Skenario 3 Mpt

20
Skenario 3 L.I. 1 MM Autoimun LO. 1 Definisi autoimun LO. 2 Etiologi autoimun LO. 3 Jenis – jenis penyakit autoimun LO. 4 Mekanisme autoimun LO. 5 Patofisiologi autoimun L.I. 2 MM SLE LO. 1 Definisi SLE LO. 2 Etiologi SLE LO. 3 Patogenesis SLE LO. 4 Manifestasi SLE LO. 5 Diagnosis (Pemeriksaan penunjang) LO. 6 Diagnosis banding LO. 7 Penatalaksanaan LO. 8 Prognosis LI. 3 MM sabar dalam menghadapi cobaan

Transcript of Skenario 3 Mpt

Page 1: Skenario 3 Mpt

Skenario 3

L.I. 1 MM AutoimunLO. 1 Definisi autoimunLO. 2 Etiologi autoimunLO. 3 Jenis – jenis penyakit autoimunLO. 4 Mekanisme autoimunLO. 5 Patofisiologi autoimun

L.I. 2 MM SLELO. 1 Definisi SLELO. 2 Etiologi SLELO. 3 Patogenesis SLELO. 4 Manifestasi SLELO. 5 Diagnosis (Pemeriksaan penunjang)LO. 6 Diagnosis bandingLO. 7 PenatalaksanaanLO. 8 Prognosis

LI. 3 MM sabar dalam menghadapi cobaan

Page 2: Skenario 3 Mpt

L.I. 1 MM AutoimunLO. 1 Definisi autoimun

Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody.

LO. 2 Etiologi autoimun

1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LESdengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar  daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti- Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi

komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak  pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor  komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns

sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosterone mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

Page 3: Skenario 3 Mpt

4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan

obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

LO. 3 Jenis – jenis penyakit autoimun

Penyakit autoimunity dapat secara luas dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-spesifik atau lokal, tergantung pada fitur clinico-pathologic pokok masing-masing penyakit.

1. Sistemik autoimun : penyakit lupus, sindrom Sjögren, scleroderma,Rheumatoid arthritis dan dermatomyositis. Kondisi ini cenderung dikaitkan dengan autoantibodi untuk antigen yang tidak spesifik jaringan.

2. Lokal sindrom yang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:a. Gastrointestinal: penyakit Coeliac, anemia pernisiosab. Dermatologic:  Pemphigus vulgaris, Vitiligoc. Haematologic: Autoimmune haemolytic anaemia, Idiopathic thrombocytopenic purpurad. Neurologis: Myasthenia gravise. Endocrinologic: Diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison.

LO. 4 Mekanisme autoimun

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas1.pelepasan antigen sekuester 2.kemiripan molekular 3.ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1.sequestered antigenAdalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

2.gangguan presentasiGangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang akhirnya menimbulkan autoimuntas.

3.ekspresi MHC-II yang tidak benar Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak 

Page 4: Skenario 3 Mpt

mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen. Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+/sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti reseptor hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai /menghambat efek liga endogen untuk self protein yang menibulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan fenomena ini terliha t pda penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi yang menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang menimbulkan aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.

LO. 5 Patofisiologi autoimun

L.I. 2 MM SLELO. 1 Definisi SLE

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri, mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung dan pembuluh darah. Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah menyerupai serigala.

LO. 2 Etiologi SLE

Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.

1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.

Page 5: Skenario 3 Mpt

Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear danantigen nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE.

Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE. Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.

2.      Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap.

3.      Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien.

4.      Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.

LO. 3 Patogenesis SLE

Faktor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi dan ekspansi sel B. Lalu, akan muncul antibodi terhadap antigen nukleoplasma meliputi DNA, nukleoprotein, dan lain- lain yang akan membentuk kompleks imun.Kompleks imun dalam keadaan normal, dalam sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu dimusnahkan oleh fagosit. Tetapi dalam LES, akan terdapat gangguan fungsi fagosit, yang akan menyebabkan kompleks imun sulit dimusnahkan dan mengendap di jaringan. Lalu, kompleks imun tersebut akan mengalami reaksi hipersensitivita tipe IV.

LO. 4 Manifestasi SLE

Macam-Macam Lupus Eritematosus Sistemik 

Page 6: Skenario 3 Mpt

- Lupus eritematosus sistemik - Merupakan tipe lupus yang paling serius- Menyerang organ tubuh seperti otak, hati, paru dan ginjal

KulitSebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.

Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik danradiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.

GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.

Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.

HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

trombositopenia, dan lekopenia.

Pneumonitis interstitialisMerupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak 

dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

Susunan Saraf Pusat (SSP)Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.

ArthritisDapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris,

terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsive terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak  dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.

Fenomena Raynaud

Page 7: Skenario 3 Mpt

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembalihangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darahdan aktivasi komplemen lokal.

Gejala yang lain:1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %2. Demam di atas 38oC 90 %3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %5. Ruam pada kulit 74 %6. Anemia 71 %7. Gangguan ginjal 50 %8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %11. Rambut rontok 27 %12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %14. Stroke 15 %15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %16. Selera makan hilang > 60 %

LO. 5 Diagnosis (Pemeriksaan penunjang)

LO. 6 Diagnosis banding

Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yangdidiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi denganLES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu

- Arthritis reumatika- sklerosis sistemik- dermatomiositis - purpura trombositopenik

LO. 7 Penatalaksanaan

Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik LupusEritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi.Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun inidan pada strategi-strategi pencegahan seperti :

Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas) Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif) Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita

mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid) Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan

Page 8: Skenario 3 Mpt

imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf  pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami:

Terapi konservatif Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak  berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

Arthritis, arthralgia, myalgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada system gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria : Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik, maka pemberian dihentikan).

Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina. Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis. Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologic konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

Lupus kutaneus

Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA ( -aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yangρ kesemuanya dapat menyerap sinar UV dan (pemakaian diulang setelahα β mandi dan berkeringat). Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :

Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi(hidrokortison)] Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametasonvalerat dan triamsinolon asetonid)] Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik

(glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang

Page 9: Skenario 3 Mpt

berkekuatan rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupundiskoid. OAM mempunyai efek :- Sunblocking Mengikat melanin- Antiinflamasi- ImunosupresanBerhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu metabolism rantai dan HLA II.α β- Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF- oleh makrofag, IL-2 dan α IFN- oleh selT.γ 

Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :- Methemoglobinemia- Sulfhemoglobinemia- Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

Fatigue dan keluhan sistemik Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan

berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis (radang membran serosa)Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat

diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasiserius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :

Vaskulitis Lupus kutaneus berat Poliartritis Poliserositis Miokarditis pneumonitis lupus Glomerulonefritis (bentuk proliferatif) Anemia hemolitik  Trombositopenia Sindrom otak organik  Defek kognitif berat Mielopati Neuropati perifer 

Page 10: Skenario 3 Mpt

Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek  terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu.

Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali. Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :

Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang

lama atau berulang Glomerulonefritis difus awal SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-

faktor ekstrarenal lainnya. SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahan dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :

Nausea

Page 11: Skenario 3 Mpt

Vomitus alopesia Sistitis hemoragika Keganasan kulit Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :

Penekanan sistem hemopoetik  Peningkatan enzim hati Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :

Terapi hormonal Imunoglobulin Afaresis- Plasmafaresis- Leukofaresis- Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapatmengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak  dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

Penatalaksanaan SLE keadaan khusus

TrombosisMerupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibody

antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3-3,5, terutama pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibody antikardiolipin sangat resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

Abortus berulang pada SLE

Page 12: Skenario 3 Mpt

Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk  menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi :

Aspirin dosis rendah Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang Glukokortikoid dosis tinggi Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna,

pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatalMerupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita

SLE. Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

TrombositopeniaPertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :

Efek samping obat Purpura trombositopenia trombotik  Infeksi virus (HIV, HBV, CMV) Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau splenektomi. Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

LO. 8 Prognosis

Angka harapan hidup : 5 tahun : 85-88% 10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat : Infeksi penyakit Nefritis lupus Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya) Penyakit kardiovaskular  Lupus sistem saraf pusat

Page 13: Skenario 3 Mpt

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibody pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

LI. 3 MM sabar dalam menghadapi cobaan

Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “Shobaro”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran”. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah.

1. Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.

2. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Hadist

Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga hal; sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah:

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.Kemudian untuk dapat merealisasikan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal,(1) Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa

Page 14: Skenario 3 Mpt

memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya’.(2) Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya.(3) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang lain.

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada hal-hal yang buruk dan “menyenangkan”. Dan perbuatan maksiat identik dengan hal-hal yang “menyenangkan”.

3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb.