Sistem Pemilu

133
Sistem Pemilu DARI ACE PROJECT, SEBUAH KERJASAMA ANTARA: UNITED NATIONS International Foundation for Election Systems

Transcript of Sistem Pemilu

Page 1: Sistem Pemilu

i

SistemPemilu

DARI ACE PROJECT,SEBUAH KERJASAMA ANTARA:

UNITED NATIONSInternational Foundationfor Election Systems

Page 2: Sistem Pemilu

ii

ADMINISTRASI DAN BIAYA PROYEK PEMILU

ISBN: 91-89098-72-2

International IDEAStrömsborg S-103 34StockholmSwedenTel: +46 8 698 3700Fax: +46 8 20 2422E-mail: [email protected] web: www.idea.int

IFESF. Clinton White Resource Center1101 15th Street N.W. 3rd FloorWashington, DC20005 USATel: +1 202 828 8507Fax: +1 202 452 0804E-mail: [email protected] web: www.ifes.org

UNDESA1 UN PlazaRoom DC1-982New York, New York10017 USATel: +1 212 963 8836Fax: +1 212 963 2916E-mail: [email protected] web: www.un.org/esa

Pemberitahuan Hak Cipta danDisklaimer

Hak Cipta 1998, 1999, 2000, 2001 � LembagaInternasional untuk Bantuan Demokrasi danPemilu (International IDEA), Yayasan Internasionaluntuk Sistem Pemilihan Umum (IFES), danPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Proyek Administrasi dan Biaya Pemilu (ACEProject) adalah usaha kemitraan gabungan danterus-menerus dari PBB, IFES, dan InternationalIDEA dalam pengumpulan informasi danpenerbitan elektronik. Para mitra proyek percayabahwa pernyataan gagasan secara terbuka dan arusinformasi yang bebas itu penting bagi perancangandan penerapan pemilu demokratis yang sah dandiselenggarakan secara efektif.

Ucapan Terima Kasih: Jika Anda menemukaninformasi berharga dalam penerbitan ini,silakan menggunakannya, menyalinnya, danmenyebarkannya. Tapi, dalam hal apa pun,diperlukan penyebutan buku ini dan situs webACE Project sebagai sumber bahan-bahan,bersama dengan nama-nama mitra proyek dan,jika mungkin, nama pengarang. Jika suatucontoh digunakan, sumber aslinya juga harusdisebut.

Pemberitahuan: Bila bagian-bagian dari buku iniatau situs web ACE Project atau CD-ROM

digandakan, para mitra proyek meminta Andamemberitahu �Koordinator ACE Project� di salahsatu dari alamat-alamat di bawah ini.

Permintaan Penggunaan/Izin: Informasi daripenerbitan ini tidak boleh digunakan untuktujuan-tujuan komersial atau pengumpulan danatanpa izin langsung dan tertulis kepada PanitiaPengarah ACE Project. Permintaan izin semacamitu bisa diajukan tertulis kepada �Koordinator ACEProject� di satu dari alamat-alamat di bawah ini.

Terjemahan �Tak Resmi�: Untuk penerjemahan kebahasa lain, harap ditunjukkan bahwa itupenerjemahan tak resmi dan dilakukan oleh Andasendiri atau organisasi Anda.

Sebuah �kerja yang terus berlangsung�: Isipenerbitan ini merupakan sebuah �kerja yang terusberlangsung�. Pengguna sumber ini dipersilakandan didorong untuk berpartisipasi dalamevolusinya dengan memberikan umpan balikdalam wujud komentar, kritik, tambahan contohatau usulan-usulan tertulis lainnya.

Umpan balik: Kredit dan pengakuan yang layakdengan rasa terima kasih akan diberikan untukseluruh jenis kontribusi yang substantif. Silakansampaikan komentar Anda ke Tim ManajemenProyek dengan menggunakan tombol �feedback�yang terdapat di setiap dokumen bidang topik, ataudengan menulis ke Koordinator ACE Project disalah satu dari alamat-alamat di bawah ini.

Page 3: Sistem Pemilu

iii

Page 4: Sistem Pemilu

iv

Ucapan Terima Kasih

Terjemahan ini dibiayai dan digunakan oleh IFES Indonesia. Pencetakan difasilitasi oleh

International IDEA, Indonesia, dengan dana dari Australian Agency for International

Development (AusAID).

Catatan Untuk Pembaca

Teks untuk Sistem Pemilu bermula dari situs web ACE. Situs web itu bisa dijumpai di

http://www.aceproject.org. Bila ada rujukan di dalam teks yang aslinya adalah hotlink di

situs web itu, harap menelusurinya dengan mengunjungi situs webnya. Untuk diketahui

bahwa dalam situs webnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris (Contoh: lihat Tinjauan

Historis a see Historical Review)

Page 5: Sistem Pemilu

v

Menggunakan Sumber Informasi Elektronik ACE ProjectPendahuluan Sistem Pemilu

SISTEM PEMILUTinjauan UmumPrinsip DasarPertimbangan AdministratifPertimbangan BiayaKonteks Sosial dan PolitikTinjauan HistorisPetunjuk Praktis Bagi Para Perancang Sistem PemiluReferensi Tambahan

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGANMembentuk Badan Perwakilan yang RepresentatifMembuat Pemilu Terjangkau dan BerartiMenyediakan Sarana bagi PersatuanMembantu Terbentuknya Pemerintah yang Stabil dan EfisienMemastikan Akuntabilitas Pemerintah dan Wakil RakyatMendukung Hidupnya Partai-Partai Politik yang TerbukaMendorong Adanya Oposisi di Parlemen

PROSES PEMILIHAN SISTEMKonvensi Nasional-Majelis KonstitusiNegosiasiPaksaan dari LuarEvolusi/Kebetulan

KOMPONEN PERANCANGANPilihan-Pilihan Demokrasi Langsung

u Referendum dan Plebisitu Inisiatif Warganegarau Recall Legislatif

Frekuensi/Tanggal/Hari PemiluBesarnya ParlemenPembagian Daerah PemilihanCara Pemungutan SuaraBagaimana Mengkonversi Suara Menjadi KursiMekanisme Khusus

u Pemungutan Suara Wajibu Ketentuan-Ketentuan tentang Kaum Minoritasu Mekanisme Khusus untuk Kaum Wanita

SISTEM MAYORITAS-PLURALITASFirst Past The Post (PFTP)

u First Past The Post-Segi Positifu First Past The Post-Segi Negatif

Block Vote (BV)

INDEKS SISTEM PEMILU

viiviii

11568

11192026

2929303132323333

3434444952

5354545962656669707273747981

8282838587

Page 6: Sistem Pemilu

vi

u Block Vote-Segi Positifu Block Vote-Segi Negatif

Alternative Vote (AV)u Alternative Vote-Segi Positifu Alternative Vote-Segi Negatif

Two Round System (TRS)u Two Round System-Segi Positifu Two Round System-Segi Negatif

SISTEM SEMI PROPORSIONALParalel

u Paralel-Segi Positifu Paralel-Segi Negatif

Limited Vote (LV)u Limited Vote-Segi Positifu Limited Vote-Segi Negatif

Single Non-Transferable Vote (SNTV)u Single Non-Transferable Vote-Segi Positifu Single Non-Transferable Vote-Segi Negatif

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONALAlokasi KursiRepresentasi Proporsional (RP) Daftar

u RP Daftar-Segi Positifu RP Daftar-Segi Negatif

Mixed Member Proportional (MMP)u Mixed Member Proportional-Segi Positifu Mixed Member Proportional-Segi Negatif

Single Transferable Vote (STV)u Single Transferable Vote-Segi Positifu Single Transferable Vote-Segi Negatif

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGANREPRESENTASI PROPROSIONAL

Batas Representasi (Threshold)ApparentementDaftar Terbuka, Tertutup dan BebasUkuran Distrik

DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINYAPemilihan Presiden

u First Past The Post (FPTP)u Sistem Pemilihan Presiden Dua Putaran (TRS)u Preferential Voting (PV)u Persyaratan Penyebaran

Pemilihan Majelis Tinggi (Senat)Pemilihan Pemerintah Lokal dan Regional

8888899090919293

94949595969696979798

99100100101103105106106107108108

109

109110110112

114

118118118119120122122123

INDEKS SISTEM PEMILU

Page 7: Sistem Pemilu

vii

Media Penyebaran

ACE Project telah mengumpulkan sumbermenyeluruh yang mudah diakses tentangadministrasi pemilu dan menerbitkannya di Internetdan CD-ROM.

Situs web ACE Alamat situs web ACE adalah http://www.aceproject.org. Situs web ini memuatinformasi terkini yang berkaitan dengan seluruhsegi bahan-bahan ACE Project, juga jalurpenghubung ke sumber-sumber informasieksternal. Sebagian besar dokumen di situs webACE bisa dilihat dengan browser Internet apa pun(misalnya Netscape Navigator, MS InternetExplorer). Beberapa dari dokumen di situs web,seperti bahan-bahan contoh dan dokumen yangberkaitan dengan pemilu, sudah diubah formatnyaagar pengguna bisa melihatnya dan mencetaknyasebagaimana aslinya. Peranti lunak Adobe AcrobatReaderTM diperlukan untuk melihat dokumen-dokumen ini. Jika di komputer Anda tak ada AdobeAcrobat Reader, memasangnya mudah. Pirantilunak ini tersedia cuma-cuma dan bisa diambil darisitus web Adobe di http://www.adobe.com.

CD-ROM ACE CD-ROM ACE berisi dokumen-dokumen teks dan grafis yang terdapat di situs webACE, meski situs web itu mungkin sudah diperbaruisejak penerbitan CD-ROM. Tapi CD-ROM kerapmenjadi bahan rujukan yang lebih cepat. CD-ROMbisa dibaca dengan komputer bersistem operasiWindows, Macintosh, atau Unix. Petunjuk teknisuntuk menggunakan CD-ROM disertakan di dalampaket CD-ROM. Untuk melihat isinya tidak harusterhubung dengan Internet.

MENGGUNAKAN SUMBER INFORMASIELEKTRONIK ACE PROJECT

Menjelajah Penerbitan Elektronik ACE

Menjelajah situs web ACE atau CD-ROM dilakukandengan menggunakan antarmuka browser web.Untuk memasuki situs web ACE, hubungkankomputer dengan Internet dan kemudian langsungmengetikkan alamat http://www.aceproject.org ditempat bertanda �URL� atau alamat Internet. Untukmenggunakan CD-ROM, masukkan cakram CD-ROM ke drive CD-ROM dan lihat daftar isinya. Klikdua kali dokumen bernama home.htm. Begitu homepage ACE terbuka, menjelajah penerbitan ACE samasaja, terlepas dari apakah CD-ROM atau situs webyang digunakan.

Setelah mengklik home page, daftar isi ACE akantampak. Pilih sebuah bidang topik dari salah satulabel (tab) berwarna yang ada, atau pilih satu daridokumen-dokumen lain untuk informasi lebihbanyak tentang proyek atau daftar contoh bahan-bahan atau sumber daya elektronik tambahan yangberkaitan dengan administrasi pemilu. Perpindahandi antara bagian-bagian terpisah dan bidang topikdilakukan dengan mengklik salah satu tab berwarnayang terdapat di setiap halaman pendahuluan atauyang melintang di atas jendela browser (atau layarmonitor komputer) di setiap halaman pada versi�frame�.

Di dalam setiap bidang topik bisa ditemukankerangka seluruh dokumen di topik itu denganmenekan tombol indeks di bagian atas halaman, ataubagian kiri jendela browser untuk versi �frame�.Kerangka, atau indeks, ini dirancang memperbaruidiri sendiri secara terus-menerus, yang me-mungkinkan pengguna tetap mengingat di manasetiap dokumen berada dalam hubungannya denganbidang topik secara keseluruhan. Di seluruh teksbidang topik disediakan hyper-link untukmemudahkan akses ke informasi yang berkaitan.

Page 8: Sistem Pemilu

viii

ACE ProjectVersi O - Oktober, 1998

Topik Sistem Pemilu berhubungan dengan hal-hal mengenai tipe perwakilan dan sifat demokrasiyang dijadikan dasar sistem pemilu. Pilihan sistem pemilu merupakan sebuah keputusan yangfundamental mengenai bagaimana politik akan dirancang. Sekali dipilih, sistem pemilu cenderunguntuk tetap konstan. Sebagai tinjauan umum topik Sistem Pemilu, silakan melihat Tinjauan Umum.Tinjauan historis yang singkat tentang evolusi sistem-sistem pemilu dapat ditemukan dalamTinjauan Historis.

Dalam menentukan sistem pemilu yang sesuai, para perancang harus memperhitungkanPertimbangan Administratif dan Pertimbangan Biaya sebagai tambahan pada Prinsip Dasar.Pembicaraan mengenai komponen-komponen sistem pemilu, termasuk frekuensi pemilu, ukuranparlemen, metode pemungutan suara, dan perhitungan suara menjadi kursi, dapat ditemukandalam Komponen Perancangan. Contoh-contoh mengenai bagaimana sistem pemilu dipilih (dandiubah) dapat ditemukan dalam Proses Pemilihan Sistem.

Untuk tujuan proyek ini, sistem pemilu dikategorisasikan dalam tiga kelompok besar: SistemMayoritas-Pluralitas, Sistem Semi-Proporsional, dan Sistem Representasi Proporsional. Dalamkelompok-kelompok tersebut terdapat �sub-sub kelompok� (ada 10 sub kelompok). Sebanyak212 sistem pemilu parlementer dapat dikategorisasikan dalam salah satu dari 10 anak-kelompoktersebut.

Berbagai macam variasi Contoh Negara memberikan contoh kongkrit yang rinci mengenaibagaimana sistem pemilu dilaksanakan secara nyata. Contoh jenis-jenis surat suara yang berbedadapat dilihat dalam Contoh Perlengkapan. Terdapat juga daftar Referensi Tambahan untuk merekayang ingin menjelajahi lebih jauh masalah-masalah yang kadangkala rumit sehubungan dengansistem pemilu.

PENDAHULUAN SISTEM PEMILU

Page 9: Sistem Pemilu

ix

Page 10: Sistem Pemilu

1

SISTEM PEMILU

Tinjauan UmumOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Pemilihan suatu sistem pemilu merupakan salah satu

keputusan kelembagaan yang penting bagi setiap

negara demokrasi. Meskipun demikian, jarang sekali

sistem pemilu dipilih secara sadar dan disengaja.

Seringkali pilihan tersebut datang secara kebetulan,

karena adanya beberapa peristiwa yang terjadi secara

simultan, karena trend yang sedang digandrungi, atau

karena keajaiban sejarah. Dampak kolonialisme dan

pengaruh negara tetangga seringkali menjadi

pendorong dalam memilih sistem pemilu. Meskipun

demikian, hampir setiap kasus pemilihan sistem

pemilu mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan

politik masa-depan negara yang bersangkutan. Dalam

kebanyakan kasus, sekali dipilih, sistem pemilihan

umum tersebut akan kurang lebih tetap sama karena

kepentingan politik hanya akan mengkristal di sekitar

dan bereaksi terhadap insentif yang ditimbulkan

sistem tersebut.

Bila jarang sekali terdapat sistem pemilu yang

dipilih secara sengaja, lebih jarang lagi didapat

sistem pemilu yang dirancang secara seksama untuk

memenuhi kondisi sejarah dan sosial tertentu

sebuah negara. Setiap negara demokrasi baru harus

memilih (atau mewarisi) sebuah sistem pemilu

untuk memilih parlemennya, tetapi keputusan

tersebut seringkali dipengaruhi oleh salah satu dari

keadaan dibawah ini:

� para pelaku politik kurang mempunyai

informasi dan pengetahuan yang cukup

sehingga berbagai bentuk dan konsekuensi

sebuah sistem pemilu tidak mereka ketahui

seluruhnya atau, sebaliknya

� para pelaku politik menggunakan penge-

tahuan mereka mengenai sistem-sistem

pemilu untuk mengajukan sistem pemilihan

tertentu, yang menurut mereka dapat

memberikan keuntungan bagi pihaknya.

Baik menurut skenario pertama maupun kedua,

pilihan yang diambil mungkin bukan yang terbaik

untuk kesehatan politik jangka panjang negara yang

bersangkutan. Bahkan seringkali pilihan tersebut

membawa dampak yang sangat merugikan bagi

kelangsungan demokrasi negara tersebut.

Jadi latar belakang pemilihan suatu sistem pemilu

sama pentingnya dengan sistem itu sendiri. Kita

tidak boleh berandai-andai bahwa keputusan

seperti itu dibuat tanpa pengaruh politik apapun.

Malahan pertimbangan keuntungan politis hampir

selalu menjadi faktor dalam pemilihan sistem

pemilu� kadang kala bahkan merupakan satu-

satunya pertimbangan. Sedangkan kita tahu bahwa

pilihan atas sistem pemilu yang tersedia, pada

dasarnya, relatif sedikit. Yang juga terjadi adalah

bahwa perhitungan kepentingan politik jangka

pendek seringkali mengaburkan dampak jangka

panjang sistem pemilu tertentu dan kepentingan

sistem politik yang lebih luas. Oleh karenanya,

dengan menyadari adanya hambatan-hambatan

praktis, kami berusaha mendekati masalah

pemilihan sistem pemilu seluas dan

sekomprehensif mungkin.

Page 11: Sistem Pemilu

2

SISTEM PEMILU

Unsur sistem pemilu yang kami angkat dalam buku

ini ditujukan khususnya kepada para negosiator

politik dan pembuat undang-undang di negara-

negara demokrasi baru, yang sedang belajar, dan

yang sedang menjalani masa transisi. Meskipun

demikian, karena menciptakan sebuah institusi

politik merupakan tugas yang penting, tidak hanya

bagi negara-negara demokrasi baru, tetapi juga

untuk negara-negara demokrasi mapan, yang

sedang mengadaptasi sistemnya agar dapat

merefleksikan realitas politik baru. Tulisan ini juga

mencoba memenuhi kebutuhan orang-orang di

negara-negara yang demokrasinya sedang tumbuh

atau sudah mapan, yang mungkin sedang

merancang sistem-sistem pemilu. Karena

karakteristik target pembacanya, kami harus

menyederhanakan banyak kajian-kajian akademis

yang tersedia, meskipun kami tidak dapat

melepaskan diri dari pembahasan beberapa hal

yang lebih kompleks yang terkait dengan masalah

tersebut. Apabila kadang-kadang kami kelihatan

terlalu sederhana atau kadang-kadang terlalu

kompleks, alasannya terletak pada usaha kami

untuk menyeimbangkan antara bagaimana

membuat uraiannya jelas sekaligus komprehensif.

Meskipun keadaan yang mendasari pilihan

konstitusional di negara-negara demokrasi baru

maupun yang sudah mapan sangat berbeda satu

sama lain, tujuan jangka panjang sebagian besar

negara demokrasi pada umumnya sama: membentuk

institusi yang cukup kuat untuk menunjang

demokrasi yang stabil, tetapi cukup fleksibel

menghadapi perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Baik negara demokrasi baru maupun yang sudah

mapan harus banyak saling belajar dari pengalaman

negara lainnya. Desain kelembagaan merupakan

sebuah proses yang terus berkembang, dan kami

membuat pokok kesimpulan atas pelajaran yang

kami ambil dari contoh-contoh kongkrit desain

kelembagaan dari berbagai pelosok dunia.

Sistem Pemilu dan Konstitusi

Banyak desain konstitusional yang relatif belum lama

terbentuknya: gerakan global untuk menciptakan

pemerintahan yang demokratis pada tahun 1980-an

dan 1990-an mendorong segera dicarinya suatu

model pemerintahan perwakilan yang sesuai, dan

juga evaluasi baru mengenai sistem pemilu. Proses

ini didorong oleh munculnya kesadaran yang meluas

bahwa pilihan lembaga politik dapat membawa

dampak yang signifikan terhadap sistem politik yang

lebih luas � misalnya, semakin disadarinya bahwa

sistem pemilu dapat membantu �merekayasa�

kerjasama dan akomodasi pada masyarakat yang

terpecah. Desain sistem pemilu sekarang diterima

sebagai suatu masalah yang sangat penting atas

masalah-masalah penyelenggaraan negara lain yang

lebih luas, bahkan mungkin yang paling berpengaruh

dari semua institusi politik.

Lewat penyajian analisa terinci mengenai pilihan dan

konsekuensinya, dan dengan menunjukkan

bagaimana sistem pemilihan umum telah berjalan

di negara-negara demokrasi, kami berharap untuk

dapat mencapai dua hal:

Page 12: Sistem Pemilu

3

SISTEM PEMILU

� menambah pengetahuan dan mendorong

diskusi politik dan masyarakat; dan

� menyediakan alat bagi para penyusun

konstitusi agar dapat membuat pilihan, dan

dengan demikian menghindari disfungsi-

onalitas dan efek ketidakstabilan sebagai

akibat dari pemilihan sistem pemilu tertentu.

Pada tingkat yang paling dasar, sistem pemilu

mengkonversi suara yang diperoleh partai politik

atau caleg dalam pemilu menjadi kursi. Variabel-

variabel kuncinya adalah: 1) model pemilu yang

digunakan (misalnya: apakah sistem mayoritas atau

proporsional, dan rumus matematis apa yang dipakai

untuk menghitung perolehan kursi) dan 2) ukuran

distrik, bukan berdasarkan banyaknya pemilih yang

tinggal di sebuah wilayah tertentu, tetapi berdasarkan

banyaknya anggota parlemen yang dipilih untuk

wilayah tersebut.

Desain sistem pemilu berkaitan erat dengan aspek

administratif pemilu lainnya yang dibahas dalam web-

site ini, seperti misalnya penempatan TPS, (lihat

Pelaksanaan Pemungutan Suara), pencalonan caleg

(lihat Partai Politik dan Caleg), pendaftaran pemilih

(lihat Pendaftaran Pemilih), siapa yang melaksanakan

pemilu dan hal-hal lain � lihat Indeks Manajemen

Pemilu. Masalah-masalah ini begitu penting, dan segi-

segi positif setiap sistem yang dipilih akan menjadi

kurang berarti, apabila hal-hal yang disebutkan tadi

tidak diperhatikan dengan baik. Desain sistem pemilu

juga mempengaruhi bidang lain dalam peraturan

perundang-undangan pemilu: dipilihnya sistem

pemilu mempunyai pengaruh bagaimana membagi

distrik pemilihan (lihat Indeks Pemetaan Distrik

Pemilihan), perancangan kertas suara (lihat

Pelaksanaan Pemungutan Suara), dan bagaimana

menghitung suara (lihat Penghitungan Suara), dan

juga banyak aspek lain dalam proses pemilu.

Ringkasan Jenis-Jenis Sistem Pemilu

Ada ratusan jenis sistem pemilu yang saat ini dipakai

di seluruh dunia dan ada banyak lagi varian dari

setiap jenis tersebut. Namun demikian, agar

pembahasannya menjadi lebih sederhana, kami

kelompokkan berbagai jenis sistem pemilu ke dalam

tiga kelompok besar:

� pluralitas-mayoritas

� semi-proporsional, dan

� proporsional

Dari tiga kelompok besar ini, ada sepuluh �anak

kelompok�

� First Past the Post (FPTP)

� Block Vote (BV)

� Alternative Vote (AV), dan

� Sistem Dua Putaran, Two-Round System

(TRS); kesemuanya merupakan sistem

pluralitas-mayoritas.

� Sistem Paralel

� Limited Vote (LV)

� Single Non-Transferable Vote (SNTV);

kesemuanya merupakan sistem semi-

proporsional.

Page 13: Sistem Pemilu

4

SISTEM PEMILU

� Representasi Proporsional Daftar, RP Daftar,

� Mixed Member Proportional (MMP), dan

� Single Transferable Vote (STV); kesemuanya

merupakan sistem proporsional.

Semua sistem pemilu parlementer yang tercantum

dalam Pemakaian Sistem Pemilu di Seluruh Dunia

(total 212 sistem) dapat dimasukkan dalam salah satu

kategori sepuluh nama diatas. �Silsilah� ini,

meskipun sudah mendarah daging dalam konvensi-

konvensi yang telah lama dipraktekkan, adalah yang

pertama kali mencakup semua sistem pemilu yang

digunakan dalam pemilihan anggota parlemen di

dunia saat ini, tanpa menghiraukan pertanyaan

mengenai demokrasi dan legitimasi yang lebih luas.

Kami berharap tulisan ini dapat memberikan

pedoman yang jelas dan singkat untuk dapat

menentukan pilihan atas suatu sistem pemilu.

Cara yang paling umum untuk mengamati suatu

sistem pemilu adalah dengan mengelompokkan

mereka sesuai dengan tingkat efisiensi sistem

tersebut dalam mengkonversi perolehan suara

nasional menjadi kursi parlemen; artinya seberapa

proporsionalkah mereka. Ini dapat dilakukan dengan

cara melihat baik hubungan suara - kursi maupun

banyaknya suara yang terbuang. Misalnya, Afrika

Selatan menggunakan sistem proporsional klasik

untuk pemilu pertamanya yang demokratis pada

tahun 1994, dan dengan 62,65% suara yang

diperoleh Partai Kongres Nasional Afrika (ANC)

memenangkan 63% kursi nasional (lihat Afrika

Selatan: Sistem Pemilu dan Konflik Manajemen).

Sistem pemilu yang dipakai ini sangat proporsional,

dan jumlah suara yang terbuang (yaitu suara yang

diberikan kepada partai namun tidak membuahkan

kursi di Parlemen) hanya 0,8% dari total suara.

Sangat berbeda dengan satu tahun sebelumnya, di

negara tetangganya Lesotho, sistem First Past the

Post (FPTP) yang merupakan sistem mayoritas

klasik memberikan kemenangan kepada Partai

Kongres Basotho dengan mengambil seluruh 65

kursi dengan perolehan suara 75% dari suara total;

jadi tidak ada oposisi di parlemen sama sekali; dan

25% pemilih yang memilih partai lain sama sekali

tidak terwakili. Hasil ini juga terlihat dalam sistem

Block Vote pada pemilu Djibouti di tahun 1992,

ketika seluruh 65 kursi dimenangkan oleh

Rassemblement Populaire le Progres dengan

perolehan suara 75% dari total suara.

Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu, sistem

pemilu non-proporsional (seperti FPTP) dapat secara

tidak sengaja memberikan hasil yang secara

keseluruhan cukup proporsional. Ini yang terjadi di

sebuah negara ketiga yang terletak di Afrika bagian

selatan, Malawi, pada tahun 1994. Dalam pemilu

tersebut, partai terbesar, Front Demokratik Bersatu

(United Democratic Front) memenangkan 48% kursi

dengan perolehan suara 46%, Partai Kongres Malawi

memenangkan 32% kursi dengan perolehan suara

34%, dan Aliansi untuk Demokrasi memenangkan

20% kursi dengan perolehan suara 19%. Tingkat

proporsionalitas secara keseluruhan tinggi, tetapi

fakta yang menunjukkan bahwa sistem ini bukan

merupakan sistem proporsional karena suara yang

terbuang masih berkisar hampir seperempat total

Page 14: Sistem Pemilu

5

SISTEM PEMILU

suara yang diberikan, dan dengan demikian, tidak

dapat dikategorikan sebagai sistem proporsional.

Prinsip DasarOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Rancangan sebuah Sistem Pemilu harus mencip-

takan sebuah sistem yang mencakup prinsip-prinsip

berikut ini (prinsip-prinsip ini dirinci dalam Prinsip-

Prinsip Perancangan):

1. Memastikan terbentuknya sebuah parlemen

yang representatif, lihat Membentuk Badan

Perwakilan yang Representatif;

2. Membuat Pemilu terjangkau dan berarti bagi

para pemilih pada umumnya, lihat Membuat

Pemilu Terjangkau dan Berarti;

3. Menyediakan sarana bagi rekonsiliasi partai

yang semula bermusuhan, lihat Menye-

diakan Sarana bagi Persatuan;

4. Menjaga citra legitimasi Dewan dan

Pemerintah;

5. Membantu terbentuknya pemerintah yang

stabil dan efisien, lihat Membantu Terben-

tuknya Pemerintah yang Stabil dan Efisien;

6. Mendorong terbentuknya suatu sistem yang

memungkinkan pemerintah dan para wakil

rakyat dapat bertanggungjawab secara

maksimal, lihat Memastikan Akuntabilitas

Pemerintah dan Wakil Rakyat;

7. Mendukung hidupnya partai-partai politik

yang �terbuka,� lihat Mendukung Hidupnya

Partai-Partai Politik yang �Terbuka;�

8. Mendorong munculnya oposisi di parlemen,

lihat Mendorong Adanya Oposisi di

Parlemen;

9. Apakah realistis berdasarkan kemampuan

keuangan dan administrasi negara, lihat

Pertimbangan Biaya;

Dalam Petunjuk Praktis bagi Para Perancang Sistem

Pemilu, kami akan membicarakan lebih rinci

beberapa beberapa hal di bawah ini yang dapat

dipakai dalam merancang sebuah Sistem Pemilu:

1. Buatlah sesederhana mungkin, tetapi

2. Jangan takut untuk berinovasi;

3. Perhatikan faktor kontekstual dan waktu;

4. Jangan meremehkan kecerdasan para

pemilih;

5. Jika harus membuat pertimbangan, lebih

baik melibatkan banyak pihak daripada tidak

sama sekali (err on the side of inclusion);

6. Pahamilah bahwa proses pemilihan sebuah

sistem pemilu sama pentingnya dengan hasil

akhir;

7. Usahakan agar sistem yang dipilih men-

dapatkan legitimasi dan penerimaan dari

semua pemain kunci;

8. Cobalah untuk memaksimalkan pengaruh

para pemilih, tetapi

9. Imbangi dengan kebutuhan untuk men-

dorong adanya kedekatan partai-partai

politik dengan rakyat;

10. Ingatlah bahwa stabilitas jangka panjang dan

keuntungan jangka pendek tidak selalu dapat

Page 15: Sistem Pemilu

6

berjalan bersama-sama;

11. Jangan pernah berpikir bahwa sistem pemilu

merupakan obat untuk segala penyakit,

tetapi

12. Sebaliknya, jangan meremehkan penga-

ruhnya;

13. Perhatikan hasrat para pemilih untuk

menerima perubahan;

14. Jangan menjadi budak sistem-sistem

terdahulu;

15. Pertimbangkan dampak sebuah sistem baru

terhadap konflik sosial, dan akhirnya

16. Coba bayangkan hal-hal yang tidak biasa

atau agak mustahil yang mungkin terjadi.

Pertimbangan AdministratifOleh: Andrew Reynolds

Institusi politik membuat aturan main pelaksanaan

demokrasi, dan sistem pemilu seringkali dianggap

sebagai institusi politik yang paling mudah

dimanipulasi, baik untuk hal-hal baik maupun yang

tidak baik. Pendapat ini benar karena dalam

mengkonversi perolehan suara pemilu menjadi kursi

di parlemen, pemilihan sistem pemilu secara efektif

dapat menentukan siapa yang dipilih dan partai

mana yang berkuasa. Bahkan dengan perolehan

suara yang persis sama untuk partai tertentu, sebuah

sistem pemilu dapat menyebabkan terbentuknya

pemerintahan koalisi, sedangkan sistem lain dapat

memungkinkan sebuah partai memperoleh

kekuasaan mayoritas. Kedua contoh di bawah ini

menunjukkan bagaimana sistem pemilu yang

berbeda dapat mengkonversi perolehan suara

menjadi hasil yang sama sekali berbeda.

Tetapi sejumlah akibat lain dari suatu sistem pemilu

yang dipakai melampaui efek primer tadi. Model

sistem partai politik yang berkembang, secara khusus

jumlah dan besarnya partai-partai politik di

parlemen, sangat dipengaruhi oleh sistem pemilu.

Begitu juga hubungan internal dan disiplin partai

politik: beberapa sistem pemilu dapat mendorong

terbentuknya banyak fraksi, dimana berbagai faksi

dari suatu partai secara terus-menerus berhadapan

dengan faksi yang lain; dipihak lain, sebuah sistem

yang berbeda mendorong suatu partai untuk selalu

mengeluarkan suara yang satu dan menekan mereka

yang berbeda pendapat. Sistem pemilu dapat pula

mempengaruhi cara berkampanye partai-partai

politik dan kelakuan elit politik, dan dengan

demikian membantu menentukan iklim politik

yang lebih baik; sistem pemilu dapat juga

mendorong, atau memperlambat, terbentuknya

aliansi antar partai; dan sistem pemilu dapat juga

memberikan dorongan bagi partai-partai atau

kelompok untuk menjadi terbuka dan akomodatif,

atau memberikan peluang terbentuknya partai yang

berdasar pada lingkup yang lebih sempit, seperti

kesamaan etnis atau ciri. Disamping itu, apabila

sebuah sistem pemilu dianggap tidak �adil� dan

tidak memberikan kepercayaan bagi kelompok

oposisi akan peluang mereka untuk menang pada

pemilu berikutnya, sistem tersebut dapat

mendorong mereka yang kalah untuk bekerja di luar

sistem, menggunakan cara-cara yang tidak

SISTEM PEMILU

Page 16: Sistem Pemilu

7

demokratis, konfrontatif, dan bahkan menggunakan

taktik-taktik yang berbau kekerasan. Dan akhirnya

pilihan atas suatu sistem pemilu akan menentukan

tingkat kesukaran pengambilan suara. Hal ini selalu

penting, tetapi akan menjadi semakin penting

dalam masyarakat dimana sebagian besar

pemilihnya belum berpengalaman atau buta huruf.

Meskipun demikian, penting dicatat bahwa sebuah

sistem pemilu tertentu tidak serta-merta memberikan

hasil yang sama bila diterapkan di tempat lain.

Meskipun ada pengalaman serupa di beberapa

tempat berlainan di seluruh dunia, konteks sosial

politik dimana sistem tersebut digunakan, pada

umumnya, mempunyai pengaruh terhadap sistem

pemilu tersebut. Pengaruh sistem pemilu tergantung

pada faktor-faktor seperti bagaimana susunan

masyarakat tersebut berdasarkan ideologi, agama,

etnis, ras, daerah, bahasa, dan pembagian kelas

sosial; apakah negara tersebut merupakan sebuah

negara demokrasi yang sudah mapan, negara

demokrasi dalam transisi, atau negara demokrasi

baru; apakah ada sistem partai politik yang sudah

mapan, apakah partai-partai politik yang ada masih

Daerah PerolehanPemilihan kursi

1 2 3 4 5 Total % P-M PR

Partai A 3000 2600 2551 2551 100 10802 43 4 2

Partai B 2000 2400 2449 2449 4900 14198 57 1 3

5000 5000 5000 5000 5000 25000 100

Contoh pertama

Ket.: P-M = Sistem Pluralitas-mayoritas (FPTP),PR = Sistem Representasi Proporsional (RP)

dalam taraf embrio dan

belum jelas bentuknya, dan

ada berapa partai yang

merupakan partai yang

benar-benar �serius�; dan

apakah para pendukung

partai tertentu terkonsentrasi

secara geografis atau tersebar

di wilayah yang luas.

Pengaruh sistem pemilu

dalam konversi suara

menjadi kursi

Mari kita ambil contoh

sebuah pemilu imajiner (dua

partai politik mempere-

butkan 25.000 suara) yang

dilaksanakan dengan dua

sistem pemilu yang berbeda:

sistem First Past the Post

Daerah PerolehanPemilihan kursi

1 2 3 4 5 Total % P-M PR

Partai A 3000 2000 2000 200 50 7250 29 3 1

Partai B 500 500 500 3750 500 5750 23 1 1

Partai C 500 250 750 1000 3000 5500 22 1 1

Partai D 750 500 1700 25 1025 4000 16 0 1

Partai E 250 1750 50 25 425 2500 10 0 1

5000 5000 5000 5000 5000 25000 100 5 5

Contoh kedua

Ket.: P-M= Sistem Pluralitas-mayoritas (FPTP), PR = Sistem RepresentasiProporsional (menggunakan metode alokasi kursi sisa suara terbanyak dengankuota Hare).

SISTEM PEMILU

Page 17: Sistem Pemilu

8

SISTEM PEMILU

pluralitas-mayoritas dengan lima distrik wakil

tunggal (single member districts), dan sistem

representasi proporsional daftar (RP Daftar) dengan

sebuah daerah pemilihan yang besar.

Dalam contoh di atas, Partai A dengan 43% suara

mendapatkan suara yang jauh lebih kecil dari partai

B (dengan 57%), tetapi dalam sistem pluralitas-

mayoritas mereka memenangkan empat kursi dari

lima kursi yang tersedia. Sebaliknya, dalam sistem

proporsional Partai B memenangkan lebih banyak

kursi (tiga) dibandingkan dengan dua kursi yang

diperoleh Partai A. Contoh ini keli-hatan ekstrem,

tetapi hasil yang diperoleh sebuah distrik seringkali

seperti itu dalam pemilu model pluralitas-mayoritas.

Pada contoh yang kedua, perolehan suara diubah

dan sekarang ada lima partai yang bertarung dalam

pemilu, sedangkan sistem yang dipakai masih dua

sistem di atas.

Dalam contoh kedua, lima partai bersaing. Dengan

sistem RP, setiap partai memperoleh satu kursi

meskipun kenyataannya Partai A memperoleh suara

tiga kali lebih besar dari Partai E. Dengan sistem FPTP,

partai yang paling besar, Partai A akan mendapatkan

mayoritas dari lima kursi tadi dan dua partai yang

mendapatkan suara terbesar berikutnya (B dan C)

masing-masing mendapatkan satu kursi. Dengan

demikian, cara memilih sistem pemilu tadi, akan

mempunyai pengaruh yang sangat besar atas

komposisi parlemen, dan juga, akhirnya

pemerintahan.

Pertimbangan BiayaOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Pilihan atas suatu sistem pemilu memiliki cakupan

konsekuensi administratif yang luas, dan pada

akhirnya tergantung tidak hanya pada kapasitas

logistik nasional untuk menyelenggarakan pemilu,

tapi juga pada jumlah dana yang dapat dikeluarkan

negara tersebut. Memilih sistem yang paling mudah

dan paling murah mungkin saja merupakan suatu

langkah ekonomis yang keliru untuk jangka panjang,

karena sistem pemilu yang tidak berfungsi bisa

memiliki dampak negatif dalam keseluruhan sistem

politik negara dan stabilitas demokrasinya. Pilihan

atas suatu sistem pemilu akan mempengaruhi

berbagai jenis masalah administratif yang

dikemukakan dalam paragraf-paragraf berikut ini.

Penentuan Daerah-daerah Pemilihan

(lihat Indeks Pemetaan Distrik Pemilihan)

Sistem pemilu distrik wakil tunggal manapun

membutuhkan proses yang mahal dan menyita

waktu untuk menentukan batas-batas daerah-daerah

pemilihan yang kecil berdasarkan ukuran populasi,

kepaduan, �minat masyarakat,� dan kedekatan antara

pemilu yang satu dan yang lain. Lebih lanjut lagi,

hal tersebut jarang menjadi tugas sekali jadi karena

perbatasan disesuaikan secara periodik guna

mengikuti perubahan populasi. Dalam hal ini,

sistem-sistem seperti First Past the Post (FPTP),

Alternative Vote (AV), dan Dua Putaran (TRS)

memberikan persoalan administratif yang paling

Page 18: Sistem Pemilu

9

SISTEM PEMILU

rumit. Sistem-sistem Block Vote, Single Non-

Transferrable Vote (SNTV), Parallel, Mixed-Member

Proportional (MMP), dan Single-Transferrable Vote

(STV) juga mensyaratkan pembagian daerah-daerah

pemilihan, akan tetapi lebih mudah diatur sebab

sistem-sistem tersebut menggunakan distrik wakil

majemuk yang lebih sedikit dan lebih besar.

Pada ujung skala yang lain, sistem RP Daftar

seringkali merupakan yang paling murah dan paling

mudah untuk dikelola. Sebabnya, sistem tersebut

hanya menggunakan satu daerah pemilihan nasional

yang tidak membutuhkan pembagian daerah

pemilihan, atau menggunakan distrik wakil

majemuk yang sangat luas, yang sesuai dengan batas-

batas propinsi atau negara bagian yang sudah ada.

Pemilu transisi di Sierra Leone pada tahun 1996

harus diadakan dalam sistem RP Daftar nasional.

Perang saudara di negara tersebut dan perpindahan

penduduk sebagai akibatnya berarti bahwa,

meskipun seandainya mereka sangat menginginkan-

nya, badan-badan pemilu di sana tidak mempunyai

data populasi yang diperlukan untuk menentukan

distrik wakil tunggal yang lebih kecil.

Pendaftaran Pemilih

(lihat Ikhtisar Pendaftaran Pemilih)

Pendaftaran pemilih merupakan bagian dari

administrasi pemilu yang paling kompleks,

kontroversial, dan seringkali dianggap sebagai

tahapan yang paling kurang kesuksesannya. Pemilu

Zambia 1996 menunjukkan hal tersebut, dimana

kurang dari setengah populasi yang memenuhi syarat

untuk memilih didaftar, meskipun ada usaha-usaha

kampanye pendaftaran secara besar-besaran yang

dilakukan oleh sebuah perusahaan swasta. Sistem

apapun yang menggunakan distrik wakil tunggal

biasanya mensyaratkan bahwa semua pemilih harus

didaftar dalam lingkup distrik tersebut. Oleh karena

itu, dengan adanya perpindahan alami pemilih,

senantiasa dibutuhkan pembaharuan daftar pemilih

secara terus-menerus. Hal ini berarti bahwa sistem

Paralel dan sistem MMP bergabung dengan sistem

FPTP, AV, dan TRS sebagai sistem yang paling mahal

dan secara administratif menyita waktu dalam hal

pendaftaran pemilih. Lebih sedikitnya distrik wakil

majemuk dalam sistem BV, SNTV, dan STV,

membuat prosesnya sedikit lebih mudah, sementara

sistem-sistem RP Daftar dengan distrik yang luas

merupakan yang paling tidak rumit. Kesederhanaan

sistem RP Daftar regional dalam konteks ini

merupakan sebuah faktor pendukung dalam pemilu

transisi di Kamboja yang disponsori PBB pada tahun

1993 dan pemilu demokratis pertama di Afrika

Selatan di tahun 1994, lihat Afrika Selatan: Sistem

Pemilu dan Manajemen Konflik. Akan tetapi, harus

ditekankan bahwa variasi-variasi dalam sistem

pemilu hanya memiliki dampak kecil pada biaya

pendaftaran pemilih yang seringkali sangat mahal,

lihat Definisi Metode Pendaftaran Pemilih.

Desain Surat Suara

Surat suara (lihat Pelaksanaan Pemungutan Suara)

sebisa mungkin dibuat agar mudah dimengerti oleh

Page 19: Sistem Pemilu

10

SISTEM PEMILU

semua pemilih, untuk memaksimalkan partisipasi dan

mengurangi suara rusak atau �tidak sah.� Hal ini sering

memerlukan penggunaan simbol-simbol untuk partai

dan caleg, foto, dan warna-warna; sejumlah contoh

surat suara yang menarik digambarkan dalam buku

panduan ini. Surat suara untuk sistem FPTP dan AV

seringkali paling mudah dirancang dan, dalam banyak

kasus, secara relatif memuat sedikit nama. Surat suara

untuk sistem TRS juga mudah, tapi pada umumnya

surat suara yang baru harus dirancang untuk

pemungutan suara putaran kedua, yang jelas-jelas

melipatgandakan biaya produksi. Demikian juga

halnya sistem Paralel dan MMP biasanya memerlukan

perancangan paling sedikit dua jenis surat suara,

meskipun kedua sistem itu untuk suatu pemilihan

tunggal. Surat suara untuk sistem SNTV, BV, dan STV

sedikit lebih kompleks daripada surat suara sistem

FPTP karena jumlah calegnya lebih banyak, dan oleh

karenanya akan ada lebih banyak simbol dan foto (jika

memang digunakan). Kertas surat suara untuk sistem

RP Daftar dapat sangat bevariasi tingkat kesulitannya.

Surat suaranya bisa sangat sederhana, seperti dalam

sistem daftar stelsel, atau sangat kompleks seperti

dalam sistem daftar bebas1, seperti yang dipakai Swiss,

lihat Swiss.

Pendidikan Pemilih (lihat Pendidikan Pemilih)

Jelas bahwa sifat dari dan kebutuhan akan pendidi-

kan pemilih (lihat Indeks Pendidikan Pemilih) secara

dramatis akan bervariasi pada satu masyarakat dan

masyarakat lainnya. Akan tetapi, ketika membicara-

kan pendidikan pemilih tentang bagaimana cara

mengisi surat suara, ada perbedaan yang jelas di

antara masing-masing sistem. Prinsip-prinsip yang

mendasari pemungutan suara dalam sistem

preferensial seperti AV atau STV cukup rumit jika

digunakan untuk pertama kalinya. Masalah tersebut

harus dibicarakan dalam pendidikan pemilih,

terutama jika ada persyaratan penomoran wajib,

seperti kasus di Australia, lihat Alternative Vote di

Australia. Hal yang sama juga berlaku untuk sistem

MMP: setelah lebih dari 50 tahun menggunakan

sistem MMP, banyak orang Jerman salah mengerti

bahwa kedua suara mereka adalah sama, ketika

kenyataannya adalah bahwa suara �RP Nasional�

kedua merupakan faktor penentu kekuatan partai di

parlemen, lihat Jerman: Sistem Mixed Member

Proportional yang Orisinil. Sebaliknya, prinsip-

prinsip yang mendasari sistem suara-tunggal

kategorial sejenis FPTP atau SNTV sangat mudah

dimengerti. Enam sistem lainnya dalam Tabel Lima

berada di antara kedua ekstrim di atas.

Jumlah dan Waktu Pemilu

Sistem pemilu FPTP, AV, Block, SNTV, RP Daftar

Tertutup dan STV pada umumnya hanya

memerlukan satu kali pemilu dalam sehari, lihat

Besarnya Parlemen. Akan tetapi, pada intinya sistem

1 Setiap pemilih dapat memilih berdasarkan daftar caleg/partai yang telah tercantum dalam surat suara, atau mengubahnya dengan cara mencoret ataumengulang nama-nama yang telah tercantum tersebut; ia bahkan dapat memecah suaranya diantara beberapa pilihan yang tersedia (�panachage�) ataumemilih nama-nama dari daftar yang berbeda-beda dengan membuat sebuah daftar baru pada sebuah surat suara kosong.

Page 20: Sistem Pemilu

11

SISTEM PEMILU

Paralel dan MMP menggabungkan dua sistem pemilu

(atau lebih) yang sangat berbeda secara satu sama

lain, dan karenanya memiliki implikasi logistik

terhadap pelatihan petugas-petugas pemilu dan cara

pemberian suara. Sistem Dua-Putaran mungkin

merupakan sistem yang paling mahal dan sulit

dikelola, sebab sering menuntut pengulangan

keseluruhan proses pemilu seminggu atau dua

minggu sesudah pelaksanaan yang pertama.

Penghitungan Suara

Sistem FPTP, SNTV, dan RP Daftar Stelsel yang

sederhana merupakan yang paling mudah

penghitungan suaranya, lihat Penghitungan Suara,

karena hanya satu angka total jumlah suara untuk

setiap partai atau caleg yang dibutuhkan untuk

menentukan hasilnya. Sistem Block Vote menuntut

petugas-petugas pemilu untuk menghitung sejumlah

suara dalam sebuah surat suara. Sistem Paralel dan

MMP hampir selalu memerlukan penghitungan dua

surat suara. Sistem AV dan STV, sebagaimana

lazimnya sistem-sistem preferensial, mengharuskan

penggunaan angka-angka sebagai tanda pada surat

suara. Kedua sistem ini lebih rumit penghi-

tungannya, terutama dalam sistem STV yang

membutuhkan penghitungan kembali nilai transfer

yang berlebih dan sejenisnya secara terus-menerus.

Sejarah, konteks, pengalaman, dan sumber-sumber

daya utamanya akan menentukan berat-ringannya

beban yang ditumpukan sistem pemilu pada

kapasitas administratif sebuah negara.

Konteks Sosial dan PolitikOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Para Konsultan Perancangan Sistem Pemilu akan

menghindari pendekatan �satu ukuran untuk

semua,� yaitu merekomendasikan suatu sistem yang

dapat diterapkan untuk segala situasi. Memang, pada

saat diminta untuk menyebutkan sistem �yang paling

mereka sukai� atau �yang paling baik,� para ahli

konstitusi akan mengatakan �tergantung� dan

biasanya hal tersebut bergantung pada beberapa hal

di bawah ini:

� Bagaimana bentuk masyarakatnya?

� Mereka terbagi menurut apa?

� Apakah pembagian etnik dan masyarakat

cocok dengan tingkah laku dalam memilih?

� Apakah kelompok yang berbeda-beda

tersebut secara geografis tinggal bercampur

menjadi satu atau terpisah satu sama lain?

� Bagaimana sejarah politik negara itu?

� Apakah negara tersebut merupakan negara

demokrasi yang sudah mapan, negara

demokrasi transisi, atau negara yang

memperbaharui sistem demokrasinya?

� Parlemen bekerja dalam situasi konstitusi

umum seperti apa?

Ketika mereka menilai cocok tidaknya sebuah sistem

pemilu tertentu untuk masyarakat yang terpecah, tiga

variabel menjadi sangat penting:

� Pengetahuan akan karakteristik pembagian

masyarakat sangat penting � sifat identitas

Page 21: Sistem Pemilu

12

SISTEM PEMILU

kelompok, intensitas konflik, karakteristik

perseteruan, dan distribusi domisili

kelompok yang berseteru.

� Karakteristik sistem politik, yaitu,

karakteristik negara, sistem partai politik,

dan kerangka undang-undang dasar secara

keseluruhan.

� Proses pemilihan sistem pemilu yang

diadopsi, yaitu, apakah sistem tersebut

diterima dari penguasa kolonial, apakah

dirancang dengan penuh kesadaran, apakah

dipaksakan dari luar, atau apakah sistem

tersebut muncul lewat proses evolusi dan

akibat dari sesuatu yang tidak diinginkan.

Karakteristik Identitas Kelompok

Kerangka Undang-Undang Dasar yang baik haruslah

benar-benar kontekstual dan bertumpu pada situasi

sosial khas bangsa tersebut. Pembagian dalam

masyarakat sebagian dapat dilihat dengan sejauh

mana etnisitas berkorelasi dengan dukungan partai

dan perilaku pemberian suara. Faktor ini sering kali

dapat menentukan apakah rekayasa institusional

dapat menghilangkan konflik etnis atau malahan

mempertahankannya. Ada dua dimensi mengenai

karakteristik identitas kelompok:

� Yang pertama berhubungan dengan sifat

dasar - apakah masyarakat terbagi

berdasarkan kelompok ras, etnis, etno-

nasiolisme, agama, daerah, bahasa;

� Yang kedua berhubungan dengan apakah

pembagian ini sungguh kaku dan mendarah

daging.

Studi mengenai masalah yang kedua ini telah

mengembangkan berbagai antara kekakuan identitas

yang diterima (primordialisme) pada satu sisi dan

kelenturan identitas sosial yang terbangun

(konstruktivis atau instrumentalis) pada sisi yang

lain.

Intensitas Konflik

Variabel kedua, yang terkait dengan karakteristik

sebuah konflik dan sejauh mana konflik tersebut

dapat menerima pemilu, adalah intensitas dan

dalamnya kebencian antar kelompok yang saling

bersaing. Patut diingat bahwa, meskipun perhatian

internasional dan akademis secara alamiah terfokus

pada kasus-kasus yang ekstrem, kebanyakan konflik

etnis tidak memburuk menjadi perang saudara besar-

besaran. Meskipun hanya sedikit masyarakat yang

sama sekali bebas dari antagonisme multi-etnis,

sebagian besar berhasil mempertahankan tingkat

akomodasi timbal-balik yang cukup untuk

menghindari kehancuran sebuah negara. Ada

berbagai contoh negara yang sangat terpecah dimana

bermacam-macam kelompok memelihara hubungan

dingin, namun tetap damai, meskipun terdapat

tingkat antipati yang cukup tinggi satu sama lain,

seperti misalnya hubungan antara etnis Melayu, Cina

dan India di Malaysia. Ada contoh-contoh lain

(misalnya Sri Lanka) - dimana apa yang kelihatan

sebagai lingkungan antar etnis yang baik dan tidak

Page 22: Sistem Pemilu

13

SISTEM PEMILU

terdapat perseteruan rasial, tetapi malah terkungkung

dalam konflik senjata yang hebat. Konflik itu terjadi

kebanyakan di pemerintahan yang demokratis. Ada

juga kasus retaknya hubungan dan �pembersihan

etnis� oleh satu kelompok terhadap kelompok yang

lain, yang terjadi baru-baru ini saja dan sangat

mengerikan, di Bosnia.

Karakteristik Perseteruan

Rancangan sistem pemilu tidak semata-mata

tersubordinasi pada masalah-masalah sosial, tetapi

pada tingkat tertentu, juga terkait dengan

perbedaan-perbedaan budaya. Perseteruan yang

cukup klasik adalah perseteruan mengenai hak-hak

dan status kelompok di sebuah negara demokrasi

yang multi etnis, sebuah sistem yang bercirikan

adanya sebuah lembaga pembuat keputusan yang

demokratis dan adanya dua atau lebih kelompok

etnis. Kelompok etnis ini didefinisikan sebagai

sebuah kelompok manusia yang memandang

dirinya sebagai masyarakat budaya yang berbeda

dengan masyarakat lainnya; yang seringkali masih

menggunakan bahasa yang sama, menganut agama

yang sama, memiliki nenek-moyang yang sama,

dan/atau mempunyai ciri fisik yang sama (seperti

warna kulit); dan mereka yang cenderung

mempunyai perasaan negatif dan bermusuhan

terhadap anggota kelompok lain. Sebagian besar

tulisan ini akan membahas pengelompokan etnis

secara mendasar ini.

Meskipun demikian, jenis-jenis perseteruan lain

seringkali berhubungan dengan perseteruan etnis.

Apabila perpecahan didasari masalah kekayaan,

misalnya, maka cara memilih parlemen nasional

menjadi begitu penting karena perseteruan tersebut

dikelola lewat pengalokasian sumber-sumber daya

oleh pemerintah pusat kepada beberapa wilayah

dan kelompok masyarakat. Dalam hal seperti ini,

sebuah sistem pemilu, yang memberi dorongan

terciptanya parlemen yang dapat mencakup semua

pihak nampaknya akan lebih berhasil dibandingkan

dengan sebuah sistem yang lebih mengedepankan

adanya suatu kelompok mayoritas yang dominan,

atau pembagian etnis, daerah, atau pembagian yang

lain. Sistem pemilu yang dapat merangkul semua

pihak masih harus dipakai apabila perseteruan

tersebut terutama berasal karena alasan budaya,

seperti misalnya melindungi bahasa minoritas dan

sekolah khas budaya tertentu. Mekanisme

institusional lain, seperti otonomi budaya dan hak

veto kaum minoritas, akan sekurang-kurangnya

mempunyai pengaruh yang sama dalam

mengurangi konflik.

Konflik yang timbul karena masalah wilayah

seringkali menuntut pengaturan institusional yang

inovatif, yang dapat melampaui hal-hal positif yang

dapat diciptakan oleh sebuah sistem pemilu. Di

Spanyol dan Kanada, pengaturan asimetris untuk

wilayah Basque dan Quebec dibuat untuk

meredakan tuntutan pemisahan diri, sedangkan

federalisme diperjuangkan sebagai sebuah lembaga

pengelolaan konflik di negara-negara dimana ada

banyak perbedaan seperti Jerman, Nigeria, Afrika

Selatan, dan Swiss.

Page 23: Sistem Pemilu

14

SISTEM PEMILU

Penyebaran Kelompok-kelompok

yang Berkonflik

Pada saat kita memperhatikan beberapa pilihan

pemilu yang berbeda, masalah yang menjadi

pertimbangan paling akhir adalah penyebaran

kelompok etnis, terutama berhubungan dengan

besarnya kelompok tersebut, jumlah anggotanya

serta tingkat konsentrasi dan penyebaran geografis.

Lokasi pemukiman kelompok yang berkonflik

seringkali terkait dengan intensitas konflik diantara

mereka. Kontak antar kelompok tersebut yang sering

sering disebabkan oleh dekatnya lokasi pemukiman,

dapat meningkatkan kebencian timbal balik, namun

demikian hal itu dapat juga menjadi kekuatan

penengah terhadap konflik etnis yang ekstrim.

Kedekatan dapat menimbulkan kebencian, tetapi

dapat juga menimbulkan tingkat penerimaan

tertentu. Maka dari itu, kelompok-kelompok

berkonflik yang tinggal dalam satu wilayah lebih

kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perang

saudara dibandingkan mereka yang bertempat

tinggal di wilayah yang terpisah. Sebaliknya,

pemisahan wilayah kadangkala merupakan satu-

satunya jalan untuk dapat mengelola jenis konflik

etnik yang paling ekstrim � konflik yang

memerlukan pembagian kekuasaan dan otonomi

berdasarkan teritorial formal. Satu contoh kasus

ekstrim, �pembersihan etnis� di Bosnia, daerah-

daerah yang dulu digambarkan sebagai tempat yang

didiami beberapa ras, yakni Serbia, Kroasia, dan

Muslim yang sangat tercampur baur, sekarang ini

menjadi daerah yang didominasi oleh satu

kelompok etnis saja.

Mengerti konteks demografis setiap konflik etnis

sangat penting dalam usaha perbaikan secara

institusional. Jumlah dan penyebaran kelompok

etnis merupakan variabel penting baik untuk model

consociational maupun model centripetal dalam

perekayasaan pemilu untuk masyarakat yang

terpecah. Menurut Lijphart, jumlah segmen yang

paling baik untuk pendekatan consociationalist

adalah tiga atau empat, dan situasi menjadi tidak

menguntungkan kalau semakin banyak kelompok

terlibat. Sebaliknya, pendekatan centripetal

memerlukan tingkat proliferasi kelompok etnis

(atau, setidak-tidaknya, partai-partai kelompok

etnis) agar prasyarat yang sangat penting bagi

pemungutan suara dapat terpenuhi. Kemungkinan

untuk berhasil semakin besar jika jumlah segmen

bertambah. Faktor yang lain adalah ukuran relatif

kelompok etnis: consociationalism lebih menyukai

kelompok etnis yang kira-kira besarnya sama,

meskipun �sistem bikomunal,� dimana dua

kelompok yang besarnya kira-kira sama hidup

berdampingan, dapat menyebabkan munculnya

salah satu formula paling konfrontasional. Untuk

centripetalism, variabel yang sangat penting adalah

konsentrasi atau penyebaran kelompok etnis secara

geografis, dan bukan besarnya kelompok. Jika

kelompok terkonsentrasi secara geografis di satu

atau dua daerah, setiap strategi pemilu dalam

pengelolaan konflik harus dibuat menurut realitas

geografi politik yang ada. Peta teritorial untuk

federalisme dan jenis-jenis pembagian kekuasaan

yang lain biasanya akan menjadi perhatian utama,

sama seperti masalah otonomi kelompok. Kelompok

masyarakat asli dan/atau suku cenderung memiliki

Page 24: Sistem Pemilu

15

SISTEM PEMILU

tempat tinggal yang terpusat di suatu wilayah.

Contohnya, kelompok minoritas Afrika didapati

sangat terkonsentrasi di satu titik wilayah geografis

yang tidak terpisah-pisah dibandingkan dengan

kelompok minoritas di daerah-daerah lain. Ini

berarti bahwa satu kelompok etno politis akan

menguasai banyak konstituen pemilu dan

dukungan kekuatan informal lokal. Hal ini tentu

mempunyai implikasi yang begitu besar bagi para

perancang pemilu: setiap sistem pemilu yang

tergantung pada distrik pemilu wakil tunggal

(seperti misalnya alternative vote yang disukai oleh

centripetalists) kemungkinan akan menghasilkan

�kerajaan etnis� pada tingkat lokal. Perwakilan

minoritas dan/atau pembagian kekuasaan dalam

sistem ini mungkin memerlukan semacam bentuk

sistem distrik wakil majemuk � khususnya

Representasi Proporsional (RP) atau Proportional

Representation.

Bandingkan hal tersebut diatas dengan yang terdapat

di pemukiman-pemukiman kolonial atau tempat

masuknya tenaga kerja, seperti penyebaran secara

besar-besaran orang Cina dan India yang terdapat di

negara-negara Asia-Pasifik- Singapura, Fiji, Malaysia;

dan Guyana-Karibia, Trinidad, dan Tobago, dimana

kelompok-kelompok etnis tersebut lebih bercampur-

baur, dan oleh karenanya, memiliki hubungan

sehari-hari yang lebih banyak. Dalam hal ini,

identitas etnis seringkali diperlemah oleh

pertentangan lain, dan kelompok-kelompok pemilu

seringkali secara etnis akan lebih bersifat heterogen.

Oleh sebab itu sistem pemilu sentripetal, yang

mendorong partai-partai politik untuk mencari

dukungan dari kelompok etnis yang berbeda-beda,

(alternative vote), mungkin akan menghentikan

antagonisme antar etnik dan mendorong

terbentuknya partai-partai multi-etnik yang terbuka.

Setelah selama satu tahun mengadakan peninjauan

terhadap UUD-nya, Fiji baru saja memakai

Alternative Vote (AV) sebagai bagian dari konstitusi

baru yang non-rasial disebabkan alasan yang tersebut

diatas.

Kemungkinan lain adalah dimana ada begitu

banyak kelompok etnis sehingga beberapa jenis

sistem pemilu dengan sendirinya tidak dapat

dipakai. Struktur sosial semacam itu biasanya

terjadi pada suatu kelompok suku kecil, yang

tinggal dalam sebuah wilayah tertentu � sebuah

komposisi yang relatif agak jarang di negara-negara

Barat, tetapi banyak terdapat di Afrika Tengah dan

Pasifik Selatan. Kelompok semacam ini biasanya

memerlukan sistem perwakilan tunggal agar dapat

berfungsi secara efektif. Dalam kasus yang agak

ekstrim, contohnya Papua Nugini, ada ribuan

kelompok klan yang saling bersaing, yang

menggunakan 800 bahasa yang berbeda-beda.

Dalam kasus semacam ini, model representasi

proporsional hampir tidak mungkin karena

parlemennya akan memerlukan ribuan anggota

(dan, karena partai-partai lemah atau bahkan

dalam banyak kasus tidak ada partai sama sekali,

sistem RP Daftar yang disukai oleh para

konsosionalis akan sangat tidak cocok untuk

dipergunakan). Ini dengan sendirinya mengurangi

jenis sistem pemilu yang dapat dipakai oleh para

perancang pemilu.

Page 25: Sistem Pemilu

16

SISTEM PEMILU

Karakteristik Negara

Perancangan institusi untuk sistem pemilu harus

memperhatikan adanya perbedaan dinamika politis

yang membedakan antara negara demokrasi masa

transisi dan negara demokrasi yang sudah mapan.

Negara demokrasi transisi, terutama yang sedang

bergerak dari situasi konflik yang mendalam,

biasanya lebih memerlukan keterikatan semua

pihak dan batas representasi (threshold) yang

rendah bagi partai-partai politik yang bersaing agar

dapat menyuarakan suaranya, dibandingkan di

negara demokrasi yang sudah mapan. Demikian

juga, lingkungan politik yang stabil di kebanyakan

negara Barat � dimana dua atau tiga partai politik

utama dapat memperkirakan masa-masa tertentu

dimana mereka saling bergantian menduduki posisi

melalui penggantian kekuasaan atau pergeseran

koalisi pemerintah � sangat berbeda dari jenis

politik zero-sum yang seringkali menjadi ciri dari

masyarakat yang terpecah. Inilah salah satu alasan

mengapa �pemenang mendapatkan semua� dalam

First Past the Post (FPTP) sering dianggap sebagai

penyebab hancurnya demokrasi di negara yang

sedang berkembang; sistem seperti FPTP tersebut

cenderung menyingkirkan minoritas dari

perwakilan di parlemen dan, dalam sistem partai

yang berdasarkan etnis, hal tersebut dapat secara

mudah mengarah pada dominasi besar sebuah

kelompok etnis terhadap etnis yang lain. Dalam

keadaan seperti ini, demokrasi dapat berubah

menjadi situasi seperti sebuah permainan zero-sum,

dimana yang menang secara permanen

mengesampingkan yang kalah.

Karena alasan ini, banyak ahli melihat perlu adanya

bentuk pemerintahan yang berbagi kekuasaan, yang

mewakili semua kelompok sebagai bagian penting

transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan

demokratis. Model pembagian kekuasaan seperti ini

biasanya merupakan model yang diasosiasikan

dengan model RP, karena model ini merupakan cara

yang paling jelas yang dapat menjamin hasil yang

proporsional dan adanya perwakilan kaum

minoritas. Perlu diketahui bahwa hampir semua

pemilu transisional besar belakangan ini

dilaksanakan dengan sistem RP. Pemilihan umum

di Chile (1989), Namibia (1989), Nicaragua (1990),

Kambodia (1993), Afrika Selatan (1994), dan

Mozambik (1994), semua menggunakan bentuk RP

Daftar regional dan nasional bagi pemilu pertama

mereka. Dibandingkan dengan sistem mayoritas,

para ahli mengganggap sistem proporsional

merupakan faktor penting bagi transisi ke sistem

demokrasi. Dengan memasukkan kaum minoritas

kedalam proses tersebut dan dengan secara adil

memasukkan perwakilan semua partai politik dalam

parlemen yang baru, dengan tidak memperhitungkan

sejauh mana atau penyebaran pendukung mereka,

RP dianggap sebagai bagian integral dalam

menciptakan pemerintahan yang inklusif dan sah

sesudah rezim otoriter.

Bukti-bukti juga semakin menunjukkan bahwa

meskipun sistem RP Daftar skala besar merupakan

alat efektif untuk memperlancar arah transisi

demokrasi, sistem tersebut tidak begitu efektif untuk

mendorong konsolidasi demokratis. Negara-negara

yang sedang berkembang, khususnya mereka yang

Page 26: Sistem Pemilu

17

SISTEM PEMILU

menjalankan transisinya dengan model RP Daftar,

semakin sadar bahwa sistem distrik wakil majemuk

yang besar yang disyaratkan mencapai hasil

proporsional juga membawa masalah

pertanggungjawaban politik dan hubungan antara

politikus yang terpilih dan para pemilihnya.

Konsolidasi demokratis menuntut terciptanya

hubungan baik antara warganegara dan negara, dan

banyak negara demokrasi baru � khususnya negara-

negara masyarakat agraris � mempunyai tuntutan

yang lebih tinggi agar konstituen mereka

diperhatikan pada tingkat lokal, daripada tuntutan

untuk perwakilan yang sifatnya ideologis di

parlemen. Maka dari itu, semakin banyak

diperdebatkan di Afrika Selatan, Cambodia, dan

negara lainnya, bahwa pemilihan sebuah sistem

pemilu yang permanen harus mendorong

pertanggungjawaban geografis yang besar, dengan

cara anggota-anggota parlemen yang mewakili distrik

yang kecil membangun hubungan yang serasi antara

penguasa dan yang dikuasai. Meskipun model seperti

ini tidak akan menyingkirkan sistem RP- ada banyak

cara untuk menggabungkan Distrik Wakil Tunggal

(Single Member District) dengan perolehan

proporsional � sistem ini dengan sendirinya

mengesampingkan sistem RP Daftar nasional yang

sering dipakai oleh para consociationalist.

Karakteristik Sistem Partai

Para ahli pemilu mempunyai sebuah pandangan

kuno yang mengatakan bahwa pemilu dengan sistem

mayoritas akan mendorong tumbuhnya sistem dua

partai (dan, dengan demikian akan terjadi

pemerintahan satu partai), sedangkan sistem

Representasi Proporsional (RP) akan mendorong

munculnya sistem multi partai (dan pemerintahan

koalisi). Meskipun diketahui bahwa sistem mayoritas

membatasi jangkauan perwakilan parlemen dan

sistem RP justru mendukung jangkauan perwakilan,

pandangan konvensional tentang hubungan kausal

antara sebuah sistem pemilu dan sistem partai sudah

menjadi ketinggalan jaman. Dalam tahun-tahun

terakhir ini, FPTP telah menyebabkan perpecahan

sistem partai di negara demokrasi yang sudah mapan

seperti Kanada dan India, sedangkan sistem RP telah

memunculkan gejala seperti pemerintahan satu

partai besar di Namibia, Afrika Selatan dan di tempat-

tempat lain.

Salah satu dasar ilmu politik adalah bahwa para

politikus dan partai-partai politik akan memilih

lembaga-lembaga seperti misalnya lembaga

pemilihan umum yang mereka yakini akan

menguntungkan diri mereka sendiri. Dengan

demikian model sistem partai yang berbeda-beda

cenderung menghasilkan pilihan sistem pemilu yang

berbeda. Contoh yang paling baik adalah dipakainya

sistem RP di daratan Eropa pada tahun-tahun awal

abad ini. Perkembangan pemakaian sistem ini, dan

munculnya kekuatan sosial baru yang tangguh,

seperti misalnya gerakan kaum buruh, mendorong

dipakainya sistem RP yang sekaligus mencerminkan

dan mengontrol perubahan-perubahan ini di

masyarakat. Banyak transisi yang terjadi akhir-akhir

ini menunjukkan adanya peran �aktor rasional�

dalam memilih sistem pemilu. Sehingga rezim yang

Page 27: Sistem Pemilu

18

SISTEM PEMILU

terancam untuk tidak memerintah lagi, seperti di

Ukraina dan Chile, memakai sistem-sistem yang

mereka anggap dapat memaksimalkan hasil pemilu

bagi pihak mereka: sistem pemilihan dua putaran

yang sangat mewakili bekas Partai Komunis di

Ukraina, dan sebuah model RP yang tidak begitu

lazim dengan memakai distrik dua anggota, yang

diperkirakan dapat sangat mewakili partai di

peringkat kedua di Chile. Sebuah pengecualian yang

menarik yang membuktikan validitas model ini

adalah dukungan ANC terhadap sistem RP pada

pemilu pertama pasca apartheid di Afrika Selatan.

Seandainya sistem FPTP tetap dipakai tentulah

sistem tersebut akan memberikan keterwakilan yang

berlebih (over representation) bagi ANC sebagai

partai yang paling populer, namun hal tersebut juga

akan menimbulkan masalah tidak terangkulnya

kaum minoritas dan masalah ketidakpastian. ANC

membuat pilihan yang rasional, bahwa tujuan jangka

panjang mereka akan dapat terakomodir oleh sistem

yang memungkinkan mereka mengontrol caleg

mereka yang terpilih dan mengumpulkan unsur-

unsur pemilu menjadi satu, daripada menyerang

sistem itu sendiri.

Kerangka Konstitusi Secara Keseluruhan

Ketangguhan perancangan sebuah sistem pemilu

harus diukur dalam kerangka konstitusi negara yang

lebih luas. Bahasan ini memfokuskan diri pada

pemilu yang menghasilkan parlemen. Pengaruh

sistem pemilu pada keanggotaan dan dinamika

parlemen selalu membawa arti besar, tetapi pengaruh

sistem pemilu pada akomodasi politik dan

demokratisasi pada umumnya lebih terkait dengan

kekuasaan yang tampak pada parlemen dan

hubungan parlemen dengan lembaga politik yang

lain. Pentingnya perekayasaan pemilu menjadi

semakin besar dalam sistem parlemen unikameral

yang terpusat, dan menjadi lebih besar lagi jika

parlemen secara konstitusional diharuskan

membentuk kabinet pemerintah yang diambil dari

partai-partai besar yang memiliki perwakilan dalam

parlemen.

Demikian juga, ketangguhan perancangan sistem

pemilu akan semakin berkurang pada saat kekuasaan

menjauh dari parlemen. Dengan demikian, sejumlah

lembaga konstitusi akan secara proporsional

mengalihkan perhatian dari pemilu ke parlemen, dan

memerlukan seorang perancang konstitusi untuk

memfokuskan diri pada hubungan antara eksekutif

dan parlemen; antara Senat dan Dewan Perwakilan;

antara pemerintah pusat, daerah dan setempat. Ini

bukan dimaksudkan untuk mengurangi arti penting

sistem pemilu untuk lembaga-lembaga lain tersebut

(bagaimana memilih Presiden dan parlemen federal);

hal ini lebih akan menyoroti bagaimana rekayasa

konstitusi menjadi semakin kompleks pada saat

kekuasaan mulai berpindah dari pusat. Setiap

komponen institusi negara berikut ini dapat

memecah daya fokus kekuatan politis, dan dengan

demikian mengurangi arti penting perancangan

sistem pemilu dalam iklim politik secara

keseluruhan:

� presiden yang dipilih secara langsung;

Page 28: Sistem Pemilu

19

SISTEM PEMILU

� parlemen bi-kameral dengan perimbangan

kekuatan antara dua Dewan;

� tingkat federalisme dan/atau pengaturan

wilayah yang asimetris.

Tinjauan HistorisOleh: Andrew Reynolds

Pemilihan demokratis liberal dapat ditelusuri asal-

usulnya ke masa Athena kuno disaat kumpulan orang

(demos) berkumpul di lapangan kota, sedangkan

perancangan sistem pemilu modern dapat ditelusuri

ke pertengahan sampai akhir abad ke-19 di Eropa

Barat. Sampai Perang Dunia I parlemen yang

demokratis dipilih dengan menggunakan bentuk RP

Daftar yang masih embrionik (kebanyakan di

Skandinavia dan Negara Pantai Utara Eropa), Sistem

Dua Putaran (TRS) (Perancis dan Jerman), atau First

Past the Post (FPTP) (Inggris, Amerika Serikat,

Kanada, dan Selandia Baru). Kasus Australia agak

khas karena digantinya FPTP yang diturunkan

berdasarkan sistem kolonial dengan Alternative Vote

(AV) pada tahun 1918, lihat Alternative Vote di

Australia.

Tabel dibawah ini menggambarkan jangkauan dan

penyebaran sistem pemilu di beberapa negara antara

tahun 1945 dan 1995, berdasarkan data Handbook

Evolusi Historis Penggunaan Sistem Pemilu

Pluralitas � Mayoritas Semi-RP Proporsional

FPTP BV TRS AV SNTV PAR LIST MMP STV

1945 4 0 1 1 0 0 22 0 2 (6%) 30

(13%) (3%) (3%) (73%) 0

1950 6 1 1 1 1 0 30 1 2 43

(14%) (2%) (2%) (2%) (2%) (70%) (2%) (4%)

1960 17 1 1 1 1 0 34 1 2 58

(25%) (2%) (2%) (2%) (2%) (59%) (2%) (4%)

1970 24 3 2 2 1 2 36 1 2 73

(33%) (4%) (3%) (3%) (1%) (3%) (49%) (1%) (3%)

1980 29 4 5 2 1 4 43 1 2 91

(32%) (4%) (5%) (2%) (1%) (4%) (47%) (1%) (2%)

1990 33 5 7 2 3 6 46 2 3 107

(31%) (5%) (6%) (2%) (3%) (6%) (43%) (2%) (3%)

1995 39 9 18 2 2 18 57 6 2 153

(25%) (6%) (12%) (1%) (1%) (12%) (37%) (4%) (1%)

Page 29: Sistem Pemilu

20

SISTEM PEMILU

of Voter Turnout 1945-1997: A Global Report on

Political Participation dari International IDEA. Ini

tidak semata-mata hanya berisi �negara-negara

demokrasi,� akan tetapi semua negara yang sudah

pernah mengalami pemilu kompetitif �multi-partai.�

Pada tahun 1945, 80% �dunia demokrasi� pada

umumnya memilih parlemennya dengan sistem RP.

Kebanyakan negara menggunakan Sistem

Representasi Proporsional (RP), tetapi Republik

Irlandia dan Malta menggunakan bentuk RP, yakni

Single Transferable Vote (STV). Hanya Inggris,

Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru memilih

parlemennya dengan menggunakan sistem FPTP.

Menjelang tahun 1950 kemerdekaan India dan

kemerdekaan dua negara kecil lain di Karibia

menambah jumlah negara yang menggunakan sistem

FPTP menjadi 6, akan tetapi sistem RP masih tetap

menjadi primadona dengan hampir tiga perempat

dari keseluruhan jumlah pemakaian. Pada tahun

1950 Jepang menggunakan Single Non-Tranferable

Vote (SNTV) dan Jerman menggunakan perwakilan

Mixed Member Proportional (MMP) sesudah Perang

Dunia Kedua. Pada tahun 1960, dengan semakin

banyaknya negara di Karibia dan Afrika yang

memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, jumlah

pemakaian FPTP meningkat, tetapi RP masih dipakai

oleh dua pertiga, sedangkan FPTP hanya sekitar

seperempat dari keseluruhan kasus.

Gelombang kemerdekaan dari negara kolonial

sepanjang tahun 1960-an membuat banyak negara

di Afrika bereksperimen dengan sistem pemilu

multi-partai, dan negara-negara Afrika yang

terpengaruh Perancis semua menggunakan sistem

pemilu FPTP. Hingga tahun 1970 sepertiga dari

keseluruhan negara menggunakan sistem FPTP

distrik wakil tunggal sedangkan jumlah yang

menggunakan sistem RP turun menjadi kurang dari

setengahnya. Antara tahun 1980�1995 sistem yang

berkembang pesat adalah sistem Paralel dan sistem

dua putaran model Perancis. Hingga tahun 1995

sistem yang relatif amat jarang dipakai ini dipakai

oleh hampir seperempat dari seluruh jumlah sistem

pemilu di lebih dari 150 negara.

Petunjuk Praktis Bagi Para PerancangSistem PemiluOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari studi

komparatif sistem pemilu semata-mata adalah

lingkup dan kegunaan dari pilihan yang ada. Sangat

sering terjadi di negara-negara demokrasi baru, para

perancang konstitusi hanya memilih sistem pemilu

yang mereka ketahui. Ini merupakan warisan dari

cara-cara kolonial, dibanding dengan usaha mencari

alternatif baru yang lebih cocok. Maksud utama dari

web site ini adalah menyediakan pengetahuan yang

cukup bagi para perancang sistem pemilu sehingga

mereka dapat membuat keputusan yang baik. Ini

tidak berarti bahwa saran yang diberikan akan

memberi perubahan menyeluruh terhadap sistem

pemilu yang ada; berdasarkan pengalaman reformasi

sistem pemilu yang pernah dilakukan sejauh ini

terbukti bahwa perubahan yang tidak moderat,

Page 30: Sistem Pemilu

21

SISTEM PEMILU

dengan lebih menyempurnakan sistem yang sudah

berjalan baik, sering merupakan pilihan yang lebih

baik, daripada pilihan untuk mempergunakan sistem

yang sama sekali baru.

Banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik dari

pengalaman beberapa pihak. Misalnya, sebuah

negara dengan sistem FPTP yang ingin berubah

menjadi sistem yang lebih proporsional dengan

tetap mempertahankan hubungan geografis dengan

para konstituennya harus mempertimbangkan

pengalaman New Zealand, yang mengambil sistem

perwakilan Mixed Member Proportional (MMP)

pada tahun 1993, lihat Alternative Vote di Australia.

Negara lain yang ingin mempertahankan distrik

wakil tunggal, akan tetapi mendorong akomodasi

antar kelompok dan mengadakan kompromi

sebaiknya melihat pengalaman Alternative Vote di

wilayah Oceania, lihat Papua Nugini. Sebuah

negara yang terpecah-belah yang ingin membuat

perubahan ke arah demokrasi disarankan untuk

melihat kasus Afrika Selatan pada tahun 1994 yang

memakai pemilu model RP Daftar, lihat Afrika

Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik,

dan sebagai hasilnya terbentuklah pemerintahan

multi etnik yang berbagi kekuasaan. Sebuah negara

yang hanya ingin mengurangi besarnya biaya dan

instabilitas yang ditimbulkan oleh Sistem Dua

Putaran (TRS) harus mengambil contoh dari Sri

Lanka, lihat Sri Lanka: Perubahan untuk

Mengakomodasi Perbedaan, atau sistem pemilihan

preferensial model Irlandia, lihat Irlandia: Sistem

STV Model Irlandia. Dari semua kasus diatas,

perubahan dari sebuah sistem pemilu ke sebuah

sistem yang lain mempunyai pengaruh yang jelas

atas kehidupan politik di negara tersebut.

Beberapa petunjuk praktis yang dapat diikuti oleh

para perancang sistem pemilu:

Buatlah Sesederhana Mungkin

Rancangan sistem pemilu yang efektif dan dapat

bertahan lama nampaknya adalah rancangan yang

dapat mudah dimengerti oleh para pemilih dan

politikus. Kalau rancangan itu begitu rumit, hal

tersebut dapat menimbulkan salah pengertian,

konsekuensi-kensekuensi yang tidak diinginkan, dan

ketidakpercayaan pemilih atas hasil pemilu.

Jangan Takut untuk Berinovasi

Banyak sistem pemilu yang berhasil yang dipakai di

dunia saat ini merupakan pendekatan inovatif atas

masalah-masalah yang khusus, dan ternyata itu

berjalan dengan baik. Ada banyak hal yang dapat

dipelajari dari pengalaman pihak lain.

Perhatikan Faktor Kontekstual dan

Faktor Temporal

Sistem pemilu tidak berjalan jika terjadi kekosongan.

Keberhasilannya tergantung pada perpaduan yang

baik antara institusi politik dan tradisi budaya.

Pertanyaan pertama yang harus diajukan oleh

seorang perancang sistem pemilu adalah:

Page 31: Sistem Pemilu

22

SISTEM PEMILU

� Dalam konteks politis dan sosial seperti apa

saya akan bekerja?

Pertanyaan kedua mungkin adalah:

� Apakah saya akan merancang sebuah sistem

yang permanen atau sebuah sistem yang

akan membantu kita melampaui sebuah

masa transisi?

Jangan Meremehkan Para Pemilih

Meskipun kesederhanaan itu penting, meremehkan

kemampuan para pemilih untuk mengerti dan

mempergunakan berbagai macam sistem permilu

juga sama berbahayanya. Misalnya, sistem

preferensial yang rumit berhasil dipakai di negara-

negara yang sedang berkembang di daerah Asia

Pasifik (seperti misalnya Papua Nugini dan Sri Lanka)

lihat �Papua Nugini,� sementara pengalaman dalam

beberapa pemilu yang diadakan baru-baru ini di

negara demokrasi baru menekankan pentingnya

perbedaan antara sadar �fungsi� dan sadar �politik.�

Bahkan di negara-negara miskinpun, para pemilih

kadang kala memiliki, dan ingin mengungkapkan

preferensi dan pilihan politik yang canggih.

Pertimbangkan untuk Mengikutsertakan

Semua Unsur

Apabila mungkin, apakah dalam masyarakat yang

homogen maupun terfragmentasi, sistem pemilu

sebaiknya menghasilkan sebuah parlemen yang lebih

mengikutsertakan semua kepentingan yang

signifikan. Apakah minoritas tersebut berdasarkan

identitas ideologis, etnis, rasial, bahasa, asal daerah

atau agama. Pengecualian berbagai unsur yang

signifikan dari parlemen, terutama dalam negara

berkembang, sayangnya seringkali berakibat buruk.

Proses Merupakan Faktor Utama dalam

Menentukan Pilihan

Cara bagaimana sebuah sistem pemilu tertentu dipilih

juga sangat penting dalam menentukan keabsahan

sistem tersebut. Proses yang melibatkan sebagian besar

atau semua kelompok, termasuk para pemilih pada

umumnya, lebih mungkin mengakibatkan

diterimanya hasil akhir secara meluas, dibandingkan

dengan sebuah keputusan yang dihasilkan oleh

kepentingan partisan semata. Meskipun pertimbangan

partisan tidak dapat dihindari pada saat

membicarakan pilihan sistem pemilu, dukungan

masyarakat dan antar-partai yang meluas bagi

terbentuknya sebuah lembaga sangat penting agar

sistem tersebut dapat diterima dan dihormati.

Perbaikan sistem pemilu Selandia Baru dari sistem

FPTP ke MMP, misalnya, diawali dengan serangkaian

pemilihan umum yang dipakai untuk melegitimasi

hasil akhirnya. Lihat Selandia Baru: Sebuah Negara

Demokrasi �Westminster� Berpindah ke Sistem RP.

Sebaliknya, keputusan Pemerintah Sosialis Perancis

pada tahun 1986 untuk mengubah sistem TRS yang

mereka pakai saat itu menjadi sistem RP dipandang

oleh banyak pihak digerakkan oleh alasan-alasan

Page 32: Sistem Pemilu

23

SISTEM PEMILU

partisan, dan dengan segera diubah lagi begitu

pemerintah kehilangan kekuasaan di tahun 1988.

Bangun Legitimasi dan Penerimaan atas

Sistem Tersebut oleh Para Aktor Kunci

Semua kelompok yang ingin ikut bermain dalam

proses demokrasi harus merasakan bahwa sistem

pemilu yang akan dipakai bersifat �adil� dan

memberikan kesempatan yang sama kepada semua

orang untuk dapat dipilih. Tujuan utamanya adalah

bahwa mereka yang �kalah� dalam pemilu tidak

mengungkapkan kekecewaannya menjadi penolakan

terhadap sistem tersebut, ataupun mempergunakan

sistem pemilu tersebut sebagai alasan untuk

menggoncang jalan ke arah konsolidasi demokrasi.

Pada tahun 1990 di Nicaragua, Sandinista kalah

dalam pemerintahan, tetapi mereka menerima

kekalahan tersebut. Ini sebagian dikarenakan mereka

menerima keadilan sistem pemilu yang berlaku.

Seperti halnya Afrika Selatan, Sierra Leone dan

Mozambique dapat mengakhiri perang saudara

berdarah mereka lewat cara institusional yang dapat

diterima secara meluas oleh semua pihak, lihat Afrika

Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik.

Coba Memaksimalkan Pengaruh Para Pemilih

Para pemilih harus merasa bahwa pemilu memberi

mereka kapasitas untuk mempengaruhi pemerintah

dan kebijakan pemerintah. Pilihan dapat

dimaksimalkan dalam beberapa cara yang berbeda.

Para pemilih dapat memilih diantara partai-partai,

diantara caleg dari berbagai partai, dan diantara

caleg-caleg dari partai yang sama. Mereka mungkin

juga dapat memilih dengan cara yang berbeda untuk

pemilihan presiden, majelis tinggi, majelis rendah,

pemerintah regional, dan pemerintah lokal. Mereka

juga harus merasa bahwa suara mereka berpengaruh

terhadap pembentukan pemerintahan, dan tidak

hanya dalam komposisi di parlemen saja.

Pertimbangan atas Dorongan terhadap

Partai-Partai Politik yang Berkaitan

Keinginan untuk memaksimalkan pengaruh pemilih

harus diimbangi dengan perlunya mendorong partai-

partai politik yang aktif dan saling berkaitan. Pilihan

yang begitu beragam pada kertas suara dapat

menghasilkan parlemen yang sangat terpecah,

sehingga tidak ada partai yang mendapatkan seperti

apa yang diinginkannya. Ada kesepakatan yang

meluas diantara para ahli politik bahwa partai-partai

politik yang mencakup berbagai kepentingan dan

saling berkaitan merupakan faktor yang sangat

penting dalam pengembangan demokrasi yang

efektif dan bertahan lama.

Stabilitas Jangka Panjang dan Keuntungan

Jangka Pendek

Ketika para aktor politk bernegosiasi atas sistem

pemilu yang baru, mereka kadang kala mengajukan

proposal yang mereka percayai akan menguntungkan

Page 33: Sistem Pemilu

24

partai mereka dalam pemilu yang akan diadakan.

Meskipun demikian, ini kadang kala dapat

merupakan strategi yang tidak bijaksana, terutama

di negara-negara yang sedang berkembang, karena

kesuksesan atau dominasi partai dalam jangka

pendek dapat mengarah kepada kehancuran politik

jangka panjang dan huru-hara sosial. Misalnya,

dalam negosiasi sebelum pemilu transisional tahun

1994, Kongres Nasional Afrika (ANC) di Afrika

Selatan dapat saja berdebat untuk mempertahankan

sistem pemilu FPTP yang berlaku pada saat itu,

yang memungkinkan mereka sebagai partai terbesar,

mendapatkan tambahan satu kursi diatas perolehan

suara mereka secara nasional. Bahwa kemudian

mereka mengusulkan bentuk representasi

proporsional, dan akibatnya mereka memperoleh

kursi yang lebih sedikit daripada yang mereka

dapatkan jika mereka tetap memakai sistem FPTP,

membuktikan bahwa mereka lebih peduli terhadap

stabilitas jangka panjang daripada keuntungan

jangka pendek yang mereka peroleh dari pemilu

tersebut.

Begitu juga, sistem pemilu harus cukup responsif

menanggapi perubahan politik yang ada dan

tumbuhnya gerakan-gerakan politik baru. Bahkan di

negara-negara yang demokrasinya sudah maju,

dukungan untuk partai-partai besar jarang yang

sifatnya stabil, sementara itu di negara-negara

demokrasi baru kehidupan politik selalu sangat

dinamis. Ini berarti bahwa sebuah partai yang

mendapat keuntungan dari sistem pemilihan pada

sebuah pemilu belum tentu mendapat manfaat yang

sama pada pemilu yang berikutnya.

Sistem Pemilu Jangan Dianggap sebagai Obat

dari Segala Penyakit

Meskipun benar bahwa jika seseorang ingin

mengubah karakter kompetisi politik, sistem pemilu

mungkin merupakan instrumen yang paling baik

untuk melakukan hal tersebut, akan tetapi sistem

pemilu tetap tidak dapat menjadi obat bagi

penyakit- penyakit politik sebuah negara. Pengaruh

variabel-variabel lain secara keseluruhan, terutama

budaya politik sebuah bangsa, biasanya mempunyai

dampak yang jauh lebih besar terhadap prospek

demokrasi jika dibandingkan dengan faktor-faktor

institusional seperti misalnya sistem pemilu.

Terlebih lagi, pengaruh positif dari sistem pemilu

yang terancang dengan baikpun dapat dengan

mudah terkubur oleh dispensasi konstitusional

yang diterapkan dengan tidak wajar, pengaruh kuat

dari kubu-kubu yang saling bertarung, atau

besarnya pengaruh luar terhadap kedaulatan

sebuah negara.

Sebaliknya, Jangan Menganggap Remeh

Pengaruh Sistem Pemilu

Meskipun di seluruh dunia hambatan-hambatan

sosial bagi demokrasi masih begitu besar, hambatan

tersebut masih memberi peluang bagi strategi-

strategi politik yang terencana, yang dapat

mendorong atau menghambat berhasilnya

demokratisasi. Sistem pemilu bukan merupakan

obat, tetapi sistem tersebut sangat penting untuk

menstrukturisasi stabilitas setiap bangsa.

Pembuatan sistem pemilu yang baik belum tentu

SISTEM PEMILU

Page 34: Sistem Pemilu

25

dapat mencegah atau mengatasi permusuhan yang

mendalam, tetapi kelembagaan yang baik dapat

mendorong sistem politik ke arah berkurangnya

konflik, dan tanggungjawab pemerintah yang lebih

besar. Dengan kata lain, meskipun sebagian besar

perubahan yang diperoleh dengan cara penyesuaian

sistem pemilu mungkin hanya menyinggung daerah

pinggirannya saja, namun demikian sering terjadi

pengaruh kecil tersebutlah yang membuat

perbedaan apakah demokrasi menjadi

terkonsolidasi atau menjadi runtuh.

Keinginan Para Pemilih untuk

Menerima Perubahan

Perubahan sistem pemilu mungkin merupakan

gagasan yang baik bagi para pelaku politik yang

mengerti kelemahan sistem yang berlaku, akan

tetapi jika gagasan perubahan tersebut tidak

disampaikan dengan cara yang tepat, masyarakat

akan menolak adanya perubahan sistem tersebut,

dengan anggapan bahwa perubahan tersebut

semata-mata adalah keinginan para politikus untuk

merubah peraturan demi keuntungan mereka

pribadi. Yang paling menyedihkan adalah situasi

dimana perubahan tersebut dipandang semata-mata

sebagai manuver yang secara terang-terangan

dipakai untuk memperoleh keuntungan politis.

(Seperti misalnya kasus di Perancis tahun 1986, di

Chile tahun 1989, dan di Yordania tahun 1993, lihat

Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab dan Chile:

Proporsionalitas atau Mayoritas? Jika sebuah sistem

seringkali berubah, para pemilih tidak akan

mengerti dimana posisi mereka, seperti yang

diperdebatkan orang dalam kasus di Bolivia, lihat

Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika Latin.

Hindari Menjadi Budak dari Sistem

yang Lampau

Sangat sering terjadi sistem pemilu yang tidak

cocok bagi keperluan sebuah negara demokrasi

baru diturunkan atau diteruskan dari jaman

kolonial tanpa mempertimbangkan bagaimana hal

tersebut dapat diterapkan dalam realitas politik

yang baru. Contohnya, hampir semua koloni

Inggris di Asia, Afrika, dan Pasifik mengambil

sistem FPTP. Di banyak negara demokrasi,

terutama negara yang mengalami perpecahan

etnis, sistem seperti ini terbukti sangat tidak cocok

bagi kepentingan mereka. Juga diperdebatkan

bahwa kebanyakan bekas koloni Perancis di Afrika

Barat yang masih menggunakan sistem TRS model

Perancis, seperti misalnya yang terjadi di Mali

tahun 1992, lihat Mali: Sistem Dua Putaran di

Afrika, mengalami polarisasi yang merusak.

Demikian juga banyak rezim pasca komunis yang

masih memakai persyaratan batas minimum

jumlah pemilih yang memilih (mandatory turnout)

atau persyaratan adanya jumlah pemilih pada saat

pemilu sebanyak lebih dari 50% (majority) yang

mereka ambil dari jaman Soviet, lihat: Ukraina:

Bahaya Sistem Mayoritas di Sebuah Negara

Demokrasi Baru.

SISTEM PEMILU

Page 35: Sistem Pemilu

26

Menilai Pengaruh Setiap Sistem Baru

terhadap Konflik Sosial

Sistem pemilu tidak dapat dipandang hanya sebagai

mekanisme untuk memilih parlemen dan presiden,

tetapi juga sebagai alat mengatasi konflik yang terjadi

di masyarakat. Beberapa sistem, pada keadaan-

keadaan tertentu akan mendorong partai-partai

politik untuk mengajak agar pihak luar mau memberi

dukungan, selain dukungan dari basis utama mereka

sendiri. Sayangnya yang lebih sering terjadi sekarang

ini adalah hadirnya sistem pemilu yang tidak tepat,

yang hanya akan memperburuk tendensi negatif

yang sudah ada; misalnya, dengan mendorong partai-

partai melihat pemilu sebagai kontes �zero-sum�

yang mengakibatkan partai bersikap saling

bermusuhan dan eksklusif terhadap pihak-pihak

yang bukan dari kelompok mereka. Dalam

merancang sebuah institusi politik, masalah utama

yang harus dipikirkan adalah walaupun hal tersebut

tidak dapat mengurangi ketegangan dalam

masyarakat, paling tidak hal tersebut tidak

memperburuk keadaan.

Bayangkan Kemungkinan Tak Terduga yang

Tidak Biasa atau Tidak Mungkin Terjadi

Seringkali sistem pemilu dirancang untuk

menghindarkan kesalahan di masa lalu, terutama

kesalahan-kesalahan yang baru saja terjadi. Harus

dipastikan bahwa tindakan yang diambil tidak

berlebihan sehingga menciptakan sistem yang

berlebihan pula dalam mencoba memperbaiki

masalah-masalah sebelumnya. Selanjutnya, para

perancang sistem pemilu harus mencoba menjawab

beberapa pertanyaan yang tidak umum untuk

menghindarkan diri dari rasa malu yang mungkin

terjadi di masa datang:

� Bagaimana jika tidak ada yang

memenangkan pemilu dengan sistem yang

diusulkan tersebut?

� Mungkinkah sebuah partai politik

memenangkan semua kursi?

� Bagaimana jika harus diberikan kursi lebih

dari pada apa yang tersedia di lembaga

legislatif?

� Apa yang harus dilakukan jika caleg

berimbang?

� Apakah sistem ini berarti bahwa, pada

beberapa distrik, akan lebih baik jika para

pendukung partai tidak memilih caleg atau

partai yang disukainya?

Referensi TambahanOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

� Amy, Douglas. 1993. Real Choices: New

Voices: The Case for PR Elections in the United

States. New York: Columbia University

Press.

� Bogdanor, Vernon and David Butler, eds.

1983. Democracy and Elections. Cambridge:

Cambridge University Press. Bogdanor,

Vernon. 1984. What is Proportional

SISTEM PEMILU

Page 36: Sistem Pemilu

27

Representation? Oxford: Martin Robertson.

� Boston, Jonathan, Stephen Levine, Elizabeth

McLeay, and Nigel S. Roberts. 1996. Butler,

David, Howard Penniman and Austin

Ranney. 1981. Democracy at the Polls: A

Comparative Study of Competitive National

Elections. Washington DC: American

Enterprise Institute.

� Butler, David and Austin Ranney (eds). 1994.

Referendums Around the World: the growing

use of direct democracy (Basingstoke:

Macmillan).

� Cox, Gary. 1997. Making Votes Count. New

York and London: Cambridge University

Press.

� Downs, Anthony. 1957. An Economic Theory

of Democracy. New York: Harper and Row.

� Farrell, David M. 1997. Comparing Electoral

Systems. London: Prentice Hall/Harvester

Wheatsheaf.

� Finer, S. E., ed. 1975. Adversary Politics and

Electoral Reform. London: Anthony Wigram.

� Grofman, Bernard and Arend Lijphart, eds.

1986. Electoral Laws and their Political

Consequences. New York: Agathon Press.

� Grofman, Bernard and Chandler Davidson,

eds. 1992. Controversies in Minority Voting.

Washington D.C.: Brookings.

� Guinier, Lani. The Tyranny of the Majority:

Fundamental Fairness in Representative

Democracy (New York: The Free Press, 1994)

� Hermens, Ferdinand. 1972. Democracy or

Anarchy? A Study of Proportional

Representation. 2nd ed. New York: Johnson

Reprint Corporation.

� Horowitz, Donald L. 1991. A Democratic

South Afrika? Constitutional Engineering in

a Divided Society. Berkeley: University of

California Press.

� Inter-Parliamentary Union. 1993. Electoral

Systems: A World-wide Comparative Study.

Geneva: Inter-Parliamentary Union.

� Lakeman, Enid. 1974. How Democracies

Vote. London: Faber and Faber.

� Lijphart, Arend, and Bernard Grofman, eds.

1984. Choosing an Electoral System: Issues

and Alternatives. New York: Praeger.

� Lijphart, Arend. 1984. Democracies. New

Haven: Yale University Press.

� Lijphart, Arend. 1994. Electoral Systems and

Party Systems: A Study of Twenty-Seven

Democracies, 1945-1990. New York: Oxford

University Press.

� Lijphart, Arend. 1995a. �Electoral Systems.�

In The Encyclopedia of Democracy, ed. S.M.

Lipset. Washington D.C.: Congressional

Quarterly Press.

� Lijphart, Arend. 1995b. �Proportional

Representation.� In The Encyclopedia of

Democracy, ed. S.M. Lipset. Washington

D.C.: Congressional Quarterly Press.

� Mackie, Thomas and Richard Rose. 1982.

The International Almanac of Electoral

History. Washington D.C.: Congressional

Quarterly Press.

� Moyo, Jonathan. 1992. Voting for Democracy:

A Study of Electoral Politics in Zimbabwe.

Harare: University of Zimbabwe

SISTEM PEMILU

Page 37: Sistem Pemilu

28

Publications.

� Nohlen, Dieter. 1996. Elections and Electoral

Systems. Delhi: Macmillan.

� Pitkin, Hanna F. 1967. The Concept of

Representation. Berkeley: University of

California Press.

� Pitkin, Hanna F. 1969. Representation. New

York: Atherton Press.

� Rae, Douglas W. 1967. The Political

Consequences of Electoral Laws. New Haven:

Yale University Press.

� Reilly, Ben. 1997b. �Preferential Voting and

Political Engineering: A Comparative Study.�

Journal of Commonwealth and Comparative

Studies 35:1-19.

� Reynolds, Andrew and Ben Reilly. 1997. The

International IDEA Handbook of Electoral

System Design. Stockholm: International

Institute for Democracy and Electoral

Assistance.

� Reynolds, Andrew. 1999. �Electoral Systems

and Democratization in Southern Afrika.�

Oxford, Oxford University Press.

� Riker, William H. 1982. Liberalism Against

Populism, Prospect Heights: Waveland Press.

� Rule, Wilma and Joseph Zimmerman, eds.

1994. Electoral Systems in Comparative

Perspective: Their Impact on Women and

Minorities. Westport: Greenwood.

� Sartori, Giovanni. 1994. Comparative

Constitutional Engineering: An Inquiry Into

Structures, Incentives, and Outcomes. New

York: Columbia University Press.

� Shugart, Matthew S. and John Carey. 1992.

Presidents and Assemblies. Cambridge:

Cambridge University Press.

� Sisk, Timothy D. and Andrew Reynolds. eds.

1998. Elections and Conflict Management in

Afrika. Washington D.C.: United States

Institute of Peace Press.

� Taagepera, Rein and Matthew S. Shugart.

1989. Seats and Votes: The Effects and

Determinants of Electoral Systems. New

Haven: Yale University Press.

SISTEM PEMILU

Page 38: Sistem Pemilu

29

Pada saat merancang sistem pemilu, sebaiknya

dimulai dengan daftar kriteria yang merangkum apa

yang ingin dicapai, apa yang ingin dihindari, dan

secara luas, parlemen dan pemerintahan yang

seperti apa yang diinginkan. Kriteria yang terdapat

dalam Membentuk Badan Perwakilan yang

Representatif dan Mendorong Adanya Oposisi di

Parlemen mencakup hampir semua bidang, akan

tetapi daftar tersebut belumlah lengkap dan para

pembaca masih dapat menambahkan sejumlah hal

yang sama pentingnya. Benar bahwa ada beberapa

kriteria yang dicakup di sini saling tumpang tindih

dan mungkin terlihat saling bertolak belakang. Ini

disebabkan karena kriteria tersebut memang

seringkali begitu, dan sudah merupakan sifat dari

rancangan institusional dimana harus ada

kompromi antara keinginan dan sasaran yang saling

bersaing.

Contohnya, ada yang ingin memberikan

kesempatan kepada caleg yang independen agar

dipilih, dan di saat yang sama hendak mendorong

tumbuhnya partai-partai politik yang kuat. Atau

para perancang sistem pemilu ingin menciptakan

sebuah sistem yang memberi pilihan yang luas

kepada pemilih antara caleg dan partai, tetapi hal

ini akan menjadikan kertas suara begitu rumit dan

akan mempersulit para pemilih yang kurang

terpelajar. Kiat dalam memilih � atau memperbarui

sistem pemilu � adalah memprioritaskan kriteria

mana yang terpenting dan kemudian menilai sistem

pemilu yang mana � atau kombinasi dari sistem

yang mana � yang dapat mengarah kepada sasaran-

sasaran yang terbaik.

Membentuk Badan Perwakilanyang RepresentatifOleh: Andrew Reynolds

Bentuk Perwakilan paling sedikit ada 3 macam:

� Pertama, perwakilan secara geografis yang

berarti bahwa setiap wilayah, apakah itu

sebuah kota kecil, kota besar, propinsi, atau

sebuah distrik pemilu, mempunyai anggota

parlemen yang dipilih dan bertanggung-

jawab atas wilayah tersebut.

� Kedua, sebuah parlemen harus secara fung-

sional mewakili partai-partai/kondisi politik

yang ada di negara tertentu. Seandainya

setengah dari pemilih memilih sebuah partai

politik, tetapi partai tersebut tidak

memperoleh kursi atau perolehan kursinya

sangat sedikit, maka sistem tersebut tidak

dapat dianggap mewakili kehendak rakyat

secara nyata. Lewat perwakilan yang tidak

hanya mencakup partai politik tetapi juga

anggota parlemen yang independen, sebuah

parlemen yang efektif harus dapat

mencerminkan pembagian ideologis dalam

masyarakat secara memadai.

� Juga, ada masalah perwakilan deskriptif yang

berarti bahwa parlemen, sampai batas

tertentu, merupakan �cermin bangsa� yang

harus melihat, merasakan, berpikir dan

bertindak dalam cara yang mencerminkan

masyarakat secara keseluruhan. Sebuah

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN Oleh: Andrew Reynolds

Page 39: Sistem Pemilu

30

parlemen yang secara deskriptif layak akan

mengikutsertakan baik laki-laki maupun

perempuan, orang tua dan muda, kaya dan

miskin, dan juga mencerminkan agama yang

berbeda-beda, kelompok bahasa, dan

kelompok etnis dalam masyarakat.

Membuat Pemilu Terjangkaudan BerartiOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Pemilihan umum pada dasarnya bagus, akan tetapi

menjadi kurang berarti bagi masyarakat apabila

orang mengalami kesulitan untuk memilih, atau

jika pada saat berakhirnya pemilu, suara yang

mereka berikan tidak memberi perubahan yang

berarti terhadap cara pemerintahan bangsa

tersebut. �Kemudahan memilih� ditentukan oleh

faktor-faktor seperti seberapa rumit kertas suara,

lihat Indeks Penghitungan Suara, seberapa mudah

bagi para pemilih untuk datang ke TPS, lihat

Tempat Pemungutan Suara (Voting Sites), apakah

daftar pemilih cukup baru, lihat Indeks

Pendaftaran Pemilih, dan seberapa jauh para

pemilih yakin bahwa suara yang mereka berikan

bersifat rahasia.

Masih terkait dengan hal diatas terdapat pokok

persoalan yang lebih besar lagi yaitu apakah suara

seorang pemilih akan membuat perbedaan

terhadap hasil akhir. Apabila sudah diketahui

bahwa caleg yang anda sukai tidak mungkin

memenangkan kursi di daerah anda, apakah

memilih masih ada gunanya? Dalam beberapa

sistem pemilihan, jumlah �suara yang hangus�

yakni suara yang tidak terhitung ke caleg

manapun, berbeda dengan suara rusak atau tidak

sah, artinya kertas suara yang dikeluarkan dari

penghitungan, dapat mencapai jumlah yang cukup

besar dibandingkan dengan suara nasional yang

masuk.

Seberapa jauh arti pemilu ditentukan oleh

seberapa kuat parlemen yang terpilih lewat pemilu

tersebut. Pemilihan palsu atau pemilihan yang

tidak mencerminkan pemilihan dalam sebuah

sistem yang otoriter, dimana parlemen mempunyai

pengaruh yang sangat sedikit pada pembentukan

pemerintahan atau pada kebijakan pemerintah,

jauh lebih tidak berarti dibandingkan dengan

pemilu yang dapat menghasilkan parlemen yang

sebenarnya memiliki kekuatan untuk menentukan

unsur-unsur penting dalam kehidupan sehari-hari

masyarakatnya. Akan tetapi bahkan dalam sistem

parlemen yang demokratis, pilihan terhadap

sistem pemilu dapat mempengaruhi legitimasi

lembaga-lembaga terkait. Misalnya, Senat

Australia antara tahun 1919 dan 1946 dipilih

berdasarkan sistem pemilu yang sangat tidak

proporsional, Alternative Vote dalam distrik wakil

majemuk, yang mengakibatkan hasil yang berat

sebelah dan kurang representatif. Ini cenderung

mengurangi arti legitimasi Senat itu sendiri di mata

para pemilih maupun para politisi dan, beberapa

pengamat mengatakan hal tersebut juga

mengurangi dukungan publik terhadap institusi

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN

Page 40: Sistem Pemilu

31

pemerintah federal pada umumnya. Sesudah

sistem tersebut diubah menjadi sistem

proporsional yang lebih adil, Single Tranferable

Vote, pada tahun 1948, Senat mulai dipandang

lebih kredibel dan representatif, dan dengan

demikian rasa hormat terhadap lembaga tersebut

muncul, dan juga meningkatkan bobotnya dalam

pengambilan keputusan, lihat Alternative Vote di

Australia.

Menyediakan Sarana bagi PersatuanOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Sistem pemilu dapat dipandang tidak hanya

sebagai cara untuk membentuk lembaga

pemerintahan, tetapi juga sebagai alat mengatasi

konflik dalam sebuah masyarakat. Beberapa

sistem, dalam beberapa keadaan, akan

mendorong partai politik untuk mengimbau

dukungan pemilihan diluar domain

pemilihannya sendiri; misalnya, meskipun

sebuah partai mengandalkan dukungannya

terutama dari pemilih kulit hitam, sebuah sistem

pemilu tertentu akan memberi dorongan bagi

para pemilih kulit putih dan pemilih lainnya.

Dengan demikian, platform kebijakan partai akan

lebih bersifat mempersatukan dan

mengikutsertakan berbagai pihak. Sifat-sifat

sistem pemilu yang serupa akan membuat partai-

partai lebih tidak tertutup secara etnis,

kedaerahan, bahasa dan ideologis. Contoh-contoh

bagaimana sistem pemilu yang berbeda-beda

telah berfungsi sebagai alat untuk mengatasi

konflik dipaparkan dalam seluruh bagian sistem

pemilu ACE Project, lihat Afrika Selatan: Sistem

Pemilu dan Manajemen Konflik.

Sebaliknya, sistem-sistem pemilu dapat

mendorong para pemilih untuk melihat diluar

kelompok mereka sendiri dan memikirkan suara

yang secara tradisional merepresentasikan

kelompok lain. Pemilihan seperti ini akan

membuahkan akomodasi dan penguatan

masyarakat. Sebuah sistem yang memberikan

lebih dari satu suara kepada pemilih, atau sebuah

sistem yang memberikan kemungkinan bagi para

pemilih untuk mencari caleg akan memberikan

ruang yang lebih bagi para pemilih untuk

melampaui batas-batas sosial tradisional. Menurut

sistem pemilu Yordania 1989, lihat Yordania �

Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab, misalnya,

seorang pemilih Muslim dapat memberikan dua

dari tiga suara untuk caleg Muslim dan satu sisa

suara untuk caleg Kristen. Di negara Papua Nugini

yang sangat terpecah secara etnis dalam tahun

1960 dan 1970-an, para pemilih dapat

menempatkan para caleg sesuai dengan urutan

yang mereka sukai di kertas suara. Disana mereka

dapat menentukan koalisi luas, dan pertukaran

suara antara para kandidat yang bersaing dan

kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Pada

saat sistem preferensial itu tidak dipakai lagi,

kelompok-kelompok tersebut tidak lagi memiliki

dorongan untuk bertindak secara kooperatif, dan

tingkah laku mereka menjadi lebih eksklusif, lihat

Papua Nugini.

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN

Page 41: Sistem Pemilu

32

Membantu Terbentuknya Pemerintahyang Stabil dan EfisienOleh: Andrew Reynolds

Prospek untuk sebuah pemerintah yang stabil dan

efisien ditentukan oleh banyak faktor selain sistem

pemilu, tetapi hasil yang diperoleh dari sistem

pemilu tersebut dapat memberikan kontribusi

terhadap stabilitas dalam banyak aspek penting.

Pertanyaan kuncinya dalam hal ini adalah apakah

masyarakat menganggap sistem tersebut adil,

apakah pemerintah dapat secara efisien

memberlakukan undang-undang dan memerintah,

dan apakah sistem tersebut dapat menghindarkan

terjadinya diskriminasi terhadap partai-partai atau

kelompok masyarakat tertentu. Persepsi masyarakat

mengenai apakah hasil pemilu �adil� atau tidak,

berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Pernah terjadi dua kali di Inggris � tahun 1951 dan

1974 � dimana partai yang memenangkan sebagian

besar suara mendapatkan kursi yang lebih sedikit

dibandingkan lawan politiknya. Tetapi ini lebih

disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak normal dari

sebuah sistem yang pada dasarnya sudah bagus,

lihat First Past the Post (FPTP), dan bukanlah

merupakan sebuah ketidakadilan yang harus

diubah. Sebaliknya, di Mongolia tahun 1992, sistem

BV (lihat Block Vote) memungkinkan Partai

Revolusioner Rakyat Mongolia memenangkan 92%

kursi dengan hanya mengantongi 57% suara. Hal

seperti ini tidak hanya dipandang tidak adil oleh

banyak pihak, tetapi juga berbahaya bagi demokrasi.

Sebagai akibatnya sistem tersebut dirubah pada

pemilu tahun 1996.

Memastikan AkuntabilitasPemerintah dan Wakil RakyatOleh: Andrew Reynolds

Pertanggungjawaban adalah salah satu dasar dari

pemerintahan perwakilan, karena pertanggung-

jawaban memungkinkan dikontrolnya seseorang,

yang setelah dipilih, ternyata mengingkari janji-janji

yang diberikannya pada masa kampanye. Sebuah

sistem politik yang dapat diandalkan adalah sebuah

sistem dimana baik pemerintah maupun anggota

legislatif yang dipilih dapat sejauh mungkin

bertanggungjawab terhadap konstituen mereka.

Dalam perspektif yang lebih luas, para pemilih harus

dapat mempengaruhi sepak-terjang pemerintahan,

baik dengan kemampuan mengganti koalisi partai

yang sedang berkuasa atau dengan menggusur

sebuah partai yang sedang memerintah, yang

terbukti gagal melaksanakan tugasnya. Sistem

pemilu yang dirancang dengan baik mempermudah

kedua sasaran tersebut di atas.

Pertanggungjawaban memiliki arti lebih dari sekedar

melaksanakan pemilu nasional secara rutin. Hal

tersebut bergantung pada tingkat pertanggung-

jawaban geografis, yang juga sangat tergantung pada

besar dan karakteristik teritorial wilayah, lihat Indeks

Pemetaan Distrik Pemilihan, seperti halnya juga pada

kebebasan yang diberikan bagi para pemilih untuk

menentukan apakah akan memilih calon

berdasarkan orang atau memilih partai, lihat

Alternative Vote dan Ukuran Distrik. Disamping itu

masih ada cara-cara pertanggungjawaban lain yang

dapat digunakan: di beberapa negara bagian di

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN

Page 42: Sistem Pemilu

33

Amerika, anggota Dewan legislatif dapat �di-recall�

jika beberapa pemilih di daerah tersebut

menginginkan hal itu. Yurisdiksi lain menggunakan

mekanisme �demokrasi langsung� seperti misalnya

referendum dan inisiatif.

Mendukung Hidupnya Partai-PartaiPolitik yang TerbukaOleh: Andrew Reynolds

Bukti yang cukup kuat baik dari negara-negara yang

demokrasinya sudah mapan maupun negara

demokrasi baru menunjukkan bahwa konsolidasi

demokratis jangka panjang memerlukan

pertumbuhan dan pemeliharaan partai-partai politik

yang kuat dan efektif. Konsolidasi demokratis yaitu

sejauh mana rezim yang demokratis tidak lagi

mendapatkan tantangan-tantangan domestik sampai

terjaminnya stabilitas politik. Maka dari itu, sebuah

sistem politik harus mendorong terwujudnya

kecenderungan ini daripada hanya berkutat kedalam

atau mendorong terjadinya perpecahan partai. Para

ahli juga setuju bahwa sistem tersebut harus

mendorong terjadinya pengembangan partai yang

berdasarkan nilai-nilai politis yang luas dan ideologi-

ideologi, serta program kebijakan yang khusus,

daripada sekedar memberi perhatian terhadap

masalah etnis yang sempit, masalah rasial dan

regional. Partai-partai politik yang berdasarkan pada

�unsur-unsur terbuka� akan lebih mencerminkan

pandangan nasional dibanding dengan partai-partai

politik yang terutama mendasarkan dirinya pada

masalah-masalah yang bersifat sempit dan regional.

Mendorong Adanya OposisiDi ParlemenOleh: Andrew Reynolds

Pemerintahan yang efektif tidak hanya tergantung

pada mereka yang memegang �kekuasaan,� tetapi juga

pada mereka yang duduk di parlemen tetapi tidak

berada dalam pemerintahan. Sistem pemilu ini harus

dapat membantu memastikan adanya kelompok

oposisi parlemen yang aktif yang dapat menilai

peraturan-peraturan secara kritis, menjamin hak-hak

minoritas, dan mewakili konstituen mereka secara

efektif. Pengelompokan oposisi ini harus memiliki

cukup anggota di parlemen agar dapat efektif, dengan

asumsi bahwa penilaian terhadap anggota parlemen

tersebut diberikan sesuai dengan suara yang diperoleh

pada saat pemilu, dan juga harus dapat memberikan

alternatif bagi administrasi pemerintahan saat ini

secara realistis. Memang kekuatan oposisi di parlemen

tergantung pada banyak faktor selain dari pilihan

sistem pemilu, tetapi jika sistem itu sendiri membuat

opisisi di parlemen tidak berdaya, pemerintah yang

demokratis dengan sendirinya akan melemah. Pada

saat yang sama, sistem pemilu harus mencegah

berkembangnya sikap �winner take all� yang

menyebabkan para penguasa buta terhadap

pandangan dan kebutuhan serta keinginan para

pemilih yang beroposisi, dimana baik pemilu maupun

pemerintah sendiri dipandang sebagai permainan

zero-sum.

PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN

Page 43: Sistem Pemilu

34

Pilihan sistem pemilu merupakan salah satu

keputusan kelembagaan yang paling penting bagi

setiap negara demokrasi. Meskipun demikian

menurut sejarahnya, jarang sekali sistem pemilu

dipilih secara sadar dan sengaja. Seringkali pilihan

tersebut terjadi karena kebetulan, diakibatkan karena

gabungan kejadian-kejadian yang tidak biasa, karena

trend yang sedang dikagumi, atau karena keajaiban

sejarah. Dampak kolonialisme dan pengaruh negara

tetangga seringkali menjadi pendorong dalam

memilih sistem pemilu. Meskipun demikian, hampir

dalam setiap kasus, dampak dipilihnya sistem

pemilu tertentu mempunyai pengaruh besar bagi

kehidupan politik negara tersebut di masa depan.

Dalam banyak hal, sekali dipilih, sistem pemilu

tersebut biasanya akan tetap dipakai untuk jangka

waktu yang cukup lama, karena kepentingan politik

akan mengkristal dan bereaksi terhadap masukan

akibat diterapkannya sistem tersebut.

Jika sistem pemilu jarang sekali dipilih secara

sengaja, lebih jarang lagi sistem tersebut dirancang

secara seksama untuk kondisi sejarah dan sosial

tertentu yang terjadi di sebuah negara. Ini biasa

terjadi di negara-negara demokrasi yang baru. Setiap

negara demokrasi baru harus memilih, atau

mewarisi, sistem pemilu dalam memilih

parlemennya. Akan tetapi keputusan tersebut

seringkali dipengaruhi oleh salah satu dari dua

keadaan ini: Apakah para pelaku politik kurang

mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup

sehingga pilihan dan konsekwensi berbagai sistem

pemilu tidak mereka kenali sepenuhnya, atau

sebaliknya, para pelaku politik memiliki

pengetahuan yang cukup terhadap konsekwensi

sistem-sistem pemilu tersebut, yang menyebabkan

mereka menganjurkan dipilihnya sistem yang

menurut mereka dapat memberikan keuntungan

yang maksimal bagi pihaknya. Pada kedua skenario

tersebut, pilihan apapun yang diambil kadangkala

bukan yang terbaik untuk kesehatan politik jangka

panjang negara yang bersangkutan. Seringkali,

pilihan tersebut membawa dampak yang sangat

merugikan bagi kelangsungan demokrasi negara

tersebut.

Cara bagaimana sistem pemilu tersebut dipilih dapat

menjadi sama pentingnya dengan pilihan itu sendiri.

Ada empat cara bagaimana sistem pemilu tersebut

dipakai: lewat warisan kolonial, melalui

perekayasaan, dengan tekanan dari luar, atau secara

kebetulan. Kita akan membicarakan masing-masing

proses ini secara berurutan.

Konvensi Nasional � MajelisKonstitusiOleh: Michael Coppedge

Ada tiga kriteria fundamental untuk mengevaluasi

sebuah reformasi pemilu:

� Pertama, kita menginginkan sistem pemilu

yang sudah direformasi agar memiliki

manfaat teknis, artinya kita ingin agar

Undang-Undang mendefinisikan sarana

yang praktis dan konsisten untuk tujuan

PROSES PEMILIHAN SISTEM Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Page 44: Sistem Pemilu

35

PROSES PEMILIHAN SISTEM

apapun yang ingin dicapai oleh reformasi.

Apakah tujuan tersebut dipergunakan untuk

meningkatkan derajat kesamaaan

perwakilan, atau untuk mempermudah

pengelolaan sistem pemilu, sistem tersebut

harus mampu menetapkan hasil pemilu

secara obyektif, efisien dan cepat dalam

setiap situasi. Ketidakjelasan, ketidak-

konsekwenan, dan ketidakpraktisan dalam

sebuah sistem pemilu seringkali mengurangi

manfaat teknis tersebut.

� Kedua, kita menginginkan agar sistem

pemilu yang sudah direformasi tidak ada

hubungannya dengan masa lalu, jika hal

itulah yang diinginkan masyarakat.

Seringkali, terutama di negara-negara

demokrasi, masyarakat tidak menuntut

banyak pemisahan dengan masa lalu;

bahkan legitimasi sistem pemilu seringkali

tergantung pada tradisi yang sudah dipakai

secara terus-menerus, yang teruji pada masa

lalu. Meskipun demikian, dalam situasi yang

tidak biasa, pada saat masyarakat

menginginkan adanya reformasi, proses

tersebut harus memungkinkan terputusnya

hubungan dengan waktu lampau.

� Akhirnya, hasil proses reformasi tersebut

harus dipandang sah (legitimate) oleh

sebanyak mungkin masyarakat. Semakin

legitimate reformasi tersebut, semakin baik

sistem pemilu itu dapat mengatasi

pertentangan untuk mendapat hak

memerintah, dan juga sistem pemilu tersebut

akan bertahan lebih lama. Sebuah sistem

pemilu yang sah merupakan bagian yang

sangat penting dalam rezim demokrasi

terlembaga.

Seberapa jauh reformasi pemilu ini dapat menjamin

tiga kriteria di atas sangat bergantung pada proses

yang menghasilkan reformasi tersebut. Ada empat

jenis dasar proses reformasi pemilu:

1. Reformasi dalam rezim demokratis

representatif;

2. Reformasi dalam rezim demokratis yang

tidak representatif;

3. Reformasi dalam rezim otoritarian yang

stabil; dan

4. Reformasi pada masa transisi dari

otoritarianisme ke sistem demokrasi.

Jika reformasi terjadi dalam rezim yang sudah

demokratis, dengan institusi yang sudah mewakili

masyarakat dengan cukup baik, maka institusi

demokratis tersebut dapat diharapkan memberikan

hasil yang sah, dengan kemungkinan kecil terjadi

kesalahan perhitungan. Meskipun demikian,

beberapa negara demokrasi justru mengembangkan

lembaga-lembaga yang tidak mewakili kepentingan

utama atau identitas masyarakat dengan baik.

Beberapa peraturan pemilu, partai politik, dewan

perwakilan atau lembaga eksekutif tidak

memasukkan atau tidak mewakili daerah tertentu,

kelompok masyarakat, kepentingan ekonomi, agama,

ideologi tertentu, atau wanita. Reformasi pemilu yang

Page 45: Sistem Pemilu

36

PROSES PEMILIHAN SISTEM

terjadi dalam rezim yang seperti itu kecil sekali

kemungkinannya untuk menghasilkan reformasi

yang sah, baik karena kepentingan kelompok yang

terlalu diwakili ingin mempertahankan posisi

mereka dalam kekuasaan, atau karena para pelaku

reformasi murni tidak memiliki cukup informasi

untuk mengantisipasi kekuatan dan keinginan

kelompok yang terpinggirkan tersebut secara akurat.

Dalam banyak kasus, reformasi pemilu sudah

dilakukan selama masa otoritarianisme, dengan

hampir tanpa masukan dari partai-partai politik atau

masyarakat. Karena tujuan dari reformasi yang

demikian biasanya untuk mencegah hasil pemilu

tertentu dari masa demokratis sebelumnya atau

untuk melindungi gagasan-gagasan dan kepentingan-

kepentingan yang berhubungan dengan rezim

otoriter, proses reformasi ini sangat tidak melibatkan

banyak pihak. Reformasi yang terjadi pada masa

transisi dari suatu rezim dimulai dengan kondisi

otoritarian, namun bergerak menuju kondisi

demokratis pada saat transisi semakin mendekat.

Namun demikian, karena kepentingan partai-partai

politik yang bernegosiasi berubah selama proses

tersebut, dan karena tidak ada pemilu yang dapat

menguji kekuatan partai-partai sebelum masa transisi

terjadi, proses ini menjadi terhalang oleh

ketidakpastian.

Manfaat Teknis

Ancaman terhadap manfaat teknis pemilu dapat

muncul pada setiap jenis proses reformasi.

Konsekwensi dari banyak peraturan dalam UU

Pemilu dapat dimengerti dengan baik, sehingga para

reformis dapat menghindari sejumlah masalah

dengan mendidik diri mereka sendiri mengenai

ketentuan-ketentuan tersebut atau dengan menyewa

konsultan dari luar agar dapat menerapkan

pengetahuan umum mereka pada sebuah negara

tertentu. Meskipun demikian, akibat yang

ditimbulkan dari beberapa ketentuan dalam UU

Pemilu tersebut masih diperdebatkan dengan sengit

oleh para ahli, maka dari itu tidak seluruhnya dapat

dimengerti, dan dengan demikian masih terdapat

resiko adanya saran yang tidak tepat, dengan tidak

membedakan jenis proses macam apa yang sedang

terjadi. Tambahan lagi, para politisi dan partai politik

di seluruh dunia telah menunjukkan suatu

kemampuan yang istimewa untuk menjawab

tantangan reformasi tersebut dengan cara

mengadaptasi metode-metode yang sebelumnya

tidak diantisipasi oleh para reformis. Adaptasi

tersebut dapat mengakibatkan bertahannya status

quo, atau mengubah sistem tersebut dengan cara

yang tidak terduga. Maka dari itu, seseorang yang

melakukan reformasi harus mengembangkan

keahliannya sebanyak mungkin, merancang secara

kreatif hal-hal yang tidak terduga, dan selalu siap

menghadapi hal-hal yang tidak diharapkan.

Nampaknya kesalahan teknis akan kecil

kemungkinannya untuk terjadi, apabila reformasi

pemilu dirancang oleh sekelompok ahli yang lepas

dari tekanan-tekanan yang bertentangan, kompromi

yang tidak sehat dan pengambilan keputusan yang

sepotong-potong yang dilakukan oleh rezim otoriter.

Namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Beberapa

Page 46: Sistem Pemilu

37

PROSES PEMILIHAN SISTEM

penguasa otoriter mencari bantuan teknis yang

paling baik, sedangkan beberapa lainnya

memberikan tugas tersebut kepada sekelompok

amatir. Tambahan lagi, baik dalam kasus yang

pertama maupun yang kedua, para reformis

otoritarian tersebut kekurangan informasi yang dapat

dipercaya mengenai apa yang diinginkan oleh

masyarakat, yang berjumlah sangat banyak, yang

mana hal tersebut lebih mungkin menghasilkan

reformasi yang akan membawa akibat-akibat yang

sebelumnya tidak terpikirkan. Reformasi yang

dijalankan di negara-negara demokrasi perwakilan

yang mapan lebih mungkin untuk terhindar dari hal-

hal yang tak terduga tersebut. Lebih lanjut lagi,

apabila para penguasa otoriter menunggu sampai

transisi rezim dimulai sebelum berusaha merancang

sebuah UU Pemilu baru, dinamika transisi tersebut

akan segera mengambil alih. Semakin mendadak

transisi terjadi, semakin besar tingkat ketidakpastian

dan semakin besar kesalahan dari berbagai jenis akan

terjadi.

Kemungkinan Putusnya Hubungan

dengan Masa Lalu

Dalam banyak situasi, reformasi sistem pemilu secara

radikal bukan merupakan pilihan yang baik ataupun

yang diinginkan, terutama pada saat sistem tersebut

dianggap dapat berjalan dengan baik (dalam rezim

perwakilan demokratis), atau sudah berjalan dengan

baik sebelumnya (dalam rezim otoriter atau selama

masa transisi). Meskipun demikian, di negara-negara

yang tidak mempunyai perwakilan demokratis,

selalu ada keinginan untuk mereformasi sistem

pemilu, baik karena UU Pemilu tersebut dianggap

tidak menjamin kesamaan derajat dalam perwakilan

atau karena UU Pemilu dipercaya dapat menjadi obat

yang mujarab atas masalah yang ditimbulkan oleh

faktor-faktor lain. Di beberapa negara, sistem pemilu

dipersalahkan mendatangkan masalah yang

menyebabkan jatuhnya rezim demokratis; dalam hal

seperti ini, reformasi pemilu kebanyakan sudah

menjadi agenda prioritas dari penguasa otoriter yang

berikutnya dan dapat menjadi masalah pada saat

transisi kembali ke demokrasi. Maka dari itu satu

prasyarat yang sudah pasti untuk sebuah reformasi

yang terpisah dengan masa lampau adalah kesadaran

perlunya sebuah reformasi. Tetapi pada saat kondisi

seperti ini sudah tercapai, kondisi apa lagi yang

mempengaruhi kemungkinan dijalankannya sebuah

reformasi yang memuaskan?

Hasilnya tergantung pada kekuatan relatif antara

proponen (pendukung) dan oponen (lawan) dari

reformasi tersebut. Dalam sebuah rezim otoriter yang

stabil, penguasa otoriter biasanya jauh lebih kuat dari

para pelaku politik lainnya, dan oleh sebab itu

mereka dapat memerintahkan perubahan apa saja

atas sebuah UU Pemilu sesuai keinginan mereka.

Rezim Pinochet dari tahun 1973 sampai 1990

merupakan sebuah contoh yang baik dari hal

tersebut. Jenderal Pinochet menunjuk sebuah Komisi

Penyelidikan untuk Konstitusi Politik Baru pada

tahun 1973, memberi mereka petunjuk rinci pada

tahun 1977, menyerahkan draft Komisi tersebut

kepada Dewan Negara (yang ditunjuk oleh rezim

tersebut) pada tahun 1978, menerima beberapa revisi

Page 47: Sistem Pemilu

38

PROSES PEMILIHAN SISTEM

yang disarankan oleh Dewan, dan menerima

ratifikasi konstitusi yang telah direvisi tersebut dalam

referendum yang penuh kecurangan pada tahun

1980. Konstitusi baru ini mengandung banyak

perubahan radikal dalam hal sistem pemilihan

umum, termasuk pemakaian sistem distrik dua

anggota. Ketika Pinochet kalah pada referendum

tahun 1988 yang dilaksanakan untuk menetapkan

apakah dia dapat meneruskan jabatannya sebagai

presiden, transisi menuju demokrasi dimulai; tetapi

para pemimpin partai pro-demokrasi pada

umumnya memutuskan untuk tetap mentaati

peraturan pemilu yang dipaksakan dari atas,

daripada membahayakan keseluruhan masa transisi

tersebut. Contoh lain adalah perubahan radikal yang

dilakukan Alberto Fujimori terhadap UU Pemilu yang

terjadi sesudah perebutan kekuasaan presiden pada

tahun 1992. Peraturannya untuk menetapkan sebuah

majelis pemilih (�Kongres Pemilih Demokratis�)

menghapuskan Majelis Tinggi (upper chamber),

pemilihan preferensial, dan bahkan alokasi kursi

menurut department. Sebagai gantinya, Fujimori

mengesahkan sebuah dewan legislatif unikameral

yang dipilih dengan daftar tertutup dan sistem blok

dalam distrik nasional tunggal.

Sebuah perubahan yang radikal, yang sama sekali

terpisah dengan masa lalu, nampak sangat kecil

kemungkinannya dalam rezim demokratis dengan

perwakilan yang tinggi. Sebagian dikarenakan

perwakilan yang seperti itu biasanya menunjukkan

bahwa reformasi bukan merupakan prioritas besar

bagi sebagian besar warganegaranya, dan sebagian

lagi karena reformasi pemilu biasanya akan

berlawanan dengan kepentingan para wakil yang

yang terpilih berdasarkan peraturan yang berlaku,

dan para wakil ini biasanya berada dalam posisi yang

bagus untuk mencegah usaha reformasi. Keadaan

seperti ini menyebabkan kurangnya reformasi

pemilu yang fundamental di Amerika Serikat, kecuali

masalah hak-hak pemilih dan pembagian wilayah.

Meskipun demikian, ada situasi dimana para wakil

dapat memutuskan bahwa reformasi dapat mewakili

kepentingan-kepentingan mereka dengan baik: yaitu

pada saat pola-pola pemilihan berubah sehingga

merugikan partai-partai tradisional. Dalam hal seperti

ini, para wakil partai-partai tradisional dapat

termotivasi untuk mengubah sistem pemilu dalam

usaha mereka untuk menahan atau memperlambat

kejatuhan mereka sendiri: sebuah reformasi untuk

menghindari reformasi. Ini merupakan motivasi

dipakainya perwakilan proporsional di banyak

negara Eropa Barat pada akhir abad 19 dan

permulaan abad 20. Bukan berarti hal ini adil bagi

partai-partai politik kelas pekerja yang baru muncul,

tetapi hal dilakukan agar partai-partai liberal dan

partai-partai yang memerintah lainnya yang sedang

mengalami kemunduran sedapat mungkin tetap

memegang kekuasaan mereka yang dulu.

Kemungkinan terjadinya reformasi yang mendalam

paling sulit diperkirakan di negara-negara demokrasi

yang kurang mencerminkan perwakilan, karena

tekanan untuk adanya reformasi mendapat tantangan

yang cukup keras. Tekanan-tekanan untuk reformasi

begitu kuat karena kelompok yang kurang terwakili

cepat atau lambat akan menuntut sistem pemilu yang

lebih adil dan mereka cenderung menuntut

Page 48: Sistem Pemilu

39

PROSES PEMILIHAN SISTEM

perubahan yang radikal. Mereka juga mempunyai

keuntungan karena adanya kebebasan masyarakat

dan hak-hak politik yang mendasar, yang

memungkinkan mereka mengorganisir sebuah

gerakan reformasi yang kuat. Meskipun demikian

mereka berhadapan dengan para politisi dan partai-

partai politik yang mendapatkan keuntungan dari

sistem pemilu yang berlaku saat itu dan yang merasa

terancam dengan adanya usulan perubahan, yang

mana justru para politisi dan partai-partai politik

tersebut menduduki jabatan-jabatan yang

memberikan mereka kekuatan untuk mengalahkan

usaha-usaha mengadakan reformasi. Hasil apapun,

mulai dari pemutusan radikal terhadap masa lalu

sampai usaha-usaha pencegahan atau pemeliharaan

status quo dapat saja terjadi, tergantung kepada

seberapa besar kekuatan yang mendukung maupun

menentangnya pada saat itu. Dalam keadaan seperti

ini reformasi dapat terhambat atau tertunda selama

bertahun-tahun. Bahkan apabila reformasi dapat

berjalan, reformasi tersebut cenderung melemah

sedemikian rupa sehingga gerakan reformasi tidak

terpuaskan. Ada kalanya gerakan-gerakan reformasi

mendapatkan pengaruh yang cukup untuk

mengalahkan oposisi yang mempunyai kepentingan

yang mendalam.

Salah satu contoh terbaik dari proses reformasi di

negara demokrasi yang kurang terwakili adalah

Kolombia. Kediktatoran menyerah kepada

pemerintah yang dipilih di Kolombia pada tahun

1958; meskipun demikian, dalam jangka enam belas

tahun, pemerintah yang dipilih berdasarkan apa yang

disebut pakta �Front Nasional,� menyebabkan

kompetisi antar partai menjadi tidak berarti dalam

banyak hal. Pertama, hanya Liberal dan Konservatif

tradisional yang boleh dipilih sebagai calon anggota

legislatif. Kedua, partai ini mendukung calon

presiden dari masing-masing partai secara

bergantian. Dengan demikian, kelangsungan

kekuasaan dari kedua partai dengan cara bergantian

dapat terus berjalan tanpa memberikan pilihan

kepada para pemilih. Ketiga UU Pemilu

mengalokasikan 50% kursi dewan legislatif kepada

masing-masing partai tanpa memperhitungkan

proporsi perolehan suara masing-masing partai.

Sehingga, para pemilih hanya dapat mempunyai

pengaruh dalam pemilihan caleg maupun fraksi,

tetapi tidak terhadap partai tersebut. Beberapa tingkat

perwakilan didukung oleh fakta bahwa

kepemimpinan nasional partai tersebut kehilangan

kontrolnya atas partai tersebut; dengan demikian,

beberapa kelompok dapat mengajukan calegnya ke

dalam daftar Liberal atau Konservatif. Meskipun

demikian para caleg ini sangat tergantung kepada

dasar-dasar dukungan klientel, dan beberapa

kelompok lain, terutama kelompok kiri, memilih

untuk tidak memakai salah satu label partai

tradisional. Akibatnya, pengikut pemilu menjadi

sangat banyak dan tumbuh semakin besar selama

masa Front Nasional (Hartlynn 1988). Para kelompok

kiri menolak kompetisi dalam Pemilu, dan memilih

untuk mengadakan pemberontakan bersenjata

bahkan sesudah pakta tersebut habis masa

berlakunya pada tahun 1974; sebagian disebabkan

karena ratusan bekas gerilya atau pendukung kiri

yang berani ikut pemilu dibunuh oleh pasukan

pembunuh.

Page 49: Sistem Pemilu

40

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Meskipun tidak ada reformasi institusi yang dengan

sendirinya dapat membawa demokrasi damai yang

melibatkan banyak pihak di Kolombia, banyak

mahasiswa dan pekerja LSM memutuskan bahwa

reformasi konstitusi, termasuk reformasi pemilu,

merupakan bagian penting pemecahan masalah.

Meskipun demikian, Kongres tidak mau merubah

konstitusi, sehingga tidak ada satupun bentuk

reformasi yang dinginkan dipergunakan selama

beberapa dasawarsa. Tetapi, pada tahun 1990 para

mahasiswa dan LSM membagikan kertas suara

majelis konstituen yang tidak resmi, yang dapat

dimasukkan juga oleh para pemilih ke dalam kotak

bersama-sama dengan kertas suara resmi pada

pemilihan Presiden bulan Mei 1990. Pada saat hasil

referendum terbukti sangat positif, Presiden yang

baru, Cesar Gaviria, mengadakan referendum tahun

1990 dan pemilihan anggota Majelis Konstituen

Nasional, walaupun sebenarnya konstitusi hanya

memberi wewenang kepada Kongres untuk

melakukan perubahan Konstitusi. Pada tahun

berikutnya, Majelis ini merubah dasar pemilihan

Senat menjadi distrik nasional tunggal,

memperkenalkan kertas suara yang dibuat negara

yang memungkinkan pembagian suara untuk kursi

legislatif pertama kali; sementara waktu

menghilangkan pemilihan antar waktu (suplentes/

alternate), yang merupakan sumber perlindungan

terbesar; dan memisahkan pemilihan pejabat lokal

dan nasional. Majelis juga menetapkan pemilihan

langsung untuk gubernur dan walikota, dan

meningkatkan kesempatan untuk diadakannya

referendum (Taylor 1996). Dengan demikian, sebuah

kongres yang tidak menunjukkan perwakilan,

menunda reformasi dalam jangka waktu yang sangat

lama di Kolombia, dengan biaya/resiko politis yang

sangat tinggi. Namun, pada akhirnya, masyarakat

biasa menemukan sebuah cara yang efektif,

meskipun boleh dikatakan tidak konstitusional.

Perubahan rezim tidak harus selalu diikuti dengan

reformasi pemilu, karena UU Pemilu tidak selalu

menjadi penyebab kelemahan-kelemahan rezim

demokratis sebelumnya. Tetapi seandainya UU

Pemilu yang ada saat ini atau UU Pemilu sebelumnya

dipandang bermasalah, perubahan rezim dapat

memberikan suasana yang mendukung untuk

pemutusan total dari masa lalu. Namun demikian,

arah dari pemutusan hubungan tersebut sangat

tergantung kepada ketepatan waktu karena ciri

transisi yang menentukan adalah berpindahnya

kekuasaan dari pemerintahan otoriter ke kekuatan

demokratis (O�Donnel dan Schmitter 1986). Pada saat

awal transisi, para penguasa otoriter mempunyai

pengaruh yang kuat dalam memulai dan

mendefinisikan isi reformasi pemilu, sedangkan pada

akhir masa transisi, para politikus, dan partai-partai

mempunyai pengaruh yang lebih besar. Maka dari

itu, reformasi dini lebih mungkin untuk pemutusan

dengan sebuah masa lalu yang demokratis, dan

reformasi yang terlambat lebih merupakan

pemutusan dengan masa lalu yang otoriter.

Meksiko dapat dikatakan berada dalam masa transisi

rezim yang lambat dan terkontrol sejak akhir tahun

1970-an. Reformasi pemilu terjadi di Meksiko setiap

tiga tahun, dimulai dari tahun 1977, tetapi selama

beberapa dasawarsa sasaran reformasi ini adalah

Page 50: Sistem Pemilu

41

PROSES PEMILIHAN SISITEM

menjaga dominasi partai yang memerintah, Partai

Revolusioner Institusional (PRI). Pada awalnya,

reformasi memberi kebebasan kepada partai-partai

oposisi, tetapi memecah-belah mereka; kemudian

memberikan keistimewaan kepada para

penantangnya yang paling kecil dan

mendiskriminasikan yang besar; kemudian

meningkatkan kesempatan kepada semua

penantangnya disamping juga menambah jaminan

bagi partai mayoritas PRI. Sejak tahun 1994 UU

Pemilu direformasi dengan cukup baik yang

memungkinkan pemungutan dan penghitungan

suara yang lebih adil. Dalam hal ini, banyak reformasi

terjadi pada tahap awal dari transisi ketika para

penguasa masih dapat mencegah pemutusan total

dengan rezim otoriter.

Sebuah reformasi yang terjadi pada akhir masa transisi

kemungkinan akan lebih mencerminkan kepentingan

para politisi demokratis. Sebuah contoh yang baik

adalah Brazilia, dimana transisi hampir selesai dengan

berhasilnya seorang caleg yang didukung oleh oposisi

untuk menduduki jabatan presiden pada bulan Maret

1985. Pada saat itu, banyak partai di Brazilia sudah

berbentuk sebagai kumpulan nasional yang longgar

dari organisasi-organisasi regional yang berpusat ke

calegnya. Dua bulan kemudian, Kongres menyetujui

Amandemen Konstitusi No.25, yang menghasilkan

hal-hal sebagai berikut:

� Menurunkan batas representasi nasional dan

negara untuk dapat memperoleh kursi di

Kongres.

� Menghilangkan larangan rezim militer yang

tidak memperbolehkan perpindahan partai.

� Menghilangkan sanksi terhadap para anggota

legislatif yang melanggar disiplin partai di

Kongres.

Pada bulan Desember, Kongres mengesahkan UU

yang memungkinkan koalisi dalam pemilihan

anggota legislatif dan memungkinkan para pemilih

membagi suaranya dalam pemilihan anggota

eksekutif dan legislatif. Ketiga reformasi tersebut

mempermudah partai-partai kecil dan partai-partai

regional untuk memenangkan kursi dan memperkuat

calegnya daripada partainya (Mainwaring 1991 dan

1997). UU pemilu yang sebelumnya sudah berisi

kemudahan bagi hal-hal diatas dalam arti bahwa UU

tersebut memberikan representasi proporsional di

wilayah-wilayah besar dengan pemilihan daftar

terbuka. Ini berarti bahwa pemilihan preferensial

untuk caleg betul-betul menentukan pembagian kursi

dalam partai itu sendiri. UU yang baru meningkatkan

independensi caleg dengan memperbolehkan caleg

yang menang untuk tetap menduduki kursinya

bahkan jika partainya atau aliansi partainya gagal

mencapai batas representasi (threshold), dengan syarat

mereka berpindah partai dalam waktu 60 hari. Majelis

konstituen pada tahun 1987-88 tetap memper-

tahankan ketentuan-ketentuan ini.

Legitimasi dan Daya Tahan Reformasi

Dalam istilah singkatnya, legitimasi sebuah UU

Pemilu merupakan hasil langsung dari seberapa baik

para reformis mewakili para warganegara yang harus

Page 51: Sistem Pemilu

42

PROSES PEMILIHAN SISTEM

hidup berdasarkan hukum tersebut. Maka dari itu,

sebuah reformasi paling mungkin dapat menikmati

legitimasinya pada saat reformasi tersebut dipakai

dalam sebuah rezim demokratis representatif dan

paling kecil kemungkinannya untuk menikmati

legitimasinya pada saat dipakai oleh rezim otoriter;

negara-negara demokrasi yang kurang terwakili harus

menghasilkan hasil-hasil yang langsung dapat

dirasakan. Legitimasi sebuah reformasi pada masa

transisi, sebagian tergantung pada ketepatan-

waktunya, yang akan menentukan apakah reformasi

lebih mengarah kepada sistem demokrasi atau sistem

otoriter. Sebagian juga tergantung kepada tingkat

ketidaktentuan mengenai kekuatan relatif partai

terhadap negosiasi: semakin besar tingkat

ketidakpastian, semakin dekat reformasi kepada

kondisi �veil of ignorance� (kerudung ketidaktahuan)

John Rawls, yang akan menghasilkan dorongan

untuk memakai sistem pemilu proporsional

(Schiemann dan Benoit, 1997).

Meskipun demikian, masyarakat berubah, yang satu

lebih cepat dari yang lainnya. Apa yang diharapkan

masyarakat atas UU Pemilu juga dapat saja berubah.

Dalam jangka panjang, legitimasi reformasi pemilu

dapat berkurang karena munculnya kepentingan-

kepentingan, partai-partai, masalah-masalah dan

prioritas baru, bahkan di negara-negara demokrasi

yang representatif. Uruguay merupakan sebuah

kasus yang bagus yang dapat dijadikan sebagai

contoh. Untuk pemilihan presiden, negara tersebut

sudah sejak lama menggunakan Double

Simultaneous Vote (DSV), dimana calon yang

menang adalah calon yang mendapat suara paling

banyak dalam partai yang paling banyak dipilih.

Fraksi-fraksi (sublemas) dari partai yang sama (lema)

akan mengajukan calon presiden yang berbeda, dan

UU Pemilu yang berlaku menciptakan sebuah

pemilihan dari dalam partai untuk presiden secara

langsung yang dilaksanakan bersamaan waktunya

dengan pemilihan umum. Pemilu yang demikian

juga menjamin representasi proporsional baik

untuk lema maupun sublema di Kongres. Selama

puluhan tahun UU Pemilu memperkuat

keseimbangan yang menarik antara pemerintahan

yang didukung oleh sebuah sistem dua partai dan

fleksibilitas yang didukung oleh ukuran fraksi yang

berbeda-beda dalam partai tersebut dan pergantian

yang terjadi di dalamnya. Meskipun demikian, pada

akhir tahun 1960, dominasi sistem dua partai

tersebut mulai menurun karena ada lema ketiga,

Broad Front, yang berhasil memenangkan

persentase yang semakin besar, sebuah

kecenderungan yang terus berlangsung sesudah

kembalinya demokrasi pada tahun 1984. Salah satu

efek negatif dalam perubahan sistem partai politik

adalah bahwa dalam dua kesempatan yang terjadi

calon presiden yang mendapatkan paling banyak

suara tidak memenangkan kursi kepresidenan

dikarenakan ia bukan merupakan calon dari partai

yang dipilih paling banyak. Menanggapi banyaknya

pertanyaan tentang legitimasi hasil-hasil pemilu,

kongres merubah sistem pemilu pada tahun 1996

yang melarang partai-partai politik untuk

mengajukan lebih dari satu calon presiden dan

melaksanakan pemilihan presiden secara langsung,

kalau perlu dengan pemilihan presiden tahap kedua

(majority runoff).

Page 52: Sistem Pemilu

43

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Dalam jangka panjang, legitimasi dan kelangsungan

reformasi pemilu juga tergantung pada kemampuan

teknisnya dan tingkat sampai sejauh mana reformasi

tersebut dapat menangani masalah-masalah di masa

lalu. Sebagai perimbangan, setiap proses reformasi

mempunyai kekuatan dan kelebihan. Sebuah

reformasi preemptive (yang menduduki/memiliki

lebih dulu) dalam rezim otoriter berfungsi baik untuk

dapat menghasilkan ke-terputus-an total dengan UU

Pemilu pemerintahan demokratis sebelumnya, tetapi

UU yang baru tersebut kemungkinannya kecil sekali

mendapatkan dukungan legitimasi, dan kemampuan

teknis UU tersebut tidak terjamin. Reformasi dalam

sebuah negara demokrasi yang tidak terwakili

mungkin lebih akan menjamin kemampuan teknis,

tetapi kemungkinan putusnya dengan masa lalu

sangat kecil dan mungkin tidak mendapatkan

dukungan masyarakat luas juga. Reformasi pada awal

masa transisi demokrasi sama dengan reformasi

dalam rezim otoriter, dengan kemungkinan lebih

besar untuk terjadi kesalahan teknis karena

ketidakpastian dan tekanan untuk melaksanakan

reformasi dengan cepat. Reformasi pada akhir masa

transisi lebih mungkin mendapatkan dukungan

legitimasi, terutama apabila ketidakpastian begitu

tinggi, disertai pemutusan dengan warisan-warisan

otoriter, tetapi masih cenderung terkena masalah-

masalah teknis yang sama. Mungkin reformasi dalam

negara demokrasi yang terwakili dapat memberikan

hasil yang optimal: reformasi tersebut nampaknya

tidak akan memutuskan hubungan dengan masa lalu,

tetapi perubahan yang diperlukan juga lebih sedikit.

Pada saat yang sama reformasi memperkecil

kemungkinan bahwa UU yang baru akan cacat secara

teknis dan sekaligus memperbesar kemungkinan

legitimasi masyarakat.

Contoh Penerapan Adaptasi Reformasi

Model Chile

Sebelum mengembalikan Chile menjadi sebuah

negara demokrasi, Jenderal Pinochet mereformasi

UU Pemilu dengan menciptakan distrik dua anggota

di seluruh Chile. Dia yakin bahwa sistem ini akan

menguntungkan dua partai besar � partai Konservatif

yang mendukungnya dan partai Demokratik Kristen

� dan praktis menghapus partai-partai yang

berhaluan kiri. Meskipun demikian, dalam tiga

pemilu yang pertama dari rezim demokratis baru

(1989, 1993, dan 1997), Demokrat Kristen dan partai

kiri bersatu melawan partai konservatif; mereka

berkolusi sehingga hanya satu partai dari aliansi

mereka yang mengajukan caleg dalam setiap distrik.

Strategi ini melanggengkan partai-partai kecil dan

memberikan kesempatan hidupnya partai kiri.

Contoh Penerapan Adaptasi Reformasi

Model Venezuela

Pada tahun 1989, Venezuela berpindah dari sistem

RP daftar tertutup menjadi sistem mixed member

proportional (MMP), dimana separuh kursinya diisi

oleh distrik wakil tunggal. Reformasi seperti ini

diharapkan dapat membuat anggota legislatif

tingkat nasional lebih bertanggungjawab kepada

konstituen setempat mereka, dan berkurang

orientasinya kepada pimpinan partai tingkat

Page 53: Sistem Pemilu

44

PROSES PEMILIHAN SISTEM

nasional yang mengurutkan caleg berdasarkan

daftar urutan caleg. Tetapi pada tahun 1993, para

pemimpin nasional menggagalkan reformasi ini

dengan menerapkan kembali kontrol terhadap

pencalonan untuk kursi distrik wakil tunggal dan

dengan memecat para anggota legislatif yang tidak

mentaati disiplin partai.

NegosiasiOleh: Tim Sisk

Pada saat negara-negara sedang mengalami

perubahan konstitusi yang mendasar, sistem

pemilihan umum kadang-kadang dipilih dalam

negosiasi langsung antara partai yang memerintah

dan kelompok oposisi atau diantara partai-partai

politik atau fraksi-fraksi, pada saat konstitusi tersebut

ditulis ulang secara menyeluruh. Pembicaraan

mengenai masalah ini biasanya terjadi diluar aturan-

aturan dan prosedur formal pembuatan keputusan

yang mengatur konvensi nasional dan lembaga-

lembaga perwakilan.

Pemilihan sistem pemilu lewat negosiasi terjadi

dalam dua jenis negosiasi ideal yang secara

konseptual sangat berbeda.

� Transisi yang dinegosiasikan, kadangkala

disebut �di-pakta-kan� dari otoriter ke

demokrasi yang mereformasi sebuah negara,

dan

� Pembicaraan antar semua unsur yang ada

yang mengubah negara secara menyeluruh

sesudah masa pertikaian yang keras atau

perang saudara.

Pembicaraan tersebut di atas seringkali terjadi dalam

konteks proses perdamaian yang jauh lebih besar

dimana UU Pemilu yang baru hanya merupakan salah

satu bagian dari penyelesaian secara keseluruhan

untuk membentuk institusi politik pasca perang.

Transisi yang Dinegosiasikan:

Otoriter ke Demokrasi

Dalam transisi yang dinegosiasikan atau dirangkum

dalam sebuah �pakta,� tekanan-tekanan untuk

demokratisasi telah terbentuk di masyarakat, dan

pemerintah setuju untuk berbicara langsung kepada

partai oposisi sebagai cara untuk menghilangkan

tekanan dan secara damai bergerak menuju kepada

politik yang lebih terbuka dan bersifat multi partai.

Jenis transisi seperti ini berlawanan dengan transisi

yang sepenuhnya dilaksanakan dan dikontrol oleh

pemerintah yang sedang berkuasa, seperti di Kenya

atau Nigeria, atau transisi yang muncul karena

dorongan masyarakat yang tiba-tiba menginginkan

adanya perubahan konstitusional, yang berakibat

pada kehancuran total rezim yang sedang berkuasa

seperti misalnya yang terjadi di Rumania. Dalam

negosiasi antara pemerintah dan partai oposisi,

partai-partai politik melakukan tawar-menawar

mengenai ciri, tahap-tahap dan seberapa luas

reformasi politik tersebut, dan seringkali terjadi

persetujuan untuk berbagi kekuasaan untuk jangka

Page 54: Sistem Pemilu

45

PROSES PEMILIHAN SISTEM

waktu tertentu. Transisi yang dinegosiasikan dapat

terjadi sebagai akibat dari adanya beberapa

kesepakatan yang memberikan perubahan secara

bertahap, atau lewat sebuah kesepakatan besar yang

mendorong terjadinya reformasi politik menyeluruh.

Transisi menuju demokrasi di Spanyol pada tahun

1970-an merupakan transisi berdasarkan �pakta� yang

patut dicontoh. Setelah meninggalnya Fransisco

Franco pada tahun 1975, rezim partai-tunggal

�Falangist� yang sudah memerintah sejak perang

saudara di Spanyol pada tahun 1936 digantikan oleh

monarki konstitusional multi partai. Pembicaraan

mengenai reformasi politik terjadi antara Perdana

Menteri Adolfo Suarez dengan persetujuan dari raja

Juan Carlos I dan kelompok oposisi. Suarez

bernegosiasi dengan hampir semua kekuatan politik

dan militer. Pada akhirnya, dia dapat meyakinkan

kelompok sayap kanan, termasuk unsur partai pro-

Francois yang berkuasa, UCD, bahwa reformasi tidak

akan berjalan terlalu jauh. Suarez juga membujuk

kelompok sayap kiri, terutama partai oposisi Sosialis,

bahwa proses demokratisasi tersebut akan berarti.

Melalui negosiasisi-negosiasi ini, partai-partai politik

sampai kepada sebuah formula pemilu, dimana partai

oposisi merasa yakin bahwa mereka ikut berperan

dalam sistem di masa-depan dalam kerangka

penghancuran struktur kekuasan Francois. Meskipun

sistem pemilu diajukan dalam bentuk keputusan

pemerintah pada musim semi tahun 1977, sebetulnya

keputusan tersebut secara de facto merupakan hasil

dari negosiasi yang terjadi di belakang layar antara

Suarez dan partai-partai oposisi.

Para perunding Spanyol, dalam pembicaraan antara

komisi pemerintah dan partai-partai oposisi sebelum

pemilu multi-partai pertama pada bulan Juni 1977,

menyetujui daftar tetap representasi proporsional

(RP), sistem daftar (d�Honk) untuk pemilu multi

partai pertama, lihat RP Daftar. Formula dan batas

representasi (threshold) sebesar tiga persen

menguntungkan dua partai besar dan daerah-daerah

pedesaan yang mempunyai perwakilan lebih banyak

� setiap distrik/wilayah pada awalnya diberi jatah

dua kursi, sisanya dibagikan berdasarkan jumlah

penduduk. RP dipilih karena berbagai alasan sebagai

berikut:

� RP memungkinkan semua partai terwakili

dalam dewan perwakilan yang baru, dengan

demikian semakin meyakinkan kelompok

oposisi bahwa reformasi akan menghasilkan

perwakilan yang lebih baik;

� RP memberikan keuntungan yang sedikit

lebih banyak bagi partai-partai besar,

mencegah terpecahnya partai-partai politik,

yang menjadi kekhawatiran beberapa fraksi;

dan

� RP Daftar Tetap memungkinkan

pengambilan keputusan secara terus-

menerus mengenai posisi caleg dan kontrol

partai yang ketat terhadap anggota-anggota

parlemen.

Pengaruh jangka panjang RP Daftar di Spanyol

adalah bahwa partai-partai di daerah dapat

mengambil konsensi jangka panjang dari partai-

Page 55: Sistem Pemilu

46

PROSES PEMILIHAN SISTEM

partai nasional karena konsesi tersebut diperlukan

untuk membangun koalisi. Ini akan mempermudah

gerakan kearah pembagian wewenang ke daerah-

daerah, yang nampaknya menguntungkan bagi

stabilitas Spanyol. Meskipun demikian, persepsi

bahwa kelompok-kelompok sub nasional, seperti

Catalans, digunakan untuk mendapatkan

pengaruh politik yang tidak wajar, telah

menyebabkan rasa tidak senang di negara bagian

lain wilayah Spanyol.

Contoh lain dari tawar-menawar masa transisi

terjadi di Hungaria, setelah runtuhnya Komunisme

di Eropa Timur pada tahun 1989. Pada saat transisi

ke demokrasi multi-partai mulai berjalan, negosiasi

terjadi diantara partai-partai politik yang dengan

cepat membentuk (atau membentuk ulang, karena

beberapa memang sudah ada sejak sebelum adanya

dominasi Soviet atas negara tersebut). Pembicaraan

ini menghasilkan persetujuan yang menarik bagi

pemilu multi partai pertama pada bulan April 1990,

yang menyoroti masalah-masalah seputar pilihan

sistem pemilu lewat negosiasi. Partai-partai politik

�historis� seperti sosial dan demokrat Kristen

menyukai sistem RP dengan daftar county

(wilayah), yang sudah digunakan sebelum

dimulainya komunisme pada tahun 1945 dan 1947,

sementara kecenderungan publik dan banyak partai

yang berhubungan dengan rezim terdahulu �

termasuk para legislator yang sedang memegang

jabatan � lebih menyukai perwakilan konstituensi.

Debat yang lama menyebabkan ketidakmampuan

untuk menghasilkan suatu formula, sehingga partai-

partai politik memilih wadah campuran: dari 386

kursi legislatif, 176 diantaranya dipilih dari distrik

wakil tunggal (dengan pemilihan putaran kedua

untuk meyakinkan diperolehnya suara mayoritas),

152 dari daftar partai wilayah (dengan batas

representasi sebesar empat persen), dan 58 dari

daftar partai nasional, lihat Mixed Member

Proportional.

Proses-proses Perdamaian

Jika sebuah negara telah penah mengalami

pergolakan besar atau perang saudara, dan pada saat

partai-partai politik sudah berjuang dan menemui

jalan buntu tanpa munculnya pemenang yang jelas,

sebuah proses perdamaian mungkin akan terjadi.

Proses-proses perdamaian merupakan negosiasi

terstruktur yang kadang-kala dibantu oleh mediator/

penengah dari luar yang menghasilkan persetujuan-

persetujuan yang secara drastis mereformasi atau

secara keseluruhan menciptakan sebuah sistem

politik baru. Reformasi sistem pemilu kadang-

kadang, atau bahkan selalu, merupakan unsur utama

dalam negosiasi konstitusional yang mendampingi

proses perdamaian. Reformasi pemilu atau

pembentukan sistem pemilu yang baru sudah

merupakan bagian dari negosiasi proses perdamaian

di negara-negara seperti Bosnia, Kamboja, El

Salvador, Liberia, Nikaragua, Sierra Leone, dan yang

baru-baru ini terjadi di Guatemala.

Misalnya, ketika minoritas kulit putih di Rhodesia

jatuh pada akhir tahun 1970-an sesudah perang

saudara yang berkepanjangan, yang menghasilkan

Page 56: Sistem Pemilu

47

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Zimbabwe merdeka, isu yang paling utama dalam

pembicaraan adalah bagaimana perwakilan

minoritas kulit putih dapat terjamin dalam tatacara

pemerintahan yang baru. Dalam pemilu �pura-pura�

yang diadakan pada tahun 1979 - pemilihan �satu

orang - satu suara� � yang pertama kali dalam sejarah

negara tersebut dengan syarat-syarat �internal

settlement� (penyelesaian masalah secara intern)

yang dinegosiasikan antara pemerintah dan kekuatan

oposisi, yang dianggap tidak sah oleh para pengamat,

72 dari 100 anggota Dewan Perwakilan dipilih oleh

orang-orang kulit hitam dari sebuah �daftar nama

umum� pada sistem RP daftar partai (sebuah sistem

wakil majemuk delapan distrik) dan 28 oleh orang

kulit putih dalam sistem Alternative Vote distrik wakil

tunggal, lihat Sistem Dua Putaran.

Sesudah kegagalan pemilu yang diadakan guna

menggalang legitimasi dari dalam dan luar negeri,

negosiasi Lancaster House pada tahun 1979, yang

mengikutsertakan kekuatan pemberontak yang

terbesar dan oleh sebab itu menjadikannya lebih

legitimate, menghasilkan sebuah persetujuan yang

hanya sedikit mengubah formula sebelumnya: kursi

kulit putih diturunkan menjadi 20 (dan dipilih

dengan cara AV) dan terbatas kepada masa transisi

selama sepuluh tahun.

Pemilihan RP (representasi proporsional) untuk

�daftar nama umum� dan Distrik Wakil Tunggal

untuk �daftar kulit putih� mencerminkan adanya

sebuah kompromi pragmatis bagi partai-partai yang

termasuk dalam daftar. Pemakaian sistem RP bagi

mayoritas kulit hitam yang sudah lama tidak

diikutsertakan sangatlah praktis � tidak ada daftar

pemilih � demikian juga pemakaian distrik wakil

tunggal (SMD) untuk minoritas kulit putih, yang

sebelumnya sudah menggunakan sistem ini dalam

pemilu �khusus kulit putih.� Duapuluh kursi khusus

untuk kulit putih menjamin perwakilan bagi mereka

dalam parlemen sesudah kemerdekaan yang

melebihi proporsi mereka dari total keseluruhan

pemilihnya. Sesudah pemilu pada tahun 1985, pada

saat negosiasi dan kompromi tidak lagi diperlukan,

rezim pasca kemerdekaan menyingkirkan kursi

khusus untuk kulit putih dan sekarang semua

anggota dewan dipilih lewat distrik wakil tunggal.

Afrika Selatan adalah contoh kasus yang berada

diantara dua jenis transisi yang berdasarkan �pakta�

dan proses-proses perdamaian, dan merupakan

contoh kasus yang sangat bagus untuk dapat

mengerti dinamika pemilihan sistem pemilu lewat

negosiasi, lihat Afrika Selatan: Sistem Pemilu dan

Manajemen Konflik. Pada saat negosiasi untuk

mengakhiri apartheid dan kekuasaan minoritas kulit

putih dimulai pada tahun 1990, terlihat jelas bahwa

sitem pemilu sebelumnya dengan sistem FPTP

khusus kulit putih dengan distrik wakil tunggal �

tidak dapat diterima oleh salah satu partaipun.

Ada pertimbangan praktis terhadap penolakan

sistem pemilu yang berbasis konstituen tersebut,

yaitu: tidak ada daftar pemilih umum, dan ada

kesulitan untuk memberi pembatasan wilayah tanpa

sensus yang akurat dan distribusi penduduk yang

tidak merata yang dihasilkan oleh UU apartheid.

Meskipun demikian, terdapat juga pertimbangan-

Page 57: Sistem Pemilu

48

pertimbangan politis. Partai-partai minoritas kulit

putih, terutama Partai Nasional yang sedang

memerintah, segera menyadari bahwa jika FPTP

dengan distrik wakil tunggal digunakan dalam

pemilu dimana para warga mayoritas kulit hitam

dapat memilih, para caleg kulit putih

kemungkinannya akan kalah dalam hampir setiap

distrik, karena penduduk kulit hitam tersebar luas

di seluruh wilayah negara. Sekurang-kurangnya,

sistem RP akan memungkinkan adanya beberapa

perwakilan dalam masa pasca-apartheid.

Kongres Nasional Afrika (ANC), partai mayoritas

kulit hitam yang terbesar, juga lebih memilih sistem

RP Daftar untuk pemilu pertama negara tersebut

dikarenakan alasan-alasan politis. Pilihan ANC

untuk RP Daftar Tetap juga bersifat strategis: dengan

adanya perwakilan partai minoritas kulit putih

dalam sistem politik yang baru, daripada

mengesampingkan mereka secara menyeluruh,

dapat menghilangkan ketegangan yang timbul

karena hilangnya kekuasaan mereka yang tak

terhindarkan.

Meskipun demikian, sebuah partai mayoritas kulit

hitam lain, Partai Kebebasan Inkhata (IFP) yang

berkekuatan di daerah, diperkirakan tidak

mendapatkan banyak kursi di pemilu nasional yang

menggunakan sistem RP nasional. Dukungan

masyarakat terhadap mereka agak terbatas. Lebih

lanjut lagi, partai tersebut sangat mendorong opsi

Federal untuk Afrika Selatan dalam rangka

mempertahankan dan melindungi basis kekuatannya

di propinsi. Partai tersebut mengancam

menggagalkan pemilu dengan boikot, dan bahkan

mungkin, dengan menolak secara keras � jika posisi

federalisnya yang kuat tidak diikutsertakan dalam

penyelesaian akhir.

Dalam kompromi yang dilakukan pada menit-menit

terakhir untuk membujuk IFP agar berpartisipasi

dalam pemilu April 1994 yang mengakhiri apartheid

di Afrika Selatan, ANC dan NP sepakat untuk

memakai sistem RP Daftar tetap yang terbagi secara

nasional dan regional, yang mana setengah dari

anggota Dewan Perwakilan yang baru dipilih dari

daftar regional dan setengah lagi dari daftar nasional.

Setengah dari 400 anggota Majelis Nasional/Majelis

Konstituen dipilih dari daftar regional, dan setengah

dari daftar nasional. Disamping itu, semua anggota

majelis tinggi yang berjumlah 90 orang, pada saat

itu disebut Senat (kemudian dirubah menjadi Dewan

Propinsi) akan dipilih dari daftar regional.

Kompromi ini, yang pada akhirnya diterima oleh IFP,

cukup untuk membuat semua partai politik

berpartisipasi dalam pemilu, sehingga meningkatkan

legitimasi hasil pemilu. Formula RP Daftar nasional/

regional juga memungkinkan tiga partai besar

tersebut untuk �menang� dalam pengambilan suara:

ANC mengumpulkan mayoritas kuat di Majelis

Nasional dan mayoritas di tujuh dari sembilan

propinsi, dan NP serta IFP memenangkan mayoritas

legislatif di propinsi basis mereka. Selanjutnya, ketiga

partai besar ini mendapatkan perwakilan di

pemerintahan persatuan nasional yang pertama,

yang memberikan stabilitas pada transisi Afrika

Selatan.

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Page 58: Sistem Pemilu

49

Sistem RP Daftar tetap bisa tidak dipakai lagi setelah

pemilu 1999 di Afrika Selatan jika para pengritik

sistem tersebut � yang berpendapat bahwa sistem

itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak

menjamin hubungan yang baik antara anggota

parlemen dan masyarakat � berhasil memaksakan

kehendaknya. Yang berbeda mengenai Afrika

Selatan � dibandingkan dengan Zimbabwe � adalah

bahwa tawar-menawar dan �give and take� masih

terus terjadi meskipun negosiasi transisi formal

sudah berakhir, sehingga sistem yang berdasarkan

RP campuran atau sistem yang berdasarkan

konstituen masih mungkin dipakai di masa yang

akan datang.

Pada saat sistem pemilu dipilih sebagai akibat dari

negosiasi, hasilnya mencerminkan kompromi antara

partai-partai yang ikut berpartisipasi dalam diskusi.

Seperti dalam kasus lain dalam pemilihan sistem

pemilu, partai-partai tersebut membuat pilihan

berdasarkan penggunaan �imajinasi strategis�

mereka. Pihak-pihak yang ikut serta bertanya pada

diri mereka sendiri: Bagaimana sistem tersebut akan

dapat membantu kita, dengan standar popularitas

kita saat ini, distribusi suara, dan popularitas partai-

partai lain? Tentu saja, partai-partai akan lebih

menyukai sistem yang mereka yakini akan

memaksimalkan jumlah suara mereka. Hasilnya juga

merefleksikan kekuatan relatif yang dipunyai oleh

pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan

tersebut. Pada saat negosiasi menghasilkan

kesepakatan mengenai sistem pemilu, itu biasanya

berarti bahwa semua partai politik puas bahwa

sistem yang mereka pilih merupakan sistem yang

terbaik, yang mereka dapatkan, dengan

mempertimbangkan kekuatan tawar-menawar

mereka sendiri serta kekuatan dan preferensi partai-

partai yang lain.

Paksaan dari LuarOleh: Andrew Reynolds

Paksaan dari Luar

Sejumlah kecil sistem pemilu dirancang dengan

sengaja dan dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap

negara bangsa. Dua dari contoh yang sangat jelas dari

gejala seperti ini terjadi di Jerman Barat sesudah

Perang Dunia Kedua, dan di Namibia pada akhir

tahun 1980-an.

Di Jerman, masa pasca perang, baik tentara Inggris

yang mau meninggalkan negara tersebut dan partai-

partai politik Jerman ingin sekali menerapkan sebuah

sistem yang akan menghindari munculnya partai-

partai yang akan merusak dan membuat sistem

pemilu Weimar tidak stabil, dan untuk memasukkan

tradisi Anglo dalam hal perwakilan konstituen

dikarenakan mereka tidak puas dengan sistem

pemilu daftar tertutup tahun 1919-1933, yang

meniadakan hak pemilih untuk memilih antar caleg

dan antar partai-partai politik.

Selama tahun 1946, pemilu di daerah pendudukan

Perancis dan Amerika diadakan dengan sistem pemilu

Weimar. Dalam zona Inggris, dipakai sebuah kompromi

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Page 59: Sistem Pemilu

50

PROSES PEMILIHAN SISTEM

yang memungkinkan para pemilih untuk memilih

anggota konstituen dengan sejumlah kursi RP Daftar

yang dialokasikan untuk mengkompensasikan

ketidakseimbangan yang muncul dari distrik-distrik.

Sehingga lahirlah sistem perwakilan MMP, yang sejak

saat itu sudah dipergunakan di beberapa negara.

Sistem campuran tersebut pada akhirnya dipakai

untuk semua pemilihan anggota parlemen pada

tahun 1949, akan tetapi baru pada tahun 1953, dua

suara yang berbeda diperkenalkan, satu untuk

memilih anggota konstituen, dan yang lainnya,

berdasarkan sistem Länder, pada akhirnya

menentukan komposisi partai di Bundestag.

Penerapan batas representasi lima persen untuk

perwakilan daftar partai membantu terfokusnya

sistem partai menjadi tiga kelompok besar setelah

tahun 1949 � Demokrat Sosial, Demokrat Kristen dan

Demokrat Bebas � meskipun semuanya yang

berjumlah total 12 partai mendapatkan perwakilan

di pemilu-pemilu nasional pertama setelah perang.

Pemikiran untuk memakai sistem RP Daftar secara

nasional di Namibia pada awalnya berasal dari PBB,

yang sejak tahun 1982 mendorong agar setiap sistem

pemilu non-rasial di masa depan menjamin bahwa

partai-partai politik yang berhasil mendapatkan

dukungan berarti dalam pemilu diberikan

perwakilan yang adil. Pilihan untuk tidak memakai

sistem pemilu FPTP (sistem yang hanya berlaku bagi

orang kulit putih yang dipakai di daerah yang

dulunya koloni Afrika Barat Daya) dan berpindah

ke sistem RP Daftar ketat dulunya diusulkan oleh

Pik Botha, yang pada saat itu menjabat sebagai

Menteri Luar Negeri Afrika Selatan. Meskipun Afrika

Selatan sebelumnya tidak berhasil mendesak daftar-

daftar pemilih terpisah (la Zimbabwe 1980-1985)

yang seharusnya sudah menjamin bahwa orang kulit

putih dapat memperoleh kursi di Majelis yang baru.

Terdapat kegelisahan bahwa penduduk Afrika

Selatan mendukung sistem pemilu RP semata-mata

untuk memecah-belah Majelis Konstituen. Ini

mendorong UN Institute for Namibia memberikan

saran kepada partai-partai politik yang tertarik

kepada pemerintahan independen yang stabil untuk

menolak sistem RP, karena sistem tersebut akan

membuat perwakilan partai menjadi terbagi. Tetapi

saran tersebut tidak diperhatikan, dan opsi untuk

batas representasi perwakilan � salah satu

mekanisme utama untuk mengurangi jumlah partai

dalam sistem RP Daftar tidak pernah diajukan oleh

UN atau dijadikan pokok pembahasan oleh partai

politik manapun.

Untuk pemilu pertama pada tahun 1989 Organisasi

Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO) menyatakan

lebih memilih untuk tetap memakai sistem distrik

wakil tunggal, tentu saja dengan mengharapkan

(sebagai partai dominan) akan mendapatkan

keuntungan dari konstituensi dimana �pemenang

mengambil semuanya� (winner-take-all). Meskipun

begitu, pada saat Majelis Konstituen bertemu

pertama kali pada bulan November 1989, dan setiap

partai dalam parlemen membeberkan rancangan

konstitusi mereka, SWAPO menyerah dalam masalah

RP, nampaknya sebagai konsesi kepada partai-partai

kecil, dimana mereka mengharapkan mendapatkan

konsensi imbal balik untuk hal-hal yang lebih

menguntungkan.

Page 60: Sistem Pemilu

51

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Warisan Kolonial

Mewarisi sistem pemilu dari jaman kolonial

mungkin merupakan cara yang paling umum

dimana masyarakat yang sedang berjalan menuju

kearah demokrasi memperoleh sistem pemilunya.

Peta mengenai penggunaan sistem pemilu dalam

Peta menggambarkan secara dramatis distribusi

sistem pemilu pasca masa kolonial. Dari 53 koloni

Inggris dan anggota Commonwealth of Nations,

sejumlah 37 negara (atau 70 persen) menggunakan

FPTP sistem klasik yang diwarisi dari Westminster.

Sebelas dari 27 wilayah bekas jajahan Perancis

menggunakan sistem dua putaran (TRS) model

Perancis, sedangkan sebagian besar dari 16 negara

sisanya menggunakan RP Daftar, sebuah sistem

yang kadang-kadang dipakai oleh Perancis sejak

tahun 1945 untuk pemilihan parlemen, dan secara

meluas dipakai untuk pemilihan di daerah

kotamadya. Limabelas dari 17 negara dan wilayah

yang berbahasa Spanyol menggunakan sistem RP

(seperti halnya Spanyol), sedangkan Guatemala dan

Ekuador menggunakan RP Daftar sebagai bagian

dari sistem Paralel mereka. Akhirnya, keenam

negara Lusophone menggunakan sistem RP Daftar,

seperti di Portugal.

Menarik untuk diketahui bahwa pengaruh

rancangan konstitusi Perancis memainkan peran

yang sangat besar terhadap para perancang

institusional bekas Republik Soviet, CIS. Delapan

dari negara-negara satelit ini menggunakan TRS

dalam berbagai macam bentuk. Hanya Georgia,

Kazakhstan, dan Rusia yang tidak berhasil mengikuti

trend tersebut. Meskipun demikian, UU Pemilu

bekas Uni Soviet mempunyai pengaruh besar dalam

konsolidasi demokrasi di negara-negara baru Eropa

Timur dan Asia Tengah, yang beberapa diantaranya

masih tetap mempertahankan persyaratan-

persyaratan model Soviet, yaitu bahwa hasilnya

harus lebih dari limapuluh persen untuk dapat

dikatakan bahwa pemilu tersebut sah (valid). Ini

menyebabkan masalah-masalah khusus di Ukraina,

dimana proses pengisian kursi kosong bisa

berlangsung bertahun-tahun, dan dengan demikian

menghasilkan ketidakpuasan masyarakat.

Warisan kolonial sebuah sistem pemilu mungkin

merupakan cara yang paling kecil kemungkinannya

untuk menjamin bahwa sebuah lembaga pemilu

cocok bagi kebutuhan sebuah negara, karena

kekuatan kolonial hampir selalu, berdasarkan

hakekatnya, secara sosial dan budaya sangat berbeda

dengan masyarakat yang dijajahnya. Dan bahkan jika

para kolonialis tersebut berusaha menanamkan etos

politiknya di negara jajahannya, mereka jarang sekali

berhasil menghilangkan hubungan kekuasaan

penduduk asli dan cara-cara tradisional wacana

politis mereka. Warisan kolonial sistem Westminster

telah dicatat sebagai sebuah hambatan bagi stabilitas

di sejumlah negara Anglophone seperti Karibia,

Nigeria, dan Malawi. Penggunaan TRS model

Perancis oleh Mali sudah dipertanyakan secara

meluas, dan penggunaan Block Vote oleh Yordania

dan Palestina yang didasarkan ide Inggris telah pula

melahirkan banyak masalah.

Page 61: Sistem Pemilu

52

Evolusi/KebetulanOleh: Ben Reilly

Meskipun banyak informasi yang dibeberkan di sini

terfokus kepada kemungkinan-kemungkinan

�perekayasaan pemilu� secara sengaja, patut untuk

diingat bahwa kebanyakan sistem pemilu tidak

dipilih secara sengaja. Seringkali, pemilihan sistem

pemilu terjadi secara kebetulan.

Pemilihan yang terjadi secara kebetulan belum

tentu merupakan pilihan yang jelek; bahkan

kadangkala pilihan tersebut bisa menjadi sangat

cocok. Salah satu contoh adalah demokrasi yang

sangat terfragmentasi berdasarkan etnis di Papua

Nugini, yang mewarisi sistem AV dari Australia

untuk tiga pemilu pertamanya di tahun 1960-an

dan tahun 1970-an. Karena sistem ini menuntut

agar para pemilih mengurutkan calegnya

berdasarkan peringkat kesukaan mereka di kertas

suara, pemilu seperti ini mendorong spektrum

aliansi dan jual-beli suara antar para caleg yang

bertarung dan kelompok masyarakat yang berbeda-

beda, dimana para kandidat mencoba

memenangkan bukan hanya peringkat pertama,

tetapi juga kedua dan ketiga. Ini akan mendorong

ke arah taktik kampanye yang kooperatif, posisi

moderat, dan pertumbuhan awal partai-partai

politik. Pada saat sistem ini diubah, tingkah laku

politik menjadi semakin eksklusif dan kurang

akomodatif, dan sistem partai yang sedang lahir

dengan cepat terurai.

PNG kemudian menjadi penerima tak sengaja

sebuah sistem pemilu yang mungkin sangat khas,

cocok untuk struktur sosialnya. Meskipun

demikian, pilihan-pilihan yang tidak disengaja atau

evolusioner akan lebih memungkinkan munculnya

akibat-akibat yang tidak diinginkan � terutama bagi

para perancangnya. Misalnya, ketika Yordania

memakai sistem SNTV pada tahun 1993, atas

inisiatif pribadi Raja Husein, ini bukan hanya

karena perwakilan minoritas yang semakin besar,

tetapi karena hal tersebut mempermudah pemilihan

para fundamentalis Islam di parlemen, lihat

Yordania � Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab.

Banyak negara demokrasi yang sedang berkembang

pada tahun 1950-an dan 1960-an memakai cara-

cara sistem Inggris, meskipun ada keraguan dari

Westminster bahwa hal tersebut merupakan �ekspor

yang nilainya meragukan bagi koloni-koloni di Asia

dan Afrika.� Catatan sejarah yang kurang

mengenakkan dari pilihan-pilihan seperti ini

menekankan kembali pentingnya merancang

aturan-aturan pemilu dan konstitusi berdasarkan

kondisi tertentu negara yang bersangkutan,

daripada mengandaikan bahwa rancangan

konstitusi yang memiliki asal yang sama, akan dapat

bekerja persis sama dalam situasi sosial, politik dan

ekonomi yang berbeda.

PROSES PEMILIHAN SISTEM

Page 62: Sistem Pemilu

53

Pada tatanan yang paling dasar, sistem pemilu

mengubah suara yang diperoleh dalam pemilu

menjadi kursi yang dimenangkan oleh partai dan

caleg. Variabel-variabel kuncinya adalah:

� rumusan pemilu yang digunakan,

� apakah sistem yang dipakai mayoritarian

atau proporsional,

� rumusan matematik seperti apa yang

digunakan untuk menghitung alokasi kursi,

dan

� besar wilayah � bukan berapa jumlah

pemilih yang tinggal di sebuah wilayah

tertentu, tetapi lebih menjurus kepada

berapa anggota legislatif yang akan dipilih

dari wilayah tersebut.

Rancangan sistem pemilu mempunyai hubungan

yang dekat dengan aspek administratif pemilu yang

lain yang dibicarakan dalam website ini; seperti

misalnya penempatan TPS, lihat Tempat

Pemungutan Suara, dan pencalonan caleg, lihat

Partai-Partai dan Caleg, pendaftaran pemilih, lihat

Pendaftaran Pemilih, siapa yang melaksanakan

pemilu dan sebagainya, lihat Indeks Manajemen

Pemilu. Masalah tersebut merupakan hal-hal yang

sangat penting, dan keuntungan yang mungkin

didapat oleh pemilihan sistem pemilu menjadi

berkurang, kecuali jika hal-hal diatas diperhatikan

dengan sungguh-sungguh.

Rancangan sistem pemilu juga mempengaruhi

KOMPONEN PERANCANGAN Oleh: Andrew Reynolds

bidang-bidang lain dalam undang-undang pemilu:

� pemilihan sistem pemilu berpengaruh

terhadap bagaimana garis batas wilayah

distrik akan dibuat, lihat Indeks Pemetaan

Distrik Pemilihan,

� rancangan kertas suara, lihat Rancangan

Kertas Suara,

� bagaimana suara akan dihitung, lihat

Penghitungan Suara,

� dan banyak aspek lain dalam proses pemilu.

Dalam bagian ini kita akan mengkonsentrasikan

kepada beberapa aspek lain undang-undang

pemilu, termasuk pertanyaan mengenai rumusan

pemilu khusus yang akan digunakan. Ini

mencakup unsur-unsur �demokrasi langsung� �

referendum dan plebisit, lihat Referendum dan

Plebisit; inisiatif warganegara, lihat Inisiatif

Warganegara; dan recall anggota legislatif lihat

Recall Anggota Legislatif. Sebuah bahasan

mengenai kapan dan berapa sering pemilu

diadakan, lihat Frekuensi/Tanggal/Hari Pemilu;

bagaimana mencapai ukuran parlemen yang

cocok, lihat Besarnya Parlemen; cara mencoblos

kertas suara, lihat Cara Pemungutan Suara;

mekanisme pemilu khusus - seperti aturan-aturan

untuk pemungutan suara wajib � lihat Pemungutan

Suara Wajib; perwakilan minoritas, lihat

Ketentuan-Ketentuan tentang Kaum Minoritas; dan

perwakilan wanita, lihat Mekanisme Khusus untuk

Kaum Wanita.

Page 63: Sistem Pemilu

54

Pilihan-Pilihan Demokrasi LangsungOleh: Andrew Reynolds

Kebanyakan dari situs ini menyoroti lembaga-lembaga

�demokrasi perwakilan,� meskipun demikian dalam

tiga file berikut, kita akan menganalisa beberapa

mekanisme �demokrasi langsung.�

� File Referendum dan Plebisit membicarakan

kelebihan dan kekurangan referendum dan

plebisit-pemilihan langsung untuk penen-

tuan masalah tertentu.

� File Inisiatif Warganegara melihat mekanisme

�inisiatif warganegara,� biasanya dipakai di

Amerika Serikat, yang memungkinkan para

pemilih memberikan masalah-masalah

legislatif di kertas suara atau didepan para

Dewan Perwakilan Negara mereka.

� File Recall Anggota Legislatif memberikan

garis besar tatacara di Amerika Serikat untuk

me-recall anggota legislatif dimana para

anggota dewan yang sudah terpilih dapat

ditarik kembali (di-recall) oleh konstituen

mereka.

u Referendum dan PlebisitOleh: Michael Gallagher

Pemungutan suara secara nasional mengenai suatu

masalah khusus merupakan cara yang biasa dalam

menyelesaikan masalah-masalah politik di banyak

negara di seluruh dunia. Pemungutan suara seperti

itu biasanya disebut �referendum,� meskipun

demikian pada dasarnya ada dua jenis khusus

referendum, dimana keduanya sering disebut secara

berbeda. Yang pertama, pada waktu pemungutan

suara diminta oleh sejumlah warganegara biasa,

misalnya dengan menandatangani sebuah petisi,

hasil pemungutan suaranya disebut sebagai

�inisiatif.� Yang kedua, istilahnya �plebisit,�

meskipun seringkali dipakai secara bergantian

dengan referendum, mempunyai konotasi negatif di

sejumlah negara, dimana hal tersebut dipakai untuk

pemungutan suara yang diadakan pada situasi yang

tidak betul-betul murni demokratis.

Sebuah referendum memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk memberikan suaranya

secara langsung dalam masalah tertentu. Meskipun

masyarakat juga dapat memilih dalam pemilu, akan

tetapi biasanya pemilu mencoba menyelesaikan

beberapa masalah dan kadang-kala tidak jelas

pemecahan atas masing-masing masalah tersebut.

Referendum telah dipergunakan di banyak negara;

di Swiss, referendum sangat umum, lihat Swiss, di

sejumlah negara rata-rata diadakan satu atau dua kali

referendum per tahun, dan di kebanyakan negara

referendum jarang diadakan. Pada umumnya,

referendum tidak dipakai untuk menyelesaikan

masalah-masalah politis yang biasa yang muncul

secara rutin, tetapi lebih berkaitan dengan masalah-

masalah besar. Situasi yang paling umum dimana

referendum dianggap lazim adalah pada saat

perubahan total rezim; bukan hanya perubahan

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 64: Sistem Pemilu

55

konstitusi yang ada saat itu, tetapi juga penerapan

konstitusi baru atau, langkah yang paling dramatis

dari semuanya, keputusan rakyat untuk memer-

dekakan diri.

Misalnya, keputusan Norwegia untuk memisahkan

diri dari Swedia pada tahun 1905 dilakukan oleh

rakyat Norwegia dalam sebuah referendum dimana

99.9 persen rakyat memilih untuk merdeka, sebuah

ungkapan kebanggaan nasional yang sangat kuat.

Demikian juga, Islandia mengadakan referendum

untuk merdeka dari Denmark. Dipakainya sistem

reformasi demokratis pada akhir tahun 1970-an di

Spanyol, sesudah kematian diktator Franco, juga

disetujui oleh rakyat lewat sebuah referendum.

Demikian juga, konstitusi baru tercipta lewat

referendum di Denmark, Perancis dan Irlandia.

Keputusan untuk berpindah ke politik multi-partai

sudah diambil dengan cara referendum di beberapa

negara Afrika, seperti Gabon dan Malawi. Dalam

setiap kasus diatas, menjadi penting legitimasi

keputusannya bahwa langkah-langkah untuk

menuju kemerdekaan atau demokrasi diambil oleh

rakyat secara langsung dan bukan oleh elit politik.

Masalah fundamental yang muncul di beberapa

negara Eropa adalah keanggotaan dalam Uni Eropa,

yang mempunyai implikasi atas kedaulatan masing-

masing negara. Dari lima belas negara anggota yang

ada saat ini, lima negara telah mengadakan

referendum apakah mereka akan bergabung dalam

Uni Eropa atau tidak: negara-negara tersebut adalah

Austria, Denmark, Finlandia, Irlandia dan Swedia.

Disamping itu, Inggris yang pernah menjadi anggota,

mengadakan referendum untuk memutuskan apakah

mereka akan keluar dari Uni Eropa, sementara itu

rakyat Norwegia dua kali telah menyatakan tidak

masuk dalam Uni Eropa, meskipun para elit

politiknya, pada masing-masing kesempatan telah

menyatakan kesediaannya untuk ikut dalam

keanggotaan tersebut.

Daftar diatas menunjukkan bagaimana masalah

referendum kadang kala merupakan masalah besar

yang muncul adalah masalah politis, yang bukan

terjadi sehari-hari, yang terjadi secara rutin di sebuah

negara. Secara umum, referendum sangat cocok

untuk diajukan dalam masalah-masalah seperti itu,

dan terhadap masalah-masalah yang terjadi yang

melintasi garis pembagian biasa dalam sebuah

masyarakat, dari pada masalah-masalah yang terjadi

sejalan dengan pembagian masyarakat tersebut.

Misalnya, sebuah negara mempunyai dua kelompok

linguistik utama, satu bahasa dipakai oleh 60 persen

penduduk dan sisanya 40 persen oleh kelompok lain,

dan ada ketegangan yang terus menerus mengenai

masalah bahasa tersebut. Jika referendum diadakan

untuk memecahkan masalah mengenai bahasa mana

yang akan menjadi satu-satunya bahasa di negara

tersebut, ini tentu saja tidak akan memecahkan

masalah, karena kelompok minoritas nampaknya

tidak akan menerima suara mayoritas, yang

cenderung memilih salah satu bahasa tersebut

sebagai cara yang adil untuk memecahkan masalah.

Ketegangan etnis, juga tidak mudah dipecahkan

dengan cara referendum. Dengan kata lain, apabila

ada masalah yang terkait dengan hak-hak kelompok

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 65: Sistem Pemilu

56

KOMPONEN PERANCANGAN

minoritas, dan seberapa jauh kelompok mayoritas

dapat memaksakan kehendaknya terhadap

minoritas, referendum tidak cocok diterapkan,

karena hanya akan menjadi alat bagi kelompok

mayoritas. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya

kemungkinan dipakainya referendum adalah untuk

mengkaji diterima tidaknya sebuah kompromi yang

dilakukan oleh para elit, lihat Negosiasi.

Demikian juga, apabila sebuah negara terbagi antara

garis kiri dan kanan, kecil sekali manfaatnya

mengadakan referendum mengenai masalah kiri dan

kanan, yang mana referendum hanya menghasilkan

suara seperti pada pemilu biasa. Jadi jika referendum

akan diadakan sehubungan dengan masalah-masalah

politik, masalah tersebut biasanya melintasi batas

pengelompokan partai yang biasa. Contohnya adalah

pengambilan suara mengenai tenaga nuklir di

Austria dan Swedia, atau mengenai perceraian di

Irlandia.

Bahkan apabila kita dapat memberikan petunjuk

mengenai cara yang paling tepat untuk

menggunakan referendum, itu tidak berarti

bahwa petunjuk tersebut selalu dapat ditaati.

Malahan, terdapat banyak cara dimana

referendum tersebut disalahgunakan atau bahkan

diperdayakan, dan ada banyak contoh mengenai

masalah-masalah ini. Di Perancis, misalnya,

banyak referendum yang diadakan sejak Perang

Dunia Kedua sudah digunakan untuk alasan-

alasan politis oportunis, pada saat pemerintah

melihat kesempatan untuk mempermalukan atau

membagi oposisi.

Ini adalah alasan untuk mengatur kapan referendum

dapat atau harus dipakai; sebaliknya, jika referendum

dapat terlaksana sedemikian mudah atas kepandaian

pemerintahan saat itu, lembaga referendum akan

sangat mudah menjadi terdiskreditkan dan suara-

suara yang diperoleh dalam keadaan seperti itu tidak

akan berguna.

Jadi setiap aspek referendum memerlukan

pengaturan. Sangat penting bahwa peraturan yang

mengatur referendum dibuat jauh sebelumnya

sehingga setiap orang tahu peraturannya. Hal-hal

yang perlu diatur antara lain:

� Penting sekali untuk memberikan redaksi yang

jelas, karena semakin tepat pertanyaan, akan

semakin bagus hasilnya. Ada banyak contoh

dimana proposal yang diajukan kabur dan

retorik, contohnya di bekas Uni Soviet pada

tahun 1991, dimana hasilnya hampir-hampir

tidak ada. Demikian juga, masalah siapa yang

memutuskan peredaksian kata-katanya harus

dijelaskan secara eksplisit dalam setiap

perundangan yang mengatur referendum

tersebut.

� Kriteria keberhasilan; di beberapa negara,

beberapa usulan referendum mensyaratkan

lebih dari mayoritas sederhana agar dapat

diberlakukan; referendum tersebut harus

didukung oleh persentase tertentu dari para

pemilih terdaftar. Asalkan aturan-aturannya

masuk akal dan jelas diberitahukan dimuka,

masalah-masalah tidak akan muncul. Peraturan

Page 66: Sistem Pemilu

57

KOMPONEN PERANCANGAN

yang mensyaratkan proporsi tertentu dari

keseluruhan pemilih untuk mendukung sebuah

referendum sebelum referendum tersebut layak

diberlakukan kadang-kala diadakan, seperti

misalnya yang terjadi di Denmark, dilakukan

agar jumlah pemilih yang kecil tidak dapat

mempengaruhi masalah tersebut, pada saat

sebagian besar masyarakat sebetulnya tidak

peduli terhadap permasalahan tersebut.

Peraturan seperti ini biasanya logis. Yang kurang

umum adalah mensyaratkan sejumlah proporsi

tertentu pemilih yang harus mencoblos, dan jika

tidak terpenuhi semua kegiatan referendum

tersebut dinyatakan tidak sah.

Di Italia misalnya, ada peraturan yang mengatur

jumlah peserta; agar dinyatakan layak

diberlakukan, sebuah proposal harus didukung

oleh sekurang-kurangnya 50 persen suara yang

masuk, dan pesertanya sekurang-kurangnya 50

persen pemilih. Kerugiannya adalah bahwa

lawan dari pengusul populer mungkin dapat

menghancurkannya hanya dengan tidak

mendatangi tempat pemungutan suara.

� Interpretasi hasil: apabila 49 persen pemilih

menyetujui usulan dalam referendum, 48

persen tidak menyetujui usulan tersebut, dan

sisanya tiga persen suara tidak sah, apakah

usulan tersebut dapat diterima? Dalam sistem

referendum yang diatur dengan baik, jawaban

atas pertanyaan tersebut tidak akan mendua.

Jika jawaban mendua, sesudah referendum akan

terjadi debat politik mengenai interpretasi yang

diambil oleh pengadilan yang harus mengambil

keputusan akhirnya, dengan demikian

meniadakan tujuan referendum sendiri, dimana

rakyatlah yang seharusnya mengambil

keputusan.

Referendum, seperti kebanyakan lembaga politis

yang lain, secara potensial mempunyai

kekurangan dan kelebihan. Keuntungannya

antara lain adalah peran legitimasinya:

keputusan yang diambil secara langsung oleh

rakyat nampaknya akan memberikan legitimasi,

bahkan oleh mereka yang menentangnya,

dimana mereka mungkin tidak akan menerima

hal yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan

lewat parlemen atau pemerintah. Ini nampak

jelas di Denmark dalam kasus Uni Eropa dan di

Irlandia mengenai kasus perceraian, dimana

referendum telah berhasil menyelesaikan

masalah-masalah yang mengundang

perdebatan. Disamping itu, referendum

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengambilan keputusan dan mempunyai

pengaruh edukatif terhadap masyarakat, yang

mau tidak mau menjadi akan lebih baik

perolehan informasinya atas masalah-masalah

yang sedang diperdebatkan.

Kerugian dari referendum adalah bahwa

institusi pemerintahan perwakilan, seperti

misalnya parlemen, mungkin menjadi

berkurang, dan bahwa masyarakat mungkin

tidak akan cukup memperoleh informasi untuk

dapat membuat keputusan politis yang kuat.

Page 67: Sistem Pemilu

58

KOMPONEN PERANCANGAN

Juga ada kekhawatiran mengenai mayoritarian,

yaitu kekhawatiran bahwa kelompok mayoritas

akan menggunakan referendum untuk menjegal

hak-hak minoritas.

Setelah mengamati praktek referendum di

seluruh dunia, dapat ditarik kesimpulan bahwa

referendum tidak akan memberikan harapan

utopia para pejuang awal pro-referendum, tetapi

referendum juga tidak membangkitkan

ketakutan mereka yang melihatnya sebagai

perusak demokrasi. Kebanyakan negara yang

mempunyai lembaga referendum nampaknya

memperoleh keuntungan darinya, dan sudah

memasukkannya sebagai ciri proses politis.

Misalnya masalah keterlibatan Denmark dalam

Uni Eropa terselesaikan dengan dua referendum

yang sangat dekat jaraknya pada tahun 1992 dan

1993. Dalam setiap referendum tersebut

pengikutnya lebih dari 80 persen. Proses

referendum tersebut telah memberikan

informasi yang paling baik bagi warga Denmark

mengenai masalah Uni Eropa dibandingkan

dengan negara-negara yang lain. Hasilnya

memberikan legitimasi yang mungkin tidak

pernah akan tercapai jika dilakukan lewat

parlemen.

Sebaliknya, penggunaan referendum yang

berlebihan dapat berpengaruh negatif. Negara

yang paling sering menggunakan referendum

adalah Swiss, dimana pesertanya dalam

kebanyakan referendum kurang dari 50 persen,

mungkin karena rakyat Swiss letih dengan

pengumpulan pendapat � rata-rata ada sepuluh

pengambilan pendapat per tahun. Meskipun

demikian, referendum merupakan aspek penuh

dan diterima dalam sistem politik Swiss, dan

beberapa pengamat bahkan ingin lebih

memperluas penggunaan sistem tersebut.

Di Italia referendum justru merupakan kekuatan

yang lebih banyak merusak. Peraturan di Italia

memperbolehkan sejumlah pemilih tertentu

memprotes UU yang ada, dan pada saat-saat

tertentu masyarakat Italia bisa dipanggil untuk

memberikan pendapat mereka mengenai 12

masalah yang berbeda-beda pada hari yang

sama. Praktek referendum di Italia sudah

seringkali mengakibatkan hubungan yang sulit

dengan pemerintahan perwakilan. Di negara-

negara dimana lembaga perwakilan lemah atau

di negara-negara yang sedang tumbuh, mungkin

tidak bijaksana membiarkan kelompok pemilih

mengajukan referendum atas UU yang tidak

mereka sukai, karena hal tersebut akan

menciptakan resiko bahwa keputusan yang

keras tetapi perlu diambil, yang mungkin akan

terbukti benar dalam jangka panjang akan

ditolak oleh masyarakat.

Meskipun lembaga pemerintahan perwakilan

dapat hidup berdampingan secara baik dengan

referendum, hubungan pemerintahan

perwakilan dan inisiatif biasanya tidak begitu

nyaman. Sistem politik di Swiss dapat bekerja

dengan cukup lancar dengan penggunaan

inisiatif secara meluas, tetapi kebanyakan negara

Page 68: Sistem Pemilu

59

KOMPONEN PERANCANGAN

lain akan merasa jauh lebih sulit melaksanakan

pemerintahan yang stabil dan efektif dengan

ketentuan inisiatif yang sedemikian luas.

Penggunaan referendum yang wajar nampaknya

tidak akan memperlemah pemerintahan

perwakilan, dan bahkan mungkin akan

memperkuatnya, tetapi penggunaan referendum

yang berlebihan dapat memperlemah

pemerintahan perwakilan dan mengurangi nilai

referendum sendiri.

Lihat juga Persyaratan Penyebaran Suara dan

Konsultasi Populer: referenda, plebisit dan

recall.

u Inisiatif WarganegaraOleh: Joseph Zimmerman

Di Amerika Serikat, para pemilih di Massachusetts

telah diberi wewenang untuk menggunakan hak-hak

warganegara sejak tahun 1715 untuk menetapkan

bab-bab tertentu di undang-undang kota (agenda

tetap) untuk mengadakan pertemuan warga kota.

Saat ini duapuluh tiga konstitusi negara, dimulai oleh

Dakota Selatan pada tahun 1898, memberikan

wewenang penggunaan petisi untuk mengajukan

proposisi di kertas suara referendum. Inisiatif

konstitusional ada di tujuh belas negara Amerika dan

inisiatif perundangannya (statutory) mungkin

dipakai di duapuluh satu negara. Wewenang veto

gubernur tidak sampai melampaui undang-undang

inisiatif. Hal tersebut dapat juga dipakai di banyak

negara bagian untuk dapat memakai dan mengubah

perjanjian pemerintah lokal, dan di kantor walikota

untuk mengesahkan peraturan-peraturan.

Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus

Perusahaan Telephone dan Telegraph Pacific State

vs Oregon, 223 US, 118 (1912), menolak tuntutan

terhadap inisiatif bahwa dia melanggar konstitusi AS

yang menjamin bahwa setiap negara bagian adalah

sebuah bentuk pemerintahan republik.

Inisiatif dapat diklasifikasikan sebagai:

� negara atau lokal,

� konstitusional atau perundang-undangan,

� langsung atau tidak langsung, dan

� bersifat pertimbangan.

Dua kategori yang pertama sudah cukup jelas. Dalam

inisiatif langsung, seluruh proses legislatif dipotong

karena proposisinya langsung ditulis dalam kertas

suara referendum apabila jumlah yang disyaratkan

dan sebaran tanda-tangan petisi yang sah dapat

dikumpulkan dan disahkan.

Inisiatif tak-langsung, dipakai di delapan negara

bagian, melibatkan proses yang lebih kaku karena

proposisi disampaikan kepada lembaga legislatif

pada saat mendaftarkan sejumlah tanda-tangan petisi

sah yang disyaratkan. Apabila lembaga legislatif tidak

dapat berhasil menyetujui pada hari yang telah

ditentukan � berkisar dari empatpuluh hari di

Michigan sampai pembatalan di Dewan Perwakilan

Negara Bagian Maine � akan berakibat bahwa

proposisi tersebut diletakkan secara otomatis dalam

kertas suara referendum. Di Massachusetts, Ohio dan

Utah tanda-tangan tambahan bagi petisi harus

Page 69: Sistem Pemilu

60

KOMPONEN PERANCANGAN

dikumpulkan agar proposisinya dapat diletakkan

dalam kertas suara. Hanya konstitusi Massachussetts

memberikan kewenangan penggunaan inisiatif tak-

langsung agar perubahan konstitusi yang diusulkan

dapat ditempatkan pada kertas suara.

Dewan Perwakilan Negara Bagian Maine,

Massachusetts, Michigan, Nevada dan Washington

diberi wewenang untuk meletakkan proposisi

pengganti di kertas suara apabila proposisi

inisiatifnya dapat memenuhi kriteria kertas suara.

Meskipun sebuah bagian dalam Konstitusi Alaska

hanya menyediakan inisiatif langsung, bagian lain

memperbolehkan Dewan Perwakilan Negara

memberlakukan pengganti legislatif yang menganulir

petisi inisiatif asalkan penggantinya secara �substan-

sial sama.� Maine, Massachusetts dan Wyoming

memberikan kewenangan hanya untuk inisiatif

perundangan tak-langsung. Michigan, Nevada, Ohio,

Dakota Selatan, Utah dan Washington memberikan

wewenang pemakaian dua jenis hal tersebut.

Pertimbangan inisiatif memperbolehkan para

pemilih untuk menyebarkan petisi agar dapat

meletakkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak

mengikat pada kertas suara pada sebuah pemilu

untuk menekan lembaga-lembaga legislatif agar

mengesahkan rancangan undang-undang menjadi

undang-undang. Inisiatif seperti itu jarang digunakan

sebelum akhir tahun 1970-an dan pada umumnya

hanya menarik perhatian dari penduduk setempat.

Tumbuhnya gerakan lingkungan hidup dan gerakan

penutupan reaktor tenaga nuklir mengakibatkan

pemakaian inisiatif tersebut untuk mendorong

perhatian media nasional.

Negara-negara bagian yang memberi wewenang

penggunaan inisiatif agar dapat menempatkan statuta

yang diusulkan dalam kertas suara, kecuali Alaska,

mensyaratkan pengajuan pendahuluan atas petisi

yang diusulkan kepada Jaksa Agung atau Sekretaris

Negara Bagian, yang akan mempelajari petisi tersebut

apakah sesuai dengan persyaratan konstitusi dan/

atau undang-undang. Di Alaska, para pendukung

petisi menyerahkan petisi kepada Wakil Gubernur,

yang juga menerima semua petisi yang sudah

ditandatangani, yang harus diserahkan menjelang

tanggal tenggat waktu. Tiga negara bagian

mensyaratkan deposit sebesar $ 100 sampai $ 1000

� pada saat aplikasi diserahkan dan deposit

dikembalikan apabila proposisinya dapat masuk

kertas suara. Di tiga negara bagian petisi dipelajari

oleh para pejabat negara, yang mungkin akan

menyarankan perubahan kata-kata (redaksional)

kepada sponsor.

Jaksa Agung (atau di Alaska, Wakil Gubernur)

diperintahkan untuk menyiapkan judul kertas suara

dan ringkasan proposisi tersebut, yang dicetak di

bagian atas setiap petisi. Demikian juga, pegawai

pemerintah setempat biasanya bertanggungjawab

untuk menyiapkan judul kertas suara dan

ringkasannya. Sekretaris Negara Bagian biasanya

bertanggungjawab untuk mencetak formulir petisi

atas biaya publik, tetapi di Idaho para sponsor

bertanggungjawab atas pencetakan petisi tersebut.

Jumlah yang disyaratkan agar proposisi dapat ditulis

Page 70: Sistem Pemilu

61

KOMPONEN PERANCANGAN

di kertas suara didasarkan atas suara yang diperoleh

dalam pemilu yang paling akhir atau persentase

suara yang diperoleh dalam pemilihan Gubernur

(Sekretaris Negara Bagian di Colorado). Persyaratan

tanda-tangan berkisar dari tiga persen suara yang

diperoleh untuk pemilihan Gubernur di

Massachusetts sampai lima belas persen di Arizona

dan Oklahoma. Konstitusi Massachusetts mengatur

bahwa sebuah petisi harus diserahkan kepada

Pengadilan Umum (Dewan Legislatif Negara Bagian)

dan petisi tersebut akan ditempatkan di kertas suara

referendum hanya jika disetujui oleh seperempat

atau lebih jumlah anggota di dua sesi yang berurutan.

Pada saat penempatannya dalam kertas suara, usulan

tersebut akan diratifikasi jika disetujui oleh mayoritas

suara yang mendukung usulan tersebut, asalkan

mayoritas tersebut meliputi tigapuluh persen atau

lebih jumlah total kertas suara yang diperoleh dalam

pemilu.

Argumentasi untuk mendukung dan melawan

inisiatif warganegara tersebut sama dengan

argumentasi pro dan kontra yang dipakai dalam

referendum protes, lihat Referendum dan Plebisit,

dan yang dipakai dalam recall, lihat Recall Legislatif.

Para pendukung awal inisiatif ini yakin bahwa

kebijaksanaan kolektif para pemilih lebih baik

daripada kebijaksanaan perwakilan terpilih. Namun

demikian, mereka juga sadar bahwa tidak semua

hukum yang diperlukan harus diberlakukan dengan

cara inisiatif atau referendum. Dalam teori, inisiatif

hanya akan dilaksanakan pada saat lembaga-lembaga

legislatif terpilih tidak berhasil membuat rancangan

undang-undang yang diperlukan untuk masalah-

masalah penting, atau apabila UU yang sudah

diberlakukan tidak tanggap terhadap keinginan

pemilihnya.

Alasan pendukung dilaksanakannya inisiatif adalah:

� Membuat para anggota Dewan Perwakilan

lebih tanggap terhadap para pemilih dari

pada terhadap keinginan golongan tertentu,

� Meningkatkan minat warganegara atas

urusan pemerintahan,

� Mengurangi alienasi pemilih,

� Memberikan dukungan kepada konstitusi

negara yang singkat dan undang-undang

pemerintah setempat, dan

� Melaksanakan fungsi pendidikan kewarga-

negaraan yang penting.

Alasan kontra yang dikemukakan oleh para

penentang inisiatif adalah bahwa para anggota

legislatif membuat UU yang lebih baik, UU yang

dirancang dengan jelek akan menimbulkan masalah

dalam pelaksanaannya, UU inisiatif mungkin tidak

dikoordinasikan dengan UU lain yang terkait,

peredaksian kata-kata dalam proposisi mungkin

membingungkan para pemilih, inisiatif sangat

menyederhanakan permasalahan, �kelompok

minoritas� dapat terpengaruh karena bagusnya

kampanye inisiatif, dan pemerintahan yang tidak

fleksibel akan terjadi apabila usulan inisiatif tidak

dapat diamandemen oleh dewan legislatif setempat

atau dewan legislatif negara.

Penggunaan inisiatif yang berlangsung terus-

Page 71: Sistem Pemilu

62

KOMPONEN PERANCANGAN

menerus dan berhasil baik merupakan bukti bahwa

dewan-dewan legislatif tidak selalu tanggap terhadap

keinginan publik. Meskipun inisiatif merupakan

pendekatan tambal-sulam terhadap pembuatan UU,

UU usulan tersebut pada umumnya tidak

menyebabkan masalah yang serius dalam

pelaksanaannya. Meskipun demikian, para kritikus

mengatakan bahwa para pemilih sudah bertindak

diskriminatif dalam menilai argumentasi pro dan

kontra terhadap usulan tersebut sebelum mereka

memutuskan bagaimana cara memilih.

Sebagai penyeimbang, inisiatif tak-langsung (indirect

initiative) dapat memperkuat sistem pemerintahan

karena jenis inisiatif ini memiliki keuntungan proses

legislatif, termasuk dengar pendapat publik,

peninjauan kembali (review) dan rekomendasi dari

panitia. Seandainya dewan legislatif tidak berhasil

menyetujui usulan tersebut, para pemilih sudah

diuntungkan dalam segi kemampuan pembuatan

keputusan dengan melalui informasi atas usulan

yang muncul dalam proses legislatif. Inisiatif tak-

langsung merupakan sebuah alat tambahan yang

baik untuk proses pembuatan hukum konvensional

dan dapat berfungsi sebagai penyeimbang yang

efektif untuk sebuah dewan legislatif yang tidak

mewakili dan tidak dapat menekan pemerintahan

perwakilan lebih dari veto eksekutif dan veto

yudikatif. Sebuah keuntungan inisiatif yang paling

besar adalah kenyataan bahwa inisiatif membuat

kinerja kelompok yang berkepentingan menjadi lebih

mudah terlihat jika dibandingkan dengan kegiatan-

kegiatan lobby mereka di dewan perwakilan negara

maupun dewan perwakilan setempat.

Adanya dukungan atas inisiatif tak-langsung tersebut

bukan berarti bahwa sistem ini harus sering dipakai.

Ini harus menjadi kekuatan cadangan yang akan

dipakai paling akhir, dan kapan hal ini harus

digunakan tergantung kepada tingkat

pertanggungjawaban, keterwakilan dan tanggap

tidaknya dewan-dewan legislatif.

u Recall LegislatifOleh: Joseph Zimmerman

Ketentuan konstitusi atau perundangan di duapuluh

enam negara bagian di Amerika Serikat memberikan

wewenang kepada para pemilih untuk mengajukan

pertanyaan berdasarkan petisi, tentang apakah semua

pejabat publik atau pejabat publik tertentu dapat

diminta mundur dengan melalui referendum

sebelum masa jabatan mereka habis. Disamping itu,

kotamadya-kotamadya di negara bagian �pembuat

UU tersebut� dapat juga membuat undang-undang

baru atau perubahan undang-undang yang

memberikan kesempatan bagi adanya �recall.�

Dewan legislatif negara di beberapa negara bagian

yang tidak mempunyai ketentuan konstitusi atau

perundangan umum yang dibuatnya sendiri, telah

mengeluarkan undang-undang khusus bagi

pemerintah setempat yang berisi pemberian

wewenang untuk menggunakan recall oleh pemilih.

Ketentuan recall berdasarkan konstitusi dan

perundangan di enam negara bagian tidak

memasukkan hakim dalam sistem recall. Tujuh

negara bagian hanya memperbolehkan satu kali

percobaan untuk me-recall seorang pejabat selama

Page 72: Sistem Pemilu

63

KOMPONEN PERANCANGAN

masa tugas mereka, tetapi tiga negara bagian

memperbolehkan percobaan kedua, dengan syarat

bahwa pengusul tersebut mengganti biaya yang

sudah dikeluarkan negara untuk pemilu recall

pertama (first recall election).

Penggunaan recall harus mengikuti batasan-batasan

yang tertulis dalam ketentuan konstitusi,

perundangan ataupun undang-undang setempat.

Hanya pejabat yang dipilih yang dapat dikenakan

recall dengan pengecualian undang-undang recall

Montana dan sejumlah kecil peraturan pemerintah

daerah, yang mengijinkan recall bagi pejabat

administrasi. Lebih jauh lagi, kebanyakan ketentuan

recall melarang penggunaannya selama 2 sampai 12

bulan pertama para pejabat tersebut menduduki

jabatannya, dan selama 180 hari terakhir di lima

negara bagian.

Penentuan apakah recall tersebut merupakan proses

politis atau hukum (yuridis) berbeda dari satu negara

bagian dengan negara bagian lain berdasarkan

ketentuan konstitusi atau perundangan atau

peraturan pengadilan. Di beberapa negara bagian,

dimana recall merupakan proses politik, hak-hak

tradisional yang melindungi tertuduh tidak dapat

dipakai karena ketentuan pengaturnya tidak

memberikan mandat bahwa pejabat yang menjadi

sasaran harus didakwa dengan alasan tertentu -

pelanggaran (malfeasance), keteledoran

(misfeasance) atau ketidakberdayaan melaksanakan

kewajiban (nonfeasance), atau pengingkaran

terhadap sumpah. Jika prosesnya merupakan proses

hukum (yuridis), para pejabat yang menjadi sasaran

dapat terlindung dengan jaminan hukum tradisional.

Proses recall, sama dengan inisiatif atau referendum

protes, dimulai dengan sepuluh orang pengaju petisi

yang memasukkan permintaan kepada sekretaris

negara bagian atau pegawai kantor setempat untuk

dapat menyebarkan petisi untuk menentukan apakah

pejabat yang namanya disebutkan itu harus diminta

mundur dari jabatannya atau tidak. Permintaan

tersebut biasanya terdiri dari 200 kata yang

menyatakan alasan pengajuan recall tersebut, dan

pejabat yang disebut tadi dapat pula mengajukan

jawaban yang terdiri dari 200 kata. Selanjutnya,

sekretaris negara bagian atau pegawai kantor

setempat mencetak petisi resmi tersebut dan

membagikannya kepada para pengusul yang pada

umumnya diminta untuk mengumpulkan tanda-

tangan dari para pemilih yang terdaftar, yang

jumlahnya sama dengan 25 persen suara yang

diperoleh calon gubernur dalam pemilu sebelumnya

atau calon dari kantor yang bersangkutan. California

dan Georgia mempunyai persyaratan geografis yang

berhubungan dengan jumlah minimal tanda-tangan

yang harus dikumpulkan dari masing-masing lima

county (semacam kabupaten) bagi California atau

setiap wilayah kongres untuk Georgia.

Meskipun tanda-tangan yang disyaratkan sudah

dikumpulkan, pemilu recall tidak diteruskan di

delapan negara bagian asalkan pejabat yang

dimaksud mengundurkan diri dalam waktu lima

sampai sepuluh hari pada saat pengesahan tanda-

tangan tersebut. Jika pemilu dijadwalkan akan

diadakan, alasan pencopotan dari pejabat yang

Page 73: Sistem Pemilu

64

KOMPONEN PERANCANGAN

bersangkutan dan jawaban dari pejabat tersebut,

masing-masing maksimum 200 kata, harus dituliskan

dalam kertas suara. Para pemilih di sembilan negara

bagian hanya dibatasi untuk memutuskan apakah

pejabat yang bersangkutan harus diminta mundur.

Jika pejabat tersebut mundur, penggantinya dipilih

lewat pemilu khusus berikutnya. Di negara-negara

bagian lain, para pemilih memutuskan apakah

mereka akan meminta pejabat tersebut mundur dan

sekaligus memilih penggantinya jika pejabat tersebut

benar-benar mundur.

Pengalaman sebelumnya mengenai recall

menunjukkan bahwa seorang pejabat dapat diminta

mundur dari jabatannya dengan suara mayoritas,

tetapi dapat dipilih kembali dengan suara pluralitas

jika tiga atau lebih calon membuat suara menjadi

terbagi. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut,

ketentuan konstitusi dan perundangan dan peraturan

pemerintah setempat mengatur bahwa pejabat tidak

boleh mencalonkan kembali apabila recall berhasil.

Lebih jauh lagi, aturan tersebut juga menegaskan

bahwa pejabat yang sudah mengundurkan diri tidak

boleh ditunjuk kembali dalam kedudukan yang sama

atau serupa selama masa dua tahun. Para pejabat

yang dapat terkena recall tidak dibatasi untuk

mengeluarkan dana sendiri agar dapat tetap

mempertahankan jabatan berdasarkan UU kegiatan

korupsi negara (pendanaan kampanye) yang

dihasilkan oleh peraturan MA Amerika Serikat di

Buckley vs Valeo, 424 US, 1 pada 143 (1976).

Teori perwakilan klasik didasarkan atas keyakinan

bahwa pemilihan rutin yang terjadwal cukup untuk

memastikan bahwa pejabat yang dipilih akan dapat

bertanggung jawab kepada para pemilihnya. Korupsi

di pemerintahan dan badan-badan pemerintah bukan

perwakilan pada periode pasca perang saudara di

Amerika Serikat, menimbulkan beberapa gerakan

reformasi termasuk kaum populis, yang salah satu

agendanya adalah mengembalikan kontrol atas

pemerintah ke tangan masyarakat. Kaum populis

mendukung adanya recall, inisiatif dan referendum

protes. Inisiatif dan referendum protes pertama kali

diotorisasikan oleh amendemen konstitusi Dakota

Selatan pada tahun 1898. Unit pemerintahan pertama

yang memakai sistem recall adalah kota Los Angeles,

yang di dalam perjanjian pembuatan UU kota tersebut

telah diatur mengenai inisiatif dan referendum.

Para penentang recall berpendapat bahwa recall tidak

perlu dijalankan karena sudah ada alat kontrol lain

� proses impeachment, permintaan dewan legislatif

(meminta gubernur untuk mengganti seorang pejabat

yang disebutkan namanya), dan perundangan yang

meminta pengosongan kantor karena tuduhan

kejahatan - sudah ada untuk memecat pejabat yang

menyalahgunakan wewenang masyarakat. Para

penentang juga berpendapat bahwa recall akan

menghancurkan pemerintahan perwakilan dengan

menghalangi pejabat yang energetik, melemahkan

kemauan orang-orang yang cukup berkualitas untuk

mau bekerja di pemerintahan, memberi kesempatan

kedua kepada partai yang kalah untuk mendapat

jabatan di pemerintahan, dan dapat menyebabkan

dipecatnya seorang pejabat tanpa alasan yang layak.

Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa recall akan

menghancurkan independensi pengadilan.

Page 74: Sistem Pemilu

65

KOMPONEN PERANCANGAN

Para pendukung recall mengajukan enam alasan.

Mereka mempertahankan recall karena:

� Meningkatkan kontrol masyarakat atas

pemerintah,

� Memberi kesempatan kepada para pemilih

untuk memperbaiki kegagalan sistem pemilu

yang merupakan produk pengumpulan

suara yang lama atau peraturan pemilu yang

berdasarkan pluralitas,

� Mengurangi alienasi pemilih,

� Mendidik para pemilih,

� Mempermudah penghilangan pembatasan

konstitusi pada dewan perwakilan negara,

dan

� Mendorong suara untuk menyetujui

amandemen konstitusi dan perundangan,

dengan demikian memperpanjang masa

jabatan para pejabat terpilih.

Pengalaman dengan recall secara umum berpihak

kepada para pendukung. Jarang sekali recall dipakai

untuk meminta para pejabat negara mundur (satu

gubernur, delapan legislator, dan satu hakim), tetapi

recall lebih sering dipakai untuk meminta para

pejabat pemerintah daerah untuk mundur. Cara-cara

permintaan mundur yang lain jarang dipakai.

Meskipun sulit sekali diukur, nampaknya

keberadaan sistem recall ini mendorong para pejabat

publik lebih bertanggungjawab dan lebih tanggap

terhadap konstituen mereka. Ancaman penggunaan

recall inilah yang mungkin membuat para pejabat

terpilih mempertimbangkan sekali lagi posisi mereka

dalam masalah-masalah tertentu dan/atau menjaga

tingkah laku mereka, dan recall dapat mendorong

para pemilih memainkan peran yang lebih penting

dalam tugas pengawasan mereka sehubungan

dengan pejabat yang mereka pilih.

Catatan bagi pembaca: meskipun Amerika Serikat

merupakan tempat studi kasus utama penggunaan

recall legislatif, propinsi British Columbia di Kanada

menerapkan recall legislatif (pemilihan ulang)

dengan petisi (40% dari pemilih terdaftar) pada

tahun 1995.

Lihat juga Konsultasi Populer: referendum, plebisit,

recall.

Frekuensi/Tanggal/Hari PemiluOleh: Andrew Reynolds

Masa jabatan legislatif harus cukup panjang sehingga

memungkinkan kontinuitas dan konsistensi dalam

pemerintahan dan kebijakan, cukup lama sehingga

memungkinkan anggota perwakilan yang baru

mempelajari seluk-beluk perundangan, dan cukup

lama untuk menghindari �kelelahan pemilih�

dimana para warganegara tidak mau lagi datang ke

tempat pemungutan suara karena mereka merasa

baru saja melakukan pemilihan politisnya. Meskipun

demikian, masa jabatan legislatif harus cukup

pendek sehingga memungkinkan adanya hubungan

pertanggungjawaban antar pemilih, para wakil dan

pemerintah. Dalam negara demokrasi, rata-rata

panjang masa jabatan di majelis rendah dalam

parlemen bikameral adalah dua sampai lima tahun,

Page 75: Sistem Pemilu

66

KOMPONEN PERANCANGAN

sementara untuk majelis tinggi adalah empat sampai

sembilan tahun.

Pemilu dapat diadakan antara pemilihan presiden

dan pemilu parlemen dan bahkan dalam bagian

dewan perwakilan. Misalnya, sepertiga dari Dewan

Perwakilan Amerika Serikat dipilih dalam setiap dua

tahun. Yang terakhir, parlemen dapat mempunyai

masa jabatan tetap (Amerika) atau maksimum masa

jabatan (Inggris), yang memperbolehkan

pemerintahan saat itu memilih dengan tepat kapan

pemilu-pemilu tersebut akan diadakan. Salah satu

keuntungan dari sistem masa jabatan tetap adalah

bahwa pemerintah saat itu akan lebih sulit untuk

memanipulasi tahap-tahap politis menjelang hari

pemilu yang mereka tetapkan sendiri, akan tetapi

masa jabatan tetap dapat juga berarti bahwa masa

kampanye menjadi begitu panjang membosankan

dan membuat kebanyakan pemilih enggan

berpartisipasi.

Partisipasi pemilih dalam pemilu dapat secara

dramatis dipengaruhi oleh hari (atau hari-hari)

dimana pemilu akan diadakan. Jika partisipasi yang

tinggi dianggap sebagai pertanda baik, maka

mengadakan pemilu pada hari yang membuat

�pemilu terasa nyaman� merupakan pilihan yang

baik. Jadi pemilu dapat diadakan pada akhir minggu

atau hari libur nasional (mungkin khusus diliburkan

untuk pemilu). Jika pemilu diadakan pada hari libur

nasional, ada pembenaran (justification) yang lebih

baik untuk membuat kedatangan pemilih menjadi

wajib, lihat Pemungutan Suara Wajib. Pemilih akan

berjumlah lebih banyak jika pemilu diadakan pada

musim dimana cuaca sangat bagus. Ini terbukti di

negara-negara berkembang dimana masalah

transportasi menjadi masalah tersendiri. Maka dari

itu, pemilu kemungkinan akan lebih berhasil apabila

diadakan bukan pada musim hujan di negara tropis,

atau pada puncak musim dingin di negara yang

beriklim dingin.

Besarnya ParlemenOleh: Matthew Shugart

Berapa besar seharusnya dewan perwakilan di

sebuah negara? Ini bukan pertanyaan yang sepele.

Besarnya dewan perwakilan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap representasi partai-partai politik.

Terutama, dalam sistem besaran distrik yang lebih

kecil (seperti misalnya distrik wakil tunggal, dan juga

distrik-distrik wakil majemuk yang kecil),

mempunyai kursi yang lebih banyak berarti lebih

banyak distrik, dimana partai-partai kecil dengan

dukungan terpusat pada sebuah wilayah tertentu

mempunyai kesempatan yang lebih besar di

perwakilan. Sebuah dewan yang terlalu kecil untuk

sebuah negara tidak akan menampung kepentingan-

kepentingan tertentu. Tanpa memperdulikan ukuran

distrik, sebuah dewan yang kecil akan menciptakan

kesan �jauh� antara para wakil rakyat dengan para

pemilihnya, bahkan bagi para pemilih yang

mendukung partai-partai besar sekalipun. Di pihak

lain, sebuah dewan yang terlalu besar akan

menciptakan proses legislatif yang agak lambat, dan

membutuhkan struktur-struktur dalam komisi di

majelis yang lebih kompleks, atau mendorong

Page 76: Sistem Pemilu

67

KOMPONEN PERANCANGAN

pemberian wewenang legislatif yang lebih banyak

ke bidang eksekutif. Pertanyaannya sekarang adalah

berapa ukuran dewan yang �optimal� untuk sebuah

negara tertentu dengan populasi penduduk tertentu.

Salah satu kegiatan yang paling penting dari seorang

anggota dewan adalah komunikasi. Seorang anggota

dewan terlibat dalam komunikasi baik dengan

konstituennya maupun dengan anggota dewan yang

lain. Tentu saja ada orang-orang lain yang juga

berkomunikasi dengan anggota dewan dan ada

kegiatan lain yang juga dilakukan anggota dewan

selain berkomunikasi. Meskipun demikian, hal yang

paling penting dalam kehidupan seorang anggota

dewan adalah fungsi perwakilannya � berkomuni-

kasi dengan para konstituennya � dan menjalankan

fungsi pembuatan UU dimana seorang anggota

dewan harus berkomunikasi dengan para anggota

dewan yang lain. Dewan yang kecil dalam sebuah

negara akan meminimalkan jalur komunikasi

diantara para anggotanya, dan dengan sendirinya

menyerdehanakan fungsi pembuatan UU, tetapi

sebagai gantinya anggota dewan justru dapat

melipatgandakan komunikasi dengan para

konstituennya. Sebaliknya, ukuran dewan yang besar

untuk sebuah negara akan mengurangi jalur

komunikasi dengan para konstituen � jika, faktor-

faktor lainnya seimbang �meningkatkan derajat

perwakilannya� � tetapi akan membuat proses

pembuatan UU kurang efektif karena penggandaan

jalur komunikasi melibatkan anggota dewan yang

lain. Diantara keduanya, dewan perwakilan yang

�terlalu kecil� atau dewan perwakilan yang �terlalu

besar� untuk sebuah negara, ada sebuah ukuran

optimal yang meminimalisir total jalur komunikasi.

Ukuran Dewan Saat Ini dan Jumlah

Penduduk Negara

Alasan yang dikemukakan diatas menyiratkan bahwa

ada hubungan sistematis antara besarnya dewan

perwakilan dan jumlah penduduk. Sebuah riset

mengenai besarnya dewan untuk negara-negara

demokrasi yang sudah mapan di negara-negara

industri maju mengungkapkan hubungan akar

pangkat tiga antara penduduk dan besarnya dewan:

� S = P1/3

dimana S adalah jumlah kursi di dewan rendah atau

dewan satu-satunya di majelis perwakilan, dan P

adalah jumlah total penduduk di negara tersebut.

Meskipun demikian, juga diketemukan bahwa untuk

negara-negara di dunia yang sedang berkembang,

hubungan yang nampaknya sedemikian sederhana

ini akan meramalkan jumlah anggota dewan

perwakilan yang berlebihan. Alasannya adalah

bahwa yang nampaknya relevan bukan total jumlah

penduduk, tetapi penduduk yang �aktif,� disingkat

Pa. Penduduk aktif � bagian yang dapat diasumsikan

sungguh-sungguh terlibat dalam pertukaran pasar

dan dengan demikian dalam mencari perwakilan

politis � dapat diperkirakan sebagai:

� Pa = PLW

dimana L adalah tingkat kemampuan baca-tulis dan

Page 77: Sistem Pemilu

68

W adalah bagian dari usia kerja dari jumlah pendu-

duk secara keseluruhan. Dengan demikian, jika

sebuah negara mempunyai penduduk sepuluh juta,

dengan 90% kemampuan baca-tulis dan 55%

pendu-duknya sedang dalam usia kerja, maka Pa,

penduduk aktifnya menjadi = 10.000.000 x 0,90 x

0,55 = 4.950.000. Apabila sebuah negara

mempunyai penduduk sepuluh juta, 55%-nya

adalah penduduk usia kerja, tetapi tingkat

pengetahuan baca-tulis hanya 75%, maka

penduduk aktif, atau Pa = 10.000.000 x 0,75 x 0,55

= 4.125.000. Di negara-negara yang sudah maju,

hampir tidak ada perbedaan antara jumlah

penduduk aktif dan jumlah penduduk total. Ini

berbeda dengan di negara-negara yang sedang

berkembang. Pada saat semua negara yang

mempunyai perwakilan dipelajari, hubungan

antara jumlah penduduk aktif dan jumlah kursi di

dewan perwakilan dinyatakan sebagai berikut:

� S = (2Pa)1/3

Jadi dengan mengambil dua contoh di atas, negara

yang mempunyai penduduk aktif 4.950.000

diramalkan akan mempunyai dewan perwakilan

dengan anggota 215 orang, sedangkan negara yang

mempunyai penduduk aktif sebesar 4.125.000

diprediksikan akan mempunyai anggota dewan

perwakilan sebanyak 202 orang.

Hampir tidak ada negara yang mempunyai dewan

perwakilan dua kali lebih besar daripada ukuran

yang diprediksikan dalam persamaan ini dan hanya

beberapa negara mempunyai dewan perwakilan

yang lebih kecil dari setengah nilai yang diprediksi-

kan. Jadi, persamaan dapat dianggap merupakan

prediktor (peramal) ukuran pas dewan perwakilan

sebuah negara, begitu jumlah penduduk aktif sudah

dapat ditentukan.

Sebuah Model Teoritis

Sekarang pertanyaan yang tersisa adalah apakah

hubungan tersebut empiris murni, atau apakah

hubungan tersebut dapat diberi dasar-dasar teoritis.

Tentu saja ada dasar teoritis dari persamaan tadi:

Model �jalur komunikasi,� yang mengacu kepada

rumusan di atas, membuat kita dapat menarik

kesimpulan terhadap hubungan tersebut.

Jika S adalah jumlah kursi di dewan perwakilan

dan Pa adalah jumlah penduduk aktif total,

konstituensi rata-rata dari seorang anggota dewan

adalah Pa/S penduduk aktif. Karena anggota dewan

perwakilan merupakan baik pengirim dan penerima

informasi, jumlah total jalur komunikasi konstituen,

cc, adalah 2Pa/s.

Dalam dewan perwakilan, setiap anggota

berkomunikasi dengan anggota lain S-1, sekali lagi

dalam kapasitas rangkap sebagai pengirim dan

penerima informasi. Dia juga memonitor jalur yang

menghubungkan anggota S-1 lain dengan yang

lainnya. Jumlah total jalur dalam dewan perwakilan,

cs, adalah:

� cs = 2 (s-1) + (S-1)(S-2)/2 = S2/2 + S/2-1

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 78: Sistem Pemilu

69

KOMPONEN PERANCANGAN

Yang dapat disederhanakan menjadi S2/2 untuk

setiap nilai S yang cukup besar yang secara nyata

dapat membentuk sebuah ukuran dewan perwakilan

nasional yang realistis (karena istilah, S/2-1 akan

mempunyai pengaruh yang dapat dihiraukan). Jadi

jumlah total jalur yang menimbulkan permintaan

pada anggota dewan adalah :

� c = cs + cc = S2/2 + 2Pa/S

Jumlah anggota dewan yang optimal adalah jumlah

yang meminimalisir jumlah jalur komunikasi total

untuk penduduk aktif tertentu. Jumlahnya dapat

ditentukan dengan menghitung derivasi dc/dS dan

membuatnya menjadi nol:

� dc/dS = S � 2Pa/S2 = 0

Hasilnya adalah 2Pa = S3, yang kemudian akan

melahirkan model:

� S = (2Pa) 1/3

Tentu saja, dengan model teori manapun, banyak

hal-hal kecil yang tertinggal. Namun demikian,

kecocokan empirisnya cukup bagus, dan model

tersebut memberi tahu kepada kita bahwa mungkin

ada tekanan yang akan memaksa kita untuk

mengubah besarnya dewan perwakilan apabila

dewan perwakilan sebuah negara tertentu menjadi

terlalu besar diatas atau dibawah ramalan model

tersebut. Jika sebuah negara harus menetapkan

besarnya dewan perwakilan sesuai dengan model

ini, dan menyesuaikannya secara berkala sesuai

dengan model pertumbuhan penduduk aktif,

tekanan-tekanan untuk mengubah besarnya dewan

perwakilan nampaknya akan sedikit sekali

kemungkinannya terjadi, dibandingkan jika dipakai

cara-cara lain, atau jika penyesuaian secara berkala

tidak diperbolehkan.

Pembagian Daerah PemilihanOleh: Andrew Reynolds

Cara bagaimana menarik sebuah batas distrik atau

konstituensi dapat sama pentingnya bagi hasil akhir

pemilu dengan jenis pemilu yang dipilih. Itulah

sebabnya mengapa seluruh bagian dari situs ini

sudah dipakai untuk menganalisa ilmu tentang

pembagian wilayah, lihat Sistem Pemilu yang

Membatasi Distrik Pemilihan.

Dari sisi yang ekstrim, batas distrik wakil tunggal dapat

�direkayasa� sehingga menguntungkan sebuah partai

atau kelompok tertentu. Ini sangat jelas terlihat dalam

pemilu di Kenya pada tahun 1993 ketika perbedaan

yang sangat mencolok antara ukuran wilayah

pemilihan � yang paling besar jumlah pemilihnya 23

kali dari yang terkecil � memberikan kemenangan

kepada partai yang memerintah, Persatuan Nasional

Afrika, yang memenangkan mayoritas parlemen

dengan hanya 30% suara rakyat. Meskipun demikian,

perekayasaan juga umum terjadi dalam pemerintahan

lokal di AS dimana partai politik yang mengontrol

dewan legislatif negara kadang-kadang juga

mengontrol pembagian wilayah.

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 79: Sistem Pemilu

70

KOMPONEN PERANCANGAN

Para perancang juga seringkali bekerja dengan tiga

prinsip besar pada saat mereka menarik garis yang

membagi-bagi penduduk dalam peta:

� Integralitas wilayah � wilayah harus cukup

solid sebagai sebuah wilayah pada saat kita

membicarakan wilayah atau penyebaran

pemilih.

� Kohesif � perhatian ditujukan kepada

kelompok masyarakat dan ciri-ciri geografis.

� Berkesinambungan � wilayah tersebut harus

dalam suatu kesatuan yang saling

berhubungan dan tidak terpisah.

Benar jika dikatakan bahwa semakin sedikit jumlah

anggota parlemen yang dipilih, batas-batas wilayah

menjadi masalah yang begitu besar dan penting.

Batas wilayah untuk distrik wakil tunggal merupakan

salah satu yang paling banyak dipolitisir.

Cara Pemungutan SuaraOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Di luar proporsionalitas, ada cara-cara pemikiran

lain mengenai bagaimana tingkah laku dari sistem

pemilu. Salah satu cara ialah dengan menilai

tingkatan pilihan pada surat suara yang diberikan

kepada seorang pemilih dalam masing-masing

sistem tersebut. Hal tersebut memberi kita cara

penguraian yang sangat berbeda dalam

menggambarkan perbedaan-perbedaan di antara

jenis-jenis sistem pemilu.

Surat suara mungkin berstruktur kategorial atau

ordinal, dan dapat dipusatkan pada caleg, partai, atau

memperbolehkan pemilih mengekspresikan pilihan

antara caleg dan partai. Surat suara kategorial

memaksa pemilih untuk memilih satu caleg atau

partai, sementara surat suara ordinal memperboleh-

kan pemilih mengekspresikan jangkauan pilihan

yang lebih rumit.

Seperti ditunjukkan pada Bagan Tiga, beberapa

sistem pemilu memberi pilihan ordinal dalam surat

suara yang berfokus pada caleg. Misalnya, sistem

pemilihan preferensial, seperti Alternative Vote (AV)

dan Single Transferable Vote (STV), lihat Alternative

Vote dan Single Transferable Vote, melakukannya

dengan memperbolehkan pemilih untuk menyusun

semua caleg berdasarkan urutan nomor. Demikian

juga, Block Vote, lihat Block Vote, Two-Round System

(TRS), lihat Two-Round System, dan beberapa format

RP Daftar, lihat Open, Closed and Free Lists

memperbolehkan pemilih untuk memisahkan

pilihannya antar caleg dari partai yang berbeda, baik

melalui pemungutan suara putaran kedua (TRS),

memiliki banyak suara untuk dibagikan (Block Vote)

atau melalui pilihan caleg diluar daftar partai RP

khusus (dalam sistem RP �daftar bebas�).

Akhirnya, beberapa sistem pemilu dapat

menawarkan pilihan baik surat suara kategorial

maupun ordinal. Sejak 1984 surat suara STV untuk

pemilihan Senat Australia telah mencakup kotak

�tiket partai� yang berarti, pada saat dipilih, surat

suara tersebut dianggap seakan-akan pemilih telah

mendaftar semua caleg menurut angka dengan

Page 80: Sistem Pemilu

71

KOMPONEN PERANCANGAN

urutan yang dipilih oleh partai kesayangan mereka.

Surat suara ordinal jelas-jelas menawarkan kepada

para pemilih tingkat pilihan yang lebih besar,

sedangkan surat suara kategorial sifatnya lebih umum;

tentu saja, lebih dari tiga perempat dari seluruh sistem

pemilu yang dianalisa dalam buku ini menggunakan

kedua jenis surat suara tersebut. Pilihan langsung

diantara caleg ditemukan dalam sistem-sistem FPTP,

SNTV, dan RP Daftar terbuka, sementara pilihan

kategorial diantara partai melekat dalam sistem RP

Daftar tertutup dan adaptasi Party Block dari sistem

Block Vote, lihat Block Vote. Sistem pemilu dimana

pemilih memiliki lebih dari satu suara, seperti MMP,

lihat Mixed Member Proportional atau sistem Paralel,

lihat Paralel, secara logis juga meminta kemampuan

untuk memisahkan suara diantara dua partai.

Bagaimanapun juga, dalam kasus-kasus ini, pilihan

atas tiap surat suara terpisah jelas-jelas merupakan

jenis kategorial, meskipun efek keseluruhan dari

kedua surat suara tersebut adalah untuk menciptakan

pilihan ordinal. Lihat Desain Surat Suara

Bagan Tiga : Pilihan Surat Suara Sistem Pemilu

Kandidat (Caleg) Partai Keduanya

Kategorial FPTP (Kanada) Party Block (Singapura) Parallel (Jepang)

SNTV (Yordania) RP Daftar � Tertutup RP Daftar � Terbuka

RP Daftar-Terbuka (Namibia) (Denmark)

(Finlandia) MMP (Jerman)

Ordinal AV (Australia) TRS (Mali) TRS (Ukraina)

TRS (Perancis) RP Daftar � Panachage

Block Vote (Maldives) (Swiss)

STV (Irlandia)

Salah satu STV (Senat Australia)

NB: contoh-contoh di dalam kurung merupakan representasi studi kasus yang menggambarkan bagaimana

sistem yang berbeda bisa dikategorikan bersama dalam logika ini.

© International IDEA

Page 81: Sistem Pemilu

72

Bagaimana MengkonversiSuara Menjadi KursiOleh: Andrew Reynolds dan Arend Lijphart

Dalam sistem Representasi Proporsional (RP) ada

lima kunci formula matematika yang digunakan

untuk mengubah suara menjadi kursi. Dalam sistem

RP Daftar, lihat RP Daftar, terdapat metode �rata-rata

tertinggi� (D�Hondt dan Sainte-Lague) dan metode

�sisa suara terbanyak� (Hare and Droop). Format

suara RP tunggal yang dapat ditransfer, lihat Single

Transferable Vote, hampir selalu menggunakan kuota

Droop.

Contoh setiap metode disajikan di bawah ini:

Tabel 1 Alokasi Kursi dengan Dua Formula Rata-rata Tertinggi pada Distrik denganEnam-Anggota dan Empat Partai

Partai Suara Alokasi D�Hondt Total

(v) v/1 v/2 v/3 Kursi

A 42 000 42 000 (1) 21 000 (3) 14 000 (6) 3

B 31 000 31 000 (2) 15 500 (5) 10 333 2

C 15 000 15 000 (4) 7 500 1

D 12 000 12 000 0

TOTAL 100 000

Partai Suara Modifikasi Alokasi Sainte-Lague Total

(v) v/1.4 v/3 v/5 Kursi

A 42 000 30 000 (1) 14 000 (3) 8 400 2

B 31 000 22 143 (2) 10 333 (5) 6 200 2

C 15 000 10 714 (4) 5 000 1

D 12 000 8 571 (6) 1

TOTAL 100 000

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 82: Sistem Pemilu

73

Tabel 2 Alokasi Kursi dengan Dua Formula Sisa Suara Terbanyak pada Distrik denganEnam-Anggota dan Empat Partai

Partai Suara Kuota Hare Kursi Kuota Sisa Kursi Total Kursi

(a) Penuh

A 42 000 2.52 2 0 2

B 31 000 1.86 1 1 2

C 15 000 0.90 0 1 1

D 12 000 0.72 0 1 1

TOTAL 100 000 6.00 3 3 6

Partai Suara Kuota Droop Kursi Kuota Sisa Kursi Total Kursi

(b) Penuh

A 42 000 2.94 2 1 3

B 31 000 12.17 2 0 2

C 15 000 1.05 1 0 1

D 12 000 0.84 0 0 0

TOTAL 100 000 7.00 5 1 6

Mekanisme KhususOleh: Andrew Reynolds

Ada banyak cara untuk mempertinggi jumlah

perwakilan perempuan, kelompok minoritas, dan

kelompok komunal. Termasuk didalamnya adalah

sistem pemilu Representasi Proporsional (RP) multi-

anggota atau semi-RP, yang menggunakan besarnya

distrik yang layak untuk tujuh anggota atau lebih,

sehingga mendorong partai-partai untuk mengajukan

perempuan dan kaum minoritas untuk memperbesar

kesempatan dalam pemilu. Batas representasi yang

sangat rendah, atau penghapusan batas representasi

secara keseluruhan, dalam sistem RP juga dapat

memfasilitasi perwakilan kelompok yang tidak

terwakili, atau yang dibawah perwakilan sampai

sekarang ini. Beberapa negara RP Daftar mewajibkan

keberadaan sejumlah perempuan dalam nominasi

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 83: Sistem Pemilu

74

Tabel 3 Alokasi Kursi dengan �Single Transferable Vote� pada Distrik dengan Tiga-Anggotadan Lima Kandidat

Kuota Droop = [ 100 / ( 3 + 1 ) ] + 1 = 26

Preferensi

23 surat suara P, Q, T

23 surat suara P, R, S

16 surat suara Q, R

5 surat suara R, S

20 surat suara S, T

8 surat suara T, Q, R

5 surat suara T

Kandidat Penghitungan Pertama Penghitungan Kedua Penghitungan Ketiga

P 46 - 20 = 26 26

Q 16 + 10 = 26 26

R 5 + 10 = 15 + 8 = 23

S 20 20 20

T 13 13 - 13 = 0

Tidak dapat dipindahkan - 0 + 5 = 5

Kandidat yang terpilih: P, Q, and R

caleg. Seperti digambarkan dalam Ketentuan-

ketentuan tentang Kaum Minoritas dan Mekanisme

Khusus untuk Kaum Wanita, dalam sistem mayoritas

atau pluralitas, kursi di parlemen dapat dialokasikan

untuk kelompok minoritas dan komunal.

u Pemungutan Suara WajibOleh: Wolfgang Hirczy de Mino

Pada masa ini, hak pilih universal dianggap sebagai

sebuah kondisi yang sangat diperlukan (sine qua non)

dari tatacara demokratis. Tetapi, bagaimana halnya

dengan partisipasi universal? Haruskah hak untuk

memilih dilengkapi dengan kewajiban hukum untuk

melaksanakannya sehingga tujuan akhirnya dapat

tercapai? Sementara norma sosial pemungutan suara

bisa dikatakan ada di banyak negara demokrasi,

hampir tidak ada negara demokrasi yang

mengangkatnya menjadi kewajiban hukum warga

negara. Bagaimanapun, hal itu merupakan pilihan

yang tersedia bagi negara-negara demokrasi yang

baru, dan layak direnungkan sebagai sarana untuk

menjamin agar sebanyak mungkin warganegara ikut

serta dalam pemilu, yang kemungkinan akan

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 84: Sistem Pemilu

75

meningkatkan legitimasi lembaga perwakilan dan

sistem politik.

Di antara negara-negara demokrasi yang telah berdiri

lama, yang mewajibkan warganegaranya ikut dalam

pemilu adalah Australia, Belgia, dan Luxemburg.

Negara lain yang sudah sangat mapan demokrasinya

� Belanda pada tahun 1970 dan Austria baru-baru

ini � mencabut persyaratan hukum tersebut setelah

memberlakukannya selama beberapa dasawarsa.

Pemungutan suara wajib juga dilakukan di Amerika

Latin. Contohnya meliputi Argentina, Brazil, Costa

Rica, dan Ekuador. Di beberapa negara, pemungutan

suara sudah diwajibkan atas kehendak pemerintah-

pemerintah sub-nasional, atau hanya diterapkan

pada jenis pemilu tertentu.

Meskipun tingkat kehadiran pemilih yang tinggi juga

dapat ditemukan dalam pemungutan suara sukarela,

hampir tidak ada keraguan bahwa undang-undang

pemungutan suara wajib sangat efektif untuk

meningkatkan partisipasi di negara-negara yang

memiliki undang-undang tersebut. Hal itu dapat

disimpulkan dari perbedaan kehadiran pemilih

dalam sebuah perbandingan antar-negara; lebih jelas

lagi, terdapat bukti naik-turunnya kehadiran pemilih,

tergantung apakah undang-undang pemungutan

suara wajib diterapkan atau tidak dalam sistem

negara yang menggunakan opsi tersebut.

Hampir tidak mungkin membuat generalisasi

mengenai persentase berapa orang yang akan

mengikuti pemilu dengan mewajibkan warganegara

ikut dalam pemilu. Kenaikan kehadiran tergantung

pada dua faktor: berapa banyak non-pemilih yang

dapat dimobilisir � bagaimana kehadiran terlihat

dalam kondisi status-quo � dan efektifitas undang-

undang, yang akan dipengaruhi seberapa jauh

undang-undang tersebut ditaati dan/atau seberapa

kuat undang-undang tersebut dipaksakan.

Tentu saja perolehan tertinggi dapat direalisasikan

sedangkan partisipasi pemilih sangatlah rendah.

Dalam situasi dimana tingkat kehadiran pemilih

sudah tinggi karena alasan-alasan lain (misalnya,

karena kondisi partisan yang kuat dan perebutan

yang sangat kompetitif, atau karena norma sosial

yang telah mengakar), setiap perolehan suara karena

paksaan tersebut, dilain pihak, hanya akan

berpengaruh sedikit saja.

Mengenai tingkat kerelaan diantara para pemilih

yang keras kepala dan alasan-alasannya, buktinya

masih kurang tegas. Di sejumlah negara, efektivitas

undang-undang pemungutan suara wajib jelas tidak

bergantung pada undang-undang tersebut yang

secara aktif dipaksakan dan tidak bergantung juga

pada hukuman yang dijatuhkan. Hal tersebut akan

menunjukkan bahwa undang-undang pada

hakekatnya melahirkan kerelaan; mungkin karena

undang-undang tersebut membantu menguatkan

sebuah norma sosial pemungutan suara yang

dijalankan oleh masyarakat secara informal tanpa

memerlukan tindakan pemerintah. Meskipun

demikian, hal tersebut tidak bisa diterima begitu

saja sebagai kepatuhan terhadap undang-undang �

dan demikian juga terhadap kerelaan � mungkin

berbeda-beda antar negara yang satu dengan yang

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 85: Sistem Pemilu

76

lain. Penetapan undang-undang pemungutan suara

wajib tidak akan begitu saja menjamin tingginya

tingkat kehadiran pemilih. Undang-undang

semacam itu mungkin juga harus diberi kemampuan

memaksa.

Jika tidak ada kondisi yang memungkinkan undang-

undang untuk membentuk sikap berdasarkan

wewenang normatifnya, keberhasilan pemungutan

suara wajib mungkin bergantung pada cara

penerapan undang-undang tersebut. Secara alami,

hal tersebut memerlukan tingkat kapasitas

administratif minimum tertentu di pihak negara, dan

juga akan memerlukan biaya, meskipun seluruh atau

sebagian biaya mungkin ditutup lewat denda-denda.

Negara-negara yang menjalankan undang-undang

pemungutan suara wajib biasanya secara khusus

akan menarik denda. Beberapa akan menerapkan

tindakan yang akan membuat mereka yang tidak

memilih merasa malu, atau bahkan diberi hukuman

untuk tidak mendapatkan pelayanan pemerintah

atau keuntungan yang lain.

Meskipun nampaknya ada dukungan filosofis dan

praktis yang kuat, yang muncul dalam keinginan

untuk menerapkan pemungutan suara wajib,

terdapat penolakan yang berarti terhadap

pemungutan suara wajib tersebut secara prinsipiil

dan dalam pelaksanaannya. Penolakan terhadap

dasar normatif yang paling umum ialah bahwa warga

negara seharusnya mempunyai hak untuk TIDAK

menggunakan hak pilih sebagaimana pula hak untuk

memilih. Beberapa warga negara memboikot pemilu

dengan dasar bahwa pemungutan suara wajib telah

melanggar kebebasan dasar, sedangkan rasa apatis

membuat mereka tidak mau memilih. Yang kedua,

argumen dari Australia menyatakan bahwa

pemungutan suara wajib akan membuat partai-partai

politik bebas dari tanggungjawab mereka untuk

berkampanye, memberi semangat, dan memotivasi

para pemilih. Keadaan semacam ini akan lebih

menguntungkan partai-partai besar dibandingkan

dengan partai-partai kecil dan caleg independen

karena partai-partai tersebut mempunyai pendukung

yang nampaknya lebih termotivasi. Pemilihan wajib

juga berpengaruh pada biaya yang besar dan

implikasi administrasi bagi negara. Ada masalah

mengenai ketepatan daftar pemilih, informasi

pemilih, dan mekanisme untuk menindaklanjuti

sistem denda atau hukuman bagi yang tidak memilih.

Hal-hal yang Harus Dipertimbangkan oleh

Perancang Sistem Pemilu

Pertanyaan pertama dan yang paling nyata adalah

apakah rendahnya kehadiran pemilih menjadi

masalah, atau mungkin akan menjadi masalah. Jika

tidak, kasus pemungutan suara wajib akan menjadi

lemah, meskipun kadang-kadang diperdebatkan

bahwa suatu kewajiban memilih yang secara hukum

telah berurat-akar merupakan bagian dari nilai

simbolis dan mungkin bisa memperkuat norma

sosial pemungutan suara. Jadi, menjaga tingginya

kehadiran pemilih, bahkan ketika kondisi yang

mendorong tingginya kehadiran tersebut � sebelum

diberlakukannya pemungutan suara wajib �

melemah atau sama sekali menghilang.

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 86: Sistem Pemilu

77

Kedua, jika pemungutan suara wajib telah disetujui,

ada persoalan perancangan yang lebih spesifik:

haruskah ketentuan mengenai pemberian suara

diwujudkan dalam konstitusi atau undang-undang?

Haruskah pemungutan suara hanya dinyatakan

sebagai suatu �tugas warga negara� (seperti dalam

konstitusi Italia), atau diberlakukan sebagai suatu

kewajiban warga negara yang telah disetujui, seperti

di Australia? Seandainya ada, sanksi apa yang harus

diberikan, dan harus diterapkan dalam kondisi yang

bagaimana? Dalam banyak yurisdiksi, sanksi yang

terdapat dalam undang-undang sebenarnya tidak, atau

hanya jarang-jarang, diterapkan. Alasan-alasan legal

apakah (misalnya sakit, kendala fisik, ketidakhadiran

karena perjalanan) yang harus dimaafkan? Haruskah

kelompok-kelompok masyarakat tertentu � orang yang

buta huruf, orang lanjut usia � dibebaskan dari

kewajiban tersebut? Demikian juga ada pertimbangan

administratif dan finansial: dapatkah orang yang tidak

memilih diidentifikasi dan dijadikan sasaran

penegakan hukum secara efisien dan efektif? Jika

didenda, apakah kebanyakan pelanggar mampu

membayar? Haruskah sanksi alternatif diberikan

sebagai pengganti denda? Jika ya, format apa yang

harus dipakai? Dapatkah sistem pelaksanaannya

dengan pembiayaan sendiri, dengan mengembalikan

biayanya?

Ketiga, sebelum pemungutan suara wajib mulai

diterapkan, keberatan-keberatan normatif maupun

politik harus dibicarakan secara efektif. �Hak abstain�

sering ditegaskan di Amerika Serikat, dan dapat

diterangkan berkenaan dengan individualistiknya

dan kebudayaan politik yang berfokus pada hak-hak,

tapi yang menentangnya juga tidak sedikit.

Perlawanan ideologi mungkin juga ada di negara

yang tadinya komunis, yang telah mewarisi

pemaksaan partisipasi massa dalam kegiatan-

kegiatan negara.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya semua

pemerintah mengandalkan pemaksaan untuk

mendukung kebijakan-kebijakan yang secara sosial

sangat diperlukan dan untuk menjamin ketaatan

orang pada hukum. Bahkan yang lebih penting lagi,

banyak keberatan-keberatan yang pemerintah

terapkan dan yang diterima masyarakat sebagaimana

adanya, seperti pajak, wajib militer, dan bahkan wajib

belajar, yang ternyata lebih berat, lebih banyak

menyita waktu, dan lebih mengganggu, daripada

kedatangan warga negara secara berkala ke TPS.

Karena pemilu dianggap penting, rasa tidak nyaman

yang sepenuhnya bersifat pribadi nampaknya harus

dikalahkan demi kepentingan sosial yang harus

ditegakkan. Juga perlu dicatat bahwa dengan

administrasi pemilu dan metode pemungutan suara

yang konvensional, bagaimanapun juga warga negara

sesungguhnya tidak dapat dipaksa untuk memilih,

karena ditakutkan pilihan mereka bisa

disalahgunakan. Satu-satunya yang bisa dipaksakan

oleh negara terhadap warga-negaranya adalah

kehadiran, yang mengarah ke pendapat beberapa

akademisi bahwa kita berbicara tentang �kehadiran

wajib� daripada �pemungutan suara wajib.� Undang-

undang Belanda berlaku secara tertulis sedemikian

rupa hanya untuk mewajibkan kehadiran.

Keberatan-keberatan mungkin juga digerakkan oleh

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 87: Sistem Pemilu

78

pertimbangan-pertimbangan untung rugi partisan.

Studi perbandingan di sejumlah negara telah

menunjukkan kecondongan kelas-kelas dalam hal

partisipasi pemilu. Jika undang-undang pemungutan

suara wajib berhasil menaikkan kehadiran pemilih,

partai-partai kiri/oposisi mungkin secara tidak

proporsional tetap akan beruntung. Partai-partai yang

mendapatkan dukungan dari segmen-segmen pemilu

yang secara sosial dan ekonomi menguntungkan,

sebaliknya, mungkin menderita kekalahan dalam

pembagian suara. Tidak mengejutkan bahwa soal

semacam itu juga secara jelas muncul dalam

perdebatan akhir-akhir ini tentang apakah akan

melanjutkan pemungutan suara wajib di negara-

negara yang memberlakukannya, terutama di Belgia

dan Australia.

Ada argumen pragmatis untuk pemungutan suara

wajib yang mungkin menarik partai-partai politik,

khususnya dalam situasi dimana sistem partai belum

dikonsolidasi. Ketika negara merasa bertanggung-

jawab untuk menghadirkan pemilih di tempat

pemungutan suara (TPS), partai-partai dan para

kandidat dapat memfokuskan diri untuk

mempromosikan program-program mereka dan

dalam mempengaruhi para pemilih yang pilihannya

belum mantap, daripada menghamburkan energi

mereka dalam menarik pemilih untuk datang. Hal

tersebut merupakan alasan mengapa pengenalan

pemungutan suara wajib di Australia pada awal abad

ini agak tidak kontroversial. Sosialisasi biaya, dan

keuntungan yang diberikan untuk partai-partai

politik membuat proposalnya secara politik menjadi

lebih cocok, yakni mempermudah diterimanya

sistem tersebut, bahkan mungkin dengan konsensus.

Paling tidak, selama salah satu partai tidak

mempunyai keuntungan mobilisasional yang jelas

di bawah rezim pemungutan suara sukarela, yang

akan dinetralisir oleh pemungutan suara wajib.

Akhirnya, ada catatan mengenai efek-efek

sampingnya. Harus dicatat bahwa pemungutan suara

wajib mungkin sekali akan meningkatkan persentase

surat suara yang tidak sah dikarenakan kerusakan yang

disengaja dan surat suara yang dibiarkan kosong,

sebagai bentuk protes. Akan tetapi, hal tersebut bukan

merupakan argumen yang persuasif untuk menolak

pemungutan suara wajib, dikarenakan dua alasan.

Pertama, bukti-bukti menunjukkan bahwa naiknya

kehadiran pemilih melampaui naiknya jumlah surat

suara yang tidak sah, jadi ada keuntungan yang

diperoleh dalam hal partisipasi. Kedua, bahkan surat

suara yang tidak sah pun dapat memiliki fungsi yang

berguna. Tentu saja, di bawah rezim yang menganut

pemungutan suara wajib, pencoblosan surat suara

yang tidak sah mungkin menjadi suatu alternatif yang

membawa pesan politik (tidak-satupun-dari-pilihan-

diatas, seperti yang terjadi sebelumnya). Jelas-jelas

lebih mudah untuk menginterpretasikan, yang

membutuhkan tindakan positif, dibandingkan dengan

ketidakhadiran yang merupakan suatu kegagalan

dalam berpartisipasi. Lebih lanjut lagi, mereka yang

tidak menggunakan surat suara dengan baik akan tetap

menjadi peserta yang berada dalam sistem tersebut,

yang menggunakan surat suara sebagai sarana untuk

mengkomunikasikan ketidak-senangan. Meskipun

tidak memilih bisa dengan mudah dikategorikan

sebagai tanda kepuasan diri atau sikap yang apatis,

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 88: Sistem Pemilu

79

peningkatan persentase surat suara yang tidak sah di

bawah rezim pemungutan suara wajib dapat berfungsi

sebagai indikator bahwa kekhawatiran dari segmen

publik yang sedang tumbuh tidak diperhatikan oleh

para politisi.

u Ketentuan-Ketentuan tentangKaum MinoritasOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Kursi-kursi Khusus

Kursi-kursi khusus merupakan satu cara untuk

meyakinkan keterwakilan kelompok minoritas

tertentu dalam parlemen. Kursi parlemen dikhusus-

kan untuk minoritas agama atau etnis yang dapat

diidentifikasi di negara-negara dengan berbagai

keanekaragaman seperti di:

� Yordania (Kristen dan Circassian),

� India (suku-suku dan kasta-kasta asli),

� Pakistan (minoritas non-Islam),

� Selandia Baru (Maori),

� Kolombia (�komunitas kulit hitam� dan

penduduk asli),

� Kroasia (minoritas Hungaria, Italia, Ceko,

Slovakia, Ruthenia, Ukraina, Jerman, dan

Austria),

� Slovenia (minoritas Hungaria dan Italia),

� Taiwan (komunitas penduduk asli),

� Samoa Barat (minoritas non-pribumi),

� Nigeria (Taurag), dan Otoritas Palestina

(Kristen dan Samaria).

Perwakilan-perwakilan dari kursi-kursi khusus

tersebut biasanya dipilih dengan cara yang kurang

lebih sama dengan pemilihan anggota parlemen yang

lain, tapi kadang-kadang dipilih hanya oleh anggota

komunitas minoritas khusus seperti yang telah diatur

dalam undang-undang pemilu. Meskipun seringkali

dianggap sebagai kebaikan normatif untuk mewakili

kepentingan komunitas kecil, ada yang berpendapat

bahwa strategi yang lebih baik adalah merancang

struktur, yang secara alami dapat mengembangkan

parlemen representatif, daripada melalui kewajiban

hukum. Kursi-kursi kuota dapat mengembangkan

kebencian populasi mayoritas dan menimbulkan

ketidakpercayaan di antara berbagai macam

kelompok budaya.

Sebagai ganti kursi-kursi khusus formal, daerah-

daerah bisa diberi perwakilan lebih dari yang

seharusnya untuk memberikan kemudahan kepada

perwakilan kelompok minoritas yang telah

berkembang. Contohnya yang terjadi di Inggris,

dimana Skotlandia dan Wales mempunyai kelebihan

anggota legislatif di Majelis Rendah (House of

Commons) Inggris dibandingkan yang seharusnya

menjadi hak mereka jika hanya besarnya populasi

yang dijadikan kriteria. Kasus yang sama terjadi di

daerah pegunungan Nepal. Kemungkinan lain adalah

sistem �best loser� (kalah terbaik) yang dipakai di

Mauritius, lihat Mauritius, dimana beberapa caleg

yang kalah yang mempunyai perolehan suara

tertinggi, yang berasal dari kelompok etnis tertentu

diberi jatah kursi-kursi parlemen untuk me-

nyeimbangkan perwakilan etnis secara keseluruhan.

Batasan-batasan wilayah pemilihan juga dapat

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 89: Sistem Pemilu

80

dimanipulasi untuk tujuan tersebut. Undang-Undang

Hak Memilih di Amerika Serikat pada masa lampau

mengijinkan pemerintah memetakan distrik-distrik

bagus dan aneh dengan satu-satunya tujuan untuk

menciptakan distrik mayoritas Kulit Hitam,

Amerika Latin, atau Asia-Amerika; hal ini dapat

disebut �affirmative gerrymandering� (kesempatan

curang kepada suatu partai politik). Meskipun

demikian, manipulasi sistem pemilu apapun untuk

melindungi perwakilan minoritas jarang bersifat

kontroversial, lihat Amerika Serikat: Minoritas Etnis

dan Distrik Wakil Tunggal.

Perwakilan Komunal

Sejumlah kelompok etnis yang heterogen memilih

konsep kursi khusus untuk pengembangan logisnya.

Kursi tidak hanya dibagi dalam sebuah basis

komunal, tetapi keseluruhan sistem perwakilan

parlemen juga berdasar pada pertimbangan komunal.

Hal tersebut biasanya berarti bahwa setiap komunitas

yang telah ditetapkan memiliki daftar pemilu

mereka sendiri, dan hanya memilih �kelompoknya

sendiri� untuk ditempatkan di Parlemen. Akan

tetapi, dalam beberapa kasus, seperti Fiji tahun

1970-1987, pemilih tidak hanya memilih caleg dari

komunitas mereka saja tapi juga beberapa caleg

�nasional� lainnya.

Hampir semua pengaturan daftar-komunal tidak

dipakai lagi setelah jelas bahwa para pemilih

komunal, meskipun menjamin keterwakilan

kelompok, sering mendapati efek yang bertentangan

yang merusak jalur akomodasi di antara kelompok

yang berbeda-beda, karena tidak adanya insentif

untuk penggabungan politis di antara komunitas-

komunitas. Persoalan mengenai bagaimana

mendefinisikan anggota kelompok tertentu, dan

bagaimana membagi pemilih secara adil, juga penuh

dengan kesulitan. Misalnya, di India, pemilih terpisah,

yang telah ada di bawah peraturan kolonial � untuk

Muslim, Kristen, Sikh dan lainnya � dihapuskan pada

saat kemerdekaan, meskipun beberapa kursi khusus

tetap ada untuk mewakili suku-suku dan kasta-kasta

asli. Sistem daftar-komunal sejenis yang digunakan

dalam waktu yang berbeda-beda di Pakistan, Cyprus,

dan Zimbabwe juga telah dihilangkan. Tanpa

memperhatikan sejarah kontroversialnya, Fiji tetap

memilih parlemennya dari daftar komunal terpisah

untuk suku asli Fiji, Indian, dan pemilih �umum.�

Salah satu contoh utama dari sebuah sistem daftar-

komunal yang tersisa di antara negara-negara

demokrasi jaman sekarang ini adalah daftar terpisah

fakultatif bagi pemilih Maori di Selandia Baru, lihat

Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi

�Westminster� Berpindah ke Sistem RP. Pemilih

Maori dapat memilih berada dalam daftar pemilu

nasional atau daftar Maori khusus, yang memilih

lima anggota legislatif Maori di Parlemen. Akan

tetapi, bisa dikatakan bahwa hasil pemilu RP pertama

di Selandia Baru tahun 1996 telah melemahkan dasar

pemikiran sistem komunal: dua kali lebih banyak

anggota legislatif Maori dipilih dari daftar umum

dibandingkan dari daftar Maori khusus. Fiji juga

beralih dari sistem daftar komunal ke kompetisi

pemilu yang lebih terbuka untuk mendukung

perkembangan sistem politik multi-etnis.

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 90: Sistem Pemilu

81

u Mekanisme Khusus untuk Kaum WanitaOleh: Andrew Reynolds

Ada beberapa cara untuk meyakinkan bahwa

perempuan terwakili dalam parlemen. Pertama, ada

kuota-kuota menurut undang-undang dimana

perempuan harus memperoleh paling sedikit suatu

proporsi minimum dari perwakilan yang dipilih. Hal

ini terjadi pada beberapa kasus, seperti: Italia, dimana

perempuan harus memperoleh 50% dari surat suara

Representasi Proporsional (RP), Argentina (30%), dan

Brazil (20%). Hal tersebut juga telah diusulkan untuk

Majelis Rendah India (Lok Sabha). Kuota-kuota

semacam itu biasanya dirasakan sebagai mekanisme

transisional untuk menempatkan dasar bagi

penerimaan yang lebih luas atas perwakilan

perempuan.

Kedua, undang-undang pemilu dapat mewajibkan

partai-partai untuk mengisi sejumlah caleg

perempuan; ini merupakan kasus dalam sistem RP

di Belgia dan Namibia, sementara di Argentina ada

ketentuan ekstra bahwa perempuan harus

ditempatkan di posisi yang �dapat menang� dan tidak

di urutan terakhir daftar partai. Di Nepal, 5% caleg

distrik wakil tunggal harus perempuan.

Ketiga, partai-partai politik mungkin memakai kuota

informal mereka sendiri untuk perempuan sebagai

caleg parlemen. Ini merupakan mekanisme paling

umum yang digunakan untuk mempromosikan

perempuan dalam kehidupan politik, dan telah

digunakan dengan tingkat kesuksesan yang

bermacam-macam di seluruh dunia; oleh ANC di

Afrika Selatan, PJ dan UCR di Argentina, CONDEPA

di Bolivia, PRD di Meksiko, partai-partai buruh di

Australia dan Inggris, dan di seluruh Skandinavia.

Digunakannya daftar caleg perempuan saja oleh

Partai Buruh pada saat Pemilu Inggris tahun 1997

hampir melipatgandakan jumlah anggota legislatif

perempuan, dari 60 menjadi 119.

Kursi-kursi khusus juga telah disisihkan untuk

perempuan di Taiwan dan negara-negara lain. Sekali

lagi, sebagaimana dengan semua kursi khusus

tersebut, mekanisme-mekanisme ini membantu

menjamin perempuan untuk terpilih, tapi beberapa

perempuan membantah bahwa kuota-kuota akhirnya

menjadi sebuah jalan untuk menenangkan, dan pada

akhirnya menyuruh perempuan berhenti berperan-

serta. Terpilih sebagai seorang anggota legislatif tidak

berarti diberi wewenang membuat-keputusan

substantif, dan di beberapa negara, anggota parlemen

perempuan, khususnya yang dipilih dari kursi

khusus atau istemewa, tidak diberi tanggungjawab

membuat-keputusan yang sesungguhnya. Lihat

Persyaratan Caleg (ACE Project\Legislative

Framework).

KOMPONEN PERANCANGAN

Page 91: Sistem Pemilu

82

Oleh: Andrew ReynoldsSISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Karakteristik yang paling menonjol dari sistem

mayoritas-pluralitas adalah bahwa sistem tersebut

hampir selalu menerapkan distrik wakil tunggal.

Dalam sistem FPTP, kadang kala disebut sistem

distrik wakil tunggal pluralitas. Disini pemenangnya

adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak,

tetapi tidak harus memperoleh suara mayoritas

absolut (lihat First Past the Post). Bila sistem ini

digunakan dalam sistem distrik wakil majemuk,

sistem ini menjadi Sistem Block Vote (lihat Block

Vote). Para pemilih memiliki suara sebanyak kursi

yang akan diisi, dan caleg yang mendapatkan suara-

suara terbanyak akan mendapatkan kursi, dengan

tidak mengindahkan persentase suara yang

sebenarnya mereka peroleh. Sistem-sistem

mayoritas, seperti dalam Sistem Alternative Vote (AV)

Australia (lihat Alternative Vote) dan Sistem Dua

Putaran (TRS) model Perancis (lihat Sistem Dua

Putaran), mencoba untuk memastikan bahwa caleg

yang menang adalah yang memperoleh suara

mayoritas absolut (yaitu lebih dari limapuluh

persen). Setiap sistem tersebut, pada dasarnya,

menggunakan pilihan kedua pemilih agar dapat

menghasilkan pemenang mayoritas, jika ia tidak

dapat dihasilkan dalam putaran pertama pemilihan.

First Past The Post (FPTP)Oleh: Andrew Reynolds

Sampai saat ini, sistem First Past the Post (FPTP)

dipakai di Inggris Raya dan di negara-negara yang

secara historis dipengaruhi oleh Inggris. Disamping

Inggris Raya, sistem ini juga dipakai di Kanada, India,

Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Meskipun

demikian, Selandia Baru mengubah sistemnya

menjadi sistem MMP (Mixed Member Proportional)

dari kelompok sistem Representasi Proporsional

pada tahun 1993 (lihat Selandia Baru: Sebuah Negara

Demokrasi �Westminster� Berpindah ke Sistem RP).

FPTP juga digunakan di beberapa negara Karibia;

digunakan oleh Belize dan negara yang sebelumnya

disebut Guyana di Amerika Latin; oleh sepuluh

negara Asia (termasuk Pakistan, Bangladesh, Nepal

dan Malaysia); dan oleh banyak negara-negara

kepulauan kecil di Pasifik Selatan. Delapan belas

negara Afrika, kebanyakan bekas koloni Inggris,

menggunakan sistem FPTP. Jadi secara keseluruhan,

diantara 212 negara dan wilayah terkait (lihat

Distribusi Sistem Pemilu di Dunia), enampuluh

delapan � hanya sedikit dibawah sepertiga �

menggunakan sistem FPTP.

Dalam sistem FPTP, caleg yang menang adalah yang

mendapatkan suara terbanyak. Secara teoritis,

seorang caleg dapat dipilih dengan dua suara saja,

jika caleg-caleg yang lain hanya mendapatkan satu

suara. Perubahan terhadap sistem ini menghasilkan

sistem Block Vote, TRS, atau Single Non-Transferable

Vote (SNTV), dan sistem ini akan dibicarakan lebih

rinci dalam Block Vote, Two-Round System, dan Single

Non-Transferable Vote (SNTV). Meskipun demikian,

sebuah varian lain yang dapat juga digolongkan

sebagai FPTP digunakan di Nepal pada awal tahun

1990-an. Ini dilakukan karena rendahnya tingkat

kemampuan baca tulis di kebanyakan daerah

Page 92: Sistem Pemilu

83

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

pemilihan, para caleg berkompetisi di bawah simbol

partai, bukan secara individual. Para pemilih memi-

lih partai, bukan memilih caleg. Caleg, bila mau,

dapat bertarung di lebih dari satu distrik. Seorang

caleg yang terpilih untuk mengisi dua kursi atau lebih

harus memilih distrik mana yang akan mereka

wakili. Pemilihan ulang di beberapa daerah dilaku-

kan untuk mengisi kursi-kursi yang masih kosong.

Lihat studi-studi kasus berikut ini: Inggris: Percobaan

Sistem Pemilu di Tempat Kelahiran FPTP, Sistem

Pemilu Kanada: Sebuah Studi Kasus, India - FPTP

dalam Garis Besar dan Papua Nugini.

u First Past the Post � Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

First Past the Post (FPTP), seperti sistem pemilu

mayoritas-pluralitas yang lain, dipertahankan

pertama-tama karena kesederhanaannya dan

kecenderungannya menghasilkan caleg yang terkait

dengan wilayah geografis tertentu. Berikut ini adalah

segi-segi positif FPTP yang sering disebut-sebut:

� Sistem ini memberikan opsi yang tegas bagi

pemilih antara dua partai besar. Kekurangan

alamiah yang dihadapi oleh partai-partai

ketiga dan minoritas pada sistem FPTP

dalam banyak hal membuat sistem kepartai-

an bergerak kepada adanya sebuah partai

�kiri� dan sebuah partai �kanan.� Dan kedua

partai tersebut bergantian dalam

memerintah. Partai-partai ketiga kadang kala

tersingkir, dan hampir tidak pernah

mencapai batas dukungan rakyat, dimana

suara nasional mencapai persentase kursi

parlemen yang relatif sama banyaknya

dengan partai-partai lain.

� Sistem ini akan memunculkan pemerin-

tahan partai tunggal. �Bonus kursi� untuk

partai-partai besar yang berlaku dibawah

sistem FPTP (yaitu, misalnya, dimana

sebuah partai memenangkan 45% suara

nasional tetapi mendapatkan 55% kursi

parlemen) berarti bahwa pemerintahan

koalisi akan jarang terjadi. Keadaan ini

merupakan segi positif karena menyebabkan

kabinet terlepas dari keharusan bernegosiasi

dengan partner koalisi partai-partai kecil.

� Sistem ini akan memunculkan oposisi di

parlemen yang seimbang. Secara teoritis, sisi

lain dari pemerintahan satu partai yang kuat

adalah bahwa oposisi juga memperoleh kursi

yang cukup untuk melaksanakan fungsi

kontrol yang kritis, dan dapat membawakan

dirinya sebagai calon pengganti yang riil bagi

pemerintahan saat itu.

� Sistem ini memberikan keuntungan bagi

partai-partai politik �terbuka.� Dalam

masyarakat yang secara etnis dan

kewilayahan terbagi begitu tajam, FPTP

dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat

mendorong �tempat penampungan,� yang

mencakup banyak unsur di masyarakat,

Page 93: Sistem Pemilu

84

terutama bila hanya ada dua partai besar dan

ada banyak sekali kelompok sosial yang

berbeda-beda. Partai-partai ini kemudian

dapat mencalonkan susunan caleg yang

bermacam ragam untuk pemilu. Misalnya,

dalam sistem FPTP di Malaysia, koalisi yang

memerintah merupakan gerakan �terbuka,�

dan mencalonkan caleg etnis Cina di daerah

yang didominasi orang Melayu dan

sebaliknya.

� Sistem ini akan menyingkirkan partai

ekstrim dari perwakilan di parlemen. Kecuali

partai kelompok kecil ekstrim tersebut

terkonsentrasi secara geografis, kecil sekali

kemungkinannya partai tersebut akan

memperoleh kursi di parlemen dalam sistem

FPTP. Ini sangat berlawanan dengan situasi

dimana sistem Representasi Proporsional

(RP) murni, dimana satu persen suara

nasional dapat memberikan wakil di

parlemen.

� Sistem ini akan mempertahankan hubungan

antara konstituen dengan para wakilnya di

parlemen. Barangkali segi positif yang paling

sering disebut dari sistem FPTP ini adalah

bahwa sistem ini akan memunculkan

parlemen yang lebih berdasarkan unsur

wilayahnya: anggota parlemen mewakili

daerah tertentu di kota besar, kota kecil dan

wilayah-wilayah lainnya daripada hanya

mewakili simbol partainya. Banyak

pendukung FPTP ini berpendapat bahwa

akuntabilitas perwakilan yang sebenarnya

bergantung pada pemilih di suatu daerah

yang mengetahui siapa wakil mereka, dan

yang memiliki kemampuan untuk memilih

atau tidak memilih lagi, pada saat pemilu.

Beberapa analis berpendapat bahwa

�akuntabilitas geografis� ini sangat penting

di masyarakat agraris dan negara-negara

berkembang (lihat Memastikan Akuntabilitas

Pemerintah dan Wakil Rakyat).

� Sistem ini memungkinkan para pemilih

untuk memilih orang daripada sekedar

partai. Pada saat yang sama, para pemilih

dapat menilai kinerja masing-masing caleg,

bukan sekedar menerima daftar caleg yang

diajukan oleh sebuah partai, seperti yang

terjadi dalam sistem pemilu berdasarkan

Representasi Proporsional Daftar.

� Sistem ini memberikan kesempatan kepada

caleg independen yang disukai rakyat untuk

dapat terpilih. Ini terutama penting dalam

sistem kepartaian yang sedang tumbuh,

dimana kehidupan politik bergerak di

seputar keluarga besar, klan, atau hubungan

keluarga, dan tidak berdasarkan organisasi

partai politik yang kuat.

� Akhirnya, sistem FPTP secara khusus

diminati karena kesederhanaannya dan

sangat mudah dimengerti. Suara yang sah

hanya memerlukan sebuah tanda

disamping nama atau simbol seorang caleg,

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 94: Sistem Pemilu

85

dan jumlah caleg di kertas suara biasanya

sedikit, dengan demikian akan

mempermudah penghi-tungan suara oleh

para petugas pemilu.

u First Past the Post � Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

Semua sistem mayoritas-pluralitas, dimana First

Past the Post (FPTP) menjadi sistem yang paling

banyak disalahkan, dikritik karena alasan-alasan

dibawah ini:

Mengesampingkan Partai-Partai Kecil dari

Perwakilan yang �Adil�

Disini kami memakai kata �adil� yang berarti bahwa

sebuah partai yang memenangkan sekitar 10 persen

suara seharusnya memenangkan kurang lebih sepuluh

persen kursi parlemen. Dalam pemilu di Inggris tahun

1983, Aliansi Partai Sosial Demokratik-Partai Liberal

memenangkan duapuluh lima persen suara, tetapi

hanya memperoleh tiga persen kursi parlemen. Dalam

pemilu tahun 1981 di Selandia Baru, Partai Kredit

Sosial memenangkan duapuluh satu persen suara,

tetapi hanya memperoleh dua persen kursi. Pada

pemilu tahun 1989 di Botswana, Front Nasional

Botswana memenangkan 27 persen suara, tetapi

hanya memperoleh sembilan persen kursi. Kejadian

seperti ini sering terulang dalam sistem FPTP (lihat

Inggris: Percobaan Sistem Pemilu di Tempat Kelahiran

FPTP dan Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi

�Westminster� Berpindah ke Sistem RP).

Mengesampingkan Minoritas dari

Perwakilan yang Adil

Yang lazim terjadi dalam sistem FPTP, partai-partai

politik memasang caleg yang paling dapat diterima

secara luas di daerah tersebut agar sebagian besar

pemilih tidak apriori dengan caleg tersebut. Dengan

demikian, di AS atau Inggris sangat jarang terjadi

seorang caleg kulit hitam dicalonkan oleh sebuah

partai besar di daerah yang mayoritas penduduknya

adalah orang kulit putih. Ada bukti yang kuat bahwa

minoritas etnis dan ras sangat kecil kemungkinannya

memperoleh perwakilan dalam parlemen yang

dipilih dengan cara FPTP. Akibatnya, apabila

perilaku dalam memilih seperti itu benar-benar

berkaitan erat dengan pembagian etnis, dan

perwakilan minoritas yang tidak tertampung dalam

parlemen, akhirnya akan menjadi faktor yang dapat

menjadikan sistem politik tidak stabil secara

keseluruhan. (lihat AS: Minoritas Etnis dan Distrik

Wakil Tunggal).

Mengesampingkan Wanita dari Parlemen

Sindrom �caleg yang paling banyak diterima� juga

mempengaruhi kemampuan wanita untuk

memperoleh kursi parlemen, karena seringkali

kemungkinan mereka dipilih menjadi caleg sangat

kecil dalam struktur partai yang didominasi oleh laki-

laki. Di seluruh dunia, bukti menunjukkan bahwa

kemungkinan wanita untuk terpilih dalam sistem

mayoritas-pluralitas lebih kecil dibandingkan dalam

sistem representasi proporsional. Studi tahunan Uni

Parlemen Dunia (IPU) mengenai �Wanita di

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 95: Sistem Pemilu

86

Parlemen� pada tahun 1995 mendapati bahwa wanita

rata-rata mengisi sebelas persen kursi parlemen

negara-negara demokrasi mapan yang menggunakan

sistem FPTP, tetapi angka tersebut menjadi dua kali

lipat, yakni duapuluh satu persen, di negara-negara

yang menggunakan sistem representasi proporsional.

Kejadian seperti ini juga terlihat di negara-negara

demokrasi baru, terutama di Afrika.

Mendorong Tumbuhnya Partai-Partai Etnis

Dalam beberapa situasi, FPTP dapat mendorong

partai-partai mendasarkan kampanye dan platform

kebijakannya pada konsep klan, etnis, ras, atau

kedaerahan yang mengandung permusuhan. Dalam

pemilu multi partai Malawi pada tahun 1994, sebuah

sejarah penjajahan kolonial, kegiatan misionaris, dan

�Chewa-isasi� budaya nasionalnya oleh Hastings

Banda secara bersama-sama menumbuhkan benih-

benih konflik regional yang berkaitan erat dengan, dan

sekaligus �bersilangan� dengan perbatasan etnis yang

sudah ada sebelumnya. Orang yang tinggal di daerah

Selatan memilih Front Demokratis Bersatu pimpinan

Bakili Muluzi, yang di daerah Tengah memilih Partai

Kongres Malawi pimpinan Hastings Banda, dan yang

di sebelah Utara memilih Aliansi Demokrasi pimpinan

Chakufwa Chichana. Tidak ada insentif bagi partai-

partai politik untuk beraksi di luar daerah asal

maupun di luar basis budaya politisnya.

Membesar-besarkan �Kekuatan Daerah�

Ini terjadi apabila sebuah partai memenangkan

semua kursi di sebuah propinsi atau distrik. Dalam

beberapa situasi, FPTP cenderung menciptakan

daerah dimana suatu partai memenangkan semua,

atau hampir semua, kursi parlemen melalui

perolehan suara mayoritas di daerah tersebut. Hal

ini akan meminggirkan minoritas di daerah tersebut

dari perwakilan dan memperkuat persepsi bahwa

politik adalah medan perang yang menjelaskan siapa

anda dan dimana anda tinggal, daripada apa yang

anda yakini. Ini sudah lama menjadi argumentasi

penolakan di Kanada terhadap sistem FPTP (lihat

Sistem Pemilu Kanada: Sebuah Studi Kasus).

Menyebabkan Banyak Suara Terbuang

Suara yang tidak memberikan kontribusi pada

terpilihnya salah satu caleg sering disebut �suara

terbuang.� Hubungannya dengan �kekuatan daerah�

di atas adalah banyaknya suara yang terbuang, di

saat pendukung partai-partai kecil mulai merasa

bahwa mereka tidak mempunyai harapan untuk

dapat memilih caleg yang mereka inginkan. Ini,

secara khusus, berbahaya bagi negara-negara

demokrasi baru, dimana ketidaksukaannya terhadap

sistem politik akan meningkatkan kemungkinan para

ekstrimis memobilisasi gerakan anti sistem tersebut.

Tidak Tanggap terhadap Perubahan yang Terjadi

dalam Opini Masyarakat

Sebuah pola dukungan yang tergantung pada suatu

wilayah tertentu dalam pemilu sebuah negara berarti

bahwa partai tersebut dapat tetap mempertahankan

kontrol eksekutif eksklusif meskipun dukungan

masyarakat menurun secara drastis. Di beberapa

negara demokratis yang menganut sistem FPTP,

turunnya enampuluh persen menjadi empatpuluh

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 96: Sistem Pemilu

87

persen dukungan suara terhadap partai populer

secara nasional, dapat mencerminkan turunnya

delapanpuluh persen menjadi enampuluh persen

perolehan kursi, yang sama sekali tidak mempe-

ngaruhi posisinya yang dominan. Kecuali perubahan

kursi parlemen sangat kompetitif, sistemnya dapat

tidak peka terhadap perubahan dalam opini publik.

Rawan terhadap Manipulasi dalam Pembagian

Wilayah Pemilihan

Setiap sistem dengan distrik wakil tunggal sangat

rawan terhadap manipulasi pembagian wilayah,

misalnya seperti gerrymandering (pembagian daerah

pemilihan yang tidak adil - lihat Indeks Pemetaan

Distrik Pemilihan). Ini nampak sangat jelas pada

pemilu Kenya pada tahun 1993 ketika perbedaan

ukuran wilayah pemilihan yang sangat besar �

daerah pemilihan yang paling besar memiliki 23 kali

jumlah pemilih daerah pemilihan yang terkecil �

memberikan kemenangan mayoritas bagi Partai

Persatuan Nasional Afrika Kenya (KANU) yang

memerintah. Partai tersebut memenangkan

mayoritas kursi parlemen dengan hanya

memperoleh dukungan tigapuluh persen suara.

Block Vote (BV)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Blok Vote sebenarnya adalah penggunaan FPTP (lihat

First Past the Post) dalam distrik wakil majemuk. Para

pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak

kursi yang akan diisi, dan biasanya mereka bebas

memilih caleg tanpa mempertimbangkan afiliasi

partainya. Dalam sistem BV, para pemilih dapat

menggunakan sebanyak mungkin, atau sesedikit

mungkin, pilihan yang mereka maui. Sejak bulan

September 1997, Otoritas Palestina, Bermuda, Fiji,

Laos, and Virgin Island Amerika, Muangthai,

Maldivia, Kuwait, Filipina, dan Mauritius, semua

menggunakan sistem pemilu BV. Sistem ini juga

dipakai di Yordania pada tahun 1989. (lihat Yordania

� Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab) dan di

Mongolia pada tahun 1992, tetapi kemudian diubah

karena tidak puas dengan hasilnya. Sejumlah kursi

di Majelis Rendah Inggris, dan khususnya kursi-kursi

untuk Universitas, dipilih melalui cara BV sampai

tahun 1945.

Party Block Vote (PB)

Untuk pemilihan sejumlah anggota parlemen (untuk

semua di Djibouti dan Lebanon, dan untuk keba-

nyakan kursi di Singapura, Tunisia, dan Senegal),

lima negara tersebut menggunakan sebuah sistem

pemilu antara sistem FPTP dan BV yang disebutkan

di atas. Kami menamai sistem tersebut Party Block

Vote (PB). Seperti dalam sistem FPTP, para pemilih

biasanya memilih satu suara, tetapi tidak persis

seperti sistem FPTP, ada distrik wakil majemuk dan

para pemilih memilih partai, bukan caleg. Partai yang

memenangkan sebagian besar suara akan mengambil

semua kursi di distrik tersebut, dan semua yang

terdaftar sebagai caleg di sana benar-benar dipilih.

Seperti dalam sistem FPTP, tidak ada keharusan

untuk memenangkan suara mayoritas suara.

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 97: Sistem Pemilu

88

Di beberapa negara, PB digunakan untuk menjaga

keseimbangan perwakilan etnis, karena sistem ini

memungkinkan partai-partai politik mengajukan

caleg dengan latar belakang etnis yang berbeda-

beda untuk pemilu. Di Lebanon, misalnya, setiap

daftar caleg yang diajukan partai politiknya harus

terdiri dari campuran caleg yang terdiri dari

berbagai macam etnis. Di Singapura, ada berbagai

macam distrik wakil tunggal dan wakil majemuk.

Meskipun Anggota Parlemen untuk kursi wakil

tunggal dipilih berdasarkan sistem FPTP,

kebanyakan anggota parlemen dipilih berdasarkan

distrik wakil majemuk, yang dikenal sebagai

Daerah-daerah Pemilihan Perwakilan Kelompok

(Group Representation Constituencies), dimana

masing-masing menghasilkan antara tiga sampai

enam anggota terpilih dari setiap daftar partai atau

daftar caleg. Dari calon-calon yang diajukan

berdasarkan daftar partai atau caleg, sekurang-

kurangnya harus ada calon dari etnis Malaysia,

India, atau beberapa komunitas minoritas yang

lain. Para pemilih memilih diantara beberapa

daftar caleg ini dengan memberikan satu suara

saja. Meskipun setiap pemilih hanya dapat

memilih satu kali, di kebanyakan daerah

pemilihan suatu partai dapat mendapatkan

seluruh kursi. Singapura juga menggunakan kursi

�best loser� bagi caleg oposisi dalam beberapa

kesempatan � seperti yang terjadi di Ekuador,

dimana, jika sebuah partai yang ada di urutan

kedua memenangkan setengah jumlah suara yang

dimenangkan partai di urutan pertama, partai

tersebut akan diberi satu kursi. (lihat: Ekuador:

Mencari Perwakilan yang Efisien).

u Block Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

BV sering dianggap sebagai hal yang positif karena

dapat mempertahankan peluang para pemilih untuk

dapat memilih caleg secara individual, dan sekaligus

memungkinkan mencakup wilayah yang secara

geografis cukup luas. BV dapat juga menekankan

pentingnya peran partai-partai politik dan memper-

kuat partai-partai yang menunjukkan kepaduan dan

kemampuan organisasinya.

Keuntungan dari Party Block Vote adalah:

� Mudah penggunaannya,

� Mendorong tumbuhnya partai-partai yang

kuat,

� Memberikan kesempatan kepada partai-

partai politik untuk memasang campuran

caleg sehingga minoritas dapat terwakili.

u Block Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

Dengan sistem BV, pada saat pemilih memberikan

suaranya untuk caleg-caleg dari sebuah partai, yang

pada umumnya terjadi, sistem tersebut cenderung

memperburuk kekurangan sistem FPTP, terutama

segi disproporsionalitasnya. Di Mauritius pada tahun

1982 dan 1995, misalnya, partai yang semula oposisi

memenangkan seluruh kursi di parlemen dengan

hanya mengantungi masing-masing 64 dan 65 persen

suara pada masing-masing pemilu tersebut. Hal ini

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 98: Sistem Pemilu

89

mengakibatkan kesulitan yang sangat besar untuk

berfungsinya sistem parlementer yang efektif

berdasarkan konsep pemerintah-oposisi.

Filipina sekarang sedang berpindah dari sistem BV

ke sistem Proportional Representation karena alasan-

alasan yang serupa.

Kekurangan yang paling kritis dari PB adalah

munculnya hasil �super mayoritas,� yaitu dimana

sebuah partai dapat memenangkan semua kursi

dengan suara mayoritas sederhana. Misalnya, dalam

pemilu Singapura pada tahun 1991, enampuluh satu

persen suara untuk partai berkuasa Partai Aksi Rakyat

memberikan sembilanpuluh lima persen kursi

parlemen.

Alternative Vote (AV)Oleh: Ben Reilly

Alternative Vote merupakan sistem pemilu yang agak

asing, yang saat ini hanya digunakan di Australia, dan,

di Nauru dengan sedikit modifikasi. Baru-baru ini

sistem tersebut tidak lagi dianggap sebagai alternatif

dari sistem FPTP di Kerajaan Inggris. AV digunakan

untuk pemilu di Papua Nugini antara tahun 1964

sampai 1975 (lihat Papua Nugini), dan dalam tahun

1996 direkomendasikan sebagai sistem pemilu yang

baru di Fiji. Dengan demikian ini merupakan contoh

difusi wilayah yang baik dari sistem pemilu yang

telah dibicarakan sebelumnya: kebanyakan

penggunaan AV masa lalu, saat ini, dan mungkin

masa depan, semuanya dilakukan di wilayah Oceania.

Seperti Pemilu yang memakai sistem FPTP, pemilu

yang menggunakan sistem AV biasanya diadakan di

distrik wakil tunggal. Meskipun demikian, AV

memberikan opsi yang lebih besar kepada pemilih

daripada FPTP pada saat mereka menandai kartu

suara. Lebih daripada sekedar menunjukkan caleg

mana yang mereka pilih, dalam sistem AV para

pemilih dapat mengurutkan caleg sesuai dengan

pilihan mereka, dengan memberi tanda �1� untuk

caleg yang paling disukai, �2� untuk yang

dibawahnya, �3� yang lebih rendah lagi, dst. Sistem

tersebut memungkinkan para pemilih mengurutkan

caleg mana yang mereka sukai, lebih daripada

sekedar memilih caleg pilihan pertamanya. Alasan

ini yang menyebabkan sistem ini disebut Preferential

Voting (Pemilihan berdasarkan Preferensi) di negara-

negara yang menggunakannya.

AV juga berbeda dengan FPTP dalam cara

penghitungan suaranya. Seperti dalam sistem FPTP

dan Sistem Dua Putaran, seorang caleg yang sudah

memenangkan mayoritas absolut suara (limapuluh

persen tambah satu) otomatis terpilih. Meskipun

demikian, apabila tidak ada caleg yang memperoleh

suara mayoritas absolut, dalam sistem AV caleg

dengan suara terendah preferensi pertamanya akan

�dicoret� dari daftar, dan kartu suara mereka akan

dilihat lagi untuk preferensi kedua. Kemudian suara

preferensi kedua tersebut diberikan kepada caleg

yang tersisa berdasarkan tanda yang tertera pada

kertas suara. Langkah ini diulangi sampai seorang

caleg memperoleh suara mayoritas absolut, dan

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 99: Sistem Pemilu

90

kemudian dinyatakan sebagai pemenang. Karena

alasan ini, AV biasanya digolongkan dalam sebuah

sistem mayoritas, karena seorang caleg memerlukan

mayoritas absolut, dan bukan sekedar pluralitas, dari

seluruh suara yang diberikan untuk mendapatkan

sebuah kursi.

Lihat studi-studi kasus Australia Alternative Vote di

Australia, Sri Lanka Sri Lanka: Perubahan untuk

Mengakomodasi Perbedaan, dan Papua Nugini.

Lihat Segi Positif dan Segi Negatif.

u Alternative Vote�Segi PositifOleh: Ben Reilly

Salah satu keuntungan dari pemindahan suara adalah

bahwa pemindahan ini memungkinkan beberapa

caleg yang masih sehaluan dapat dikumpulkan

menjadi satu, dan dengan demikian kepentingan yang

berbeda namun masih terkait dapat dijadikan satu

untuk memenangkan kursi. Alternative Vote juga

memungkinkan para pendukung caleg yang hampir

tidak mempunyai harapan terpilih untuk

mempengaruhi caleg yang kemungkinan besar

terpilih, dengan menggunakan suara preferensinya

yang kedua dan seterusnya. Karena alasan ini, kadang-

kadang dikatakan bahwa AV merupakan sistem

pemilu yang terbaik bagi masyarakat yang sangat

terpecah, karena sistem ini dapat memaksa caleg

untuk tidak hanya mencari suara dari para

pendukungnya sendiri, tetapi juga dari �preferensi

kedua� caleg lain (lihat: Papua Nugini).

Untuk dapat menarik preferensi semacam itu, para

caleg harus membuat himbauan terbuka dan tidak

ekstrim kepada semua pihak, dan tidak hanya

terfokus kepada masalah sektarian yang sempit dan

sikap-sikap ekstrim. Pengalaman penggunaan AV di

lingkungan sosial relatif stabil seperti Australia juga

telah menunjukkan dukungan atas argumentasi

tersebut. Misalnya, sebelum pemilu, partai-partai

besar pada umumnya mencoba untuk mengadakan

perjanjian dengan partai-partai kecil guna

mendapatkan preferensi kedua para pendukung

partai-partai kecil tersebut� sebuah proses yang

dikenal sebagai �preference swapping� (tukar-

menukar preferensi). Lebih jauh lagi, karena

persyaratan dukungan mayoritas, AV lebih

menjamin adanya semacam persetujuan yang

diberikan kepada anggota terpilih, dan dengan

demikian menaikkan tingkat legitimasi mereka.

u Alternative Vote�Segi NegatifOleh: Ben Reilly

Alternative Vote mempunyai beberapa kelemahan:

� Sistem ini memerlukan tingkat baca tulis dan

pengetahuan angka yang agak tinggi agar

dapat berfungsi secara efektif, dan karena

sistem ini menggunakan distrik wakil

tunggal, sistem ini akan membuahkan hasil

yang disproporsional kalau dibandingkan

dengan sistem PR.

� Diragukan apakah AV dapat mendorong

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 100: Sistem Pemilu

91

tingkah laku yang akomodatif dalam

masyarakat yang sangat terpecah, dimana

kelompok etnis terkonsentrasi dalam

wilayah geografis tertentu. Sudah terbukti

bahwa AV tidak dapat berfungsi dengan baik

pada saat diterapkan dalam distrik yang lebih

besar dan distrik wakil majemuk.

Namun demikian, Nauru menggunakan versi AV

yang sudah dimodifikasi, kebanyakan di distrik

dengan dua wakil. Dalam sistem Nauru, tidak ada

penghapusan, dan preferensi dihitung hanya sebagai

�suara pecahan�; suara pertama nilainya sama

dengan satu, preferensi kedua setengah, dan

preferensi ketiga bernilai sepertiga, dst. Jika tidak ada

seorang caleg yang memperoleh mayoritas absolut

atas preferensi pertama, preferensi dari tingkatan

yang lebih rendah akan dihitung dan total yang

paling tinggi memenangkan kursi.

Two Round System (TRS)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Bentuk terakhir sistem mayoritas-pluralitas yang

digunakan bagi pemilihan anggota parlemen adalah

Two Round System (TRS), atau Sistem Dua Putaran

dalam Bahasa Indonesia, yang juga dikenal sebagai

sistem run-off atau double ballot. Nama-nama

tersebut menunjukkan inti dari sistem tersebut: yaitu

bukan sekali pemilihan saja, tetapi harus dua

putaran, jarak antar keduanya bisa seminggu atau

dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan sama

seperti pemilihan model FPTP. Jika seorang caleg

mendapatkan suara mayoritas absolut, maka mereka

secara langsung dipilih, dan tidak diperlukan putaran

kedua. Tetapi, jika tidak ada caleg yang mendapatkan

mayoritas absolut, maka putaran kedua

dilaksanakan, dan pemenang dari putaran ini

dinyatakan terpilih.

Pelaksanaan rinci bagaimana putaran kedua ini

dilaksanakan berbeda dari satu negara ke negara lain.

Metode yang paling umum, seperti yang digunakan

di Ukraina, adalah pemilihan putaran kedua yang

disebut kontes �run-off� langsung antara dua

pemenang suara tertinggi di putaran pertama; ini

disebut sistem mayoritas-runoff (lihat: Ukraina:

Bahaya Sistem Mayoritas di Sebuah Negara

Demokrasi Baru). Ini menghasilkan suara yang sangat

mayoritas, dimana salah satu dari caleg tersebut

harus benar-benar mendapatkan suara mayoritas

absolut dan dinyatakan sebagai pemenang. Varian

tatacara ini digunakan dalam pemilihan anggota

legislatif di Perancis, negara yang paling sering

diasosiasikan dengan TRS. Untuk model pemilihan

seperti ini, setiap caleg yang memperoleh suara lebih

dari 12.5% dari pemilih terdaftar dapat maju untuk

putaran kedua. Siapa saja yang memenangkan

jumlah suara tertinggi di putaran kedua kemudian

dinyatakan terpilih sebagai caleg, tanpa melihat

apakah mereka memenangkan mayoritas absolut

atau tidak. Tidak seperti mayoritas run-off langsung,

sistemnya tidak murni mayoritarian, karena akan ada

lima atau enam calon yang bertarung di putaran

kedua pemilu. Dengan demikian, kami menyebutnya

sebagai varian mayoritas-pluralitas dari TRS.

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 101: Sistem Pemilu

92

TRS digunakan untuk memilih lebih dari tigapuluh

parlemen nasional dan bahkan lebih banyak lagi

dipakai sebagai cara untuk memilih presiden. Sama

seperti Perancis, banyak negara merdeka yang

menggunakan TRS adalah negara bawahan Perancis,

atau negara yang dalam derajat tertentu secara

historis pernah dipengaruhi oleh Perancis. Di Afrika

Sub-Sahara yang penduduknya berbicara bahasa

Perancis, Republik Afrika Tengah, Mali, Togo, Chad,

Gabon, Mauritania, dan Kongo, dan di Afrika Utara,

Mesir menggunakan sistem tersebut. Kuba, Haiti,

Iran, Kiribati dan Kepulauan Komoro juga

menggunakan TRS untuk pemilihan anggota

parlemennya. Demikian juga negara-negara bekas

blok Soviet seperti Belarus, Kyrgyzstan, Macedonia,

Moldova, Tajikistan, Ukraina, dan Uzbezkistan.

Tidak mengherankan bahwa di Eropa Barat, Monaco

menggunakan sistem yang sama dengan Perancis.

Albania dan Lithuania memakai sistem TRS bersama

dengan sistem Representasi Proporsional Daftar

sebagai bagian dari sistem Paralel mereka. Sementara

itu Hongaria menggunakan TRS untuk menentukan

hasil komponen pemilihan distrik mayoritarian dari

sistem Representasi Proporsional MMP (Mixed

Member Proportional).

u Two Round System-Segi PositifOleh: Ben Reilly

Pertama dan paling utama, TRS memungkinkan

pemilih mengubah pilihannya atas caleg yang

sudah dipilihnya dan bahkan mengubah

pikirannya mengenai urutan pilihan di putaran

pertama dan kedua. Jadi sistem ini mempunyai

kesamaan dengan sistem preferensial seperti AV

(lihat Alternative Vote), dimana pemilih diminta

untuk mengurutkan caleg, dan pada saat yang

sama memungkinkan pemilih untuk membuat

pilihan baru di putaran kedua jika mereka

menghendakinya. Kedua, sistem ini

memungkinkan kepentingan yang berbeda untuk

bergabung mendukung caleg yang mendapat

suara banyak di putaran pertama sebelum

putaran kedua dimulai. Dengan demikian sistem

ini mendorong terjadinya tawar-menawar dan

kesepakatan antar partai-partai politik dan caleg.

TRS juga memungkinkan partai-partai dan para

pemilih untuk merespon perubahan dalam peta

politik yang terjadi diantara pemungutan suara

putaran pertama dan kedua. Lebih lanjut, sistem

TRS mengurangi masalah �pecahnya suara,�

situasi yang sering terjadi dalam sistem FPTP,

dimana partai-partai yang mirip satu sama

lainnya �berbagi� suara, dan dengan demikian

memungkinkan caleg yang kurang populer

memenangkan kursi. Akhirnya, karena para

pemilih tidak harus mengurutkan caleg dengan

nomor guna menyatakan pilihan mereka yang

kedua, TRS lebih baik digunakan untuk negara-

negara dengan tingkat buta huruf yang tinggi,

dibandingkan dengan sistem yang menggunakan

penomoran preferensi seperti dalam AV dan

Single Transferable Vote (lihat Single

Transferable Vote).

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 102: Sistem Pemilu

93

u Two Round System-Segi NegatifOleh: Ben Reilly

Mungkin cukup mengherankan bahwa TRS

merupakan sistem ketiga terpopuler diantara 211

negara yang dianalisa dalam buku petunjuk ini.

Sistem ini memberikan beban berat bagi para

pelaksana pemilu karena harus diadakannya pemilu

putaran kedua segera sesudah putaran pertama. Ini

tentu saja akan meningkatkan biaya untuk

keseluruhan proses pemilu dan waktu antara putaran

pertama dan kedua dan pengumuman hasil dapat

menciptakan instabilitas dan ketidakpastian.

TRS juga memberikan beban tambahan bagi para

pemilih, dan kadang kala jumlah pemilih yang

memilih turun secara drastis antara putaran pertama

dan putaran kedua. Lebih lagi, TRS juga mempunyai

banyak kelemahan yang sama dengan sistem FPTP,

yaitu sedikit agak rumit. Riset menunjukkan bahwa

TRS di Perancis membuahkan hasil yang paling

disproporsional di antara demokrasi Barat.

Lihat studi kasus Mali: Sistem Dua Putaran di Afrika.

SISTEM MAYORITAS-PLURALITAS

Page 103: Sistem Pemilu

94

Oleh: Andrew Reynolds

Sistem semi proporsional merupakan sistem yang

mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang

berada di antara proporsionalitas sistem Perwakilan

Proporsional dengan mayoritarian dari sistem

mayoritas-pluralitas.

Tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang

digunakan untuk pemilihan para anggota legislatif

adalah Single Non-Transferable Vote (SNTV), sistem

Paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV).

Sistem SNTV

Dalam sistem SNTV, setiap pemilih memilih satu

suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi

dalam distrik tersebut, dan caleg yang memperoleh

suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut. Ini

berarti di sebuah distrik yang akan memilih empat

caleg, misalnya, seorang caleg hanya memerlukan

sedikit di atas duapuluh persen suara agar dapat

terpilih. Ini memungkinkan terpilihnya caleg dari

partai minoritas, dan meningkatkan proporsionalitas

parlemen (lihat SNTV).

Sistem Paralel

Sistem Paralel menggunakan baik daftar-daftar

Representasi Proporsional maupun distrik-distrik

mayoritas-pluralitas (lihat Paralel). Meskipun

demikian, berbeda dengan sistem MMP (lihat Single

Transferable Vote), di bawah sistem Paralel,

Representasi Proporsional Daftar tidak memberikan

imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam

distrik mayoritarian. Sistem Paralel telah digunakan

secara luas di negara-negara demokrasi baru di Afrika

dan bekas wilayah Soviet (lihat Distribusi Sistem

Pemilu di Dunia).

Sistem LV

Sistem LV terletak antara SNTV dan Block Vote,

karena dalam sistem ini ada distrik wakil majemuk,

dan para caleg yang menang semata-mata adalah

mereka yang mengumpulkan paling banyak suara.

Para pemilih dapat memberikan suara yang

jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang

harus diisi, tetapi lebih dari satu suara (lihat Limited

Vote).

Lihat studi kasus di Jepang, Jepang � Reformasi

Pemilu, Rusia, Rusia � Sistem Paralel yang Terus

Berkembang dan Yordania, Yordania � Desain Sistem

Pemilu di Dunia Arab.

ParalelOleh: Andrew Reynolds

Sistem Paralel (atau campuran) menggunakan baik

Representasi Proporsional (RP) Daftar dan distrik

�pemenang mengambil semuanya.� Meskipun

demikian, berbeda dengan sistem MMP (lihat Single

Transferable Vote), Representasi Proporsional Daftar

tidak memberikan kompensasi untuk setiap

disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian.

Sistem Paralel saat ini digunakan di duapuluh negara,

SISTEM SEMI PROPORSIONAL

Page 104: Sistem Pemilu

95

dan merupakan desain sistem pemilu pada tahun

1990-an � mungkin karena sistem ini nampaknya

menggabungkan keuntungan Representasi

Proporsional Daftar dengan perwakilan distrik wakil

tunggal. Kamerun, Kroasia, Guatemala, Guinea,

Jepang, Korea Selatan, Nigeria, Rusia, Kepulauan

Seychelles, dan Somalia menggunakan FPTP distrik

wakil tunggal bersamaan dengan komponen

Representasi Proporsional Daftar, sementara Albania,

Armenia, Azerbaijan, Georgia, dan Lithuania

menggunakan TRS untuk komponen distrik wakil

tunggal dalam sistem mereka. Andorra menggunakan

Block Vote untuk memilih setengah dari jumlah

anggota parlemennya, sedangkan Tunisia dan

Senegal menggunakan Party Block untuk memilih

sebagian dari anggota parlemen mereka. Taiwan agak

tidak umum dengan menggunakan sistem SNTV,

sebuah sistem Semi Proporsional, bersamaan dengan

komponen sistem RP.

Perimbangan antara jumlah kursi berdasarkan sistem

proporsional dan jumlah kursi berdasarkan sistem

mayoritas-pluralitas sangat jauh berbeda. Hanya di

Andorra dan Rusia, pembagiannya 50-50. Pada

ekstrim yang lain, delapanpuluh delapan persen dari

anggota parlemen Tunisia dipilih dengan Party Block,

dan hanya sembilan belas anggota berasal dari daftar-

daftar Representasi Proporsional. Pada sisi yang lain,

113 kursi anggota parlemen di Somalia dipilih secara

proporsional dan hanya sepuluh anggota dipilih

berdasarkan distrik FPTP. Meskipun demikian, Jepang

memilih enampuluh persen anggota parlemen mereka

dari distrik wakil tunggal dan sisanya dari perwakilan

daftar-daftar Representasi Proporsional.

Lihat studi kasus dalam Jepang � Reformasi Pemilu,

Rusia � Sistem Paralel yang Terus Berkembang dan

Ekuador: Mencari Perwakilan yang Efisien.

u Paralel-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

Kalau dihubungkan dengan �disproporsionalitas,�

hasil sistem Paralel sebenarnya berada di antara

mayoritas-pluralitas langsung dan sistem represen-

tasi proporsional, tetapi dalam banyak hal sistem

Paralel tersebut memberikan kepada pemilih baik

pilihan distrik maupun pilihan berdasarkan partai

secara nasional, karena sistem tersebut memerlukan

dua kertas suara.

Keuntungan kedua adalah bahwa, jikalau ada kursi

RP yang cukup, partai-partai kecil yang tidak

mendapatkan kursi melalui pemilihan mayoritas-

pluralitas masih dapat memperoleh kursi dalam

alokasi kursi berdasarkan sistem proporsional.

Terakhir, sistem campuran ini harus, dalam teorinya,

dapat mengurangi penggolongan sistem partai

menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sistem

pemilihan PR murni.

u Paralel-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

Salah satu kerugian sistem Paralel adalah adanya dua

jenis anggota parlemen:

SISTEM SEMI PROPORSIONAL

Page 105: Sistem Pemilu

96

� Kelompok anggota parlemen mewakili

distrik yang harus bertanggungjawab kepada

pemilih setempat.

� Kelompok kedua yang terpilih dari daftar

partai, tanpa memiliki hubungan formal

dengan para pemilihnya, yang terutama

bertanggungjawab kepada para pimpinan

partainya.

Lebih jauh lagi, kenyataan bahwa sistem Paralel tidak

dapat menjamin proporsionalitas secara keseluruhan

berarti bahwa beberapa partai masih akan terhalang

masuk ke parlemen meskipun mereka memperoleh

suara yang signifikan. Sistem Paralel juga relatif

kompleks, dan dapat membingungkan para pemilih

dalam hal hakekat dan cara kerja sistemnya.

Limited Vote (LV)Oleh: Andrew Reynolds

Limited Vote merupakan salah satu dari sistem yang

paling jarang digunakan saat ini, tetapi masih tetap

disukai karena sistem ini memberikan jalan bagi

terpilihnya caleg yang kuat dari kaum minoritas dan

memungkinkan pemberian suara pribadi untuk caleg

secara individual. Pada dasarnya, LV adalah sistem

antara SNTV dan Block Vote, karena adanya distrik

wakil majemuk, dan caleg yang menang adalah

mereka yang memperoleh suara terbanyak. Para

pemilih memiliki suara yang jumlahnya lebih sedikit

daripada kursi yang harus diisi, tetapi tetap lebih

dari satu suara.

Pada prakteknya sistem ini hanya digunakan di

Gibraltar untuk pemilihan anggota majelis rendah,

di Spanyol untuk pemilihan majelis tinggi Cortes,

serta untuk pemilihan-pemilihan pemerintah

daerah, terutama di Amerika Serikat. Yang paling

sering terjadi sistem LV memberikan kepada pemilih

satu suara lebih sedikit daripada kursi yang harus

diisi, seperti yang terjadi di Spanyol, dan juga di

Inggris antara tahun 1867 dan 1885.

u Limited Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

Dalam pemakaiannya di Spanyol dan Inggris, Limited

Vote mempunyai ciri-ciri yang sama dengan Block

Vote, tetapi sementara ahli berpendapat bahwa

karena sistem ini memberikan peluang lebih besar

perwakilan minoritas, sistem tersebut harus

digolongkan sebagai sistem semi proporsional.

Sebenarnya, LV lebih mirip Block Vote (lihat Block

Vote) dimana kaum minoritas diberi kesempatan

yang sedikit lebih banyak untuk dapat memperoleh

kursi di parlemen.

u Limited Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

LV masih mempunyai tingkat disproporsionalitas

yang cukup besar. Pemerintah mayoritas masih dapat

terpilih berdasarkan pendapatan suara yang sedikit,

SISTEM SEMI PROPORSIONAL

Page 106: Sistem Pemilu

97

dan partai-partai kecil dapat terlempar dari

parlemen. Pada tahun 1982 Partai Sosialis Spanyol

memenangkan empatpuluh tujuh persen dari

keseluruhan suara tetapi memperoleh enampuluh

lima persen kursi. Sementara Union of the

Democratic Center memenangkan tujuh persen

suara, tetapi hanya mendapatkan 0,5% kursi.

Single Non-Transferable Vote (SNTV)Oleh: Andrew Reynolds

Dalam sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV),

setiap pemilih mempunyai satu suara, tetapi ada

lebih dari satu kursi yang harus diisi dalam setiap

distrik. Para caleg yang mendapatkan jumlah suara

tertinggi akan mengisi posisi ini. Dengan demikian,

sebagai contoh dalam distrik yang ada empat kursi,

seorang caleg hanya memerlukan sedikit diatas 20

persen agar dapat memperoleh salah satu kursi.

Sebaliknya, sebuah partai yang besar yang menda-

patkan tujuhpuluh lima persen suara yang terbagi

rata antara tiga calegnya nampaknya akan dapat

memperoleh tiga dari empat kursi tersebut. Sejak

tahun 1997, SNTV dipakai untuk pemilihan anggota

parlemen di Yordania, (lihat: Yordania � Desain

Sistem Pemilu di Dunia Arab) dan Vanuatu, dan

untuk 125 orang dari 161 kursi yang ada bagi anggo-

ta Parlemen di Taiwan. Meskipun demikian, ini

model yang paling populer untuk pemilihan anggota

majelis rendah Jepang dari tahun 1948 � 1993.

u Single Non-Transferable Vote-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

Perbedaaan yang paling penting antara Single Non-

Transferable Vote (SNTV) dan sistem-sistem

mayoritas-pluralitas yang telah dibahas

sebelumnya adalah bahwa SNTV lebih baik dalam

memberikan peluang terwakilinya partai-partai

kecil. Semakin besar ukuran distrik (jumlah kursi

dalam konstituen tersebut), sistemnya akan

menjadi semakin proporsional. Di Yordania, SNTV

memungkinkan terpilihnya sejumlah caleg pro

monarki yang bukan berasal dari partai. Ini dapat

dipandang sebagai sebuah keuntungan dalam

sistem partai yang masih belum berkembang.

Tetapi pada saat yang sama, sistem ini mendorong

partai-partai politik untuk terorganisir dengan

sangat baik, dan meminta para pemilihnya untuk

memberikan suaranya kepada caleg-caleg dengan

cara yang dapat memaksimalkan potensi

pemenangan kursi parlemen.

Meskipun SNTV memberikan pilihan kepada para

pemilih untuk memilih caleg yang terdapat dalam

daftar partai, sistem ini lebih kurang memecah partai-

partai dibandingkan dengan sistem RP murni. Lebih

dari 45 tahun pengalaman SNTV, Jepang masih

menunjukkan sebuah sistem �satu partai dominan�

yang kokoh. Terakhir, sistem ini dipandang mudah

digunakan dan mudah pula cara menghitung

hasilnya.

SISTEM SEMI PROPORSIONAL

Page 107: Sistem Pemilu

98

u Single Non-Transferable Vote-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

Sisi negatif dari Single Non-Transferable Vote (SNTV),

sebagai suatu sistem semi RP, masih tidak dapat

menjamin bahwa hasil parlemen secara keseluruhan

akan proporsional. Partai-partai kecil yang katakanlah

mendapat dukungan sekitar sepu-luh persen suara,

yang suaranya begitu terpencar, mungkin tidak akan

bisa mendapatkan satu kursi-pun, dan partai-partai

yang besar dapat menerima �bonus kursi� yang

signifikan, yang dapat mendo-rong pluralitas

nasional ke arah mayoritas absolut di parlemen. Pada

tahun 1980, Demokrat Liberal Jepang memenangkan

limapuluh lima persen suara dengan hanya

memperoleh empatpuluh delapan persen suara (lihat

Jepang � Reformasi Pemilu).

Proporsionalitas sistem dapat dinaikkan dengan

menaikkan secara terus-menerus jumlah kursi yang

harus diisi dalam distrik wakil majemuk, tetapi hal

ini dapat melemahkan hubungan antara pemilih dan

anggota dewan, suatu hal begitu dijunjung tinggi oleh

mereka yang mendukung adanya distrik-distrik

geografis. Distrik wakil majemuk untuk sembilan

kursi di Yordania dan tujuh kursi di Vanuatu

merupakan daerah pemilihan SNTV paling besar

yang masih dapat ditangani.

Karena SNTV memberikan kepada para pemilih

satu suara saja, sistem ini hampir tidak memberikan

ruang bagi partai-partai politik untuk mendapatkan

dukungan spektrum luas pemilih dengan suatu cara

yang dapat diterima oleh semua pihak. Sejauh

mereka mempunyai suara inti yang cukup baik,

mereka dapat memenangkan kursi tanpa

memerlukan dukungan dari �pihak luar.� Tambahan

lagi, fakta bahwa banyaknya caleg dari partai yang

sama saling bertarung untuk memperoleh suara

berarti bahwa fragmentasi dan ketidakharmonisan

dalam tubuh partai menjadi lebih hebat. Dan ini

juga memungkinkan diperberatnya politik �klien,�

dimana para politikus memberikan suap pemilu

yang tidak begitu kentara kepada sekelompok

pemilih.

Akhirnya, SNTV mengharuskan partai-partai politik

untuk mempertimbangkan strategi yang kompleks

dalam pencalonan caleg dan manajemen suara.

Mencalonkan terlalu banyak caleg sama tidak

produktifnya dengan mencalonkan terlalu sedikit

caleg. Disini juga penting sekali bagi sebuah partai

politik untuk mendisiplinkan pendukungnya agar

suara mereka dibagi secara seimbang antara para

caleg partai.

SISTEM SEMI PROPORSIONAL

Page 108: Sistem Pemilu

99

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL Oleh: Andrew Reynolds

Dasar pemikiran yang mendasari semua sistem

representasi proporsional adalah untuk dengan

sengaja mengurangi kesenjangan antara perolehan

suara partai secara nasional dengan perolehan

kursinya di parlemen. Jika sebuah partai besar

memenangkan empatpuluh persen suara, partai

tersebut seharusnya memenangkan empatpuluh

persen kursi di parlemen, dan sebuah partai kecil

yang memenangkan suara sebesar sepuluh persen

seharusnya juga memperoleh kursi parlemen sebesar

sepuluh persen. Penggunaan daftar partai juga

membantu dicapainya proporsionalitas, dimana

partai-partai politik menyajikan nama-nama caleg

dalam suatu daftar secara nasional atau daerah

kepada calon pemilih (lihat RP Daftar). Meskipun

demikian, hal ini dapat pula didapatkan bila

komponen proporsional dari sebuah sistem MMP

memberikan perimbangan pada setiap

disproporsionalitas yang muncul dari hasil distrik

mayoritarian (lihat Mixed Member Proportional).

Tetapi pemilihan secara preferensial juga bekerja

sama baiknya: Single Transferable Vote, dimana para

pemilih memberikan angka urut kepada para caleg

dalam distrik wakil majemuk merupakan sistem

proporsional lain yang mapan (lihat Single

Transferable Vote).

Sistem RP lazim dipilih oleh negara-negara

demokrasi baru. Lebih dari duapuluh negara

demokrasi yang sudah mapan, dan sedikit kurang

dari setengah dari negara-negara demokrasi yang

�bebas� menggunakan varian dari RP (Lihat

Distribusi Sistem Pemilu di Dunia). Sistem RP

dipakai banyak negara di Amerika Latin dan Eropa

Barat, dan mencakup sepertiga dari semua sistem

yang digunakan di Afrika. Meskipun seringkali kursi

dibagi dengan dasar distrik wakil majemuk regional,

di beberapa negara (misalnya: Jerman, Namibia,

Israel, Belanda, Denmark, Afrika Selatan, dan

Selandia Baru), pembagian kursi parlemen

ditentukan secara efektif oleh perolehan suara

nasional.

Rumusan yang dipergunakan untuk menghitung

alokasi kursi sesudah pemungutan suara dihitung

mempunyai efek marjinal pada hasil pemilu model

RP. Rumusannya dapat berupa �rata-rata tertinggi�

atau �sisa terbanyak� (lihat Bagaimana Mengkonversi

Suara Menjadi Kursi). Meskipun demikian, besarnya

distrik (lihat Ukuran Distrik) dan besarnya batas

representasi lebih penting daripada keseluruhan

hasil RP (lihat Batas Representasi). Semakin banyak

jumlah anggota parlemen yang dipilih dari sebuah

distrik, serta semakin kecil batas representasi yang

disyaratkan untuk parlemen tersebut, akan semakin

proporsional sistem pemilu tersebut dan semakin

besar kesempatan bagi partai-partai kecil untuk

mendapatkan kursi. Di Israel, batas representasinya

1,5%, sementara di Jerman 5%. Di Seychelles batas

representasi sepuluh persen diberlakukan untuk 23

kursi RP yang ada. Di Afrika Selatan pada tahun 1994,

tidak ada batas representasi resmi untuk parlemen,

dan Partai Demokratik Kristen Afrika memenangkan

dua kursi dari 400 kursi secara keseluruhan, dengan

hanya mengantongi 0,45% dari keseluruhan suara

nasional. Pertimbangan-pertimbangan lain yang

penting dalam memilih sistem pemilu adalah

penentuan batas-batas daerah pemilihan (lihat

Page 109: Sistem Pemilu

100

Indeks Pemetaan Distrik Pemilihan); cara partai-

partai politik menentukan Daftar Caleg (lihat Daftar

Bebas, Terbuka, dan Tertutup); kompleksitas kertas

suara (misalnya: banyaknya pilihan yang tersedia

bagi pemilih � lihat Cara Pemungutan Suara);

pelaksanaan �pengumpulan suara� resmi dan tidak

resmi; dan ruang lingkup perjanjian antar partai,

seperti misalnya yang dimungkinkan oleh berbagai

sistem yang menggunakan apparentement (semacam

stembus accord) (lihat Apparentement).

Alokasi KursiOleh: Andrew Reynolds

Sebuah cara yang agak berbeda dari pembagian

sederhana di dalam Tinjauan Umum ketika

melihat berbagai pilihan dalam representasi

proporsional (RP) adalah membedakan sistem

dengan mengacu pada apakah mereka mau

memakai satu atau dua �jenjang� untuk membagi

kursi, dan apakah mereka memakai daftar terbuka,

tertutup atau bebas (panachage). Negara-negara

yang mengalokasikan dengan hanya memakai satu

jenjang dapat menggunakan daftar nasional,

seperti Namibia dan Belanda, atau seluruhnya

menggunakan daftar regional, seperti Finlandia

(lihat Finlandia: Pemilihan Caleg dan

Proporsionalitas Partai) dan Swiss (lihat Swiss).

Single Transferable Vote (STV) hampir selalu

dipakai sebagai sistem satu jenjang (seperti

misalnya di Irlandia � lihat Irlandia: Sistem STV

Model Irlandia).

Alokasi dua jenjang dapat menghasilkan baik daftar

nasional maupun regional (lihat Afrika Selatan:

Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik), daftar

regional hanya seperti misalnya di Denmark, sebuah

Daftar RP nasional dan komponen distrik wakil

tunggal seperti di Jerman (lihat Jerman: Sistem Mixed

Member Proportional yang Orisinil) dan Selandia

Baru (lihat Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi

�Westminster� Berpindah ke Sistem RP), atau daftar

regional dan komponen distrik wakil tunggal seperti

di Bolivia (lihat Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika

Latin). Malta menciptakan sistem dua jenjang dari

sistem STV-nya pada pertengahan tahun 1980

dengan menyediakan beberapa kursi ekstra sebagai

kompensasi yang diberikan kepada sebuah partai jika

partai tersebut memenangkan mayoritas suara tetapi

memperoleh kursi yang lebih sedikit dari lawan-

lawannya (lihat Malta: STV dengan Beberapa

Modifikasi).

Representasi Proporsional (RP) DaftarOleh: Andrew Reynolds

Kebanyakan dari tujuhpuluh lima sistem Rep-

resentasi Proporsional (RP) yang diidentifikasikan

dalam Distribusi Sistem Pemilu di Dunia

menggunakan bentuk RP Daftar atau variannya;

hanya sembilan contoh menggunakan metode MMP

atau Single Tranferable Vote (STV).

Dalam bentuknya yang paling sederhana, RP Daftar

meliputi kegiatan berikut: setiap partai yang

menyajikan daftar nama caleg kepada pemilih,

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 110: Sistem Pemilu

101

kemudian pemilih memilih suatu partai; dan partai

memperoleh suara sebanding dengan perolehan

suaranya secara nasional. Para caleg yang menang

diambil secara berurutan dari daftar tersebut.

u RP Daftar - Segi PositifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Dalam banyak hal, alasan yang paling kuat

dipakainya RP adalah kemampuan sistem tersebut

menghindarkan diri dari hasil sistem mayoritas-

pluralitas yang aneh, dan kemampuannya untuk

mempermudah tercapainya lembaga legislatif yang

lebih representatif (lihat Segi Negatif). Seperti yang

ditunjukkan sejumlah contoh di dalam buku

petunjuk ini, untuk banyak negara berkembang

terutama negara-negara yang mengalami perpecahan

sosial yang cukup buruk, masuknya kelompok-

kelompok yang punya pengaruh ke dalam parlemen

dapat menjadi kondisi yang hampir mutlak bagi

persatuan yang demokratis. Ketidakberhasilan dalam

memastikan bahwa baik minoritas maupun

mayoritas punya kepentingan dalam sistem politik

yang baru muncul ini dapat mempunyai pengaruh

yang merusak (lihat studi kasus Afrika Selatan, Afrika

Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik).

Sistem RP pada umumnya disukai karena alasan-

alasan berikut di bawah ini:

Benar-benar Mengkonversi Perolehan Suara

Menjadi Kursi Parlemen

Sistem RP menghindari hasil yang lebih tidak stabil

dan �tidak adil� yang dihasilkan oleh sistem pemilu

mayoritas-pluralitas. �Bonus kursi� untuk partai-parti

besar berkurang, dan partai-partai kecil dapat

memperoleh akses ke parlemen tanpa perlu

mendapatkan suara yang besar.

Sedikit Suara yang Terbuang

Pada saat batas representasi rendah, hampir semua

suara dalam sistem pemilu RP dipakai untuk

memilih kandidat yang menjadi pilihannya. Ini akan

meningkatkan persepsi pemilih bahwa ada gunanya

pergi ke TPS pada saat pemilu, karena mereka lebih

yakin bahwa suara mereka akan tetap berarti bagi

hasil pemilu, meskipun kecil.

Mempermudah Akses Partai-Partai Kecil untuk

Dapat menjadi Anggota Legislatif

Kecuali batas representasi tinggi, atau besarnya

distrik sangat kecil, setiap partai politik bahkan

dengan persentase suara yang begitu kecil dapat

memperoleh wakil di parlemen. Ini akan memenuhi

prinsip mengikutsertakan semua pihak (principle of

inclusion), yang sangat penting bagi stabilitas

masyarakat yang terpecah, dan memberikan

sumbangan bagi pengambilan keputusan di semua

negara demokratis.

Partai Politik Dapat Mengajukan Daftar Caleg dari

Latar Belakang yang Beragam

Keuntungan yang diperoleh dari sistem RP Daftar

adalah memaksimalkan suara nasional, tanpa

melihat dari mana suara tersebut berasal. Setiap

suara, bahkan dari daerah yang secara elektoral

lemah, dapat membantu memenuhi suatu kuota, dan

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 111: Sistem Pemilu

102

dengan demikian dapat membuahkan kursi.

Meskipun hal ini tidak boleh dibesar-besarkan,

pengalaman di Afrika Selatan menunjukkan bahwa

RP Daftar memberikan ruang politis yang

memungkinkan partai-partai politik memasang

daftar caleg yang multi-rasial, dan multi-etnik.

Mendorong Terpilihnya Wakil-Wakil

Kelompok Minoritas

Ketika perilaku pemilihan berkaitan erat dengan

pemisahan sosial dan kultural masyarakat,

sebagaimana sering terjadi, sistem pemilu RP Daftar

dapat membantu memastikan bahwa parlemen

mencakup perwakilan anggota baik dari kelompok

mayoritas maupun minoritas. Ini karena partai-partai

politik didorong oleh sistem tersebut untuk

menciptakan daftar caleg yang seimbang, yang

merangkul kepentingan berbagai macam pemilih.

Misalnya, Parlemen Afrika Selatan (National

Assembly) yang dipilih pada tahun 1994 limapuluh

dua persen anggotanya berkulit hitam (sebelas persen

Zulu, sedangkan lainnya dari Xhosa, Sotho, Venda,

Tswana, Pedi, Swazi, Shangaan, and Ndebele),

tigapuluh dua persen kulit putih (sepertiga Inggris,

dua pertiga Afrika), tujuh persen kulit berwarna dan

delapan persen India. Parlemen di Namibia hampir

sama ragamnya, dengan wakil-wakil dari Ovambo,

Damara, Herero, Nama, Baster, dan komunitas kulit

putih (mereka yang berbicara Bahasa Inggris dan

Jerman).

Lebih Memberikan Peluang bagi

Terpilihnya Wanita

Sistem pemilu RP ini lebih dirasakan bersahabat

kepada para wanita dibandingkan dengan jika yang

dipakai sistem mayoritas-pluralitas. Pada dasarnya,

partai-partai dapat menggunakan daftar untuk

mempromosikan majunya politisi wanita, dan

memberi ruang bagi para pemilih untuk memilih caleg

wanita tanpa harus mengesampingkan kepentingan

lainnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam

distrik wakil tunggal kebanyakan partai disarankan

untuk memasang caleg yang �dapat diterima secara

luas,� dan caleg semacam itu jarang sekali yang wanita.

Meskipun bukti yang menunjukkan bahwa hubungan

antara RP dan representasi wanita asalnya dari negara

Barat, ada bukti awal yang menunjukkan bahwa pola

serupa juga mulai diikuti di negara-negara demokrasi

baru, seperti di Afrika (Afrika Selatan, Mozambik),

dan di Amerika Tengah dan Selatan (Argentina, Brazil,

dan Costa Rica).

Membatasi Tumbuhnya �Kerajaan Daerah�

Karena sistem RP memberikan kesempatan kepada

partai-partai kecil dengan minoritas kursi, sistem ini

tidak akan mengarah kepada situasi dimana sebuah

partai akan mengambil semua kursi di sebuah

propinsi atau wilayah tertentu.

Mengarah kepada Pemerintahan

yang Lebih Efisien

Telah tercipta pandangan bahwa di negara-negara

demokrasi yang mapan, pemerintah yang terpilih

dengan sistem RP lebih efektif dibandingkan dengan

pemerintah yang terpilih lewat FPTP. Pengalaman

di negara-negara Barat menunjukkan bahwa sistem

parlementer RP mendapatkan angka yang lebih tinggi

dalam hal ketahanan pemerintah, partisipasi pemilih

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 112: Sistem Pemilu

103

dan kinerja ekonomi. Alasannya adalah bahwa

pergantian pemerintahan yang sering terjadi dalam

dua partai yang secara ideologis sama sekali berbeda,

seperti yang dapat terjadi dalam sistem FPTP,

membuat perencanaan ekonomi semakin sulit,

sementara pemerintah koalisi RP yang luas

membantu terbentuknya stabilitas dan konsistensi

dalam pembuatan keputusan, sehingga memungkin-

kan bagi pembangunan nasional.

Membuat Pembagian Kekuasaan

Lebih Nampak Jelas

Di banyak negara-negara demokrasi baru, pembagian

kekuasaan antara mayoritas jumlah besar penduduk

yang memegang kekuasaan politik dan minoritas kecil

yang memegang kekuasaan ekonomi merupakan

realitas yang tidak dapat terhindarkan. Ketika

mayoritas penduduk banyak mendominasi parlemen,

negosiasi antar blok kekuatan yang berbeda nampak

menjadi tidak jelas, kurang transparan, dan kurang

dapat dipertanggung-jawabkan. Sudah banyak

dibahas, khususnya di Afrika, bahwa sistem RP,

dengan memasukkan semua kepentingan ke dalam

parlemen, memberikan harapan yang lebih baik

bahwa pengambilan keputusan diambil dengan

pengawasan masyarakat, dan dengan memasukkan

lebih banyak segmen dalam masyarakat.

u RP Daftar - Segi NegatifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Kritik terbanyak untuk Proportional Representation

(RP) didasari atas dua tema besar:

� Kecenderungan sistem RP untuk menim-

bulkan pemerintahan koalisi dengan

kelemahan unsur-unsur di dalamnya.

� Kegagalan sistem RP untuk memberikan

hubungan geografis yang kuat antara seorang

anggota legislatif dan para pemilihnya.

Argumentasi yang sering disebut terhadap

penggunaan sistem RP adalah bahwa sistem ini

mengarah kepada:

� Pemerintahan koalisi, yang selanjutnya

mengarah kepada kebuntuan dalam bidang

legislatif dan akhirnya ketidakmampuan

untuk menjalankan kebijakan yang konsisten

pada saat ada kebutuhan yang benar-benar

mendesak. Ada resiko yang besar selama

masa-masa awal pasca transisi, ketika

pemerintah baru memikul harapan besar.

Pengambilan keputusan yang cepat dan

konsisten dapat terhalang oleh kabinet

koalisi dan pemerintahan persatuan nasional

yang terpecah atas fraksi-fraksi.

� Fragmentasi yang membuat sistem ke-

partaian yang tidak stabil. RP merefleksikan

dan mempermudah terjadinya fragmentasi

dalam sistem kepartaian. Mungkin sekali

pluralisme yang tajam seperti ini

memungkinkan partai minoritas kecil

mendikte partai yang lebih besar dalam

negosiasi koalisi. Dalam hal ini, keterbukaan

sistem RP untuk merangkul semua pihak

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 113: Sistem Pemilu

104

disebut sebagai kelemahan. Misalnya, di

Israel, partai-partai ekstrim agama seringkali

sangat menentukan dalam pembentukan

pemerintahan, sementara Italia sudah

mengalami limapuluh tahun pemerintahan

koalisi yang tidak stabil (lihat Reformasi

Pemilu di Israel).

� Sebuah platform untuk partai-partai

ekstrimis. Masih dalam kerangka yang sama,

sistem RP sering dikritik karena memberikan

tempat di parlemen bagi partai-partai ekstrim

kiri maupun kanan. Jatuhnya Jerman

Weimar dikatakan karena sistem pemilu

model RP memberikan basis bagi kelompok-

kelompok ekstrimis.

� Pemerintah koalisi yang mempunyai sedikit

pandangan yang sama, baik dalam hal

kebijakan maupun basis dukungan mereka.

�Koalisi kepentingan� ini sering dilawankan

dengan �koalisi komitmen� yang lebih kuat

yang dihasilkan oleh sistem yang lain

(misalnya Alternative Vote), dimana partai-

partai politik cenderung menjadi saling

bergantung pada suara para pendukung dari

partai-partai lain untuk terpilihnya mereka.

� Ketidakmampuan untuk melempar sebuah

partai keluar dari kekuasaan. Dengan sistem

RP, mungkin akan sangat sulit

menyingkirkan sebuah partai yang relatif

besar keluar dari kekuasaan. Dimana

pemerintahan berbentuk koalisi, ada

beberapa partai politik yang selalu ada di

pemerintahan, meskipun perolehan suara

mereka dalam pemilu kecil dari tahun ke

tahun. Di Belanda, Partai Christian

Democratic Appeal (CDA) tetap merupakan

partner utama dalam pemerintahan selama

tujuh belas tahun meskipun suaranya

mengecil dari tahun ke tahun (lihat

Belanda).

� Kelemahan hubungan anggota dewan

dengan konstituennya. Ketika RP Daftar

sederhana digunakan, dan kursi-kursi

dialokasikan pada sebuah daerah pemilihan

nasional yang sangat besar seperti misalnya

di Namibia, (lihat Namibia � Daftar RP

Nasional di Afrika Selatan) atau Israel (lihat

Reformasi Pemilu di Israel), sistem tersebut

sering dikritik karena menghancurkan

hubungan antara pemilih dan anggota

parlemen. Para pemilih tidak mendapat

kesempatan untuk dapat menentukan

identitas dari orang-orang yang akan

mewakili mereka, dan tidak ada yang dapat

diidentifikasikan sebagai orang yang

mewakili kota, distrik atau desa mereka;

mereka juga tidak mempunyai kemampuan

untuk menolak seseorang jika mereka

merasakan bahwa orang itu kinerjanya tidak

bagus. Faktor ini terutama sangat

dikeluhkan di negara-negara berkembang

yang sebagian besar daerahnya masih

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 114: Sistem Pemilu

105

berupa daerah pedesaan. Di daerah-daerah

seperti ini identifikasi pemilih dengan

tempat tinggalnya kadangkala jauh lebih

kuat daripada identifikasi mereka dengan

partai politik.

Masih dalam acuan yang sama, sistem RP daftar

tertutup nasional sering dikritik karena memberikan

kekuasaan yang terlalu besar kepada pimpinan pusat

partai dan dikuasai oleh para pimpinan senior partai.

Posisi caleg dalam daftar partai, dan maka dari itu

keberhasilannya menjadi caleg, tergantung kepada

hubungan dengan pimpinan partai. Dalam keadaaan

seperti ini, hubungan dengan para pemilihnya

menjadi nomor dua.

Selanjutnya, penggunaan sistem RP mengandaikan

adanya struktur partai yang dikenal, karena para

pemilih diharapkan memilih untuk partai daripada

individu atau kelompok individu. Ini akan membuat

sulitnya pelaksanaan Daftar RP, dan mungkin juga

kurang berarti, dalam masyarakat yang tidak mem-

punyai partai politik, atau partainya masih dalam

tahap embrio atau strukturnya sangat lemah (lihat

Yordania � Desain Sistem Pemilu di Dunia Arab).

Terakhir, sistem RP kadang-kala mempunyai

penghalang yang sulit untuk diatasi karena banyak

negara masih tidak terbiasa dengan sistem tersebut,

terutama di bekas jajahan Inggris atau Perancis, dan

karena variannya dipandang sangat kompleks

sehingga sukar dimengerti bagi pemilih dan sulit

dilaksanakan oleh para pelaksana pemilu.

Mixed Member Proportional (MMP)Oleh: Andrew Reynolds

Sistem Mixed Member Proportional (MMP), seperti

yang dipakai di Jerman (lihat Jerman: Sistem Mixed

Member Proportional yang Orisinil), Selandia Baru

(lihat Selandia Baru: Sebuah Negara Demokrasi

�Westminter� Berpindah ke Sistem RP), Bolivia (lihat

Bolivia: Reformasi Pemilu di Amerika Latin), Italia,

Mexico, Venezuela, dan Hongaria, mencoba

menggabungkan ciri-ciri positif baik dari sistem

pemilu model mayoritas dan representasi

proporsional. Sebagian anggota parlemen (kira-kira

setengah di Jerman, Bolivia, dan Venezuela) dipilih

berdasarkan metode mayoritas-pluralitas, biasanya

dengan sistem distrik wakil tunggal, sementara

sisanya dipilih berdasarkan RP Daftar. Sekilas sistem

ini mirip dengan sistem Paralel yang sudah dijelaskan

sebelumnya; namun perbedaan utamanya adalah

bahwa dalam MMP kursi yang berdasarkan RP Daftar

dapat mengkompensasi disproporsionalitas yang

dihasilkan berdasarkan sistem mayoritas-pluralitas.

Misalnya, apabila sebuah partai memenangkan

sepuluh persen suara nasional tetapi tidak

mendapatkan kursi berdasarkan sistem distrik,

kemudian partai tersebut akan diberi kursi yang

seimbang dari Daftar RP, sehingga perwakilan mereka

dalam parlemen menjadi sekitar sepuluh persen.

Hanya satu dari tujuh negara yang menggunakan

sistem MMP menggunakan sistem FPTP untuk

mengisi kursi distrik, sedangkan Hongaria memakai

sistem TRS yang sudah dijelaskan sebelumnya. Cara

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 115: Sistem Pemilu

106

yang dipakai di Italia agak sedikit kompleks, dimana

seperempat dari kursi parlemen dicadangkan untuk

mengkompensasi suara yang terbuang dalam distrik-

distrik wakil tunggal. Di Venezuela, ada 102 kursi

berdasarkan FPTP, 87 kursi berdasarkan Daftar RP

Nasional, dan 15 kursi ekstra untuk kompensasi RP.

Di Mexico, 200 kursi RP Daftar mengkompensasi

ketidakseimbangan yang biasanya sangat tinggi

karena adanya 300 kursi FPTP, tetapi ada aturan

tambahan bahwa tidak satu partaipun dapat

memenangkan lebih dari 315 kursi parlemen, dan

apabila mereka memenangkan kurang dari

enampuluh persen suara, kursi paling banyak yang

boleh diambil adalah 300.

u Mixed Member Proportional-Segi PositifOleh: Andrew Reynolds

Sistem Mixed Member Proportional (MMP) masih

tetap mempertahankan segi positif dari sistem

Proportional Representation (RP) dan juga menjamin

para pemilih terwakili secara geografis. Para pemilih

juga mendapatkan keuntungan karena dapat

memilih dua suara, satu suara untuk partai dan satu

suara untuk wakil mereka.

u Mixed Member Proportional-Segi NegatifOleh: Andrew Reynolds

Salah satu masalah dalam sistem Mixed Member

Proportional (MMP) adalah bahwa suara bagi caleg

kurang penting dibanding suara bagi partai dalam

pengalokasian kursi parlemen secara keseluruhan,

dan para pemilih tidak selalu mengerti masalah ini.

Lebih jauh lagi, dan sehubungan dengan kesulitan-

kesulitan yang terkait dengan sistem Paralel (lihat

Segi Negatif), MMP dapat menciptakan dua kelas

anggota parlemen.

Juga harus diingat bahwa dalam mengubah suara

menjadi kursi, MMP sama proporsionalnya seperti

RP Daftar yang murni, dan akibatnya sistem tersebut

juga mengandung kelebihan dan kekurangan sistem

RP (lihat Segi Negatif). Meskipun demikian, salah

satu sebab mengapa MMP kadang-kala tidak terlalu

disukai dibandingkan dengan sistem RP Daftar murni

karena MMP dapat menimbulkan apa yang disebut

sebagai anomali �pemberian suara strategis.� Di

Selandia Baru pada tahun 1996, di daerah pemilihan

Wellington Central, para ahli strategi dari Partai

Nasional meminta agar para pemilih tidak memilih

caleg dari Partai Nasional, karena menurut

perhitungan mereka dalam sistem MMP, pemilu saat

itu tidak akan memberi kursi tambahan kepada Partai

Nasional, tetapi hanya mengganti anggota parlemen

lain dari daftar partai. Maka dari itu jauh lebih baik

bagi Partai Nasional untuk melihat caleg dari partai

lain yang terpilih, asalkan caleg itu mempunyai

kesamaan ide dan ideologi dengan Partai Nasional,

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 116: Sistem Pemilu

107

daripada suara tersebut �dibuang percuma� karena

dukungan terhadap partainya sendiri.

Single Transferable Vote (STV)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Para ilmuwan politik telah sejak lama menganggap

bahwa Single Transferable Vote (STV) merupakan

salah satu sistem pemilu yang paling menarik.

Meskipun demikian, penggunaannya dalam

pemilihan anggota parlemen secara nasional hanya

terbatas pada beberapa kasus saja � Irlandia sejak

tahun 1921 (lihat Irlandia: Sistem STV Model

Irlandia), Malta sejak tahun 1947 (lihat Malta: STV

dengan Beberapa Modifikasi), dan sekali di Estonia

pada tahun 1990. Sistem ini juga dipakai di

Australia untuk pemilihan Parlemen Tasmania

(Tasmanian House of Assembly), Parlemen Daerah

Ibukota Australia (the Australian Capital Territory

Legislative Assembly), dan Senat Federal (lihat

Alternative Vote di Australia); dan pada pemilu lokal

Irlandia Utara.

Pada abad sembilan belas, Thomas Hare dari Inggris

dan Carl Andru dari Denmark secara sendiri-sendiri

menciptakan prinsip-prinsip dasar sistem tersebut. STV

menggunakan distrik wakil majemuk dimana pemilih

mengurutkan caleg berdasarkan kesukaan (preferensi)

mereka dalam kertas suara sama seperti yang dilakukan

dalam Alternative Vote (lihat Alternative Vote). Pada

kebanyakan kasus, penomoran urut seperti itu tidak

wajib dilakukan, dan para pemilih tidak diminta untuk

mengurutkan semua caleg; kalau mau mereka dapat

menandai satu caleg saja. Sesudah jumlah total suara

preferensi pertama dihitung, penghitungan kemudian

beralih untuk menghitung �kuota� suara yang

diperlukan untuk pemilihan seorang caleg. Kuota

dihitung berdasarkan rumus yang sederhana:

Jumlah suara

Kuota = ���������������� + 1

Jumlah kursi + 1

Langkah pertama adalah menghitung jumlah total

preferensi pertama bagi masing-masing caleg.

Setiap caleg yang memperoleh suara preferensi

pertama melebihi kuota langsung terpilih. Jika tidak

ada satu calegpun yang mencapai kuota, caleg yang

memperoleh suara preferensi pertama terendah tadi

dicoret dari daftar, dan suara preferensi keduanya

dibagikan lagi kepada para caleg yang tertinggal.

Pada saat yang sama, jumlah kelebihan suara caleg

terpilih (yakni suara diatas kuota) dibagikan lagi

menurut preferensi kedua pada kertas suara. Agar

adil, semua kertas suara caleg dibagi lagi tetapi

masing-masing menurut persentase dari satu suara,

sehingga jumlah total suara yang dibagikan sama

dengan sisa surplus suara (kecuali di Republik

Irlandia, yang menggunakan sampel berbobot).

Misalnya, jika seorang caleg memperoleh 100 suara,

dan surplus suaranya sepuluh suara, maka setiap

kertas suara akan dibagikan dengan nilai 1/10 suara.

Proses ini diteruskan sampai semua kursi untuk

sebuah daerah pemilihan terisi.

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 117: Sistem Pemilu

108

u Single Transferable Vote-Segi PositifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Sebagai sebuah mekanisme untuk memilih caleg,

Single Transferable Vote (STV) mungkin merupakan

sistem yang paling canggih diantara semua sistem

pemilihan umum, karena sistem ini memberikan

kesempatan bagi para pemilih untuk memilih antar

partai dan caleg dalam partai-partai tersebut. Hasil

akhir juga menunjukkan adanya tingkat

proporsionalitas yang adil, dan fakta bahwa dalam

contoh-contoh yang aktual dalam STV distrik wakil

majemuk-nya relatif kecil. Ini berarti bahwa

hubungan geografis yang penting antara pemilih dan

caleg tetap dapat dipertahankan.

Selanjutnya, para pemilih dapat mempengaruhi

komposisi koalisi pasca pemilu, seperti yang terjadi

di Irlandia, dan sistem tersebut memberikan insentif

bagi akomodasi antar partai lewat pertukaran

preferensi antara pihak-pihak yang berkepentingan.

STV juga memberikan kesempatan yang lebih baik

bagi pemilihan caleg independen daripada RP Daftar,

karena para pemilih memilih caleg, bukan memilih

partai. (meskipun opsi daftar partai dapat

ditambahkan pada pemilihan model STV; ini

dilaksanakan untuk Senat Australia � lihat

Alternative Vote di Australia).

u Single Transferable Vote-Segi NegatifOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Single Transferable Vote (STV) sering dikritik karena

pemilihan dengan preferensi kurang dikenal oleh

kebanyakan masyarakat, dan sistem ini minimal

memerlukan suatu tingkat baca tulis dan pengertian

angka. Cara penghitungan suara dalam sistem STV

juga sangat kompleks, yang seringkali juga dianggap

sebagai kekurangan.

STV juga membawa ciri-ciri kekurangan semua

parlemen yang dipilih dengan model RP, seperti

dalam keadaan tertentu meningkatkan kekuatan

partai-partai kecil. Juga, pada saat-saat tertentu,

tidak seperti RP Daftar yang langsung, sistem ini

dapat menyebabkan tekanan pada partai-partai

politik sehingga mereka dapat terpecah secara

internal, karena pada saat yang bersamaan

anggota-anggota dari partai yang sama saling

berkompetisi secara sengit antara satu sama lain,

selain dengan caleg partai oposisi untuk

memperoleh suara.

Meskipun demikian, kritik-kritik semacam ini hanya

terbukti mendatangkan sedikit masalah dalam

praktek. Pemilihan model STV di Irlandia (lihat

Irlandia: Sistem STV Model Irlandia), Malta (lihat

Malta: STV dengan Beberapa Modifikasi) dan

Tasmania (lihat Alternative Vote di Australia) semua

cenderung menghasilkan pemerintah yang relatif

stabil dan legitimate, yang terdiri dari satu atau dua

partai besar.

SISTEM REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 118: Sistem Pemilu

109

Akibat dari sistem representasi proporsional yang

berbeda-beda untuk memilih perwakilan parlemen

dan pemerintah tidak semata-mata karena pengaruh

�jenis� sistem RP yang digunakan tetapi juga

sejumlah masalah-masalah teknis lain yang

berhubungan dengan perancangan sistem pemilu

model RP, lihat Sistem RP. Bagian Batas Representasi

mendiskusikan secara rinci pengaruh batas

representasi (threshold) yang penting bagi perwakilan

parlemen dari partai-partai politik. Bagian

Apparentement membicarakan mengenai

kesempatan yang diperoleh dari partai-partai politik

untuk bergabung bersama sehingga suara mereka

dapat disatukan untuk dapat memperoleh kursi.

Bagian Daftar Terbuka, Tertutup, dan Bebas

membahas kemungkinan pemilih untuk memilih

antara caleg dan partai politik pada kertas suara

model RP � apakah daftar tersebut �terbuka, tertutup,

atau bebas.� Sementara Ukuran Distrik mengulas

variabel yang penting atas �besarnya wilayah,� dan

berapa jumlah caleg harus dipilih dari setiap distrik.

Batas Representasi (Thresholds)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi

perwakilan: artinya, tingkat dukungan minimal yang

diperlukan sebuah partai untuk memperoleh

perwakilan, apakah diterapkan secara legal (formal),

atau semata-mata de facto secara matematis (efektif).

Dalam beberapa hal, batas representasi ini

merupakan produk sampingan dari ciri sistem

pemilu yang lain, seperti jumlah kursi yang harus

diisi dan jumlah partai atau caleg yang bertarung

dalam pemilu, dan dengan demikian disebut batas

representasi yang �efektif.� Meskipun demikian,

pada banyak hal lagi, batas representasi ini

dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang kemudian

memunculkan sistem RP, dan dengan demikian

disebut �formal.�

Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya,

diberlakukan batas representasi 5%: partai-partai

politik yang tidak mencapai batas representasi lima

persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari

RP Daftar, lihat Jerman: Sistem Mixed Member

Proportional yang Orisinil, lihat Selandia Baru:

Sebuah Negara Demokrasi �Westminster�

Berpindah ke Sistem RP, dan lihat Rusia � Sistem

Paralel yang Terus Berkembang. Ketentuan ini

berasal dari Jerman dengan maksud untuk

membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis, dan

dimaksudkan untuk menghentikan partai-partai

kecil sehingga mereka tidak mendapatkan

perwakilan. Meskipun demikian, baik di Jerman

maupun di Selandia Baru ada jalan �pintu

belakang� bagi sebuah partai sehingga mereka dapat

memperoleh kursi dari daftar tersebut. Di Selandia

Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya

satu kursi konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk

dapat lepas dari persyaratan batas representasi. Di

Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan �pintu

belakang,� dan hampir setengah dari suara partai

berdasarkan daftar partai terbuang.

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGANREPRESENTASI PROPORSIONAL Oleh: Andrew Reynolds

Page 119: Sistem Pemilu

110

Di tempat lain, batas representasi resmi berkisar dari

0,67 persen di Belanda dan 10 persen di Seychelles,

lihat Belanda. Partai-partai yang mendapatkan

kurang dari persentase ini dikeluarkan dari

penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya

batas representasi formal cenderung meningkatkan

tingkat disproporsionalitas, karena suara yang

sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi

terbuang. Di Polandia pada tahun 1993, bahkan

dengan batas representasi yang relatif kecil yaitu

sebesar lima persen, lebih dari 34% suara diberikan

untuk partai politik, yang ternyata tidak dapat

melampaui batas representasi tersebut, lihat

Polandia: Antara Fragmentasi and Polarisasi. Tetapi

pada kebanyakan kasus lain, batas representasi

mempunyai pengaruh yang kecil saja terhadap hasil

secara keseluruhan, maka dari itu, beberapa ahli

pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali

menambah rumitnya aturan pemilu, yang

seharusnya dihindari.

ApparentementOleh: Ben Reilly

Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk

mendiskriminasikan partai-partai kecil � dan

ternyata dalam beberapa kasus memang inilah

maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam

banyak kasus diskriminasi terhadap partai-partai

kecil yang disengaja sebenarnya tidak diinginkan,

terutama dalam kasus-kasus dimana beberapa partai

kecil dengan dasar pendukung yang hampir sama

�memecah� suara mereka sendiri dan pada akhirnya

terjatuh dibawah batas representasi. Padahal

seandainya mereka menyatukan suara mereka,

mereka pasti dapat memperoleh kursi di parlemen.

Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara

yang menggunakan sistem RP Daftar juga

memperbolehkan partai-partai kecil membuat

kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan

demikian membentuk kartel atau apparentement

untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti

bahwa partai tersebut tetap merupakan partai-partai

tersendiri, dan dicantumkan sendiri-sendiri dalam

kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung

seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel.

Maksudnya, meningkatkan kemungkinan bahwa

suara mereka yang dijadikan satu secara keseluruhan

akan berada diatas batas representasi, dan dengan

demikian mereka mungkin dapat memperoleh

perwakilan tambahan. Cara semacam ini merupakan

ciri sejumlah sistem RP Daftar di Eropa daratan, Chile

sebelum tahun 1973, Brazil sesudah tahun 1979, dan

Uruguay, Argentina, lihat Argentina, dan Israel, lihat

Reformasi Pemilu di Israel.

Daftar Terbuka, Tertutup dan BebasOleh: Ben Reilly

Ada sejumlah variasi penting dalam cara pemu-

ngutan suara diantara berbagai macam sistem RP

Daftar. Salah satu variasi yang penting adalah apakah

daftar tersebut terbuka, tertutup atau bebas dalam

arti kesempatan bagi pemilih untuk memilih caleg,

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 120: Sistem Pemilu

111

selain partai, yang disukai.

Kebanyakan sistem RP Daftar di dunia adalah tertutup

artinya bahwa urutan caleg yang dipilih berdasarkan

daftar tersebut ditentukan oleh partai sendiri, dan

pemilih tidak dapat mengungkapkan suatu preferensi

terhadap caleg mana yang disukainya. Sistem Daftar

RP yang dibuat untuk pemilu demokratis pertama kali

di Afrika Selatan pada tahun 1994 merupakan contoh

yang baik bagi sebuah daftar tertutup, lihat Afrika

Selatan: Sistem Pemilu dan Manajemen Konflik. Kertas

suara berisi nama dan lambang partai, dan sebuah foto

dari pimpinan partai, tetapi tidak dicantumkan nama

para caleg. Para pemilih hanya memilih partai yang

mereka sukai; caleg terpilih telah ditentukan

sebelumnya oleh partai-partai sendiri. Ini berarti bahwa

partai politik dapat memasukkan beberapa caleg

(mungkin anggota kelompok etnis minoritas dan

kelompok bahasa, atau wanita) yang mungkin, kalau

tidak dengan cara demikian, akan sulit terpilih.

Salah satu aspek negatif dari sistem daftar tertutup

adalah bahwa pemilih tidak dapat menentukan

pilihan siapa wakil dari partai mereka. Daftar tertu-

tup juga sangat tidak responsif terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi. Dalam pemilu pra-unifikasi

di Jerman Timur pada tahun 1990, caleg nomor

unggulan dari sebuah partai diketahui sebagai seorang

informan polisi hanya empat hari sebelum pemilu,

dan kemudian langsung dipecat dari partai; tetapi

karena daftarnya tertutup, para pemilih tidak

mempunyai pilihan lain kecuali memilih dia jika

mereka ingin mendukung bekas partai informan

tersebut.

Dengan demikian banyak sistem RP Daftar yang

digunakan di Eropa daratan memakai daftar terbuka,

dimana pemilih dapat memilih bukan saja partai

yang mereka sukai, tetapi juga caleg dari partai

tersebut yang mereka sukai. Dalam kebanyakan

sistem, pemberian suara bagi partai dan sekaligus

caleg tidak mutlak sifatnya, tetapi karena kebanyakan

pemilih langsung memilih partai ketimbang caleg,

opsi untuk memilih caleg di kertas suara seringkali

mempunyai efek yang sedikit saja. Tetapi dalam

banyak hal (Finlandia salah satu contohnya � lihat

Finlandia: Pemilihan Caleg dan Proporsionalitas

Partai), pilihan ini begitu pentingnya, karena pemilih

harus memilih caleg, dan urutan caleg akan

mendapatkan kursi tergantung pada jumlah suara

yang mereka peroleh masing-masing. Meskipun hal

ini memberikan kebebasan yang lebih besar kepada

para pemilih, model seperti ini juga mempunyai sisi

yang kurang menguntungkan. Karena para caleg dari

partai yang sama saling bertarung untuk memperoleh

suara, jenis daftar terbuka ini dapat mengarah kepada

konflik dan fragmentasi dalam partai. Ini juga berarti

bahwa keuntungan dimana partai dapat menyusun

daftar yang mencantumkan caleg yang beragam

menjadi hilang. Dalam pemilu yang menggunakan

daftar terbuka di Sri Lanka, misalnya, usaha partai-

partai besar Sinhala untuk memasukkan caleg dari

minoritas Tamil dalam posisi yang besar

kemungkinan terpilihnya dalam daftar partai

menjadi tidak berarti karena banyak pemilih secara

sengaja memberikan suara untuk caleg Sinhala yang

berada di posisi yang lebih bawah, lihat Sri Lanka:

Perubahan untuk Mengakomodasi Perbedaan.

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 121: Sistem Pemilu

112

Beberapa alat lain digunakan dalam sejumlah kecil

yurisdiksi agar sistem daftar terbuka dapat lebih

fleksibel. Para pemilih di Luksemburg dan Swiss

dapat memilih sebanyak kursi yang disediakan. Dan

mereka dapat juga memberikan pilihan semau

mereka kepada para caleg baik dalam partai yang

sama maupun lintas partai, lihat Swiss. Kesempatan

untuk memilih lebih dari seorang caleg dari daftar

partai yang berlainan (dikenal sebagai Panachage),

atau memilih lebih dari satu suara untuk seorang

caleg yang sangat mereka sukai (dikenal dengan

istilah kumulasi), keduanya memberikan kontrol

tambahan kepada para pemilih dan di sini

dikategorikan sebagai sistem daftar bebas.

Ukuran DistrikOleh: Ben Reilly

Para spesialis pemilu pada umumnya setuju bahwa

faktor yang paling penting dari keampuhan sistem

pemilu untuk mengubah perolehan suara menjadi

kursi yang dimenangkan secara proporsional adalah

besarnya distrik. Besarnya distrik adalah jumlah

anggota yang dipilih dalam setiap distrik pemilu.

Pada sistem wakil tunggal seperti FPTP, Alternative

Vote, atau Two Round System (TRS), ukuran

distriknya adalah satu. Para pemilih memilih satu

wakil saja. Sebaliknya, dalam sistem wakil majemuk,

per definisi adalah bahwa dalam setiap distrik ada

lebih dari satu wakil. Dalam setiap sistem

proporsional, jumlah anggota yang dipilih dalam

setiap distrik menentukan, sampai pada batas

tertentu, akan seberapa proporsional hasil-hasil

pemilu tersebut.

Sistem-sistem seperti ini, yang akan memperoleh

tingkat proporsionalitas yang tertinggi, akan

menggunakan distrik yang sangat besar, karena

distrik seperti ini akan dapat menjamin bahwa

bahkan partai-partai yang sangat kecilpun akan

dapat terwakili dalam parlemen. Misalnya, sebuah

distrik dimana hanya ada tiga caleg yang akan

dipilih berarti bahwa sebuah partai harus

memperoleh 25% +1 suara agar dapat

memenangkan suara. Sebuah partai, yang hanya

mendapat dukungan sepuluh persen pemilih tidak

akan dapat memperoleh kursi, dan suara dari para

pendukung partai tersebut dapat disebut terbuang.

Sebaliknya, di sebuah distrik dengan sembilan

kursi, sepuluh persen ditambah satu akan memberi

jaminan bahwa partai tersebut setidak-tidaknya

memperoleh satu kursi. Ini tidak saja berarti bahwa

ada proporsionalitas, tetapi juga lebih ada

kemungkinan bagi partai kecil untuk dapat

memperoleh kursi. Masalahnya adalah semakin

besar sebuah distrik � baik dari segi jumlah kursi

dan seringkali, sebagai konsekuensinya, dari segi

luas wilayah secara geografis, hubungan antara

caleg yang terpilih dan konstituennya menjadi lebih

lemah. Keadaan seperti ini akan membawa

konsekuensi dalam sebuah masyarakat dimana

faktor lokal memainkan peran yang kuat dalam

politik, atau dimana pemilih mengharapkan

wakilnya dapat mempertahankan hubungan yang

kuat dengan para pemilihnya dan bertindak sebagai

�duta� mereka dalam lembaga parlemen.

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 122: Sistem Pemilu

113

Karena hal ini, sudah ada pembicaraan menarik

tentang ukuran sebuah distrik yang terbaik.

Kebanyakan ahli berpendapat, sebagai suatu prinsip

umum, bahwa ukuran distrik yang baik adalah antara

tiga sampai tujuh kursi per distrik. Ada juga

kesepakatan umum bahwa angka ganjil seperti tiga,

lima dan tujuh lebih baik dari angka genap, terutama

dalam sistem dua partai. Tetapi hal ini merupakan

petunjuk kasar saja. Ada banyak situasi yang

meminta semakin banyak jumlah caleg semakin baik

dan perlu untuk menjamin perwakilan dan

proporsionalitas yang memuaskan. Di banyak negara,

distrik pemilu mengikuti pembagian wilayah

administrasi yang sudah ada, yang berarti akan ada

banyak variasi mengenai ukurannya. Jumlah pada

ujung yang tertinggi dan yang terendah dari

spektrum tersebut cenderung mengakibatkan hasil

yang ekstrim. Dari satu sisi spektrum tersebut,

seluruh negara dapat membentuk sebuah distrik

pemilihan saja. Ini artinya kuota untuk pemilu sangat

rendah dan bahkan partai-partai yang sangat kecil

dapat memperoleh kursi. Misalnya di negeri Belanda,

seluruh negara membentuk satu distrik dengan 150

anggota. Ini berarti bahwa hasil pemilu akan sangat

proporsional, tetapi juga berarti bahwa partai yang

perolehan suaranya sangat kecilpun, bahkan jika

kurang dari satu persen, dapat memperoleh

perwakilan. Akibat lainnya hubungan antara caleg

terpilih dan wilayah geografisnya sangat lemah, lihat

Belanda.

Di ujung lain dari spektrum tersebut, sistem RP

dapat dipakai dalam situasi-situasi dimana ukuran

distriknya hanya dua. Misalnya, sebuah sistem

Daftar RP dipakai untuk distrik-distrik dengan dua

anggota di Chile, seperti yang ditunjukkan dalam

studi kasus di Chile. Ini akan mengakibatkan hasil

yang sangat disproporsional, meskipun rumus

proporsional dipakai, karena hanya dua partai

yang dapat memperoleh perwakilan di setiap

distrik, lihat Chile: Proporsionalitas atau Sistem

Mayoritas? Keadaan seperti ini akan mengurangi

kelebihan RP dari segi representasi (perwakilan)

dan legitimasi.

Kedua contoh ekstrim diatas memberikan gambaran

betapa pentingnya ukuran distrik dalam setiap sistem

proporsional. Nampaknya ini merupakan sebuah

pilihan yang paling penting bagi sebuah lembaga

ketika merancang sebuah sistem pemilu model RP,

tetapi juga penting bagi sejumlah sistem non-RP

lainnya. Misalnya, Single Non-Transferable Vote

membuahkan hasil yang semi-proporsional

meskipun sebenarnya rumus pemilu proporsional

tidak dipakai dalam sistem ini, lihat SNTV. Demikian

juga, Single Transferable Vote ketika dipakai dalam

distrik wakil tunggal menjadi Alternative Vote. Sistem

ini akan tetap punya kelebihan STV tetapi kehilangan

proporsionalitas, lihat Single Transferable Vote dan

lihat Alternative Vote. Dalam sistem mayoritarian,

ketika ukuran distrik bertambah, proporsionalitas

menurun. Pendeknya, pada saat menyusun sebuah

sistem pemilu, ukuran distrik dalam banyak hal

merupakan faktor utama dalam menentukan

bagaimana sistem tersebut dalam prakteknya akan

berjalan, seberapa jauh hubungan antara pemilih dan

caleg terpilih dan proporsionalitas hasil pemilu

secara keseluruhan.

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN REPRESENTASI PROPORSIONAL

Page 123: Sistem Pemilu

114

Oleh: Andrew Reynolds

Seperti yang ditunjukkan Tabel Satu, sedikit lebih

dari setengah (114, atau 54 persen dari total) negara-

negara yang merdeka dan semi-otonom di dunia

yang melakukan pemilihan parlemen langsung

menggunakan sistem pluralitas-mayoritas (plurality-

majority system). Sedangkan 75 negara (35 persen)

menggunakan sistem representasi proporsional (RP),

dan sisanya 22 (sepuluh persen) menggunakan

sistem semi-RP, semuanya kecuali dua dari 22 yang

disebutkan di atas menggunakan sistem Paralel.

Jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk,

dominasi sistem pluralitas-mayoritas nampak lebih

jelas, dengan Parlemen yang dipilih berdasarkan

model First Past the Post (FPTP), Block, Alternative

Vote (VT) atau Two-Round System (TRS) mewakili

Tabel Satu: Dunia Sistem Pemilu (Mei 1997)

Jumlah % Total % Negara % Total % Negara- % Negara- %negara/ Populasi Demo- Populasi negara/ negara/Wilayah (dalam krasi (dalam Wilayah- Wilayah-

jutaan) yang jutaan) wilayah wilayahsudah �Bebas� �Tidakmapan Bebas�

FPTP 70 3 1.850 45 11 3 1.273 71 35 3 17 3

3 0 6 7

BV 10 5 139 3 1 3 1 0,1 3 3 3 6

AV 2 1 18 0,4 1 3 18 1 2 2 0 -

TRS 31 1 427 10 1 3 58 3 7 7 11 2

5 4

Paralel 20 9 443 11 1 3 126 7 5 5 5 1

1

SNTV 2 1 5 0,1 0 - - - 1 1 0 -

RP Daftar 67 3 968 23 15 4 158 9 39 40 10 2

2 2 2

MMP 7 3 265 6 4 1 162 9 4 4 0 -

1

STV 2 1 4 0,1 2 6 4 0,2 2 2 0 -

211 4.119 36 1.800 98 46

NB: 36 negara demokrasi yang terbentuk seperti yang dikategorikan oleh Arend Lijphart dalam �Democracies�, edisi kedua (New

Haven, Yale University Press, 1998). Lijphart memasukkan semua negara yang saat ini dianggap demokratis, selama 20 tahun terakhir

ini, yang memiliki populasi sedikitnya seperempat juta penduduk. Klasifikasi �Bebas� dan �Tidak Bebas� dari �Freedom in the World

1995-1996� (New York, Freedom House, 1997).

DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA

Page 124: Sistem Pemilu

115

penduduk yang secara keseluruhan berjumlah 2,44

milyar jiwa (59 persen dari total). Sistem pemilu

representasi proporsional digunakan di negara-

negara yang jumlah penduduknya mencapai 1,2

milyar jiwa, sedangkan sistem semi-RP dipakai untuk

mewakili penduduk berjumlah sedikit kurang dari

setengah milyar jiwa. Dalam penelitian kami, tujuh

negara yang tidak mempunyai parlemen yang dipilih

secara langsung memiliki penduduk berjumlah 1,2

milyar jiwa. Namun demikian Cina sendiri mewakili

99 persen dari jumlah tersebut.

Secara individual, First Past the Post merupakan

sistem yang paling populer, yang meliputi 68 dari

211 negara dan wilayah atau mencakup 32 persen

dari total. Yang kedua adalah 66 yang menggunakan

Sistem RP Daftar (31 persen). Lihat First Past the Post

(FPTP) dan RP Daftar. Tetapi jika dihitung dari

berdasarkan jumlah penduduknya, sistem FPTP

digunakan oleh negara-negara yang penduduknya

berjumlah dua kali dari negara yang menggunakan

RP Daftar. Jumlah 1,8 milyar dalam Tabel 1 tersebut

sebenarnya bagian paling besarnya berasal dari India

(913 juta jiwa) dan Amerika Serikat (263 juta jiwa),

tetapi FPTP juga digunakan oleh negara-negara kecil

di pulau-pulau Karibia dan Oceania. Negara

berpenduduk paling besar yang menggunakan sistem

RP Daftar adalah Indonesia dengan jumlah

penduduk 191 juta jiwa. Tetapi sebenarnya sistem

ini digunakan oleh negara-negara Eropa Barat,

Amerika Latin, dan Afrika yang agak besar. Sistem

terbesar berikutnya adalah Two-Round System (15

persen) dan Paralel System (9 persen). Lihat Two-

Round System dan Sistem Paralel. Kalau dihitung

sistem TRS dipakai oleh lebih banyak negara,

sedangkan sistem Paralel dipakai oleh lebih banyak

orang. Ini dikarenakan Rusia (berpenduduk 148 juta

jiwa) dan Jepang (berpenduduk 125 juta jiwa)

menggunakan sistem Paralel klasik.

Block Vote digunakan di 13 negara dan wilayah, yang

meliputi 6 persen dari negara-negara, tetapi

penduduknya yang berjumlah 143 juta hanya

mewakili 3 persen dari total, lihat Block Vote.

Sebaliknya sistem Mixed Member Proportional hanya

digunakan di tujuh negara, tetapi total penduduk

265 juta secara keseluruhan di Jerman, Venezuela,

Selandia Baru, Mexico, Italia, Bolivia, dan Hongaria

mewakili enam persen dari jumlah total. Lihat Mixed

Member Proportional. Sistem-sistem Single

Transferable Vote lihat Single Transferable Vote,

Alternative Vote, lihat Alternative Vote, dan Single

Non-Transferable Vote, lihat SNTV, adalah model

pemilihan umum yang paling jarang dipakai saat ini,

dengan hanya dua contoh untuk masing-masing.

Contoh penggunaan AV di Australia dan Nauru

berarti hanya 18 juta penduduk menggunakan sistem

AV, sedangkan sistem SNTV-nya Yordania dan

Vanuatu hanya mewakili lima juta penduduk,

terakhir sistem STV dipakai di Malta dan Irlandia

yang mewakili empat juta orang.

Jika kita melihat sistem pemilu di �negara demokrasi

yang sudah mapan� (yaitu negara-negara dengan

penduduk lebih dari 250 ribu orang yang sudah

mengadakan pemilu secara terus-menerus selama

lebih dari 20 tahun), ternyata kami menemukan

bahwa sistem RP lebih banyak dipakai dengan

DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA

Page 125: Sistem Pemilu

116

melibatkan 21 (59 persen) dari 36 negara. Namun

demikian ukuran India dan Amerika Serikat masih

berarti bahwa 71 persen penduduk yang tinggal di

36 negara ini memakai sistem FPTP. Sistem MMP

dengan 11 persen lebih terwakili diantara negara-

negara demokrasi, dan ternyata dipakai oleh empat

juta orang lebih banyak dibandingkan dengan sistem

Representasi Proporsional Daftar. Karena Jepang

berpindah ke sistem Paralel, maka tidak ada lagi

contoh penggunaan SNTV di negara yang

demokrasinya sudah mapan. Sebaliknya, kedua

contoh negara yang memakai sistem STV, Irlandia

dan Malta, termasuk dalam kategori negara-negara

demokrasi mapan.

Kalau kita melihat dari perspektif yang lebih luas,

dengan memperhatikan gelombang demokratisasi

yang terjadi antara tahun 1980 dan 1990-an, kami

menemukan bahwa 98 negara-negara merdeka dan

wilayah terkait dikategorikan dalam peringkat

�bebas,� berdasarkan hak-hak politik dan kebebasan

sipil, sebagaimana termuat dalam buku �1995-96

Tabel 2: Pemakaian Sistem Berdasarkan Wilayah

Afrika Amerika Asia CIS & Eropa Timur Oceania TotalPasca Barat Tengah

Komunis

FPTP 19 19 10 1 4 3 14 70

(35%) (40%) (45%) (4%) (14%) (30%) (64%)

BV 1 2 5 0 0 2 0 10

(2%) (4%) (23%) (20%)

AV 0 0 0 0 0 0 2 2

(9%)

TRS 10 6 1 8 2 2 2 31

(18%) (12%) (5%) (30%) (7%) (20%) (9%)

SNTV 0 0 0 0 0 1 1 2

(10%) (4%)

Paralel 7 2 3 7 1 0 0 20

(13%) (4%) (15%) (26%) (3%)

Daftar RP 17 16 3 10 17 2 2 67

(31%) (33%) (15%) (37%) (61%) (20%) (9%)

MMP 0 3 0 1 2 0 1 7

(6%) (4%) (7%) (4%)

STV 0 0 0 0 2 0 0 2

(7%)

Total 54 48 22 27 28 10 22 211

DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA

Page 126: Sistem Pemilu

117

Freedom House Freedom in the World.� Diantara

negara-negara ini, distribusi sistem pemilu

berkaitan erat dengan pola keseluruhan. Secara

proporsional ada sedikit lebih banyak sistem FPTP

dan Sistem Representasi Proporsional Daftar dan

sekitar setengah jumlah sistem TRS dan Paralel.

Tetapi sulit mengatakan apakah ada satu sistem

pemilu yang lebih populer dari yang lain di dunia

�bebas� dibandingkan dengan dunia secara

keseluruhan. Namun demikian, diantara 46 negara

yang dikategorikan �tidak bebas,� jumlah sistem

Two-Round dan BV sangat kecil, dan lebih sedikit

lagi sistem Representasi Proporsional. Secara

keseluruhan, sistem pluralitas-mayoritas

mencakup 70% dari sistem pemilu di dunia �tidak

bebas.�

Kalau dilihat berdasarkan benua, distribusi sistem

pemilu lebih bercampur. Seperti yang ditunjukkan

Tabel 2, sistem FPTP mencapai sekitar 30-45 persen

dari keseluruhan di Afrika, Asia, Timur Tengah, dan

negara-negara di Amerika (kebanyakan negara-

negara di Amerika Utara dan Karibia). Sistem ini agak

kurang umum di negara-negara Eropa dan bekas Uni

Soviet, tetapi lebih dominan di negara-negara

kepulauan dan wilayah-wilayah di Oceania.

Demikian juga, Sistem RP Daftar juga terpencar di

Afrika, Negara-negara Amerika (Amerika Tengah dan

Selatan), dan negara-negara Eropa Timur pasca

komunis. Meskipun demikian, sistem Representasi

Proporsional Daftar lebih dominan di Eropa Barat

(61 persen), dan ketiga sistem Representasi

Proporsional secara bersama-sama (Representasi

Proporsional Daftar, MMP dan STV) mencakup tiga

perempat dari semua sistem pemilu di negara-negara

Eropa Barat. Hampir sepertiga dari Commonwealth

of Independent States (CIS) dan negara-negara Eropa

Timur menggunakan sistem TRS model Perancis,

sedangkan lebih dari sepertiga negara yang

menggunakan BV terdapat di Asia.

DISTRIBUSI SISTEM PEMILU DI DUNIA

Page 127: Sistem Pemilu

118

Mayoritas dokumen yang ada dalam website ini

memusatkan diri pada ketentuan-ketentuan sistem

pemilu untuk pemilihan parlemen/legislatif. Tetapi,

desain sistem pemilu perlu dibuat sedemikian rupa

agar dapat memenuhi kebutuhan pemilihan lembaga

lain. Tiga dokumen berikut ini dengan singkat

menerangkan kebutuhan dan pilihan sistem pemilu

untuk:

� Pemilihan Presiden (Pemilihan Presiden)

� Pemilihan Majelis Tinggi (Kamar Kedua)

(Pemilihan Majelis Tinggi)

� Pemilihan Pemerintah Lokal atau Regional

(Pemilihan Pemerintah Lokal atau Regional)

Pemilihan PresidenOleh: Andrew Reynolds

Ilmu dalam perancangan sistem pemilihan presiden

agak sedikit berbeda dari mekanisme perancangan

sistem pemilihan anggota legislatif. Lembaga

Kepresidenan merupakan �kursi� tunggal, dan

dengan demikian proporsionalitas tidak dapat

diperoleh antara mayoritas dan minoritas. Jabatan

eksekutif juga melahirkan kekuasaan dan

tanggungjawab yang berbeda, dan dengan demikian

para perancang mungkin harus memprioritaskan

kriteria Prinsip Perancangan (lihat Prinsip

Perancangan) dengan cara yang berbeda.

Presiden dapat dipilih dengan menggunakan salah

satu dari ketiga sistem dibawah ini:

� First Past the Post (lihat First Past the Post )

� Two Round System (lihat Two Round System)

� Preferential Vote (lihat Preferential Voting)

Syarat penyebaran juga dapat dipakai dalam setiap

sistem di atas (lihat Persyaratan Penyebaran).

u First Past The PostOleh: Andrew Reynolds

Cara yang paling sederhana untuk memilih seorang

presiden adalah memberikan kursi kepresidenan

kepada calon yang memenangkan suara terbanyak.

Ini terjadi dalam pemilihan presiden di Meksiko,

Kenya, Filipina, Zambia, Korea Selatan, Malawi,

Islandia, dan Zimbabwe. Jelas sekali bahwa sistem

seperti ini sederhana, murah dan efisien. Meskipun

demikian, dalam pertarungan calon yang sangat

kompetitif, ini dapat membuka kemungkinan bahwa

seorang presiden terpilih dengan begitu sedikit suara,

dan sebagian besar pemilih sebenarnya tidak

memilihnya. Ini yang terjadi di Venezuela pada

tahun 1993, pada saat Rafael Caldera memenangkan

kursi kepresidenan dengan 30.5% dari suara rakyat.

Demikian juga, Presiden Filipina, Fidel Ramos,

terpilih dari tujuh calon dengan hanya mengantongi

25% suara rakyat. Pemilihan presiden model FPTP

juga dapat memperburuk masalah dalam politik

�pemenang-mengambil-semuanya� (winner-take-all)

dalam masyarakat yang terpecah-belah. Di Angola,

pada tahun 1992, pimpinan UNITA, Jonas Savimbi,

kalah dari Jose dos Santos dari MPLA dalam

pertarungan presiden �pemenang-mengambil-

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA Oleh: Andrew Reynolds

Page 128: Sistem Pemilu

119

semuanya,� dengan persentase empatpuluh sembilan

persen melawan empatpuluh persen. Ia lalu memulai

kembali perang saudara, karena ia hampir-hampir

tidak mempunyai kesempatan untuk memainkan

peran sebagai oposisi secara demokratis.

u Sistem Pemilihan PresidenDua PutaranOleh: Andrew Reynolds

Seperti dalam pemilihan anggota dewan legislatif,

salah satu cara untuk menghindari calon yang

terpilih hanya dengan perolehan suara dengan

proporsi yang sangat kecil adalah mengadakan

pemilihan putaran kedua, apabila tidak ada seorang

calon yang memenangkan suara mayoritas dalam

pemilihan putaran pertama. Ini dapat berupa

pertarungan:

� Antara dua calon terkuat (majority-runoff),

atau

� Antara lebih dari dua calon (majority-

plurality) seperti telah digambarkan

sebelumnya dalam Sistem Dua Putaran (lihat

Sistem Dua Putaran).

Perancis, banyak negara di Amerika Latin, dan

sejumlah negara di Afrika yang berbahasa Perancis,

seperti Mali dan Pantai Gading menggunakan TRS

untuk memilih presidennya; memang benar, lebih

banyak negara yang memilih presidennya

menggunakan sistem ini dibandingkan dengan

sistem FPTP. Di negara Afrika yang lain, sistem ini

digunakan di Sierra Leone, Namibia, Mozambik,

Madagaskar, Kongo, dan Republik Afrika Tengah; di

Eropa sistem ini dipakai di Finlandia, Austria,

Bulgaria, Portugal, Polandia, Rusia, dan Ukraina.

Meskipun demikian, ada sejumlah modifikasi

terhadap peraturan majority-runoff dan majority-

plurality. Di Kosta Rica, seorang calon boleh

memenangkan kursi presiden pada putaran pertama

dengan perolehan suara empatpuluh persen.

Sebaliknya, di Sierra Leone, putaran kedua boleh

tidak diadakan asalkan seorang calon memperoleh

suara 55 persen di putaran pertama. Di Argentina,

seorang calon boleh mengambil kursi presiden

apabila dapat memperoleh suara empatpuluh lima

persen, atau empatpuluh persen dengan perbedaan

suara lebih dari sepuluh persen dengan pemenang

kedua. Rumusan pemilihan presiden di Uruguay,

yang digunakan sampai dipilihnya sistem TRS

sederhana pada tahun 1996, tidak termasuk kategori

tersebut di atas. Untuk tujuan pemilihan presiden,

partai-partai politik yang ada, dengan membentuk

koalisi (lema) dengan partai-partai yang lain dapat

mengajukan calonnya. Para pemilih memilih masing-

masing calon, dan semua suara untuk calon tersebut

dihitung berdasarkan lema. Lema yang mendapatkan

suara terbanyak memenangkan pertarungan

kepresidenan, dan calon yang mendapatkan suara

terbanyak dalam lema tersebut memperoleh kursi

presiden.

Pemilihan presiden dengan menggunakan TRS

dipandang dapat memperbesar legitimasi terhadap

apa yang sering disebut sebagai jabatan yang terkuat

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA

Page 129: Sistem Pemilu

120

dalam pemerintahan. Secara khusus, sistem ini

cenderung mengatasi kemungkinan seorang

presiden meraih kekuasaan yang besar dengan

dukungan hanya sebagian kecil pemilih saja.

Sejumlah negara juga menerapkan jumlah minimal

pemilih yang memilih untuk pemilihan presiden,

biasanya minimum 50%, seperti di Rusia dan banyak

bekas republik Soviet; ini juga merupakan cara lain

guna mencapai dukungan mayoritas. Penggunaan

ketentuan di atas digambarkan pemilihan presiden

pada tahun 1996 bagi dua presiden dari dua negara

yang sangat berbeda. Keduanya dapat menduduki

jabatan presiden hanya dengan dukungan seperlima

dari para pemilih yang umurnya sudah memenuhi

syarat untuk memilih. Presiden Clinton dari Amerika

Serikat dipilih hanya dengan dukungan duapuluh

tiga persen suara, dan Presiden Chiluba dari Zambia

dengan dukungan duapuluh persen. Kedua hasil

tersebut tidak mungkin diperoleh dalam sistem TRS

atau majority-turnout yang dipakai di negara lain.

Meskipun demikian, sebagaimana semua sistem

pemilu TRS, pemilihan presiden yang dilaksanakan

dengan cara TRS membutuhkan biaya dan sumber

daya yang sangat besar untuk melaksanakannya. Juga

harus diperhitungkan turunnya jumlah pemilih

antara putaran pertama dan kedua, yang seringkali

sangat buruk dan merusak.

Amerika Latin mempunyai pengalaman yang sangat

problematik dengan TRS. Disamping negara-negara

dimana partai politiknya dapat menciptakan aliansi

sebelum pemilihan presiden sehingga mereka dapat

memenangkan pemilihan tersebut pada putaran

pertama (seperti Brazil pada tahun 1994 dan Chile

pada tahun 1989 dan 1994), TRS telah menyebabkan

terjadinya pemerintahan minoritas dan

pemerintahan yang kurang mampu memerintah.

Sistem tersebut telah menambah dalamnya polarisasi

sistem multi-partai, dan menambah beratnya

masalah kemacetan legislatif. Misalnya dalam pemilu

1990 di Peru, Alberto Fujimori memperoleh

limapuluh enam persen suara di putaran kedua,

tetapi partainya hanya memenangkan empat belas

dari enampuluh kursi di Senat, dan tigapuluh tiga

kursi dari 180 di Dewan Perwakilan. Pada tahun 1989

di Brazil, Fernando Color de Mello dipilih dalam

pemilihan putaran kedua dengan jumlah suara

sedikit di bawah setengah, namun demikian dalam

pemilihan parlemen yang tidak sama waktunya,

partainya hanya memperoleh tiga dari tujuhpuluh

lima kursi Senat dan hanya empatpuluh kursi dari

503 kursi di Kursi Parlemen. Di Ekuador, selalu terjadi

pemerintahan minoritas sejak TRS digunakan untuk

pemilihan presiden pada tahun 1978.

u Preferential VotingOleh: Ben Reilly

Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan TRS

adalah dengan menggabungkan putaran pertama

dan kedua menjadi satu pemilihan saja. Ada

beberapa cara untuk melakukannya. Salah satu

modifikasi yang paling sederhana adalah sistem

preferensial yang digunakan untuk pemilihan

presiden di Sri Lanka (lihat studi kasus Sri Lanka:

Perubahan untuk Mengakomodasi Perbedaan).

Dengan cara ini, pemilih diminta untuk memberi

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA

Page 130: Sistem Pemilu

121

tanda tidak hanya pada pilihan pertama mereka,

tetapi juga (kalau mereka mau) pilihan kedua dan

ketiganya dengan memberikan angka �1�, �2�, �3�,

disamping nama calon, seperti yang dilakukan

dalam Alternative Vote (lihat Alternative Vote) dan

Single Transferable Vote (lihat Single Transferable

Vote) yang dibicarakan sebelumnya. Apabila

seorang calon mendapatkan suara mayoritas absolut

pada pilihan pertama, mereka langsung dinyatakan

terpilih. Akan tetapi, jika tidak ada calon yang

mendapatkan suara mayoritas absolut, semua calon

kecuali dua calon teratas harus dicoret dari daftar,

suara pilihan kedua atau pilihan ketiganya

dialihkan kepada salah satu dari dua calon teratas

tadi, menurut urutan yang sudah tercatat dalam

kertas suara. Siapa saja yang memperoleh jumlah

suara yang terbanyak pada akhir proses dinyatakan

sebagai terpilih. Sistem ini memungkinkan

diadakannya sekali pemilihan yang dalam sistem

TRS harus dilakukan dua kali. Cara ini akan

menghemat biaya yang cukup besar dan membuat

administrasi lebih efisien.

Kekurangan yang ada dalam sistem Sri Lanka

tersebut adalah:

� Persyaratan bahwa pemilih harus tidak buta

huruf seperti apa yang biasanya menjadi

syarat sistem pemilihan preferensial, dan

� Fakta bahwa para pemilih harus secara efektif

diminta untuk menebak siapa dua calon

kandidat teratas, sehingga mereka dapat

menggunakan suara mereka secara maksimal.

Ini bukan merupakan kelemahan dari Alternative

Vote (AV), yang digunakan untuk memilih presiden

Irlandia (lihat Irlandia: Sistem STV Model Irlandia).

Tatacara menandai kertas suara sama persis seperti

yang dipakai di Sri Lanka. Perbedaannya adalah

bahwa para pemilih Irlandia dapat memberi tanda

sebanyak mungkin preferensi yang mereka inginkan,

dan tidak dibatasi dengan tiga pilihan saja seperti

yang terjadi di Sri Lanka. Tetapi cara penghitungan

suaranya pun sangat berbeda. Sebagai ganti

dicoretnya semua calon kecuali dua calon terbaik,

dalam sistem Alternative Vote, calon yang

ditempatkan paling bawah akan dibuang dari daftar.

Suara yang tadinya diberikan kepada dia dipindah

ke preferensi berikutnya. Cara ini diulangi sampai

seorang calon memperoleh suara mayoritas, atau

sampai semua preferensi dihitung. Tidak seperti

kasus Sri Lanka, dalam sistem AV Irlandia ini calon

yang ditempatkan paling bawah yang memperoleh

suara preferensi banyak masih dapat mendahului

calon yang ditempatkan di urutan atasnya dan pada

akhirnya memenangkan kursi. Contoh paling akhir

pemilihan presiden yang menang karena

pemindahan suara seperti ini adalah pemilihan

tahun 1990 yang memilih Mary Robinson sebagai

presiden Irlandia.

Meskipun adanya perbedaan tersebut, kedua sistem

tersebut mempunyai tujuan inti yang sama:

menjamin bahwa siapapun yang memenangkan

pemilihan presiden mendapat dukungan dari

mayoritas pemilih. Penggunaan pemilihan suara

preferensi dengan memberi kemungkinan bagi

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA

Page 131: Sistem Pemilu

122

pilihan kedua berarti bahwa putaran kedua tidak

perlu lagi. Ini akan menghemat biaya, dan juga

menguntungkan dari segi administratif, logistik dan

keamanan.

u Persyaratan penyebaranOleh: Andrew Reynolds

Salah satu cara untuk menjamin seorang presiden

mendapatkan dukungan luas dari berbagai lapisan

masyarakat adalah dengan memberlakukan

persyaratan penyebaran. Persyaratan ini dapat

menjadi penghalang yang harus diatasi sebelum

seorang presiden dinyatakan terpilih. Di Nigeria pada

tahun 1993, calon-calon presiden tidak hanya harus

memenangkan pluralitas suara, tetapi juga harus

memperoleh setidak-tidaknya sepertiga suara di

minimal dua pertiga dari tigapuluh satu propinsi.

Di Kenya, agar seseorang dapat dipilih menjadi

presiden, seorang calon harus mendapatkan

sekurang-kurangnya duapuluh lima persen suara

yang tersebar di minimal lima dari delapan propinsi.

Meskipun demikian, pada tahun 1992 oposisi yang

terpecah memperbolehkan Daniel Arap Moi menjadi

presiden dengan hanya didukung oleh tigapuluh

lima persen suara.

Keuntungan persyaratan penyebaran adalah

mendorong calon presiden untuk merangkul

kelompok diluar wilayah atau kelompok etnisnya

sendiri. Dan jika diterapkan secara tepat, hal ini akan

dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian,

persyaratan yang terlalu ketat dapat berakibat tidak

adanya calon yang terpilih. Akibat selanjutnya

adalah kosongnya kekuasaan yang penuh dengan

bahaya instabilitas. Dan jika tidak ada seorang calon

yang dapat memenuhi syarat pada pemilihan

pertama, nampaknya tidak seorangpun dapat

memenuhinya dalam pemilihan yang kedua.

Pemilihan Majelis Tinggi (Senat)Oleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Memang tidak semua parlemen terdiri dari satu

kamar; banyak parlemen, terutama di negara-negara

besar, adalah bikameral, yaitu terdiri dari dua kamar.

Meskipun ada banyak perbedaan diantara berbagai

jenis kamar kedua (juga dikenal sebagai �majelis

tinggi� atau �senat�), ada dua generalisasi yang dapat

diterapkan untuk hal ini:

� Pada umumnya kamar kedua lebih lemah

dari majelis rendah. Jarang sekali kedua

kamar tersebut berkekuatan sama. Ini karena

kamar kedua biasanya berfungsi sebagai

kamar pengecekan, dari pada sebuah kamar

pemerintahan.

� Karena masalah ini, kamar kedua seringkali

ukurannya lebih kecil daripada kamar

pertama. Lebih jauh lagi, kamar kedua

seringkali dirancang agar dapat mencakup

berbagai jenis perwakilan atau kelompok

masyarakat yang berbeda-beda dibanding-kan

dengan kelompok yang ada di kamar pertama.

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA

Page 132: Sistem Pemilu

123

Penggunaan yang paling umum dari kamar kedua

adalah pada sistem federal, untuk mewakili unit

konstituen dari federasi. Misalnya, negara-negara

bagian di Amerika (lihat AS: Minoritas Etnis dan

Distrik Wakil Tunggal) dan Australia (lihat Alternative

Vote di Australia), Lander di Jerman, dan propinsi-

propinsi di Afrika Selatan semuanya secara terpisah

diwakili di majelis tinggi. Model seperti ini, akan

memberikan keuntungan untuk negara-negara

bagian dan propinsi-propinsi yang kecil, dan dengan

demikian diasumsikan adanya persamaan dalam

perwakilan. Model lain dari perwakilan yang umum

dipakai adalah penggunaan kamar kedua untuk

mewakili kelompok etnis, linguistik, agama dan

kebudayaan. Kamar kedua juga mungkin saja secara

sengaja mewakili masyarakat madani. Misalnya, di

Malawi, konstitusi menyediakan 32 dari

delapanpuluh senator, yang dipilih oleh para senator

yang sudah terpilih dari daftar caleg yang diusulkan

oleh �kelompok kepentingan� di masyarakat.

Kelompok-kelompok ini sering disebut sebagai

organisasi wanita, para penyandang cacat, kelompok-

kelompok kesehatan dan pendidikan, sektor bisnis

dan petani, serikat pekerja, orang-orang penting

dalam masyarakat, dan pimpinan-pimpinan agama.

Majelis Tinggi Inggris (the House of Lords) yang tidak

populer itu dipertahankan atas dasar bahwa Majelis

Tinggi tersebut berisi orang-orang dengan keahlian

kebijakan tertentu, yang dapat mengontrol peraturan

perundang-undangan pemerintah yang dibuat oleh

para politisi generalis.

Karena variasi yang bermacam-macam ini, banyak

kamar kedua yang dipilih sebagian, dipilih tidak

langsung, atau tidak dipilih. Dari model yang dipilih

tersebut, kebanyakan yurisdiksi, agar merefleksikan

perbedaan peran dari kedua kamar tersebut, telah

memilih untuk menggunakan cara pemilihan yang

berbeda antara pemilihan Majelis Tinggi dan majelis

rendah. Misalnya, di Australia, majelis rendah dipilih

dengan sistem mayoritarian (AV - lihat Alternative

Vote), sedangkan Senatnya, yang merepresentasikan

berbagai negara bagian, dipilih dengan menggunakan

sistem proporsional (STV - lihat Single Transferable

Vote). Ini juga berarti bahwa kepentingan minoritas

yang pada umumnya tidak dapat memenangkan

pemilihan di majelis rendah masih memperoleh

kesempatan untuk memenangkan pemilu, dalam

konteks perwakilan negara bagian di Senat.

Pemilihan Pemerintah Lokaldan RegionalOleh: Ben Reilly dan Andrew Reynolds

Sistem Pemilu apapun yang telah diuraikan di atas

dapat digunakan pada tingkat pemerintah lokal atau

regional. Akan tetapi, seringkali ada beberapa

pertimbangan khusus sebagai akibat peran khusus

dari pemerintah lokal dalam sebuah sistem politik.

Pertama-tama, karena pemerintah lokal lebih

merupakan �pengurus� dari masalah kehidupan

sehari-hari, perwakilan secara geografis sering diberi

keutamaan; distrik wakil tunggal dapat digunakan

untuk menyumbangkan suatu keputusan dalam

masalah lokal bagi setiap kelompok masyarakat.

Karena distrik-distrik tersebut begitu kecil, biasanya

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA

Page 133: Sistem Pemilu

124

Untuk mengetahui lebih banyak mengenai ACE

Project silakan lihat situs internet

http://www.aceproject.org

mereka sangat homogen, yang kadang-kadang

tampak sebagai sesuatu yang baik, tapi apabila

perbedaan dalam sebuah distrik pemerintah lokal

dikehendaki, prinsip �jari-jari roda� dari pemetaan

daerah pemilihan dapat diterapkan. Disini, batas-

batas distrik tidak digambar mengelilingi lingkungan

yang dikenali, tapi merupakan segmen-segmen dari

sebuah lingkaran yang berpusat di pusat kota dan

berakhir di daerah pinggiran kota. Artinya, sebuah

distrik mencakup para pemilih di daerah kota dan

pinggiran kota, dan menciptakan sebuah campuran

kelas ekonomi dan etnis.

Sebaliknya, beberapa negara yang menggunakan

sistem Representasi Proporsional (RP) untuk

pemerintahan daerah, memandang kotamadya-

kotamadya yang telah ditetapkan sebagai cara yang

sempurna untuk memiliki sebuah daerah

pemilihan RP daftar-tunggal yang secara

proporsional dapat merefleksikan semua

pendapat-pendapat politik yang berbeda di

kotamadya tersebut. Akan tetapi, sebuah

pertimbangan yang aneh terhadap persyaratan

sistem pemilu pemerintahan daerah ialah bahwa

tempat khusus perlu dibuat untuk kelompok

independen dan perwakilan lembaga daerah yang

tidak digerakkan oleh ideologi partai politik. Juga

benar bahwa pilihan atas sistem pemilu daerah

mungkin dibuat sebagai suatu fungsi, atau bagian

dari sebuah kompromi mencakup sistem untuk

parlemen nasional. Misalnya, di beberapa negara

demokrasi yang baru seperti Kongo dan Mali,

tradisi dan pengaruh Perancis telah menghasilkan

Two-Round System untuk parlemen nasional,

sementara keinginan untuk menjadi inklusif dan

sepenuhnya lebih merefleksikan loyalitas etnis dan

regional menghasilkan pada dipilihnya sistem RP

untuk pemilu kotamadya.

JENIS-JENIS PEMILIHAN LAINNYA