Sistem Religi pada Masa Perundagian
-
Upload
betsy-edith-christie -
Category
Documents
-
view
951 -
download
10
Transcript of Sistem Religi pada Masa Perundagian
UJIAN AKHIR SEMESTER
PRASEJARAH INDONESIA
BETSY EDITH CHRISTIE
0906521713
UNIVERSITAS INDONESIA
2010
SISTEM RELIGI PADA MASA PERUNDAGIAN
Dalam buku Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia, Prasetyo,
dkk. yang mengacu pada Renfrew dan Bahn mengatakan bahwa, “religi adalah
tindakan atau perilaku yang menunjukkan suatu kepercayaan, atau untuk
penghormatan dan hasrat untuk menyenangkan terhadap suatu kekuatan yang
menguasai”. Selanjutnya, dalam artikel “Persebaran Situs-Situs Religi di Kawasan
Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”, Prijono yang
mengacu pada Prasetyo dan Yuniawati mengungkapkan bahwa religi ditandai dua
hal pokok yaitu kepercayaan dan ritus. Kepercayaan ditunjukkan dalam bentuk
pandangan dan diwujudkan dalam simbol-simbol tertentu, sedangkan ritus lebih
mengacu pada tindakan-tindakan tertentu. Berdasarkan pengertian religi dan
kedua hal pokok di dalamnya, maka selanjutnya akan dibahas mengenai sistem
religi pada masa perundagian itu sendiri.
Sistem religi pada masa perundagian merupakan keberlanjutan dari budaya
neolitik. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), berawal dari kehidupan manusia yang
mengalami perubahan dari berburu meramu pada masa Holosen Tua menjadi
masyarakat sedenter pada masa Holosen Muda, merupakan asal mula budaya
neolitik. Pada budaya neolitik terjadi perkembangan dalam nilai kehidupan di
masyarakat. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), salah satu nilai yang menonjol adalah
sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Orang yang meninggal dipercaya
memiliki kehidupan setelah meninggalkan jasadnya. Oleh karena itu, masyarakat
memberikan upacara-upacara untuk menyenangkan hati roh yang meninggal.
Menurut Prasetyo, dkk. (2004), kehidupan masyarakat diduga pula telah
mengenal strata sosial. Adanya strata sosial nampak pula pada kehidupan religi
maupun sistem penguburan. Prasetyo, dkk. (2004) yang mengacu pada Soejono
mengungkapkan bahwa berdasarkan kepercayaan masyarakat, kematian
dipandang sebagai sesuatu yang tidak mengubah kedudukan seseorang yang
meninggal.
Berdasarkan Prasetyo, dkk. (2004) diungkapkan bahwa orang yang telah
berjasa bagi masyarakat akan memiliki tempat khusus. Sedangkan, orang yang
memiliki kedudukan rendah dapat melakukan pesta-pesta tertentu yang mencapai
puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan dari batu. Seiring kemajuan
teknologi yaitu dikenalnya benda logam dan teknik penuangan logam maka
bangunan yang berasal dari batu diganti dengan menggunakan besi dan perunggu.
Menurut Prasetyo, dkk. (2004), masa di mana mulai dikenalnya benda logam dan
teknik penuangan logam sering pula diartikan sebagai masa perundagian.
Hal lain yang berkaitan erat dengan sistem religi pada masa perundagian
adalah anggapan gunung sebagai tempat yang sakral. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan Prasetyo yang dimuat dalam artikel “Aspek
Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa Prasejarah di Indonesia”
dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 2 buah situs (12,50%) dari 16 buah
sampel situs upacara. Kedua buah situs tersebut menunjukkan adanya pengaruh
faktor-faktor religi yang dianut masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa
tempat-tempat tertinggi seperti bukit atau gunung merupakan tempat yang sakral
dan bersemayam bagi roh nenek moyang. Menurut Soejono (2008), kepercayaan
terhadap puncak gunung sebagai tempat sakral terdapat pula pada daerah di
Sumba,Timor, dan Pasir Angin.
Menurut Prasetyo, dkk. (2004), pada masa perundagian, bangunan yang
dihasilkan berupa kubur peti batu, sarkofagus, dan sebagainya yang bersifat
ornamental serta upacara kematian yang merupakan hal penting. Pentingnya
upacara kematian menyebabkan berkembangnya sistem penguburan yang
dibuktikan dengan situs arkeologi yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Sistem penguburan dibedakan menjadi dua yaitu
1. Sistem Penguburan Langsung (Primer)
Dalam sistem ini, penguburan dilakukan dengan cara mengubur langsung
mayat ke dalam tempat tertentu yang sudah disiapkan. Mayat dikuburkan dengan
posisi membujur, terlipat, atau jongkok. Menurut Poesponegoro (2008), bekal
kubur yang turut disertakan antara lain berupa jenis unggas, anjing, periuk-periuk,
benda-benda perunggu dan besi, manik-manik, dan perhiasan-perhiasan lain.
Penguburan dengan sistem ini menurut Poesponegoro banyak ditemukan di
Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumbawa, Sumba, dan Flores. Poesponegoro juga
mengungkapkan bahwa penguburan dengan sistem ini dilakukan dekat dengan
tempat tinggal. Hal ini didukung pula oleh Prasetyo melalui artikel “Aspek
Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa Prasejarah di Indonesia”.
Dalam artikel ini disebutkan bahwa di Indonesia terdapat 9 situs kubur
(56,25%) dari 16 sampel yang ada, terdiri dari 2 buah situs (12,50%) di bukit sisi
pantai, 6 buah situs (37,50%) di dataran sisi pantai, dan 1 buah situs (6,25%) di
dataran sisi sungai. Hasil penelitian ini menunjukkan pemilihan tempat kubur
yang disesuaikan dengan bentang lahan tempat tinggal.
Menurut Prasetyo, dkk. (2004), terdapat dua sistem penguburan langsung:
1.1 sistem penguburan langsung tanpa wadah
Penemuan dengan menggunakan sistem ini ditemukan di Gua Liang Bua
(Flores) yang dilengkapi pula dengan bekal kubur. Bekal kubur tersebut antara
lain beliung persegi, periuk, batu-batu kali, taring babi, kapak perunggu, dan
manik-manik. Selain itu, ditemukan pada Gua Selabe di Baturaja (Sumatra
Selatan). Bekal kubur yang disertakan umumnya benda-benda gerabah.
1.2 sistem penguburan langsung dengan wadah
Wadah yang digunakan pada sistem ini antara lain berupa sarkofagus di
Bali, pandhusa di Bondowoso (Jawa Timur), kalamba (Sulawesi Tengah), waruga
di (Sulawesi Utara), reti di Sumba Timur (NTT), peti kubur batu di Pasemah
(Sumatra Selatan), Kuningan (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta), dan
Bojonegoro (Jawa Timur).
2. Sistem Penguburan Tidak Langsung (Sekunder)
Pada sistem ini, pertama-tama mayat dikuburkan secara langsung,
kemudian dalam jangka waktu tertentu, sebagian atau seluruh tulang-tulang akan
diambil untuk dikuburkan kembali. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), di sejumlah
tempat di Indonesia digunakan sistem penguburan sekunder yang menguburkan
kembali tulang ke dalam sebuah wadah kubur, biasanya tulang-tulang terakhir
ditempatkan pada tempayan. Tidak hanya tempayan saja, menurut Poesponegoro,
sistem ini juga menggunakan wadah kubur yang terbuat dari batu (sarkofagus,
kalamba, waruga, peti kubur batu, pandusa, reti, dan kubur silindris), dan logam.
Dalam buku Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia, Prasetyo,
dkk. mengungkapkan bahwa pada masa perundagian ditemukan temuan yang
berkaitan dengan sistem religi yang digunakan sebagai wadah kubur dalam sistem
penguburan baik sistem penguburan primer maupun sekunder. Wadah yang
digunakan antara lain berupa
a. Kubur Dolmen
Menurut Prasetyo, dkk (2004), kubur dolmen terdiri dari alas yang terbuat
dari papan batu dengan beberapa batu tegak sebagai dinding dan kemudian ditutup
dengan batu besar. Wadah ini digunakan untuk mengubur lebih dari satu individu.
Peninggalan ini dapat ditemukan di daerah Sumba Barat dan Timur (NTT)
yang pernah diteliti oleh Haris Sukendar (1982), Batutring (Sumbawa, NTB) yang
pernah diteliti oleh D.D Bintarti (1983), di Bondowoso (Jawa Timur) antara lain
pernah diteliti oleh Willems (1938), Hoop (1941), Bagyo Prasetyo (1998), di Apo
Kayan (Kalimantan Timur) diteliti oleh Sierevelt (1929), Muara Betung (Sumatra
Selatan) dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang (1996).
Selain itu, menurut Soejono yang mengacu pada Heekeren, ditemukan
pula kubur dolmen di Besuki, Telagasari, dan Pakisan yang memiliki pahatan
manusia dengan sikap kangkang yang dipahatkan secara ‘en relief’. Menurut
Soejono yang mengacu pada Fraser, pahatan tersebut mengandung maksud
kelahiran kembali (rebirth) atau penolakan terhadap kekuatan jahat (apotropaic).
Menurut Soejono, maksud yang sama terdapat pula pada corak pahatan lain yaitu
pahatan yang bergaya Ambiarsari.
b. Kubur Peti Batu
Menurut Prasetyo, dkk. (2004), wadah ini berbentuk seperti peti yang
terdiri dari sebuah alas yang dibatasi dua buah dinding memanjang dan dua buah
dinding melebar serta dilengkapi dengan sebuah tutup. Peninggalan ini dapat
ditemukan di daerah Gunung Kidul (Jawa Tengah), yang pernah diteliti oleh J.L
Moens (1934), Hoop (1935), Tegurwangi (Sumatra Selatan) yang pernah diteliti
antara lain oleh Hoop (1932), dan Bie (1932), di Minahasa (Sulawesi Utara) yang
pernah diteliti oleh Bertling (1932), Hadimuljono (1974), Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi (1993-2001). Menurut Soejono,
penggambaran muka dan badan manusia ditemukan pada peti mayat batu di tanah
Batak (Samosir), Minahasa (pada waruga), tanah Toraja (pada Kalamba di Napu,
Besoa, Bada), Kalimantan Timur (Apo Kayan), Besuki (Kretek, Kemuningan,
Pakisan-Telagasari), Sumbawa (Batutring) dan Sumba.
c. Tempayan
Menurut Aziz dalam artikel “Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan
Masa Paleometalik: Kajian atas Data Konteks Kubur”, wadah kubur ini terbuat
dari tanah liat bakar. Wadah ini digunakan untuk penguburan tulang manusia.
Posisi mayat pada tempayan yang besar dalam posisi jongkok. Terdapat tiga jenis
tempayan yaitu bulat bola, bulat telur, dan bulat silinder. Bentuk khusus ini
terdapat pada bagian tepian dan hiasan. Tempayan yang terbuat dari tanah liat
bakar ini ditemukan di Anyer Lor (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah),
Gilimanuk (Bali), dan Melolo (Sumba Timur). Berdasarkan temuan tempayan
sebagai wadah kubur, Aziz berpendapat bahwa tempayan menunjukkan adanya
tatanan dan simbolisasi dalam sistem penguburan pada masa perundagian.
Menurut Prasetyo, dkk. (2004) ditemukan pula tempayan batu di daerah
Sulawesi Tengah yang meliputi wilayah Lembah Napu-Besoa-Bada yang pernah
diteliti oleh Adriani dan Kruyt (1898 dan 1909), Killian (1908), Kaudern (1921
dan 1925), dan Raven (1926) sebagaimana dicatat oleh Kaudern (1938); Haris
Sukendar (1976), Bagyo Prasetyo, dkk. (1995) dan Dwi Yani Yuniawati, dkk.
(2000,2002,2003,2004), ditemukan pula di Donggo (Bima-NTB) yang diteliti oleh
Bagyo Prasetyo (2000).
Menurut Poesponegoro yang mengacu pada D.D Bintarti, tempayan
ditemukan pula di Jambi, Lesungbatu (Sumatra Barat), Pugung Tampak
(Lampung), Lahat (Sumatra Selatan), Bengkulu, Tile-Tile (Selayar, Sulawesi
Selatan), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Buni (Jawa Barat), Plawangan,
Bonang Sluke (Jawa Tengah), Melolo, Lambanapu, Kolana, Lewoleba, dan Flores
Timur (Nusa Tenggara Timur).
Menurut Poesponegoro, tempayan yang ditemukan di Melolo ada yang
berisi rangka adapula yang tidak berisi rangka, namun berisi kereweng, kerang,
manik-manik, kulit binatang, dan kulit kerang. Tempayan ini tidak memiliki
hiasan. Pada tempayan hanya diberi slip merah atau hitam. Ditemukan pula
tempayan berpola hias berwarna hitam, tumpal, titik-titik, lingkaran kecil yang
membentuk muka dan garis-garis. Ditemukan pula temuan lain berupa kerang,
moluska, logam, manik-manik, beliung, fragmen besi dan perunggu, tulang ikan,
dan kaca.
Pada Lambanapu, menurut Poesponegoro yang mengacu pada Bintarti,
ditemukan tempayan yang terletak satu kompleks dengan kubur reti yang dibuat
dari batu. Ditemukan pula di dalam tempayan, mayat yang memiliki posisi tegak
dan adapula dalam posisi terbalik. Selain tempayan ditemukan pula periuk, kendi,
buyung, rangka manusia, kerang, karang dan arang. Sedangkan di Plawangan,
Poesponegoro mengungkapkan bahwa ditemukan wadah kubur berupa tempayan,
temuan lain yang terbuat dari tanah liat, logam, batuan, maupun moluska, tulang
binatang, dan manik-manik. Menurut Poesponegoro yang mengacu pada
Verhoeven dan Lie Goan Liong, selain tempayan ditemukan pula moluska,
kereweng baik polos maupun berhias, artefak dari kulit kerang, dan periuk.
Sedangkan di Bengkulu, Poesponegoro yang mengacu pada Miyan,
mengungkapkan bahwa selain tempayan ditemukan pula temuan berupa tulang
manusia, dua buah botol, beliung persegi, dolmen, dan alat serpih. Selain itu,
ditemukan pula tempayan di Leang Buidane. Menurut Poesponegoro yang
mengacu pada Bellwood, temuan selain tempayan yang ditemukan pada Leang
Buidane antara lain tulang manusia dan gerabah.
d. Sarkofagus
Menurut Soejono, sarkofagus adalah wadah kubur batu yang seringkali
ditemukan secara berkelompok, umumnya terdiri dari wadah dan tutup yang
ukurannya sama. Pada sarkofagus berukuran besar ditemukan dua rangka.
Temuan ini memiliki persebaran yang luas di Bali. Menurut Soejono, di Marga
Tengah ditemukan lima buah sarkofagus tipe kecil berderet dengan arah utara-
selatan.
Posisi mayat dalam sarkofagus umumnya membujur atau terlipat. Menurut
Soejono, sikap terlipat mengandung maksud memberi sikap pada mayat seakan-
akan dalam keadaan siap untuk lahir kembali di dalam suatu kehidupan baru.
Menurut Soejono yang mengacu pada Kruyt, Wilken, dan Koren, mayat dengan
sikap ini dijumpai pula di Alfuru, Sumba, Aru, Kei, dan Irian Jaya.
Menurut Soejono, penguburan dengan menggunakan sarkofagus
dilengkapi pula dengan bekal kubur. Bekal kubur antara lain berupa benda-benda
perunggu, fragmen-fragmen besi, manik-manik kornalin, gelang perunggu, senjata
dan periuk. Menurut Soejono, pada golongan terkemuka, mungkin saja ada
upacara-upacara pendahuluan sebelum sarkofagus selesai dikerjakan. Setelah
sarkofagus selesai dikerjakan baru dilakukan upacara penutupan. Sarkofagus
ditemukan pula di Pulau Samosir (Sumatra Utara) pernah diteliti oleh Heekeren
(1958), Schnitger (1964) dan Simanjuntak (1982), di Bondowoso (Jawa Timur),
Ksadan Fatubesi (Timor-Timur).
Benda peninggalan lain yang memiliki kaitan erat dengan sistem religi
pada masa perundagian adalah nekara. Menurut Prasetyo, dkk. (2004) yang
mengacu pada Heekeren, nekara digunakan untuk pemujaan misalnya untuk
pemanggilan hujan, hal ini nampak pada nekara Pejeng maupun besar dari Pulau
Roti maupun Kei. Nekara terdiri dari dua jenis yaitu nekara tipe Heger dan
Pejeng. Temuan yang bisa didapat di dalam nekara antara lain manik-manik,
perhiasan dari emas, benda-benda perunggu, benda-benda besi, benda-benda dari
gips, benda-benda dari kayu, benda-benda dari tanah liat, tulang binatang, dan
rangka manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Fadbila Arifin. “Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa
Paleometalik: Kajian atas Data Konteks Kubur”. Amerta: Berkala Arkeologi
no. 15. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995.
Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di
Indonesia. Ed. Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Prasetyo, Bagyo. “Aspek Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa
Prasejarah di Indonesia”. Amerta: Berkala Arkeologi no. 15. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995.
Prasetyo, Bagyo, dkk. Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004.
Prijono, Sudarti. “Persebaran Situs-Situs Religi di Kawasan Kecamatan
Curugbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”. Religi dalam Dinamika
Masyarakat. Banten: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2005.
Soejono, R.P. Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008.