SKRIPSI (BAB I-V)

download SKRIPSI (BAB I-V)

of 153

Transcript of SKRIPSI (BAB I-V)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Penanggulangan bencana merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Seringkali bencana hanya ditanggapi secara parsial oleh pemerintah. Bahkan bencana hanya ditanggapi dengan pendekatan tanggap darurat (emergency response). Kurang adanya kebijakan pemerintah yang integral dan kurangnya koordinasi antar elemen dianggap sebagai beberapa penyebab yang memungkinkan hal itu dapat terjadi. Realitas tersebut bisa dilihat dalam penanggulangan erupsi Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Meski erupsi Merapi sudah berakhir tahun lalu, namun janji-janji yang menyertai selama penanganan kasus tersebut sampai saat ini belum juga terwujud. Kondisi ini membuat para korban jengah dan merasa hanya jadi korban janji-janji pemerintah. Puncak dari kemarahan tersebut ditandai dengan ratusan warga dari Kecamatan Cangkringan yang mendatangi kantor Bupati Sleman untuk meluapkan segala kekesalan dalam bentuk orasi yang muaranya adalah meminta pertanggungjawaban pemerintah1. Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan penanggulangan

bencana meliputi fokus rekontruksi dan rehabilitasi dari pasca bencana. Jaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan

1

Dilansir dalam Harian Surat Kabar Republika, Selasa 1 Maret 2011

1

sesuai dengan standar pelayanan harus segera diupayakan, hal ini untuk mengantisipasi korban yang lebih banyak. Pemulihan kondisi dari dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran dan belanja negara yang memadai dan siap pakai dalam rekontruksi dan rehabilitasi seharusnya menjadi jaminan bagi korban bencana. Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Dimensi baru dari rangkaian peraturan tersebut adalah (1) Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan pro aktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi; (2) Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para

2

pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi; (3) Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana2. Provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana secara nasional harus dipastikan berjalan efektif, efisien dan berkelanjutan. Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan terkait dengan penanggulangan bencana di daerah. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dalam bagian dua tentang Badan Penanggulangan Bencana Daerah pasal 19 ayat 1 menyatakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terdiri atas unsur: a) Pengarah penanggulangan bencana; b) pelaksana penanggulangan bencana. Pada pasal 20 dijelaskan tentang fungsi dari BPBD yaitu: a) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat, tepat, efektif dan efisien; b)

2

Sulis Setyawan, Ironisme Penanganan Bencana di Indonesia, Rimanews.com, diakses pada tanggal 10 Februari 2011

3

Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan bencana secara terpadu, terencana dan menyeluruh. Pasal 21 dijelaskan tentang tugas dari BPBD antara lain: a) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan badan nasional penanggulangan bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan merata; b) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan; c) Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana; d) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; e) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya; f) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; g) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang; h) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja daerah; serta i) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbicara tentang wilayah rawan bencana di Indonesia, Kabupaten Majalengka merupakan wilayah yang berpotensi terjadi bencana alam yang ditetapkan dalam tiga wilayah pengembangan bencana Selatan, Tengah, dan Utara3. Pertama, wilayah Selatan yang meliputi Kecamatan Maja, Talaga, Bantarujeg, Cikijing dan sekitarnya secara geografis merupakan dataran tinggi dan pegunungan dengan lokasi yang terjal dan berbukit-bukit dengan ketinggian

3

Hasil wawancara dengan Bapak Iyus Kepala Bagian Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Majalengka, pada tanggal 20 Januari 2011.

4

400-1000 meter dpl, setiap tahunnya daerah ini sering mengalami bencana tanah longsor, terutama pada waktu musim penghujan. Kedua, wilayah Tengah yang meliputi Kecamatan Majalengka Wetan, Majalengka Kulon, Cigasong, Sukahaji, Rajagaluh dan sekitarnya merupakan daerah dataran sedang dengan ketinggian 100-400 meter dpl yang merupakan daerah rawan angin puting beliung. Ketiga, wilayah pengembangan bencana daerah utara dengan ketinggian 20-100 meter dpl yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Jatitujuh, Jatiwangi, Ligung dan sekitarnya merupakan wilayah yang rawan bencana tanah longsor, kekeringan dan banjir karena secara struktur tanah, wilayah ini berada di dataran rendah dan dekat dengan sungai-sungai besar sehingga memungkinkan terjadi luapan air sungai dan erosi tanah di daerah sekitarnya. Angka kejadian bencana alam di Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 per Agustus telah terjadi 104 kejadian (longsor 44 kali, angin puting beliung 15 kali, kebakaran 18 kali, sambaran petir 4 kali, banjir 10 kali, dan tanggul jebol 1 kali). Sedangkan untuk korban jiwa (luka ringan 7 orang, luka berat 4 orang, dan meninggal 1 orang) dengan resistensi kerusakan rumah (63 KK rusak ringan, 51 KK rusak sedang, dan 82 KK rusak berat). Bulan Januari terjadi 20 kali kejadian (longsor 9 kali, puting beliung 8 kali, kebakaran 1 kali, sambaran petir 1 kali, banjir 1 kali dengan korban luka 1 orang, luka berat 1 orang dan korban tewas 1 orang). Bulan Februari terjadi 19 kali kejadian (longsor 14 kali, tanggul jebol 1 kali, kebakaran 1 kali, banjir 3 kali, dengan korban luka 1 orang). Bulan Maret terjadi 16 kali kejadian (longsor 5 kali, puting beliung 2 kali, kebakaran 4 kali, sambaran petir 3 kali, banjir 2 kali, dengan korban tewas 1 orang dan luka ringan

5

2 orang). April terjadi 12 kali kejadian (longsor 6 kali, puting beliung 4 kali, kebakaran 2 kali). Mei terjadi 18 kali kejadian (longsor 8 kali, banjir 4 kali, pohon tumbang 1 kali, kebakaran 5 kali, dengan korban ringan 3 orang, dan koraban berat 3 orang). Bulan Juni dan Juli stabil hanya terjadi kebakaran 2 kali, 1 kali angin puting beliung, sementara Agustus terjadi 4 kali kejadian (2 kali kebakaran dan 2 kali longsor)4. Tingginya angka kejadian bencana alam di Majalengka menguatkan Kabupaten Majalengka membentuk dan mendirikan Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) selain empat kabupaten di Jawa Barat (Tasikmalaya, Sukabumi, Kuningan, dan Ciamis). Di satu sisi Kabupaten Majalengka adalah kabupaten yang luas wilayahnya relatif kecil dibandingkan dengan kabupatenkabupaten di daerah Jawa Barat lainnya, namun kerentanan terhadap bencana alam yang terjadi menjadi perhatian yang tidak bisa di hindarkan. Letak geografis Kabupaten Majalengka yang berada dalam sebuah patahan lempeng IndoAustralia, dengan variasi wilayah dataran tinggi yang terletak di bawah kaki Gunung Ciremai, dataran sedang, dan dataran rendah mengakibatkan bencana alam yang terjadi sangat bervariasi. Dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana di daerah, pemerintah membentuk BPBD sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dan Perka BNPB Nomor 3 Tahun 2008. BPBD di Kabupaten Majalengka didirikan sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang secara resmi berdiri sejak tanggal 44

Hasil wawancara dengan Kepala Pelaksana BPBD Ibu Suratih Puspa, SH, MM, M.Si, pada tanggal 21 Januari 2011, sekaligus dilansir dalam Surat Kabar Lokal Radar Majalengka pada tanggal 6 November 2010.

6

Januari 2009. Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagai organisasi perangkat daerah dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bencana5. Inisiatif pemerintah daerah membentuk BPBD menjadi konsentrasi yang menarik, terutama dalam aspek penanggulangan bencana sebelum dan sesudah dibentuknya BPBD. Didirikannya BPBD setidaknya menjadi bukti bahwa Kabupaten Majalengka serius dalam penanganan bencana alam dan menjadi daerah yang sadar akan bencana. Keseriusan tersebut tidak bisa di definisikan dengan didirikannya BPBD. Perlu dicermati adalah bagaimana peran pemerintah daerah bersama stakeholder serius dan konsekuen untuk bersinergis dalam

penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Kebijakan dan strategi dalam penanggulangan bencana, kerentanan dampak bencana, status bencana dan efektifitas kegiatan penanggulangan bencana di daerah menjadi issue yang menarik untuk dikaji dalam mengukur peran pemerintah daerah Kabupaten Majalengka serius atau dalam penanggulangan bencana alam. Sosialisasi penanggulangan bencana harus di upayakan secara integral kepada seluruh elemen pemerintah daerah, non pemerintah dan masyarakat karena sangat dibutuhkan dalam mereduksi manajemen penanggulangan bencana yang efektif, efisien, dan berkelanjutan. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terpadu dan menyeluruh menjadi perhatian khusus dalam pola dan manajemen penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Peraturan perundang-

5

Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah BAB I Ketentuan Umum, pasal 20.

7

undangan maupun kebijakan penanggulangan bencana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat seharusnya bisa diaplikasikan dan dijalankan oleh pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana di daerahnya sebagaimana yang di amanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Fungsi koordinasi dan komando dalam strategi dan teknis penanggulangan bencana, baik bersifat sektoral maupun terpusat masih menjadi dilema yang menjadi perhatian khusus terhadap fungsi-fungsi lembaga yang saling berbenturan. Ego sektoral dan lembaga dalam penanggulangan bencana, baik di tataran pusat maupun daerah masih di upayakan untuk membentuk sebuah pola sinergitas dan keterpaduan sehingga tidak ada fungsi lembaga, dinas setingkat yang berbenturan dalam penanggulangan bencana. Sinergi pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini. Latar belakang tersebut menjadi daya tarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam peran pemerintah daerah dan stakeholder dalam upaya penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Pada akhirnya penelitian ini diharapkan menjadi landasan dan evaluasi terhadap peningkatan kapasitas, sinergitas dan peran pemerintah daerah Kabupaten Majalengka dalam penanggulangan bencana alam.

8

1.2.

Rumusan Masalah Dalam mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus.

Spradley menyatakan bahwa A focused refer to a single cultural domain or a few related domains maksudnya adalah fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan). Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial, tetapi juga ada keinginan untuk menghasilkan hipotesis atau ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti (Sugiyono 2010:208-209). Penelitian ini di fokuskan pada peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Aspek yang akan diteliti adalah peran dan sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Sehingga unit analisis yang akan ditelit lebih fokus pada aktor-aktor yang terlibat dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka pada tahun 2010? 2. Bagaimanakah sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka?

9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 dan mengkonstruksi model sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka?

1.3.2. Manfaat Penelitian 1.3.2.1. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi perkembangan Ilmu Politik khususnya mengenai kajian birokrasi dan politik dalam penanggulangan bencana daerah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan serta tambahan alternatif untuk penelitian selanjutnya yang sejenis. 1.3.2.2. Manfaat Praktis Memberikan informasi, kontribusi, dan masukan kepada para pengamat politik, birokrasi, praktisi, lembaga daerah, pemerintah daerah serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan bencana.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang birokrasi dan politik dalam penanggulangan bencana, sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan berbagai sub aspek dan fokus penelitian yang berbeda diantaranya adalah:

2.1.1. Manajemen Pemerintah Dalam Penanganan Bencana Birokratisasi Penyaluran Dana Rekonstruksi Penelitian ini ditulis oleh Bagas Megantoro pada tahun 2006. Dalam penelitiannya dijelaskan tentang sistem birokrasi penyaluran dana rekonstruksi yang berkelumit dan tersentralisasi. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakefektifan dan ketidakefisiensian dalam penanganan bencana gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Dipaparkan pula mengenai solusi penyelesaian terkait dengan birokratisasi yang sentralistis dirubah menjadi desentralistis, agar penyaluran dana rekontruksi tidak harus berkelumit pada tahapan-tahapan birokrasi tanpa adanya realisasi kepada korban bencana, dan tidak menjadikan adanya egosentris dan saling menyalahkan antar lembaga dalam penyaluran dana tersebut.

11

2.1.2. Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi Kemunduran Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Penelitian ini ditulis oleh Agus Suryono pada tahun 2005. Agus Suryono berbicara tentang birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang ke arah parkinsonian, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi orwellian yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efisien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

2.1.3. Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi) Penelitian yang ditulis oleh Adi Suhendi pada tahun 2009 dalam ringkasan evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penelitian ini membahas penetapan status bencana (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) serta penyorotan terhadap kelembagaan setingkat menteri yaitu badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) dalam alur komando ketika terjadi bencana belum terlaksana secara efektif. Dikarenakan BNPB punya

12

kecenderungan untuk berbenturan dengan fungsi-fungsi kementerian-kementerian teknis lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana. Mekanisme koordinasi antara BNPB dengan BPBD cenderung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat daerah akan lebih patuh terhadap kepala daerah. Pada kesimpulannya sistem penanggulangan dan koordinasi antar lembaga pusat dan daerah tidak berjalan dengan efektif karena sebuah benturan pelaksanaan teknis yang sama. Penelitian-penelitian terdahulu ini menginspirasi untuk melakukan sebuah penelitian yang berkesinambungan, salah satunya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan menyoroti peran dan sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana. Tentunya ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Untuk melihat pembanding dan komparasi dengan penelitian terdahulu dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

13

Tabel 1. Matriks Analisis Penelitian TerdahuluNo 1. Peneliti Bagas Megantoro Judul Penelitian Manajemen Pemerintah Dalam Penanganan Bencana Birokratisasi Penyaluran Dana Rekonstruksi Tahun 2006 Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi Kemunduran Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Tahun 2005 Tujuan Penelitian Mengetahui sejauh mana manajemen penyaluran dana rekonstruksi dalam peanggulangan bencana Metode Kualitatif Studi Kasus Hasil Manajemen pemerintah dalam penanganan [pasca] bencana perlu diperbaiki. salah satu sumber permasalahan tersebut adalah lamanya dan rumitnya pencairan dana rekonstruksi korban bencana dan diperlukan perbaikan dan pembetulan dalam sistem birokrasi Indonesia Merubah persepsi dan paradigma tentang birokrasi Unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus all together yang sinergi dengan adanya standar minimal pelayanan publik dan adanya mekanisme pengawasan sosial terhadap birokrat Persamaan dan Perbedaan Penelitian Persamaan Menyoroti sinergisitas lembaga dalam penanggulangan bencana Perbedaan Peneliti lebih menyoroti pada peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana, sedangkan penelitian Bagas Megantoro lebih membahas mengenai sinergi penyaluran dana rekonstruksi antar lembaga pusat-daerah dalam penanggulangan bencana. Peneliti lebih menekankan pada aspek birokrasi (institusi atau lembaga daerah) dalam konteks penanganan dan pelayanan penangulangan bencana sedangkan penelitian Agus Suryono memfokuskan pada aspek dan pengkrirtisan terhadap birokrasi yang mengarah ke arah parkinsonian dan orwelian sehingga birokrasi menjadi tidak efektif dan efisien dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Peneliti lebih memfokuskan pada peran dan sinergitas stakeholder , sementara penelitian Adi Suhendi lebih memfokuskan pada sinergitas di tataran pusat dan implikasi nya terhadap sinergi dengan daerah dan berbicara tentang aturan dalam pasal-pasal UU No. 24 tahun 2007.

2.

Agus Suryono

Memahami pentingnya manajemen birokrasi profesional

Studi Pustaka

Mencari keefektifan dan sinergitas dalam tubuh birokrasi

3.

Adi Suhendi

Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi Tahun 2009 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Majalengka Tahun 2011

Melakukan review tentang sistem penanggulangan bencana nasional dan menellaah efektifitas PB di tingkst daerah-pusat Mengetahui sejauh mana peran dan sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka

Studi Pustaka

Kelembagaan penanggulangan bencana harus dapat bertindak lintas sektor dan lintas wilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan efektif

Fokus pada aspek sinergitas lembaga dalam penanggulangan bencana

4.

Asep Deni Jatnika

Kualitatif Studi Kasus -

14

2.2. Kerangka Teori Penelitian ini memfokuskan pada peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Sesuai dengan fokus penelitian, maka diperlukan beberapa teori pendukung untuk mempermudah dalam proses penelitian. Beberapa landasan teori yang mendukung dalam penelitian yang akan peneliti lakukan adalah teori dan konsep tentang peran pemerintah daerah dan manajemen kebencanaa (Disaster Management). Berikut penjelasan mengenai teori dan konsep yang menjadi landasan teori dan kerangka berfikir dalam penelitian ini.

2.2.1. Peran Pemerintah Daerah Peran memiliki arti serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Pengharapan yang terdapat dalam peran merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peran. Konsep peran sangat diperlukan untuk mengetahui dan memahami keselarasan atau integrasi antar tujuan dan misi yang ingin dicapai (Nogi 2005: 266). Peran-peran diajarkan melalui sosialisasi dan interaksi. Seseorang harus belajar mengetahui peran yang dijalankannya serta peran yang dijalankan orang lain melalui sebuah interaksi dan sosialisasi. Adanya interaksi dalam masyarakat akan menciptakan hubungan antar peran-peran individu dalam masyarakat. Seseorang menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajibannya dari statusnya (Sunarto 2000: 54). Pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

15

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah6. Dengan demikian peran pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam bentuk cara bertindak baik dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Majalengka merupakan rangkaian permasalahan yang perlu dicarikan solusi dan alternatif untuk menyelesaikannya, tentunya hal tersebut membutuhkan peran-peran dari pemerintah daerah dan stakeholder di dalamnya. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issue atau suatu rencana7. Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issue, stakeholder dapat diketegorikan kedalam tiga kelompok. Pertama, stakeholder primer (utama) yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, proyek, dan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan (masyarakat dan pihak manajer publik:6

Abdi Projo, Pengertian Tentang Pemerintah Daerah, http//www.bloger.com, diakses pada tanggal 10 Februari 2010 http//www.wikipedia.com, Pemangku Kepentingan, diakses pada tanggal 10 Februari 2010.

7

16

lembaga/badan yang bertanggungjawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan). Kedua, stakeholder sekunder (pendukung) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah (LSM, Perguruan Tinggi, Badan Usaha, dan lembaga pemerintah yang terkait dengan issue tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan). Ketiga, stakeholder kunci yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif, dan instansi8. Pemerintah daerah sebagai stakeholder kunci, bersama stakeholder lainnya mempunyai peran penting dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Partisipasi aktif dari berbagai elemen untuk menciptakan sebuah manajemen penanggulangan bencana merupakan aspek integral yang sangat penting sehingga dampak resiko bencana bisa ditanggulangi secara terpadu dan menyeluruh. Keberlangsungan pelayanan, strategi, operasi penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab lembaga dan dinas-dinas terkait sebagai stakeholder pemerintah daerah yang berperan sebagai agen utama dalam melaksanakan penaggulangan bencana. Tentunya keberlangsungan operasi dari pemerintah sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu aparatur pemerintah, organisasi birokrasi, dan

8

Ibid

17

prosedur tata laksananya. Oleh karena itu, apabila operasionalisasi suatu kebijakan ingin dapat berjalan secara optimal dan sebagaimana mestinya perlu dilakukan sosialisasi dan pemberdayaan terhadap aparatur pemerintahan agar prosedur ketatalaksanaan dan bentuk organisasi birokrasinya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dari misi yang akan dicapai9. Dalam mengoperasionalkan kebijakan manajemen aset di kabupaten/kota diperlukan peran pemerintah daerah kabupaten/kota. Persepsi atau pemahaman dari pelaksana haruslah sesuai dengan maksud, tujuan, dan sasaran dari kebijakan tersebut, dengan demikian setiap pelaksanan harus mengerti benar tentang konsep persepsi sebagai langkah awal dari motivasi yang akan mewarnai cara bertindak. Agen administrasi pemerintah daerah yang ditujukan menjalankan fungsifungsi dan tujuan lembaga adalah birokrasi. Namun sejarah dan realita yang sekarang menggejala dalam tubuh birokrasi memiliki beberapa kecenderungan, seperti yang dijelaskan Kartasasmita dalam Suryono (2002: 3), pada dasarnya birokrasi lebih mengutamakan kepentingan sendiri (selfserving), mempertahankan status quo dan resisten terhadap perubahan serta memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik, tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi alergi ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat

9

Op Cit

18

tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi politik terdiri atas orang-orang yang berperilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Sebagaimana perkembangan dari segi perilaku birokrasi maka ada sebuah perkembangan peran antara politisi dan birokrasi seperti dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel 2. Perkembangan Peran Politisi-BirokratIMAGE Kebijakan/ Administrasi Fakta/ Kepentingan POLITISI Membuat kebijakan Kepentingan/Nilai Kepekaan politik Pertanggungjawaban pada konstituen Artikulasi secara luas Ideologis, partisan, idealistik Energik BIROKRAT Melaksanakan kebijakan Fakta/pengetahuan Keahlian Kemanjuran Artikulasi kepada klien Hati-hati, terpusat, pragmatis Memberi keseimbangan Sama (karakteristik berbaur) EKSPRESI Hirarki otoritas Supremasi politik Partisipan Rasionalitas vs Rasionalitas Administrasi Partisipan Birokrat cenderung politis

Energi/ Equilibrium

Hibrida Murni (Perkawinan Murni)

Sama (karakteristik berbaur)

Mempolitisaasi birokrasi dan membirokrasikan politik

Sumber: Solahuddin Kusumannegara, Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik, Gava Media (2010:58)

Secara mendasar birokrasi sangat erat kaitannya dalam pembuatan sebuah kebijakan dan sebagai agen administrasi yang paling bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan. Begitu halnya dengan peran birokrasi pemerintah daerah

19

dan stakeholder di dalamnya mempunyai peran dalam urusan pemerintahan guna menunjang kemakmuran, keamanan, dan kesejahteraan masyarakatnya di Kabupaten Majalengka. Sehingga tidak ada sebuah hirarki antara birokrat dengan masyarakat dan tidak adanya politisasi dalam sebuah birokrasi. Birokrasi harus menjalankan peran dan tugasnya sebagaimana yang telah diamanahkan dalam sebuah peraturan formal, demi terpenuhinya layanan publik yang efektif dan efisien. Berbicara tentang birokrasi, street-level bureaucrats (birokrasi tingkat pelaksana) merupakan pegawai pemerintah yang memberikan layanan masyarakat secara langsung kepada warga, dan memiliki kebijaksanaan substansial dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Guru, polisi, penegak hukum, pegawai kesehatan, pegawai kantor jaminan sosial adalah beberapa contoh dari tingkat birokrat pelaksana. Street-level bureaucrats adalah lembaga layanan publik yang mempekerjakan sejumlah besar tingkat birokrat pelaksana (Lipsky 1980: 3). Peran penting dari street-level bureaucrats sebagai pembuat kebijakan, yang mendirikan kerangka kerja untuk mendukung pesan fundamental. Meskipun dianggap sebagai tingkat karyawan rendah, sebenarnya mereka adalah orangorang yang secara langsung berinteraksi dengan dan menyediakan layanan publik kepada warga negara dalam proses pekerjaan. Street-level bureaucrats menyebabkan kontroversi, karena mereka harus setuju dengan setiap perubahan kebijakan. Alasan street-level bureaucrats sebagai fokus dari kontroversi umum adalah pada aspek interaksi dengan warga negara yang sering menyebabkan

20

benturan

diantara

keduanya.

Kebijaksanaan

mengantarkan

street-level

bureaucrats paling sering menjadi dilema pribadi. (Lipsky 1980: 8-10). Wong dalam Lipsky (2005: 27-28) kondisi kerja, pola praktek dan masa depan tingkat birokrasi jalan, dalam artikel keduanya menyatakan bahwa street level bureaucrats menghadapi dilema antara mendapatkan pada fokus kerja dan memenuhi tujuan organisasi. Penulis menjelaskan apa yang terjadi pada titik dimana kebijakan diterjemahkan dalam praktek, dan bagaimana para pegawai pelayanan publik berperilaku di bawah kondisi dan konteks pekerjaan mereka. Kondisi kerja street-level bureaucrats telah dikategorikan sebagai berikut: 1) Sumber daya tidak memadai relatif kronis dengan tugas pekerja yang dilakukan. 2) Permintaan untuk layanan cenderung meningkat untuk memenuhi pasokan. 3) Tujuan harapan bagi lembaga di mana mereka bekerja cenderung ambigu, kabur atau bertentangan. 4) Kinerja berorientasi pada pencapaian tujuan cenderung sulit dan mustahil untuk di ukur. Dalam rangka reformasi dan merekonstruksi street-level bureaucrats, akuntabilitas, sinergitas dengan arus kebijakan menjadi perhatian utama sebagai landasan untuk memperbaiki situasi tersebut dengan klien dan membantu streetlevel bureaucrats menjadi lebih efektif sebagai pendukung perubahan. Tentunya perubahan pelayanan publik harus di dukung dengan kebijakan yang lebih relevan dan memungkinkan segala pekerjaan dan layanan publik bisa dilaksanakan dengan baik.

21

Dalam merealisasikan kriteria ini pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi profesional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented). Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keanekaragaman kepentingan dan tujuan. Birokrasi dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka tentunya diharapkan cepat tanggap. Apalagi ketika ada sebuah institusi yang profesional dalam penanggulangan bencana yaitu BPBD. Manajemen birokrasi profesional ini sangat relevan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, khususnya lebih menyoroti pada aspek peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka. Kesan pelayanan aparatur pemerintahan selalu lamban dan tidak cepat tanggap. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri khususnya dalam hal pelayanan publik.

2.2.2. Manajemen Kebencanaan (Disaster Management) Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

22

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dibagi ke dalam tiga kategori diantaranya: 1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 2) Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. 3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Penanggulangan bencana merupakan proses integral yang satu sama lain sangat bergantung dalam

23

sebuah manajemen penanggulangan bencana yang terpadu dan menyeluruh meliputi10: 1) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 2) Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. 3) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. 4) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana. Prinsipnya penanggulangan bencana merupakan proses cepat, tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, kemitraan, pemberdayaan, non

10

Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, BAB I pasal 2

24

diskriminatif dan berdaya guna. Ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, mendorong semangat gotong royong dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat11. Tidak semua bencana alam menimbulkan resiko bencana. Apabila suatu peristiwa yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang rentan, maka daerah tersebut beresiko terjadi bencana. Jadi resiko dipengaruhi oleh faktor-faktor bahaya (hazards), kerentanan (vulnerability). Dalam hal ini faktor kapasitas dapat dianggap sebagai bagaian dari faktor kerentanan, yang dapat mengurangi kerentanan bila kapasitas daerah tersebut tinggi. Sebaliknya apabila kapasitas daerah rendah maka akan meningkatkan faktor kerentanannya12.

Gambar 1. Model Hubungan Antara Resiko Bencana, Kerentanan dan Bahaya

Sumber: Tinjauan umum manajemen bencana. UNDP program pelatihan manajemen bencana edisi ke-2 tahun 1992

11 12

Ibid Dilansir dalam jurnal Imam A Sadisun, Peran dan Fungsi Standard Operational Procedure dalam Mitigasi dan Peanganan Bencana di Jawa Barat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung 2-3 Desember 2004.

25

Pendekatan proaktif dalam pengurangan resiko bencana merupakan salah satu bagian terpenting dalam mitigasi bencana, yang pada akhirnya ditujukan untuk mengurangi tingkat resiko bencana. Kegiatan mitigasi bencana hendaknya menjadi kegiatan rutin dan berkelanjutan. Hal ini berarti kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali datang tidak terduga dari waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari perkiraan semula. Pemerintah hendaknya proaktif untuk memberikan berbagai arahan yang tepat dan berkesinambungan dalam menghadapi peristiwa atau bencana atau dengan kata lain bisa beradaptasi dengan resiko potensi bencana. Perlu diperhatikan bahwa untuk setiap arahan yang ada hendaknya menjaga kesederhanaan sistem dan prosedur. Kletz mengemukakan bahwa organizations have no memory: only people have memories and they move on13. Dengan kesederhanaan sistem dan prosedur, diharapkan masyarakat bisa memahami dengan baik, terutama bagi masyarakat yang terkena bencana, sehingga pada saat kejadian bencana dan dalam kondisi darurat, diharapkan mereka mampu menaggapinya serta mereka mampu melakukan proses pemulihan darurat secara mandiri. Inilah yang sebenarnya merupakan salah satu pengembangan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan bencana, yang berbasis pada kemampuan pada masyarakat itu sendiri dan bertumpu kepada kemampuan sumberdaya setempat (community ased disaster management).

13 Kletz (1993) Lesson from disaster: how organiations have no memory and accident recur. Institution of Chemical Engineers: Rugby, England

26

Masyarakat yang menghadapi bencana adalah yang menjadi korban dan dan harus menghadapi kondisi akibat bencana. Oleh karena itu, masyarakat harus membuat perencanaan untuk persiapan dalam menghadapi bencana. Selama ini, tindakan dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan bersama antara pemerintah daerah dengan organisasiorganisasi yang terkait dan masyarakat yang tertimpa bencana. Pada saat menghadapi bencana, masyarakat yang belum mampu untuk menanganinya sendiri harus menunggu bantuan yang kadang-kadang tidak segera datang. Perlu disadari bahwa detik-detik pertama pada saat bencana terjadi adalah saat yang sangat penting dalam usaha mengurangi dampak bencana yang lebih besar. Selain untuk keperluan mitigasi, kajian resiko untuk bahaya dari berbagai jenis potensi bahaya alam lebih lanjut dapat juga digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan rencana operasi darurat atau emergency operation plan (EOP), atau dalam bentuk SOP yang terjangkau (achievable/workable), sederhana dan tepat (appropriate). Pada dasarnya EOP dan SOP merupakan kerangka dasar dalam rencana tanggap darurat yang terkoordinasi dan efektif, karena didalamnya telah mendefinisikan peranan dan tanggungjawab seluruh stakeholder seperti pemerintah, organisasi swasta, sukarelawan, dan badan-badan lain yang terdapat di dalam sustu negara14. Dalam hal ini termasuk perencanaan kegiatan sebelum kejadian bencana dan kesiapsiagaan, perencanaan organisasi, dan kehumasan untuk mengatur aliran informasi, atau dengan kata lain bahwa dalam SOP

14

Ibid

27

diperlukan perencanaan terintegrasi, manajemen, dan pendekatan kesiapsiagaan terkait potensi bencana yang ada. Gambar 2. Peran Berbagai Stakeholder Dalam Penanggulangan Bencana

Sumber: Dilansir dalam jurnal Imam A Sadisun, Peran dan Fungsi Standard Operational Procedure dalam Mitigasi dan Penanganan Bencana di Jawa Barat Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung 2-3 Desember 2004.

SOP yang efektif akan mencakup berbagai bentuk variasi koordinasi dan cara pengambilan keputusan. Koordinasi sangat penting dilakukan dimana berbagai pihak umumnya akan terlibat dalam penanganan bencana. Selain itu SOP haruslah SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Relevant and Time Bound) dengan ketentuan dasar antara lain meliputi15: 1) Mendefinisikan berbagai aktifitas apa saja yang ahrus dilakukan dalam kondisi darurat. 2) Menetapkan tolak ukur untuk menilai suatu pencapaian aktivitas. 3) Menyusun antisipasi faktor-faktor yang paling beresiko dan usaha-usaha menguranginya apabila mungkin.

15 Sadisun, Manajemen bencana: Strategi hidup di wilayah potensi bencana. Key note speaker pada lokakarya Kepedulian Terhadap Kebencanaan Geologi dan Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung 2-3 Desember 2004,.

28

4) Membangun jaringan dalam melakukan pertolongan darurat, termasuk di antaranya jaringan informasi. 5) Membuat jadwal dengan cermat dan sistematis keseluruhan kegiatan yang diperlukan selama kondisi darurat.

2.3. Kerangka Berpikir Secara geologis letak wilayah Indonesia yang dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah Barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah Timur menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan terjadi bencana. Bencana alam yang sering terjadi di wilayah Indonesia antara lain banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi dan tanah longsor serta angin puting beliung. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Mulai dari persiapan peralatan untuk mendeteksi terjadinya bencana. Permasalahan rendahnya kualitas pelayanan sistem dan penanganan bencana di daerah merupakan potret buram sistem dan sinergitas antar lembaga yang menaunginya. Dengan adanya otonomi daerah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan

pemerintahan atau rumah tangganya sendiri dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Salah satunya adalah dalam usaha penanganan bencana. Akan tetapi daerah kurang dapat menyelenggarakan hal tersebut dengan baik karena kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah sangat terbatas.

29

Sorotan

khusus

adalah

bagaimana

birokrasi

pemerintah

bisa

mengupayakan sebuah kontruksi dan sinergitas di tataran birokrasi dalam penanggulangan bencana alam. Lembaga pemerintah yang mempunyai peran dan tanggungjawab dalam penanggulangan bencana harus bisa memposisikan sebagai fasilitator dalam upaya sinergitas dengan lembaga lain, agar tidak terjadi sebuah ego lembaga dalam penanganan bencana, sehingga terjadi sebuah efektifitas mekanisme kerja. Dengan demikian mau tidak mau pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengembangkan pola sinergisitas penanggulangan bencana guna menunjang peningkatan kualitas dan akuntabilitas lembaga. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah di Kabupaten Majalengka dalam penanggulangan bencana alam. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah: Gambar 3. Kerangka BerfikirUU No 24/2007 Penanggulangan Bencana dan Perka BNPB No 3/2008 Pedoman Pembentukan BPBD Bencana alam di Kabupaten Majalengka Pemerintah Daerah Kab. Majalengka (OPD) Organisasi Perangkat Daerah

Studi Kasus

Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Majalengka

Peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka

Perda Kabupaten MajalengkaNo 10/2009 Organisai Perangkat Daerah

(BPBD) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab. Majalengka

30

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah. Denzin dan Lincoln (1987) dalam Moleong (2005:4) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Misalnya perilaku informan, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik di Sekretaris Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (DBMCK), Kecamatan Jatitujuh, Forum Peduli Bencana Abrasi Sungai Cimanuk (FPBAC), dan masyarakat sekitar dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Karena menggunakan metode penelitian kualitatif, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-positivist, khususnya critical theory. Paradigma nion positivist pada intinya merupakan paradigma yang mementingkan pencarian makna dari setiap tindakan sosial aktor. Hal yang sangat penting menurut paradigma ini adalah interpretasi. Paradigma ini menekankan bahwa apa yang disebut laws atau generalisasi (yang

31

bersifat kausal) tidak selamanya diperlukan untuk memahami gejala sosial. Dengan demikian, setiap tindakan (actions) termasuk bahasa mempunyai makna simbolik yang tinggi dan harus dipahami dengan sebaik-baiknya16. Dalam penelitan ini, peneliti mencoba untuk melihat fenomena yang terjadi di Kabupaten Majalengka khususnya dalam pola penanggulangan bencana alam, memfokuskan pada peran pemerintah daerah dan mengkontruksi sinergi stakeholder dalam proses penanggulangan bencana. Dalam penelitian kualitatif metode pengumpulan data yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Begitu juga dengan metode dalam pengumpulan data, peneliti akan menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi, karena metode tersebut dibutuhkan sesuai dengan tema yang akan dibahas untuk memilih informan maka membutuhkan metode tersebut dalam pengumpulan data agar lebih valid. Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Moleong (2005: 4) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagaian dari sesuatu yang utuh.

Solahuddin Kusumanegara dan Sofa Marwah, Hand Out Mata Kuliah Metodologi Ilmu Politik (Purwokerto: Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedriman, 2006), hal 22-23.

16

32

3.2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata, seperti siklus kehidupan seseorang, proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial, hubungan-hubungan internasional, dan kematangan industri-industri. Secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how dan why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang unutk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2002: 1-4). Aspek yang akan menjadi fokus penelitian adalah mengenai peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah dalam penanggulangan bencan alam di Kabupaten Majalengka, sehingga membutuhkan metode studi kasus untuk menganalisisnya karena hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisir, baik mencakup keseluruahn siklus kasusnya atau pun segmen-segmen tertentu saja. Studi kasus cenderung untuk meneliti jumlah unit yang kecil tetapi mengenai variabelvariabel dan kondisi-kondisi yang besar jumlahnya (Suryabrata, 2003: 80-81). Oleh karena itu, pendekatan studi kasus sangat tepat digunakan dalam penelitian ini.

33

3.3. Lokasi Penelitian Penelitian dengan judul Peran Pemerintah Daerah Dalam

Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Majalengka mengambil lokasi di Kecamatan Jatitujuh Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Lokasi selanjutnya adalah di instansi-instansi pemerintah daerah Kabupaten Majalengka yaitu Sekretaris Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Komisi C, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (DBMCK) dan Kantor Kecamatan Jatitujuh.

3.4. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah Sekretaris Daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Komisi C yang membidangi tentang kebencanaan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (DBMCK), Dinas Kesehatan, Kepala Kecamatan Jatitujuh, Forum Peduli Bencana Abrasi Sungai Cimanuk (FPBAC), dan masyarakat di lokasi bencana.

3.5. Teknik Pemilihan Informan Teknik pemilihan informan yang digunkan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya

34

orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek dan situasi sosial yang diteliti (Sugiyono 2008: 50). Dengan demikian pemilihan informan tidak berdasarkan kuantitas, tetapi kualitas dari informan terhadap masalah yang akan diteliti. Dalam pelaksanaan di lapangan guna pengumpulan data, pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti di dalam memperoleh data. Jadi yang menjadi kepedulian bagi peneliti kualitatif adalah tuntasnya perolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan banyaknya sampel sumber data (Sugiyono 2008:57).

3.6. Teknik Pengumpulan Data 3.6.1. Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Wawancara dapat dilakuakan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakuakn melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon (Sugiyono 2010: 137-138). Teknik ini dimaksudkan agar peneliti mampu

35

mengeksplorasi data dari informan yang bersifat nilai, makna, dan pemahaman yang tidak mungkin dilakukan dengan teknik survai. Wawancara bisa mengambil beberapa bentuk, yang paling umum, wawancara studi kasus bertipe open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai suatu peristiwa. Pada beberapa situasi peneliti bahkan bisa meminta informan untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Tipe wawancara yang kedua adalah wawancara yang terfokus, dimana informan diwawancarai dalam waktu yang pendek. Dalam kasus ini, wawancara tersebut bisa tetap open-ended dan mengasumsikan cara percakapan namun pewawancara tidak perlu mengikuti serangkaian pertanyaan tertentu yang diturunkan dari protokol studi kasusnya. Tipe wawancara yang ketiga memerlukan pertanyaanpertanyaan yang lebih terstruktur, sejalan dengan survai (Yin, 2002: 108-110).

3.6.2. Observasi Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiyono (2010: 145) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantaranya yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi

36

tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain. Teknik pengunpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamatai terlalu besar. Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menajdi participant observation (observasi berperan serta) dan non participant observation, selanjutnya dari segi instrumentasi yang digunakan dapat dibedakan menjadi observasi terstruktur dan tidak terstruktur (Sugiyono 2010: 145). Dalam proses pelaksanaan pengumpulan data, peneliti menggunakan metode non participant observation, kemudian untuk memudahkan pengumpulan data maka peneliti memilih instrumen observasi secara terstruktur agar mempermudah dalam penyusunan sub-sub penelitian guna menunjang laporan hasil penelitian.

3.6.3. Rekaman Arsip Rekaman arsip seringkali dalam bentuk komputerisasi seperti peta dan bagan karakteristik geografis suatu tempat, daftar nama dan komoditi lain yang relevan, data survai, data rekaman atau data sensus yang terkumpul, rekaman keorganisasin seperti bagan dan anggaran organisasi periode tertentu. Rekamanrekaman arsip ini dapat digunakan bersama-sama dengan sumber informasi lain dalam pelaksanaan studi kasus. Namun demikian, tidak seperti bukti dokumenter, kegunaan rekaman arsip akan bervariasi pada satu studi kasus lainnnya. Pada beberapa penelitian, rekaman tersebut begitu penting sehingga bisa mejadi obyek perolehan kembali dan data analisis yang luas. Pada penelitian-penelitian lainnya

37

rekaman arsip mungkin hanya sepintas relevansinya. Bilamana bukti arsip relevan, peneliti harus berhati-hati untuk menentukan kondisi yang menghasilkan bukti yang bersangkutan beserta keakuratannya (Yin, 2002: 106-107). Teknik pengumpulan data dengan rekaman arsip ini akan dilakukan oleh peneliti karena pada dasarnya rekaman arsip merupakan sumber data yang memiliki peran sebagi sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Rekaman arsip yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2009, Majalengka Dalam Angka Tahun 2009 (Data BPS Kabupaten Majalengka), Presentasi Sosialisasi Penanggulangan Bencana dari DBMCK, Harian Republika yang dimuat pada hari Selasa 01 Maret 2011, Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka, Proyeksi Peta Rawan Bencana Kabupaten Majalengka, Hand Out tentang kebijakan dan manajemen

penanggulangan bencana oleh BPBD Kabupaten Majalengka, hasil wawancara dengan informan dan bukti dokumentasi pada saat penelitian.

3.7. Sumber Data 3.7.1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan dan merupakan sumber data yang memiliki keterkaitan langsung dengan masalah yang dibahas. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan intensif. Untuk

38

mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka peneliti menggunakan purposive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah Yati Sumiati dan R. Yuarlina dari Sekretaris Daerah, A. Syihabuddin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Komisi C, Iwan Tundjiawan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Heri Purbadhi, Hardi, Idit Ruhadi, M. Agus Slamet dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dedi Supriyadi dan Asikin dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Ida Heriyani dari Dinas Kesehatan, Indrayono dari Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (DBMCK), Kardia dari Kantor Kecamatan

Jatitujuh, Syarifudin Rahmat dari Forum Peduli Bencana Abrasi Sungai Cimanuk (FPBAC), dan Karsa selaku korban abrasi Sungai Cimanuk. 3.7.2. Data Sekunder Data yang diperoleh dari buku-buku, dokumentasi, arsip, media massa, serta berbagai sumber lainnya yang mendukung penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2009, Majalengka Dalam Angka Tahun 2009 (Data BPS Kabupaten Majalengka), Presentasi Sosialisasi Penanggulangan Bencana dari DBMCK, Harian Republika yang dimuat pada hari Selasa 01 Maret 2011, Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka, Proyeksi Peta Rawan Bencana Kabupaten Majalengka, Hand Out tentang kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana oleh BPBD

39

Kabupaten Majalengka, hasil wawancara dengan informan dan bukti dokumentasi pada saat penelitian. 3.8. Analisis Data Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan bahwa Data analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcripts, fieldnotes, and other materials that you accumulate to increase your own understanding of them and to enable you to present what you have discovered to others Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahanbahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain (Sugiyono 2008: 88). Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa katifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data) dan conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan).

40

3.8.1

Reduksi Data Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu

maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Sehingga reduksi data memerlukan proses berfikir sensitif dan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi (Sugiyono 2010: 247-249). 3.8.2 Penyajian Data Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya serta penyajian data dalam penelitian adalah dengan sistematis melalui gambaran atau skema. Penyajian data dapat diartikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3.8.3. Penarikan Kesimpulan Proses mengartikan atau penarikan segala hal yang ditemui selama penelitian yang dilakukan secara terus menerus. Kesimpulan yang dihasilkan harus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung. Berikut gambaran model analisis interaktif Miles dan Huberman.

41

Gambar 4. Model Analisis Interaktif Miles dan HubermanData collection Data Display

Data reduction

Conclusions: drawing/verfying

Sumber: Diadaptasi dari Miles dan Huberman (1992: 20)

3.9 Validitas Data Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Validitas data dibagi menjadi dua yaitu validitas internal dan eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai, sedangkan validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasi atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut di ambil (Sugiyono 2010: 267). Untuk penelitian ini akan menggunakan validitas data internal karena lebih menekankan pada akurasi desain penelitian dengan hasil yang akan dicapai bukan menggeneralisasikan pada sebuah sampel. Validitas data ini akan mengeksplor objektifitas dan kesesuaian desain penelitian yaitu peran dan sinergi stakeholder pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam di

42

Kabupaten Majalengka yang nantinya akan tercipta sebuah laporan hasil penelitian yang tepat dan obyektif. Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the suffiency of the data accoding to the convergence of multiple data sources or multiple data collection procedures (Wiliam Wiersma, 1986). Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan waktu (Sugiyono 2010: 273). Patton (1987: 331) dalam Moelong (2005: 33) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan: 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang berlainan. 5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi sesuatu dokumen yang berkaitan.

43

Triangulasi data digunakan oleh peneliti karena berkaitan dengan teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Dengan triangulasi sumber data-data yang diperoleh benar-benar dapat teruji keabsahannya.

3.10. Jadwal Penelitian Tabel 3. Jadwal Penelitian BULAN KE NO 1. 2. KEGIATAN Penyusunan Proposal Menyusun instrument dan 1 X 2 X X 3 4 5

revisi proposal 3. Memasuki lapangan, grand X

tour dan minitour question, anlisis domain 4. Pengumpulan data primer dan sekunder 5. 6. Pengolahan dan analisis data Membuat draft laporan X X X X X

penelitian dan diskusi draft laporan 7. Penyempurnaan Laporan dan Seminar Hasil X X

44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Deskripsi lokasi penelitian merupakan hal yang penting untuk dituangkan dalam sebuah laporan penelitian. Pembahasan mengenai deskripsi lokasi penelitian bertujuan untuk memahami kondisi wilayah yang ditempati oleh suatu masyarakat, sehingga dapat diketahui pola geografis dan sosial suatu masyarakat. Gambaran umum Kabupaten Majalengka akan dijelaskan dalam hasil penelitian. 4.1.1. Letak dan Keadaan Geografis Secara geografis Kabupaten Majalengka terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat yaitu Sebelah Barat antara 1080 03 1080 19 Bujur Timur, Sebelah Timur 1080 12 1080 25 Bujur Timur, Sebelah Utara antara 60 36 60 58 Lintang Selatan dan Sebelah Selatan 60 43 70 03 Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayahnya : Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan.

45

Gambar Gamba 5. Peta Kabupaten Majalengka

Sumber: Majalengka Dalam Angka 2009

Luas Wilayah Kabupaten Majalengka adalah 1.204,24 Km berarti Km2, Kabupaten Majalengka hanya sekitar 2,71 % dari luas Wilayah Propinsi Jawa Barat (yaitu kurang lebih 44.357,00 Km2) dengan ketinggian tempat antara 19 857 m diatas permukaan laut. Dilihat dari topografinya Kabupaten Majalengka dapat dibagi dalam tiga zona daerah, yaitu : m

46

1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-857 m di atas permukaan laut dengan luas 482,02 Km2 atau 40,03 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Majalengka. 2) Daerah Bergelombang/berbukit dengan ketinggian 50-500 m diatas

permukaan laut dengan luas 376,53 Km2 atau 31,27 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Majalengka. 3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian 19-50 m diatas permukaan laut dengan luas 345,69 Km2 atau 28,70 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Majalengka.

Tabel 4. Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Kabupaten MajalengkaLUAS DAERAH (KM) 78,64 111,56 43,54 37,03 43,50 41,98 60,56 65,21 24,17 57,00 56,49 34,37 LUAS DAERAH (KM) 31,76 32,46 38,69 40,03 55,41 22,98 21,86 138,36 73,66 62,25 32,73 1.204,24

NO

KECAMATAN

NO

KECAMATAN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Lemahsugih Bantarujeg Cikijing Cingambul Talaga Banjaran Argapura Maja Cigasong Majalengka Sukahaji Rajagaluh

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

Sindangwangi Leuwimunding Palasah Jatiwangi Dawuan Panyingkiran Kadipaten Kertajati Jatitujuh Ligung Sumberjaya

Kabupaten Majalengka

Sumber: Registrasi BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2005

47

Tabel 5. Letak Geografis Kabupaten Majalengka Dirinci Per Kecamatan

Sumber: Badan Koordinasi Survei Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dalam Buku Pedoman Majalengka Dalam Angka Tahun 2010

4.1.2. Keadaan Cuaca di Kabupaten Majalengka 4.1.2.1. Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jarak dari pantai. Pada tahun 2009 suhu udara di Kabupaten Majalengka rata-rata berkisar antara 25,9 derajat C sampai 29,3 derajat C. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober yaitu 35,9 derajat C, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli dengan suhu sebesar 22,2 derajat C.

48

Tabel 6. Keadaan Cuaca di Kabupaten Majalengka

Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Jatiwangi 2009

4.1.2.2. Curah hujan dan Keadaan Angin Curah hujan disuatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, geografis dan perputaran atau pertemuan arus udara. Curah hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Pebruari 2009 yang mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26, sedangkan kemarau terjadi pada bulan Agustus & September. Kecepatan angin di wilayah Kabupaten Majalengka rata-rata berkisar antara 3 knot sampai 5 knot dan kecepatan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 28 knot. Faktor lain yang mempengaruhi hujan dan arah/kecepatan angin

49

adalah perbedaan tekanan udara. Jarak dari Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten berkisar antara 0-37 Km, Kecamatan Lemahsugih merupakan daerah terjauh dari Ibukota Kabupaten. Sedangkan jarak dari Ibukota Kabupaten Majalengka ke Kabupaten-kabupaten di Seluruh Jawa Barat berkisar antara 46 239 Km.

Tabel 7. Arah dan Kecepatan Angin di Kabupaten Majalengka

Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Jatiwangi 2009

4.1.3. Kependudukan Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan. Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk dan tidak meratanya penyebaran penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 50

jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan 606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,82 % bila dibandingkan jumlah penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan sex ratio 99.02 %. Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah 1.002 Jiwa/Km2, kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.096 Jiwa/Km2 dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Kertajati dengan kepadatan 333 Jiwa/Km2.

Grafik 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka Berdasarkan Kecamatan

Sumber: Majalengka dalam angka tahun 2010

Grafik 2. Jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka 10 Tahun Terakhir Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: Majalengka dalam angka tahun 2010

51

Tabel 8. Jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka

Sumber: Susenas 2009

4.1.4. Ketenagakerjaan Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut peningkatan penyediaan lapangan kerja. Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka sebanyak 13.417 Orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang laki-laki.

52

4.1.5. Transmigrasi Salah satu masalah kependudukan yang dihadapi di Indonesia adalah tidak meratanya penyebaran penduduk, upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan dengan program transmigrasi. Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka yang diberangkatkan transmigrasi pada tahun 2009 berjumlah 15 Kepala Keluarga atau 60 jiwa. Kecamatan Lemahsugih merupakan kecamatan terbanyak dalam hal jumlah pemberangkatan transmigran. Bila dilihat dari daerah tujuan transmigran dari Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah Propinsi Kalimantan Timur yaitu tepatnya di Maloy, Kutai Timur.

4.1.6. Pendidikan Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan disuatu daerah adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, maka melalui jalur pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk melalui berbagai program. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan bidang pendidikan adalah tingkat buta huruf artinya dengan rendahnya tingkat buta huruf menunjukan keberhasilan program pengentasan buta huruf dan untuk mencapai program tersebut harus didukung oleh sarana pendidikan yang memadai. Di Kabupaten Majalengka sarana pendidikan yang tersedia meliputi sekolah yang kurang dari 5 (lima) tahun/MD, SD, SLTP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi.

53

4.1.7. Kesehatan dan Keluarga Berencana Pembangunan bidang kesehatan meliputi seluruh siklus atau tahapan kehidupan manusia. Bila pembangunan kesehatan berhasil dengan baik maka secara langsung atau tidak langsung akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka peningkatan SDM penduduk Kabupaten Majalengka, karena itu program-program kesehatan telah dimulai atau diprioritaskan pada calon generasi penerus. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik, yang akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Dan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat antara lain dilakukan dengan penambahan tenaga para medis.

4.1.8. Pemerintahan Secara Administratif pada akhir tahun 2009 Kabupaten Majalengka terdiri dari 26 Kecamatan dan 334 Desa. Dari 334 desa tersebut 321 berstatus desa dan 13 berstatus kelurahan. Bila dilihat dari klasifikasi desanya terdapat 3 desa swadaya mula, 256 desa swadaya madya, 1 desa swakarya mula, 73 desa swakarya madya dan 1 desa swasembada madya. Jumlah Pemerintahan terendah di Kabupaten Majalengka berdasarkan satuan lingkungan setempat terdiri dari 2.072 Rukun Warga/Rukun Keluarga dan 6.441 Rukun Tetangga, dengan rasio RT terhadap RW sebesar 3.11%. Adapun Komposisi Keanggotaan DPRD Kabupaten Majalengka berdasarkan Hasil Pemilu 2009 sebanyak 50 anggota yang merupakan perwakilan dari Partai Persatuan

54

Pembangunan (PPP) 4 orang, Partai Golongan Karya (Golkar) 6 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 10 orang, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 6 orang, Partai Amanat Nasional (PAN) 5 orang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 1 orang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 5 orang, Partai Demokrat 4 orang, Partai Bulan Bintang (PBB) 1 orang, Hanura 2 orang, Gerindra 1 orang, PKPB 1 orang , PKNU 1 orang dan Partai Patriot Pancasila 3 orang. Bila dilihat dari tingkat pendidikan anggota Dewan tercatat bahwa 100 % anggota Dewan berpendidikan SLTA keatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.4 dan tabel 2.5. Grafik 3. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Majalengka Berdasarkan Partai

Sumber: Majalengka Dalam Angka Tahun 2010

Grafik 4. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Majalengka Dalam Angka Tahun 2010

55

4.2. Pembukaan Akses Terhadap Informan Perjalanan penelitian mengenai peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka bermula ketika peneliti tertarik dengan beberapa fenomena dan kejadian bencana alam di Indonesia, baik dari sumber media cetak, internet, ataupun televisi. Sehingga terlintas dalam benak pikiran peneliti bahwa permasalahan mengenai kebencanaan sepertinya cukup menarik untuk dikaji. Pada waktu itu, peneliti mencoba untuk mendiskusikan dengan teman dan dosen untuk melihat sejauh mana spesifikasi penelitian yang akan peneliti lakukan. Ternyata, melalui beberapa tahap diskusi dan dialog dengan beberapa dosen, kajian yang akan peneliti lakukan disarankan lebih spesifikasi pada lingkup birokrasi dan politik dalam penanggulangan bencana. Pemilihan lokasi penelitian, peneliti memfokuskan di Kabupaten Majalengka. Majalengka dipilih sebagai lokasi penelitian karena secara geografis Kabupaten Majalengka merupakan daerah rawan bencana alam yang kemudian ada sebuah organisasi perangkat daerah yang konsen dalam penanggulangan bencana dan baru didirikan pada tahun 2009 yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Majalengka. Selain itu, Kabupaten Majalengka merupakan tempat tinggal atau domisili asli peneliti, sehinga peneliti lebih mudah dalam mengakses sumber informasi dan data dalam mejalankan penelitian. Usulan penelitian ini kemudian peneliti ajukan kepada jurusan untuk menjadi bahan tugas akhir, dan akhirnya dengan beberapa proses, tahapan penyempurnaan dan perbaikan, usulan skripsi dengan judul peran pemerintah

56

daerah dalam penangglangan bencana alam di Kabupaten Majalengka di acc. Setelah itu peneliti dengan semangat dan tekad yang kuat pada hari Minggu tanggal 02 Januari 2010 memutuskan untuk melakukan pra survai agar lebih mengetahui sejauh mana spesifikasi permasalahan kebencanaan di Kabupaten Majalengka khususnya menyoroti pada aspek birokrasi dan politik dalam penanggulangan bencana alam. Berbekal surat izin pra survai yang dibawa dari kampus pada hari Senin tanggal 03 Januari 2011 peneliti langsung mengunjungi Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbang) Kabupaten Majalengka untuk melakukan perizinan dalam pra survai yang akan peneliti lakukan. Lembaga pemerintah menjadi tujuan pokok kunjungan peneliti untuk mendapatka informasi, karena penelitian yang akan peneliti lakukan lebih fokus pada tataran birokrasi, sehingga pada waktu itu untuk mencari informasi tersebut peneliti berkunjung ke beberapa instansi pemerintah yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangnan Daerah (Bappeda), dan Kantor Kecamatan Bantarujeg. Setelah menunggu beberapa hari akhirnya pada hari Kamis tanggal 06 Januari 2011 surat pra survai mendapat disposisi dari Kantor Kesbang. Pada waktu itu pula dengan berbekal surat izin pra survai dari Kesbang peneliti langsung mengunjungi beberapa informan awal untuk mengetahui sejauh mana permasalahan kebencanaan di Kabupaten Majalengka. Dalam proses perizinan tersebut membutuhkan disposisi dari setiap lembaga maka hari itu peneliti fokus untuk memberikan surat izin pra survai kepada lembaga pemerintah yang akan

57

peneliti kunjungi. Senin tanggal 10 sampai dengan Jumat tanggal 15 Januari 2011 peneliti langsung bergerak untuk mengunjungi lembaga pemerintah yang menjadi fokus penelitian. Kunjungan pertama untuk dimulai di BPBD, kemudian dilanjutkan ke Dinas Sosial. Selasa peneliti berkunjunjung ke Dinas Kesehatan, kemudian Rabu, Kamis, dan Jumat masing-masing mengunjungi DPRD, Kantor Kecamatan Bantarujeg, dan Bappeda. Setelah melakukan beberapa proses awal untuk mendapatkan informasi akhirnya peneliti memutuskan untuk kembali ke kampus untuk memperiapkan bimbingan usul penelitian kepada dosen pembimbing17. Pada hari Minggu tanggal 16 Januari 2011 peneliti kembali ke kampus untuk melanjutkan proses bimbingan usul penelitian untuk melalui tahap seminar usul penelitian. Melalui proses bimbingan akhirnya pada hari Rabu tanggal 16 Maret 2011 peneliti melaksanakan seminar proposal usul penelitian. Setelah itu dilakukan revisi proposal tersebut untuk memantapkan fokus penelitian yang akan peneliti lakukan. Setelah proposal usul penelitian selesai dengan membawa surat izin penelitian dari Bapendik FISIP Unsoed peneliti kembali ke Majalengka pada hari Kamis tanggal 24 Maret 2011 dan siap untuk menjalani penelitian. Setibanya di Majalengka peneliti tidak langsung bergerak untuk melakukan penelitian, namun waktu luang dari hari Jumat sampai dengan Minggu (25-27 Maret 2011) peneliti gunakan untuk berdiskusi dan share terkait penelitian yang akan peneliti lakukan kepada orang tua, kakak, kerabat, dan teman-teman, untuk mengetahui gambaran bencana alam yang sedang terjadi diDosen Pembimbing peneliti adalah Adhi Iman Sulaiman, S.IP, M.Si selaku pembimbing I dan Khairuroojiqien Sobandi, S.IP, MA selaku pembimbng II.17

58

Majalengka dan membuka jaringan di lembaga pemerintahan yang akan dijadikan sumber informasi dalam melakukan penelitian. Berbekal pengetahuan dan jaringan informan maka pada hari Senin tanggal 28 Maret 2011, peneliti langsung mengurus surat izin penelitian ke Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Lamanya prosedur penelitian atau disposisi dari Kesbangpol membuat peneliti menjadi jenuh, karena surat izin penelitian baru di keluarkan seminggu kemudian tepatnya pada hari Jumat tanggal 08 Maret 2011, dan itupun peneliti tidak kemudian langsung terjun untuk melakukan penelitian karena pada hari Jumat kantor pemerintahan hanya beroperasi setengah hari dan kemudian pada hari Sabtu libur. Sambi menunggu kembali hari aktif kerja kantoran maka pada hari Minggu tanggal 10 April 2011 peneliti terlebih dahulu melakukan penelitian ke masyarakat selaku korban bencana alam di Kecamatan Jatitujuh, Blok Klewih RT/RW 09/12, sekaligus mengunjungi Forum Peduli Bencana Abrasi Sungai Cimanuk (FPBAC), satu hari penuh peneliti menggali informasi tersebut dengan membawa hasil yang cukup memuaskan untuk merepresentasikan pembahasan penelitian. Senin tanggal 11 April 2011 peneliti mulai melakukan penelitian di instasi atau lembaga pemerintahan, dimulai dari Dinas Sosial dan kemudia Dinas lainnya, BPBD, DPRD, Bappeda, dan Kecamatan. Informasi dan data-data bisa terkumpul yang kemudian akan mendukung dalam penyususnan penelitian khususnya konteks peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka berakhir pada hari Sabtu, tanggal 23 April 2011.

59

4.3. Hasil Penelitian 4.3.1. Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Bencana Alam Di Kabupaten Majalengka 4.3.1.1. Analisis Potensi Bencana Alam di Kabupaten Majalengka Secara administratif Kabupaten Majalengka yang terletak pada meridian 01 derajat 1420BT dan 06 derajat 3340 07 derajat 0419 LS dengan luas 1.204,24 km persegi atau 2,71% luas total Provinsi Jawa Barat dan terbagi kedalam 27 wilayah kecamatan dan 334 desa/kelurahan memiliki potensi bencana alam (potential hazard) yang cukup tinggi. Potensi bencana alam yang dapat terjadi di wilayah Kabupaten Majalengka terdiri dari ancaman bencana letusan Gunung Ciremai, ancaman gempa bumi, tanah longsor, angin putting beliung, banjir, serta kekeringan. Ancaman-ancaman bahaya bencana alam tersebut dapat dikelompokan menjadi bahaya beraspek geologi (ancaman gempa bumi, tanah longsor dan letusan Gunung Ciremai), dan bahaya beraspek hidrometeorologi seperti ancaman banjir, angin puting beliung, dan kekeringan18. Daerah-daerah yang termasuk ke dalam zona resiko tinggi letusan Gunung Ciremai adalah Kecamatan Argapura dan sebagian wilayah Sukahaji dan Rajagaluh. Daerah resiko tinggi ancaman longsor berada di wilayah bagian selatan diantaranya Kecamatan Argapura, Maja, Banjaran, Talaga, Bantarujeg, Malausma, Lemahsugih, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Cikijing dan Cingambul.Daerah yang rawan gempa di wilayah Kabupaten Majalengka diantaranya Kecamatan Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji, Maja, Argapura,

18

Laporan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Majalengka

60

Banjaran, serta wilayah Cikijing. Sementara untuk ancaman angin puting beliung berdasarkan sejarah kejadian umumnya berada di wilayah utara yang mencakup Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Jatiwangi, Palasah, Sindangwangi, Cigasong, Panyingkiran, Kadipaten, dan Sukhaji. Wilayah yang rawan atau berpotensi mengalami kekeringan atau kesulitan air di wilayah selatan diantaranya meliputi Kecamatan Sukahaji, Argapura, Rajagaluh, Banjaran, Maja, Bantarujeg, dan sebagian wilayah Kecamatan Cikijing, Lemahsugih, dan Cingambul. Untuk wilayah utara meliputi Kecamatan Ligung, sebagian Kecamatan Jatitujuh dan Kertajati, sedangkan Desa Dawuan yang berada di wilayah Kecamatan Dawuan merupakan desa yang sulit mendapatkan air bersih sepanjang tahun19. Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Majalengka tentunya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah. Berdasarkan laporan dari BPBD dan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Majalengka angka kejadian bencana alam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 terjadi 67 kejadian sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 114 kejadian, dengan kerentanan dan variasi bencana dengan daerah yang berbeda. Berikut tabel kejadian bencana alam di Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 dan 2010.

19

Ibid

61

Tabel 9. Angka Kejadian Bencana Alam di Majalengka pada tahun 2009

Sumber: Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Majalengka

Tabel 10. Angka Kejadian Bencana Alam di Majalengka pada tahun 2010BULAN Januari BENCANA YANG TERJADI Tanah Longsor Putting Beliung Kebakaran Banjir Tanah Longsor Tanggul jebol Kebakaran Banjir Tanah longsor Putting beliung Kebakaran Sambaran petir Banjir Tanah longsor Putting beliung Kebakaran Longsor Banjir Pohon tumbang Kebakaran Kebakaran Tanah longsor Kebakaran TOTAL VOLUME LUKA RINGAN 9 kali 8 kali 1 kali 1 kali 14 kali 1 kali 1 kali 3 kali 5 kali 2 kali 4 kali 3 kali 2 kali 6 kali 2 kali 2 kali 8 kali 4 kali 1 kali 5 kali 2 kali 2 kali 2 kali 114 kali JUMLAH KORBAN LUKA TEWAS BERAT

1

1

1

Februari

1

Maret

2

1

April

Mei

3

3

Juni-Juli Agustus

7

4

2

Sumber: BPBD Majalengka dari Radar Majalengka, Sabtu 6 November 2010

62

Angka kejadian bencana alam yang terus meningkat menjadi dasar pertanyaan yang akan peneliti tanyakan kepada pemerintah daerah sebagai akses pembuka dalam penelitian ini. Pertanyaan ini, peneliti ajukan kepada Sekretaris Daerah, yang diwakili oleh Ibu Yati Sumiati20. Hal mendasar adalah berbicara prospek pemerintah daerah dalam menganalisis potensi bencana alam di Kabupaten Majalengka. Informan pun menjawab pertanyaan dengan sebuah argumentasi utama bahwa hal yang mendasar pemerintah daerah dalam menganalisis bencana alam di Kabupaten Majalengka adalah secara geografis berada dalam satu lipatan patahan bumi terdiri dari wilayah dataran tinggi, dataran sedang, dan rendah mengakibatkan bencana yang terjadi lebih bervariasi pula, sehingga atas dasar tersebut bisa dikatakan Majalengka merupakan daerah rawan akan bencana alam, terbukti dengan runtutan kejadian-kejadian bencana alam yang sekarang terjadi. Berikut pemaparan informan dalam sebuah wawancara:

Wilayah Majalengka digolong sebagai wilayah bencana, kemudian daerahnya merupakan patahan lempeng bumi, nah mangkanya daerah kita termasuk daerah rawan bencana21.

Senada dengan infroman lainnya, seperti yang dipaparkan oleh Yuarliana22, yang merupakan rekannya di Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka.

20 Yati Sumiati adalah Kepala Bagian Organisasi Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka yang bertugas sebagai basis konseptual perumusan kebijakan evaluasi dan monitoring Satuan Kerja Perangkat Daerah. 21 Hasil wawancara peneliti dengan Yati Sumiati yang dilaksanakan pada tanggal 20 April 2011 pukul 08.05 WIB di kantor Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka, Bagian Organisasi. 22 Yuarlina adalah Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka.

63

Secara geografis Majalengka rawan bencana alam, dan bencana sangat bervariasi mulai dari gempa bumi karena daerah kita termasuk wilayah patahan bumi, tanah longsor, angin puting beliung, banjir erosi dan lainnya. Walaupun bencana itu hanya bencana kecil namun ketika dibiarkan akan sangat fatal, maka harus dibutuhkan kesiapsiagaan dalam panggulangannya23. Begitu juga disampaikan oleh A. Syihabuddin24 yang mengindikasikan bahwa Kabupaten Majalengka merupakan daerah yang rawan akan bencana dan tentunya memerlukan sebuah perhatian khusus baik itu bagi pemerintah sebagai agen kebijakan dan masyarakat sebagai penerima kebijakan, sehingga satu sama lainnya bisa saling menguntungkan.

Itu faktor alam, kita kan gak bisa menghindar. Majalengka merupakan rawan bencana (ada bencana banjir, longsor), maka dari itu pemerintah pun konsen terhadap penanggulangan bencana25. Dipertegas oleh Heri Pambudhi26 bahwa Kabupaten Majalengka merupakan daerah rawan akan bencana alam, walaupun skala bencana yang terjadi adalah kecil, tetapi tidak kemudian menganggap remeh hal tersebut, karena bisa saja dampak yang ditimbulkan berfek besar.

Kita melihat potensi Majalengka cukup besar, baik itu di daerah selatan yang merupakan daerah atas rawan dengan

23 Hasil wawancara peneliti dengan Yuarlina yang dilaksanakan pada tanggal 18 April 2011 pukul 09.25 - 10.40 WIB dikantor Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka Bagian Kesejahteraan Masyarakat. 24 A. Syihabuddin adalah Ketua Komisi C (Bidang Pembangunan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Majalengka Periode 2009-2013. 25 Hasil wawancara peneliti dengan A Syihabuddin yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2011 pukul 09.45 - 10-30 WIB di kantor Komisi D DPRD Kabupaten Majalengka. 26 Heri Pambudhi adalah Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Majalengka.

64

longsor dan jalur patahan bumi, sehingga potensi gempa. Kemudian dataran rendah sangat berpotensi kekeringan2