SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

83
SISTEM NEUROPRSIKIATRI LAPORAN DISKUSI TUTORIAL MODUL II KEJANG Disusun oleh kelompok 5 ARAFANI PUTRI YAMAN (2011 730 123) DEBI LAILATUL RAHMI (2011 730 128) FITRIYA SUJATMAKA (2011 730 134) GUSTIAYU PUTRI P (2011 730 138) HAVARA KAUTSAR AKBAR (2011 730 139) IRAWATI (2011 730 142) KUSUMA INTAN (2011 720 145) LABIBAH RASYID (2011 730 146) M. KAMARDI (2011 730 152) TOHARI (2011 730 165) TUTOR : dr. Farsida & dr. Prabowo Soemarto, SpPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

Transcript of SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Page 1: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

SISTEM NEUROPRSIKIATRI

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

MODUL II KEJANG

Disusun olehkelompok 5

ARAFANI PUTRI YAMAN (2011 730 123)DEBI LAILATUL RAHMI (2011 730 128)FITRIYA SUJATMAKA (2011 730 134)GUSTIAYU PUTRI P (2011 730 138)HAVARA KAUTSAR AKBAR (2011 730 139)IRAWATI (2011 730 142)KUSUMA INTAN (2011 720 145)LABIBAH RASYID (2011 730 146)M. KAMARDI (2011 730 152)TOHARI (2011 730 165)

TUTOR : dr. Farsida & dr. Prabowo Soemarto, SpPA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Page 2: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan

inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Diskusi PBL Sistem Neuropsikiatri Modul

II tepat pada waktunya sesuai jadwal yang ditentukan.

Adapun tujuan pembuatan laporan ini sebagai hasil diskusi kelompok 3 mengenai tentang

hukum waris islam

“Tak ada gading yang tak retak” itulah pribahasa yang cocok untuk menggambarkan hasil

laporan yang penulis buat. Kritik dan saran yang membangun sangatlah penulis butuhkan demi

kesempurnaan laporan yang telah penulis buat ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada tutor pembimbing dr. Farsida dan dr. Prabowo Soemarto, Sp.PA yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan diskusi ini. Dan tak

lupa penulis ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah banyak membantu baik

secara moril maupun materil hingga laporan ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membaca.

Jakarta, Maret 2014

Penulis

Page 3: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........…………………………………………………...................

DAFTAR ISI ……………………………..............………………………..……………...

BAB I

A. Tujuan Pembelajaran....................................................................................................

B. Skenario ......................................................................................................................

C. Kata Kunci...................................................................................................................

D. Pertanyaan....................................................................................................................

BAB II

Isi...........................................................................................................................................

BAB III

Kesimpulan...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

Page 4: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan pembelajaran

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan

menjelaskan tentang kejang

1.2 Skenario

Perempuan usia 50 tahun diantarkan oleh keluarganya ke IGD karena kejang umum dan

tidak sadar sejak 10 menit. Dokter jaga melakukan pemeriksaan penunjang laboratorium;

didapatkan hasil Gula darah sewaktu 400 mg/dL. Pasien ini pernah dirawat dengan DM yang

diidap selama 15 tahun, tidak terkontrol.

CT scan kepala tampak udem yang luas, EEG terdapat gambaran abnormal delta wave

reguler simetris. Pemeriksaan fisik neurologis tidak nampak adanya kelumpuhan Nn kranialis

maupun anggota gerak

1.3 Kata / kalimat sulit

- Gambaran abnormal delta wave reguler simetris

1.4 Kata / Kalimat kunci

Perempuan, 50 tahun

Kejang umum dan tidak sadar sejak 10 menit yg lalu

Pem Lab : GDS 400mg/dL

Riwayat DM 15 tahun tidak terkontrol

Pem Radiologi : CT scan kepala udem otak yang luas

EEG : gambaran abnormal delta wave reguler simetris

PF normal

Page 5: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

1.5 Identifikasi masalah

1. Jelaskan definisi, klasifikasi, beserta patomekanisme kejang!

2. Jelaskan tingkatan kesadaran dan cara penilainnya! dan Jelaskan patomekanisme penurunan

kesadaran pada skenario!

3. Jelaskan hubungan kejang dengan riwayat DM dan hilang kesadaran!

4. Sebutkan penyakit-penyakit dengan gejala kejang!

5. Jelaskan hasil interpretasi dari pemeriksaan yang ditemukan pada skenario!

6. Jelaskan alur diagnostik dan penatalaksanaan awal pada kasus kejang!

7. Jelaskan klasifikasi udem cerebri beserta akibatnya!

Page 6: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

BAB II

ISI

1. DEFINISI, KLASIFIKASI, BESERTA PATOMEKANISME KEJANG

HAVARA KAUTSAR

Page 7: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

2. TINGKATAN KESADARAN DAN CARA PENILAINNYA SERTA

PATOMEKANISME PENURUNAN KESADARAN PADA SKENARIO

TOHARI

Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari

lingkungan, tingkat kesadarankesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat

menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

2. Apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,

sikapnya acuh tak acuh.

3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-

teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang

lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah

dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap

nyeri.

6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan

apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon

pupil terhadap cahaya).

Mengukur Tingkat Kesadaran

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah

menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera

kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran

dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang

menunjukan adanya penurunan kesadaran.

Page 8: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik

(alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau

pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri

(unresponsive).

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih

sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness),

bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon

(unresponsiveness).

Pemeriksaan GCS

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,

(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap

rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan

motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6

tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan

waktu.

Page 9: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu

kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi

rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi

rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &

kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan

terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Page 10: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Mekanisme Penurunan Kesadaran pada KetoAsidosis Diabetikum

Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan

hyperglycaemia yang meningkatkan glycosuria. Meningkatnya lipolysis akan menyebabkan

over-produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (dirubah) menjadi

ketone, menimbulkan ketonnaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glycosuria akan

menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium,

potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan

menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypofolemik. Kemudian supply

oksigen ke otak menurun sehingga menimbulkan penurunan kesadaran bahkan koma. Asidosis

metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranfasan

Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air

dan elektrolite. Sehingga, perkembangan DKA adalah merupakan rangkaian dari iklus

interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme

karbohidrat dan lipid normal.

Page 11: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

3. HUBUNGAN KEJANG DENGAN RIWAYAT DM DAN HILANG KESADARAN

IRAWATI

Edema Otak

Adanya peningkatan kandungan air di dalam parenkim otak dengan menggunakan prinsip

utamanya yaitu Hiperfusi.

CBF = CPP/ cerebrovascular resistance

CPP = MAP – ICP

Jika CBF yang ditinggikan, mungkin dapat mengganggu fungsi penghalang darah menuju

ke otak dan dapat mengakibatkan edema serebral oleh kerusakan langsung endotel,

ditingkatkannya pinositosis/ mekanisme lain yang tidak diketahui.

Hubungan DM Dengan Edema

DM yang tidak dirawat selama 15 tahun dapat menghambat glikolisis sehingga

mengakibatkan terjadinya peningkatan oksidasi β asam lemak yang dapat membentuk banyak

asetil KoA. Asetil KoA ini selanjutnya di ubah menjadi benda-benda keton seperti asam

aseto asetat, 3 HBH dan aseton yang akan mengakibatkan terjadinya Ketoasidosis Diabetic.

Selanjutnya akan terjadi peningkatan osmolaritas di intersisial sehingga di darah

osmolaritasnya menjadi menurun yang pada akhirnya akan mengakibatkan terbentuknya

edema.

Hubungan Kejang Dengan Edema

Kejang akan mengakibatkan gangguan depolarisasi yang menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan Ion dan gangguan pompa Ion Na di dalam tubuh sehingga Ion Na ini

akan tertimbun di dalam sel yang mengakibatkan terjadinya penekanan osmotic intraseluler

menjadi meningkat dan cairan akan masuk ke dalam sel yang menimbulkan terjadinya

edema.

Pasien Tidak Sadar

Diabetes Melitus yang tidak terkontrol selama 15 tahun akan mengakibatkan terjadinya

hiperglikemia yang dapat menimbulkan terjadinya Ketoasidosis Diabetik sehingga terjadi

Page 12: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

dieresis osmotic yang akan menimbulkan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis yang

berakhir dengan pasien tidak sadarkan diri.

- Ketoasidosis Diabetik

Glukoneogenesis akan menimbulkan pemecahan beta asam lemak yang menimbulkan

penghasilan asetil KoA yang berlebih dan menjadi benda benda keton dan intake glukosa

menuju jaringan akan menurun.

- Hiperosmolar Sindrom Diabetik

Glukosa yang berada di dalam darah akan menjadi sangat tinggi. Viskositas darah menjadi

meningkat dan menimbulkan intraselular hipertonik. Penarikan cairan dari jaringan menuju

ke dalam pembuluh darah. Kemudian glikosuria menjadi dieresis osmotic dan menimbulkan

dehidrasi, tekanan darah menurun menimbulkan oksigen menuju ke otak menurun dan terjadi

syok hipovolemik.

EEG

Tehnik untuk merekam aktivitas elektrik otak melalui tengkorak yang utuh. Merekam

aktivitas elektrik otak/ potensial listrik otak, dan sumber Gelombang EEG yaitu korteks,

talamus, dan formatio retikularis yang dapat mempengaruhinya.

Indikasinya Diagnosis dan klasifikasi kejang, Ensefalopati, Ensefalitis, Barin death,

Pengukuran dan prognosis kejang, Deteksi lesi luar structural seperti tumor serebri, trauma

kapitis. Gangguan metabolik, fisiologik di otak dan berbagai keadaan psikiatrik.

Page 13: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Gelombang-gelombang EEG

Patomekanisme Kejang

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa

gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan autonom yang disebabkan

oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak.

Penyebab kejang itu karena kerusakan di neuron kimiawi karena: 1. Peningkatan neuron

eksitatorik dan penurunan neuron ihibitorik, 2. Resepetor neuron eksitatorik lebih aktif, 3.

Penurunan produksi neuron inhibitorik, 4. Reuptake neuron eksitatorik 5. Peningkatan Na

yang berlebihan diintrasel dan Penurunan Kalium dan lain-lain.

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada

neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lains ecara bersama-

sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan

membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan;

2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3]

meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamate dan aspartat melalui jalur

eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan

berlangsung terus menerus, di samping akibat inhibisi yang tidak sempurna.

II. 1. Penatalaksanaan Pasien Kejang

Page 14: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Ada 3 hal yang perlu dilakukan :

1. Pengobatan fase akut.

a. Pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah dan muntahan, jalan nafas

harus bebas.

b. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian

antipiretik intrarectal bila oranl tidak memungkinkan.

c. Kejang dihentikan dengan pemberian Diazepam, intravena atau intra rectal

dosis 5 mg ( BB < 10 kg ) atau 10 mg ( BB > 10 kg ), bila kejang tidak berhenti

dapat diulang 5 menit kemudian, bila kejang tidak berhenti juga, reujuk segera.

2. Mencari dan mengobati penyebab.

Ini dilakukan untuk pasien yang mengalami serangan kejang untuk pertama kalinya

( dilakukan di rumah sakit ).

3. Pengobatan Profilaksis.

Diazepam oral dosis 0,3 – 0,5 mg/kg. BB/hari

A. Jika Kejang berhenti, Lanjtkan dengan pemberian:

FENOBARBITAL

Dosis: Usia 1 bulan – 1 tahun: 50mg IV

Usia > 1 tahun: 75 mg IV

Rumatan (4 jam kemudian)Hari I-II: 8-10mg/kgbb/hari, dibagi 2 dosis

Lanjutan: 4-5 mg/kgbb/hari, dibagi 2 dosis

B. Jika kejang tidak berhenti

Ulangi pemberian Diazepam (5 menit dari pemberian awal)

C. Jika kejang tidak juga berhenti setelah pengulangan, berikan:

FENITOIN

Dosis: 10-20mg/kgbb, IV, kecepatan 1mg/kgbb/menit

Setelah pemberian Fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis, guna

menghindari iritasi vena.

D. Jika kejang berhenti setelah pemberian Fenitoin, diberikan:

FENITOIN

Dosis: 4-8 mg/kgbb/hari (12-24 jam setelah dosis awal)

Page 15: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

4. PENYAKIT-PENYAKIT DENGAN GEJALA KEJANG

GUSTI AYU

Page 16: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

5. HASIL INTERPRETASI DARI PEMERIKSAAN YANG DITEMUKAN PADA

SKENARIO

ARAFANI PUTRI

Page 17: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

6. JALUR DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN AWAL PADA KASUS

KEJANG

LABIBAH

Anamnesis

Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian sebelum episode kejang terjadi :

Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang sepertikeadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?

Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau – bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya?

Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?

Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anakmengkonsumsi obat – obatan tertentu

Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anaksedang demam sebelum kejang terjadi?

Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?

Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejangterdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?

Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin danmengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?

Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang?

Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenaikejadian saat episode kejang terjadi :

Berapa lama kejang berlangsung?

Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?

Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?

Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episodekejang terjadi?

Page 18: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadaratau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?

Periksa Fisik pada Pasien Kejang Pertama

Tanda vital : denyut nadi, laju pernapasan, suhu tubuh.

Mencari tanda – tanda trauma kepala.

Periksa fundus mata mencari papilledema yang menandai tekanan intrakranial tinggi.

Periksa adanya meningismus: kaku kuduk.

Periksa kulit mencari tanda tuberous sclerosis, yang sering berhubungan dengan kejang.

Mencari kekurangan neurologis fokal yang dapat menandai epilepsi simtomatis.

Periksa Lab pada Pasien Kejang Pertama

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan meningitis

Lukor Spinalis

CT Scan

MRI

Glukosa, Kalsium, Natrium, Kalium

Jelaskan penatalaksanaan awal pada kasus kejang!

Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejangadalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dansirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokandarah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadaphipoksia dan atau iskemia.

 Penilaian awal terdiri dari :

1. Airway

Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama.

Lakukan penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel .

Page 19: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Jika jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh suction.

 

2. Breathing 

Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask.

3.Circulation

Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseousacces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB boluscepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda – tanda syok , lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikandextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi tersebut.

 4. Disability

 Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yangdisertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harusdiperhatikan.

Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapimungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dantrisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial.

Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasisikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda  tanda

Page 20: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulang - ulang dari obat antikonvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran.

 

 5. Exposure

Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.

6. Menilai kembali ABC

Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi.

Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.

7. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsan )

Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi. Dahulu di tahun 1960an obat anti epilepsi yang digunakan dalam pengelolaan kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena.

Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal.

Selain itu benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat diberikan kembali dalam waktu singkat.

Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus kompatibel dengan obat pilihan pertama.

Idealnya bekerja secara sinergis tanpa efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang. 

Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin danfenobarbital.

Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran. 

Page 21: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Pengobatan dini sangat penting, karena setelah kejang ditetapkan selama lebih dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-anak di New South Wales. Protokol inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support

(APLS) di Inggris pada tahun 2000.

 8. Terapi lini pertama:

1.Diazepam

Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80% pasien. 

Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi, kejang menetap terhadap dosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua.

2. Midazolam

Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti diazepam yang melalui rektal.

Midazolam sangat efektif sebagailini pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko depresi pernapasan.

3. Paraldehyde

 Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituriuntuk pengobatan kejang sejak awal 1930.

 Paraldehyde sekarangdiberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat dan efekdepresi pernafasan yang kurang minimal.

9. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :

1.Fenitoin

Page 22: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama antikonvulsan lini kedua oleh British Working Party.

2.Fenobarbital

Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah dan sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karena peningkatan aliran darah otak. Fenobarbital digunakan sebagai anti konvulsan lini kedua pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10mg/kg.

Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah o,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20mg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif.

Page 23: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

7. KLASIFIKASI UDEM CEREBRI BESERTA AKIBATNYA

FITRIYA SUJATMAKA

Klasifikasi edema cerebri?

Edema serebral atau edema parenkim otak menunjukkan adanya peningkatan kandungan

cairan di dalam parenkim otak. Secara umum, edema ini dapat digolongkan menjadi edema

vasogenik , edema sitotoksik dan edema intraseluler.

- Edema vasogenik

← Edema vasogenik paling sering dijumpai. Edema ini terjadi akibat peningkatan

permeabilitas kapiler. Dimana jika integritas sawar darah-otak terganggu sehingga cairan

lolos dari pembuluh darah ke dalam ruang interstisial otak ( edema interstisial). Edema

mungkin bersifat local seperti pada kasus permeabilitas abnormal pembuluh darah

disekitar abses dan neoplasma, atau terjadi secara menyeluruh. Terjadi pada kasus tumor,

trauma dan abses.

- Edema sitotoksik

Edema sitotoksik terjadi ssebagi akibat adanya hipoksia jaringan saraf. Hipoksia

menyebabkan kelumpuhan mekanisme pompa Na-ATP dependen , sehingga terjadi

akumulasi natrium intraseluler serta diikuti oleh mengalirnya air kedalam sel untuk

memperthankan keseimbangan osmotik. mengisyaratkan peningkatan cairan intrasel

(edema intrasel) akibat cedera sel, seperti yang mungkin ditemukan pada pasien dengan

gangguan hipoksik-iskemik generalisata. Pada situasi ini kegagalan energy di tingkat sel

menyebabkan kelainan transport ion yang menyebabkan, pada gilirannya, peningkatan

penimbunan air di dalam sel.

- Edema intraseluler

Dijumpai pada hidrosefalus obstruktif. Karena sirkulasi terhambat, cairan srebrospinal

merembes melalui dinding ventrikel, meningkatkan volume ruang ekstraseluler.

Page 24: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Gejala Yang Ditimbulkan dari Edema Cerebri ?

Pada edema serebri, tekanan intrakranial meningkat, yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan menurunnya cerebral blood flow (CBF). Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan tekanan tambahan pada sistem, memaksa aliran yang banyak untuk kebutuhan jaringan. Edema serebri dapat menyebabkan sakit kepala, penurunan kesadaran dan muntah, pupil edema. Herniasi dapat menyebabkan kerusakan yang berhubungan dengan tekanan kepada jaringan yang bersangkutan dan tanda-tanda dari disfungsi struktur yang tertekan. 3

Gejala efek massa di antaranya adalah: 2

1. Herniasi tentorial (lateral)

Akibat meluasnya lesi desak ruang midlateral menimbulkan herniasi tentorial/uncal pada bagian medial lobus temporal melalui hiatus tentorial karena proses peningkatan tekanan intrakranial terus berlanjut dengan gejala:

Hemianopsia homonim jika a. serebri posterior tertekan

Gangguan kesadaran jika formasio retikularis tertekan

Hemiparese ipsilateral

Ptosis

2. Herniasi tentorial (sentral)

Page 25: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Akibat lesi midline atau edema difus hemisfer serebri sehingga terjadi dorongan vertikal (tegak lurus) pada midbrain dan diensefalon melalui hiatus tentorial menimbulkan kerusakan jaringan otak dan iskemik sekunder akibat regangan mikrovaskuler.

Gangguan gerakan bola mata

Gangguan kesadaran

Diabetes insipidus jika hipofisis dan hipotalamus terdorong ke bawah

3. Subfalcine “midline” shift

Terjadi awal, karena lesi desak ruang unilateral sering tanpa gejala walaupun sudah terjadi oklusi a. serebri anterior ipsilateral.

Page 26: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

ENSEFALOPATI

KUSUMA INTAN

A. DEFINISI

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa agitasi hiperalert hingga koma.

B. ETIOLOGI

Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan disfungsi otak difuse yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik, metabolik, atau toksik. Etiologi ensefalopati pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam), metabolik dan iskemik.

C. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih u tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.

Ensefalopati terkait sepsis terjadi berkisar 9% hingga 71% pada pasien yang menderita sepsis. Angka kejadian ensefalopati akibat timbal juga sulit ditemukan, angka yang tersedia adalah kadar timbal dalam serum yang lebih dari 10mcg/dL berkisar 88% pada 3 tahun terakhir. Dimana kadar yang lebih dari 10mcg/dL pada darah dapat menyebabkan ensefalopati pada anak. Prevalensi asam valproat menginduksi keadaan hiperamonia adalah berkisar 35-45%.

Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal

Page 27: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.

D. KLASIFIKASI

1. Ensefalopati akibat infeksi

a. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang mengalami imunosupresi. Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung di dalam parenkim otak. Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun besar yang menonjol. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting.

Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling sulit dibedakan dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara ensefalopati dan ensefalitis pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons sistemik terhadap infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi otak secara langsung disebut dengan ensefalopati sepsis.

b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah moltifaktorial.

Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi, IL6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan menginduksi ekspresi mediator inflamasi. Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF α, dan IL 6 yang memegang peranan penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a, juga dikaitkan

Page 28: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.

Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin dapat menginduksi aktifasi endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adesi pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah korteks akan mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edma sitotoksik.

Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak menurun dan iskemia otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama sepsis berat. Kerusakan aliran darah otak juga merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain, bukan karena efek hipotensi sistemik.

Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan apoptosis sel neuron dan persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan ATP yang dihasilkan oleh mitokondria disebabkan oleh sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria juga dapat menginduksi terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C.

c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan menyebabkan gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.

d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati sepsis adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi.

Page 29: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.

e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.

Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.

2. Ensefalopati akibat toksis

Ensefalopati yang diinduksi obat.

a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit liver primer sebelumnya.

b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan enzim liver serum. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana tejadi disfungsi kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai hingga berkisar 3-5 tahun berikutnya.

c. Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan mekanisme yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia dengan cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat menghambat carbamoyl phosphate synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik pertama pada siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat juga menurunkan level kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk kompleks asam valproat-kartinin. Defisiensi kartinin mengurangi fungsi mitokondria, dengan menghambat siklus urea dalam hati.

d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah fenobarbital dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan toporimate, inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam valproat, mempercepat

Page 30: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat menyebabkan keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan produksi ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi ammonia, selain itu carbamazepin, ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin dan salisilat sosis tinggi.

e. Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi 1carnitine juga menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang diinduksi asam valproat.

Ensefalopati akibat timbal.

a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Timbal digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah belah lainnya. Bentuk intoksikasi timbal dapat menyebabkan kebutaan, kolik, nyeri persendian, dan bentuk terparah berupa ensefalopati.(9)

Gambar1. Efek timbal pada kesehatan manusia

b. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal dibandingkan pada dewasa karena berbagai sebab. Eksposure pada anak anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pica. Pada saluran pencernaan anak juga mengabsorbsi timbal lebih cepat dibandingkan pada dewasa dan sistem saraf pusat pada anah lebih mudah diserang agen toksik dibandingkan dengan sistem saraf pusat matur.

Page 31: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta dan air susu. Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui ikatan kuat dengan kelompok sulfhidril pada protein dan enzim. Ikatan ini akan menimbulkan toksik pada beberapa sistem enzim.

c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari 5mcg/dL, dan mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL, khususnya pada anak anak. Kadar protophyrin digunakan sebagai alat diagnostik pada toksisitias timbal karena enzim yang berdasarkan heme yang disebabkan oleh timbal. Peningkatan protopirin seiring dengan peningkatan kadar timbal pada serum. Peningkatan protrofirin terjadi pada 6-8 minggu setelah paparan dan nilai normal dari protophirin adalah kurang dari 35 mcq/dL.

d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala, muntah, ataksia, kejang, paralisisi, stumor dan koma. Pada ensefalopati kronik, pasien dapat kehilangan memori, ketidaknormalan kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi sensorik. Selain itu toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam belajar, pengurangan IQ dan perburukan kebiasaan.

e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak memperbaiki kerusakan neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal. Terapi farmakologis yang dapat digunakan antara lain dimercaprol 25mg/kgBB/hari, Calsium disodium ethylenediammine tetraacetic acid (CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari drip dengan NaCl atau D5%, Succimer dengan dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari atau D-penicillamin 10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.

3. Ensefalopati akibat metabolik

a. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya merupakan masalah baik bagi neonates maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung pada waktu dan intervensi yang hati hati. Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan :

1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2) Gangguan neuropsikoatrik: kejang, lateralisasi

3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.

Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal, dan gangguan metabolik. Gannguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar, sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatic.

Terdapat tiga varian ensefalopati metabolik pada anak, dua varian pertama sangat berhubungan. Kerusakan genetik dari metabolisme dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat dari hanya hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan

Page 32: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

hingga tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan metabolik tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat, toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang berkontribusi terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ke tiga, ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang sangat berkaitan dengan ketoasidosis diabetik.

Pada tahun 1998, The Working Party pada World Congress of Gastroenterology ke 11, membuat standarisasi nomenklatur dari ensefalopati hepatik, yang membaginya dalam tiga tipe yaitu A, B dan C.

Tabel2. Jenis ensefalopati hepatik (

Type Nomenklature Subkatagori

A Ensefalopati yang berhubungan

dengan gagal hepar akut

B Ensefalopati yang berhubungan

dengan bypass portal sistemik

dan tanpa penyakit hepatoseluler

intrinsic

C Ensefalopati yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal atau shunting sistemik portal

Episodik, persisten dan minimal.

b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik pada anak sangat berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu terdapat penyakit hati kronik dan sirosis. Pada anak kerusakan hepar terjadi secara akut. Penyebab ensefalopati hepatik pada anak bervariasi dari virus hepatitis, hingga kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada dewasa, penyakit hepar yang disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi. Selain itu pada anak edema serebral merupakan komplikasi yang penting yang dapat ditemukan pada stadium awal.

Page 33: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis fulminan, akumulasi dari ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada pada otak, ligan yang tidak normal pada reseptor γ amino butyric acid benzodiazepine (GABA-BDZ), deposit mangan pada ganglia basalis.

Teori Amonia. Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal, berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik, perhatian berkesinambungan yang terjadi pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa dengan tes psikometrik komputer.

Teori kesalahan neurotransmiter. Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat, konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatic (AAA) yaitu triptopan, tyrosin dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda (leucine, isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi ensefalopati hepatik.

Teori GABA. GABA adalah merupakan neurotransmiter inhibitori pada manusia yang bekerja dengan berikatan dengan kompleks reseptor GABA. Peningkatan jumlah benzodiazepine endogen sebagai neurosteroid mengakibatkan inhibisi terhadap neurotransmisi. Perubahan pada kompleks reseptor GABA dan perubahan konsentrasi GABA serebral terjadi pada ensefalopati hepatik.

Teori Mangan. Akumulasi mangan di ganglia, banyak pada pasien sirosis dan sebaliknya pada transplantasi hepar. Konsentrasi mangan pada serum berhubungan dengan derajat ensefalopati hepatik. Manifestasi klinis pada intoksikasi mangan dan manifestasi ekstrapiramidal dari ensefalopati hepatik menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar mangan yang berperan dalam terjadinya ensefalopati hepatik.

Page 34: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

c. Gejala Klinis

Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif dan koma dalam. (19)

Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatic

Grade Tingkat kesadaran

Personalitas dan intelektualitas

Tanda neurologis

Kelainan EEG

0 Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Subklinis Normal Pelupa, bingung ringan, agitasi, iritabel

Ketidaknormalan hanya pada analisis psikometrik

Tidak ada

1 Gangguan pola tidur

Gelisah

Tremor, apraksia, inkordinasi dan gangguan menulis

Tremor, apraksia, inkordinasi dan gangguan menulis

Gelombang trifasik (5siklus/detik)

2 Lethargy,

Respon

lambat

Asteriksis, disartria, ataksia, refleks hipoaktif

Gelombang trifasik (5siklus/detik)

3 Somnolen, bingung

Disorientasi, amnesia, disinhibisi dan kebiasaan inappropriate

Astereksis, refleks hiperaktif, tanda babinsky dan rigiditas otot

Gelombang trifasik (5siklus/detik)

4 Koma Tidak ada Aktifitas delta

Page 35: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih objektif adalah Glasgow Coma Scale (GCS), akan tetapi tidak khusus mengukur ensefalopati hepatik.(19)

d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.

Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites saebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik.

Gambar2. Algoritme penanganan ensefalopati hepatik (19)

Seorang anak dengan ensefalopati hepatik sebaiknya ditangani dalam perawatan intensif dengan program transplantasi hepar, akan tetapi sumber daya yang terbatas. Management pertama yang dilakukan adalah mencangkup airway, breating, dan sirkulasi, sebagaimana penanganan kasus kegawatan lainnya.

Managemen cairan. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena adanya hidrasi yang kurang maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance. Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral, dengan target 6-8cm H2O. Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi, dan indikator fungsi renal. Pemberian cairan secara intra vena sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati terganggu.

Page 36: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Kalium. Hipokalemi dapat disebabkan karena pemberian diuretik, muntah, dan diare. Hipokalemi dan gejala penyertanya berupa alkalosis merusak detoksifikasi ammonia, meningkatkan produksi ammonia ginjal, meningkatkan difusi ammonia melewati sawar darah otak. Kebutuhan kalium diperkirakan berkisar 3-6mEq/kgbb/hari.

Natrium. Intake natrium total sebanyak 1mEq/kgBB/hari, biasanya cukup adekuat untuk mencegah terjadinya asites. Pada umumnya, sekresi yang tidak sesuai dari hormon anti diuretik, menyebabkan hiponatremi dilusi, yang dapat ditangani dengan pembatasan cairan. Bila pembuangan air bebas diperlukan maka biasanya diberikan diuretik yang dikombinasikan dengan albumin rendah garam. Penggunaan NaCl hipertonik dapat dipertimbangkan pada kasus dengan kadar natrium kurang dari 120 mEq/l dan atau turun secara cepat.

Glukosa. Penanganan hipoglikemia penting bagi pada bayi dengan ensefalopati hepatik. Pemberian cairan intravena minimal mengandung glukosa 100mg/ml (10%) dan infuse dilakukan titrasi untuk mempertahankan glukosa darah diantara 120-240mg/dl.

Restriksi ammonia

Pembersihan selauran cerna. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan untuk mendeteksi dan membuang adanya darah dalam saluran cerna atas, dan memberikan drainase secara berkesinambungan. Hal ini dapat mencegah mempercepatnya perdarahan karena kerusakan mukosa lambung yang mungkin terjadi karena suction. Pencucian lambung dilakukan biasanya dengan larutan 50% magnesium sulfat, selain itu dapat digunakan enemas retensi (20% laktosa) tetapi masih jarang digunakan karena ketersediaan dan masih minimnya penelitian.

Antibiotik. Banyak antibiotik yang dapat digunakan pada pasien ensefalopati hepatik untuk ―membersihkan‖ saluran cerna, antara lain ampisilin, metronidazol, vankomicin, rifamixin. Dari antiboiotik tersebut, rifaximin menunjukkan spectrum luas baik bakteri gram positif maupun negatif dan aerobik maupun anaerobik, selain itu rifaximin diabsorbsi minimal secara sistemik. Helicobacter pylori (bakteri amoniagenik) dapat mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik pada pasien sirosis, terutama dengan adanya hipoklorida gaster. Oleh karena itu pemberian antibiotik juga diberikan untuk membunuh H. pylori.

Protein. Pembatasan protein atau bahkan eliminasi total dianjurkan hingga terjadi perbaikan. Pada penelitian terakhir, pemberian protein dimulai dari 0,5gram/kgBB/hari dengan peningkatan bertingkat hingga 1,5gr/kgbb/hari, hingga beberapa minggu dan terjadi perbaikan hepar. Pemberian protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan dengan protein hewani, karena lebih dapat ditoleransi dan lebih sedikit mengandung aminium, methionin dan asam amino aromatik.

Laktoasa. Laktosa merupakan disakarida yang dapat ditemukan di sekum dalam keadaan belum diubah, dan kemudian diubah oleh flora intestinum menjadi komponen glukosa, galaktosa dan fruktosa. Galaktosa dan laktosa dimetabolisme menjadi asam organik termasuk diantaranya asam

Page 37: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

laktat dan asam asetat, yang menyebabkan pH lumen intestinal turun mencapai 5,5. Hal ini menyebabkan pencegahan pembentukan ion ammonium yang mudah terserap.

Probiotik. Secara teoritis, bakteri intestinal yang tidak menghasilkan urease akan menurunkan jumlah ammonia enteral. Penelitian yang pernah dilakukan adalah dengan pemberian Lactobacillus acidophilus per oral memberikan efek yang bermanfaat pada pasien sirosis yang menderita ensefalopati hepatik. Suplementasi Lactobacillus acidophilus selama 1-4 minggu menunjukkan perkembaangan klinis sebanyak 71% pada pasien dengan ensefalopati hepatik dibandingakan dengan pasien yang hanya mendapatkan neomycin saja.

Peningkatan metabolisme ammonia

Omithine-Aspartat. Infus 1omithine dan 1-aspartat merupakan usaha unuk menurunkan ammonia serum dengan meningkatkan metabolisme jaringan terhadap urea dan glutamine. Pada hepatosit periportal, 1omithine bekerja sebagai substrat ureagenesis dan mengaktifasi siklus enzim urea omithine transcarbamylase dan carbamoyl phospotase syntase. Aktifitas siklus urea diharapkan mengkonsumsi ammonia dan menurunkan kadar ammonia dalam serum. Pada sel perivena hepatik, dimana enzim siklus urea minimal, aspartan (dan dekarboxylate lainnya) menstimulasi sintesis glutamine dan memulai proses detoksifikasi ammonia. Akan tetapi belum ada dosis dasar untuk anak, rekomendasi yang masih digunakan adalah hingga 20 gram/hari diencerkan pada cairan maintenance.

Benzoate dan Phenil asetat. Hiperamonia berhubungan dengan kerusakan metabolisme pada bayi baru lahir, penggunaan benzoate dan phenyl asetat merupakan standart pengobatan.

e. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan member pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati.

f. Prognosis

Ensefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dnegan tanda prognostic yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun.

4. Ensefalopati akibat iskemik

a. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi mental.

Page 38: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal, dan iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari:

1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida

2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid

3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan

4) Pemisahan plasenta premature

5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat

6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain

7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.

Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari (6):

1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik

2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah yang masif.

3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak

4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.

Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan tahanan vascular janin) dan kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis. Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar bersalin.

Page 39: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter atau keadaan yang mengganggu proses respirasi spontan sehingga menyebabkan hipoksia perinatal, asidosis laktat dan jika cukup berat maka akan menurunkan cardiac output atau menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia.

Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus venosus, duktus arteriosus, dan foramen ovale dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung dan adrenal lebih diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi pulmonal), hati, ginjal dan usus. Hipoksi intrauteri yang lama dapat menyebabkan terjadinya LPV, dan hyperplasia otot polos arteriol, membuat bayi cenderung mangalami hipertensi pulmonal. Apabila kegawatan janin menyebabkan janin terengah engah maka akan menyebabkan kandungan cairan amnion (mekonium, skuama rambut, lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.

Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang menyebabkan hipoksia dan kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang menyebabkan iskemia dapat menyebabkan berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat yang menghasilkan asidosis pada jaringan lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran darah pembuluh darah distal.

c. Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada neonatus preterm, memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.

Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak.

Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam macam bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan merupakan beberapa tanda umum terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik derajat keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan yang meningkat sesaat setelah dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan apneu. Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak adanya reflek tendon.

Page 40: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Tabel 4. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonates

Tanda Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tingkat kesadaran

Hiperalert Letargik Stupor

Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid

Refleks tendon/ klonus

Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada

Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada

Pupil Midriasis Miosis Anisokor, reflek cahaya minimal

Kejang Tidak ada Ada Desereberasi

EEG Normal Perubahan voltase rendah hingga aktifitas kejang

Banyak supresi hingga isoelektrik

Durasi <24jam jika ada kemajuan lain mungkin tetap normal

24jam -14 hari Hari-minggu

d. Penatalaksanaan. Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan kadang kadang dapat dicegah melalui pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan koreksi disfungsi multiorgan terkait.

Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB, iv) dapat digunakan selama kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi atau hipoglikemia. Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi

Page 41: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

dengan respon minimal pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar 23-300C, dan didiamkan hinggan ia menangis.

e. Prognosis. Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik stadium 3 memiliki insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang serius terutama pada perkembangan sarafnya, Prognosis dari asfiksia berat juga tergantung pada cedera pada sistem organ lain.

Tabel5. Efek hipoksia pada berbagai organ

Indikator lain dari jeleknya prognosis adalah onset dari respirasi spontan yang dapat diperkirakan dari skor APGAR. Neonatus dengan skor APGAR 3 pada menit ke 10 memiliki mortalitas 20% dan 5% angka kejadian cerebral palsy. Jika hingga menit ke 20, skor APGAR tetap tidak naik bahkan turun, maka angka mortalitasnya meningkat menjadi 60% dan insidensi serebral palsy meningkat menjadi 57%.

5. Ensefalopati lainnya

Serebral Palsi

a. Definisi. Serebral palsi adalah ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. CP merupakan suatu kelainan yang lazim dan diperkirakan prevalensi berkisar 2/1.000 populasi.

b. Epidemiologi dan Etiologi. Collaborative Perinatal Object, melaporkan bahwa angka prevalensi CP berkisar 4/1.000 bayi lahir hidup. Asfiksia lahir merupakan penyebab CP yang tidak lazim, lagi pula kehamilan yang beresiko inggi membuahkan anak yang normal secara neurologis. Meskipun CP tidak dapat dikenali penyebabnya pada sebagian besar kasus, sejumlah besar anak yang mengalami CP juga menderta anomali congenital di luar sistem saraf pusat, yang dapat menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya asfiksia pada periode perinatal.

c. Gejala Klinis. CP dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis dan etiologis dan kapasitas fungsional.

Tabel6. Klasifikasi CP

Fisiologis Topografis Etiologis Fungsional

Page 42: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Spastik Monoplegia Prenatal (misal, infeksi, metabolik, anoksia, toksik, genetik, infark)

Kelas I—tidak ada pembatasan aktifitas

Atetoid

Kaku

Ataksik

Paraplegia

Hemiplegia

Triplegia

Kelas II—pembatasan ringan sampai sedang

Tremor

Atonik

Kuadriplegia

Diplegia

Perinatal (misal, anoksia)

Kelas III—pembatasan sedang sampai berat

Campuran

Tidak terklasifikasi

Hemiplegia ganda

Pasca natal (misal, toksin, trauma, infeksi)

Kelas IV—aktifitas fisik tidak berguna

Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang toksonomi topografis menunjukkan keterlibatan tungkai. CP juga lazim disertai dengan spectrum kecacatan perkembangan, termasuk retardasi mental, epilepsi dan kelainan penglihatan, pendengaran, bicara, kognitif, dan perilaku. Cacat motorik meungkin merupakan masalah anak yang paling ringan.

Bayi yang menderita hemiplegia spastik mengalami penurunan gerakan spontan pada belahan tubuh yang terkena dan menunjukkkan preferensi tangan pada usia dini. Lengan lebih sering terlibat dari pada kaki, dan kesulitan pada manipulasi tangan nyata pada usia 1 tahun. Berjalan biasanya terlambat sampai 18-24 bulan, dan gaya berjalan melingkar tampak. Pemeriksaan tungkai dapat menunjukkan henti pertumbuhan terutama pada tangan dan kuku ibu jari, terutama jika lobusparietalis kontralateral abnormal, karena pertumbuhan tungkai dipengaruhi oleh otak daerah ini. Spastisitas nyata pada tungkai kaki yang terkena, terutama pergelangan kaki menyebabkan deformitas equinovarus kaki. Anak sering berjalan dengan ujung jari kaki karena peningkatan tonus dan tungkai atas yang terkena mendapat postur distonik ketika anak berlari. Klonus pergelangan kaki dan tanda Babinski masih mungkin ada, refleks tendo dalam meningkat dan kelemahan tangan dan dorsofleksi kaki nyata. Sekitar sepertiga penderita dengan hemiplegia spastik menderita gangguan kejang yang biasanya berkembang selama tahun pertama atau kedua

Page 43: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

dan sekitar 25% menderita kelainan kognitif yang termasuk retardasi mental. CT Scan atau MRI dapat menunjukkan adanya atrofi hemisfer serebri dengan ventrikel lateral kontralateral dilatasi pada sisi tungkai yang terkena. Tromboembolisme intrauterine dengan infark serebri setempat dapat merpakan suatu etiologi, CT atau MRI saat lahir pada bayi dengan kejang kejang setempat sering memperagakan daerah infark.

Diplegia spastik menunjuk pada spatisitas bilateral kaki. Penunjuk pertama diplegia spastik sering ditemukan ketika bayi mulai merangkak. Anak ini menggunakan lengan dalam cara resiprokal normal namun cenderung menyeret kakinya di belakang lebih seperti kemudi (gerakan merangkak komando) bukannya gerakan merangkak kaki empat normal. Jika spastisitas berat, pemakaian popok sukar karena adduksi pinggul berlebihan. Pemeriksaaan anak menunjukkan spastisitas pada kaki dengan refleks klonus pergelangan kaki cepat dan tanda babinski bilateral. Bila anak bergantung pada aksila, postur menggunting tungkai bawah dipertahankan. Berjalan sangat lambat kaki tertahan pada posisi equinovarus, dan anak berjalan pada ujung jari, Diplegia spastik berat ditandai dengan atrofi karena tidak digunakan dan pertumbuhan tungkai bawah terganggu dan dengan pertumbuhan yang tidak berimbang dengan perkembangan normal pada tubuh bagian atas. Prognosis untuk perkembangan intelektual normal adalah sangat baik pada penderita ini, dan kemungkinan kejang minimal. Temuan neuropatologis yang paling lazim adalah leukomalasia periventrikular, terutama pada daerah di mana serabut yang menginervasi kaki berjalan melalui kapsula interna. Lesi ini ditemukan pada bayi prematur.

Kuadriplegia spastik merupakan bentuk CP yg oaling berat karena gangguan motorik yang mencolok semua tungkai dan hubungan yang tinggi dengan retardasi mental dan kejang. Kesulitan menelan lazim terjadi karena palsi supranuklear bulbar dan sering mengarah pada pneumonia aspirasi. Pada autopsi substansia alba sentral terganggu oleh daerah degenerasi nekrotik yang dapat menyatu menjadi rongga kistik. Pemeriksaan neurologis memperlihatkan kenaikan tonus dan spastisitas pada semua tungkai, menurunkan gerakan spontan, reflek yang cepat, dan respons ekstenson plantar. Kontraktur fleksi pada lutut dan siku sering ada pada masa anak akhir. Kecacatan perkembangan yang menyertai, termasuk kelainan bicara dan penglihatan terutama lazim pada kelompok anak ini. Anak dengan kuadrisep spastik sering mempunyai bukti adanya atetosis dan dapat diklasifikasikan sebagai CP campuran.

CP athetoid relatif jarang, terutama sejak penemuan manajemen agresif hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus. Bayi ini secara khas hipotonik dan memiliki kontrol kepala yanbg buruk dan kelambanan kepala yang mencolok. Pemberian makanan mungkin sulit, lidah menjulutdan air liur mungkin menonjol. Gerakan atetoid mungkin tidak menjadi nyata hingga usia 1 tahun dan cenderung terjadi bersama dengan hipermielinisasi ganglia basalis, suatu fenomena yang disebut status marmoratus. Bicara secara khas terkena karena keterlibatan otot otot orofaring. Kalimat kalimat tertelan dna modulasi suara terganggu. Biasanya tanda neuron motorik atas tidak ada, kejang tidak lazim, dan intelek dipertahankan pada kebanyakan penderita.

Page 44: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

d. Diagnosis. Riwayat dan pemeriksaan fisik menyeluruh harus menyingkirkan gangguan sistem saraf pusat progresif, termasuk penyakit degenerative, tumor medulla spinalis atau distrofia muskularis. Tergantung pada tingkat keparahan dan sifat kelainan neurologis, EEG dasar dan CT scan mungkin terindikasi untuk menentukan lokasi dan luas lesi struktural atau malformasi kongenital terkait. Pemeriksaan tambahan dapat mencakup uji pendengaran dan fungsi penglihatan. Karena CP biasanya disertai dengan spektrum kelainan perkembangan yang luas, pendekatan multidisipliner adalah paling membantu dalam penilaian dan manajemen anak demikian.

e. Penatalaksanaan. Tim dokter dari berbagai spesialisasi demikian juga ahli terapi kerja dan fisik, patologi bicara, pekerja sosial, pendidik serta ahli psikologis perkembangan memberikan sumbangan penting dalam penatalaksanaan anak. Orang tua harus diberi tahu bagaimana menangani anak pada aktifitas sehari hari seperti makan, menggendong, memakai pakaian, mandi dan bermain main dengan cara yang membatasi tonus otot abnormal. Mereka juga perlu diberitahu dalam pengawasan serangkaian latihan fisik, yang dirancang unruk mencegah perkembangan kontraktur terutama tendo Aschiles yang ketat. Tidak ada bukti bahwa terapi fisik atau kerja akan mencegah perkembangan serebral palsi pada bayi beresiko atau bahwa ia akan memperbaiki defisit neurologis, namun ada banyak data menyatakan bahwa terapi fisik dapat mengoptimalkan perkembangan anak yang abnormal. Anak dengan diplegia spastik diterapi pada awalnya dengan menggunakan bantuan adaptif , seperti alat bantu berjalan, tongkat, dan kerangka berdiri. Jika penderita mengalami spastisitas tungkai bawah yang berat atau terbukti terjadi dislokasi sendi pinggul maka diperlukan tindakan bedah jaringan lunak untuk mengurangi spasme otot sekitar lingkaran panggul, termasuk tenotomi adductor atau pemindahan atau pelepasan psoas. Tindakan rhizotomi di mana akar saraf spinalis dibelah telah menghasilkan perbaikan yang besar pada penderita yang terpilih dengan diplegia spastik berat. Tali tumit yang ketat pada anak dengan hemiplegia spastik dapat ditangani secara bedah dengan tenotomi tendo Achilles. Penderita dengan kuadriplegia ditatalaksana dengan kursi roda bermotor, alat makan khusus, mesin tik bicara, dan komputer yang disesuaikan secara khusus termasuk komputer intelegensia buatan untuk memperbesar fungsi motorik dan bahasa. Masalah perilaku yang berarti dapat sangat mengganggu perkembangan anak dengan CP, identifikasi dan manajemen awal penting, dan bantuan psikologis arau psikiatri mungkin diperlukan. Gangguan belajar dan defisit perhatian dan retardasi mental dimulai dan ditatalaksana oleh ahli psikologi dan pendidik. Strabismus, nistagmus dan atrofi optik adalah lazim pada anak dengan CP. Disfungsi saluran kencing bawah harus segera mendapatkan penanganan, termasuk diantaranya natrium dantrolen, benzodiazepine, dan baklofen. Toksin botilinum masih dalam penelitian untuk mengatasi spastisitas pada kelompok otot tertentu. Kadang kadang penderita dengan atetosis yang menjadikan tidak mampu akan berespon terhadap levodopa, dan anak dengan distonia mungkin mendapatkan manfaat dari karbamazepine atau triheksifenidil.

Ensefalomiopati mitokondrial

Page 45: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Sekurang kurangnya tiga kelainan terkait yang ditandai dengan penyakit serebral dan miopati mitokondria dan ensefalopati. Penyakit Leigh dan Sindrom Reye dibahas di sini karena mereka akibat dari kelainan fungsi mitokondria. Ensefalomiopati mitokondria, asidosis laktat dan episode mirip stroke (MELAS).

Penderita dengan MELAS dapat mungkin normal dalam beberapa tahun pertama, namun secara bertahap mereka akan menunjukkan perkembangan motorik dan kognitif. Anak ini mempunyai perawakan yang pendek dan mengalami gangguan kejang kejang setempat atau menyeluruh. Akhirnya penderita datang dengan hemipharesis akut yang dapat bergantian dari sebelah ke sebelah lainnya. Pemeriksaan CT scan menampakkan kalsifikais ganglia basalis pada beberapa penderita dan daerah terang pada hemisfer serebri. Kadar laktat serum selama episode akut akan meningkat. Biopsi otot biasa dilakukan tetapi tidak selalu, menampakkan serabut berwana merah jelek. MELAS merupakan kelainan progresif yang juga dilaporkan terjadi pada saudara kandung. Episode hemiparesis, hemianopia, kebutaan korteks dan demensia progresif akibat terjadinya stroke berkali kali. Lokasi lesi terang yang tampak pada CT scan sesuai dengan deficit akut, Prognosis penderita dengan sindrom penuh adalah suram. Uji coba terapetik telah memasukkan kortikosteroid dan CoQ10. Penurunan kadar laktat serum dengan dikloroasetat pada pendita dengan asidosis laktat berat dapat menghasilkan perbaikan klinis yang nyata. Sebagian besar penderita akan mengalami mutasi titik yang sangat spesifik, meskipun tidak eksklusif pada nt 3243 dalam gen tRNALeu (UUR) dan mtDNA, yang telah memberikan alat diagnostic penting. Pemeriksaan biokimia otot menunjukkan defisiensi kompleks I pada banyak penderita, namun berbagai defek rangkaian sa;uran pernapasan, yang mempengaruhi kompleks I, III dan terutama kompleks IV juga telah dapat didokumentasikan.

Epilepsi mioklonus dan serabut merah jelek (Mioclonus Epilepsu and Ragged Red Fibers—MERRF)

Penderita dengan MERRF mungkin juga normal pada tahun tahun perkembangan awal. Namun, semua penderita pada akhirnya menderita epilepsy mioklonik dan ataksia prgresif yang disertai dengan disartria dan nistagmus beberapa menderita atrofi optik. Karena beberapa penderita mengalami kelainan sensasi yang dalam dan pes cavus, maka mungkin keadaan ini terncukan dengan keadaan ataksia Friedreich. Tanda yang kurnag lazim meliputi demensia, kehilangan pendengaran, neuropati perifer, dan spastisitas. Selain itu juga terjadi perburukan intelektual yang terjadi secara progresif lambat. Temuan patologis meliputi meningkatnya kadar laktat serum, serabut merah jelek pada biopsy otot, degenerasi dan hilangnya neuron yang mencolok pada nucleus dentate, dan kompleks olivarus inferior dengan kehilangan sel Purkinje dan neuron pada nucleus merah. Korteks serebri dan substansia alba biasanya normal. Sebagian besar penderita biasanya mengalami mutasi titik spesifik, meskipun tidak eksklusif pada nt8344 pada gen tRNA Lys mtDNA. Ada hasil yang tidak konsisten pada pemeriksaaan biokimia otot, termasuk defek kompleks III; kompleks II dan IV; kompleks I dan IV; kompleks I, III dan IV, atau kompleks IV saja.

Page 46: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Sindrom Kearns-Sayre (SKS)

Kriteria untuk SKS adalah terdiri dari tiga, yaitu: mulainya sebelum usia 20 tahun, oftalmoplegia eksterna progresif, dan retinopati pigmentosa. Selain itu setidaknya harus terdapat satu dari: blockade jantung, sindrom serebeler, atau protein cerebrospinal di atas 100mg/dL. Ciri non spesifik lain namun lazim adalah demensia, kehilangan pendengaran, sensorineural, dan kelainan endokrin, termasuk perawakan pendek, diabetes mellitus dan hipoparatiroidisme. Prognosisnya adalah buruk walaupun telah diberikan pacu jantung. Serabut merah jelek ditemukan pada biopsy otot dengan berbagai jumlah serabut COX negative. Hampir semua penderita mengalami penghapusan mtDNA. Ini mungkin merupakan mutasi baru yang merupakan sifat sporadic SKS. (6)

Penyakit Leigh (Ensefalomiopati nekrotikans Subakut)

Sekurangnya ada tiga penyebab penyakit Leigh yang diketahui ditentukan secara genetik: defisiensi kompleks piruvat dihidrogenase, defisiensi kompleks I, dan defisiensi kompleks IV pernafasan. Defek ini dapat muncul secara sporadik atau diwariskan melalui transmisi resesif autosom, seperti pada kasus defisiensi COX, atau pada kasus transmisi terjait X, seperti pada defisiensi alfa PDH E. Sebagian besar penderita datang, selama masih bayi dengan masalah menelan, makan, muntah muntah dan gagal tumbuh . Tanda keterlibatan motorik dan kemampuan bicara dapat nyata, dan kejang menyeluruh, lemah, hipotonia, ataksia, tremor, tanda piramidalis, dan nistagmus merupakan temuan yang menonjol. Pernapasan sebentar dengan disertai dengan suara napas desakan atau menangis tersedu sedu adalah khas menunjukkan adanya disfungsi batang otak. Beberapa penderita menderita oftalmoplegi eksterna, ptosis, atrofi optik, dan penurunan ketajaman penglihatan. Hasil abnormal pada pemeriksaaan CT scan yang terdiri dari daerah penipisan rendah simetris bilateral pada ganglia basalis pernah ditemukan pada beberapa penderita. Perubahan patologis terdiri daeri daerah nekrosis simetris setempat pada daerah thalamus, ganglia basalis, substansia abu abu tegmental, daerah periventrikuler dan periaquaduktus batang otak dan kolumna posterior medulla spinalis. Secara mikroskopik, lesi spongiform memperlihatkan rongga kistik dengan kehilangan neuron, demielinisasi, dan proliferasi vascular. Kadar laktat serum yang meningkat merupakan tanda utama dari penyakit Leigh. Ramalan keseluruhan penyakit Leigh adalah buruk, namun beberapa penderita mengalami periode remisi yang lama(6)

Sindrom Reye

Ensefalopati ini disertai dengan degenerasi lemak visceral dan kelainan dungsi mitokondria. (6)

Sindrom Zellweger (Sindroma Serebrohepatorenal)

Kelainan jarang yang mematikan ini diwariskan sebagai ciri resesif autosom. Kelainan ini mewakili prototype kelompok kelainan paroksismal yang memiliki gejala, tanda dan kelainan biokimia yang tumpang tindih. Bayi dengan sindrom Zellweger memiliki wajah disforik yang

Page 47: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

terdiri dari penonjolan frontal dan fontanela anterior besar. Oksiput tampak tidak rata dan telinga eksterna tidak normal. Palatum sangat lengkung, lipatan kulit leher berlebihan, hipotonia berat dan arefleksia biasanya nyata. Pemeriksaan mata menyingkap adanya gerakan nistagmoid, katarak bilateral dan atrofi optik. Kejang kejang menyeluruh menjadi nyata pada awal kehidupan, disertai dengan tanda keterlambatan perkembangan menyeluruh berat dan kehilangan pendengaran bilateral yang berarti. Hepatomegali merupakan temuan yang menonjol segera setelah lahir, sering disertai dengan riwayat ikterus neonatorum yang lama. Penderita dengan sindroma Zellweger jarang bertahan hidup hingga lebih dari 1 tahun. (6)

Ensefalopati Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS)

Ensefalopati merupakan manifestasi lazim dan tidak menguntungkan pada bayi dan anak dengan infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Tanda neurologis muncul pada penderita yang terinfeksi secara kongenital mungkin muncul selama awal masa bayi dan mungkin tertunda hingga usia lima tahun. Ensefalopati ini dapat mulai akut dengan perburukan yang berat, namun pada beberapa kasus proses ini statis atau ditandai dengan pemburukan terselubung yang membahayakan. Tanda utama ensefalopati AIDS adalah henti pertumbuhan otak, bukti adanya keterlambatan perkembangan dan evolusi tanda neurologis. (6)

Ensefalopati luka bakar

Ensefalopati ini berkembang pada berkisar 5%anak dengan luka bakar yang berarti dan lama beberapa minggu pertama rawat inap. Tidak ada penyebab tunggal ensefalopati luka bakar namun agaknya kombinasi beberapa faktor yang meliputi anoksia (mengisap asap, ,keracunan karbon monoksida, laringospasme), kelainan elektrolit, bakteremia dan sepsis, thrombosis vena korteks, luka kepala yang terjadi secara bersamaan, edema otak, reaksi obat, dan distress emosi. Kejang merupakan manifestasi klinis ensefalopati luka bakar yang paling lazim, namun tingkat kesadaran yang berubah, halusinasi, dan koma dapat terjadi. Manajemen ensefalopati luka bakar diarahkan pada pencarian sebab yang mendasari dan terapi hipoksemia, kejang, kelainan elektrolit spesifik, atau edema otak. Prognosis untuk kesembuhan neurologis total pada umumnya sangat baik, terutama jika kejang merupakan kelainan primer(6)

Ensefalopati Hipertensif

Ensefalopati hipertensif adalah paling lazim disertai dengan penyakit ginjal pada anak termasuk glomerulonefritis akut, pielonefritis kronik, dan penyakit ginjal stadium akhir. Pada beberapa kasus, ensefalopati hipertensif merupakan manifestasi awal penyakit ginjal yang mendasari. Hipertensi sistemik yang mencolok menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, yang mengakibatkan permeabilitas vaskuler dan menimbulkan edema otak perdarahan otak setempat. Mulainya dapat akut, dengan kejang dan koma atau lebih lambat dengan sakit kepala, mengantuk dan lesu, mual dan muntah, penglihatan kabur, kebutaan korteks sementara, dan hemipharesis. Pemeriksaan dasar mata mungkin normal pada anak, tetapi papil edema dan perdarahan retina

Page 48: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

dapat terjadi. Pengobatan diarahkan pada pemulihan keadaan normotensif dan mengendalikan kejang dengan antikonvulsan yang sesuai.

--------

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

DEBI LR

DEFINISI

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi – kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis , terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut dan relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotic, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.

ETIOLOGI

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.

Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :

Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi. Keadaan sakit atau infeksi. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.

PATOFISIOLOGI

Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.Gambar 1: Perkembangan ketoasidosis diabetik

Page 49: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.

Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul).

Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.

Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

EPIDEMIOLOGI

Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pada anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga

Page 50: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat bervariasi, terutama tergantung pada lingkungan tempat tinggal. Ada kecenderungan semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negara-negara eropa.

Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah dengan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih banyak pada daerah dengan insiden yang tinggi, sedangkan perempuan akan lebih berisiko pada daerah dengan insiden yang rendah.

Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.

GEJALA KLINIS

Sekitar 80 % pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang , lidah dan bibir kering) , kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.

Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta mendapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, dan infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lanbung.

Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).

ALUR PEMERIKSAAN

Page 51: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Glukosa.

Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi.

Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl.

Natrium.

Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.

Kalium.

Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.

Bikarbonat.

Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.

Sel darah lengkap (CBC).

Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.

Gas darah arteri (ABG).

pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada ABG. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan ABG. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk menilai asidosis juga.

Page 52: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Keton.

Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.

β-hidroksibutirat.

Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik (KAD).

Urinalisis (UA)

Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi saluran kencing yang mendasari.

Osmolalitas

Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

Fosfor

Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.

Tingkat BUN meningkat.

Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.

Kadar kreatinin

Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi renal.

Tabel 1. Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolik pada diabetes.Sifat-sifat Hyperosmolar.

Diabetic ketoacidosis Non ketoticcoma

(KAD) (HONK) Asidosis laktat

Glukosa plasma Tinggi Sangat tinggi Bervariasi

Page 53: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

KetoneAda Tidak ada Bervariasi

Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat

Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi

Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:

1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.

2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan

kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis.

PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan. Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. pengelolaan KAD tentunyan berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah :

1. penggantian cairan dan garam yang hilang2. menekan lipolysis sel lemak dan menekan gluconeogenesis sel hati dengan pemberian

insulin.3. mengatasi stress sebagai pencetus KAD4. mengembalikan keadaan fisiologinormal dan menyadari pentingnya pemantauan serta

penyesuaian pengobatan

Pengobatan KAD tidak terlalu rumit, ada 6 hal yang harus diberikan ; 5 diantaranya ialah : cairan , garam, insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Disini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.

Cairan

Page 54: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 mL / Kg berat badan, maka pada jam pertama diberikan 1 – 2 Liter, jam kedua diberikan 1 Liter dan selanjutnya sesuai protocol. Ada 2 keuntungan rehidrasi pada KAD : memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator insulin. Bila perlu konsentrasi glukosa kurang dari 200 % maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%)

InsulinTerapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di jaringan lemak , pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormone kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk mencegah terjadinya lipolysis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Kesalahan yang seringa terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang. Tujuan pemberian insulin disini bukan hanya untuk mencapai konsentrasi glukosa normal , tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh Karena itu bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg %, insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali.

KaliumPada awal KAD biasanya konsentrasi ion kalium(K) serum meningkat. Hyperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardigram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hyperkalemia tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya hypokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada keadaan KAD, ion kalium bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total deficit K yang selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/ Kg/ BB. Selama terapi KAD ion K kembali kedalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion ke dalam sel serta mempertahankan konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannaya gelombang T yang lancip dan tinggi

Page 55: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urin cukup adekuat.

GlukosaSetelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya konsentrasi glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan etrjadi penurunan konsentrasi glukosa sekitar 60 mg % / jam. Bila konsentrasi <200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan konsentrasi gula tetapi untuk menekan ketogenesis.

BikarbonatTerapi bikarbonat pada KAD menjadi topic perdebatan selama beberapa tahun. Permberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alas an keberatan pemberian bikarbonat adalah :

1. menurunkan pH intrselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat2. efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan3. hipertonis dan kelebihan natrium 4. meningkatkan insidens hypokalemia5. gangguan fungsi serebral6. terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk terbentuk dari asam keto

Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hyperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemebrian bikarbonat.

Pengobatan Umum

Disamping hal tersebut di atas pengobatan umum tidak kalah penting. Pengobatan umum KAD terdiri dari atas :

1. antibiotic yang adekuat 2. oksigen bila pO2 < 80 mmhg 3. heparin bila ada DIC atau bila hyperosmolar (>380 mOsm/L)

Pemantauan

Pemantauan merupakan bagian terpenting dalam pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan :

1. konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan alat glucometer2. elektrolit setiap 6 jam sampai selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan

Page 56: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

3. analisis gas darah ; bila pH < 7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil

4. tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperature setiap jam 5. keadaan dehidrasi , balance cairan 6. waspada terhadap kemungkinan DIC

agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:

Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )

Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif.

Kebutaan ( Retinopati Diabetik )

Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali

Syaraf ( Neuropati Diabetik )

Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi.

Kelainan Jantung.

Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat. Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah.

Page 57: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Hipoglikemia.

Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.

Impotensi.

Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia 35 – 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde).

Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan.

Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir mati atau cacat dan lainnya.

Hipertensi.

Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah.

Komplikasi lainnya.

Selain komplikasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa komplikasi yang mungkin timbul. Komplikasi tersebut misalnya:

Ganggunan pada saluran pencernakan akibat kelainan urat saraf. Untuk itu makanan yang sudah ditelan terasa tidak bisa lancar turun ke lambung.

Page 58: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

Gangguan pada rongga mulut, gigi dan gusi. Gangguan ini pada dasarnya karena kurangnya perawatan pada rongga mulut gigi dan gusi, sehingga bila terkena penyakit akan lebih sulit penyembuhannya.

Gangguan infeksi. Dibandingkan dengan orang yang normal, penderita diabetes millitus lebih mudah terserang infeksi.

PROGNOSIS

Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%.

Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes.

----------

HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK

KAMARDI

Page 59: SISTEM NEUROPRSIKIATRI MOD 2.doc

REFERENSI

• A.Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi. Jakarta : EGC

• Corwin, Elizabeth J. 2009. BukuSakuPatofisiologiEd. 3. Jakarta: EGC

• Dorland, W. A. Newman. 2002. KamusKedokteranDorland Ed. 29. Jakarta: EGC

• Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85

• McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh alih bahasa

sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.