Sistem Religi pada Masa Perundagian

14
UJIAN AKHIR SEMESTER PRASEJARAH INDONESIA BETSY EDITH CHRISTIE 0906521713 UNIVERSITAS INDONESIA

Transcript of Sistem Religi pada Masa Perundagian

Page 1: Sistem Religi pada Masa Perundagian

UJIAN AKHIR SEMESTER

PRASEJARAH INDONESIA

BETSY EDITH CHRISTIE

0906521713

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

Page 2: Sistem Religi pada Masa Perundagian

SISTEM RELIGI PADA MASA PERUNDAGIAN

Dalam buku Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia, Prasetyo,

dkk. yang mengacu pada Renfrew dan Bahn mengatakan bahwa, “religi adalah

tindakan atau perilaku yang menunjukkan suatu kepercayaan, atau untuk

penghormatan dan hasrat untuk menyenangkan terhadap suatu kekuatan yang

menguasai”. Selanjutnya, dalam artikel “Persebaran Situs-Situs Religi di Kawasan

Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”, Prijono yang

mengacu pada Prasetyo dan Yuniawati mengungkapkan bahwa religi ditandai dua

hal pokok yaitu kepercayaan dan ritus. Kepercayaan ditunjukkan dalam bentuk

pandangan dan diwujudkan dalam simbol-simbol tertentu, sedangkan ritus lebih

mengacu pada tindakan-tindakan tertentu. Berdasarkan pengertian religi dan

kedua hal pokok di dalamnya, maka selanjutnya akan dibahas mengenai sistem

religi pada masa perundagian itu sendiri.

Sistem religi pada masa perundagian merupakan keberlanjutan dari budaya

neolitik. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), berawal dari kehidupan manusia yang

mengalami perubahan dari berburu meramu pada masa Holosen Tua menjadi

masyarakat sedenter pada masa Holosen Muda, merupakan asal mula budaya

neolitik. Pada budaya neolitik terjadi perkembangan dalam nilai kehidupan di

masyarakat. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), salah satu nilai yang menonjol adalah

sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Orang yang meninggal dipercaya

memiliki kehidupan setelah meninggalkan jasadnya. Oleh karena itu, masyarakat

memberikan upacara-upacara untuk menyenangkan hati roh yang meninggal.

Menurut Prasetyo, dkk. (2004), kehidupan masyarakat diduga pula telah

mengenal strata sosial. Adanya strata sosial nampak pula pada kehidupan religi

maupun sistem penguburan. Prasetyo, dkk. (2004) yang mengacu pada Soejono

mengungkapkan bahwa berdasarkan kepercayaan masyarakat, kematian

dipandang sebagai sesuatu yang tidak mengubah kedudukan seseorang yang

meninggal.

Page 3: Sistem Religi pada Masa Perundagian

Berdasarkan Prasetyo, dkk. (2004) diungkapkan bahwa orang yang telah

berjasa bagi masyarakat akan memiliki tempat khusus. Sedangkan, orang yang

memiliki kedudukan rendah dapat melakukan pesta-pesta tertentu yang mencapai

puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan dari batu. Seiring kemajuan

teknologi yaitu dikenalnya benda logam dan teknik penuangan logam maka

bangunan yang berasal dari batu diganti dengan menggunakan besi dan perunggu.

Menurut Prasetyo, dkk. (2004), masa di mana mulai dikenalnya benda logam dan

teknik penuangan logam sering pula diartikan sebagai masa perundagian.

Hal lain yang berkaitan erat dengan sistem religi pada masa perundagian

adalah anggapan gunung sebagai tempat yang sakral. Hal ini dibuktikan dengan

penelitian yang dilakukan Prasetyo yang dimuat dalam artikel “Aspek

Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa Prasejarah di Indonesia”

dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 2 buah situs (12,50%) dari 16 buah

sampel situs upacara. Kedua buah situs tersebut menunjukkan adanya pengaruh

faktor-faktor religi yang dianut masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa

tempat-tempat tertinggi seperti bukit atau gunung merupakan tempat yang sakral

dan bersemayam bagi roh nenek moyang. Menurut Soejono (2008), kepercayaan

terhadap puncak gunung sebagai tempat sakral terdapat pula pada daerah di

Sumba,Timor, dan Pasir Angin.

Menurut Prasetyo, dkk. (2004), pada masa perundagian, bangunan yang

dihasilkan berupa kubur peti batu, sarkofagus, dan sebagainya yang bersifat

ornamental serta upacara kematian yang merupakan hal penting. Pentingnya

upacara kematian menyebabkan berkembangnya sistem penguburan yang

dibuktikan dengan situs arkeologi yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia.

Sistem penguburan dibedakan menjadi dua yaitu

1. Sistem Penguburan Langsung (Primer)

Dalam sistem ini, penguburan dilakukan dengan cara mengubur langsung

mayat ke dalam tempat tertentu yang sudah disiapkan. Mayat dikuburkan dengan

posisi membujur, terlipat, atau jongkok. Menurut Poesponegoro (2008), bekal

kubur yang turut disertakan antara lain berupa jenis unggas, anjing, periuk-periuk,

Page 4: Sistem Religi pada Masa Perundagian

benda-benda perunggu dan besi, manik-manik, dan perhiasan-perhiasan lain.

Penguburan dengan sistem ini menurut Poesponegoro banyak ditemukan di

Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumbawa, Sumba, dan Flores. Poesponegoro juga

mengungkapkan bahwa penguburan dengan sistem ini dilakukan dekat dengan

tempat tinggal. Hal ini didukung pula oleh Prasetyo melalui artikel “Aspek

Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa Prasejarah di Indonesia”.

Dalam artikel ini disebutkan bahwa di Indonesia terdapat 9 situs kubur

(56,25%) dari 16 sampel yang ada, terdiri dari 2 buah situs (12,50%) di bukit sisi

pantai, 6 buah situs (37,50%) di dataran sisi pantai, dan 1 buah situs (6,25%) di

dataran sisi sungai. Hasil penelitian ini menunjukkan pemilihan tempat kubur

yang disesuaikan dengan bentang lahan tempat tinggal.

Menurut Prasetyo, dkk. (2004), terdapat dua sistem penguburan langsung:

1.1 sistem penguburan langsung tanpa wadah

Penemuan dengan menggunakan sistem ini ditemukan di Gua Liang Bua

(Flores) yang dilengkapi pula dengan bekal kubur. Bekal kubur tersebut antara

lain beliung persegi, periuk, batu-batu kali, taring babi, kapak perunggu, dan

manik-manik. Selain itu, ditemukan pada Gua Selabe di Baturaja (Sumatra

Selatan). Bekal kubur yang disertakan umumnya benda-benda gerabah.

1.2 sistem penguburan langsung dengan wadah

Wadah yang digunakan pada sistem ini antara lain berupa sarkofagus di

Bali, pandhusa di Bondowoso (Jawa Timur), kalamba (Sulawesi Tengah), waruga

di (Sulawesi Utara), reti di Sumba Timur (NTT), peti kubur batu di Pasemah

(Sumatra Selatan), Kuningan (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta), dan

Bojonegoro (Jawa Timur).

2. Sistem Penguburan Tidak Langsung (Sekunder)

Pada sistem ini, pertama-tama mayat dikuburkan secara langsung,

kemudian dalam jangka waktu tertentu, sebagian atau seluruh tulang-tulang akan

diambil untuk dikuburkan kembali. Menurut Prasetyo, dkk. (2004), di sejumlah

tempat di Indonesia digunakan sistem penguburan sekunder yang menguburkan

Page 5: Sistem Religi pada Masa Perundagian

kembali tulang ke dalam sebuah wadah kubur, biasanya tulang-tulang terakhir

ditempatkan pada tempayan. Tidak hanya tempayan saja, menurut Poesponegoro,

sistem ini juga menggunakan wadah kubur yang terbuat dari batu (sarkofagus,

kalamba, waruga, peti kubur batu, pandusa, reti, dan kubur silindris), dan logam.

Dalam buku Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia, Prasetyo,

dkk. mengungkapkan bahwa pada masa perundagian ditemukan temuan yang

berkaitan dengan sistem religi yang digunakan sebagai wadah kubur dalam sistem

penguburan baik sistem penguburan primer maupun sekunder. Wadah yang

digunakan antara lain berupa

a. Kubur Dolmen

Menurut Prasetyo, dkk (2004), kubur dolmen terdiri dari alas yang terbuat

dari papan batu dengan beberapa batu tegak sebagai dinding dan kemudian ditutup

dengan batu besar. Wadah ini digunakan untuk mengubur lebih dari satu individu.

Peninggalan ini dapat ditemukan di daerah Sumba Barat dan Timur (NTT)

yang pernah diteliti oleh Haris Sukendar (1982), Batutring (Sumbawa, NTB) yang

pernah diteliti oleh D.D Bintarti (1983), di Bondowoso (Jawa Timur) antara lain

pernah diteliti oleh Willems (1938), Hoop (1941), Bagyo Prasetyo (1998), di Apo

Kayan (Kalimantan Timur) diteliti oleh Sierevelt (1929), Muara Betung (Sumatra

Selatan) dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang (1996).

Selain itu, menurut Soejono yang mengacu pada Heekeren, ditemukan

pula kubur dolmen di Besuki, Telagasari, dan Pakisan yang memiliki pahatan

manusia dengan sikap kangkang yang dipahatkan secara ‘en relief’. Menurut

Soejono yang mengacu pada Fraser, pahatan tersebut mengandung maksud

kelahiran kembali (rebirth) atau penolakan terhadap kekuatan jahat (apotropaic).

Menurut Soejono, maksud yang sama terdapat pula pada corak pahatan lain yaitu

pahatan yang bergaya Ambiarsari.

b. Kubur Peti Batu

Menurut Prasetyo, dkk. (2004), wadah ini berbentuk seperti peti yang

terdiri dari sebuah alas yang dibatasi dua buah dinding memanjang dan dua buah

dinding melebar serta dilengkapi dengan sebuah tutup. Peninggalan ini dapat

ditemukan di daerah Gunung Kidul (Jawa Tengah), yang pernah diteliti oleh J.L

Page 6: Sistem Religi pada Masa Perundagian

Moens (1934), Hoop (1935), Tegurwangi (Sumatra Selatan) yang pernah diteliti

antara lain oleh Hoop (1932), dan Bie (1932), di Minahasa (Sulawesi Utara) yang

pernah diteliti oleh Bertling (1932), Hadimuljono (1974), Pusat Penelitian

Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi (1993-2001). Menurut Soejono,

penggambaran muka dan badan manusia ditemukan pada peti mayat batu di tanah

Batak (Samosir), Minahasa (pada waruga), tanah Toraja (pada Kalamba di Napu,

Besoa, Bada), Kalimantan Timur (Apo Kayan), Besuki (Kretek, Kemuningan,

Pakisan-Telagasari), Sumbawa (Batutring) dan Sumba.

c. Tempayan

Menurut Aziz dalam artikel “Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan

Masa Paleometalik: Kajian atas Data Konteks Kubur”, wadah kubur ini terbuat

dari tanah liat bakar. Wadah ini digunakan untuk penguburan tulang manusia.

Posisi mayat pada tempayan yang besar dalam posisi jongkok. Terdapat tiga jenis

tempayan yaitu bulat bola, bulat telur, dan bulat silinder. Bentuk khusus ini

terdapat pada bagian tepian dan hiasan. Tempayan yang terbuat dari tanah liat

bakar ini ditemukan di Anyer Lor (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah),

Gilimanuk (Bali), dan Melolo (Sumba Timur). Berdasarkan temuan tempayan

sebagai wadah kubur, Aziz berpendapat bahwa tempayan menunjukkan adanya

tatanan dan simbolisasi dalam sistem penguburan pada masa perundagian.

Menurut Prasetyo, dkk. (2004) ditemukan pula tempayan batu di daerah

Sulawesi Tengah yang meliputi wilayah Lembah Napu-Besoa-Bada yang pernah

diteliti oleh Adriani dan Kruyt (1898 dan 1909), Killian (1908), Kaudern (1921

dan 1925), dan Raven (1926) sebagaimana dicatat oleh Kaudern (1938); Haris

Sukendar (1976), Bagyo Prasetyo, dkk. (1995) dan Dwi Yani Yuniawati, dkk.

(2000,2002,2003,2004), ditemukan pula di Donggo (Bima-NTB) yang diteliti oleh

Bagyo Prasetyo (2000).

Menurut Poesponegoro yang mengacu pada D.D Bintarti, tempayan

ditemukan pula di Jambi, Lesungbatu (Sumatra Barat), Pugung Tampak

(Lampung), Lahat (Sumatra Selatan), Bengkulu, Tile-Tile (Selayar, Sulawesi

Selatan), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Buni (Jawa Barat), Plawangan,

Page 7: Sistem Religi pada Masa Perundagian

Bonang Sluke (Jawa Tengah), Melolo, Lambanapu, Kolana, Lewoleba, dan Flores

Timur (Nusa Tenggara Timur).

Menurut Poesponegoro, tempayan yang ditemukan di Melolo ada yang

berisi rangka adapula yang tidak berisi rangka, namun berisi kereweng, kerang,

manik-manik, kulit binatang, dan kulit kerang. Tempayan ini tidak memiliki

hiasan. Pada tempayan hanya diberi slip merah atau hitam. Ditemukan pula

tempayan berpola hias berwarna hitam, tumpal, titik-titik, lingkaran kecil yang

membentuk muka dan garis-garis. Ditemukan pula temuan lain berupa kerang,

moluska, logam, manik-manik, beliung, fragmen besi dan perunggu, tulang ikan,

dan kaca.

Pada Lambanapu, menurut Poesponegoro yang mengacu pada Bintarti,

ditemukan tempayan yang terletak satu kompleks dengan kubur reti yang dibuat

dari batu. Ditemukan pula di dalam tempayan, mayat yang memiliki posisi tegak

dan adapula dalam posisi terbalik. Selain tempayan ditemukan pula periuk, kendi,

buyung, rangka manusia, kerang, karang dan arang. Sedangkan di Plawangan,

Poesponegoro mengungkapkan bahwa ditemukan wadah kubur berupa tempayan,

temuan lain yang terbuat dari tanah liat, logam, batuan, maupun moluska, tulang

binatang, dan manik-manik. Menurut Poesponegoro yang mengacu pada

Verhoeven dan Lie Goan Liong, selain tempayan ditemukan pula moluska,

kereweng baik polos maupun berhias, artefak dari kulit kerang, dan periuk.

Sedangkan di Bengkulu, Poesponegoro yang mengacu pada Miyan,

mengungkapkan bahwa selain tempayan ditemukan pula temuan berupa tulang

manusia, dua buah botol, beliung persegi, dolmen, dan alat serpih. Selain itu,

ditemukan pula tempayan di Leang Buidane. Menurut Poesponegoro yang

mengacu pada Bellwood, temuan selain tempayan yang ditemukan pada Leang

Buidane antara lain tulang manusia dan gerabah.

d. Sarkofagus

Menurut Soejono, sarkofagus adalah wadah kubur batu yang seringkali

ditemukan secara berkelompok, umumnya terdiri dari wadah dan tutup yang

ukurannya sama. Pada sarkofagus berukuran besar ditemukan dua rangka.

Temuan ini memiliki persebaran yang luas di Bali. Menurut Soejono, di Marga

Page 8: Sistem Religi pada Masa Perundagian

Tengah ditemukan lima buah sarkofagus tipe kecil berderet dengan arah utara-

selatan.

Posisi mayat dalam sarkofagus umumnya membujur atau terlipat. Menurut

Soejono, sikap terlipat mengandung maksud memberi sikap pada mayat seakan-

akan dalam keadaan siap untuk lahir kembali di dalam suatu kehidupan baru.

Menurut Soejono yang mengacu pada Kruyt, Wilken, dan Koren, mayat dengan

sikap ini dijumpai pula di Alfuru, Sumba, Aru, Kei, dan Irian Jaya.

Menurut Soejono, penguburan dengan menggunakan sarkofagus

dilengkapi pula dengan bekal kubur. Bekal kubur antara lain berupa benda-benda

perunggu, fragmen-fragmen besi, manik-manik kornalin, gelang perunggu, senjata

dan periuk. Menurut Soejono, pada golongan terkemuka, mungkin saja ada

upacara-upacara pendahuluan sebelum sarkofagus selesai dikerjakan. Setelah

sarkofagus selesai dikerjakan baru dilakukan upacara penutupan. Sarkofagus

ditemukan pula di Pulau Samosir (Sumatra Utara) pernah diteliti oleh Heekeren

(1958), Schnitger (1964) dan Simanjuntak (1982), di Bondowoso (Jawa Timur),

Ksadan Fatubesi (Timor-Timur).

Benda peninggalan lain yang memiliki kaitan erat dengan sistem religi

pada masa perundagian adalah nekara. Menurut Prasetyo, dkk. (2004) yang

mengacu pada Heekeren, nekara digunakan untuk pemujaan misalnya untuk

pemanggilan hujan, hal ini nampak pada nekara Pejeng maupun besar dari Pulau

Roti maupun Kei. Nekara terdiri dari dua jenis yaitu nekara tipe Heger dan

Pejeng. Temuan yang bisa didapat di dalam nekara antara lain manik-manik,

perhiasan dari emas, benda-benda perunggu, benda-benda besi, benda-benda dari

gips, benda-benda dari kayu, benda-benda dari tanah liat, tulang binatang, dan

rangka manusia.

Page 9: Sistem Religi pada Masa Perundagian

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Fadbila Arifin. “Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa

Paleometalik: Kajian atas Data Konteks Kubur”. Amerta: Berkala Arkeologi

no. 15. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995.

Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di

Indonesia. Ed. Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Prasetyo, Bagyo. “Aspek Lingkungan dalam Keletakan Situs Paleometalik Masa

Prasejarah di Indonesia”. Amerta: Berkala Arkeologi no. 15. Jakarta: Pusat

Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995.

Prasetyo, Bagyo, dkk. Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta:

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004.

Prijono, Sudarti. “Persebaran Situs-Situs Religi di Kawasan Kecamatan

Curugbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”. Religi dalam Dinamika

Masyarakat. Banten: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2005.

Soejono, R.P. Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali.

Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008.