berpengaruh besar
pada struktur masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pengaruh tersebut mulai dari lembaga negara sampai keluarga yaitu
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Contohnya revolusi
industri di Inggris, revolusi Perancis, revolusi fisik tahun 1945 di Indonesia.
26
B. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat,
antara lain berikut ini:
1). Lingkungan alam fisik
Salah satu faktor penyebab perubahan yang bersumber dari
lingkungan alam seperti terjadinya bencana alam banjir, longsor, gempa
bumi, kebakaran hutan, dan sebagainya. Di daerah yang terkena banjir
menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar daerah tersebut terpaksa
harus mencari tempat tinggal baru, sehingga mereka harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan pada lembaga masyarakat.
2). Peperangan
Peperangan antara negara satu dengan negara yang lain kadang
bisa menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik pada lembaga
kemasyarakatan maupun struktur masyarakatnya. Biasanya negara yang
menang memaksakan nilai-nilai, cara-cara, dan lembaga yang dianutnya
kepada negara yang kalah. Contohnya rakyat Indonesia saat kalah
melawan Belanda. Belanda memaksakan penerapan sistem pemerintahan
kolonial menggantikan sistem pemerintahan kerajaan yang dianut sebagian
besar daerah-daerah di Indonesia. Hal itu berakibat terjadinya perubahan-
perubahan pada struktur lembaga kemasyarakatan.
27
3) Pengaruh kebudayaan lain
Di era globalisasi ini tidak ada satupun negara yang mampu menutup
dirinya dari interaksi dengan bangsa lain. Interaksi yang dilakukan antara
dua negara mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh lain
kadang juga bisa menerima pengaruh dari masyarakat lain.
Menurut Poerwanto (2000 : 143) sebab umum terjadinya perubahan
kebudayaan lebih banyak dari adanya ketidakpuasan masyarakat,
sehingga masyarakat berusaha mengadakan penyesuaian. Penyebab
perubahan bisa saja bersumber dari dalam masyarakat, dari luar
masyarakat atau karena faktor lingkungan alam sekitarnya. Faktor
perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain adalah :
1. Faktor demografi; yaitu bertambah atau berkurangnya jumlah
penduduk. Sebagai gambaran pertambahan penduduk yang sangat
cepat di pulau Jawa menyebabkan perubahan struktur
kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan lembaga-
lembaga kemasyarakatan seperti pemahaman terhadap hak atas
tanah, sistem gadai tanah, dan sewa tanah yang sebelumnya tidak
dikenal secara luas. Perpindahan penduduk atau migrasi
menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah,
sehingga banyak lahan yang tidak terurus dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan akan terpengaruh. Pengaruh akibat migrasi yang
akan terlihat secara langsung adalah dalam sistem pembagian kerja
dan stratifikasi sosial.
28
2. Penemuan baru; proses perubahan yang besar pengaruhnya tetapi
terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut sebagai
inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, masuknya
unsur kebudayaan baru yang tersebar ke berbagai bagian
masyarakat. Penemuan baru dibedakan dalam dua pengertian, yaitu
Discovery dan invention.
Discovery adalah penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang
baru, baik berupa suatu alat ataupun berupa ide-ide baru yang diciptakan
oleh seseorang atau bisa juga merupakan rangkaian ciptaan dari individu-
individu dalam suatu masyarakat. Discovery baru akan menjadi invention
bila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan
baru yang ada. Penemuan-penemuan baru dapat tercipta bila ada kondisi
yang menjadi stimulus, seperti :
a. Kesadaran dari individu akan adanya kekurangan dalam
kebudayaan mereka.
b. Kualitas ahli-ahli dalam satu kebudayaan yang terus mencari
pembaharuan.