Skripsi Bab 2 - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2008-1-00212-MN...
-
Upload
nguyenhuong -
Category
Documents
-
view
216 -
download
2
Transcript of Skripsi Bab 2 - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2008-1-00212-MN...
7
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Manajemen Pemasaran
Berdasarkan pendapat Kotler (2003, p9) pemasaran adalah suatu proses sosial
dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka
butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran timbal balik nilai
produk dan jasa dengan orang lain.
The American Marketing Association mendefinisikan pemasaran sebagai suatu
proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, harga, promosi, dan distribusi dari ide,
produk dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang dapat memenuhi tujuan individu
dan organisasi. Sedangkan manajemen pemasaran dipandang sebagai seni dan ilmu
dalam memilih target pasar serta meraih, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan
dengan cara menciptakan, memberikan, dan mengkomunikasikan nilai pelanggan yang
superior (Kotler 2003, p9).
2.1.1 Konsep Pemasaran
Menurut Kotler (2003, pp17-26) ada lima konsep alternatif yang melandasi
aktivitas pemasaran organisasi, yaitu:
1. Konsep Produksi
Konsep produksi merupakan salah satu konsep bisnis yang paling lama. Pada konsep
ini beranggapan bahwa konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang tersedia
dimana-mana dan harganya murah. Para manajer yang menggunakan konsep ini
8
lebih berkonsentrasi dalam meraih efisiensi produksi yang tinggi, biaya rendah, dan
distribusi massal.
2. Konsep Produk
Konsep ini beranggapan bahwa konsumen akan menyukai produk yang menawarkan
mutu terbaik, kinerja terbaik, dan bersifat paling inovatif. Sehingga para manajer
harus melakukan perbaikan produk secara terus-menerus.
3. Konsep Penjualan
Konsep ini beranggapan bahwa konsumen tidak akan membeli cukup banyak produk
perusahaan, kecuali perusahaan tersebut melakukan usaha penjualan dan promosi
dalam skala besar. Konsep ini biasanya dilakukan pada produk yang tidak terpikir
oleh pembeli untuk dibeli.
4. Konsep Pemasaran
Konsep ini mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi tergantung pada
penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran dan memuaskan pelanggan
secara lebih efektif dan efisien daripada yang dilakukan oleh pesaing.
5. Konsep Pelanggan
Dengan konsep ini perusahaan mengumpulkan informasi mengenai transaksi yang
lalu, demografi, psikografi, media, dan distribusi yang disukai dari setiap pelanggan.
Perusahaan berharap dapat meraih keuntungan yang terus tumbuh melalui
pembagian yang lebih besar dari setiap pendapatan pelanggan dengan cara
membangun kesetiaan pelanggan yang tinggi dan fokus dalam nilai pelanggan
sepanjang waktu.
6. Konsep Pemasaran Berwawasan Sosial
Konsep ini menyatakan bahwa organisasi harus menentukan kebutuhan, keinginan,
dan minat dari target pasar dan memberikan kepuasan yang lebih efektif dan efisien.
9
Selanjutnya, organisasi harus memberikan nilai superior kepada pelanggan dengan
suatu cara yang dapat menjaga dan meningkatkan kesajahteraan konsumen dan
masyarakat
2.2 Merek (Brand)
The American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai sebuah
nama, tanda, istilah, simbol, atau desain, atau kombinasi dari semuanya, dengan tujuan
untuk mengidentifikasi sebuah produk atau jasa dari seorang penjual ataupun
sekelompok penjual untuk membedakannya dari produk atau jasa kompetitor lainnya
(Kotler 2003, p418). Definisi dari The American Marketing Association tersebut juga
hampir sama dengan yang ditetapkan di Indonesia melalui UU Merek No. 15 tahun 2001
pasal 1 ayat 1.
Masih menurut Kotler (2003, pp418-419), merek adalah sebuah simbol yang
kompleks terhadap sebuah produk dan dapat memberikan enam arti, yaitu:
1. Atribut (Attributes).
Merek memberikan suatu gambaran tentang sifat produk dari merek itu sendiri dan
mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
Contoh: Mercedes adalah mobil yang berkonstruksi baik, berdaya tahan tinggi,
mahal, dan termasuk mobil kelas atas.
2. Manfaat (Benefit).
Atribut dari sebuah merek tersebut harus dapat diterjemahkan dalam bentuk
manfaat baik dari sisi fungsi maupun emosi.
Contoh: Atribut berdaya tahan tinggi dapat diterjemahkan dengan arti bahwa produk
tersebut menggunakan bahan dengan kualitas lebih tinggi dibanding produk lain.
10
3. Nilai (Value).
Sebuah merek juga menyatakan tentang nilai pembuatnya.
Contoh: Mobil bermerek Mercedes selalu identik dengan mobil yang berkemampuan
tinggi, tingkat keamanan yang tinggi, serta gengsi yang besar
4. Budaya (Culture).
Sebuah merek juga mencerminkan suatu budaya tertentu.
Contoh: Mercedes dapat menggambarkan budaya Negara Jerman yang serba
teratur, efisien, serta berkualitas tinggi.
5. Personal (Personality).
Sebuah merek dapat mencerminkan kepribadian tertentu dari pemakainya.
Contoh: Menggunkan Mercedes melambangkan kepribadian yang berkelas dari
pemakainya.
6. Pemakai (User).
Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk
tersebut.
Contoh: Gambaran dari konsumen yang menggunakan Mercedes adalah top
eksekutif yang sudah berumur, bukan seorang sekretaris muda.
Merek atau merek dagang adalah tanda pembeda yang digunakan suatu badan
usaha sebagai penanda identitasnya dan produk barang atau jasa yang dihasilkannya
kepada konsumen, dan untuk membedakan usaha tersebut maupun barang atau jasa
yang dihasilkannya dari badan usaha lain. Merek merupakan kekayaan industri, yaitu
termasuk kekayaan intelektual. Secara konvensional, merek dapat berupa nama, kata,
frasa, logo, lambang, desain, gambar, atau kombinasi dua atau lebih unsur tersebut.
(id.wikipedia.org) Menurut Nicolino dan Davis dalam Simamora (2003, p3) merek bisa
juga berarti entitas pengidentifikasi yang memberi janji nilai tertentu.
11
Berdasarkan definisi-definisi di atas, merek pada dasarnya adalah sebagai
pembeda dan identitas suatu produk atau jasa. Melalui merek, berarti juga menawarkan
suatu janji akan nilai tertentu kepada konsumennya. Dengan adanya janji akan nilai
tertentu pada merek, maka konsumen dapat memberikan suatu persepsi terhadap merek
tersebut.
2.2.1 Manfaat Merek
Merek bermanfaat bagi produsen dan konsumen. Menurut Keller dalam Tjiptono
(2005, pp20-21) manfaat merek bagi produsen adalah sebagai:
Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk
bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan
akuntansi.
Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang luas, sehingga mereka bisa dengan
mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu.
Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para
pesaing.
Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas
pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen.
Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Sedangkan manfaatnya bagi konsumen adalah sebagai:
Identifikasi sumber produk
Penetapan tanggung jawab pasa pemanufaktur atau distributor tertentu.
Pengurang resiko
Penekanan biaya pencarian (search cost) internal dan eksternal.
12
Janji atau ikatan khusus dengan produsen
Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri.
Signal kualitas.
Sementara itu, Ambler dalam Tjptono (2005, p21) mengelompokkan manfaat-
manfaat merek ke dalam tiga kategori, yaitu:
Raritas (manfaat ekonomik atau value for money)
Virtuositas (manfaat fungsional atau kualitas)
Complacibilitas (manfaat psikologis atau kepuasan pribadi)
Untuk penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, lihat tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Manfaat-manfaat Merek
MANFAAT
MEREK DESKRIPSI
Manfaat
ekonomik
Merek merupakan sarana bagi perusahaan untuk saling bersaing
memperebutkan pasar
Konsumen memilih merek berdasarkan value or money yang
ditawarkan berbagai macam merek
Relasi antara merek dan konsumen dimulai dengan penjualan.
Premium harga bisa berfungsi layaknya asuransi risiko bagi
perusahaan. Sebagian besar konsumen lebih suka memilih
penyedia jasa yang lebih mahal namun lebih diyakininya bakal
memuaskannya ketimbang memilih penyedia jasa lebih murah
yang tidak jelas kinerjanya.
Manfaat
fungsional
Merek memberikan peluang bagi diferensiasi. Selain memperbaiki
kualitas (diferensiasi vertikal), perusahan-perusahaan juga
memperluas mereknya dengan tipe-tipe produk baru (diferensiasi
horizontal).
Merek memberikan jaminan kualitas. Apabila konsumen membeli
13
merek yang sama lagi, maka ada jaminan bahwa kinerja merek
tersebut akan konsisten dengan sebelumnya.
Pemasar merek berempati dengan para pemakai akhir dan
masalah yang akan diatasi merek yang ditawarkan.
Merek memfasilitasi ketersediaan produk secara luas.
Merek memudahkan iklan dan sponsorship.
Manfaat
psikologis
Merek merupakan penyederhanaan atau simplifikasi dari semua
informasi produk yang perlu diketahui konsumen.
Pilihan merek tidak selalu didasarkan pada pertimbangan
rasional. Dalam banyak kasus, faktor emosional (seperti gengsi
dan citra sosial) memainkan peran dominan dalam keputusan
pembelian.
Merek bisa memperkuat citra diri da persepsi orang lain terhadap
pemakai/pemiliknya.
Brand symbolism tidak hanya berpengaruh pada persepsi orang
lain, namun juga pada identifikasi diri sendiri dengan obyek
tertentu.
Sumber: Ambler dalam Tjiptono (2005, p23)
Merek yang yang kuat adalah yang memiliki aset merek tinggi. Merek yang kuat
tersebut, menurut Davis dalam Simamora (2003, pp49-51) akan memperoleh manfaat-
manfaat sebagai berikut:
Loyalitas yang memungkinkan terjadinya transaksi berulang
Memungkinkan perusahaan menetapkan harga yang lebih tinggi (premium), yang
berarti margin yang lebih tinggi bagi perusahaan
Memeberikan kredibilitas pada produk lain yang menggunakan merek tersebut
Memungkinkan return yang lebih tinggi
14
Memungkinkan diferensiasi relatif dengan pesaing yang jelas, bernilai dan
berkesinambungan
Memungkinkan fokus internal yang jelas. Artinya, dengan merek yang kuat,
parakaryawan mengerti untuk apa merek ada dan apa yang perlu mereka lakukan
untuk mengusung merek itu
Semakin kuatnya merek, semakin tinggi laoyalitas, maka konsumen akan lebih
toleran terhadap kesalahan produk atau perusahaan
Menjadi faktor yang menarik karyawan-karyawan berkualitas, sekaligus
mempertahankan karyawan-karyawan
Menarik konsumen untuk hanya menggunakan faktor merek dalam pengambilan
keputusan kualitas pembelian
2.2.2 Tipe-tipe Merek
Pemahaman mengenai peran strategik merek tidak bisa dipisahkan dari tipe-tipe
utama merek, karena masing-masing tipe memiliki citra merek yang berbeda. Menurut
Whitwell, et al. dalam Tjiptono (2005, p22) tipe-tipe merek tersebut meliputi:
1. Attribute brands, yakni merek-merek yang memiliki citra yang mampu
mengkomunikasikan keyakinan/kepercayaan terhadap atribut fungsional produk.
Kerapkali sangat sukar bagi konsumen untuk menilai kualitas dan fitur secara
obyektif atas begitu banyak tipe produk, sehingga mereka cenderung memilih
merek-merek yang dipersepsikan sesuai dengan kualitasnya.
2. Aspirational brands, yaitu merek-merek yang menyampaikan citra tentang tipe orang
yang membeli merek bersangkutan. Citra tersebut tidak banyak menyangkut
produknya, tetapi justru lebih banyak berkaitan dengan gaya hidup yang
didambakan. Keyakinan yang dipegang konsumen adalah bahwa dengan memiliki
15
merek semacam ini, akan tercipta asosiasi yang kuat antara dirinya dengan
kelompok aspirasi tertentu (misalnya, golongan kaya, prestisius dan populer). Dalam
hal ini, status, pengakuan sosial, dan identitas jauh lebih penting daripada sekedar
nilai fungsional produk.
3. Experience brands, mencerminkan merek-merek yang menyampaikan citra asosiasi
dan emosi bersama (shared asociation and emotions). Tipe ini memiliki citra melebihi
sekedar aspirasi dan lebih berkenaan dengan kesamaan filosofi antara merek dan
konsumen individual. Kesuksesan sebuah experience brand ditentukan oleh
kemampuan merek bersangkutan dalam mengekspresikan individualitas dan
pertumbuhan personal.
2.2.3 Ekuitas Merek (Brand Equity)
Menurut Aaker dalam Simamora (2003, p47) dan Tjiptono (2005, p39), ekuitas
merek adalah serangkaian aset dan kewajiban yang dimiliki nama merek atau simbolnya,
yang dapat menambah atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa
perusahaan dan/atau pelanggan perusahaan tersebut. Apabila positif, maka ekuitas
merek menjadi aset. Apabila negatif, maka ekuitas merek menjadi kewajiban (liability).
Sedangkan menurut Hana dan Wozniak dalam Simamora (2003, p49) ekuitas
merek adalah nilai tambah yang diberikan merek pada produk. Jadi ekuitas merek ada
kalau merek itu memberikan nilai tambah. Kalau tidak memberikan nilai tambah, apalagi
kalau justru mengurangi nilai produk, berarti tidak ada ekuitas merek.
Adapula elemen-elemen dan kategori mengenai ekuitas merek yang diungkapkan
oleh beberapa tokoh dalam Tjiptono (2005, pp40-41), diantaranya menurut Aaker
adalah:
16
Brand awareness, yaitu kemapuan konsumen untuk mengenali atau mengingat
bahwa sebuah merek merupakan anggota dari kategori produk tertentu.
Perceived Qualitiy, merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau
superoritas produk secara keseluruhan.
Brand Associations, yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap
sebuah merek. Brand Associations ini berkaitan erat dengan brand image, yang
didefinisikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tertentu.
Brand Loyalty, yaitu suatu ikatan yang dimiliki oleh pelanggan terhadp suatu merek.
Sedangkan ekuitas merek menurut Keller dalam Tjiptono (2005, p41) lebih
berfokus pada perspektif perilaku konsumen. Ia mengembangkan model ekuitas merek
berbasis pelanggan (CBBE=Customer-based brand equity). Menurutnya, kunci pokok
dari penciptaan ekuitas merek adalah brand knowledge, yang terdiri atas brand
awareness dan brand image. Dengan demikian, ekuitas merek akan terbentuk jika
pelanggan mempunyai tingkat awareness dan familiaritas tinggi terhadap sebuah merek
dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif dan unik dalam memorinya.
Menurut tokoh lainnya adalah Feldwick dalam Tjiptono (2005, pp47-49) yang
mengelompokkan berbagai makna ekuitas merek ke dalam tiga kategori berikut:
Brand valuation atau brand value, yaitu nilai total sebuah merek sebagai aset
terpisah.
Brand strenght atau brand loyalty, yaitu ukuran menyangkut sebrapa kuat konsumen
terikat dengan merek tertentu. Ukuran ini juga merefleksikan permintaan relatif
konsumen terhadap sebuah merek.
Brand image atau brand description, yakni deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan
konsumen terhadap merek tertentu.
17
Dalam Tjiptono (2005, p53) juga dijelaskan hasil studi Richard G. Netenmeyer, et
al. yang mengukur aspek-aspek primer CBBE dan menguji hubungannya dengan variabel
asosiasi merek dan respon merek. Kesimpulannya adalah bahwa perceived quality,
perceived value for the cost, dan brand uniqueness merupakan anteseden langsung
potensial bagi kesediaan untuk membayar harga premium bagi merek spesifik, dan
kesediaan membayar harga premium tersebut merupakan anteseden langsung bagi
perilaku pembelian merek.
Core/Primary CBBE Facets
Related Brand Associations
Gambar 2.1 Model Konseptual CBBE Menurut Netenmeyer, et al.
Sumber: Netenmeyer, et al. dalam Tjiptono (2005, p53)
2.3 Citra merek (Brand Image)
Perceived Brand Quality
Perceived Brand Value for the Cost
Brand Uniqueness
Kesediaan Membayar Harga
Premium
Brand Awareness
Brand Familiarity
Popularitas Merek
Organizational Associations
Konsistensi Citra Merek
Minat
Pembelian Merek
Pembelian Merek
Variabel Respon Merek
18
Membicarakan citra, maka biasanya bisa menyangkut citra produk, perusahaan,
merek, partai, orang atau apa saja yang terbentuk dalam benak seseorang. Menurut
Zimmer dan Golden dalam Simamora (2004, p124), mengukur citra ada dua kesulitan.
Pertama adalah konseptualisasi citra. Citra adalah konsep yang mudah dimengerti tetapi
sulit dijelaskan secara sistematis karena sifatnya abstrak dan yang kedua adalah
kesulitan dalam pengukuran.
Dalam Simamora (2004, p124) dijelaskan bahwa ada dua pendekatan yang
dapat digunakan dalam mengukur citra. Pertama adalah merefleksikan citra di benak
konsumen menurut mereka sendiri. Pendekatan ini disebut pendekatan tidak terstruktur
(unstructured approach) karena memang konsumen bebas menjelaskan citra suatu objek
di benak mereka. Cara yang kedua adalah peneliti menyajikan dimensi yang jelas,
kemudian responden berespons terhadap dimensi-dimensi yang ditanyakan itu. Ini
disebut pendekatan terstruktur (structured approach).
Citra merek ialah apa yang konsumen pikir atau rasakan ketika mereka
mendengar atau melihat nama suatu merek atau pada intinya apa yang konsumen telah
pelajari tentang merek. Citra merek disebut juga memori merek yang skematis, berisi
interpretasi pasar sasaran tentang atribut/karakteristik produk, manfaat produk, situasi
penggunaan dan karakteristik pemasar (Supranto dan Limakrisna2007, p132).
Berdasarkan pendapat Kotler dalam Simamora (2003, p37 & 63), citra merek
adalah sejumlah keyakinan tentang merek. Syarat merek yang kuat adalah citra merek.
Kotler juga mempertajam bahwa citra merek itu sebagai posisi merek (brand position),
yaitu citra merek yang jelas, berbeda dan unggul secara relatif dibanding pesaing.
Dalam Simamora (2003, p96), Aaker menyatakan bahwa citra merek adalah
seperangkat asosiasi unik yang ingin diciptakan atau dipelihara para pemasar. Asosiasi-
asosiasi itu menyatakan apa sesungguhnya merek dan apa yang dijanjikannya kepada
19
konsumen. Jadi Aaker menganggap citra merek sebagai bagaimana merek dipersepsikan
oleh konsumen (Simamora2003, p63).
Banyak pakar lainnya yang mendefinisikan citra merek berdasarkan sudut
pandangnya masing-masing (Sitinjak dan Tumpal 2005, p172), diantaranya menurut:
Keller, citra merek adalah sebagai persepsi atau kesan tentang suatu merek yang
direfleksikan oleh sekumpulan asosiasi yang menghubungkan pelanggan dengan
merek dalam ingatannya.
Aaker dan Joachimsthaler, citra merek adalah identitas (termasuk personalitas,
symbol, proposisi nilai, brand essence dan posisi merek).
Davis, citra merek memiliki dua komponen yaitu asosiasi merek (brand association)
dan persona merek (brand persona). Asosiasi merek membantu memahami manfaat
merek yang diterima konsumen, dan persona merek adalah deskripsi dari merek
dalam kontek karakteristik manusia, hal ini akan membantu memahami kekuatan
dan kelemahan merek.
Hawkins, citra merek cenderung kepada skematik memori tetang merek yang berisi
interpretasi pasar target terhadap atribut produk, manfaat, situasi penggunaan,
pengguna dan karakteristik perusahaan.
Peter dan Olson, menyatakan hal yang senada dengan Hawkins bahwa citra merek
terdiri dari pengetahuan dan kepercayaan (kognitif) terhadap atribut merek,
konsekuensi penggunaan merek, dan situasi mengkonsumsi, seperti evaluasi dari
perasaan dan emosi (respon afektif) yang berasosiasi dengan merek.
2.3.1 Citra Toko (Store Image)
Dalam konteks bisnis ritel, merek dapat diartikan sebagai merek ritel itu sendiri
ataupun merek produk atau barang dagangan yang dijual atau ditawarkan oleh pihak
20
ritel (Utami2006, p212). Sesuai dengan objek penelitian ini, jadi citra merek yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah citra toko (hipermarket). Dalam Utami (2006, p212)
juga dinyatakan bahwa merek juga mempengaruhi keyakinan pelanggan atas keputusan
yang dibuat untuk membeli barang dagangan dari suatu ritel.
Schiffman dan Kanuk (2007, p167) juga menyatakan bahwa toko-toko ritel
mempunyai citra toko itu sendiri yang membantu mempengaruhi kualitas yang dirasakan
dan keputusan konsumen mengenai dimana akan berbelanja.
Dalam Ma’aruf (2006, p182-183) dijelaskan beberapa unsur yang mendukung
citra toko atau gerai, yaitu:
1. Merchandise: harga, kualitas, keragaman kategori, ketersediaan item (warna, ukuran
, jenis)
2. Lokasi yang mudah dijangkau, aman dan berada dalam suatu pusat perbelanjaan
atau dekat dengan gerai-gerai ritel lainnya.
3. Mengutamakan pelayanan pada segmen tertentu yang sesuai dengan karakteristik
demografi calon pembeli:
Kebanyakan pembeli adalah remaja dan dewasa muda
Kebanyakan pembeli adalah para keluarga
Kebanyakan pembeli adalah ibu rumah tangga kalangan tertentu
4. Pelayanan:
Pilihan cara bayar
Tersedianya food corner
Jasa antara ke rumah untuk produk tertentu
Katalog yang dikirimkan ke rumah
5. Pramuniaga, Staf, Kasir:
Perilaku dalam melayani (ramah, sopan, sigap, efisien)
21
Pengetahuan produk
Jumlah tenaga yang memadai
6. Citra kepribadian perusahaan atau toko: tulus, menarik, berkompeten, canggih,
lengkap.
7. Fasilitas: gift wrapping,food court, toilet, parkir, pelayanan antar ke rumah
8. Store ambience:
Dekorasi eksterior yang modern, anggun, menarik
Dekorasi interior yang memikat
Atmosfer yang membuat betah berlama-lama (tata warna, musik, pencahayaan)
Sirkulasi dalam toko yang memudahkan bergerak
Penataan merchandise yang memudahkan pencarian
Display yang menarik
9. Promosi:
Secara teratur melakukan promosi hadiah barang
Mengadakan penjualan dengan diskon
Even khusus
Program kupon
Program undian berhadiah
Chowdury et al. menjelaskan dalam Istijanto (2005, p239) ada enam dimensi
yang digunakan dalam mengukur citra toko, yaitu:
1. Employee service (pelayanan karyawan)
2. Product quality (kualitas produk yang dijual)
3. Product selection (pilihan produk)
4. Atmosphere (suasana)
5. Convenience (kenyamanan)
22
6. Prices/value (harga/nilai)
Chowdury et al. dalam Vahie dan Paswan (2006, p71) menjelaskan bahwa keenam
dimensi itu adalah elemen yang paling umum dari banyaknya konsep citra toko yang
bervariasi, dan dimensi-dimensi tersebut juga telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
2.3.2 Membangun Brand Image
Menurut Utami (2006, p214) penguatan secara konsisten terhadap citra merek
dapat dilakukan melalui program komunikasi ritel dan unsur bauran pemasaran. Hampir
sependapat dengan Maulana (http://swa.co.id/sekunder/konsultasi), juga menyatakan
bahwa komunikasi pemasaran (marketing communication), iklan dan promosi punya
peran paling penting dalam pembangunan brand image. Hal ini disebabkan karena
kegiatan ini mempunyai target audience luas, sehingga dalam waktu relatif singkat pesan
yang ingin disampaikan tentang brand lebih cepat sampai.
Masih menurut Maulana (http://swa.co.id/sekunder/konsultasi), banyak
perusahaan yang belum menyadari bahwa membangun brand image dengan komunikasi
pemasaran tidak sebatas lewat iklan dan promosi saja. Ada banyak kegiatan lain yang
juga berdampak besar, contohnya adalah:
1. Disain kemasan, termasuk isi tulisan/pesan yang disampaikan
2. Event, promosi di toko, promosi di tempat umum, dan kegiatan below the line
lainnya
3. Iklan tidak langsung yaitu yang bersifat public relations
4. Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kegiatan-kegiatan sosial untuk komunitas
yang dilakukan oleh perusahaan
5. Customer Services, bagaimana perusahaan menangani keluhan, masukan dari
konsumen setelah terjadi transaksi
23
6. Bagaimana karyawan yang bekerja di lini depan/front liners (apakah itu bagian
penjualan, kasir, resepsionis, dll) bersikap dalam menghadapi pelanggan
Jenis tipe komunikasi di atas adalah kegiatan-kegiatan yang baik buruknya
tergantung dari keinginan perusahaan, semuanya dapat dikendalikan. Komplikasi justru
akan muncul dari kegiatan-kegiatan komunikasi seputar brand oleh pihak lain yang tidak
bisa dikontrol oleh perusahaan, misalnya komunikasi oleh konsumen langsung. Mereka
bisa menyebarkan pada networknya berita kurang menyenangkan yang mereka alami
pada saat berinteraksi dengan brand (yang diwakili oleh banyak hal, termasuk front
liners di perusahaan). Word-of-mouth communication adalah salah satu jenis komunikasi
yang sangat efektif, dan berbahaya apabila itu menyangkut publisitas buruk.
Jadi, pada dasarnya perusahaan perlu memperhatikan semua elemen komunikasi dalam
bentuk apapun yang menghubungkan konsumen dengan brand perusahaan. Minimalkan
kemungkinan terjadinya ketidakpuasan konsumen, sehingga berita seputar brand bisa
selalu merupakan berita baik.
2.4 Kualitas Pelayanan
Definisi kualitas dapat berbeda-beda, karena kuaiitas memiliki banyak kriteria
dan sangat tergantung pada konteksnya. American Society for Quality mendefinisikan
kualitas sebagai keseluruhan dari fitur dan karakteristik dalam sebuah produk atau jasa
yang mampu memuaskan kebutuhan, baik yang terlihat ataupun yang tersamar (Kotler
2003, p84). Definisi kualitas tersebut juga sesuai dengan definisi dari Standar Nasional
Indonesia (SNI 19-8402-1991).
Persepsi konsumen terhadap kualitas merupakan suatu hal yang sulit dipahami
bahkan pemahaman tentang kualitas sering disalahartikan sebagai sesuatu yang baik,
kemewahan, keistimewaan, atau sesuatu yang berbobot. Kesulitan penilaian terhadap
24
kualitas dirasakan lebih berat, mengingat persepsi konsumen dalam menilai kualitas
bersifat subjektif (Utami2006, p245).
Dalam Ariani (2004, pp3-4), masih ada banyak pendapat mengenai kualitas
menurut beberapa ahli, antara lain menurut:
1. Juran, kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.
2. Crosby, kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability,
delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness.
3. Deming, kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di
masa mendatang.
4. Feigenbaum, kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang
meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dalam mana
produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pelanggan.
5. Scherkenbach, kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk
dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga
tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.
6. Elliot, kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda pada waktu
dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan.
7. Goetch dan Davis, kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan
produk, orang, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang
diharapkan.
Berdasarkan sejumlah definisi-definisi yang ada menegenai kualitas, pada intinya
kualitas adalah bagaimana sebuah produk atau jasa dapat sesuai dengan kebutuhan dan
harapan konsumen serta bagaimana suatu produk atau jasa melakukan fungsi dasarnya.
Suatu produk atau jasa dapat dikatakan berkualitas ditentukan oleh konsumennya. Jika
25
produk atau jasa sesuai atau bahkan melebihi harapan konsumen, maka produk atau
jasa tersebut berkualitas. Sebaliknya, jika tidak dapat memenuhi dan di bawah harapan
konsumen maka tidak berkualitas.
Menurut Ariani (2004, pp5-6), kualitas memiliki dua perspektif, yaitu perspektif
produsen dan perspektif konsumen, di mana bila kedua hal tersebut disatukan maka
akan dapat tercapai kesesuaian antara kedua sisi tersebut yang dikenal sebagai
kesesuaian untuk digunakan oleh konsumen.
Gambar 2.2 Perspektif Kualitas
Sumber: Russel dalam Ariani (2004, p6)
Arti Kualitas
PemasaranProduksi Kualitas Kesesuaian
Sesuai dengan
standar
Biaya
Kualitas Desain
Karakteristik
kualitas
Harga
Fitness for Consumer Use
Pandangan Produsen Pandangan Konsumen
26
Berdasarkan gambar tersebut, pandangan menurut produsen dan menurut
konsumen pada akhirnya akan menuju pada “Fitness or Consumer Use”. Kesesuaian
tersebut merupakan kesesuaian antara konsumen dengan produsen, sehingga dapat
membuat suatu standar yang disepakati bersama dan dapat memenuhi kebutuhan dan
harapan kedua belah pihak. Standar yang ditetapkan oleh produsen juga harus sesuai
dengan spesifikasi atau toleransi yang ditetapkan oleh pihak konsumen.
Menurut Lovelock dalam Utami (2006, p245), kualitas layanan adalah perspektif
konsumen dalam jangka panjang dan merupakan evaluasi kognitif dari transfer jasa.
Kualitas layanan digambarkan secara umum dan menyeluruh dalam jasa. Bahkan
dikemukakan bahwa kualitas layanan dijelaskan sebagai konsepsi multidimensional yang
dibangun melalui evaluasi terhadap konstruksi dari sejumlah atribut yang terkait dengan
jasa.
2.4.1 Dimensi Kualitas Pelayanan
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Yamit (2004, p10) dan
menurut Kotler (2003, p455) ada lima dimensi karakteristik, yang disebut SERVQUAL,
yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan, yaitu:
Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan
sarana komunikasi.
Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan
segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah dijanjikan.
Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staf untuk membantu para
pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
27
Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keragu-raguan.
Empathy, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang
baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
Mehta et al. dalam Utami (2006, p250) mengemukakan bahwa SERVQUAL telah
banyak diadopsi oleh berbagai jenis organisasi/perusahaan jasa yang berbeda seperti
rumah sakit, sekolah, restoran, bank, serta departement store. Banyak dikembangkan
pula dimensi dan atribut yang disesuaikan dengan jenis dan karakteristik
organisasi/perusahaan jasa tersebut.
2.4.2 Karakteristik Jasa/Pelayanan
Menurut Gaspersz dalam Ariani (2004, pp7-8) ada beberapa karakteristik unik
dari suatu industri jasa/pelayanan yang sekaligus membedakannya dari barang, antara
lain:
1. Pelayanan merupakan output tak berbentuk (intangibility output )
2. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar.
3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam persediaan, tetapi dapat dikonsumsi dalam
produksi.
4. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan.
5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
6. Pelanggan sekaligus merupakan input bagi proses pelayanan yang diterimanya.
7. Keterampilan personil diberikan secara langsung kepada pelanggan.
28
8. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara masal.
9. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan
pelayanan.
10. Perusahaan jasa pada umunya bersifat padat karya.
11. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan.
12. Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif.
13. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses.
14. Option penetapan harga lebih rumit.
Karakteristik jasa/pelayanan ini diringkas menjadi empat karakteristik utama
menurut Kotler (2003, pp446-449), yaitu:
1. Intangibility
Tidak seperti produk fisik karena jasa tidak dapat terlihat, terasa, terdengar ataupun
berbau, sebelum para konsumen membelinya.
2. Inseparability
Karena tidak dapat dipisahkan, jasa dikonsumsi dan diproduksi secara bersama-
sama.
3. Variability
karena jasa tergantung pada siapa, kapan dan di mana jasa tersebut disediakan,
maka jasa dapat berubah-ubah.
4. Perishability
29
Jasa tidak dapat disimpan, dan tidak akan menjadi masalah selama permintaan
tetap.
2.4.3 Konsep Pelayanan Berkualitas
Pelayanan terbaik pada pelanggan dan tingkat kualitas dapat dicapai secara
konsisten dengan memperbaiki pelayanan dan memberikan perhatian khusus pada
standar kinerja pelayanan. Untuk memeberikan pelayanan yang berkualitas, ada dua
konsep yang dikemukakan oleh Albrcht dalam Yamit (2004, pp23-24). Dua konsep
tersebut adalah:
1. Service Triangle
Service triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang
menghubungkan antara perusahaan dengan pelanggannya. Model tersebut terdiri
dari tiga elemen dengan pelanggan sebagai titik fokus, yaitu:
a. Strategi pelayanan (service strategy)
Strategi pelayanan adalah strategi untuk memberikan pelayanan kepada
pelanggan dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang telah ditetapkan
perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai keinginan dan harapan
pelanggan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pelayanan yang diberikan
dengan harapan pelanggan. Strategi pelayanan harus pula dirumuskan dan
diimplementasikan seefektif mungkin, sehingga mampu membuat pelayanan
yang diberikan kepada pelanggan tampil beda dengan pesaingnya. Untuk
merumuskan dan mengimplementasikan strategi pelayanan yang efektif,
perusahaan harus fokus pada kepuasan pelanggan sehingga perusahaan mampu
30
membuat pelanggan melakukan pembelian ulang bahkan mampu meraih
pelanggan baru.
b. Sumberdaya manusia yang memberikan pelayanan (service people)
Orang yang berinteraksi secara langsung maupun yang tidak berinteraksi
langsung dengan pelanggan harus memberikan pelayanan kepada pelanggan
secara tulus (empathy), responsif, ramah, fokus dan menyadari bahwa
kepuasan pelanggan adalah segalanya. Untuk itu perusahaan harus pula
memperhatikan kebutuhan pelanggan internalnya (karyawan) dengan cara
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, rasa aman dalam bekerja,
penghasilan yang wajar, manusiawi, sistem penilaian kinerja yang mampu
menumbuhkan motivasi. Tidak ada gunanya perusahaan membuat strategi
pelayanan dan menerapkannya secara baik untuk memuaskan pelanggan
eksternalnya, sementara pada saat yang sama perusahaan gagal memberikan
kepuasan kepada pelanggan internalnya, demikian pula sebaliknya.
c. Sistem pelayanan (service system)
Sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada pelanggan yang melibatkan
seluruh fasilitas fisik termasuk sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan.
Sistem pelayanan harus dibuat secara sederhana, tidak berbelit-belit dan sesuai
standar yang telah ditetapkan perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu
melakukan desain ulang sistem pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan
tidak memuaskan pelanggan. Desain ulang sistem pelayanan tidak berarti harus
merubah total sistem pelayanan, tapi dapat dilakukan hanya bagian tertentu
yang menjadi titik kritis penentu kualitas pelayanan. Misalnya dengan
memperpendek prosedur pelayanan atau karyawan diminta melakukan
31
pekerjaan secara general sehingga pelanggan dapat dilayani secara cepat
dengan menciptakan one stop service.
2. Total Quality Service
Total Quality Service (Pelayanan Mutu Terpadu) adalah kemampuan perusahaan
untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada orang yang berkepentingan dengan
pelayanan (stakeholders), yaitu pelanggan, pegawai dan pemilik. Pelayanan mutu
terpadu ini memiliki lima elemen penting yang saling terkait, yaitu:
a. Market and customer research adalah penelitian untuk mengetahui struktur
pasar, segmen pasar, demografis, analisis pasar potensial, analisis kekuatan
pasar, mengetahui harapan dan keinginan pelanggan atas pelayanan yang
diberikan.
b. Strategy formulation adalah petunjuk arah dalam memberikan pelayanan
berkualitas kepada pelanggan sehingga perusahaan dapat mempertahankan
pelanggan bahkan dapat meraih pelanggan baru.
c. Education, training and cummunication adalah tindakan untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia agar mampu memberikan pelayanan berkualitas,
mampu memahami keinginan dan harapan pelanggan.
d. Process improvement adalah desain ulang berkelanjutan untuk
menyempurnakan proses pelayanan, konsep P-D-C-A (Plan-Do-Check-Action)
dapat diterapkan dalam perbaikan proses pelayanan berkelanjutan ini.
e. Asessment, measurement, and feedback adalah penilaian dan pengukuran
kinerja yang telah dicapai oleh karyawan atas pelayanan yang telah diberikan
kepada pelangan. Penilaian ini menjadi dasar informasi balik kepada karyawan
32
tentang proses pelayanan apa yang perlu diperbaiki, kapan harus diperbaiki dan
dimana harus diperbaiki.
2.5 Keputusan Pembelian
Setiap konsumen melakukan berbagai macam keputusan tentang pencarian,
pembelian, penggunaan beragam produk, dan merek pada setiap periode tertentu.
Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003, p289) mendefinisikan suatu keputusan
adalah sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Seorang
konsumen yang hendak melakukan pilihan maka ia harus memiliki pilihan alternatif. Jika
konsumen tidak memiliki pilihan alternatif, maka hal tersebut bukanlah situasi konsumen
melakukan keputusan. Suatu keputusan tanpa pilihan tersebut maka disebut sebagai
sebuah Hobson’s choice.
Semua aspek dari afeksi dan kognisi terlibat dalam pembuatan keputusan
konsumen, termasuk pengetahuan, makna, dan kepercayaan yang digerakkan dari
memori dan atensi serta proses komprehensi yang terlibat di dalam interpretasi informasi
baru dilingkungan. Proses kunci didalam pembuatan keputusan konsumen ialah, proses
integrasi dengan mana pengetahuan dikombinasikan untuk mengevaluasi dua atau lebih
alternatif perilaku kemudian pilih satu. Hasil dari proses integrasi ialah suatu pilihan,
secara kognitif terwakili sebagai intensi perilaku. Intensi perilaku disebut rencana
keputusan (Supranto dan Limakrisna 2007, p211).
33
Gambar 2.3 Model Proses Kognitif dalam Pembuatan Keputusan Konsumen
Sumber: Peter & Olson dalam Supranto dan Limakrisna (2007, p212)
Berdasarkan faktor yang dipertimbangkan, menurut Hawkins et al. dalam
Simamora (2003, p8), pengambilan keputusan pembelian dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Pengambilan keputusan berdasarkan atribut produk (atribut-based choice)
Proses interpretasi
Sikap dan keinginan pengambilan keputusan
Perhatian terhadap pemahaman
Penemuan informasi di lingkungan
Proses integrasi
Pengetahuan, arti dan kepercayaan yang baru
Perilaku
Proses kognitif
Ingatan
Pengetahuan, arti dan kepercayaan yang tersimpan
34
Pada pengambilan keputusan ini memerlukan pengetahuan tentang apa atribut suatu
produk dan bagaimana kualitas atribut tersebut. Asumsinya, keputusan diambil
secara rasional dengan mengevaluasi atribut-atribut yang dipertimbangkan.
2. Pengambilan keputusan berdasarkan sikap (attitude-based choice)
Pengambilan keputusan ini diambil berdasarkan kesan umum, intuisi maupun
perasaan. Pengambilan keputusan seperti ini bisa terjadi pada produk yang belum
dikenal atau tidak sempat dievaluasi oleh konsumen.
2.5.1 Tingkat Pengambilan Keputusan Konsumen
Tidak semua situasi pengambilan keputusan konsumen menerima atau
membutuhkan tingkat pencarian informasi yang sama. Schiffman dan Kanuk (2007,
p487) membedakan tiga tingkat pengambilan keputusan konsumen yang spesifik, yaitu:
1. Pemecahan masalah yang luas
Pada tingkat ini, konsumen membutuhkan berbagai informasi untuk menetapkan
serangkaian kriteria guna menilai merek-merek tertentu dan banyak informasi yang
sesuai mengenai setiap merek yang akan dipertimbangkan. Pemecahan masalah
yang luas biasanya dilakukan pada pembelian barang tahan lama dan barang-barang
mewah seperti mobil, rumah, peralatan elektronik.
2. Pemecahan masalah yang terbatas
Pada tingkat ini, konsumen telah menetapkan kriteria dasar untuk menilai kategori
produk dan berbagai merek dalam kategori tersebut. Namun, konsumen belum
memiliki preferensi tentang merek tertentu. Mereka membutuhkan informasi
tambahan untuk melihat perbedaan di antara berbagai merek.
3. Perilaku sebagai respon yang rutin
35
Pada tingkat ini, konsumen sudah mempunyai beberapa pengalaman mengenai
kategori produk dan serangkaian kriteria yang ditetapkan dengan baik untuk menilai
berbagai merek yang sedang mereka pertimbangkan. Konsumen mungkin mencari
informasi tambahan, tetapi hanya untuk meninjau kembali apa yang sudah mereka
ketahui.
2.5.2 Model Sederhana Pengambilan Keputusan Konsumen
Schiffman dan Kanuk (2007, pp491-507) menggambarkan model sederhana
dalam pengambilan keputusan konsumen menjadi tiga komponen utama, yaitu:
1. Input
Komponen input terdiri dari berbagai pengaruh luar yang berlaku sebagai sumber
informasi mengenai produk tertentu dan mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan perilaku
yang berkaitan dengan produk. Yang paling utama dalam komponen input ini adalah
berbagai kegiatan bauran pemasaran dan pengaruh sosiobudaya.
Input Pemasaran
Kegiatan pemasaran perusahaan yang merupakan usaha langsung untuk
mencapai, memberikan informasi, dan membujk konsumen untuk membeli dan
menggunakan produknya. Usaha-usaha tersebut meliputi berbagai strategi
bauran pemasaran, yaitu produk, promosi, harga dan saluran distribusi.
Input Sosiobudaya
Input sosiobudaya ini terdiri dari berbagai macam pengaruh nonkomersial seperti
pengaruh dari keluarga, sumber informasi nonkomersial, kelas sosial, budaya
dan subbudaya.
2. Proses
36
Komponen proses berhubungan dengan cara konsumen mengambil keputusan.
Untuk memahami proses ini, maka harus dipertimbangkan pengaruh berbagai
konsep psikologis yang merupakan pengaruh dari dalam diri. Pengaruh-pengaruh
tersebut adalah motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, dan sikap. Proses
pengambilan keputusan konsumen terdiri dari tiga tahap, yaitu pengenalan
kebutuhan, penilaian sebelum penelitian dan penilaian berbagai alternatif.
Pengenalan Kebutuhan
Pengenalan kebutuhan terjadi ketika konsumen dihadapkan dengan suatu
masalah. Di kalangan konsumen, tampaknya ada dua gaya pengenalan
kebutuhan atau masalah yang berbeda. Pertama, merupakan tipe keadaan yang
sebenarnya, yang merasa bahwa mereka mempunyai masalah ketika sebuah
produk tidak dapat berfungsi secara memuaskan. Kedua, tipe keadaan yang
diinginkan, di mana bagi konsumen keinginan terhadap sesuatu yang baru dapat
menggerakkan proses keputusan.
Penelitian Sebelum Pembelian
Penelitian ini dimulai ketika konsumen merasakan adanya kebutuhan yang dapat
dipenuhi dengan membeli dan mengkonsumsi suatu produk. Ingatan pada
pengalaman yang lalu dapat memberikan informasi yang memadai kepada
konsumen untuk melakukan pilihan sekarang ini. Jika tidak mempunyai
pengalaman sebelumnya, mungkin konsumen harus melakukan penelitian lebih
dalam mengenai keadaan di luar dirinya untuk meperoleh informasi yang
berguna sebagai dasar pemilihan. Banyak keputusan konsumen yang didasarkan
kepada gabungan pengalaman yang lalu (sumber internal) dan informasi
pemasaran dan nonkomersial (sumber eksternal). Tingkat risiko yang dirasakan
juga dapat mempengaruhi tahap proses pengambilan keputusan.
37
Penilaian Alternatif
Ketika menilai berbagai alternatif potensial, konsumen cenderung menggunakan
dua tipe informasi, yaitu daftar merek yang akan konsumen rencanakan untuk
dipilih dan kriteria yang akan mereka gunakan untuk menilai setiap merek.
3. Output
Komponen output menyangkut kegiatan pasca pembelian yang berhubungan erat,
yaitu perilaku pembelian dan penilaian pasca pembelian. Tujuan dari kedua kegiatan
itu adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen terhadap pembeliannya.
Perilaku pembelian
Konsumen melakukan dua tipe pembelian, yang pertama adalah pembelian
percobaan, yang bersifat sebagai penjajakan konsumen untuk menilai suatu
produk melalui pemakaian langsung. Yang kedua adalah pembelian ulang,
biasanya menandakan bahwa produk memenuhi persetujuan konsumen dan
konsumen bersedia memakainya lagi dalam jumlah yang lebih besar.
Penilaian pasca pembelian
Unsur terpenting dari evaluasi pasca pembelian adalah pengurangan
ketidakpastian atau keragu-raguan yang dirasakan oleh konsumen terhadap
pilihannya. Tingkat analisis pasca-pembelian yang dilakukan para konsumen
tergantung pada pentingnya keputusan produk dan pengalaman yang diperoleh
dalam memakai produk tersebut. Jika kinerja produk sesuai harapan, maka
mungkin konsumen akan membelinya lagi. Sebaliknya, jika tidak sesuai harapan
maka konsumen akan mencari berbagai alternatif yang lebih sesuai.
Untuk penjelasan lebih lanjut, model pengambilan keputusan konsumen tersebut
diringkas ke dalam bentuk gambar sebagai berikut.
38
Gambar 2.4 Model Sederhana Pengambilan Keputusan Konsumen
Sumber: Schiffman dan Kanuk (2007, p493)
Usaha Pemasaran Perusahaan 1. Produk 2. Promosi 3. Harga 4. Saluran distribusi
Lingkungan Sosiobudaya 1. Keluarga 2. Sumber informal 3. Sumber nonkomersial lain 4. Kelas sosial 5. Subbudaya dan budaya
Pengenalan kebutuhan
Penelitian sebelum pembelian
Evaluasi alternatif
Bidang Psikologi 1. Motivasi 2. Persepsi 3. Pembelajaran 4. Kepribadian 5. Sikap
Pengalaman
Pembelian 1. Percobaan 2. Pembelian ulang
Evaluasi pasca pembelian
Pengaruh Eksternal
Pengambilan Keputusan Konsumen
Perilaku Setelah Keputusan
Input
Output
Proses
39
2.5.3 Perilaku Pembelian
Pengambilan keputusan oleh konsumen akan berbeda menurut jenis keputusan
pembelian. Assael dalam Kotler (2003, pp201-202) membedakan empat perilaku
pembelian konsumen berdasarkan pada tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat
perbedaan diantara merek, yaitu:
1. Perilaku Membeli yang Komplek (Complex Buying Behavior)
Perilaku membeli yang kompleks ini terlibat dalam tiga proses. Pertama, pembeli
mengembangkan kepercayaan tentang produknya. Kedua, pembeli mengembangkan
sikap terhadap produk. Kemudian yang ketiga, pembeli membuat pilihan pembelian
yang telah dipikirkan secara matang sebelumnya. Konsumen berperilaku membeli
seperti ini ketika mereka benar-benar terlibat dalam pembelian dan mempunyai
pandangan yang berbeda antara merek yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
biasanya terjadi ketika produknya mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangat
menonjolkan ekspresi diri.
2. Perilaku Membeli yang Mengurangi Ketidakcocokan (Dissonance Reducing Buying
Behavior)
Perilaku membeli semacam ini terjadi ketika konsumen sangat terlibat dengan
pembelian yang mahal, jarang atau berisiko, tetapi hanya melihat sedikit perbedaan
di antara merek-merek yang ada. Setelah pembelian, mungkin konsumen akan
mengalami ketidakcocokkan, dan menemukan kelemahan-kelemahan tertentu atau
mengetahui merek lain yang lebih baik. Pada situasi seperti ini, komunikasi
pemasaran sebaiknya memberikan bukti-bukti dan dukungan yang membantu
konsumen menyenangi pilihan merek mereka.
3. Perilaku Membeli Karena Kebiasaan (Habitual Buying Behavior)
40
Perilaku membeli seperti ini berada dalam keterlibatan yang rendah dan sedikitnya
perbedaan merek. Seperti misalnya ketika konsumen membeli garam, konsumen
akan membeli merek apa saja. Jika ternyata mereka tetap membeli merek yang
sama, ini hanya karena kebiasaan, bukan loyalitas terhadap merek. Biasanya hal ini
terjadi pada produk-produk yang murah dan sering dibeli. Jadi perilaku membeli
seperti ini tidak mencari informasi secara ekstensif mengenai suatu merek,
mengevaluasi sifat-sifat merek tersebut, dan mengambil keputusan yang berarti
merek apa yang akan mereka beli.
4. Perilaku Membeli yang Mencari Variasi (Variety Seeking Buying Behavior)
Situasi membeli seperti ini memiliki keterlibatan yang rendah, namun adanya
perbedaan merek yang cukup berarti. Dalam kasus semacam ini, konsumen
seringkali mengganti merek. Contohnya ketika membeli biskuit, tidak perlu banyak
evaluasi dan mengevaluasi merek tersebut selam dikonsumsi. Penggantian merek ini
terjadi karena ingin variasi, bukan karena ketidakpuasan.
Tabel 2.2 Perilaku Pembelian
Keterlibatan tinggi Keterlibatan rendah
Perbedaan mendasar
yang ada di antara
merek
Perilaku membeli yang
komplek
Perilaku membeli yang
mencari variasi
Sedikit perbedaan di
antara merek yang ada
Perilaku membeli yang
mengurangi
ketidakcocokkan
Perilaku membeli karena
kebiasaan
Sumber: Assael dalam Kotler (2003, p201)
2.5.4 Peran dalam Keputusan Pembelian
Peran keputusan pembelian merupakan hal yang penting bagi pembeli dan
penjual (perusahaan) itu sendiri. Bagi perusahaan adalah penting untuk mengetahui
41
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian, namun terdapat hal lain yang
harus juga diperhatikan perusahaan yaitu pemegang peranan dalam pembelian dan
keputusan untuk membeli.
Menurut Kotler (2003, p200), terdapat lima orang yang berperan dalam
keputusan pembelian, yaitu:
1. Pemrakarsa (Initiator), orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk
atau jasa.
2. Pemberi pengaruh (Influencer), orang yang pandangan atau nasehatnya memberi
bobot dalam pengambilan keputusan terakhir.
3. Pengambil keputusan (Decider), orang yang sangat menentukan sebagian atau
keseluruhan keputusan pembelian, apakah harus membeli, apa yang dibeli, kapan
hendak membeli, dengan bagaimana cara membeli, dan dimana akan membeli.
4. Pembeli (Buyer), orang yang melakukan pembelian sebenarnya.
5. Pemakai (User), orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa.
2.5.5 Proses Keputusan Pembelian
Menurut Kotler (2003, pp204-208), konsumen melewati lima tahap dalam proses
keputusan pembelian. Sebenarnya, proses pembelian telah dimulai jauh sebelum
pembelian aktual terjadi dan memiliki konsekuensi jauh setelah pemebelian terjadi.
Masing-masing tahap proses keputusan pembelian tersebut, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Pengenalan Kebutuhan
Proses pembelian dimulai saat konsumen mengenali sebuah keubutuhan atau
masalah. Konsumen merasakan perbedaan antara keadaan nyata dengan keadaan
yang diinginkan. Kebutuhan dapat dipicu oleh rangsangan internal ketika salah satu
42
kebutuhan normal seseorang, seperti rasa lapar dan haus muncul pada tingkat yang
cukup tinggi untuk menjadi dorongan. Suatu kebutuhan juga dapat dipicu oleh
rangsangan eksternal.
2. Pencarian Informasi
Konsumen yang tergugah kebutuhannya akan terdorong untuk mencari informasi
yang lebih banyak. Kita dapat membaginya kedalam dua tingkat. Situasi pencarian
informasi yang lebih ringan dinamakan perhatian menguat. Pada tingkat itu
seseorang hanya menjadi lebih peka terhadap informasi tentang produk. Pada
tingkat selanjutnya, orang itu mungkin memasuki masa pencarian aktif informasi.
Melalui pengumpulan informasi, konsumen akan mengetahui tentang merek-merek
yang bersaing dan keistimewaan merek tersebut. Ada empat kelompok yang menjadi
sumber informasi konsumen, yaitu:
Sumber pribadi: keluarga, teman, tetangga maupun kenalan lainnya
Sumber komersial: iklan, wiraniaga, penjual, kemasan, dan pajangan
Sumber publik: media massa, organisasi penilai konsumen
Sumber pengalaman: menangani, memeriksa dan menggunakan produk
3. Evaluasi Alternatif
Beberapa konsep dasar akan membantu kita untuk memahami proses evaluasi
konsumen. Pertama, konsumen akan berusaha untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Kedua, konsumen akan mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga,
konsumen memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan
kemampuan berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang digunakan untuk
memuaskan kebutuhan itu. Konsumen membangun keyakinan terhadap merek
mengenai posisi setiap merek pada setiap atribut. Seperangakat keyakinan mengenai
merek tertentu tersebut dikenal sebagai citra merek (brand image). Citra merek yang
43
dibentuk oleh konsumen berbeda-beda berdasarkan pengalaman, dan efek dari
persepsi selektif, distorsi selektif, dan retensi selektif.
4. Keputusan Pembelian
Dalam tahap evaluasi, konsumen membentuk preferensi atas merek-merek dalam
kumpulan pilihan. Konsumen juga mungkin membentuk niat untuk membeli produk
yang disukai. Namun dua faktor berikut dapat berada diantara niat pembelian dan
keputusan pembelian:
Faktor pertama adalah sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain
mengurangi alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal,
yaitu intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai
konsumen, dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
Semakin gencar sikap negatif orang lain dan semakin dekat orang tersebut
dengan konsumen, semakin besar konsumen akan mengubah niat
pembeliannya. Demikian juga sebaliknya.
Faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul
dan dapat mengubah niat pembelian. Konsumen mungkin membentuk niat
membeli berdasarkan faktor-faktor seperti pendapatan yang diperkirakan, harga
yang diharapkan, dan manfaat produk yang diharapkan. Namun kejadian-
kejadian yang tidak terantisipasi mungkin mengubah niat membeli tersebut.
44
Gambar 2.5 Tahap-tahap Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian
Sumber: Kotler (2003, p207)
5. Perilaku Pasca Pembelian
Setelah membeli produk, konsumen akan mengalami level kepuasan atau
ketidakpuasan tertentu. Pemasar harus memantau kepuasan pasca pembelian,
tindakan pasca pembelian dan pemakaian produk pasca pembelian. Kepuasan
pembeli merupakan fungsi dari seberapa dekat harapan pembeli atau suatu produk
dengan kinerja yang dirasakan pembeli atas produk tersebut. Jika kinerja produk
lebih rendah dari harapan, pelanggan akan kecewa. Jika ternyata sesuai harapan,
pelanggan akan puas dan jika melebihi harapan, pembeli akan sangat puas.
Perasaan-perasaan itu akan membedakan apakah pembeli akan membeli kembali
produk tersebut dan membicarakan hal-hal yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan tentang produk tersebut dengan orang lain. Kepuasan dan
ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku
selanjutnya. Jika konsumen puas, ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih
tinggi untuk membeli kembali produk tersebut. Para konsumen yang tidak puas
bereaksi sebaliknya.
Evaluasi alternatif
Keputusan pembelian
Faktor situasi yang tidak
terantisipasi
Sikap orang lain
Niat untuk membeli
45
Gambar 2.6 Perilaku Konsumen Pasca Pembelian
Sumber: Hawkins dalam Supranto dan Limakrisna (2007, p229)
Gambar 2.7 Proses Keputusan Pembelian Konsumen
Sumber: Kotler (2003, p204)
2.5.6 Elemen-elemen Dasar Pembuatan Keputusan
Ada tiga elemen dasar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, yaitu
(Supranto dan Limakrisna 2007, pp214-220):
1. Representasi
Pembelian
Penggunaan
Evaluasi
Kepuasan
Konsumen tetap
Pembelian ulang
Penggunaan yang meningkat
Penghentian penggunaan
Tanpa penggunaan
Ketidakcocokkan pasca pembelian
Disposal produk Perilaku komplain
Perpindahan
Pengenalan Kebutuhan
Pencarian Informasi
Evaluasi alternatif
Keputusan pembelian
Perilaku pasca pembelian
46
Representasi masalah mungkin pertama, menyangkut tujuan akhir; kedua, tujuan
akhir diorganisasikan kedalam suatu hierarki tujuan; ketiga, pengetahuan produk
yang relevan; keempat,suatu set aturan sederhana dengan mana konsumen mencari
untuk mengevaluasi dan mengintegrasikan pengetahuan ini untuk membuat suatu
kerangka keputusan, suatu perspektif atau kerangka referensi melalui mana
pengambil keputusan, memandang masalah dan alternatif yang harus dievaluasi.
2. Proses integrasi
Proses integrasi yang terlibat dalam pemecahan masalah membentuk dua tugas
penting, yaitu: alternatif pilihan harus dievaluasi berdasarkan kriteria pilihan dan
kemudian salah satu dari alternatif harus dipilih. Dua jenis prosedur integrasi dapat
diperhitungkan untuk dasar evaluasi dari proses pilihan ini.
3. Rencana Keputusan
Proses mengenali, mengevaluasi dan memilih di antara alternatif selama pemecahan
masalah menghasilkan suatu rencana keputusan, terdiri dari satu atau lebih intensi
perilaku.
2.6 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini intinya untuk mengetahui keputusan pembelian yang dilakukan
oleh para pelanggan di Giant Hypermarket. Keptusan pembelian yang dimaksud adalah
dimulai dari pengenalan kebutuhan pelanggan akan suatu tempat berbelanja hingga
pada akhirnya pelanggan memutuskan untuk berbelanja di Giant Hypermarket, serta
perilakunya setelah berbelanja. Melalui penelitian ini akan diketahui apakah brand image
47
dan kualitas pelayanan mempengaruhi keputusan pembelian yang dilakukan oleh para
pelanggan.
Gambar 2.8 Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis
Brand Image
(X1)
Kualitas Pelayanan
(X2)
Giant Hypermarket
1. Bukti langsung
2. Kehandalan
3. Daya tanggap
4. Jaminan
5. Empati
1. Pelayanan karyawan
2. Kualitas produk
3. Pilihan produk
4. Suasana
5. Kenyamanan
6. Harga
Keputusan Pembelian
(Y)
1. Pengenalan kebutuhan
2. Pencarian informasi
3. Evaluasi alternatif
4. Keputusan pembelian
5. Perilaku pasca pembelian
48
2.7 Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu proporsi atau anggapan yang
mungkin benar, dan sreing digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan/pemecahan
persoalan ataupun untuk dasar penelitian lebih lanjut. Anggapan/asumsi dari suatu
hipotesis juga merupakan data, akan tetapi karena kemungkinan bisa salah, maka
apabila akan digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan harus diuji terlebih dahulu
dengan menggunakan data hasil observasi. (Supranto2001, p 124)
Untuk dapat diuji, suatu hipotesis haruslah dinyatakan secara kuantitatif.
Pengujian hipotesis statistik ialah prosedur yang memungkinkan keputusan dapat dibuat,
yaitu keputusan untuk menolak atau tidak menolak hipotesis yang sedang diuji.
Variabel:
X1 = brand image
X2 = kualitas pelayanan
Y = keputusan pembelian
1. Hipotesis 1 Bagaimana pengaruh brand image terhadap keputusan pembelian
konsumen di Giant Hypermarket?
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara brand image terhadap
keputusan pembelian konsumen di Giant Hypermarket
H1 = Ada pengaruh yang signifikan antara brand image terhadap keputusan
pembelian konsumen di Giant Hypermarket
2. Hipotesis 2 Bagaimana pengaruh kualitas pelayanan terhadap keputusan
pembelian konsumen di Giant Hypermarket?
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan terhadap
keputusan pembelian konsumen di Giant Hypermarket
49
H1 = Ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan terhadap
keputusan pembelian konsumen di Giant Hypermarket
3. Hipotesis 3 Bagaimana pengaruh brand image dan kualitas pelayanan secara
bersama-sama terhadap keputusan pembelian konsumen di Giant
Hypermarket?
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara brand image dan kualitas
pelayanan secara bersama-sama terhadap keputusan pembelian
konsumen di Giant Hypermarket
H1 = Ada pengaruh yang signifikan antara brand image dan kualitas pelayanan
secara bersama-sama terhadap keputusan pembelian konsumen di Giant
Hypermarket