Skrip Si

146
EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME TESIS Untuk Memenuhi sebagai Persyaratan mencapai derajat S-2 Program Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kenegaraan Diajukan oleh : Salamat Simanjuntak 6801/PS/MH/00

Transcript of Skrip Si

Page 1: Skrip Si

EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM

SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI,

KOLUSI, DAN NEPOTISME

TESIS

Untuk Memenuhi sebagai Persyaratan mencapai derajat S-2Program Magister Hukum

Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Diajukan oleh :Salamat Simanjuntak

6801/PS/MH/00

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2003

Page 2: Skrip Si

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya

masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk

peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas

dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat

perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan

bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.

Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai

penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk

didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi

daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan

kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak

pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah

yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan

melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak

kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.

Berbagai pihak menyoroti realitas otonomi daerah yang rawan terhadap

terjadinya KKN tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

Page 3: Skrip Si

(1) Program otonomi daerah hanya terbatas pada pelimpahan wewenang dalam

pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke

daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat atau tanpa

partisipasi masyarakat secara luas. Dengan perkataan lain, program otonomi

daerah tidak diikuti dengan prograrn demokratisasi yang membuka peluang

keterlibatan masyarakat dalam pengambiian kebijakan uraum di daerah.

Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada para elit

lokal (daerah) baik elit eksekutif maupun elit legislatif untuk mengakses

sumber-sumber ekonomi daerah dan politik daerah, yang rawan terhadap

KKN, perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang dan atau

perbuatan yang rnelampui batas wewenang;

(2) Tidak adanya institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif

penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong

struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah

pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung

memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala

daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah

pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan

bertanggungjawab kepada DPRD. Hubungan pemerintahan antara

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan

fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada

pemerintah daerah.

(3) Terjadi indikasi KKN yang cukup krusial antara pemerintah daerah dan

DPRD, sehingga kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintah

Page 4: Skrip Si

daerah sulit terlaksana, sementara kontrol dari kalangan masyarakat masih

sangat lemah.

Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang

sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan

konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:

(1) Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada

masyarakat;

(2) Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus

dan mandiri;

(3) Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan

daerah;

(4) Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu

pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah

tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah

kehilangan jati diri dan maknanya.

Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek,

yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses,

apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi

keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan

Page 5: Skrip Si

terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan

pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila

kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah

mencerminkan aspirasi masyarakat.

Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu

menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat

mepertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi

masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan

kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan

permasalahan di berbagai daerah.

Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah,

yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam

setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu

pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada

kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme

penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah

yang bersih bebas dari KKN.

Sebagai ilustrasi pemerintahan Kota Yogyakarta secara perposif dipilih

sebagai lokasi penelitian hukum empiris, dengan pertimbangan bahwa

(pemerintahan Kota Yogyakarta merupakan salah satu pemerintahan daerah

yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan

pemerintahan daerah lainnya, dalam jajaran dan sistem pemerintahan negara

Page 6: Skrip Si

kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula secara perposif ilustrasi obyek

kajian dibatasi khusus eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam

sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN.

2. Rumusan Masalah

Bertolak dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu

sentral dalam penelitian ini yaitu : "ketidak jelasan eksistensi kebijakan daerah yang

demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme", yang kemudian diungkapkan dalam judul penelitian yaitu :

"EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN

NEPOTISME". Isu sentral tersebut mengandung berbagai permasalahan, baik

permasalahan hukum empiris maupun permasalahan hukum normatif, baik

permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum maupun pada lapisan

teori hukum.

Dengan demikian dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Permasalahan hukum empiris, bagaimanakah realisasi pembuatan kebijakan

daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari

korupsi, kolusi dan nepotisme.

2. Permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum, apakah dalam

setiap pembuatan kebijakan daerah telah melibatkan partisipasi masyarakat,

demikian pula apakah produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22

Tahun 1999 telah mencerminkan aspirasi masyarakat.

3. Permasalahan hukum normatif pada lapisan teori hukum, mengapa masyarakat

perlu dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

Page 7: Skrip Si

3. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian

dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik, penelitian tentang eksistensi

kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari

korupsi, kolusi dan nepotisme, belum pernah dilakukan penelitian dan dalam

kesempatan ini peneliti berniat untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan

tersebut. Dengan demikian penelitian ini adalah asli.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain :

a. Tujuan deskriptif, untuk mengetahui realisasi pembuatan dan atau

evaluasi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan

yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

b. Tujuan kreatif, untuk mengetahui ada tidaknya partisipasi masyarakat

dalam setiap pembuatan kebijakan daerah dan untuk mengetahui

aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22

Tahun 1999.

c. Tujuan inovatif, untuk mengetahui perlu tidaknya masyarakat

dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

5. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk

kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis,

a. Manfaat akademis

Page 8: Skrip Si

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu

hukum pada khususnya.

b. Manfaat praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

dan wacana bagi para elit eksekuttf dan legislatff dalam pembuatan dan

evaluasi kebijakan daerah, serta bagi masyarakat luas agar menyadari akan

hak dan kewajibannya untuk berperan serta aktif dalam setiap pembuatan dan

evaluasi atas kebijakan-kebijakan daerah.

Page 9: Skrip Si

BAB II

TLNJAUAN PUSTAKA

l. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Dan Evaluasi Kcbijakan

Daerah

Peluang dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi atas

kebijakan daerah, termasuk didalamnya kebijakan daerah di kota Yogyakarta cukup

besar dan strategis. Hal tersebut pada hakekatnya telah diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan, antara lain dalam :

a. UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

b. PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No 41 Tahun 2001

tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah

c. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang bersih

dan Bebas dari KKN.

Secara garis besar, amanat bagi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap

sesuatu kebijakan daerah dapat disistematisir sebagai berikut:

a. Setiap pembuatan kebijakan daerah yang baru, baik berupa keputusan kepala

daerah maupuu peraturan daerah, senantiasa wajib melibatkan masyarakat

daerah untuk berpartisipasi;

b. Setiap kebijakan daerah yang baru, yang tidak melibatkan masyarakat daerah

dapat menyebabkan kebijakan daerah tersebut dibatalkan oleh pemerintah

atasan;

c. Masyarakat berhak untuk mengkritisi dan mengevaluasi atas sesuatu kebijakan

Page 10: Skrip Si

daerah yang telah ada, dan apabila dipandang perlu dapat mengajukan usul

agar kebijakan daerah yang dinilai oleh masyarakat tidak

sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tuntutan keadaan /zaman, ditinjau

kembali dan apabila perlu dapat diusulkan untuk dicabut;

d. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk menampung dan

menindak lanjuti aspirasi daerah dan aspirasi masyarakat;

e. Masyarakat mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi tentang penyelenggaraan negara (termasuk penyelenggaraan

pemerintahan daerah), serta menyampaikan saran dan pendapat terhadap

kebijakan penyelenggaraan negara (termasuk penyelenggaraan

pemerintahan daerah). ( Prasetyo, 2002 : 3)

Tantangan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam

pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah di kota Yogyakarta, antara lain

karena (Prasetyo, 2002 : 3-4):

a. Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan erat dengan

pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, tidak mengatur mekanisme

partisipasi masyarakat secara rinci dan tegas. Peraturan perundang-

undangan tersebut antara lain :

- UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

- PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan

atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri

No. 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan

Daerah;

- UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan

Yang bersih dan Bebas dari KKN; PP No. 1 Tahun 2001

Page 11: Skrip Si

tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD;

- Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara

Mempersiapkan RUU;

- Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan

Peraturan Perundang-Undangan dan Bentuk RUU, R Keppres,

Raperda dan Rancangan Keputusan Kepala Daerah;

- Kepmendagri dan Otonomi Daerah NO. 23 Tahun 2001 tentang

Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

- Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 3 / K/ DPRD / 1999

tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kota Yogyakarta.

b. Belum seluruh komponen masyarakat yang ada memahami

akan hak dan kewajibannya, untuk berpartisipasi dalam

pembuatan dan evaluasi atas sesuatu kebijakan daerah di kota

Yogyakarta.

Suatu sikap dan langkah yang telah ditempuh oleh DPRD

menyelenggarakan public hearing perlu diberikan penghargaan. Public

Hearing ini dimaksudkan, untuk mendapatkan masukan dari

masyarakat, guna membahas tentang sesuatu kebijakan daerah. Namun

disayangkan langkah ini belum seluruhnya tepat, mengingat sifatnya

sangat parsial, tidak menentu, dan sangat terbatas. Sebagai

konsekuensinya banyak kebijakan daerah, baik oleh DPRD maupun

eksekutif ternyata bermasalah, karena tidak dapat diikuti oleh

masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka hadirnya peraturan daerah

di kota Yogyakarta, tentang mekanisme pembuatan dan evaluasi

Page 12: Skrip Si

kebijakan daerah, yang dapat mengakomodir partisipasi masyarakat

secara memadai dan komprehensif, sangat didambakan oleh banyak

kalangan masyarakat. (Prasetyo, 2002 : 4-5)

Urgensi Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat, yakni

berupaya untuk mensistematisasi secara komprehensif dan terpadu,

mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah dalam satu

ketentuan. Nantinya diharapkan bahwa semua proses pembuatan dan

evaluasi suatu kebijakan daerah mengacu pada satu sumber saja,

sebagai konsekuensinya DPRD maupun eksekutif daerah wajib

mengikuti dan melaksanakan peraturan daerah tersebut. (Suhardi, 2002

: 4)

Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat tersebut,

diharapkan dapat memuat substansi yang penting antara lain (Suhardi,

2002 :4-5):

a. Hak partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan daerah

yang baru maupun usulan pencabutan kebijakan daerah yang

sudah tidak relevan lagi;

b. Meletakkan kewajiban kepada DPRD maupun eksekutif daerah

untuk menampung dan menindaklanjuti usulan masyarakat;

c. Partisipasi masyarakat dalam pembahasan naskah akademik

dan Raperda;

d. Sosialisasi rencana penyusunan dan pembahasan kebijakan

daerah kepada publik.

Dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut pada dasarnya

meliputi seluruh proses yang relevan dalam pembuatan sesuatu

Page 13: Skrip Si

kebijakan daerah. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai

subyek pembuatan kebijakan daerah, sejajar dengan eksekutif dan

legislatif, dan bukan sekedar simbol legitimasi legislatif dan eksekutif

saja.

2. Asas Legalitas dan Perlindungan

Konsep negara hukum (rechtsstaat) diintrodusir melalui RR 1854 dan ternyata

dilanjutkan dalam UUD 1945. (Wignjosoebroto, 1994 : 188, Hadjon, 1994 : 4)

Dengan demikian ide dasar negara hukum Pancasila tidaklah lepas dari ide dasar

tentang "rechtsstaat". (Hadjon, 1994 : 4)

Persyaratan dasar untuk dapat dikategorikan sebagai negara hukum yakni:

1. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan

perundang-undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini, undang-

undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar

tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang

merupakan bagian penting negara hukum, (asas legalitas).

2. Kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. (asas

pembagian kekuasaan).

3. Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan

sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang, (prinsip

grondrechten)

4. Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji

keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan, (pengawasan

pengadilan) (Burkens, 1990 : 29, Hadjon, 1994, ibid.,: 5, Sukismo, 2002,

(a):2).

Page 14: Skrip Si

Syarat-syarat dasar tersebut seyogyanya juga menjadi syarat dasar negara

hukum Pancasila. Untuk hal tersebut kiranya dibutuhkan suatu usaha besar berupa

suatu kajian yang sangat mendasar terutama tentang ide bernegara bangsa Indonesia.

Ada beberapa tulisan awal tentang itu yang barangkali dapat dijadikan acuan awal,

seperti : Negara Hukum Pancasila Dan Teori Bernegara Bangsa Indonesia. Disamping

itu tentunya kita tidak menutup mata terhadap perkembangan konsep negara hukum

yang telah terjadi di berbagai negara, seperti konsep negara hukum yang telah terjadi

di berbagai negara seperti konsep rechlsstaat yang telah berkembang dari konsep

"liberal-democratische rechtsstaat" ke "sociale rechtsstaat" yang pada dewasa inipun

sudah dirasakan bahwa konsep terakhir itu sudah tidak memadai. (Hadjon, 1994 : 5,

B. Sukismo, 2002 (a): 3)

Untuk mengkategorikan negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas, yakni:

asas legalitas dan asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-hak

asasi manusia. (Utrecht, 1963 : 310, Sukismo, 2002 (a): 3)

Unsur utama suatu negara hukum, yakni asas legalitas. Semua tindakan negara

harus berdasarkan dan bersumber pada undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar

dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Batas

kekuasaan negara ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan

negara hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam

garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. ( Gouw Giok

Siong, 1955 :12-13, Sukismo, 2002 (a): 4) Sudah barang tentu bahwa dalam negara

hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan

seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan mengajukan perkaranya itu di hadapan

pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan

Page 15: Skrip Si

undang-undang. (Rochmat Soemitro, 1976 : 18, Sukismo, 2002 (a):4).

Dalam negara hukum asas perlindungan nampak antara lain dalam

"Declaration of Independence", bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah

diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat

dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang dilahirkan,

perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern (Soemitro,

1976 : 18, Sukismo, 2002 (a): 4). Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi

perseorangan, melainkaa fungsi hukum adalah untuk mengayomi masyarakat sebagai

totalitas, agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Peradilan

mempunyai maksud membina, tidak semata-mata menyelesaikan perkara. Hakim

harus mengadili menurut hukum dan menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan,

fungsi dan sifat hukum. Dengan kesadaran bahwa tugas hakim ialah, dengan

bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Nusa dan Bangsa, turut serta

membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian

Pancasila. (Soemitro, 1976 : 20-21, Sukismo, 2002 (a): 5).

Suatu negara merupakan negara hukum, semata-mata didasarkan pada asas

legalitas. (Yamin, 1952 : 9, Sukismo, 2002 (a) : 5) Disisi lainnya asas legalitas,

hanyalah merupakan salah satu unsur atau salah satu corak dari negara hukum, karena

disamping unsur asas legalitas tersebut, masih perlu juga diperhatikan unsur-unsur

lainnya, antara lain kesadaran hukum, perasaan keadilan dan perikemanusiaan, baik

bagi rakyat maupun pimpinannya. (Siong, 1955 : 23, Sukismo, 2002 (a) : 5, Yunanto,

2000 : 4)

Dalam UUD 1945 ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Ketentuan

tersebut antara lain:

- Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Ps. 28);

Page 16: Skrip Si

- Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Ps. 28);

- Hak bekerja dan hidup (Ps. 27 ayat (2));

- Kemerdekaan agama (Ps. 29 ayat (2));

- Hak untuk ikut mempertahankan negara (Ps. 30), disini nampak adanya

asas perlindungan.

Dengan adanya Majelis Pertimbangan Pajak, seseorang dapat mengajukan

surat bandingnya untuk hal-hal dimana ia merasa telah diperlakukan tidak

sebagaimana mestinya oleh pejabat perpajakan. Orang dapat menuntut/mengajukan

gugatan kepada negara, bila oleh negara dilakukan suatu perbuatan yang melawan

hukum (onrechtmatigedaad)., bahwa seseorang dapat melakukan gugatan terhadap

Pemerintah Republik Indonesia, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa tidak

adil. (Soemitro, 1976. : 25, Sukismo, 2002 (a) : 5, Ashari, 1999 : 6) Sudah banyak

peraturan-peraturan yang memberi jaminan kepada para warga negara, untuk

menggunakan hak-haknya mengajukan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila

hak-hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar. ( Ashari, 1999 : 25 - 26, Sukismo,

2002 (a): 6)

Penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum;

sebaliknya dalam negara totaliliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia.

Istilah "rechisstaat" mulai populer sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu

sudah lama adanya. Istilah "the rule of law" mulai populer tahun 1885. Dari latar

belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep

"rechtsstaat" dengan konsep "the rule of law", pada dasarnya kedua konsep itu

mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, tetapi

Page 17: Skrip Si

keduannya tetap berjalan dengan sistemnya sendiri yaitu sistem hukum sendiri.

Konsep "rechtsstaat" lahir dari suatu perjuangan menentang absulutisme sehingga

sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep "the rule of law" berkembang secara

evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria "rechtssataat" dan kriteria "the rule

of law". Konsep "rechtsstaat" bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut

"civil law" atau "Modern Roman Law", sedangkan konsep "the rule of law" bertumpu

atas sistem hukum yang disebut "common law". Karakteristik "civil law" adalah

"administratief', sedangkan karakteristik "common law" adalah "judicial". Perbedaan

karakter yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja.

Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja yakni membuat peraturan

melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat

administratif, sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan

tertulis bagi hakim tentang bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Begitu besar

peran administrasi negara, sehingga tidaklah mengherankan, kalau dalam sistem

kontinental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut "droit

administratif”, dan intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat.

Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan

oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu peradilan, sehingga hakim-hakim

peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim

harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris (the common custom of

England), sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri sebelumnya. Dengan demikian

nampak bahwa di Eropa peranan administrasi negara bertambah besar, sedangkaa di

Inggris peranan peradilan dan para hakim bertambah besar. Sehubungan dengan latar

belakang tersebut, di Eropa dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan

administrasi negara, sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk

Page 18: Skrip Si

mewujudkan suatu peradilan yang adil Dalam perjalanan waktu, konsep "rechtsstaat"

telah mengalami perkembangan dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan

sifat dasarnya, konsep klasik disebut "klasiek liberale en democratische rechtsstaat",

yang sering disingkat dengan "democratische rechtsstaat". Sedangkan konsep modern

lazimnya disebut "sociale rechtsstaat" atau "sociale democratische rechtsstaat".

(Hadjon, 1987 : 71 -74, Sukismo, 2002 (a): 7

Karakternya yang liberal bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari John

Locke, Montesquieu dan Immanuel Kant. Karakternya yang demokratis bertumpu

atas pemikiran kenegaraan dari J.J. Rousseau tentang kontrak sosial. ( Couwenberg.

1977 : 25, Daryadi, 2001 : 7)

Konsep liberal bertumpu atas "liberty" (vrijheid) dan konsep demokrasi

bertumpu atas "equality" (gelijkheid). "Liberty" adalah "the free selfassertion of each-

limited only by the like liberty of all". Atas dasar itu "liberty" merupakan suatu

kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kehendak secara bebas dan hanya dibatasi

seperlunya, untuk menjamin koeksistensi yang harmonis antara kehendak bebas

individu dengan kehendak bebas semua yang lain. Dari sinilah mengalir prinsip

selanjutnya yaitu : "freedom from arbitrary and unreasonable exercise of the power

and authority (Pound, 1957 : 1 - 2. Sukismo, 2002 (a) : 8) Konsep "equality"

mengandung makna yang abstrak dan formal (abstract-farmal eguality) dan dari sini

mengalir prinsip "one man-one vote) (Hadjon, 1987 : 75, Sukismo, 2002 (a): 8)

Konsep-konsep dasar yang sifatnya liberal dari "rechtssataat" meliputi:

- adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil (burgelijke

vrijheidsrechten);

- pemisahan antara negara dengan gereja;

- persamaan terhadap undang-undang (gelijkheid voor de wet);

Page 19: Skrip Si

- adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar

sistem hukum;

- pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem "cheks and

balances",

- asas legalitas (heerschappij van de wet);

- ide tentang aparat pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang tidak

memihak dan netral;

- prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa;

- prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal

(sistem desentralisasi maupun federasi). (Couwenberg, 1977 : 30,

Sukismo, 2002 (a): 8)

Konsep dasar demokratis, "rechtsstaat" dikatakan sebagai "negara kepercayaan

timbal balik" (de staat van het wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari

pendukungnya, bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan, dia

mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya. (Port - Donner, 1983 :143,

Sukismo, 2002 (a): 9)

Rechtsstaat mendasarkan atas asas-asas demokratis antara lain:

- asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);

- asas mayoritas;

- asas perwakilan;

- asas pertanggung jawaban;

- asas publik (openbaarheids beginsef). (Couwenberg, 1977 : 30, Sukismo,

2002 (a): 9)

Ciri-ciri "rechtsstaat" adalah:

(1). Adanya Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara

Page 20: Skrip Si

penguasa dan rakyat;

(2). Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan pembuatan

undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman bebas yang

tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga antara

rakyat dan penguasa, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas undang-

undang (wetmatig bestuur);

(3) Diakui dan dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut "vrijheidsrechten

van burger". (Port - Donner, 1983 : 143, Karman, 1992:9)

Ciri-ciri diatas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral "rechtsstaat"

adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang bertumpu

atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya konstitusi akan memberikan jaminan

konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan

untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, yang sangat

cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap

kebebasan dan persamaan. Dengan adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan

dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yaug dibuat adalah

atas kehendak rakyat; dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-

hak rakyat, tetapi dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai

kehendak golongan mayoritas. Dengan prinsip "wetmatig bestuur" agar tindak

pemerintahan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet).

Dalam konsep "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum

bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu. Setiap tindak

pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak untuk menggugat

di muka peradilan. (Hadjon, 1987 : 76 - 77) Sebutan "sociale rechtsstaat" lebih baik

Page 21: Skrip Si

dari pada sebutan "welvaartsstaat". (Verdam, 1976 : 17) "Sociale rechtsstaat"

merupakan variant dari "liberaal-democratische rechtsstaat"(Hadjon, 1987 : 77)

Variant dari "sociale rechtsstaat" terhadap "liberaal-democratische

rechtsstaat", antara lain : interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya

serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam

hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan

umum, karakter baru dari "wet" dan “wetgeving”(Couwenberg, 1977 ; 33)

Semula kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) dalam konsep

liberaal-democratische rechtsstaat sifatnya yuridis formal, dalam konsep sociale

rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat (reele maatschappelijke

gelijkheid), bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara

individu yang satu dengan yang lain. (Franken, 1983 : 273, Untung, 1991 : 6)

Dalam "sociale rechtsstaat" prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan

kepada perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural.

Dikaitkan dengan sifat hak, dalam "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis adalah

"the right to do” dalam "sociale rechtsstaat" muncul "the right to receive". Dikaitkan

dengan sarana perlindungan hukum, maka makin kompleks sistem perlindungan

hukum bagi rakyat. (Meuwissen, 1975:140)

Tugas negara dalam konsep yuridis "sociale rechtsstaat", disamping

melindungi kebebasan sipil juga melindungi gaya hidup rakyat. (Idenberg, 1983 :27)

Pengaruh negara terhadap individu menjelma dalam tiga cara yakni : pertama,

pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

sosial, kedua, pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari pembentukan aparat

pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian, ketiga, harapan

bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan

Page 22: Skrip Si

penguasa. (Idenberg, 1983 :28 - 29)

Wacana murni dan sempit mengenai "the rule of law", inti dari tiga pengertian

dasar yang diketengahkan adalah "common law", sebagai dasar perlindungan bagi

kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa. Penolakan

kehadiran peradilan administrasi negara adalah sesuai dengan perkembangan hukum

dan kenegaraan di Inggris. Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan

memutus perkara, yang kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang

memutus perkara tidak atas nama raja, tetapi berdasarkan "the common custom of

England", sehingga karakteristik dari "common law" adalah "judicial", sedangkan

karakteristik dari "civil law" (kontinental) adalah "administratif ( Hadjon, 1987: 82)

Konsep "the rule of law" maupun konsep "rechtsstaat" keduanya

menempatkan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai

titik sentralnya, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik

sentralnya adalah "keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan". Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, dalam konsep "the rule of

law" mengedepankan prinsip "equality before the law", dan dalam konsep

"rechtsstaat" mengedepankan prinsip "wetmatigheid" kemudian menjadi

"rechtmatigheid", Untuk negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian

hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah "asas

kerukunan" dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini .akan

berkembang elemen. lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya

hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa

secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-

hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga

terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Elemen Negara Hukum

Page 23: Skrip Si

Pancasila adalah:

a. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;

b. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terahkir;

c. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

d. Keseimbangan hubungan antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan (Hadjon, 1987 : 82 - 90)

3. Asas Pengambilan Keputusan

Syarat minimum demokrasi adalah :

- pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;

- setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan

berpendapat dan berkumpul;

- badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui

sarana"(mede) beslissings recht" (hak untuk ikut memutuskan) dan atau

melalui wewenang pengawas;

- asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang

terbuka;

- pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan

yang bebas dan rahasia

- pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih. (Burkens, 1990

: 82, Hadjon, 1999 : 3)

Tampilnya asas itu sebenarnya berkaitan dengan asas pengambilan

keputusan dalam ketatenegaraan Belanda yaitu asas mayoritas. Dalam

Page 24: Skrip Si

ketatanegaraan kita prinsip utama dalam pengambilan keputusan adalah asas

musyawarah untuk mufakat (Hadjon, 1999 : 3)

4. Asas Keterbukaan

Rumusan secara eksplisit tentang asas keterbukaan tidak ditemukan dalam

UUD 1945. Namun demikian isu keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan telah

merebak di tanah air sejak tahun delapan puluhan dan sebagai realisasinya dalam

bidang politik dan sosial pada tahun 1986 wakil Presiden membuka kotak pos 5000.

(Soemardjan, 1995 : 56)

Tanpa keterbukaan tidak mungkin ada peran serta masyarakat. Meskipun segi-

segi keterbukaan telah mulai mendapat perhatian namun belum nampak suatu

pengaturan dasar tentang makna dan prosedur keterbukaan dalam pelaksanaan

pembentukan peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya peran serta.

Tidak heran kalau ada sementara kalangan lebih mengartikan peranserta sebagai

bentuk partisipasi dalam arti gotong royong peran serta secara fisik. Oleh karena

melalui studi perbandingan dengan hukum tata negara dan hukum administrasi

Belanda ditelaah konsep keterbukaan. Studi perbandingan tidaklah dimaksudkan

untuk mengalihkan hukum Belanda ke Indonesia namun lebih-lebih untuk memahami

konsep itu dan mudah-mudahan akan dapat mempertajam, konsep kita sendiri.

(Hadjon, 1999:4)

Makna utama dari keterbukaan, baik "openheid" maupun "apenbaar-heid"

("openheid" adalah suatu sikap mental berupa kesediaan untukmemberi informasi dan

kesediaan untuk menerima pendapat pihak lain; "openbaar-heid" menunjukkan suatu

keadaan) sangat penting artinya bagi pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang

Page 25: Skrip Si

sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak

(staatsrehtelijk beginsel van behoorlijke bevoegdheidsuitoefening). (Haan, 1986 : 122,

Hadjon, 1999 : 4) Begitu pentingnya arti keterbukaan sehingga dapat dikatakan bahwa

: "Openbaarheid is licht, geheimbouding isduisternis". (Hadjon, 1999 : 4)

Dalam kenyataannya kepustakaan hukum dalam bahasa Indonesa masih

langka membahas soal keterbubukaan, meskipun usaha keterbukaan (seperti telah

dikemukakan di atas) telah dikumandangkan sejak beberapa tahun yang lalu. (Hadjon,

1999: 4)

5. Asas Demokrasi Partisipasi

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hukum tata negara

dan hukum administrasi "keterbukaan" merupakan asas penyelenggaraan

pemerintahan yang bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi). Demokrasi perwakilan

sudah lama dirasakan tidak memadai. Pernyataan seperti yang pernah diucapkan Prof.

Mr. R. Boedisoesetio pada pidato inagurasinya sebagai Guru Besar Luar Biasa

Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum

Universitas Airlangga yang diucapkan pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 1958

kiranya sudah ketinggalan dalam kehidupan demokrasi modern. Dalam pidato

tersebut dikatakan:

Sekali angguta-angguta itu terpilih dan terbentuk DPR, maka rakjat yang

berdaulat itu tidak mempunjai wewenang lagi untuk menjatakan kemaunnja........

(Budisoesetyo, 1958 : 13, Hadjon, 1999 : 5)

Apabila wacana itu diikuti maka setelah rakyat memberikan suaranya pada

(hari pemungutan suara), selanjutnya rakyat itu tidak tahu apa-apa lagi tentang

pelaksanaan pemerintahan. Bagi suatu negara demokrasi pelaksanaan pemilihan

Page 26: Skrip Si

umum bukan satu-satunya instrumen demokrasi. Konsep demokrasi dan instrumennya

telah jauh berkembang. (Hadjon, 1999, ibid,: 5)

Pada dekade tahun enampuluhan-tujuhpuluhan lahirlah suatu konep demokrasi

yang disebut demokrasi partisipasi, (Akkormans, 1985 : 161, Hadjon, 1999 : 6) Dalam

konsep demokrasi partisipasi rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan

(medebeslissingsrecht, dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan

(besluitvormingsproces) (Haan, 1986 : 140, Hadjon, 1999:6)

6. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Sebagai pelaksanaan asas keterbukaan dalam pemerintahaan di Belanda,mula-

mula melalui asas "fair play" sebagai salah satu dari apa yang disebut "algemene

beginselen van behoorlijk bestuur", yang dalam praktek Peradilan TUN di Indonesia

dewasa ini dikenal dengan nama "Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik"

(AAUPB). Dengan lahirnya wet openbaarheid van bestuur (WOB) yang efektif sejak

tanggal 1 Mei 1980 asas "fair play" dimasukkan dalam wet tersebut. Dalam WOB

dibedakan dua macam keterbukaan pemerintahan, yaitu keterbukaan aktif

dilaksanakan atas prakarsa pemerintah sedangkau keterbukaan pasif atas permintaan

warga masyarakat. (Wijk-Konijnenbelt, 1984 : 42, Hadjon. 1999 : 6)

Pada dasarnya keterbukaan pemerintahan tidak hanya menyangkut informasi.

Keterbukaan meliputi keterbukaan sidang-sidang badan perwakilan rakyat,

keterbukaan informasi; keterbukaan prosedur; keterbukaan register. Dalam WOB

Belanda hanya diatur tentang keterbukaan informasi saja sebagai dasar hubungan

antara pemerintahaan dan rakyat. (Haan, 1986 : 124, Hadjou, 1999:6)

Arti penting keterbukaan dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat

berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki badan perwakilan rakyat

Page 27: Skrip Si

Keterbukaan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik memungkinkan

pengawasan dan bagi pembuat keputusan akan mendorong sikap berhati-hati dalam

pengambilan keputusan (Burkens, 1990 : 94, Hadjon, 1999 : 6-7)

Sebagai ilustrasi adanya asas keterbukaan antara lain : "Rapat Paripurna,

Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat

Panitia husus pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali apabila rapat yang bersangkutan

atau Badan Musyawarah memutuskan rapat tersebut bersifat tertutup". (Kep. DPR

RI.No.10/DPR-RI/III/82-83, Ps 96 ayat(l))

7. Konsep Partisipasi Masyarakat

Sesuatu hal yang dirasa atau dipandang sangat penting ialah adanya saluran

bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya melalui DPR Ketentuan tentang dengar

pendapat umum, merupakan sarana yang patut dioptimalkan sehingga pembentukan

undang-undang dan perumusan kebijakan lainnya betul-betul mengikutkan

masyarakat. (Hadjon, 1999 : 7) Pemerintahan demokratis mengenal adanya

keterbukaan informasi yang dibedakan atas keterbukaan aktif dan pasif berkaitan

dengan dokumen-dokumen pemerintahan. Keterbukaan informasi dimungkinkan

dalam batas-batas tertentu bagi masyarakat untuk mengetahui dokumen-dokumen

pemerintah. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa "setiap orang dianggap mengetahui

undang-undang" tidaklah ada artinya apabila undang-undang tidak dipublikasikan

secara luas. (Duk-Loeb-nicolai, 1981 : 157, Hadjon, 1999 : 7)

Cukup banyak terjadi masyarakat tidak pernah diberi informasi tentang

ketentuaa hukum, karena disatu sisi kita hanya berpegang pada fiksi hukum dan disisi

lain mungkin karena niat untuk memanfaafkan ketidak tahuan masyarakat tentang

suatu aturan hukum. (Hadjon, 1999 : 7-8)

Page 28: Skrip Si

Eksistensi keterbukaan prosedur berkaitan dengan

"besluitvormingsprocedures" dan salah satu dari "besluit" yang sangat penting adalah

"beschikking" yang dalam UU No. 5 Tahun 1986 disebut keputusan tata usaha negara.

(Hadjon, 1999 : 9) Keterbukaan penting dalam pemerintahan. Keterbukaan dalam

prosedur pemerintahan memungkinkan masyarakat melakukan : meeweten (ikut

mengetahui); meedenken (ikut memikirkan); meespreken (bermusyawarah); dan

meebeslissen (ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan); medebeslissingsrecht

(hak ikut memutus) (Haan, 1986 : 138, Hadjon, 1999 : 8)

Dalam prosedur pengambilan keputusan pemerintahan baik menyangkut suatu

rencana, kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan maupuu suatu

keputusan tata usaha negara, (misalnya izin) asas-asas keterbukaan harus dituangkan

dalam prosedur tersebut.

Asas keterbukaan dalam suatu prosedur izin, pelaksaaaannya dapat berupa:

1. tersedianya sarana "meedenken en meespreken" baik berupa keberatan,

dengar pendapat atau bentuk lain;

2. pengumuman keputusan izin.

3. keterbukaan isi permohonan. (Hadjon, 1999: 8)

Keterbukaan prosedur izin di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam

ketentuan izin ganguan yang lazimnya dikenal sebagai HO, namun sangat disesalkan.

keterbukaan prosedur begitu saja diabaikan dalam PERMENDAGRI No. 7 tahun

1993 dalam Rangka Paket Kebijaksanaan Pemerintah 23 Oktober 1993 (PAKTO

1993). Dalam Pasal 7 PERMENDAGRI tersebut sebagai kelengkapan suatu

permohonan izin undang-undang gangguan pada huruf g diisyaratkan : Persetujuan

tetangga/atau masyarakat yang berdekatan.

Ketentuan dalam Pasal 7 huruf g diatas disatu sisi bertentangan dengan

Page 29: Skrip Si

Ordonansi Gangguan dan disisi lain telah mengabaikan asas keterbukaan pemerintah,

yaitu kewajiban pejabat yang berwenang untuk mengumumkan isi permohonan di

lokasi dimana usaha itu bakal berdiri, telah diganti dengan persetujuan tetangga.

Dengan demikian asas keterbukaan telah digeser oleh asas tetangga, padahal asas

keterbukaan berupa pengumuman isi permohonan tidak hanya untuk tetangga tetapi

untuk siapa saja pihak ketiga yang berkepentingan (bisa juga LSM) untuk

mengajukan keberatan dalam rangka "meeweten-meedenken-meespreken-

meebeslissen". (Hadjon, 1999 : 8-9)

Register mengenai kedudukan hukum seseorang (misalnya pendaftaran

penduduk; peadaftaran pemilihan umum), pendaftaran benda-benda tidak bergerak

serta pendaftaran bidang usaha disamping sebagai suatu bentuk informasi, pada sisi

lain memiliki sifat sebagai "bestuurswaarborg". (Haan 1986: 137,Hadjon,1999:9)

Keterbukaan register di Indonesia dikenal antara lain dalam hukum kadaster

yaitu keterbukaan buku tanah. Keterbukaan seperti itu di satu pihak memang

memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak atas tanah yang sudah

didaftarkan dan sekaligus memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-

hak yang sudah didaftarkan itu. (Hadjon, 1999 : 9)

Salah satu perwujudan asas demokrasi yakni keterbukaan, bahkan merupakan

conditio sine qua non asas demokrasi. Keterbukaan memungkinkan partisipasi

masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (Hadjon,

1999 : 9)

Asas keterbukaan dalam rangka pembentukan peraturan perundangan-

undangan yang demokratis, perlu mendapat perhatian, oleh karena demokrasi

perwakilan saja dewasa ini sudah tidak memadai.

Dalam rangka hubungan antara pemerintah dan rakyat, kiranya keterbukaan

Page 30: Skrip Si

merupakan prioritas pemikiran untuk mendapat perhatian khusus. Kodifikasi hukum

administrasi, umum, khususnya mengenai prosedur pemerintahan seyogyanya perlu

mendapat perhatian, yang membuka peluang kodifikasi administrasi secara bertahap.

Kodifikasi yang demikian punya arti bagi pelaksanaan asas negara hukum untuk

mewujudkan asas kekuasaan berdasarkan atas hukum secara nyata. Dalam

mengantisipasi era globalisasi usaha tersebut perlu mendapat prioritas karena

hukumlah yang mempunyai peran utama dalam lalu lintas ekonomi global.

Pembangunan yang hanya menempatkan posisi hukum sebagai sarana, diragukan

kemampuannya untuk mewujudkan negara Hukum Republik Indonesia yang intinya

adalah mewujudkan cita hukum (rechts idee). (Hadjon, 1999 : 9-10)

Page 31: Skrip Si

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian hukum empiris dan

penelitian hukum normatif. Masing-masing tipe penelitian tersebut digunakan sesuai

dengan kebutuhannya.

Penelitian hukum empiris dilakukan melalui observasi dan wawancara

mendalam (in depth interviews) dengan para responden dan nara sumber yang

berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti (obyek yang diteliti), untuk

mendapatkan data primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum

baik primer, sekunder dan atau tersier. Dalam rangka mendapatkan jawaban atau

penyelesaian atas masalah-masalah (isu hukum) yang telah dirumuskan, dapat

dipergunakan empat model pendekatan penyelesaian masalah yaitu pendekatan

peraturan perundang-undangan (statutory approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan historis (historical approach), yang penerapannya disesuaikan dengan

kebutuhan. Semua pendekatan yang disebutkan di atas diterapkan pada lapisan ilmu

hukum dogmatik dan atau lapisan hukum teoritik sebagai berikut:

(1) Lapisan Dogmatik Hukum

Pada lapisan ini uraian mengarah dalam bentuk memaparkan,

membandingkan, menginterpretasikan hukum yang berlaku atau hukum

positif. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada ada tidaknya partisipasi

Page 32: Skrip Si

masyarakat dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota

Yogyakarta dan aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah.Kota

Yogyakarta pasca UU No. 22 Tahun 1999.

(2) Lapisan Teori Hukum

Dalam lapisan ini dianalisis peraturan perundangan yang ada, apakah telah

memberikan pemahaman sepenuhnya atau memberikan penjelasan bila ada

perbedaan tentang semua obyek atau pengertian aturan yang terkandung dalam

peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada

perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi

kebijakan daerah Kota Yogyakarta.

Dalam pendekatan dari sudut pandang teori bukum, dikenal tiga lapisan ilmu

hukum, yang terdiri dari :

1. Dogmatik hukum

D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai

".... Memaparkan, menganalisis, mensistimatisasi dan menginterpretasikan hukum

yang berlaku atau hukum positif” (Sukismo, 2002 (b): 15, Meuwissen, 1979 : 660).

M. Van Hoecke memberikan pengertian doghmatika hukura sebagai: "...

cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan, mensistematisasi hukum

positif yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu, dari

sudut pandang normatif” (Gijessels, Hoeke, 1982.: 75).

J.J.H. Bruggink (Sukismo, 2002 (b): 15-16, Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta),

1996 :169-170) mengemukakan pendapatnya bahwa :

"Dengan bertolak dari kenyataan yang ada dalam hukum pada suatu saat

tertentu ia berkenaan dengan suatu masalah tertentu, hendak menawarkan

alternatif penyelesaian yuridisk yang mungkin. Hal itu dengan sendirinya

Page 33: Skrip Si

menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja dari sudut perspektif internal.

Ia justru menghendaki sebagai parisipan yang ikut berbicara (peserta aktif

secara langsung) dalam diskusi yuridik mengemukakan wawasannya tehadap

hukum positif. Justru keakraban dengan sistem hukum yang dipelajarinya,

menyebabkan (membuat) ia menjadi dogmatikus yang berarti.”

2. Teori Hukum Dalam Arti Sempit.

Teori hukum dalam arti sempit, selanjutnya disebut teori hukum, terletak

antara Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.

M. Van Hoecke (Gijssels- Hoecke, 1982: 75) mencoba memperjelas

dengan perbedaan dalam jenis-jenis teori hukum dengan menggunakan pengertian

meta teori:

"Meta teori adalah teori yang didalamnya suatu teori lain direnungkan. Jadi,

jenis teori hukum yang satu dapat ditipikasi sebagai meta teori dari dogmatika

Hukum, dan yang lainnya sebagai teori hukum dari hukum positif. Karena

dimungkinkan lagi adanya teori tentang meta teori (yang disebut meta teori),

maka rangkaian ini dapat dilanjutkan tanpa batas.

M. Van Hoecke menjelaskan lagi bahwa :

"Ikhwalnya tidaklah demikian. Sampai pada filsafat hukum, yang seperti akan

kita lihat merupakan teori yang fundamental, kita menemukan titik akhir.

Filsafat hukum adalah juga teori yang merefleksikan teorinya sendiri dan tidak

memiliki meta teori diatasnya, maka ia sendiri harus meneliti masalah-masalah

berkenaan dengan sifat keilmuan dan metodologi Filsafat Hukum. Jadi disini

filsafat Hukum harus merefleksi diri (Sukismo, 2002 (b): 17, Bruggink, 1996 :

171).

Hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum dalam meta

Page 34: Skrip Si

teori-meta teori seperti telah dijelaskan oleh M. Van Hoecke atau dalam perbedaan

tataran analisis seperti yang dilakukan oleh Meuwissen dan selanjutnya dijelaskan

oleh Bruggink (Sukismo, 2002 (b) : 17, Bruggink, 1996 : 175-176) bahwa Filsafat

Hukum adalah meta teori untuk teori hukum. Mengingat bahwa teori hukum, adalah

teori untuk dogmatika Hukum, maka filsafat Hukum adalah meta teori-meta teori

untuk dogmatika hukum. Tetapi dalam penelitian tesis ini penulis hanya menganalisis

pada lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum. Penjelasan yang senada

diungkapkan oleh B. Arief Sidharta dalam disertasinya mensitir pendapat M. Van

Hoecke tentang hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum dan Filsafat Hukum

dengan menggunakan konsep meta teori yakni ilmu (disiplin) yang obyek studinya

adalah ilmu lain. Berdasarkan konsep ini, teori hukum terdiri dari dua jenis :

a. Meta teori dogmatika hukum yang mempersoalkan ajaran ilmu (yang

membahas landasan kefilsafatan) dan ajaran metode dari dogmatika hukum.

b. Teori tentang hukum positif yang menelaah pengertian hukum, pengertian-

pengertian dalam hukum, metodologi hukum yang mencakup

metodologi pembentukan hukum dan metodologi penerapan hukum.

Filsafat hukum adalah meta teori dari teori hukum dan meta teori dari

dogmatika hukum serta teori tentang hukum (refleksi tentang hakekat hukum

dan keadilan). Filsafat hukum sendiri tidak mempunyai meta teori, karena

sebagai filsafat ia merefleksi dirinya sendiri untuk mempertanggungjawabkan

keberadaannya dan menjelaskan makna karaktemya (Sukismo, 2002 (b) : 13.

Sidharta, 1996 : 141-142. Gijjssels - Hoecke, 1982 : 76,91-95).

Guna pengembangan hukum teoritis yang dimaksud oleh Meuwissen,

Bruggink mengguaakan istilah "Teori Hukum dalam arti luas" yang didefinisikan

sebagai "keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem

Page 35: Skrip Si

konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, sistem tersebut

sebagian dipositifkan" (Sukismo, 2002(b): 13. Sidharta, 1996 :142. Bruggink, 1996:

4)

Teori hukum dalam arti luas ini terdiri atas sosiologi hukum, dogmatika

hukum, teori hukum dalam arti sempit, dan filsafat hukum (Sukismo, 2002 (b): 18,

Sidharta, 1996 :142). JJ.H. Bruggink menjelaskan bahwa :

"Teori hukum itu membedakan diri dari dogmatika hukum, karena ia memiliki

penentuan tujuan yang berbeda sekali, yakni semata-mata teoritikal. Masalah-

masalah yang berkenaan dengan hukum yang mungkin ada atau hukum adil

atau berkenaan dengan keadilan dari hukum, yang dalam filsafat sering

menempati posisi sentral. Obyek teori hukum ini mencakup kegiatan yurisdik

seperti pengembangan (rechtbeofening). Dogmatig hukum, pembentukan

hukum dan penemuan hukum. Dalam bidang ini berbagai jenis teori hukum

diberi nama juga teori (dari) ilmu hukum, dan teori penemuan hukum. Objek

yang penting pada bagian ini adalah studi tentang metode yang digunakan

dalam kegiatan-kegiatan yuridisk tersebut".

"Dari uraian tadi sudah dikemukakan sesuatu tentang penetapan tentang tujuan

teori hukum Penetapan tujuan teoritikalnya membedakan teori hukum dari

dokmatika hukum, yang diarahkan pada praktek hukum. Teoritikus hukum

terutama hendak memberikan pemahaman tentang objek yang dipelajari.

Sebab pemahaman ini berdampak ke dalam praktek hukum. Walaupun teori

hukum tidak mempunyai kepentingan praktikal secara langsung, tetapi teori

hukum tetap penting bagi praktek hukum, karena turut memerankan peranan

yang pasti mempertinggi kualitas praktek hukum (Sukismo, 2002 (b): 18-19,

Bruggink, 1996 : 173-175).

Page 36: Skrip Si

Teori kebenaran yang mengedepan dan relevan berkaitan dengan penelitian

tesis ini adalah teori kebenaran koherensi. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pada

prinsipnya orientasi penelitian (kajian) tesis ini mengenai keterkaitan antara Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999,

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah 66 Tahun 2001,

atau lebih konkritnya mengenai keterkaitan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

dengan Undang-undang 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 .

Menurut White, teori kebenaran koherensi diberi makna/arti sebagai :

"...to say what is said (usually called a judment, belief, or proposition) is true

or false is to say that coheres orfails coheres with a system of other things

which are said; that is a member of a system whose elements are related to

each other by ties of logical implication as the elements in a system of pure

mathematics are related" (Sukismo, 2002 (b): 19, Allan, White, 1970 : 15)

Menurut Kattsoff, teori kebenaran koherensi diberi makna sebagai :

"... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan

saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang

dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita"

(Sukismo, 2002 (b) : 19, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,

2001 : 139. Katsoff, 1954, 1986:19).

Bertolak dari pendapat dari White dan Kattsoff tersebut yang bernada hampir

sama, dapatlah diungkapkan dengan bahasa yang sederhana, bahwa teori kebenaran

koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu atau

Page 37: Skrip Si

makna dari pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu

mempunyai hubungan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar.

Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-

kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika

pernyataan yang hendak dibuktikan berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis

atau matematis (Sukismo, 2002 (b): 20, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat

UGM, 2001:140).

3. Filsafat Hukum

Filsafat hukum diidentifikasi (diartikan) sebagai induk dari semua disiplin

yurisdik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental

yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan

dengan masalah-masalah sedemikian fundamental, sehingga bagi manusia tidak

terpecahkan, karena masalah-raasalah itu akan melampaui kemampuan berfikir

manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tdak pemah berakhir, karena

mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-

pertanyaan itu adalah pertanyaan terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang

menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Filsafat hukum dapat diberikan definisi

sebagai teori tentang dasar-dasar dan batas-batas kaidah hukum (Sukismo, 2002 (b):

20. Bruggink, 1996.: 175).

Penelitian ini diarahkan untuk dapat melakukan kajian ilmu hukum dalam dua

lapisan ilmu hukum saja, yakni lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum.

Sehubungan dengan itu maka objek penelitian yang telah ditetapkan, dipilah-pilahkan

menjadi dua kelompok lapisan, yakni kelompok lapisan Dogmatik Hukum dan

kelompok lapisan teori hukum, kemudian masing-masing kelompok lapisan keilmuan

hukum tersebut dilakukan pengkajian, sesuai dengan karakternya masing-masing,

Page 38: Skrip Si

yakni untuk lapisan Dogmatik hukum dan lapisan Teori Hukum menggunakan metode

normatif. Dalam hal ini, J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa untuk lapisan Dogmatik

hukum konsepnya berupa "technisch juridisch begripen. Eksplanasinya secara teknis

yuridis, sifat keilmuan normatif, untuk lapisan teori Hukum konsepnya berupa

"algemene begripen", eksplanasinya secara analitis, sifat keilmuannya normatif (dan

dapat pula empiris) (Sukismo., 2002 (b): 21. Hadjon, 1994 : 10).

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum empiris berupa

hasil wawancara mendalam (in depth interviews) dengan responden maupun

narasumber dan hasil observasi tentang realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota

Yogyakarta yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari

korupsi kolusi dan nepotisme.

Bahan penelitian yang digunakaa pada tipe penelitian hukum normatif berupa

bahan hukum, baik bahan hukum primer (primary sources or authorities), maupun

bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) dan diiengkapi dengan

bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang merupakan data

sekunder.

(1) Bahan hukum primer

a). Pancasila

b). UUD45

c) Ketetapan MPR

d) UU No.22 Tahun 1999

e) Peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berkaitan dengan

partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah

Page 39: Skrip Si

Kota Yogyakarta serta sistem pemerintahan yang bersih bebas dari

korupsi, kolusi dan nepotisme..

(2) Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer berupa bahan pustaka seperti buku, majalah,

hasil penelitian, makalah dan lainnya yang terkait dengan kebijakan

daerah yang demokratis dan sistem pemerintahan yang bersih bebas dari

korupsi kolusi dan nepotisme..

(3) Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan kelengkapan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

3. Prosedur pengumpulan bahan penelitian

Bahan penelitian berupa data yang diperoleh melalui penelitian hukum empiris

baik melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara

maupun melalui observasi, hasil yang terkumpul di narasikan secara komprehensif

dan sistematis.

Bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif

diinventarisasi, terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan isu sentral dilakukan

identifikasi.

Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan mengadakan

penelusuran atau penemuan kembali melalui daftar petunjuk peraturan yang ada

ataupun melalui informasi resmi lainnya ataupun bahan hukum tersier dilakukan

dengan mengadakan penelusuran melalui katalog hukum yang terdapat di

perpustakaan.

Langkah berikutnya adalah meringkas, mengutip dan mengulas bahan hukum

yang telah dikumpulkan itu hasilnya ditulis dengan menggunakan sistem kartu (card

Page 40: Skrip Si

system) yang terdiri dari : kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu ulasan atau kartu

analisis, kemudian dipilih dan dihimpun sesuai dengan ketentuan hukum dan atau

asas-asas hukum positif yang mendasarinya untuk disusun secara sistematis guna

mempermudah dalam analisis.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Penelitian

Bahan penelitian pada penelitian hukum empiris dikumpulkan dengan

observasi dan mewawancarai para responden serta nara sumber khususnya yang

berkaitan dengan permasalahan (obyek penelitian) hasilnya dianalisis secara

kualitatif, kemudian dituangkan dalam bentuk deskripsi yang menggambarkan tentang

realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota Yogyakarta yang demokratis dalam sistem

pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.

Bahan penelitian pada penelitian hukum normatif berupa bahan hukum yang

berkaitan dengan kebijakan daerah yang demokratis, partisipasi masyarakat dan

sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN, disusun secara sistematis,

kemudian di klasifikasi sesuai pokok bahasan. Selanjutnya bahan-bahan hukum

tersebut dilakukan analisis secara normatif, sehingga diperoleh gambaran yang

menyeluruh mengenai jawaban atas permasalahan pada lapisan ilmu dogmatik hukum

dan teori hukum, mengenai ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap

pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta dalam sistem

pemerintahan yang bersih bebas dari KKN serta aspiratif tidaknya produk-produk

kebijakan daerah Kota Yogyakarta pasca UU No. 22 Tahun 1999.

Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian hukum empiris maupun

penelitian hukum normatif dapat ditarik kesimpulan dan diajukan saran seperlunya.

Page 41: Skrip Si

5. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, yakni Bab I, Bab

II, Bab III, Bab IV dan Bab V. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi

sub-sub bab yang diperlukan. Sistematika ini disusun berdasarkan urutan langkah-

langkah yang ditempuh dalam rangka kegiatan penelitian ini.

Penulisan bab-bab tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :

Judul: EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS

DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME

BAB I: PENDAHULUAN, merupakan penjelasan awal yang berisi tentang :

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan

sistematika penulisan hasil penelitian, dengan demikian diharapkan

penelitian ini dapat selalu mengacu dan berjalan sesuai dengan hal-hal

yang telah ditetapkan sebelumnya.

BABII: TINJAUAN PUSTAKA, merupakan uraian sistematis bahan pustaka

yang akan dijadikan kerangka teori pada tipe penelitian hukum

empiris, dan atau akan dijadikan bahan hukum utama pada tipe

penelitian hukum normatif.

BAB III: METODE PENELITIAN, merupakan uraian tentang tata cara yang

ditempuh dalam melakukan penelitian sebagai bentuk

pertanggungjawaban ilmiah, yang memuat tentang : tipe penelitian,

bahan penelitian, prosedur pengumpulan bahan penelitian, serta

pengolahan dan analisis bahan penelitian.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, merupakan analisis dan

Page 42: Skrip Si

bahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama penelitian

berlangsung, guna mendapatkan jawaban atas masalah-masalah yang

telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut dalam sub-sub bab yakni:

1. Realisasi Pembuatan Dan Evaluasi Kebijakan Daerah

1.1. Mekanisine Dan Prosedur Pembuataa Kebijakan Daerah

1.2. Peranserta Masyarakat Dalam Pembentukan

Kebijakan Daerah

1.3. Eksistensi Pemerintahan Daerah Yang Bersih Bebas

Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme

2. Aspirasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan

Kebijakan Daerah Pasca Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

2.1 Kebijakan Daerah Yang Aspiratif

2.2 Kebijakan Daerah Yang Demokratis

2.3 Keterbukaan Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

3. Legalitas Dan Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan

Kebijakan Daerah

3.1 Prinsip Negara Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan

Daerah

3.2 Legalitas Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

3.3 Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan

Kebijakan Daerah

BAB V: PENUTUP, memuat kesimpulan dan saran seperlunya

Page 43: Skrip Si

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis dan pembahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama

penelitian berlangsung, baik data dari hasil penelitian hukum empiris maupun bahan

hukum dari hasil penelitian hukum normatif, guna mendapatkan jawaban atas

masalah-masalah yang telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut dalam sub-sub bab

sebagai berikut:

1. Realisasi Pembuatan Kebijakan Daerah

1.1 Mekanisme Dan Prosedur Pembuatan Kebijakan Daerah

Kebijakan diberikan makna sebagai kumpulan keputusan mengenai:

a. Pedoman pelaksanaan tindakan atau kegiatan tertentu;

b. Pengaturan mekanisme tindakan untuk mencapai tujuan dan sasaran;

c. Penciptaan situasi yang mengarah ke kondisi-kondisi untuk menciptakan

dukungan implementasi (Suwandi, 2001:10).

Daerah diberikan makna sebagai propinsi dan atau kabupaten/kota yang

otonom, sebagai pengejawantahan dan atau perwujudan dari amanat UU No. 22

Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sebagai ilustrasi dalam penelitian ini secara

perposif yang dimaksud daerah adalah pemerintahan kota Yogyakarta pada khususnya

dan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya. Ilustrasi ini

didasarkan atas pertimbangan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 adalah bersifat nasional,

dengan demikian maka pemilihan pemerintahan kota Yogyakarta pada khususnya dan

pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya sebagai ilustrasi

Page 44: Skrip Si

yang diharapkan, dasar hukum pembuatannya, langkah-langkah yang harus

dilaksanakan, sanksi-sanksi tertentu akibat pelanggaran terhadap materi yang diatur

didalamnya, sasaran utamanya (Suhardi; 2002 : 6).

Secara umum kebijakan daerah yang berupa Kepda dibuat dengan

mendasarkan pada amanat suatu Perda dan atau amanat peraturan perundang-

undangan tertentu, bahkan dapat juga mendasarkan pada ketentuan hukum

administrasi tidak tertulis yakni asas kebebasan bertindak (freies ermessen), yang

selama ini banyak dilaksanakan dalam praktek pemerintahan termasuk didalamnya

pemerintahan daerah (Wawancara dengan staf DPRD).

Pembuatan kebijakan daerah yang berupa Perda melibatkan Pemerintah Kota

dalam ilustrasi ini Pemerintah Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut Pemkot) dan

dewan Perwakilaa Rakyat Daerah Kota ilustrasi ini DPRD Kota Yogyakarta

(selanjutnya disebut DPRD Kota atau DPRD). Dari hasil observasi dapat

dideskripsikan tentang mekanisme dan prosedur pembuatan kebijakan daerah yang

dikemas dalam bentak Perda.

Walikota menetapkan Perda atas persetujuan DPRD, sebagai tindak lanjut atas

suatu Rancangan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut Raperda). Raperda dapat

berasal dari Walikota atau berupa usul dari DPRD. Raperda yang berasal dari

Walikota disampaikan pada Pimpinan DPRD dengan Nota Pengantar Walikota.

Raperda yang berasal dari usul DPRD beserta penjelasannya, disampaikan secara

tertulis kepada Pimpinan DPRD, selanjutnya Raperda yang diterima oleh Pimpinan

DPRD tersebut, baik yang berasal dari usulan Walikota maupun yang berasal dari

usulan DPRD oleh Pimpinan DPRD disampaikan kepada seluruh Anggota DPRD.

Apabila ada dua atau lebih Raperda yang diajukan mengenai hal yang sama, maka

yang dibicarakan lebih dahulu adalah Raperda yang diterima lebih dahulu, dan

Page 45: Skrip Si

Raperda yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pembanding (Tatip DPRD,

1999, Pasal 199, 120, 121).

Pembahasan Raperda dilakukan melalui empat tahapan pembicaraan, kecuali

apabila Panitia Musyawarah menentukan lain. Empat tahapan pembicaraan tersebut

meliputi : tahap pertama, tahap kedua, tahap ketiga, tahap keempat, kesemuanya

dalam Rapat Paripurna DPRD. Sebelum dilakukan pembicaraan tahap kedua, tahap

ketiga, dan tahap keempat diadakan rapat fraksi terlebih dahulu, Tahapan-tahapan

pembicaraan dalam forum Rapat DPRD berkaitan dengan Raperda, dalam prakteknya

berisi muatan-muatan sebagai berikut:

(1) Dalam hal Raperda berasal atas usulan Walikota, tahapan-tahapan

pembicaraan selengkapnya yakni tahap pertama berupa penjelasan Walikota

dalam Rapat Paripuma DPRD terhadap Raperda yang diusulkan Walikota,

tahap kedua berupa pemandangan umum dalam Rapat Paripuma DPRD oleh

para Anggota yang membawakan suara fraksinya terhadap Raperda yang

diusulkan oleh Walikota, tahap ketiga berupa jawaban Walikota dalam Rapat

Paripurna DPRD terhadap pemandangan umum para anggota terhadap

Raperda yang berasal dari usulan Walikota, tahap keempat berupa : laporan

hasil pembicaraan Panitia khusus (Pansus), pendapat akhir fraksi-fraksi yang

disampaikan oleh Anggotanya, penetapan keputusan, pemberian kesempatan

kepada Walikota untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan

keputusan tersebut;

(2) Dalam hal Raperda berasal dari usulan DPRD, tahapan-tahapan pembicaraan

selengkapnya yakni tahap pertama berupa penjelasan Pimpinan

Komisi/Pimpinan Rapat Gabungan dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap

Raperda yang diusulkan oleh DPRD, tahap kedua berupa pendapat Walikota

Page 46: Skrip Si

dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap Raperda yang diusulkan oleh DPRD,

tahap ketiga berupa jawaban Pimpinan Komisi atau Pimpinan Rapat

Gabungan Komisi atas nama DPRD dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap

pendapat Walikota berkenaan dengan Reperda yang diusulkan DPRD, tahap

keempat berupa : laporan hasil pembicaraan dalam rapat komisi atau gabungan

komisi, pendapat akhir yang disampaikan oleh Walikota, penetapan

keputusan, pemberian kesempatan kepada Walikota untuk menyampaikan

sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut. Pembicaraan-

Pembicaraan yeng bertahap tersebut, baik Raperda atas usulan Walikota

maupun atas usulan DPRD, sebelum pembicaraan tahap keempat, maka

didahului dengan Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama dengan

pejabat yang ditunjuk Walikota (wawancara dengan staf Setwan DPRD Kota

Yogyakarta, Tatip DPRD, 1999, Pasal 122,123, l24, 125,126).

Pembicaraan- pembicaraan secara bertahap dalam forum rapat DPRD tersebut,

baik mengenai Raperda atas usulan Walikota maupun atas usulan DPRD, sebelum

memasuki pembicaraan tahap keempat, didahului dengan rapat Panitia Khusus

(Pansus) yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk Walikota

(Wawancara dengan staf Setwan DPRD Kota-Yogyakarta, Tatip DPRD, 1999, Pasal

127).

Prosedur pembuatan Raperda dapat dibedakan antara Raperda yang dibuat

Pemerintah Kota maupun Raperda yang dibuat oleh DPRD, yakni sebagai berikut:

(1) Raperda yang dibuat oleh Pemerintah Kota dilakukan dengan tiga model,

yakni pertama sistem top down artinya Raperda tersebut disusun atas dasar

ide-ide dan atau niatan-niatan politik jajaran pemerintahan kota dari

Page 47: Skrip Si

jajaran paling atas sampai jajaran yang paling bawah, kedua dengan sistem

bottom up artinya Raperda tersebut disusun atas ide-ide dan atau niatan-

niatan politik jajaran pemerintah daerah dari yang bawah secara

hierarkhies sampai yang paling atas, ketiga dengan sistem kombinasi

antara top down dan bottom up, artinya memadukan dan mensinergikan

antara sistem top down dan bottom up dengan memanfaatkan secara

optimal segi-segi positif dan mengeliminir sedemikian rupa segi-segi negatif

dari masing-masing sistem tersebut, untuk kemudian dijadikan dasar dalam

penyusunan Raperda oleh Pemerintah Kota;

(2) Raperda yang dibuat oleh DPRD, prosedumya sebagai berikut:

a sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota DPRD yang tidak hanya

terdiri dari satu fraksi dapat mengajukan sesuatu usul prakarsa

pengaturan sesuatu urusan Daerah;

b. Usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut, disampaikan

kepada Pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda disertai dengan

penjelasan secara tertulis;

c. Usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut diberi nomor

pokok oleh Sekretariat DPRD;

d. Usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut oleh

Pimpinan DPRD disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD setelah

mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah;

e. Dalam Rapat Paripurna DPRD, Anggota DPRD yang mengusulkan

diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul prakarsa

pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut;

f. Pembicaraan mengenai sesuatu usul prakarsa pengaturan sesuatu

Page 48: Skrip Si

urusan Daerah dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada:

f.a. Anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan;

f.b. Walikota untuk memberikan pendapat;

f.c. Anggota DPRD yang mengusulkan, memberikan jawaban atas

pandangan Anggota DPRD lainnya dan pendapat Walikota.

g. Pembicaraan diakhiri dengan Keputusan DPRD yang menerima atau

menolak usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah dari

Anggota-Anggota DPRD tersebut menjadi prakarsa DPRD;

h. Tatacara pembahasan Raperda atas prakarsa DPRD mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam pembahasan Raperda;

i. Selama usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah belum

diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan

perubahan atau mencabutnya kembali (Wawancara dengan staf Setwan

DPRD; Tatp DPRD, 1999, Pasal 14).

Dari paparan tersebut dapatlah diketahui antara lain :

a. Setiap kebijakan daerah harus dibuat dalam bentuk kemasan hukum baik

berupa Kepda maupun Perda

b. Setiap Kebijakan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah melalui

Kepala Daerah dalam bentuk Kepda harus dapat dipertanggungjawabkan

setiap saat

c. Setiap kebijakan daerah yang dibuat dalam bentuk Perda, Raperdanya

datang (berasal) dari Pemerintah Daerah maupun dari DPRD

1.2. Peran serta Masyarakat Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

Suatu kebijakan daerah yang merupakan kumpulan keputusan mengenai :

Page 49: Skrip Si

pedoman pelaksanaan tindakan atau kegiatan tertentu: Pengaturan mekanisme

tindakan untuk mencapai tujuan dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan

Penyelenggara Negara yang bersih. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan

Masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum

penyelenggaraan negara yang meliputi : asas kepastian hukum, asas tertib

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsionalitas, dan asas akuntabilitas (wawancara dengan Staf Setwan DPRD, UU

No. 28/1999, pasal 8).

Makna asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut, masing-masing

adalah:

a. Asas kepastian hukum yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan Penyelengara Negara;

b. Asas tertib penyelenggaraan negara yakni asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

Penyelenggara Negara;

c. Asas kepentingan umum yakni asas yang mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

d. Asas keterbukaan yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, serta tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan

atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;

e. Asas proporsionalitas yakni asas yang mengutamakan keseimbangan antar hak

dan kewajiban Penyelengaraan Negara;

Page 50: Skrip Si

f. Asas profesionalitas yakni asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

g. Asas akuntabilitas yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (wawancara dengan Staf Setwan DPRD, UU No. 28/1999,

Penjelasan Pasal 3).

Peluang dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan, dan evaluasi atas

kebijakan daerah, termasuk didalamnya kebijakan daerah di kota Yogyakarta cukup

besar dan. strategis. Hal tersebut pada hakekatnya telah diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan, antara lain dalam:

a. UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

b. PP No. 20 Tahun 2001 teatang Pembinaan dan Pengawasan atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No. 41 Tahun

2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah

c. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang

bersih dan Bebas dari KKN.

Secara garis besar, amanat bagi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap

sesuatu kebijakan daerah dapat disistematisir sebagai berikut :

a. Setiap pembuatan kebijakan daerah yang baru, baik berupa keputusan

kepala daerah maupun peraturan daerah, senantiasa wajib melibatkan

Page 51: Skrip Si

masyarakat daerah untuk berpartisipasi;

b. Setiap kebijakan daerah yang baru, yang tidak melibatkan masyarakat

daerah dapat menyebabkan kebijakan daerah tersebut dibatalkan oleh

pemerintah atasan;

c. Masyarakat berhak untuk mengkritisi dan mengevaluasi atas sesuatu

kebijakan daerah yang telah ada, dan apabila dipandang perlu dapat

mengajukan usul agar kebijakan daerah yang dinilai oleh masyarakat tidak

sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tuntutan keadaan / zaman,

ditinjau kembali dan apabila perlu dapat diusulkan untuk dicabut;

d. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk menampung dan

menindaklanjuti aspirasi daerah dan aspirasi masyarakat;

e. Masyarakat mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan

memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara (termasuk

penyelenggaraan pemerintahan daerah), serta menyampaikan saran dan

pendapat terhadap kebijakan penyelenggaraan negara (termasuk

penyelenggaraan pemerintahan daerah). (Prasetyo, 2002 :3)

Tantangan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan

dan evaluasi kebijakan daerah di kota Yogyakarta, antara lain karena (Pasetyo, 2002 :

3-4):

a. Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan erat dengan pembuatan dan

evaluasi kebijakan daerah, tidak mengatur mekanisme partisipasi masyarakat

secara rinci dan tegas. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:

- UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

- PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas

Page 52: Skrip Si

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No. 41

Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah;

- UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang

bersih dan Bebas dari KKN;

- PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib

DPRD;

- Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan

RUU;

- Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan

Perundang-Undangan dan Bentuk RUU, R Keppres, Raperda dan

Rancangan Keputusan Kepala Daerah;

- Kepmendagri dan Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2001 tentang

Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

- Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 3 / K/ DPRD / 1999

tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Yogyakarta.

b. Belum seluruh komponen masyarakat yang ada memahami akan hak dan

kewajibannya, untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan evaluasi atas sesuatu

kebijakan daerah di kota Yogyakarta

Suatu sikap dan langkah yang telah ditempuh oleh DPRD menyelenggarakan

public hearing perlu diberikan penghargaan. Public Hearing ini dimaksudkan, untuk

mendapatkan masukan dari masyarakat, guna membahas tentang sesuatu kebijakan

daerah. Namun disayangkan langkah ini belum seluruhnya tepat, mengingat sifatnya

sangat parsial, tidak menentu, dan sangat terbatas. Sebagai konsekuensinya banyak

kebijakan daerah, baik oleh DPRD maupun eksekutif ternyata bermasalah, karena

Page 53: Skrip Si

tidak dapat diikuti oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka hadirnya peraturan

daerah di kota Yogyakarta, tentang mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan

daerah, yang dapat mengakomodir partisipasi masyarakat secara memadai dari

komprehensif sangat didambakan oleh banyak kalangan masyarakat. (Prasetyo,

2002 :4-5)

Urgensi Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat, yakni berupaya

untuk mensistematisasi secara komprehensif dan terpadu, mekanisme pembuatan dan

evaluasi kebijakan daerah dalam satu ketentuan. Nantinya diharapkan bahwa semua

proses pembuatan dan evaluasi suatu kebijakan daerah mengacu pada satu sumber

saja, sebagai konsekuensinya DPRD maupun eksekutif daerah wajib mengikuti dan

melaksanakan peraturan daerah tersebut. (Suhardi, 2002 : 4)

Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat tersebut, diharapkan dapat

memuat substansi yang penting antara lain (Suhardi, 2002 : 4-5):

a. Hak partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan daerah yang

baru maupun usulan pencabutan kebijakan daerah yang sudah tidak

relevan lagi;

b. Meletakkan kewajiban kepada DPRD maupun eksekutif daerah untuk

menampung dan menindaklanjuti usulan masyarakat;

c. Partisipasi masyarakat dalam pembahasan naskah akademik dan

Raperda;

d. Sosialisasi rencana penyusunan dan pembahasan kebijakan daerah

kepada publik.

Dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut pada dasamya meliputi

seluruh proses yang relevan dalain pembuatan sesuatu kebijakan daerah. Dalam hal

Page 54: Skrip Si

ini masyarakat diposisikan sebagai subyek pembuatan kebijakan daerah, sejajar

dengan eksekutif dan legislatif dan bukan sekedar simbol legitimasi legislatif dan

eksekutif saja.

Sampai saat ini Perda tentang Mekanisine Partisipasi Masyarakat yang

ditunggu-tunggu dan sangat didambakan oleh masyarakat Kota Yogyakarta belum

muncul. Namun perkembangan terakhir cukup menggembirakan, karena jajaran

pemerintahan Kota Yogyakarta sudah mulai menaruh perhatian yang serius mengenai

arti pentingnya peran serta masyarakat terhadap kuantitas dah kualitas produk-produk

hukum jajaran pemerintahan daerah Kota Yogyakarta, yang memuat kebijakan-

kebijakan daerah Kota Yogyakarta, yakni memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dengan cara mengajukan usul, saran,

pendapat, tanggapan atas sesuatu kebijakan Pemda Kota Yogyakarta secara kritis dan

konstruktif melalui email, hotline yang khusus diadakan untuk kepentingan partisipasi

masyarakat tersebut (Observasi). Dengan demikian dapat diketahui bahwa :

a. Perda tentang Mekanisme Partisipasi Masyarakat untuk mengkritisi

kebijakan-kebijakan jajaran Pemda Kota Yogyakarta sampai saat ini

belum eksis;

b. Telah ada kesadaran jajaran Pemda Kota Yogyakarta yang layak

mendapatkan penghargaan, karena telah merintis dan membuka jalan

dapat dilakukannya partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi secara

kritis dan konstruktif melalui email dan hot line;

c. Eksistensi peran serta masyarakat cukup strategis untuk mengukur dan

mengevaluasi kuantitas dan kualitas kebijakan-kebijakan yang

ditempuh jajaran Pemda Kota Yogyakarta (legislatif dan eksekutif)

Page 55: Skrip Si

1.3 Eksistensi Pemerintahan Daerah Yang Bcrsih Bebas Dari Korupsi Kolusi

Dan Nepotisme

Dalam sistem negara kesatuan, eksistensi pemerintahan daerah merupakan sub

sistem dalam sistem pemerintahan nasional. Dengan demikian pemerintahan daerah

merupakan bagian yang tak terpisahkan dengaa pemerintahan pusat, oleh karenanya

prinsip dan paradigma pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme yang berlaku terhadap pemerintahan nasional, juga berlaku terhadap

pemerintahan daerah pada hakekatnya juga merupakan penyelenggaraan negara,

penyelenggara daerah (DPRD dan Eksekutif Daerah) juga merupakan penyelenggara

negara (Suprapto, 2002:7)

Penyelenggara daerah dan atau penyelenggara negara mempunyai peranan

yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan daerah atau penyelenggaraan negara

untuk mencapai cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 (Sukismo, 2002 : 11).

Untuk mewujudkan penyelenggara daerah dan atau penyelenggara negara

yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh

tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan daerah (Subardi, 2001 :

12). Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar penyelenggara

negara dan atau antar penyelenggara daerah melainkan juga antar penyelenggara

negara dan atau antar penyelenggara daerah dengan pihak lain yang dapat merusak

sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, sehingga untuk itu diperlukan

landasan hukum untuk pencegahannya (Santoso, 2001:17).

Dari berbagai paparan tersebut dapatlah diketahui bahwa:

a. Eksistensi pemerintahan daerah merupakan sub sistem pemerintahan

Page 56: Skrip Si

nasional;

b. Tuntutan dan tantangan untuk terselenggaranya pemerintahan nasional

yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme berlaku dan relevan

pula bagi pemerintahan daerah;

c. Indikasi terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya

dalam jajaran pemerintahan pusat, melainkan juga dalam jajaran

pemerintahan daerah.

Penyelenggara negara, termasuk didalamnya penyelenggara daerah adalah

penyelenggara negara dan atau penyelenggara daerah yang mentaati asas-asas umum

penyelenggaraan negara dan atau daerah dan terbebas dari praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme serta perbuatan tercela lainnya (Bardo, 2001 : 5).

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan pidana (Suyudi, 2001 : 9).

Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar

penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah atau antara

penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah dengan pihak lain

yang merugikan orang lain, masyarakat, negara dan atau daerah (Suryanto, 2002 : 11):

Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara termasuk

didalamnya penyelenggara daerah secara melawan hukum yang menguntungkan

kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,

negara dan atau daerah (Badri, 2001:6).

Asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang

menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk

mewujudkan penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara

Page 57: Skrip Si

daerah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Badrun,

2002:5).

Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

a. Penyelenggara daerah merupakan sub sistem penyelenggara negara;

b. Asas-asas umum penyelenggaraan negara berlaku juga terhadap

penyelenggaraan daerah;

c. Indikasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya terjadi dalam

jajaran pemerintahan nasional semata, melainkan dapat pula terjadi dalam

jajaran pemerintahan daerah;

d. Harapan untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan negara yang

bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme berlaku pula terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah;

e. Penyelenggara daerah meliputi eksekutif daerah dan legislatif daerah.

2. Aspirasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Kebijakan

Daerah Pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

2.1 Kebijakan Daerah Yang Aspiratif

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk didalamnya

penyelenggaraan daerah, merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut

mewujudkan penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah yang

bersih. Hubungan antar penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara

daerah dengan masyarakat, dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas

umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas : kepastian hukum, tertib

penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,

profesionalitas dan akuntabilitas (Supriyadi, 2002 : 8).

Page 58: Skrip Si

Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang

penyelenggaraan negara, termasuk didalamnya penyelenggaraan

daerah;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari

penyelenggara negara dan atau dari penyelenggara daerah;

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

terhadap kebijakan penyelenggara negara dari atau terhadap kebijakan

penyelenggara daerah;

d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan

laiknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut;

demikian pula dalam hal diminta hadir dalara proses penyelidikan,

penyidikan, dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan

saksi ahli, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak-hak masyarakat untuk berperan serta terhadap kebijakan-

kebijakan negara dan atau kebijakan-kebijakan daerah tersebut,

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial

lainnya (Sugiri, 2002 : 6).

Maksud dan tujuan digalakkannya peran serta masyarakat dalam pembentukan

dan evaluasi kebijakan daerah, adalah untuk memberdayakan masyarakat dalam

rangka mewujudkan penyelenggaraan daerah yang bersih. bebas dari korupsi, kolusi

dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan

dapat lebih bergairah melaksanakan penyelenggaraan daerah dengan tetap mentaati

Page 59: Skrip Si

rambu-rambu yang berlaku (Badrun, 2002 : 9).

Peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta

mewujudkan penyelenggara negara atau penyelenggara daerah yang bersih dan bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati norma

hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Pada dasarnya masyarakat

mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara atau

penyelenggaraan daerah, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang memberikan batasan-batasan

untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya (Sunarto, 2002 : 11).

Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

a. Setiap kebijakan daerah senantiasa harus aspiratif;

b. Setiap pembuatan kebijakan daerah harus memberikan ruang yang cukup

kepada masyarakat untuk berpartisipasi;

c. Partisipasi masyarakat mempunyai andil atau kontribusi yang cukup

signifikan untuk mencegah dan mengeliminir terjadinya praktek

korupsi, kolusi dan neopotisme dalam pembentukan kebijakan-

kebijakan daerah.

Suatu hal yang dirasa atau dipandang sangat penting ialah adanya saluran bagi

rakyat untuk menyampaikan aspirasinya melalui DPR atau DPRD. Ketentuan tentang

dengar pendapat umum, merupakan sarana yang patut dioptimalkan, sehingga

pembentukan peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan-kebijakan daerahnya

betul-betul mengikut sertakan masyarakat (Hadjon, 1999 : 7).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa untuk pembentukan kebijakan daerah

yang baik rakyat perlu diberikan akses untuk menyalurkan aspirasinya secara baik,

Page 60: Skrip Si

lancar dan transparan melalui wakil-wakil rakyat di DPR maupun DPRD setempat.

2.2 Kebijakan Daerah Yang Demokratis

Legitimasi rakyat terhadap kebijakan-kebijakan daerah merupakan prasyarat

terealisirnya demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan

daerah dapat dikategorikan demokratis apabila penyusunan dan penetapannya telah

mendapatkan dukungan rakyat daerah secara proporsional dan komprehensif.

Keterlibatan rakyat daerah dalam berpartisipasi terhadap rencana pembentukan dan

pelaksanaan kebijakan daerah, akan memberikan nilai tambah tersendiri terhadap

kuantitas dan kualitas kebijakan daerah yang bersangkutan (Badri, 2001 : 8).

Syarat minimum demokrasi adalah :

- pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;

- setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan

berpendapat dan berkumpul

- badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan

melalui sarana" (mede) beslissings recht" (hak untuk ikut

memutuskan) dan atau melalui wewenang pengawas;

- asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan

yang terbuka;

- pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

pemilihan yang bebas dan rahasia

- pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih. (Burkens,

1990 : 82, Hadjon, 1999 : 3)

Tampilnya asas itu sebenamya berkaitan dengan asas pengambilan keputusan

datam ketatanegaraan Belanda yaitu asas mayoritas. Dalam ketatanegaraan kita

Page 61: Skrip Si

prinsip utama dalam pengambilan keputusan adalah asas musyawarah untuk mufakat.

(Hadjon, 1999 : 3)

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hukum tata negara

dan hukum administrasi "keterbukaan" merupakan asas penyelenggaraan

pemerintahan yang bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi). Demokrasi perwakilan

sudah lama dirasakan tidak memadai. Pernyataan seperti yang pernah diucapkan Prof.

Mr. R. Boedisoesetio pada pidato inagurasinya sebagai Guru Besar Luar Biasa

Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum

Universitas Airlangga yang diucapkan pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 1958

kiranya sudah ketinggalan dalam kehidupan demokrasi modern. Dalam pidato

tersebut dikatakan:

Sekali angguta-angguta itu terpilih dan terbentuk DPR, maka

rakjat yang berdaulat itu tidak mempunjai wewenang lagi untuk

menjatakan kemaunnja....... (Budisoesetyo, 1958 :13, Hadjon, 1999 : 5)

Apabila wacana itu diikuti maka setelah rakyat memberikan suaranya pada

(hari pemungutan suara), selanjutnya rakyat itu tidak tahu apa-apa lagi tentang

pelaksanaan pemerintahan. Bagi suatu negara demokrasi pelaksanaan pemilihan

umum bukan satu-satunya instrumen demokrasi. Konsep demokrasi dan instrumennya

telah jauh berkembang. (Hadjon, 1999, ibid,: 5)

Pada dekade tahun enampuluhan-tujuhpuluhan lahirlah suatu konsep

demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. (Akkormans, 1985 : 161, Hadjon, 1999

: 6) Dalam konsep demokrasi partisipasi rakyat mempunyai hak untuk ikut

memutuskan (medebeslissingsrecht, dalam proses pengambilan keputusan

pemerintahan (besluitvormingsproces) (Haan, 1986 : 140, Hadjon, 1999 : 6)

Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

Page 62: Skrip Si

a. Setiap kebijakan daerah memerlukan dukungan dan legitimasi rakyat

daerah setempat;

b. Legitimasi dan dukungan rakyat daerah terhadap kuantitas dan kualitas

kebijakan daerah dapat terealisir apabila rakyat daerah diberikan ruang

dan kesempatan yang cukup untuk ikut memutuskan

(medebeslissingsrecht), dalam proses pengambilan keputusan

pemerintahan (besluitvormingsproces) dalam rangka pembentukan

kebijakan daerah;

c. Ciri demokrasi modern tidak cukup diwakili oleh DPR atau DPRD saja

melainkan harus melibatkan rakyat daerah secara proporsional dan

komprehensif dalam persiapan, perencanaan, dan implementasi

kebijakan daerah yang bersangkutan.

2.3 Keterbukaan Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

Kebijakan daerah dapat berdampak positif maupun negatif terhadap rakyat

daerah maupun terhadap daerah otonom yang bersangkutan. Dampak positif dari

suatu kebijakan daerah tidak relevan untuk diperdebatkan, karena hal tersebut

merupakan suatu kewajiban bagi penyelenggara daerah (eksekutif dan DPRD) untuk

mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi daerah dan rakyat daerah

yang bersangkutan. Yang relevan untuk dikaji dan diantisipasi adalah kemungkinan

timbulnya dampak negatif atas sesuatu kebijakan daerah terhadap daerah dan rakyat

daerahnya. Dalam rangka mengantisipasi dan mengeliminir timbulnya dampak negatif

atas sesuatu kebijakan daerah, dipandang perlu, untuk mengadopsi dan

mengimplimentasikan asas keterbukaan dalam setiap perencanaan, pembentukan dan

pelaksanaan sesuatu kebijakan daerah (Sarosa, 2001: 12).

Page 63: Skrip Si

Rumusan secara eksplisit tentang asas keterbukaan tidak ditemukan dalam

UUD 1945. Namun demikian isu keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan telah

merebak di tanah air sejak tahun delapan puluhan dan sebagai realisasinya dalam

bidang politik dan sosial pada tahun 1986 wakil Presiden membuka kotak pos 5000.

(Soemardjan, 1995 : 56)

Tanpa keterbukaan tidak mungkin ada peran serta masyarakat. Meskipun segi-

segi keterbukaan telah mulai mendapat perhatian namun belum nampak suatu

pengaturan dasar tentang makna dan prosedur keterbukaan dalam pelaksanaan

pembentukan peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya peran serta.

Tidak heran kalau ada sementara kalangan lebih mengartikan peranserta sebagai

bentuk partisipasi dalam arti gotong royong peran serta secara fisik. Oleh karena

melalui studi perbandingan dengan hukum tata negara dan hukum administrasi

Belanda ditelaah konsep keterbukaan. Studi perbandingan tidaklah dimaksudkan

untuk mengalihkan hukum Belanda ke Indonesia namun lebih-lebih untuk memahami

konsep itu dan mudah-mudahan akan dapat mempertajam, konsep kita sendiri.

(Hadjon, 1999 : 4)

Makna utama dari keterbukaan, baik "openheid" maupun “apenbaar-heid”

("openheid" adalah suatu sikap mental berupa kesediaan untuk memberi informasi

dan kesediaan untuk menerima pendapat pihak lain; "openbaar-heid" menunjukkan

suatu keadaan) sangat penting artinya bagi pelaksanaan pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan

dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara

layak (staatsrehielijk beginsel van behoorlijke bevosgdheidsuitoefening). (Haan, 1986

: 122, Hadjon, 1999 : 4) Begitu pentingnya arti keterbukaan sehingga dapat dikatakan

bahwa : "Openbaarheid is licht, geheimbouding is duisternis". (Hadjon, 1999 : 4)

Page 64: Skrip Si

Dalam kenyataannya kepustakaan hukum dalam bahasa Indonesa masih

langka membahas soal keterbukaan, meskipun usaha keterbukaan (seperti telah

dikemukakan di atas) telah dikumandangkan sejak beberapa tahun yang lalu. (Hadjon,

1999 : 4)

Sebagai pelaksanaan asas keterbukaan dalam pemerintahaan di Belanda,mula-

mula melalui asas "fair play" sebagai salah satu dari apa yang disebut "algemene

beginselen van behoorlijk bestuur", yang dalam praktek Peradilan TUN di Indonesia

dewasa ini dikenal dengan nama "Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik"

(AAUPB). Dengan lahirnya wet openbaarheid van bestuur (WOB) yang efektif sejak

tanggal 1 Mei 1980 asas "fair play" dimasukkan dalam wet tersebut. Dalam WOB

dibedakan dua macam keterbukaan pemerintahan, yaitu keterbukaan aktif

dilaksanakan atas prakarsa pemerintah sedangkan keterbukaan pasif atas

permintaan warga masyarakat. (Wijk-Konijnenbelt, 1984 : 42. Hadjon,

1999:6)

Pada dasarnya keterbukaan pemerintahan tidak hanya menyangkut informasi.

Keterbukaan meliputi keterbukaan sidang-sidang badan perwakilan rakyat;

keterbukaan informasi; keterbukaan prosedur; keterbukaan register. Dalam WOB

Belanda hanya diatur tentang keterbukaan informasi saja sebagai dasar hubungan

antara pemerintahaan danrakyat. (Haan, 1986 :124, Hadjon, 1999 : 6)

Arti penting keterbukaan dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat

berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki badan perwakilan rakyat.

Keterbukaan dalam pengambilan, keputusan-keputusan politik memungkinkan

pengawasan dan bagi pembuat keputusan akan mendorong sikap berhati-hati dalam

pengambilan keputusan (Burkens, 1990 : 94, Hadjon, 1999 : 6-7)

Page 65: Skrip Si

Sebagai ilustrasi adanya asas keterbukaan antara lain : "Rapat Paripurna,

Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat

Panitia khusus pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali apabila rapat yang

bersangkutan atau Badan Musyawarah memutuskan rapat tersebut bersifat tertutup".

(Kep. DPR RI No. 10/DPR-RI/III/82-83, Ps96 ayat(l))

Dari uraian-uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

a. Kebijakan daerah dapat berdampak positif dan dapat pula berdampak

negatif terhadap daerah maupun rakyat daerahnya;

b. Keterbukaan dalam perencanaan, pembentukan dan implementasi

sesuatu kebijakan daerah berimplikasi secara langsung maupun tidak

langsung terhadap kuantitas dan kualitas kebijakan daerah yang

bersangkutan;

c. Keterbukaan memberikan akses yang cukup signifikan untuk

pendidikan politik rakyat daerah guna menghasilkan kebijakan daerah yang

aspiratif, partisipatif dan demokratis.

Pemerintahan demokratis mengenal adanya keterbukaan informasi yang

dibedakan atas keterbukaan aktif dan pasif berkaitan dengan dokumen-dokumen

pemerintahan. Keterbukaan informasi dimungkinkan dalam batas-batas tertentu bagi

masyarakat untuk mengetahui dokumen-dokumen pemerintah. Fiksi hukum yang

menyatakan bahwa "setiap orang dianggap mengetahui undang-undang" tidaklah ada

artinya apabila undang-undang tidak dipublikasikan secara luas. (Duk-Loeb-nicolai,

1981 : 157, Hadjon, 1999 : 7)

Cukup banyak terjadi masyarakat tidak pernah diberi informasi tentang

ketentuan hukum, karena disatu sisi kita hanya berpegang pada fiksi hukum dan disisi

Page 66: Skrip Si

lain mungkin karena niat untuk memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat tentang

suatu aturan hukum. (Hadjon, 1999 : 7-8)

Eksistensi keterbukaan prosedur berkaitan dengan

"besluitvormingsprocedures" dan salah satu dari "besluit" yang sangat penting adalah

"beschikking" yang dalam UU No. 5 Tahun 1986 disebut keputusan tata usaha negara.

(Hadjon, 1999 : 9) Keterbukaan penting dalam pemerintahan. Keterbukaan dalam

prosedur pemerintahan memungkinkan masyarakat melakukan : meeweten (ikut

mengetahui); meedenken (ikut memikirkan); meespreken (bermusyawarah); dan

meebeslissen (ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan); medebeslissmgsrecht

(hak ikut memutus) (Haan, 1986 :138, Hadjon, 1999 :8)

Dalam prosedur pengambilan keputusan pemerintahan baik menyangkut suatu

rencana, kebijakan, pembentukan peraturan penmdang-undangan maupun suatu

keputusan tata usaha negara, (misalnya izin) asas-asas keterbukaan harus dituangkan

dalam prosedur tersebut.

Asas keterbukaan dalam suatu prosedur izin, pelaksanaannya dapat berupa:

1. tersedianya sarana "meedenken en meespreken" baik berupa keberatan, dengar

pendapat atau bentuk lain;

2. pengumuman keputusan izin.

3. keterbukaan isi permohonan. (Hadjon, 1999: 8)

Keterbukaan prosedur izin di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam

ketentuan izin ganguan yang lazimnya dikenal sebagai HO, namun sangat disesalkan,

keterbukaan prosedur begitu saja diabaikan dalam PERMENDAGRI No. 7 tahun

1993 dalam Rangka Paket Kebijaksanaan Pemerintah 23 Oktober 1993 (PAKTO

1993). Dalam Pasal 7 PERMENDAGRI tersebut sebagai kelengkapan suatu

Page 67: Skrip Si

permohonan izin undang-undang gangguan pada huruf g diisyaratkan : Persetujuan

tetangga/atau masyarakat yang berdekatan.

Ketentuan dalam Pasal 7 huruf g diatas disatu sisi bertentangan dengan

Ordonansi Gangguan dan disisi lain telah mengabaikan asas keterbukaan pemerintah,

yaitu kewajiban pejabat yang berwenang untuk mengumumkan isi permohonan di

lokasi dimana usaha itu bakal berdiri, telah diganti dengan persetujuan tetangga.

Dengan demikian asas keterbukaan telah digeser oleh asas tetangga, padahal asas

keterbukaan berupa pengumuman isi permohonan tidak hanya untuk tetangga tetapi

untuk siapa saja pihak ketiga yang berkepentingan (bisa juga LSM) untuk

mengajukan keberatan dalam rangka "meeweten-meedenken-meespreken-

meebeslissen". (Hadjon, 1999 : 8-9)

Register mengenai kedudukan hukum seseorang (misalnya pendaftaran

penduduk; pendaftaran pemilihan umum), pendaftaran benda-benda tidak bergerak

serta pendaftaran bidang usaha disamping sebagai suatu bentuk informasi, pada sisi

lain memiliki sifat sebagai "bestuurswaarborg". (Haan 1986 : 137, Hadjon, 1999:9)

Keterbukaan register di Indonesia dikenal antara lain dalam hukum kadaster

yaitu keterbukaan buku tanah. Keterbukaan seperti itu di satu piliak memang

memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak atas tanah yang sudah

didaftarkan dan sekaligus memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-

hak yang sudah didaftarkan itu. (Hadjon, 1999: 9)

Salah satu perwujudan asas demokrasi yakni keterbukaan, bahkan merupakan

conditio sine qua non asas demokrasi. Keterbukaan memungkinkan partisipasi

masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (Hadjon,

1999 : 9)

Asas keterbukaan dalam rangka pembentukan peraturan perundangan-

Page 68: Skrip Si

undangan yang demokratis, perlu mendapat perhatian, oleh karena demokrasi

perwakilan saja dewasa ini sudah tidak memadai.

Dalam rangka hubungan antara pemerintah dan rakyat, kiranya keterbukaan

merupakan prioritas pemikiran untuk mendapat perhatian khusus. Kodifikasi hukum

administrasi umum, khususnya mengenai prosedur pemerintahan seyogyanya perlu

mendapat perhatian, yang membuka peluang kodifikasi administrasi secara bertahap.

Kodifikasi yang demikian punya arti bagi pelaksanaan asas negara hukum untuk

mewujudkan asas kekuasaan berdasarkan atas hukum secara nyata, Dalam

mengantisipasi era globalisasi usaha tersebut perlu mendapat prioritas.

3. Legalitas Dan Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan

Daerah

3.1 Prinsip Negara Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

Dalam setiap kegiatan perencanaan dan pembentukan kebijakan daerah yang

kemasannya dalam bentuk pranata hukum daerah, maka senantiasa harus didasarkan

atas pranata hukum. Kebijakan daerah apapun nama dan bentuknya, selalu didasarkan

atas wewenang pemerintahan yang sah. Wewenang pemerintahan dalam khasanah

hukum publik sering diidentikan dengan kekuasaan, dan perolehannya dapat secara

atribusi, delegasi, mandat dan atau dekonsentrasi (Suripto, 2001 : 9).

Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan dan pembentukan

kebijakan daerah senantiasa harus dilakukan secara cermat, akurat dan akuntabel Hal

ini mengingat bahwa penggunaan wewenang pemerintahan secara tidak tepat, bisa

berakibat fatal antara lain dapat digolongkan sebagai:

a. Abus de droit;

b. Willekeur;

Page 69: Skrip Si

c. Detoumement de povoir;

d. Ultra Vires (Sukismo, 2003 : 5).

Konsep negara hukum (rechtsstaat) diintrodusir melalui RR 1854 dan terayata

dilanjutkan dalam UUD 1945. (Wignjosoebroto, 1994 : 188, Hadjon, 1994 : 4)

Dengan demikian ide dasar negara hukum Pancasila tidaklah lepas dari ide dasar

tentang "rechtsstaat". (Hadjon, 1994 : 4)

Persyaratan dasar untuk dapat dikategorikan sebagai negara hukum yakni:

1. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan

perundang-undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini,

undang-undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan

tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini

pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara

hukum, (asas legalitas).

2. Kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

(asas pembagian kekuasaan).

3. Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat

dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang, (prinsip

grondrechten).

4. Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk

menguji keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan,

(pengawasan pengadilan ) (Burkens, 1990 : 29, Hadjon, 1994,

ibid.,: 5, Sukismo, 2002, (a): 2).

Syarat-syarat dasar tersebut seyogyanya juga menjadi syarat dasar negara

hukum Pancasila. Untuk hal tersebut kiranya dibutuhkan suatu usaha besar berupa

Page 70: Skrip Si

suatu kajian yang sangat mendasar terutama tentang ide bernegara bangsa Indonesia.

Ada beberapa tulisan awal tentang itu yang barangkali dapat dijadikan acuan awal,

seperti :

Negara Hukum Pancasila Dan Teori Bernegara Bangsa Indonesia. Disamping itu

tentunya kita tidak menutup mata terhadap perkembangan konsep negara hukum yang

telah terjadi di berbagai negara, seperti konsep negara hukum yang telah terjadi di

berbagai negara seperti konsep rechtsstaat yang telah berkembang dari konsep

"liberal-democratische rechtsstaat" ke "sociale rechtsstaat" yang pada dewasa inipun

sudah dirasakan bahwa konsep terakhir itu sudah tidak memadai. (Hadjon, 1994 : 5,

Sukismo, 2002 (a): 3)

Dari uraian-uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

a. Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan dan

pembentukan kebijakan daerah senantiasa harus tepat, cermat dan

selektif;

b. Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan dan, pembantukan

kebijakan daerah secara tidak tepat dapat berakibat fatal dan kontra produktif;

c. Dalam negara hukum setiap tindakan dan atau kegiatan

penyelenggara daerah, senantiasa harus bersendikan pranata

hukum,

3.2 Legalitas Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah

Untuk mengkategorikan negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas,

yakni : asas legalitas dan asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-

hak asasi manusia. (Utrecht, 1963 :310,Sukismo,2002(a):3)

Unsur utama suatu negara hukum, yakni asas legalitas. Semua tindakan negara

Page 71: Skrip Si

harus berdasarkan dan bersumber pada undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar

dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Batas

kekuasaan negara ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan

negara hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam

garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. ( Gouw Giok

Siong, 1955 :12-13, Sukismo, 2002 (a): 4) Sudah barang tentu bahwa dalam negara

hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan

seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan mengajukau perkaranya itu di hadapan

pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan

undang-undang. (Rochmat Soemitro, 1976 .18, Sukismo, 2002 (a): 4).

Pembentukan kebijakaa daerah yang sewenang-wenang (willekeur)

maksudnya ialah penggunaan wewenang pemerintahan dalam pembentukan kebijakan

daerah yang tidak rasional dalam arti tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Pembentukan kebijakan daerah dengan cara menyalah gunakan wewenang

(detournement de pouvoir} maksudnya adalah penggunaan kekuasaan dengan cara

membiarkan tujuan dari wewenangnya sendiri. Sedangkan yang di maksud dengan

ultra vires (melampaui batas wewenang) dalam pembentukan kebijakan daerah adalah

pembentukan kebijakan daerah dimana wewenang yang digunakan sebagai dasar

pembentukannya pada hakekatnya bukan untuk pembentukan kebijakan daerah yang

bersangkutan. Yang paling fatal yakni abus de droit, dalam hal ini wewenang

pemerintahan digunakan untuk menabrak atau melawan pranata hukum yang ada

(Sukismo, 2002: 14).

Dari uraian-uraian tersebut dapatlah dikatahui bahwa :

a. Legalitas erat kaitannya dengan negara hukum;

b. Setiap kegiatan pembentukan kebijakan daerah, senantiasa harus

Page 72: Skrip Si

dicarikan dasar hukumnya.

3.3 Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah.

Terhadap Kebijakan daerah yang pembentukannya tidak sah , atau tidak

didasarkan atas wewenang pemerintah secara tepat, akurat dan adil maka kepada

pihak-pihak yang merasa dirugikan perlu dan relevan memperoleh perlindungan

hukum (Sunaryo, 2002 : 12).

Dalam negara hukum asas perlindungan nampak antara lain dalam

"Declaration of Independence", bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah

diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat

dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang dilahirkan,

perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern (Soemitro,

1976 : 18, Sukismo, 2002 (a): 4). Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi

perseorangan, melainkan fungsi hukum adalah untuk mengayomi masyarakat sebagai

totalitas, agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Peradilan

mempunyai maksud membina, tidak semata-mata menyelesaikan perkara. Hakim

harus mengadili menurut hukum dan menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan,

fungsi dan sifat hukum. Dengan kesadaran bahwa tugas hakim ialah, dengan

bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Nusa dan Bangsa, turut serta

membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian

Pancasila. (Soemitro, 1976 : 20-21, Sukismo, 2002 (a): 5).

Suatu negara merupakan negara hukum, semata-mata didasarkan pada asas

legalitas. (Yamin, 1952 : 9, Sukismo, 2002 (a): 5) Disisi lainnya asas legalitas,

hanyalah merupakan salah satu unsur atau salah satu corak dari negara hukum, karena

disamping unsur asas , legalitas tersebut, masih perlu juga diperhatikan unsur-unsur

lainnya, antara lain kesadaran hukum, perasaan keadilan dan perikemanusiaan, baik

Page 73: Skrip Si

bagi rakyat maupun pimpinannya. (Siong, 1955 : 23, Sakismo, 2002 (a): 5, Yunanto,

2000 :4)

Dalam UUD 1945 ada ketentuan yang meajamin hak-hak asasi manusia.

Ketentuan tersebut antara lain:

- Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Ps. 28);

- Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan

(Ps- 28);

- Hak bekerja dan hidup (Ps. 27 ayat (2));

- Kemerdekaan agama (Ps. 29 ayat (2));

- Hak untuk ikut mempertahankan negara (Ps. 30), disini nampak adanya asas

perlindungan

Dengan adanya Majelis Pertimbangan Pajak, seseorang dapat mengajukan

surat bandingnya untuk hal-hal dimana ia merasa telah diperlakukan tidak

sebagaimana mestinya oleh pejabat perpajakan. Orang dapat menuntut/mengajukan

gugatan kepada negara, bila oleh negara dilakukan suatu perbuatan yang melawan

hukum (onrechtmatigedaad), bahwa seseorang dapat melakukan gugatan terhadap

Pemerintah Republik Indonesia, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa tidak

adil. (Soemitro, 1976.: 25, Sukismo, 2002 (a) : 5, Ashari, 1999 : 6) Sudah banyak

peraturan-peraturan yang memberi jaminan kepada para warga negara, untuk

menggunakan hak-haknya mengajukan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila

hak-hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar. ( Ashari, 1999 : 25 - 26, Sukismo,

2002 (a): 6)

Penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum;

Page 74: Skrip Si

sebaliknya dalam negara totaliliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia.

Istilah "rechtsstaat" mulai populer sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu

sudah lama adanya. Istilah "the rule of law" mulai populer tahun 1885. Dari latar

belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep

"rechtsstaat" dengan konsep "the rule of law", pada dasarnya kedua konsep itu

mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asai manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, tetapi

keduannya tetap berjalan dengan sistemnya sendiri yaitu sisterti hukum sendiri.

Konsep "rechtsstaat" lahir dari suatu perjuangan menentang absulutisme sehingga

sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep "the rule of law" berkembang secara

evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria "rechtssataat" dan kriteria "the rule

of law". Konsep "rechtsstaat" bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut

"civil law" atau "modern Roman Law", sedangkan konsep "the rule of law" bertumpu

atas sistem hukum yang disehul "common law". Karakteristik "civil law" adalah

"administratief', sedangkan karakteristik "common law" adalah "judicial". Perbedaan

karakter yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja.

Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja yakni membuat peraturan

melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat

administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan

tertulis bagi hakim tentang bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Begitu besar

peran administrasi negara, sehingga tidaklah mengherankan, kalau dalam sistem

kontinental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut "droit

administratif', dan intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat

Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan

oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu peradilan, sehingga hakim-hakim

Page 75: Skrip Si

peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim

harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris (the common custom of

England), sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri sebelumnya. Dengan demikian

nampak bahwa di Eropa peranan administrasi negara bertambah besar, sedangkan di

Inggris peranan peradilan dan para hakim bertambah besar. Sehubungan dengan latar

belakang tersebut, di Eropa dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan

administrasi negara, sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk

mewujudkan suatu peradilan yang adil. Dalam perjalanan waktu, konsep "rechtsstaat"

telah mengalami perkembangan dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan

sifat dasarnya, konsep klasik disebut "klasiek liberale en democratische rechtssataat",

yang sering disingkat dengan "democratische rechtsstaat". Sedangkan konsep modern

lazimnya disebut "sociale rechtsstaat" atau "sociale democratische rechtsstaat".

(Hadjon, 1987 : 71 - 74, Sukismo, 2002 (a): 7

Karakternya yang liberal bertumpu atas pemikiraa kenegaraan dari John

Locke, Montesquieu dan Immanuel Kant. Karakternya yang demokratis bertumpu

atas pemikiran kenegaraan dari J.J. Rousseau tentang kontrak sosial. ( Couwenberg.

1977 : 25, Daiyadi,2001:7)

Konsep liberal bertumpu atas "liberty" (vrijheid) dan konsep demokrasi

bertumpu atas "eguality" (gelijkheid). "Liberty" adalah "the free selfassertion of each-

limited only by the like liberty of all". Atas dasar itu "liberty" merupakan suatu

kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kehendak secara bebas dan hanya dibatasi

seperlunya, untuk menjamin koeksistensi yang harmonis antara kehendak bebas

individu dengan kehendak bebas semua yang lain. Dari sinilah mengalir prinsip

selanjutnya yaitu : "freedom from arbitrary and unreasonable exercise of the power

and authority (Pound, 1957 : 1 - 2, Sukismo, 2002 (a) : 8) Konsep "eguality"

Page 76: Skrip Si

mengandung makna yang abstrak dan formal (abstract-formal equality) dan dari sini

mengalir prinsip "one man-one vote) (Hadjon, 1987 : 75, Sukismo, 2002 (a): 8)

Konsep-konsep dasar yang sifatnya liberal dari "rechtssataat" meliputi:

- adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil (burgelijke

vrijheidsrechten);

- pamisahan antara negara dengan gereja;

- persamaan terhadap undang-undang (gelijkheid voor de wei);

adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan

dasar sistem hukum;

- pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem "cheks and

balances";

- asas legalitas (heerschappij van de wet);

- ide tentang aparat pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang

tidak memihak dan netral;

- prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa;

- prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem

desentralisasi maupun federasi). (Couwenberg,1977: 30, Sukismo, 2002 (a): 8)

Konsep dasar demokratts, "rechtsstaat" dikatakan sebagai "negara kepercayaan

timbal balik" (de staat van het wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari

pendukungnya, bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan, dia

mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya. (Port - Donner, 1983 : 143,

Sukismo, 2002 (a): 9)

Rechtsstaat mendasarkan atas asas-asas demokratis antara lain:

- asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);

Page 77: Skrip Si

- asas mayoritas;

- asas perwakilan;

- asas pertanggungjawaban;

- asas publik (openbaarheids beginsel). (Couwenberg, 1977 : 30,

Sukismo, 2002 (a): 9)

Cin-ciri "rechtsstaat" adalah:

(1) Adanya Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang

hubungan antara penguasa dan rakyat;

(2) Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan

pembuatan undang-undang yang berada pada parlemen. Kekuasaan kehakiman

bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga

antara rakyat dan penguasa, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas

undang-undang (wetmatig bestuur);

(3) Diakui dan dilingunginya hak-hak rakyat yang sering disebut "vrijheidsrechten

van burger". (Port - Donner, 1983 : 143, Karman, 1992 :9)

Ciri-ciri diatas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral "rechtsstaat"

adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang bertumpu

atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya konstitusi akan memberikan jaminan

konstitusional terhadap asas kebebasan dari persamaan. Adanya pembagian

kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, yang

sangat cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaaa, berarti pemerkosaan terhadap

kebebasan dan persamaan. Dengan adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan

dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat adalah

atas kehendak rakyat; dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-

Page 78: Skrip Si

hak rakyat, tetapi dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai

kehendak golongan mayoritas. Dengan prinsip "welmatig bestuur" agar tindak

pemerintahan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet).

Dalam konsep "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum

bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu. Setiap tindak

pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak untuk menggugat

di muka peradilan. (Hadjon, 1987 : 76 - 77)

Sebutan "sociale rechtsstaat" lebih baik dari pada sebutan "welvaartsstaat".

(Verdam, 1976 : 17) "Sociale rechtsstaat" merupakan variant dari "liberaal-

democratische rechtsstaat" (Hadjon, 1987 :77)

Variant dari "sociale rechtsstaat" terhadap "liberaal-democratische

rechtsstaat", antara lain : interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya

serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam

hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan

umum, karakter baru dari "wet"dan wetgeving" (Couwenberg, 1977 :33)

Semula kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) dalam konsep

liberaal-democratische rechtsstaat sifatnya yuridis formal, dalam konsep sociale

rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat (reele maatschappelijke

gelijkheid), bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara

individu yang satu dengan yang lain. (Franken, 1983 : 273, Untung, 1991 :6)

Dalam "sociale rechtsstaat" prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan

kepada perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural.

Dikaitkan dengan sifat hak, dalam "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis adalah

"the right to do", dalam "sociale rechtsstaat" muncul "the right to receive". Dikaitkan

dengan sarana perlindungan hukum, maka makin kompleks sistem perlindungan

Page 79: Skrip Si

hukum bagi rakyat. (Meuwissen, 1975:140)

Tugas negara dalam konsep yuridis "sociale rechtsstaat", disamping

melindungi kebebasan sipil juga melindungi gaya hidup rakyat. (Idenberg, 1983 : 27)

Pengaruh negara terhadap individu menjelma dalam tiga cara yakni : pertama,

pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

sosial, kedua, pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari perabentukan aparat

pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian, ketiga. harapan

bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan

penguasa. (Idenberg, 1983 : 28 - 29)

Wacana murni dan sempit mengenai "the rule of law", inti dari tiga pengertian

dasar yang diketengahkan adalah "common law", sebagai dasar perlindungan bagi

kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa. Penolakan

kehadiran peradilan administrasi negara adalah sesuai dengan perkembangan hukum

dan kenegaraan di Inggris. Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan

memutus perkara, yang kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang

memutus perkara tidak atas nama raja, tetapi berdasarkan "the common custom of

England", sehingga karakterisrik dari "ccmmon law'"adalah "judicial", sedangkan

karakteristik dari "civil law" (kontinental) adalah "administratif ( Hadjon,

1987: 82)

Konsep "the rule of law" maupun konsep "rechtsstaat" keduanya

menempatkan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai

titik sentralnya, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik

sentralnya adalah "keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan". Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, dalam konsep "the rule of

law" mengedepankan prinsip "eguality before the law", dan dalam konsep

Page 80: Skrip Si

"rechtsstaat" mengedepankan prinsip "wetmatigheid" kemudian menjadi

"rechtmatigheid". Untuk negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian

hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah "asas

kerukunan" dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan

berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya

hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa

secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-

hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga

terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Elemen Negara Hukum

Pancasila adalah :

a. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan

negara;

b Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan

sarana terahkir;

c Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Keseimbangan hubungan antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan (Hadjon, 1987 : 82 - 90)

Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :

a. Setiap warga masyarakat suatu daerah berhak memperoleh

perlindungan hukum atas dibentuknya suatu kebijakan daerah yang

merugikaa dirinya;

b. Kewenangan pemerintahan yang dijadikan dasar pembentukan

kebijakan daerah harus jelas asal-usulnya serta ruang lingkup

kewenangannya.

c. Hal asasi warga suatu daerah merupakan hak dasar yang layak

Page 81: Skrip Si

dapat dipertahankan dalam keadaan apapun juga untuk mengantisipasi

akibat-akibat yang timbul dari dibentuk dan diberlakukannya suatu

kebijakan daerah.

Page 82: Skrip Si

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan dapatlah

disimpulkan antara lain :

1) a. Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat untuk

Mengkritisi kebijakan-kebijakan jajaran Pemda Kota Yogyakarta

sampai saat ini belum eksis, namun telah ada usaha-usaha untuk

merintis dan membuka jalan kearah dapat dilakukannya partisipasi

masyarakat secara kritis dan konstruktif melalui email dan hot line;

b. Harapan untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang

bersih terbebas dari KKN terayata masih dihantui dan dibayang-

bayangi adanya indikasi praktek KKN tidak hanya dapat terjadi dalam

jajaran pemerintahan pusat. melainkan dapat pula terjadi dalam jajaran

Pemda.

2) a. Partisipasi masyarakat mempunyai kontribusi yang cukup signifikan

Untuk mencegah dan mengeliminir terjadinya praktek KKN dalam

pembentukan kebijakan-kebijakan daerah, namun patut disesalkan

sampai saat ini partisipasi masyarakat tersebut belum sepenuhnya

dapat terealisir;

b. Keterbukaan memberikan akses yang cukup signifikan untuk

pendidikan politik rakyat daerah guna menghasilkan kebijakan daerah

yang aspiratif, partisipatif dan demokratis.

Page 83: Skrip Si

3) a. Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan

Dan pembentukan kebijakan daerah secara tidak tepat dapat berakibat

fatal dan kontra produkif, dan oleh karenanya partisipasi

masyarakat mutlak diperlukan eksistensinya.

b. Hak asasi warga masyarakat suatu daerah merupakan hak dasar, yang

layak memperoleh perlindungan hukum dan dapat dipertahankan

dalam keadaan apapun juga, untuk mengantisipasi akibat-akibat yang

timbul dari dibentuk dan diberlakukannya suatu kebijakan daerah.

2. Saran

Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini antara lain :

a. Agar Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat untuk

mengkritisi perencanaan dan pembentukan kebijakan daerah dalam

jajaran Pemda Kota Yogyakarta segera dapat direalisir;

b. Agar segera ditempuh upaya-upaya kreatif dan dinamis untuk

memberdayakan masyarakat guna berpartisipasi mengeleminir dan

memberantas praktek-praktek KKN dalam setiap kebijakan daerah,

baik langsung maupun tidak langsung dalam jajaran Pemda Kota

Yogyakarta

c. Agar jajaran Pemda Kota Yogyakarta dapat memanfaatkan

wewenang pemerintahan untuk merencanakan dan membentuk

kebijakan daerah secara optimal, tepat, efektif dan efisien.

Page 84: Skrip Si

Daftar Pustaka :

Ashari 1999, Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa makalah disampaikan pada

seminar sehari diselenggarakan oleh Forum Nusantara Bersatu, pada

tanggal 10 April 1999 di Klaten

Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia,

disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta

Akkormans, P.W.C., 1985, Algemene Begrippen Van Staatsrecht, deel I, W.EJ.

Tjeenk, Zwole

Burkens, M.C., 1990, Beginselen van de Democratische Rechtsstaat, Tjeenk Willink,

Zwole

Burkens, M.C., 1990, Beginselen van de democratische rechtsstaat, W.EJ. Tjeenk

Willing, Zwolle in samenwerking met het Nederlans Institut voor Sociaal

en Economisch Recht, NISER

Budisoesetyo, R., 1958, Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Positip indonesia, Pidato,

diucapkan pada peresmian jabatan guru besar luar biasa dalan mata

pelajaran hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan pada Fakultas

Hukum Universitas Airlangga, di Surabaya, pada hari Rabu tanggal 10

November 1958

Bruggink, J.J.H., (alih bahasa Arief Sidharta), 1996, Refleksi Tentang hukum, P.T.

Citra Aditya Bakti, Bandung

Couwenberg, S.W., 1977, Westers Staatsrecht als Emancipatie Proces, Samson,

Alphen aan de Rijn

Daryadi 2001, Perjanjian Masyarakat, makalah disampaikan pada seminar nasional

Page 85: Skrip Si

diselenggarakan oleh Forum Cinta Bangsa, pada tanggal 10 Januari 2001

di Surabaya

Duk-Loeb-nicolai, 1981,Bestuursrecht, Bowar-boek : 157

Meuwissen, D.H.M., 1979, Viff Stellingen Over Recht Filosofie, in : Een beeld van

Recht, Ars Aequi

Meuwissen, D.H.M., l975,Elementen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, Zwolle

Pound, Roscoe, 1957, The Development of Constitutional Guanrantiees of Liberty,

Yale University Press, New Haven London

Port, C.W. van der, - bewerkt door AM. Donner, 1983, Handboek van het

Nederlandse Staatsrecht, ll e druk, Tjeenk Willink, Zwolle

Prasetyo, 2002, Otonomi Daerah Dan Permasalahannya, Makalah disampaikan pada

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Peneliti Daerah pada

tanggal 10 Agustus 2002 di Yogyakarta

Siong, Gouw Giok, 1955, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta

Soemitro, Rochmat 1976, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia,

cet. ke - IV, PT. ERESCO, Jakarta-Bandung

Sukismo. B., 2002 (a), Aspek Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan

Perundangan Yang Demokratis, makalah disampaikan pada seminar sehari

yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Keadilan Masyarakat Banyumas,

pada tanggal 9 Mei 2002 di Purwokerio.

Sukismo, B., 2002 (b), Ilustrasi Model Penulisan Hukum Normatif, makalah,

disampaikan pada seminar sehari yang diselenggarakan oleh Forum Peduli

Keadilan Masyarakat Banyumas, pada tanggal 9 Mei 2002, di Purwokerto.

Sidharta; B., Arief, 1996, Refleksi Tentang Fondasi Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi,

Page 86: Skrip Si

Universitas Padjadjaran, Bandung.

Suhardi, 2002, Kebijakan Daerah Yang Partisipasif, Makalah, disampaikan pada

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Daerah pada

tanggal l2 Agustus2002 di Surakarta

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar

Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Edisi Kedua, Cet. Pertama,

Liberty,Yogyakarta.

Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT. Ichtiar, Jakarta

Untung 1991, Demokrasi Liberal, makalah disampaikan pada seminar nasional

diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli

1991 diSurabaya

Verdam, P.J., 1976, Nederlandse Rechtsgeshiedenis 1795 - 1975, Samson, Alphen

aan den Rijn.

Vlies, I.C. Van der., 1984, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijk

Regelgeving, Vuga, S-Gravenhage

Wijk-Konijnenbelt, Van., 1984, Hoofdstukken van adminisiratief recht, vijfde druk,

Vuga, S-Gravenhage

Wignjosoebroto, Soetandijo, 1994, Sejarah Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

White, R. Allan, 1970, Truth : Problem in philosophy, Doubleday E. Company, New

York

Wintoko, 2000, Keadilan Sejati, makalah disampaikan pada seminar sehari

diselenggarakan oleh Forum Peduli Rakyat pada tanggal 9 Juni 2000 di

Klaten

Yamin, Muh., 1952, Proklamasi dan Konstituante Republik Indonesia, Cet ke-2, PT.

Page 87: Skrip Si

Djambatan, Jakarta

Yunanto, 2000, Asas Legalitas, makalah disampaikan pada seminar sehari

diselenggarakan oleh Forum Nusantara pada tanggal 5 Mei 2000 di

Surakarta

Badrun. 2005, Mendambakan Pemerintahan Yang Bersih, Pelita Press Jakarta

Suwandi, 2001, Manajemen Pemerintahan, Presto Press, Bandung

Suprapto, 2002, Sistem Pemerintahan Nasional, PT. Index, Jakarta

Sukismo, 2002 Menyimak Otonomi Daerah, Sari Press, Surabaya

Sukismo, 2003, Manajemen Wewenang Pemerintahan, Sari Press, Surabaya

Subardi, 2001, Sistem Otonomi, Cakra, Surakarta

Santoso, 2001, Hubungan Ideal Pemerintah Pusat dan Daerah, Langgeng Press,

Bandung

Suyudi, 2001, Melacak Liku-Liku Koruptor, Cindra Press, Semarang

Suyanto, 2002, Sepak Terjang Koruptor, Cemerlang Press,

Surakarta Supriyadi 2002, Sistem Partisipasi Moderen, PT. Duta Aksara, Surabaya

Sugiri, 2002, Perlindungan Perburuhan, Pelita Press, Jakarta

Sunarto, 2002, Hak Patisipasi Rakyat, Pelita Press, Jakarta

Sarosa,2001, Strategi Daerah, Pelita Press, Jakarta

Soemardjan, 1995, Pilar-Pilar Demokrasi, Candra Press, Pati

Suripto,2001, Strategi Kebijakan Daerah, Candra Press, Pati

Sunaryo,2002,Sistem Kontrol Kebijakan Pemerintahan, Sari Press, Surabaya

Yunanto, 2000,Negara Hukum Dan Negara Kekuasaan, Candra Press, Pati