Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

29
Ahsanul Minan KESETARAAN NILAI SUARA PEMILIH DALAM SISTEM PENGHITUNGAN SUARA PADA PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 UNIVERSITAS INDONESIA TESIS NPM: 1006827524

description

Kajian atas kesetaraan nilai suara pemilih atau opovov dan proporsionalitas dalam sistem penghitungan kursi pada pemilu 2009

Transcript of Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Page 1: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Ahsanul Minan

KESETARAAN NILAI SUARA PEMILIH DALAM SISTEM PENGHITUNGAN SUARA PADA PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009

UNIVERSITAS INDONESIA

TESIS

NPM: 1006827524

Page 2: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

TESIS STATEMENTGuna mewujudkan kesetaraan nilai suara pemilih (yang merupakan bagian dari hak asasi manusia) dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menganut sistem proporsional dengan metode penghitungan kuota sebagaimana dianut di Indonesia, maka dalam proses penghitungan dan konversi suara menjadi kursi harus dipenuhi 2 (dua) prinsip yakni pertama prinsip bahwa setiap suara pemilih diperlakukan setara dan dihitung hanya satu kali, dan kedua prinsip proporsionalitas. Apabila terdapat suara pemilih yang dihitung lebih dari satu kali, maka akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau ketidaksetaraan nilai suara pemilih, dan menimbulkan dampak berupa terjadinya under-representation maupun over -representation yang selanjutnya berimplikasi pada munculnya disproporsionalitas hasil pemilu.

Page 3: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

LATAR BELAKANG-1• Kesetaraan nilai suara pemilih atau One Person, One Vote, One Value (opovov)

merupakan salah satu parameter utama dalam menilai derajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu. Prinsip opovov sangat penting untuk diterapkan pada beberapa aspek dalam pemilu salah satunya dalam sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi anggota DPR (electoral system)

• Pemilu di Indonesia tahun 1955-2009, menganut sistem proporsional, dengan metode penghitungan suara metode kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Largest Remainders (Kuota-LR), dimana kursi dibagi habis di tingkat daerah pemilihan (dapil).

• Metode penentuan perolehan kursi dengan membagi habis kursi di tingkat daerah dapil berpotensi menghasilkan disproporsionalitas hasil pemilu, terutama bila bercampur dengan permasalahan dalam pembentukan district magnitude.

• Sistem penentuan perolehan kursi dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 dinilai kurang proporsional. Disproporsionalitas hasil pemilu 2004 dapat dilihat dalam tabel berikut:

PARTAI %SUARA %KURSIPKB 10,57% 9,45%PAN 6,44% 9,64%

Demokrat 7,45% 10,36%

Page 4: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

• Dalam kerangka memperbaiki disproporsionalitas ini, pada pemilu 2009 (berdasar UU No. 10/2008) dilakukan perubahan sistem penghitungan kursi dengan membuat 2 lapis penghitungan suara yakni pertama penghitungan suara di tingkat dapil berdasarkan acuan angka BPP dan 50% BPP (jika masih terdapat sisa kursi), dan kedua, dalam hal masih terdapat sisa kursi (setelah dilakukan penghitungan tahap pertama dan kedua) maka dilakukan penghitungan suara di lapis kedua di tingkat provinsi (supra-dapil).

• Perubahan ini menimbulkan permasalahan:

1. Pengertian suara yang akan diikutkan dalam penghitungan tahap kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (4) mengandung dua penafsiran, pertama suara ini dapat dimaknai sebagai sisa suara partai politik, dan kedua, frasa suara ini dapat juga dimaknai sebagai suara partai politik secara utuh. Kedua opsi penafsiran ini memiliki konsekwensi terhadap penerapan asas opovov.

2. Penghitungan suara tahap 3 (di tingkat provinsi) dimana sisa suara dari seluruh partai dari seluruh dapil diikutsertakan dalam proses perebutan sisa kursi (yang hanya berasal dari beberapa dapil) sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (5) menyebabkan potensi terjadinya pelanggaran asas opovov, karena suara pemilih dari dapil yang alokasi kursinya telah terbagi habis, ikut diperhitungkan kembali dalam penghitungan tahap ketiga.

LATAR BELAKANG-2

Page 5: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana penerapan asas opovov dan proporsionalitas dalam pengaturan mengenai metode penetuan perolehan kursi pada Pemilu tahun 2009?

2. Bagaimana kesesuaian penerapan asas opovov dan proporsionalitas dalam pengaturan tentang sistem penentuan perolehan kursi DPR pada pemilu tahun 2009 antara UU Nomor 10 Tahun 2008, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009, Putusan MA 15P/HUM/2009, Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU/2009, dan Putusan MK Nomor 74–80– 94–59–67/PHPU.C-VII/2009 ?

3. Bagaimana metode penentuan perolehan kursi DPR yang sebaiknyaditerapkan di masa mendatang?

Page 6: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIANTUJUAN MANFAAT

1. Menjelaskan aspek perlindungan atas kesetaraan nilai suara pemilih (opovov) dan proporsionalitas hasil pemilu dalam sistem penghitungan suara dalam pemilu tahun 2009 dengan pelbagai permasalahannya.

2. Mengetahui kesesuaian dan konsistensi penerapan asas opovov dan proporsionalitas dalam pengaturan tentang sistem penentuan perolehan kursi DPR pada pemilu tahun 2009 antara UU Nomor 10 Tahun 2008, Putusan MA dan Putusan MK.

3. Mengetahui sistem penentuan perolehan kursi DPR yang sebaiknyaditerapkan dalam Pemilu di Indonesia di masa mendatang.

1. Manfaat akademik yakni bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan khasanah pengetahuan dalam ilmu hukum dan politik di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya tentang model perlindungan atas kesetaraan nilai suara pemilih dalam proses penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi.

2. Manfaat pada level kebijakan yakni bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah input bagi para penentu kebijakan baik diDPR, Pemerintah, Penyelenggara Pemilu, Partai Politik dan kelompok civil society yang peduli dengan isu reformasi pemilu dalam merumuskan kebijakan terkait dengan penentuan sistem pemilu, khususnya terkait dengan pentingnya penegakan dan perlindungan HAM, secara lebih khusus lagi yakni perwujudan kesetaraan nilai suara pemilih dalam proses penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi.

Page 7: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

KERANGKA TEORITIKTeori Kesetaraan Politik

(Political Equality) Teori Proporsionalitas Teori Herarki Perundang-undangan Teori Penafsiran Hukum

• Partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan menghendaki kesetaraan posisi mereka. Kesetaraan dibagi dalam 2 dimensi, formal, dan substansial.

• Kesetaraan politik dalam diskursus Pemilu diwujudkan dalam asas one person one vote one value (opovov).

• Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mendefinsikan secara jelas tentang kesetaraan suara pemilih ini dengan ketentuan bahwa setiap suara harus diperlakukan dan dihargai secara sama dalam pemilu. UUD RI Tahun 1945 mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

• Proporsionalitas berarti perolehan suara partai harus tercermin secara proporsional dalam konfigurasi kursi parlemen.

• Sistem Proportional Representation memiliki tujuan dasar untuk menciptakan keterwakilan yang proporsional antara suara mayoritas dan suara minoritas, dan menghindari munculnya overrepresenting atau underrepresenting.

• Sistem pemilu proporsional (proportional representation) dinilai lebih baik dibandingkan sistem pemilu lainnya, karena kemampuannya dalam menciptakan hasil pemilu yang mencerminkan tingkat fragmentasi politik masyarakat.

• Validitas norma bersandar kepada norma lain yang darinya norma pertama diturunkan.

• suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (basic norm).

• Hirarkhi norma yang mengharuskan norma yang lebih tinggi menentukan norma yang lebih rendah ini menghindarkan dari kemungkinan terjadinya kontradikasi nyata antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah.

• Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

• Interpretasi harfiah. • Interpretasi fungsional

disebut juga dengan interpretasi bebas.

• Di samping itu terdapat juga pembedaan metode intepretasi sebagai berikut:

• Metode penafsiran restriktif yakni penjelasan atau penafsiranyang bersifat membatasi.

• Metode penfasiran ekstensif

Page 8: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

METODE PENELITIAN• Penelitian ini merupakan sebuah penelitian hukum normatif (yuridis normative), dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder,111 yaitu dalam hal ini UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penghitungan Suara, Penentuan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih, Putusan Mahakamah Agung Nomor 15P/HUM/2009, Nomor 16 P/HUM/2009, dan Nomor 18 P/HUM/2009 atas Permohonan Judicial Review atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU/2009.

• Penelitian ini diarahkan untuk menganalisis hubungan-hubungan hukum antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas-asas hukum, dalam kerangka menguji penerapan prinsip kesetaraan nilai suara pemilih dalam pengaturan norma tentang tata cara penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi, dan menguji pemenuhan pengaturan tersebut terhadap prinsip proporsionalitas.

• Perbandingan terhadap penerapan metode penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi di negara lain untuk mengupayakan terwujudnya proporsionalitas hasil pemilu juga akan dilakukan untuk memperdalam kajian. Penentuan pilihan atas negara yang akan diperbandingkan dengan Indonesia dalam sistem penentuan perolehan kursi didasarkan atas 2 kriteria; yakni pertama kesamaan sistem pemilu yang diterapkan, yakni dalam hal ini sistem proporsional, dan kedua menggunakan dua jenjang penghitungan suara untuk penentuan perolehan kursi. Kriteria pertama penting untuk dipergunakan karena Indonesia menggunakan sistem proporsional.112 Kriteria kedua dipergunakan untuk membedakan antara negara yang menggunakan sistem proporsional murni dengan negara yang menerapkan sistem proporsional yang dimodifikasi khususnya melalui cara membagi 2 jenjang penentuan perolehan kursi, seperti yang diterapkan di Indonesia. Mempertimbangkan kriteria tersebut maka negara yang memiliki sistem penghitungan suara yang mirip (meskipun tidak sepenuhnya sama dengan sistem di Indonesia) yang dapat dijadikan pembanding dalam penelitian ini adalah Denmark. Negara ini dipilih berdasarkan atas pertimbangan bahwa Denmark menerapkan sistem proporsional terbuka dengan multi member district, sama dengan Indonesia, serta menggunakan 2 jenjang penentuan perolehan kursi.

• jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas sumber hukum primer dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang No 10 Tahun 2008, Peraturan KPU nomor 15 tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU/2009, dan juga peraturan-peraturan yang terkait dengan fokus penulisan dalam tesis ini. Sumber hukum sekunder juga dipergunakan untuk memberikan penjelasan dan tafsiran terhadap sumber bahan hukum primer yang didapatkan melalui buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak atau elektronik, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan pakar terkait dengan pembahasan tentang sistem pemilu. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan dokumen yang terkait.

Page 9: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Dinamika Perubahan Sistem Pemilu Tahun 1999, Sistem Pemilu Tahun 2004, dan Sistem Pemilu Tahun 2009

Sistem Pemilu Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pemilu 2009 Catatan

Besaran Daerah Pemilihan Daerah Pemilihan Dati I. Jumlah kursi di masing-masing dapil disesuaikan dengan jumlah penduduk secar proporsional, namun dengan ketentuan bahwa setiap Dati II mendapatkan sekurang-kurangnya 1 kursi, serta jumlah maksimal kursi DPR 500

Dapil DPR adalah Provinsi atau bagian provinsi. A l o k a s i k u r s i p e r d a p i l d i t e t a p k a n d e n g a n mempertimbangkan jumlah penduduk dengan 2 parameter; daerah berkepadatan tinggi dihargai perkursinya sebesar 425 ribu penduduk, dan daerah berkepadatan rendah dihargai 325 ribu penduduk. Jumlah alokasi kursi per dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi.

Dapil DPR adalah Provinsi atau bagian provinsi. Jumlah alokasi kursi per dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi.

1.Metode penentuan besaran daerah pemilihan dalam ketiga pemilu tersebut tidak didasarkan pada s tandard norma yang tegas t e r u t ama da l am pe r s pek t i f penerapan asas opovov dan asas proporsionalitas, karena masih diadopsinya kuota minimal kursi di wilayah tertentu, misalnya pada pemilu 1999, set iap Dati I I sekurang-kurangnya dialokasikan 1 kursi.

2.Adanya inikonsis tensi antar norma, sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya prinsip opovov.

Cara Pencalonan Partai politik mengajukan daftar calon anggota DPR dalam bentuk daftar tertutup.

Partai politik mengajukan daftar calon anggota DPR dalam bentuk daftar terbuka. C a l o n s e c a r a o t o m a t i s d inyatakan sebagai ca lon terpilih apabila mendapatkan sua ra s ama dengan a t au melebihi angka BPP. Apabila tidak terdapat calon yang perolehan suaranya memenuhi angka BPP, maka penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut yang diajukan oleh partai.

Partai politik mengajukan daftar calon anggota DPR dalam bentuk daftar terbuka. Calon terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Metode pencalonan mengalami pergeseran dari closed list pada pemilu 1999 ke arah open list setengah hati pada pemilu 2004 dan full open list pada pemilu 2009.

BAB 2 SISTEM PENENTUAN PEROLEHAN KURSI DALAM PEMILU ANGGOTA DPR TAHUN 1999, 2004, dan 2009 DI INDONESIA

Page 10: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Sistem Pemilu Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pemilu 2009 Catatan

Metode pemberian suara Pemilih memberikan suara dengan mencoblos nama/tanda gambar partai politik

Pemilih memberikan suara dengan mencoblos nama/tanda gambar partai politik, dan nama calon.

Pemilih memberikan suara dengan memberikan tanda (√) kepada gambar partai politik, atau nama calon.

M e t o d e p e m b e r i a n s u a r a mengalami perkembangan sesuai dengan metode pencalonan.

Metode Pembagian Kursi d a n Pe n e n t u a n C a l o n Terpilih

1.Kursi dibagikan di setiap daerah pemilihan dengan menggunakan metode kuota Hare + largest remainders.

2.Dimungkinkan dilakukan stembus accord antar p a r t a i p o l i t i k u n t u k memperebutkan sisa kursi.

3.Calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.

1.Kursi dibagikan di setiap daerah pemilihan dengan menggunakan metode kuota Hare + largest remainders.

2.P a r t a i p o l i t i k t i d a k diperbolehkan melakukan stembuss accord.

3.Calon terpilih ditentukan dengan cara; calon yang mendapatkan suara sama dengan atau melebihi angka B P P , m a k a o t o m a t i s ditetapkan sebagai calon terpilih. Apabila tidak ada calon yang mendapatkan suara sesuai atau melebihi angka BPP, kursi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut.

Kursi dibagi dalam tiga tingkat/tahapan: 1.Tahap per tama kurs i

dibagi berdasarkan angka BPP.

2.Tahap kedua kursi dibagi berdasarkan 50% BPP (jika masih terdapat sisa kursi.

3.Tahap ketiga, sisa kursi dan sisa suara partai ditarik ke provinsi untuk d i h i t u n g d e n g a n menetapkan angka BPP baru, dan selanjutnya dilakukan pembagian kursi berdasarkan BPP baru. Apabila masih terdapat sisa kursi, maka dibagi dengan menggunakan m e t o d e l a r g e s t remainders.

Metode pembagian kursi pada p e m i l u 1 9 9 9 d a n 2 0 0 4 menggunakan metode kuota+largest remainders sehingga kursi DPR dapat dibagi habis di tingkat daerah pemilihan. Namun dengan memper t imbangkan dampak disproporsionalitasnya, maka dalam pemilu 2009 metode pembagian kursi diubah dengan membuka ruang bagi pembagian sisa kursi melalui 2 tingkat (two tire electoral systems), yakni pembagian kursi di tingkat daerah pemilihan, dan pembagian kursi di tingkat provinsi dengan menarik sisa kursi dari daerah pemilihan ke tingkat provinsi untuk dilakukan pembagian kursi pada tingkat kedua.

Dinamika Perubahan Sistem Pemilu Tahun 1999, Sistem Pemilu Tahun 2004, dan Sistem Pemilu Tahun 2009

Page 11: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PENGHITUNGAN PEROLEHAN KURSI DALAM PEMILU 2009

Penerapan asas kesetaraan nilai suara pemilih (opovov) dalam metode penghitungan perolehan kursi tahap kedua

Penerapan asas kesetaraan nilai suara pemilih (opovov) dalam penghitungan perolehan kursi tahap ketiga.

Penerapan asas tertib hukum dalam kerangka hirarkhi perundang-undangan.

Permasalahan ini muncul dari noma UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan dengan membagikan sisa kursi kepada partai politik yang memperoleh suara di atas 50% angka BPP DPR. Norma pengaturan ini secara harfiah dapat ditafsirkan akan membuka peluang bagi partai politik yang suaranya telah dikonversi ke dalam kursi pada penghitungan tahap pertama untuk diperhitungkan kembali suaranya secara utuh pada penghitungan tahap kedua, sehingga suara pemilih untuk partai politik tersebut akan dihitung dua kali, sehingga melanggar asas opovov.

Dalam penghitungan tahap ketiga, sisa suara seluruh partai politik dari seluruh daerah pemilihan dikumpulkan di tingkat provinsi untuk diperhitungkan dalam penghitungan perolehan kursi tahap ketiga. Permasalahannya adalah bahwa belum tentu terdapat sisa kursi di setiap daerah pemilihan di wilayah provinsi, sehingga ketika untuk memperebutkan sisa kursi di tahap ketiga melibatkan sisa suara partai politik di seluruh daerah pemilihan di wilayah provinsi tersebut, maka akan menimbulkan potensi bahwa suara pemilih yang diperoleh partai politik di daerah pemilihan yang telah habis alokasi kursinya diperhitungkan kembali atau dihitung dua kali.

Permasalahan ini muncul dari pengaturan secara teknis tentang penghitungan perolehan kursi dalam Peraturan KPU menyangkut teknis penghitungan tahap kedua yang mengatur bahwa bagi partai politik yang suaranya telah terkonversi ke dalam kursi pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama, maka yang diperhitungkan adalah sisa suaranya. Norma yang diatur oleh Peraturan KPU yang secara hirarkhi perundang-undangan berada di bawah UU Nomor 10 Tahun 2008 ini mengandung penormaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan di atasnya ini dinilai melawan asas tertib hukum.

1. Judicial review atas Peraturan KPU kepada Mahkamah Agung. 2. Constitutional review atas UU Nomor 10 Tahun 2008 tentangUndang-undang tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD kepada Mahkamah Konstitusi. 3. Permohonan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi dengan salah satu

materi permohonannya menyangkut tata cara penghitungan perolehan kursi.

Page 12: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

SISTEM PENGHITUNGAN PEROLEHAN KURSI DI DENMARK

Sistem Majoritarian (1849-1915)

Sistem Proporsional (1918-sekarang)

3 Provinsi dengan total jumlah dapil sebanyak 10 dapil

135 kursi diperuntukkan di tingkat dapil (constituency seats)

40 kursi diperuntukkan di tingkat nasional (compensatory seats)

sejak pemilu 2007 hingga pemilu 2010, 11 kursi

kompensasi dialokasikan kepada provinsi metropolitan

Copenhagen, 15kursi dialokasikan untuk provinsi Sealand-Southern Denmark,

dan 14kursi dialokasikan untuk Northern and Central Jutland.

penentuan perolehan kursi untuk constituency seats sejumlah 135 kursi dilakukan dengan menggunakan metode divisor d’Hont, yakni dengan divisor 1, 2, 3 dan seterusnya, hingga batas maksimal jumlah kursi yang akan dialokasikan.248 Penghitungan perolehan constituency seats ini merupakan penghitungan tingkat pertama di tingkat daerah pemilihan.

Pembagian kursi untuk compensatory seats sebanyak 40 kursi, dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada:249 1. Partai politik yang mendapatkan sekurang-

kurangnya 1 constituency seat di daerah pemilihan manapun; atau

2. Partai politik yang mendapatkan suara yang setara dengan nilai rata-rata suara sah per-constituency seats di 2 daerah dari 3 daerah pemilihan,

3. Partai yang memperoleh sekurang-kurangnya 2% suara sah dari seluruh Denmark.

175 Kursi Folketinget

Page 13: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Norma Pengaturan tentang Sistem Penentuan Perolehan Kursi Tahun 2009 terhadap Prinsip Kesetaraan Nilai Suara Pemilih dan Proporsionalitas Hasil Pemilu.

Pancasila (sila 2 & 5)

UUD 1945 Ps. 27 ayat (1), Ps. 28D ayat

(1), (3), Ps. 28I ayat (2), (4), & (5), Ps. 22E ayat (1)

Nilai Keadilan

Asas Keadilan politik,

pemerintahan, dan pemilu

UU Nomor 10 Tahun 2008, Ps. 1 angka 1, Ps. 2,

Asas Keadilan dalam pemilu

Naskah akademik: "sejalan denganpemikiran filosofis di

atas, pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan

prinsip one person one vote one value dalam proses rekrutmen politik, sebuah

prinsip yang mengandung makna kesetaraan nilai suara

dan pilihan setiap warga negara dalam mengisi keanggotaan lembaga

perwakilan"

Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009

Bab 3 PENERAPAN PRINSIP KESETARAAN NILAI SUARA PEMILIH DAN PROPORSIONALITAS DALAM METODE PENENTUAN PEROLEHANKURSI ANGGOTA DPR DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TENTANG PEMILU TAHUN 2009

Page 14: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Penentuan Perolehan Kursi Tahap Pertama dan Kedua dalam Pemilu Tahun 2009

Suara seluruh partai politik untuk pemilu anggota DPR RI dihitung secara nasional

KPU menetapkan kesetaraan angka ambang batas 2,5 % sebagai syarat untuk menetapkan partai yang berhak mengikuti penghitungan perolehan kursi DPR

KPU menetapkan partai yang perolehan suaranya untuk pemilu anggota DPR melebihi angka ambang batas 2,5% sebagai partai yang berhak mengikuti penghitungan perolehan kursi DPR

KPU menetapkan perolehan suara partai yang berhak mengikuti penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

KPU menetapkan angka kuota atau Bilangan Pembagi Pemilih di masing-masing daerah pemilihan

KPU melakukan pembagian kursi tahap pertama dengan membagikan kursi kepada partai politik yang perolehan suaranya melebihi angka BPP

Jika masih terdapat sisa kursi, KPU melakukan pembagian kursi tahap kedua dengan terlebih dahulu menentukan angka 50% BPP

Setelah ditentukan angka 50% BPP, KPU melakukan pembagian kursi tahap kedua dengan membagikan sisa kursi kepada partai politik yang suaranya melebihi ambang batas 50% BPP

Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5 Langkah 6 Langkah 7 Langkah 8

Jika masih terdapat sisa kursi, KPU melakukan pembagian kursi tahap ketiga dengan menarik seluruh sisa suara partai politik ke tingkat provinsi untuk menentukan BPP baru, sisa kursi dibagikan ke partai yg memenuhi BPP provinsi

Langkah 9

Jika masih terdapat sisa kursi, KPU melakukan pembagian kursi tahap keempat kepada parpol yang memiliki sisa suara terbanyak secara berurutan sampai habis.

Langkah 10

Page 15: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Problematika Penerapan Asas Kesetaraan Nilai Suara Pemilih dan Proporsionalitas Hasil Pemilu dalam Metode Penentuan Perolehan Kursi

Tahap Pertama dan Tahap Kedua dalam Pemilu Anggota DPR RI berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Agung Nomor 15P/HUM/2009, dan Putusan Mahkamah

Konstitusi tentang Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009.

1. Norma dalam UU No. 10/2008 terkait metode penghitungan kursi hanya mengatur norma umum, tanpa disertai dengan pengaturan tentang teknik pelaksanaannya.

2. Norma pengaturan tentang penentuan perolehan kursi dalam pemilu anggota DPR pada tahap pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (3) tidak secara jelas dan tegas memuat perlakuan terhadap suara partai politik yang telah terkonversi ke dalam kursi.

3. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat misteri kata "sisa" yang tidak muncul dalam Pasal 205 ayat (4), yang terasa janggal jika dibandingkan misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 205 ayat (5), 211 ayat (3) dan 212 ayat (3).

4. Norma pengaturan tentang penentuan perolehan kursi tahap kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (4) yang mengatur: "…dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR", menimbulkan ketidakpastian hukum karena mengandung multi-tafsir.

Page 16: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Nama Partai

Suara Sah

Alokasi Kursi

BPP Penentuan Perolehan

Kursi Tahap

Pertama

Sisa Kursi

Penentuan Perolehan Kursi Tahap Kedua

Perole-han

Kursi

50% BPP

Partai yang berhak Atas

Kursi

6 172,386 4 86,193 1

Partai A 87,019 0

Partai B 51,173 0

Partai C 65,651 0

Partai D 242,576 1 3 4

Partai E 36,354

Partai F 169,254

Partai G 46,661

Partai H 116,184

Partai I 219,446 1 1 2

Total Suara Sah

1,034,318 Kursi Terbagi= 2

Kursi terbagi = 3

Ilustrasi Metode Penentuan Perolehan Kursi Tahap Kedua BerdasarkanTafsir Literlijk

Penafsiran secara leterlijk atau restriktif yakni penghitungan tahap kedua diikuti oleh seluruh partai politik yang perolehan suaranya memenuhi 50% BPP DPR, yang berarti mencakup partai politik yang telah mendapatkan kursi pada penghitungan tahap pertama sehingga suaranya kembali diperhitungkan secara utuh, dan partai politik yang perolehan suaranya belum terkonversi ke dalam kursi dalam penghitungan tahap pertama karena suaranya tidak memenuhi angka BPP.

Penafsiran secara ekstensif dan sistematik yakni penghitungan tahap kedua hanya akan mengikutkan sisa suara partai politik yang suaranya telah terkonversi ke dalam kursi dalam penghitungan tahap pertama dan suara partai politik yang belum terkonversi dalam penghitungan tahap pertama.

Nama Partai

Suara Sah

Alo-kasi Kur

si

BPP Penentuan

Perolehan Kursi Tahap

Pertama

Suara Akan

Dihitung di Tahap Kedua

Sisa Kur

si

Penentuan Perolehan Kursi

Tahap Kedua

Sisa Kurs

i

50% BPP

Partai yang

berhak Atas

Kursi

6172,386

486,193 1

Partai A 87,019 87,019 1

Partai B 51,173 51,173

Partai C 65,651 65,651

Partai D

242,576 1 70,190

Partai E 36,354 36,354

Partai F169,254 169,254 1

Partai G 46,661 46,661

Partai H

116,184 116,184 1

Partai I219,446 1 47,060

Total Suara Sah

1,034,318

Kursi Terbagi= 2

Kursi terbagi = 3

Ilustrasi Metode Penentuan Perolehan Kursi Tahap Kedua BerdasarkanTafsir Ekstensif

Page 17: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

KEKUATAN DAN KELEMAHAN MASING-MASING PENAFSIARANJENIS

TAFSIR KEKUATAN KELEMAHAN

Literlijk

Penafsiran ini secara semantik benar. Pasal 205 ayat (4) tersebut hanya menyebutkan bahwa penghitungan tahap kedua diikuti oleh partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP DPR, dan tidak menyebutkan kata "sisa suara". Hal ini berbeda (bila diperbandingkan) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 106 huruf a, UU Nomor 12 Tahun2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang secara tegas menyebut frasa "sisa suara"

1. Penafsiran secara literlijk ini akan menyebabkan terjadinya double counting terhadap suara partai politik yang telah mendapatkan kursi dalam penghitungan tahap pertama.

2. Double counting ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidakadilan karena adanya perlakuan tidak setara dalam menilai suara pemilih, dan melanggar asas opovov.

3. Penafsiran literlijk ini juga tidak sesuai dengan logika dan praktek umum yang diterapkan dalam metode penghitungan perolehan kursi dalam rumpun sistem proporsional.

4. Di samping bertentangan dengan logika sistem proporsional, penafsiran ini juga lebih condong pada sistem distrik.

5. Penafsiran ini berpotensi menegasikan norma yang diatur dalam Pasal 205 ayat (5) yakni mengenai tata cara penghitungan tahap ketiga, karena dengan memperhitungkan kembali secara utuh suara partai politik yang telah terkonversi ke dalam kursi dalam penghitungan tahap pertama pada penghitungan tahap kedua, maka dapat dipastikan bahwa seluruh kursi akan terbagi habis dalam penghitungan tahap kedua.

Ekstensif

1. Mampu mencegah double counting. 2. Penafsiran ekstensif dan sistematik ini

juga akan mampu menciptakan keadilan, karena seluruh suara pemilih diperlakukan sama.

3. Penafsiran ini selaras dengan logika umum dalam penghitungan perolehan kursi dalam rumpun sistem proporsional, karena angka kuota tidak hanya difungsikan sebagai instrument pembagi dalam penentuan perolehan kursi saja, tetapi juga menjadi dasar untuk mengkonversi suara parpol ke dalam kursi.

4. Penafsiran ini juga sesuai dengan kehendak pembentuk UU

Penafsiran kedua (penasiran ekstensif dan sistematik) memiliki kelemahan karena mengandung norma yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam norma Pasal 205 ayat (4). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, norma Pasal 205 ayat (4) yang mengatur tentang tata cara penghitungan sisa kursi yang telah terbagi dalam penghitungan tahap pertama berdasarkan angka BPP, berbeda dengan norma pengaturan dalam Pemilu 2004, dimana UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 106 huruf a menyebutkan bahwa ―apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisasuara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua‖. Norma Pasal 106 secara tegas menyebutkan bahwa penghitungan tahap pertama berdasarkan angka BPP berpotensi menghasilkan sisa suara.

Page 18: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PENAFSIRAN LITERLIJK DITINJAU DARI ASAS PROPORSIONALITASMetode penafsiran leterlijk terhadap norma Pasal 205 ayat (4) ini juga menghasilkan derajat disproporsionalitas yang tinggi, apabila diperbandingkan dengan metode penafsiran eksetensif yang menghasilkan angka disproporsionalitas yang lebih rendah.

Indeks Disproporsionalitas Dalam Penghitungan Tahap Kedua Berdasarkan Penafsiran Leterlijk

Nama Partai Suara Sah % Suara Perolehan Kursi % Kursi │vi - si│ (vi - si) 2

Partai A 87,019 8.41% 0.00% 8.41% 0.71%Partai B 51,173 4.95% 0.00% 4.95% 0.24%Partai C 65,651 6.35% 0.00% 6.35% 0.40%Partai D 242,576 23.45% 3 50.00% -26.55% 7.05%Partai E 36,354 3.51% 0.00% 3.51% 0.12%Partai F 169,254 16.36% 0.00% 16.36% 2.68%Partai G 46,661 4.51% 0.00% 4.51% 0.20%Partai H 116,184 11.23% 0.00% 11.23% 1.26%Partai I 219,446 21.22% 3 50.00% -28.78% 8.28%

∑ 1,034,318 100.00% 6 100.00% 0.00% 20.95%

N 9

1/2 nya 10.48%

LSq = I = √ (1/2)*∑(vi - si) 2 32.37

Tabel 3.4 tersebut menunjukkan bahwa hasil pengukuran indeks disproporsionalitas metode penghitungan tahap kedua dengan penafsiran literlijk menghasilkan angka indeks disproporsionalitas yang sangat tinggi yakni 32.37, yang berarti hasilnya sangat tidak proporsional.

Page 19: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Indeks Disproporsionalitas Dalam Penghitungan Tahap Kedua Berdasarkan Penafsiran Ekstensif

Nama Partai Suara Sah % Suara Perolehan Kursi % Kursi │vi - si│ (vi - si) 2

Partai A 87,019 8.41% 1 16.67% -8.25% 0.68%Partai B 51,173 4.95% 0.00% 4.95% 0.24%Partai C 65,651 6.35% 0.00% 6.35% 0.40%Partai D 242,576 23.45% 1 16.67% 6.79% 0.46%Partai E 36,354 3.51% 0.00% 3.51% 0.12%Partai F 169,254 16.36% 1 16.67% -0.30% 0.00%Partai G 46,661 4.51% 0.00% 4.51% 0.20%Partai H 116,184 11.23% 1 16.67% -5.43% 0.30%Partai I 219,446 21.22% 1 16.67% 4.55% 0.21%

∑ 1,034,318 100.00% 6 83.33% 16.67% 2.62%

N 9 1/2 nya 1.31%

LSq = I = √ (1/2)*∑(vi - si) 2 11.44

Tabel tersebut menunjukkan bahwa hasil pengukuran indeks disproporsionalitas metode penghitungan tahap kedua dengan penafsiran ekstensif menghasilkan angka indeks disproporsionalitas yang lebih rendah yakni 11.44, yang berarti hasilnya lebih mendekati proporsional. Dari kedua ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa metode penafsiran leterlijk akan menghasilkan angka indeks sebesar 32,37. Sedangkan penafsiran ekstensif akan menghasilkan angka indeks sebesar hanya 11.44. Formula Indeks Disproporsional menunjukkan kesenjanganperolehan suara partai politik dibandingkan perolehan suara dalam persentase. Selisih persentase kursi yang lebih besar dibandingkan pesentase suara, disebut surplus proporsional. Semakin tinggi surplus proporsional yang diterima oleh partai politik, maka hasil pemilu makin tidak proporsional. Merujuk kepada hasil simulasi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran leterlijk yang menghasilkan angka indeks sebesar 32,37 sangat tidak proporsional jika dibandingkan dengan metode penafsiran ekstensif. Dengan demikian, metode penafsiran leterlijk lebih sesuai dengan ketentuan norma Pasal 5 ayat (1).

Page 20: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PUTUSAN MA DAN MK TERKAIT PENGHITUNGAN TAHAP KEDUA

Dalil Pemohon: 1.Sistem "sisa kursi"

merugikan partai besar, dan membuahkan hasil yg tidak "proporsional"

2.Penselarasan dengan Putusan MK tentang suara terbanyak, sehingga dalam pembagian kursi juga harus dilakukan dengan prinsip suara terbanyak.

3.Parpol yang telah mendapatkan kursi di tahap pertama, suaranya harus diperhitungkan secara utuh dalam penghitungan tahap kedua

Dalil Pemohon: 1.Norma Pasal 205 ayat (4)

mengandung multi tafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

2.Norma tersebut berpotensi memunculkan double counting.

3.Putusan MA menimbulkan disprprosionalitas yang tinggi

Putusan MA No 15P/HUM/2009

Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) PKPU no. 15/2009 cacat yuridis substansial

dan harus dibatalkan

ANALISA: 1. Pemohon kurang tepat memahami sistem

proporsional dalam pemilu. 2. Pemohon mengabaikan prinsip opovov. 3. Majlis Hakim MA kurang mendalami dalil

pemohon secara substansial. 4. Majelis Hakim yang sama memutus

permohonan yang pada pokoknya memiliki kesamaan dalam putusan Nomor 12 P/HUM/2009 yang memutus menolak permohonan pemohon karena peraturan KPU dinilai mengatur hal teknis yang tidak diatur dalam UU.

Putusan MK No.

110-111-112-113/PUU-VII/2009

Pasal 205 ayat (4) conditionally constitutional,

sepanjang dimaknai sebagaimana putusan MK

ANALISA: 1. MK secara tepat mendasarkan pertimbangan

hukumnya dengan melihat permohonan ini dalam perspektif ilmu politik dan pemilu.

2. Penafisran MK menjadikan asas opovov sebagai prinsip yang harus dipenuhi dalam sistem penghitungan perolehan kursi, dan hal tersebut sesuai dengan asas keadilan politik yang diatur dalam konstitusi dan asas pemilu serta sistem proporsional yang diatur dalam UU Pemilu.

Peraturan KPU memuat norma tentang sisa suara untuk penghitungan penentuan perolehan kursi tahap kedua sehingga menimbulkan kontroversi, karena dianggap bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008, pasal 205 ayat (4), yang tidak menyebut frasa "sisa suara". Atas hal ini, Peraturan KPU diuji materiil ke MA.

Page 21: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

Penerapan Asas Kesetaraan Nilai Suara Pemilih dan Proporsionalitas Hasil Pemilu Dalam Metode Penentuan Perolehan Kursi Tahap Ketiga dalam Pemilu Anggota DPR RI berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009,

dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

One Tire Electoral Systems

Two Tire Electoral Systems

Pemilu Anggota DPRD

Provinsi Pemilu Anggota

DPRD Kab/Kota

Pemilu Anggota DPR RI pada Provinsi yang terdiri hanya satu Dapil

Pemilu Anggota DPR RI pada Provinsi yang

terdiri atas lebih dari satu Dapil

Pasal 211

Pasal 212

Pasal 209 Pasal 205 ayat (5), (6), dan (7)

Electoral Tires Systems di Indonesia pada Pemilu Tahun 2009

Penerapan model two tires electoral systems dalam Pemilu Anggota DPR RI pada Provinsi yang terdiri atas lebih dari satu daerah pemilihan ini didasari oleh keinginan untuk meningkatkan derajat proporsionalitas hasil pemilu

Page 22: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PROBLEMATIKA PENGATURAN NORMA

Ketidakjelasan maksud pengaturan

Intepretasi secara terbatas

Frasa "seluruh" menimbulkan ketidakjelasan arti, karena dapat diintepretasikan ke dalam lebih dari satu arti sehingga dapat memicu munculnya perbedaan penafsiran

Intepretasi secara luas

problem keterwakilan politik

karena terjadi pencampuran

suara pemilih antar daerah pemilihan

dalam penghitungan

tahap ketiga untuk memperebutkan

sisa kursi

Dapil 1

Dapil 2

Dapil 3

Dapil 4

Dapil 5

Sisa kursi 2

Sisa kursi 1

Sisa kursi 0

Sisa kursi 0

Sisa kursi 1

Sisa suara dikumpulkan di Provinsi

Penentuan BPP Provinsi

Dapil 1

Dapil 2

Dapil 3

Dapil 4

Dapil 5

Sisa kursi 2

Sisa kursi 1

Sisa kursi 0

Sisa kursi 0

Sisa kursi 1

Sisa suara dikumpulkan di Provinsi

Penentuan BPP Provinsi

1. menjamin terpenuhinya asas opovov. 2. mewujudkan keadilan dan kesetaraan nilai

suara pemilih, karena berdasarkan intepretasi ini, suara pemilih seluruhnya diperhitungkan secara setara yakni hanya diperhitungkan satu kali.

3. menghasilkan tingkat proporsionalitas yang lebih baik

1. Melanggar prinsip opovov, karena sisa suara partai politik dari daerah pemilihan yang tidak memiliki sisa kursi kembali diperhitungkan dalam penghitungan tahapketiga, sehingga terjadi double counting.

2. Perlakuan diskriminatif terhadap suara pemilih, karena ada yang dihargai lebih tinggi dibandingkan suara pemilih lainnya.

3. Menghasilkan tingkat disproporsionalitas yang tinggi

Page 23: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PERBANDINGAN INDEKS DISPROPORSIONALITAS ANTARA INTERPRETASI SECARA TERBATAS DAN INTERPRETASI SECARA LUAS

PARPOL % SUARA % KURSI │vi - si│ (vi - si) 2

HANURA 4.15% 2.30% 1.85% 0.03%

GERINDRA 5.99% 6.90% -0.91% 0.01%

PKS 6.32% 6.90% -0.58% 0.00%

PAN 6.61% 8.05% -1.44% 0.02%

PKB 14.00% 13.79% 0.21% 0.00%

GOLKAR 11.48% 11.49% -0.02% 0.00%

PPP 6.29% 4.60% 1.69% 0.03%

PDIP 19.13% 20.69% -1.56% 0.02%

DEMOKRAT 26.04% 25.29% 0.75% 0.01%

∑ 100.00% 100.00% 0.00% 0.13%

I = √ (1/2)*∑(vi - si) 2 = 2.50

Indeks Proporsionalitas (LSq) Berdasarkan Penafsiran Secara Luas

PARPOL SUARA % SUARA VERSI SELURUH

DAPIL

% KURSI

HANURA 570,360 4.15% 2 2.30%

GERINDRA 824,123 5.99%

5 5.75%

PKS 868,853 6.32%

5 5.75%

PAN 909,176 6.61%

7 8.05%

PKB 1,926,549 14.00%

13 14.94%

GOLKAR 1,578,652 11.48%

11 12.64%

PPP 865,391 6.29%

4 4.60%

PDIP 2,632,001 19.13%

19 21.84%

DEMOKRAT 3,581,647 26.04%

21 24.14%

TOTAL 13,756,752 100.00%

87 100.00%

I = √ (1/2)*∑(vi - si) 2 = 3.31

Indeks Proporsionalitas (LSq) Berdasarkan Penafsiran Secara Terbatas

Page 24: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PROBLEMATIKA HUKUM PENGHITUNGAN TAHAP KETIGA

UU Nomor 10/2008 Ps. 205 ayat (5), dan PKPU Nomor 15/2009 mengarah pada interpretasi secara luas

KPU pada ranah praksis menggunakan

interpretasi secara terbatas

MK melalui Putusan PHPU

nomor 74–80–94–59 –67/PHPU.C-VII/

2009

MK mengukuhkan

interpretasi secara luas

Kelemahan Putusan MK: 1. MK tidak

mempertimbangkan penerapan asas opovov dalam memutuskan uji konstitusionalitas Pasal 205 ayat (5) ini, padahal asas ini telah diakui oleh MK menjadi salah satu ukuran asas keadilan dalam pemilu (sebagaimana dalam Putusan Nomor . Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009).

2. MK tidak mempertimbangkan asas proporsionalitas, yang telah diakui dan dinyatakan oleh MK dalam putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009

Page 25: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

SISTEM PENGHITUNGAN CONSTITUENCY SEATS DAN COMPENSATORY SEATS DI DENMARK

X Multimember Constituency

Constituency Seats

Partai A B C D

Suara 12,000 21,000 33,000 45,000

Divisor 1 12,000 (7) 21,000 (4) 33,000 (2) 45,000 (1)

Divisor 2 6,000 10,500 (10) 16,500 (5) 22,500 (3)

Divisor 3 7,000 11,000 (9) 15,000 (6)

Divisor 4 8,250 11,250 (8)

Divisor 5 9,000

T o t a l C o n s t i t u e n c y Seat

1 2 3 4

S u a r a Partai

A l o k a s i 1 7 5 K u r s i d i b a n d i n g k a n d e n g a n To t a l Suara Nasional

P e r o l e h a n Kursi dalam Constituency Seats

P e r b e d a a n = Compenstaory Seats

Total 3,428,858 175,000=175 135 40

A. S o c i a l D e m o c r a t i c Party

881,037 44,966=45 41 4

B. Social Liberal Party

177,161 9,042=9 3 6

C. Conservative Party

359,404 18,343=18 11 7

F. SF- Socialist People Party

450,975 23,017=23 19 4

O. Danish People Party

479,532 24,747=25 20 5

V. Liberals 908,472 46,366=46 40 6

Y. New Alliance 97,295 4,966=5 0 5

1. Unity List 74,982 3,827=4 1 3

Pembagian Kursi Compensatory Seats di Denmark Pada Pemilu 2007

Ilustrasi Pembagian Kursi Constituency Seats

Page 26: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

PERBANDINGAN SISTEM DI INDONESIA DAN DENMARK

INDONESIA DENMARK1. Terdapat potensi bahwa kursi akan terbagi habis di tingkat daerah

pemilihan melalui metode kuota Hare dan 50% kuota. Apabila kemungkinan ini terjadi, maka potensi disproporsionalitas yang muncul dalam pembagian kursi tidak akan dapat dipulihkan (diperbaiki).

2. Tidak adanya jumlah alokasi kursi tertentu yang diposisikan sebagai kursi kompensasi (separti 40 kursi di Denmark) akan membuka peluang tidak terjadinya proses pemulihan proporsionalitas hasil pemilu melalui penghitungan perolehan kursi di tingkat kedua. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila seluruh kursi di masing-masing daerah pemilihan terbagi habis dalam pembagian tingkat pertama.

3. Pembagian kursi pada tingkat kedua dalam pemilu anggota DPR di Indonesia pada tahun 2009 yang dilakukan di tingkat provinsi,hanya akan mampu membantu memproporsionalkan hasil pemilu di tingkat provinsi, sehingga pada tingkat nasional potensi disproporsionalitas tetap akan muncul.

4. Metode pembagian kursi di tingkat kedua (provinsi) yang dilakukan dengan cara menarik seluruh sisa suara partai politikdari seluruh daerah pemilihan di wilayah provinsi, akan menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip opovov, karena adanya suara pemilih yang dihitung lebih dari satu kali sehingga menimbulkan perbedaan nilai dan/atau harga suara pemilih.

1. Denmark mengalokasikan jumlah kursi kompensasi secara pasti yakni 40 kursi, sehingga sekecil apapun rasio disporportionalitas yang dihasilkan dalam pembagian constituency seats akan dapat diperbaiki dengan pembagian kursi kompensasi ini.

2. Basis pembagian kursi kompensasi dilakukan di tingkat nasional,sehingga mampu mencover potensi disproporsionalitas di seluruhdaerah pemilihan.

Page 27: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

IDEALITAS SISTEM PENGHITUNGAN PEROLEHAN KURSI DI MASA MENDATANG

Kursi DPR

Kursi Konstituensi (diperebutkan di tingkat

dapil)

Kursi Kompensasi (diperebutkan di tingkat

nasional)

Dibagi habis di tingkat dapil (bisa dengan metode Kuota

Hare+LR, atau Divisor

Dibagi di tingkat nasional untuk mengkompensasi

disproporsionalitas yang dialami parpol

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang idelaitas jumlah

kursi kompensasi

Sebaiknya dirumuskan ulang sistem pembentukan

district magnitude

Page 28: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

ALUR PENGHITUNGAN PEROLEHAN KURSI DALAM PEMILU ANGGOTA DPR RI

Constituency seats

Compensatory seats

Kursi dibagikan kepada partai politik di tingkat dapil, menggunakan metode Kuota+LR, atau Divisor

Perolehan suara dan kursi partai politik di dapil

Perolehan suara dan kursi partai politik di dapil

Perolehan suara dan kursi partai politik di dapil

Total suara setiap partai politik nasional dibagi total perolehan kursi constituency seats untuk diketahui

indeks disproporsionalitasnya

Kursi kompensasi (compensatory seats) dibagikan kepada partai politik berdasarkan indeks

disproporsionalitasnya

Page 29: Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu

SIMPULAN1. Norma pengaturan tentang metode penghitungan kursi anggota DPR tahap kedua dan tahap ketiga dalam Pemilu

anggota DPR RI tahun 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (4), dan ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2008 melanggar asas opovov dan menghasilkan disproporsionalitas hasil pemilu. Pelanggaran terhadap asas opovov ini muncul karena rumusan norma Pasal 205 ayat (4) yang mengatur metode penghitungan perolehan kursi tahap kedua, dan Pasal 205 ayat (5) yang mengatur metode penghitungan perolehan kursi tahap ketiga, memperlakukan suara yang diperoleh oleh partai politik diperhitungkan lebih dari satu kali.

2. Norma pengaturan tentang metode penghitungan kursi tahap kedua dantahap ketiga dalam Pemilu anggota DPR RI tahun 2009 tidak secara konsisten menegakkan asas opovov, dan mewujudkan proporsionalitas pemilu.

3. Metode penghitungan kursi dalam Pemilu anggota DPR RI dalam pemilu mendatang sebaiknya dirumuskan dalam bentuk modified proportional systems guna memastikan terwujudnya asas kesetaraan nilai suara pemilih dan proporsionalitas hasil pemilu. Hal ini dapat ditempuh dengan cara: pertama penggunaan dua tingkat penghitungan suara (penghitungan kursi di tingkat dapil dan penghitungan kursi di tingkat supra-dapil), dan dua jenis jenis kursi (kursi konstituensi dan kursi kompensasi). Kedua perumusan norma dalam peraturan perundang-undangan secara hati-hati, jelas, dan tegas, sehingga dapat mencegah kemungkinan multi-tafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum

SARAN1. Sistem pemilu proporsional masih sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia yang memiliki karakter politik dan social

yang heterogen. 2. Kompleksitas metode penghitungan perolehan kursi dalam sistem proporsional ini harus dijawab dengan cara: pertama

membuat metode penghitungan perolehan kursi yang mampu mewujudkan asas kesetaraan nilai suara pemilih dan menghasilkan tingkat proporsionalitas hasil pemilu yang tinggi, dan kedua membuat rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan secara jelas, dan tegas, sehingga dapat mencegah kemungkinan munculnya perbedaan penafsiran yang akan menimbulkan ketodakpastian hukum.

3. Guna menegakkan asas kesetaraan nilai suara pemilih dan proporsionalitas hasil pemilu maka metode penghitungan kursi dalam Pemilu Anggota DPR RI di masa mendatang sebaiknya dilakukan dalam dua tingkatan (two tires electoral systems) yakni tingkat pertama adalah penghitungan kursi di tingkat dapil untuk memperebutkan kursi konstituensi, dan kedua penghitungan kursi di tingkat supra-dapil untuk memperebutkan kursi kompensasi. Kursi kompensasi mewakili dapil nasional, sehingga calon terpilih yang mendapatkan kursi kompensasi bertanggungjawab kepada pemilih secara nasional. Dalam hal ini, penulis menyarankan agar pembentuk undang-undang mengatur cakupan kerja dan tanggung jawab bagi anggota DPR yang mewakili dapil nasional, misalnya bertanggungjawab atas urusan public yang bersifat lintas dapil.