sistem pertanian terpadu

45
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai. Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan 1

Transcript of sistem pertanian terpadu

Page 1: sistem pertanian terpadu

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh

potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang.  Pertanian

melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan

memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam

proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan organik di

dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian

konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses

pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya

produksi  pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan.  Pada kawasan

tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun

perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan

tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi

tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen

lainnya.  Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan

biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai.

Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah

petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu

memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa

menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam

sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk

sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani

masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual

kambing untuk mendapatkan penghasilan.

Pertanian terpadu merupakan pilar kebangkitan bangsa Indonesia

dengan cara menyediakan pangan yang aktual bagi rakyat Indonesia.  Dalam

segi ekonomi pertanian terpadu sangat menguntungkan bagi masyarakat

karena output yang dihasilkan lebih tinggi dan sistem pertanian terpadu ini

tidak merusak lingkungan karena sistem ini ramah terhadap lingkungan.

1

Page 2: sistem pertanian terpadu

2

Output dari pertanian terpadu juga bisa digunakan Selain itu limbah pertanian

juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi biomassa. Bekas

jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang besar.

B. Maksud dan Tujuan Pratikum

Maksud dan tujuan dari pratikum Sistem Pertanian Terpadu ini adalah :

1. Memberikan pengetahuan praktis (hard skill) kepada mahasiswa tentang

peran faktor lingkungan (biotik dan abiotik) dalam sistem pertanian.

2. Melatih mahasiswa untuk dapat menganalisis komponen-komponen dalam

sistem pertanian dan menuangkannya dalam bentuk bahasan yang

mengupas kondisi di setiap tipe sistem pertanian.

3. Secara khusus tujuan pratikum ini adalah melatih mahasiswa untuk

berfikir secara holistik berdasarkan wawasan mahasiswa terhadap interaksi

komponen dalam sistem pertanian dan menelusuri peran lingkungan di

setiap tipe sistem pertanian.

Page 3: sistem pertanian terpadu

3

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sistem Sawah Lahan Basah dan Lahan Kering

a. Sawah lahan basah

Secara umum sistem pertanian di Indonesia, khususnya yang

menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat dikelompokkan ke

dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah(sawah) dan pertanian lahan

kering. Seperti diketahui, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini

terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras

(Manuwoto, 2009).

Lokasi pengamatan sistem sawah dilaksanakan di daerah Karang

Pandan, Kabupaten Karanganyar. Sawah-sawah di daerah ini diolah

dengan terasering. Pola tanam yang digunakan adalah monokultur.

Tanaman yang ada hanya padi dan beberapa pohon pisang. Pohon pisang

di sini selain diambil buahnya juga berfungsi sebagai pematah angin, agar

padi tidak roboh. Sawah harus selalu basah, untuk itu sawah harus selalu

tergenang air. Apabila debit air untuk daerah tertentu sangat terbatas, dapat

diatasi dengan cara hanya menggenangi sawah pada saat tanaman masih

kecil. Yang pasti satu atau dua minggu sebelum panen, padi harus selalu

digenangi agar kuningnya merata.

Input yang diberikan untuk sawah kebanyakan pupuk anorganik,

sawah ini jarang diberi input pupuk organik. Outputnya berupa gabah yang

akan diolah menjadi beras dan hasil sampingan berupa pisang. Jerami dari

padi dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan akarnya ditinggal

untuk kemudian diolah bersama tanah. Yang perlu diperhatikan adalah

penggunaan pupuk anorganik yang masih mendominasi di sawah. Hal ini

masih kurang diperhatikan oleh petani. Penggunaan pupuk anorganik yang

terus - menerus dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem dan

lingkungan di sekitar sawah.

Penggunaan pupuk buatan/kimia yang berkonsentrasi tinggi dan

tidak proporsional pada lahan sawah berdampak pada penimpangan status

3

Page 4: sistem pertanian terpadu

4

hara dalam tanah. Dampak lain adalah menyusutnya kandungan bahan

organik tanah karena berkurangnya penggunaan pupuk organik.

Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan

organiknya kurang dari 1 persen (Sugito et al, 1993). Sementara, sistem

pertanian dapat menjadi berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan

bahan organik tanah lebih dari 2 persen (Handayanto, 1999).

b. Sawah lahan kering

Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk

usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu

suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan

yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air

hujan sebagai sumber air. Untuk memudahkan pengutaraan dalam

penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena

kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan ini pengertian

yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum

banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman

tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air

secara tetap (Notohadinagoro,1997).

Sawah dikenal mempunyai teknik budidaya tinggi , sistem

pengelolaan yang sudah baik, stabilitas kesuburannya lebih baik. Pada

sawah tadah hujan ini pengelolaan air tergatung pada curah hujan yang

ada. Pengairan tergantung pada curah hujan dan sumur gali yang biasanya

terdapat di tengah sawah. Sistem pengairan antar lahan sawah dilakukan

dengan pemanfaatan parit dan terasering yang menyalurkan air dari lahan

tinggi ke rendah. Penambahan input khususnya pupuk yang diberikan pada

lahan sawah ini terbagi menjadi dua yaitu kimiawi dan organik. Pupuk

kimia yang digunakan adalah pupuk Urea dan Phonska. Sedangkan

penggunaan pupuk organik cukup tinggi yaitu berupa penggunaan

kembali biomass/kompos jerami serta kotoran ternak milik petani sendiri

(Pusat Peneliti Universitas Brawijaya, 1991)

Page 5: sistem pertanian terpadu

5

Pada lahan terlihat kandang-kandang ternak unggas yang

disejajarkan dengan lahan sawah. Ini bertujuan untuk mempermudah

penambahan bahan organik pada lahan sawah tersebut. Suhu, kelembaban

dan sinar matahari di sawah dalam takaran yang cukup. Sinar matahari

mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu.

Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh

tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis.

Hasil pengamatan di lahan sawah daerah pengamatan Kecamatan

Nogosari, Boyolali dapat diketahui bahwa sawah tersebut merupakan

lahan tadah hujan, dengan ciri utama lahan tidak tergenang air dan

menggunakan konsep terasering. Jenis padi yang ditanam adalah varietas

gogo atau padi tegal.

Penggunaan input pestisida adalah dengan penyemprotan berkala.

Terdapat kearifan lokal pada teknik pengelolaan hama yaitu pemasangan

orang-orangan sawah setiap 10-15 meter. Orang-orangan sawah tersebut

membantu petani untuk mengusir hama burung.

Hasil output yang dibawa keluar adalah hasil utama panen gabah

dan beberapa jerami. Jerami biasanya untuk pakan ternak. Sedangkan

jerami sisanya menurut petani masih ditumpuk dan disisakan di pinggir

sawah untuk persiapan pemupukan musim tanam depan. Selain itu ada

output sampingan berupa hasil dari tanaman yang ditanam di pinggir

sawah namun dengan nilai ekonomis kecil dan hanya untuk konsumsi

pribadi seperti pisang, ketela pohon dan kayu bakar.

Menyangkut diversitas pada sistem sawah ini cukup baik.

Walaupun sebagian besar didominasi oleh tanaman padi pada tegalan

sawah masih disisakan untuk ditanami tanaman rumput gajah, ketela

pohon, pisang dan tanaman peneduh sengon. Hal ini untuk memanfaatkan

lahan yang tersisa dan kebutuhan pakan ternak seperti penanaman rumput

gajah dan ketela pohon. Sedangkan pengamatan mengenai pergiliran

tanaman belum cukup informasi sehingga belum diketahui varietas apakah

yang dipakai dan bagaimana pola tanam disana.

Page 6: sistem pertanian terpadu

6

Rantai makanan (siklus hara) pada pengamatan sawah lahan kering

ini terlihat terdapat beberapa siklus energi tetap. Adanya biomassa yang

terus diupayakan pada pertanian ini yaitu dengan penggunaan jerami.

Jerami tersebut biasanya ditumpuk dipinggir sawah dengan bentuk kubah

dan dibiarkan membusuk. Sedangkan beberapa jerami dibawa keluar untuk

pakan ternak. Namun ternak tersebut masih berkontribusi dengan

kotorannya yang tetap dijadikan pupuk. Penyisihan jerami tersebut sudah

merupakan langkah tepat untuk keterpaduan dan pemenuhan kebutuhan

unsur hara tanah.

Gambar 1. Siklus hara pada sistem sawah

2. Sistem Tegal

Sistem pertanian tegal merupakan sistem pertanian yang paling primitif.

Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya

penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung

kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena sistem

hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit

dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan

umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian

(Anonim, 2001).

Selain sawah, daerah pertanian yang telah diamati di Kecamatan

Nogosari juga merupakan pusat penghasil sayuran. Berdasarkan pengamatan

di lokasi pertanian tersebut berada pada tanah kering atau tidak tergenang dan

ditanami dengan bermacam-macam jenis tanaman musiman. Sebagian besar

Gabah dan Jerami

Gabah

Jerami dibiarkan(pupuk)Pakan ternak = kotoran (pupuk)

Tanaman padi

Page 7: sistem pertanian terpadu

7

tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman sayuran seperti kenikir, cabai,

bayam, kangkung dan jagung.

Metode pengolahan tanah yang dilakukan adalah dengan cara

konvensional yaitu pencangkulan dan membuat sistem irigasi di pinggir

lahan. Pengolahan lahan dilakukan dengan membuat petak-petak dan masing-

masing petak biasanya ditanami tanaman yang berbeda. Dimana tanah diolah

sesuai kebutuhan petani. Petani hanya sekedar mengolah tanah tersebut untuk

tujuan penggemburan agar bibit mudah ditanam. Pengolahan tersebut juga

berkaitan dengan penyiangan rumput-rumput liar yang hidup disekitar

tanaman budidaya.

Pola penanaman di daerah tersebut berupa pola tanam tumpangsari.

Pola penanaman ini memiliki biodiversitas tanaman yang cukup tinggi

dimana dalam satu lahan biasanya terdiri dari 4-5 jenis tanaman musiman.

Misalnya pada salah satu lahan terdapat tanaman bayam, kangkung, dan

kenikir sebagai tanaman inti. Pada bagian pinggir lahan ditanami tanaman

jagung dan ketela pohon. Dengan diversitas tinggi tersebut beberapa lahan

telah menerapkan jarak tanam yang baik. Dapat terlihat bahwa penanaman

tanaman lombok dilakukan jarak tanam yang lebar. Sedangkan beberapa

tanaman sayuran ditanam dengan jarak yang cukup teratur. Penanaman

tumpangsari ini belum sepenuhnya aman dari gangguan dari luar, misalnya

gangguan hama yang bersifat polifag.

Secara umum lahan tersebut berada pada intensitas cahaya matahari

yang tinggi dan suhu yang tinggi. Pengairan yang dilakukan menggantungkan

pada curah hujan yang ada. Namun beberapa lahan tegal terdapat sumur yang

berfungsi mengairi lahan apabila kebutuhan air masih kurang. Biasanya

petani sudah tahu kapan saat yang tepat untuk menanam sehingga kebutuhan

air dapat terpenuhi.

Input pupuk yang digunakan dalam budidaya lahan tegal adalah pupuk

kimia dan pupuk organik. Pupuk organik yang digunakan adalah kotoran

kambing hasil ternak dan kompos jerami, petani yang diwawancarai

Page 8: sistem pertanian terpadu

8

memberitahukan bahwa sebanyak 15 ekor kambing dapat memberikan

kontribusi pupuk kandang pada luas sekitar 200 m2.

Terdapat pemanfaatan seresah dan gulma yang ada disekitar lahan.

Petani dapat memanfaatkan daun-daun ketela pohon, jagung dan rumput-

rumputan untuk memberi makan ternak kambingnya. Output dari sistem

pertanian tegal ini adalah hasil sayuran budidaya berupa jagung dan ketela.

Sedangkan daun ketela tetap digunakan petani untuk pakan ternaknya.

3. Sistem Talun dan Pekarangan

a. Talun (tegal pekarangan)

Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis

pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang

umum dijumpai adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan

penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian

ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun).

Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang)

ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun

campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang

bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman

asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan

pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang

tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase

perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun.

Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun,

kebun campuran dan talun (Anonim, 2000).

Pengamatan sub sistem talun dilaksanakan di Jumantono. Talun di

Jumantono ini merupakan lahan kering, apabila musim hujan tanaman

banyak sehingga talun akan terlihat hijau, namun pada musim kering talun

terlihat tidak sehijau pada musim hujan. Usaha yang dilakukan petani

untuk mengkonservasi lahannya dengan cara membuat talunnya berupa

terasering dengan pola tanam campuran. Selain itu, pencegahan erosi juga

dilakukan dengan cara menanam pohon jati di batas – batas teraseringnya.

Page 9: sistem pertanian terpadu

9

Tanaman yang terdapat di talun ini adalah kacang tanah, jagung, jati,

mangga, dan singkong. Jarak tanam yang diterapkan cukup teratur

meskipun agak tidak rapi. Pada petak kacang tanah di sekelilingnya

ditanami jagung dan singkong dan di tengah - tengahnya terdapat pohon

mangga dan jati. Sedangkan pada petak jagung penanaman lebih teratur, si

sekelilingnya ditanami singkong dan di tengah – tengahnya juga terdapat

jati.Hama yang sering menyerang di lahan ini adalah belalang yang

menyerang daun kacang tanah dan ulat jati, yang khusus menyerang jati

saja.

Input yang diberikan kepada talun berupa pupuk, sedikit pupuk

anorganik berupa urea dan banyak pupuk organik. Pupuk anorganik

berasal dari daun kacang yang rontok yang dibiarkan begitu saja sehingga

bisa menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan hijauan kacang tanah

digunakan sebagai pakan ternak yang kemudian kotoran hewan tersebut

digunakan sebagai pupuk. Selain dari daun kacang, pupuk organik juga

berasal dari sisa hasil tepung tapioka yang diambil dari pabrik tepung

tapioka yang terletak di sekitar talun. Output yang dihasilkan dari lahan

berupa kacang tanah, jagung, mangga, dan singkong. Komoditi kacang

tanah di sini kualitasnya terbukti sangat bagus. Siklus hara yang terjdi

yaitu daur siklik karena hasil yang ditanam pada akhirnya juga

dikembalikan lagi ke tanah yang sama.

b. Pekarangan

Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di

sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu

atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan

dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan

fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial

budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika (Danoesastro, 1978).

Pengamatan sistem pekarangan dilakukan di Jumantono. Pekarangan

ini tidak mempunyai sistem pengolahan tanah dan tidak mempunyai sistem

pola tanam. Tanaman – tanaman yang ada antara lain : pisang, kacang

Page 10: sistem pertanian terpadu

10

panjang, bayam, bambu, melinjo, pare, ciplukan, pepaya, jarak, jati, cabe,

dan lain-lain. Siklus hara yang terjadi adalah siklik atau tertutup. Tanaman

dengan akar yang dalam akan mengambil hara kemudian diangkut ke atas

permukaan sehingga dapat dimanfaatkan juga oleh tanaman yang akarnya

tidak terlalu dalam.

Jenis tanamannya lebih lengkap mulai dari tanaman tahunan,

tanaman semusim, sayur-sayuran, buah-buahan, serta tanaman obat. Jarak

tanamnya tidak teratur karena ditanam sendiri dan hasilnya juga untuk

kebutuhan sendiri (subsisten). Pengolahan tanahnya tidak memerlukan

perlakuan khusus artinya seadanya saja. Misalnya pada pemberian pupuk,

tidak diberi pupuk secara langsung. Penambahan pupuk sangat minim,

bahkan tanpa pupuk. Pupuk berasal dari tanaman itu sendiri, daun-daun

yang sudah gugur jatuh ke tanah kemudian mengalami pelapukan sehingga

secara tidak langsung seresah-seresah tersebut menjadi pupuk bagi

tanaman. Kebutuhan air didapat dari air hujan, sehingga tergantung dari air

hujan.

Siklus haranya siklik, tertutup artinya hasil dari pekarangan

digunakan untuk keperluan sendiri. Misalnya pada tanaman juar daunnya

untuk pupuk dan kayunya digunakan untuk bahan bangunan. Siklus hara

umum misal N juga dapat tambahan dari air hujan, ada tambahan dari air

permukaan. Jika musim seperti ini, tanaman lebih bervariasi, namun jika

musim kemarau lebih terdominasi oleh tanaman tahunan.tanaman di sini

sering dikonsumsi sendiri karena hasilnya juga tidak begitu banyak.

4. Sistem Perkebunan

Lokasi pengamatan sistem perkebunan berada di daerah perkebunan

teh, tepatnya di daerah Kemuning. Pada lahan perkebunan ini tanaman yang

ditanam berupa tanaman semusim. Sebenarnya lahan ini kurang cocok bila

ditanami tanaman semusim. Namun karena terdesak kebutuhan ekonomi,

selain teh, warga juga menanam wortel meskipun hasilnya tidak terlalu bagus.

Pengolahan tanah yang dilakukan di perkebunan teh Kemuning

menggunakan sistem terasering dan memiliki pola tanam monokultur.

Page 11: sistem pertanian terpadu

11

Artinya, lahan ini hanya ditanami oleh satu jenis tanaman saja yaitu teh. Para

petani di daerah ini juga menanam cengkeh, pisang, jagung, dan wortel.

Tanaman cengkeh digunakan untuk menaungi tanaman utama yang terletak di

bawahnya agar tanaman terlindung dari terpaan angin. Jadi, fungsi cengkeh di

sini juga sebagai windbreaker atau pematah angin. Untuk pencegahan erosi,

teh yang ditanam sangat rapat dengan tajuk saling menaungi.

Input yang digunakan untuk perkebunan teh berupa pupuk nitrogen.

Sedangkan outputnya berupa daun teh, cengkeh, wortel, pisang, dan jagung.

Pada lahan ini tidak ada masa terbuka, selain karena sistem yang digunakan

adalah labirin, juga karena jarak tanamnya rapat sekali. Sebagai informasi

tambahan, untuk pembibitan, tanaman teh ditanam agak renggang ( ± 160 cm

per tanaman ). Sedangkan untuk konsumsi, lebih rapat dengan jarak tanam

± 70 cm per tanaman.

Di sekitar perkebunan teh terdapat cengkeh, jika ditanami tanaman

semusim disekitar perkebunan teh tersebut akan terjadi longsor. Jarak tanan

teh dan cengkeh sangat teratur, perakaran dari teh dan cengkeh sangat dalam,

sehingga mampu menahan parit-parit dibawah yang mengalir terus-menerus.

Siklus hara yang terjadi adalah non siklik. Karena pucuk tanaman teh setelah

dipetik akan dibawa ke pabrik untuk diolah dan tidak kembali lagi ke lahan.

Pola tanam tidak boleh searah dengan kemiringan. Jadi harus melintang agar

tidak mudah terjadi longsor.

Tanaman yang baik ditanam pada lahan yg miring adalah pohon-pohon

besar. Tidak ada tanaman semusim. Secara konservasi memang bagus,

tanaman teh perlu peremajaan. Jadi, tanaman teh dibabat sampai habis, nanti

secara otomatis akan tumbuh lagi, biasanya untuk bibit. Tinggi tanaman

selalu diatur tingginya, pemeliharaannya sangat ekstra. Harus selalu

dipangkas pucuknya. Hama penyakit sangat jarang dan tidak terlalu

mengkhawatirkan karena ada musuh alami juga, seperti burung, serangga

lain. Dan inilah yang sangat diperlukan, karena masih alami.

Page 12: sistem pertanian terpadu

12

5. Sistem Pertanian Terpadu

Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai

berikut : kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan

pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi.  Konsumsi terhadap

sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan

fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan

meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk

pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman

komersial lainnya juga nampak semakin menantang.  Namun demikian,

pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa

menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan,

tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan

adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. 

Akibat selanjutnya menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan

perorangan yang memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit

yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).

Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka

sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan

berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya

setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.

Page 13: sistem pertanian terpadu

13

Gambar 2. Aliran Bahan dalam Sistem Pertanian Terpadu

Sistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak

dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk

pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. 

Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen

utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan

komponen kedua.  Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara

tanaman perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah,

produksi kelapa, produksi kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan

ekonomis serta meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan

mempermudah pengumpulan buah kelapa.  (Moningka et al, 1993)

menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1)

tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress

karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya

air seni dan feces ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak,

membatasi pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan herbisida, (5)

meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan

ekonomis termasuk hasil ternaknya.

produksi tanaman

Page 14: sistem pertanian terpadu

14

Pelaksanaan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini dilaksanakan di

Desa Genengduwur, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen pada tanggal

8 Mei 2010. Lahan pada daerah ini memiliki ketinggian sebesar 170 m dpl,

dengan koordinat 70 23’28”BB serta 1100 50’565”BT. Pada praktikum ini

dilakukan pengamatan terhadap sistem peternakan dan pertanian yang saling

terpadu. Pelaksanaan pertanian terpadu meliputi pelaksanaan pertanian

terpadu, analisis peningkatan kesuburan tanah serta analisis ekonomi

pertanian terpadu.

Asal mula pengembangan Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di

Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong, Sragen adalah dikarenakan

keprihatinan salah satu warga, Bapak Sumaryo, terhadap keadaan penduduk

miskin di sekitar tempat tinggalnya. Kemiskinan tersebut karena hasil

pertanian rendah. Pertanian merupakan mata kunci perekonomian di daerah

tersebut.

Sejarah dimulainya lahan di daerah Genengduwur ini dimulai pada

tahun 1986 sampai tahun 1993 yang dirintis oleh Bapak Sumaryo. Bapak

Sumaryo mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, khususnya dari uang

pada saat menjadi dekan selama 3 tahun di Fakultas Pertanian Universitas

Slamet Riyadi Solo untuk menyewa lahan di sini mulai tahun 1986, karena

akan mencoba memecahkan kemiskinan petani pada lahan yang tanahnya

putih, namun pada tahun 1993 – 2006 sempat vakum. Pada tahun 2006 Bapak

Suryono dan Suroyo ikut bergabun ke dalam tim Yayasan Wiyata Dharma

yang mengolah dan mendanai kegiatan pertanian di daerah tersebut.

Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan yang tersedia

semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang beraneka

ragam dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas

pertanian tersebut diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam

melakukan aktivitas pertanian lainnya. Pemanfaatan komponen-komponen

pertanian yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya akan

meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yaitu berupa peningkatan

hasil produksi yang bersifat ramah lingkungan. Konsep pertanian terpadu ini

Page 15: sistem pertanian terpadu

15

juga merupakan upaya petani dalam memperbaiki sifat tanah dengan

penambahan input bahan organik dari dalam sistem pertanian itu sendiri.

Setelah ditelusuri ternyata hasil pertanian yang rendah disebabkan oleh

sifat tanah di derah tersebut. Pertanian tersebut berada pada tanah Litosol

yaitu tanah berbatu-batu. Bahan pembentuknya berasal dari batuan keras yang

belum mengalami pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini juga disebut

tanah azonal. Tanah mineral tanpa atau sedikit perkembangan profil, batuan

induknya batuan beku atau batuan sedimen keras, kedalaman tanah dangkal

(< 10 cm) bahkan kadang-kadang merupakan singkapan batuan induk

(outerop), terdapat kandungan batu, kerikil dan kesuburannya bervariasi.

Tanah litosol dapat dijumpai pada segala iklim, umumnya di topografi

berbukit, pegunungan, lereng miring sampai curam. Tanaman yang dapat

tumbuh di tanah litosol terbatas seperti rumput, palawija, dan tanaman keras.

Penambahan pupuk-pupuk kimia dan obat-obat pertumbuhan tidak

dapat menyelamatkan keadaan pertanian pada lahan ini. Pupuk Urea yang

diberikan pada tanah hanya akan membentuk gas NH3. Salah satu penyelamat

tanah yang dapat dilakukan adalah dengan penambahan bahan organik. Bahan

organik merupakan bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks

dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang

yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami

perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia

(Dover dan Talbot,L.M, 1987).

Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat

di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa

mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang

stabil atau humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem pertanian

terpadu ini memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah

untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah

menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga

menurun.

Page 16: sistem pertanian terpadu

16

Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur

mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan

organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara

menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang

difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan

unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Membentuk

agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk

sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya

adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi

air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Meningkatkan retensi unsur

hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah. Mengimmobilisasi senyawa

antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah.

Meningkatkan kapasitas sangga tanah (Hardjowigeno, 1989)

Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah

dengan menggabungkan dua subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian.

Pada bidang peternakan, di lahan ini terdapat sekitar 17 ekor sapi yang

kebanyakan sapi impor dari Australia dan hanya beberapa yang berjenis lokal.

Menurut pemiliknya, kondisi sapi yang berjenis impor kurang bagus dalam

berproduksi di daerah tersebut karena ada ketidakcocokan lingkungan di

daerah ini.

Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi

sebanyak 50 kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakan

tersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi

pakan jerami biasanya ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran

jagung giling dan katul. Jagung giling dapat di ganti dengan ubi kayu.

Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat bobot pakan. Karena

kebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input dari dalam belum

mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dari

luar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya

mendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan.

Page 17: sistem pertanian terpadu

17

Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan

feces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan

pupuk kandang sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15

kilogram kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat

bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik

selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi pupuk kandang biasanya

diakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsung

digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk kandang,

peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak.

Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangat

tepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi

pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian

tersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga

berturut-turut sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah

17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin dan

Berangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu

pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi tetap dipertahankan untuk

pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulan

lainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat.

Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan

8-12 bulan.

Hasil pupuk kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan

pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi.

Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehingga

dalam setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai

pupuk.

Sistem pertanian dalam sistem pertanian terpadu berupa penanaman

secara multiple cropping. Jenis pertanian yang diusahakan adalah penanaman

tanaman musiman jagung, ketela pohon, cabai, kacang tanah dan sawi serta

tanaman keras berupa jati dan sengon.

Page 18: sistem pertanian terpadu

18

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa lahan pertanian ini merupakan

lahan dengan jenis tanah litosol. Unsur hara makro dan mikro akan sulit

diserap oleh tanaman dalam pH yang tinggi. pH tinggi juga menyebabkan

pengendapan logam-logam berbahaya seperti besi, mangan, tembaga dan

sebaginya. Unsur-unsur tersebut sukar larur dalam pH yang tinggi. Dari

keadaan lahan yang seperti itu maka peran bahan organik baik dari pupuk

kandang atau seresah sangat diperlukan. Bahan organik berangsur-angsur

memperbaiki dan menyangga tanah dengan menghasilkan asam – asam

organik. Asam- asam organik ini dapat menetralkan pH tanah.

Berhubungan dengan hal tersebut input yang diberikan pada pertanian

ini adalah bahan organik yang berasal dari seresah daun, jerami, atau hasil

sampingan peternakan sapi yang telah terdekomposisi. Pengolahan feses dan

urin sapi masih dengan bantuan petani, biasanya dilakukan penambahan

Stardek, EM4 atau Bio Fit yang berfungsi sebagai akselerator pematangan

feses dan urin agar dapat dijadikan pupuk bagi tanaman.

Jerami juga dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman.

Meskipun jerami tersebut tidak diberi biodekomposer, tetapi telah ada

biodekomposer alami (pelaku/aktor yang merombak bahan organik secara

alami). Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan, kemampuannya

sudah lebih terseleksi akan lebih cepat terurai. Pada prinsipnya proses

pelapukan adalah suatu proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer)

memanfaatkan jerami sebagai sumber energinya, untuk membangun

biomassa. Untuk pertumbuhan dan perkembangan butuh rasio C, N, P. Untuk

menjadikan jerami menjadi biomassa sebagai sumber karbon dari

biomasannya, maka rasio dari unsur hara harus sebanding dengan rasio unsur

hara di dalam sel, bakteri, jamur maupun actinomycetes. Misal bakteri, rata-

rata setiap 5 bagian C butuh 1 bagian N. (C/N ratio 5:1) dikatakan untuk

mempercepat proses dekomposisi C/N mendekati 1. Proses alamiah tersebut

menjadikan jerami sebagai sumber karbon, nitrogen dan unsur hara. Untuk

mempercepat proses dekomposisi pada jerami dapat dilakukan dengan :

a. Penambahan mikrobia yang spesifik untuk penguraian.

Page 19: sistem pertanian terpadu

19

b. Jerami perlu mendapat perlakuan dengan cara dibolak balik, ditusuk,

dipotong potong kemudian diperkecil ukurannya hal ini bertujuan agar

daya jangkau mikroba dalam pembusukan berjalan lebih cepat.

c. Diperkaya dengan nutrisi lain untuk agar perbandingan (jerami di atas

100), kalau 100 =100 bagian carbon dan 1 bagian N, padahal mikroba

agar bisa memakan semua 5/1, jadi butuh 20. 20 unsur hara bahan organik

lain yang mengandung kira-kira setara dengan 20 bagian. Ditambah bahan

organik yang kira-kira N lebih tinggi, paling mudah diberi pupuk urea.

Jadi dengan semakin memperbanyak BO (kaya nutrisi) maka semakin

mudah terdekomposisi.

Input lain yaitu berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit

digunakan taktik pengendalian hayati. Pengendalian ini dengan menggunakan

senyawa atraktan, berupa metyl eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik

serangga lalat buah jantan melalui aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh

dan masuk dalam perangkap.

Output yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk

tanaman jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, dengan

harga jual Rp 2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 9

kg/ batang. Cabe merah dapat menghasilkan ½ kg satu tanaman dengan harga

Rp 2000/kg. Sawi dapat menghasilkan 3 kg / m3 dengan luas lahan 8000 m3

dan harga jual Rp 1000/ kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa

seresah daun, rumput, dan brangkasan yang berguna untuk pakan sapi pada

peternakan disana, atau dimanfaatkan untuk cadangan pupuk musim tanam

berikutnya.

Dari dua pengamatan sistem peternakan dan pertanian maka didapat

bahwa tiap sistem tersebut memberikan kontribusi dalm pemenuhan

kebutuhan nutrisi dan pakan secara terus menerus. Peternakan mendapat

keuntungan dari hasil sampingan pertanian berupa pakan rumput, sorghum,

ketela dan sebagainya. Sedangkan pertanian tanaman budidaya tersebut juga

mendapat keuntungan dari hasil sampingan peternakan, dan hasil seresah itu

sendiri sebagai bahan organik. Dari pihak petani juga akan mendapat

Page 20: sistem pertanian terpadu

20

keuntungan yaitu dengan hasil produksi utama dari pertanian dan peternakan

yang dapat dijual atau dikonsumsi sendiri tanpa menganggu keseimbangan

dan keterpaduan sistem pertanian tersebut.

Gambar 3. Siklus Hara Pada Sistem Pertanian Terpadu

Analisis untuk ekonomi yang ada di Kebun Pengembangan Pertanian

Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong, Sragen adalah dengan

sistem polykultur (tumpang sari) terdapat dari dua usaha, yaitu usaha tani dan

usaha ternak. Usaha ternak dengan 17 ekor sapi selain dimanfaatkan untuk

membantu dalam sistem tertutup yang limbahnya dipergunakan sebagai input,

tetapi juga dipergunakan sebagai pendapatan dengan menjual sapi yang sudah

bobot nya terpenuhi. Biasanya 5 sapi dapat dipergunakan untuk mencukupi

pupuk kandang dengan luas lahan 5 hektar. Jadi, dalam 1 tahun bisa

menghasilkan pupuk kandang sebesar 15kg/hari×360 hari×5 ekor = 27000 kg

= 27 ton/tahun. Sapi yang sudah besar dijual dengan harga Rp 20.000,00/kg.

Apabila dalam memelihara ternak membeli pakan dan membutuhkan tenaga

dari luar maka biaya yang dibutuhkan setiap hari untuk 1 ekor sapi sebesar Rp

11.600,00/hari. Setelah dihitung dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan

Page 21: sistem pertanian terpadu

21

sapi dengan hasil yang diperoleh dari menjual sapi mendapatkan keuntungan

sebesar Rp 8.400,00/hari.

Hasil usaha tani yang dijual seperti jagung, ubi kayu, cabai, kacang

tanah dan sawi. Hasil dari usaha tani selain dikonsumsi juga dijual untuk

memutar uang yang ada agar dapat memproduksi kembali. Hasil jagung yang

didapatkan selama tiga tahun sebesar 4-5 ton dengan harga jual Rp 2.000/kg.

Jadi, pendapatan yang diperoleh dari usaha tani jagung sebesar 4.000 kg× Rp

2.000,00 = Rp 8.000.000,00. Sawi dengan luas lahan 1m2 menghasilkan 3kg

dengan harga jual Rp 1.000,00/kg selama masa tanam 40 hari. Jadi, 8.000

m2×3 kg×Rp 1.000,00= Rp 24.000.000,00/Ha. Ubi kayu dapat menghasilkan

3kg/batang yang biasanya ditanam tumpang sari dengan jagung, kacang tanah

dan juga cabai.

Berdasarkan BEP kita dapat mengetahui bagaimana seharusnya batas

minimal hasil yang kita peroleh untuk mendapatkan titik impas agar tidak

rugi. Setelah kita mengetahui titik impas tersebut setidaknya kita berusaha

untuk melewati batasan titik impas baik dalam unit maupun rupiah agar kita

mendapatkan laba/keuntungan dalam mengelolah usaha tani dan usaha ternak.

Serta membuktikan bahwa sistem pertanian terpadu memberikan laba yang

lebih tinggi di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, input yang

dipakai diperoleh dari dalam juga dengan menggunakan output yang

dihasilkan.

Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng

Duwur, Gemolong Sragen memiliki pengolahan tanah yang terpadu, karena

dalam pengolahan hanya menggunakan cangkul untuk menggemburkan tanah

dan di bantu oleh pupuk kandang dalam menyuburkan tanahnya. Pola

penanaman digunakan dengan pola tumpang sari yang di dalamnya di tanam

lebih dari satu tanaman atau multiple cropping. Unsur hara yang pada

awalnya sedikit menjadi tersedia dalam jumlah yang cukup semenjak

dilaksanakan kegiatan pertanian terpadu karena bahan organik yang diperoleh

dari pupuk kandang membantu dalam menurunkan pH tanah dan menambah

hara essensial mikro. Pengembangan pertanian terpadu di kebun ini

Page 22: sistem pertanian terpadu

22

meminimalkan penggunaan pestisida. Apabila organisme pengganggu

tanaman belum melewati ambang ekonomi maka masih dapat dipergunakan

pengendalian hama terpadu dengan menggunakan musuh alami dan

perangkap untuk menangkap hama. Pemasaran untuk hasil-hasil pertanian

dilakukan dengan menjual hasil-hasilnya ke pedagang sayur agar dapt

langsung di pasarkan dengan keadaan hasil pertanian yang masih segar.

Selain hasil pertanian ternyata di pengembangan pertanian terpadu ini juga

memasarkan ternak yang bobotnya sudah cukup untuk dijual. Pengamatan

yang dilaksanakan di lapangan dapat diketahui bahwa lahan tersebut sudah

melaksanakan sistem pertanian terpadu. Input (masukan) dan output

(keluaran) yang digunakan saling berkaitan dengan sistem tertutup.

Memperkecil input dari luar, dalam hal ini input dari luar hanya digunakan

pada awal memulainya sistem ini.

Page 23: sistem pertanian terpadu

23

III. KESIMPULAN

Guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus

menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif

dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan. Berbagai bentuk pendekatan

yang dapat diterapkan, diantaranya adalah  : sistem tanam ganda; komplementari

hewan ternak dan tumbuhan; usaha terpadu peternakan dan perkebunan;

agroforestry; pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik; dan pengelolaan

hama terpadu

Berbagai pendekatan tersebut dilaksanakan secara terpadu, dan untuk

mendukung keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang di

rancang berdasarkan kesesuaian dengan  kondisi wilayah baik bio-fisik maupun

sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.

Dalam sistem pertanian terpadu berkaitan dengan input, proses produksi dan

output. Proses input berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya

manusia, pada proses produksi berhubungan dengan waktu dan lingkungan

sedangkan pada output berkaitan dengan pangan, peternakan, perikanan,

perkebunan dan kehutanan. Hal ini saling berkaitan karena apabila salah satu

komponen yang ada di dalamnya rusak atau hilang akan mempengaruhi keadaan

dan ketersediaan komponen lain.

Keunggulan sistem pertanian terpadu, bersifat :

1. Efisiensi pada pemanfaatan sumber daya alam secara optimum

2. Mandiri dimana sistem dapat berjalan dengan input luar minimum

(LEISA) dan bersifat closed system

3. Berkelanjutan yang berarti bahwa sistem ini ramah lingkungan dan

lebih menguntungkan serta kearifan lokal dan dapat diterima

masyarakat

Untuk kendala pada sistem pertanian terpadu itu sendiri antara lain :

1. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai keberlanjutan sistem

pertanian

23

Page 24: sistem pertanian terpadu

24

2. Hasil produksinya lebih sedikit bila dibandingkan dengan sistem

pertanian konvensional

3. Dibutuhkan tenaga kerja yang lebh intensif

Sistem pertanian terpadu akan selalu tersedia apabila komponen-komponen

yang ada selalu dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik dan penggunaannya

tidak berlebihan, sehingga dapat selalu tersedia dan dapat di manfaatkan. Jadi

banyaknya pemanfaatan sumber daya alam saat ini akan sangat membantu

kelestarian komponen dari sistem pertanian.

Page 25: sistem pertanian terpadu

25

IV. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000.  Ketika Kebun Berupa Hutan.  Agroforestri Khas Indonesia.  Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre For Research In Agroforestry.  Bogor.

Anonim. 2001. Sistem Pertanian di Indonesia. http://www.lablink.or.id. Diakses pada tanggal 22 Mei 2010 pukul 17.00 WIB

Danoesastro, Haryono. 1979. Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Dover,M. dan Talbot,L.M., 1987. To Feed The Earth: Agroecology for Sustainable Development. World Resources Intitute. Washington DC.

Handayanto, E. 1999. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Hardjowigeno, S., 1989.   Ilmu Tanah.  Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta

Manuwoto. 2009. Sistem Pertanian di Indonesia. Http://makhey.blogspot.com/2009/09/sistem-pertanian-di-indonesia. Diakses pada tanggal 27 Mei 2010.

Monika, WT et al. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret Universitas Press. Surakarta.

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Pelatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Pusat Peneliti Universitas Brawijaya. 1991. Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. Proseding Simposium Nasional Malang. Universitas Brawijaya. Malang

Reijntjes,C., B.Haverkot dan A. W. Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.

Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1993. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Syekhfani. 1993. Pengaruh sistim pola tanam terhadap kandungan bahan organik dalam mempertahankan kesuburan tanah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi di Universitas Lampung. Bandar Lampung. 

Page 26: sistem pertanian terpadu

26

LAMPIRAN

Sawah lahan basah di Sukoharjo

Sawah lahan kering di Boyolali

Page 27: sistem pertanian terpadu

27

Pekarangan di Jumantono

Page 28: sistem pertanian terpadu

28

Tegal di Boyolali

Perkebunan di Kemuning

Page 29: sistem pertanian terpadu

29

Sistem Peternakan pada Konsep Pertanian Terpadu

Sistem Pertanian Terpadu

Page 30: sistem pertanian terpadu

30

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusun mampu melaksanakan praktikum

dan menyusun laporan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini dengan lancar.

Laporan praktikum Sistem Pertanian Terpaduini disusun untuk memenuhi

tugas sebagai syarat mengikuti Mata Kuliah Teknologi Benih.

Dengan selesainya laporan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini,

penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim dosen Mata Kuliah Sistem Pertanian Terpadu.

3. Teman-teman dan semua pihak yang telah berkerja sama dan membantu

dalam penyusunan laporan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai

bahan perbaikan.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi penyusun maupun bagi pembaca

sekalian.

Surakarta, Mei 2010

Penyusun

Page 31: sistem pertanian terpadu

31

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iv

A. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1. Latar Belakang................................................................................... 1

2. Maksud dan Tujuan praktikum........................................................... 2

B. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 3

1. Sistem Sawah Lahan Basah dan Lahan Kering.................................. 3

2. Sistem Tegal 6

3. Sistem Talun dan Pekarangan............................................................. 8

4. Sistem Perkebunan............................................................................. 10

5. Sistem Pertanian Terpadu................................................................... 12

C. KESIMPULAN......................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 32: sistem pertanian terpadu

32

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Hara pada Sistem Sawah...................................................... 6

Gambar 2. Aliran Bahan dalam Sistem Pertanian Terpadu.............................. 13

Gambar 3. Siklus Hara Pada Sistem Pertanian Terpadu................................... 20