SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU...
Transcript of SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU...
-
i
SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG
PADA SUKU SEMENDO MUARA ENIM
SUMATERA SELATAN
(Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
BADRAN
NIM 11150430000013
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
ABSTRACT
Badran. NIM 11150430000013. HERITAGE LEGAL PUBLIC LAW SYSTEM
IN SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN (Comparative Study of
Customary Law and Islamic Law). Comparative Study Program of School and
Law, Faculty of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta, 1440 H / 2019 M. xiv + 65 pages + 5 attachment.
This thesis discusses one of the indigenous inheritance systems in
Indonesia, precisely in the Semendo Darat Ulu area of Muara Enim Regency,
South Sumatera. The name ot that inheritance is the indigenous inheritance of
Tunggu Tubang.
This research used descriptive research method with a qualitative
approach, which is a method that examines the status of a group of people, an
object, a set of conditions, a thought or a class of events. The data collection
method used the literature method with a qualitative approach, which is
examining books or data that is based on qualitative data.
The purpose of this study was to determine the review of Islamic law
(fiqh), customary law, and Compilation of Islamic Law related to adat Tunggu
Tubang. There are a number of points that outline the differences from the custom
Tunggu Tubang, namely the heir can be a person who is still alive, heirs are only
the first child of a girl, men do not get any part at all, there is a custom Ngangkit
(wife of the first son was appointed as heir to the property). A review of Islamic
law (fiqh) considers that adat is not in accordance with fiqh. The adat review sees
that Semendo Darat Ulu uses a matrilineal system with a female major. The
Compilation of Islamic Law considers that the adat Tunggu Tubang is
incompatible with the Compilation of Islamic Law.
Keywords: Inheritance, treasures of Waiting Tubang, Semendo Darat Ulu.
Advisor: 1. Dr. AfidahWahyuni, M.Ag
2. Sri Hidayati, M.Ag
References: 1973 to 2019
-
vi
ABSTRAK
Badran. NIM 11150430000013. SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU
TUBANG PADA SUKU SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN
(Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam). Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019 M. xiv + 65 halaman + 5 Lampiran.
Skripsi ini membahas tentang salah satu sistem kewarisan adat yang ada di
Indonesia, tepatnya di wilayah Semendo Darat Ulu Kabupaten Muara Enim
Sumatera Selatan. Nama dari kewarisan itu yakni kewarisan adat Tunggu Tubang.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu pemikiran ataupun suatu kelas
peristiwa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan
dengan pendekatan kualitatif, yaitu meneliti buku-buku atau data yang
mendasarkan pada data kualitatif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan tinjauan hukum Islam
(fikih), hukum adat, dan Kompilasi Hukum Islam terkait adat Tunggu Tubang.
Ada beberapa poin yang menjadi garis besar perbedaan dari adat Tunggu Tubang,
yakni pewaris bisa orang yang masih hidup, ahli waris hanya anak pertama
perempuan, laki-laki tidak mendapat bagian sama sekali, adanya adat Ngangkit
(istri dari anak laki-laki pertama diangkat sebagai pewaris harta). Hukum Islam
(fikih) memandang bahwa adat ini tidak sesuai fikih. Tinjauan adat melihat bahwa
Semendo Darat Ulu menggunakan sistem matrilineal dengan mayorat perempuan.
Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa adat Tunggu Tubang tidak sesuai
dengan Kompilasi Hukum Islam.
Kata Kunci : Waris, harta Tunggu Tubang, Semendo Darat Ulu.
Pembimbing : 1. Dr. AfidahWahyuni, M.Ag
2. Sri Hidayati, M.Ag
Daftar Pustaka: 1973 s.d 2019
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tulus dan mendalam penulis lantunkan kepada Allah
SWT atas segala curahan nikmat, rahmat, hidayah dan juga inayah-Nya maka
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan keadaan penulis yang baik
juga. Kalimat salam dan pujian juga penulis pujikan kepada sang pencerah
kehidupan, pemuda padang pasir yang mulia Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
mendalam dan tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran
hingga selesainya skripsi ini, baik dukungan moril maupun materil. Karena
menurut penulis, sangat jauh dari kata mungkin jika tanpa adanya dukungan dari
semua pihak tersebut. Secara khusus penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang mendalam kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.H. M.A., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum serta para pihak pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Siti Hanna, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan
bapak Hidayatulloh, MH., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab;
3. Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif M.Ag., Dosen Penasehat Akademik penulis;
4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Dosen
Pembimbing Skripsi I dan II yang telah memberikan arahan dan saran serta
ilmunya hingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membagikan ilmunya
yang susah untuk dinilai dengan uang, sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta;
-
viii
7. Kedua penyangga kehidupan penulis yang luar biasa mendukung secara moril
dan materil yakni kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibu beserta adik dan
kakak penulis, yang telah mencintai segenap jiwa dengan apa adanya penulis,
yang telah mendukung dengan segala bentuk dukungan hingga penulis
sampai pada salah satu titik perjuangan ini;
8. Keluarga Besar penulis baik yang ada di Sumatera Selatan maupun yang ada
di Pulau Jawa yang telah mendukung dan menerima penulis dengan sangat
luar biasa. Meminjami penulis laptop hingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini. Ataupun dukungan moril dan materil lainnya yang tidak bisa
penulis sebutkan semuanya karena begitu banyaknya;
9. Seorang wanita yang sedang dalam proses untuk menjadi pendamping hidup
penulis beserta keluarganya yang selalu mendukung penulis secara moril dan
materil, menerima apa adanya penulis;
10. Keluarga Besar Prodi Perbandingan Madzhab angkatan 2015 yang telah
menemani penulis dalam menapaki perjuangan. Berbagi suka dan duka,
berbagi cerita dan rasa serta memberikan dukungan kepada penulis hingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik;
11. Teman-teman penulis yang bertemu saat penulis Kuliah Kerja Nyata (KKN),
teman-teman satu hobi dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih dari
penulis atas segala dukungannya.
Akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan yang
berlimpah atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis berdoa semoga apa
yang telah kalian berikan menjadi amal kebajikan yang diterima di sisi-Nya dan
bermanfaat bagi kita semua. Ȃmȋn.
Jakarta, 16 Oktober 2019
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
ABSTRACT ....................................................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... vii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................. 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 4
E. Review Kajian Terdahulu .......................................................................... 5
F. Metode Penelitian ...................................................................................... 8
G. Rancangan Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM ................................................ 11
A. Pengertian Kewarisan .............................................................................. 11
B. Dasar Hukum Waris ................................................................................ 13
C. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan ....................................................... 24
D. Sebab-sebab dan Halangan Untuk Menerima Harta Waris ..................... 26
E. Macam-macam Ahli Waris dan Bagian Masing-masing......................... 27
f. Asas-asas Kewarisan Dalam Islam.......................................................... 30
BAB III SISTEM KEWARISAN SUKU SEMENDO MUARA ENIM .................. 32
SUMATERA SELATAN .............................................................................. 32
A. Gambaran Umum Suku Semendo ........................................................... 32
B. Ketentuan dan Kedudukan Harta Tunggu Tubang .................................. 34
C. Ahli Waris ............................................................................................... 39
D. Pembagian Warisan ................................................................................. 39
E. Halangan Menerima Warisan .................................................................. 40
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN KEWARISAN DITINJAU DARI FIKIH,
ADAT DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ............................................ 42
-
x
A. Tinjauan Fikih ......................................................................................... 42
B. Tinjauan Hukum Adat ............................................................................. 48
C. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam .......................................................... 51
D. Analisa Penulis ........................................................................................ 53
BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 60
A. Kesimpulan ............................................................................................. 60
B. Rekomendasi ........................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 62
LAMPIRAN..................................................................................................................... 66
-
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z ze dengan garis bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
-
xii
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ھ
Apostrop ء
Y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
A Fathah َـ
I Kasrah ِـ
U Dammah ُـ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
يَـ ai a dan i
au a dan u َـو
-
xiii
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas َـا
Î i dengan topi di atas ِـى
Û u dengan topi di atas ُـو
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif
dan lam (ال), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah, misalnya:
al-ijtihâd = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasdîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah
kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuî’ah, tidak ditulis asy-suf’ah = الشغعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
-
xiv
No Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شريعة 1
اإلسالمية الشريعة 2 al- syarî’ah al-islâmiyyah
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاھب 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan
bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’i), kata benda (ism) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل في األشياء اإلباحة 4
Al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Semendo adalah masyarakat yang semuanya beragama Islam,
ditandai dengan banyaknya lembaga pendidikan berbentuk pesantren dan juga
adanya masjid di setiap desa yang ada di kecamatan Semendo Darat Ulu. Sudah
tentu ilmu fikih dipelajari dan diketahui oleh masyarakat tersebut. Termasuk
tentang waris, pembagian waris, bagian ahli waris dan yang berkenaan dengan hal
tersebut. Telah dipatenkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176 bahwa hak
waris anak perempuan satu sebanding dua dengan anak laki-laki.1
Adapun kenyataan yang ada di masyarakat adat Semendo yaitu anak
perempuan tertua mewarisi harta yang disebut harta Tunggu Tubang yang berupa
sawah dan rumah. Sedang anak laki-laki bukan prioritas atas ini. Namun ada hal
lain yang menarik dalam adat Tunggu Tubang ini, yaitu harta tersebut tidak bisa
dijual oleh anak Tunggu Tubang (anak perempuan tertua). Anak Tunggu Tubang
hanya bisa menempati, mengelola dan menikmati hasil dari harta tersebut.
Tentunya keadaan ini secara sekilas tidak sesuai dengan ajaran fikih dan ketentuan
undang-undang Negara Indonesia.2
Harta tersebut diwariskan turun-temurun dari keturunan anak Tunggu
Tubang, kalau anak Tunggu Tubang hendak menjual harta tersebut, maka ia perlu
mendapat persetujuan dari Meraje (Paman dari anak Tunggu Tubang). Ini semakin
membuat penelitian ini menarik. Disebutkan tadi bahwa anak tertua perempuan
mewarisi harta Tunggu Tubang namun dia tidak bisa memiliki sepenuhnya atas
harta tersebut. Seiring perjalanan waktu dan turun-temurunnya kewarisan, maka
perubahan anak Tunggu Tubang dan Meraje pun terjadi.3
1 Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 176. 2 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada
Masyarakat Suku Semende, Sosietas, Vol. 7, 2, 2017, Jawa Barat: Universitas Pendidikan
Indonesia, hal. 420-421. 3 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada
Masyarakat Suku Semende, hal. 422.
-
2
Selain mendapatkan hak atas harta orang tuanya, ada satu kewajiban anak
Tunggu Tubang terhadap orang tuanya, yakni memelihara orang tuanya. Banyak
kejadian yang terjadi yakni pertengkaran antar saudara dalam memiliki harta
tersebut disebabkan karena anak Tunggu Tubang tidak berlaku baik bagi orang
tuanya. Hal ini menarik, bukankah dalam fikih disebutkan bahwa kewarisan
terjadi ketika muwaris telah meninggal dunia. Namun di masyarakat semendo hal
ini terjadi sebelum muwaris meninggal dunia. Hal ini tampaknya bertentangan
dengan hukum Islam (fikih) dan peraturan perundang-undangan.
Dalam sebuah hukum adat, hukum kewarisan sangat dipengaruhi oleh
persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya
persekutuan geneologis yang berdasarkan keturunan, persekutuan teritorial yang
berdasarkan kependudukan, dan persekutuan hukum geneologis dan/atau
teritorial. Persekutuan geneologis tumbuh karena kesatuan nenek moyang,
sehingga diantara mereka tumbuh hubungan keluarga. Persekutuan teritorial ada
karena tinggal disuatu tempat yang sama. Persekutuan geneologis terurai atas tiga
tipologi yang menandai sistem kekeluargaan dan kekerabatan masyarakat adat,
yaitu patrelinial (kebapakan), matrilenial (keibuan), dan parenta (bapak-ibu).4
Dua faktor hidup dan menjadi corak dari kehidupan masyarakat Semendo
Darat Ulu. Masyarakat terikat oleh kesatuan nenek moyang dan juga karena
tinggal di wilayah yang sama dengan sebutan desa. Maka bukan suatu yang aneh
jika dalam satu desa itu terikat oleh hubungan kekeluargaan. Hal ini disebabkan
juga oleh lingkup pernikahan yang tercakup dalam satu desa atau kecamatan itu
saja.
Dalam sistem kekeluargaan, mengenal tiga cara kewarisan, yakni
individual (harta diwarisi secara perorangan), terdapat di Jawa, Batak, Sulawesi,
dan daerah lainnya. Kewarisan kolektif (harta diwarisi secara bersama-sama).
Kewarisan Mayorat, (harta waris diwarisi oleh seorang anak saja). Mayorat
terpecah lagi dalam dua sisi, yakni mayorat laki-laki seperti di Lampung (anak
4 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), cet.1, hal. 53-58.
-
3
laki-laki tertua menjadi ahli waris tunggal). Mayorat perempuan seperti di suku
Semendo Sumatera Selatan (anak perempuan tertua menjadi ahli waris tunggal).5
Masyarakat suku semendo mengenal tiga sistem kewarisan ini, sistem
kewarisan individual berlaku apabila pewaris tidak memiliki anak lebih dari satu
laki-laki atau perempuan, maka anak tunggal tersebut mewarisi semua harta
peninggalan dari pewaris. Sistem kewarisan kolektif berlaku apabila pewaris
mewariskan harta pusaka yang berupa keris, dan lain sebagainya. Adapun sistem
kewarisan mayorat berlaku berkenaan dengan pewarisan harta Tunggu Tubang.
Pewaris mewariskan harta berupa sawah dan rumah. Sawah dan rumah ini hanya
bisa dikelola oleh anak Tunggu Tubang (Perempuan Tertua) tanpa bisa menjual
atau memiliki. Sedangkan pewaris lain atau anak laki-laki bisa mengelola atau
mengambil alih pengelolaan jika anak Tunggu Tubang tidak bertanggungjawab
terhadap harta tersebut.
Hukum adat tidak menentukan waktu harta warisan itu akan dibagi atau
waktu diadakannya pembagian. Namun, dalam praktek secara umum, waktu
pembagian warisan adalah setelah dilaksanakannya acara sedekah atau selamatan
yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah
pewaris wafat. Apabila terjadi konflik, diupayakan terlebih dahulu melalui
musyawarah atau mufakat. Apabila gagal, baru diminta bantuan dan campur
tangan ketua adat atau pemuka agama.6
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka penulis
tertarik untuk membahas masalah ini ke dalam penelitian yang penulis beri judul
“SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU
SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN (Studi Perbandingan
Hukum Adat Dan Hukum Islam)”.
5 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet. 2, hal. 41-43. 6 Wahyu Kucoro, Waris Permasalahannya dan Solusinya Cara Halal dan Legal
Membagi Warisan, (Jakarta Timur: Raih Asa Sukses, 2015), cet. 1, hal. 16.
-
4
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana ketentuan pembagian waris harta Tunggu Tubang dalam sistem
kewarisan adat masyarakat Semendo Darat Ulu?
2. Bagaimana kedudukan harta Tunggu Tubang dalam sistem kewarisan adat
masyarakat Semendo Darat Ulu?
3. Bagaimana dampak dari sistem pembagian waris harta Tunggu Tubang?
4. Bagaimana hukum waris Tunggu Tubang dipandang dari Hukum Islam?
5. Bagaimana hukum waris Tunggu Tubang dipandang dari Hukum Positif?
6. Bagaimana sebab terjadinya pembagian waris harta Tunggu Tubang?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini dan juga luasnya wilayah Suku Semendo, maka penulis membatasi
pembahasannya. Hal ini bertujuan agar pembahasannya tidak melebar atau meluas
dan sesuai dengan sasaran. Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian
hanya pada wilayah Desa Datar Lebar Kecamatan Semendo Darat Ulu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan banyaknya identifikasi masalah yang timbul, maka penulis
merumuskan permasalahan yang akan penulis teliti yaitu Bagaimana
perbandingan hukum adat Tunggu Tubang dan hukum Islam dalam hal pembagian
waris ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hukum pembagian waris harta Tunggu Tubang
dipandang dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan kita sebagai umat Islam dalam
memahami hukum dari sistem waris adat yang berlaku di masyarakat
-
5
Indonesia. Penelitian ini juga untuk menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab dan Hukum.
b. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab
pertanyaan hukum terhadap penomena yang berkembang di masyarakat
semendo. Penelitian ini juga bisa menjadi rujukan para mubaligh dan
praktisi hukum dalam menjawab dan mengkritisi kegiatan umat Islam
dalam hal pembagian harta waris.
E. Review Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, peneliti telah melakukan kajian pustaka terhadap
beberapa karya ilmiah yang dibuat sebelum penelitian ini. Ada beberapa karya
ilmiah yang telah peneliti review dan mendekati penelitian yang hendak peneliti
lakukan, yaitu:
Skripsi yang bejudul “Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap
Hukum Waris Islam (Studi di Kelurahan Cengkareng Jakarta Barat)” yang
ditulis oleh Mariyah.7 Dalam skripsi ini, Mariyah meneliti tentang pengetahuan
dari masyarakat yang ada di Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam.
Penelitian ini juga membahas tentang sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hukum waris Islam. Sedangkan penelitian yang hendak peneliti lakukan adalah
berkenaan dengan sebuah sistem kewarisan yang berlaku di masyarakat Semendo
Darat Ulu. Bukan membahas kepada kesadaran atau sikap perilaku masyarakat.
Hal lain yang membedakan penelitian yang hendak peneliti lakukan adalah
peneliti juga membandingkan aspek hukum dari sistem kewarisan tersebut
dipandang dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Pembagian Waris Masyarakat
Betawi Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kelurahan
Lebak Bulus Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan)” yang ditulis oleh Siti
7 Mariyah, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam (Studi di
Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2009.
-
6
Azizah.8 Pada skripsi ini, Siti Azizah membahas tentang pembagian waris yang
terjadi di masyarakat Betawi dan memandangnya dari segi hukum Islam.
Penelitian ini sedikit memiliki kesamaan dengan penelitian yang hendak peneliti
bahas, yaitu sama-sama membahas tentang sistem pembagian waris yang terjadi di
masyarakat dan juga memandangnya dari segi hukum Islam. Adapun
perbedaannya yaitu, penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian Siti
Azizah berbeda wilayah dan juga juga berbeda sistem pembagian warisnya. Hal
lain yang membedakan yaitu, peneliti juga hendak membandingkan sistem
pembagian waris tersebut ditinjau dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum
Islam.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Tradisi Penyelesaian Waris Desa
Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan” yang ditulis oleh Moh.
Khoiruddin.9 Dalam penelitian ini, Khoiruddin membahas tentang tradisi atau
kebiasaan yang dilakukan dalam menyelesaikan pembagian harta waris. Dalam
penelitian ini juga, Khoiruddin meninjau tradisi ini dengan hukum Islam dan juga
membahas tentang sebab-sebab tetap memakai tradisi ini. Perbedaan penelitian
yang hendak peneliti teliti yaitu objek dari adatnya berbeda, wilayah yang berbeda
dan juga peneliti membahas juga dari segi hukum Islam (fikih) dan Kompilasi
Hukum Islam, sedangkan Khoiruddin tidak.
Penelitian lain yakni skripsi yang berjudul “Pembagian Harta Pusaka
Menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat Perpatih di
Daerah Rembau Provinsi Negeri Sembilan Malaysia” yang ditulis oleh
Fatehah Binti Zulkafli.10 Dalam penelitian ini, Fatehah membahas tentang cara
membagi harta yang terjadi di masyarakat Rembau Malaysia. Fatehah juga
membahas aspek berbeda dalam pewarisan antara pewarisan dalam hukum Islam
8 Siti Azizah, Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau dari Hukum Islam (Studi
Pada Masyarakat Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan). Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2009. 9 Moh. Khoiruddin, Tradisi Penyelesaian Waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta, 2011. 10 Fatehah Binti Zulkafli, Pembagian Harta Pusaka Menurut Hukum Kewarisan Islam
dan Hukum Kewarisan Adat Perpatih Di Daerah Rembau Provinsi Negeri Sembilan Malaysia,
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2008.
-
7
dan Adat Perpatih. Skripsi ini sudah mendekati dengan penelitian yang hendak
peneliti lakukan, ada beberapa aspek berbeda antara penelitian Fatehah dengan
penulis, yakni penulis membahas tentang Adat Tunggu Tubang Semendo Muara
Enim dan juga penulis membahas dari aspek fikih.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan di
Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan” yang
ditulis oleh Achmad Fachmi Ramdhan.11 Dalam skripsi ini, Achmad Fachmi
Ramdhan hanya membahas terkait sistem kewarisan yang ada di Srengseng
Sawah Jakarta Selatan. Adapun hal yang membedakan dengan penelitian penulis
yakni penulis membahas juga dari aspek hukum dari sistem kewarisan yang
berlaku di masyarakat. Penulis juga membahas aspek perbandingan hukum atas
sistem kewarisan yang berlaku ditinjau dari hukum Islam (fikih).
Terakhir yakni jurnal yang berjudul “Tunggu Tubang Dalam Pembagian
Harta Warisan Pada Masyarakat Suku Semende” yang ditulis oleh Azelia
Velinda dan kawan-kawan.12 Dalam jurnal ini, Azelia dan kawan-kawan hanya
membahas tentang apa itu Tunggu Tubang, harta Tunggu Tubang, hak dan
kewajiban anak Tunggu Tubang. Jurnal ini hanya membahas sebagian kecil dari
skripsi yang hendak penulis susun. Sedangkan bahasan penulis lebih luas dan
mendalam mengenai kewarisan adat Tunggu Tubang. Skripsi yang hendak penulis
susun ini berbeda secara signifikan dalam aspek meninjau adat Tunggu Tubang
dengan hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.
Melihat skripsi yang telah penulis uraikan di atas, penulis berpendapat
bahwa skripsi yang hendak penulis teliti adalah berbeda dengan penelitian yang
telah lalu. Skripsi pertama membahas tentang kesadaran hukum terhadap waris.
Skripsi kedua fokus kepada pembagian waris di masyarakat Betawi ditinjau dari
hukum Islam. Skripsi ketiga fokus kepada tradisi penyelesaian waris di Desa
Tunggul. Skripsi keempat fokus kepada kewarisan adat Perpatih. Skripsi kelima
11 Achmad Fachmi Ramdhan, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Perkampungan Budaya
Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014. 12 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada
Masyarakat Suku Semende, Sosietas, Vol. 7, 2, 2017, Jawa Barat: Universitas Pendidikan
Indonesia.
-
8
fokus kepada pelaksanaan hukum kewarisan di Betawi Srengseng. Jurnal Azelia
dan kawan-kawan fokus kepada bagaimana Tunggu Tubang dalam proses
pembagian waris. Sedangkan penulis fokus kepada adat Tunggu Tubang Semendo
dan meninjaunya dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam. Jadi bisa
disimpulkan bahwa skripsi yang hendak penulis susun ini murni dan masih baru.
F. Metode Penelitian
Untuk skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Suatu metode yang bertujuan membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar penomena yang diselidiki.13 Penelitian
yang ditujukan untuk menggambarkan situasi atau kejadian yang terjadi. Metode
kualitatif menghasilkan informasi hanya pada kasus-kasus tertentu yang dipelajari
dan kesimpulan umum hanya pada hipotesis yang diajukan saja.14
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan data dan tempat pengambilan data, skripsi ini menggunakan
metode kepustakaan dengan pendekatan kualitatif,. Penelitian yang mendasarkan
data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa
dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan/atau hasil rekaman verbatim (hasil
wawancara).15 Berdasarkan tingkat eksplanasinya, penelitian ini menggunakan
metode komparatif, yaitu penelitian yang ditujukan untuk membandingkan satu
atau lebih data sampel.16 Dalam hal ini, penulis membandingkan antara hukum
Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.
13 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), cet. 8, hal. 54. 14 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi Pada Penelitian
Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), cet. 1, hal. 111. 15 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), cet. 1, hal. 9. 16 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 118-119.
-
9
2. Sumber Data dan Pengumpulan Data
Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh suatu
organisasi atau perorangan langsung dari objeknya.17 Dalam hal penelitian ini,
penulis mengambil data dari kitab-kitab fikih, undang-undang, buku-buku dan
literatur yang berkaitan dengan kewarisan.
Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, sudah
dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain, biasanya sudah dalam bentuk publikasi.18
Dalam hal ini penulis mengambil sumber dari skripsi, jurnal, eksiklopedi yang
berkaitan dengan pembahasan, media cetak dan elektronik dan juga pendapat dari
ulama.
3. Analisis Data
Data-data yang penulis peroleh dari hasil penelitian kemudian
diklasifikasikan. Setelah itu penulis menganalisis dengan menggunakan metode
kualitatif, yaitu menganalisis untuk menjawab rumusan masalah atau menguji
hipotesis.19 Penulis menggunakan metode normatif, yaitu mengkaji hukum yang
tertulis.20 Penulis menggunakan metode empiris, yaitu meneliti hukum yang
berlaku di masyarakat, mengenai hukum yang tidak tertulis.21 Penulis
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum, studi komparatif, dan
argumentasi rasional. Penulis juga menggunakan metode pragmatis, yaitu kajian
tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks yang sesuai dengan kalimat itu. Kemudian data tersebut atau jawaban atas
rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk narasi sehingga jelas,
logis dan mudah dipahami.
17 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 171. 18 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 171. 19 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan M&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), cet. 8,
hal. 243. 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 101. 21 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hal. 155.
-
10
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Rancangan Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam memahami skripsi ini, penulis ingin
membagi skripsi yang akan penulis susun ini dalam lima bab, yaitu:
BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review kajian terdahulu, metode penelitian, dan rancangan sistematika
penulisan.
BAB II membahas tentang pengertian, dasar hukum waris, rukun dan
syarat-syarat kewarisan, sebab-sebab dan halangan untuk menerima harta waris,
macam-macam ahli waris dan bagian masing-masing dan asas-asas kewarisan.
BAB III membahas tentang gambaran umum Suku Semendo, ketentuan
dan kedudukan harta Tunggu Tubang Semendo Darat Ulu, ahli waris menurut
adat, pembagian waris adat dan halangan mendapatkan harta warisan.
BAB IV tentang analisa pembagian waris harta Tunggu Tubang ditinjau
dari fikih, hukum adat, kompilasi hukum Islam dan analisa penulis.
BAB V yaitu penutup yang meliputi atas kesimpulan dan rekomendasi.
-
11
BAB II
KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Kewarisan
1. Secara Bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kewarisan adalah hal
yang berhubungan dengan waris atau warisan. Waris adalah orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang meninggal. Warisan adalah sesuatu yang
diwariskan seperti harta, nama baik, dan/atau harta pusaka.1
Mawaris secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras yang
artinya warisan. Mawaris disebut juga faraidh. Faraidh jamak dari kata tunggal
faridah yang berarti ketentuan bagian ahli waris yang secara jelas diatur dalam al-
Qur’an.2 Mawaris disebut juga dengan faraidh berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:
)رواه البخاري .رٍ َرُجٍل ذَكَ ی ْولِلَ فَ تََرَكِت اْلفََراِئُض، ِبأَْهِلَها َفَمافََرائَِض الْ اأَْلِحقُو
ومسلم(.3
“Berikanlah harta warisan (faraidh) kepada orang-orang yang berhak
menerimanya (menurut ketentuan). Jika masih ada sisa, diberikan kepada
keluarga laki-laki yang terdekat (nasabnya dengan mayat). (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Sedangkan dalam KHI, menggunakan kata hukum. Hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.4
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed. 3, cet. 3, hal. 1269. 2 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995), cet. 2, hal. 1.
(lihat Amin Suma “Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks” hal. 11). 3 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, (Beirut: Dar al-Fikr) hadis No. 6746, j. 8, hal. 10. (Lihat juga Shahih
Muslim Hadis No. 1615, hal. 340). 4 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171 huruf a, hal. 77.
-
12
2. Secara Istilah
Prof. Hasbi ash-Shiddiqy menerangkan dalam bukunya bahwa para fuqaha
menta’rifkan ilmu mawaris dengan:
.عٍ الت ْوِزيْ ةُ دَاُر ُكل ِ َواِرٍث َوَكْيِفي يُْعَرُف ِبِه َمْن َيِرُث َوَمْن الَ َيِرُث َوِمقْ ِعْلم
Artinya: “Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang
menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima
oleh tiap-tiap waris dan cara membaginya”.5
M. Ali Hasan mendifinisikan faraidh adalah jamak dari faridah yang
artinya satu bagian tertentu. Jadi faraidh menurutnya adalah beberapa bagian
tertentu. Untuk mengetahui siapa-siapa yang berhak atas bagian tertentu itu, maka
ditetapkan terlebih dahulu pewaris dari orang yang meninggal. Kemudian baru
diketahui siapa di antara mereka berhak atas bagian dan yang tidak berhak atas
bagian.6
A. Kadir dalam bukunya yang berjudul “Memahami Ilmu Faraidh Tanya
Jawab Hukum Waris Islam” menerangkan bahwa ahli fikih menta’rifkan faraidh
dengan redaksi berikut: 7
ْرثِ أَْلِفْقهُ اْلُمتَعَل ُِق ِب ذَِلَك َوَمْعِرفَةُ قَْدِر َمْعِرفَةٍ لَیفَةُ اْلِحَساِب اْلُمْوِصِل إِ ْعرِ َومَ ااْلِ
. ٍ اْلَواِجِب ِمَن الت ِْرَكِة ِلُكل ِ ِذْي َحق
Artinya: “Ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pembagian
warisan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang semestinya dari harta
peninggalan itu untuk setiap mereka yang punya hak”.
ٍ َحق ل ِ َما َيُخصُّ كُ ی َمْعِرَفةٍ ُل إِلَ ِص ِعْلُم اْلِحَساِب اْلُموْ ُهوَ اْلَمَواِرثِ ْلِفْقهُ ٲَ هُ ِذْي َحق
ِمَن الت ِْرَكِة.
5 Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. 1, hal. 18. 6 M. Ali Hasan, Hukum Waris Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet.1, hal. 9.
(lihat juga bukunya yang lain yang berjudul “Al-Fara’id Ilmu Pembagian Waris” hal. 11). 7 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, (Jakarta:
Amzah, 2016), cet. 1, hal. 9-10.
-
13
Artinya: “Ilmu mawaris adalah ilmu tentang hisab (perhitungan) yang
mengantarkan pada pengertian yang mengkhususkan setiap yang mempunyai hak
akan haknya dari harta warisan peninggalan sang mayit”.
B. Dasar Hukum Waris
Adapun dasar hukum kewarisan dalam Islam bersumber dari tiga sumber,
yakni:
1. Al-Qur’an
a. QS. an-Nisaa’/4: 7
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Ayat ini turun berkaitan dengan Aus bin Tsabit Al Anshari tatkala dia
wafat dan meninggalkan seorang istri yang bernama Ummu Kujjah dan tiga orang
anak perempuan. Sebelum wafat dia mewasiatkan hartanya untuk keponakannya
Suwaid dan Arfajah. Kedua keponakan itu mengambil seluruh harta dan tidak
meninggalkan sedikitpun buat istri dan anak-anak Aus bin Tsabit. Hal ini terjadi
karena pada masa jahiliyah wanita dan anak-anak kecil tidak mendapat warisan.8
Ummu Kujjah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, nabi lalu
memanggil kedua keponakan itu, mereka berkata “wahai Rasulullah anak wanita
tidak dapat menunggang kuda, tidak membawa senjata ataupun melukai musuh.
Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, bahwa
perkataan dan cara mewarisi tersebut didasari karena kebodohan mereka, karena
8 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an. Penerjemah Ahmad Rijali
Kadir. Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal. 114.
-
14
anak-anak kecil lebih berhak atas warisan daripada orang dewasa. Karena mereka
tidak dapat mencari nafkah dan juga lebih bermanfaat buat masa depan mereka.9
b. QS. an-Nisaa’/4: 8
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir karib kerabat, anak-anak
yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.
Yang dimaksud kerabat dalam ayat ini adalah selain ahli waris, demikian
juga anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Allah menerangkan dalam ayat ini
apabila mereka menghadiri pembagian warisan, maka mereka ada rezeki dari
pembagian itu yang harus diberikan sekedarnya oleh orang-orang yang tengah
membagikannya. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam (hukumnya
berlaku), dan perintah dalam ayat ini berhukum nadb (Sunnah). Yang lain
berpendapat bahwa ayat ini mansukh (hukumnya telah dihapus oleh ayat 11).10
c. QS. an-Nisaa’/4: 9
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata “Ayat ini
berkaitan dengan seseorang yang menjelang ajal. Ada orang lain yang mendengar
orang itu menyampaikan wasiat yang menyengsarakan ahli warisnya, maka Allah
menyuruh orang yang mendengar itu agar bertakwa kepada Allah, meluruskan,
9 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 115. 10 Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Fathul Qadir (Al Jami’ baina ar-
Riwayah wa ad-Dirayah min Ilm al-Tafsir). Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Asep
Saefullah, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 703-704.
-
15
dan membenarkan orang yang berwasiat itu agar memperhatikan ahli warisnya
dan berbuat baik terhadap mereka dan menghawatirkan mereka terlantar.11
d. QS. an-Nisaa’/4: 10
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berasal dari
Gathfan yang bernama Mirtsad bin Zaid yang diberi amanah untuk menjaga dan
mengelola harta keponakannya yang yatim dan masih kecil, kemudian dia
memakan harta itu tanpa hak, lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.12
e. QS. an-Nisaa’/4: 11
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak ada
meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat
sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
11 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir.
Penerjemah Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Gema Insani Press, 1999), Cet.
1, hal. 656. 12 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 134.
-
16
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat ini Allah menyuruhmu berlaku adil terhadap mereka. Pada
zaman jahiliah, harta pusaka itu hanya bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum
wanita. Kemudian Allah memerintahkan agar menyamakan dalam prinsip
kewarisan. Allah pun membedakan antara kedua jenis itu, laki-laki mendapat dua
bagian perempuan. Karena laki-laki perlu biaya buat keluarganya.13
f. QS. an-Nisaa’/4: 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)(Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun”.
13 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 660.
-
17
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa utang harus diselesaikan terlebih dahulu,
kemudian wasiatnya, lalu warisan. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa
wasiat itu harus adil, tidak memudharatkan, lalim, dan menyalahi. Contohnya,
tidak member bagian untuk ahli waris atau sebagian ahli waris, atau mengurangi,
atau menambah bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. Barangsiapa yang
melakukan hal itu, maka sama saja dengan menentang hukum dan syariat Allah.14
g. QS. an-Nisaa’/4: 13
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya dan itulah kemenangan yang besar”.
Ayat ini menerangkan bahwa kadar dan bagian warisan merupakan had-
had (hukum-hukum) Allah. Maka kita tidak boleh melampauinya. Taat kepada
Allah dan Rasul maksudnya dia tidak melebihkan bagian ahli waris yang satu dan
tidak pula mengurangi bagian ahli waris lain melalui suatu tipu daya. Dalam ayat
ini kita disuruh dalam hal warisan untuk mengikuti hukum Allah, baik penentuan
dan pembagiannya. Balasan bagi orang yang seperti ini adalah surga.15
h. QS. an-Nisaa’/4: 14
Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api
neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”.
14 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 665-666. 15 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 667.
-
18
Ayat ini menerangkan bahwa bagi yang durhaka kepada Allah dan Rasul-
Nya terkait kewarisan, maka balasan orang seperti ini adalah neraka. Karena dia
telah mengubah apa yang telah ditetapkan Allah dan menentang hukum Allah.16
i. QS. an-Nisaa’/4: 33
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia denga mereka, maka berilah kepada
mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Ayat ini menerangkan bahwa setiap orang mempunyai ahli waris dan wali-
wali, oleh sebab itu hendaklah nikmat Allah yang berupa warisan ini dapat
dimanfaatkan dengan baik.17 Dan berikanlah bagi orang-orang yang kamu terikat
sumpah dengan mereka.18
j. QS. an-Nisaa’/4: 176
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
”Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
16 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 667. 17 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 385. 18 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 701.
-
19
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat ini menjadi pedoman bagi mereka yang berpendapat bahwa tidak ada
ayah bukan syarat untuk disebut kalalah. Keberadaan kalalah cukup dengan tidak
adanya anak, ini riwayat Umar bin Khatthab melalui sanad yang sahih dan berasal
dari Ibnu Jarir. Adapun menurut jumhur ulama dan batasan Abu Bakar bahwa
kalalah ialah orang yang tidak memiliki anak dan ayah.19
k. QS. al-Anfaal/8: 75
Artinya:“Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
2. Sunnah Nabi
a. Hadis Ibnu ‘Abbas
نِ بْ للِا دِ بْ عَ نْ ، عَ حٍ وْ رَ نْ ، عَ عٍ يْ رَ زُ نُ بْ دُ يْ زِ ا َي َنثَ د ، حَ امٍ طَ سْ ِب نُ بْ ةُ ي مَ ا أُ َنثَ د حَ
ِ بِ الن نِ عَ اٍس ب عَ نِ ابْ نِ ، عَ هِ يْ ِب أَ نْ ،عَ ٍس اوُ طَ وا قُ حِ لْ أَ :الَ صلى للا عليه وسلم قَ ي
َ هْ لِ هَ ا فَ مَ اتَ رَ كْ تِ الْ فَ رَ اِئ ضُ ، فَ ِلَ وْ لَ ی رَ جُ لٍ ذَ كَ رٍ .)رواه البخاري و مسلم(20 الْ فَ رَ اِئ ضَ ِب أ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Bistham, telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Zura’i, dari Rauh, dari Abdillah bin Thawus
dari Ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: Berikanlah
faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya
berikanlah untuk pewaris laki-laki yang paling dekat”.(Muttafaq Alaih).
19 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 865. 20 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, hadis No. 6746, j. 8, hal. 10, dan Shahih Muslim Hadis No. 1615, j. 5, hal. 340.
-
20
b. Hadis Jabir bin Abdullah
لِ وْ سُ ى رَ لَ ٳِ دٍ عْ سَ نْ مِ اهَ يْ تَ ِن بْ اِ ِب عِ يْ ِب الر نِ بْ دِ عْ سَ ةُ ٲَ رَ امْ تْ اءَ جَ :الَ قَ للاِ دِ بْ عَ نِ بْ رِ ابِ جَ نْ عَ
لَ تِ قُ عِ يْ بِ الر نِ بْ دِ عْ ا سَ تَ نَ ابْ انِ اتَ هَ !للاِ لَ وْ سُ ا رَ َي :تْ الَ قَ فَ صلى للا عليه وسلم للِا
اَل وَ ،ال اا مَ مَ هُ لَ عْ دَ َي مْ لَ ا فَ مَ هُ لَ امَ ذَ خَ ا اَ مَ هُ م عَ ن ٳِ وَ ،اد يْ هِ شَ دٍ حُ اُ مَ وْ يَ كَ عَ ا مَ مَ هُ وْ بُ ٲَ
لُ وْ سُ رَ ثَ عَ بَ فَ ،اثِ رَ يْ المِ ةُ َي اَ تْ لَ زَ نَ فَ .كِ لِ ى ذَ فِ للاُ يَ ِض قْ َي :الَ قَ .ال ا مَ مَ هُ لَ وَ ال ٳِ انِ حَ كَ نْ تُ
ا مَ هُ م ٲُ طِ عْ ٲَ وَ نِ يْ ثَ لُ الثُّ دٍ عْ سَ يْ تَ َنابْ طِ عْ ٲِ :الَ قَ ا فَ مَ هِ م ِ ى عَ لَ صلى للا عليه وسلم ٳِ للِا
الثُّ مُ نَ وَ مَ ا َب قِ يَ فَ هُ وَ لَ كَ .)رواه الترمذي(.21
Artinya: “Dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata: “Istri Sa’ad bin Rabi’ datang
kepada rasulullah SAW beserta kedua putrinya, dia berkata: “Ya Rasulullah, ini
adalah kedua putrinya Sa’ad bin Rabi’ yang telah syahid di perang Uhud
bersamamu, dan sesungguhnya pamannya mengambil seluruh hartanya dan tidak
menyisakan sedikitpun untuk keduanya dan tentunya keduanya tidak dapat
dinikahkan kecuali jika memiliki uang. Nabi berkata: “Allah akan menetapkan
hukum dalam perkara ini. Setelah itu turunlah ayat waris,lalu Rasulullah SAW
mengutus seseorang kepada paman keduanya dengan perintah:“Berikanlah
kepada kedua putrid Sa’ad dua pertiga harta, dan berilah ibu mereka
seperdelapan, lalu harta yang tersisa menjadi milikmu. (H.R. Tirmidzi).
c. Hadis Huzail bin Syurahbil.
صلى للا عليه وسلم يِ ِب الن اءِ ضَ قَ ِب ا هَ يْ فِ َين ِض قْ لَ : قَاَل َعْبدُ للِا:الَ قَ لٍ يْ زَ هُ نْ عَ
ا مَ وَ ،سُ دُ السُّ نِ بْ اْلَ ا ةِ َنالبْ وَ ،فُ صْ الن ِ ةٍ َنبْ لِ لِ صلى للا عليه وسلم ْوقَاَل: قَاَل الن ِبيُّ ٲَ َب قِ يَ فَ لِ لُ خْ تِ .)رواه البخاري، الترمذي و ابن ماجة(.22
Artinya: “Dari Huzail mengatakan, Abdullah mengatakan: Sungguh aku putuskan
perkara ini dengan keputusan Nabi SAW, dia mengatakan: Nabi SAW bersabda:
anak perempuan mendapat separo dan cucu perempuan dari anak laki-laki
mendapat seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan. (H.R. Bukhari,
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
21 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, (Riyad:
Darussalam Linnasir Wattauzi’i, 279), Hadis No. 2092, hal. 633. 22 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6742, j. 8, hal. 9. (Lihat juga Jami’u Tirmidzi Hadis No. 2093,
hal. 633 dan Sunan Ibnu Majah Hadis No. 2721, j. 2, hal. 909).
-
21
d. Hadis ‘Umran bin Husein
ِ بِ ى الن لَ ٳِ ل جُ رَ اءَ : جَ الَ قَ نِ يْ صَ حُ نِ بْ انَ رَ مْ عِ نْ عَ ن ٳِ :الَ قَ فَ صلى للا عليه وسلم ي
ابْ ِن يْ مَ اتَ فَ مَ الِ ي مِ نْ مِ يْ رَ اِث هِ ؟ فَ قَ الَ : لَ كَ السُّ دُ سُ .)رواه الترمذي(.23
Artinya: “Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata: Seorang laki-laki mendatangi
Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya anakku mati, berapakah bagianku dari
harta warisannya? Nabi berkata: “kamu mendapat seperenam.” (H.R. Tirmidzi).
e. Hadis Qubaishah bin Zueb
َ سَ فَ رٍ كْ َب يْ ِب ى ٲَ لَ ٳِ ةُ د جَ الْ تِ اءَ جَ :الَ قَ بٍ يْ ٶَ زُ نِ بْ ةَ صَ يْ ِب قَ نْ عَ ا مَ :اهَ لَ الَ قَ ،اهَ ثَ ايرَ مِ هُ ْت لَ ٲ
ء يْ صلى للا عليه وسلم شَ للاِ لِ وْ سُ رَ ةِ ن سُ يفِ كِ لَ امَ وَ ،ء يْ شَ للاِ ابِ تَ كِ يفِ كِ لَ
َ سْ ى ٲَ ت ي حَ عِ جِ ارْ فَ َ سَ ،فَ اسَ الن لَ ٲ لَ وْ سُ رَ تُ رْ ضَ حَ :ةَ َب عْ شُ نُ بْ ةُ رَ يْ غِ المُ الَ قَ فَ ،اسَ الن لَ ٲ
نُ بْ دُ م حَ مُ امَ قَ فَ ؟كَ رُ يْ غَ كَ عَ مَ لْ هَ :الَ قَ فَ ،سَ دُ ا السُّ اهَ طَ عْ للا صلى للا عليه وسلم ٲَ
َ فَ ،ةَ َب عْ شُ نُ بْ ةُ رَ يْ غِ المُ الَ ا قَ مَ لَ ثْ مِ الَ قَ فَ ةَ مَ لَ سْ مَ )رواه الترمذي و ابن .رٍ كْ و َب بُ ا ٲَ هَ لَ هُ ذَ فَ نْ ٲ ماجة(.24
Artinya: “Dari Qabishah bin Dzu’aib dia berkata: “Seorang nenek mendatangi
Abu Bakar guna bertanya mengenai bagiannya dalam harta warisan, lalu Abu
Bakar berkata kepadanya, Bagianmu tidak disebutkan di dalam al-Qur’an sedikit
pun, dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah SAW. Kembalilah dahulu hingga
aku menanyakannya kepada orang-orang, lalu Mughirah bin Syu’bah berkata:
Aku pernah menghadiri Rasulullah SAW yang memberikan hak nenek sebanyak
seperenam.” Berkata Abu Bakar: “Apakah ada orang lain selain kamu yang
mengetahuinya? Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti yang
dikatakan Mughirah bin Syu’bah. Sehingga Abu Bakar pun segera
menunaikannya. (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
f. Hadis Abu Hurairah
ِ بِ الن نِ عَ ةَ رَ يْ رَ هُ يْ ِب ٲَ نْ عَ )رواه الترمذي و .ثُ رِ َي اَل لُ اِت قَ : الْ الَ صلی للا عليه وسلم قَ ي
ابن ماجة(.25
Artinya: “Dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Pembunuh tidak boleh
mewarisi.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
23 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2099,
hal. 634-635. 24 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2101,
hal. 635, dan Ibnu Majah Hadis No. 2724, j. 2, hal. 909-910. 25 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2109,
hal. 637, dan Ibnu Majah Hadis No. 2735, j. 2, hal. 913.
-
22
g. Hadis Usamah bin Zaid
ِ لِ عَ نْ ، عَ ابٍ هَ شِ نِ ابْ نِ ، عَ جٍ يْ رَ جُ نِ ابْ نِ عَ ،مٍ اِص عَ وبُ ا أَ َنثَ د حَ رَ مَ عُ نْ عَ ،نٍ يْ سَ حُ نِ بْ ي
مَ ل سَ وَ هِ يْ لَ عَ ی للاُ ل صَ ي ِب الن ن ا أَ مَ هُ نْ عَ للاُ يَ ِض رَ دٍ يْ زَ نِ بْ ةَ امَ سَ أُ نْ عَ ،انَ مَ ْث عُ نِ بْ
قَ الَ : اَل َي رِ ثُ الْ مُ سْ لِ مُ الْ كَ افِ رَ ، وَ اَل الْ كَ فِ رُ الْ مُ لْ سِ مَ .)رواه البخاري و مسلم(.26
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari ibni zuraij, dari
ibni syihab, dari Ali bin Husain, dari Umar bin Usman, dari Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi SAW bersabda: orang muslim tidak
mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.”(Muttafaq
Alaih).
h. Hadis Sa’ad bin Abi Waqqash
َ ا فَ ض رَ مَ ةَ ك مَ بِ تُ ضْ رِ : مَ الَ قَ هِ يْ ِب ٲَ نْ ،عَ اٍص ق وَ يبِ ٲَ نِ بْ دِ عْ سَ نْ عَ ی لَ عَ هُ نْ مِ تُ يْ فَ شْ ٲ
َ فَ تِ وْ مَ الْ اال مَ يلِ ن ٳِ للِا لَ وْ سُ ا رَ َي :تُ لْ قُ فَ يْ ِن دُ وْ عُ وسلم يَ صلی للا عليه يُّ ِب الن يَ اِن تَ ٲ
َ فَ ٲَ يِت نَ ابْ ال ٳِ ينِ ثُ رِ َي سَ يْ لَ ا وَ ر يْ ثِ كَ ،رُ طْ الش فَ تُ لْ قُ :الَ ،قَ : اَل الَ قَ ؟يلِ امَ يثَ لُ ثُ بِ قُ د صَ تَ ٲ
نْ ٲَ نْ مِ ر يْ خَ اءَ َي نِ غْ ٲَ كَ دَ لَ وَ تَ كْ رَ تَ نْ ٳِ كَ ن ٳِ رُ ِثيْ كَ ثُ لُ الثُّ :الَ قَ ثِ لُ الثُّ :تُ لْ قُ .اَل :الَ قَ
تَ ْت رُ كَ هُ مْ عَ الَ ة يَ تَ كَ ف فُ وْ نَ الن اسَ .)رواه البخاري(.27
Artinya: “Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya mengatakan:“Aku pernah
sakit parah di Makkah, hingga rasanya berada di ujung kematian. Kemudian
Nabi SAW menjengukku.”Saya bertanya:“Ya Rasulullah, saya memiliki harta
yang banyak, dan tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak
perempuanku, bolehkah aku sedekahkan dua pertiganya. Jawab Nabi: “jangan,”
Saya berkata lagi:“Bagaimana kalau separuhnya?” Jawab Nabi: “jangan,” Saya
berkata lagi:“Bagaimana kalau Sepertiga?” Nabi menjawab:“Sepertiga itu
sudah banyak, Sesungguhnya bila kamu meninggalkan anakmu berkecukupan,itu
lebih baik daripada meninggalkannya berkekurangan, sampai memint-minta
kepada orang lain.”(H.R. Bukhari).
26 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6764, j. 8, hal. 14, dan Syekh Muslim, Ikmalil Ma’lami bifauidu
Muslim, Hadis No. 1614, j. 5, hal. 337. 27 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6733, hal. 6-7.
-
23
i. Hadis ‘Amiri bin Muslim
هِ يْ لَ عَ ى للاُ ل صَ للِا لُ وْ سُ رَ الَ قَ :تْ الَ قَ ةَ شَ اِئ عَ نْ عَ ،ٍس اوُ طَ نْ عَ ،مٍ لِ سْ مُ نِ و بْ رِ مْ عَ نْ عَ
وَ سَ ل مَ : الْ خَ الُ وَ ارِ ثُ مَ نْ اَل وَ ارِ ثَ لَ هُ .)رواه الترمذي و ابن ماجة(.28
Artinya: “Dari ‘Amiri bin Muslim dari Thawus, dari ‘Aisyah dia berkata:
“Bersabda Rasulullah SAW: “bibi dari ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak
ada ahli warisnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
j. Hadis Abu Hurairah
ِ ِب الن نِ عَ ،هُ نْ عَ للاُ يَ ِض رَ ةَ رَ يْ رَ هُ يِب ٲَ نْ عَ لی وْ ا ٲَ َن: ٲَ الَ صلی للا عليه وسلم قَ ي
نْ مَ وَ ،هُ اؤُ ضَ ا قَ َنيْ لَ عَ فَ اء فَ وَ كْ رُ تْ يَ مْ لَ وَ ن يْ دَ هِ يْ لَ عَ وَ اتَ مَ نْ مَ فَ ،مْ هِ سِ فُ نْ ٲَ نْ مِ نَ يْ نِ مِ ؤْ مُ الْ ِب
تَ رَ كَ مَ اال فَ لِ وَ رَ ثَ ِت هِ .)رواه البخاري و مسلم(.29
Artinya: “Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW bersabda:
“Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri,
maka barangsiapa yang meninggal sedang dia mempunyai utang dan tidak
meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya.
Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.
(Muttafaq Alaih)
k. Hadis Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah
صلی للا عليه للاِ لُ وْ سُ رَ الَ : قَ ااَل قَ ؛ةَ مَ رَ خْ مَ نِ بْ رِ وَ سْ مِ الْ وَ للِا دِ بْ عَ نِ بْ رِ ابِ جَ نْ عَ
وْ ٲَ يحَ ِص يَ وَ يَ كِ بْ َي نْ ٲَ ،هُ لُ َل هِ تَ سْ اوَ :الَ قَ .اخ ارِ صَ ل هِ تَ سْ ی َي ت حَ يُّ ِب الص ثُ رِ يَ وسلم اَل
َي عْ طِ سَ .)رواه ابن ماجة(.30
Artinya: “Dari Jabir bin ‘Abdullah dan Al Miswar bin Makhramah keduanya
berkata: bersabda Rasulullah SAW: “Seorang bayi tidak berhak menerima
28 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2104,
hal. 636, dan Ibnu Majah, Hadis No. 2737, j. 2, hal. 914. 29 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-
Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa
Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6731, j. 8, hal. 6, dan Syekh Muslim, Ikmalil Ma’lami bifauidu
Muslim, Hadis No.1619, hal. 352-353. 30 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr),
Hadis No. 2751, j. 2, hal. 919.
-
24
warisan sampai ia berteriak, yang dimaksud berteriak yaitu menangis, berteriak
atau bersin. dengan jeritan.” (H.R. Ibnu Majah).
3. Ijtihad Ulama
Adalah hasil pemikiran seseorang ahli fikih dalam menghasilkan dugaan
kuat berkenaan dengan hukum Allah berdasarkan pemahamannya terhadap firman
Allah dalam al-Qur’an dan/atau Hadis Nabi. Jika hasil ijtihad itu disetujui secara
jelas oleh mujtahid lain atau tidak terdapat penolakan oleh mujtahid lain, maka
status ijtihad ini menjadi ijma ulama.31
Adapun contoh ijtihad ulama yakni, ulama sepakat kalau ahli waris dari
pihak laki-laki ada 15 orang. Ulama sepakat kalau ahli waris dari pihak
perempuan ada 10 orang. Ulama juga sepakat kalau kalimat “li adzdzakari mitslu
hazhah al-untsayain” bermakna bagian satu orang anak laki-laki berbanding sama
dengan bagian dua orang anak perempuan.
Sedangkan dasar hukum positif yang dipakai di Peradilan Agama adalah
Buku ke II (Hukum Kewarisan) dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 sampai
pasal 214 yang terdiri atas enam bab, yakni bab 1 tentang Ketentuan Umum, bab 2
tentang Ahli Waris, bab 3 tentang Besarnya Bahagian, bab 4 tentang Aul dan Rad,
bab 5 tentang wasiat dan bab 6 tentang Hibah.32
C. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan
Ulama tidak berbeda pendapat atas rukun terjadinya kewarisan, yaitu:
1. Pewaris (orang yang mewariskan harta), seseorang yang telah meninggal
dunia, baik meninggal hakiki (dapat dibuktikan dan disaksikan secara
nyata), meninggal hukmi (karena putusan atau pertimbangan yang
ditetapkan hakim), atau meninggal taqdiri (dengan persangkaan yang
dianggap pasti).
31 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2011), hal. 19. 32 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171-214, hal. 77-91.
-
25
2. Ahli waris (orang yang berhak menerima warisan dari orang yang
meninggal dunia), seseorang yang memiliki ikatan pertalian darah atau
kekerabatan, ikatan pernikahan, ikatan perwalian, dan persamaan agama
(ikatan Islam).
3. Warisan (sesuatu yang diwariskan), berupa harta peninggalan setelah
dikurangi biaya perawatan, utang, zakat harta, dan hibah atau wasiat (tidak
melebihi sepertiga hartanya).33
Adapun syarat sah terjadinya kewarisan yaitu:
1. Tidak ada sebab yang menghalangi (sebagaimana dalam uraian beberapa
penghalang mewarisi).
2. Meninggalnya orang yang mewariskan (orang yang masih hidup belum
diperbolehkan memberi warisan).
3. Ahli waris itu hidup ketika muwaris meninggal dunia, walaupun masih
dalam kandungan.34
Sedangkan rukun dan syarat yang terdapat di Kompilasi hukum Islam
adalah sebagai berikut: 35
1. Rukun
a. Pewaris (adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pasal 171 huruf b
KHI).
b. Ahli Waris (adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam, dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Pasal 171 huruf c KHI).
33 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 11. (lihat
juga buku Ahmad Rofiq yang berjudul “Fiqh Mawaris” hal. 22-23 dan lihat juga “Shahih Fikih
Sunnah” karangan Abu Malik Kamal, hal. 610). 34 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 12. (lihat
juga dalam buku “Fikih Mawaris Untuk Warisan Dalam Syari’at Islam” karangan Hasbi ash-
Shiddiqy hal. 47-49). 35 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171-175, hal. 77-79.
-
26
c. Harta Waris (adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahyiz), pembayaran utang,
dan pemberian untuk kerabat. Pasal 171 huruf e KHI).
2. Syarat-syarat sahnya kewarisan.
a. Tidak ada sebab menghalangi.
b. Meninggalnya sang pewaris.
c. Ahli waris beragama Islam.
d. Ahli waris itu hidup.
e. Ahli waris telah menyelesaikan kewajibannya terhadap pewaris.
Secara tidak langsung kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dan
kewarisan dalam Islam (fikih) sama. Hal ini disebabkan karena Kompilasi Hukum
Islam ada melalui pengambilan nilai-nilai yang ada di dalam hukum Islam (fikih).
Yang membedakan yakni Kompilasi Hukum Islam telah dijadikan patokan resmi
dan diakui secara nasional di Negara Republik Indonesia.
D. Sebab-sebab dan Halangan Untuk Menerima Harta Waris
Ada beberapa sebab yang mengakibatkan seseorang mewarisi harta waris
dari sang pewaris, yakni hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, hubungan
perwalian atas pembebasan budak dan persamaan agama. Hubungan kekerabatan
terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu Furu’ (anak cabang di si muwaris), Ushul
(asal atau pokok yang menyebabkan adanya muwaris), dan Hawasyi (Keluarga
yang dihubungkan dengan si muwaris).36
Adapun sebab terhalangnya seseorang untuk mewarisi yakni pembunuhan
secara tidak hak dan melawan hukum, berbeda agama atau keyakinan,
perbudakan, perzinaan atau li’an, kematian dini,37 dan karena adanya hijab dari
ahli waris lain.38
36 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), ed. 1, cet. 1, hal. 72-73. 37 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 14-18. 38 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, hal. 80.
-
27
Sedangkan sebab menerima warisan yang tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam yakni karena hubungan darah, hubungan perkawinan dan hubungan
agama. Sedangkan halangan untuk menerima warisan yakni membunuh dan
memfitnah sang pewaris dalam melakukan kejahatan yang hukuman kejahatan itu
diancam dengan 5 tahun penjara atau lebih berat.39
E. Macam-macam Ahli Waris dan Bagian Masing-masing
1. Macam-macam Ahli Waris
Adapun macam-macam ahli waris dan bagiannya masing-masing yaitut:
a. Menurut bagian yang berhak diterima
1) Ahli waris dzawil Furudh
Yakni ahli waris yang hak bagiannya masing-masing telah
ditentukan kecil besarnya secara jelas.
2) Ahli waris ashabah
Yaitu ahli waris yang bagiannya masing-masing belum ditentukan,
tetapi mengikuti hasil akhir bagian dzawil furudh atau mengambil
sisa bagian harta yang telah dibagikan terlebih dahulu ke ahli waris
dzawil furudh.
b. Menurut hubungan darah
1) Golongan laki-laki yakni ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, dan kakek.
2) Golongan perempuan yakni ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, dan nenek.
c. Menurut hubungan perkawinan yakni duda atau janda.40
2. Bagian Masing-masing
Adapun Rincian bagian-bagian ahli waris adalah sebagai berikut:
a. Suami: ½ jika pewaris tidak ada keturunan dan ¼ jika pewaris memiliki
keturunan.
39 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 172-174, hal. 78-79. 40 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), cet. 1, hal. 92.
-
28
b. Istri: ¼ jika pewaris tidak mempunyai keturunan dan 1/8 jika pewaris
mempunyai keturunan
c. Anak Perempuan: ½ jika sendiri tanpa ada anak laki-laki pewaris dan
2/3 jika lebih dari satu dan tanpa ada anak laki-laki pewaris.
d. Cucu Perempuan: ½ jika sendiri tanpa ada anak laki-laki pewaris, 2/3
jika lebih dari satu dan tanpa ada keturunan laki-laki pewaris dan 1/6
jika ada satu anak perempuan pewaris tanpa ada anak laki-laki.
e. Ibu: 1/3 jika tidak ada keturunan pewaris dan/atau tanpa bersama dua
orang atau lebih saudara pewaris. 1/6 jika ada keturunan pewaris
dan/atau bersama dengan dua orang atau lebih saudara pewaris.
f. Ayah: 1/6 jika ada keturunan laki-laki pewaris. 1/6+A jika bersama
keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-laki pewaris.
g. Kakek: 1/6 jika ada keturunan laki-laki pewaris tanpa ada ayah. 1/6+A
jika bersama keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-
laki pewaris dan/atau ayah.
h. Nenek: 1/6 jika satu orang atau lebih tanpa ada ayah dan ibu pewaris.
i. Saudara Perempuan Kandung: ½ jika sendiri tanpa saudara laki-laki
sekandung dan tanpa keturunan laki-laki pewaris juga ayah pewaris. 2/3
jika dua orang atau lebih tanpa saudara laki-laki.
j. Saudara Perempuan Seayah: ½ jika sendiri tanpa saudara laki-laki
seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah, saudara laki-laki sekandung
dan dua/lebih saudara perempuan sekandung. 2/3 jika dua orang/lebih
tanpa saudara laki-laki seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah,
saudara laki-laki sekandung dan dua/lebih saudara perempuan
sekandung. 1/6 jika bersama dengan satu saudara perempuan sekandung
tanpa saudara laki-laki seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah,
saudara laki-laki sekandung dan dua/lebih saudara perempuan
sekandung.
k. Saudara laki-laki seibu: 1/6 jika sendiri tanpa ada keturunan pewaris,
ayah dan kakek pewaris. 1/3 jika dua orang/lebih tanpa ada keturunan
pewaris, ayah dan kakek pewaris.
-
29
l. Saudara Perempuan Seibu: 1/6 jika sendiri tanpa ada keturunan pewaris,
ayah dan kakek pewaris. 1/3 jika dua orang/lebih tanpa ada keturunan
pewaris, ayah dan kakek pewaris.
Selain ahli waris yang disebutkan di atas, ada beberapa ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan secara furudh, ahli waris ini bisa mendapatkan bagian
lebih banyak, lebih sedikit atau tidak mendapatkan sama sekali. ahli waris
mengambil sisa harta yang telah dibagikan ke ahli waris yang telah ditentukan
haknya.41 Ahli waris ini berjumlah dua belas, yakni anak laki-laki, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak
laki-laki dari sudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung,
anak laki-laki dari paman seayah, orang yang memerdekakan budak baik wanita
atau pria.42
Selain ahli waris furudh dan ahli waris ashabah, ada lagi ahli waris yang
bisa atau masuk ke dalam dua jenis ahli waris tersebut. Ahli waris ini yaitu ayah
dan kakek. Ayah bisa mendapatkan bagian pasti ketika tidak ada keturunan laki-
laki pewaris. Bisa mendapat bagian pasti dengan ashabah jika hanya bersama
keturunan perempuan pewaris. Kakek bisa mendapat bagian pasti jika tidak ada
keturunan laki-laki pewaris dan ayah. Mendapat bagian pasti dengan ashabah jika
bersama dengan keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-laki
pewaris dan ayah.43
Ada beberapa hal yang berbeda antara KHI dengan hukum Islam (fikih),
yakni: pertama, ayah mendapatkan 1/3 bila pewaris tidak ada keturunan.
Sedangkan dalam fikih ayah mendapat 1/6 ditambah dengan ashabah. Kedua, ahli
waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam melakukan pembagian harta
waris setelah ahli waris mengetahui bagiannya masing-masing.44
41 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, hal. 233-239. 42 Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah Mesir, Ahkamul Mawaarits Fil-Fiqhil-Islami.
Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman. Hukum Waris. (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2004), cet. 1, hal. 98. 43 Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah Mesir, Hukum Waris, hal. 99. 44 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 1, hal. 48.
-
30
f. Asas-asas Kewarisan Dalam Islam
Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam Edisi
Kedua mengungkapkan ada lima asas kewarisan dalam Islam,45 yakni:
1. Asas Ijbari: Perpindahan warisan dari seorang pewaris kepada ahli
warisnya terjadi dengan sendirinya sesuai kehendak Allah tanpa
memandang kehendak pewaris atau ahli waris.
2. Asas Bilateral: Kewarisan terjadi dengan dua garis kerabat, yakni kerabat
keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan.
3. Asas Individual: bermakna harta waris itu bisa dibagi-bagi untuk
perseorangan tanpa ada ikatan dengan ahli waris lain.
4. Asas Keadilan Berimbang: bermakna bahwa warisan dibagi berdasarkan
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris. Laki-laki
mendapat dua bagian karena kewajiban nafkahnya lebih banyak.
Perempuan mendapat satu bagian karena kewajibannya lebih rendah atas
laki-laki.
5. Asas Semata Akibat Kematian: bermakna bahwa ahli waris bisa menerima
warisan jika sang pewaris telah meninggal dunia.
Syamsulbahri di dalam bukunya menambahkan beberapa asas lagi terkait
dengan kewarisan Islam,46 yakni:
6. Asas Personalitas Keislaman: bermakna bahwa peralihan harta hanya
terjadi jika antara muwaris dan pewaris sama-sama beragama islam.
7. Asas Pembagian Seketika: bermakna bahwa pembagian harta warisan
harus lebih cepat dilakukan atau diperhitungkan dan dibagikan kepada
muwaris setelah pewaris meninggal dunia.
8. Asas Penyebarluasan dengan Prioritas di Lingkup Keluarga: bermakna
bahwa pembagian warisan bukan hanya kepada anak saja, tapi bisa juga
diberikan kepada kerabat lain dengan perhitungan siapa yang paling dekat
kerabatannya.
45 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, hal. 21-32. 46 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum
Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), cet. 1,
hal. 45-50.
-
31
9. Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian: Maknanya laki-laki dan
perempuan atau kerabat dengan dengan kerabat jauh harus sama hak nya
dalam pembagian warisan, sama-sama berhak mendapat warisan tapi
dengan bagian yang ditentukan.
Sedangkan Asas yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam menurut
Syamsulbahri sebagaimana disebutkan dalam bukunya,47 yaitu:
1. Asas ahli waris langsung (eigen hoofde), sebagaimana disebutkan dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 174.
2. Asas ahli waris pengganti (plaatsvervulling), diatur pada Pasal 185.
3. Asas hubungan darah: yakni akibat perkawinan yang sah, perkawinan
subhat, dan pengakuan atas anak.
4. Asas wasiat wajibah: bermakna bahwa anak angkat dan ayah angkat secara
timbal balik bisa melakukan wasiat mengenai harta masing-masing.
5. Asas egaliter: bermakna kerabat yang non muslim bisa mendapat wasiat
wajibah maksimal 1/3 bagian.
6. Asas retroaktif terbatas: bermakna Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku
surut.
Asas-asas yang disebutkan diatas, semuanya berlandaskan kepada al-
Qur’an dan Hadits. Asas ini digali melalui sumber hukum yang ada, dipahami dan
diambil maknanya. Sedangkan asas untuk Kompilasi Hukum Islam bersumber
dari isi dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri. Jadi menurut penulis, semua asas
ini sudah mencakup poin-poin yang ingin disampaikan oleh Kitabullah dan juga
Kompilasi Hukum Islam.
47 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum