Sistem Pemilu
-
Upload
madhy-toliz -
Category
Documents
-
view
1.850 -
download
10
Transcript of Sistem Pemilu
i
SistemPemilu
DARI ACE PROJECT,SEBUAH KERJASAMA ANTARA:
UNITED NATIONSInternational Foundationfor Election Systems
ii
ADMINISTRASI DAN BIAYA PROYEK PEMILU
ISBN: 91-89098-72-2
International IDEAStrömsborg S-103 34StockholmSwedenTel: +46 8 698 3700Fax: +46 8 20 2422E-mail: [email protected] web: www.idea.int
IFESF. Clinton White Resource Center1101 15th Street N.W. 3rd FloorWashington, DC20005 USATel: +1 202 828 8507Fax: +1 202 452 0804E-mail: [email protected] web: www.ifes.org
UNDESA1 UN PlazaRoom DC1-982New York, New York10017 USATel: +1 212 963 8836Fax: +1 212 963 2916E-mail: [email protected] web: www.un.org/esa
Pemberitahuan Hak Cipta danDisklaimer
Hak Cipta 1998, 1999, 2000, 2001 � LembagaInternasional untuk Bantuan Demokrasi danPemilu (International IDEA), Yayasan Internasionaluntuk Sistem Pemilihan Umum (IFES), danPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Proyek Administrasi dan Biaya Pemilu (ACEProject) adalah usaha kemitraan gabungan danterus-menerus dari PBB, IFES, dan InternationalIDEA dalam pengumpulan informasi danpenerbitan elektronik. Para mitra proyek percayabahwa pernyataan gagasan secara terbuka dan arusinformasi yang bebas itu penting bagi perancangandan penerapan pemilu demokratis yang sah dandiselenggarakan secara efektif.
Ucapan Terima Kasih: Jika Anda menemukaninformasi berharga dalam penerbitan ini,silakan menggunakannya, menyalinnya, danmenyebarkannya. Tapi, dalam hal apa pun,diperlukan penyebutan buku ini dan situs webACE Project sebagai sumber bahan-bahan,bersama dengan nama-nama mitra proyek dan,jika mungkin, nama pengarang. Jika suatucontoh digunakan, sumber aslinya juga harusdisebut.
Pemberitahuan: Bila bagian-bagian dari buku iniatau situs web ACE Project atau CD-ROM
digandakan, para mitra proyek meminta Andamemberitahu �Koordinator ACE Project� di salahsatu dari alamat-alamat di bawah ini.
Permintaan Penggunaan/Izin: Informasi daripenerbitan ini tidak boleh digunakan untuktujuan-tujuan komersial atau pengumpulan danatanpa izin langsung dan tertulis kepada PanitiaPengarah ACE Project. Permintaan izin semacamitu bisa diajukan tertulis kepada �Koordinator ACEProject� di satu dari alamat-alamat di bawah ini.
Terjemahan �Tak Resmi�: Untuk penerjemahan kebahasa lain, harap ditunjukkan bahwa itupenerjemahan tak resmi dan dilakukan oleh Andasendiri atau organisasi Anda.
Sebuah �kerja yang terus berlangsung�: Isipenerbitan ini merupakan sebuah �kerja yang terusberlangsung�. Pengguna sumber ini dipersilakandan didorong untuk berpartisipasi dalamevolusinya dengan memberikan umpan balikdalam wujud komentar, kritik, tambahan contohatau usulan-usulan tertulis lainnya.
Umpan balik: Kredit dan pengakuan yang layakdengan rasa terima kasih akan diberikan untukseluruh jenis kontribusi yang substantif. Silakansampaikan komentar Anda ke Tim ManajemenProyek dengan menggunakan tombol �feedback�yang terdapat di setiap dokumen bidang topik, ataudengan menulis ke Koordinator ACE Project disalah satu dari alamat-alamat di bawah ini.
iii
iv
Ucapan Terima Kasih
Terjemahan ini dibiayai dan digunakan oleh IFES Indonesia. Pencetakan difasilitasi oleh
International IDEA, Indonesia, dengan dana dari Australian Agency for International
Development (AusAID).
Catatan Untuk Pembaca
Teks untuk Sistem Pemilu bermula dari situs web ACE. Situs web itu bisa dijumpai di
http://www.aceproject.org. Bila ada rujukan di dalam teks yang aslinya adalah hotlink di
situs web itu, harap menelusurinya dengan mengunjungi situs webnya. Untuk diketahui
bahwa dalam situs webnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris (Contoh: lihat Tinjauan
Historis a see Historical Review)
v
Menggunakan Sumber Informasi Elektronik ACE ProjectPendahuluan Sistem Pemilu
SISTEM PEMILUTinjauan UmumPrinsip DasarPertimbangan AdministratifPertimbangan BiayaKonteks Sosial dan PolitikTinjauan HistorisPetunjuk Praktis Bagi Para Perancang Sistem PemiluReferensi Tambahan
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGANMembentuk Badan Perwakilan yang RepresentatifMembuat Pemilu Terjangkau dan BerartiMenyediakan Sarana bagi PersatuanMembantu Terbentuknya Pemerintah yang Stabil dan EfisienMemastikan Akuntabilitas Pemerintah dan Wakil RakyatMendukung Hidupnya Partai-Partai Politik yang TerbukaMendorong Adanya Oposisi di Parlemen
PROSES PEMILIHAN SISTEMKonvensi Nasional-Majelis KonstitusiNegosiasiPaksaan dari LuarEvolusi/Kebetulan
KOMPONEN PERANCANGANPilihan-Pilihan Demokrasi Langsung
u Referendum dan Plebisitu Inisiatif Warganegarau Recall Legislatif
Frekuensi/Tanggal/Hari PemiluBesarnya ParlemenPembagian Daerah PemilihanCara Pemungutan SuaraBagaimana Mengkonversi Suara Menjadi KursiMekanisme Khusus
u Pemungutan Suara Wajibu Ketentuan-Ketentuan tentang Kaum Minoritasu Mekanisme Khusus untuk Kaum Wanita
SISTEM MAYORITAS-PLURALITASFirst Past The Post (PFTP)
u First Past The Post-Segi Positifu First Past The Post-Segi Negatif
Block Vote (BV)
INDEKS SISTEM PEMILU
viiviii
11568
11192026
2929303132323333
3434444952
5354545962656669707273747981
8282838587
vi
u Block Vote-Segi Positifu Block Vote-Segi Negatif
Alternative Vote (AV)u Alternative Vote-Segi Positifu Alternative Vote-Segi Negatif
Two Round System (TRS)u Two Round System-Segi Positifu Two Round System-Segi Negatif
SISTEM SEMI PROPORSIONALParalel
u Paralel-Segi Positifu Paralel-Segi Negatif
Limited Vote (LV)u Limited Vote-Segi Positifu Limited Vote-Segi Negatif
Single Non-Transferable Vote (SNTV)u Single Non-Transferable Vote-Segi Positifu Single Non-Transferable Vote-Segi Negatif
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONALAlokasi KursiRepresentasi Proporsional (RP) Daftar
u RP Daftar-Segi Positifu RP Daftar-Segi Negatif
Mixed Member Proportional (MMP)u Mixed Member Proportional-Segi Positifu Mixed Member Proportional-Segi Negatif
Single Transferable Vote (STV)u Single Transferable Vote-Segi Positifu Single Transferable Vote-Segi Negatif
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGANREPRESENTASI PROPROSIONAL
Batas Representasi (Threshold)ApparentementDaftar Terbuka, Tertutup dan BebasUkuran Distrik
DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINYAPemilihan Presiden
u First Past The Post (FPTP)u Sistem Pemilihan Presiden Dua Putaran (TRS)u Preferential Voting (PV)u Persyaratan Penyebaran
Pemilihan Majelis Tinggi (Senat)Pemilihan Pemerintah Lokal dan Regional
8888899090919293
94949595969696979798
99100100101103105106106107108108
109
109110110112
114
118118118119120122122123
INDEKS SISTEM PEMILU
vii
Media Penyebaran
ACE Project telah mengumpulkan sumbermenyeluruh yang mudah diakses tentangadministrasi pemilu dan menerbitkannya di Internetdan CD-ROM.
Situs web ACE Alamat situs web ACE adalah http://www.aceproject.org. Situs web ini memuatinformasi terkini yang berkaitan dengan seluruhsegi bahan-bahan ACE Project, juga jalurpenghubung ke sumber-sumber informasieksternal. Sebagian besar dokumen di situs webACE bisa dilihat dengan browser Internet apa pun(misalnya Netscape Navigator, MS InternetExplorer). Beberapa dari dokumen di situs web,seperti bahan-bahan contoh dan dokumen yangberkaitan dengan pemilu, sudah diubah formatnyaagar pengguna bisa melihatnya dan mencetaknyasebagaimana aslinya. Peranti lunak Adobe AcrobatReaderTM diperlukan untuk melihat dokumen-dokumen ini. Jika di komputer Anda tak ada AdobeAcrobat Reader, memasangnya mudah. Pirantilunak ini tersedia cuma-cuma dan bisa diambil darisitus web Adobe di http://www.adobe.com.
CD-ROM ACE CD-ROM ACE berisi dokumen-dokumen teks dan grafis yang terdapat di situs webACE, meski situs web itu mungkin sudah diperbaruisejak penerbitan CD-ROM. Tapi CD-ROM kerapmenjadi bahan rujukan yang lebih cepat. CD-ROMbisa dibaca dengan komputer bersistem operasiWindows, Macintosh, atau Unix. Petunjuk teknisuntuk menggunakan CD-ROM disertakan di dalampaket CD-ROM. Untuk melihat isinya tidak harusterhubung dengan Internet.
MENGGUNAKAN SUMBER INFORMASIELEKTRONIK ACE PROJECT
Menjelajah Penerbitan Elektronik ACE
Menjelajah situs web ACE atau CD-ROM dilakukandengan menggunakan antarmuka browser web.Untuk memasuki situs web ACE, hubungkankomputer dengan Internet dan kemudian langsungmengetikkan alamat http://www.aceproject.org ditempat bertanda �URL� atau alamat Internet. Untukmenggunakan CD-ROM, masukkan cakram CD-ROM ke drive CD-ROM dan lihat daftar isinya. Klikdua kali dokumen bernama home.htm. Begitu homepage ACE terbuka, menjelajah penerbitan ACE samasaja, terlepas dari apakah CD-ROM atau situs webyang digunakan.
Setelah mengklik home page, daftar isi ACE akantampak. Pilih sebuah bidang topik dari salah satulabel (tab) berwarna yang ada, atau pilih satu daridokumen-dokumen lain untuk informasi lebihbanyak tentang proyek atau daftar contoh bahan-bahan atau sumber daya elektronik tambahan yangberkaitan dengan administrasi pemilu. Perpindahandi antara bagian-bagian terpisah dan bidang topikdilakukan dengan mengklik salah satu tab berwarnayang terdapat di setiap halaman pendahuluan atauyang melintang di atas jendela browser (atau layarmonitor komputer) di setiap halaman pada versi�frame�.
Di dalam setiap bidang topik bisa ditemukankerangka seluruh dokumen di topik itu denganmenekan tombol indeks di bagian atas halaman, ataubagian kiri jendela browser untuk versi �frame�.Kerangka, atau indeks, ini dirancang memperbaruidiri sendiri secara terus-menerus, yang me-mungkinkan pengguna tetap mengingat di manasetiap dokumen berada dalam hubungannya denganbidang topik secara keseluruhan. Di seluruh teksbidang topik disediakan hyper-link untukmemudahkan akses ke informasi yang berkaitan.
viii
ACE ProjectVersi O - Oktober, 1998
Topik Sistem Pemilu berhubungan dengan hal-hal mengenai tipe perwakilan dan sifat demokrasiyang dijadikan dasar sistem pemilu. Pilihan sistem pemilu merupakan sebuah keputusan yangfundamental mengenai bagaimana politik akan dirancang. Sekali dipilih, sistem pemilu cenderunguntuk tetap konstan. Sebagai tinjauan umum topik Sistem Pemilu, silakan melihat Tinjauan Umum.Tinjauan historis yang singkat tentang evolusi sistem-sistem pemilu dapat ditemukan dalamTinjauan Historis.
Dalam menentukan sistem pemilu yang sesuai, para perancang harus memperhitungkanPertimbangan Administratif dan Pertimbangan Biaya sebagai tambahan pada Prinsip Dasar.Pembicaraan mengenai komponen-komponen sistem pemilu, termasuk frekuensi pemilu, ukuranparlemen, metode pemungutan suara, dan perhitungan suara menjadi kursi, dapat ditemukandalam Komponen Perancangan. Contoh-contoh mengenai bagaimana sistem pemilu dipilih (dandiubah) dapat ditemukan dalam Proses Pemilihan Sistem.
Untuk tujuan proyek ini, sistem pemilu dikategorisasikan dalam tiga kelompok besar: SistemMayoritas-Pluralitas, Sistem Semi-Proporsional, dan Sistem Representasi Proporsional. Dalamkelompok-kelompok tersebut terdapat �sub-sub kelompok� (ada 10 sub kelompok). Sebanyak212 sistem pemilu parlementer dapat dikategorisasikan dalam salah satu dari 10 anak-kelompoktersebut.
Berbagai macam variasi Contoh Negara memberikan contoh kongkrit yang rinci mengenaibagaimana sistem pemilu dilaksanakan secara nyata. Contoh jenis-jenis surat suara yang berbedadapat dilihat dalam Contoh Perlengkapan. Terdapat juga daftar Referensi Tambahan untuk merekayang ingin menjelajahi lebih jauh masalah-masalah yang kadangkala rumit sehubungan dengansistem pemilu.
PENDAHULUAN SISTEM PEMILU
ix
1
SISTEM PEMILU
Tinjauan UmumOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Pemilihan suatu sistem pemilu merupakan salah satu
keputusan kelembagaan yang penting bagi setiap
negara demokrasi. Meskipun demikian, jarang sekali
sistem pemilu dipilih secara sadar dan disengaja.
Seringkali pilihan tersebut datang secara kebetulan,
karena adanya beberapa peristiwa yang terjadi secara
simultan, karena trend yang sedang digandrungi, atau
karena keajaiban sejarah. Dampak kolonialisme dan
pengaruh negara tetangga seringkali menjadi
pendorong dalam memilih sistem pemilu. Meskipun
demikian, hampir setiap kasus pemilihan sistem
pemilu mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan
politik masa-depan negara yang bersangkutan. Dalam
kebanyakan kasus, sekali dipilih, sistem pemilihan
umum tersebut akan kurang lebih tetap sama karena
kepentingan politik hanya akan mengkristal di sekitar
dan bereaksi terhadap insentif yang ditimbulkan
sistem tersebut.
Bila jarang sekali terdapat sistem pemilu yang
dipilih secara sengaja, lebih jarang lagi didapat
sistem pemilu yang dirancang secara seksama untuk
memenuhi kondisi sejarah dan sosial tertentu
sebuah negara. Setiap negara demokrasi baru harus
memilih (atau mewarisi) sebuah sistem pemilu
untuk memilih parlemennya, tetapi keputusan
tersebut seringkali dipengaruhi oleh salah satu dari
keadaan dibawah ini:
� para pelaku politik kurang mempunyai
informasi dan pengetahuan yang cukup
sehingga berbagai bentuk dan konsekuensi
sebuah sistem pemilu tidak mereka ketahui
seluruhnya atau, sebaliknya
� para pelaku politik menggunakan penge-
tahuan mereka mengenai sistem-sistem
pemilu untuk mengajukan sistem pemilihan
tertentu, yang menurut mereka dapat
memberikan keuntungan bagi pihaknya.
Baik menurut skenario pertama maupun kedua,
pilihan yang diambil mungkin bukan yang terbaik
untuk kesehatan politik jangka panjang negara yang
bersangkutan. Bahkan seringkali pilihan tersebut
membawa dampak yang sangat merugikan bagi
kelangsungan demokrasi negara tersebut.
Jadi latar belakang pemilihan suatu sistem pemilu
sama pentingnya dengan sistem itu sendiri. Kita
tidak boleh berandai-andai bahwa keputusan
seperti itu dibuat tanpa pengaruh politik apapun.
Malahan pertimbangan keuntungan politis hampir
selalu menjadi faktor dalam pemilihan sistem
pemilu� kadang kala bahkan merupakan satu-
satunya pertimbangan. Sedangkan kita tahu bahwa
pilihan atas sistem pemilu yang tersedia, pada
dasarnya, relatif sedikit. Yang juga terjadi adalah
bahwa perhitungan kepentingan politik jangka
pendek seringkali mengaburkan dampak jangka
panjang sistem pemilu tertentu dan kepentingan
sistem politik yang lebih luas. Oleh karenanya,
dengan menyadari adanya hambatan-hambatan
praktis, kami berusaha mendekati masalah
pemilihan sistem pemilu seluas dan
sekomprehensif mungkin.
2
SISTEM PEMILU
Unsur sistem pemilu yang kami angkat dalam buku
ini ditujukan khususnya kepada para negosiator
politik dan pembuat undang-undang di negara-
negara demokrasi baru, yang sedang belajar, dan
yang sedang menjalani masa transisi. Meskipun
demikian, karena menciptakan sebuah institusi
politik merupakan tugas yang penting, tidak hanya
bagi negara-negara demokrasi baru, tetapi juga
untuk negara-negara demokrasi mapan, yang
sedang mengadaptasi sistemnya agar dapat
merefleksikan realitas politik baru. Tulisan ini juga
mencoba memenuhi kebutuhan orang-orang di
negara-negara yang demokrasinya sedang tumbuh
atau sudah mapan, yang mungkin sedang
merancang sistem-sistem pemilu. Karena
karakteristik target pembacanya, kami harus
menyederhanakan banyak kajian-kajian akademis
yang tersedia, meskipun kami tidak dapat
melepaskan diri dari pembahasan beberapa hal
yang lebih kompleks yang terkait dengan masalah
tersebut. Apabila kadang-kadang kami kelihatan
terlalu sederhana atau kadang-kadang terlalu
kompleks, alasannya terletak pada usaha kami
untuk menyeimbangkan antara bagaimana
membuat uraiannya jelas sekaligus komprehensif.
Meskipun keadaan yang mendasari pilihan
konstitusional di negara-negara demokrasi baru
maupun yang sudah mapan sangat berbeda satu
sama lain, tujuan jangka panjang sebagian besar
negara demokrasi pada umumnya sama: membentuk
institusi yang cukup kuat untuk menunjang
demokrasi yang stabil, tetapi cukup fleksibel
menghadapi perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Baik negara demokrasi baru maupun yang sudah
mapan harus banyak saling belajar dari pengalaman
negara lainnya. Desain kelembagaan merupakan
sebuah proses yang terus berkembang, dan kami
membuat pokok kesimpulan atas pelajaran yang
kami ambil dari contoh-contoh kongkrit desain
kelembagaan dari berbagai pelosok dunia.
Sistem Pemilu dan Konstitusi
Banyak desain konstitusional yang relatif belum lama
terbentuknya: gerakan global untuk menciptakan
pemerintahan yang demokratis pada tahun 1980-an
dan 1990-an mendorong segera dicarinya suatu
model pemerintahan perwakilan yang sesuai, dan
juga evaluasi baru mengenai sistem pemilu. Proses
ini didorong oleh munculnya kesadaran yang meluas
bahwa pilihan lembaga politik dapat membawa
dampak yang signifikan terhadap sistem politik yang
lebih luas � misalnya, semakin disadarinya bahwa
sistem pemilu dapat membantu �merekayasa�
kerjasama dan akomodasi pada masyarakat yang
terpecah. Desain sistem pemilu sekarang diterima
sebagai suatu masalah yang sangat penting atas
masalah-masalah penyelenggaraan negara lain yang
lebih luas, bahkan mungkin yang paling berpengaruh
dari semua institusi politik.
Lewat penyajian analisa terinci mengenai pilihan dan
konsekuensinya, dan dengan menunjukkan
bagaimana sistem pemilihan umum telah berjalan
di negara-negara demokrasi, kami berharap untuk
dapat mencapai dua hal:
3
SISTEM PEMILU
� menambah pengetahuan dan mendorong
diskusi politik dan masyarakat; dan
� menyediakan alat bagi para penyusun
konstitusi agar dapat membuat pilihan, dan
dengan demikian menghindari disfungsi-
onalitas dan efek ketidakstabilan sebagai
akibat dari pemilihan sistem pemilu tertentu.
Pada tingkat yang paling dasar, sistem pemilu
mengkonversi suara yang diperoleh partai politik
atau caleg dalam pemilu menjadi kursi. Variabel-
variabel kuncinya adalah: 1) model pemilu yang
digunakan (misalnya: apakah sistem mayoritas atau
proporsional, dan rumus matematis apa yang dipakai
untuk menghitung perolehan kursi) dan 2) ukuran
distrik, bukan berdasarkan banyaknya pemilih yang
tinggal di sebuah wilayah tertentu, tetapi berdasarkan
banyaknya anggota parlemen yang dipilih untuk
wilayah tersebut.
Desain sistem pemilu berkaitan erat dengan aspek
administratif pemilu lainnya yang dibahas dalam web-
site ini, seperti misalnya penempatan TPS, (lihat
Pelaksanaan Pemungutan Suara), pencalonan caleg
(lihat Partai Politik dan Caleg), pendaftaran pemilih
(lihat Pendaftaran Pemilih), siapa yang melaksanakan
pemilu dan hal-hal lain � lihat Indeks Manajemen
Pemilu. Masalah-masalah ini begitu penting, dan segi-
segi positif setiap sistem yang dipilih akan menjadi
kurang berarti, apabila hal-hal yang disebutkan tadi
tidak diperhatikan dengan baik. Desain sistem pemilu
juga mempengaruhi bidang lain dalam peraturan
perundang-undangan pemilu: dipilihnya sistem
pemilu mempunyai pengaruh bagaimana membagi
distrik pemilihan (lihat Indeks Pemetaan Distrik
Pemilihan), perancangan kertas suara (lihat
Pelaksanaan Pemungutan Suara), dan bagaimana
menghitung suara (lihat Penghitungan Suara), dan
juga banyak aspek lain dalam proses pemilu.
Ringkasan Jenis-Jenis Sistem Pemilu
Ada ratusan jenis sistem pemilu yang saat ini dipakai
di seluruh dunia dan ada banyak lagi varian dari
setiap jenis tersebut. Namun demikian, agar
pembahasannya menjadi lebih sederhana, kami
kelompokkan berbagai jenis sistem pemilu ke dalam
tiga kelompok besar:
� pluralitas-mayoritas
� semi-proporsional, dan
� proporsional
Dari tiga kelompok besar ini, ada sepuluh �anak
kelompok�
� First Past the Post (FPTP)
� Block Vote (BV)
� Alternative Vote (AV), dan
� Sistem Dua Putaran, Two-Round System
(TRS); kesemuanya merupakan sistem
pluralitas-mayoritas.
� Sistem Paralel
� Limited Vote (LV)
� Single Non-Transferable Vote (SNTV);
kesemuanya merupakan sistem semi-
proporsional.
4
SISTEM PEMILU
� Representasi Proporsional Daftar, RP Daftar,
� Mixed Member Proportional (MMP), dan
� Single Transferable Vote (STV); kesemuanya
merupakan sistem proporsional.
Semua sistem pemilu parlementer yang tercantum
dalam Pemakaian Sistem Pemilu di Seluruh Dunia
(total 212 sistem) dapat dimasukkan dalam salah satu
kategori sepuluh nama diatas. �Silsilah� ini,
meskipun sudah mendarah daging dalam konvensi-
konvensi yang telah lama dipraktekkan, adalah yang
pertama kali mencakup semua sistem pemilu yang
digunakan dalam pemilihan anggota parlemen di
dunia saat ini, tanpa menghiraukan pertanyaan
mengenai demokrasi dan legitimasi yang lebih luas.
Kami berharap tulisan ini dapat memberikan
pedoman yang jelas dan singkat untuk dapat
menentukan pilihan atas suatu sistem pemilu.
Cara yang paling umum untuk mengamati suatu
sistem pemilu adalah dengan mengelompokkan
mereka sesuai dengan tingkat efisiensi sistem
tersebut dalam mengkonversi perolehan suara
nasional menjadi kursi parlemen; artinya seberapa
proporsionalkah mereka. Ini dapat dilakukan dengan
cara melihat baik hubungan suara - kursi maupun
banyaknya suara yang terbuang. Misalnya, Afrika
Selatan menggunakan sistem proporsional klasik
untuk pemilu pertamanya yang demokratis pada
tahun 1994, dan dengan 62,65% suara yang
diperoleh Partai Kongres Nasional Afrika (ANC)
memenangkan 63% kursi nasional (lihat Afrika
Selatan: Sistem Pemilu dan Konflik Manajemen).
Sistem pemilu yang dipakai ini sangat proporsional,
dan jumlah suara yang terbuang (yaitu suara yang
diberikan kepada partai namun tidak membuahkan
kursi di Parlemen) hanya 0,8% dari total suara.
Sangat berbeda dengan satu tahun sebelumnya, di
negara tetangganya Lesotho, sistem First Past the
Post (FPTP) yang merupakan sistem mayoritas
klasik memberikan kemenangan kepada Partai
Kongres Basotho dengan mengambil seluruh 65
kursi dengan perolehan suara 75% dari suara total;
jadi tidak ada oposisi di parlemen sama sekali; dan
25% pemilih yang memilih partai lain sama sekali
tidak terwakili. Hasil ini juga terlihat dalam sistem
Block Vote pada pemilu Djibouti di tahun 1992,
ketika seluruh 65 kursi dimenangkan oleh
Rassemblement Populaire le Progres dengan
perolehan suara 75% dari total suara.
Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu, sistem
pemilu non-proporsional (seperti FPTP) dapat secara
tidak sengaja memberikan hasil yang secara
keseluruhan cukup proporsional. Ini yang terjadi di
sebuah negara ketiga yang terletak di Afrika bagian
selatan, Malawi, pada tahun 1994. Dalam pemilu
tersebut, partai terbesar, Front Demokratik Bersatu
(United Democratic Front) memenangkan 48% kursi
dengan perolehan suara 46%, Partai Kongres Malawi
memenangkan 32% kursi dengan perolehan suara
34%, dan Aliansi untuk Demokrasi memenangkan
20% kursi dengan perolehan suara 19%. Tingkat
proporsionalitas secara keseluruhan tinggi, tetapi
fakta yang menunjukkan bahwa sistem ini bukan
merupakan sistem proporsional karena suara yang
terbuang masih berkisar hampir seperempat total
5
SISTEM PEMILU
suara yang diberikan, dan dengan demikian, tidak
dapat dikategorikan sebagai sistem proporsional.
Prinsip DasarOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Rancangan sebuah Sistem Pemilu harus mencip-
takan sebuah sistem yang mencakup prinsip-prinsip
berikut ini (prinsip-prinsip ini dirinci dalam Prinsip-
Prinsip Perancangan):
1. Memastikan terbentuknya sebuah parlemen
yang representatif, lihat Membentuk Badan
Perwakilan yang Representatif;
2. Membuat Pemilu terjangkau dan berarti bagi
para pemilih pada umumnya, lihat Membuat
Pemilu Terjangkau dan Berarti;
3. Menyediakan sarana bagi rekonsiliasi partai
yang semula bermusuhan, lihat Menye-
diakan Sarana bagi Persatuan;
4. Menjaga citra legitimasi Dewan dan
Pemerintah;
5. Membantu terbentuknya pemerintah yang
stabil dan efisien, lihat Membantu Terben-
tuknya Pemerintah yang Stabil dan Efisien;
6. Mendorong terbentuknya suatu sistem yang
memungkinkan pemerintah dan para wakil
rakyat dapat bertanggungjawab secara
maksimal, lihat Memastikan Akuntabilitas
Pemerintah dan Wakil Rakyat;
7. Mendukung hidupnya partai-partai politik
yang �terbuka,� lihat Mendukung Hidupnya
Partai-Partai Politik yang �Terbuka;�
8. Mendorong munculnya oposisi di parlemen,
lihat Mendorong Adanya Oposisi di
Parlemen;
9. Apakah realistis berdasarkan kemampuan
keuangan dan administrasi negara, lihat
Pertimbangan Biaya;
Dalam Petunjuk Praktis bagi Para Perancang Sistem
Pemilu, kami akan membicarakan lebih rinci
beberapa beberapa hal di bawah ini yang dapat
dipakai dalam merancang sebuah Sistem Pemilu:
1. Buatlah sesederhana mungkin, tetapi
2. Jangan takut untuk berinovasi;
3. Perhatikan faktor kontekstual dan waktu;
4. Jangan meremehkan kecerdasan para
pemilih;
5. Jika harus membuat pertimbangan, lebih
baik melibatkan banyak pihak daripada tidak
sama sekali (err on the side of inclusion);
6. Pahamilah bahwa proses pemilihan sebuah
sistem pemilu sama pentingnya dengan hasil
akhir;
7. Usahakan agar sistem yang dipilih men-
dapatkan legitimasi dan penerimaan dari
semua pemain kunci;
8. Cobalah untuk memaksimalkan pengaruh
para pemilih, tetapi
9. Imbangi dengan kebutuhan untuk men-
dorong adanya kedekatan partai-partai
politik dengan rakyat;
10. Ingatlah bahwa stabilitas jangka panjang dan
keuntungan jangka pendek tidak selalu dapat
6
berjalan bersama-sama;
11. Jangan pernah berpikir bahwa sistem pemilu
merupakan obat untuk segala penyakit,
tetapi
12. Sebaliknya, jangan meremehkan penga-
ruhnya;
13. Perhatikan hasrat para pemilih untuk
menerima perubahan;
14. Jangan menjadi budak sistem-sistem
terdahulu;
15. Pertimbangkan dampak sebuah sistem baru
terhadap konflik sosial, dan akhirnya
16. Coba bayangkan hal-hal yang tidak biasa
atau agak mustahil yang mungkin terjadi.
Pertimbangan AdministratifOleh: Andrew Reynolds
Institusi politik membuat aturan main pelaksanaan
demokrasi, dan sistem pemilu seringkali dianggap
sebagai institusi politik yang paling mudah
dimanipulasi, baik untuk hal-hal baik maupun yang
tidak baik. Pendapat ini benar karena dalam
mengkonversi perolehan suara pemilu menjadi kursi
di parlemen, pemilihan sistem pemilu secara efektif
dapat menentukan siapa yang dipilih dan partai
mana yang berkuasa. Bahkan dengan perolehan
suara yang persis sama untuk partai tertentu, sebuah
sistem pemilu dapat menyebabkan terbentuknya
pemerintahan koalisi, sedangkan sistem lain dapat
memungkinkan sebuah partai memperoleh
kekuasaan mayoritas. Kedua contoh di bawah ini
menunjukkan bagaimana sistem pemilu yang
berbeda dapat mengkonversi perolehan suara
menjadi hasil yang sama sekali berbeda.
Tetapi sejumlah akibat lain dari suatu sistem pemilu
yang dipakai melampaui efek primer tadi. Model
sistem partai politik yang berkembang, secara khusus
jumlah dan besarnya partai-partai politik di
parlemen, sangat dipengaruhi oleh sistem pemilu.
Begitu juga hubungan internal dan disiplin partai
politik: beberapa sistem pemilu dapat mendorong
terbentuknya banyak fraksi, dimana berbagai faksi
dari suatu partai secara terus-menerus berhadapan
dengan faksi yang lain; dipihak lain, sebuah sistem
yang berbeda mendorong suatu partai untuk selalu
mengeluarkan suara yang satu dan menekan mereka
yang berbeda pendapat. Sistem pemilu dapat pula
mempengaruhi cara berkampanye partai-partai
politik dan kelakuan elit politik, dan dengan
demikian membantu menentukan iklim politik
yang lebih baik; sistem pemilu dapat juga
mendorong, atau memperlambat, terbentuknya
aliansi antar partai; dan sistem pemilu dapat juga
memberikan dorongan bagi partai-partai atau
kelompok untuk menjadi terbuka dan akomodatif,
atau memberikan peluang terbentuknya partai yang
berdasar pada lingkup yang lebih sempit, seperti
kesamaan etnis atau ciri. Disamping itu, apabila
sebuah sistem pemilu dianggap tidak �adil� dan
tidak memberikan kepercayaan bagi kelompok
oposisi akan peluang mereka untuk menang pada
pemilu berikutnya, sistem tersebut dapat
mendorong mereka yang kalah untuk bekerja di luar
sistem, menggunakan cara-cara yang tidak
SISTEM PEMILU
7
demokratis, konfrontatif, dan bahkan menggunakan
taktik-taktik yang berbau kekerasan. Dan akhirnya
pilihan atas suatu sistem pemilu akan menentukan
tingkat kesukaran pengambilan suara. Hal ini selalu
penting, tetapi akan menjadi semakin penting
dalam masyarakat dimana sebagian besar
pemilihnya belum berpengalaman atau buta huruf.
Meskipun demikian, penting dicatat bahwa sebuah
sistem pemilu tertentu tidak serta-merta memberikan
hasil yang sama bila diterapkan di tempat lain.
Meskipun ada pengalaman serupa di beberapa
tempat berlainan di seluruh dunia, konteks sosial
politik dimana sistem tersebut digunakan, pada
umumnya, mempunyai pengaruh terhadap sistem
pemilu tersebut. Pengaruh sistem pemilu tergantung
pada faktor-faktor seperti bagaimana susunan
masyarakat tersebut berdasarkan ideologi, agama,
etnis, ras, daerah, bahasa, dan pembagian kelas
sosial; apakah negara tersebut merupakan sebuah
negara demokrasi yang sudah mapan, negara
demokrasi dalam transisi, atau negara demokrasi
baru; apakah ada sistem partai politik yang sudah
mapan, apakah partai-partai politik yang ada masih
Daerah PerolehanPemilihan kursi
1 2 3 4 5 Total % P-M PR
Partai A 3000 2600 2551 2551 100 10802 43 4 2
Partai B 2000 2400 2449 2449 4900 14198 57 1 3
5000 5000 5000 5000 5000 25000 100
Contoh pertama
Ket.: P-M = Sistem Pluralitas-mayoritas (FPTP),PR = Sistem Representasi Proporsional (RP)
dalam taraf embrio dan
belum jelas bentuknya, dan
ada berapa partai yang
merupakan partai yang
benar-benar �serius�; dan
apakah para pendukung
partai tertentu terkonsentrasi
secara geografis atau tersebar
di wilayah yang luas.
Pengaruh sistem pemilu
dalam konversi suara
menjadi kursi
Mari kita ambil contoh
sebuah pemilu imajiner (dua
partai politik mempere-
butkan 25.000 suara) yang
dilaksanakan dengan dua
sistem pemilu yang berbeda:
sistem First Past the Post
Daerah PerolehanPemilihan kursi
1 2 3 4 5 Total % P-M PR
Partai A 3000 2000 2000 200 50 7250 29 3 1
Partai B 500 500 500 3750 500 5750 23 1 1
Partai C 500 250 750 1000 3000 5500 22 1 1
Partai D 750 500 1700 25 1025 4000 16 0 1
Partai E 250 1750 50 25 425 2500 10 0 1
5000 5000 5000 5000 5000 25000 100 5 5
Contoh kedua
Ket.: P-M= Sistem Pluralitas-mayoritas (FPTP), PR = Sistem RepresentasiProporsional (menggunakan metode alokasi kursi sisa suara terbanyak dengankuota Hare).
SISTEM PEMILU
8
SISTEM PEMILU
pluralitas-mayoritas dengan lima distrik wakil
tunggal (single member districts), dan sistem
representasi proporsional daftar (RP Daftar) dengan
sebuah daerah pemilihan yang besar.
Dalam contoh di atas, Partai A dengan 43% suara
mendapatkan suara yang jauh lebih kecil dari partai
B (dengan 57%), tetapi dalam sistem pluralitas-
mayoritas mereka memenangkan empat kursi dari
lima kursi yang tersedia. Sebaliknya, dalam sistem
proporsional Partai B memenangkan lebih banyak
kursi (tiga) dibandingkan dengan dua kursi yang
diperoleh Partai A. Contoh ini keli-hatan ekstrem,
tetapi hasil yang diperoleh sebuah distrik seringkali
seperti itu dalam pemilu model pluralitas-mayoritas.
Pada contoh yang kedua, perolehan suara diubah
dan sekarang ada lima partai yang bertarung dalam
pemilu, sedangkan sistem yang dipakai masih dua
sistem di atas.
Dalam contoh kedua, lima partai bersaing. Dengan
sistem RP, setiap partai memperoleh satu kursi
meskipun kenyataannya Partai A memperoleh suara
tiga kali lebih besar dari Partai E. Dengan sistem FPTP,
partai yang paling besar, Partai A akan mendapatkan
mayoritas dari lima kursi tadi dan dua partai yang
mendapatkan suara terbesar berikutnya (B dan C)
masing-masing mendapatkan satu kursi. Dengan
demikian, cara memilih sistem pemilu tadi, akan
mempunyai pengaruh yang sangat besar atas
komposisi parlemen, dan juga, akhirnya
pemerintahan.
Pertimbangan BiayaOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Pilihan atas suatu sistem pemilu memiliki cakupan
konsekuensi administratif yang luas, dan pada
akhirnya tergantung tidak hanya pada kapasitas
logistik nasional untuk menyelenggarakan pemilu,
tapi juga pada jumlah dana yang dapat dikeluarkan
negara tersebut. Memilih sistem yang paling mudah
dan paling murah mungkin saja merupakan suatu
langkah ekonomis yang keliru untuk jangka panjang,
karena sistem pemilu yang tidak berfungsi bisa
memiliki dampak negatif dalam keseluruhan sistem
politik negara dan stabilitas demokrasinya. Pilihan
atas suatu sistem pemilu akan mempengaruhi
berbagai jenis masalah administratif yang
dikemukakan dalam paragraf-paragraf berikut ini.
Penentuan Daerah-daerah Pemilihan
(lihat Indeks Pemetaan Distrik Pemilihan)
Sistem pemilu distrik wakil tunggal manapun
membutuhkan proses yang mahal dan menyita
waktu untuk menentukan batas-batas daerah-daerah
pemilihan yang kecil berdasarkan ukuran populasi,
kepaduan, �minat masyarakat,� dan kedekatan antara
pemilu yang satu dan yang lain. Lebih lanjut lagi,
hal tersebut jarang menjadi tugas sekali jadi karena
perbatasan disesuaikan secara periodik guna
mengikuti perubahan populasi. Dalam hal ini,
sistem-sistem seperti First Past the Post (FPTP),
Alternative Vote (AV), dan Dua Putaran (TRS)
memberikan persoalan administratif yang paling
9
SISTEM PEMILU
rumit. Sistem-sistem Block Vote, Single Non-
Transferrable Vote (SNTV), Parallel, Mixed-Member
Proportional (MMP), dan Single-Transferrable Vote
(STV) juga mensyaratkan pembagian daerah-daerah
pemilihan, akan tetapi lebih mudah diatur sebab
sistem-sistem tersebut menggunakan distrik wakil
majemuk yang lebih sedikit dan lebih besar.
Pada ujung skala yang lain, sistem RP Daftar
seringkali merupakan yang paling murah dan paling
mudah untuk dikelola. Sebabnya, sistem tersebut
hanya menggunakan satu daerah pemilihan nasional
yang tidak membutuhkan pembagian daerah
pemilihan, atau menggunakan distrik wakil
majemuk yang sangat luas, yang sesuai dengan batas-
batas propinsi atau negara bagian yang sudah ada.
Pemilu transisi di Sierra Leone pada tahun 1996
harus diadakan dalam sistem RP Daftar nasional.
Perang saudara di negara tersebut dan perpindahan
penduduk sebagai akibatnya berarti bahwa,
meskipun seandainya mereka sangat menginginkan-
nya, badan-badan pemilu di sana tidak mempunyai
data populasi yang diperlukan untuk menentukan
distrik wakil tunggal yang lebih kecil.
Pendaftaran Pemilih
(lihat Ikhtisar Pendaftaran Pemilih)
Pendaftaran pemilih merupakan bagian dari
administrasi pemilu yang paling kompleks,
kontroversial, dan seringkali dianggap sebagai
tahapan yang paling kurang kesuksesannya. Pemilu
Zambia 1996 menunjukkan hal tersebut, dimana
kurang dari setengah populasi yang memenuhi syarat
untuk memilih didaftar, meskipun ada usaha-usaha
kampanye pendaftaran secara besar-besaran yang
dilakukan oleh sebuah perusahaan swasta. Sistem
apapun yang menggunakan distrik wakil tunggal
biasanya mensyaratkan bahwa semua pemilih harus
didaftar dalam lingkup distrik tersebut. Oleh karena
itu, dengan adanya perpindahan alami pemilih,
senantiasa dibutuhkan pembaharuan daftar pemilih
secara terus-menerus. Hal ini berarti bahwa sistem
Paralel dan sistem MMP bergabung dengan sistem
FPTP, AV, dan TRS sebagai sistem yang paling mahal
dan secara administratif menyita waktu dalam hal
pendaftaran pemilih. Lebih sedikitnya distrik wakil
majemuk dalam sistem BV, SNTV, dan STV,
membuat prosesnya sedikit lebih mudah, sementara
sistem-sistem RP Daftar dengan distrik yang luas
merupakan yang paling tidak rumit. Kesederhanaan
sistem RP Daftar regional dalam konteks ini
merupakan sebuah faktor pendukung dalam pemilu
transisi di Kamboja yang disponsori PBB pada tahun
1993 dan pemilu demokratis pertama di Afrika
Selatan di tahun 1994, lihat Afrika Selatan: Sistem
Pemilu dan Manajemen Konflik. Akan tetapi, harus
ditekankan bahwa variasi-variasi dalam sistem
pemilu hanya memiliki dampak kecil pada biaya
pendaftaran pemilih yang seringkali sangat mahal,
lihat Definisi Metode Pendaftaran Pemilih.
Desain Surat Suara
Surat suara (lihat Pelaksanaan Pemungutan Suara)
sebisa mungkin dibuat agar mudah dimengerti oleh
10
SISTEM PEMILU
semua pemilih, untuk memaksimalkan partisipasi dan
mengurangi suara rusak atau �tidak sah.� Hal ini sering
memerlukan penggunaan simbol-simbol untuk partai
dan caleg, foto, dan warna-warna; sejumlah contoh
surat suara yang menarik digambarkan dalam buku
panduan ini. Surat suara untuk sistem FPTP dan AV
seringkali paling mudah dirancang dan, dalam banyak
kasus, secara relatif memuat sedikit nama. Surat suara
untuk sistem TRS juga mudah, tapi pada umumnya
surat suara yang baru harus dirancang untuk
pemungutan suara putaran kedua, yang jelas-jelas
melipatgandakan biaya produksi. Demikian juga
halnya sistem Paralel dan MMP biasanya memerlukan
perancangan paling sedikit dua jenis surat suara,
meskipun kedua sistem itu untuk suatu pemilihan
tunggal. Surat suara untuk sistem SNTV, BV, dan STV
sedikit lebih kompleks daripada surat suara sistem
FPTP karena jumlah calegnya lebih banyak, dan oleh
karenanya akan ada lebih banyak simbol dan foto (jika
memang digunakan). Kertas surat suara untuk sistem
RP Daftar dapat sangat bevariasi tingkat kesulitannya.
Surat suaranya bisa sangat sederhana, seperti dalam
sistem daftar stelsel, atau sangat kompleks seperti
dalam sistem daftar bebas1, seperti yang dipakai Swiss,
lihat Swiss.
Pendidikan Pemilih (lihat Pendidikan Pemilih)
Jelas bahwa sifat dari dan kebutuhan akan pendidi-
kan pemilih (lihat Indeks Pendidikan Pemilih) secara
dramatis akan bervariasi pada satu masyarakat dan
masyarakat lainnya. Akan tetapi, ketika membicara-
kan pendidikan pemilih tentang bagaimana cara
mengisi surat suara, ada perbedaan yang jelas di
antara masing-masing sistem. Prinsip-prinsip yang
mendasari pemungutan suara dalam sistem
preferensial seperti AV atau STV cukup rumit jika
digunakan untuk pertama kalinya. Masalah tersebut
harus dibicarakan dalam pendidikan pemilih,
terutama jika ada persyaratan penomoran wajib,
seperti kasus di Australia, lihat Alternative Vote di
Australia. Hal yang sama juga berlaku untuk sistem
MMP: setelah lebih dari 50 tahun menggunakan
sistem MMP, banyak orang Jerman salah mengerti
bahwa kedua suara mereka adalah sama, ketika
kenyataannya adalah bahwa suara �RP Nasional�
kedua merupakan faktor penentu kekuatan partai di
parlemen, lihat Jerman: Sistem Mixed Member
Proportional yang Orisinil. Sebaliknya, prinsip-
prinsip yang mendasari sistem suara-tunggal
kategorial sejenis FPTP atau SNTV sangat mudah
dimengerti. Enam sistem lainnya dalam Tabel Lima
berada di antara kedua ekstrim di atas.
Jumlah dan Waktu Pemilu
Sistem pemilu FPTP, AV, Block, SNTV, RP Daftar
Tertutup dan STV pada umumnya hanya
memerlukan satu kali pemilu dalam sehari, lihat
Besarnya Parlemen. Akan tetapi, pada intinya sistem
1 Setiap pemilih dapat memilih berdasarkan daftar caleg/partai yang telah tercantum dalam surat suara, atau mengubahnya dengan cara mencoret ataumengulang nama-nama yang telah tercantum tersebut; ia bahkan dapat memecah suaranya diantara beberapa pilihan yang tersedia (�panachage�) ataumemilih nama-nama dari daftar yang berbeda-beda dengan membuat sebuah daftar baru pada sebuah surat suara kosong.
11
SISTEM PEMILU
Paralel dan MMP menggabungkan dua sistem pemilu
(atau lebih) yang sangat berbeda secara satu sama
lain, dan karenanya memiliki implikasi logistik
terhadap pelatihan petugas-petugas pemilu dan cara
pemberian suara. Sistem Dua-Putaran mungkin
merupakan sistem yang paling mahal dan sulit
dikelola, sebab sering menuntut pengulangan
keseluruhan proses pemilu seminggu atau dua
minggu sesudah pelaksanaan yang pertama.
Penghitungan Suara
Sistem FPTP, SNTV, dan RP Daftar Stelsel yang
sederhana merupakan yang paling mudah
penghitungan suaranya, lihat Penghitungan Suara,
karena hanya satu angka total jumlah suara untuk
setiap partai atau caleg yang dibutuhkan untuk
menentukan hasilnya. Sistem Block Vote menuntut
petugas-petugas pemilu untuk menghitung sejumlah
suara dalam sebuah surat suara. Sistem Paralel dan
MMP hampir selalu memerlukan penghitungan dua
surat suara. Sistem AV dan STV, sebagaimana
lazimnya sistem-sistem preferensial, mengharuskan
penggunaan angka-angka sebagai tanda pada surat
suara. Kedua sistem ini lebih rumit penghi-
tungannya, terutama dalam sistem STV yang
membutuhkan penghitungan kembali nilai transfer
yang berlebih dan sejenisnya secara terus-menerus.
Sejarah, konteks, pengalaman, dan sumber-sumber
daya utamanya akan menentukan berat-ringannya
beban yang ditumpukan sistem pemilu pada
kapasitas administratif sebuah negara.
Konteks Sosial dan PolitikOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Para Konsultan Perancangan Sistem Pemilu akan
menghindari pendekatan �satu ukuran untuk
semua,� yaitu merekomendasikan suatu sistem yang
dapat diterapkan untuk segala situasi. Memang, pada
saat diminta untuk menyebutkan sistem �yang paling
mereka sukai� atau �yang paling baik,� para ahli
konstitusi akan mengatakan �tergantung� dan
biasanya hal tersebut bergantung pada beberapa hal
di bawah ini:
� Bagaimana bentuk masyarakatnya?
� Mereka terbagi menurut apa?
� Apakah pembagian etnik dan masyarakat
cocok dengan tingkah laku dalam memilih?
� Apakah kelompok yang berbeda-beda
tersebut secara geografis tinggal bercampur
menjadi satu atau terpisah satu sama lain?
� Bagaimana sejarah politik negara itu?
� Apakah negara tersebut merupakan negara
demokrasi yang sudah mapan, negara
demokrasi transisi, atau negara yang
memperbaharui sistem demokrasinya?
� Parlemen bekerja dalam situasi konstitusi
umum seperti apa?
Ketika mereka menilai cocok tidaknya sebuah sistem
pemilu tertentu untuk masyarakat yang terpecah, tiga
variabel menjadi sangat penting:
� Pengetahuan akan karakteristik pembagian
masyarakat sangat penting � sifat identitas
12
SISTEM PEMILU
kelompok, intensitas konflik, karakteristik
perseteruan, dan distribusi domisili
kelompok yang berseteru.
� Karakteristik sistem politik, yaitu,
karakteristik negara, sistem partai politik,
dan kerangka undang-undang dasar secara
keseluruhan.
� Proses pemilihan sistem pemilu yang
diadopsi, yaitu, apakah sistem tersebut
diterima dari penguasa kolonial, apakah
dirancang dengan penuh kesadaran, apakah
dipaksakan dari luar, atau apakah sistem
tersebut muncul lewat proses evolusi dan
akibat dari sesuatu yang tidak diinginkan.
Karakteristik Identitas Kelompok
Kerangka Undang-Undang Dasar yang baik haruslah
benar-benar kontekstual dan bertumpu pada situasi
sosial khas bangsa tersebut. Pembagian dalam
masyarakat sebagian dapat dilihat dengan sejauh
mana etnisitas berkorelasi dengan dukungan partai
dan perilaku pemberian suara. Faktor ini sering kali
dapat menentukan apakah rekayasa institusional
dapat menghilangkan konflik etnis atau malahan
mempertahankannya. Ada dua dimensi mengenai
karakteristik identitas kelompok:
� Yang pertama berhubungan dengan sifat
dasar - apakah masyarakat terbagi
berdasarkan kelompok ras, etnis, etno-
nasiolisme, agama, daerah, bahasa;
� Yang kedua berhubungan dengan apakah
pembagian ini sungguh kaku dan mendarah
daging.
Studi mengenai masalah yang kedua ini telah
mengembangkan berbagai antara kekakuan identitas
yang diterima (primordialisme) pada satu sisi dan
kelenturan identitas sosial yang terbangun
(konstruktivis atau instrumentalis) pada sisi yang
lain.
Intensitas Konflik
Variabel kedua, yang terkait dengan karakteristik
sebuah konflik dan sejauh mana konflik tersebut
dapat menerima pemilu, adalah intensitas dan
dalamnya kebencian antar kelompok yang saling
bersaing. Patut diingat bahwa, meskipun perhatian
internasional dan akademis secara alamiah terfokus
pada kasus-kasus yang ekstrem, kebanyakan konflik
etnis tidak memburuk menjadi perang saudara besar-
besaran. Meskipun hanya sedikit masyarakat yang
sama sekali bebas dari antagonisme multi-etnis,
sebagian besar berhasil mempertahankan tingkat
akomodasi timbal-balik yang cukup untuk
menghindari kehancuran sebuah negara. Ada
berbagai contoh negara yang sangat terpecah dimana
bermacam-macam kelompok memelihara hubungan
dingin, namun tetap damai, meskipun terdapat
tingkat antipati yang cukup tinggi satu sama lain,
seperti misalnya hubungan antara etnis Melayu, Cina
dan India di Malaysia. Ada contoh-contoh lain
(misalnya Sri Lanka) - dimana apa yang kelihatan
sebagai lingkungan antar etnis yang baik dan tidak
13
SISTEM PEMILU
terdapat perseteruan rasial, tetapi malah terkungkung
dalam konflik senjata yang hebat. Konflik itu terjadi
kebanyakan di pemerintahan yang demokratis. Ada
juga kasus retaknya hubungan dan �pembersihan
etnis� oleh satu kelompok terhadap kelompok yang
lain, yang terjadi baru-baru ini saja dan sangat
mengerikan, di Bosnia.
Karakteristik Perseteruan
Rancangan sistem pemilu tidak semata-mata
tersubordinasi pada masalah-masalah sosial, tetapi
pada tingkat tertentu, juga terkait dengan
perbedaan-perbedaan budaya. Perseteruan yang
cukup klasik adalah perseteruan mengenai hak-hak
dan status kelompok di sebuah negara demokrasi
yang multi etnis, sebuah sistem yang bercirikan
adanya sebuah lembaga pembuat keputusan yang
demokratis dan adanya dua atau lebih kelompok
etnis. Kelompok etnis ini didefinisikan sebagai
sebuah kelompok manusia yang memandang
dirinya sebagai masyarakat budaya yang berbeda
dengan masyarakat lainnya; yang seringkali masih
menggunakan bahasa yang sama, menganut agama
yang sama, memiliki nenek-moyang yang sama,
dan/atau mempunyai ciri fisik yang sama (seperti
warna kulit); dan mereka yang cenderung
mempunyai perasaan negatif dan bermusuhan
terhadap anggota kelompok lain. Sebagian besar
tulisan ini akan membahas pengelompokan etnis
secara mendasar ini.
Meskipun demikian, jenis-jenis perseteruan lain
seringkali berhubungan dengan perseteruan etnis.
Apabila perpecahan didasari masalah kekayaan,
misalnya, maka cara memilih parlemen nasional
menjadi begitu penting karena perseteruan tersebut
dikelola lewat pengalokasian sumber-sumber daya
oleh pemerintah pusat kepada beberapa wilayah
dan kelompok masyarakat. Dalam hal seperti ini,
sebuah sistem pemilu, yang memberi dorongan
terciptanya parlemen yang dapat mencakup semua
pihak nampaknya akan lebih berhasil dibandingkan
dengan sebuah sistem yang lebih mengedepankan
adanya suatu kelompok mayoritas yang dominan,
atau pembagian etnis, daerah, atau pembagian yang
lain. Sistem pemilu yang dapat merangkul semua
pihak masih harus dipakai apabila perseteruan
tersebut terutama berasal karena alasan budaya,
seperti misalnya melindungi bahasa minoritas dan
sekolah khas budaya tertentu. Mekanisme
institusional lain, seperti otonomi budaya dan hak
veto kaum minoritas, akan sekurang-kurangnya
mempunyai pengaruh yang sama dalam
mengurangi konflik.
Konflik yang timbul karena masalah wilayah
seringkali menuntut pengaturan institusional yang
inovatif, yang dapat melampaui hal-hal positif yang
dapat diciptakan oleh sebuah sistem pemilu. Di
Spanyol dan Kanada, pengaturan asimetris untuk
wilayah Basque dan Quebec dibuat untuk
meredakan tuntutan pemisahan diri, sedangkan
federalisme diperjuangkan sebagai sebuah lembaga
pengelolaan konflik di negara-negara dimana ada
banyak perbedaan seperti Jerman, Nigeria, Afrika
Selatan, dan Swiss.
14
SISTEM PEMILU
Penyebaran Kelompok-kelompok
yang Berkonflik
Pada saat kita memperhatikan beberapa pilihan
pemilu yang berbeda, masalah yang menjadi
pertimbangan paling akhir adalah penyebaran
kelompok etnis, terutama berhubungan dengan
besarnya kelompok tersebut, jumlah anggotanya
serta tingkat konsentrasi dan penyebaran geografis.
Lokasi pemukiman kelompok yang berkonflik
seringkali terkait dengan intensitas konflik diantara
mereka. Kontak antar kelompok tersebut yang sering
sering disebabkan oleh dekatnya lokasi pemukiman,
dapat meningkatkan kebencian timbal balik, namun
demikian hal itu dapat juga menjadi kekuatan
penengah terhadap konflik etnis yang ekstrim.
Kedekatan dapat menimbulkan kebencian, tetapi
dapat juga menimbulkan tingkat penerimaan
tertentu. Maka dari itu, kelompok-kelompok
berkonflik yang tinggal dalam satu wilayah lebih
kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perang
saudara dibandingkan mereka yang bertempat
tinggal di wilayah yang terpisah. Sebaliknya,
pemisahan wilayah kadangkala merupakan satu-
satunya jalan untuk dapat mengelola jenis konflik
etnik yang paling ekstrim � konflik yang
memerlukan pembagian kekuasaan dan otonomi
berdasarkan teritorial formal. Satu contoh kasus
ekstrim, �pembersihan etnis� di Bosnia, daerah-
daerah yang dulu digambarkan sebagai tempat yang
didiami beberapa ras, yakni Serbia, Kroasia, dan
Muslim yang sangat tercampur baur, sekarang ini
menjadi daerah yang didominasi oleh satu
kelompok etnis saja.
Mengerti konteks demografis setiap konflik etnis
sangat penting dalam usaha perbaikan secara
institusional. Jumlah dan penyebaran kelompok
etnis merupakan variabel penting baik untuk model
consociational maupun model centripetal dalam
perekayasaan pemilu untuk masyarakat yang
terpecah. Menurut Lijphart, jumlah segmen yang
paling baik untuk pendekatan consociationalist
adalah tiga atau empat, dan situasi menjadi tidak
menguntungkan kalau semakin banyak kelompok
terlibat. Sebaliknya, pendekatan centripetal
memerlukan tingkat proliferasi kelompok etnis
(atau, setidak-tidaknya, partai-partai kelompok
etnis) agar prasyarat yang sangat penting bagi
pemungutan suara dapat terpenuhi. Kemungkinan
untuk berhasil semakin besar jika jumlah segmen
bertambah. Faktor yang lain adalah ukuran relatif
kelompok etnis: consociationalism lebih menyukai
kelompok etnis yang kira-kira besarnya sama,
meskipun �sistem bikomunal,� dimana dua
kelompok yang besarnya kira-kira sama hidup
berdampingan, dapat menyebabkan munculnya
salah satu formula paling konfrontasional. Untuk
centripetalism, variabel yang sangat penting adalah
konsentrasi atau penyebaran kelompok etnis secara
geografis, dan bukan besarnya kelompok. Jika
kelompok terkonsentrasi secara geografis di satu
atau dua daerah, setiap strategi pemilu dalam
pengelolaan konflik harus dibuat menurut realitas
geografi politik yang ada. Peta teritorial untuk
federalisme dan jenis-jenis pembagian kekuasaan
yang lain biasanya akan menjadi perhatian utama,
sama seperti masalah otonomi kelompok. Kelompok
masyarakat asli dan/atau suku cenderung memiliki
15
SISTEM PEMILU
tempat tinggal yang terpusat di suatu wilayah.
Contohnya, kelompok minoritas Afrika didapati
sangat terkonsentrasi di satu titik wilayah geografis
yang tidak terpisah-pisah dibandingkan dengan
kelompok minoritas di daerah-daerah lain. Ini
berarti bahwa satu kelompok etno politis akan
menguasai banyak konstituen pemilu dan
dukungan kekuatan informal lokal. Hal ini tentu
mempunyai implikasi yang begitu besar bagi para
perancang pemilu: setiap sistem pemilu yang
tergantung pada distrik pemilu wakil tunggal
(seperti misalnya alternative vote yang disukai oleh
centripetalists) kemungkinan akan menghasilkan
�kerajaan etnis� pada tingkat lokal. Perwakilan
minoritas dan/atau pembagian kekuasaan dalam
sistem ini mungkin memerlukan semacam bentuk
sistem distrik wakil majemuk � khususnya
Representasi Proporsional (RP) atau Proportional
Representation.
Bandingkan hal tersebut diatas dengan yang terdapat
di pemukiman-pemukiman kolonial atau tempat
masuknya tenaga kerja, seperti penyebaran secara
besar-besaran orang Cina dan India yang terdapat di
negara-negara Asia-Pasifik- Singapura, Fiji, Malaysia;
dan Guyana-Karibia, Trinidad, dan Tobago, dimana
kelompok-kelompok etnis tersebut lebih bercampur-
baur, dan oleh karenanya, memiliki hubungan
sehari-hari yang lebih banyak. Dalam hal ini,
identitas etnis seringkali diperlemah oleh
pertentangan lain, dan kelompok-kelompok pemilu
seringkali secara etnis akan lebih bersifat heterogen.
Oleh sebab itu sistem pemilu sentripetal, yang
mendorong partai-partai politik untuk mencari
dukungan dari kelompok etnis yang berbeda-beda,
(alternative vote), mungkin akan menghentikan
antagonisme antar etnik dan mendorong
terbentuknya partai-partai multi-etnik yang terbuka.
Setelah selama satu tahun mengadakan peninjauan
terhadap UUD-nya, Fiji baru saja memakai
Alternative Vote (AV) sebagai bagian dari konstitusi
baru yang non-rasial disebabkan alasan yang tersebut
diatas.
Kemungkinan lain adalah dimana ada begitu
banyak kelompok etnis sehingga beberapa jenis
sistem pemilu dengan sendirinya tidak dapat
dipakai. Struktur sosial semacam itu biasanya
terjadi pada suatu kelompok suku kecil, yang
tinggal dalam sebuah wilayah tertentu � sebuah
komposisi yang relatif agak jarang di negara-negara
Barat, tetapi banyak terdapat di Afrika Tengah dan
Pasifik Selatan. Kelompok semacam ini biasanya
memerlukan sistem perwakilan tunggal agar dapat
berfungsi secara efektif. Dalam kasus yang agak
ekstrim, contohnya Papua Nugini, ada ribuan
kelompok klan yang saling bersaing, yang
menggunakan 800 bahasa yang berbeda-beda.
Dalam kasus semacam ini, model representasi
proporsional hampir tidak mungkin karena
parlemennya akan memerlukan ribuan anggota
(dan, karena partai-partai lemah atau bahkan
dalam banyak kasus tidak ada partai sama sekali,
sistem RP Daftar yang disukai oleh para
konsosionalis akan sangat tidak cocok untuk
dipergunakan). Ini dengan sendirinya mengurangi
jenis sistem pemilu yang dapat dipakai oleh para
perancang pemilu.
16
SISTEM PEMILU
Karakteristik Negara
Perancangan institusi untuk sistem pemilu harus
memperhatikan adanya perbedaan dinamika politis
yang membedakan antara negara demokrasi masa
transisi dan negara demokrasi yang sudah mapan.
Negara demokrasi transisi, terutama yang sedang
bergerak dari situasi konflik yang mendalam,
biasanya lebih memerlukan keterikatan semua
pihak dan batas representasi (threshold) yang
rendah bagi partai-partai politik yang bersaing agar
dapat menyuarakan suaranya, dibandingkan di
negara demokrasi yang sudah mapan. Demikian
juga, lingkungan politik yang stabil di kebanyakan
negara Barat � dimana dua atau tiga partai politik
utama dapat memperkirakan masa-masa tertentu
dimana mereka saling bergantian menduduki posisi
melalui penggantian kekuasaan atau pergeseran
koalisi pemerintah � sangat berbeda dari jenis
politik zero-sum yang seringkali menjadi ciri dari
masyarakat yang terpecah. Inilah salah satu alasan
mengapa �pemenang mendapatkan semua� dalam
First Past the Post (FPTP) sering dianggap sebagai
penyebab hancurnya demokrasi di negara yang
sedang berkembang; sistem seperti FPTP tersebut
cenderung menyingkirkan minoritas dari
perwakilan di parlemen dan, dalam sistem partai
yang berdasarkan etnis, hal tersebut dapat secara
mudah mengarah pada dominasi besar sebuah
kelompok etnis terhadap etnis yang lain. Dalam
keadaan seperti ini, demokrasi dapat berubah
menjadi situasi seperti sebuah permainan zero-sum,
dimana yang menang secara permanen
mengesampingkan yang kalah.
Karena alasan ini, banyak ahli melihat perlu adanya
bentuk pemerintahan yang berbagi kekuasaan, yang
mewakili semua kelompok sebagai bagian penting
transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan
demokratis. Model pembagian kekuasaan seperti ini
biasanya merupakan model yang diasosiasikan
dengan model RP, karena model ini merupakan cara
yang paling jelas yang dapat menjamin hasil yang
proporsional dan adanya perwakilan kaum
minoritas. Perlu diketahui bahwa hampir semua
pemilu transisional besar belakangan ini
dilaksanakan dengan sistem RP. Pemilihan umum
di Chile (1989), Namibia (1989), Nicaragua (1990),
Kambodia (1993), Afrika Selatan (1994), dan
Mozambik (1994), semua menggunakan bentuk RP
Daftar regional dan nasional bagi pemilu pertama
mereka. Dibandingkan dengan sistem mayoritas,
para ahli mengganggap sistem proporsional
merupakan faktor penting bagi transisi ke sistem
demokrasi. Dengan memasukkan kaum minoritas
kedalam proses tersebut dan dengan secara adil
memasukkan perwakilan semua partai politik dalam
parlemen yang baru, dengan tidak memperhitungkan
sejauh mana atau penyebaran pendukung mereka,
RP dianggap sebagai bagian integral dalam
menciptakan pemerintahan yang inklusif dan sah
sesudah rezim otoriter.
Bukti-bukti juga semakin menunjukkan bahwa
meskipun sistem RP Daftar skala besar merupakan
alat efektif untuk memperlancar arah transisi
demokrasi, sistem tersebut tidak begitu efektif untuk
mendorong konsolidasi demokratis. Negara-negara
yang sedang berkembang, khususnya mereka yang
17
SISTEM PEMILU
menjalankan transisinya dengan model RP Daftar,
semakin sadar bahwa sistem distrik wakil majemuk
yang besar yang disyaratkan mencapai hasil
proporsional juga membawa masalah
pertanggungjawaban politik dan hubungan antara
politikus yang terpilih dan para pemilihnya.
Konsolidasi demokratis menuntut terciptanya
hubungan baik antara warganegara dan negara, dan
banyak negara demokrasi baru � khususnya negara-
negara masyarakat agraris � mempunyai tuntutan
yang lebih tinggi agar konstituen mereka
diperhatikan pada tingkat lokal, daripada tuntutan
untuk perwakilan yang sifatnya ideologis di
parlemen. Maka dari itu, semakin banyak
diperdebatkan di Afrika Selatan, Cambodia, dan
negara lainnya, bahwa pemilihan sebuah sistem
pemilu yang permanen harus mendorong
pertanggungjawaban geografis yang besar, dengan
cara anggota-anggota parlemen yang mewakili distrik
yang kecil membangun hubungan yang serasi antara
penguasa dan yang dikuasai. Meskipun model seperti
ini tidak akan menyingkirkan sistem RP- ada banyak
cara untuk menggabungkan Distrik Wakil Tunggal
(Single Member District) dengan perolehan
proporsional � sistem ini dengan sendirinya
mengesampingkan sistem RP Daftar nasional yang
sering dipakai oleh para consociationalist.
Karakteristik Sistem Partai
Para ahli pemilu mempunyai sebuah pandangan
kuno yang mengatakan bahwa pemilu dengan sistem
mayoritas akan mendorong tumbuhnya sistem dua
partai (dan, dengan demikian akan terjadi
pemerintahan satu partai), sedangkan sistem
Representasi Proporsional (RP) akan mendorong
munculnya sistem multi partai (dan pemerintahan
koalisi). Meskipun diketahui bahwa sistem mayoritas
membatasi jangkauan perwakilan parlemen dan
sistem RP justru mendukung jangkauan perwakilan,
pandangan konvensional tentang hubungan kausal
antara sebuah sistem pemilu dan sistem partai sudah
menjadi ketinggalan jaman. Dalam tahun-tahun
terakhir ini, FPTP telah menyebabkan perpecahan
sistem partai di negara demokrasi yang sudah mapan
seperti Kanada dan India, sedangkan sistem RP telah
memunculkan gejala seperti pemerintahan satu
partai besar di Namibia, Afrika Selatan dan di tempat-
tempat lain.
Salah satu dasar ilmu politik adalah bahwa para
politikus dan partai-partai politik akan memilih
lembaga-lembaga seperti misalnya lembaga
pemilihan umum yang mereka yakini akan
menguntungkan diri mereka sendiri. Dengan
demikian model sistem partai yang berbeda-beda
cenderung menghasilkan pilihan sistem pemilu yang
berbeda. Contoh yang paling baik adalah dipakainya
sistem RP di daratan Eropa pada tahun-tahun awal
abad ini. Perkembangan pemakaian sistem ini, dan
munculnya kekuatan sosial baru yang tangguh,
seperti misalnya gerakan kaum buruh, mendorong
dipakainya sistem RP yang sekaligus mencerminkan
dan mengontrol perubahan-perubahan ini di
masyarakat. Banyak transisi yang terjadi akhir-akhir
ini menunjukkan adanya peran �aktor rasional�
dalam memilih sistem pemilu. Sehingga rezim yang
18
SISTEM PEMILU
terancam untuk tidak memerintah lagi, seperti di
Ukraina dan Chile, memakai sistem-sistem yang
mereka anggap dapat memaksimalkan hasil pemilu
bagi pihak mereka: sistem pemilihan dua putaran
yang sangat mewakili bekas Partai Komunis di
Ukraina, dan sebuah model RP yang tidak begitu
lazim dengan memakai distrik dua anggota, yang
diperkirakan dapat sangat mewakili partai di
peringkat kedua di Chile. Sebuah pengecualian yang
menarik yang membuktikan validitas model ini
adalah dukungan ANC terhadap sistem RP pada
pemilu pertama pasca apartheid di Afrika Selatan.
Seandainya sistem FPTP tetap dipakai tentulah
sistem tersebut akan memberikan keterwakilan yang
berlebih (over representation) bagi ANC sebagai
partai yang paling populer, namun hal tersebut juga
akan menimbulkan masalah tidak terangkulnya
kaum minoritas dan masalah ketidakpastian. ANC
membuat pilihan yang rasional, bahwa tujuan jangka
panjang mereka akan dapat terakomodir oleh sistem
yang memungkinkan mereka mengontrol caleg
mereka yang terpilih dan mengumpulkan unsur-
unsur pemilu menjadi satu, daripada menyerang
sistem itu sendiri.
Kerangka Konstitusi Secara Keseluruhan
Ketangguhan perancangan sebuah sistem pemilu
harus diukur dalam kerangka konstitusi negara yang
lebih luas. Bahasan ini memfokuskan diri pada
pemilu yang menghasilkan parlemen. Pengaruh
sistem pemilu pada keanggotaan dan dinamika
parlemen selalu membawa arti besar, tetapi pengaruh
sistem pemilu pada akomodasi politik dan
demokratisasi pada umumnya lebih terkait dengan
kekuasaan yang tampak pada parlemen dan
hubungan parlemen dengan lembaga politik yang
lain. Pentingnya perekayasaan pemilu menjadi
semakin besar dalam sistem parlemen unikameral
yang terpusat, dan menjadi lebih besar lagi jika
parlemen secara konstitusional diharuskan
membentuk kabinet pemerintah yang diambil dari
partai-partai besar yang memiliki perwakilan dalam
parlemen.
Demikian juga, ketangguhan perancangan sistem
pemilu akan semakin berkurang pada saat kekuasaan
menjauh dari parlemen. Dengan demikian, sejumlah
lembaga konstitusi akan secara proporsional
mengalihkan perhatian dari pemilu ke parlemen, dan
memerlukan seorang perancang konstitusi untuk
memfokuskan diri pada hubungan antara eksekutif
dan parlemen; antara Senat dan Dewan Perwakilan;
antara pemerintah pusat, daerah dan setempat. Ini
bukan dimaksudkan untuk mengurangi arti penting
sistem pemilu untuk lembaga-lembaga lain tersebut
(bagaimana memilih Presiden dan parlemen federal);
hal ini lebih akan menyoroti bagaimana rekayasa
konstitusi menjadi semakin kompleks pada saat
kekuasaan mulai berpindah dari pusat. Setiap
komponen institusi negara berikut ini dapat
memecah daya fokus kekuatan politis, dan dengan
demikian mengurangi arti penting perancangan
sistem pemilu dalam iklim politik secara
keseluruhan:
� presiden yang dipilih secara langsung;
19
SISTEM PEMILU
� parlemen bi-kameral dengan perimbangan
kekuatan antara dua Dewan;
� tingkat federalisme dan/atau pengaturan
wilayah yang asimetris.
Tinjauan HistorisOleh: Andrew Reynolds
Pemilihan demokratis liberal dapat ditelusuri asal-
usulnya ke masa Athena kuno disaat kumpulan orang
(demos) berkumpul di lapangan kota, sedangkan
perancangan sistem pemilu modern dapat ditelusuri
ke pertengahan sampai akhir abad ke-19 di Eropa
Barat. Sampai Perang Dunia I parlemen yang
demokratis dipilih dengan menggunakan bentuk RP
Daftar yang masih embrionik (kebanyakan di
Skandinavia dan Negara Pantai Utara Eropa), Sistem
Dua Putaran (TRS) (Perancis dan Jerman), atau First
Past the Post (FPTP) (Inggris, Amerika Serikat,
Kanada, dan Selandia Baru). Kasus Australia agak
khas karena digantinya FPTP yang diturunkan
berdasarkan sistem kolonial dengan Alternative Vote
(AV) pada tahun 1918, lihat Alternative Vote di
Australia.
Tabel dibawah ini menggambarkan jangkauan dan
penyebaran sistem pemilu di beberapa negara antara
tahun 1945 dan 1995, berdasarkan data Handbook
Evolusi Historis Penggunaan Sistem Pemilu
Pluralitas � Mayoritas Semi-RP Proporsional
FPTP BV TRS AV SNTV PAR LIST MMP STV
1945 4 0 1 1 0 0 22 0 2 (6%) 30
(13%) (3%) (3%) (73%) 0
1950 6 1 1 1 1 0 30 1 2 43
(14%) (2%) (2%) (2%) (2%) (70%) (2%) (4%)
1960 17 1 1 1 1 0 34 1 2 58
(25%) (2%) (2%) (2%) (2%) (59%) (2%) (4%)
1970 24 3 2 2 1 2 36 1 2 73
(33%) (4%) (3%) (3%) (1%) (3%) (49%) (1%) (3%)
1980 29 4 5 2 1 4 43 1 2 91
(32%) (4%) (5%) (2%) (1%) (4%) (47%) (1%) (2%)
1990 33 5 7 2 3 6 46 2 3 107
(31%) (5%) (6%) (2%) (3%) (6%) (43%) (2%) (3%)
1995 39 9 18 2 2 18 57 6 2 153
(25%) (6%) (12%) (1%) (1%) (12%) (37%) (4%) (1%)
20
SISTEM PEMILU
of Voter Turnout 1945-1997: A Global Report on
Political Participation dari International IDEA. Ini
tidak semata-mata hanya berisi �negara-negara
demokrasi,� akan tetapi semua negara yang sudah
pernah mengalami pemilu kompetitif �multi-partai.�
Pada tahun 1945, 80% �dunia demokrasi� pada
umumnya memilih parlemennya dengan sistem RP.
Kebanyakan negara menggunakan Sistem
Representasi Proporsional (RP), tetapi Republik
Irlandia dan Malta menggunakan bentuk RP, yakni
Single Transferable Vote (STV). Hanya Inggris,
Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru memilih
parlemennya dengan menggunakan sistem FPTP.
Menjelang tahun 1950 kemerdekaan India dan
kemerdekaan dua negara kecil lain di Karibia
menambah jumlah negara yang menggunakan sistem
FPTP menjadi 6, akan tetapi sistem RP masih tetap
menjadi primadona dengan hampir tiga perempat
dari keseluruhan jumlah pemakaian. Pada tahun
1950 Jepang menggunakan Single Non-Tranferable
Vote (SNTV) dan Jerman menggunakan perwakilan
Mixed Member Proportional (MMP) sesudah Perang
Dunia Kedua. Pada tahun 1960, dengan semakin
banyaknya negara di Karibia dan Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, jumlah
pemakaian FPTP meningkat, tetapi RP masih dipakai
oleh dua pertiga, sedangkan FPTP hanya sekitar
seperempat dari keseluruhan kasus.
Gelombang kemerdekaan dari negara kolonial
sepanjang tahun 1960-an membuat banyak negara
di Afrika bereksperimen dengan sistem pemilu
multi-partai, dan negara-negara Afrika yang
terpengaruh Perancis semua menggunakan sistem
pemilu FPTP. Hingga tahun 1970 sepertiga dari
keseluruhan negara menggunakan sistem FPTP
distrik wakil tunggal sedangkan jumlah yang
menggunakan sistem RP turun menjadi kurang dari
setengahnya. Antara tahun 1980�1995 sistem yang
berkembang pesat adalah sistem Paralel dan sistem
dua putaran model Perancis. Hingga tahun 1995
sistem yang relatif amat jarang dipakai ini dipakai
oleh hampir seperempat dari seluruh jumlah sistem
pemilu di lebih dari 150 negara.
Petunjuk Praktis Bagi Para PerancangSistem PemiluOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari studi
komparatif sistem pemilu semata-mata adalah
lingkup dan kegunaan dari pilihan yang ada. Sangat
sering terjadi di negara-negara demokrasi baru, para
perancang konstitusi hanya memilih sistem pemilu
yang mereka ketahui. Ini merupakan warisan dari
cara-cara kolonial, dibanding dengan usaha mencari
alternatif baru yang lebih cocok. Maksud utama dari
web site ini adalah menyediakan pengetahuan yang
cukup bagi para perancang sistem pemilu sehingga
mereka dapat membuat keputusan yang baik. Ini
tidak berarti bahwa saran yang diberikan akan
memberi perubahan menyeluruh terhadap sistem
pemilu yang ada; berdasarkan pengalaman reformasi
sistem pemilu yang pernah dilakukan sejauh ini
terbukti bahwa perubahan yang tidak moderat,
21
SISTEM PEMILU
dengan lebih menyempurnakan sistem yang sudah
berjalan baik, sering merupakan pilihan yang lebih
baik, daripada pilihan untuk mempergunakan sistem
yang sama sekali baru.
Banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik dari
pengalaman beberapa pihak. Misalnya, sebuah
negara dengan sistem FPTP yang ingin berubah
menjadi sistem yang lebih proporsional dengan
tetap mempertahankan hubungan geografis dengan
para konstituennya harus mempertimbangkan
pengalaman New Zealand, yang mengambil sistem
perwakilan Mixed Member Proportional (MMP)
pada tahun 1993, lihat Alternative Vote di Australia.
Negara lain yang ingin mempertahankan distrik
wakil tunggal, akan tetapi mendorong akomodasi
antar kelompok dan mengadakan kompromi
sebaiknya melihat pengalaman Alternative Vote di
wilayah Oceania, lihat Papua Nugini. Sebuah
negara yang terpecah-belah yang ingin membuat
perubahan ke arah demokrasi disarankan untuk
melihat kasus Afrika Selatan pada tahun 1994 yang
memakai pemilu model RP Daftar, lihat Afrika
Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik,
dan sebagai hasilnya terbentuklah pemerintahan
multi etnik yang berbagi kekuasaan. Sebuah negara
yang hanya ingin mengurangi besarnya biaya dan
instabilitas yang ditimbulkan oleh Sistem Dua
Putaran (TRS) harus mengambil contoh dari Sri
Lanka, lihat Sri Lanka: Perubahan untuk
Mengakomodasi Perbedaan, atau sistem pemilihan
preferensial model Irlandia, lihat Irlandia: Sistem
STV Model Irlandia. Dari semua kasus diatas,
perubahan dari sebuah sistem pemilu ke sebuah
sistem yang lain mempunyai pengaruh yang jelas
atas kehidupan politik di negara tersebut.
Beberapa petunjuk praktis yang dapat diikuti oleh
para perancang sistem pemilu:
Buatlah Sesederhana Mungkin
Rancangan sistem pemilu yang efektif dan dapat
bertahan lama nampaknya adalah rancangan yang
dapat mudah dimengerti oleh para pemilih dan
politikus. Kalau rancangan itu begitu rumit, hal
tersebut dapat menimbulkan salah pengertian,
konsekuensi-kensekuensi yang tidak diinginkan, dan
ketidakpercayaan pemilih atas hasil pemilu.
Jangan Takut untuk Berinovasi
Banyak sistem pemilu yang berhasil yang dipakai di
dunia saat ini merupakan pendekatan inovatif atas
masalah-masalah yang khusus, dan ternyata itu
berjalan dengan baik. Ada banyak hal yang dapat
dipelajari dari pengalaman pihak lain.
Perhatikan Faktor Kontekstual dan
Faktor Temporal
Sistem pemilu tidak berjalan jika terjadi kekosongan.
Keberhasilannya tergantung pada perpaduan yang
baik antara institusi politik dan tradisi budaya.
Pertanyaan pertama yang harus diajukan oleh
seorang perancang sistem pemilu adalah:
22
SISTEM PEMILU
� Dalam konteks politis dan sosial seperti apa
saya akan bekerja?
Pertanyaan kedua mungkin adalah:
� Apakah saya akan merancang sebuah sistem
yang permanen atau sebuah sistem yang
akan membantu kita melampaui sebuah
masa transisi?
Jangan Meremehkan Para Pemilih
Meskipun kesederhanaan itu penting, meremehkan
kemampuan para pemilih untuk mengerti dan
mempergunakan berbagai macam sistem permilu
juga sama berbahayanya. Misalnya, sistem
preferensial yang rumit berhasil dipakai di negara-
negara yang sedang berkembang di daerah Asia
Pasifik (seperti misalnya Papua Nugini dan Sri Lanka)
lihat �Papua Nugini,� sementara pengalaman dalam
beberapa pemilu yang diadakan baru-baru ini di
negara demokrasi baru menekankan pentingnya
perbedaan antara sadar �fungsi� dan sadar �politik.�
Bahkan di negara-negara miskinpun, para pemilih
kadang kala memiliki, dan ingin mengungkapkan
preferensi dan pilihan politik yang canggih.
Pertimbangkan untuk Mengikutsertakan
Semua Unsur
Apabila mungkin, apakah dalam masyarakat yang
homogen maupun terfragmentasi, sistem pemilu
sebaiknya menghasilkan sebuah parlemen yang lebih
mengikutsertakan semua kepentingan yang
signifikan. Apakah minoritas tersebut berdasarkan
identitas ideologis, etnis, rasial, bahasa, asal daerah
atau agama. Pengecualian berbagai unsur yang
signifikan dari parlemen, terutama dalam negara
berkembang, sayangnya seringkali berakibat buruk.
Proses Merupakan Faktor Utama dalam
Menentukan Pilihan
Cara bagaimana sebuah sistem pemilu tertentu dipilih
juga sangat penting dalam menentukan keabsahan
sistem tersebut. Proses yang melibatkan sebagian besar
atau semua kelompok, termasuk para pemilih pada
umumnya, lebih mungkin mengakibatkan
diterimanya hasil akhir secara meluas, dibandingkan
dengan sebuah keputusan yang dihasilkan oleh
kepentingan partisan semata. Meskipun pertimbangan
partisan tidak dapat dihindari pada saat
membicarakan pilihan sistem pemilu, dukungan
masyarakat dan antar-partai yang meluas bagi
terbentuknya sebuah lembaga sangat penting agar
sistem tersebut dapat diterima dan dihormati.
Perbaikan sistem pemilu Selandia Baru dari sistem
FPTP ke MMP, misalnya, diawali dengan serangkaian
pemilihan umum yang dipakai untuk melegitimasi
hasil akhirnya. Lihat Selandia Baru: Sebuah Negara
Demokrasi �Westminster� Berpindah ke Sistem RP.
Sebaliknya, keputusan Pemerintah Sosialis Perancis
pada tahun 1986 untuk mengubah sistem TRS yang
mereka pakai saat itu menjadi sistem RP dipandang
oleh banyak pihak digerakkan oleh alasan-alasan
23
SISTEM PEMILU
partisan, dan dengan segera diubah lagi begitu
pemerintah kehilangan kekuasaan di tahun 1988.
Bangun Legitimasi dan Penerimaan atas
Sistem Tersebut oleh Para Aktor Kunci
Semua kelompok yang ingin ikut bermain dalam
proses demokrasi harus merasakan bahwa sistem
pemilu yang akan dipakai bersifat �adil� dan
memberikan kesempatan yang sama kepada semua
orang untuk dapat dipilih. Tujuan utamanya adalah
bahwa mereka yang �kalah� dalam pemilu tidak
mengungkapkan kekecewaannya menjadi penolakan
terhadap sistem tersebut, ataupun mempergunakan
sistem pemilu tersebut sebagai alasan untuk
menggoncang jalan ke arah konsolidasi demokrasi.
Pada tahun 1990 di Nicaragua, Sandinista kalah
dalam pemerintahan, tetapi mereka menerima
kekalahan tersebut. Ini sebagian dikarenakan mereka
menerima keadilan sistem pemilu yang berlaku.
Seperti halnya Afrika Selatan, Sierra Leone dan
Mozambique dapat mengakhiri perang saudara
berdarah mereka lewat cara institusional yang dapat
diterima secara meluas oleh semua pihak, lihat Afrika
Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik.
Coba Memaksimalkan Pengaruh Para Pemilih
Para pemilih harus merasa bahwa pemilu memberi
mereka kapasitas untuk mempengaruhi pemerintah
dan kebijakan pemerintah. Pilihan dapat
dimaksimalkan dalam beberapa cara yang berbeda.
Para pemilih dapat memilih diantara partai-partai,
diantara caleg dari berbagai partai, dan diantara
caleg-caleg dari partai yang sama. Mereka mungkin
juga dapat memilih dengan cara yang berbeda untuk
pemilihan presiden, majelis tinggi, majelis rendah,
pemerintah regional, dan pemerintah lokal. Mereka
juga harus merasa bahwa suara mereka berpengaruh
terhadap pembentukan pemerintahan, dan tidak
hanya dalam komposisi di parlemen saja.
Pertimbangan atas Dorongan terhadap
Partai-Partai Politik yang Berkaitan
Keinginan untuk memaksimalkan pengaruh pemilih
harus diimbangi dengan perlunya mendorong partai-
partai politik yang aktif dan saling berkaitan. Pilihan
yang begitu beragam pada kertas suara dapat
menghasilkan parlemen yang sangat terpecah,
sehingga tidak ada partai yang mendapatkan seperti
apa yang diinginkannya. Ada kesepakatan yang
meluas diantara para ahli politik bahwa partai-partai
politik yang mencakup berbagai kepentingan dan
saling berkaitan merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengembangan demokrasi yang
efektif dan bertahan lama.
Stabilitas Jangka Panjang dan Keuntungan
Jangka Pendek
Ketika para aktor politk bernegosiasi atas sistem
pemilu yang baru, mereka kadang kala mengajukan
proposal yang mereka percayai akan menguntungkan
24
partai mereka dalam pemilu yang akan diadakan.
Meskipun demikian, ini kadang kala dapat
merupakan strategi yang tidak bijaksana, terutama
di negara-negara yang sedang berkembang, karena
kesuksesan atau dominasi partai dalam jangka
pendek dapat mengarah kepada kehancuran politik
jangka panjang dan huru-hara sosial. Misalnya,
dalam negosiasi sebelum pemilu transisional tahun
1994, Kongres Nasional Afrika (ANC) di Afrika
Selatan dapat saja berdebat untuk mempertahankan
sistem pemilu FPTP yang berlaku pada saat itu,
yang memungkinkan mereka sebagai partai terbesar,
mendapatkan tambahan satu kursi diatas perolehan
suara mereka secara nasional. Bahwa kemudian
mereka mengusulkan bentuk representasi
proporsional, dan akibatnya mereka memperoleh
kursi yang lebih sedikit daripada yang mereka
dapatkan jika mereka tetap memakai sistem FPTP,
membuktikan bahwa mereka lebih peduli terhadap
stabilitas jangka panjang daripada keuntungan
jangka pendek yang mereka peroleh dari pemilu
tersebut.
Begitu juga, sistem pemilu harus cukup responsif
menanggapi perubahan politik yang ada dan
tumbuhnya gerakan-gerakan politik baru. Bahkan di
negara-negara yang demokrasinya sudah maju,
dukungan untuk partai-partai besar jarang yang
sifatnya stabil, sementara itu di negara-negara
demokrasi baru kehidupan politik selalu sangat
dinamis. Ini berarti bahwa sebuah partai yang
mendapat keuntungan dari sistem pemilihan pada
sebuah pemilu belum tentu mendapat manfaat yang
sama pada pemilu yang berikutnya.
Sistem Pemilu Jangan Dianggap sebagai Obat
dari Segala Penyakit
Meskipun benar bahwa jika seseorang ingin
mengubah karakter kompetisi politik, sistem pemilu
mungkin merupakan instrumen yang paling baik
untuk melakukan hal tersebut, akan tetapi sistem
pemilu tetap tidak dapat menjadi obat bagi
penyakit- penyakit politik sebuah negara. Pengaruh
variabel-variabel lain secara keseluruhan, terutama
budaya politik sebuah bangsa, biasanya mempunyai
dampak yang jauh lebih besar terhadap prospek
demokrasi jika dibandingkan dengan faktor-faktor
institusional seperti misalnya sistem pemilu.
Terlebih lagi, pengaruh positif dari sistem pemilu
yang terancang dengan baikpun dapat dengan
mudah terkubur oleh dispensasi konstitusional
yang diterapkan dengan tidak wajar, pengaruh kuat
dari kubu-kubu yang saling bertarung, atau
besarnya pengaruh luar terhadap kedaulatan
sebuah negara.
Sebaliknya, Jangan Menganggap Remeh
Pengaruh Sistem Pemilu
Meskipun di seluruh dunia hambatan-hambatan
sosial bagi demokrasi masih begitu besar, hambatan
tersebut masih memberi peluang bagi strategi-
strategi politik yang terencana, yang dapat
mendorong atau menghambat berhasilnya
demokratisasi. Sistem pemilu bukan merupakan
obat, tetapi sistem tersebut sangat penting untuk
menstrukturisasi stabilitas setiap bangsa.
Pembuatan sistem pemilu yang baik belum tentu
SISTEM PEMILU
25
dapat mencegah atau mengatasi permusuhan yang
mendalam, tetapi kelembagaan yang baik dapat
mendorong sistem politik ke arah berkurangnya
konflik, dan tanggungjawab pemerintah yang lebih
besar. Dengan kata lain, meskipun sebagian besar
perubahan yang diperoleh dengan cara penyesuaian
sistem pemilu mungkin hanya menyinggung daerah
pinggirannya saja, namun demikian sering terjadi
pengaruh kecil tersebutlah yang membuat
perbedaan apakah demokrasi menjadi
terkonsolidasi atau menjadi runtuh.
Keinginan Para Pemilih untuk
Menerima Perubahan
Perubahan sistem pemilu mungkin merupakan
gagasan yang baik bagi para pelaku politik yang
mengerti kelemahan sistem yang berlaku, akan
tetapi jika gagasan perubahan tersebut tidak
disampaikan dengan cara yang tepat, masyarakat
akan menolak adanya perubahan sistem tersebut,
dengan anggapan bahwa perubahan tersebut
semata-mata adalah keinginan para politikus untuk
merubah peraturan demi keuntungan mereka
pribadi. Yang paling menyedihkan adalah situasi
dimana perubahan tersebut dipandang semata-mata
sebagai manuver yang secara terang-terangan
dipakai untuk memperoleh keuntungan politis.
(Seperti misalnya kasus di Perancis tahun 1986, di
Chile tahun 1989, dan di Yordania tahun 1993, lihat
Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab dan Chile:
Proporsionalitas atau Mayoritas? Jika sebuah sistem
seringkali berubah, para pemilih tidak akan
mengerti dimana posisi mereka, seperti yang
diperdebatkan orang dalam kasus di Bolivia, lihat
Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika Latin.
Hindari Menjadi Budak dari Sistem
yang Lampau
Sangat sering terjadi sistem pemilu yang tidak
cocok bagi keperluan sebuah negara demokrasi
baru diturunkan atau diteruskan dari jaman
kolonial tanpa mempertimbangkan bagaimana hal
tersebut dapat diterapkan dalam realitas politik
yang baru. Contohnya, hampir semua koloni
Inggris di Asia, Afrika, dan Pasifik mengambil
sistem FPTP. Di banyak negara demokrasi,
terutama negara yang mengalami perpecahan
etnis, sistem seperti ini terbukti sangat tidak cocok
bagi kepentingan mereka. Juga diperdebatkan
bahwa kebanyakan bekas koloni Perancis di Afrika
Barat yang masih menggunakan sistem TRS model
Perancis, seperti misalnya yang terjadi di Mali
tahun 1992, lihat Mali: Sistem Dua Putaran di
Afrika, mengalami polarisasi yang merusak.
Demikian juga banyak rezim pasca komunis yang
masih memakai persyaratan batas minimum
jumlah pemilih yang memilih (mandatory turnout)
atau persyaratan adanya jumlah pemilih pada saat
pemilu sebanyak lebih dari 50% (majority) yang
mereka ambil dari jaman Soviet, lihat: Ukraina:
Bahaya Sistem Mayoritas di Sebuah Negara
Demokrasi Baru.
SISTEM PEMILU
26
Menilai Pengaruh Setiap Sistem Baru
terhadap Konflik Sosial
Sistem pemilu tidak dapat dipandang hanya sebagai
mekanisme untuk memilih parlemen dan presiden,
tetapi juga sebagai alat mengatasi konflik yang terjadi
di masyarakat. Beberapa sistem, pada keadaan-
keadaan tertentu akan mendorong partai-partai
politik untuk mengajak agar pihak luar mau memberi
dukungan, selain dukungan dari basis utama mereka
sendiri. Sayangnya yang lebih sering terjadi sekarang
ini adalah hadirnya sistem pemilu yang tidak tepat,
yang hanya akan memperburuk tendensi negatif
yang sudah ada; misalnya, dengan mendorong partai-
partai melihat pemilu sebagai kontes �zero-sum�
yang mengakibatkan partai bersikap saling
bermusuhan dan eksklusif terhadap pihak-pihak
yang bukan dari kelompok mereka. Dalam
merancang sebuah institusi politik, masalah utama
yang harus dipikirkan adalah walaupun hal tersebut
tidak dapat mengurangi ketegangan dalam
masyarakat, paling tidak hal tersebut tidak
memperburuk keadaan.
Bayangkan Kemungkinan Tak Terduga yang
Tidak Biasa atau Tidak Mungkin Terjadi
Seringkali sistem pemilu dirancang untuk
menghindarkan kesalahan di masa lalu, terutama
kesalahan-kesalahan yang baru saja terjadi. Harus
dipastikan bahwa tindakan yang diambil tidak
berlebihan sehingga menciptakan sistem yang
berlebihan pula dalam mencoba memperbaiki
masalah-masalah sebelumnya. Selanjutnya, para
perancang sistem pemilu harus mencoba menjawab
beberapa pertanyaan yang tidak umum untuk
menghindarkan diri dari rasa malu yang mungkin
terjadi di masa datang:
� Bagaimana jika tidak ada yang
memenangkan pemilu dengan sistem yang
diusulkan tersebut?
� Mungkinkah sebuah partai politik
memenangkan semua kursi?
� Bagaimana jika harus diberikan kursi lebih
dari pada apa yang tersedia di lembaga
legislatif?
� Apa yang harus dilakukan jika caleg
berimbang?
� Apakah sistem ini berarti bahwa, pada
beberapa distrik, akan lebih baik jika para
pendukung partai tidak memilih caleg atau
partai yang disukainya?
Referensi TambahanOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
� Amy, Douglas. 1993. Real Choices: New
Voices: The Case for PR Elections in the United
States. New York: Columbia University
Press.
� Bogdanor, Vernon and David Butler, eds.
1983. Democracy and Elections. Cambridge:
Cambridge University Press. Bogdanor,
Vernon. 1984. What is Proportional
SISTEM PEMILU
27
Representation? Oxford: Martin Robertson.
� Boston, Jonathan, Stephen Levine, Elizabeth
McLeay, and Nigel S. Roberts. 1996. Butler,
David, Howard Penniman and Austin
Ranney. 1981. Democracy at the Polls: A
Comparative Study of Competitive National
Elections. Washington DC: American
Enterprise Institute.
� Butler, David and Austin Ranney (eds). 1994.
Referendums Around the World: the growing
use of direct democracy (Basingstoke:
Macmillan).
� Cox, Gary. 1997. Making Votes Count. New
York and London: Cambridge University
Press.
� Downs, Anthony. 1957. An Economic Theory
of Democracy. New York: Harper and Row.
� Farrell, David M. 1997. Comparing Electoral
Systems. London: Prentice Hall/Harvester
Wheatsheaf.
� Finer, S. E., ed. 1975. Adversary Politics and
Electoral Reform. London: Anthony Wigram.
� Grofman, Bernard and Arend Lijphart, eds.
1986. Electoral Laws and their Political
Consequences. New York: Agathon Press.
� Grofman, Bernard and Chandler Davidson,
eds. 1992. Controversies in Minority Voting.
Washington D.C.: Brookings.
� Guinier, Lani. The Tyranny of the Majority:
Fundamental Fairness in Representative
Democracy (New York: The Free Press, 1994)
� Hermens, Ferdinand. 1972. Democracy or
Anarchy? A Study of Proportional
Representation. 2nd ed. New York: Johnson
Reprint Corporation.
� Horowitz, Donald L. 1991. A Democratic
South Afrika? Constitutional Engineering in
a Divided Society. Berkeley: University of
California Press.
� Inter-Parliamentary Union. 1993. Electoral
Systems: A World-wide Comparative Study.
Geneva: Inter-Parliamentary Union.
� Lakeman, Enid. 1974. How Democracies
Vote. London: Faber and Faber.
� Lijphart, Arend, and Bernard Grofman, eds.
1984. Choosing an Electoral System: Issues
and Alternatives. New York: Praeger.
� Lijphart, Arend. 1984. Democracies. New
Haven: Yale University Press.
� Lijphart, Arend. 1994. Electoral Systems and
Party Systems: A Study of Twenty-Seven
Democracies, 1945-1990. New York: Oxford
University Press.
� Lijphart, Arend. 1995a. �Electoral Systems.�
In The Encyclopedia of Democracy, ed. S.M.
Lipset. Washington D.C.: Congressional
Quarterly Press.
� Lijphart, Arend. 1995b. �Proportional
Representation.� In The Encyclopedia of
Democracy, ed. S.M. Lipset. Washington
D.C.: Congressional Quarterly Press.
� Mackie, Thomas and Richard Rose. 1982.
The International Almanac of Electoral
History. Washington D.C.: Congressional
Quarterly Press.
� Moyo, Jonathan. 1992. Voting for Democracy:
A Study of Electoral Politics in Zimbabwe.
Harare: University of Zimbabwe
SISTEM PEMILU
28
Publications.
� Nohlen, Dieter. 1996. Elections and Electoral
Systems. Delhi: Macmillan.
� Pitkin, Hanna F. 1967. The Concept of
Representation. Berkeley: University of
California Press.
� Pitkin, Hanna F. 1969. Representation. New
York: Atherton Press.
� Rae, Douglas W. 1967. The Political
Consequences of Electoral Laws. New Haven:
Yale University Press.
� Reilly, Ben. 1997b. �Preferential Voting and
Political Engineering: A Comparative Study.�
Journal of Commonwealth and Comparative
Studies 35:1-19.
� Reynolds, Andrew and Ben Reilly. 1997. The
International IDEA Handbook of Electoral
System Design. Stockholm: International
Institute for Democracy and Electoral
Assistance.
� Reynolds, Andrew. 1999. �Electoral Systems
and Democratization in Southern Afrika.�
Oxford, Oxford University Press.
� Riker, William H. 1982. Liberalism Against
Populism, Prospect Heights: Waveland Press.
� Rule, Wilma and Joseph Zimmerman, eds.
1994. Electoral Systems in Comparative
Perspective: Their Impact on Women and
Minorities. Westport: Greenwood.
� Sartori, Giovanni. 1994. Comparative
Constitutional Engineering: An Inquiry Into
Structures, Incentives, and Outcomes. New
York: Columbia University Press.
� Shugart, Matthew S. and John Carey. 1992.
Presidents and Assemblies. Cambridge:
Cambridge University Press.
� Sisk, Timothy D. and Andrew Reynolds. eds.
1998. Elections and Conflict Management in
Afrika. Washington D.C.: United States
Institute of Peace Press.
� Taagepera, Rein and Matthew S. Shugart.
1989. Seats and Votes: The Effects and
Determinants of Electoral Systems. New
Haven: Yale University Press.
SISTEM PEMILU
29
Pada saat merancang sistem pemilu, sebaiknya
dimulai dengan daftar kriteria yang merangkum apa
yang ingin dicapai, apa yang ingin dihindari, dan
secara luas, parlemen dan pemerintahan yang
seperti apa yang diinginkan. Kriteria yang terdapat
dalam Membentuk Badan Perwakilan yang
Representatif dan Mendorong Adanya Oposisi di
Parlemen mencakup hampir semua bidang, akan
tetapi daftar tersebut belumlah lengkap dan para
pembaca masih dapat menambahkan sejumlah hal
yang sama pentingnya. Benar bahwa ada beberapa
kriteria yang dicakup di sini saling tumpang tindih
dan mungkin terlihat saling bertolak belakang. Ini
disebabkan karena kriteria tersebut memang
seringkali begitu, dan sudah merupakan sifat dari
rancangan institusional dimana harus ada
kompromi antara keinginan dan sasaran yang saling
bersaing.
Contohnya, ada yang ingin memberikan
kesempatan kepada caleg yang independen agar
dipilih, dan di saat yang sama hendak mendorong
tumbuhnya partai-partai politik yang kuat. Atau
para perancang sistem pemilu ingin menciptakan
sebuah sistem yang memberi pilihan yang luas
kepada pemilih antara caleg dan partai, tetapi hal
ini akan menjadikan kertas suara begitu rumit dan
akan mempersulit para pemilih yang kurang
terpelajar. Kiat dalam memilih � atau memperbarui
sistem pemilu � adalah memprioritaskan kriteria
mana yang terpenting dan kemudian menilai sistem
pemilu yang mana � atau kombinasi dari sistem
yang mana � yang dapat mengarah kepada sasaran-
sasaran yang terbaik.
Membentuk Badan Perwakilanyang RepresentatifOleh: Andrew Reynolds
Bentuk Perwakilan paling sedikit ada 3 macam:
� Pertama, perwakilan secara geografis yang
berarti bahwa setiap wilayah, apakah itu
sebuah kota kecil, kota besar, propinsi, atau
sebuah distrik pemilu, mempunyai anggota
parlemen yang dipilih dan bertanggung-
jawab atas wilayah tersebut.
� Kedua, sebuah parlemen harus secara fung-
sional mewakili partai-partai/kondisi politik
yang ada di negara tertentu. Seandainya
setengah dari pemilih memilih sebuah partai
politik, tetapi partai tersebut tidak
memperoleh kursi atau perolehan kursinya
sangat sedikit, maka sistem tersebut tidak
dapat dianggap mewakili kehendak rakyat
secara nyata. Lewat perwakilan yang tidak
hanya mencakup partai politik tetapi juga
anggota parlemen yang independen, sebuah
parlemen yang efektif harus dapat
mencerminkan pembagian ideologis dalam
masyarakat secara memadai.
� Juga, ada masalah perwakilan deskriptif yang
berarti bahwa parlemen, sampai batas
tertentu, merupakan �cermin bangsa� yang
harus melihat, merasakan, berpikir dan
bertindak dalam cara yang mencerminkan
masyarakat secara keseluruhan. Sebuah
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN Oleh: Andrew Reynolds
30
parlemen yang secara deskriptif layak akan
mengikutsertakan baik laki-laki maupun
perempuan, orang tua dan muda, kaya dan
miskin, dan juga mencerminkan agama yang
berbeda-beda, kelompok bahasa, dan
kelompok etnis dalam masyarakat.
Membuat Pemilu Terjangkaudan BerartiOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Pemilihan umum pada dasarnya bagus, akan tetapi
menjadi kurang berarti bagi masyarakat apabila
orang mengalami kesulitan untuk memilih, atau
jika pada saat berakhirnya pemilu, suara yang
mereka berikan tidak memberi perubahan yang
berarti terhadap cara pemerintahan bangsa
tersebut. �Kemudahan memilih� ditentukan oleh
faktor-faktor seperti seberapa rumit kertas suara,
lihat Indeks Penghitungan Suara, seberapa mudah
bagi para pemilih untuk datang ke TPS, lihat
Tempat Pemungutan Suara (Voting Sites), apakah
daftar pemilih cukup baru, lihat Indeks
Pendaftaran Pemilih, dan seberapa jauh para
pemilih yakin bahwa suara yang mereka berikan
bersifat rahasia.
Masih terkait dengan hal diatas terdapat pokok
persoalan yang lebih besar lagi yaitu apakah suara
seorang pemilih akan membuat perbedaan
terhadap hasil akhir. Apabila sudah diketahui
bahwa caleg yang anda sukai tidak mungkin
memenangkan kursi di daerah anda, apakah
memilih masih ada gunanya? Dalam beberapa
sistem pemilihan, jumlah �suara yang hangus�
yakni suara yang tidak terhitung ke caleg
manapun, berbeda dengan suara rusak atau tidak
sah, artinya kertas suara yang dikeluarkan dari
penghitungan, dapat mencapai jumlah yang cukup
besar dibandingkan dengan suara nasional yang
masuk.
Seberapa jauh arti pemilu ditentukan oleh
seberapa kuat parlemen yang terpilih lewat pemilu
tersebut. Pemilihan palsu atau pemilihan yang
tidak mencerminkan pemilihan dalam sebuah
sistem yang otoriter, dimana parlemen mempunyai
pengaruh yang sangat sedikit pada pembentukan
pemerintahan atau pada kebijakan pemerintah,
jauh lebih tidak berarti dibandingkan dengan
pemilu yang dapat menghasilkan parlemen yang
sebenarnya memiliki kekuatan untuk menentukan
unsur-unsur penting dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya. Akan tetapi bahkan dalam sistem
parlemen yang demokratis, pilihan terhadap
sistem pemilu dapat mempengaruhi legitimasi
lembaga-lembaga terkait. Misalnya, Senat
Australia antara tahun 1919 dan 1946 dipilih
berdasarkan sistem pemilu yang sangat tidak
proporsional, Alternative Vote dalam distrik wakil
majemuk, yang mengakibatkan hasil yang berat
sebelah dan kurang representatif. Ini cenderung
mengurangi arti legitimasi Senat itu sendiri di mata
para pemilih maupun para politisi dan, beberapa
pengamat mengatakan hal tersebut juga
mengurangi dukungan publik terhadap institusi
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN
31
pemerintah federal pada umumnya. Sesudah
sistem tersebut diubah menjadi sistem
proporsional yang lebih adil, Single Tranferable
Vote, pada tahun 1948, Senat mulai dipandang
lebih kredibel dan representatif, dan dengan
demikian rasa hormat terhadap lembaga tersebut
muncul, dan juga meningkatkan bobotnya dalam
pengambilan keputusan, lihat Alternative Vote di
Australia.
Menyediakan Sarana bagi PersatuanOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Sistem pemilu dapat dipandang tidak hanya
sebagai cara untuk membentuk lembaga
pemerintahan, tetapi juga sebagai alat mengatasi
konflik dalam sebuah masyarakat. Beberapa
sistem, dalam beberapa keadaan, akan
mendorong partai politik untuk mengimbau
dukungan pemilihan diluar domain
pemilihannya sendiri; misalnya, meskipun
sebuah partai mengandalkan dukungannya
terutama dari pemilih kulit hitam, sebuah sistem
pemilu tertentu akan memberi dorongan bagi
para pemilih kulit putih dan pemilih lainnya.
Dengan demikian, platform kebijakan partai akan
lebih bersifat mempersatukan dan
mengikutsertakan berbagai pihak. Sifat-sifat
sistem pemilu yang serupa akan membuat partai-
partai lebih tidak tertutup secara etnis,
kedaerahan, bahasa dan ideologis. Contoh-contoh
bagaimana sistem pemilu yang berbeda-beda
telah berfungsi sebagai alat untuk mengatasi
konflik dipaparkan dalam seluruh bagian sistem
pemilu ACE Project, lihat Afrika Selatan: Sistem
Pemilu dan Manajemen Konflik.
Sebaliknya, sistem-sistem pemilu dapat
mendorong para pemilih untuk melihat diluar
kelompok mereka sendiri dan memikirkan suara
yang secara tradisional merepresentasikan
kelompok lain. Pemilihan seperti ini akan
membuahkan akomodasi dan penguatan
masyarakat. Sebuah sistem yang memberikan
lebih dari satu suara kepada pemilih, atau sebuah
sistem yang memberikan kemungkinan bagi para
pemilih untuk mencari caleg akan memberikan
ruang yang lebih bagi para pemilih untuk
melampaui batas-batas sosial tradisional. Menurut
sistem pemilu Yordania 1989, lihat Yordania �
Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab, misalnya,
seorang pemilih Muslim dapat memberikan dua
dari tiga suara untuk caleg Muslim dan satu sisa
suara untuk caleg Kristen. Di negara Papua Nugini
yang sangat terpecah secara etnis dalam tahun
1960 dan 1970-an, para pemilih dapat
menempatkan para caleg sesuai dengan urutan
yang mereka sukai di kertas suara. Disana mereka
dapat menentukan koalisi luas, dan pertukaran
suara antara para kandidat yang bersaing dan
kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Pada
saat sistem preferensial itu tidak dipakai lagi,
kelompok-kelompok tersebut tidak lagi memiliki
dorongan untuk bertindak secara kooperatif, dan
tingkah laku mereka menjadi lebih eksklusif, lihat
Papua Nugini.
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN
32
Membantu Terbentuknya Pemerintahyang Stabil dan EfisienOleh: Andrew Reynolds
Prospek untuk sebuah pemerintah yang stabil dan
efisien ditentukan oleh banyak faktor selain sistem
pemilu, tetapi hasil yang diperoleh dari sistem
pemilu tersebut dapat memberikan kontribusi
terhadap stabilitas dalam banyak aspek penting.
Pertanyaan kuncinya dalam hal ini adalah apakah
masyarakat menganggap sistem tersebut adil,
apakah pemerintah dapat secara efisien
memberlakukan undang-undang dan memerintah,
dan apakah sistem tersebut dapat menghindarkan
terjadinya diskriminasi terhadap partai-partai atau
kelompok masyarakat tertentu. Persepsi masyarakat
mengenai apakah hasil pemilu �adil� atau tidak,
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Pernah terjadi dua kali di Inggris � tahun 1951 dan
1974 � dimana partai yang memenangkan sebagian
besar suara mendapatkan kursi yang lebih sedikit
dibandingkan lawan politiknya. Tetapi ini lebih
disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak normal dari
sebuah sistem yang pada dasarnya sudah bagus,
lihat First Past the Post (FPTP), dan bukanlah
merupakan sebuah ketidakadilan yang harus
diubah. Sebaliknya, di Mongolia tahun 1992, sistem
BV (lihat Block Vote) memungkinkan Partai
Revolusioner Rakyat Mongolia memenangkan 92%
kursi dengan hanya mengantongi 57% suara. Hal
seperti ini tidak hanya dipandang tidak adil oleh
banyak pihak, tetapi juga berbahaya bagi demokrasi.
Sebagai akibatnya sistem tersebut dirubah pada
pemilu tahun 1996.
Memastikan AkuntabilitasPemerintah dan Wakil RakyatOleh: Andrew Reynolds
Pertanggungjawaban adalah salah satu dasar dari
pemerintahan perwakilan, karena pertanggung-
jawaban memungkinkan dikontrolnya seseorang,
yang setelah dipilih, ternyata mengingkari janji-janji
yang diberikannya pada masa kampanye. Sebuah
sistem politik yang dapat diandalkan adalah sebuah
sistem dimana baik pemerintah maupun anggota
legislatif yang dipilih dapat sejauh mungkin
bertanggungjawab terhadap konstituen mereka.
Dalam perspektif yang lebih luas, para pemilih harus
dapat mempengaruhi sepak-terjang pemerintahan,
baik dengan kemampuan mengganti koalisi partai
yang sedang berkuasa atau dengan menggusur
sebuah partai yang sedang memerintah, yang
terbukti gagal melaksanakan tugasnya. Sistem
pemilu yang dirancang dengan baik mempermudah
kedua sasaran tersebut di atas.
Pertanggungjawaban memiliki arti lebih dari sekedar
melaksanakan pemilu nasional secara rutin. Hal
tersebut bergantung pada tingkat pertanggung-
jawaban geografis, yang juga sangat tergantung pada
besar dan karakteristik teritorial wilayah, lihat Indeks
Pemetaan Distrik Pemilihan, seperti halnya juga pada
kebebasan yang diberikan bagi para pemilih untuk
menentukan apakah akan memilih calon
berdasarkan orang atau memilih partai, lihat
Alternative Vote dan Ukuran Distrik. Disamping itu
masih ada cara-cara pertanggungjawaban lain yang
dapat digunakan: di beberapa negara bagian di
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN
33
Amerika, anggota Dewan legislatif dapat �di-recall�
jika beberapa pemilih di daerah tersebut
menginginkan hal itu. Yurisdiksi lain menggunakan
mekanisme �demokrasi langsung� seperti misalnya
referendum dan inisiatif.
Mendukung Hidupnya Partai-PartaiPolitik yang TerbukaOleh: Andrew Reynolds
Bukti yang cukup kuat baik dari negara-negara yang
demokrasinya sudah mapan maupun negara
demokrasi baru menunjukkan bahwa konsolidasi
demokratis jangka panjang memerlukan
pertumbuhan dan pemeliharaan partai-partai politik
yang kuat dan efektif. Konsolidasi demokratis yaitu
sejauh mana rezim yang demokratis tidak lagi
mendapatkan tantangan-tantangan domestik sampai
terjaminnya stabilitas politik. Maka dari itu, sebuah
sistem politik harus mendorong terwujudnya
kecenderungan ini daripada hanya berkutat kedalam
atau mendorong terjadinya perpecahan partai. Para
ahli juga setuju bahwa sistem tersebut harus
mendorong terjadinya pengembangan partai yang
berdasarkan nilai-nilai politis yang luas dan ideologi-
ideologi, serta program kebijakan yang khusus,
daripada sekedar memberi perhatian terhadap
masalah etnis yang sempit, masalah rasial dan
regional. Partai-partai politik yang berdasarkan pada
�unsur-unsur terbuka� akan lebih mencerminkan
pandangan nasional dibanding dengan partai-partai
politik yang terutama mendasarkan dirinya pada
masalah-masalah yang bersifat sempit dan regional.
Mendorong Adanya OposisiDi ParlemenOleh: Andrew Reynolds
Pemerintahan yang efektif tidak hanya tergantung
pada mereka yang memegang �kekuasaan,� tetapi juga
pada mereka yang duduk di parlemen tetapi tidak
berada dalam pemerintahan. Sistem pemilu ini harus
dapat membantu memastikan adanya kelompok
oposisi parlemen yang aktif yang dapat menilai
peraturan-peraturan secara kritis, menjamin hak-hak
minoritas, dan mewakili konstituen mereka secara
efektif. Pengelompokan oposisi ini harus memiliki
cukup anggota di parlemen agar dapat efektif, dengan
asumsi bahwa penilaian terhadap anggota parlemen
tersebut diberikan sesuai dengan suara yang diperoleh
pada saat pemilu, dan juga harus dapat memberikan
alternatif bagi administrasi pemerintahan saat ini
secara realistis. Memang kekuatan oposisi di parlemen
tergantung pada banyak faktor selain dari pilihan
sistem pemilu, tetapi jika sistem itu sendiri membuat
opisisi di parlemen tidak berdaya, pemerintah yang
demokratis dengan sendirinya akan melemah. Pada
saat yang sama, sistem pemilu harus mencegah
berkembangnya sikap �winner take all� yang
menyebabkan para penguasa buta terhadap
pandangan dan kebutuhan serta keinginan para
pemilih yang beroposisi, dimana baik pemilu maupun
pemerintah sendiri dipandang sebagai permainan
zero-sum.
PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN
34
Pilihan sistem pemilu merupakan salah satu
keputusan kelembagaan yang paling penting bagi
setiap negara demokrasi. Meskipun demikian
menurut sejarahnya, jarang sekali sistem pemilu
dipilih secara sadar dan sengaja. Seringkali pilihan
tersebut terjadi karena kebetulan, diakibatkan karena
gabungan kejadian-kejadian yang tidak biasa, karena
trend yang sedang dikagumi, atau karena keajaiban
sejarah. Dampak kolonialisme dan pengaruh negara
tetangga seringkali menjadi pendorong dalam
memilih sistem pemilu. Meskipun demikian, hampir
dalam setiap kasus, dampak dipilihnya sistem
pemilu tertentu mempunyai pengaruh besar bagi
kehidupan politik negara tersebut di masa depan.
Dalam banyak hal, sekali dipilih, sistem pemilu
tersebut biasanya akan tetap dipakai untuk jangka
waktu yang cukup lama, karena kepentingan politik
akan mengkristal dan bereaksi terhadap masukan
akibat diterapkannya sistem tersebut.
Jika sistem pemilu jarang sekali dipilih secara
sengaja, lebih jarang lagi sistem tersebut dirancang
secara seksama untuk kondisi sejarah dan sosial
tertentu yang terjadi di sebuah negara. Ini biasa
terjadi di negara-negara demokrasi yang baru. Setiap
negara demokrasi baru harus memilih, atau
mewarisi, sistem pemilu dalam memilih
parlemennya. Akan tetapi keputusan tersebut
seringkali dipengaruhi oleh salah satu dari dua
keadaan ini: Apakah para pelaku politik kurang
mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup
sehingga pilihan dan konsekwensi berbagai sistem
pemilu tidak mereka kenali sepenuhnya, atau
sebaliknya, para pelaku politik memiliki
pengetahuan yang cukup terhadap konsekwensi
sistem-sistem pemilu tersebut, yang menyebabkan
mereka menganjurkan dipilihnya sistem yang
menurut mereka dapat memberikan keuntungan
yang maksimal bagi pihaknya. Pada kedua skenario
tersebut, pilihan apapun yang diambil kadangkala
bukan yang terbaik untuk kesehatan politik jangka
panjang negara yang bersangkutan. Seringkali,
pilihan tersebut membawa dampak yang sangat
merugikan bagi kelangsungan demokrasi negara
tersebut.
Cara bagaimana sistem pemilu tersebut dipilih dapat
menjadi sama pentingnya dengan pilihan itu sendiri.
Ada empat cara bagaimana sistem pemilu tersebut
dipakai: lewat warisan kolonial, melalui
perekayasaan, dengan tekanan dari luar, atau secara
kebetulan. Kita akan membicarakan masing-masing
proses ini secara berurutan.
Konvensi Nasional � MajelisKonstitusiOleh: Michael Coppedge
Ada tiga kriteria fundamental untuk mengevaluasi
sebuah reformasi pemilu:
� Pertama, kita menginginkan sistem pemilu
yang sudah direformasi agar memiliki
manfaat teknis, artinya kita ingin agar
Undang-Undang mendefinisikan sarana
yang praktis dan konsisten untuk tujuan
PROSES PEMILIHAN SISTEM Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
35
PROSES PEMILIHAN SISTEM
apapun yang ingin dicapai oleh reformasi.
Apakah tujuan tersebut dipergunakan untuk
meningkatkan derajat kesamaaan
perwakilan, atau untuk mempermudah
pengelolaan sistem pemilu, sistem tersebut
harus mampu menetapkan hasil pemilu
secara obyektif, efisien dan cepat dalam
setiap situasi. Ketidakjelasan, ketidak-
konsekwenan, dan ketidakpraktisan dalam
sebuah sistem pemilu seringkali mengurangi
manfaat teknis tersebut.
� Kedua, kita menginginkan agar sistem
pemilu yang sudah direformasi tidak ada
hubungannya dengan masa lalu, jika hal
itulah yang diinginkan masyarakat.
Seringkali, terutama di negara-negara
demokrasi, masyarakat tidak menuntut
banyak pemisahan dengan masa lalu;
bahkan legitimasi sistem pemilu seringkali
tergantung pada tradisi yang sudah dipakai
secara terus-menerus, yang teruji pada masa
lalu. Meskipun demikian, dalam situasi yang
tidak biasa, pada saat masyarakat
menginginkan adanya reformasi, proses
tersebut harus memungkinkan terputusnya
hubungan dengan waktu lampau.
� Akhirnya, hasil proses reformasi tersebut
harus dipandang sah (legitimate) oleh
sebanyak mungkin masyarakat. Semakin
legitimate reformasi tersebut, semakin baik
sistem pemilu itu dapat mengatasi
pertentangan untuk mendapat hak
memerintah, dan juga sistem pemilu tersebut
akan bertahan lebih lama. Sebuah sistem
pemilu yang sah merupakan bagian yang
sangat penting dalam rezim demokrasi
terlembaga.
Seberapa jauh reformasi pemilu ini dapat menjamin
tiga kriteria di atas sangat bergantung pada proses
yang menghasilkan reformasi tersebut. Ada empat
jenis dasar proses reformasi pemilu:
1. Reformasi dalam rezim demokratis
representatif;
2. Reformasi dalam rezim demokratis yang
tidak representatif;
3. Reformasi dalam rezim otoritarian yang
stabil; dan
4. Reformasi pada masa transisi dari
otoritarianisme ke sistem demokrasi.
Jika reformasi terjadi dalam rezim yang sudah
demokratis, dengan institusi yang sudah mewakili
masyarakat dengan cukup baik, maka institusi
demokratis tersebut dapat diharapkan memberikan
hasil yang sah, dengan kemungkinan kecil terjadi
kesalahan perhitungan. Meskipun demikian,
beberapa negara demokrasi justru mengembangkan
lembaga-lembaga yang tidak mewakili kepentingan
utama atau identitas masyarakat dengan baik.
Beberapa peraturan pemilu, partai politik, dewan
perwakilan atau lembaga eksekutif tidak
memasukkan atau tidak mewakili daerah tertentu,
kelompok masyarakat, kepentingan ekonomi, agama,
ideologi tertentu, atau wanita. Reformasi pemilu yang
36
PROSES PEMILIHAN SISTEM
terjadi dalam rezim yang seperti itu kecil sekali
kemungkinannya untuk menghasilkan reformasi
yang sah, baik karena kepentingan kelompok yang
terlalu diwakili ingin mempertahankan posisi
mereka dalam kekuasaan, atau karena para pelaku
reformasi murni tidak memiliki cukup informasi
untuk mengantisipasi kekuatan dan keinginan
kelompok yang terpinggirkan tersebut secara akurat.
Dalam banyak kasus, reformasi pemilu sudah
dilakukan selama masa otoritarianisme, dengan
hampir tanpa masukan dari partai-partai politik atau
masyarakat. Karena tujuan dari reformasi yang
demikian biasanya untuk mencegah hasil pemilu
tertentu dari masa demokratis sebelumnya atau
untuk melindungi gagasan-gagasan dan kepentingan-
kepentingan yang berhubungan dengan rezim
otoriter, proses reformasi ini sangat tidak melibatkan
banyak pihak. Reformasi yang terjadi pada masa
transisi dari suatu rezim dimulai dengan kondisi
otoritarian, namun bergerak menuju kondisi
demokratis pada saat transisi semakin mendekat.
Namun demikian, karena kepentingan partai-partai
politik yang bernegosiasi berubah selama proses
tersebut, dan karena tidak ada pemilu yang dapat
menguji kekuatan partai-partai sebelum masa transisi
terjadi, proses ini menjadi terhalang oleh
ketidakpastian.
Manfaat Teknis
Ancaman terhadap manfaat teknis pemilu dapat
muncul pada setiap jenis proses reformasi.
Konsekwensi dari banyak peraturan dalam UU
Pemilu dapat dimengerti dengan baik, sehingga para
reformis dapat menghindari sejumlah masalah
dengan mendidik diri mereka sendiri mengenai
ketentuan-ketentuan tersebut atau dengan menyewa
konsultan dari luar agar dapat menerapkan
pengetahuan umum mereka pada sebuah negara
tertentu. Meskipun demikian, akibat yang
ditimbulkan dari beberapa ketentuan dalam UU
Pemilu tersebut masih diperdebatkan dengan sengit
oleh para ahli, maka dari itu tidak seluruhnya dapat
dimengerti, dan dengan demikian masih terdapat
resiko adanya saran yang tidak tepat, dengan tidak
membedakan jenis proses macam apa yang sedang
terjadi. Tambahan lagi, para politisi dan partai politik
di seluruh dunia telah menunjukkan suatu
kemampuan yang istimewa untuk menjawab
tantangan reformasi tersebut dengan cara
mengadaptasi metode-metode yang sebelumnya
tidak diantisipasi oleh para reformis. Adaptasi
tersebut dapat mengakibatkan bertahannya status
quo, atau mengubah sistem tersebut dengan cara
yang tidak terduga. Maka dari itu, seseorang yang
melakukan reformasi harus mengembangkan
keahliannya sebanyak mungkin, merancang secara
kreatif hal-hal yang tidak terduga, dan selalu siap
menghadapi hal-hal yang tidak diharapkan.
Nampaknya kesalahan teknis akan kecil
kemungkinannya untuk terjadi, apabila reformasi
pemilu dirancang oleh sekelompok ahli yang lepas
dari tekanan-tekanan yang bertentangan, kompromi
yang tidak sehat dan pengambilan keputusan yang
sepotong-potong yang dilakukan oleh rezim otoriter.
Namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Beberapa
37
PROSES PEMILIHAN SISTEM
penguasa otoriter mencari bantuan teknis yang
paling baik, sedangkan beberapa lainnya
memberikan tugas tersebut kepada sekelompok
amatir. Tambahan lagi, baik dalam kasus yang
pertama maupun yang kedua, para reformis
otoritarian tersebut kekurangan informasi yang dapat
dipercaya mengenai apa yang diinginkan oleh
masyarakat, yang berjumlah sangat banyak, yang
mana hal tersebut lebih mungkin menghasilkan
reformasi yang akan membawa akibat-akibat yang
sebelumnya tidak terpikirkan. Reformasi yang
dijalankan di negara-negara demokrasi perwakilan
yang mapan lebih mungkin untuk terhindar dari hal-
hal yang tak terduga tersebut. Lebih lanjut lagi,
apabila para penguasa otoriter menunggu sampai
transisi rezim dimulai sebelum berusaha merancang
sebuah UU Pemilu baru, dinamika transisi tersebut
akan segera mengambil alih. Semakin mendadak
transisi terjadi, semakin besar tingkat ketidakpastian
dan semakin besar kesalahan dari berbagai jenis akan
terjadi.
Kemungkinan Putusnya Hubungan
dengan Masa Lalu
Dalam banyak situasi, reformasi sistem pemilu secara
radikal bukan merupakan pilihan yang baik ataupun
yang diinginkan, terutama pada saat sistem tersebut
dianggap dapat berjalan dengan baik (dalam rezim
perwakilan demokratis), atau sudah berjalan dengan
baik sebelumnya (dalam rezim otoriter atau selama
masa transisi). Meskipun demikian, di negara-negara
yang tidak mempunyai perwakilan demokratis,
selalu ada keinginan untuk mereformasi sistem
pemilu, baik karena UU Pemilu tersebut dianggap
tidak menjamin kesamaan derajat dalam perwakilan
atau karena UU Pemilu dipercaya dapat menjadi obat
yang mujarab atas masalah yang ditimbulkan oleh
faktor-faktor lain. Di beberapa negara, sistem pemilu
dipersalahkan mendatangkan masalah yang
menyebabkan jatuhnya rezim demokratis; dalam hal
seperti ini, reformasi pemilu kebanyakan sudah
menjadi agenda prioritas dari penguasa otoriter yang
berikutnya dan dapat menjadi masalah pada saat
transisi kembali ke demokrasi. Maka dari itu satu
prasyarat yang sudah pasti untuk sebuah reformasi
yang terpisah dengan masa lampau adalah kesadaran
perlunya sebuah reformasi. Tetapi pada saat kondisi
seperti ini sudah tercapai, kondisi apa lagi yang
mempengaruhi kemungkinan dijalankannya sebuah
reformasi yang memuaskan?
Hasilnya tergantung pada kekuatan relatif antara
proponen (pendukung) dan oponen (lawan) dari
reformasi tersebut. Dalam sebuah rezim otoriter yang
stabil, penguasa otoriter biasanya jauh lebih kuat dari
para pelaku politik lainnya, dan oleh sebab itu
mereka dapat memerintahkan perubahan apa saja
atas sebuah UU Pemilu sesuai keinginan mereka.
Rezim Pinochet dari tahun 1973 sampai 1990
merupakan sebuah contoh yang baik dari hal
tersebut. Jenderal Pinochet menunjuk sebuah Komisi
Penyelidikan untuk Konstitusi Politik Baru pada
tahun 1973, memberi mereka petunjuk rinci pada
tahun 1977, menyerahkan draft Komisi tersebut
kepada Dewan Negara (yang ditunjuk oleh rezim
tersebut) pada tahun 1978, menerima beberapa revisi
38
PROSES PEMILIHAN SISTEM
yang disarankan oleh Dewan, dan menerima
ratifikasi konstitusi yang telah direvisi tersebut dalam
referendum yang penuh kecurangan pada tahun
1980. Konstitusi baru ini mengandung banyak
perubahan radikal dalam hal sistem pemilihan
umum, termasuk pemakaian sistem distrik dua
anggota. Ketika Pinochet kalah pada referendum
tahun 1988 yang dilaksanakan untuk menetapkan
apakah dia dapat meneruskan jabatannya sebagai
presiden, transisi menuju demokrasi dimulai; tetapi
para pemimpin partai pro-demokrasi pada
umumnya memutuskan untuk tetap mentaati
peraturan pemilu yang dipaksakan dari atas,
daripada membahayakan keseluruhan masa transisi
tersebut. Contoh lain adalah perubahan radikal yang
dilakukan Alberto Fujimori terhadap UU Pemilu yang
terjadi sesudah perebutan kekuasaan presiden pada
tahun 1992. Peraturannya untuk menetapkan sebuah
majelis pemilih (�Kongres Pemilih Demokratis�)
menghapuskan Majelis Tinggi (upper chamber),
pemilihan preferensial, dan bahkan alokasi kursi
menurut department. Sebagai gantinya, Fujimori
mengesahkan sebuah dewan legislatif unikameral
yang dipilih dengan daftar tertutup dan sistem blok
dalam distrik nasional tunggal.
Sebuah perubahan yang radikal, yang sama sekali
terpisah dengan masa lalu, nampak sangat kecil
kemungkinannya dalam rezim demokratis dengan
perwakilan yang tinggi. Sebagian dikarenakan
perwakilan yang seperti itu biasanya menunjukkan
bahwa reformasi bukan merupakan prioritas besar
bagi sebagian besar warganegaranya, dan sebagian
lagi karena reformasi pemilu biasanya akan
berlawanan dengan kepentingan para wakil yang
yang terpilih berdasarkan peraturan yang berlaku,
dan para wakil ini biasanya berada dalam posisi yang
bagus untuk mencegah usaha reformasi. Keadaan
seperti ini menyebabkan kurangnya reformasi
pemilu yang fundamental di Amerika Serikat, kecuali
masalah hak-hak pemilih dan pembagian wilayah.
Meskipun demikian, ada situasi dimana para wakil
dapat memutuskan bahwa reformasi dapat mewakili
kepentingan-kepentingan mereka dengan baik: yaitu
pada saat pola-pola pemilihan berubah sehingga
merugikan partai-partai tradisional. Dalam hal seperti
ini, para wakil partai-partai tradisional dapat
termotivasi untuk mengubah sistem pemilu dalam
usaha mereka untuk menahan atau memperlambat
kejatuhan mereka sendiri: sebuah reformasi untuk
menghindari reformasi. Ini merupakan motivasi
dipakainya perwakilan proporsional di banyak
negara Eropa Barat pada akhir abad 19 dan
permulaan abad 20. Bukan berarti hal ini adil bagi
partai-partai politik kelas pekerja yang baru muncul,
tetapi hal dilakukan agar partai-partai liberal dan
partai-partai yang memerintah lainnya yang sedang
mengalami kemunduran sedapat mungkin tetap
memegang kekuasaan mereka yang dulu.
Kemungkinan terjadinya reformasi yang mendalam
paling sulit diperkirakan di negara-negara demokrasi
yang kurang mencerminkan perwakilan, karena
tekanan untuk adanya reformasi mendapat tantangan
yang cukup keras. Tekanan-tekanan untuk reformasi
begitu kuat karena kelompok yang kurang terwakili
cepat atau lambat akan menuntut sistem pemilu yang
lebih adil dan mereka cenderung menuntut
39
PROSES PEMILIHAN SISTEM
perubahan yang radikal. Mereka juga mempunyai
keuntungan karena adanya kebebasan masyarakat
dan hak-hak politik yang mendasar, yang
memungkinkan mereka mengorganisir sebuah
gerakan reformasi yang kuat. Meskipun demikian
mereka berhadapan dengan para politisi dan partai-
partai politik yang mendapatkan keuntungan dari
sistem pemilu yang berlaku saat itu dan yang merasa
terancam dengan adanya usulan perubahan, yang
mana justru para politisi dan partai-partai politik
tersebut menduduki jabatan-jabatan yang
memberikan mereka kekuatan untuk mengalahkan
usaha-usaha mengadakan reformasi. Hasil apapun,
mulai dari pemutusan radikal terhadap masa lalu
sampai usaha-usaha pencegahan atau pemeliharaan
status quo dapat saja terjadi, tergantung kepada
seberapa besar kekuatan yang mendukung maupun
menentangnya pada saat itu. Dalam keadaan seperti
ini reformasi dapat terhambat atau tertunda selama
bertahun-tahun. Bahkan apabila reformasi dapat
berjalan, reformasi tersebut cenderung melemah
sedemikian rupa sehingga gerakan reformasi tidak
terpuaskan. Ada kalanya gerakan-gerakan reformasi
mendapatkan pengaruh yang cukup untuk
mengalahkan oposisi yang mempunyai kepentingan
yang mendalam.
Salah satu contoh terbaik dari proses reformasi di
negara demokrasi yang kurang terwakili adalah
Kolombia. Kediktatoran menyerah kepada
pemerintah yang dipilih di Kolombia pada tahun
1958; meskipun demikian, dalam jangka enam belas
tahun, pemerintah yang dipilih berdasarkan apa yang
disebut pakta �Front Nasional,� menyebabkan
kompetisi antar partai menjadi tidak berarti dalam
banyak hal. Pertama, hanya Liberal dan Konservatif
tradisional yang boleh dipilih sebagai calon anggota
legislatif. Kedua, partai ini mendukung calon
presiden dari masing-masing partai secara
bergantian. Dengan demikian, kelangsungan
kekuasaan dari kedua partai dengan cara bergantian
dapat terus berjalan tanpa memberikan pilihan
kepada para pemilih. Ketiga UU Pemilu
mengalokasikan 50% kursi dewan legislatif kepada
masing-masing partai tanpa memperhitungkan
proporsi perolehan suara masing-masing partai.
Sehingga, para pemilih hanya dapat mempunyai
pengaruh dalam pemilihan caleg maupun fraksi,
tetapi tidak terhadap partai tersebut. Beberapa tingkat
perwakilan didukung oleh fakta bahwa
kepemimpinan nasional partai tersebut kehilangan
kontrolnya atas partai tersebut; dengan demikian,
beberapa kelompok dapat mengajukan calegnya ke
dalam daftar Liberal atau Konservatif. Meskipun
demikian para caleg ini sangat tergantung kepada
dasar-dasar dukungan klientel, dan beberapa
kelompok lain, terutama kelompok kiri, memilih
untuk tidak memakai salah satu label partai
tradisional. Akibatnya, pengikut pemilu menjadi
sangat banyak dan tumbuh semakin besar selama
masa Front Nasional (Hartlynn 1988). Para kelompok
kiri menolak kompetisi dalam Pemilu, dan memilih
untuk mengadakan pemberontakan bersenjata
bahkan sesudah pakta tersebut habis masa
berlakunya pada tahun 1974; sebagian disebabkan
karena ratusan bekas gerilya atau pendukung kiri
yang berani ikut pemilu dibunuh oleh pasukan
pembunuh.
40
PROSES PEMILIHAN SISTEM
Meskipun tidak ada reformasi institusi yang dengan
sendirinya dapat membawa demokrasi damai yang
melibatkan banyak pihak di Kolombia, banyak
mahasiswa dan pekerja LSM memutuskan bahwa
reformasi konstitusi, termasuk reformasi pemilu,
merupakan bagian penting pemecahan masalah.
Meskipun demikian, Kongres tidak mau merubah
konstitusi, sehingga tidak ada satupun bentuk
reformasi yang dinginkan dipergunakan selama
beberapa dasawarsa. Tetapi, pada tahun 1990 para
mahasiswa dan LSM membagikan kertas suara
majelis konstituen yang tidak resmi, yang dapat
dimasukkan juga oleh para pemilih ke dalam kotak
bersama-sama dengan kertas suara resmi pada
pemilihan Presiden bulan Mei 1990. Pada saat hasil
referendum terbukti sangat positif, Presiden yang
baru, Cesar Gaviria, mengadakan referendum tahun
1990 dan pemilihan anggota Majelis Konstituen
Nasional, walaupun sebenarnya konstitusi hanya
memberi wewenang kepada Kongres untuk
melakukan perubahan Konstitusi. Pada tahun
berikutnya, Majelis ini merubah dasar pemilihan
Senat menjadi distrik nasional tunggal,
memperkenalkan kertas suara yang dibuat negara
yang memungkinkan pembagian suara untuk kursi
legislatif pertama kali; sementara waktu
menghilangkan pemilihan antar waktu (suplentes/
alternate), yang merupakan sumber perlindungan
terbesar; dan memisahkan pemilihan pejabat lokal
dan nasional. Majelis juga menetapkan pemilihan
langsung untuk gubernur dan walikota, dan
meningkatkan kesempatan untuk diadakannya
referendum (Taylor 1996). Dengan demikian, sebuah
kongres yang tidak menunjukkan perwakilan,
menunda reformasi dalam jangka waktu yang sangat
lama di Kolombia, dengan biaya/resiko politis yang
sangat tinggi. Namun, pada akhirnya, masyarakat
biasa menemukan sebuah cara yang efektif,
meskipun boleh dikatakan tidak konstitusional.
Perubahan rezim tidak harus selalu diikuti dengan
reformasi pemilu, karena UU Pemilu tidak selalu
menjadi penyebab kelemahan-kelemahan rezim
demokratis sebelumnya. Tetapi seandainya UU
Pemilu yang ada saat ini atau UU Pemilu sebelumnya
dipandang bermasalah, perubahan rezim dapat
memberikan suasana yang mendukung untuk
pemutusan total dari masa lalu. Namun demikian,
arah dari pemutusan hubungan tersebut sangat
tergantung kepada ketepatan waktu karena ciri
transisi yang menentukan adalah berpindahnya
kekuasaan dari pemerintahan otoriter ke kekuatan
demokratis (O�Donnel dan Schmitter 1986). Pada saat
awal transisi, para penguasa otoriter mempunyai
pengaruh yang kuat dalam memulai dan
mendefinisikan isi reformasi pemilu, sedangkan pada
akhir masa transisi, para politikus, dan partai-partai
mempunyai pengaruh yang lebih besar. Maka dari
itu, reformasi dini lebih mungkin untuk pemutusan
dengan sebuah masa lalu yang demokratis, dan
reformasi yang terlambat lebih merupakan
pemutusan dengan masa lalu yang otoriter.
Meksiko dapat dikatakan berada dalam masa transisi
rezim yang lambat dan terkontrol sejak akhir tahun
1970-an. Reformasi pemilu terjadi di Meksiko setiap
tiga tahun, dimulai dari tahun 1977, tetapi selama
beberapa dasawarsa sasaran reformasi ini adalah
41
PROSES PEMILIHAN SISITEM
menjaga dominasi partai yang memerintah, Partai
Revolusioner Institusional (PRI). Pada awalnya,
reformasi memberi kebebasan kepada partai-partai
oposisi, tetapi memecah-belah mereka; kemudian
memberikan keistimewaan kepada para
penantangnya yang paling kecil dan
mendiskriminasikan yang besar; kemudian
meningkatkan kesempatan kepada semua
penantangnya disamping juga menambah jaminan
bagi partai mayoritas PRI. Sejak tahun 1994 UU
Pemilu direformasi dengan cukup baik yang
memungkinkan pemungutan dan penghitungan
suara yang lebih adil. Dalam hal ini, banyak reformasi
terjadi pada tahap awal dari transisi ketika para
penguasa masih dapat mencegah pemutusan total
dengan rezim otoriter.
Sebuah reformasi yang terjadi pada akhir masa transisi
kemungkinan akan lebih mencerminkan kepentingan
para politisi demokratis. Sebuah contoh yang baik
adalah Brazilia, dimana transisi hampir selesai dengan
berhasilnya seorang caleg yang didukung oleh oposisi
untuk menduduki jabatan presiden pada bulan Maret
1985. Pada saat itu, banyak partai di Brazilia sudah
berbentuk sebagai kumpulan nasional yang longgar
dari organisasi-organisasi regional yang berpusat ke
calegnya. Dua bulan kemudian, Kongres menyetujui
Amandemen Konstitusi No.25, yang menghasilkan
hal-hal sebagai berikut:
� Menurunkan batas representasi nasional dan
negara untuk dapat memperoleh kursi di
Kongres.
� Menghilangkan larangan rezim militer yang
tidak memperbolehkan perpindahan partai.
� Menghilangkan sanksi terhadap para anggota
legislatif yang melanggar disiplin partai di
Kongres.
Pada bulan Desember, Kongres mengesahkan UU
yang memungkinkan koalisi dalam pemilihan
anggota legislatif dan memungkinkan para pemilih
membagi suaranya dalam pemilihan anggota
eksekutif dan legislatif. Ketiga reformasi tersebut
mempermudah partai-partai kecil dan partai-partai
regional untuk memenangkan kursi dan memperkuat
calegnya daripada partainya (Mainwaring 1991 dan
1997). UU pemilu yang sebelumnya sudah berisi
kemudahan bagi hal-hal diatas dalam arti bahwa UU
tersebut memberikan representasi proporsional di
wilayah-wilayah besar dengan pemilihan daftar
terbuka. Ini berarti bahwa pemilihan preferensial
untuk caleg betul-betul menentukan pembagian kursi
dalam partai itu sendiri. UU yang baru meningkatkan
independensi caleg dengan memperbolehkan caleg
yang menang untuk tetap menduduki kursinya
bahkan jika partainya atau aliansi partainya gagal
mencapai batas representasi (threshold), dengan syarat
mereka berpindah partai dalam waktu 60 hari. Majelis
konstituen pada tahun 1987-88 tetap memper-
tahankan ketentuan-ketentuan ini.
Legitimasi dan Daya Tahan Reformasi
Dalam istilah singkatnya, legitimasi sebuah UU
Pemilu merupakan hasil langsung dari seberapa baik
para reformis mewakili para warganegara yang harus
42
PROSES PEMILIHAN SISTEM
hidup berdasarkan hukum tersebut. Maka dari itu,
sebuah reformasi paling mungkin dapat menikmati
legitimasinya pada saat reformasi tersebut dipakai
dalam sebuah rezim demokratis representatif dan
paling kecil kemungkinannya untuk menikmati
legitimasinya pada saat dipakai oleh rezim otoriter;
negara-negara demokrasi yang kurang terwakili harus
menghasilkan hasil-hasil yang langsung dapat
dirasakan. Legitimasi sebuah reformasi pada masa
transisi, sebagian tergantung pada ketepatan-
waktunya, yang akan menentukan apakah reformasi
lebih mengarah kepada sistem demokrasi atau sistem
otoriter. Sebagian juga tergantung kepada tingkat
ketidaktentuan mengenai kekuatan relatif partai
terhadap negosiasi: semakin besar tingkat
ketidakpastian, semakin dekat reformasi kepada
kondisi �veil of ignorance� (kerudung ketidaktahuan)
John Rawls, yang akan menghasilkan dorongan
untuk memakai sistem pemilu proporsional
(Schiemann dan Benoit, 1997).
Meskipun demikian, masyarakat berubah, yang satu
lebih cepat dari yang lainnya. Apa yang diharapkan
masyarakat atas UU Pemilu juga dapat saja berubah.
Dalam jangka panjang, legitimasi reformasi pemilu
dapat berkurang karena munculnya kepentingan-
kepentingan, partai-partai, masalah-masalah dan
prioritas baru, bahkan di negara-negara demokrasi
yang representatif. Uruguay merupakan sebuah
kasus yang bagus yang dapat dijadikan sebagai
contoh. Untuk pemilihan presiden, negara tersebut
sudah sejak lama menggunakan Double
Simultaneous Vote (DSV), dimana calon yang
menang adalah calon yang mendapat suara paling
banyak dalam partai yang paling banyak dipilih.
Fraksi-fraksi (sublemas) dari partai yang sama (lema)
akan mengajukan calon presiden yang berbeda, dan
UU Pemilu yang berlaku menciptakan sebuah
pemilihan dari dalam partai untuk presiden secara
langsung yang dilaksanakan bersamaan waktunya
dengan pemilihan umum. Pemilu yang demikian
juga menjamin representasi proporsional baik
untuk lema maupun sublema di Kongres. Selama
puluhan tahun UU Pemilu memperkuat
keseimbangan yang menarik antara pemerintahan
yang didukung oleh sebuah sistem dua partai dan
fleksibilitas yang didukung oleh ukuran fraksi yang
berbeda-beda dalam partai tersebut dan pergantian
yang terjadi di dalamnya. Meskipun demikian, pada
akhir tahun 1960, dominasi sistem dua partai
tersebut mulai menurun karena ada lema ketiga,
Broad Front, yang berhasil memenangkan
persentase yang semakin besar, sebuah
kecenderungan yang terus berlangsung sesudah
kembalinya demokrasi pada tahun 1984. Salah satu
efek negatif dalam perubahan sistem partai politik
adalah bahwa dalam dua kesempatan yang terjadi
calon presiden yang mendapatkan paling banyak
suara tidak memenangkan kursi kepresidenan
dikarenakan ia bukan merupakan calon dari partai
yang dipilih paling banyak. Menanggapi banyaknya
pertanyaan tentang legitimasi hasil-hasil pemilu,
kongres merubah sistem pemilu pada tahun 1996
yang melarang partai-partai politik untuk
mengajukan lebih dari satu calon presiden dan
melaksanakan pemilihan presiden secara langsung,
kalau perlu dengan pemilihan presiden tahap kedua
(majority runoff).
43
PROSES PEMILIHAN SISTEM
Dalam jangka panjang, legitimasi dan kelangsungan
reformasi pemilu juga tergantung pada kemampuan
teknisnya dan tingkat sampai sejauh mana reformasi
tersebut dapat menangani masalah-masalah di masa
lalu. Sebagai perimbangan, setiap proses reformasi
mempunyai kekuatan dan kelebihan. Sebuah
reformasi preemptive (yang menduduki/memiliki
lebih dulu) dalam rezim otoriter berfungsi baik untuk
dapat menghasilkan ke-terputus-an total dengan UU
Pemilu pemerintahan demokratis sebelumnya, tetapi
UU yang baru tersebut kemungkinannya kecil sekali
mendapatkan dukungan legitimasi, dan kemampuan
teknis UU tersebut tidak terjamin. Reformasi dalam
sebuah negara demokrasi yang tidak terwakili
mungkin lebih akan menjamin kemampuan teknis,
tetapi kemungkinan putusnya dengan masa lalu
sangat kecil dan mungkin tidak mendapatkan
dukungan masyarakat luas juga. Reformasi pada awal
masa transisi demokrasi sama dengan reformasi
dalam rezim otoriter, dengan kemungkinan lebih
besar untuk terjadi kesalahan teknis karena
ketidakpastian dan tekanan untuk melaksanakan
reformasi dengan cepat. Reformasi pada akhir masa
transisi lebih mungkin mendapatkan dukungan
legitimasi, terutama apabila ketidakpastian begitu
tinggi, disertai pemutusan dengan warisan-warisan
otoriter, tetapi masih cenderung terkena masalah-
masalah teknis yang sama. Mungkin reformasi dalam
negara demokrasi yang terwakili dapat memberikan
hasil yang optimal: reformasi tersebut nampaknya
tidak akan memutuskan hubungan dengan masa lalu,
tetapi perubahan yang diperlukan juga lebih sedikit.
Pada saat yang sama reformasi memperkecil
kemungkinan bahwa UU yang baru akan cacat secara
teknis dan sekaligus memperbesar kemungkinan
legitimasi masyarakat.
Contoh Penerapan Adaptasi Reformasi
Model Chile
Sebelum mengembalikan Chile menjadi sebuah
negara demokrasi, Jenderal Pinochet mereformasi
UU Pemilu dengan menciptakan distrik dua anggota
di seluruh Chile. Dia yakin bahwa sistem ini akan
menguntungkan dua partai besar � partai Konservatif
yang mendukungnya dan partai Demokratik Kristen
� dan praktis menghapus partai-partai yang
berhaluan kiri. Meskipun demikian, dalam tiga
pemilu yang pertama dari rezim demokratis baru
(1989, 1993, dan 1997), Demokrat Kristen dan partai
kiri bersatu melawan partai konservatif; mereka
berkolusi sehingga hanya satu partai dari aliansi
mereka yang mengajukan caleg dalam setiap distrik.
Strategi ini melanggengkan partai-partai kecil dan
memberikan kesempatan hidupnya partai kiri.
Contoh Penerapan Adaptasi Reformasi
Model Venezuela
Pada tahun 1989, Venezuela berpindah dari sistem
RP daftar tertutup menjadi sistem mixed member
proportional (MMP), dimana separuh kursinya diisi
oleh distrik wakil tunggal. Reformasi seperti ini
diharapkan dapat membuat anggota legislatif
tingkat nasional lebih bertanggungjawab kepada
konstituen setempat mereka, dan berkurang
orientasinya kepada pimpinan partai tingkat
44
PROSES PEMILIHAN SISTEM
nasional yang mengurutkan caleg berdasarkan
daftar urutan caleg. Tetapi pada tahun 1993, para
pemimpin nasional menggagalkan reformasi ini
dengan menerapkan kembali kontrol terhadap
pencalonan untuk kursi distrik wakil tunggal dan
dengan memecat para anggota legislatif yang tidak
mentaati disiplin partai.
NegosiasiOleh: Tim Sisk
Pada saat negara-negara sedang mengalami
perubahan konstitusi yang mendasar, sistem
pemilihan umum kadang-kadang dipilih dalam
negosiasi langsung antara partai yang memerintah
dan kelompok oposisi atau diantara partai-partai
politik atau fraksi-fraksi, pada saat konstitusi tersebut
ditulis ulang secara menyeluruh. Pembicaraan
mengenai masalah ini biasanya terjadi diluar aturan-
aturan dan prosedur formal pembuatan keputusan
yang mengatur konvensi nasional dan lembaga-
lembaga perwakilan.
Pemilihan sistem pemilu lewat negosiasi terjadi
dalam dua jenis negosiasi ideal yang secara
konseptual sangat berbeda.
� Transisi yang dinegosiasikan, kadangkala
disebut �di-pakta-kan� dari otoriter ke
demokrasi yang mereformasi sebuah negara,
dan
� Pembicaraan antar semua unsur yang ada
yang mengubah negara secara menyeluruh
sesudah masa pertikaian yang keras atau
perang saudara.
Pembicaraan tersebut di atas seringkali terjadi dalam
konteks proses perdamaian yang jauh lebih besar
dimana UU Pemilu yang baru hanya merupakan salah
satu bagian dari penyelesaian secara keseluruhan
untuk membentuk institusi politik pasca perang.
Transisi yang Dinegosiasikan:
Otoriter ke Demokrasi
Dalam transisi yang dinegosiasikan atau dirangkum
dalam sebuah �pakta,� tekanan-tekanan untuk
demokratisasi telah terbentuk di masyarakat, dan
pemerintah setuju untuk berbicara langsung kepada
partai oposisi sebagai cara untuk menghilangkan
tekanan dan secara damai bergerak menuju kepada
politik yang lebih terbuka dan bersifat multi partai.
Jenis transisi seperti ini berlawanan dengan transisi
yang sepenuhnya dilaksanakan dan dikontrol oleh
pemerintah yang sedang berkuasa, seperti di Kenya
atau Nigeria, atau transisi yang muncul karena
dorongan masyarakat yang tiba-tiba menginginkan
adanya perubahan konstitusional, yang berakibat
pada kehancuran total rezim yang sedang berkuasa
seperti misalnya yang terjadi di Rumania. Dalam
negosiasi antara pemerintah dan partai oposisi,
partai-partai politik melakukan tawar-menawar
mengenai ciri, tahap-tahap dan seberapa luas
reformasi politik tersebut, dan seringkali terjadi
persetujuan untuk berbagi kekuasaan untuk jangka
45
PROSES PEMILIHAN SISTEM
waktu tertentu. Transisi yang dinegosiasikan dapat
terjadi sebagai akibat dari adanya beberapa
kesepakatan yang memberikan perubahan secara
bertahap, atau lewat sebuah kesepakatan besar yang
mendorong terjadinya reformasi politik menyeluruh.
Transisi menuju demokrasi di Spanyol pada tahun
1970-an merupakan transisi berdasarkan �pakta� yang
patut dicontoh. Setelah meninggalnya Fransisco
Franco pada tahun 1975, rezim partai-tunggal
�Falangist� yang sudah memerintah sejak perang
saudara di Spanyol pada tahun 1936 digantikan oleh
monarki konstitusional multi partai. Pembicaraan
mengenai reformasi politik terjadi antara Perdana
Menteri Adolfo Suarez dengan persetujuan dari raja
Juan Carlos I dan kelompok oposisi. Suarez
bernegosiasi dengan hampir semua kekuatan politik
dan militer. Pada akhirnya, dia dapat meyakinkan
kelompok sayap kanan, termasuk unsur partai pro-
Francois yang berkuasa, UCD, bahwa reformasi tidak
akan berjalan terlalu jauh. Suarez juga membujuk
kelompok sayap kiri, terutama partai oposisi Sosialis,
bahwa proses demokratisasi tersebut akan berarti.
Melalui negosiasisi-negosiasi ini, partai-partai politik
sampai kepada sebuah formula pemilu, dimana partai
oposisi merasa yakin bahwa mereka ikut berperan
dalam sistem di masa-depan dalam kerangka
penghancuran struktur kekuasan Francois. Meskipun
sistem pemilu diajukan dalam bentuk keputusan
pemerintah pada musim semi tahun 1977, sebetulnya
keputusan tersebut secara de facto merupakan hasil
dari negosiasi yang terjadi di belakang layar antara
Suarez dan partai-partai oposisi.
Para perunding Spanyol, dalam pembicaraan antara
komisi pemerintah dan partai-partai oposisi sebelum
pemilu multi-partai pertama pada bulan Juni 1977,
menyetujui daftar tetap representasi proporsional
(RP), sistem daftar (d�Honk) untuk pemilu multi
partai pertama, lihat RP Daftar. Formula dan batas
representasi (threshold) sebesar tiga persen
menguntungkan dua partai besar dan daerah-daerah
pedesaan yang mempunyai perwakilan lebih banyak
� setiap distrik/wilayah pada awalnya diberi jatah
dua kursi, sisanya dibagikan berdasarkan jumlah
penduduk. RP dipilih karena berbagai alasan sebagai
berikut:
� RP memungkinkan semua partai terwakili
dalam dewan perwakilan yang baru, dengan
demikian semakin meyakinkan kelompok
oposisi bahwa reformasi akan menghasilkan
perwakilan yang lebih baik;
� RP memberikan keuntungan yang sedikit
lebih banyak bagi partai-partai besar,
mencegah terpecahnya partai-partai politik,
yang menjadi kekhawatiran beberapa fraksi;
dan
� RP Daftar Tetap memungkinkan
pengambilan keputusan secara terus-
menerus mengenai posisi caleg dan kontrol
partai yang ketat terhadap anggota-anggota
parlemen.
Pengaruh jangka panjang RP Daftar di Spanyol
adalah bahwa partai-partai di daerah dapat
mengambil konsensi jangka panjang dari partai-
46
PROSES PEMILIHAN SISTEM
partai nasional karena konsesi tersebut diperlukan
untuk membangun koalisi. Ini akan mempermudah
gerakan kearah pembagian wewenang ke daerah-
daerah, yang nampaknya menguntungkan bagi
stabilitas Spanyol. Meskipun demikian, persepsi
bahwa kelompok-kelompok sub nasional, seperti
Catalans, digunakan untuk mendapatkan
pengaruh politik yang tidak wajar, telah
menyebabkan rasa tidak senang di negara bagian
lain wilayah Spanyol.
Contoh lain dari tawar-menawar masa transisi
terjadi di Hungaria, setelah runtuhnya Komunisme
di Eropa Timur pada tahun 1989. Pada saat transisi
ke demokrasi multi-partai mulai berjalan, negosiasi
terjadi diantara partai-partai politik yang dengan
cepat membentuk (atau membentuk ulang, karena
beberapa memang sudah ada sejak sebelum adanya
dominasi Soviet atas negara tersebut). Pembicaraan
ini menghasilkan persetujuan yang menarik bagi
pemilu multi partai pertama pada bulan April 1990,
yang menyoroti masalah-masalah seputar pilihan
sistem pemilu lewat negosiasi. Partai-partai politik
�historis� seperti sosial dan demokrat Kristen
menyukai sistem RP dengan daftar county
(wilayah), yang sudah digunakan sebelum
dimulainya komunisme pada tahun 1945 dan 1947,
sementara kecenderungan publik dan banyak partai
yang berhubungan dengan rezim terdahulu �
termasuk para legislator yang sedang memegang
jabatan � lebih menyukai perwakilan konstituensi.
Debat yang lama menyebabkan ketidakmampuan
untuk menghasilkan suatu formula, sehingga partai-
partai politik memilih wadah campuran: dari 386
kursi legislatif, 176 diantaranya dipilih dari distrik
wakil tunggal (dengan pemilihan putaran kedua
untuk meyakinkan diperolehnya suara mayoritas),
152 dari daftar partai wilayah (dengan batas
representasi sebesar empat persen), dan 58 dari
daftar partai nasional, lihat Mixed Member
Proportional.
Proses-proses Perdamaian
Jika sebuah negara telah penah mengalami
pergolakan besar atau perang saudara, dan pada saat
partai-partai politik sudah berjuang dan menemui
jalan buntu tanpa munculnya pemenang yang jelas,
sebuah proses perdamaian mungkin akan terjadi.
Proses-proses perdamaian merupakan negosiasi
terstruktur yang kadang-kala dibantu oleh mediator/
penengah dari luar yang menghasilkan persetujuan-
persetujuan yang secara drastis mereformasi atau
secara keseluruhan menciptakan sebuah sistem
politik baru. Reformasi sistem pemilu kadang-
kadang, atau bahkan selalu, merupakan unsur utama
dalam negosiasi konstitusional yang mendampingi
proses perdamaian. Reformasi pemilu atau
pembentukan sistem pemilu yang baru sudah
merupakan bagian dari negosiasi proses perdamaian
di negara-negara seperti Bosnia, Kamboja, El
Salvador, Liberia, Nikaragua, Sierra Leone, dan yang
baru-baru ini terjadi di Guatemala.
Misalnya, ketika minoritas kulit putih di Rhodesia
jatuh pada akhir tahun 1970-an sesudah perang
saudara yang berkepanjangan, yang menghasilkan
47
PROSES PEMILIHAN SISTEM
Zimbabwe merdeka, isu yang paling utama dalam
pembicaraan adalah bagaimana perwakilan
minoritas kulit putih dapat terjamin dalam tatacara
pemerintahan yang baru. Dalam pemilu �pura-pura�
yang diadakan pada tahun 1979 - pemilihan �satu
orang - satu suara� � yang pertama kali dalam sejarah
negara tersebut dengan syarat-syarat �internal
settlement� (penyelesaian masalah secara intern)
yang dinegosiasikan antara pemerintah dan kekuatan
oposisi, yang dianggap tidak sah oleh para pengamat,
72 dari 100 anggota Dewan Perwakilan dipilih oleh
orang-orang kulit hitam dari sebuah �daftar nama
umum� pada sistem RP daftar partai (sebuah sistem
wakil majemuk delapan distrik) dan 28 oleh orang
kulit putih dalam sistem Alternative Vote distrik wakil
tunggal, lihat Sistem Dua Putaran.
Sesudah kegagalan pemilu yang diadakan guna
menggalang legitimasi dari dalam dan luar negeri,
negosiasi Lancaster House pada tahun 1979, yang
mengikutsertakan kekuatan pemberontak yang
terbesar dan oleh sebab itu menjadikannya lebih
legitimate, menghasilkan sebuah persetujuan yang
hanya sedikit mengubah formula sebelumnya: kursi
kulit putih diturunkan menjadi 20 (dan dipilih
dengan cara AV) dan terbatas kepada masa transisi
selama sepuluh tahun.
Pemilihan RP (representasi proporsional) untuk
�daftar nama umum� dan Distrik Wakil Tunggal
untuk �daftar kulit putih� mencerminkan adanya
sebuah kompromi pragmatis bagi partai-partai yang
termasuk dalam daftar. Pemakaian sistem RP bagi
mayoritas kulit hitam yang sudah lama tidak
diikutsertakan sangatlah praktis � tidak ada daftar
pemilih � demikian juga pemakaian distrik wakil
tunggal (SMD) untuk minoritas kulit putih, yang
sebelumnya sudah menggunakan sistem ini dalam
pemilu �khusus kulit putih.� Duapuluh kursi khusus
untuk kulit putih menjamin perwakilan bagi mereka
dalam parlemen sesudah kemerdekaan yang
melebihi proporsi mereka dari total keseluruhan
pemilihnya. Sesudah pemilu pada tahun 1985, pada
saat negosiasi dan kompromi tidak lagi diperlukan,
rezim pasca kemerdekaan menyingkirkan kursi
khusus untuk kulit putih dan sekarang semua
anggota dewan dipilih lewat distrik wakil tunggal.
Afrika Selatan adalah contoh kasus yang berada
diantara dua jenis transisi yang berdasarkan �pakta�
dan proses-proses perdamaian, dan merupakan
contoh kasus yang sangat bagus untuk dapat
mengerti dinamika pemilihan sistem pemilu lewat
negosiasi, lihat Afrika Selatan: Sistem Pemilu dan
Manajemen Konflik. Pada saat negosiasi untuk
mengakhiri apartheid dan kekuasaan minoritas kulit
putih dimulai pada tahun 1990, terlihat jelas bahwa
sitem pemilu sebelumnya dengan sistem FPTP
khusus kulit putih dengan distrik wakil tunggal �
tidak dapat diterima oleh salah satu partaipun.
Ada pertimbangan praktis terhadap penolakan
sistem pemilu yang berbasis konstituen tersebut,
yaitu: tidak ada daftar pemilih umum, dan ada
kesulitan untuk memberi pembatasan wilayah tanpa
sensus yang akurat dan distribusi penduduk yang
tidak merata yang dihasilkan oleh UU apartheid.
Meskipun demikian, terdapat juga pertimbangan-
48
pertimbangan politis. Partai-partai minoritas kulit
putih, terutama Partai Nasional yang sedang
memerintah, segera menyadari bahwa jika FPTP
dengan distrik wakil tunggal digunakan dalam
pemilu dimana para warga mayoritas kulit hitam
dapat memilih, para caleg kulit putih
kemungkinannya akan kalah dalam hampir setiap
distrik, karena penduduk kulit hitam tersebar luas
di seluruh wilayah negara. Sekurang-kurangnya,
sistem RP akan memungkinkan adanya beberapa
perwakilan dalam masa pasca-apartheid.
Kongres Nasional Afrika (ANC), partai mayoritas
kulit hitam yang terbesar, juga lebih memilih sistem
RP Daftar untuk pemilu pertama negara tersebut
dikarenakan alasan-alasan politis. Pilihan ANC
untuk RP Daftar Tetap juga bersifat strategis: dengan
adanya perwakilan partai minoritas kulit putih
dalam sistem politik yang baru, daripada
mengesampingkan mereka secara menyeluruh,
dapat menghilangkan ketegangan yang timbul
karena hilangnya kekuasaan mereka yang tak
terhindarkan.
Meskipun demikian, sebuah partai mayoritas kulit
hitam lain, Partai Kebebasan Inkhata (IFP) yang
berkekuatan di daerah, diperkirakan tidak
mendapatkan banyak kursi di pemilu nasional yang
menggunakan sistem RP nasional. Dukungan
masyarakat terhadap mereka agak terbatas. Lebih
lanjut lagi, partai tersebut sangat mendorong opsi
Federal untuk Afrika Selatan dalam rangka
mempertahankan dan melindungi basis kekuatannya
di propinsi. Partai tersebut mengancam
menggagalkan pemilu dengan boikot, dan bahkan
mungkin, dengan menolak secara keras � jika posisi
federalisnya yang kuat tidak diikutsertakan dalam
penyelesaian akhir.
Dalam kompromi yang dilakukan pada menit-menit
terakhir untuk membujuk IFP agar berpartisipasi
dalam pemilu April 1994 yang mengakhiri apartheid
di Afrika Selatan, ANC dan NP sepakat untuk
memakai sistem RP Daftar tetap yang terbagi secara
nasional dan regional, yang mana setengah dari
anggota Dewan Perwakilan yang baru dipilih dari
daftar regional dan setengah lagi dari daftar nasional.
Setengah dari 400 anggota Majelis Nasional/Majelis
Konstituen dipilih dari daftar regional, dan setengah
dari daftar nasional. Disamping itu, semua anggota
majelis tinggi yang berjumlah 90 orang, pada saat
itu disebut Senat (kemudian dirubah menjadi Dewan
Propinsi) akan dipilih dari daftar regional.
Kompromi ini, yang pada akhirnya diterima oleh IFP,
cukup untuk membuat semua partai politik
berpartisipasi dalam pemilu, sehingga meningkatkan
legitimasi hasil pemilu. Formula RP Daftar nasional/
regional juga memungkinkan tiga partai besar
tersebut untuk �menang� dalam pengambilan suara:
ANC mengumpulkan mayoritas kuat di Majelis
Nasional dan mayoritas di tujuh dari sembilan
propinsi, dan NP serta IFP memenangkan mayoritas
legislatif di propinsi basis mereka. Selanjutnya, ketiga
partai besar ini mendapatkan perwakilan di
pemerintahan persatuan nasional yang pertama,
yang memberikan stabilitas pada transisi Afrika
Selatan.
PROSES PEMILIHAN SISTEM
49
Sistem RP Daftar tetap bisa tidak dipakai lagi setelah
pemilu 1999 di Afrika Selatan jika para pengritik
sistem tersebut � yang berpendapat bahwa sistem
itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak
menjamin hubungan yang baik antara anggota
parlemen dan masyarakat � berhasil memaksakan
kehendaknya. Yang berbeda mengenai Afrika
Selatan � dibandingkan dengan Zimbabwe � adalah
bahwa tawar-menawar dan �give and take� masih
terus terjadi meskipun negosiasi transisi formal
sudah berakhir, sehingga sistem yang berdasarkan
RP campuran atau sistem yang berdasarkan
konstituen masih mungkin dipakai di masa yang
akan datang.
Pada saat sistem pemilu dipilih sebagai akibat dari
negosiasi, hasilnya mencerminkan kompromi antara
partai-partai yang ikut berpartisipasi dalam diskusi.
Seperti dalam kasus lain dalam pemilihan sistem
pemilu, partai-partai tersebut membuat pilihan
berdasarkan penggunaan �imajinasi strategis�
mereka. Pihak-pihak yang ikut serta bertanya pada
diri mereka sendiri: Bagaimana sistem tersebut akan
dapat membantu kita, dengan standar popularitas
kita saat ini, distribusi suara, dan popularitas partai-
partai lain? Tentu saja, partai-partai akan lebih
menyukai sistem yang mereka yakini akan
memaksimalkan jumlah suara mereka. Hasilnya juga
merefleksikan kekuatan relatif yang dipunyai oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan
tersebut. Pada saat negosiasi menghasilkan
kesepakatan mengenai sistem pemilu, itu biasanya
berarti bahwa semua partai politik puas bahwa
sistem yang mereka pilih merupakan sistem yang
terbaik, yang mereka dapatkan, dengan
mempertimbangkan kekuatan tawar-menawar
mereka sendiri serta kekuatan dan preferensi partai-
partai yang lain.
Paksaan dari LuarOleh: Andrew Reynolds
Paksaan dari Luar
Sejumlah kecil sistem pemilu dirancang dengan
sengaja dan dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap
negara bangsa. Dua dari contoh yang sangat jelas dari
gejala seperti ini terjadi di Jerman Barat sesudah
Perang Dunia Kedua, dan di Namibia pada akhir
tahun 1980-an.
Di Jerman, masa pasca perang, baik tentara Inggris
yang mau meninggalkan negara tersebut dan partai-
partai politik Jerman ingin sekali menerapkan sebuah
sistem yang akan menghindari munculnya partai-
partai yang akan merusak dan membuat sistem
pemilu Weimar tidak stabil, dan untuk memasukkan
tradisi Anglo dalam hal perwakilan konstituen
dikarenakan mereka tidak puas dengan sistem
pemilu daftar tertutup tahun 1919-1933, yang
meniadakan hak pemilih untuk memilih antar caleg
dan antar partai-partai politik.
Selama tahun 1946, pemilu di daerah pendudukan
Perancis dan Amerika diadakan dengan sistem pemilu
Weimar. Dalam zona Inggris, dipakai sebuah kompromi
PROSES PEMILIHAN SISTEM
50
PROSES PEMILIHAN SISTEM
yang memungkinkan para pemilih untuk memilih
anggota konstituen dengan sejumlah kursi RP Daftar
yang dialokasikan untuk mengkompensasikan
ketidakseimbangan yang muncul dari distrik-distrik.
Sehingga lahirlah sistem perwakilan MMP, yang sejak
saat itu sudah dipergunakan di beberapa negara.
Sistem campuran tersebut pada akhirnya dipakai
untuk semua pemilihan anggota parlemen pada
tahun 1949, akan tetapi baru pada tahun 1953, dua
suara yang berbeda diperkenalkan, satu untuk
memilih anggota konstituen, dan yang lainnya,
berdasarkan sistem Länder, pada akhirnya
menentukan komposisi partai di Bundestag.
Penerapan batas representasi lima persen untuk
perwakilan daftar partai membantu terfokusnya
sistem partai menjadi tiga kelompok besar setelah
tahun 1949 � Demokrat Sosial, Demokrat Kristen dan
Demokrat Bebas � meskipun semuanya yang
berjumlah total 12 partai mendapatkan perwakilan
di pemilu-pemilu nasional pertama setelah perang.
Pemikiran untuk memakai sistem RP Daftar secara
nasional di Namibia pada awalnya berasal dari PBB,
yang sejak tahun 1982 mendorong agar setiap sistem
pemilu non-rasial di masa depan menjamin bahwa
partai-partai politik yang berhasil mendapatkan
dukungan berarti dalam pemilu diberikan
perwakilan yang adil. Pilihan untuk tidak memakai
sistem pemilu FPTP (sistem yang hanya berlaku bagi
orang kulit putih yang dipakai di daerah yang
dulunya koloni Afrika Barat Daya) dan berpindah
ke sistem RP Daftar ketat dulunya diusulkan oleh
Pik Botha, yang pada saat itu menjabat sebagai
Menteri Luar Negeri Afrika Selatan. Meskipun Afrika
Selatan sebelumnya tidak berhasil mendesak daftar-
daftar pemilih terpisah (la Zimbabwe 1980-1985)
yang seharusnya sudah menjamin bahwa orang kulit
putih dapat memperoleh kursi di Majelis yang baru.
Terdapat kegelisahan bahwa penduduk Afrika
Selatan mendukung sistem pemilu RP semata-mata
untuk memecah-belah Majelis Konstituen. Ini
mendorong UN Institute for Namibia memberikan
saran kepada partai-partai politik yang tertarik
kepada pemerintahan independen yang stabil untuk
menolak sistem RP, karena sistem tersebut akan
membuat perwakilan partai menjadi terbagi. Tetapi
saran tersebut tidak diperhatikan, dan opsi untuk
batas representasi perwakilan � salah satu
mekanisme utama untuk mengurangi jumlah partai
dalam sistem RP Daftar tidak pernah diajukan oleh
UN atau dijadikan pokok pembahasan oleh partai
politik manapun.
Untuk pemilu pertama pada tahun 1989 Organisasi
Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO) menyatakan
lebih memilih untuk tetap memakai sistem distrik
wakil tunggal, tentu saja dengan mengharapkan
(sebagai partai dominan) akan mendapatkan
keuntungan dari konstituensi dimana �pemenang
mengambil semuanya� (winner-take-all). Meskipun
begitu, pada saat Majelis Konstituen bertemu
pertama kali pada bulan November 1989, dan setiap
partai dalam parlemen membeberkan rancangan
konstitusi mereka, SWAPO menyerah dalam masalah
RP, nampaknya sebagai konsesi kepada partai-partai
kecil, dimana mereka mengharapkan mendapatkan
konsensi imbal balik untuk hal-hal yang lebih
menguntungkan.
51
PROSES PEMILIHAN SISTEM
Warisan Kolonial
Mewarisi sistem pemilu dari jaman kolonial
mungkin merupakan cara yang paling umum
dimana masyarakat yang sedang berjalan menuju
kearah demokrasi memperoleh sistem pemilunya.
Peta mengenai penggunaan sistem pemilu dalam
Peta menggambarkan secara dramatis distribusi
sistem pemilu pasca masa kolonial. Dari 53 koloni
Inggris dan anggota Commonwealth of Nations,
sejumlah 37 negara (atau 70 persen) menggunakan
FPTP sistem klasik yang diwarisi dari Westminster.
Sebelas dari 27 wilayah bekas jajahan Perancis
menggunakan sistem dua putaran (TRS) model
Perancis, sedangkan sebagian besar dari 16 negara
sisanya menggunakan RP Daftar, sebuah sistem
yang kadang-kadang dipakai oleh Perancis sejak
tahun 1945 untuk pemilihan parlemen, dan secara
meluas dipakai untuk pemilihan di daerah
kotamadya. Limabelas dari 17 negara dan wilayah
yang berbahasa Spanyol menggunakan sistem RP
(seperti halnya Spanyol), sedangkan Guatemala dan
Ekuador menggunakan RP Daftar sebagai bagian
dari sistem Paralel mereka. Akhirnya, keenam
negara Lusophone menggunakan sistem RP Daftar,
seperti di Portugal.
Menarik untuk diketahui bahwa pengaruh
rancangan konstitusi Perancis memainkan peran
yang sangat besar terhadap para perancang
institusional bekas Republik Soviet, CIS. Delapan
dari negara-negara satelit ini menggunakan TRS
dalam berbagai macam bentuk. Hanya Georgia,
Kazakhstan, dan Rusia yang tidak berhasil mengikuti
trend tersebut. Meskipun demikian, UU Pemilu
bekas Uni Soviet mempunyai pengaruh besar dalam
konsolidasi demokrasi di negara-negara baru Eropa
Timur dan Asia Tengah, yang beberapa diantaranya
masih tetap mempertahankan persyaratan-
persyaratan model Soviet, yaitu bahwa hasilnya
harus lebih dari limapuluh persen untuk dapat
dikatakan bahwa pemilu tersebut sah (valid). Ini
menyebabkan masalah-masalah khusus di Ukraina,
dimana proses pengisian kursi kosong bisa
berlangsung bertahun-tahun, dan dengan demikian
menghasilkan ketidakpuasan masyarakat.
Warisan kolonial sebuah sistem pemilu mungkin
merupakan cara yang paling kecil kemungkinannya
untuk menjamin bahwa sebuah lembaga pemilu
cocok bagi kebutuhan sebuah negara, karena
kekuatan kolonial hampir selalu, berdasarkan
hakekatnya, secara sosial dan budaya sangat berbeda
dengan masyarakat yang dijajahnya. Dan bahkan jika
para kolonialis tersebut berusaha menanamkan etos
politiknya di negara jajahannya, mereka jarang sekali
berhasil menghilangkan hubungan kekuasaan
penduduk asli dan cara-cara tradisional wacana
politis mereka. Warisan kolonial sistem Westminster
telah dicatat sebagai sebuah hambatan bagi stabilitas
di sejumlah negara Anglophone seperti Karibia,
Nigeria, dan Malawi. Penggunaan TRS model
Perancis oleh Mali sudah dipertanyakan secara
meluas, dan penggunaan Block Vote oleh Yordania
dan Palestina yang didasarkan ide Inggris telah pula
melahirkan banyak masalah.
52
Evolusi/KebetulanOleh: Ben Reilly
Meskipun banyak informasi yang dibeberkan di sini
terfokus kepada kemungkinan-kemungkinan
�perekayasaan pemilu� secara sengaja, patut untuk
diingat bahwa kebanyakan sistem pemilu tidak
dipilih secara sengaja. Seringkali, pemilihan sistem
pemilu terjadi secara kebetulan.
Pemilihan yang terjadi secara kebetulan belum
tentu merupakan pilihan yang jelek; bahkan
kadangkala pilihan tersebut bisa menjadi sangat
cocok. Salah satu contoh adalah demokrasi yang
sangat terfragmentasi berdasarkan etnis di Papua
Nugini, yang mewarisi sistem AV dari Australia
untuk tiga pemilu pertamanya di tahun 1960-an
dan tahun 1970-an. Karena sistem ini menuntut
agar para pemilih mengurutkan calegnya
berdasarkan peringkat kesukaan mereka di kertas
suara, pemilu seperti ini mendorong spektrum
aliansi dan jual-beli suara antar para caleg yang
bertarung dan kelompok masyarakat yang berbeda-
beda, dimana para kandidat mencoba
memenangkan bukan hanya peringkat pertama,
tetapi juga kedua dan ketiga. Ini akan mendorong
ke arah taktik kampanye yang kooperatif, posisi
moderat, dan pertumbuhan awal partai-partai
politik. Pada saat sistem ini diubah, tingkah laku
politik menjadi semakin eksklusif dan kurang
akomodatif, dan sistem partai yang sedang lahir
dengan cepat terurai.
PNG kemudian menjadi penerima tak sengaja
sebuah sistem pemilu yang mungkin sangat khas,
cocok untuk struktur sosialnya. Meskipun
demikian, pilihan-pilihan yang tidak disengaja atau
evolusioner akan lebih memungkinkan munculnya
akibat-akibat yang tidak diinginkan � terutama bagi
para perancangnya. Misalnya, ketika Yordania
memakai sistem SNTV pada tahun 1993, atas
inisiatif pribadi Raja Husein, ini bukan hanya
karena perwakilan minoritas yang semakin besar,
tetapi karena hal tersebut mempermudah pemilihan
para fundamentalis Islam di parlemen, lihat
Yordania � Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab.
Banyak negara demokrasi yang sedang berkembang
pada tahun 1950-an dan 1960-an memakai cara-
cara sistem Inggris, meskipun ada keraguan dari
Westminster bahwa hal tersebut merupakan �ekspor
yang nilainya meragukan bagi koloni-koloni di Asia
dan Afrika.� Catatan sejarah yang kurang
mengenakkan dari pilihan-pilihan seperti ini
menekankan kembali pentingnya merancang
aturan-aturan pemilu dan konstitusi berdasarkan
kondisi tertentu negara yang bersangkutan,
daripada mengandaikan bahwa rancangan
konstitusi yang memiliki asal yang sama, akan dapat
bekerja persis sama dalam situasi sosial, politik dan
ekonomi yang berbeda.
PROSES PEMILIHAN SISTEM
53
Pada tatanan yang paling dasar, sistem pemilu
mengubah suara yang diperoleh dalam pemilu
menjadi kursi yang dimenangkan oleh partai dan
caleg. Variabel-variabel kuncinya adalah:
� rumusan pemilu yang digunakan,
� apakah sistem yang dipakai mayoritarian
atau proporsional,
� rumusan matematik seperti apa yang
digunakan untuk menghitung alokasi kursi,
dan
� besar wilayah � bukan berapa jumlah
pemilih yang tinggal di sebuah wilayah
tertentu, tetapi lebih menjurus kepada
berapa anggota legislatif yang akan dipilih
dari wilayah tersebut.
Rancangan sistem pemilu mempunyai hubungan
yang dekat dengan aspek administratif pemilu yang
lain yang dibicarakan dalam website ini; seperti
misalnya penempatan TPS, lihat Tempat
Pemungutan Suara, dan pencalonan caleg, lihat
Partai-Partai dan Caleg, pendaftaran pemilih, lihat
Pendaftaran Pemilih, siapa yang melaksanakan
pemilu dan sebagainya, lihat Indeks Manajemen
Pemilu. Masalah tersebut merupakan hal-hal yang
sangat penting, dan keuntungan yang mungkin
didapat oleh pemilihan sistem pemilu menjadi
berkurang, kecuali jika hal-hal diatas diperhatikan
dengan sungguh-sungguh.
Rancangan sistem pemilu juga mempengaruhi
KOMPONEN PERANCANGAN Oleh: Andrew Reynolds
bidang-bidang lain dalam undang-undang pemilu:
� pemilihan sistem pemilu berpengaruh
terhadap bagaimana garis batas wilayah
distrik akan dibuat, lihat Indeks Pemetaan
Distrik Pemilihan,
� rancangan kertas suara, lihat Rancangan
Kertas Suara,
� bagaimana suara akan dihitung, lihat
Penghitungan Suara,
� dan banyak aspek lain dalam proses pemilu.
Dalam bagian ini kita akan mengkonsentrasikan
kepada beberapa aspek lain undang-undang
pemilu, termasuk pertanyaan mengenai rumusan
pemilu khusus yang akan digunakan. Ini
mencakup unsur-unsur �demokrasi langsung� �
referendum dan plebisit, lihat Referendum dan
Plebisit; inisiatif warganegara, lihat Inisiatif
Warganegara; dan recall anggota legislatif lihat
Recall Anggota Legislatif. Sebuah bahasan
mengenai kapan dan berapa sering pemilu
diadakan, lihat Frekuensi/Tanggal/Hari Pemilu;
bagaimana mencapai ukuran parlemen yang
cocok, lihat Besarnya Parlemen; cara mencoblos
kertas suara, lihat Cara Pemungutan Suara;
mekanisme pemilu khusus - seperti aturan-aturan
untuk pemungutan suara wajib � lihat Pemungutan
Suara Wajib; perwakilan minoritas, lihat
Ketentuan-Ketentuan tentang Kaum Minoritas; dan
perwakilan wanita, lihat Mekanisme Khusus untuk
Kaum Wanita.
54
Pilihan-Pilihan Demokrasi LangsungOleh: Andrew Reynolds
Kebanyakan dari situs ini menyoroti lembaga-lembaga
�demokrasi perwakilan,� meskipun demikian dalam
tiga file berikut, kita akan menganalisa beberapa
mekanisme �demokrasi langsung.�
� File Referendum dan Plebisit membicarakan
kelebihan dan kekurangan referendum dan
plebisit-pemilihan langsung untuk penen-
tuan masalah tertentu.
� File Inisiatif Warganegara melihat mekanisme
�inisiatif warganegara,� biasanya dipakai di
Amerika Serikat, yang memungkinkan para
pemilih memberikan masalah-masalah
legislatif di kertas suara atau didepan para
Dewan Perwakilan Negara mereka.
� File Recall Anggota Legislatif memberikan
garis besar tatacara di Amerika Serikat untuk
me-recall anggota legislatif dimana para
anggota dewan yang sudah terpilih dapat
ditarik kembali (di-recall) oleh konstituen
mereka.
u Referendum dan PlebisitOleh: Michael Gallagher
Pemungutan suara secara nasional mengenai suatu
masalah khusus merupakan cara yang biasa dalam
menyelesaikan masalah-masalah politik di banyak
negara di seluruh dunia. Pemungutan suara seperti
itu biasanya disebut �referendum,� meskipun
demikian pada dasarnya ada dua jenis khusus
referendum, dimana keduanya sering disebut secara
berbeda. Yang pertama, pada waktu pemungutan
suara diminta oleh sejumlah warganegara biasa,
misalnya dengan menandatangani sebuah petisi,
hasil pemungutan suaranya disebut sebagai
�inisiatif.� Yang kedua, istilahnya �plebisit,�
meskipun seringkali dipakai secara bergantian
dengan referendum, mempunyai konotasi negatif di
sejumlah negara, dimana hal tersebut dipakai untuk
pemungutan suara yang diadakan pada situasi yang
tidak betul-betul murni demokratis.
Sebuah referendum memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memberikan suaranya
secara langsung dalam masalah tertentu. Meskipun
masyarakat juga dapat memilih dalam pemilu, akan
tetapi biasanya pemilu mencoba menyelesaikan
beberapa masalah dan kadang-kala tidak jelas
pemecahan atas masing-masing masalah tersebut.
Referendum telah dipergunakan di banyak negara;
di Swiss, referendum sangat umum, lihat Swiss, di
sejumlah negara rata-rata diadakan satu atau dua kali
referendum per tahun, dan di kebanyakan negara
referendum jarang diadakan. Pada umumnya,
referendum tidak dipakai untuk menyelesaikan
masalah-masalah politis yang biasa yang muncul
secara rutin, tetapi lebih berkaitan dengan masalah-
masalah besar. Situasi yang paling umum dimana
referendum dianggap lazim adalah pada saat
perubahan total rezim; bukan hanya perubahan
KOMPONEN PERANCANGAN
55
konstitusi yang ada saat itu, tetapi juga penerapan
konstitusi baru atau, langkah yang paling dramatis
dari semuanya, keputusan rakyat untuk memer-
dekakan diri.
Misalnya, keputusan Norwegia untuk memisahkan
diri dari Swedia pada tahun 1905 dilakukan oleh
rakyat Norwegia dalam sebuah referendum dimana
99.9 persen rakyat memilih untuk merdeka, sebuah
ungkapan kebanggaan nasional yang sangat kuat.
Demikian juga, Islandia mengadakan referendum
untuk merdeka dari Denmark. Dipakainya sistem
reformasi demokratis pada akhir tahun 1970-an di
Spanyol, sesudah kematian diktator Franco, juga
disetujui oleh rakyat lewat sebuah referendum.
Demikian juga, konstitusi baru tercipta lewat
referendum di Denmark, Perancis dan Irlandia.
Keputusan untuk berpindah ke politik multi-partai
sudah diambil dengan cara referendum di beberapa
negara Afrika, seperti Gabon dan Malawi. Dalam
setiap kasus diatas, menjadi penting legitimasi
keputusannya bahwa langkah-langkah untuk
menuju kemerdekaan atau demokrasi diambil oleh
rakyat secara langsung dan bukan oleh elit politik.
Masalah fundamental yang muncul di beberapa
negara Eropa adalah keanggotaan dalam Uni Eropa,
yang mempunyai implikasi atas kedaulatan masing-
masing negara. Dari lima belas negara anggota yang
ada saat ini, lima negara telah mengadakan
referendum apakah mereka akan bergabung dalam
Uni Eropa atau tidak: negara-negara tersebut adalah
Austria, Denmark, Finlandia, Irlandia dan Swedia.
Disamping itu, Inggris yang pernah menjadi anggota,
mengadakan referendum untuk memutuskan apakah
mereka akan keluar dari Uni Eropa, sementara itu
rakyat Norwegia dua kali telah menyatakan tidak
masuk dalam Uni Eropa, meskipun para elit
politiknya, pada masing-masing kesempatan telah
menyatakan kesediaannya untuk ikut dalam
keanggotaan tersebut.
Daftar diatas menunjukkan bagaimana masalah
referendum kadang kala merupakan masalah besar
yang muncul adalah masalah politis, yang bukan
terjadi sehari-hari, yang terjadi secara rutin di sebuah
negara. Secara umum, referendum sangat cocok
untuk diajukan dalam masalah-masalah seperti itu,
dan terhadap masalah-masalah yang terjadi yang
melintasi garis pembagian biasa dalam sebuah
masyarakat, dari pada masalah-masalah yang terjadi
sejalan dengan pembagian masyarakat tersebut.
Misalnya, sebuah negara mempunyai dua kelompok
linguistik utama, satu bahasa dipakai oleh 60 persen
penduduk dan sisanya 40 persen oleh kelompok lain,
dan ada ketegangan yang terus menerus mengenai
masalah bahasa tersebut. Jika referendum diadakan
untuk memecahkan masalah mengenai bahasa mana
yang akan menjadi satu-satunya bahasa di negara
tersebut, ini tentu saja tidak akan memecahkan
masalah, karena kelompok minoritas nampaknya
tidak akan menerima suara mayoritas, yang
cenderung memilih salah satu bahasa tersebut
sebagai cara yang adil untuk memecahkan masalah.
Ketegangan etnis, juga tidak mudah dipecahkan
dengan cara referendum. Dengan kata lain, apabila
ada masalah yang terkait dengan hak-hak kelompok
KOMPONEN PERANCANGAN
56
KOMPONEN PERANCANGAN
minoritas, dan seberapa jauh kelompok mayoritas
dapat memaksakan kehendaknya terhadap
minoritas, referendum tidak cocok diterapkan,
karena hanya akan menjadi alat bagi kelompok
mayoritas. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya
kemungkinan dipakainya referendum adalah untuk
mengkaji diterima tidaknya sebuah kompromi yang
dilakukan oleh para elit, lihat Negosiasi.
Demikian juga, apabila sebuah negara terbagi antara
garis kiri dan kanan, kecil sekali manfaatnya
mengadakan referendum mengenai masalah kiri dan
kanan, yang mana referendum hanya menghasilkan
suara seperti pada pemilu biasa. Jadi jika referendum
akan diadakan sehubungan dengan masalah-masalah
politik, masalah tersebut biasanya melintasi batas
pengelompokan partai yang biasa. Contohnya adalah
pengambilan suara mengenai tenaga nuklir di
Austria dan Swedia, atau mengenai perceraian di
Irlandia.
Bahkan apabila kita dapat memberikan petunjuk
mengenai cara yang paling tepat untuk
menggunakan referendum, itu tidak berarti
bahwa petunjuk tersebut selalu dapat ditaati.
Malahan, terdapat banyak cara dimana
referendum tersebut disalahgunakan atau bahkan
diperdayakan, dan ada banyak contoh mengenai
masalah-masalah ini. Di Perancis, misalnya,
banyak referendum yang diadakan sejak Perang
Dunia Kedua sudah digunakan untuk alasan-
alasan politis oportunis, pada saat pemerintah
melihat kesempatan untuk mempermalukan atau
membagi oposisi.
Ini adalah alasan untuk mengatur kapan referendum
dapat atau harus dipakai; sebaliknya, jika referendum
dapat terlaksana sedemikian mudah atas kepandaian
pemerintahan saat itu, lembaga referendum akan
sangat mudah menjadi terdiskreditkan dan suara-
suara yang diperoleh dalam keadaan seperti itu tidak
akan berguna.
Jadi setiap aspek referendum memerlukan
pengaturan. Sangat penting bahwa peraturan yang
mengatur referendum dibuat jauh sebelumnya
sehingga setiap orang tahu peraturannya. Hal-hal
yang perlu diatur antara lain:
� Penting sekali untuk memberikan redaksi yang
jelas, karena semakin tepat pertanyaan, akan
semakin bagus hasilnya. Ada banyak contoh
dimana proposal yang diajukan kabur dan
retorik, contohnya di bekas Uni Soviet pada
tahun 1991, dimana hasilnya hampir-hampir
tidak ada. Demikian juga, masalah siapa yang
memutuskan peredaksian kata-katanya harus
dijelaskan secara eksplisit dalam setiap
perundangan yang mengatur referendum
tersebut.
� Kriteria keberhasilan; di beberapa negara,
beberapa usulan referendum mensyaratkan
lebih dari mayoritas sederhana agar dapat
diberlakukan; referendum tersebut harus
didukung oleh persentase tertentu dari para
pemilih terdaftar. Asalkan aturan-aturannya
masuk akal dan jelas diberitahukan dimuka,
masalah-masalah tidak akan muncul. Peraturan
57
KOMPONEN PERANCANGAN
yang mensyaratkan proporsi tertentu dari
keseluruhan pemilih untuk mendukung sebuah
referendum sebelum referendum tersebut layak
diberlakukan kadang-kala diadakan, seperti
misalnya yang terjadi di Denmark, dilakukan
agar jumlah pemilih yang kecil tidak dapat
mempengaruhi masalah tersebut, pada saat
sebagian besar masyarakat sebetulnya tidak
peduli terhadap permasalahan tersebut.
Peraturan seperti ini biasanya logis. Yang kurang
umum adalah mensyaratkan sejumlah proporsi
tertentu pemilih yang harus mencoblos, dan jika
tidak terpenuhi semua kegiatan referendum
tersebut dinyatakan tidak sah.
Di Italia misalnya, ada peraturan yang mengatur
jumlah peserta; agar dinyatakan layak
diberlakukan, sebuah proposal harus didukung
oleh sekurang-kurangnya 50 persen suara yang
masuk, dan pesertanya sekurang-kurangnya 50
persen pemilih. Kerugiannya adalah bahwa
lawan dari pengusul populer mungkin dapat
menghancurkannya hanya dengan tidak
mendatangi tempat pemungutan suara.
� Interpretasi hasil: apabila 49 persen pemilih
menyetujui usulan dalam referendum, 48
persen tidak menyetujui usulan tersebut, dan
sisanya tiga persen suara tidak sah, apakah
usulan tersebut dapat diterima? Dalam sistem
referendum yang diatur dengan baik, jawaban
atas pertanyaan tersebut tidak akan mendua.
Jika jawaban mendua, sesudah referendum akan
terjadi debat politik mengenai interpretasi yang
diambil oleh pengadilan yang harus mengambil
keputusan akhirnya, dengan demikian
meniadakan tujuan referendum sendiri, dimana
rakyatlah yang seharusnya mengambil
keputusan.
Referendum, seperti kebanyakan lembaga politis
yang lain, secara potensial mempunyai
kekurangan dan kelebihan. Keuntungannya
antara lain adalah peran legitimasinya:
keputusan yang diambil secara langsung oleh
rakyat nampaknya akan memberikan legitimasi,
bahkan oleh mereka yang menentangnya,
dimana mereka mungkin tidak akan menerima
hal yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan
lewat parlemen atau pemerintah. Ini nampak
jelas di Denmark dalam kasus Uni Eropa dan di
Irlandia mengenai kasus perceraian, dimana
referendum telah berhasil menyelesaikan
masalah-masalah yang mengundang
perdebatan. Disamping itu, referendum
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan dan mempunyai
pengaruh edukatif terhadap masyarakat, yang
mau tidak mau menjadi akan lebih baik
perolehan informasinya atas masalah-masalah
yang sedang diperdebatkan.
Kerugian dari referendum adalah bahwa
institusi pemerintahan perwakilan, seperti
misalnya parlemen, mungkin menjadi
berkurang, dan bahwa masyarakat mungkin
tidak akan cukup memperoleh informasi untuk
dapat membuat keputusan politis yang kuat.
58
KOMPONEN PERANCANGAN
Juga ada kekhawatiran mengenai mayoritarian,
yaitu kekhawatiran bahwa kelompok mayoritas
akan menggunakan referendum untuk menjegal
hak-hak minoritas.
Setelah mengamati praktek referendum di
seluruh dunia, dapat ditarik kesimpulan bahwa
referendum tidak akan memberikan harapan
utopia para pejuang awal pro-referendum, tetapi
referendum juga tidak membangkitkan
ketakutan mereka yang melihatnya sebagai
perusak demokrasi. Kebanyakan negara yang
mempunyai lembaga referendum nampaknya
memperoleh keuntungan darinya, dan sudah
memasukkannya sebagai ciri proses politis.
Misalnya masalah keterlibatan Denmark dalam
Uni Eropa terselesaikan dengan dua referendum
yang sangat dekat jaraknya pada tahun 1992 dan
1993. Dalam setiap referendum tersebut
pengikutnya lebih dari 80 persen. Proses
referendum tersebut telah memberikan
informasi yang paling baik bagi warga Denmark
mengenai masalah Uni Eropa dibandingkan
dengan negara-negara yang lain. Hasilnya
memberikan legitimasi yang mungkin tidak
pernah akan tercapai jika dilakukan lewat
parlemen.
Sebaliknya, penggunaan referendum yang
berlebihan dapat berpengaruh negatif. Negara
yang paling sering menggunakan referendum
adalah Swiss, dimana pesertanya dalam
kebanyakan referendum kurang dari 50 persen,
mungkin karena rakyat Swiss letih dengan
pengumpulan pendapat � rata-rata ada sepuluh
pengambilan pendapat per tahun. Meskipun
demikian, referendum merupakan aspek penuh
dan diterima dalam sistem politik Swiss, dan
beberapa pengamat bahkan ingin lebih
memperluas penggunaan sistem tersebut.
Di Italia referendum justru merupakan kekuatan
yang lebih banyak merusak. Peraturan di Italia
memperbolehkan sejumlah pemilih tertentu
memprotes UU yang ada, dan pada saat-saat
tertentu masyarakat Italia bisa dipanggil untuk
memberikan pendapat mereka mengenai 12
masalah yang berbeda-beda pada hari yang
sama. Praktek referendum di Italia sudah
seringkali mengakibatkan hubungan yang sulit
dengan pemerintahan perwakilan. Di negara-
negara dimana lembaga perwakilan lemah atau
di negara-negara yang sedang tumbuh, mungkin
tidak bijaksana membiarkan kelompok pemilih
mengajukan referendum atas UU yang tidak
mereka sukai, karena hal tersebut akan
menciptakan resiko bahwa keputusan yang
keras tetapi perlu diambil, yang mungkin akan
terbukti benar dalam jangka panjang akan
ditolak oleh masyarakat.
Meskipun lembaga pemerintahan perwakilan
dapat hidup berdampingan secara baik dengan
referendum, hubungan pemerintahan
perwakilan dan inisiatif biasanya tidak begitu
nyaman. Sistem politik di Swiss dapat bekerja
dengan cukup lancar dengan penggunaan
inisiatif secara meluas, tetapi kebanyakan negara
59
KOMPONEN PERANCANGAN
lain akan merasa jauh lebih sulit melaksanakan
pemerintahan yang stabil dan efektif dengan
ketentuan inisiatif yang sedemikian luas.
Penggunaan referendum yang wajar nampaknya
tidak akan memperlemah pemerintahan
perwakilan, dan bahkan mungkin akan
memperkuatnya, tetapi penggunaan referendum
yang berlebihan dapat memperlemah
pemerintahan perwakilan dan mengurangi nilai
referendum sendiri.
Lihat juga Persyaratan Penyebaran Suara dan
Konsultasi Populer: referenda, plebisit dan
recall.
u Inisiatif WarganegaraOleh: Joseph Zimmerman
Di Amerika Serikat, para pemilih di Massachusetts
telah diberi wewenang untuk menggunakan hak-hak
warganegara sejak tahun 1715 untuk menetapkan
bab-bab tertentu di undang-undang kota (agenda
tetap) untuk mengadakan pertemuan warga kota.
Saat ini duapuluh tiga konstitusi negara, dimulai oleh
Dakota Selatan pada tahun 1898, memberikan
wewenang penggunaan petisi untuk mengajukan
proposisi di kertas suara referendum. Inisiatif
konstitusional ada di tujuh belas negara Amerika dan
inisiatif perundangannya (statutory) mungkin
dipakai di duapuluh satu negara. Wewenang veto
gubernur tidak sampai melampaui undang-undang
inisiatif. Hal tersebut dapat juga dipakai di banyak
negara bagian untuk dapat memakai dan mengubah
perjanjian pemerintah lokal, dan di kantor walikota
untuk mengesahkan peraturan-peraturan.
Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus
Perusahaan Telephone dan Telegraph Pacific State
vs Oregon, 223 US, 118 (1912), menolak tuntutan
terhadap inisiatif bahwa dia melanggar konstitusi AS
yang menjamin bahwa setiap negara bagian adalah
sebuah bentuk pemerintahan republik.
Inisiatif dapat diklasifikasikan sebagai:
� negara atau lokal,
� konstitusional atau perundang-undangan,
� langsung atau tidak langsung, dan
� bersifat pertimbangan.
Dua kategori yang pertama sudah cukup jelas. Dalam
inisiatif langsung, seluruh proses legislatif dipotong
karena proposisinya langsung ditulis dalam kertas
suara referendum apabila jumlah yang disyaratkan
dan sebaran tanda-tangan petisi yang sah dapat
dikumpulkan dan disahkan.
Inisiatif tak-langsung, dipakai di delapan negara
bagian, melibatkan proses yang lebih kaku karena
proposisi disampaikan kepada lembaga legislatif
pada saat mendaftarkan sejumlah tanda-tangan petisi
sah yang disyaratkan. Apabila lembaga legislatif tidak
dapat berhasil menyetujui pada hari yang telah
ditentukan � berkisar dari empatpuluh hari di
Michigan sampai pembatalan di Dewan Perwakilan
Negara Bagian Maine � akan berakibat bahwa
proposisi tersebut diletakkan secara otomatis dalam
kertas suara referendum. Di Massachusetts, Ohio dan
Utah tanda-tangan tambahan bagi petisi harus
60
KOMPONEN PERANCANGAN
dikumpulkan agar proposisinya dapat diletakkan
dalam kertas suara. Hanya konstitusi Massachussetts
memberikan kewenangan penggunaan inisiatif tak-
langsung agar perubahan konstitusi yang diusulkan
dapat ditempatkan pada kertas suara.
Dewan Perwakilan Negara Bagian Maine,
Massachusetts, Michigan, Nevada dan Washington
diberi wewenang untuk meletakkan proposisi
pengganti di kertas suara apabila proposisi
inisiatifnya dapat memenuhi kriteria kertas suara.
Meskipun sebuah bagian dalam Konstitusi Alaska
hanya menyediakan inisiatif langsung, bagian lain
memperbolehkan Dewan Perwakilan Negara
memberlakukan pengganti legislatif yang menganulir
petisi inisiatif asalkan penggantinya secara �substan-
sial sama.� Maine, Massachusetts dan Wyoming
memberikan kewenangan hanya untuk inisiatif
perundangan tak-langsung. Michigan, Nevada, Ohio,
Dakota Selatan, Utah dan Washington memberikan
wewenang pemakaian dua jenis hal tersebut.
Pertimbangan inisiatif memperbolehkan para
pemilih untuk menyebarkan petisi agar dapat
meletakkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
mengikat pada kertas suara pada sebuah pemilu
untuk menekan lembaga-lembaga legislatif agar
mengesahkan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang. Inisiatif seperti itu jarang digunakan
sebelum akhir tahun 1970-an dan pada umumnya
hanya menarik perhatian dari penduduk setempat.
Tumbuhnya gerakan lingkungan hidup dan gerakan
penutupan reaktor tenaga nuklir mengakibatkan
pemakaian inisiatif tersebut untuk mendorong
perhatian media nasional.
Negara-negara bagian yang memberi wewenang
penggunaan inisiatif agar dapat menempatkan statuta
yang diusulkan dalam kertas suara, kecuali Alaska,
mensyaratkan pengajuan pendahuluan atas petisi
yang diusulkan kepada Jaksa Agung atau Sekretaris
Negara Bagian, yang akan mempelajari petisi tersebut
apakah sesuai dengan persyaratan konstitusi dan/
atau undang-undang. Di Alaska, para pendukung
petisi menyerahkan petisi kepada Wakil Gubernur,
yang juga menerima semua petisi yang sudah
ditandatangani, yang harus diserahkan menjelang
tanggal tenggat waktu. Tiga negara bagian
mensyaratkan deposit sebesar $ 100 sampai $ 1000
� pada saat aplikasi diserahkan dan deposit
dikembalikan apabila proposisinya dapat masuk
kertas suara. Di tiga negara bagian petisi dipelajari
oleh para pejabat negara, yang mungkin akan
menyarankan perubahan kata-kata (redaksional)
kepada sponsor.
Jaksa Agung (atau di Alaska, Wakil Gubernur)
diperintahkan untuk menyiapkan judul kertas suara
dan ringkasan proposisi tersebut, yang dicetak di
bagian atas setiap petisi. Demikian juga, pegawai
pemerintah setempat biasanya bertanggungjawab
untuk menyiapkan judul kertas suara dan
ringkasannya. Sekretaris Negara Bagian biasanya
bertanggungjawab untuk mencetak formulir petisi
atas biaya publik, tetapi di Idaho para sponsor
bertanggungjawab atas pencetakan petisi tersebut.
Jumlah yang disyaratkan agar proposisi dapat ditulis
61
KOMPONEN PERANCANGAN
di kertas suara didasarkan atas suara yang diperoleh
dalam pemilu yang paling akhir atau persentase
suara yang diperoleh dalam pemilihan Gubernur
(Sekretaris Negara Bagian di Colorado). Persyaratan
tanda-tangan berkisar dari tiga persen suara yang
diperoleh untuk pemilihan Gubernur di
Massachusetts sampai lima belas persen di Arizona
dan Oklahoma. Konstitusi Massachusetts mengatur
bahwa sebuah petisi harus diserahkan kepada
Pengadilan Umum (Dewan Legislatif Negara Bagian)
dan petisi tersebut akan ditempatkan di kertas suara
referendum hanya jika disetujui oleh seperempat
atau lebih jumlah anggota di dua sesi yang berurutan.
Pada saat penempatannya dalam kertas suara, usulan
tersebut akan diratifikasi jika disetujui oleh mayoritas
suara yang mendukung usulan tersebut, asalkan
mayoritas tersebut meliputi tigapuluh persen atau
lebih jumlah total kertas suara yang diperoleh dalam
pemilu.
Argumentasi untuk mendukung dan melawan
inisiatif warganegara tersebut sama dengan
argumentasi pro dan kontra yang dipakai dalam
referendum protes, lihat Referendum dan Plebisit,
dan yang dipakai dalam recall, lihat Recall Legislatif.
Para pendukung awal inisiatif ini yakin bahwa
kebijaksanaan kolektif para pemilih lebih baik
daripada kebijaksanaan perwakilan terpilih. Namun
demikian, mereka juga sadar bahwa tidak semua
hukum yang diperlukan harus diberlakukan dengan
cara inisiatif atau referendum. Dalam teori, inisiatif
hanya akan dilaksanakan pada saat lembaga-lembaga
legislatif terpilih tidak berhasil membuat rancangan
undang-undang yang diperlukan untuk masalah-
masalah penting, atau apabila UU yang sudah
diberlakukan tidak tanggap terhadap keinginan
pemilihnya.
Alasan pendukung dilaksanakannya inisiatif adalah:
� Membuat para anggota Dewan Perwakilan
lebih tanggap terhadap para pemilih dari
pada terhadap keinginan golongan tertentu,
� Meningkatkan minat warganegara atas
urusan pemerintahan,
� Mengurangi alienasi pemilih,
� Memberikan dukungan kepada konstitusi
negara yang singkat dan undang-undang
pemerintah setempat, dan
� Melaksanakan fungsi pendidikan kewarga-
negaraan yang penting.
Alasan kontra yang dikemukakan oleh para
penentang inisiatif adalah bahwa para anggota
legislatif membuat UU yang lebih baik, UU yang
dirancang dengan jelek akan menimbulkan masalah
dalam pelaksanaannya, UU inisiatif mungkin tidak
dikoordinasikan dengan UU lain yang terkait,
peredaksian kata-kata dalam proposisi mungkin
membingungkan para pemilih, inisiatif sangat
menyederhanakan permasalahan, �kelompok
minoritas� dapat terpengaruh karena bagusnya
kampanye inisiatif, dan pemerintahan yang tidak
fleksibel akan terjadi apabila usulan inisiatif tidak
dapat diamandemen oleh dewan legislatif setempat
atau dewan legislatif negara.
Penggunaan inisiatif yang berlangsung terus-
62
KOMPONEN PERANCANGAN
menerus dan berhasil baik merupakan bukti bahwa
dewan-dewan legislatif tidak selalu tanggap terhadap
keinginan publik. Meskipun inisiatif merupakan
pendekatan tambal-sulam terhadap pembuatan UU,
UU usulan tersebut pada umumnya tidak
menyebabkan masalah yang serius dalam
pelaksanaannya. Meskipun demikian, para kritikus
mengatakan bahwa para pemilih sudah bertindak
diskriminatif dalam menilai argumentasi pro dan
kontra terhadap usulan tersebut sebelum mereka
memutuskan bagaimana cara memilih.
Sebagai penyeimbang, inisiatif tak-langsung (indirect
initiative) dapat memperkuat sistem pemerintahan
karena jenis inisiatif ini memiliki keuntungan proses
legislatif, termasuk dengar pendapat publik,
peninjauan kembali (review) dan rekomendasi dari
panitia. Seandainya dewan legislatif tidak berhasil
menyetujui usulan tersebut, para pemilih sudah
diuntungkan dalam segi kemampuan pembuatan
keputusan dengan melalui informasi atas usulan
yang muncul dalam proses legislatif. Inisiatif tak-
langsung merupakan sebuah alat tambahan yang
baik untuk proses pembuatan hukum konvensional
dan dapat berfungsi sebagai penyeimbang yang
efektif untuk sebuah dewan legislatif yang tidak
mewakili dan tidak dapat menekan pemerintahan
perwakilan lebih dari veto eksekutif dan veto
yudikatif. Sebuah keuntungan inisiatif yang paling
besar adalah kenyataan bahwa inisiatif membuat
kinerja kelompok yang berkepentingan menjadi lebih
mudah terlihat jika dibandingkan dengan kegiatan-
kegiatan lobby mereka di dewan perwakilan negara
maupun dewan perwakilan setempat.
Adanya dukungan atas inisiatif tak-langsung tersebut
bukan berarti bahwa sistem ini harus sering dipakai.
Ini harus menjadi kekuatan cadangan yang akan
dipakai paling akhir, dan kapan hal ini harus
digunakan tergantung kepada tingkat
pertanggungjawaban, keterwakilan dan tanggap
tidaknya dewan-dewan legislatif.
u Recall LegislatifOleh: Joseph Zimmerman
Ketentuan konstitusi atau perundangan di duapuluh
enam negara bagian di Amerika Serikat memberikan
wewenang kepada para pemilih untuk mengajukan
pertanyaan berdasarkan petisi, tentang apakah semua
pejabat publik atau pejabat publik tertentu dapat
diminta mundur dengan melalui referendum
sebelum masa jabatan mereka habis. Disamping itu,
kotamadya-kotamadya di negara bagian �pembuat
UU tersebut� dapat juga membuat undang-undang
baru atau perubahan undang-undang yang
memberikan kesempatan bagi adanya �recall.�
Dewan legislatif negara di beberapa negara bagian
yang tidak mempunyai ketentuan konstitusi atau
perundangan umum yang dibuatnya sendiri, telah
mengeluarkan undang-undang khusus bagi
pemerintah setempat yang berisi pemberian
wewenang untuk menggunakan recall oleh pemilih.
Ketentuan recall berdasarkan konstitusi dan
perundangan di enam negara bagian tidak
memasukkan hakim dalam sistem recall. Tujuh
negara bagian hanya memperbolehkan satu kali
percobaan untuk me-recall seorang pejabat selama
63
KOMPONEN PERANCANGAN
masa tugas mereka, tetapi tiga negara bagian
memperbolehkan percobaan kedua, dengan syarat
bahwa pengusul tersebut mengganti biaya yang
sudah dikeluarkan negara untuk pemilu recall
pertama (first recall election).
Penggunaan recall harus mengikuti batasan-batasan
yang tertulis dalam ketentuan konstitusi,
perundangan ataupun undang-undang setempat.
Hanya pejabat yang dipilih yang dapat dikenakan
recall dengan pengecualian undang-undang recall
Montana dan sejumlah kecil peraturan pemerintah
daerah, yang mengijinkan recall bagi pejabat
administrasi. Lebih jauh lagi, kebanyakan ketentuan
recall melarang penggunaannya selama 2 sampai 12
bulan pertama para pejabat tersebut menduduki
jabatannya, dan selama 180 hari terakhir di lima
negara bagian.
Penentuan apakah recall tersebut merupakan proses
politis atau hukum (yuridis) berbeda dari satu negara
bagian dengan negara bagian lain berdasarkan
ketentuan konstitusi atau perundangan atau
peraturan pengadilan. Di beberapa negara bagian,
dimana recall merupakan proses politik, hak-hak
tradisional yang melindungi tertuduh tidak dapat
dipakai karena ketentuan pengaturnya tidak
memberikan mandat bahwa pejabat yang menjadi
sasaran harus didakwa dengan alasan tertentu -
pelanggaran (malfeasance), keteledoran
(misfeasance) atau ketidakberdayaan melaksanakan
kewajiban (nonfeasance), atau pengingkaran
terhadap sumpah. Jika prosesnya merupakan proses
hukum (yuridis), para pejabat yang menjadi sasaran
dapat terlindung dengan jaminan hukum tradisional.
Proses recall, sama dengan inisiatif atau referendum
protes, dimulai dengan sepuluh orang pengaju petisi
yang memasukkan permintaan kepada sekretaris
negara bagian atau pegawai kantor setempat untuk
dapat menyebarkan petisi untuk menentukan apakah
pejabat yang namanya disebutkan itu harus diminta
mundur dari jabatannya atau tidak. Permintaan
tersebut biasanya terdiri dari 200 kata yang
menyatakan alasan pengajuan recall tersebut, dan
pejabat yang disebut tadi dapat pula mengajukan
jawaban yang terdiri dari 200 kata. Selanjutnya,
sekretaris negara bagian atau pegawai kantor
setempat mencetak petisi resmi tersebut dan
membagikannya kepada para pengusul yang pada
umumnya diminta untuk mengumpulkan tanda-
tangan dari para pemilih yang terdaftar, yang
jumlahnya sama dengan 25 persen suara yang
diperoleh calon gubernur dalam pemilu sebelumnya
atau calon dari kantor yang bersangkutan. California
dan Georgia mempunyai persyaratan geografis yang
berhubungan dengan jumlah minimal tanda-tangan
yang harus dikumpulkan dari masing-masing lima
county (semacam kabupaten) bagi California atau
setiap wilayah kongres untuk Georgia.
Meskipun tanda-tangan yang disyaratkan sudah
dikumpulkan, pemilu recall tidak diteruskan di
delapan negara bagian asalkan pejabat yang
dimaksud mengundurkan diri dalam waktu lima
sampai sepuluh hari pada saat pengesahan tanda-
tangan tersebut. Jika pemilu dijadwalkan akan
diadakan, alasan pencopotan dari pejabat yang
64
KOMPONEN PERANCANGAN
bersangkutan dan jawaban dari pejabat tersebut,
masing-masing maksimum 200 kata, harus dituliskan
dalam kertas suara. Para pemilih di sembilan negara
bagian hanya dibatasi untuk memutuskan apakah
pejabat yang bersangkutan harus diminta mundur.
Jika pejabat tersebut mundur, penggantinya dipilih
lewat pemilu khusus berikutnya. Di negara-negara
bagian lain, para pemilih memutuskan apakah
mereka akan meminta pejabat tersebut mundur dan
sekaligus memilih penggantinya jika pejabat tersebut
benar-benar mundur.
Pengalaman sebelumnya mengenai recall
menunjukkan bahwa seorang pejabat dapat diminta
mundur dari jabatannya dengan suara mayoritas,
tetapi dapat dipilih kembali dengan suara pluralitas
jika tiga atau lebih calon membuat suara menjadi
terbagi. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut,
ketentuan konstitusi dan perundangan dan peraturan
pemerintah setempat mengatur bahwa pejabat tidak
boleh mencalonkan kembali apabila recall berhasil.
Lebih jauh lagi, aturan tersebut juga menegaskan
bahwa pejabat yang sudah mengundurkan diri tidak
boleh ditunjuk kembali dalam kedudukan yang sama
atau serupa selama masa dua tahun. Para pejabat
yang dapat terkena recall tidak dibatasi untuk
mengeluarkan dana sendiri agar dapat tetap
mempertahankan jabatan berdasarkan UU kegiatan
korupsi negara (pendanaan kampanye) yang
dihasilkan oleh peraturan MA Amerika Serikat di
Buckley vs Valeo, 424 US, 1 pada 143 (1976).
Teori perwakilan klasik didasarkan atas keyakinan
bahwa pemilihan rutin yang terjadwal cukup untuk
memastikan bahwa pejabat yang dipilih akan dapat
bertanggung jawab kepada para pemilihnya. Korupsi
di pemerintahan dan badan-badan pemerintah bukan
perwakilan pada periode pasca perang saudara di
Amerika Serikat, menimbulkan beberapa gerakan
reformasi termasuk kaum populis, yang salah satu
agendanya adalah mengembalikan kontrol atas
pemerintah ke tangan masyarakat. Kaum populis
mendukung adanya recall, inisiatif dan referendum
protes. Inisiatif dan referendum protes pertama kali
diotorisasikan oleh amendemen konstitusi Dakota
Selatan pada tahun 1898. Unit pemerintahan pertama
yang memakai sistem recall adalah kota Los Angeles,
yang di dalam perjanjian pembuatan UU kota tersebut
telah diatur mengenai inisiatif dan referendum.
Para penentang recall berpendapat bahwa recall tidak
perlu dijalankan karena sudah ada alat kontrol lain
� proses impeachment, permintaan dewan legislatif
(meminta gubernur untuk mengganti seorang pejabat
yang disebutkan namanya), dan perundangan yang
meminta pengosongan kantor karena tuduhan
kejahatan - sudah ada untuk memecat pejabat yang
menyalahgunakan wewenang masyarakat. Para
penentang juga berpendapat bahwa recall akan
menghancurkan pemerintahan perwakilan dengan
menghalangi pejabat yang energetik, melemahkan
kemauan orang-orang yang cukup berkualitas untuk
mau bekerja di pemerintahan, memberi kesempatan
kedua kepada partai yang kalah untuk mendapat
jabatan di pemerintahan, dan dapat menyebabkan
dipecatnya seorang pejabat tanpa alasan yang layak.
Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa recall akan
menghancurkan independensi pengadilan.
65
KOMPONEN PERANCANGAN
Para pendukung recall mengajukan enam alasan.
Mereka mempertahankan recall karena:
� Meningkatkan kontrol masyarakat atas
pemerintah,
� Memberi kesempatan kepada para pemilih
untuk memperbaiki kegagalan sistem pemilu
yang merupakan produk pengumpulan
suara yang lama atau peraturan pemilu yang
berdasarkan pluralitas,
� Mengurangi alienasi pemilih,
� Mendidik para pemilih,
� Mempermudah penghilangan pembatasan
konstitusi pada dewan perwakilan negara,
dan
� Mendorong suara untuk menyetujui
amandemen konstitusi dan perundangan,
dengan demikian memperpanjang masa
jabatan para pejabat terpilih.
Pengalaman dengan recall secara umum berpihak
kepada para pendukung. Jarang sekali recall dipakai
untuk meminta para pejabat negara mundur (satu
gubernur, delapan legislator, dan satu hakim), tetapi
recall lebih sering dipakai untuk meminta para
pejabat pemerintah daerah untuk mundur. Cara-cara
permintaan mundur yang lain jarang dipakai.
Meskipun sulit sekali diukur, nampaknya
keberadaan sistem recall ini mendorong para pejabat
publik lebih bertanggungjawab dan lebih tanggap
terhadap konstituen mereka. Ancaman penggunaan
recall inilah yang mungkin membuat para pejabat
terpilih mempertimbangkan sekali lagi posisi mereka
dalam masalah-masalah tertentu dan/atau menjaga
tingkah laku mereka, dan recall dapat mendorong
para pemilih memainkan peran yang lebih penting
dalam tugas pengawasan mereka sehubungan
dengan pejabat yang mereka pilih.
Catatan bagi pembaca: meskipun Amerika Serikat
merupakan tempat studi kasus utama penggunaan
recall legislatif, propinsi British Columbia di Kanada
menerapkan recall legislatif (pemilihan ulang)
dengan petisi (40% dari pemilih terdaftar) pada
tahun 1995.
Lihat juga Konsultasi Populer: referendum, plebisit,
recall.
Frekuensi/Tanggal/Hari PemiluOleh: Andrew Reynolds
Masa jabatan legislatif harus cukup panjang sehingga
memungkinkan kontinuitas dan konsistensi dalam
pemerintahan dan kebijakan, cukup lama sehingga
memungkinkan anggota perwakilan yang baru
mempelajari seluk-beluk perundangan, dan cukup
lama untuk menghindari �kelelahan pemilih�
dimana para warganegara tidak mau lagi datang ke
tempat pemungutan suara karena mereka merasa
baru saja melakukan pemilihan politisnya. Meskipun
demikian, masa jabatan legislatif harus cukup
pendek sehingga memungkinkan adanya hubungan
pertanggungjawaban antar pemilih, para wakil dan
pemerintah. Dalam negara demokrasi, rata-rata
panjang masa jabatan di majelis rendah dalam
parlemen bikameral adalah dua sampai lima tahun,
66
KOMPONEN PERANCANGAN
sementara untuk majelis tinggi adalah empat sampai
sembilan tahun.
Pemilu dapat diadakan antara pemilihan presiden
dan pemilu parlemen dan bahkan dalam bagian
dewan perwakilan. Misalnya, sepertiga dari Dewan
Perwakilan Amerika Serikat dipilih dalam setiap dua
tahun. Yang terakhir, parlemen dapat mempunyai
masa jabatan tetap (Amerika) atau maksimum masa
jabatan (Inggris), yang memperbolehkan
pemerintahan saat itu memilih dengan tepat kapan
pemilu-pemilu tersebut akan diadakan. Salah satu
keuntungan dari sistem masa jabatan tetap adalah
bahwa pemerintah saat itu akan lebih sulit untuk
memanipulasi tahap-tahap politis menjelang hari
pemilu yang mereka tetapkan sendiri, akan tetapi
masa jabatan tetap dapat juga berarti bahwa masa
kampanye menjadi begitu panjang membosankan
dan membuat kebanyakan pemilih enggan
berpartisipasi.
Partisipasi pemilih dalam pemilu dapat secara
dramatis dipengaruhi oleh hari (atau hari-hari)
dimana pemilu akan diadakan. Jika partisipasi yang
tinggi dianggap sebagai pertanda baik, maka
mengadakan pemilu pada hari yang membuat
�pemilu terasa nyaman� merupakan pilihan yang
baik. Jadi pemilu dapat diadakan pada akhir minggu
atau hari libur nasional (mungkin khusus diliburkan
untuk pemilu). Jika pemilu diadakan pada hari libur
nasional, ada pembenaran (justification) yang lebih
baik untuk membuat kedatangan pemilih menjadi
wajib, lihat Pemungutan Suara Wajib. Pemilih akan
berjumlah lebih banyak jika pemilu diadakan pada
musim dimana cuaca sangat bagus. Ini terbukti di
negara-negara berkembang dimana masalah
transportasi menjadi masalah tersendiri. Maka dari
itu, pemilu kemungkinan akan lebih berhasil apabila
diadakan bukan pada musim hujan di negara tropis,
atau pada puncak musim dingin di negara yang
beriklim dingin.
Besarnya ParlemenOleh: Matthew Shugart
Berapa besar seharusnya dewan perwakilan di
sebuah negara? Ini bukan pertanyaan yang sepele.
Besarnya dewan perwakilan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap representasi partai-partai politik.
Terutama, dalam sistem besaran distrik yang lebih
kecil (seperti misalnya distrik wakil tunggal, dan juga
distrik-distrik wakil majemuk yang kecil),
mempunyai kursi yang lebih banyak berarti lebih
banyak distrik, dimana partai-partai kecil dengan
dukungan terpusat pada sebuah wilayah tertentu
mempunyai kesempatan yang lebih besar di
perwakilan. Sebuah dewan yang terlalu kecil untuk
sebuah negara tidak akan menampung kepentingan-
kepentingan tertentu. Tanpa memperdulikan ukuran
distrik, sebuah dewan yang kecil akan menciptakan
kesan �jauh� antara para wakil rakyat dengan para
pemilihnya, bahkan bagi para pemilih yang
mendukung partai-partai besar sekalipun. Di pihak
lain, sebuah dewan yang terlalu besar akan
menciptakan proses legislatif yang agak lambat, dan
membutuhkan struktur-struktur dalam komisi di
majelis yang lebih kompleks, atau mendorong
67
KOMPONEN PERANCANGAN
pemberian wewenang legislatif yang lebih banyak
ke bidang eksekutif. Pertanyaannya sekarang adalah
berapa ukuran dewan yang �optimal� untuk sebuah
negara tertentu dengan populasi penduduk tertentu.
Salah satu kegiatan yang paling penting dari seorang
anggota dewan adalah komunikasi. Seorang anggota
dewan terlibat dalam komunikasi baik dengan
konstituennya maupun dengan anggota dewan yang
lain. Tentu saja ada orang-orang lain yang juga
berkomunikasi dengan anggota dewan dan ada
kegiatan lain yang juga dilakukan anggota dewan
selain berkomunikasi. Meskipun demikian, hal yang
paling penting dalam kehidupan seorang anggota
dewan adalah fungsi perwakilannya � berkomuni-
kasi dengan para konstituennya � dan menjalankan
fungsi pembuatan UU dimana seorang anggota
dewan harus berkomunikasi dengan para anggota
dewan yang lain. Dewan yang kecil dalam sebuah
negara akan meminimalkan jalur komunikasi
diantara para anggotanya, dan dengan sendirinya
menyerdehanakan fungsi pembuatan UU, tetapi
sebagai gantinya anggota dewan justru dapat
melipatgandakan komunikasi dengan para
konstituennya. Sebaliknya, ukuran dewan yang besar
untuk sebuah negara akan mengurangi jalur
komunikasi dengan para konstituen � jika, faktor-
faktor lainnya seimbang �meningkatkan derajat
perwakilannya� � tetapi akan membuat proses
pembuatan UU kurang efektif karena penggandaan
jalur komunikasi melibatkan anggota dewan yang
lain. Diantara keduanya, dewan perwakilan yang
�terlalu kecil� atau dewan perwakilan yang �terlalu
besar� untuk sebuah negara, ada sebuah ukuran
optimal yang meminimalisir total jalur komunikasi.
Ukuran Dewan Saat Ini dan Jumlah
Penduduk Negara
Alasan yang dikemukakan diatas menyiratkan bahwa
ada hubungan sistematis antara besarnya dewan
perwakilan dan jumlah penduduk. Sebuah riset
mengenai besarnya dewan untuk negara-negara
demokrasi yang sudah mapan di negara-negara
industri maju mengungkapkan hubungan akar
pangkat tiga antara penduduk dan besarnya dewan:
� S = P1/3
dimana S adalah jumlah kursi di dewan rendah atau
dewan satu-satunya di majelis perwakilan, dan P
adalah jumlah total penduduk di negara tersebut.
Meskipun demikian, juga diketemukan bahwa untuk
negara-negara di dunia yang sedang berkembang,
hubungan yang nampaknya sedemikian sederhana
ini akan meramalkan jumlah anggota dewan
perwakilan yang berlebihan. Alasannya adalah
bahwa yang nampaknya relevan bukan total jumlah
penduduk, tetapi penduduk yang �aktif,� disingkat
Pa. Penduduk aktif � bagian yang dapat diasumsikan
sungguh-sungguh terlibat dalam pertukaran pasar
dan dengan demikian dalam mencari perwakilan
politis � dapat diperkirakan sebagai:
� Pa = PLW
dimana L adalah tingkat kemampuan baca-tulis dan
68
W adalah bagian dari usia kerja dari jumlah pendu-
duk secara keseluruhan. Dengan demikian, jika
sebuah negara mempunyai penduduk sepuluh juta,
dengan 90% kemampuan baca-tulis dan 55%
pendu-duknya sedang dalam usia kerja, maka Pa,
penduduk aktifnya menjadi = 10.000.000 x 0,90 x
0,55 = 4.950.000. Apabila sebuah negara
mempunyai penduduk sepuluh juta, 55%-nya
adalah penduduk usia kerja, tetapi tingkat
pengetahuan baca-tulis hanya 75%, maka
penduduk aktif, atau Pa = 10.000.000 x 0,75 x 0,55
= 4.125.000. Di negara-negara yang sudah maju,
hampir tidak ada perbedaan antara jumlah
penduduk aktif dan jumlah penduduk total. Ini
berbeda dengan di negara-negara yang sedang
berkembang. Pada saat semua negara yang
mempunyai perwakilan dipelajari, hubungan
antara jumlah penduduk aktif dan jumlah kursi di
dewan perwakilan dinyatakan sebagai berikut:
� S = (2Pa)1/3
Jadi dengan mengambil dua contoh di atas, negara
yang mempunyai penduduk aktif 4.950.000
diramalkan akan mempunyai dewan perwakilan
dengan anggota 215 orang, sedangkan negara yang
mempunyai penduduk aktif sebesar 4.125.000
diprediksikan akan mempunyai anggota dewan
perwakilan sebanyak 202 orang.
Hampir tidak ada negara yang mempunyai dewan
perwakilan dua kali lebih besar daripada ukuran
yang diprediksikan dalam persamaan ini dan hanya
beberapa negara mempunyai dewan perwakilan
yang lebih kecil dari setengah nilai yang diprediksi-
kan. Jadi, persamaan dapat dianggap merupakan
prediktor (peramal) ukuran pas dewan perwakilan
sebuah negara, begitu jumlah penduduk aktif sudah
dapat ditentukan.
Sebuah Model Teoritis
Sekarang pertanyaan yang tersisa adalah apakah
hubungan tersebut empiris murni, atau apakah
hubungan tersebut dapat diberi dasar-dasar teoritis.
Tentu saja ada dasar teoritis dari persamaan tadi:
Model �jalur komunikasi,� yang mengacu kepada
rumusan di atas, membuat kita dapat menarik
kesimpulan terhadap hubungan tersebut.
Jika S adalah jumlah kursi di dewan perwakilan
dan Pa adalah jumlah penduduk aktif total,
konstituensi rata-rata dari seorang anggota dewan
adalah Pa/S penduduk aktif. Karena anggota dewan
perwakilan merupakan baik pengirim dan penerima
informasi, jumlah total jalur komunikasi konstituen,
cc, adalah 2Pa/s.
Dalam dewan perwakilan, setiap anggota
berkomunikasi dengan anggota lain S-1, sekali lagi
dalam kapasitas rangkap sebagai pengirim dan
penerima informasi. Dia juga memonitor jalur yang
menghubungkan anggota S-1 lain dengan yang
lainnya. Jumlah total jalur dalam dewan perwakilan,
cs, adalah:
� cs = 2 (s-1) + (S-1)(S-2)/2 = S2/2 + S/2-1
KOMPONEN PERANCANGAN
69
KOMPONEN PERANCANGAN
Yang dapat disederhanakan menjadi S2/2 untuk
setiap nilai S yang cukup besar yang secara nyata
dapat membentuk sebuah ukuran dewan perwakilan
nasional yang realistis (karena istilah, S/2-1 akan
mempunyai pengaruh yang dapat dihiraukan). Jadi
jumlah total jalur yang menimbulkan permintaan
pada anggota dewan adalah :
� c = cs + cc = S2/2 + 2Pa/S
Jumlah anggota dewan yang optimal adalah jumlah
yang meminimalisir jumlah jalur komunikasi total
untuk penduduk aktif tertentu. Jumlahnya dapat
ditentukan dengan menghitung derivasi dc/dS dan
membuatnya menjadi nol:
� dc/dS = S � 2Pa/S2 = 0
Hasilnya adalah 2Pa = S3, yang kemudian akan
melahirkan model:
� S = (2Pa) 1/3
Tentu saja, dengan model teori manapun, banyak
hal-hal kecil yang tertinggal. Namun demikian,
kecocokan empirisnya cukup bagus, dan model
tersebut memberi tahu kepada kita bahwa mungkin
ada tekanan yang akan memaksa kita untuk
mengubah besarnya dewan perwakilan apabila
dewan perwakilan sebuah negara tertentu menjadi
terlalu besar diatas atau dibawah ramalan model
tersebut. Jika sebuah negara harus menetapkan
besarnya dewan perwakilan sesuai dengan model
ini, dan menyesuaikannya secara berkala sesuai
dengan model pertumbuhan penduduk aktif,
tekanan-tekanan untuk mengubah besarnya dewan
perwakilan nampaknya akan sedikit sekali
kemungkinannya terjadi, dibandingkan jika dipakai
cara-cara lain, atau jika penyesuaian secara berkala
tidak diperbolehkan.
Pembagian Daerah PemilihanOleh: Andrew Reynolds
Cara bagaimana menarik sebuah batas distrik atau
konstituensi dapat sama pentingnya bagi hasil akhir
pemilu dengan jenis pemilu yang dipilih. Itulah
sebabnya mengapa seluruh bagian dari situs ini
sudah dipakai untuk menganalisa ilmu tentang
pembagian wilayah, lihat Sistem Pemilu yang
Membatasi Distrik Pemilihan.
Dari sisi yang ekstrim, batas distrik wakil tunggal dapat
�direkayasa� sehingga menguntungkan sebuah partai
atau kelompok tertentu. Ini sangat jelas terlihat dalam
pemilu di Kenya pada tahun 1993 ketika perbedaan
yang sangat mencolok antara ukuran wilayah
pemilihan � yang paling besar jumlah pemilihnya 23
kali dari yang terkecil � memberikan kemenangan
kepada partai yang memerintah, Persatuan Nasional
Afrika, yang memenangkan mayoritas parlemen
dengan hanya 30% suara rakyat. Meskipun demikian,
perekayasaan juga umum terjadi dalam pemerintahan
lokal di AS dimana partai politik yang mengontrol
dewan legislatif negara kadang-kadang juga
mengontrol pembagian wilayah.
KOMPONEN PERANCANGAN
70
KOMPONEN PERANCANGAN
Para perancang juga seringkali bekerja dengan tiga
prinsip besar pada saat mereka menarik garis yang
membagi-bagi penduduk dalam peta:
� Integralitas wilayah � wilayah harus cukup
solid sebagai sebuah wilayah pada saat kita
membicarakan wilayah atau penyebaran
pemilih.
� Kohesif � perhatian ditujukan kepada
kelompok masyarakat dan ciri-ciri geografis.
� Berkesinambungan � wilayah tersebut harus
dalam suatu kesatuan yang saling
berhubungan dan tidak terpisah.
Benar jika dikatakan bahwa semakin sedikit jumlah
anggota parlemen yang dipilih, batas-batas wilayah
menjadi masalah yang begitu besar dan penting.
Batas wilayah untuk distrik wakil tunggal merupakan
salah satu yang paling banyak dipolitisir.
Cara Pemungutan SuaraOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Di luar proporsionalitas, ada cara-cara pemikiran
lain mengenai bagaimana tingkah laku dari sistem
pemilu. Salah satu cara ialah dengan menilai
tingkatan pilihan pada surat suara yang diberikan
kepada seorang pemilih dalam masing-masing
sistem tersebut. Hal tersebut memberi kita cara
penguraian yang sangat berbeda dalam
menggambarkan perbedaan-perbedaan di antara
jenis-jenis sistem pemilu.
Surat suara mungkin berstruktur kategorial atau
ordinal, dan dapat dipusatkan pada caleg, partai, atau
memperbolehkan pemilih mengekspresikan pilihan
antara caleg dan partai. Surat suara kategorial
memaksa pemilih untuk memilih satu caleg atau
partai, sementara surat suara ordinal memperboleh-
kan pemilih mengekspresikan jangkauan pilihan
yang lebih rumit.
Seperti ditunjukkan pada Bagan Tiga, beberapa
sistem pemilu memberi pilihan ordinal dalam surat
suara yang berfokus pada caleg. Misalnya, sistem
pemilihan preferensial, seperti Alternative Vote (AV)
dan Single Transferable Vote (STV), lihat Alternative
Vote dan Single Transferable Vote, melakukannya
dengan memperbolehkan pemilih untuk menyusun
semua caleg berdasarkan urutan nomor. Demikian
juga, Block Vote, lihat Block Vote, Two-Round System
(TRS), lihat Two-Round System, dan beberapa format
RP Daftar, lihat Open, Closed and Free Lists
memperbolehkan pemilih untuk memisahkan
pilihannya antar caleg dari partai yang berbeda, baik
melalui pemungutan suara putaran kedua (TRS),
memiliki banyak suara untuk dibagikan (Block Vote)
atau melalui pilihan caleg diluar daftar partai RP
khusus (dalam sistem RP �daftar bebas�).
Akhirnya, beberapa sistem pemilu dapat
menawarkan pilihan baik surat suara kategorial
maupun ordinal. Sejak 1984 surat suara STV untuk
pemilihan Senat Australia telah mencakup kotak
�tiket partai� yang berarti, pada saat dipilih, surat
suara tersebut dianggap seakan-akan pemilih telah
mendaftar semua caleg menurut angka dengan
71
KOMPONEN PERANCANGAN
urutan yang dipilih oleh partai kesayangan mereka.
Surat suara ordinal jelas-jelas menawarkan kepada
para pemilih tingkat pilihan yang lebih besar,
sedangkan surat suara kategorial sifatnya lebih umum;
tentu saja, lebih dari tiga perempat dari seluruh sistem
pemilu yang dianalisa dalam buku ini menggunakan
kedua jenis surat suara tersebut. Pilihan langsung
diantara caleg ditemukan dalam sistem-sistem FPTP,
SNTV, dan RP Daftar terbuka, sementara pilihan
kategorial diantara partai melekat dalam sistem RP
Daftar tertutup dan adaptasi Party Block dari sistem
Block Vote, lihat Block Vote. Sistem pemilu dimana
pemilih memiliki lebih dari satu suara, seperti MMP,
lihat Mixed Member Proportional atau sistem Paralel,
lihat Paralel, secara logis juga meminta kemampuan
untuk memisahkan suara diantara dua partai.
Bagaimanapun juga, dalam kasus-kasus ini, pilihan
atas tiap surat suara terpisah jelas-jelas merupakan
jenis kategorial, meskipun efek keseluruhan dari
kedua surat suara tersebut adalah untuk menciptakan
pilihan ordinal. Lihat Desain Surat Suara
Bagan Tiga : Pilihan Surat Suara Sistem Pemilu
Kandidat (Caleg) Partai Keduanya
Kategorial FPTP (Kanada) Party Block (Singapura) Parallel (Jepang)
SNTV (Yordania) RP Daftar � Tertutup RP Daftar � Terbuka
RP Daftar-Terbuka (Namibia) (Denmark)
(Finlandia) MMP (Jerman)
Ordinal AV (Australia) TRS (Mali) TRS (Ukraina)
TRS (Perancis) RP Daftar � Panachage
Block Vote (Maldives) (Swiss)
STV (Irlandia)
Salah satu STV (Senat Australia)
NB: contoh-contoh di dalam kurung merupakan representasi studi kasus yang menggambarkan bagaimana
sistem yang berbeda bisa dikategorikan bersama dalam logika ini.
© International IDEA
72
Bagaimana MengkonversiSuara Menjadi KursiOleh: Andrew Reynolds dan Arend Lijphart
Dalam sistem Representasi Proporsional (RP) ada
lima kunci formula matematika yang digunakan
untuk mengubah suara menjadi kursi. Dalam sistem
RP Daftar, lihat RP Daftar, terdapat metode �rata-rata
tertinggi� (D�Hondt dan Sainte-Lague) dan metode
�sisa suara terbanyak� (Hare and Droop). Format
suara RP tunggal yang dapat ditransfer, lihat Single
Transferable Vote, hampir selalu menggunakan kuota
Droop.
Contoh setiap metode disajikan di bawah ini:
Tabel 1 Alokasi Kursi dengan Dua Formula Rata-rata Tertinggi pada Distrik denganEnam-Anggota dan Empat Partai
Partai Suara Alokasi D�Hondt Total
(v) v/1 v/2 v/3 Kursi
A 42 000 42 000 (1) 21 000 (3) 14 000 (6) 3
B 31 000 31 000 (2) 15 500 (5) 10 333 2
C 15 000 15 000 (4) 7 500 1
D 12 000 12 000 0
TOTAL 100 000
Partai Suara Modifikasi Alokasi Sainte-Lague Total
(v) v/1.4 v/3 v/5 Kursi
A 42 000 30 000 (1) 14 000 (3) 8 400 2
B 31 000 22 143 (2) 10 333 (5) 6 200 2
C 15 000 10 714 (4) 5 000 1
D 12 000 8 571 (6) 1
TOTAL 100 000
KOMPONEN PERANCANGAN
73
Tabel 2 Alokasi Kursi dengan Dua Formula Sisa Suara Terbanyak pada Distrik denganEnam-Anggota dan Empat Partai
Partai Suara Kuota Hare Kursi Kuota Sisa Kursi Total Kursi
(a) Penuh
A 42 000 2.52 2 0 2
B 31 000 1.86 1 1 2
C 15 000 0.90 0 1 1
D 12 000 0.72 0 1 1
TOTAL 100 000 6.00 3 3 6
Partai Suara Kuota Droop Kursi Kuota Sisa Kursi Total Kursi
(b) Penuh
A 42 000 2.94 2 1 3
B 31 000 12.17 2 0 2
C 15 000 1.05 1 0 1
D 12 000 0.84 0 0 0
TOTAL 100 000 7.00 5 1 6
Mekanisme KhususOleh: Andrew Reynolds
Ada banyak cara untuk mempertinggi jumlah
perwakilan perempuan, kelompok minoritas, dan
kelompok komunal. Termasuk didalamnya adalah
sistem pemilu Representasi Proporsional (RP) multi-
anggota atau semi-RP, yang menggunakan besarnya
distrik yang layak untuk tujuh anggota atau lebih,
sehingga mendorong partai-partai untuk mengajukan
perempuan dan kaum minoritas untuk memperbesar
kesempatan dalam pemilu. Batas representasi yang
sangat rendah, atau penghapusan batas representasi
secara keseluruhan, dalam sistem RP juga dapat
memfasilitasi perwakilan kelompok yang tidak
terwakili, atau yang dibawah perwakilan sampai
sekarang ini. Beberapa negara RP Daftar mewajibkan
keberadaan sejumlah perempuan dalam nominasi
KOMPONEN PERANCANGAN
74
Tabel 3 Alokasi Kursi dengan �Single Transferable Vote� pada Distrik dengan Tiga-Anggotadan Lima Kandidat
Kuota Droop = [ 100 / ( 3 + 1 ) ] + 1 = 26
Preferensi
23 surat suara P, Q, T
23 surat suara P, R, S
16 surat suara Q, R
5 surat suara R, S
20 surat suara S, T
8 surat suara T, Q, R
5 surat suara T
Kandidat Penghitungan Pertama Penghitungan Kedua Penghitungan Ketiga
P 46 - 20 = 26 26
Q 16 + 10 = 26 26
R 5 + 10 = 15 + 8 = 23
S 20 20 20
T 13 13 - 13 = 0
Tidak dapat dipindahkan - 0 + 5 = 5
Kandidat yang terpilih: P, Q, and R
caleg. Seperti digambarkan dalam Ketentuan-
ketentuan tentang Kaum Minoritas dan Mekanisme
Khusus untuk Kaum Wanita, dalam sistem mayoritas
atau pluralitas, kursi di parlemen dapat dialokasikan
untuk kelompok minoritas dan komunal.
u Pemungutan Suara WajibOleh: Wolfgang Hirczy de Mino
Pada masa ini, hak pilih universal dianggap sebagai
sebuah kondisi yang sangat diperlukan (sine qua non)
dari tatacara demokratis. Tetapi, bagaimana halnya
dengan partisipasi universal? Haruskah hak untuk
memilih dilengkapi dengan kewajiban hukum untuk
melaksanakannya sehingga tujuan akhirnya dapat
tercapai? Sementara norma sosial pemungutan suara
bisa dikatakan ada di banyak negara demokrasi,
hampir tidak ada negara demokrasi yang
mengangkatnya menjadi kewajiban hukum warga
negara. Bagaimanapun, hal itu merupakan pilihan
yang tersedia bagi negara-negara demokrasi yang
baru, dan layak direnungkan sebagai sarana untuk
menjamin agar sebanyak mungkin warganegara ikut
serta dalam pemilu, yang kemungkinan akan
KOMPONEN PERANCANGAN
75
meningkatkan legitimasi lembaga perwakilan dan
sistem politik.
Di antara negara-negara demokrasi yang telah berdiri
lama, yang mewajibkan warganegaranya ikut dalam
pemilu adalah Australia, Belgia, dan Luxemburg.
Negara lain yang sudah sangat mapan demokrasinya
� Belanda pada tahun 1970 dan Austria baru-baru
ini � mencabut persyaratan hukum tersebut setelah
memberlakukannya selama beberapa dasawarsa.
Pemungutan suara wajib juga dilakukan di Amerika
Latin. Contohnya meliputi Argentina, Brazil, Costa
Rica, dan Ekuador. Di beberapa negara, pemungutan
suara sudah diwajibkan atas kehendak pemerintah-
pemerintah sub-nasional, atau hanya diterapkan
pada jenis pemilu tertentu.
Meskipun tingkat kehadiran pemilih yang tinggi juga
dapat ditemukan dalam pemungutan suara sukarela,
hampir tidak ada keraguan bahwa undang-undang
pemungutan suara wajib sangat efektif untuk
meningkatkan partisipasi di negara-negara yang
memiliki undang-undang tersebut. Hal itu dapat
disimpulkan dari perbedaan kehadiran pemilih
dalam sebuah perbandingan antar-negara; lebih jelas
lagi, terdapat bukti naik-turunnya kehadiran pemilih,
tergantung apakah undang-undang pemungutan
suara wajib diterapkan atau tidak dalam sistem
negara yang menggunakan opsi tersebut.
Hampir tidak mungkin membuat generalisasi
mengenai persentase berapa orang yang akan
mengikuti pemilu dengan mewajibkan warganegara
ikut dalam pemilu. Kenaikan kehadiran tergantung
pada dua faktor: berapa banyak non-pemilih yang
dapat dimobilisir � bagaimana kehadiran terlihat
dalam kondisi status-quo � dan efektifitas undang-
undang, yang akan dipengaruhi seberapa jauh
undang-undang tersebut ditaati dan/atau seberapa
kuat undang-undang tersebut dipaksakan.
Tentu saja perolehan tertinggi dapat direalisasikan
sedangkan partisipasi pemilih sangatlah rendah.
Dalam situasi dimana tingkat kehadiran pemilih
sudah tinggi karena alasan-alasan lain (misalnya,
karena kondisi partisan yang kuat dan perebutan
yang sangat kompetitif, atau karena norma sosial
yang telah mengakar), setiap perolehan suara karena
paksaan tersebut, dilain pihak, hanya akan
berpengaruh sedikit saja.
Mengenai tingkat kerelaan diantara para pemilih
yang keras kepala dan alasan-alasannya, buktinya
masih kurang tegas. Di sejumlah negara, efektivitas
undang-undang pemungutan suara wajib jelas tidak
bergantung pada undang-undang tersebut yang
secara aktif dipaksakan dan tidak bergantung juga
pada hukuman yang dijatuhkan. Hal tersebut akan
menunjukkan bahwa undang-undang pada
hakekatnya melahirkan kerelaan; mungkin karena
undang-undang tersebut membantu menguatkan
sebuah norma sosial pemungutan suara yang
dijalankan oleh masyarakat secara informal tanpa
memerlukan tindakan pemerintah. Meskipun
demikian, hal tersebut tidak bisa diterima begitu
saja sebagai kepatuhan terhadap undang-undang �
dan demikian juga terhadap kerelaan � mungkin
berbeda-beda antar negara yang satu dengan yang
KOMPONEN PERANCANGAN
76
lain. Penetapan undang-undang pemungutan suara
wajib tidak akan begitu saja menjamin tingginya
tingkat kehadiran pemilih. Undang-undang
semacam itu mungkin juga harus diberi kemampuan
memaksa.
Jika tidak ada kondisi yang memungkinkan undang-
undang untuk membentuk sikap berdasarkan
wewenang normatifnya, keberhasilan pemungutan
suara wajib mungkin bergantung pada cara
penerapan undang-undang tersebut. Secara alami,
hal tersebut memerlukan tingkat kapasitas
administratif minimum tertentu di pihak negara, dan
juga akan memerlukan biaya, meskipun seluruh atau
sebagian biaya mungkin ditutup lewat denda-denda.
Negara-negara yang menjalankan undang-undang
pemungutan suara wajib biasanya secara khusus
akan menarik denda. Beberapa akan menerapkan
tindakan yang akan membuat mereka yang tidak
memilih merasa malu, atau bahkan diberi hukuman
untuk tidak mendapatkan pelayanan pemerintah
atau keuntungan yang lain.
Meskipun nampaknya ada dukungan filosofis dan
praktis yang kuat, yang muncul dalam keinginan
untuk menerapkan pemungutan suara wajib,
terdapat penolakan yang berarti terhadap
pemungutan suara wajib tersebut secara prinsipiil
dan dalam pelaksanaannya. Penolakan terhadap
dasar normatif yang paling umum ialah bahwa warga
negara seharusnya mempunyai hak untuk TIDAK
menggunakan hak pilih sebagaimana pula hak untuk
memilih. Beberapa warga negara memboikot pemilu
dengan dasar bahwa pemungutan suara wajib telah
melanggar kebebasan dasar, sedangkan rasa apatis
membuat mereka tidak mau memilih. Yang kedua,
argumen dari Australia menyatakan bahwa
pemungutan suara wajib akan membuat partai-partai
politik bebas dari tanggungjawab mereka untuk
berkampanye, memberi semangat, dan memotivasi
para pemilih. Keadaan semacam ini akan lebih
menguntungkan partai-partai besar dibandingkan
dengan partai-partai kecil dan caleg independen
karena partai-partai tersebut mempunyai pendukung
yang nampaknya lebih termotivasi. Pemilihan wajib
juga berpengaruh pada biaya yang besar dan
implikasi administrasi bagi negara. Ada masalah
mengenai ketepatan daftar pemilih, informasi
pemilih, dan mekanisme untuk menindaklanjuti
sistem denda atau hukuman bagi yang tidak memilih.
Hal-hal yang Harus Dipertimbangkan oleh
Perancang Sistem Pemilu
Pertanyaan pertama dan yang paling nyata adalah
apakah rendahnya kehadiran pemilih menjadi
masalah, atau mungkin akan menjadi masalah. Jika
tidak, kasus pemungutan suara wajib akan menjadi
lemah, meskipun kadang-kadang diperdebatkan
bahwa suatu kewajiban memilih yang secara hukum
telah berurat-akar merupakan bagian dari nilai
simbolis dan mungkin bisa memperkuat norma
sosial pemungutan suara. Jadi, menjaga tingginya
kehadiran pemilih, bahkan ketika kondisi yang
mendorong tingginya kehadiran tersebut � sebelum
diberlakukannya pemungutan suara wajib �
melemah atau sama sekali menghilang.
KOMPONEN PERANCANGAN
77
Kedua, jika pemungutan suara wajib telah disetujui,
ada persoalan perancangan yang lebih spesifik:
haruskah ketentuan mengenai pemberian suara
diwujudkan dalam konstitusi atau undang-undang?
Haruskah pemungutan suara hanya dinyatakan
sebagai suatu �tugas warga negara� (seperti dalam
konstitusi Italia), atau diberlakukan sebagai suatu
kewajiban warga negara yang telah disetujui, seperti
di Australia? Seandainya ada, sanksi apa yang harus
diberikan, dan harus diterapkan dalam kondisi yang
bagaimana? Dalam banyak yurisdiksi, sanksi yang
terdapat dalam undang-undang sebenarnya tidak, atau
hanya jarang-jarang, diterapkan. Alasan-alasan legal
apakah (misalnya sakit, kendala fisik, ketidakhadiran
karena perjalanan) yang harus dimaafkan? Haruskah
kelompok-kelompok masyarakat tertentu � orang yang
buta huruf, orang lanjut usia � dibebaskan dari
kewajiban tersebut? Demikian juga ada pertimbangan
administratif dan finansial: dapatkah orang yang tidak
memilih diidentifikasi dan dijadikan sasaran
penegakan hukum secara efisien dan efektif? Jika
didenda, apakah kebanyakan pelanggar mampu
membayar? Haruskah sanksi alternatif diberikan
sebagai pengganti denda? Jika ya, format apa yang
harus dipakai? Dapatkah sistem pelaksanaannya
dengan pembiayaan sendiri, dengan mengembalikan
biayanya?
Ketiga, sebelum pemungutan suara wajib mulai
diterapkan, keberatan-keberatan normatif maupun
politik harus dibicarakan secara efektif. �Hak abstain�
sering ditegaskan di Amerika Serikat, dan dapat
diterangkan berkenaan dengan individualistiknya
dan kebudayaan politik yang berfokus pada hak-hak,
tapi yang menentangnya juga tidak sedikit.
Perlawanan ideologi mungkin juga ada di negara
yang tadinya komunis, yang telah mewarisi
pemaksaan partisipasi massa dalam kegiatan-
kegiatan negara.
Bagaimanapun juga, pada akhirnya semua
pemerintah mengandalkan pemaksaan untuk
mendukung kebijakan-kebijakan yang secara sosial
sangat diperlukan dan untuk menjamin ketaatan
orang pada hukum. Bahkan yang lebih penting lagi,
banyak keberatan-keberatan yang pemerintah
terapkan dan yang diterima masyarakat sebagaimana
adanya, seperti pajak, wajib militer, dan bahkan wajib
belajar, yang ternyata lebih berat, lebih banyak
menyita waktu, dan lebih mengganggu, daripada
kedatangan warga negara secara berkala ke TPS.
Karena pemilu dianggap penting, rasa tidak nyaman
yang sepenuhnya bersifat pribadi nampaknya harus
dikalahkan demi kepentingan sosial yang harus
ditegakkan. Juga perlu dicatat bahwa dengan
administrasi pemilu dan metode pemungutan suara
yang konvensional, bagaimanapun juga warga negara
sesungguhnya tidak dapat dipaksa untuk memilih,
karena ditakutkan pilihan mereka bisa
disalahgunakan. Satu-satunya yang bisa dipaksakan
oleh negara terhadap warga-negaranya adalah
kehadiran, yang mengarah ke pendapat beberapa
akademisi bahwa kita berbicara tentang �kehadiran
wajib� daripada �pemungutan suara wajib.� Undang-
undang Belanda berlaku secara tertulis sedemikian
rupa hanya untuk mewajibkan kehadiran.
Keberatan-keberatan mungkin juga digerakkan oleh
KOMPONEN PERANCANGAN
78
pertimbangan-pertimbangan untung rugi partisan.
Studi perbandingan di sejumlah negara telah
menunjukkan kecondongan kelas-kelas dalam hal
partisipasi pemilu. Jika undang-undang pemungutan
suara wajib berhasil menaikkan kehadiran pemilih,
partai-partai kiri/oposisi mungkin secara tidak
proporsional tetap akan beruntung. Partai-partai yang
mendapatkan dukungan dari segmen-segmen pemilu
yang secara sosial dan ekonomi menguntungkan,
sebaliknya, mungkin menderita kekalahan dalam
pembagian suara. Tidak mengejutkan bahwa soal
semacam itu juga secara jelas muncul dalam
perdebatan akhir-akhir ini tentang apakah akan
melanjutkan pemungutan suara wajib di negara-
negara yang memberlakukannya, terutama di Belgia
dan Australia.
Ada argumen pragmatis untuk pemungutan suara
wajib yang mungkin menarik partai-partai politik,
khususnya dalam situasi dimana sistem partai belum
dikonsolidasi. Ketika negara merasa bertanggung-
jawab untuk menghadirkan pemilih di tempat
pemungutan suara (TPS), partai-partai dan para
kandidat dapat memfokuskan diri untuk
mempromosikan program-program mereka dan
dalam mempengaruhi para pemilih yang pilihannya
belum mantap, daripada menghamburkan energi
mereka dalam menarik pemilih untuk datang. Hal
tersebut merupakan alasan mengapa pengenalan
pemungutan suara wajib di Australia pada awal abad
ini agak tidak kontroversial. Sosialisasi biaya, dan
keuntungan yang diberikan untuk partai-partai
politik membuat proposalnya secara politik menjadi
lebih cocok, yakni mempermudah diterimanya
sistem tersebut, bahkan mungkin dengan konsensus.
Paling tidak, selama salah satu partai tidak
mempunyai keuntungan mobilisasional yang jelas
di bawah rezim pemungutan suara sukarela, yang
akan dinetralisir oleh pemungutan suara wajib.
Akhirnya, ada catatan mengenai efek-efek
sampingnya. Harus dicatat bahwa pemungutan suara
wajib mungkin sekali akan meningkatkan persentase
surat suara yang tidak sah dikarenakan kerusakan yang
disengaja dan surat suara yang dibiarkan kosong,
sebagai bentuk protes. Akan tetapi, hal tersebut bukan
merupakan argumen yang persuasif untuk menolak
pemungutan suara wajib, dikarenakan dua alasan.
Pertama, bukti-bukti menunjukkan bahwa naiknya
kehadiran pemilih melampaui naiknya jumlah surat
suara yang tidak sah, jadi ada keuntungan yang
diperoleh dalam hal partisipasi. Kedua, bahkan surat
suara yang tidak sah pun dapat memiliki fungsi yang
berguna. Tentu saja, di bawah rezim yang menganut
pemungutan suara wajib, pencoblosan surat suara
yang tidak sah mungkin menjadi suatu alternatif yang
membawa pesan politik (tidak-satupun-dari-pilihan-
diatas, seperti yang terjadi sebelumnya). Jelas-jelas
lebih mudah untuk menginterpretasikan, yang
membutuhkan tindakan positif, dibandingkan dengan
ketidakhadiran yang merupakan suatu kegagalan
dalam berpartisipasi. Lebih lanjut lagi, mereka yang
tidak menggunakan surat suara dengan baik akan tetap
menjadi peserta yang berada dalam sistem tersebut,
yang menggunakan surat suara sebagai sarana untuk
mengkomunikasikan ketidak-senangan. Meskipun
tidak memilih bisa dengan mudah dikategorikan
sebagai tanda kepuasan diri atau sikap yang apatis,
KOMPONEN PERANCANGAN
79
peningkatan persentase surat suara yang tidak sah di
bawah rezim pemungutan suara wajib dapat berfungsi
sebagai indikator bahwa kekhawatiran dari segmen
publik yang sedang tumbuh tidak diperhatikan oleh
para politisi.
u Ketentuan-Ketentuan tentangKaum MinoritasOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Kursi-kursi Khusus
Kursi-kursi khusus merupakan satu cara untuk
meyakinkan keterwakilan kelompok minoritas
tertentu dalam parlemen. Kursi parlemen dikhusus-
kan untuk minoritas agama atau etnis yang dapat
diidentifikasi di negara-negara dengan berbagai
keanekaragaman seperti di:
� Yordania (Kristen dan Circassian),
� India (suku-suku dan kasta-kasta asli),
� Pakistan (minoritas non-Islam),
� Selandia Baru (Maori),
� Kolombia (�komunitas kulit hitam� dan
penduduk asli),
� Kroasia (minoritas Hungaria, Italia, Ceko,
Slovakia, Ruthenia, Ukraina, Jerman, dan
Austria),
� Slovenia (minoritas Hungaria dan Italia),
� Taiwan (komunitas penduduk asli),
� Samoa Barat (minoritas non-pribumi),
� Nigeria (Taurag), dan Otoritas Palestina
(Kristen dan Samaria).
Perwakilan-perwakilan dari kursi-kursi khusus
tersebut biasanya dipilih dengan cara yang kurang
lebih sama dengan pemilihan anggota parlemen yang
lain, tapi kadang-kadang dipilih hanya oleh anggota
komunitas minoritas khusus seperti yang telah diatur
dalam undang-undang pemilu. Meskipun seringkali
dianggap sebagai kebaikan normatif untuk mewakili
kepentingan komunitas kecil, ada yang berpendapat
bahwa strategi yang lebih baik adalah merancang
struktur, yang secara alami dapat mengembangkan
parlemen representatif, daripada melalui kewajiban
hukum. Kursi-kursi kuota dapat mengembangkan
kebencian populasi mayoritas dan menimbulkan
ketidakpercayaan di antara berbagai macam
kelompok budaya.
Sebagai ganti kursi-kursi khusus formal, daerah-
daerah bisa diberi perwakilan lebih dari yang
seharusnya untuk memberikan kemudahan kepada
perwakilan kelompok minoritas yang telah
berkembang. Contohnya yang terjadi di Inggris,
dimana Skotlandia dan Wales mempunyai kelebihan
anggota legislatif di Majelis Rendah (House of
Commons) Inggris dibandingkan yang seharusnya
menjadi hak mereka jika hanya besarnya populasi
yang dijadikan kriteria. Kasus yang sama terjadi di
daerah pegunungan Nepal. Kemungkinan lain adalah
sistem �best loser� (kalah terbaik) yang dipakai di
Mauritius, lihat Mauritius, dimana beberapa caleg
yang kalah yang mempunyai perolehan suara
tertinggi, yang berasal dari kelompok etnis tertentu
diberi jatah kursi-kursi parlemen untuk me-
nyeimbangkan perwakilan etnis secara keseluruhan.
Batasan-batasan wilayah pemilihan juga dapat
KOMPONEN PERANCANGAN
80
dimanipulasi untuk tujuan tersebut. Undang-Undang
Hak Memilih di Amerika Serikat pada masa lampau
mengijinkan pemerintah memetakan distrik-distrik
bagus dan aneh dengan satu-satunya tujuan untuk
menciptakan distrik mayoritas Kulit Hitam,
Amerika Latin, atau Asia-Amerika; hal ini dapat
disebut �affirmative gerrymandering� (kesempatan
curang kepada suatu partai politik). Meskipun
demikian, manipulasi sistem pemilu apapun untuk
melindungi perwakilan minoritas jarang bersifat
kontroversial, lihat Amerika Serikat: Minoritas Etnis
dan Distrik Wakil Tunggal.
Perwakilan Komunal
Sejumlah kelompok etnis yang heterogen memilih
konsep kursi khusus untuk pengembangan logisnya.
Kursi tidak hanya dibagi dalam sebuah basis
komunal, tetapi keseluruhan sistem perwakilan
parlemen juga berdasar pada pertimbangan komunal.
Hal tersebut biasanya berarti bahwa setiap komunitas
yang telah ditetapkan memiliki daftar pemilu
mereka sendiri, dan hanya memilih �kelompoknya
sendiri� untuk ditempatkan di Parlemen. Akan
tetapi, dalam beberapa kasus, seperti Fiji tahun
1970-1987, pemilih tidak hanya memilih caleg dari
komunitas mereka saja tapi juga beberapa caleg
�nasional� lainnya.
Hampir semua pengaturan daftar-komunal tidak
dipakai lagi setelah jelas bahwa para pemilih
komunal, meskipun menjamin keterwakilan
kelompok, sering mendapati efek yang bertentangan
yang merusak jalur akomodasi di antara kelompok
yang berbeda-beda, karena tidak adanya insentif
untuk penggabungan politis di antara komunitas-
komunitas. Persoalan mengenai bagaimana
mendefinisikan anggota kelompok tertentu, dan
bagaimana membagi pemilih secara adil, juga penuh
dengan kesulitan. Misalnya, di India, pemilih terpisah,
yang telah ada di bawah peraturan kolonial � untuk
Muslim, Kristen, Sikh dan lainnya � dihapuskan pada
saat kemerdekaan, meskipun beberapa kursi khusus
tetap ada untuk mewakili suku-suku dan kasta-kasta
asli. Sistem daftar-komunal sejenis yang digunakan
dalam waktu yang berbeda-beda di Pakistan, Cyprus,
dan Zimbabwe juga telah dihilangkan. Tanpa
memperhatikan sejarah kontroversialnya, Fiji tetap
memilih parlemennya dari daftar komunal terpisah
untuk suku asli Fiji, Indian, dan pemilih �umum.�
Salah satu contoh utama dari sebuah sistem daftar-
komunal yang tersisa di antara negara-negara
demokrasi jaman sekarang ini adalah daftar terpisah
fakultatif bagi pemilih Maori di Selandia Baru, lihat
Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi
�Westminster� Berpindah ke Sistem RP. Pemilih
Maori dapat memilih berada dalam daftar pemilu
nasional atau daftar Maori khusus, yang memilih
lima anggota legislatif Maori di Parlemen. Akan
tetapi, bisa dikatakan bahwa hasil pemilu RP pertama
di Selandia Baru tahun 1996 telah melemahkan dasar
pemikiran sistem komunal: dua kali lebih banyak
anggota legislatif Maori dipilih dari daftar umum
dibandingkan dari daftar Maori khusus. Fiji juga
beralih dari sistem daftar komunal ke kompetisi
pemilu yang lebih terbuka untuk mendukung
perkembangan sistem politik multi-etnis.
KOMPONEN PERANCANGAN
81
u Mekanisme Khusus untuk Kaum WanitaOleh: Andrew Reynolds
Ada beberapa cara untuk meyakinkan bahwa
perempuan terwakili dalam parlemen. Pertama, ada
kuota-kuota menurut undang-undang dimana
perempuan harus memperoleh paling sedikit suatu
proporsi minimum dari perwakilan yang dipilih. Hal
ini terjadi pada beberapa kasus, seperti: Italia, dimana
perempuan harus memperoleh 50% dari surat suara
Representasi Proporsional (RP), Argentina (30%), dan
Brazil (20%). Hal tersebut juga telah diusulkan untuk
Majelis Rendah India (Lok Sabha). Kuota-kuota
semacam itu biasanya dirasakan sebagai mekanisme
transisional untuk menempatkan dasar bagi
penerimaan yang lebih luas atas perwakilan
perempuan.
Kedua, undang-undang pemilu dapat mewajibkan
partai-partai untuk mengisi sejumlah caleg
perempuan; ini merupakan kasus dalam sistem RP
di Belgia dan Namibia, sementara di Argentina ada
ketentuan ekstra bahwa perempuan harus
ditempatkan di posisi yang �dapat menang� dan tidak
di urutan terakhir daftar partai. Di Nepal, 5% caleg
distrik wakil tunggal harus perempuan.
Ketiga, partai-partai politik mungkin memakai kuota
informal mereka sendiri untuk perempuan sebagai
caleg parlemen. Ini merupakan mekanisme paling
umum yang digunakan untuk mempromosikan
perempuan dalam kehidupan politik, dan telah
digunakan dengan tingkat kesuksesan yang
bermacam-macam di seluruh dunia; oleh ANC di
Afrika Selatan, PJ dan UCR di Argentina, CONDEPA
di Bolivia, PRD di Meksiko, partai-partai buruh di
Australia dan Inggris, dan di seluruh Skandinavia.
Digunakannya daftar caleg perempuan saja oleh
Partai Buruh pada saat Pemilu Inggris tahun 1997
hampir melipatgandakan jumlah anggota legislatif
perempuan, dari 60 menjadi 119.
Kursi-kursi khusus juga telah disisihkan untuk
perempuan di Taiwan dan negara-negara lain. Sekali
lagi, sebagaimana dengan semua kursi khusus
tersebut, mekanisme-mekanisme ini membantu
menjamin perempuan untuk terpilih, tapi beberapa
perempuan membantah bahwa kuota-kuota akhirnya
menjadi sebuah jalan untuk menenangkan, dan pada
akhirnya menyuruh perempuan berhenti berperan-
serta. Terpilih sebagai seorang anggota legislatif tidak
berarti diberi wewenang membuat-keputusan
substantif, dan di beberapa negara, anggota parlemen
perempuan, khususnya yang dipilih dari kursi
khusus atau istemewa, tidak diberi tanggungjawab
membuat-keputusan yang sesungguhnya. Lihat
Persyaratan Caleg (ACE Project\Legislative
Framework).
KOMPONEN PERANCANGAN
82
Oleh: Andrew ReynoldsSISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
Karakteristik yang paling menonjol dari sistem
mayoritas-pluralitas adalah bahwa sistem tersebut
hampir selalu menerapkan distrik wakil tunggal.
Dalam sistem FPTP, kadang kala disebut sistem
distrik wakil tunggal pluralitas. Disini pemenangnya
adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak,
tetapi tidak harus memperoleh suara mayoritas
absolut (lihat First Past the Post). Bila sistem ini
digunakan dalam sistem distrik wakil majemuk,
sistem ini menjadi Sistem Block Vote (lihat Block
Vote). Para pemilih memiliki suara sebanyak kursi
yang akan diisi, dan caleg yang mendapatkan suara-
suara terbanyak akan mendapatkan kursi, dengan
tidak mengindahkan persentase suara yang
sebenarnya mereka peroleh. Sistem-sistem
mayoritas, seperti dalam Sistem Alternative Vote (AV)
Australia (lihat Alternative Vote) dan Sistem Dua
Putaran (TRS) model Perancis (lihat Sistem Dua
Putaran), mencoba untuk memastikan bahwa caleg
yang menang adalah yang memperoleh suara
mayoritas absolut (yaitu lebih dari limapuluh
persen). Setiap sistem tersebut, pada dasarnya,
menggunakan pilihan kedua pemilih agar dapat
menghasilkan pemenang mayoritas, jika ia tidak
dapat dihasilkan dalam putaran pertama pemilihan.
First Past The Post (FPTP)Oleh: Andrew Reynolds
Sampai saat ini, sistem First Past the Post (FPTP)
dipakai di Inggris Raya dan di negara-negara yang
secara historis dipengaruhi oleh Inggris. Disamping
Inggris Raya, sistem ini juga dipakai di Kanada, India,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Meskipun
demikian, Selandia Baru mengubah sistemnya
menjadi sistem MMP (Mixed Member Proportional)
dari kelompok sistem Representasi Proporsional
pada tahun 1993 (lihat Selandia Baru: Sebuah Negara
Demokrasi �Westminster� Berpindah ke Sistem RP).
FPTP juga digunakan di beberapa negara Karibia;
digunakan oleh Belize dan negara yang sebelumnya
disebut Guyana di Amerika Latin; oleh sepuluh
negara Asia (termasuk Pakistan, Bangladesh, Nepal
dan Malaysia); dan oleh banyak negara-negara
kepulauan kecil di Pasifik Selatan. Delapan belas
negara Afrika, kebanyakan bekas koloni Inggris,
menggunakan sistem FPTP. Jadi secara keseluruhan,
diantara 212 negara dan wilayah terkait (lihat
Distribusi Sistem Pemilu di Dunia), enampuluh
delapan � hanya sedikit dibawah sepertiga �
menggunakan sistem FPTP.
Dalam sistem FPTP, caleg yang menang adalah yang
mendapatkan suara terbanyak. Secara teoritis,
seorang caleg dapat dipilih dengan dua suara saja,
jika caleg-caleg yang lain hanya mendapatkan satu
suara. Perubahan terhadap sistem ini menghasilkan
sistem Block Vote, TRS, atau Single Non-Transferable
Vote (SNTV), dan sistem ini akan dibicarakan lebih
rinci dalam Block Vote, Two-Round System, dan Single
Non-Transferable Vote (SNTV). Meskipun demikian,
sebuah varian lain yang dapat juga digolongkan
sebagai FPTP digunakan di Nepal pada awal tahun
1990-an. Ini dilakukan karena rendahnya tingkat
kemampuan baca tulis di kebanyakan daerah
83
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
pemilihan, para caleg berkompetisi di bawah simbol
partai, bukan secara individual. Para pemilih memi-
lih partai, bukan memilih caleg. Caleg, bila mau,
dapat bertarung di lebih dari satu distrik. Seorang
caleg yang terpilih untuk mengisi dua kursi atau lebih
harus memilih distrik mana yang akan mereka
wakili. Pemilihan ulang di beberapa daerah dilaku-
kan untuk mengisi kursi-kursi yang masih kosong.
Lihat studi-studi kasus berikut ini: Inggris: Percobaan
Sistem Pemilu di Tempat Kelahiran FPTP, Sistem
Pemilu Kanada: Sebuah Studi Kasus, India - FPTP
dalam Garis Besar dan Papua Nugini.
u First Past the Post � Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
First Past the Post (FPTP), seperti sistem pemilu
mayoritas-pluralitas yang lain, dipertahankan
pertama-tama karena kesederhanaannya dan
kecenderungannya menghasilkan caleg yang terkait
dengan wilayah geografis tertentu. Berikut ini adalah
segi-segi positif FPTP yang sering disebut-sebut:
� Sistem ini memberikan opsi yang tegas bagi
pemilih antara dua partai besar. Kekurangan
alamiah yang dihadapi oleh partai-partai
ketiga dan minoritas pada sistem FPTP
dalam banyak hal membuat sistem kepartai-
an bergerak kepada adanya sebuah partai
�kiri� dan sebuah partai �kanan.� Dan kedua
partai tersebut bergantian dalam
memerintah. Partai-partai ketiga kadang kala
tersingkir, dan hampir tidak pernah
mencapai batas dukungan rakyat, dimana
suara nasional mencapai persentase kursi
parlemen yang relatif sama banyaknya
dengan partai-partai lain.
� Sistem ini akan memunculkan pemerin-
tahan partai tunggal. �Bonus kursi� untuk
partai-partai besar yang berlaku dibawah
sistem FPTP (yaitu, misalnya, dimana
sebuah partai memenangkan 45% suara
nasional tetapi mendapatkan 55% kursi
parlemen) berarti bahwa pemerintahan
koalisi akan jarang terjadi. Keadaan ini
merupakan segi positif karena menyebabkan
kabinet terlepas dari keharusan bernegosiasi
dengan partner koalisi partai-partai kecil.
� Sistem ini akan memunculkan oposisi di
parlemen yang seimbang. Secara teoritis, sisi
lain dari pemerintahan satu partai yang kuat
adalah bahwa oposisi juga memperoleh kursi
yang cukup untuk melaksanakan fungsi
kontrol yang kritis, dan dapat membawakan
dirinya sebagai calon pengganti yang riil bagi
pemerintahan saat itu.
� Sistem ini memberikan keuntungan bagi
partai-partai politik �terbuka.� Dalam
masyarakat yang secara etnis dan
kewilayahan terbagi begitu tajam, FPTP
dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat
mendorong �tempat penampungan,� yang
mencakup banyak unsur di masyarakat,
84
terutama bila hanya ada dua partai besar dan
ada banyak sekali kelompok sosial yang
berbeda-beda. Partai-partai ini kemudian
dapat mencalonkan susunan caleg yang
bermacam ragam untuk pemilu. Misalnya,
dalam sistem FPTP di Malaysia, koalisi yang
memerintah merupakan gerakan �terbuka,�
dan mencalonkan caleg etnis Cina di daerah
yang didominasi orang Melayu dan
sebaliknya.
� Sistem ini akan menyingkirkan partai
ekstrim dari perwakilan di parlemen. Kecuali
partai kelompok kecil ekstrim tersebut
terkonsentrasi secara geografis, kecil sekali
kemungkinannya partai tersebut akan
memperoleh kursi di parlemen dalam sistem
FPTP. Ini sangat berlawanan dengan situasi
dimana sistem Representasi Proporsional
(RP) murni, dimana satu persen suara
nasional dapat memberikan wakil di
parlemen.
� Sistem ini akan mempertahankan hubungan
antara konstituen dengan para wakilnya di
parlemen. Barangkali segi positif yang paling
sering disebut dari sistem FPTP ini adalah
bahwa sistem ini akan memunculkan
parlemen yang lebih berdasarkan unsur
wilayahnya: anggota parlemen mewakili
daerah tertentu di kota besar, kota kecil dan
wilayah-wilayah lainnya daripada hanya
mewakili simbol partainya. Banyak
pendukung FPTP ini berpendapat bahwa
akuntabilitas perwakilan yang sebenarnya
bergantung pada pemilih di suatu daerah
yang mengetahui siapa wakil mereka, dan
yang memiliki kemampuan untuk memilih
atau tidak memilih lagi, pada saat pemilu.
Beberapa analis berpendapat bahwa
�akuntabilitas geografis� ini sangat penting
di masyarakat agraris dan negara-negara
berkembang (lihat Memastikan Akuntabilitas
Pemerintah dan Wakil Rakyat).
� Sistem ini memungkinkan para pemilih
untuk memilih orang daripada sekedar
partai. Pada saat yang sama, para pemilih
dapat menilai kinerja masing-masing caleg,
bukan sekedar menerima daftar caleg yang
diajukan oleh sebuah partai, seperti yang
terjadi dalam sistem pemilu berdasarkan
Representasi Proporsional Daftar.
� Sistem ini memberikan kesempatan kepada
caleg independen yang disukai rakyat untuk
dapat terpilih. Ini terutama penting dalam
sistem kepartaian yang sedang tumbuh,
dimana kehidupan politik bergerak di
seputar keluarga besar, klan, atau hubungan
keluarga, dan tidak berdasarkan organisasi
partai politik yang kuat.
� Akhirnya, sistem FPTP secara khusus
diminati karena kesederhanaannya dan
sangat mudah dimengerti. Suara yang sah
hanya memerlukan sebuah tanda
disamping nama atau simbol seorang caleg,
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
85
dan jumlah caleg di kertas suara biasanya
sedikit, dengan demikian akan
mempermudah penghi-tungan suara oleh
para petugas pemilu.
u First Past the Post � Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
Semua sistem mayoritas-pluralitas, dimana First
Past the Post (FPTP) menjadi sistem yang paling
banyak disalahkan, dikritik karena alasan-alasan
dibawah ini:
Mengesampingkan Partai-Partai Kecil dari
Perwakilan yang �Adil�
Disini kami memakai kata �adil� yang berarti bahwa
sebuah partai yang memenangkan sekitar 10 persen
suara seharusnya memenangkan kurang lebih sepuluh
persen kursi parlemen. Dalam pemilu di Inggris tahun
1983, Aliansi Partai Sosial Demokratik-Partai Liberal
memenangkan duapuluh lima persen suara, tetapi
hanya memperoleh tiga persen kursi parlemen. Dalam
pemilu tahun 1981 di Selandia Baru, Partai Kredit
Sosial memenangkan duapuluh satu persen suara,
tetapi hanya memperoleh dua persen kursi. Pada
pemilu tahun 1989 di Botswana, Front Nasional
Botswana memenangkan 27 persen suara, tetapi
hanya memperoleh sembilan persen kursi. Kejadian
seperti ini sering terulang dalam sistem FPTP (lihat
Inggris: Percobaan Sistem Pemilu di Tempat Kelahiran
FPTP dan Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi
�Westminster� Berpindah ke Sistem RP).
Mengesampingkan Minoritas dari
Perwakilan yang Adil
Yang lazim terjadi dalam sistem FPTP, partai-partai
politik memasang caleg yang paling dapat diterima
secara luas di daerah tersebut agar sebagian besar
pemilih tidak apriori dengan caleg tersebut. Dengan
demikian, di AS atau Inggris sangat jarang terjadi
seorang caleg kulit hitam dicalonkan oleh sebuah
partai besar di daerah yang mayoritas penduduknya
adalah orang kulit putih. Ada bukti yang kuat bahwa
minoritas etnis dan ras sangat kecil kemungkinannya
memperoleh perwakilan dalam parlemen yang
dipilih dengan cara FPTP. Akibatnya, apabila
perilaku dalam memilih seperti itu benar-benar
berkaitan erat dengan pembagian etnis, dan
perwakilan minoritas yang tidak tertampung dalam
parlemen, akhirnya akan menjadi faktor yang dapat
menjadikan sistem politik tidak stabil secara
keseluruhan. (lihat AS: Minoritas Etnis dan Distrik
Wakil Tunggal).
Mengesampingkan Wanita dari Parlemen
Sindrom �caleg yang paling banyak diterima� juga
mempengaruhi kemampuan wanita untuk
memperoleh kursi parlemen, karena seringkali
kemungkinan mereka dipilih menjadi caleg sangat
kecil dalam struktur partai yang didominasi oleh laki-
laki. Di seluruh dunia, bukti menunjukkan bahwa
kemungkinan wanita untuk terpilih dalam sistem
mayoritas-pluralitas lebih kecil dibandingkan dalam
sistem representasi proporsional. Studi tahunan Uni
Parlemen Dunia (IPU) mengenai �Wanita di
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
86
Parlemen� pada tahun 1995 mendapati bahwa wanita
rata-rata mengisi sebelas persen kursi parlemen
negara-negara demokrasi mapan yang menggunakan
sistem FPTP, tetapi angka tersebut menjadi dua kali
lipat, yakni duapuluh satu persen, di negara-negara
yang menggunakan sistem representasi proporsional.
Kejadian seperti ini juga terlihat di negara-negara
demokrasi baru, terutama di Afrika.
Mendorong Tumbuhnya Partai-Partai Etnis
Dalam beberapa situasi, FPTP dapat mendorong
partai-partai mendasarkan kampanye dan platform
kebijakannya pada konsep klan, etnis, ras, atau
kedaerahan yang mengandung permusuhan. Dalam
pemilu multi partai Malawi pada tahun 1994, sebuah
sejarah penjajahan kolonial, kegiatan misionaris, dan
�Chewa-isasi� budaya nasionalnya oleh Hastings
Banda secara bersama-sama menumbuhkan benih-
benih konflik regional yang berkaitan erat dengan, dan
sekaligus �bersilangan� dengan perbatasan etnis yang
sudah ada sebelumnya. Orang yang tinggal di daerah
Selatan memilih Front Demokratis Bersatu pimpinan
Bakili Muluzi, yang di daerah Tengah memilih Partai
Kongres Malawi pimpinan Hastings Banda, dan yang
di sebelah Utara memilih Aliansi Demokrasi pimpinan
Chakufwa Chichana. Tidak ada insentif bagi partai-
partai politik untuk beraksi di luar daerah asal
maupun di luar basis budaya politisnya.
Membesar-besarkan �Kekuatan Daerah�
Ini terjadi apabila sebuah partai memenangkan
semua kursi di sebuah propinsi atau distrik. Dalam
beberapa situasi, FPTP cenderung menciptakan
daerah dimana suatu partai memenangkan semua,
atau hampir semua, kursi parlemen melalui
perolehan suara mayoritas di daerah tersebut. Hal
ini akan meminggirkan minoritas di daerah tersebut
dari perwakilan dan memperkuat persepsi bahwa
politik adalah medan perang yang menjelaskan siapa
anda dan dimana anda tinggal, daripada apa yang
anda yakini. Ini sudah lama menjadi argumentasi
penolakan di Kanada terhadap sistem FPTP (lihat
Sistem Pemilu Kanada: Sebuah Studi Kasus).
Menyebabkan Banyak Suara Terbuang
Suara yang tidak memberikan kontribusi pada
terpilihnya salah satu caleg sering disebut �suara
terbuang.� Hubungannya dengan �kekuatan daerah�
di atas adalah banyaknya suara yang terbuang, di
saat pendukung partai-partai kecil mulai merasa
bahwa mereka tidak mempunyai harapan untuk
dapat memilih caleg yang mereka inginkan. Ini,
secara khusus, berbahaya bagi negara-negara
demokrasi baru, dimana ketidaksukaannya terhadap
sistem politik akan meningkatkan kemungkinan para
ekstrimis memobilisasi gerakan anti sistem tersebut.
Tidak Tanggap terhadap Perubahan yang Terjadi
dalam Opini Masyarakat
Sebuah pola dukungan yang tergantung pada suatu
wilayah tertentu dalam pemilu sebuah negara berarti
bahwa partai tersebut dapat tetap mempertahankan
kontrol eksekutif eksklusif meskipun dukungan
masyarakat menurun secara drastis. Di beberapa
negara demokratis yang menganut sistem FPTP,
turunnya enampuluh persen menjadi empatpuluh
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
87
persen dukungan suara terhadap partai populer
secara nasional, dapat mencerminkan turunnya
delapanpuluh persen menjadi enampuluh persen
perolehan kursi, yang sama sekali tidak mempe-
ngaruhi posisinya yang dominan. Kecuali perubahan
kursi parlemen sangat kompetitif, sistemnya dapat
tidak peka terhadap perubahan dalam opini publik.
Rawan terhadap Manipulasi dalam Pembagian
Wilayah Pemilihan
Setiap sistem dengan distrik wakil tunggal sangat
rawan terhadap manipulasi pembagian wilayah,
misalnya seperti gerrymandering (pembagian daerah
pemilihan yang tidak adil - lihat Indeks Pemetaan
Distrik Pemilihan). Ini nampak sangat jelas pada
pemilu Kenya pada tahun 1993 ketika perbedaan
ukuran wilayah pemilihan yang sangat besar �
daerah pemilihan yang paling besar memiliki 23 kali
jumlah pemilih daerah pemilihan yang terkecil �
memberikan kemenangan mayoritas bagi Partai
Persatuan Nasional Afrika Kenya (KANU) yang
memerintah. Partai tersebut memenangkan
mayoritas kursi parlemen dengan hanya
memperoleh dukungan tigapuluh persen suara.
Block Vote (BV)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Blok Vote sebenarnya adalah penggunaan FPTP (lihat
First Past the Post) dalam distrik wakil majemuk. Para
pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak
kursi yang akan diisi, dan biasanya mereka bebas
memilih caleg tanpa mempertimbangkan afiliasi
partainya. Dalam sistem BV, para pemilih dapat
menggunakan sebanyak mungkin, atau sesedikit
mungkin, pilihan yang mereka maui. Sejak bulan
September 1997, Otoritas Palestina, Bermuda, Fiji,
Laos, and Virgin Island Amerika, Muangthai,
Maldivia, Kuwait, Filipina, dan Mauritius, semua
menggunakan sistem pemilu BV. Sistem ini juga
dipakai di Yordania pada tahun 1989. (lihat Yordania
� Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab) dan di
Mongolia pada tahun 1992, tetapi kemudian diubah
karena tidak puas dengan hasilnya. Sejumlah kursi
di Majelis Rendah Inggris, dan khususnya kursi-kursi
untuk Universitas, dipilih melalui cara BV sampai
tahun 1945.
Party Block Vote (PB)
Untuk pemilihan sejumlah anggota parlemen (untuk
semua di Djibouti dan Lebanon, dan untuk keba-
nyakan kursi di Singapura, Tunisia, dan Senegal),
lima negara tersebut menggunakan sebuah sistem
pemilu antara sistem FPTP dan BV yang disebutkan
di atas. Kami menamai sistem tersebut Party Block
Vote (PB). Seperti dalam sistem FPTP, para pemilih
biasanya memilih satu suara, tetapi tidak persis
seperti sistem FPTP, ada distrik wakil majemuk dan
para pemilih memilih partai, bukan caleg. Partai yang
memenangkan sebagian besar suara akan mengambil
semua kursi di distrik tersebut, dan semua yang
terdaftar sebagai caleg di sana benar-benar dipilih.
Seperti dalam sistem FPTP, tidak ada keharusan
untuk memenangkan suara mayoritas suara.
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
88
Di beberapa negara, PB digunakan untuk menjaga
keseimbangan perwakilan etnis, karena sistem ini
memungkinkan partai-partai politik mengajukan
caleg dengan latar belakang etnis yang berbeda-
beda untuk pemilu. Di Lebanon, misalnya, setiap
daftar caleg yang diajukan partai politiknya harus
terdiri dari campuran caleg yang terdiri dari
berbagai macam etnis. Di Singapura, ada berbagai
macam distrik wakil tunggal dan wakil majemuk.
Meskipun Anggota Parlemen untuk kursi wakil
tunggal dipilih berdasarkan sistem FPTP,
kebanyakan anggota parlemen dipilih berdasarkan
distrik wakil majemuk, yang dikenal sebagai
Daerah-daerah Pemilihan Perwakilan Kelompok
(Group Representation Constituencies), dimana
masing-masing menghasilkan antara tiga sampai
enam anggota terpilih dari setiap daftar partai atau
daftar caleg. Dari calon-calon yang diajukan
berdasarkan daftar partai atau caleg, sekurang-
kurangnya harus ada calon dari etnis Malaysia,
India, atau beberapa komunitas minoritas yang
lain. Para pemilih memilih diantara beberapa
daftar caleg ini dengan memberikan satu suara
saja. Meskipun setiap pemilih hanya dapat
memilih satu kali, di kebanyakan daerah
pemilihan suatu partai dapat mendapatkan
seluruh kursi. Singapura juga menggunakan kursi
�best loser� bagi caleg oposisi dalam beberapa
kesempatan � seperti yang terjadi di Ekuador,
dimana, jika sebuah partai yang ada di urutan
kedua memenangkan setengah jumlah suara yang
dimenangkan partai di urutan pertama, partai
tersebut akan diberi satu kursi. (lihat: Ekuador:
Mencari Perwakilan yang Efisien).
u Block Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
BV sering dianggap sebagai hal yang positif karena
dapat mempertahankan peluang para pemilih untuk
dapat memilih caleg secara individual, dan sekaligus
memungkinkan mencakup wilayah yang secara
geografis cukup luas. BV dapat juga menekankan
pentingnya peran partai-partai politik dan memper-
kuat partai-partai yang menunjukkan kepaduan dan
kemampuan organisasinya.
Keuntungan dari Party Block Vote adalah:
� Mudah penggunaannya,
� Mendorong tumbuhnya partai-partai yang
kuat,
� Memberikan kesempatan kepada partai-
partai politik untuk memasang campuran
caleg sehingga minoritas dapat terwakili.
u Block Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
Dengan sistem BV, pada saat pemilih memberikan
suaranya untuk caleg-caleg dari sebuah partai, yang
pada umumnya terjadi, sistem tersebut cenderung
memperburuk kekurangan sistem FPTP, terutama
segi disproporsionalitasnya. Di Mauritius pada tahun
1982 dan 1995, misalnya, partai yang semula oposisi
memenangkan seluruh kursi di parlemen dengan
hanya mengantungi masing-masing 64 dan 65 persen
suara pada masing-masing pemilu tersebut. Hal ini
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
89
mengakibatkan kesulitan yang sangat besar untuk
berfungsinya sistem parlementer yang efektif
berdasarkan konsep pemerintah-oposisi.
Filipina sekarang sedang berpindah dari sistem BV
ke sistem Proportional Representation karena alasan-
alasan yang serupa.
Kekurangan yang paling kritis dari PB adalah
munculnya hasil �super mayoritas,� yaitu dimana
sebuah partai dapat memenangkan semua kursi
dengan suara mayoritas sederhana. Misalnya, dalam
pemilu Singapura pada tahun 1991, enampuluh satu
persen suara untuk partai berkuasa Partai Aksi Rakyat
memberikan sembilanpuluh lima persen kursi
parlemen.
Alternative Vote (AV)Oleh: Ben Reilly
Alternative Vote merupakan sistem pemilu yang agak
asing, yang saat ini hanya digunakan di Australia, dan,
di Nauru dengan sedikit modifikasi. Baru-baru ini
sistem tersebut tidak lagi dianggap sebagai alternatif
dari sistem FPTP di Kerajaan Inggris. AV digunakan
untuk pemilu di Papua Nugini antara tahun 1964
sampai 1975 (lihat Papua Nugini), dan dalam tahun
1996 direkomendasikan sebagai sistem pemilu yang
baru di Fiji. Dengan demikian ini merupakan contoh
difusi wilayah yang baik dari sistem pemilu yang
telah dibicarakan sebelumnya: kebanyakan
penggunaan AV masa lalu, saat ini, dan mungkin
masa depan, semuanya dilakukan di wilayah Oceania.
Seperti Pemilu yang memakai sistem FPTP, pemilu
yang menggunakan sistem AV biasanya diadakan di
distrik wakil tunggal. Meskipun demikian, AV
memberikan opsi yang lebih besar kepada pemilih
daripada FPTP pada saat mereka menandai kartu
suara. Lebih daripada sekedar menunjukkan caleg
mana yang mereka pilih, dalam sistem AV para
pemilih dapat mengurutkan caleg sesuai dengan
pilihan mereka, dengan memberi tanda �1� untuk
caleg yang paling disukai, �2� untuk yang
dibawahnya, �3� yang lebih rendah lagi, dst. Sistem
tersebut memungkinkan para pemilih mengurutkan
caleg mana yang mereka sukai, lebih daripada
sekedar memilih caleg pilihan pertamanya. Alasan
ini yang menyebabkan sistem ini disebut Preferential
Voting (Pemilihan berdasarkan Preferensi) di negara-
negara yang menggunakannya.
AV juga berbeda dengan FPTP dalam cara
penghitungan suaranya. Seperti dalam sistem FPTP
dan Sistem Dua Putaran, seorang caleg yang sudah
memenangkan mayoritas absolut suara (limapuluh
persen tambah satu) otomatis terpilih. Meskipun
demikian, apabila tidak ada caleg yang memperoleh
suara mayoritas absolut, dalam sistem AV caleg
dengan suara terendah preferensi pertamanya akan
�dicoret� dari daftar, dan kartu suara mereka akan
dilihat lagi untuk preferensi kedua. Kemudian suara
preferensi kedua tersebut diberikan kepada caleg
yang tersisa berdasarkan tanda yang tertera pada
kertas suara. Langkah ini diulangi sampai seorang
caleg memperoleh suara mayoritas absolut, dan
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
90
kemudian dinyatakan sebagai pemenang. Karena
alasan ini, AV biasanya digolongkan dalam sebuah
sistem mayoritas, karena seorang caleg memerlukan
mayoritas absolut, dan bukan sekedar pluralitas, dari
seluruh suara yang diberikan untuk mendapatkan
sebuah kursi.
Lihat studi-studi kasus Australia Alternative Vote di
Australia, Sri Lanka Sri Lanka: Perubahan untuk
Mengakomodasi Perbedaan, dan Papua Nugini.
Lihat Segi Positif dan Segi Negatif.
u Alternative Vote�Segi PositifOleh: Ben Reilly
Salah satu keuntungan dari pemindahan suara adalah
bahwa pemindahan ini memungkinkan beberapa
caleg yang masih sehaluan dapat dikumpulkan
menjadi satu, dan dengan demikian kepentingan yang
berbeda namun masih terkait dapat dijadikan satu
untuk memenangkan kursi. Alternative Vote juga
memungkinkan para pendukung caleg yang hampir
tidak mempunyai harapan terpilih untuk
mempengaruhi caleg yang kemungkinan besar
terpilih, dengan menggunakan suara preferensinya
yang kedua dan seterusnya. Karena alasan ini, kadang-
kadang dikatakan bahwa AV merupakan sistem
pemilu yang terbaik bagi masyarakat yang sangat
terpecah, karena sistem ini dapat memaksa caleg
untuk tidak hanya mencari suara dari para
pendukungnya sendiri, tetapi juga dari �preferensi
kedua� caleg lain (lihat: Papua Nugini).
Untuk dapat menarik preferensi semacam itu, para
caleg harus membuat himbauan terbuka dan tidak
ekstrim kepada semua pihak, dan tidak hanya
terfokus kepada masalah sektarian yang sempit dan
sikap-sikap ekstrim. Pengalaman penggunaan AV di
lingkungan sosial relatif stabil seperti Australia juga
telah menunjukkan dukungan atas argumentasi
tersebut. Misalnya, sebelum pemilu, partai-partai
besar pada umumnya mencoba untuk mengadakan
perjanjian dengan partai-partai kecil guna
mendapatkan preferensi kedua para pendukung
partai-partai kecil tersebut� sebuah proses yang
dikenal sebagai �preference swapping� (tukar-
menukar preferensi). Lebih jauh lagi, karena
persyaratan dukungan mayoritas, AV lebih
menjamin adanya semacam persetujuan yang
diberikan kepada anggota terpilih, dan dengan
demikian menaikkan tingkat legitimasi mereka.
u Alternative Vote�Segi NegatifOleh: Ben Reilly
Alternative Vote mempunyai beberapa kelemahan:
� Sistem ini memerlukan tingkat baca tulis dan
pengetahuan angka yang agak tinggi agar
dapat berfungsi secara efektif, dan karena
sistem ini menggunakan distrik wakil
tunggal, sistem ini akan membuahkan hasil
yang disproporsional kalau dibandingkan
dengan sistem PR.
� Diragukan apakah AV dapat mendorong
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
91
tingkah laku yang akomodatif dalam
masyarakat yang sangat terpecah, dimana
kelompok etnis terkonsentrasi dalam
wilayah geografis tertentu. Sudah terbukti
bahwa AV tidak dapat berfungsi dengan baik
pada saat diterapkan dalam distrik yang lebih
besar dan distrik wakil majemuk.
Namun demikian, Nauru menggunakan versi AV
yang sudah dimodifikasi, kebanyakan di distrik
dengan dua wakil. Dalam sistem Nauru, tidak ada
penghapusan, dan preferensi dihitung hanya sebagai
�suara pecahan�; suara pertama nilainya sama
dengan satu, preferensi kedua setengah, dan
preferensi ketiga bernilai sepertiga, dst. Jika tidak ada
seorang caleg yang memperoleh mayoritas absolut
atas preferensi pertama, preferensi dari tingkatan
yang lebih rendah akan dihitung dan total yang
paling tinggi memenangkan kursi.
Two Round System (TRS)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Bentuk terakhir sistem mayoritas-pluralitas yang
digunakan bagi pemilihan anggota parlemen adalah
Two Round System (TRS), atau Sistem Dua Putaran
dalam Bahasa Indonesia, yang juga dikenal sebagai
sistem run-off atau double ballot. Nama-nama
tersebut menunjukkan inti dari sistem tersebut: yaitu
bukan sekali pemilihan saja, tetapi harus dua
putaran, jarak antar keduanya bisa seminggu atau
dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan sama
seperti pemilihan model FPTP. Jika seorang caleg
mendapatkan suara mayoritas absolut, maka mereka
secara langsung dipilih, dan tidak diperlukan putaran
kedua. Tetapi, jika tidak ada caleg yang mendapatkan
mayoritas absolut, maka putaran kedua
dilaksanakan, dan pemenang dari putaran ini
dinyatakan terpilih.
Pelaksanaan rinci bagaimana putaran kedua ini
dilaksanakan berbeda dari satu negara ke negara lain.
Metode yang paling umum, seperti yang digunakan
di Ukraina, adalah pemilihan putaran kedua yang
disebut kontes �run-off� langsung antara dua
pemenang suara tertinggi di putaran pertama; ini
disebut sistem mayoritas-runoff (lihat: Ukraina:
Bahaya Sistem Mayoritas di Sebuah Negara
Demokrasi Baru). Ini menghasilkan suara yang sangat
mayoritas, dimana salah satu dari caleg tersebut
harus benar-benar mendapatkan suara mayoritas
absolut dan dinyatakan sebagai pemenang. Varian
tatacara ini digunakan dalam pemilihan anggota
legislatif di Perancis, negara yang paling sering
diasosiasikan dengan TRS. Untuk model pemilihan
seperti ini, setiap caleg yang memperoleh suara lebih
dari 12.5% dari pemilih terdaftar dapat maju untuk
putaran kedua. Siapa saja yang memenangkan
jumlah suara tertinggi di putaran kedua kemudian
dinyatakan terpilih sebagai caleg, tanpa melihat
apakah mereka memenangkan mayoritas absolut
atau tidak. Tidak seperti mayoritas run-off langsung,
sistemnya tidak murni mayoritarian, karena akan ada
lima atau enam calon yang bertarung di putaran
kedua pemilu. Dengan demikian, kami menyebutnya
sebagai varian mayoritas-pluralitas dari TRS.
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
92
TRS digunakan untuk memilih lebih dari tigapuluh
parlemen nasional dan bahkan lebih banyak lagi
dipakai sebagai cara untuk memilih presiden. Sama
seperti Perancis, banyak negara merdeka yang
menggunakan TRS adalah negara bawahan Perancis,
atau negara yang dalam derajat tertentu secara
historis pernah dipengaruhi oleh Perancis. Di Afrika
Sub-Sahara yang penduduknya berbicara bahasa
Perancis, Republik Afrika Tengah, Mali, Togo, Chad,
Gabon, Mauritania, dan Kongo, dan di Afrika Utara,
Mesir menggunakan sistem tersebut. Kuba, Haiti,
Iran, Kiribati dan Kepulauan Komoro juga
menggunakan TRS untuk pemilihan anggota
parlemennya. Demikian juga negara-negara bekas
blok Soviet seperti Belarus, Kyrgyzstan, Macedonia,
Moldova, Tajikistan, Ukraina, dan Uzbezkistan.
Tidak mengherankan bahwa di Eropa Barat, Monaco
menggunakan sistem yang sama dengan Perancis.
Albania dan Lithuania memakai sistem TRS bersama
dengan sistem Representasi Proporsional Daftar
sebagai bagian dari sistem Paralel mereka. Sementara
itu Hongaria menggunakan TRS untuk menentukan
hasil komponen pemilihan distrik mayoritarian dari
sistem Representasi Proporsional MMP (Mixed
Member Proportional).
u Two Round System-Segi PositifOleh: Ben Reilly
Pertama dan paling utama, TRS memungkinkan
pemilih mengubah pilihannya atas caleg yang
sudah dipilihnya dan bahkan mengubah
pikirannya mengenai urutan pilihan di putaran
pertama dan kedua. Jadi sistem ini mempunyai
kesamaan dengan sistem preferensial seperti AV
(lihat Alternative Vote), dimana pemilih diminta
untuk mengurutkan caleg, dan pada saat yang
sama memungkinkan pemilih untuk membuat
pilihan baru di putaran kedua jika mereka
menghendakinya. Kedua, sistem ini
memungkinkan kepentingan yang berbeda untuk
bergabung mendukung caleg yang mendapat
suara banyak di putaran pertama sebelum
putaran kedua dimulai. Dengan demikian sistem
ini mendorong terjadinya tawar-menawar dan
kesepakatan antar partai-partai politik dan caleg.
TRS juga memungkinkan partai-partai dan para
pemilih untuk merespon perubahan dalam peta
politik yang terjadi diantara pemungutan suara
putaran pertama dan kedua. Lebih lanjut, sistem
TRS mengurangi masalah �pecahnya suara,�
situasi yang sering terjadi dalam sistem FPTP,
dimana partai-partai yang mirip satu sama
lainnya �berbagi� suara, dan dengan demikian
memungkinkan caleg yang kurang populer
memenangkan kursi. Akhirnya, karena para
pemilih tidak harus mengurutkan caleg dengan
nomor guna menyatakan pilihan mereka yang
kedua, TRS lebih baik digunakan untuk negara-
negara dengan tingkat buta huruf yang tinggi,
dibandingkan dengan sistem yang menggunakan
penomoran preferensi seperti dalam AV dan
Single Transferable Vote (lihat Single
Transferable Vote).
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
93
u Two Round System-Segi NegatifOleh: Ben Reilly
Mungkin cukup mengherankan bahwa TRS
merupakan sistem ketiga terpopuler diantara 211
negara yang dianalisa dalam buku petunjuk ini.
Sistem ini memberikan beban berat bagi para
pelaksana pemilu karena harus diadakannya pemilu
putaran kedua segera sesudah putaran pertama. Ini
tentu saja akan meningkatkan biaya untuk
keseluruhan proses pemilu dan waktu antara putaran
pertama dan kedua dan pengumuman hasil dapat
menciptakan instabilitas dan ketidakpastian.
TRS juga memberikan beban tambahan bagi para
pemilih, dan kadang kala jumlah pemilih yang
memilih turun secara drastis antara putaran pertama
dan putaran kedua. Lebih lagi, TRS juga mempunyai
banyak kelemahan yang sama dengan sistem FPTP,
yaitu sedikit agak rumit. Riset menunjukkan bahwa
TRS di Perancis membuahkan hasil yang paling
disproporsional di antara demokrasi Barat.
Lihat studi kasus Mali: Sistem Dua Putaran di Afrika.
SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS
94
Oleh: Andrew Reynolds
Sistem semi proporsional merupakan sistem yang
mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang
berada di antara proporsionalitas sistem Perwakilan
Proporsional dengan mayoritarian dari sistem
mayoritas-pluralitas.
Tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang
digunakan untuk pemilihan para anggota legislatif
adalah Single Non-Transferable Vote (SNTV), sistem
Paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV).
Sistem SNTV
Dalam sistem SNTV, setiap pemilih memilih satu
suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi
dalam distrik tersebut, dan caleg yang memperoleh
suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut. Ini
berarti di sebuah distrik yang akan memilih empat
caleg, misalnya, seorang caleg hanya memerlukan
sedikit di atas duapuluh persen suara agar dapat
terpilih. Ini memungkinkan terpilihnya caleg dari
partai minoritas, dan meningkatkan proporsionalitas
parlemen (lihat SNTV).
Sistem Paralel
Sistem Paralel menggunakan baik daftar-daftar
Representasi Proporsional maupun distrik-distrik
mayoritas-pluralitas (lihat Paralel). Meskipun
demikian, berbeda dengan sistem MMP (lihat Single
Transferable Vote), di bawah sistem Paralel,
Representasi Proporsional Daftar tidak memberikan
imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam
distrik mayoritarian. Sistem Paralel telah digunakan
secara luas di negara-negara demokrasi baru di Afrika
dan bekas wilayah Soviet (lihat Distribusi Sistem
Pemilu di Dunia).
Sistem LV
Sistem LV terletak antara SNTV dan Block Vote,
karena dalam sistem ini ada distrik wakil majemuk,
dan para caleg yang menang semata-mata adalah
mereka yang mengumpulkan paling banyak suara.
Para pemilih dapat memberikan suara yang
jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang
harus diisi, tetapi lebih dari satu suara (lihat Limited
Vote).
Lihat studi kasus di Jepang, Jepang � Reformasi
Pemilu, Rusia, Rusia � Sistem Paralel yang Terus
Berkembang dan Yordania, Yordania � Desain Sistem
Pemilu di Dunia Arab.
ParalelOleh: Andrew Reynolds
Sistem Paralel (atau campuran) menggunakan baik
Representasi Proporsional (RP) Daftar dan distrik
�pemenang mengambil semuanya.� Meskipun
demikian, berbeda dengan sistem MMP (lihat Single
Transferable Vote), Representasi Proporsional Daftar
tidak memberikan kompensasi untuk setiap
disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian.
Sistem Paralel saat ini digunakan di duapuluh negara,
SISTEM SEMI PROPORSIONAL
95
dan merupakan desain sistem pemilu pada tahun
1990-an � mungkin karena sistem ini nampaknya
menggabungkan keuntungan Representasi
Proporsional Daftar dengan perwakilan distrik wakil
tunggal. Kamerun, Kroasia, Guatemala, Guinea,
Jepang, Korea Selatan, Nigeria, Rusia, Kepulauan
Seychelles, dan Somalia menggunakan FPTP distrik
wakil tunggal bersamaan dengan komponen
Representasi Proporsional Daftar, sementara Albania,
Armenia, Azerbaijan, Georgia, dan Lithuania
menggunakan TRS untuk komponen distrik wakil
tunggal dalam sistem mereka. Andorra menggunakan
Block Vote untuk memilih setengah dari jumlah
anggota parlemennya, sedangkan Tunisia dan
Senegal menggunakan Party Block untuk memilih
sebagian dari anggota parlemen mereka. Taiwan agak
tidak umum dengan menggunakan sistem SNTV,
sebuah sistem Semi Proporsional, bersamaan dengan
komponen sistem RP.
Perimbangan antara jumlah kursi berdasarkan sistem
proporsional dan jumlah kursi berdasarkan sistem
mayoritas-pluralitas sangat jauh berbeda. Hanya di
Andorra dan Rusia, pembagiannya 50-50. Pada
ekstrim yang lain, delapanpuluh delapan persen dari
anggota parlemen Tunisia dipilih dengan Party Block,
dan hanya sembilan belas anggota berasal dari daftar-
daftar Representasi Proporsional. Pada sisi yang lain,
113 kursi anggota parlemen di Somalia dipilih secara
proporsional dan hanya sepuluh anggota dipilih
berdasarkan distrik FPTP. Meskipun demikian, Jepang
memilih enampuluh persen anggota parlemen mereka
dari distrik wakil tunggal dan sisanya dari perwakilan
daftar-daftar Representasi Proporsional.
Lihat studi kasus dalam Jepang � Reformasi Pemilu,
Rusia � Sistem Paralel yang Terus Berkembang dan
Ekuador: Mencari Perwakilan yang Efisien.
u Paralel-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
Kalau dihubungkan dengan �disproporsionalitas,�
hasil sistem Paralel sebenarnya berada di antara
mayoritas-pluralitas langsung dan sistem represen-
tasi proporsional, tetapi dalam banyak hal sistem
Paralel tersebut memberikan kepada pemilih baik
pilihan distrik maupun pilihan berdasarkan partai
secara nasional, karena sistem tersebut memerlukan
dua kertas suara.
Keuntungan kedua adalah bahwa, jikalau ada kursi
RP yang cukup, partai-partai kecil yang tidak
mendapatkan kursi melalui pemilihan mayoritas-
pluralitas masih dapat memperoleh kursi dalam
alokasi kursi berdasarkan sistem proporsional.
Terakhir, sistem campuran ini harus, dalam teorinya,
dapat mengurangi penggolongan sistem partai
menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sistem
pemilihan PR murni.
u Paralel-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
Salah satu kerugian sistem Paralel adalah adanya dua
jenis anggota parlemen:
SISTEM SEMI PROPORSIONAL
96
� Kelompok anggota parlemen mewakili
distrik yang harus bertanggungjawab kepada
pemilih setempat.
� Kelompok kedua yang terpilih dari daftar
partai, tanpa memiliki hubungan formal
dengan para pemilihnya, yang terutama
bertanggungjawab kepada para pimpinan
partainya.
Lebih jauh lagi, kenyataan bahwa sistem Paralel tidak
dapat menjamin proporsionalitas secara keseluruhan
berarti bahwa beberapa partai masih akan terhalang
masuk ke parlemen meskipun mereka memperoleh
suara yang signifikan. Sistem Paralel juga relatif
kompleks, dan dapat membingungkan para pemilih
dalam hal hakekat dan cara kerja sistemnya.
Limited Vote (LV)Oleh: Andrew Reynolds
Limited Vote merupakan salah satu dari sistem yang
paling jarang digunakan saat ini, tetapi masih tetap
disukai karena sistem ini memberikan jalan bagi
terpilihnya caleg yang kuat dari kaum minoritas dan
memungkinkan pemberian suara pribadi untuk caleg
secara individual. Pada dasarnya, LV adalah sistem
antara SNTV dan Block Vote, karena adanya distrik
wakil majemuk, dan caleg yang menang adalah
mereka yang memperoleh suara terbanyak. Para
pemilih memiliki suara yang jumlahnya lebih sedikit
daripada kursi yang harus diisi, tetapi tetap lebih
dari satu suara.
Pada prakteknya sistem ini hanya digunakan di
Gibraltar untuk pemilihan anggota majelis rendah,
di Spanyol untuk pemilihan majelis tinggi Cortes,
serta untuk pemilihan-pemilihan pemerintah
daerah, terutama di Amerika Serikat. Yang paling
sering terjadi sistem LV memberikan kepada pemilih
satu suara lebih sedikit daripada kursi yang harus
diisi, seperti yang terjadi di Spanyol, dan juga di
Inggris antara tahun 1867 dan 1885.
u Limited Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
Dalam pemakaiannya di Spanyol dan Inggris, Limited
Vote mempunyai ciri-ciri yang sama dengan Block
Vote, tetapi sementara ahli berpendapat bahwa
karena sistem ini memberikan peluang lebih besar
perwakilan minoritas, sistem tersebut harus
digolongkan sebagai sistem semi proporsional.
Sebenarnya, LV lebih mirip Block Vote (lihat Block
Vote) dimana kaum minoritas diberi kesempatan
yang sedikit lebih banyak untuk dapat memperoleh
kursi di parlemen.
u Limited Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
LV masih mempunyai tingkat disproporsionalitas
yang cukup besar. Pemerintah mayoritas masih dapat
terpilih berdasarkan pendapatan suara yang sedikit,
SISTEM SEMI PROPORSIONAL
97
dan partai-partai kecil dapat terlempar dari
parlemen. Pada tahun 1982 Partai Sosialis Spanyol
memenangkan empatpuluh tujuh persen dari
keseluruhan suara tetapi memperoleh enampuluh
lima persen kursi. Sementara Union of the
Democratic Center memenangkan tujuh persen
suara, tetapi hanya mendapatkan 0,5% kursi.
Single Non-Transferable Vote (SNTV)Oleh: Andrew Reynolds
Dalam sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV),
setiap pemilih mempunyai satu suara, tetapi ada
lebih dari satu kursi yang harus diisi dalam setiap
distrik. Para caleg yang mendapatkan jumlah suara
tertinggi akan mengisi posisi ini. Dengan demikian,
sebagai contoh dalam distrik yang ada empat kursi,
seorang caleg hanya memerlukan sedikit diatas 20
persen agar dapat memperoleh salah satu kursi.
Sebaliknya, sebuah partai yang besar yang menda-
patkan tujuhpuluh lima persen suara yang terbagi
rata antara tiga calegnya nampaknya akan dapat
memperoleh tiga dari empat kursi tersebut. Sejak
tahun 1997, SNTV dipakai untuk pemilihan anggota
parlemen di Yordania, (lihat: Yordania � Desain
Sistem Pemilu di Dunia Arab) dan Vanuatu, dan
untuk 125 orang dari 161 kursi yang ada bagi anggo-
ta Parlemen di Taiwan. Meskipun demikian, ini
model yang paling populer untuk pemilihan anggota
majelis rendah Jepang dari tahun 1948 � 1993.
u Single Non-Transferable Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
Perbedaaan yang paling penting antara Single Non-
Transferable Vote (SNTV) dan sistem-sistem
mayoritas-pluralitas yang telah dibahas
sebelumnya adalah bahwa SNTV lebih baik dalam
memberikan peluang terwakilinya partai-partai
kecil. Semakin besar ukuran distrik (jumlah kursi
dalam konstituen tersebut), sistemnya akan
menjadi semakin proporsional. Di Yordania, SNTV
memungkinkan terpilihnya sejumlah caleg pro
monarki yang bukan berasal dari partai. Ini dapat
dipandang sebagai sebuah keuntungan dalam
sistem partai yang masih belum berkembang.
Tetapi pada saat yang sama, sistem ini mendorong
partai-partai politik untuk terorganisir dengan
sangat baik, dan meminta para pemilihnya untuk
memberikan suaranya kepada caleg-caleg dengan
cara yang dapat memaksimalkan potensi
pemenangan kursi parlemen.
Meskipun SNTV memberikan pilihan kepada para
pemilih untuk memilih caleg yang terdapat dalam
daftar partai, sistem ini lebih kurang memecah partai-
partai dibandingkan dengan sistem RP murni. Lebih
dari 45 tahun pengalaman SNTV, Jepang masih
menunjukkan sebuah sistem �satu partai dominan�
yang kokoh. Terakhir, sistem ini dipandang mudah
digunakan dan mudah pula cara menghitung
hasilnya.
SISTEM SEMI PROPORSIONAL
98
u Single Non-Transferable Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
Sisi negatif dari Single Non-Transferable Vote (SNTV),
sebagai suatu sistem semi RP, masih tidak dapat
menjamin bahwa hasil parlemen secara keseluruhan
akan proporsional. Partai-partai kecil yang katakanlah
mendapat dukungan sekitar sepu-luh persen suara,
yang suaranya begitu terpencar, mungkin tidak akan
bisa mendapatkan satu kursi-pun, dan partai-partai
yang besar dapat menerima �bonus kursi� yang
signifikan, yang dapat mendo-rong pluralitas
nasional ke arah mayoritas absolut di parlemen. Pada
tahun 1980, Demokrat Liberal Jepang memenangkan
limapuluh lima persen suara dengan hanya
memperoleh empatpuluh delapan persen suara (lihat
Jepang � Reformasi Pemilu).
Proporsionalitas sistem dapat dinaikkan dengan
menaikkan secara terus-menerus jumlah kursi yang
harus diisi dalam distrik wakil majemuk, tetapi hal
ini dapat melemahkan hubungan antara pemilih dan
anggota dewan, suatu hal begitu dijunjung tinggi oleh
mereka yang mendukung adanya distrik-distrik
geografis. Distrik wakil majemuk untuk sembilan
kursi di Yordania dan tujuh kursi di Vanuatu
merupakan daerah pemilihan SNTV paling besar
yang masih dapat ditangani.
Karena SNTV memberikan kepada para pemilih
satu suara saja, sistem ini hampir tidak memberikan
ruang bagi partai-partai politik untuk mendapatkan
dukungan spektrum luas pemilih dengan suatu cara
yang dapat diterima oleh semua pihak. Sejauh
mereka mempunyai suara inti yang cukup baik,
mereka dapat memenangkan kursi tanpa
memerlukan dukungan dari �pihak luar.� Tambahan
lagi, fakta bahwa banyaknya caleg dari partai yang
sama saling bertarung untuk memperoleh suara
berarti bahwa fragmentasi dan ketidakharmonisan
dalam tubuh partai menjadi lebih hebat. Dan ini
juga memungkinkan diperberatnya politik �klien,�
dimana para politikus memberikan suap pemilu
yang tidak begitu kentara kepada sekelompok
pemilih.
Akhirnya, SNTV mengharuskan partai-partai politik
untuk mempertimbangkan strategi yang kompleks
dalam pencalonan caleg dan manajemen suara.
Mencalonkan terlalu banyak caleg sama tidak
produktifnya dengan mencalonkan terlalu sedikit
caleg. Disini juga penting sekali bagi sebuah partai
politik untuk mendisiplinkan pendukungnya agar
suara mereka dibagi secara seimbang antara para
caleg partai.
SISTEM SEMI PROPORSIONAL
99
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL Oleh: Andrew Reynolds
Dasar pemikiran yang mendasari semua sistem
representasi proporsional adalah untuk dengan
sengaja mengurangi kesenjangan antara perolehan
suara partai secara nasional dengan perolehan
kursinya di parlemen. Jika sebuah partai besar
memenangkan empatpuluh persen suara, partai
tersebut seharusnya memenangkan empatpuluh
persen kursi di parlemen, dan sebuah partai kecil
yang memenangkan suara sebesar sepuluh persen
seharusnya juga memperoleh kursi parlemen sebesar
sepuluh persen. Penggunaan daftar partai juga
membantu dicapainya proporsionalitas, dimana
partai-partai politik menyajikan nama-nama caleg
dalam suatu daftar secara nasional atau daerah
kepada calon pemilih (lihat RP Daftar). Meskipun
demikian, hal ini dapat pula didapatkan bila
komponen proporsional dari sebuah sistem MMP
memberikan perimbangan pada setiap
disproporsionalitas yang muncul dari hasil distrik
mayoritarian (lihat Mixed Member Proportional).
Tetapi pemilihan secara preferensial juga bekerja
sama baiknya: Single Transferable Vote, dimana para
pemilih memberikan angka urut kepada para caleg
dalam distrik wakil majemuk merupakan sistem
proporsional lain yang mapan (lihat Single
Transferable Vote).
Sistem RP lazim dipilih oleh negara-negara
demokrasi baru. Lebih dari duapuluh negara
demokrasi yang sudah mapan, dan sedikit kurang
dari setengah dari negara-negara demokrasi yang
�bebas� menggunakan varian dari RP (Lihat
Distribusi Sistem Pemilu di Dunia). Sistem RP
dipakai banyak negara di Amerika Latin dan Eropa
Barat, dan mencakup sepertiga dari semua sistem
yang digunakan di Afrika. Meskipun seringkali kursi
dibagi dengan dasar distrik wakil majemuk regional,
di beberapa negara (misalnya: Jerman, Namibia,
Israel, Belanda, Denmark, Afrika Selatan, dan
Selandia Baru), pembagian kursi parlemen
ditentukan secara efektif oleh perolehan suara
nasional.
Rumusan yang dipergunakan untuk menghitung
alokasi kursi sesudah pemungutan suara dihitung
mempunyai efek marjinal pada hasil pemilu model
RP. Rumusannya dapat berupa �rata-rata tertinggi�
atau �sisa terbanyak� (lihat Bagaimana Mengkonversi
Suara Menjadi Kursi). Meskipun demikian, besarnya
distrik (lihat Ukuran Distrik) dan besarnya batas
representasi lebih penting daripada keseluruhan
hasil RP (lihat Batas Representasi). Semakin banyak
jumlah anggota parlemen yang dipilih dari sebuah
distrik, serta semakin kecil batas representasi yang
disyaratkan untuk parlemen tersebut, akan semakin
proporsional sistem pemilu tersebut dan semakin
besar kesempatan bagi partai-partai kecil untuk
mendapatkan kursi. Di Israel, batas representasinya
1,5%, sementara di Jerman 5%. Di Seychelles batas
representasi sepuluh persen diberlakukan untuk 23
kursi RP yang ada. Di Afrika Selatan pada tahun 1994,
tidak ada batas representasi resmi untuk parlemen,
dan Partai Demokratik Kristen Afrika memenangkan
dua kursi dari 400 kursi secara keseluruhan, dengan
hanya mengantongi 0,45% dari keseluruhan suara
nasional. Pertimbangan-pertimbangan lain yang
penting dalam memilih sistem pemilu adalah
penentuan batas-batas daerah pemilihan (lihat
100
Indeks Pemetaan Distrik Pemilihan); cara partai-
partai politik menentukan Daftar Caleg (lihat Daftar
Bebas, Terbuka, dan Tertutup); kompleksitas kertas
suara (misalnya: banyaknya pilihan yang tersedia
bagi pemilih � lihat Cara Pemungutan Suara);
pelaksanaan �pengumpulan suara� resmi dan tidak
resmi; dan ruang lingkup perjanjian antar partai,
seperti misalnya yang dimungkinkan oleh berbagai
sistem yang menggunakan apparentement (semacam
stembus accord) (lihat Apparentement).
Alokasi KursiOleh: Andrew Reynolds
Sebuah cara yang agak berbeda dari pembagian
sederhana di dalam Tinjauan Umum ketika
melihat berbagai pilihan dalam representasi
proporsional (RP) adalah membedakan sistem
dengan mengacu pada apakah mereka mau
memakai satu atau dua �jenjang� untuk membagi
kursi, dan apakah mereka memakai daftar terbuka,
tertutup atau bebas (panachage). Negara-negara
yang mengalokasikan dengan hanya memakai satu
jenjang dapat menggunakan daftar nasional,
seperti Namibia dan Belanda, atau seluruhnya
menggunakan daftar regional, seperti Finlandia
(lihat Finlandia: Pemilihan Caleg dan
Proporsionalitas Partai) dan Swiss (lihat Swiss).
Single Transferable Vote (STV) hampir selalu
dipakai sebagai sistem satu jenjang (seperti
misalnya di Irlandia � lihat Irlandia: Sistem STV
Model Irlandia).
Alokasi dua jenjang dapat menghasilkan baik daftar
nasional maupun regional (lihat Afrika Selatan:
Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik), daftar
regional hanya seperti misalnya di Denmark, sebuah
Daftar RP nasional dan komponen distrik wakil
tunggal seperti di Jerman (lihat Jerman: Sistem Mixed
Member Proportional yang Orisinil) dan Selandia
Baru (lihat Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi
�Westminster� Berpindah ke Sistem RP), atau daftar
regional dan komponen distrik wakil tunggal seperti
di Bolivia (lihat Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika
Latin). Malta menciptakan sistem dua jenjang dari
sistem STV-nya pada pertengahan tahun 1980
dengan menyediakan beberapa kursi ekstra sebagai
kompensasi yang diberikan kepada sebuah partai jika
partai tersebut memenangkan mayoritas suara tetapi
memperoleh kursi yang lebih sedikit dari lawan-
lawannya (lihat Malta: STV dengan Beberapa
Modifikasi).
Representasi Proporsional (RP) DaftarOleh: Andrew Reynolds
Kebanyakan dari tujuhpuluh lima sistem Rep-
resentasi Proporsional (RP) yang diidentifikasikan
dalam Distribusi Sistem Pemilu di Dunia
menggunakan bentuk RP Daftar atau variannya;
hanya sembilan contoh menggunakan metode MMP
atau Single Tranferable Vote (STV).
Dalam bentuknya yang paling sederhana, RP Daftar
meliputi kegiatan berikut: setiap partai yang
menyajikan daftar nama caleg kepada pemilih,
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
101
kemudian pemilih memilih suatu partai; dan partai
memperoleh suara sebanding dengan perolehan
suaranya secara nasional. Para caleg yang menang
diambil secara berurutan dari daftar tersebut.
u RP Daftar - Segi PositifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Dalam banyak hal, alasan yang paling kuat
dipakainya RP adalah kemampuan sistem tersebut
menghindarkan diri dari hasil sistem mayoritas-
pluralitas yang aneh, dan kemampuannya untuk
mempermudah tercapainya lembaga legislatif yang
lebih representatif (lihat Segi Negatif). Seperti yang
ditunjukkan sejumlah contoh di dalam buku
petunjuk ini, untuk banyak negara berkembang
terutama negara-negara yang mengalami perpecahan
sosial yang cukup buruk, masuknya kelompok-
kelompok yang punya pengaruh ke dalam parlemen
dapat menjadi kondisi yang hampir mutlak bagi
persatuan yang demokratis. Ketidakberhasilan dalam
memastikan bahwa baik minoritas maupun
mayoritas punya kepentingan dalam sistem politik
yang baru muncul ini dapat mempunyai pengaruh
yang merusak (lihat studi kasus Afrika Selatan, Afrika
Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik).
Sistem RP pada umumnya disukai karena alasan-
alasan berikut di bawah ini:
Benar-benar Mengkonversi Perolehan Suara
Menjadi Kursi Parlemen
Sistem RP menghindari hasil yang lebih tidak stabil
dan �tidak adil� yang dihasilkan oleh sistem pemilu
mayoritas-pluralitas. �Bonus kursi� untuk partai-parti
besar berkurang, dan partai-partai kecil dapat
memperoleh akses ke parlemen tanpa perlu
mendapatkan suara yang besar.
Sedikit Suara yang Terbuang
Pada saat batas representasi rendah, hampir semua
suara dalam sistem pemilu RP dipakai untuk
memilih kandidat yang menjadi pilihannya. Ini akan
meningkatkan persepsi pemilih bahwa ada gunanya
pergi ke TPS pada saat pemilu, karena mereka lebih
yakin bahwa suara mereka akan tetap berarti bagi
hasil pemilu, meskipun kecil.
Mempermudah Akses Partai-Partai Kecil untuk
Dapat menjadi Anggota Legislatif
Kecuali batas representasi tinggi, atau besarnya
distrik sangat kecil, setiap partai politik bahkan
dengan persentase suara yang begitu kecil dapat
memperoleh wakil di parlemen. Ini akan memenuhi
prinsip mengikutsertakan semua pihak (principle of
inclusion), yang sangat penting bagi stabilitas
masyarakat yang terpecah, dan memberikan
sumbangan bagi pengambilan keputusan di semua
negara demokratis.
Partai Politik Dapat Mengajukan Daftar Caleg dari
Latar Belakang yang Beragam
Keuntungan yang diperoleh dari sistem RP Daftar
adalah memaksimalkan suara nasional, tanpa
melihat dari mana suara tersebut berasal. Setiap
suara, bahkan dari daerah yang secara elektoral
lemah, dapat membantu memenuhi suatu kuota, dan
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
102
dengan demikian dapat membuahkan kursi.
Meskipun hal ini tidak boleh dibesar-besarkan,
pengalaman di Afrika Selatan menunjukkan bahwa
RP Daftar memberikan ruang politis yang
memungkinkan partai-partai politik memasang
daftar caleg yang multi-rasial, dan multi-etnik.
Mendorong Terpilihnya Wakil-Wakil
Kelompok Minoritas
Ketika perilaku pemilihan berkaitan erat dengan
pemisahan sosial dan kultural masyarakat,
sebagaimana sering terjadi, sistem pemilu RP Daftar
dapat membantu memastikan bahwa parlemen
mencakup perwakilan anggota baik dari kelompok
mayoritas maupun minoritas. Ini karena partai-partai
politik didorong oleh sistem tersebut untuk
menciptakan daftar caleg yang seimbang, yang
merangkul kepentingan berbagai macam pemilih.
Misalnya, Parlemen Afrika Selatan (National
Assembly) yang dipilih pada tahun 1994 limapuluh
dua persen anggotanya berkulit hitam (sebelas persen
Zulu, sedangkan lainnya dari Xhosa, Sotho, Venda,
Tswana, Pedi, Swazi, Shangaan, and Ndebele),
tigapuluh dua persen kulit putih (sepertiga Inggris,
dua pertiga Afrika), tujuh persen kulit berwarna dan
delapan persen India. Parlemen di Namibia hampir
sama ragamnya, dengan wakil-wakil dari Ovambo,
Damara, Herero, Nama, Baster, dan komunitas kulit
putih (mereka yang berbicara Bahasa Inggris dan
Jerman).
Lebih Memberikan Peluang bagi
Terpilihnya Wanita
Sistem pemilu RP ini lebih dirasakan bersahabat
kepada para wanita dibandingkan dengan jika yang
dipakai sistem mayoritas-pluralitas. Pada dasarnya,
partai-partai dapat menggunakan daftar untuk
mempromosikan majunya politisi wanita, dan
memberi ruang bagi para pemilih untuk memilih caleg
wanita tanpa harus mengesampingkan kepentingan
lainnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam
distrik wakil tunggal kebanyakan partai disarankan
untuk memasang caleg yang �dapat diterima secara
luas,� dan caleg semacam itu jarang sekali yang wanita.
Meskipun bukti yang menunjukkan bahwa hubungan
antara RP dan representasi wanita asalnya dari negara
Barat, ada bukti awal yang menunjukkan bahwa pola
serupa juga mulai diikuti di negara-negara demokrasi
baru, seperti di Afrika (Afrika Selatan, Mozambik),
dan di Amerika Tengah dan Selatan (Argentina, Brazil,
dan Costa Rica).
Membatasi Tumbuhnya �Kerajaan Daerah�
Karena sistem RP memberikan kesempatan kepada
partai-partai kecil dengan minoritas kursi, sistem ini
tidak akan mengarah kepada situasi dimana sebuah
partai akan mengambil semua kursi di sebuah
propinsi atau wilayah tertentu.
Mengarah kepada Pemerintahan
yang Lebih Efisien
Telah tercipta pandangan bahwa di negara-negara
demokrasi yang mapan, pemerintah yang terpilih
dengan sistem RP lebih efektif dibandingkan dengan
pemerintah yang terpilih lewat FPTP. Pengalaman
di negara-negara Barat menunjukkan bahwa sistem
parlementer RP mendapatkan angka yang lebih tinggi
dalam hal ketahanan pemerintah, partisipasi pemilih
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
103
dan kinerja ekonomi. Alasannya adalah bahwa
pergantian pemerintahan yang sering terjadi dalam
dua partai yang secara ideologis sama sekali berbeda,
seperti yang dapat terjadi dalam sistem FPTP,
membuat perencanaan ekonomi semakin sulit,
sementara pemerintah koalisi RP yang luas
membantu terbentuknya stabilitas dan konsistensi
dalam pembuatan keputusan, sehingga memungkin-
kan bagi pembangunan nasional.
Membuat Pembagian Kekuasaan
Lebih Nampak Jelas
Di banyak negara-negara demokrasi baru, pembagian
kekuasaan antara mayoritas jumlah besar penduduk
yang memegang kekuasaan politik dan minoritas kecil
yang memegang kekuasaan ekonomi merupakan
realitas yang tidak dapat terhindarkan. Ketika
mayoritas penduduk banyak mendominasi parlemen,
negosiasi antar blok kekuatan yang berbeda nampak
menjadi tidak jelas, kurang transparan, dan kurang
dapat dipertanggung-jawabkan. Sudah banyak
dibahas, khususnya di Afrika, bahwa sistem RP,
dengan memasukkan semua kepentingan ke dalam
parlemen, memberikan harapan yang lebih baik
bahwa pengambilan keputusan diambil dengan
pengawasan masyarakat, dan dengan memasukkan
lebih banyak segmen dalam masyarakat.
u RP Daftar - Segi NegatifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Kritik terbanyak untuk Proportional Representation
(RP) didasari atas dua tema besar:
� Kecenderungan sistem RP untuk menim-
bulkan pemerintahan koalisi dengan
kelemahan unsur-unsur di dalamnya.
� Kegagalan sistem RP untuk memberikan
hubungan geografis yang kuat antara seorang
anggota legislatif dan para pemilihnya.
Argumentasi yang sering disebut terhadap
penggunaan sistem RP adalah bahwa sistem ini
mengarah kepada:
� Pemerintahan koalisi, yang selanjutnya
mengarah kepada kebuntuan dalam bidang
legislatif dan akhirnya ketidakmampuan
untuk menjalankan kebijakan yang konsisten
pada saat ada kebutuhan yang benar-benar
mendesak. Ada resiko yang besar selama
masa-masa awal pasca transisi, ketika
pemerintah baru memikul harapan besar.
Pengambilan keputusan yang cepat dan
konsisten dapat terhalang oleh kabinet
koalisi dan pemerintahan persatuan nasional
yang terpecah atas fraksi-fraksi.
� Fragmentasi yang membuat sistem ke-
partaian yang tidak stabil. RP merefleksikan
dan mempermudah terjadinya fragmentasi
dalam sistem kepartaian. Mungkin sekali
pluralisme yang tajam seperti ini
memungkinkan partai minoritas kecil
mendikte partai yang lebih besar dalam
negosiasi koalisi. Dalam hal ini, keterbukaan
sistem RP untuk merangkul semua pihak
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
104
disebut sebagai kelemahan. Misalnya, di
Israel, partai-partai ekstrim agama seringkali
sangat menentukan dalam pembentukan
pemerintahan, sementara Italia sudah
mengalami limapuluh tahun pemerintahan
koalisi yang tidak stabil (lihat Reformasi
Pemilu di Israel).
� Sebuah platform untuk partai-partai
ekstrimis. Masih dalam kerangka yang sama,
sistem RP sering dikritik karena memberikan
tempat di parlemen bagi partai-partai ekstrim
kiri maupun kanan. Jatuhnya Jerman
Weimar dikatakan karena sistem pemilu
model RP memberikan basis bagi kelompok-
kelompok ekstrimis.
� Pemerintah koalisi yang mempunyai sedikit
pandangan yang sama, baik dalam hal
kebijakan maupun basis dukungan mereka.
�Koalisi kepentingan� ini sering dilawankan
dengan �koalisi komitmen� yang lebih kuat
yang dihasilkan oleh sistem yang lain
(misalnya Alternative Vote), dimana partai-
partai politik cenderung menjadi saling
bergantung pada suara para pendukung dari
partai-partai lain untuk terpilihnya mereka.
� Ketidakmampuan untuk melempar sebuah
partai keluar dari kekuasaan. Dengan sistem
RP, mungkin akan sangat sulit
menyingkirkan sebuah partai yang relatif
besar keluar dari kekuasaan. Dimana
pemerintahan berbentuk koalisi, ada
beberapa partai politik yang selalu ada di
pemerintahan, meskipun perolehan suara
mereka dalam pemilu kecil dari tahun ke
tahun. Di Belanda, Partai Christian
Democratic Appeal (CDA) tetap merupakan
partner utama dalam pemerintahan selama
tujuh belas tahun meskipun suaranya
mengecil dari tahun ke tahun (lihat
Belanda).
� Kelemahan hubungan anggota dewan
dengan konstituennya. Ketika RP Daftar
sederhana digunakan, dan kursi-kursi
dialokasikan pada sebuah daerah pemilihan
nasional yang sangat besar seperti misalnya
di Namibia, (lihat Namibia � Daftar RP
Nasional di Afrika Selatan) atau Israel (lihat
Reformasi Pemilu di Israel), sistem tersebut
sering dikritik karena menghancurkan
hubungan antara pemilih dan anggota
parlemen. Para pemilih tidak mendapat
kesempatan untuk dapat menentukan
identitas dari orang-orang yang akan
mewakili mereka, dan tidak ada yang dapat
diidentifikasikan sebagai orang yang
mewakili kota, distrik atau desa mereka;
mereka juga tidak mempunyai kemampuan
untuk menolak seseorang jika mereka
merasakan bahwa orang itu kinerjanya tidak
bagus. Faktor ini terutama sangat
dikeluhkan di negara-negara berkembang
yang sebagian besar daerahnya masih
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
105
berupa daerah pedesaan. Di daerah-daerah
seperti ini identifikasi pemilih dengan
tempat tinggalnya kadangkala jauh lebih
kuat daripada identifikasi mereka dengan
partai politik.
Masih dalam acuan yang sama, sistem RP daftar
tertutup nasional sering dikritik karena memberikan
kekuasaan yang terlalu besar kepada pimpinan pusat
partai dan dikuasai oleh para pimpinan senior partai.
Posisi caleg dalam daftar partai, dan maka dari itu
keberhasilannya menjadi caleg, tergantung kepada
hubungan dengan pimpinan partai. Dalam keadaaan
seperti ini, hubungan dengan para pemilihnya
menjadi nomor dua.
Selanjutnya, penggunaan sistem RP mengandaikan
adanya struktur partai yang dikenal, karena para
pemilih diharapkan memilih untuk partai daripada
individu atau kelompok individu. Ini akan membuat
sulitnya pelaksanaan Daftar RP, dan mungkin juga
kurang berarti, dalam masyarakat yang tidak mem-
punyai partai politik, atau partainya masih dalam
tahap embrio atau strukturnya sangat lemah (lihat
Yordania � Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab).
Terakhir, sistem RP kadang-kala mempunyai
penghalang yang sulit untuk diatasi karena banyak
negara masih tidak terbiasa dengan sistem tersebut,
terutama di bekas jajahan Inggris atau Perancis, dan
karena variannya dipandang sangat kompleks
sehingga sukar dimengerti bagi pemilih dan sulit
dilaksanakan oleh para pelaksana pemilu.
Mixed Member Proportional (MMP)Oleh: Andrew Reynolds
Sistem Mixed Member Proportional (MMP), seperti
yang dipakai di Jerman (lihat Jerman: Sistem Mixed
Member Proportional yang Orisinil), Selandia Baru
(lihat Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi
�Westminter� Berpindah ke Sistem RP), Bolivia (lihat
Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika Latin), Italia,
Mexico, Venezuela, dan Hongaria, mencoba
menggabungkan ciri-ciri positif baik dari sistem
pemilu model mayoritas dan representasi
proporsional. Sebagian anggota parlemen (kira-kira
setengah di Jerman, Bolivia, dan Venezuela) dipilih
berdasarkan metode mayoritas-pluralitas, biasanya
dengan sistem distrik wakil tunggal, sementara
sisanya dipilih berdasarkan RP Daftar. Sekilas sistem
ini mirip dengan sistem Paralel yang sudah dijelaskan
sebelumnya; namun perbedaan utamanya adalah
bahwa dalam MMP kursi yang berdasarkan RP Daftar
dapat mengkompensasi disproporsionalitas yang
dihasilkan berdasarkan sistem mayoritas-pluralitas.
Misalnya, apabila sebuah partai memenangkan
sepuluh persen suara nasional tetapi tidak
mendapatkan kursi berdasarkan sistem distrik,
kemudian partai tersebut akan diberi kursi yang
seimbang dari Daftar RP, sehingga perwakilan mereka
dalam parlemen menjadi sekitar sepuluh persen.
Hanya satu dari tujuh negara yang menggunakan
sistem MMP menggunakan sistem FPTP untuk
mengisi kursi distrik, sedangkan Hongaria memakai
sistem TRS yang sudah dijelaskan sebelumnya. Cara
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
106
yang dipakai di Italia agak sedikit kompleks, dimana
seperempat dari kursi parlemen dicadangkan untuk
mengkompensasi suara yang terbuang dalam distrik-
distrik wakil tunggal. Di Venezuela, ada 102 kursi
berdasarkan FPTP, 87 kursi berdasarkan Daftar RP
Nasional, dan 15 kursi ekstra untuk kompensasi RP.
Di Mexico, 200 kursi RP Daftar mengkompensasi
ketidakseimbangan yang biasanya sangat tinggi
karena adanya 300 kursi FPTP, tetapi ada aturan
tambahan bahwa tidak satu partaipun dapat
memenangkan lebih dari 315 kursi parlemen, dan
apabila mereka memenangkan kurang dari
enampuluh persen suara, kursi paling banyak yang
boleh diambil adalah 300.
u Mixed Member Proportional-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds
Sistem Mixed Member Proportional (MMP) masih
tetap mempertahankan segi positif dari sistem
Proportional Representation (RP) dan juga menjamin
para pemilih terwakili secara geografis. Para pemilih
juga mendapatkan keuntungan karena dapat
memilih dua suara, satu suara untuk partai dan satu
suara untuk wakil mereka.
u Mixed Member Proportional-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds
Salah satu masalah dalam sistem Mixed Member
Proportional (MMP) adalah bahwa suara bagi caleg
kurang penting dibanding suara bagi partai dalam
pengalokasian kursi parlemen secara keseluruhan,
dan para pemilih tidak selalu mengerti masalah ini.
Lebih jauh lagi, dan sehubungan dengan kesulitan-
kesulitan yang terkait dengan sistem Paralel (lihat
Segi Negatif), MMP dapat menciptakan dua kelas
anggota parlemen.
Juga harus diingat bahwa dalam mengubah suara
menjadi kursi, MMP sama proporsionalnya seperti
RP Daftar yang murni, dan akibatnya sistem tersebut
juga mengandung kelebihan dan kekurangan sistem
RP (lihat Segi Negatif). Meskipun demikian, salah
satu sebab mengapa MMP kadang-kala tidak terlalu
disukai dibandingkan dengan sistem RP Daftar murni
karena MMP dapat menimbulkan apa yang disebut
sebagai anomali �pemberian suara strategis.� Di
Selandia Baru pada tahun 1996, di daerah pemilihan
Wellington Central, para ahli strategi dari Partai
Nasional meminta agar para pemilih tidak memilih
caleg dari Partai Nasional, karena menurut
perhitungan mereka dalam sistem MMP, pemilu saat
itu tidak akan memberi kursi tambahan kepada Partai
Nasional, tetapi hanya mengganti anggota parlemen
lain dari daftar partai. Maka dari itu jauh lebih baik
bagi Partai Nasional untuk melihat caleg dari partai
lain yang terpilih, asalkan caleg itu mempunyai
kesamaan ide dan ideologi dengan Partai Nasional,
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
107
daripada suara tersebut �dibuang percuma� karena
dukungan terhadap partainya sendiri.
Single Transferable Vote (STV)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Para ilmuwan politik telah sejak lama menganggap
bahwa Single Transferable Vote (STV) merupakan
salah satu sistem pemilu yang paling menarik.
Meskipun demikian, penggunaannya dalam
pemilihan anggota parlemen secara nasional hanya
terbatas pada beberapa kasus saja � Irlandia sejak
tahun 1921 (lihat Irlandia: Sistem STV Model
Irlandia), Malta sejak tahun 1947 (lihat Malta: STV
dengan Beberapa Modifikasi), dan sekali di Estonia
pada tahun 1990. Sistem ini juga dipakai di
Australia untuk pemilihan Parlemen Tasmania
(Tasmanian House of Assembly), Parlemen Daerah
Ibukota Australia (the Australian Capital Territory
Legislative Assembly), dan Senat Federal (lihat
Alternative Vote di Australia); dan pada pemilu lokal
Irlandia Utara.
Pada abad sembilan belas, Thomas Hare dari Inggris
dan Carl Andru dari Denmark secara sendiri-sendiri
menciptakan prinsip-prinsip dasar sistem tersebut. STV
menggunakan distrik wakil majemuk dimana pemilih
mengurutkan caleg berdasarkan kesukaan (preferensi)
mereka dalam kertas suara sama seperti yang dilakukan
dalam Alternative Vote (lihat Alternative Vote). Pada
kebanyakan kasus, penomoran urut seperti itu tidak
wajib dilakukan, dan para pemilih tidak diminta untuk
mengurutkan semua caleg; kalau mau mereka dapat
menandai satu caleg saja. Sesudah jumlah total suara
preferensi pertama dihitung, penghitungan kemudian
beralih untuk menghitung �kuota� suara yang
diperlukan untuk pemilihan seorang caleg. Kuota
dihitung berdasarkan rumus yang sederhana:
Jumlah suara
Kuota = ���������������� + 1
Jumlah kursi + 1
Langkah pertama adalah menghitung jumlah total
preferensi pertama bagi masing-masing caleg.
Setiap caleg yang memperoleh suara preferensi
pertama melebihi kuota langsung terpilih. Jika tidak
ada satu calegpun yang mencapai kuota, caleg yang
memperoleh suara preferensi pertama terendah tadi
dicoret dari daftar, dan suara preferensi keduanya
dibagikan lagi kepada para caleg yang tertinggal.
Pada saat yang sama, jumlah kelebihan suara caleg
terpilih (yakni suara diatas kuota) dibagikan lagi
menurut preferensi kedua pada kertas suara. Agar
adil, semua kertas suara caleg dibagi lagi tetapi
masing-masing menurut persentase dari satu suara,
sehingga jumlah total suara yang dibagikan sama
dengan sisa surplus suara (kecuali di Republik
Irlandia, yang menggunakan sampel berbobot).
Misalnya, jika seorang caleg memperoleh 100 suara,
dan surplus suaranya sepuluh suara, maka setiap
kertas suara akan dibagikan dengan nilai 1/10 suara.
Proses ini diteruskan sampai semua kursi untuk
sebuah daerah pemilihan terisi.
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
108
u Single Transferable Vote-Segi PositifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Sebagai sebuah mekanisme untuk memilih caleg,
Single Transferable Vote (STV) mungkin merupakan
sistem yang paling canggih diantara semua sistem
pemilihan umum, karena sistem ini memberikan
kesempatan bagi para pemilih untuk memilih antar
partai dan caleg dalam partai-partai tersebut. Hasil
akhir juga menunjukkan adanya tingkat
proporsionalitas yang adil, dan fakta bahwa dalam
contoh-contoh yang aktual dalam STV distrik wakil
majemuk-nya relatif kecil. Ini berarti bahwa
hubungan geografis yang penting antara pemilih dan
caleg tetap dapat dipertahankan.
Selanjutnya, para pemilih dapat mempengaruhi
komposisi koalisi pasca pemilu, seperti yang terjadi
di Irlandia, dan sistem tersebut memberikan insentif
bagi akomodasi antar partai lewat pertukaran
preferensi antara pihak-pihak yang berkepentingan.
STV juga memberikan kesempatan yang lebih baik
bagi pemilihan caleg independen daripada RP Daftar,
karena para pemilih memilih caleg, bukan memilih
partai. (meskipun opsi daftar partai dapat
ditambahkan pada pemilihan model STV; ini
dilaksanakan untuk Senat Australia � lihat
Alternative Vote di Australia).
u Single Transferable Vote-Segi NegatifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Single Transferable Vote (STV) sering dikritik karena
pemilihan dengan preferensi kurang dikenal oleh
kebanyakan masyarakat, dan sistem ini minimal
memerlukan suatu tingkat baca tulis dan pengertian
angka. Cara penghitungan suara dalam sistem STV
juga sangat kompleks, yang seringkali juga dianggap
sebagai kekurangan.
STV juga membawa ciri-ciri kekurangan semua
parlemen yang dipilih dengan model RP, seperti
dalam keadaan tertentu meningkatkan kekuatan
partai-partai kecil. Juga, pada saat-saat tertentu,
tidak seperti RP Daftar yang langsung, sistem ini
dapat menyebabkan tekanan pada partai-partai
politik sehingga mereka dapat terpecah secara
internal, karena pada saat yang bersamaan
anggota-anggota dari partai yang sama saling
berkompetisi secara sengit antara satu sama lain,
selain dengan caleg partai oposisi untuk
memperoleh suara.
Meskipun demikian, kritik-kritik semacam ini hanya
terbukti mendatangkan sedikit masalah dalam
praktek. Pemilihan model STV di Irlandia (lihat
Irlandia: Sistem STV Model Irlandia), Malta (lihat
Malta: STV dengan Beberapa Modifikasi) dan
Tasmania (lihat Alternative Vote di Australia) semua
cenderung menghasilkan pemerintah yang relatif
stabil dan legitimate, yang terdiri dari satu atau dua
partai besar.
SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL
109
Akibat dari sistem representasi proporsional yang
berbeda-beda untuk memilih perwakilan parlemen
dan pemerintah tidak semata-mata karena pengaruh
�jenis� sistem RP yang digunakan tetapi juga
sejumlah masalah-masalah teknis lain yang
berhubungan dengan perancangan sistem pemilu
model RP, lihat Sistem RP. Bagian Batas Representasi
mendiskusikan secara rinci pengaruh batas
representasi (threshold) yang penting bagi perwakilan
parlemen dari partai-partai politik. Bagian
Apparentement membicarakan mengenai
kesempatan yang diperoleh dari partai-partai politik
untuk bergabung bersama sehingga suara mereka
dapat disatukan untuk dapat memperoleh kursi.
Bagian Daftar Terbuka, Tertutup, dan Bebas
membahas kemungkinan pemilih untuk memilih
antara caleg dan partai politik pada kertas suara
model RP � apakah daftar tersebut �terbuka, tertutup,
atau bebas.� Sementara Ukuran Distrik mengulas
variabel yang penting atas �besarnya wilayah,� dan
berapa jumlah caleg harus dipilih dari setiap distrik.
Batas Representasi (Thresholds)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi
perwakilan: artinya, tingkat dukungan minimal yang
diperlukan sebuah partai untuk memperoleh
perwakilan, apakah diterapkan secara legal (formal),
atau semata-mata de facto secara matematis (efektif).
Dalam beberapa hal, batas representasi ini
merupakan produk sampingan dari ciri sistem
pemilu yang lain, seperti jumlah kursi yang harus
diisi dan jumlah partai atau caleg yang bertarung
dalam pemilu, dan dengan demikian disebut batas
representasi yang �efektif.� Meskipun demikian,
pada banyak hal lagi, batas representasi ini
dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang kemudian
memunculkan sistem RP, dan dengan demikian
disebut �formal.�
Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya,
diberlakukan batas representasi 5%: partai-partai
politik yang tidak mencapai batas representasi lima
persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari
RP Daftar, lihat Jerman: Sistem Mixed Member
Proportional yang Orisinil, lihat Selandia Baru:
Sebuah Negara Demokrasi �Westminster�
Berpindah ke Sistem RP, dan lihat Rusia � Sistem
Paralel yang Terus Berkembang. Ketentuan ini
berasal dari Jerman dengan maksud untuk
membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis, dan
dimaksudkan untuk menghentikan partai-partai
kecil sehingga mereka tidak mendapatkan
perwakilan. Meskipun demikian, baik di Jerman
maupun di Selandia Baru ada jalan �pintu
belakang� bagi sebuah partai sehingga mereka dapat
memperoleh kursi dari daftar tersebut. Di Selandia
Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya
satu kursi konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk
dapat lepas dari persyaratan batas representasi. Di
Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan �pintu
belakang,� dan hampir setengah dari suara partai
berdasarkan daftar partai terbuang.
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGANREPRESENTASI PROPORSIONAL Oleh: Andrew Reynolds
110
Di tempat lain, batas representasi resmi berkisar dari
0,67 persen di Belanda dan 10 persen di Seychelles,
lihat Belanda. Partai-partai yang mendapatkan
kurang dari persentase ini dikeluarkan dari
penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya
batas representasi formal cenderung meningkatkan
tingkat disproporsionalitas, karena suara yang
sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi
terbuang. Di Polandia pada tahun 1993, bahkan
dengan batas representasi yang relatif kecil yaitu
sebesar lima persen, lebih dari 34% suara diberikan
untuk partai politik, yang ternyata tidak dapat
melampaui batas representasi tersebut, lihat
Polandia: Antara Fragmentasi and Polarisasi. Tetapi
pada kebanyakan kasus lain, batas representasi
mempunyai pengaruh yang kecil saja terhadap hasil
secara keseluruhan, maka dari itu, beberapa ahli
pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali
menambah rumitnya aturan pemilu, yang
seharusnya dihindari.
ApparentementOleh: Ben Reilly
Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk
mendiskriminasikan partai-partai kecil � dan
ternyata dalam beberapa kasus memang inilah
maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam
banyak kasus diskriminasi terhadap partai-partai
kecil yang disengaja sebenarnya tidak diinginkan,
terutama dalam kasus-kasus dimana beberapa partai
kecil dengan dasar pendukung yang hampir sama
�memecah� suara mereka sendiri dan pada akhirnya
terjatuh dibawah batas representasi. Padahal
seandainya mereka menyatukan suara mereka,
mereka pasti dapat memperoleh kursi di parlemen.
Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara
yang menggunakan sistem RP Daftar juga
memperbolehkan partai-partai kecil membuat
kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan
demikian membentuk kartel atau apparentement
untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti
bahwa partai tersebut tetap merupakan partai-partai
tersendiri, dan dicantumkan sendiri-sendiri dalam
kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung
seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel.
Maksudnya, meningkatkan kemungkinan bahwa
suara mereka yang dijadikan satu secara keseluruhan
akan berada diatas batas representasi, dan dengan
demikian mereka mungkin dapat memperoleh
perwakilan tambahan. Cara semacam ini merupakan
ciri sejumlah sistem RP Daftar di Eropa daratan, Chile
sebelum tahun 1973, Brazil sesudah tahun 1979, dan
Uruguay, Argentina, lihat Argentina, dan Israel, lihat
Reformasi Pemilu di Israel.
Daftar Terbuka, Tertutup dan BebasOleh: Ben Reilly
Ada sejumlah variasi penting dalam cara pemu-
ngutan suara diantara berbagai macam sistem RP
Daftar. Salah satu variasi yang penting adalah apakah
daftar tersebut terbuka, tertutup atau bebas dalam
arti kesempatan bagi pemilih untuk memilih caleg,
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL
111
selain partai, yang disukai.
Kebanyakan sistem RP Daftar di dunia adalah tertutup
artinya bahwa urutan caleg yang dipilih berdasarkan
daftar tersebut ditentukan oleh partai sendiri, dan
pemilih tidak dapat mengungkapkan suatu preferensi
terhadap caleg mana yang disukainya. Sistem Daftar
RP yang dibuat untuk pemilu demokratis pertama kali
di Afrika Selatan pada tahun 1994 merupakan contoh
yang baik bagi sebuah daftar tertutup, lihat Afrika
Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik. Kertas
suara berisi nama dan lambang partai, dan sebuah foto
dari pimpinan partai, tetapi tidak dicantumkan nama
para caleg. Para pemilih hanya memilih partai yang
mereka sukai; caleg terpilih telah ditentukan
sebelumnya oleh partai-partai sendiri. Ini berarti bahwa
partai politik dapat memasukkan beberapa caleg
(mungkin anggota kelompok etnis minoritas dan
kelompok bahasa, atau wanita) yang mungkin, kalau
tidak dengan cara demikian, akan sulit terpilih.
Salah satu aspek negatif dari sistem daftar tertutup
adalah bahwa pemilih tidak dapat menentukan
pilihan siapa wakil dari partai mereka. Daftar tertu-
tup juga sangat tidak responsif terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi. Dalam pemilu pra-unifikasi
di Jerman Timur pada tahun 1990, caleg nomor
unggulan dari sebuah partai diketahui sebagai seorang
informan polisi hanya empat hari sebelum pemilu,
dan kemudian langsung dipecat dari partai; tetapi
karena daftarnya tertutup, para pemilih tidak
mempunyai pilihan lain kecuali memilih dia jika
mereka ingin mendukung bekas partai informan
tersebut.
Dengan demikian banyak sistem RP Daftar yang
digunakan di Eropa daratan memakai daftar terbuka,
dimana pemilih dapat memilih bukan saja partai
yang mereka sukai, tetapi juga caleg dari partai
tersebut yang mereka sukai. Dalam kebanyakan
sistem, pemberian suara bagi partai dan sekaligus
caleg tidak mutlak sifatnya, tetapi karena kebanyakan
pemilih langsung memilih partai ketimbang caleg,
opsi untuk memilih caleg di kertas suara seringkali
mempunyai efek yang sedikit saja. Tetapi dalam
banyak hal (Finlandia salah satu contohnya � lihat
Finlandia: Pemilihan Caleg dan Proporsionalitas
Partai), pilihan ini begitu pentingnya, karena pemilih
harus memilih caleg, dan urutan caleg akan
mendapatkan kursi tergantung pada jumlah suara
yang mereka peroleh masing-masing. Meskipun hal
ini memberikan kebebasan yang lebih besar kepada
para pemilih, model seperti ini juga mempunyai sisi
yang kurang menguntungkan. Karena para caleg dari
partai yang sama saling bertarung untuk memperoleh
suara, jenis daftar terbuka ini dapat mengarah kepada
konflik dan fragmentasi dalam partai. Ini juga berarti
bahwa keuntungan dimana partai dapat menyusun
daftar yang mencantumkan caleg yang beragam
menjadi hilang. Dalam pemilu yang menggunakan
daftar terbuka di Sri Lanka, misalnya, usaha partai-
partai besar Sinhala untuk memasukkan caleg dari
minoritas Tamil dalam posisi yang besar
kemungkinan terpilihnya dalam daftar partai
menjadi tidak berarti karena banyak pemilih secara
sengaja memberikan suara untuk caleg Sinhala yang
berada di posisi yang lebih bawah, lihat Sri Lanka:
Perubahan untuk Mengakomodasi Perbedaan.
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL
112
Beberapa alat lain digunakan dalam sejumlah kecil
yurisdiksi agar sistem daftar terbuka dapat lebih
fleksibel. Para pemilih di Luksemburg dan Swiss
dapat memilih sebanyak kursi yang disediakan. Dan
mereka dapat juga memberikan pilihan semau
mereka kepada para caleg baik dalam partai yang
sama maupun lintas partai, lihat Swiss. Kesempatan
untuk memilih lebih dari seorang caleg dari daftar
partai yang berlainan (dikenal sebagai Panachage),
atau memilih lebih dari satu suara untuk seorang
caleg yang sangat mereka sukai (dikenal dengan
istilah kumulasi), keduanya memberikan kontrol
tambahan kepada para pemilih dan di sini
dikategorikan sebagai sistem daftar bebas.
Ukuran DistrikOleh: Ben Reilly
Para spesialis pemilu pada umumnya setuju bahwa
faktor yang paling penting dari keampuhan sistem
pemilu untuk mengubah perolehan suara menjadi
kursi yang dimenangkan secara proporsional adalah
besarnya distrik. Besarnya distrik adalah jumlah
anggota yang dipilih dalam setiap distrik pemilu.
Pada sistem wakil tunggal seperti FPTP, Alternative
Vote, atau Two Round System (TRS), ukuran
distriknya adalah satu. Para pemilih memilih satu
wakil saja. Sebaliknya, dalam sistem wakil majemuk,
per definisi adalah bahwa dalam setiap distrik ada
lebih dari satu wakil. Dalam setiap sistem
proporsional, jumlah anggota yang dipilih dalam
setiap distrik menentukan, sampai pada batas
tertentu, akan seberapa proporsional hasil-hasil
pemilu tersebut.
Sistem-sistem seperti ini, yang akan memperoleh
tingkat proporsionalitas yang tertinggi, akan
menggunakan distrik yang sangat besar, karena
distrik seperti ini akan dapat menjamin bahwa
bahkan partai-partai yang sangat kecilpun akan
dapat terwakili dalam parlemen. Misalnya, sebuah
distrik dimana hanya ada tiga caleg yang akan
dipilih berarti bahwa sebuah partai harus
memperoleh 25% +1 suara agar dapat
memenangkan suara. Sebuah partai, yang hanya
mendapat dukungan sepuluh persen pemilih tidak
akan dapat memperoleh kursi, dan suara dari para
pendukung partai tersebut dapat disebut terbuang.
Sebaliknya, di sebuah distrik dengan sembilan
kursi, sepuluh persen ditambah satu akan memberi
jaminan bahwa partai tersebut setidak-tidaknya
memperoleh satu kursi. Ini tidak saja berarti bahwa
ada proporsionalitas, tetapi juga lebih ada
kemungkinan bagi partai kecil untuk dapat
memperoleh kursi. Masalahnya adalah semakin
besar sebuah distrik � baik dari segi jumlah kursi
dan seringkali, sebagai konsekuensinya, dari segi
luas wilayah secara geografis, hubungan antara
caleg yang terpilih dan konstituennya menjadi lebih
lemah. Keadaan seperti ini akan membawa
konsekuensi dalam sebuah masyarakat dimana
faktor lokal memainkan peran yang kuat dalam
politik, atau dimana pemilih mengharapkan
wakilnya dapat mempertahankan hubungan yang
kuat dengan para pemilihnya dan bertindak sebagai
�duta� mereka dalam lembaga parlemen.
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL
113
Karena hal ini, sudah ada pembicaraan menarik
tentang ukuran sebuah distrik yang terbaik.
Kebanyakan ahli berpendapat, sebagai suatu prinsip
umum, bahwa ukuran distrik yang baik adalah antara
tiga sampai tujuh kursi per distrik. Ada juga
kesepakatan umum bahwa angka ganjil seperti tiga,
lima dan tujuh lebih baik dari angka genap, terutama
dalam sistem dua partai. Tetapi hal ini merupakan
petunjuk kasar saja. Ada banyak situasi yang
meminta semakin banyak jumlah caleg semakin baik
dan perlu untuk menjamin perwakilan dan
proporsionalitas yang memuaskan. Di banyak negara,
distrik pemilu mengikuti pembagian wilayah
administrasi yang sudah ada, yang berarti akan ada
banyak variasi mengenai ukurannya. Jumlah pada
ujung yang tertinggi dan yang terendah dari
spektrum tersebut cenderung mengakibatkan hasil
yang ekstrim. Dari satu sisi spektrum tersebut,
seluruh negara dapat membentuk sebuah distrik
pemilihan saja. Ini artinya kuota untuk pemilu sangat
rendah dan bahkan partai-partai yang sangat kecil
dapat memperoleh kursi. Misalnya di negeri Belanda,
seluruh negara membentuk satu distrik dengan 150
anggota. Ini berarti bahwa hasil pemilu akan sangat
proporsional, tetapi juga berarti bahwa partai yang
perolehan suaranya sangat kecilpun, bahkan jika
kurang dari satu persen, dapat memperoleh
perwakilan. Akibat lainnya hubungan antara caleg
terpilih dan wilayah geografisnya sangat lemah, lihat
Belanda.
Di ujung lain dari spektrum tersebut, sistem RP
dapat dipakai dalam situasi-situasi dimana ukuran
distriknya hanya dua. Misalnya, sebuah sistem
Daftar RP dipakai untuk distrik-distrik dengan dua
anggota di Chile, seperti yang ditunjukkan dalam
studi kasus di Chile. Ini akan mengakibatkan hasil
yang sangat disproporsional, meskipun rumus
proporsional dipakai, karena hanya dua partai
yang dapat memperoleh perwakilan di setiap
distrik, lihat Chile: Proporsionalitas atau Sistem
Mayoritas? Keadaan seperti ini akan mengurangi
kelebihan RP dari segi representasi (perwakilan)
dan legitimasi.
Kedua contoh ekstrim diatas memberikan gambaran
betapa pentingnya ukuran distrik dalam setiap sistem
proporsional. Nampaknya ini merupakan sebuah
pilihan yang paling penting bagi sebuah lembaga
ketika merancang sebuah sistem pemilu model RP,
tetapi juga penting bagi sejumlah sistem non-RP
lainnya. Misalnya, Single Non-Transferable Vote
membuahkan hasil yang semi-proporsional
meskipun sebenarnya rumus pemilu proporsional
tidak dipakai dalam sistem ini, lihat SNTV. Demikian
juga, Single Transferable Vote ketika dipakai dalam
distrik wakil tunggal menjadi Alternative Vote. Sistem
ini akan tetap punya kelebihan STV tetapi kehilangan
proporsionalitas, lihat Single Transferable Vote dan
lihat Alternative Vote. Dalam sistem mayoritarian,
ketika ukuran distrik bertambah, proporsionalitas
menurun. Pendeknya, pada saat menyusun sebuah
sistem pemilu, ukuran distrik dalam banyak hal
merupakan faktor utama dalam menentukan
bagaimana sistem tersebut dalam prakteknya akan
berjalan, seberapa jauh hubungan antara pemilih dan
caleg terpilih dan proporsionalitas hasil pemilu
secara keseluruhan.
MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL
114
Oleh: Andrew Reynolds
Seperti yang ditunjukkan Tabel Satu, sedikit lebih
dari setengah (114, atau 54 persen dari total) negara-
negara yang merdeka dan semi-otonom di dunia
yang melakukan pemilihan parlemen langsung
menggunakan sistem pluralitas-mayoritas (plurality-
majority system). Sedangkan 75 negara (35 persen)
menggunakan sistem representasi proporsional (RP),
dan sisanya 22 (sepuluh persen) menggunakan
sistem semi-RP, semuanya kecuali dua dari 22 yang
disebutkan di atas menggunakan sistem Paralel.
Jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk,
dominasi sistem pluralitas-mayoritas nampak lebih
jelas, dengan Parlemen yang dipilih berdasarkan
model First Past the Post (FPTP), Block, Alternative
Vote (VT) atau Two-Round System (TRS) mewakili
Tabel Satu: Dunia Sistem Pemilu (Mei 1997)
Jumlah % Total % Negara % Total % Negara- % Negara- %negara/ Populasi Demo- Populasi negara/ negara/Wilayah (dalam krasi (dalam Wilayah- Wilayah-
jutaan) yang jutaan) wilayah wilayahsudah �Bebas� �Tidakmapan Bebas�
FPTP 70 3 1.850 45 11 3 1.273 71 35 3 17 3
3 0 6 7
BV 10 5 139 3 1 3 1 0,1 3 3 3 6
AV 2 1 18 0,4 1 3 18 1 2 2 0 -
TRS 31 1 427 10 1 3 58 3 7 7 11 2
5 4
Paralel 20 9 443 11 1 3 126 7 5 5 5 1
1
SNTV 2 1 5 0,1 0 - - - 1 1 0 -
RP Daftar 67 3 968 23 15 4 158 9 39 40 10 2
2 2 2
MMP 7 3 265 6 4 1 162 9 4 4 0 -
1
STV 2 1 4 0,1 2 6 4 0,2 2 2 0 -
211 4.119 36 1.800 98 46
NB: 36 negara demokrasi yang terbentuk seperti yang dikategorikan oleh Arend Lijphart dalam �Democracies�, edisi kedua (New
Haven, Yale University Press, 1998). Lijphart memasukkan semua negara yang saat ini dianggap demokratis, selama 20 tahun terakhir
ini, yang memiliki populasi sedikitnya seperempat juta penduduk. Klasifikasi �Bebas� dan �Tidak Bebas� dari �Freedom in the World
1995-1996� (New York, Freedom House, 1997).
DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA
115
penduduk yang secara keseluruhan berjumlah 2,44
milyar jiwa (59 persen dari total). Sistem pemilu
representasi proporsional digunakan di negara-
negara yang jumlah penduduknya mencapai 1,2
milyar jiwa, sedangkan sistem semi-RP dipakai untuk
mewakili penduduk berjumlah sedikit kurang dari
setengah milyar jiwa. Dalam penelitian kami, tujuh
negara yang tidak mempunyai parlemen yang dipilih
secara langsung memiliki penduduk berjumlah 1,2
milyar jiwa. Namun demikian Cina sendiri mewakili
99 persen dari jumlah tersebut.
Secara individual, First Past the Post merupakan
sistem yang paling populer, yang meliputi 68 dari
211 negara dan wilayah atau mencakup 32 persen
dari total. Yang kedua adalah 66 yang menggunakan
Sistem RP Daftar (31 persen). Lihat First Past the Post
(FPTP) dan RP Daftar. Tetapi jika dihitung dari
berdasarkan jumlah penduduknya, sistem FPTP
digunakan oleh negara-negara yang penduduknya
berjumlah dua kali dari negara yang menggunakan
RP Daftar. Jumlah 1,8 milyar dalam Tabel 1 tersebut
sebenarnya bagian paling besarnya berasal dari India
(913 juta jiwa) dan Amerika Serikat (263 juta jiwa),
tetapi FPTP juga digunakan oleh negara-negara kecil
di pulau-pulau Karibia dan Oceania. Negara
berpenduduk paling besar yang menggunakan sistem
RP Daftar adalah Indonesia dengan jumlah
penduduk 191 juta jiwa. Tetapi sebenarnya sistem
ini digunakan oleh negara-negara Eropa Barat,
Amerika Latin, dan Afrika yang agak besar. Sistem
terbesar berikutnya adalah Two-Round System (15
persen) dan Paralel System (9 persen). Lihat Two-
Round System dan Sistem Paralel. Kalau dihitung
sistem TRS dipakai oleh lebih banyak negara,
sedangkan sistem Paralel dipakai oleh lebih banyak
orang. Ini dikarenakan Rusia (berpenduduk 148 juta
jiwa) dan Jepang (berpenduduk 125 juta jiwa)
menggunakan sistem Paralel klasik.
Block Vote digunakan di 13 negara dan wilayah, yang
meliputi 6 persen dari negara-negara, tetapi
penduduknya yang berjumlah 143 juta hanya
mewakili 3 persen dari total, lihat Block Vote.
Sebaliknya sistem Mixed Member Proportional hanya
digunakan di tujuh negara, tetapi total penduduk
265 juta secara keseluruhan di Jerman, Venezuela,
Selandia Baru, Mexico, Italia, Bolivia, dan Hongaria
mewakili enam persen dari jumlah total. Lihat Mixed
Member Proportional. Sistem-sistem Single
Transferable Vote lihat Single Transferable Vote,
Alternative Vote, lihat Alternative Vote, dan Single
Non-Transferable Vote, lihat SNTV, adalah model
pemilihan umum yang paling jarang dipakai saat ini,
dengan hanya dua contoh untuk masing-masing.
Contoh penggunaan AV di Australia dan Nauru
berarti hanya 18 juta penduduk menggunakan sistem
AV, sedangkan sistem SNTV-nya Yordania dan
Vanuatu hanya mewakili lima juta penduduk,
terakhir sistem STV dipakai di Malta dan Irlandia
yang mewakili empat juta orang.
Jika kita melihat sistem pemilu di �negara demokrasi
yang sudah mapan� (yaitu negara-negara dengan
penduduk lebih dari 250 ribu orang yang sudah
mengadakan pemilu secara terus-menerus selama
lebih dari 20 tahun), ternyata kami menemukan
bahwa sistem RP lebih banyak dipakai dengan
DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA
116
melibatkan 21 (59 persen) dari 36 negara. Namun
demikian ukuran India dan Amerika Serikat masih
berarti bahwa 71 persen penduduk yang tinggal di
36 negara ini memakai sistem FPTP. Sistem MMP
dengan 11 persen lebih terwakili diantara negara-
negara demokrasi, dan ternyata dipakai oleh empat
juta orang lebih banyak dibandingkan dengan sistem
Representasi Proporsional Daftar. Karena Jepang
berpindah ke sistem Paralel, maka tidak ada lagi
contoh penggunaan SNTV di negara yang
demokrasinya sudah mapan. Sebaliknya, kedua
contoh negara yang memakai sistem STV, Irlandia
dan Malta, termasuk dalam kategori negara-negara
demokrasi mapan.
Kalau kita melihat dari perspektif yang lebih luas,
dengan memperhatikan gelombang demokratisasi
yang terjadi antara tahun 1980 dan 1990-an, kami
menemukan bahwa 98 negara-negara merdeka dan
wilayah terkait dikategorikan dalam peringkat
�bebas,� berdasarkan hak-hak politik dan kebebasan
sipil, sebagaimana termuat dalam buku �1995-96
Tabel 2: Pemakaian Sistem Berdasarkan Wilayah
Afrika Amerika Asia CIS & Eropa Timur Oceania TotalPasca Barat Tengah
Komunis
FPTP 19 19 10 1 4 3 14 70
(35%) (40%) (45%) (4%) (14%) (30%) (64%)
BV 1 2 5 0 0 2 0 10
(2%) (4%) (23%) (20%)
AV 0 0 0 0 0 0 2 2
(9%)
TRS 10 6 1 8 2 2 2 31
(18%) (12%) (5%) (30%) (7%) (20%) (9%)
SNTV 0 0 0 0 0 1 1 2
(10%) (4%)
Paralel 7 2 3 7 1 0 0 20
(13%) (4%) (15%) (26%) (3%)
Daftar RP 17 16 3 10 17 2 2 67
(31%) (33%) (15%) (37%) (61%) (20%) (9%)
MMP 0 3 0 1 2 0 1 7
(6%) (4%) (7%) (4%)
STV 0 0 0 0 2 0 0 2
(7%)
Total 54 48 22 27 28 10 22 211
DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA
117
Freedom House Freedom in the World.� Diantara
negara-negara ini, distribusi sistem pemilu
berkaitan erat dengan pola keseluruhan. Secara
proporsional ada sedikit lebih banyak sistem FPTP
dan Sistem Representasi Proporsional Daftar dan
sekitar setengah jumlah sistem TRS dan Paralel.
Tetapi sulit mengatakan apakah ada satu sistem
pemilu yang lebih populer dari yang lain di dunia
�bebas� dibandingkan dengan dunia secara
keseluruhan. Namun demikian, diantara 46 negara
yang dikategorikan �tidak bebas,� jumlah sistem
Two-Round dan BV sangat kecil, dan lebih sedikit
lagi sistem Representasi Proporsional. Secara
keseluruhan, sistem pluralitas-mayoritas
mencakup 70% dari sistem pemilu di dunia �tidak
bebas.�
Kalau dilihat berdasarkan benua, distribusi sistem
pemilu lebih bercampur. Seperti yang ditunjukkan
Tabel 2, sistem FPTP mencapai sekitar 30-45 persen
dari keseluruhan di Afrika, Asia, Timur Tengah, dan
negara-negara di Amerika (kebanyakan negara-
negara di Amerika Utara dan Karibia). Sistem ini agak
kurang umum di negara-negara Eropa dan bekas Uni
Soviet, tetapi lebih dominan di negara-negara
kepulauan dan wilayah-wilayah di Oceania.
Demikian juga, Sistem RP Daftar juga terpencar di
Afrika, Negara-negara Amerika (Amerika Tengah dan
Selatan), dan negara-negara Eropa Timur pasca
komunis. Meskipun demikian, sistem Representasi
Proporsional Daftar lebih dominan di Eropa Barat
(61 persen), dan ketiga sistem Representasi
Proporsional secara bersama-sama (Representasi
Proporsional Daftar, MMP dan STV) mencakup tiga
perempat dari semua sistem pemilu di negara-negara
Eropa Barat. Hampir sepertiga dari Commonwealth
of Independent States (CIS) dan negara-negara Eropa
Timur menggunakan sistem TRS model Perancis,
sedangkan lebih dari sepertiga negara yang
menggunakan BV terdapat di Asia.
DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA
118
Mayoritas dokumen yang ada dalam website ini
memusatkan diri pada ketentuan-ketentuan sistem
pemilu untuk pemilihan parlemen/legislatif. Tetapi,
desain sistem pemilu perlu dibuat sedemikian rupa
agar dapat memenuhi kebutuhan pemilihan lembaga
lain. Tiga dokumen berikut ini dengan singkat
menerangkan kebutuhan dan pilihan sistem pemilu
untuk:
� Pemilihan Presiden (Pemilihan Presiden)
� Pemilihan Majelis Tinggi (Kamar Kedua)
(Pemilihan Majelis Tinggi)
� Pemilihan Pemerintah Lokal atau Regional
(Pemilihan Pemerintah Lokal atau Regional)
Pemilihan PresidenOleh: Andrew Reynolds
Ilmu dalam perancangan sistem pemilihan presiden
agak sedikit berbeda dari mekanisme perancangan
sistem pemilihan anggota legislatif. Lembaga
Kepresidenan merupakan �kursi� tunggal, dan
dengan demikian proporsionalitas tidak dapat
diperoleh antara mayoritas dan minoritas. Jabatan
eksekutif juga melahirkan kekuasaan dan
tanggungjawab yang berbeda, dan dengan demikian
para perancang mungkin harus memprioritaskan
kriteria Prinsip Perancangan (lihat Prinsip
Perancangan) dengan cara yang berbeda.
Presiden dapat dipilih dengan menggunakan salah
satu dari ketiga sistem dibawah ini:
� First Past the Post (lihat First Past the Post )
� Two Round System (lihat Two Round System)
� Preferential Vote (lihat Preferential Voting)
Syarat penyebaran juga dapat dipakai dalam setiap
sistem di atas (lihat Persyaratan Penyebaran).
u First Past The PostOleh: Andrew Reynolds
Cara yang paling sederhana untuk memilih seorang
presiden adalah memberikan kursi kepresidenan
kepada calon yang memenangkan suara terbanyak.
Ini terjadi dalam pemilihan presiden di Meksiko,
Kenya, Filipina, Zambia, Korea Selatan, Malawi,
Islandia, dan Zimbabwe. Jelas sekali bahwa sistem
seperti ini sederhana, murah dan efisien. Meskipun
demikian, dalam pertarungan calon yang sangat
kompetitif, ini dapat membuka kemungkinan bahwa
seorang presiden terpilih dengan begitu sedikit suara,
dan sebagian besar pemilih sebenarnya tidak
memilihnya. Ini yang terjadi di Venezuela pada
tahun 1993, pada saat Rafael Caldera memenangkan
kursi kepresidenan dengan 30.5% dari suara rakyat.
Demikian juga, Presiden Filipina, Fidel Ramos,
terpilih dari tujuh calon dengan hanya mengantongi
25% suara rakyat. Pemilihan presiden model FPTP
juga dapat memperburuk masalah dalam politik
�pemenang-mengambil-semuanya� (winner-take-all)
dalam masyarakat yang terpecah-belah. Di Angola,
pada tahun 1992, pimpinan UNITA, Jonas Savimbi,
kalah dari Jose dos Santos dari MPLA dalam
pertarungan presiden �pemenang-mengambil-
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA Oleh: Andrew Reynolds
119
semuanya,� dengan persentase empatpuluh sembilan
persen melawan empatpuluh persen. Ia lalu memulai
kembali perang saudara, karena ia hampir-hampir
tidak mempunyai kesempatan untuk memainkan
peran sebagai oposisi secara demokratis.
u Sistem Pemilihan PresidenDua PutaranOleh: Andrew Reynolds
Seperti dalam pemilihan anggota dewan legislatif,
salah satu cara untuk menghindari calon yang
terpilih hanya dengan perolehan suara dengan
proporsi yang sangat kecil adalah mengadakan
pemilihan putaran kedua, apabila tidak ada seorang
calon yang memenangkan suara mayoritas dalam
pemilihan putaran pertama. Ini dapat berupa
pertarungan:
� Antara dua calon terkuat (majority-runoff),
atau
� Antara lebih dari dua calon (majority-
plurality) seperti telah digambarkan
sebelumnya dalam Sistem Dua Putaran (lihat
Sistem Dua Putaran).
Perancis, banyak negara di Amerika Latin, dan
sejumlah negara di Afrika yang berbahasa Perancis,
seperti Mali dan Pantai Gading menggunakan TRS
untuk memilih presidennya; memang benar, lebih
banyak negara yang memilih presidennya
menggunakan sistem ini dibandingkan dengan
sistem FPTP. Di negara Afrika yang lain, sistem ini
digunakan di Sierra Leone, Namibia, Mozambik,
Madagaskar, Kongo, dan Republik Afrika Tengah; di
Eropa sistem ini dipakai di Finlandia, Austria,
Bulgaria, Portugal, Polandia, Rusia, dan Ukraina.
Meskipun demikian, ada sejumlah modifikasi
terhadap peraturan majority-runoff dan majority-
plurality. Di Kosta Rica, seorang calon boleh
memenangkan kursi presiden pada putaran pertama
dengan perolehan suara empatpuluh persen.
Sebaliknya, di Sierra Leone, putaran kedua boleh
tidak diadakan asalkan seorang calon memperoleh
suara 55 persen di putaran pertama. Di Argentina,
seorang calon boleh mengambil kursi presiden
apabila dapat memperoleh suara empatpuluh lima
persen, atau empatpuluh persen dengan perbedaan
suara lebih dari sepuluh persen dengan pemenang
kedua. Rumusan pemilihan presiden di Uruguay,
yang digunakan sampai dipilihnya sistem TRS
sederhana pada tahun 1996, tidak termasuk kategori
tersebut di atas. Untuk tujuan pemilihan presiden,
partai-partai politik yang ada, dengan membentuk
koalisi (lema) dengan partai-partai yang lain dapat
mengajukan calonnya. Para pemilih memilih masing-
masing calon, dan semua suara untuk calon tersebut
dihitung berdasarkan lema. Lema yang mendapatkan
suara terbanyak memenangkan pertarungan
kepresidenan, dan calon yang mendapatkan suara
terbanyak dalam lema tersebut memperoleh kursi
presiden.
Pemilihan presiden dengan menggunakan TRS
dipandang dapat memperbesar legitimasi terhadap
apa yang sering disebut sebagai jabatan yang terkuat
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA
120
dalam pemerintahan. Secara khusus, sistem ini
cenderung mengatasi kemungkinan seorang
presiden meraih kekuasaan yang besar dengan
dukungan hanya sebagian kecil pemilih saja.
Sejumlah negara juga menerapkan jumlah minimal
pemilih yang memilih untuk pemilihan presiden,
biasanya minimum 50%, seperti di Rusia dan banyak
bekas republik Soviet; ini juga merupakan cara lain
guna mencapai dukungan mayoritas. Penggunaan
ketentuan di atas digambarkan pemilihan presiden
pada tahun 1996 bagi dua presiden dari dua negara
yang sangat berbeda. Keduanya dapat menduduki
jabatan presiden hanya dengan dukungan seperlima
dari para pemilih yang umurnya sudah memenuhi
syarat untuk memilih. Presiden Clinton dari Amerika
Serikat dipilih hanya dengan dukungan duapuluh
tiga persen suara, dan Presiden Chiluba dari Zambia
dengan dukungan duapuluh persen. Kedua hasil
tersebut tidak mungkin diperoleh dalam sistem TRS
atau majority-turnout yang dipakai di negara lain.
Meskipun demikian, sebagaimana semua sistem
pemilu TRS, pemilihan presiden yang dilaksanakan
dengan cara TRS membutuhkan biaya dan sumber
daya yang sangat besar untuk melaksanakannya. Juga
harus diperhitungkan turunnya jumlah pemilih
antara putaran pertama dan kedua, yang seringkali
sangat buruk dan merusak.
Amerika Latin mempunyai pengalaman yang sangat
problematik dengan TRS. Disamping negara-negara
dimana partai politiknya dapat menciptakan aliansi
sebelum pemilihan presiden sehingga mereka dapat
memenangkan pemilihan tersebut pada putaran
pertama (seperti Brazil pada tahun 1994 dan Chile
pada tahun 1989 dan 1994), TRS telah menyebabkan
terjadinya pemerintahan minoritas dan
pemerintahan yang kurang mampu memerintah.
Sistem tersebut telah menambah dalamnya polarisasi
sistem multi-partai, dan menambah beratnya
masalah kemacetan legislatif. Misalnya dalam pemilu
1990 di Peru, Alberto Fujimori memperoleh
limapuluh enam persen suara di putaran kedua,
tetapi partainya hanya memenangkan empat belas
dari enampuluh kursi di Senat, dan tigapuluh tiga
kursi dari 180 di Dewan Perwakilan. Pada tahun 1989
di Brazil, Fernando Color de Mello dipilih dalam
pemilihan putaran kedua dengan jumlah suara
sedikit di bawah setengah, namun demikian dalam
pemilihan parlemen yang tidak sama waktunya,
partainya hanya memperoleh tiga dari tujuhpuluh
lima kursi Senat dan hanya empatpuluh kursi dari
503 kursi di Kursi Parlemen. Di Ekuador, selalu terjadi
pemerintahan minoritas sejak TRS digunakan untuk
pemilihan presiden pada tahun 1978.
u Preferential VotingOleh: Ben Reilly
Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan TRS
adalah dengan menggabungkan putaran pertama
dan kedua menjadi satu pemilihan saja. Ada
beberapa cara untuk melakukannya. Salah satu
modifikasi yang paling sederhana adalah sistem
preferensial yang digunakan untuk pemilihan
presiden di Sri Lanka (lihat studi kasus Sri Lanka:
Perubahan untuk Mengakomodasi Perbedaan).
Dengan cara ini, pemilih diminta untuk memberi
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA
121
tanda tidak hanya pada pilihan pertama mereka,
tetapi juga (kalau mereka mau) pilihan kedua dan
ketiganya dengan memberikan angka �1�, �2�, �3�,
disamping nama calon, seperti yang dilakukan
dalam Alternative Vote (lihat Alternative Vote) dan
Single Transferable Vote (lihat Single Transferable
Vote) yang dibicarakan sebelumnya. Apabila
seorang calon mendapatkan suara mayoritas absolut
pada pilihan pertama, mereka langsung dinyatakan
terpilih. Akan tetapi, jika tidak ada calon yang
mendapatkan suara mayoritas absolut, semua calon
kecuali dua calon teratas harus dicoret dari daftar,
suara pilihan kedua atau pilihan ketiganya
dialihkan kepada salah satu dari dua calon teratas
tadi, menurut urutan yang sudah tercatat dalam
kertas suara. Siapa saja yang memperoleh jumlah
suara yang terbanyak pada akhir proses dinyatakan
sebagai terpilih. Sistem ini memungkinkan
diadakannya sekali pemilihan yang dalam sistem
TRS harus dilakukan dua kali. Cara ini akan
menghemat biaya yang cukup besar dan membuat
administrasi lebih efisien.
Kekurangan yang ada dalam sistem Sri Lanka
tersebut adalah:
� Persyaratan bahwa pemilih harus tidak buta
huruf seperti apa yang biasanya menjadi
syarat sistem pemilihan preferensial, dan
� Fakta bahwa para pemilih harus secara efektif
diminta untuk menebak siapa dua calon
kandidat teratas, sehingga mereka dapat
menggunakan suara mereka secara maksimal.
Ini bukan merupakan kelemahan dari Alternative
Vote (AV), yang digunakan untuk memilih presiden
Irlandia (lihat Irlandia: Sistem STV Model Irlandia).
Tatacara menandai kertas suara sama persis seperti
yang dipakai di Sri Lanka. Perbedaannya adalah
bahwa para pemilih Irlandia dapat memberi tanda
sebanyak mungkin preferensi yang mereka inginkan,
dan tidak dibatasi dengan tiga pilihan saja seperti
yang terjadi di Sri Lanka. Tetapi cara penghitungan
suaranya pun sangat berbeda. Sebagai ganti
dicoretnya semua calon kecuali dua calon terbaik,
dalam sistem Alternative Vote, calon yang
ditempatkan paling bawah akan dibuang dari daftar.
Suara yang tadinya diberikan kepada dia dipindah
ke preferensi berikutnya. Cara ini diulangi sampai
seorang calon memperoleh suara mayoritas, atau
sampai semua preferensi dihitung. Tidak seperti
kasus Sri Lanka, dalam sistem AV Irlandia ini calon
yang ditempatkan paling bawah yang memperoleh
suara preferensi banyak masih dapat mendahului
calon yang ditempatkan di urutan atasnya dan pada
akhirnya memenangkan kursi. Contoh paling akhir
pemilihan presiden yang menang karena
pemindahan suara seperti ini adalah pemilihan
tahun 1990 yang memilih Mary Robinson sebagai
presiden Irlandia.
Meskipun adanya perbedaan tersebut, kedua sistem
tersebut mempunyai tujuan inti yang sama:
menjamin bahwa siapapun yang memenangkan
pemilihan presiden mendapat dukungan dari
mayoritas pemilih. Penggunaan pemilihan suara
preferensi dengan memberi kemungkinan bagi
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA
122
pilihan kedua berarti bahwa putaran kedua tidak
perlu lagi. Ini akan menghemat biaya, dan juga
menguntungkan dari segi administratif, logistik dan
keamanan.
u Persyaratan penyebaranOleh: Andrew Reynolds
Salah satu cara untuk menjamin seorang presiden
mendapatkan dukungan luas dari berbagai lapisan
masyarakat adalah dengan memberlakukan
persyaratan penyebaran. Persyaratan ini dapat
menjadi penghalang yang harus diatasi sebelum
seorang presiden dinyatakan terpilih. Di Nigeria pada
tahun 1993, calon-calon presiden tidak hanya harus
memenangkan pluralitas suara, tetapi juga harus
memperoleh setidak-tidaknya sepertiga suara di
minimal dua pertiga dari tigapuluh satu propinsi.
Di Kenya, agar seseorang dapat dipilih menjadi
presiden, seorang calon harus mendapatkan
sekurang-kurangnya duapuluh lima persen suara
yang tersebar di minimal lima dari delapan propinsi.
Meskipun demikian, pada tahun 1992 oposisi yang
terpecah memperbolehkan Daniel Arap Moi menjadi
presiden dengan hanya didukung oleh tigapuluh
lima persen suara.
Keuntungan persyaratan penyebaran adalah
mendorong calon presiden untuk merangkul
kelompok diluar wilayah atau kelompok etnisnya
sendiri. Dan jika diterapkan secara tepat, hal ini akan
dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian,
persyaratan yang terlalu ketat dapat berakibat tidak
adanya calon yang terpilih. Akibat selanjutnya
adalah kosongnya kekuasaan yang penuh dengan
bahaya instabilitas. Dan jika tidak ada seorang calon
yang dapat memenuhi syarat pada pemilihan
pertama, nampaknya tidak seorangpun dapat
memenuhinya dalam pemilihan yang kedua.
Pemilihan Majelis Tinggi (Senat)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Memang tidak semua parlemen terdiri dari satu
kamar; banyak parlemen, terutama di negara-negara
besar, adalah bikameral, yaitu terdiri dari dua kamar.
Meskipun ada banyak perbedaan diantara berbagai
jenis kamar kedua (juga dikenal sebagai �majelis
tinggi� atau �senat�), ada dua generalisasi yang dapat
diterapkan untuk hal ini:
� Pada umumnya kamar kedua lebih lemah
dari majelis rendah. Jarang sekali kedua
kamar tersebut berkekuatan sama. Ini karena
kamar kedua biasanya berfungsi sebagai
kamar pengecekan, dari pada sebuah kamar
pemerintahan.
� Karena masalah ini, kamar kedua seringkali
ukurannya lebih kecil daripada kamar
pertama. Lebih jauh lagi, kamar kedua
seringkali dirancang agar dapat mencakup
berbagai jenis perwakilan atau kelompok
masyarakat yang berbeda-beda dibanding-kan
dengan kelompok yang ada di kamar pertama.
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA
123
Penggunaan yang paling umum dari kamar kedua
adalah pada sistem federal, untuk mewakili unit
konstituen dari federasi. Misalnya, negara-negara
bagian di Amerika (lihat AS: Minoritas Etnis dan
Distrik Wakil Tunggal) dan Australia (lihat Alternative
Vote di Australia), Lander di Jerman, dan propinsi-
propinsi di Afrika Selatan semuanya secara terpisah
diwakili di majelis tinggi. Model seperti ini, akan
memberikan keuntungan untuk negara-negara
bagian dan propinsi-propinsi yang kecil, dan dengan
demikian diasumsikan adanya persamaan dalam
perwakilan. Model lain dari perwakilan yang umum
dipakai adalah penggunaan kamar kedua untuk
mewakili kelompok etnis, linguistik, agama dan
kebudayaan. Kamar kedua juga mungkin saja secara
sengaja mewakili masyarakat madani. Misalnya, di
Malawi, konstitusi menyediakan 32 dari
delapanpuluh senator, yang dipilih oleh para senator
yang sudah terpilih dari daftar caleg yang diusulkan
oleh �kelompok kepentingan� di masyarakat.
Kelompok-kelompok ini sering disebut sebagai
organisasi wanita, para penyandang cacat, kelompok-
kelompok kesehatan dan pendidikan, sektor bisnis
dan petani, serikat pekerja, orang-orang penting
dalam masyarakat, dan pimpinan-pimpinan agama.
Majelis Tinggi Inggris (the House of Lords) yang tidak
populer itu dipertahankan atas dasar bahwa Majelis
Tinggi tersebut berisi orang-orang dengan keahlian
kebijakan tertentu, yang dapat mengontrol peraturan
perundang-undangan pemerintah yang dibuat oleh
para politisi generalis.
Karena variasi yang bermacam-macam ini, banyak
kamar kedua yang dipilih sebagian, dipilih tidak
langsung, atau tidak dipilih. Dari model yang dipilih
tersebut, kebanyakan yurisdiksi, agar merefleksikan
perbedaan peran dari kedua kamar tersebut, telah
memilih untuk menggunakan cara pemilihan yang
berbeda antara pemilihan Majelis Tinggi dan majelis
rendah. Misalnya, di Australia, majelis rendah dipilih
dengan sistem mayoritarian (AV - lihat Alternative
Vote), sedangkan Senatnya, yang merepresentasikan
berbagai negara bagian, dipilih dengan menggunakan
sistem proporsional (STV - lihat Single Transferable
Vote). Ini juga berarti bahwa kepentingan minoritas
yang pada umumnya tidak dapat memenangkan
pemilihan di majelis rendah masih memperoleh
kesempatan untuk memenangkan pemilu, dalam
konteks perwakilan negara bagian di Senat.
Pemilihan Pemerintah Lokaldan RegionalOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds
Sistem Pemilu apapun yang telah diuraikan di atas
dapat digunakan pada tingkat pemerintah lokal atau
regional. Akan tetapi, seringkali ada beberapa
pertimbangan khusus sebagai akibat peran khusus
dari pemerintah lokal dalam sebuah sistem politik.
Pertama-tama, karena pemerintah lokal lebih
merupakan �pengurus� dari masalah kehidupan
sehari-hari, perwakilan secara geografis sering diberi
keutamaan; distrik wakil tunggal dapat digunakan
untuk menyumbangkan suatu keputusan dalam
masalah lokal bagi setiap kelompok masyarakat.
Karena distrik-distrik tersebut begitu kecil, biasanya
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA
124
Untuk mengetahui lebih banyak mengenai ACE
Project silakan lihat situs internet
http://www.aceproject.org
mereka sangat homogen, yang kadang-kadang
tampak sebagai sesuatu yang baik, tapi apabila
perbedaan dalam sebuah distrik pemerintah lokal
dikehendaki, prinsip �jari-jari roda� dari pemetaan
daerah pemilihan dapat diterapkan. Disini, batas-
batas distrik tidak digambar mengelilingi lingkungan
yang dikenali, tapi merupakan segmen-segmen dari
sebuah lingkaran yang berpusat di pusat kota dan
berakhir di daerah pinggiran kota. Artinya, sebuah
distrik mencakup para pemilih di daerah kota dan
pinggiran kota, dan menciptakan sebuah campuran
kelas ekonomi dan etnis.
Sebaliknya, beberapa negara yang menggunakan
sistem Representasi Proporsional (RP) untuk
pemerintahan daerah, memandang kotamadya-
kotamadya yang telah ditetapkan sebagai cara yang
sempurna untuk memiliki sebuah daerah
pemilihan RP daftar-tunggal yang secara
proporsional dapat merefleksikan semua
pendapat-pendapat politik yang berbeda di
kotamadya tersebut. Akan tetapi, sebuah
pertimbangan yang aneh terhadap persyaratan
sistem pemilu pemerintahan daerah ialah bahwa
tempat khusus perlu dibuat untuk kelompok
independen dan perwakilan lembaga daerah yang
tidak digerakkan oleh ideologi partai politik. Juga
benar bahwa pilihan atas sistem pemilu daerah
mungkin dibuat sebagai suatu fungsi, atau bagian
dari sebuah kompromi mencakup sistem untuk
parlemen nasional. Misalnya, di beberapa negara
demokrasi yang baru seperti Kongo dan Mali,
tradisi dan pengaruh Perancis telah menghasilkan
Two-Round System untuk parlemen nasional,
sementara keinginan untuk menjadi inklusif dan
sepenuhnya lebih merefleksikan loyalitas etnis dan
regional menghasilkan pada dipilihnya sistem RP
untuk pemilu kotamadya.
JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA