SISTEM SURVAILANS ISPA.docx

16
SISTEM SURVAILANS ISPA A. Pengertian ISPA Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus- sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002). B. Epidemiologi 1. Distribusi dan Frekwensi ISPA Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000). Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996). ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang

Transcript of SISTEM SURVAILANS ISPA.docx

SISTEM SURVAILANS ISPAA. Pengertian ISPAIstilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).

B. Epidemiologi1. Distribusi dan Frekwensi ISPAPenyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000).Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996). ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000).2. Determinan ISPATerjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu : a. Bibit Penyakit (Agent)ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.b. Pejamu (Host)Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :1. UmurTerjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI., 1996).Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderitapneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S,1999). Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000).Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.2. Jenis KelaminMenurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI., 1996).Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda. Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan perempuan 8,5% (Depkes RI., 1997).3. Status GiziKeadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%).4. Berat Badan LahirBerat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999).tatus gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur lebih besar (Pudjiadi, 2000). Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya.ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).5. Status ASI dan Makanan TambahanASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001).Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie (1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI. Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2 bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala. Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan gula (Roesli, 2001).

6. Status ImunisasiImunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001). Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999).Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi . UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007). Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25% dan kontrol 5,13%.7. Vitamin APada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000). Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling bertentangan (Zairil, 2000).Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak (CFR) lebih dari 1%. Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).3. Lingkungan (environment)Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air bornediasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan. Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993).Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.a. Asap Dalam RuanganPencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992). Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997). Dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan. (Charles, dkk.,1996) Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996).Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok (sidestream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti. Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y., 1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).b. VentilasiVentilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989).Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.c. Tata Ruang dan Kepadatan HunianSetiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus. Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan penghuni per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan dimana sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983). Demikian halnya dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang tinggal dirumah yang padat (