Sistem Pertanian Terpadu

36
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara intensif telah diterapkan sejak REPELITA I pada tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi, namun juga menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan. Atas dasar Pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya seperti pada lahan-lahan kering. Perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistemn persawahan. Pada saat teknologi lahan sawah mencapai tahap levelling off, teknologi lahan kering maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas tanaman secara signifikan Sama halnya peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada padi secara monokultur telah mengabaikan potensi pengembangan sumberdaya lainnya terutama di lahan-lahan kering. Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %) adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar

description

integrated farming system

Transcript of Sistem Pertanian Terpadu

Page 1: Sistem Pertanian Terpadu

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada

pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut

dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul

dan pupuk kimia yang secara intensif telah diterapkan sejak REPELITA I pada

tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi, namun juga

menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan. Atas dasar Pertimbangan

mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian Orde

Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkonsentrasinya pengembangan teknologi

pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada

ekosistem lainnya seperti pada lahan-lahan kering.

Perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan

kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi,

perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem

lahan kering (kecuali beberapa komoditas tertentu) menjadi sangat lamban jika

dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistemn persawahan. Pada

saat teknologi lahan sawah mencapai tahap levelling off, teknologi lahan kering

maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas

tanaman secara signifikan Sama halnya peternakan, berbagai terobosan yang

memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang

terfasilitasi. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada padi

secara monokultur telah mengabaikan potensi pengembangan sumberdaya lainnya

terutama di lahan-lahan kering.

Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia

adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %)

adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila

dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan

bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar

Page 2: Sistem Pertanian Terpadu

2

daripada lahan basah/sawah yang hanya 7.7 juta ha, dan separuh areal luasannya

3.24 juta ha berada di Jawa (Minardi, 2009). Survei Pertanian-BPS memberikan

angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara

ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat

(16.5%), perkebunan (15.8%), tegalan (15%), ladang (5.7%), padang rumput

(4%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan

seluas (14%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang

besar untuk dapat dimanfaatkan

Selama ini makna tentang agoekosistem lahan kering tidak berkonotasi

tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau

kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering dalam hal

ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering

dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah

pertanian. Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu

Daerah Aliran Sungai (Upland Agriculture) (Notohadiprawiro, 1989). Dalam

makalah ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah pada konotasi

kedua yaitu wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka

sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula

didalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian

agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah

tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman

perkebunan, sayuran dan peternakan.

1.2 Perumusan Masalah

Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan.

Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan

pendapatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan tenaga kerja. Bahkan

sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian

integral dari pembangunan pertanian. Hal ini berlaku umum, termasuk pula pada

pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.

Page 3: Sistem Pertanian Terpadu

3

Urgensi Peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering

terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan pertanian

agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi

pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah

peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya

tidak langsung adalah kaitan kedepan dan kebelakangnya. Kedua, berkontribusi

pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat

dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan

devisa (mengurangi impor). Keempat, realisasi dan komitmen untuk mewujudkan

keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di luar Pulau

Jawa, karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering

dominan di wilayah tersebut. Keenam, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim melalui pengembangan sistem pertanian terpadu berbasis prinsip

konservasi dan keberlanjutan (Kadekoh, 2010).

Melihat peranan lahan kering sangat penting dalam menunjang kegiatan

pertanian maka sangat penting pula untuk menelaah yang terkait dengan

pengembangannya secara ramah lingkungan, menata pengembangan sumberdaya

yang berkelanjutan, kesejahteraan petani serta penciptaan lapangan kerja.

Struktur pertanian lahan kering ini umumnya didominasi oleh usaha pertanian

yang berskala kecil oleh karenanya sangat membutuhkan sentuhan teknologi

tepat guna spesifik lokasi agar terjadi peningkatan nilai tambah.

Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun

dataran tinggi telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana

terdapat komponen pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta

penanganan limbahnya walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat

tradisional. Pada aspek pemeliharaan tanaman, komponen produksi masih sering

dilaporkan rendah, peningkatan bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang

berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta limbah ternak dan tanaman sering

tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan permasalahan di atas

melatarbelakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan yang

berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih

Page 4: Sistem Pertanian Terpadu

4

alamiah agar mampu diberdayakan secara berkelanjutan (sustainable

development) dengan mengedepankan aspek pengembangan pertanian berjangka

panjang.

Konsep pertanian terpadu mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan

alamiah yang menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak

negatif, memelihara keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan

pemanfaatan/mengembalikan bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan

rasa percaya diri petani terhadap profesinya bahwa pertanian adalah sumber

pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan (Kariada, et. al., 2004).

1.3. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menyajikan :

1. Analisis pemanfaatan potensi agroekosistem lahan kering.

2. Konsep pertanian terpadu pada lahan kering.

3. Strategi pengembangan sistem pertanian terpadu yang ramah lingkungan

dengan menekankan pada optimalisasi pemanfataan potensi sumberdaya

pertanian lokal pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

Page 5: Sistem Pertanian Terpadu

5

II. ANALISIS PEMANFAATAN POTENSI DARI

AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI INDONESIA

2.1 Agroekosistem Lahan Kering

Penggunaan istilah lahan kering di Indonesia belum tersepakati secara

aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland,

dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Sementara menurut

Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian

bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian

hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan

yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan

sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat perluasan areal

(2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air

pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran

rendah, dan lahan kering dataran tinggi.

Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia

dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak

dijumpai diwilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan (2) lahan kering

beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Wilayah

pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia berdasarkan dua kategori

tersebut diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.

2.2. Pemanfaatan Potensi Lahan Kering

Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan

dapat dikembangkan padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele dan

palawija lainnya. Ketersediaan lahan ini cukup luas terutama di luar P. Jawa.

Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan

(Puslitbangkan) ada 7 provinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman

lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha),

Sumatera Selatan (1 437 075 ha) Lampung (802 341 ha), Jawa Barat (184 160 ha),

Page 6: Sistem Pertanian Terpadu

6

Banten (36 631 ha), NTT (550 075 ha) dan Kalimantan Barat (2 211 632 ha)

(Direktorat Perluasan Areal, 2009). Untuk pengembangan komoditas

perkebunan, dapat dinyatakan bahwa hampir semua komoditas perkebunan yang

produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usahatani lahan kering.

Kontribusinya terhadap devisa dan pendapatan petani serta dalam penyerapan

tenaga kerja sangat berarti bagi pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa

tahun terakhir ini.

Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan

cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka.

Kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha

peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas masih akan

terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per

kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada

program dan aksi nyata yang revolusioner.

Ternak ruminasia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-

landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak

dari lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada

menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian.

Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara

usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak dibawah

pohon kelapa (coco-beaf), usaha ternak dibawah kebun kelapa sawit (palm-oil-

beef), dan kombinasi tanamn pangan dengan ternak (Crops Livestock System-

CLS). Usaha ternak ruminansia dengan sistem landbase dilakukan pada padang

penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan IV yang banyak terdapat di

KTI. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti NTB, NTT dan

Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan

kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.

Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem

usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi

petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al.,

2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are,

Page 7: Sistem Pertanian Terpadu

7

pendapatan rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi

usahatani di lahan kering mencapai Rp 3.24 juta. Kontribusi pendapatan dari

usahatani tumpangsari kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31.4%, ternak sapi

25.5 %, kelapa dan kopi 19.9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis

pada MK 17% dan usahatani padi pada MK 6.2%. Terlihat bahwa peran sapi

cukup tinggi.

Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan

ruminasia dilahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat

ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat

menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7.5 ton per tahun yang

mengandung sekitar 15 kg N, 15 kh P2O5 dan 20kg K2O (Hasnudi dan Saleh,

2004). Selain meningkatkan kandungan hara, kotoran ternak mampu memperbaiki

sifat fisik dan biologi tanah. Pengembangan peternakan dilahan kering

membutuhkan hijauan pakan. Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan

(gramineae dan leguminosa) dan ada pepohonan. Tanaman rerumputan dapat

ditanam di lahan-lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi dan menyuburkan

tanah melalui rhizobium yang terdapat pada bintil akar.

Page 8: Sistem Pertanian Terpadu

8

III. KONSEP PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN KERING

3.1 Konsep Pertanian Terpadu

Sistem pertanian lahan kering pada umumnya belum dipahami secara

mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala

lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta keterbatasan sentuhan

teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem

usahatani yang ada masih terbatas. Kerusakan fungsi lahan sebagai media tumbuh,

seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang minim, terbatasnya

kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Sementara itu pihak

petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marjinal ditandai dengan

pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas serta

terbatasnya pelaksanaan konservasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin et al.,

dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah masalah klasik di kalangan

petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal, terencana dan

berkelanjutan.

Teknologi sepadan diperlukan untuk menciptakan prospek cerah, khususnya

bagi lahan kering baik bagi lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial

ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat adalah teknologi yang berasaskan

intergrated farming system (pertanian terpadu) yaitu suatu sistem pertanian yang

efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi

sumberdaya lokal secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian

berkelanjutan. Pengertian usahatani integrasi menurut Suwandi dalam Kariada

(2004) adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal dan

terpadu lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usahatani pangan,

palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun. Sedangkan usahatani

tidak terintegrasi hanya dengan satu komoditas selama setahun. Sistem Pertanian

terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan,

perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu

lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan

Page 9: Sistem Pertanian Terpadu

9

produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta

pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, mene-

ngah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi

dengan sistem pertanian ini.

Solusi yang dapat diberikan kepada petani untuk mengatasi kelemahan

revolusi hijau menurut Artaji (2011) adalah pengelolaan usahatani dengan model

intergrated farming system yang mencakup:

(1) Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu

(PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll.

(2) Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu,

yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang

dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam

jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal.

(3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati,

perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan

serangan hama/penyakit.

(4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu

(PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih

lainnya dalam sistem vertigasi.

(5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu

Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada

hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan.

(6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu

Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus

biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan

pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste

management).

Page 10: Sistem Pertanian Terpadu

10

Rural Industries Research and Development Corporation (RIRDC) (2002)

menyebut sistem usahatani integrasi dengan bio-cyclo farming atau integrated

biosystems yang didefinisikan sebagai sistem yang menghubungkan beberapa

aktivitas produksi pangan yang berbeda, dengan aktivitas lain seperti pengolahan

limbah dan pembuatan bahan bakar. Integrated biosystems adalah sistem

pertanian dimana produksi dan konsumsi berlangsung pada suatu siklus tertutup,

output dari suatu operasi menjadi input untuk yang lainnya secara

berkesinambungan. Sistem ini memungkinkan adanya hubungan fungsional antara

aktivitas produksi pangan yang berbeda, seperti pertanian, perikanan, dan industri

pangan, dengan aktivitas lainnya seperti pengelolaan limbah, penggunaan air dan

degenerasi bahan bakar. Pangan, pupuk, pakan ternak dan bahan bakar dapat

diproduksi dengan input atau sumberdaya minimum, seperti yang terlihat pada

bagan aliran bahan dalam sistem pertanian terpadu berikut (Gambar 1).

Gambar 1. Aliran Bahan Dalam Sistem Pertanian Terpadu

Salah satu bentuk pertanian terpadu yang telah dilakukan pada

agroekosistem lahan kering di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT)

atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-ternak-ikan (ITTI).

Semua integrasi tersebut termasuk dalam model pertanian terpadu dalam satu

Page 11: Sistem Pertanian Terpadu

11

siklus biologi (Integrated Bio Cycle Farming) karena tidak ada limbah terbuang,

semua bermanfaat. Tanaman dapat berupa tanaman pangan atau tanaman

perkebunan yang kemudian diintegrasikan dengan ternak sapi, domba, kambing,

dan berbagai jenis ikan.

Memadukan tanaman, ternak dan ikan pada sistem Integrated Bio Cycle

Farming mempunyai kelebihan ditinjau dari ekologi dan ekonomi. Ditinjau dari

ekologi Sistem pertanian terpadu bersifat produktif dan menguntungkan karena

melaksanakan daur ulang secara intensif. Limbah dari satu kegiatan dapat

dimanfaatkan sebagai sumber hara kegiatan yang lain. Selain itu ikan merupakan

sumber protein hewani untuk rumah tangga petani (Sutanto 2002). Limbah

pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan

kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri

terkonsep dengan jelas. Sistem ini secara kondusif telah melaksanakan konservasi

sumberdaya alam, karena mendorong stabilitas habitat dan keanekaragaman

kehidupan alami di lingkungan pertanian dan sekitarnya. Sistem terpadu ini

mengoptimumkan penggunaan sumberdaya yang berasal dari usahatani itu sendiri

maupun yang ada di sekitarnya, dan mendorong konservasi habitat daripada

merusaknya.

Adapun keuntungan atau manfaat ekonomi atas penyelenggaraan

usahatani terpadu bagi petani dan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan kebutuhan pangan dan gizi yang bervariasi bagi keluarga petani.

2. Memberikan pendapatan yang tidak tergantung kepada musim. Pendapatan itu

dapat diperoleh secara bersinambung dari waktu ke waktu dengan jarak yang

tidak begitu lama. Hasil pertanian dan perikanan diharapkan mampu

mencukupi kehidupan jangka pendek, sedangkan hasil peternakan dan

perkebunan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan jangka menengah Selain itu

usahatani tersebut dapat mengurangi resiko kegagalan hasil.

3. Mengefektifkan tenaga kerja keluarga. Dengan usahatani integrasi

pengangguran tak kentara dapat dihindarkan dan produktivitas tenaga kerja

keluarga dapat ditingkatkan.

4. Usahatani integrasi juga dapat meningkatkan produktivitas penggunaan lahan

dan modal, serta menjaga kelestarian alam. Dengan usahatani integrasi

Page 12: Sistem Pertanian Terpadu

12

kesuburan lahan akan dapat dipertahankan, berkat tersedianya pupuk kandang

yang dihasilkan hewan ternak.

Konsep terapan sistem Integrated Bio Cycle Farming akan menghasilkan

langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan dan energi

secara regional maupun nasional yang tercakup dalam F4 (Artaji, 2011), yaitu :

(1) F1 (FOOD); Pangan manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan,

jamur, sayuran, dll.), produk peternakan (daging, susu, telor, dll.), produk

budi-daya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurame, dll.) dan hasil perkebunan

(salak, kayumanis, sirsak, dll.)

(2) F2 (FEED); Pakan ternak termasuk di dalamnya ternak ruminansia (sapi,

kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung

dara, dll.), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi).

Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk

sampingan bekatul, sekam padi, jerami dan kawul, semua produk sampingan

apabila diproses lanjut masih mempunyai kegunaan dan nilai ekonomis yang

layak kelola. Jerami dan malai kosong (kawul) dapat disimpan sebagai hay

(bahan pakan kering) untuk ternak ruminansia atau dibuat silage (makanan

hijau terfermentasi), sedangkan bekatul sudah tidak asing lagi sebagai bahan

pencampur pakan ternak (ruminansia, unggas dan ikan). Pakan ternak ini

berupa pakan hijauan dari tanaman pagar, azolla, dan eceng gondok.

(3) F3 (FUEL); Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi

panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas

untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil. Hasil

akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos.

Pemakaian tenaga langsung lembu untuk penarik pedati, kerbau untuk meng-

olah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentuk fuel/energi.

Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun

gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang

dapat diimplementasikan sebagai pupuk organic, sementara apabila energi

Page 13: Sistem Pertanian Terpadu

13

sekam padi digunakan untuk gas diesel engine akan didapatkan lagi hasil

sampingan berupa asap cair (cuka kayu) yang dapat digunakan untuk

pengewet makanan atau campuran pestisida organik.

(4) F4 (FERTILIZER); Sisa produk pertanian melalui proses decomposer maupun

pirolisis akan menghasilkan organic fertilizer dengan berbagai kandungan

unsur hara dan C-organik yang relative tinggi. Bio/organic fertilizer bukan

hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (soil conditioner),

yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah

dengan pupuk buatan (anorganik fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan

dihasil-kan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis

gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak

berbahaya (bio preservative).

Pola CLS antara tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak

dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk

pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian.

Dalam sistem ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman

rumput dan ternak yang merumput diatasnya sebagai komponen kedua. Dari

berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan

dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa,

produksi kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta

meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan

mempermudah pengumpulan hasil perkebunan. (Moningka et al ., 1993 dalam

Kariada, 2004) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini

antara lain : (1) Tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga

dapat mengurangi stress karena panas; (2) Meningkatkan kesuburan

tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam tanah; (3)

Meningkatkan kualitas pakan ternak dan membatasi pertumbuhan

gulma; (4) Mengurangi penggunaan herbisida; (5) Meningkatkan hasil

tanaman perkebunan dan (6) Meningkatkan keuntungan ekonomis

termasuk hasil ternaknya

Page 14: Sistem Pertanian Terpadu

14

IV. STRATEGI DAN LANGKAH OPERASIONAL

4.1 Pengembangan Konsep Integrasi Ternak dan Tanaman (ITT)

Pengembangan pertanian berwawasan lingkungan di pedesaan mempunyai

sasaran untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat,

pemberdayaan, kapasitas, kemandirian dan akses masyarakat pertanian dalam

pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah yang diperlukan adalah melalui

peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, efisiensi pemanfaatan input serta

pengembangan potensi sumberdaya lokal. Indikator tercapainya sasaran

pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan antara lain

dicirikan oleh:

1. Petani mampu akses langsung dengan teknologi spesifik lokasi yang

diintroduksikan oleh berbagai pihak, baik peneliti maupun instansi lainnya.

2. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok tani mandiri yang selalu

menyuarakan konsep ramah lingkungan.

3. Aktivitas para petani/kelompok tani berkelanjutan walaupun dengan binaan

yang sangat minimal.

4. Para petani mengerti dan menyadari untuk berproduksi sehat dan berkualitas

dengan standard yang telah ditetapkan untuk menjamin daya saing yang akan

berhadapan dengan perdagangan bebas.

5. Para petani mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan input dan peningkatan

produktivitas yang ramah lingkungan melalui kreativitas kelompok tani.

6. Meningkatnya produktivitas lahan serta menurunnya intensitas serangan OPT

dan penyakit.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam suatu zona agroekologi lahan

kering tertentu dapat diciptakan suatu aktivitas terpadu yang mampu menciptakan

suatu sistem holistic yang saling memberikan peningkatan nilai tambah. Pada

lahan-lahan kering secara umum para petani telah memiliki ternak baik ternak

sapi, kambing, ayam maupun babi serta mengelola usaha pertanian walaupun

dalam skala kecil. Dalam kegiatan yang bersifat holistik maka ada langkah-

Page 15: Sistem Pertanian Terpadu

15

langkah operasional introduksi teknologi yang mampu meningkatkan

produktivitas, efisiensi dan partisipasi para petani. Dalam sistem ini terdapat

beberapa aspek penting dalam pelaksanaannya yaitu : (a) meningkatkan

produktivitas pada aspek peternakan, (b) meningkatkan produktivitas pada aspek

tanaman, (c) meningkatkan efisiensi inputan/saprodi, (d) meningkatkan daya

dukung tanah dan air, (e) serta secara simultan membenahi teknologi introduksi

melalui berbagai kajian-kajian kecil yang mampu mendukung aktivitas integrasi.

Beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan meliputi; (1) peningkatan

produktivitas Ternak (Sapi); (2) melakukan pengolahan limbah ternak dan

tanaman menjadi pupuk organik; (3) melakukan introduksi pupuk organik dalam

meningkatkan produktivitas tanaman; (4) dan melakukan pemberdayaan

sumberdaya air melalui pembangunan bak-bak penampung air hujan (embung)

4.1.1 Meningkatkan Produktivitas Ternak (Sapi)

Dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi maka pemilihan bibit sapi

menjadi prioritas terutama untuk sapi penggemukan perlu memilih bibit yang

sudah besar dengan berat awal rata-rata 250 s/d 300 kg. Bibit sapi yang besar

akan lebih cepat peningkatan bobotnya bila dibandingkan dengan sapi yang lebih

kecil. Beberapa hasil pengkajian introduksi teknologi bioplus (bio-cas 5

cc/ekor/hari, HMT 10% dari bobot sapi serta pakan penguat dedak 2 kg/ekor/hari)

menunjukkan bahwa rata-rata PBB sapi yang berat awalnya 300 kg mampu

meningkat mencapai rata-rata 0.640 kg/ekor/hari pada sapi Bali (Kariada, et. al.,

2004), sementara pada sapi Ongole sebesar 0,90 kg/hari/ekor (Herry, et al.; 1996).

Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian

pakan penguat pada sapi ternyata mampu menghasilkan peningkatan bobot secara

nyata. Parwati et al. (1999), menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat

atau konsentrat lebih banyak mengandung karbohidrat sederhana dan lebih sedikit

kandungan serat kasarnya sehingga penambahan konsentrat akan meningkatkan

nilai cerna keseluruhan pakan (Blakely and Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi

pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas mengandung mikroba-

mikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks menjadi

Page 16: Sistem Pertanian Terpadu

16

senyawa–senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh saluran

pencernaan sapi (Guntoro et al., 2001). Probiotik merupakan kumpulan

mikroorganisme yang mampu menguraikan bahan-bahan organik komplek pada

pakan menjadi bahan organik sederhana sehingga mempermudah diserap oleh

saluran pencernaan kedalam tubuh sebagai bahan sari-sari makanan untuk

membangun tubuh dengan sempurna.

Gambar 2. Peternakan Sapi pada Sistem Integrated Bio Cycle Farming

Selain memperhatikan kondisi pakan ternak (HMT segar, HMT olahan,

pakan penguat dan probiotik), maka faktor kesehatan ternak juga memegang

peranan yang sangat penting dalam peningkatan bobot sapi. Pada umumnya

pemeliharaan ternak secara tradisional belum memperhatikan tentang kesehatan

hewan. Kesehatan hewan baru mendapatkan perhatian saat hewan tersebut sudah

sakit, dan hal ini biasanya terlambat untuk mendapatkan penanganan, dan hal ini

akan berakibat fatal bagi peternak.

4.1.2 Pengolahan Limbah Ternak dan Tanaman menjadi Pupuk Organik

Pada umumnya para petani di pedesaan meliliki ternak sapi berkisar 2-3

ekor/KK. Kotoran sapi yang bercampur sisa-sisa pakan ataupun limbah organik

lainnya dapat dijadikan pupuk organik dengan prosesor cacing untuk pembuatan

pupuk kascing. Dengan pembuatan pupuk kascing ini di tingkat petani dan

Page 17: Sistem Pertanian Terpadu

17

merupakan kegiatan rutin maka para petani akan selalu memiliki stok pupuk

organik sehingga tidak pernah tergantung pada gejolak harga pupuk an-organik di

tingkat pasar. Hal ini merupakan suatu kekuatan selain menekan biaya input

sehingga terjadi efisiensi tinggi juga secara simultan dapat menekan pemanfaatan

pupuk anorganik.

Pada proses pembuatan pupuk organik kascing diperlukan beberapa

langkah mulai dari persiapan hingga pelaksanaan dan panen (Gambar 2). Dalam

pelaksanaannya diperlukan : (a) bak prosesing beratap, (b) cacing, (c) bahan-

bahan dasar yang diproses yaitu limbah ternak sapi dan limbah tanaman/ sayuran,

sebagai sumber makanan cacing, (d) sumber air untuk menjaga kelembaban, (e)

Menjaga agar tidak dimakan semut. Proses ini sangat sederhana dan dapat

dilakukan dengan baik oleh para petani.

Dalam tahap awal bahan-bahan mentah seperti limbah ternak dan limbah

tanaman dimasukkan ke dalam bak penampungan dengan luas bangunan yang

bervariasi sesuai banyaknya limbah ternak. Untuk kepemilikan sapi 3 ekor sapi

dapat dibuat bak penampungan yang beratap dengan luas 3 x 4 m dan diberi

dinding batako 2 susun agar kompos dapat dikumpulkan untuk diproses hingga

panen selama sekitar 30 hari. Adapun proses tersebut seperti terlihat pada

Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Proses Pembuatan Pupuk Kascing.

Limbah ternak dan tanaman

Diberikan cacing

tanah

Pupuk kascing siap

digunakan untuk

tanaman

Page 18: Sistem Pertanian Terpadu

18

Komposisi nutrisi pupuk organic kascing dapat diketahui dengan

melakukan analisis kimia, seperti hasil analisis kimia pupuk kascing dari daerah

Tabanan berikut (Tabel 1) (Kariada et al., 2004)

Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dan pupuk kompos di dusun Pemuteran

Candikuning Baturiti Tabanan

No. Uraian Analisis kascing

1 PH 9.45 (A)

2. C-org (%) 17.64 (ST)

3. N-Total (%) 0.70 (T)

4. P Tersedia (ppm) 624.25 (ST)

5. K Tersedia (ppm) 11.842.40 (ST)

6. Kadar Air (%) 13.18 (KU) Keterangan :

Tekstur : pasir berlempung

A = alkalis, T = tinggi, ST = sangat tinggi, KU = kering udara, R = rendah, S = sedang,

AM = agak masam.

Data di atas menunjukkan bahwa kadar nutrient pupuk organic kascing

adalah sangat baik apabila diaplikan ke dalam tanah akan mampu meningkatkan

pH tanah serta mampu melepaskan beberapa unsure-unsur nutrisi yang terjerap,

misalnya Al-P. Sementara menurut Kartini (1999) kandungan unsure hara pupuk

kascing adalah N (1.99%), P (3.92%), K (0.69 %), S (0.92%), Cu (0.045 %) dan

Fe (0.081 %) serta mengandung zat tumbuh (Auksin) yang mampu merangsang

pertumbuhan akar dengan baik. Dengan kondisi seperti maka pupuk kascing

sangat baik diaplikasikan pada tanam-tanaman pangan maupun perkebunan.

4.1.3 Introduksi Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktivitas

Tanaman

Beberapa kajian introduksi pupuk organic kascing pada tanaman telah dilaporkan

mampu meningkatkan hasil secara nyata. Data beberapa produksi tanaman

sayuran yang dikompilasi sejak tahun 2000 menunjukkan sebagai berikut (Tabel

2) (Kariada et. al. 2000)

Page 19: Sistem Pertanian Terpadu

19

Tabel 2. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Jumlah dan Lebar Daun, Diameter

Batang dan Bobot Tanaman Sawi pada Umur 16 HST.

Cara

Pemberian

Perlakuan *)

Tinggi

tanaman

(cm)

Jumlah

daun

(helai)

Lebar

daun

(cm)

Diameter

batang

(cm)

Bobot

tanaman

(gram)

Produksi

(kg/are)

P0 =cara petani 28.23 6.34 9.47 0.64 57.26 128.26 a

P1 = Fine

compost 37.63 7.34 12.59 0.84 105.16 235.11 d

P2 = Kastcing 44.41 9.34 14.81 1.12 125.36 280.88 e

P3 = ½ P0 + ½

P1 31.34 6.38 10.36 0.63 80.42 170.14 b

P4 = ½ P0 + ½

P2 33.20 7.56 11.10 0.82 93.78 210.07 c

Tingginya hasil yang ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kascing

diakibatkan oleh komposisi unsur hara yang dikandung oleh pupuk kascing cukup

baik (Tabel 1). Unsur hara yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan

tanaman sayuran yang membutuhkan kation-kation makro maupun mikro seperti

di atas. Komposisi unsur yang dikandungnya pun sangat berimbang sehingga

ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase generatif akan

terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan akar,

batang dan daun (Soepardi dalam Kariada et. al. 2000). Sementara pada

pemberian pupuk anorganik (NPK) justru memperlambat ketersediaan unsur hara

akibat dari sifat fisik tanah di lokasi lahan kering tersebut teksturnya berpasir yang

berarti aerasinya sangat baik. Pupuk kimia Nitrogen akan mudah mengalami

pencucian, demikian pula P dan K akan menjadi tidak berimbang karena faktor N

yang berkurang

Beberapa data pengkajian yang dilakukan di tempat lain seperti di lahan

kering daerah pinggiran perkotaan tentang pengkajian pupuk organic kascing

terhadap sifat fisik tanah dengan komoditi kacang panjang menunjukkan

terjadinya peningkatan pH tanah, C-organik dan produksi (Tabel 3) (Kariada et

al., 2004).

Page 20: Sistem Pertanian Terpadu

20

Tabel 3. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pupuk Organik Kascing terhadap

pH Tanah, C-Org. Tanah dan Produksi Kacang Panjang

Dibandingkan dengan Perlakuan NPK

Dosis (kg/Ha) pH Tanah C-Organik Tanah

(%) Produksi (T/Ha)

Pupuk Kascing

0

2500

5000

7500

Pupuk NPK

100

6.01

6.20

6.33

6.51

6.02

1.20

1.29

1.42

1.67

1.14

2.42

4.32

4.76

4.73

2.45

Dari data tersebut di atas ternyata perlakuan pupuk organik kascing

memberikan perbaikan terhadap sifat fisik tanah dimana pH dan C-Organik tanah

tertinggi diperoleh pada dosis 7.500 kg/ha masing-masing 6.51 dan 1.67%

sementara bila dibandingkan dengan perlakuan pupuk kimiawi dengan dosis

anjuran hanya mampu menghasilkan pH 6.02 dan C-org tanah 1.14%. Hal ini

menunjukkan bahwa pupuk organic kascing mampu memperbaiki sifat fisik tanah.

Pengaruh perlakuan pupuk organik kascing dan kombinasinya dengan

NPK pada tanaman cabai merah menunjukkan bahwa jumlah buah yang

dihasilkan oleh perlakuan kascing menunjukkan jumlah terbanyak (Tabel 4)

(Kariada, et. al. 2000). Hal ini diakibatkan oleh selain pupuk kascing mampu

memperbaiki struktur tanah, pupuk ini juga ditengarai mengandung zat tumbuh

auksin, giberelin dan sitokinin (Anonim, 1999).

Tabel 4. Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman di Desa Tonja, Kota

Denpasar

Perlakuan Rata-rata Jumlah Buah Cabai per

Tanaman (buah)

P0 (Kontrol) 91.20

P1 (Fine Compost) 128.90

P2 (Kascing) 140.56

P3 (1/2 P0 + 1/2 P1) 114.00

P3 (1/2 P0 + 1/2 P2) 117.10

Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di

daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Kascing

Page 21: Sistem Pertanian Terpadu

21

dengan dosis 5 ton/Ha memberikan rata-rata hasil yang terbaik untuk seluruh

parameter pengukuran. Produksi yang dicapai mencapai 15.07 ton/Ha (Tabel 5)

(Kariada, 2003).

Tabel 5. Rata-rata Tinggi dan Jumlah Umbi Tanaman Bawang Merah Var.

Philippina.

Perlakuan Rata-rata tinggi

(cm)

Jumlah Umbi per

rumpun Produksi (kg/Ha)

P1 (Cara petani) 33.45 9.15 10.69

P2. (NPK 100-

50-50)

34.75 10.35 10.80

P3 (Pukan babi 5

t/Ha)

35.50 10.65 11.28

P4 (Kascing 5

t/Ha)

39.35 10.50 15.07

4.1.4 Pemberdayaan Sumberdaya Air Melalui Pembangunan Bak-bak

Penampung Air Hujan (Embung)

Dengan mengambil contoh pada pengembangan teknologi integrasi pada

lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti Tabanan Bali,

maka diperoleh data-data monografi wilayah yang menunjukkan bahwa terjadi

musim kemarau selama selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember.

Dampak yang ditimbulkannya adalah banyak petani menjual ternaknya pada

bulan-bulan tersebut walaupun belum siap dijual dengan alasan kesulitan pakan

baik yang bersumber dari rumput-rumputan (HMT) maupun dari limbah sayuran

serta tidak melakukan budidaya sayuran. Untuk mengantisipasi kesulitan air, para

petani menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk kebutuhan

sapi, mengoptimalkan hijauan maupun sayuran yang berasal dari limpasan curah

hujan. Tabel 6, Gambar 4 dan 5 berikut menunjukkan keadaan curah hujan di

wilayah tersebut.

Page 22: Sistem Pertanian Terpadu

22

1920 20

16

11 11

8 7 8

11

1617

0

5

10

15

20

25

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

JHH/bln

490

558525

380

166

82 7051

84

197

390

297

0

100

200

300

400

500

600

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

mm/bln

Tabel 6. Rata-rata curah hujan per bulan di Baturiti Tabanan selama 5

tahun (1998 -2002)

Tahun Total curah hujan (mm)

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Total

1998 378 580 483 318 153 152 161 57 345 222 480 399 3728

1999 316 402 441 563 103 65,9 109 65,5 11,2 495 661 369 3602,

4

2000 993 851 982 - 411 83,8 34,2 94,9 10,2 178 630 107 4374,

9

2001 613 218 377 344 111 91,9 21 10,1 13,7 88,3 4 101 1993,

1

2002 151 738 340 293 54.6 15,1 23,1 25,8 42,1 - 176 508 2366,

9

Rata-

rata

490 558 525 380 166 82 70 51 84 197 390 297 3213

Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7.

Nampak bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran

Gambar 4. Rata-rata Curah Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan

Gambar 5. Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamtan Baturiti Tabanan

Page 23: Sistem Pertanian Terpadu

23

serta memelihara ternak sapi potong pada bulan-bulan kering tersebut. Hal ini

mengindikasikan pentingnya menyimpan air dalam embung.

Tabel 7. Rata-rata hari hujan per bulan di Baturiti selama 5 tahun (1998 -

2002).

Tahun Total hari hujan (hari/bulan)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total

1998 16 20 20 15 11 13 11 8 11 16 18 11 170

1999 19 20 20 20 6 8 9 8 6 14 18 22 170

2000 18 21 23 - 19 12 6 5 2 10 21 12 149

2001 20 26 16 12 13 18 4 7 13 14 7 19 169

2002 24 15 19 18 8 5 9 6 9 0 17 21 151

Rata-

rata 19 20 20 16 11 11 8 7 8 11 16 17 162

Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa

penampungan air limpasan hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan

tanaman hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya penampuangan air yang

dibuat. Menurut hasil penelitian pemanfaatan embung yang dilakukan oleh

Suprapto, et al. (2000) di Desa Patas Buleleng menunjukkan terjadinya

peningkatan aktivitas usahatani di musim kemarau dengan indeks penanaman

yang meningkat pada tanaman-tanaman jagung, sayuran, padi gogo, kacang tanah

dan lain-lainnya yang berkisar 0.25 – 0.30 ha per petani dan pendapatan petani

meningkat sekitar 11.9%. Oleh karena itu air yang ditampung dalam embung

akan memberikan nilai tambah yang cukup baik.

Embung memiliki peran penting karena berfungsi sebagai depot air yang

bisa dimanfaatkan pada saat tanaman membutuhkan air, selain juga bermanfaat

untuk ternak dan kebutuhan sehari-hari. Melihat besarnya manfaat embung maka

pengembangan teknologi embung pada daerah-daerah lahan kering di Baturiti

sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah masing-masing.

Berdasarkan potensi seperti ini maka upaya-upaya dalam membangun embung

permanen dalam skala rumah tangga akan mampu digunakan lebih baik untuk

kebutuhan ternak, prosesing pupuk organik kascing maupun untuk tanaman

bernilai tambah tinggi seperti kentang, cabai, bawang dan lainnya (Gambar 6).

Page 24: Sistem Pertanian Terpadu

24

Gambar 6. Embung sebagai Penampungan air (Model Embung Permanent).

Dengan introduksi embung permanen maka intensitas tanam sayuran dapat

dilakukan secara berlanjut pada saat musim kemarau tiba. Pembangunan embung-

embung penyimpan air skala rumah tangga adalah strategis karena tidak

membutuhkan biaya besar dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan daya dukung lahan dalam kegiatan usahatani sehingga akan dapat

meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja dan pendapatan petani. Beberapa

tulisan tentang pentingnya peran embung sebagai bak penampung air dapat

dilaporkan seperti pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Pemanfaatan Embung untuk Tujuan Pertanian di beberapa Daerah

Sasaran/Topik Lokasi Kepentingan Referensi

Lahan kering

dataran rendah

Grokgak

Buleleng Bali

SUT terpadu :

konservasi tanah dan

air, tanaman (pola

tanam), ternak.

Suprapto, et

al., 2000,2001

Lahan kering

dataran tinggi

Baturiti Tabanan

Bali

SUT terpadu :

konservasi tanah dan

air, tanaman, ternak

Kariada, et al.,

2002

Lahan sawah tadah

hujan

Pati, Cilacap

Rembang Jateng

Budidaya tanaman

pangan (pola tanam)

Mulyadi dan

Suprapto, 2000

Embung : kolam

penampung air

serbaguna

- Diseminasi teknologi

embung

Syamsiah, et

al., 1994

Embung : sumber

air lahan kering

- Diseminasi teknologi

embung

Retno., 1994

Cubang : rumah

penampung air

Kintamani,

Bangli, Bali

Integrasi tanaman dan

ternak

Dresta, 2003.

Page 25: Sistem Pertanian Terpadu

25

Dengan kondisi seperti di atas, maka dalam pengembangan pertanian

lahan kering dibutuhkan adanya konsep integrasi ternak sapi potong dan sayuran

serta aspek konservasi sumberdaya air dan tanah melalui penanaman tanaman

pakan ternak sehingga sekaligus sebagai pelindung tanah dan sumber HMT ternak

(Gambar 7).

Gambar 7. Konservasi Lahan Menggunakan Penanaman Rumput Gajah

pada Setiap Galengan Lahan.

4.2 Pengembangan Konsep Integrasi Tanaman, Ternak dan Ikan (ITTI)

Dalam makalah ini, makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah

wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem

usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula di

dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem

lahan kering. Salah satu konsep penerapan pertanian terpadu yang dapat

meningkatkan pendapatan usahatani sawah irigasi adalah konsep integrasi

tanaman padi, perikanan dan peternakan (integrasi Padi, Ikan, Itik, Azolla dan

Sapi), integrasi ini disamping mendatangkan pendapatan sampingan,

penggabungan usaha tani terpadu yang berpijak pada pemanfaatan hubungan

saling menguntungan antara satu sama lain ini (simbiosis mutualisme), juga

memberikan dampak lingkungan yang positif bagi pertanian berkelanjutan.

Page 26: Sistem Pertanian Terpadu

26

Bentuk integrasi tanaman padi, ikan, itik, azolla dan sapi baru bisa

dilaksanakan pada sawah yang airnya lancar. Ketersediaan air yang cukup lancar

tersedia untuk mengairi usahatani lahan sawah irigasi diagroekosistem lahan

kering ini adalah syarat mutlak bisa dilakukannya usahatani terpadu ITTI. Sistem

pengelolaan dengan mengintegrasikan tanaman padi, itik, ikan, azolla dan sapi

diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan pendapatan

petani dari hasil samping pemeliharaan sapi, itik, dan ikan, menekan penggunaan

pupuk anorganik dan pestisida anorganik, menyediakan pakan sapi dari limbah

pertanian (jerami padi), menyediakan pakan ikan dan itik dari azolla,

menyediakan pupuk organik dari limbah sapi dan biogas untuk energi alternatif

bagi petani.

Penggabungan beberapa jenis komoditas dalam ekosistem sawah irigasi

yang memiliki hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ini tidak

hanya memberikan keuntungan pada ekosistem itu sendiri, namun juga

keuntungan bagi petani yang mengusahakannya, yaitu : dapat meningkatkan

pendapatan dan pemenuhan karbohidrat serta protein hewani. Dengan

mengusahakan padi, sekaligus ikan, azolla, bebek dan itik ini tentu saja

memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan bila kita hanya

mengusahakan satu komoditas saja.

Pengusahaan tanaman padi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan semata namun juga untuk memenuhi kebutuhan pangan sebagai

sumber karbohidrat. Sedangkan adanya ikan dan bebek ini secara langsung

maupun tidak langsung akan menjadi sumber protein hewani.

Karena dengan adanya kotoran yang berasal dari bebek, sapi serta ikan menjadi

pupuk organik yang selain dibutuhkan tanaman padi, juga dapat memperbaiki

sifat fisik maupun kimia tanahnya. Kotoran yang dihasilkan oleh bebek maupun

sapi dapat dimanfaatkan sebagai media makanan untuk menumbuhkan

mikroorganisme yang menjadi makanan alami ikan. Sedangkan perilaku bebek

dan ikan yang suka mengaduk-aduk tanah dalam mencari makanan dapat

menyebabkan struktur tanah sawah menjadi lebih baik.

Page 27: Sistem Pertanian Terpadu

27

Tidak semua lokasi bisa menerapkan usaha integrasi ini karena selain

memerlukan penanganan lebih intensif juga harus memenuhi beberapa kondisi

tertentu. Karena dalam penanaman padi ini juga mengikut sertakan ternak ikan,

maka sistem penanamannya pun harus memberikan keleluasan bagi ikan maupun

pertumbuhan azolla itu sendiri. Jadi, dalam hal ini budidaya minapadi-azolla

sangat dianjurkan menggunakan cara tanam sistem legowo. Teknologi legowo

merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak anam antar rumpun dan

antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar

jarak antar barisan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir

dari pertanaman yang memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir (border

effect) seperti yang terlihat pada Gambar 8 (Anonim, 2010).

Gambar 8. Teknologi Legowo dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Ikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumpun padi yang berada di barisan

pinggir hasilnya 1.5 – 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan produksi rumpun padi

yang berada di bagian dalam (Anonim, 2010). Cara tanam legowo ini tidak lain

adalah merupakan upaya rekayasa ruang tumbuh menjadi barisan tanaman pinggir

yang diharapkan dapat meningkatkan produksi padi. Adanya ruang antar baris

tanaman yang lebih lebar tentu saja memberikan perkembangan ikan dan tanaman

azolla tumbuh secara baik. Selain untuk tujuan tersebut, penggunaan cara legowo

akan mempermudah bagi kita dalam pemeliharaan ikan, azolla serta tanaman padi

itu sendiri.

Page 28: Sistem Pertanian Terpadu

28

Azola adalah sejenis tumbuhan paku air biasa ditemukan di perairan

tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Para petani biasanya

menganggap azola sebagai gulma atau limbah pertanian. Azola termasuk ordo

Salviniales, famili Azollaceae, dan terdiri atas enam spesies, yaitu : A.

filiculoides, A. caroliana, A. mexicua, a. microphylla, A. pinnata, dan A. nilotica.

Spesies yang banyak di Indonesia terutama di pulau Jawa adalah A. pinnata, dan

biasa tumbuh bersama-sama padi (Gambar 9). Azola dapat digunakan sebagai

salah satu sumber protein nabati penyusun ransum ikan dan itik, karena

mengandung protein yang cukup tinggi. Azola mengandung protein kasar 24-

30%, kalsium 0.4-1%, fosfor 2-4.5%, lemak 3-3.3%, serat kasar 9.1-12.7%, pati

6.5%, dan tidak mengandung senyawa beracun (Lumpkin et al ., dalam Anonim

2010).

Gambar 9. Tanaman Azolla pinnata pada Areal Persawahan

Tanaman Azolla Sp. memang sudah tidak diragukan lagi konstribusinya

dalam mempengaruhi peningkatan tanaman padi. Azolla bisa mampu

menambatkan N2-udara karena berasosiasi dengan sianobakteri (Anabaena

azollae) yang hidup di dalam rongga daunnya. Asosiasi Azolla-Anabaena

memanfaatkan energi yang berasal dari fotosintesis untuk mengikat N2-udara.

Dimana kemampuan mengikat N berkisar antara 400 – 500 kg N/ha/th. Azolla

relatif tahan pada kondisi asam, sehingga untuk mengembangkannya tidak

memerlukan perlakuan tertentu (Sutanto dalam Anonim 2010).

Pemanfaatan azolla sebagai pupuk pengganti urea memang

memungkinkan. Pasalnya, bila dihitung dari berat keringnya dalam bentuk

Page 29: Sistem Pertanian Terpadu

29

kompos (azolla kering) mengandung unsur Nitrogen (N) 3 – 5 persen, Phosphor

(P) 0.5 – 0.9 persen dan Kalium (K) 2 – 4.5 persen. Sedangkan hara mikronya

berupa Calsium (Ca) 0.4 – 1 persen, Magnesium (Mg) 0.5 – 0.6 persen, Ferum

(Fe) 0.06 – 0.26 persen dan Mangan (Mn) 0.11 – 0.16 persen. Berdasarkan

komposisi kimia tersebut, bila digunakan untuk pupuk mempertahankan

kesuburan tanah, setiap hektar areal memerlukan azolla sejumlah 20 ton dalam

bentuk segar, atau 6-7 ton berupa kompos (kadar air 15 persen) atau sekitar 1 ton

dalam keadaan kering. Bila azolla diberikan secara rutin setiap musim tanam,

maka suatu saat tanah itu tidak memerlukan pupuk buatan lagi. Hal itu

dimungkinkan, karena pada penebaran pertama 1/4 bagian unsur yang dikandung

azolla langsung dimanfaatkan oleh tanah. Seperempat bagian ini, setara dengan 65

Kg pupuk Urea. Pada musim tanam ke-2 dan ke-3, azolla mensubstitusikan 1/4 –

1/3 dosis pemupukan. Dibanding pupuk buatan, azolla memang lebih ramah

lingkungan. Cara kerjanya juga istimewa, karena azolla mampu mengikat

Nitrogen langsung dari udara (Anonim, 2010).

Keunggulan lain dari tanaman azolla ialah mampu menekan gulma air

yang lain, sehingga dapat menghemat biaya penyiangan dan penggunaan

herbisida. Azolla yang ditanam bersama-sama padi merupaka salah satu

kelebihan, karena tidak diperlukan tambahan waktu untuk memproduksi

biomassa. Selain sebagai pupuk hayati dan pengendali gulma air penggunaan

azolla ini kini lebih banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Dengan

adanya pengintegrasian padi, ikan, itik, azolla dan sapi selain menjadikannya

sebagai pakan perikanan juga konstribusi dapat digunakan untuk peningkatan

produksi padi.

Terlibatnya itik dalam integrasi ini selain memberikan tambahan

keuntungan juga memberi keuntungan lain berupa adanya tambahan pupuk dari

kotoran itik, meningkatkan kadar oksigen dalam tanah, dan meminimalkan

gangguan gulma dan hama (serangga, siput, keong mas) karena dimakan oleh itik.

Pakan untuk itik juga dapat dikurangi karena mendapat pakan tambahan dari

organisme pengganggu tumbuhan seperti gulma, serangga, siput, dan keong mas

dari sawah. Kehadiran ternak sapi dalam sistem usahatani padi merupakan

komponen usaha yang bersifat saling melengkapi dan memberikan manfaat yang

Page 30: Sistem Pertanian Terpadu

30

cukup besar kepada petani, disamping itu juga dapat mendorong petani untuk

mengelola usahataninya secara optimal.

Kotoran ternak sapi merupakan pupuk organik yang baik bagi tanah, jika

kualitas pakan baik maka kualitas kotoran pun akan baik. Selain untuk pupuk

organik kotoran ternak sapi juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas.

Feses yang dihasilkan oleh ternak sapi dapat memberikan manfaat positif pada

ekosistem sawah. Kadar unsur hara yang terdapat dalam kotoran ternak berbeda-

beda tergantung jenis makanannya. Komposisi unsur hara dari kotoran sapi yang

berupa kotoran padat mengandung : 0.4 % Nitrogen, 0.2 % Fosfor, 0.10% Kalium

dan 85% air. Untuk kotoran cair (urine) mengandung : 1% Nitrogen, 0.5% Fosfor,

1.5% Kalium dan 92% Air (Lingga et al ., dalam Anonim 2010).

Limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tanaman padi sawah

berupa jerami selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanah juga

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Walaupun karakteristik jerami

ditandai dengan rendahnya kandungan nitrogen, kalsium, dan fosfor, sedangkan

kandungan serat kasarnya termasuk tinggi sehingga dapat mengakibatkan daya

cerna rendah dan konsumsinya menjadi terbatas tetapi hal ini dapat dipecahkan

jika jerami ingin dijadikan pakan bagi ternak sapi yang bermutu maka terlebih

dahulu perlu ditambahkan urea dan tetes (molasses) dimana proses ini biasa

disebut amoniasi jerami. Urea dapat digunakan untuk memperbaiki kandungan

nitrogen jerami padi yang sekaligus pula mampu meningkatkan konsumsi dan

daya cernanya.

Pengaturan air pengairan pada budidaya tanaman padi sawah merupakan

faktor penting sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Teknik pengaturan

air sebagai berikut :

• Pengaturan air macak-macak dilakukan pada saat tanam sampai 3-4 HST.

Genangan air yang berlebihan pada awal pertumbuhan akan menghambat

pertubuhan tunas padi. Tinggi air cukup 3-5 cm dari permukaan tanah.

• Pengaturan air macak-macak juga dilakukan pada saat aplikasi pupuk susulan

pertama dan kedua, agar penyerapan pupuk oleh tanaman lebih efektif.

Page 31: Sistem Pertanian Terpadu

31

• Setelah 10-15 HST (sesudah penyiangan dan pemupukan susulan pertama) air

dimasukkan mengikuti pertumbuhan tanaman.

• Pada pintu pemasukan dan pengeluaran air dipasang saringan untuk mencegah

keluar ikan.

Page 32: Sistem Pertanian Terpadu

32

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Jumlah areal yang bercirikan usahatani lahan kering kurang lebih 65.7 juta

hektar (90.5 %) mencapai luasan terbesar dibanding lahan basah namun

kontribusi pada subsektor pertanian masih rendah, sehingga masih perlu

mendapat perhatian yang lebih dalam pengembangannya.

2. Potensi pemanfaatan lahan kering untuk komoditas pangan yang dapat

dikembangkan antara lain padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele

dan palawija lainnya. Sedangkan untuk potensi peternakan yang dapat terus

dikembangkan adalah peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba,

babi, unggas.

3. Ber b aga i p em anf aa t an po t ens i l ahan k e r i n g t e r s ebu t

d i l ak s an ak an s eca r a t e r pad u , dan u n t uk mendukung

keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang dirancang

berdasarkan kesesuaian dengan kondisi wi layah baik bio-fisik

maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal

4. Agroekosistem lahan kering yang diacu dalam makalah ini adalah wilayah

yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani

sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula didalamnya

karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem lahan

kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah tersebut didominasi

oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman perkebunan,sayuran dan

peternakan.

5. Dalam pengelolaan lahan kering untuk tujuan pengembangan pertanian yang

ramah lingkungan dibutuhkan adanya konsep keterpaduan antara berbagai

komponen teknologi melalui integrasi ternak dan tanaman (ITT) dan integrasi

tanaman ternak dan ikan (ITTI) serta memodifikasi faktor-faktor

pendukungnya yaitu inovasi teknologi yang dirancang berdasarkan

Page 33: Sistem Pertanian Terpadu

33

kesesuaian dengan kondisi wilayah baik bio fisik maupun sosial ekonomi dan

budaya masyarakat lokal.

5.2 Saran

1. Mandat penelitian pertanian dalam rangka menemukan teknologi dan

mempercepat arus transformasi teknologi ke tingkat pengguna sebaiknya di

gali dan berada di sekitar petani dengan membangun suatu sistem yang

holistik, dilaksanakan bersama-sama dengan petani dengan orientasi

peningkatan nilai tambah.

2. Dukungan yang utama dibutuhkan masyarakat tani adalah pengakuan bahwa

para petani itu mampu melakukan aktivitasnya sendiri dengan sentuhan

teknologi tepat guna yang dirasakan bermanfaat untuk aktivitasnya. Oleh

karena itu, bantuan fisik dari pemerintah yang dibutuhkan terutama

komponen ternak dalam jumlah yang mampu memberdayakan diri petani.

Dengan rata-rata petani memiliki 0.5 ha lahan maka minimal petani butuh

bantuan ternak sebanyak 5 ekor untuk mencukupi kebutuhan pupuk organic

serta sebagai tabungannya. Bantuan bersifat kecil dan tidak langsung kepada

petani cenderung akan tidak memandirikan petani.

3. Dibutuhkan tenaga kerja yang lebih intensif. Sistem pertanian terpadu akan

selalu tersedia apabila komponen-komponen yang ada selalu dilestarikan dan

dimanfaatkan dengan baik dan penggunaanya tidak berlebihan, sehingga

dapat selalu tersedia dan dapat dimanfaatkan. Jadi banyaknya pemnafaatan

sumberdaya alam saat ini akan sangat membantu kelestarian kompponen dari

sistem pertanian

4. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji upaya konservasi tanah dan air

termasuk teknologi penampungan air secara terpadu pada agroekosistem

lahan kering.

5. Pada sub sektor ternak perlu diarahkan untuk kerjasama dalam pengkajian

feeding strategy untuk mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim

kemarau, pendirian breeding stock untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan

mutu genetik termasuk didalamnya penggunaan indigenous stocks serta aspek

kesehatan ternak

Page 34: Sistem Pertanian Terpadu

34

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999.Pupuk Cacing ternyata Lebih dahsyat. Bisa Dongkrak Produksi 150

Persen. Kiat berkelit dari Krisis Pupuk Ala Petani Bali. Majalah Agrobis, No. 304

Minggu I Februari 1999.

Anonim. 2010. Konsep Pertanian Terpadu dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan

Petani Lahan Sawah Irigasi.http://fkthldeptankabbone.wordpress.com/2010/06/02

[20 Desember 2011)

Arsana, D. IGAK, IGAK Sudaratmaja, dan IN Suyana. 2004. Keragaan Usahatani

Tanaman-Ternak di Lahan Irigasi dan Lahan Kering di Bali. Dalam:Prosiding

Seminar “Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian.Jakarta.

Artaji, W. 2011. Sistem Pertanian Terpadu - Model Pertanian Terpadu dalam Satu Siklus

Biologi (Integrated Bio Cycle farming). http://ekonomi

kompasiana.com/agrobisnis/2011/10/12. [20 Desember 2011]

Bamualim, A. 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah

Seminar Nasional Pengembangan Peternakan berwawasan Lingkungan. IPB.

Bogor.

Biro Pusat Statistik. 2004. Potensi Lahan Pertanian . BPS. Jakarta.

Direktorat Perluasan Areal. 2009. Pedoman teknis Perluasan Tanaman Pangan Lahan

kering Tahun 2009. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen PLA. Jakarta.

Guntoro, S., M. Londra, M. Mastra S. dan Sriyanto. 2001. Pengkajian integrasi

pengembangan ternak dan tanaman kopi. Proyek PAATP - BPTP Bali.

Hasnudi dan E. Saleh. 2004.Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan

Usaha Peternakan Ruminansia dan Usahatani Terpadu di Indonesia. Digitized by

Universitas Sumatera Utara Digital Library.

Herry A. H. 1996. Teknologi Bioplus untuk Hewan Ternak. FKH-UNAIR, Surabaya.

Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan Sistem

Polikultur. Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding-

%2007/1-4.pdf {20/12/2011]

Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan I.G. Pastika. 2002. Laporan Akir

Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada

FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali.

__________. 2003. Laporan Uji Adaptasi Beberapa Jenis Pupuk Terhadap Produksi

Bawang Merah Di Daerah Pinggiran Perkotaan Denpasar. BPTP Bali.

Page 35: Sistem Pertanian Terpadu

35

__________. 2003. Integrasi Usahatani Sapi Potong Dengan Sayuran Di Lahan Kering

Dataran Tinggi Beriklim Basah

__________. 2004. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi

Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah.

BPTP Bali.

Kartini, N. L. 1999. Pupuk Kascing Siap Antarkan Bali Menuju Pertanian Organik.

Majalah Prima, Minggu ke-3 Februari 1999.

Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan

Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas

Maret. Surakarta.

Mulyadi dan Suprapto. 2000. Prospek Embung dalam Menunjang Kelestarian Produksi

Pertanian di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional :

Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Ketahanan

Pangan Nasional. BPTP Bali.

Notohadiprawiro, T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek,

Kendala dan Pengembangannya. Makalah disampaikan pada Likakarya Evaluasi

Proyek Pengembangan Palawija SECDPUSAID Bogor, 6-8 Desember. Repro:

Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada (2006)

Parwati, I.A.., N. Suyasa, S. Guntoro Dan M. Rai Yasa. 1999. Pengaruh Pemberian

Probiotik Dan Laser Punctur Dalam Meningkatkan Berat Badan Sapi Bali.

Makalah Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner, Pulitbang Peternakan

Bogor.

Ratnawaty, S., M. Ratnada, Yusuf dan JJ. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di

Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Dalam:Prosiding Seminar “Sistem dan

Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen

Pertanian. Jakarta.

RIRDC. 2002. Introduction: what is an integrated biosystem? Di dalam: Warburton K,

Pillai-McGarry U, Ramage D, editor. Integrated Biosystems for Sustainable

Development. Proceedings of the INFORM 2000 National Workshop on

Integrated Food Production and Resource Management. Queensland: RIRDC.

hlm 1.

Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 2000. Laporan Akhir

Penelitian Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. IP2TP Denpasar. Bali

Suprapto., I.N. Adijaya., dan I.M. Rai Yasa. 2001. Laporan Akhir Penelitian Sistem

Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. BPTP Bali.

Page 36: Sistem Pertanian Terpadu

36

STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN

KERING YANG RAMAH LINGKUNGAN MELALUI SISTEM

INTEGRATED BIO CYCLE FARMING

DOSEN : DR. IR. HARIYADI, MS

Tugas Individu pada Mata Kuliah Agronomi Lanjut

Tema Makalah “Sistem Pertanian Terpadu”

Oleh :

Nur Sakinah

(A252110011)

PROGRAM STUDI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011/2012