SKRIPSI - Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 7. 24. · skripsi...
Transcript of SKRIPSI - Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 7. 24. · skripsi...
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA
TUNTUTAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.)
OLEH
M. KHAERUL
B111 14 562
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA
TUNTUTAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian
Studi Sarjana Departemen Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
OLEH
M. KHAERUL
B111 14 562
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
M. KHAERUL (B111 14 562), dengan judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum dalam Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.)” dibawah bimbingan Bapak Slamet Sampurno sebagai pembimbing I dan Ibu Hijrah Adhyanti Mirzana sebagai pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengertahui hal-hal yang dapat menjadikan perkara pidana diputus lepas dari segala tuntutan hukum serta pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Takalar dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana penggelapan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.
Penelitian ini dilaksanakan di instansi Pengadilan Negeri Takalar. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis juga menggunakan teknik penggumpulan data berupa penelitian pustaka dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara langsung terhadap narasumber di instansi tersebut. Yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif (doktrinal) atau penelitian hukum kepustakaan, oleh karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder juga bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian dan diperoleh dari berbagai sumber.
Menurut penulis dapat disimpulkan bahwa Hal yang dapat diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Alle Rechtsvervolging) ialah dilihat dari segi pembuktian dan penuntutan juga dilihat dari Pasal 44,48,49,50,51 KUHP. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan pengadilan dilihat juga bahwa pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana melainkan perbuatan hukum pinjam meminjam (wanprestasi). Melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana penggelapan dalam perkara Putusan Nomor. 68/Pid.B/2016/PN. Tka. Ialah, Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van recht vervolging) dalam perkara ini adalah dakwaan primair Pasal 378 KUHP yaitu tidak memenuhi unsur sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaanya. Selanjutnya dakwaan subsidair dalam Pasal 372 KUHP memenuhi unsur tetapi perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan hukum perdata, sehingga hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. seharusnya Hakim mempertimbangkan lebih jauh dan memahami hukum lebih dalam kasus perkara ini karena tidak selamanya perbuatan hukum yang dimulai dengan kontraktual tidak mungkin ada unsur pidananya, sehingga hal inilah yang harus dilakukan pembuktian lebih dalam oleh Majelis Hakim untuk memutuskan/menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa.
vii
ABSTRACT
M. KHAERUL (B111 14 562), with the title "Juridical Review of the Decision of All Lawsuits in Darkening Crime (Case Study of Decision Number 68 / Pid.B / 2016 / PN Tka.)" Supervised by Slamet Sampurno as supervisor I and Hijrah Adhyanti Mirzana as supervisor II.
This study aims to find out things that can make criminal cases severed from all lawsuits and considerations of the Takalar District Court Judge in imposing decisions free from all lawsuits in embezzlement No. 68 / Pid.B / 2016 / PN Tka.
This research was carried out in the Takalar District Court. To achieve this goal the author also uses data collection techniques in the form of literature research and field research by conducting direct interviews with resource persons in the agency. What is used is normative juridical (doctrinal) legal research or library law research, because it is done by examining library material or secondary data as well as materials related to research and obtained from various sources.
As for the results of research conducted by the author it can be concluded that the things that can be cut off from all lawsuits (Ontslag van Alle Rechtsvervolging) are seen in terms of evidence and prosecution also seen from Article 44,48,49,50,51 of the Criminal Code. From the results of the examination before the court hearing it was also seen that the criminal charges charged by the Public Prosecutor were indeed proven legally and convincingly according to the law but the act was not a criminal act but a legal act of borrowing (default). Release the defendant from all lawsuits due to forgiveness reasons and justification reasons. The judge's consideration in dropping the verdict out of all lawsuits in embezzlement in the case of Number Decision. 68 / Pid.B / 2016 / PN. Tka. The judge's consideration in dropping the verdict out of all lawsuits (Onslag van recht vervolging) in this case is the Article 378 criminal code primary indictment that is not fulfilling the element so that the Defendant must be released from his indictment. Furthermore, the subsidiary charge in Article 372 of the Criminal Code fulfills the elements but the defendant's actions are not a criminal act, but a civil law act, so that the judge makes a decision free from all lawsuits. The Judge should consider further and understand the law more in this case because it is not always possible for a legal action to start with contractual elements to have a criminal element, so that this is what must be done deeper by the Panel of Judges to decide / drop the sentence the defendant.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualikum Wr.Wb,
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Shalawat
beriring salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
segenap keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang mengikuti
ajarannya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan segala kendala dalam
Penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum dalam Tindak Pidana Penggelapan
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.)” yang
merupakan tugas akhir dan salah satu syarat akademis yang diwajibkan
dalam pencapaian gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
Dengan segala kerendahan hati, Terima kasih sebasar-besarnya
penulis haturkan kepada keluarga tercinta, kedua orang tua penulis H.M.
Sahar Samiung dan Hj.Kartini, serta kakak M. Saldi, adik-adik penulis
Fadel Muhammad dan Widya Eka Putri yang senantiasa memberikan
semangat dan doa kepada penulis yang juga dengan penuh kasih sayang
telah membesarkan, mengayomi, mendidik dan terus memberikan segala
bentuk dukungan dengan penuh cinta dan kasih sayang dengan harapan
agar kelak dikemudian hari Penulis dapat menjadi manusia yang berguna
bagi keluarga, nusa dan bangsa. Untuk sementara, ini mungkin yang
dapat menjadi hadiah dari Penulis.
Pada kesempatan ini pulalah penulis berkenan mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Rektor.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Dekan.
3. Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H. DFM dan Dr. Hijrah
Adhyanti Mirzana, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan
Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
ix
4. Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., bapak H.M. Imran Arief,
S.H. M.H., dan Dr.Nur Azisa, S.H., M.H. selaku tim Penguji. Terima
kasih atas kritikan serta masukan untuk skripsi ini yang sangat
bermanfaat untuk Penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Hukum Unhas yang telah menjadi dosen
yang kaya akan ilmu, pengalaman, dan nasehat-nasehat selama
Penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum Unhas.
6. Kepada Penasihat Akademik Penulis, Dr. Winner Sitorus, S.H.,
LL.M. yang senantiasa memotivasi Penulis agar meningkatkan nilai
IP di setiap semesternya hingga titik Penulisan skripsi
7. Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H selaku (WD 1) Wakil Dekan
Bidang Akademik dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang banyak memberikan pemahaman, pembelajaran,
pengalaman serta motivasi selama penulis menjabat sebagai Ketua
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) periode 2017-2018.
8. Para pegawai akademik dan seluruh pegawai di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terima kasih atas kinerja
dan bantuan untuk Penulis selama ini.
9. Terima kasih kepada teman-teman Dewan Perwakilan Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin periode 2017/2018 Ahwal
Hidayat AM, Muh.Fauzi Ramdhan, Jhody Alan Gunarsa, Robert
Setyawan, Arsad Iskandar, Putra Pamungkas, Muh.Fahri,
Hasrianto Demmalino, Supriadi, Wahyu Adji Wibowo, Asmarani
Dewi, Nurul Faathier, dan Risna Iskandar yang telah bekerja
sama dalam kepengurusan ini.
10. Terima kasih keluarga Alsa Lc Unhas, Garda Tipikor, LeDHaK
Unhas, dan KKMB Unhas, yang telah dan akan terus menjadi
rumah bagi Penulis mengenai banyak hal, dan banyak pengalaman
dan pengetahuan tentang berorganisasi. Semoga apa yang telah
diperbuat terhadap organisasi dapat bernilai ibadah dan sebagai
bentuk keterlibatan kita semua dalam tujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
x
11. Terima kasih kepada seluruh Lembaga Kemahasiswaan pada
lingkup Fakultas Hukum Unhas dan teman seperjuangan sdr. Didi
Muslim Sekutu, sdr. Dedy Chaidiryanto, sdr. Ashar Ashari
Zainal, sdr. Akram Syarif, yang tempat bagi Penulis belajar dan
bermitra selama berorganisasi.
12. Terima kasih buat sist Nurfatimah, Risna Iskandar, Fitrayanti
Arsyad Putri, Andi Tiara Dwi Sartika Argan, Andi Samsinar,
Andini Cahyani Yusuf, Rani Yuniarsih dan dinda Istifany Syarif,
Andi Ade yang telah menyemangati penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi tersebut.
13. Terima kasih kepada teman-teman angkatan DIPLOMASI 2014
yang telah mengisi serta menemani masa perkuliahan Penulis.
14. Terima kasih kepada teman-teman KKN Tematik Gel. 96 Kab.
Pangkap Kec. Minasate’ne Tahun 2017 yang telah menjadi
keluarga bagi penulis selama menjalani program KKN.
15. Dan terakhir terima kasih kepada seluruh pihak yang tak sempat
Penulis tuliskan, mungkin terkendala di ingatan Penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Demikian ucapan terima kasih ini. Mohon maaf yang terdalam jika
Penulisan nama dan gelar tidak sesuai. Terima kasih atas segala bantuan
yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalasnya, Amin Ya Rabbal
Alamin.
Akhirnya, Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan senang hati akan diterima segala saran
dan kritikan yang bersifat membangun. Terimakasih..
Wassalamualaikum Wr.Wb,
Makassar, Oktober 2018
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................................ ii
PESETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ............................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ............................................ 8
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................ 8
2. Asas-asas Hukum Pidana ................................................ 9
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................. 11
B. Tindak Pidana Penggelapan ................................................ 19
1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan .......................... 19
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan ......................... 21
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan ....................... 27
C. Putusan Pengadilan ............................................................. 31
1. Putusan Hakim dalam Putusan Pidana ............................ 32
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim ......... 39
3. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan ......... 41
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 45
A. Tipe Penelitian ..................................................................... 45
B. Pendekatan Penelitian ......................................................... 45
xii
C. Bahan Hukum ...................................................................... 46
D. Analisis Bahan Hukum ......................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 48
A. Hal-hal yang Dapat Menjadikan Perkara Pidana Diputus
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum .................................... 48
B. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Lepasdari Segala Tuntutan Hukum dalam Tindak Pidana
Penggelapan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka ........................ 52
1. Posisi Kasus .................................................................... 52
2. Amar Putusan .................................................................. 64
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 75
A. Kesimpulan .......................................................................... 75
B. Saran ................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Hal
ini secara jelas disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang rumusannya “Negara ini
adalah Negara hukum”.1
Salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
masyarakat atau dalam suatu negara ialah hukum pidana yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang dilarang yang disertai ancaman berupa
nestapa atau penderitaan bagi barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut2.
Masalah pidana yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah
tindak pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana materiil), seperti
pencurian pemerasan, penggelapan, penipuan, perusakan, dan
penadahan. Dari berbagai jenis tindak pidana terhadap harta kekayaan
tersebut yang saat ini sangat marak terjadi yaitu tindak pidana
penggelapan. Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kualifikasi penggelapan adalah
1 Lihat pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. 2 Moeljatno, 1983, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 1.
2
perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagai atau seluruhnya
yang dalam hal ini penguasaan atas barang itu sudah pada pelaku, tapi
penguasaan itu terjadi secara sah. Sementara itu penipuan diatur dalam
Pasal 378 KUHP, yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang.3
Tindak pidana Penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV
(Buku II) KUHP Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP. Pengertian dari
penggelapan itu sendiri tidak dirumuskan secara khusus dalam KUHP.
Penggelapan bukan berarti membuat sesuatu menjadi gelap atau terang,
namun memiliki pengertian yang luas. Ada beberapa bentuk tindak pidana
penggelapan, baik dalam penggelapan, baik dalam penggelapan dalam
bentuk pokok yang diatur dalam Pasal 372 KUHP yang merupakan
ketentuan yuridis dari tindak pidana penggelapan itu sendiri, penggelapan
ringan yang diatur dalam Pasal 373 KUHP, penggelapan dalam bentuk
pemberat dimana ada ketentuan khusus yang menyebabkan tindak
pidananya dijadikan alasan pemberatan yang diatur dalam Pasal 374 dan
375 KUHP, dan tindak pidana penggelapan dalam keluarga yang diatur
dalam Pasal 376 KUHP. Tindak pidana dalam jabatan itu sendiri terdiri
dari unsur-unsur objektif berupa perbuatan memiliki, objek kejahatan
3 R. Soesilo, 1995, Kitab undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-
Koementarnya, Politeia, Bogor, hlm. 258-260.
3
sebuah benda, sebagian atau keseluruhnya milik orang lain dan dimana
benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dan unsur-
unsur subjektif berupa kesengajaan dan melawan hukum. Selain itu ada
beberapa unsur khusus yang digunakan terhadap tindak pidana
penggelapan dalam jabatan yaitu karena adanya hubungan kerja, jabatan,
dan mendapatkan upah khusus.
Dalam sistem peradilan pidana, mempunyai pengaturan penanganan
perkara masing-masing dalam setiap tahapannya, baik dari tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan oleh majelis hakim
dalam persidangan. Hakim dalam memutus perkara haruslah
mempertimbangkan keterangan dari seluruh pihak yang terkait dalam
suatu perkara pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur 3
(tiga) jenis putusan hakim, yaitu salah satunya dalam pasal 191 ayat (1)
KUHAP mengatur putusan lepas (onslag van recht vervolging). Seorang
terdakwa dapat diputus lepas dari segala tuntutan hukum apabila cukup
bukti menurut hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti menurut ketentuan hukum acara pidana, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana. Hakim harus jeli dan cermat dalam
melihat argumentasi Jaksa Penuntut Umum baik mengenai kesalahan
terdakwa, perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa, dan alat bukti
dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, serta argumentasi Penasihat
Hukum dalam membela terdakwa dan alat bukti yang dihadirkan oleh
4
terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Sehingga sebelum putusan
dijatuhkan pertimbangan hakim betul-betul meyakinkan menurut hukum.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum juga bisa didasarkan atas
penilaian bahwa kesalahan yang cukup terbukti itu lalu tidak diikuti
keyakinan hakim sehingga nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh
dan terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Dari identifikasi penulis menemukan kasus tindak pidana yang
diproses dimuka pengadilan dan kemudian diputus lepas dari segala
tuntutan hukum oleh majelis hakim, baik pada tingkat pertama di
Pengadilan Negeri maupun tingkat banding di Pengadilan Tinggi.
Terhadap beberapa alasan-alasan hukum (ratio decidendi) hakim dalam
menjatuhkan putusan bebas dan lepas terhadap terdakwa. Salah satu
kasus yang didakwa sebagai kasus penggelapan oleh penuntut umum
adalah kasus penggelapan yang menipa Hasan Alamudin SH., alias Tuan
Hasan Bin Alimudin.4 Sirua sebagai korban warga Kec. Galesong Utara
Kab. Takalar yang mengalami kerugian sebesar Rp. 270.000.000,- (dua
ratus tujuh puluh juta rupiah) karena Terdakwa meminjam uang dengan
alasan untuk keperluan adiknya diterima manjadi anggota kepolisian serta
untuk membeli keperluan belanja bahan bangunan yang dijual di toko
Terdakwa sehingga korban merasa iba dan tergerak hatinya untuk
memberikan pinjaman dengan jumlah uang tersebut dalam jangka waktu
pengembalian atara 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan. Kasus ini telah diputus
4 Lihat putusan Pengadilan Negeri Takalar Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka.
5
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Takalar dengan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (Putusan Nomor: 68/Pid.B/2016/PN Tka.).
Hakim dalam memutus perkara tersebut diatas dengan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum dengan mempertimbangkan bahwa ternyata
memang antara Terdakwa dengan korban memiliki kesepakatan dalam
hal pinjam meminjam atau hutang piutang, dan atas dasar kesepakatan
tersebut korban mengirimkan sejumlah uang ke rekening Terdakwa.
Namun terdakwa dinilai oleh korban tidak memiliki kesungguhan dalam
memenuhi kewajibannya yang telah ditentukan bersama, yaitu
pengembalian hutan pokok ditambah uang jasa. Hal ini mana dikarenakan
adanya perbedaan pandangan Terdakwa korban berkenaan dengan nilai
uang pinjaman atara keduanya, baik yang diminta Terdakwa dari korban
maupun sebaliknya uang yang telah diserahkan korban kepada Terdakwa,
sehingga dengan nyatanya fakta serah terima uang adalah atas dasar
perjanjian yang diakui kedua belah pihak, maka unsur “Barang itu ada
padanya bukan karena kejahatan” telah terpenuhi. Tetapi lebih jauh hakim
mempertimbangkan bahwa Terdakwa memang terbukti melakukan
perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum
kepadanya, namun demikian perbuatan tersebut tidak merupakan tindak
pidana melainkan peristiwa atau perbuatan hukum perdata (wanprestasi),
yaitu terdakwa keliru dalam memenuhi prestasinya atau setidak-tidaknya
terdakwa tidak sempurna dalam memenuhi prestasinya sehingga
Terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
6
Maka berdasarkan uraian di atas penulis ingin menganalisis proses
hukum di atas sampai dengan dijatuhkannya putusan oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Takalar, apakah hakim dalam putusan tersebut sudah
tepat dan apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan serta bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan dimaksud. Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka penulis ingin melakukan penelitian hukum dengan judul Tinajuan
Yuridis terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam
perkara tindak pidana penggelapan (Studi Kasus putusan Nomor
68/Pid.B/2016/PN.Tka).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas adalah :
1. Dalam hal apakah suatu perkara pidana diputus lepas dari segala
tuntutan hukum ?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana
penggelapan pada perkara nomor: 68/Pid.B/2016/ PN.Tka ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dalam hal apakah suatu perkara pidana diputus
lepas dari segala tuntutan hukum; dan
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pertimbangan hakim untuk
menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam
7
tindak pidana penggelapan pada perkara nomor:
68/Pid.B/2016/PN.Tka.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan
hukum khususnya hukum pidana, dan dapat dijadikan sebagai
referensi bagi para akademisi yang berminat pada masalah-
masalah hukum pidana.
2. Memberikan masukan kepada masyarakat dan aparat penegakan
hukum dalam upaya melakukan tindakan preventif terhadap
kejahatan khususnya tindak pidana penggelapan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
sering mempergunakan istilah delik , sedangkan perbuatan undang-
undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana
atau tindak pidana.5
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit.6 Strafbaar feit terdiri dari tiga kata
yakni straf, baar dan feit. Dari istilah yang dikemukakan sebagai
terjemahan dari strafbaar feit itu ternyata straf diterjemahkan dengan
pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan tindak
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.7
Berikut ini beberapa pengertian strafbaar feit yang dikemukakan oleh
para ahli :
a. Menurut Pompe, merumuskan bahwa suatu straftbaar feit itu
sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu yang menurut sesuatu
5 Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, ,
hlm. 18. 6 Adami chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm 67. 7 Ibid, hlm 69.
9
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.8
b. Menurut Vos, Vos merumuskan bahwa straftbaar feit adalah suatu
kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan.9
c. Menurut Van Hamel, Kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.10
d. Menurut Moeljatno, Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan nama disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.11
Berdasarkan berbagai penjelasan terkait dengan tindak pidana di
atas, maka dapat diartikan apa yang dimaksud dengan tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung
jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang dan
disertai dengan sanksi pidana.
2. Asas-asas Hukum Pidana Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana ialah “tidak
ada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas ketentuan-
ketentuan pidana dalam Undang-undang yang ada terlebih dahulu dari
perbuatan itu. Asas legalitas biasa disebut (the principle of legality), yaitu
asas yang menentukan bahwa setiap peristiwa pidana (delik/tindak
8 Ibid, hlm. 72.
9 Ibid.
10 Moeljatno, Op.Cit, hlm. 61.
11 Ibid, hlm. 54.
10
pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang atau suatu
aturan hukum yang telah ada dan berlaku sebelum orang itu melakukan
perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik tersebut diancam dengan
pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum bagi si
pembuat.12
Berlakunya asas legalitas seperti yang dijelaskan diatas bahwa ia
memberikan sifat melindungi pada Undang-undang pidana yang dilindungi
rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari
pemerintah. Inilah yang disebut dengan fungsi melindungi dari Undang-
undang pidana dan disamping fungsi melindungi, Undang-undang pidana
juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu didalam batas yang ditentukan
oleh Undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara
tegas diperbolehkan.
Rumusan tersebut diatas juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu
(nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali). Bahwa tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan Undang-undang
terlebih dahulu. Jadi penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, ada tiga (3)
pokok yakni: 13
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila
perbuatan itu tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-
12
Amir Ilyas, Op.cit.,Hlm 12. 13
Ibid,. Hlm 12-13.
11
undangan sebelum/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang
mengatur sebelumnya jika orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana)
tidak boleh menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak
boleh berlaku surut.
Sementara itu, Amir Ilyas mengutip Eddy O.S. Hiariej yang
mengemukakan bahwa asas-asas dalam hukum pidana salah satunya
ialah kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus hominis
est anima scripti).14 Jadi dalam sebuah tindak pidana harus dilihat apakah
pelaku sengaja/tidak sengaja melakukan perbuatannya. Hal tersebut
menjadi penting untuk diperhatikan oleh hakim dalam memutus suatu
perkara.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana
1) Menurut Para Ahli
Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat pada
rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambil dari batasan tindak
oleh teoretisi yakni: Moeljatno, R. Tresna, Vos, Jonkers, Schravendijck
sebagai berikut:15
Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:16
a. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;
14
Amir Ilyas dan Muhammad Nursal, 2016, Kumpulan Asas-asas Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm 9
15 Adami chazawi, Op.Cit, hlm. 79
16 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung,
hlm 98.
12
b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
c. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum); d. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabkan; e. Perbuatan itu harus dipersalahkan kepada si pembuat.
Menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:17
a. Perbuatan/rangkain perbuatan (manusia) b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Dan diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur ketiga kalimat diadakan tindakan penghukuman terhadap
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu
diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno,
karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak
dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa
setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti
dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal
syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat
dijatuhkannya pidana.
Menurut batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak
pidana sebagai berikut:18
a. Kelakuan manusia; b. Diancam dengan pidana; dan c. Dalam peraturan perundang-undangan Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut
paham dualistis tersebut tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana
itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-
undang dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur
17
Adami chazawi,Op.Cit., hlm. 80. 18
Ibid.
13
yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri
si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai
perbuatannya.
Apabila dibandinglan dengan pendapat penganut paham monistis
memang tampak berbeda. Ada dua rumusan yang dikemukakan oleh para
ahli penganut paham monistis, yaitu Jonkers dan Schravendijk.
Dari pada beberapa pandangan ahli diatas yang berpandangan
monistis dan dualistis penulis dapat memberikan kesimpulan atas
beberapa penafsiran oleh ahli tersebut.
2) Menurut Undang-Undang
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana
tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku III memuat
pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap
rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/perbuatan walaupun ada
pengecualian. Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang
dicantumka; sama sekali tidak dicantumkan unsur-unsur lain baik sekitar
atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk
rumusan tertentu.19 Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam
KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tidak pidana, yaitu:20
a) Unsur tingkah laku
Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat. Oleh karena itu
perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Jika
19
Adami Chazawi,Pelajaran hukum pidana 1, Op.cit.,hlm 81. 20
Ibid., hlm 82-115.
14
ada rumusan tindak pidana yang tidak mencamtumkan unsur
tingkah laku, cara perumusan seperti itu merupakan suatu
pengecualian belaka dengan alasan tertentu, dan tidak berarti
tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan.
b) Unsur sifat melawan hukum
Melawan hukum merupakan suatu sifat tercelahnya atau
terlarangnya dari suatu perbuatan dimana sifat tercela tersebut
dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum
formil/formelle wederrechtelijck) dan dapat bersumber pada
masyarakat (melawan hukum materil/meteriel wederrechtelijck).
Berpegang pada pendirian ini setiap perbuatan yang ditetapkan
sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan
perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat
apakah unsur melawan hukum itu dicamtumkan ataukah tidak
dalam rumusan, maka rumusan tindak pidana itu sudah mempunyai
sifat melawan hukum.
c) Unsur kesalahan
Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan.
Oleh karena itu, unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan
bersifat subjektif. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin
pelaku adalah unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan
akibat serta melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya
15
dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan
keadaan batin pembuatnya inilah pertanggungjawaban dapat
dibebankan pada orang itu. Dengan demikian, tehadap pelaku
dapat dijatuhi pidana. Unsur kesalahan dalam hukum pidana
berhubungan dengan pertanggungjawaban atau mengandung
beban pertanggungjawaban pidana yang terdiri atas kesengajaan
(dolus) dan kelalaian (culpa).
d) Unsur akibat konstitutif
Ada 3 Unsur akibat kostitutif ini yaitu:
1. Tindak pidana meteril (materieel delicten) atau tindak pidana
dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana;
2. Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat
sebagai pemberat pidana; dan
3. Tindak pidana dimana akibat hukum merupakan syarat
dipidananya pembuat.
e) Unsur keadaan yang menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa
semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan
dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan
rumusan tindak pidana dapat berupa sebagai berikut:
1. Unsur keadaan yang menyertai mengenai cara melakukan
perbuatan;
16
2. Unsur cara untuk dapat dilakukannya perbuatan;
3. Unsur keadaan menyertai mengenai objek tindak pidana;
4. Unsur kedaan yang menyertai mengenai subjek tindak pidana;
5. Keadaan yang menyertai, mengenai tempat dilakukannya tindak
pidana;
f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana
aduan adalah tindak idana yang hanya dapat dituntu pidana jika
ada pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan memiliki
substansi yang sama dengan laporan, yaitu keterangan atau
informasi mengenai telah terjadi tindak pidana yang disampaikan
kepadan pejabat penyelidik atau penyidik yakni Kepolisian, atau
dalam hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri
setempat.
g) Unsur syarat tambahan untuk menjerat memperberat pidana
Unsur ini merupakan alasan untuk diperberatnya pidana dan bukan
unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana
sebagaimana pada tindak pidana materi. Unsur syarat tambahan
untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak
pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat
terjadi tanpa adanya unsur tersebut.
h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur
kadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan
17
yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila
setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka
terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan
karenanya Si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan
hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya
digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi
kepentingan hukum dari perbuatan itu terletak pada timbulnya
unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya
setelah dilakukan perbuatan, tetapi berbeda secara prinsip.
i) Unsur objek hukum tindak pidana
Unsur mengenai objek pada dasarnya adalah unsur kepentingan
hukum (rechtsbelang) yang harus dilindungi dan dipertahankan
oleh rumusan tindak pidana. Dalam setiap rumusan tindak pidana
selalu ada kepentingan hukum yang dilindungi. Memang di dalam
rumusan tindak pidana terkandung dua hal yang saling bertolak
belakang, Seperti pedang bermata dua. Maka pedang yang satu
melindungi kepentingan hukum orang yakni korban, dan mata
pedang yang satu menyerang kepentingan hukum orang yakni si
pembuat tindak pidana.
j) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
Dibentuknya rumusan tindak pidana pada umumnya ditujukan pada
setiap orang artinya dibuat untuk diberlakukan pada semua orang.
Rumusan tindak pidana seperti ini dimulai dengan kata
“barangsiapa” (hij die), atau pada tindak pidana khusu kadang
dengan merumuskan “setiap orang”. Tetapi ada beberapa tindak
18
pidana dirumuskan dengan tujuan hanya diberikan pada orang
tertentu saja. Dalam tindak pidana yang dimaksudkan terakhir ini,
dalam rumusannya secara tegas kepada siapa norma hukum tindak
pidana diberlakukan. Kepada orang-orang tertentu yang
mempunyai kualitas atau memenuhi kualitas tertentu itulah yang
dapat diberlakukan rumusan tindak pidana. Unsur kualitas subjek
hukum tindak pidana dalah unsur kepada siapa rumusan tindak
pidana itu ditujuhkan tersebut. Unsur kualitas subjek hukum tindak
pidana selalu merupakan unsur tindak pidana yang bersifat objektif.
k) Unsur syarat tambahan memperingan pidana
Unsur ini bukan berupa unsur pokok yang membentuk tindak
pidana, dengan unsur syarat tambahan lainnya, seperti unsur
syarat tambahan untuk memperberat pidana. Unsur ini diletakkan
pada rumusan suatu tindak pidana tertentu yang sebelumnya telah
dirumuskan. Ada duan macam unsur syarat tambahan yang bersifat
objektif dan unsur syarat tambahan yang bersifat subjektif. Bersifat
objektif, misalnya terletak pada nilai atau harga objek kejahatan
secara ekonomis pada pencurian ringan, penggelapan ringan,
penipuan ringan, atau perusakan benda ringan. Bersifat subjektif
artinya faktor yang meringankan terletak pada sikap batin Si
pembuatnya, ialah apabila tindak pidana dilakukan karena
ketidaksengajaan atau culpa.
19
B. Tindak Pidana Penggelapan
1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan adalah suatu kejahatan yang hampir sama dengan
pencurian dalam Pasal 362 KUHPidana. Bedanya ialah bahwa pada
pencurian barang yang dimilki itu masih belum berada dalam tangan
pencuri dan masih harus diambilnya, sedangkan pada penggelapan waktu
memilkinya barang itu sudah ada ditangan pembuat tidak dengan jalan
kejahatan.21
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia22 (KBBI) “Penggelapan”
diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Dapat
diuraikan selanjutnya bahwa penggelapan dapat dikatakan perbuatan
merusak kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa pelaku
yang baik.
Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan bahwa akan
lebih tepat jika istilah penggelapan diartikan sebagai penyalah gunaan
hak” atau “penyalahgunaan kekuasaan”. Artinya tetapi para sarjana ahli
hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan”. Penggelapan
adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan
dalam Pasal 362 KUHP. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki
itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya,
21
R. Soesilo, 1984, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea, Bogor, hlm. 130-131.
22 Diunduh dari http://kbbi.kata.web.id/penggelapan/ diakses pada 29 Mei 2018,
Pukul 22.42 Wita.
20
sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di
tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
Bab XXIV (buku II) KUHPidana mengatur tentang penggelapan
(verduistering) terdiri dari 5 Pasal (372 s/d 376) KUHP. Disamping
penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak
pidana lainnya, yang masih mengenai penggelapan, yaitu Pasal 415 dan
417 KUHP, tindak pidana mana sesunggunya merupakan kejahatan
jabatan, yang kini diatur secara khusus melalui Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, oleh karenanya
tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan
jabatan (Bab XXVIII).
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam Pasal 372
yang merumuskan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagaian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00.” Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan diatas
tidak memberi arti bahwa sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau
tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan Verduistering
yang ke dalam bahasa diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan
itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan
diartiakan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membuat sesuatu
menjadi tidak terang atau gelap.
21
Kejahatan yang disebutkan diatas ialah “Penggelapan Biasa” dalam
kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah
berada ditangan si pelaku dengan jalan kejahatan atau sudah
dipercayakan kepadanya. Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda
oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya.
Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang
diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi
gelap atau terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut
menyalah gunakan.
Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut diatas, jika dirinci
terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe
igenen), sesuatu benda (eenig goed), yang sebagian atau seluruhnya
milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan kerena
kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan
sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum
(wederrechtelijk).23
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Tindak
pidana penggelapan Bab XXIV (Buku II) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana maka penggelapan itu dibeda-bedakan atas empat macam,
yaitu:24
a. Penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP)
23
Adam Chazawi, 2003, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, hlm. 70.
24 R. Soesilo, Op. Cit. hlm. 132.
22
b. Penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP) c. Penggelapan dengan pemberatan (Pasal 374 KUHP); dan d. Penggelapan berat dalam keluarga. Perbedaan Jenis tindak pidana penggelapan dalam KUHP Bab XXIV
(Buku II), antara lain :
a. Penggelapan Biasa
Penggelapan biasa atau sering juga dikenal dengan tindak pidana
dalam bentuk pokok. Penggelapan yang ketentuannya telah diatur
dalam Pasal 372 KUHP yang menegaskan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dan berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah”.
Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa” dalam Tindak pidana
penggelapan (verduistering). Adapun unsur-unsur dalam penggelapan
biasa yang terdapat dalam Pasal 372 ada dua unsur, yaitu unsur
objektif dan unsur subjektif.
1) Unsur objektif
a. Perbuatan memiliki;
b. Barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain;
c. Barang itu ada padanya atau dikuasai bukan karena kejahatan.
2) Unsur subjektif
a. Kesengajaan : dan
b. Melawan Hukum
23
Maksud memiliki merupakan setiap perbuatan menguasai barang
atau suatu kehendak untuk menguasai barang atas kekuasaannya
yang telah nyata dan merupakan tindakan sebagai pemilik barang.
Dengan sengaja maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku telah menyadari dan mengegetahui ketika menguasai barang
yang ada padanya dengan tidak mau mengembalikan dan perbuatan
yang dilakukan disadari telah melawan hukum, serta penguasaan
terhadap barang itu hanya untuk kepentingan pribadinya.25
b. Penggelapan ringan
Penggelapan ringan merupakan penggelapan yang telah diatur
dalam Pasal 373 KUHP. Dalam ketentuan pasal tersebut merumuskan
sebagai berikut:
“Perbuatan yang telah dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima pulih rupiah”
Berdasarkan rumusan diatas, yang menjadi Pasal 373 KUHP
menggolongkan sebagai penggelapan ringan adalah
dipertimbangkannya unsur bukan ternak dan harga tidak lebih dari
dua puluh lima rupiah.
c. Penggelapan dengan pemberat
Penggelapan dengan pemberat diatur dalam Pasal 374 KUHP
sebagaimana tindak pidana lainnya, tindak pidana penggelapan
25
Ismu Gunadi-Jonaedi Efendi, 2014, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Kencana Prenadamedia Group, Rawamangun, hlm. 140.
24
dengan pemberat adalah tindak pidana yang dalam bentuk pokoknya
terdapat unsur-unsur yang memberatkan dalam ancaman pidana.
Istilah yang dipakai dalam bahasa hukum adalah penggelapan
berkualifikasi.
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang dalam penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena jabat/annya atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
Unsur yang memberatkan dalam pasal ini adalah unsur adanya
“hubungan kerja” dan “karena jabatannya” yang dimaksudkan dalam
hubungan kerja tidak hanya dalam institusi pemerintah ataupun
perusahaan-perusahaan swasta, tetapi juga terjadi antara
perseorangan.26
d. Penggelapan dalam lingkungan keluarga
Dalam lingkungan keluarga yang diatur dalam Pasal 372 KUHP,
rumusannya ialah:
“penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selalu demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Selain Pasal 375 terdapat juga dalam Pasal 376 termasuk dalam
tindak pidana penggelapan dalam keluarga, yang secara tegas
menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan yang diterangkan dalam bab
tersebut”. Pada intinya bahwa ketentuan dalam tindak pidana Pasal 367
KUHP (pencurian dalam keluarga) diberlakukan ke dalam tindak pidana
26
Ibid., hlm. 141.
25
penggelapan, yaiutu tindak pidana penggelapan yang pelakunya atau
pembantu tindak pidana tersebut masih dalam lingkungan keluarga.27
Penggelapan dengan pemberatan tersebut dalam Pasal 374 KUHP yaitu
suatu penggelapan, contohnya ialah:
1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena
hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya
perhubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau
majikan dengan buruhnya.
2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep) yaitu
jabatan negeri, misalnya tukang penantu menggelapkan pakaian
yang dicucikan kepadanya, tukang jam, tukang sepatu, sepeda dan
sebagainya menggelapkan sepatu, sepeda dan jam yang dibikin
betul kepadanya;
3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang
lain), misalnya pekerja setasiun membawakan barang orang lain
dengan mendapat upah, barang itu digelapkan dan sebagainya.
Penggelapan berat tersebut dalam pasal 375 KUHP yaitu:
a. Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa
disuruh menyimpan barang itu (misalnya karena ada kebakaran,
banjir, kekacauan dan malapetaka lain-lain, orang terpaksa
menitipkan barang-barangnya kepada orang lain, kemudian oleh
orang yang menyimpan itu barang tersebut digelapkan); dan
27
R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, hlm. 258-260.
26
b. Penggelapan oleh wali, kurator, pengurus, orang yang
menjalankan wasiat, pengurus balai derma terhadap suatu
barang yang ada dalam tangannya karena jabatan itu.
Apabila yang melakukan penggelapan itu adalah seorang pegawai
negeri, maka sebelum memakai Pasal-pasal tentang penggelapan (Pasal-
pasal 372, 373, 374 dan 375 KUHP) tersebut diatas, harus meninjau
dahulu Pasal-pasal penggelapan yang khusus berlaku bagi para pegawai
negeri, oleh karena bagi mereka itu telah diadakan pula ancaman
hukuman yang khusus yaitu tersebut dalam Pasal-pasal 415 dan 417
KUHP yang mengancam hukuman bagi pegawai negeri yang;
a. Menggelapkan uang atau surat yang berharga uang-uang yang
disimpan karena jabatannya (Pasal 415 KUHP), misalnya seorang
bendaharawan negara menggelapkan uang negara yang ia simpan
karena jabatannya sebagai bendaharawan itu; atau
b. Menggelapkan barang-barang bukti atau keterangan-keterangan
yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak, atau surat akta, surat
keterangan atau daftar yang disimpan karena jabatannya (Pasal
417 KUHP), misalnya seorang Jaksa negeri menggelapkan barang-
barang perhiasan bukti suatu perkara yang ia simpan karena
jabatannya sebagai Jaksa.
Jika seorang pegawai negeri melakukan penggelapan yang ternyata
tidak memenuhi unsur-unsur tersebut dalam Pasal 415 dan 417 KUHP itu,
barulah ia dikenakan Pasal-pasal penggelapan yang biasa, misalnya
27
seorang penata usaha pada kantor jawatan negeri menggelapkan sebuah
mesin tik seharga Rp 20.000,-, inpentaris kantor tersebut, yang
penyimpanannya khusus diserahkan kepadanya; ia tidak dapat dikenakan
baik Pasal 415 maupun Pasal 417 KUHP, oleh karena walaupun ia
seorang pegawai negeri dan mesin tik itu ia simpan karena jabatannya,
akan tetapi macamnya barang itu bukanlah barang-barang yang
disebutkan dalam Pasal-pasal 415 dan 417 KUHP. Dalam hal ini Penata
usaha tersebut dikenakan penggelapan biasa dalam Pasal 372 KUHP jo
Pasal 52 KUHP karena melanggar kewajiban istimewa.
Menurut Pasal 376 KUHP maka peraturan tentang pencurian dalam
kalangan keluarga tersebut dalam Pasal 367 KUHP berlaku pula bagi
penggelapan, ini berarti bahwa penggelapan yang dilakukan oleh keluarga
yang tertentu adalah suatu delik aduan yang relatif.28
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan
Dari rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa, Tindak pidana
Penggelapan terdapat unsur-unsur (Objektif) meliputi perbuatan memiliki,
sesuatu benda, yang sebagaian atau seluruhnya milik orang lain, yang
berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur
(Subjektif) meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan
melawan hukum29.
Yang dimaksud dengan unsur Subjektif ialah unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku yang
28
R. Soesilo,Op. Cit.,hlm. 132-134. 29
Ismu Gunadi-Jonaedi Efendi, Op.cit.hlm.143
28
termasuk di dalamnya, yaitu segala yang terkandung didalam hatinya si
pelaku. Sedangkan unsur Objektif adalah unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu didalam keadaan dimana tindakan si pelaku itu
harus dilakukan.
Berdasarkan Pasal 372 KUHP, tindak pidana sebagai bentuk unsur-
unsur obyektif Tindak Pidana penggelapan antara lain:30
a. Dengan sengaja memiliki.
Setiap perbuatan menguasai barang atau suatu kehendak untuk
menguasai barang atau menguasai barang atas kekuasaannya yang
telah nyata dan merupakan tindakan sebagai pemilik barang, yang
tidak memberikan kesempatan kepada pemiliknya untuk meminta
kembali, bahkan menolak untuk mengembalikan atau
menyembunyikan ataupun mengingkari barang yang diterima dan
dikuasainya suda dinyatakan sebagai perbuatan memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
Bahwa unsur memiliki suatu barang ialah perbuatan menguasai
suatu barang yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana telah
diterangkan diatas tidak mungkin dilakukan pada barang-barang yang
sifatnya tidak terwujud. Karena objek penggelapan hanya dapat
ditafsirkan pada sebagai barang yang sifat kebendaannya berwujud.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
30
Andi Hamzah, 2009, Delik–delik tertentu didalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.106-108
29
Bahwa unsur ini memiliki pengertian benda yang diambil haruslah
barang atau benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagaian
milik orang lain. Jadi harus ada sebagai pemilik sebagaimana telah
dijelaskan di atas, barang atau benda yang tidak bertuan tidak dapat
menjadi objek penggelapan. Dengan demikian dalam tindak pidana
penggelapan, tidak dipersyaratkan barang yang dicuri milik orang lain
yang dimiliki secara keseluruhan. Penggelapan tetap ada meskipun
barang itu sudah sebagian dimiliki oleh orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Bahwa unsur ini memiliki maksud dari menguasai, dalam tindak
pidana pencurian, menguasai sebagai unsur subjektif sedangkan
dalam penggelapan termasuk dalam unsur objektif. Dalam tindak
pidana pencurian, menguasai adalah tujuan utama dari pelakunya
sehingga unsur menguasai tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan
yang dilarang. Dalam tindak pidana penggelapan unsur perbuatan
menguasai bukan karena kejahatan merupakan ciri pembeda dengan
pidana pencurian. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu barang
dapat berada dalam kekuasaan orang, tidaklah mesti harus terkena
pidana. Karena, penguasaan terhadap suatu barang bisa saja atas
penjanjian sewa-menyewa, pinjam-meminjam, jual-beli, dan lain
sebagainya.
Sementara dalam Pasal 372 KUHP Penggelapan dan Unsur Subyektif
sebagai berikut:
30
a. Unsur Kesengajaan
Unsur ini merupakan unsur kesalahan (schuld) dalam tindak pidana
penggelapan, kesalahan (schuld) terdiri dari dua bagian, yaitu
kesengajaan (opzettelijk and dolus) dan kelalaian (culpos). Dalam
undang-undang itu sendiri tidak memberikan pengertian mengenai
kesengajaan. Moeljatno, memberikan pemahaman mengenai
kesengajaan yaitu secara singkat kesengajaan itu adalah orang yang
menghendaki dan orang yang mengetahui, setidak-tidaknya
kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak dan
kesengajaan berupa pengetahuan (yang diketahui). Dengan sengaja
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah menyadari dan
mengetahui ketika menguasai barang yang ada padanya, dengan
tidak mau mengembalikan dan perbuatan yang dilakukan disadari
telah melawan hukum atau melawan kehendak dari pemilik barang.
Barang yang dikuasai semata-mata ditujukan terhadap barang, yang
dikuasai itu bukan karena kejahatan, melainkan barang dalam
penguasaannya. Penguasaan atas barang itu untuk kepentingan
pribadinya31
b. Unsur melawan hukum
Unsur melawan hukum ialah merupakan suatu sifat tercelah atau
terlarang dari suatu perbuatan, dimana sifat tercelah tersebut dapat
bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan
31
Ibid.,hlm.108.
31
bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, sifat tercelah
tersebut tidak tertulis, dan dari sudut undang-undang suatu perbuatan
itu diberi sifat terlarang (wederechttelijk) dengan memuatnya sebagai
dilarang dalam peraturang perundang-undangan. Artinya sifat
terlarang tersebut disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam
peraturan perundang-undangan.32
C. Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang merupakan
puncak dari dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh
hakim tersebut. Oleh karena itu hakim dalam membuat putusan harus
memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-
hatian baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan adanya
kecakapan teknik membuatnya. Jika seorang hakim membuat putusan, ia
selalu berusaha agar putusannya seberapa mungkin dapat diterima
sebagai sebuah keadilan oleh pihak yang berperkara denga memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa Putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut undang-undang ini.
32
Adami Chazawi, Op.it, hlm. 86.2
32
Acmad Ali menyatakan bahwa, fungsi putusan hukum merupakan
social engineering (rekayasa sosial) dari hukum maupun putusan hakim
pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter) ditentukan dan
dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum
dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi
sosial.33
1. Putusan Hakim dalam Perkara Pidana
Setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil
keputusan yang diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum,
maka selesai pulahlah tugas hakim dalam peyelesaian perkara pidana.
Keputusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal ini tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat
dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(in kracht van gewijsde).34 Setelah semua pemeriksaan di persidangan
diselesaikan dan penuntutan maupun pembelaan atas diri terdakwa sudah
dilakukan jikapun ada, maka langkah selanjutnya ialah hakim harus
membacakan putusan dan mempertimbangkan secara keseluruhan, baik
keterangan yang diberikan para saksi maupun keterangan dari terdakwa.
Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya
hanya mempunyai 3 (tiga) sifat yaitu pemidanaan (eroordeling) apabila
hakim/pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan
33
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 206.
34
Moch. Faisal Salam, 2011, Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek, Mandar Maju, Bandung, hlm. 364-365.
33
menyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) kemudian putusan bebas
(vrijspraak) apabila hakim berpendapat bahwa dari asil pemeriksaan
disidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan
putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau (onslag van alle
rechtsvervolging) jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).35
Adapun beberapa Putusan yang memuat si terdakwa dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1) Putusan yang mengandung pembebasan si terdakwa (vrijspraak),
Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Jadi rumusan atau redaksi kata pasal tersebut di atas terdapat
beberapa syarat untuk menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa
ialah:
a. Kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah;
Unsur kesalahan dalam teori pidana dapat bermakna perbuatan
secara sengaja maupun culpa serta pelaku perbuatan tersebut
dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya (tidak adanya
35
Moch. Faisal Salam,Op.cit., hlm. 240.
34
alasan pemaaf dan pembenar), dan Seseorang terdakwa dapat
diputus bebas apabila kesalahanya tidak terbukti.
2) Putusan Yang memuat Pelepas Terdakwa dari segala Tuntuan
Hukum (Onslag Van Rechtsvercolging) Pasal 191 ayat (2) KUHAP
yang menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”
Jadi rumusan atau redaksi kata pasal tersebut diatas sama halnya
putusan bebas, maka putusan lepas dari segala tuntuan hukum memiliki
beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:36
a. Perbuatan terdakwa terbukti secarah sah dan meyakinkan;
Bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
dalam proses pemeriksaan persidangan dan fakta-fata yang
terungkap dalam persidangan yang menyatakan bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan, sah menurut alat bukti dan
menyakinkan hakim atas alat bukti tersebut.
b. Bukan merupakan tindak pidana;
Walapun terbukti perbuatan terdakwa, akan tetapi perbuatan
tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Bahwa perkara
tersebut adalah perkara perdata (wansprestasi bukan perkara
penipuan). Adanya putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini
36
Tolib Effendi, 2014, Dasar-dasar Hukum Cara Pidana; Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia,:setara press, Malang, hlm. 184.
35
menunjukkan bahwa adanya kesalahan dalam tahapan sistem
peradilan pidana mulai dari proses penyidikan, penyidikan sampai
dengan penuntutan. Padahal sebelumnya telah dinyatakan dalam
tingkat penyidikan dan penyidikan bahwa perkara yang diperiksa
merupakan perkara tindak pidana, namun ternyata dalam tingkat
pemeriksaan persidangan, perkara diputus lepas dari segala
tuntutan hukum oleh majelis hakim, bahwa perkara tersebut ini
bukan merupakan tidak pidana, melaikan peristiwa hukum perdata
(wanprestasi).
Dengan demikian, dari titik tolak ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP
ditarik suatu konklusi dasar bahwasanya pada putusan lepas, tindak
pidana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum memang terbukti
secarah sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat
dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan
merupakan “perbuatan pidana”, tetapi misalnya termasuk yuridiksi hukum
perdata, hukum adat ataukah putusan bebas (vrijspraak/acquital) dengan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag Van Rechtsvercolging).
Menurut M. Yahya Harap ditinjau perbandingan tersebut dari pelbagai
segi, antara lain:37
a. Ditinjau dari segi pembuktian
Pada putusan pembebasan, perbuatan pidana yang didakwakan
kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan menurut
37
Lili Mulyadi, 2006, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis, Praktik dan Permasalahanya, Penerbit P.T Alumni Bandung, Jakarta, hlm. 224-225.
36
hukum. Jadi, tidak memenuhi asas pembuktian undang-undang
secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum. Apa yang didakwakan kepada
terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian
menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP.
b. Ditinjau dari segi penuntutan
Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan
didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana
yang harus dituntut dan diperiksa di sidang “pengadilan pidana”. Dari
segi penilaian pembuktian, pembuktian yang ada tidak cukup
meyakinkan Majelis hakim terhadap kesalahan terdakwa.
3) Putusan Persidangan Yang Memuat suatu Penghukuman
Terdakwa (Veroordeling) dan Pemidanaan
Putusan pemidanaan atau (veroordeling) pada dasarnya diatur
dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin
berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta dipersidangan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat
dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183
37
KUHAP. Selain itu, dalam menjatuhkan putusan pemidanaan jika
terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan Majelis
Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang
dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun atau lebih,
atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan
Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup bukti/alasan itu.
Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat
menetepkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau
membebaskannya, apabila terdapat cukup bukti/alasan sesuai penjelasan
(Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya pidana
(sentecing atau straftoemeting) pembentukan Undang-undang
memberikan kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana
minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam
persidangan. Mengenai masalah berat atau ringannya dan juga lamanya
pidana itu harus merupakan wewenang (yudex facti) yang tidak tunduk
pada kasasi, kecuali apabila (yudex facti) menjatuhkan pidana melampaui
batas maksimumyang ditentukan Undang-undang sebagaimana
ditentukan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1953 K/Pid/1988 tanggal
23 Januari 1993. Walaupunn Undang-undang memberikan kebebasan
menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus
dijalankan terdakwa, bukan berarti hakim dapat dengan seenaknya
menjatuhkan hukuman atau pidana tanpa dasar pertimbangan yang
lengkap. Penjatuhan pidana tanpa dasar pertimbangan (onvoldoende
38
gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Bahwa putusan
Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan hukumnya untuk memperberat
pidana yang dijatuhkan, sama sekali tidak menyebut alasan-alasan apa
yang dapat dinilai untuk menambah atau memperberat tersebut, selain
hanya menganggap pidana yang dijatuhkan Pengadila Negeri terlalu
ringan, tetapi Pengadilan Tinggi telah menyetujui pertimbangan hukum
Pengadilan Negeri. Pertimbangan hukum demikian dianggap sebagai hal
yang tidak cukup dipertimbangankan dan cukup alasan untuk
membatalkannya serta Mahkamah Agung mengadili Perkara tersebut.38
Pada Pasal 193 ayat (1) tersebut bahwa, seseorang terdakwa hanya
bisa dijatuhi pidana kalau yang bersangkutan bersalah melakukan tindak
pidana. Kesalahan yang dimaksud ialah, kesalahan yang disengaja atau
kesalahan yang tidak disengaja. Namun demikian perlu diingatkan bahwa
tidak semua orang yang bersalah dari segi hukum pidana dapat dipidana
karena didalam hukum pidana terdapat dasar-dasar yang menjadikan
hukuman (straf uitsluitings groden).
Pemidanaan seseorang yang melakukan tindak pidana adalah suatu
bukti bahwa negara melalui hakim melakukan suatu tindakan pemidanaan
kepada seseorang agar yang bersangkutan mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut dan dengan pemidanaan tersebut diharapkan
tercipta rasa keadilan dari korban atau keluarga korban kejahatan. Pada
umumnya sebelum hakim menjatuhkan putusan pidana bagi seseorang,
38
Ibid., hlm. 231
39
dikemukakan terlebih dahulu hal-hal yang meringankan dan yang
memberatkan terdakwa. Hal tersebut dimaksudkan sebagai pertimbangan
bagi hakim yang bersangkutan dalam memutuskan berat-ringannya
suatau pidana bagi seseorang.39
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Dalam perkembangannya, hakim dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan keyakinan belaka. SIstem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim dalam hukum acara pidana yaitu:40
a. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan
hakim semata-mata artinya bahwa jika dalam pertimbangan
putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang
diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim
pada teori ini adalah menetukan dan mengabaikan hal-hal lainnya
jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan
hakim tersebut.
b. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis
artinya sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan
hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan
(reasoning) yang rasional.
39
Ibiid.,hlm. 231-232 40
Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni Bandung, hlm. 11.
40
c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya
berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh
undang-undang secara positif merupakan pembuktian berdasarkan
alat bukti menurut undang-undang secara positif atau pembuktian
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah
ditentukan dalam undang-undang.
d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-
undang secara negatif merupakan pembuktian yang selain
menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-
undang, juga menggunakan keyakinan hakim.. Sistem pembuktian
ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan
hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian
berganda (doubelen grondslag).
Apabila hal tersebut terpenuhi, selanjutnya hakim menentukan hal-hal
yang dapat memberatkan dan meringankan yang akan dijatuhkannya
nanti. Pertimbangan hakim dinilai dari faktor hukum dan non hukum yang
kesemuanya itu haruslah disertakan dalam putusan. Faktor hukum itu
seperti pengulangan tindak pidana (residive), sedangkan faktor non
hukum seperti sikap terdakwa dipersidangan dan alasan-alasan lain yang
meringankan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
41
3. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
a. Pertimbangan yuridis
Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau
alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang
menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik sebelum
pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan
menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan
konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa,
dan barang bukti.41
Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa, hakikat pada pertimbangan
yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah
perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang
didakwakan oleh penuntut umum putusan hakim.42
Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi,
waktu kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana itu
dilakukan. Selain itu, dapat pula diperhatikan bagaimana akibat langsung
atau tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa saja yang
digunakan, serta apakah terdakwa dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya atau tidak.
41 Cempaka Indah, 2014, “Analisis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi
(Studi Putusan No. 272/ Pk/ Pid.Sus/ 2011)”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 13 42
Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti., hlm. 193
42
Apabila fakta-fakta dalam persidangan telah diungkapkan, barulah
hakim mempertimbangkan unsur-unsur delik yang didakwakan oleh
penuntut umum. Pertimbangan yuridis dari delik yang didakwakan juga
harus menguasai aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan
posisi kasus yang ditangani, barulah kemudian secara limitative
ditetapkan pendiriannya Setelah pencantuman unsur-unsur tersebut,
dalam praktek putusan hakim, selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang
dapat meringankan atau memperberatkan terdakwa. Hal-hal yang
memberatkan misalnya terdakwa sudah pernah dipidana sebelumnya
(Recidivis), karena jabatannya, dan menggunakan bendera kebangsaan.
Hal-hal yang bersifat meringankan ialah terdakwa belum dewasa, perihal
percobaan dan pembantuan kejahatan.43
b. Pertimbangan sosiologis
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. ketentuan ini dimaksudkan agar putusan
hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi,
hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup
di kalangan rakyat. Berkaitan dengan hal ini dikemukakan oleh
Achmad Ali bahwa dikalangan praktisi hukum, terdapat
kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya
43
Adami Chazawi. 2005. Hukum Acara Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo. Hlm. 75
43
sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan
normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang
sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru
berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan kajian
ilmu hukum (nomatif).44
Pemeriksaan suatu perkara harus memerlukan adanya pembuktian
yang digunakan hakim dalam memutus suata perkara. Pembuktian
tersebut bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum atau fakta yang
benar terungkap di persidangan, untuk bagaimana mendapatkan putusan
hakim yang benar dan adil. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
benar-benar melihat peristiwa atau fakta yang terjadi dan yang terungkap
dipersidangan.
Beberapa faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis
oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, antara
lain:45
a. Sifat pelanggaran pidana (apakah itu suatu pelanggaran pidana
yang berat atau ringan).
b. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu.
c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu
(yang memberatkan dan meringankan).
d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang seorang penjahat yang telah
berulang-ulang dihukum (residivis) atau seorang penjahat untuk
44
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta., hlm. 30 45
Bismar Siregar. 1989. Hukum Pidana Acara, Bina Cipta. Jakarta, hlm. 33
44
satu kali ini saja, atau apakah ia seorang yang masih muda
ataupun muda ataupun seorang yang telah berusia tinggi.
e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana.
f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penulis melakukan penelitian di Kantor Pengadilan Negeri Takalar.
Berlokasi di Jalan. Jenderal Sudirman, Kalabbirang, Kota Takalar,
Sulawesi Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif (doktrinal)
atau penelitian hukum kepustakaan oleh karena dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder.46 Penelitian yuridis normatif
ini dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan kasus
(Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang
telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Takalar.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini dilakukan melalui beberapa
pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu,
Undang-Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
46
Amiruddin dan Zainal Azikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum: Edisi
Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118-120.
46
Peraturan Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Serta peraturan-
peraturan lainnya yang terkait dengan tindak pidana penggelapan.
Hal ini dimaksudkan untuk meneliti dasar hukum serta
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum.
2. Pendekatan kasus (case approach), penulis mengunakan
pendekatan kasus (case approach) dengan cara melakukan telaah
kasus yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan yang
diputus lepas dari segala tuntutan hukum oleh putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Seperti kasus
yang terjadi di Kabupaten Takalar dan telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Takalar Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui pertimbangan hakim untuk sampai
pada suatu putusan sehingga dapat menunjang argumentasi
penulis dalam memecahkan masalah hukum yang diangkat penulis.
C. Bahan Hukum
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.
Adapun sumber penelitian berupa bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :47
47 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 93.
47
1. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas atau mengikat. Yang terdiri
atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana’;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peraturan Hukum
Acara Pidana;
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri atas
literatur-literatur dan makalah-makalah, karya-karya ilmiah, serta
artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian.
D. Analisis Bahan Hukum
Keseluruhan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut
kemudian akan diolah dan dianalisis sehingga diperoleh hasil mengenai
persoalan hukum yang diteliti. Bahan hukum primer maupun sekunder
yang telah diharmonisasi secara sistematis kemudian dikaji lebih lanjut
berdasarkan teori-teori hukum yang ada sehingga diperoleh rumusan
ilmiah untuk menjawab persoalan hukum yang dibahas dalam penelitian
hukum ini.
48
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hal-hal yang Dapat Menjadikan Perkara Pidana Diputus Lepas
dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag Van
Rechtsvercolging), yang mana diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP
yang mengatur bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”
Adapun perbedaan putusan bebas dan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum ialah bahwa terhadap putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dapat diajukan permohonan kasasi, sedangkan putusan bebas
tidak bisa di kasasikan. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat
diajukan permintaan banding sesuai penjelasan (Pasal 67 KUHAP), dalam
praktek kata-kata, “yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum” dianggap tidak tertulis, sehingga dengan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum tidak menimbulkan berbagai penafsiran.
Permohonan kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum
dibolehkan.48
Selain itu, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag
Van Rechtsvercolging) dapat disebabkan:49
a. Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok
dengan tindak pidana. Misalnya seseorang melakukan perbuatan
48
Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 58-59 49
Andre G. Mawey, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”, Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. 5, Nomor 2 Februari 2016, hlm. 87.
49
yang dituntut dengan tindak pidana penipuan atau penggelapan
tetapi didapat fakta bahwa perbuatan tersebut tidak masuk dalam
lingkup hukum pidana tetapi termasuk lingkup hukum perdata.
b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa
tidak dapat di hukum. Misalnya karena Pasal 44, 48, 49, 50,51
KUHP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dapat dikatakan
bahwa dasar pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi
bila:50
a. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan pengadilan
b. Tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum
memang terbukti secarah sah dan meyakinkan menurut hukum
akan tetapi terdakwa tidak dapat dipidana oleh karena perbuatan
yang dilakukan terdakwa bukan merupakan Perbuatan pidana,
melainkan ranah hukum perdata.
c. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti akan tetapi
amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf
(strafuitsluitingsgronden/feit de’excuse) dan alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgrond).
Adapun yang dimaksud dengan putusan pengadilan menurut Pasal 1
ayat 11 KUHAP, bahwa :51
Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang Pasal 191 ayat (1),(2) dan (3).
Adapun penjelas Pasal 194 KUHAP, bahwa:52
50
Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik dan Praktik Peradilan, Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan serta upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 87-88. 51
Andi Sofyan, 2013, Hukum Acara Pidana, Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, hlm 369 52
Ibid., hlm 370-371
50
1. Putusan pemidanaan,bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita
diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali
yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas
untuk kepentingan negara atau dimusnakan atau dirusak sehingga
tidak dapat dipergunakan lagi.
2. Kecuali apabila alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya
barang bukti itu diserahkan sesudah sidang selesai.
3. Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu
syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, perbedaan
antara putusan bebas (vrijspraak/acquital) dengan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging) dengan
meninjau ditinjau dari segi, antara lain:
a. Ditinjau dari segi pembuktian
Pada putusan pembebasan ialah, perbuatan pidana yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum. Jadi tidak memenuhi asas pembuktian
menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas
batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP,
yang menjelaskan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya.”
Sedangkan pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag
Van Rechtsvercolging) , apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup
terbukti secara sah dan meyakinkan baik dinilai dari segi pembuktian
menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti kepada
51
terdakwa tidak merupakan tindak pidana dan tidak diatur dalam hukum
pidana bisa saja masuk dalam ranah hukum perdata, hukum asuransi,
hukum dagang atau hukum adat.
b. Ditinjau dari segi penuntutan
Pada putusan pembebasan ialah, perbuatan yang dilakukan dan
didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan pidana yang
harus dituntut dan diperiksa dipersidangan Pidana. Hanya dari segi
pembuktian yang ada itu tidak cukup meyakinkan Majelis hakim
terhadap kesalahan terdakwa, oleh karena itu kesalahan terdakwa
tidak terbukti. Karena kesalahannya tidak terbukti maka terdakwa
biasanya diputus bebas. Dan membebaskan dirinya dari ancaman
pidana yang diancamkan kepada terdakwa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang didakwakan kepadanya. Sedangkan pada
putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum ialah, yang
didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan pidana.
Biasanya Penyidik dan penuntut umum melihat hal tersebut sebagai
perbuatan tindak pidana. Mungkin hanya quasi tindak pidana. Sebagai
contoh misalnya, Si A dan Si B membuat transaksi pinjam meminjam
uang dengan ketentuan pembayara batas waktu yang diperjanjikan. Si
A tidak dapat memenuhi pelunasan hutang tersebut, jadi ada kelalaian
Si peminjam tersebut. Si B melaporakan hal tersebut kepada penyidik
atas tuduhan penggelapan atau penipuan. Jadi memang disini seolah-
olah terjadi quasi hukum bagi yang kurang teliti dalam hal tersebut,
jadi menilai kasus itu merupakan perbuatan tindak pidana penipuan,
karena Si A telah berbohong dan memperdayai Si B akan melunasi
hutangnya pada waktu yang diperjanjikan, namun bagi yang teliti
dalam hal ini sebenarnya tidak terjadi quasi hukum. Sebab apa yang
terjadi benar-benar bukan tidak pidana melainkan perbuatan yang
diatur dalam hukum perjanjian. Oleh karena itu Si A tidak boleh dan
52
tidak mungkin dituntut dihadapan sidang peradilan pidana. Dia dapat
digugat dihadapat sidang perdata. Jadi sudah seharuhnya dia dilepas
dari segala tuntutan hukum pidana. Dan hanya boleh di gugat di
depan pengadilan perdata.
B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari
Segala Tuntutan Hukum dalam Tindak Pidana Penggelapan pada
perkara Nomor: 68/Pid.B/2016/ PN.Tka.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana
penggelapan dalam putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka., maka Penulis
terlebih dahulu memaparkan mengenai kasus posisi berdasarkan fakta-
fakta hukum dalam persidangan, yaitu keterangan para pihak dalam
putusan Nomor: 68/Pid.B/2016/PN Tka., Bahwa sesuai fakta persidangan
hakim dalam menjatuhkan putusan yang didasarkan pada fakta
persidangan dan memberikan pertimbangan sesuai keilmuan hukum, yaitu
sebagai berikut:
1. Posisi Kasus
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan, yaitu
keterangan oleh para pihak (penasihat hukum, saksi-saksi yang diajukan
oleh penasihat hukum serta keterangan penuntut umum dan saksi-saksi
yang diajukan) dapat diuraikan posisi kasus dan menjadi permasalahan
utama dalam perkara ini sebagai berikut:53
a. Bahwa Terdakwa telah mengadakan perjanjian pinjam meminjam
uang kepada korban Hasan, yang telah diakui dan dibenarkan oleh
korban yang telah ditransfer ke rekening bank atas nama
Terdakwa;
b. Bahwa antara korban dan Terdakwa tidak memiliki perjanjian
pinjam meminjam uang dengan pengenaan bunga tertentu, namun
antara keduanya membenarkan jika ada kesepakatan berupa
53
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/99ff1478065194dac51898cd9fbbcc16 di akses pada tanggal 07 Sebtember 2018 Pukul 02.13 Wita.
53
terdakwa akan melakukan pembayaran hutangnya disertai dengan
uang jasa, namun tidak ditentukan besaran nilai dari uang jasa
tersebut ;
c. Bahwa Terdakwa menggunakan uang tersebut bukan untuk
keperluan mengurus pendaftaran saudaranya menjadi anggota
Polri ;
d. Bahwa korban Hasan Alamudi, pada tanggal 21 Oktober 2014
melakukan transfer uang sebanyak Rp110.000.000,00 (seratus
sepuluh juta rupiah) kerekening milik Terdakwa ISMAIL Dg. SESE
Bin AMIR Dg. SIRUA, pada tanggal 3 November 2014 sejumlah
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan terakhir pada tanggal
22 Desember 2014 sejumlah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) sehingga total dana yang ditransfer korban ke rekening
Terdakwa adalah sejumlah Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh
puluh juta rupiah) ;
e. Bahwa Terdakwa membenarkan adanya uang masuk ke
rekeningnya pada tanggal 3 November 2014 sejumlah
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan terakhir pada tanggal
22 Desember 2014 sejumlah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah), namun hal itu diketahui Terdakwa setelah diperiksa di
polisi;
f. Bahwa Terdakwa tidak mengakui mengajukan pinjaman kepada
saksi korban sejumlah Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sebagaimana dalil korban, sedangkan nilai pinjaman yang benar
diakui oleh Terdakwa dan korban adalah Rp110.000.000,00
(seratus sepuluh juta rupiah) yang kemudian dibenarkan Terdakwa
dan korban telah dicatat dalam kwitansi yang ditandatangani
bersama oleh keduanya ;
g. Bahwa terhadap bukti kwitansi berisi catatan nilai pinjaman
Rp210.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) dan
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dibuat sendiri oleh
54
korban bukan di hadapan Terdakwa dan isinya dibantah oleh
Terdakwa serta tidak diketahui juga kebenarannya oleh saksi
Hamziah, yang walaupun ikut bertandatangan di kwitansi, namun ia
hanya menandatangani karena disuruh suaminya saksi Korban
Hasan, dan tidak mengetahui apakah benar Terdakwa meminjam
uang sejumlah itu;
h. Bahwa terkait dengan surat pembayaran uang yang pernah
dimintakan kepada Terdakwa untuk ditandatangani, tidak ada satu
pun saksi yang secara persis mengetahui besar pinjaman yang
diajukan Terdakwa kepada korban selain hanya berdasarkan surat
yang dibuat sendiri oleh korban ;
i. Bahwa Terdakwa memang telah melakukan sejumlah pembayaran
atas pinjamannya kepada korban, namun masih belum lunas ;
j. Bahwa Terdakwa membenarkan keberatan dan menolak
membayar hutang dengan besaran jumlah yang diminta korban
untuk dikembalikan dikarenakan Terdakwa merasa nilai hutangnya
tidak seperti yang dikemukakan korban.
Adapun Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari
Segala Tuntutan hukum dalam Tindak Pidana Penggelapan ialah sebagai
berikut:54
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan subsideritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Unsur “Barangsiapa” 2. Unsur “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang
54
Lihat Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN.Tka, hlm 17-28.
55
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang” ; Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut: Ad.1 Unsur Barangsiapa :55 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barangsiapa” dalam
unsur ini adalah tertuju pada setiap subyek hukum yang dihadapkan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan suatu dakwaan ke depan persidangan serta dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatannya ;
Menimbang, bahwa di persidangan telah dihadapkan seseorang bernama ISMAIL Dg SESE Bin AMIR Dg SIRUA sebagaimana tersebut di dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan berdasarkan keterangan para saksi dalam perkara ini serta pengakuan terdakwa sendiri, ternyata benar terdakwa ISMAIL Dg SESE Bin AMIR Dg SIRUA dengan identitas seperti dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum sebagaimana tersebut di atas dan bukan orang lain serta para Terdakwa juga sehat secara rohani dan mampu bertanggung jawab, sehingga dengan demikian unsur “barangsiapa” telah terpenuhi ;
Ad.2 Unsur “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang :56 Menimbang, bahwa yang dimaksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum adalah ada suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan sadar dan ada niat pelaku untuk melakukannya tanpa ada hak untuk itu karena akibat perbuatan tersebut memang dikehendaki olehnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan yang menjadi permasalahan utama dalam perkara ini adalah adanya peristiwa penyerahan sejumlah uang dari korban kepada Terdakwa dalam suatu bentuk perbuatan hukum hutang piutang, sebagaimana diakui dan dibenarkan sendiri, baik oleh Terdakwa dan korban, khususnya dalam peran Terdakwa sebagai peminjam dan korban selaku pemberi pinjaman atau hutang. Walaupun keterangan para saksi di persidangan tidak satupun yang dapat menjelaskan secara jelas besaran nilai dari hutang yang diperjanjikan antara Terdakwa dengan korban, namun para saksi membenarkan baik berdasarkan keterangan korban maupun Terdakwa adalah benar jika antara korban
55
Cetak tebal dari penulis. 56
Cetak tebal dari penulis.
56
dan Terdakwa memiliki suatu perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang sejumlah uang ;
Menimbang, bahwa awal dari peristiwa hukum yang melibatkan Terdakwa dengan korban adalah saat Terdakwa menemui korban yang memiliki profesi menjalankan/ memutar uang, yaitu profesi meminjamkan uang dengan pengembalian yang dikenakan bunga, dimana Terdakwa mengutarakan maksudnya untuk meminjam uang dan atas permintaan Terdakwa tersebut korban mengabulkannya, dengan suatu kesepakatan pengembalian hutang Terdakwa tidak dikenakan bunga melainkan berupa tambahan uang yang disebut sebagai uang jasa ;
Menimbang, bahwa terkait dengan nilai uang yang diperoleh Terdakwa dari korban, Majelis berpendapat sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan fakta dan bukti surat di persidangan, diketahui korban mentransfer uang ke rekening bank atas nama Terdakwa dalam 3 (tiga) tahap dengan total uang sejumlah Rp270.000.00,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) yang menurut korban adalah sesuai permintaan dari Terdakwa ;
b. Bahwa Terdakwa sudah membantah mengajukan pinjaman sejumlah itu dikarenakan Terdakwa hanya membutuhkan uang sebagai modal usaha sejumlah Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah).
c. Bahwa berdasarkan keterangan korban dan Terdakwa dihubungkan dengan bukti surat rincian rekening, memang benar jika Terdakwa pernah menerima transfer dana dari korban sejumlah Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah), namun Terdakwa juga ternyata benar di rekeningnya masuk pula dua kali transfer lain dari Terdakwa yang juga sudah habis dipergunakan oleh Terdakwa ;
d. Bahwa dengan demikian walaupun Terdakwa hanya mengakui meminjam Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) namun tidak menghapus fakta jika Terdakwa menerima transferan dari korban hingga total Rp270.000.00,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah), terlepas dari apakah Terdakwa sendiri yang memintanya atau tidak, oleh karena memang juga tidak ada satupun saksi yang mengetahui berapa sebenarnya kesepakatan pinjam meminjam uang antara korban dengan Terdakwa ;
e. Bahwa terkait dengan uraian dakwaan Penuntut Umum berkenaan dengan alasan Terdakwa mengajukan pinjaman kepada korban, yaitu guna kepentingan pengurusan pendaftaran saudaranya menjadi anggota Polri, hal tersebut hanya didasarkan dari keterangan saksi korban semata tanpa didukung oleh saksi lain, bahkan keterangan korban itu dibantah oleh Terdakwa maupun saudaranya yang ternyata memang telah menjadi anggota Polri pada tahun 2012-2013, yang berarti lebih
57
dahulu terjadi daripada peminjaman uang yang diajukan Terdakwa di tahun 2014. Dengan demikian tidak ternyata adanya kebohongan Terdakwa pada alasan peminjaman uang yang dilakukannya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Majelis menilai adalah benar antara Terdakwa dengan korban memiliki hubungan hukum perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang sejumlah uang, namun tidak ada satupun bukti yang dapat diajukan oleh Penuntut Umum dan dapat diterima oleh Majelis Hakim, jika hutang piutang antara korban dan Terdakwa tersebut lahir melalui cara yang melawan hukum, baik dalam bentuk memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, melainkan sepenuhnya lahir atas dasar kesepakatan yang diakui antara keduanya ;
Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis menilai unsur kedua ini tidak terpenuhi dan dengan tidak terpenuhinya unsur kedua ini, maka dakwaan primair Penuntut Umum harus dinyatakan tidak terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut ;
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan subsidair yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Unsur “Barangsiapa”; 2. Unsur “dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum” 3. Unsur “sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya
kepunyaan orang lain”; 4. Unsur “Barang itu ada padanya bukan karena kejahatan”; ad.1 U nsur “Barangsiapa”57 Menimbang, bahwa oleh karena unsur kesatu dakwaan subsidair
ini adalah sama dengan unsur kesatu dakwaan primair, maka Majelis Hakim mengambil alih seluruh pertimbangan unsur kesatu dakwaan primair tersebut guna mempertimbangkan unsur kesatu dakwaan subisdair, dan dengan demikian maka unsur kesatu dakwaan subsidair ini dipandang telah terpenuhi dan terbukti pula ;
ad.2 Unsur “dengan sengaja memiliki dengan melawan
hukum”: Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur “dengan sengaja
memiliki dengan melawan hukum” artinya adalah perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan ada niat pelaku untuk melakukannya karena akibat perbuatan tersebut memang dikehendaki olehnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang telah diperoleh selama persidangan, Terdakwa sendiri memberikan keterangan jika ia
57
Cetak tebal dari penulis.
58
memang pernah menemui korban untuk mengajukan pinjaman uang, dimana sesuai keterangan Terdakwa nilai uang yang dimintanya adalah Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah), dan selanjutnya setelah bersepakat dengan korban, uang sejumlah Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) tersebut kemudian telah diterima Terdakwa melalui mekanisme transfer bank dari rekening korban ke rekening Terdakwa ;
Menimbang, bahwa ternyata setelah menerima transfer dari korban, masih ada sejumlah transfer lain yang diterima Terdakwa di rekeningnya, dan Terdakwa kemudian walaupun menyadari tidak pernah mengajukan pinjaman lain baik ke pihak bank maupun korban, langsung menggunakan uang yang diterimanya tersebut walau tidak mengetahui guna kepentingannya sendiri. Selanjutnya Terdakwa baru mengetahui jika uang yang dipergunakannya tersebut adalah transfer dari korban yang turut diperhitungkan sebagai pinjaman untuk Terdakwa ;
Menimbang, bahwa sebagai pihak yang berhutang, maka Terdakwa memiliki kewajiban secara hukum untuk membayar dan melunasi semua hutangnya, namun pada kenyataannya Terdakwa hanya ingin membayar sebagian dari total uang yang diterimanya dari korban, yaitu Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta), sedangkan selebihnya Rp160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah) Terdakwa menolak untuk membayar dan mengakuinya sebagai hutang karena merasa tidak pernah memintanya ;
Menimbang, bahwa Majelis berpendapat jika memang Terdakwa tidak pernah meminta atau meminjam lagi uang dari korban sejumlah Rp160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah), maka dengan demikian uang tersebut merupakan milik dari korban dan Terdakwa secara hukum diwajibkan untuk mengembalikannya, terlebih karena secara nyata Terdakwa telah mempergunakannya. Namun yang terjadi adalah setelah Terdakwa mempergunakan dan menikmatinya seakan itu adalah uangnya sendiri, Terdakwa kemudian menolak untuk mengganti atau mengembalikannya kepada korban ;
Menimbang, bahwa setiap orang yang dengan iktikad tidak baik, telah menikmati keuntungan atau manfaat dari harta benda orang lain, walaupun keberadaan benda itu pada dirinya bukan atas dasar kemauannya sendiri, baik secara hukum maupun kepatutan tetap dibebani kewajiban untuk mengembalikan atau memulihkan kerugian yang diderita si pemilik barang. Dengan kata lain tidak seorangpun dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahannya yang telah mempergunakan barang milik orang lain secara melawan hak ;
Menimbang, bahwa dengan demikian perbuatan Terdakwa yang menolak untuk mengembalikan uang korban yang ditransfer masuk ke rekeningnya, padahal di satu sisi Terdakwa telah menikmatinya seakan sebagai miliknya sendiri itu dan di sisi lain pada waktu
59
berikutnya Terdakwa juga telah menyadarinya, adalah termasuk tindakan “melawan hukum” ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur “dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum” ini telah terpenuhi ;
ad.3 Unsur “sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagiannya kepunyaan orang lain” :58 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur “sesuatu barang
yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain” artinya barang yang dikuasai oleh terdakwa tersebut, baik sebagian maupun keseluruhannya adalah kepunyaan dari orang lain ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang tersebut di atas terungkap bahwa barang yang dimaksud yaitu uang sejumlah Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah), terdiri dari tiga bagian, yaitu uang sebanyak Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) yang diakui Terdakwa merupakan nilai pinjaman yang diajukannya kepada korban, serta uang sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan sejumlah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) yang masuk ke rekening Terdakwa dari rekening korban, yang tidak diakui Terdakwa sebagai pinjaman namun ternyata habis dipergunakan oleh Terdakwa secara tidak berhati-hati sehingga dipandang sebagai perbuatan melawan hukum, sepenuhnya merupakan milik dari saksi korban Hasan. Dengan demikian unsur “sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain” telah terpenuhi;
ad.4 Unsur “Barang itu ada padanya bukan karena kejahatan” :59
Menimbang, bahwa mengenai unsur “Benda itu ada padanya bukan karena kejahatan” artinya adalah bahwa terdakwa dalam menguasai barang tersebut adalah atas ijin dan sepengetahuan dari pemiliknya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang tersebut di atas ternyata memang antara Terdakwa dengan korban memiliki kesepakatan dalam hal pinjam meminjam atau hutang piutang uang, dan atas dasar kesepakatan tersebut korban mengirimkan sejumlah uang ke rekening Terdakwa, namun Terdakwa dinilai oleh korban tidak memiliki kesungguhan dalam memenuhi kewajibannya yang telah ditentukan bersama, yaitu pengembalian hutang pokok ditambah uang jasa. Hal mana dikarenakan adanya perbedaan pandangan Terdakwa dengan korban berkenaan dengan nilai uang pinjaman antara keduanya, baik yang diminta Terdakwa dari korban maupun sebaliknya uang yang telah diserahkan korban kepada Terdakwa, sehingga dengan nyatanya fakta serah terima uang adalah atas dasar
58
Cetak tebal dari penulis. 59
Cetak tebal dari penulis.
60
perjanjian yang diakui kedua belah pihak, maka unsur “Barang itu ada padanya bukan karena kejahatan” telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 372 KUHP telah terpenuhi, maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan subsidair dari Jaksa Penuntut Umum dengan kwalifikasi penggelapan ;
Menimbang, bahwa meskipun berdasarkan uraian unsur dakwaan subsidair perbuatan Terdakwa telah terbukti, Majelis mempertimbangkan lebih lanjut tentang perbuatan Terdakwa sebagai berikut : a. Bahwa Terdakwa memang telah terbukti menerima dan
memanfaatkan sejumlah uang milik korban secara melawan hukum, namun ternyata perbuatan Terdakwa yang didakwakan dalam uraian dakwaan Penuntut Umum di perkara ini sesuai fakta persidangan dan keterangan para saksi maupun Terdakwa sendiri, adalah diawali dengan adanya kesepakatan antara Terdakwa dengan korban, yaitu dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana telah diuraikan di bagian lain pertimbangan putusan ini ;
b. Bahwa persoalan perjanjian dengan segala lingkupnya yang ada di dalam perkara ini secara teori dan ilmu hukum adalah tunduk kepada ketentuan - ketentuan hukum perdata, khususnya Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan-hubungan hukum dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian akan menimbulkan beberapa perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya, sehingga akibat hukum yang timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan domain dari hukum privat ;
c. Bahwa perbuatan melawan hukum pada dasarnya mencakup setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dengan kata lain setiap pelanggaran atas hak orang lain merupakan perbuatan melawan hukum. Namun harus dilihat kembali dasar dari perbuatan yang dilakukan, apakah ia bersumber dari undang-undang, ataukah bersumber dari suatu perjanjian/ kesepakatan (kontrak). Jika pelanggaran dilakukan pada suatu perjanjian atau kontrak, maka itu adalah wanprestasi. Jadi, wanprestasi merupakan species dari perbuatan melawan hukum ;
d. Bahwa fakta adanya hubungan hukum perjanjian hutang piutang, lalu perbedaan pandangan antara Terdakwa dengan korban berkenaan dengan nilai hutang yang disepakati di antara keduanya, dihubungkan dengan besaran transfer dari korban ke terdakwa
61
maupun pembayaran hutang dari Terdakwa kepada korban atau beban kewajiban yang harus dan telah ditunaikan oleh Terdakwa selaku pihak yang berhutang, mengakibatkan perbuatan Terdakwa dalam memiliki uang korban tidak dapat digolongkan sebagai suatu bentuk perbuatan melawan hukum murni yang lahir akibat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang lain sehingga masuk pada ranah hukum pidana (factum delictum) sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 372 KUHP, melainkan haruslah dipandang sebagai kesalahan perdata (law of tort), yaitu perbuatan melawan perikatan karena lahir dari suatu hubungan kontraktual, perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian, terlebih adanya pengakuan Terdakwa jika kemudian ia akhirnya mengetahui jika sejumlah uang di rekeningnya yang telah dipergunakannya adalah milik korban dan karenanya menimbulkan kewajiban baginya untuk mengembalikan uang dimaksud kepada korban selaku pemilik uang tersebut;
e. Bahwa wanprestasi dalam hubungan kontraktual tidak memiliki sifat melawan hukum, namun yang ada hanyalah sifat melawan perikatan. Setiap keadaan tidak melaksanakan prestasi (cidera janji) dalam sebuah perjanjian tidak mengandung kesamaan dengan unsur-unsur melawan hukum di dalam Pasal 372 KUHP, karena wanprestasi semata-mata merupakan pelanggaran terhadap janji dalam perikatan pokok yang selalu termuat dalam setiap perjanjian, bahkan jika perjanjian itu tidak dalam bentuk tertulis sekalipun ;
f. Bahwa dengan demikian, maka permasalahan hukum yang muncul dari perbuatan Terdakwa sebagaimana uraian dakwaan Penuntut Umum, pada hakekatnya adalah berkenaan dengan kewajiban pemenuhan prestasi, termasuk adanya pemenuhan prestasi yang tidak terlaksana secara utuh/ wanprestasi, yang diawali dari suatu kesepakatan atau perjanjian hutang piutang dan hal ini sepenuhnya adalah termasuk ke dalam ranah hukum perdata ;
g. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat terdakwa memang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya, namun demikian perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana melainkan peristiwa atau perbuatan hukum perdata wanprestasi, yaitu terdakwa keliru dalam memenuhi prestasinya atau setidak-tidaknya terdakwa tidak sempurna dalam memenuhi prestasinya sehingga Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum ; Menimbang, bahwa terkait dengan pembelaan penasihat hukum
Terdakwa, Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut : 1. Tentang tidak terbuktinya seluruh dakwaan atas diri Terdakwa :
62
a. Bahwa Majelis Hakim memandang telah cukup mempertimbangkan seluruh unsur dakwaan Penuntut Umum, baik dakwaan primair maupun subsidair, dimana terhadap dakwaan primair Majelis Hakim telah menyatakan dakwaan tersebut tidak terpenuhi sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair tersebut ;
b. Bahwa terhadap dakwaan subsidair, secara rinci Majelis juga telah mempertimbangkan jika dakwaan subsidair Penuntut Umum atas diri Terdakwa memang telah terpenuhi dan Terdakwa memang melakukan perbuatan sebagaimana telah diuraikan Penuntut Umum di dalam dakwaannya. Namun demikian, Majelis telah menemukan fakta-fakta hukum yang secara nyata menunjukkan jika perbuatan Terdakwa, walau memenuhi seluruh uraian dakwaan subsidair, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan hukum perdata/ wanprestasi yang karenanya Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana ;
c. Bahwa dengan demikian, Majelis sependapat dengan pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa tentang tidak terbuktinya dakwaan primair Penuntut Umum, namun Majelis tidak sependapat dengan pembelaan Penasehat Hukuk Terdakwa terkait dengan dakwaan subsidair Penuntut Umum atas diri Terdakwa, sebagaimana seluruh uraian yang telah dimuat Majelis di dalam pertimbangan putusan dan oleh karenanya dalil pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa atas dakwaan subsidair haruslah ditolak ;
2. Bahwa saksi korban telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjalankan praktik rentenir yang dilarang di dalam peraturan perundang- undangan : a. Bahwa pemeriksaan yang dilakukan Majelis Hakim pada suatu
perkara di persidangan pidana adalah sebatas pada apa yang telah didakwakan kepada Terdakwa sesuai dengan uraian dakwaan Penuntut Umum. Maka pembuktian oleh Penuntut Umum maupun pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa juga harus dan tetap berada pada koridor surat dakwaan ;
b. Bahwa dalil Penasehat Hukum Terdakwa terkait dengan praktik rentenir atau lintah darat yang dijalankan oleh saksi korban, menurut Majelis sudah keluar dari koridor surat dakwaan Penuntut Umum, karena permasalahan dari dakwaan ini adalah terbatas pada perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam hubungannya dengan korban, dan bukan pada apa yang menjadi pekerjaan atau lakon yang dijalani oleh korban. Jikapun yang ingin dicari adalah motif, maka motif dimaksud tentulah ditekankan pada motif Terdakwa dalam melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena selain tidak pernah dibahas di dalam surat dakwaan, apabila pekerjaan korban
63
dipandang sebagai tindak pidana tentulah harus diproses secara pidana dalam berkas terpisah, dan itu tidak ada kaitannya dengan dakwaan atas diri Terdakwa di perkara a quo ;
c. Bahwa dengan demikian dalil pembelaan inipun dipandang tidak berdasar dan harus ditolak ;
Menimbang, bahwa terhadap hal-hal lain dalam dalil pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa, Majelis berpendapat keseluruhannya telah turut dan cukup dipertimbangkan sekaligus dengan pertimbangan Majelis Hakim mengenai uraian unsur dakwaan atas diri Terdakwa ;
Menimbang, bahwa oleh karena Majelis berpendapat Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka haruslah dipulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan Terdakwa berada dalam tahanan maka diperintahkan untuk dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
Menimbang, bahwa barang bukti berupa : 1) 3 (tiga) lembar surat laporan Transaksi No. Rekening 5091-01-
004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI, alamat Dusun Campagaya Desa Tamasaju Kec. Galesong Utara Kab. Takalar masing periode transaksi tanggal 01/10/14, tanggal 01/11/ 14-30/11/14 dan tanggal transaksi 01/12/14- 31/12/14 yang dikeluarkan oleh Bank BRI Unit Tamalate Takalar ;
2) 3 (tiga) lembar fotokopi slip penarikan dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) masing-masing selembar slip penarikan tanggal 21 Oktober 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp.110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke No Rekening 5091-01-004023-53-1 atas nama ISMAIL serta slip penarikan tanggal 3 November 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) ke No Rekening 5091-01-004023- 53-1 atas nama ISMAIL, serta slip penarikan tanggal 22 Desember 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) ke No Rekening 5091-01-004023-53-1 atas nama ISMAIL ;
3) 1 (satu) lembar kuitansi pinjaman uang tunai sebesar Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) dengan jangka waktu pinjaman kurang lebih 2 (dua) bulan yang ditanda tangani oleh ISMAIL di atas materai tempel 6000, Bontolebang 21 Oktober 2014 ;
64
4) 1 (satu) lembar bilyet No. GFN445522 dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk senilai Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) ;
5) Surat Keterangan dari dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang menerangkan bahwa bilyet giro No. GFN445522 dengan No Rekening 0250-01-000578-30-1 atas nama ISMAIL belum pernah dicairkan di BRI Kanca Takalar ;
6) Selembar surat perjanjian membayar yang dibuat dan ditanda tangai oleh Tn HASAN ALAMUDI tanggal 25 November 2015, yang telah disita dari korban, maka dikembalikan kepada saksi korban Hasan Alamudi ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum maka biaya perkara dibebankan kepada negara;
Memperhatikan, Pasal 191 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
2. Amar Putusan
Adapun Amar Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum dalam
Tindak Pidana penggelapan pada perkara Nomor. 68/Pid.B/2016/PN.Tka.,
terhadap Terdakwa ISMAIL Dg SESE Bin AMIR Dg SIRUA sebagai
berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ISMAIL Dg SESE Bin AMIR Dg SIRUA tersebut di atas, tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan primair Penuntut Umum ;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut ;
3. Menyatakan Terdakwa ISMAIL Dg SESE Bin AMIR Dg SIRUA terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan subsidair, tetapi bukan merupakan tindak pidana;
4. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum; 5. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah
putusan ini diucapkan; 6. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan,
harkat serta martabatnya; 7. Menetapkan barang bukti berupa:
- 3 (tiga) lembar surat laporan Transaksi No. Rekening 5091-01-004914- 53-8 atas nama HASAN ALAMUDI, alamat Dusun Campagaya Desa Tamasaju Kec. Galesong Utara Kab. Takalar masing periode transaksi tanggal 01/10/14, tanggal 01/11/ 14-30/11/14 dan tanggal transaksi 01/12/14-31/12/14 yang dikeluarkan oleh Bank BRI Unit Tamalate Takalar ; - 3 (tiga) lembar fotokopi slip penarikan dari PT Bank Rakyat Indonesia
65
(Persero) masing-masing selembar slip penarikan tanggal 21 Oktober 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp.110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke No Rekening 5091-01-004023-53-1 atas nama ISMAIL serta slip penarikan tanggal 3 November 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) ke No Rekening 5091-01-004023-53-1 atas nama ISMAIL, serta slip penarikan tanggal 22 Desember 2014, dengan No Rekening 5091-01- 004914-53-8 atas nama HASAN ALAMUDI transfer uang tunai sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) ke No Rekening 5091-01- 004023-53-1 atas nama ISMAIL ; - 1 (satu) lembar kuitansi pinjaman uang tunai sebesar Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) dengan jangka waktu pinjaman kurang lebih 2 (dua) bulan yang ditanda tangani oleh ISMAIL di atas materai tempel 6000, Bontolebang 21 Oktober 2014 ; - 1 (satu) lembar bilyet No. GFN445522 dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk senilai Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) ; - Surat Keterangan dari dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang menerangkan bahwa bilyet giro No. GFN445522 dengan No Rekening 0250-01-000578-30-1 atas nama ISMAIL belum pernah dicairkan di BRI Kanca Takalar ; - Selembar surat perjanjian membayar yang dibuat dan ditanda tangai oleh Tn HASAN ALAMUDI tanggal 25 November 2015 ; Dikembalikan kepada Saksi HASAN ALAMUDI, SH., als Tuan HASAN Bin ALAMUDI ;
8. Membebankan biaya perkara kepada negara. Analisis Penulis
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa Unsur tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa dalam Pasal 378 KUHP tidak
terpenuhi sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap
dipersidangan, bahwa memang Terdakwa dengan korban memiliki
hubungan hukum perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang seju-
mlah uang, oleh karenanya majelis Hakim mempertimbangkan bahwa
hutang piutang antara korban dan Terdakwa tersebut lahir melalui cara
yang melawan hukum, baik dalam bentuk memakai nama palsu atau
66
martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
melaikan sepenuhnya lahir atas dasar kesepakatan yang diakui atara
keduannya. Dengan demikian Majelis Hakim sudah tepat menilai unsur
kedua tidak terpenuhi, maka dakwaan primair Penutut Umum dinyatakan
tidak terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaannya,
sebagaimana termuat unsur-unsur yaitu:
a. Barang siapa
b. Dengan maksud untuk menguntukan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya. Atau supaya memberi utang atau menghapus
piutang.
Perbuatan tersebut terdiri dari beberapa perbuatan yang ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut. Dengan demikian, kasus dalam putusan tersebut
tidak mencocoki penerapan hukum pidana khususnya dalam Pasal 378
KUHP. Dengan demikian Majelis Hakim menilai unsur kedua ini tidak
terpenuhi maka dakwaan primair Penuntut Umum menyatakan tidak
terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Selanjutnya terhadap dakwaan subsidair, penulis berpendapat bahwa,
pertimbangan hakim dalam dakawaan subsidair unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 372 KUHP telah terpenuhi, yaitu:
1. Unsur barang Siapa
Dalam hal ini subjek hukum, Terdakwa sebagaimana dakwaan
Jaksa Penuntut Umum bahwa bukan orang lain serta para
Terdakwa sehat secara rohani dan mampu bertanggung jawab,
sehingga unsur barang siapa telah terpenuhi menurut hakim.
2. Unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum.
Bahwa Terdakwa dalam hal ini perbuatan yang dilakukan dalam
keadaan sadar dan ada niat pelaku untuk melakukan.
67
3. Unsur suatu barang yang sama sekali atau sebagainya kepunyaan
orang lain.
Bahwa barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan
orang lain artinya barang yang dikuasai oleh terdakwa dalam hal ini
kepunyaan atau milik dari korban itu sendiri.
4. Unsur barang itu ada padanya bukan karena kejahatan.
Bahwa unsur barang itu ada padanya karena kejahatan, jelas
bahwa menguasai barang tersebut atas ijin sepengetahuan dari
pemilik karna Terdakwa dengan korban sebelumnya memiliki
kesepakatan dalam hal pinjam meminjam atau hutang piutang
uang. Hal inilah Terdakwa dinilai oleh korban tidak memiliki
kesungguhan dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan
bersama bahwa serah terima uang tersebut sebelumnya atas dasar
perjanjian yang diakui keduanya..
Tetapi dalam pertimbangan hakim lebih lanjut bahwa melepaskan
terdakwa dari segala hukum, meskipun sebenarnya semua unsur dalam
Pasal 372 KUHP telah terpenuhi. Hakim dalam pertimbangannya
mengatakan bahwa memang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana
yang didakwakan kepadanya, namun demikian perbuatan tersebut tidak
merupakan tindak pidana melainkan peristiwa atau perbuatan hukum
perdata wanprestasi. Sehingga Terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
Selanjutnya dalam hal pertimbangan Hakim tersebut diatas penulis
berpendapat bahwa:
Hakim dalam menjatuhkan putusan dilepas dari segala tuntutan
hukum (Onslag van recht vervolging), mengacu pada Pasal 191 ayat (2)
KUHP yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang dididakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
68
Adapun syarat yang harus terpenuhi jika hakim memutus lepas dari
segala tuntutan hukum (Onslag van recht vervolging), yaitu:60
1) Perbuatan terdakwa terbukti
Bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
dalam proses pemeriksaan persidangan dan fakta-fakta hukum
yang terungkap dipersidangan, bahwa perbuatan terdakwa
memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, sah
menurut alat bukti yang diajukan dipersidangan sesuai dalam Pasal
184 KUHAP dan meyakinkan hakim atas alat bukti yang diajukan
dipersidangan juga menyatakan terdakwa sebagai pelaku
perbuatan tersebut.
2) Bukan merupakan tindak pidana
Walaupun terbukti perbuatan terdakwa, akan tetapi perbuatan itu
bukanlah merupakan perbuatan tindak pidana, biasa hakim
menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag
van recht vervolging), mempertimbangkan bahwa ruang atau
perkara tersebut adalah perkara perdata (wanprestasi bukan
perkara penipuan). Putusan lepas dari segala tututan hukum
(Onslag van recht vervolging) ini menunjukan adanya kesalahan
dalam tahapan sistem peradilan pidana mulai dari proses
penyelidikan, penyidikan sampai dengan penuntutan. Padahal
sebelumnya telah dinyatakan dalam tingkat penyelidikan dan
penyidikan bahwa perkara yang diperiksa merupakan perkara
tindak pidana, namun ternyata dalam tingkat pemeriksaan
persidangan, perkara tersebut diputus oleh Majelis Hakim, bahwa
perkara tersebut bukan merupakan tidak pidana melainkan perkara
perdata.
Hakim menjatuhkan Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(Onslag van recht vervolging), apa yang didakwakan kepada terdakwa
60
Tolib Effendi, 2014, Dasar- dasar Hukum Acara Pidana, Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press, Malang, hlm. 185-186.
69
telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum baik dari segi
pembuktian menurut undang-undang maupun dari pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan
tindak pidana melaikan masuk dalam lingkup hukum perdata. Putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van recht vervolging),
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang
terungkap didalam persidangan bahwa terdakwa memang benar-benar
melakukan tidak pidana, tetapi hakim mempertimbangkan bahwa yang
bersangkutan tidak dapat dipidana karna bukan lingkup hukum pidana
melaikan hukum keperdataan.
Pertimbangan di atas yang melepaskan terdakwa menurut penulis
tidaklah tepat, karena kalau kita lihat adapun hal-hal yang dapat
menghapuskan pidana, dan menyebabkan terdakwa tidak di pidana
menurut Undang-undang (Bab III KUHP), yaitu :61
1. Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab Si pembuat
(ontoerekeningsvatbaarheid), sesuai penjelasan Pasal 44 ayat (1)
KUHP.
2. Adanya daya paksa (overmacht), sesuai penjelasan Pasal 49 ayat
(1) KUHP.
3. Adanya pembelaan terpaksa (noodweer), sesuai penjelasan Pasal
49 ayat (1) KUHP.
4. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodwerexes), sesuai penjelasan Pasal 49 ayat (2) KUHP.
5. Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50
KUHP)
6. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1)
KUHP.
7. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad
baik, Pasal 51 ayat (2) KUHP.
61
Andre G. Mawey, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”, Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. 5, Nomor 2 Februari 2016, hlm. 88.
70
Dengan demikian, penjelasan tersebut diatas yang memenuhi kriteria
menghapus pidana dan menyebabkan terdakwa tidak dipidana secara
khusus maupun umum, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan
meskin perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa penuntut umum itu
terbukti. Tetapi dalam pertimbangannya menganggap bahwa perbuatan
Terdakwa dengan korban merupakan hal pinjam meminjam atau hutang
piutang uang (wanprestasi), jadi pertimbangan hakim yaitu, meskipun
Pasal 372 KUHP telah terpenuhi, tetapi karna merupakan peristiwa
pinjam-meminjam atau hutang piutang uang, jadi penulis berpendapat
bahwa yang termasuk dalam Pasal 1754 KUHPerdata ialah:
“Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakai, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Dari penjelasan Pasal 1754 KUHPerdata bahwa menunjukkan
seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang kepada pihak
yang lain dan akan mengembalikan kembali jumlah uang yang sama
sesuai persetujuan yang disepakati sebelumnya.
Sedangkan perjelasan tentang Wanprestasi ialah Perjanjian yang
terlaksana dengan baik oleh para pihak yang telah memenuhi prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati atau diperjanjikan sebelumnya tanpa
ada pihak yang dirugikan. Wanprestasi terjadi apabila ada kelalaian atau
kesalahan biasanya debitur tidak dapat memenuhi prestasinya
sebagaimana ditentukan dalam suatu perjanjian juga bukan dalam
keadaan memaksa, inilah biasanya menimbulkan keharusan bagi pihak
71
debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan.
Maka dari itu jika seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi,
perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja
atau lalai tidak memenuhi prestasi ialah:62
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau
terlambat. Adapun penjelasan yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata,
ialah:63
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Majelis Hakim mempertimbangkan lebih lanjut bahwa terdakwa
memang Terdakwa telah terbukti menerima dan memanfaatkan sejumlah
uang milik korban secara melawan hukum. Namun sesuai dakwaan
Penuntut Umum di perkara ini dan sesuai fakta persidangan sesuai
keterangan para saksi maupun Terdakwa memang diawali dengan
adanya kesepakatan pinjam meminjam atau hutang piutang uang,
sebagaimana telah diuraikan dipertimbangan putusan diatas, wanprestasi
dalam hubungan kontraktual tidak memiliki sifat melawan hukum, namun
yang ada ialah sifat melawan perikatan dan dalam sebuah perjanjian tidak
mengandung kesamaan dengan unsur-unsur melawan hukum di dalam
Pasal 372 KUHP, karena wanprestas semata-mata merupakan
pelanggaran terhadap janji dalam perikatan pokok yang termuat dalam
setiap penjanjian dan juga perjanjian itu tidak dalam bentuk tertulis
sekalipun. Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan
62
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-wanprestasi-dalam-hukum-perdata/13413/2/ diakses pada tanggal 09 Oktober 2018, Pukul 02.55 Wita 63
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 323.
72
tersebut tidak merupakan tindak pidana melainkan peristiwa atau
perbuatan hukum perdata (wanprestasi) jadi Terdakwa harus dilepas dari
segala tuntutan hukum.
Bahwa terkait penjelasan diatas penulis berpendapat bahwa pihak
tersebut sebelumya lahir perjanjian pinjam meminjam uang, dalam setiap
perjanjian pada umumnya pinjam meminjam uang haruslah ditentukan
dalam Undang-undang sehingga dapat diakui oleh hukum. Perjanjian
pinjam meminjam baru dapat dikatakah sah apabilah memenuhi unsur
Pasal 1320 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat 64: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.
Sedangkan penjelasan pada Pasal 1335 KUHPerdata ialah:65 “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatatan atau batal demi hukum”. Sehingga pertimbangan hakim di atas sebenarnya juga bukan
merupakan serta merta perbuatan atau hubungan hukum dalam hal
pinjam meminjam antara Terdakwa dengan korban.
Lebih lanjut S.R. SIANTURI mengemukakan bahwa, Seseorang yang
menerima pembayaran yang lebih, kemudian menyangkal menerima
kelebihannya tersebut dan tidak mau mengembalikan ketika diminta.
Berdasarkan apa yang telah penulis analisa sebelumnya, dapat
dikatakan bahwa seharusnya Terdakwa dalam perkara ini tidak divonis
lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini baik yang di dakwakan oleh
Penuntut Umum (Pasal 372 KUHP) termasuk kualifikasi Penggelapan,
64
Ibid., hlm. 339. 65
Ibid., hlm. 341.
73
dan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut
tidak merupakan tindak pidana melainkan peristiwa atau perbuatan hukum
perdata wanprestasi tersebut menurut penulis sebenarnya juga tidak
terpenuhi sebagaimana di maksud dalam Pasal 1754 KUHPerdata dan
Pasal 1320 KUHPerdata. Hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya
menerapkan Asas Legalitas, yaitu Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.
Kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana dan
menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dari suatu subjek
hukum pidana. Adapun Hakim dalam menjatuhkan Putusan lepas dari
segala tuntutan hukum dalam tindak pidana penggelapan Terhadap
Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka, bahwa hakim dalam hal ini tidak
mempertimbangkan kembali bahwa unsur-unsur dalam Pasal 372 telah
terpenuhi.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa, bisa saja kasus posisi
sebagaimana yang ada dalam Putusan Nomor 68/Pid.B/2016/PN Tka,
unsur-unsur dalam Pasal yang di dakwakan dapat terbukti jika saja hal itu
dibuktikan dalam fakta persidangan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nur Basuki Minarno bahwa,
hubungan hukum kontraktual atau perjanjian yang dibuat oleh terdakwa
hanya sebagai kedok atau kamuflase atau dapat juga dikatakan sebagai
modus operandi dalam melakukan tindak pidana. Pemasalahanya adalah
hal itu tidak dibuktikan selama persidangan.
74
Jadi harusnya Terdakwa tidak serta merta divonis lepas dari segala
tuntutan hukum dan dikenakan Pasal 372 tentang Tindak pidana
Penggelapan sebagaimana yang dimaksud di dalam KUHP, karena unsur
niat dari terdakwa tidak dibuktikan dalam fakta persidangan sehingga tidak
dapat disimpulkan secara serta merta, apakah kasus tersebut murni kasus
perdata atau mengandung unsur Tindak Pidana dalam hal ini
Penggelapan.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Kesimpulan penulis diatas dapat diuraikan bahwa:
1. Perkara pidana dilepas dari segala tuntutan hukum ketika memenuhi
unsur-unsur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2)
KUHAP yaitu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum
terbukti secara hukum, tetapi tidak termasuk perbuatan pidana,
melainkan menjadi ranah hukum perdata. Selain itu, terdapat pula
alasan pemaaf dan pembenar, serta proses pembuktian dan
penuntutan dalam persidangan.
2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (Onslag van recht vervolging) dalam perkara ini adalah
untuk dakwaan Pasal 378 KUHP yaitu tidak memenuhi unsur.
Selanjutnya untuk Pasal 372 KUHP memenuhi unsur tetapi perbuatan
terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan hukum
perdata, sehingga hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum. seharusnya Hakim mempertimbangkan lebih jauh dan
memahami hukum lebih dalam kasus perkara ini karna tidak selamanya
perbuatan hukum yang dimulai dengan kontaktual tidak mungkin ada
unsur pidananya, sehingga hal inilah yang harus dilakukan pembuktian
lebih dalam oleh Majelis Hakim untuk memutuskan/menjatuhkan
pemidanaan terhadap terdakwa.
76
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis juga ingin
menambahkan sedikit saran sebagai berikut :
1. Kepada segenap aparat penegak hukum baik Hakim, Jaksa, Polisi dan
sebagainya haruslah jeli melihat keterangan saksi-saksi, alat bukti dan
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, dan juga berhati-hati dalam
memutuskan suatu perkara dengan memahami hukum lebih dalam
sehingga tujuan Keadilan, kepastian dan kemanfaatan tersebut dapat
tercapai.
2. Kepada Jaksa penuntun umum agar lebih cermat dan teliti apabilah
berkas perkara dari kepolisian dilimpahkan ke kejaksaan, serta melihat
keterangan saksi-saksi, alat bukti dan fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan Sehingga setiap orang yang menjadi saksi dan
tersangka menjadi terdakwa betul-betul belandaskan dengan hukum
dan alat bukti yang kuat dan sah, sehingga keadilan dan tujuan dari
pemidanaan tersebut dapat tercapai lebih.
77
DAFTAR PUSTAKA
Buku ---------------. 1995. Kitab undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya. Politeia. Bogor. ---------------. 2005. Hukum Acara Pidana.PT Raja Grafindo. Jakarta ---------------. 2007. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik dan
Praktik Peradilan. Perlindungan Korban Kejahatan. Sistem Peradilan dan Kebijakan Pidana. Filsafat Pemidanaan serta upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan. Mandar Maju. Bandung.
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung. Jakarta. Adam Chazawi. 2003. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Bayumedia.
Malang. Amir Ilyas dan Muhammad Nursal. 2016. Kumpulan Asas-asas Hukum.
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Amir Ilyas. 2012. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta & PuKAP-
Indonesia. Amiruddin dan Zainal Azikin. 2016. Pengantar Metode Penelitian Hukum:
Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Andi Hamzah. 2009. Delik–delik tertentu didalam KUHP. Sinar Grafika.
Jakarta Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana. Mahakarya Rangkang.
Yogyakarta. Andre G. Mawey. “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”.Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. 5, Nomor 2 Februari 2016,.
Bismar Siregar. 1989. Hukum Pidana Acara. Bina Cipta. Jakarta Cempaka Indah. 2014. “Analisis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana
Korupsi (Studi Putusan No. 272/ Pk/ Pid.Sus/ 2011)”, Skripsi. Sarjana Hukum. Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta.
78
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia.:PT. Refika Aditama. Bandung.
Hendar Soetarna. 2011. Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana. Alumni Bandung.
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi. 2014. Cepat dan Mudah Memahami
Hukum Pidana. Kencana Prenadamedia Group. Rawamangun. Moch. Faisal Salam. 2011. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek..
Mandar Maju. Bandung. Moeljatno, 1983, Asas-asas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara. Jakarta. Mulyadi. Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana.: PT Citra Aditya Bakti.
Bandung. Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
R. Soesilo. 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan
Delik-delik Khusus. Politea. Bogor. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Soedirjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Akademika
Pressindo. Jakarta. Tolib Effendi. 2014. Dasar- dasar Hukum Acara Pidana. Perkembangan
dan Pembaharuannya di Indonesia. Setara Press. Malang.
Internet http://kbbi.kata.web.id/penggelapan/ diakses pada 29 Mei 2018. Pukul
22.42 Wita. https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/99ff1478065194dac51898
cd9fbbcc16 di akses pada tanggal 30 Mei 2018.Pukul 03.20 Wita.