SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU...

91
i SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN (Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: BADRAN NIM 11150430000013 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2019 M

Transcript of SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU...

  • i

    SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG

    PADA SUKU SEMENDO MUARA ENIM

    SUMATERA SELATAN

    (Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam)

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

    Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    BADRAN

    NIM 11150430000013

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441 H/ 2019 M

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    ABSTRACT

    Badran. NIM 11150430000013. HERITAGE LEGAL PUBLIC LAW SYSTEM

    IN SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN (Comparative Study of

    Customary Law and Islamic Law). Comparative Study Program of School and

    Law, Faculty of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University

    Jakarta, 1440 H / 2019 M. xiv + 65 pages + 5 attachment.

    This thesis discusses one of the indigenous inheritance systems in

    Indonesia, precisely in the Semendo Darat Ulu area of Muara Enim Regency,

    South Sumatera. The name ot that inheritance is the indigenous inheritance of

    Tunggu Tubang.

    This research used descriptive research method with a qualitative

    approach, which is a method that examines the status of a group of people, an

    object, a set of conditions, a thought or a class of events. The data collection

    method used the literature method with a qualitative approach, which is

    examining books or data that is based on qualitative data.

    The purpose of this study was to determine the review of Islamic law

    (fiqh), customary law, and Compilation of Islamic Law related to adat Tunggu

    Tubang. There are a number of points that outline the differences from the custom

    Tunggu Tubang, namely the heir can be a person who is still alive, heirs are only

    the first child of a girl, men do not get any part at all, there is a custom Ngangkit

    (wife of the first son was appointed as heir to the property). A review of Islamic

    law (fiqh) considers that adat is not in accordance with fiqh. The adat review sees

    that Semendo Darat Ulu uses a matrilineal system with a female major. The

    Compilation of Islamic Law considers that the adat Tunggu Tubang is

    incompatible with the Compilation of Islamic Law.

    Keywords: Inheritance, treasures of Waiting Tubang, Semendo Darat Ulu.

    Advisor: 1. Dr. AfidahWahyuni, M.Ag

    2. Sri Hidayati, M.Ag

    References: 1973 to 2019

  • vi

    ABSTRAK

    Badran. NIM 11150430000013. SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU

    TUBANG PADA SUKU SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN

    (Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam). Program Studi

    Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019 M. xiv + 65 halaman + 5 Lampiran.

    Skripsi ini membahas tentang salah satu sistem kewarisan adat yang ada di

    Indonesia, tepatnya di wilayah Semendo Darat Ulu Kabupaten Muara Enim

    Sumatera Selatan. Nama dari kewarisan itu yakni kewarisan adat Tunggu Tubang.

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan

    pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok

    manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu pemikiran ataupun suatu kelas

    peristiwa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan

    dengan pendekatan kualitatif, yaitu meneliti buku-buku atau data yang

    mendasarkan pada data kualitatif.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan tinjauan hukum Islam

    (fikih), hukum adat, dan Kompilasi Hukum Islam terkait adat Tunggu Tubang.

    Ada beberapa poin yang menjadi garis besar perbedaan dari adat Tunggu Tubang,

    yakni pewaris bisa orang yang masih hidup, ahli waris hanya anak pertama

    perempuan, laki-laki tidak mendapat bagian sama sekali, adanya adat Ngangkit

    (istri dari anak laki-laki pertama diangkat sebagai pewaris harta). Hukum Islam

    (fikih) memandang bahwa adat ini tidak sesuai fikih. Tinjauan adat melihat bahwa

    Semendo Darat Ulu menggunakan sistem matrilineal dengan mayorat perempuan.

    Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa adat Tunggu Tubang tidak sesuai

    dengan Kompilasi Hukum Islam.

    Kata Kunci : Waris, harta Tunggu Tubang, Semendo Darat Ulu.

    Pembimbing : 1. Dr. AfidahWahyuni, M.Ag

    2. Sri Hidayati, M.Ag

    Daftar Pustaka: 1973 s.d 2019

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur yang tulus dan mendalam penulis lantunkan kepada Allah

    SWT atas segala curahan nikmat, rahmat, hidayah dan juga inayah-Nya maka

    penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan keadaan penulis yang baik

    juga. Kalimat salam dan pujian juga penulis pujikan kepada sang pencerah

    kehidupan, pemuda padang pasir yang mulia Rasulullah Muhammad SAW.

    Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

    mendalam dan tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran

    hingga selesainya skripsi ini, baik dukungan moril maupun materil. Karena

    menurut penulis, sangat jauh dari kata mungkin jika tanpa adanya dukungan dari

    semua pihak tersebut. Secara khusus penulis ingin menyampaikan rasa terima

    kasih yang mendalam kepada:

    1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.H. M.A., Dekan Fakultas Syariah

    dan Hukum serta para pihak pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

    2. Ibu Siti Hanna, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan

    bapak Hidayatulloh, MH., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab;

    3. Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif M.Ag., Dosen Penasehat Akademik penulis;

    4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Dosen

    Pembimbing Skripsi I dan II yang telah memberikan arahan dan saran serta

    ilmunya hingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik;

    5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membagikan ilmunya

    yang susah untuk dinilai dengan uang, sehingga penulis dapat menyelesaikan

    studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta;

    6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum

    dan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta;

  • viii

    7. Kedua penyangga kehidupan penulis yang luar biasa mendukung secara moril

    dan materil yakni kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibu beserta adik dan

    kakak penulis, yang telah mencintai segenap jiwa dengan apa adanya penulis,

    yang telah mendukung dengan segala bentuk dukungan hingga penulis

    sampai pada salah satu titik perjuangan ini;

    8. Keluarga Besar penulis baik yang ada di Sumatera Selatan maupun yang ada

    di Pulau Jawa yang telah mendukung dan menerima penulis dengan sangat

    luar biasa. Meminjami penulis laptop hingga penulis mampu menyelesaikan

    skripsi ini. Ataupun dukungan moril dan materil lainnya yang tidak bisa

    penulis sebutkan semuanya karena begitu banyaknya;

    9. Seorang wanita yang sedang dalam proses untuk menjadi pendamping hidup

    penulis beserta keluarganya yang selalu mendukung penulis secara moril dan

    materil, menerima apa adanya penulis;

    10. Keluarga Besar Prodi Perbandingan Madzhab angkatan 2015 yang telah

    menemani penulis dalam menapaki perjuangan. Berbagi suka dan duka,

    berbagi cerita dan rasa serta memberikan dukungan kepada penulis hingga

    penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

    11. Teman-teman penulis yang bertemu saat penulis Kuliah Kerja Nyata (KKN),

    teman-teman satu hobi dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis

    sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih dari

    penulis atas segala dukungannya.

    Akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan yang

    berlimpah atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis berdoa semoga apa

    yang telah kalian berikan menjadi amal kebajikan yang diterima di sisi-Nya dan

    bermanfaat bagi kita semua. Ȃmȋn.

    Jakarta, 16 Oktober 2019

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii

    ABSTRACT ....................................................................................................................... v

    ABSTRAK ........................................................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR ..................................................................................................... vii

    DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix

    PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... xi

    BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

    B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 4

    C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................. 4

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 4

    E. Review Kajian Terdahulu .......................................................................... 5

    F. Metode Penelitian ...................................................................................... 8

    G. Rancangan Sistematika Penulisan ........................................................... 10

    BAB II KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM ................................................ 11

    A. Pengertian Kewarisan .............................................................................. 11

    B. Dasar Hukum Waris ................................................................................ 13

    C. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan ....................................................... 24

    D. Sebab-sebab dan Halangan Untuk Menerima Harta Waris ..................... 26

    E. Macam-macam Ahli Waris dan Bagian Masing-masing......................... 27

    f. Asas-asas Kewarisan Dalam Islam.......................................................... 30

    BAB III SISTEM KEWARISAN SUKU SEMENDO MUARA ENIM .................. 32

    SUMATERA SELATAN .............................................................................. 32

    A. Gambaran Umum Suku Semendo ........................................................... 32

    B. Ketentuan dan Kedudukan Harta Tunggu Tubang .................................. 34

    C. Ahli Waris ............................................................................................... 39

    D. Pembagian Warisan ................................................................................. 39

    E. Halangan Menerima Warisan .................................................................. 40

    BAB IV ANALISA PERBANDINGAN KEWARISAN DITINJAU DARI FIKIH,

    ADAT DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ............................................ 42

  • x

    A. Tinjauan Fikih ......................................................................................... 42

    B. Tinjauan Hukum Adat ............................................................................. 48

    C. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam .......................................................... 51

    D. Analisa Penulis ........................................................................................ 53

    BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 60

    A. Kesimpulan ............................................................................................. 60

    B. Rekomendasi ........................................................................................... 61

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 62

    LAMPIRAN..................................................................................................................... 66

  • xi

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

    asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman diperlukan terutama bagi

    mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab

    yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

    penggunaannya terbatas.

    a. Padanan Aksara

    Berikut ini adalah aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    Tidak dilambangkan ا

    B Be ب

    T Te ت

    Ts Te dan es ث

    J Je ج

    H ha dengan garis bawah ح

    Kh ka dan ha خ

    D De د

    Dz de dan zet ذ

    R Er ر

    Z Zet ز

    S Es س

    Sy es dan ye ش

    S es dengan garis bawah ص

    D de dengan garis bawah ض

    T te dengan garis bawah ط

    Z ze dengan garis bawah ظ

    Koma terbalik di atas hadap kanan ع

    Gh ge dan ha غ

    F Ef ف

  • xii

    Q Qo ق

    K Ka ك

    L El ل

    M Em م

    N En ن

    W We و

    H Ha ھ

    Apostrop ء

    Y Ya ي

    b. Vokal

    Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,

    memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

    Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai

    berikut:

    Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

    A Fathah َـ

    I Kasrah ِـ

    U Dammah ُـ

    Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih

    aksaranya sebagai berikut:

    Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

    يَـ ai a dan i

    au a dan u َـو

  • xiii

    c. Vokal Panjang

    Ketentuan alih aksara panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

    dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

    Â a dengan topi di atas َـا

    Î i dengan topi di atas ِـى

    Û u dengan topi di atas ُـو

    d. Kata Sandang

    Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif

    dan lam (ال), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf

    syamsiyyah atau huruf qamariyyah, misalnya:

    al-ijtihâd = اإلجتهاد

    al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

    e. Tasydîd (Syaddah)

    Dalam alih aksara, syaddah atau tasdîd dilambangkan dengan huruf,

    yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini

    tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah

    kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

    al-syuî’ah, tidak ditulis asy-suf’ah = الشغعة

    f. Ta Marbûtah

    Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)

    atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah

    tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

    tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan

    menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

  • xiv

    No Kata Arab Alih Aksara

    syarî’ah شريعة 1

    اإلسالمية الشريعة 2 al- syarî’ah al-islâmiyyah

    Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاھب 3

    g. Huruf Kapital

    Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun

    dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan

    yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan

    bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis

    dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

    kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

    Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga diterapkan dalam alih aksara

    ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

    Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama

    tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis

    Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

    h. Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja (fi’i), kata benda (ism) atau huruf (harf),

    ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan

    berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

    No Kata Arab Alih Aksara

    al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1

    al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2

    usûl al-fiqh أصول الفقه 3

    al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل في األشياء اإلباحة 4

    Al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Masyarakat Semendo adalah masyarakat yang semuanya beragama Islam,

    ditandai dengan banyaknya lembaga pendidikan berbentuk pesantren dan juga

    adanya masjid di setiap desa yang ada di kecamatan Semendo Darat Ulu. Sudah

    tentu ilmu fikih dipelajari dan diketahui oleh masyarakat tersebut. Termasuk

    tentang waris, pembagian waris, bagian ahli waris dan yang berkenaan dengan hal

    tersebut. Telah dipatenkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176 bahwa hak

    waris anak perempuan satu sebanding dua dengan anak laki-laki.1

    Adapun kenyataan yang ada di masyarakat adat Semendo yaitu anak

    perempuan tertua mewarisi harta yang disebut harta Tunggu Tubang yang berupa

    sawah dan rumah. Sedang anak laki-laki bukan prioritas atas ini. Namun ada hal

    lain yang menarik dalam adat Tunggu Tubang ini, yaitu harta tersebut tidak bisa

    dijual oleh anak Tunggu Tubang (anak perempuan tertua). Anak Tunggu Tubang

    hanya bisa menempati, mengelola dan menikmati hasil dari harta tersebut.

    Tentunya keadaan ini secara sekilas tidak sesuai dengan ajaran fikih dan ketentuan

    undang-undang Negara Indonesia.2

    Harta tersebut diwariskan turun-temurun dari keturunan anak Tunggu

    Tubang, kalau anak Tunggu Tubang hendak menjual harta tersebut, maka ia perlu

    mendapat persetujuan dari Meraje (Paman dari anak Tunggu Tubang). Ini semakin

    membuat penelitian ini menarik. Disebutkan tadi bahwa anak tertua perempuan

    mewarisi harta Tunggu Tubang namun dia tidak bisa memiliki sepenuhnya atas

    harta tersebut. Seiring perjalanan waktu dan turun-temurunnya kewarisan, maka

    perubahan anak Tunggu Tubang dan Meraje pun terjadi.3

    1 Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

    Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 176. 2 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada

    Masyarakat Suku Semende, Sosietas, Vol. 7, 2, 2017, Jawa Barat: Universitas Pendidikan

    Indonesia, hal. 420-421. 3 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada

    Masyarakat Suku Semende, hal. 422.

  • 2

    Selain mendapatkan hak atas harta orang tuanya, ada satu kewajiban anak

    Tunggu Tubang terhadap orang tuanya, yakni memelihara orang tuanya. Banyak

    kejadian yang terjadi yakni pertengkaran antar saudara dalam memiliki harta

    tersebut disebabkan karena anak Tunggu Tubang tidak berlaku baik bagi orang

    tuanya. Hal ini menarik, bukankah dalam fikih disebutkan bahwa kewarisan

    terjadi ketika muwaris telah meninggal dunia. Namun di masyarakat semendo hal

    ini terjadi sebelum muwaris meninggal dunia. Hal ini tampaknya bertentangan

    dengan hukum Islam (fikih) dan peraturan perundang-undangan.

    Dalam sebuah hukum adat, hukum kewarisan sangat dipengaruhi oleh

    persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya

    persekutuan geneologis yang berdasarkan keturunan, persekutuan teritorial yang

    berdasarkan kependudukan, dan persekutuan hukum geneologis dan/atau

    teritorial. Persekutuan geneologis tumbuh karena kesatuan nenek moyang,

    sehingga diantara mereka tumbuh hubungan keluarga. Persekutuan teritorial ada

    karena tinggal disuatu tempat yang sama. Persekutuan geneologis terurai atas tiga

    tipologi yang menandai sistem kekeluargaan dan kekerabatan masyarakat adat,

    yaitu patrelinial (kebapakan), matrilenial (keibuan), dan parenta (bapak-ibu).4

    Dua faktor hidup dan menjadi corak dari kehidupan masyarakat Semendo

    Darat Ulu. Masyarakat terikat oleh kesatuan nenek moyang dan juga karena

    tinggal di wilayah yang sama dengan sebutan desa. Maka bukan suatu yang aneh

    jika dalam satu desa itu terikat oleh hubungan kekeluargaan. Hal ini disebabkan

    juga oleh lingkup pernikahan yang tercakup dalam satu desa atau kecamatan itu

    saja.

    Dalam sistem kekeluargaan, mengenal tiga cara kewarisan, yakni

    individual (harta diwarisi secara perorangan), terdapat di Jawa, Batak, Sulawesi,

    dan daerah lainnya. Kewarisan kolektif (harta diwarisi secara bersama-sama).

    Kewarisan Mayorat, (harta waris diwarisi oleh seorang anak saja). Mayorat

    terpecah lagi dalam dua sisi, yakni mayorat laki-laki seperti di Lampung (anak

    4 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia,

    (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), cet.1, hal. 53-58.

  • 3

    laki-laki tertua menjadi ahli waris tunggal). Mayorat perempuan seperti di suku

    Semendo Sumatera Selatan (anak perempuan tertua menjadi ahli waris tunggal).5

    Masyarakat suku semendo mengenal tiga sistem kewarisan ini, sistem

    kewarisan individual berlaku apabila pewaris tidak memiliki anak lebih dari satu

    laki-laki atau perempuan, maka anak tunggal tersebut mewarisi semua harta

    peninggalan dari pewaris. Sistem kewarisan kolektif berlaku apabila pewaris

    mewariskan harta pusaka yang berupa keris, dan lain sebagainya. Adapun sistem

    kewarisan mayorat berlaku berkenaan dengan pewarisan harta Tunggu Tubang.

    Pewaris mewariskan harta berupa sawah dan rumah. Sawah dan rumah ini hanya

    bisa dikelola oleh anak Tunggu Tubang (Perempuan Tertua) tanpa bisa menjual

    atau memiliki. Sedangkan pewaris lain atau anak laki-laki bisa mengelola atau

    mengambil alih pengelolaan jika anak Tunggu Tubang tidak bertanggungjawab

    terhadap harta tersebut.

    Hukum adat tidak menentukan waktu harta warisan itu akan dibagi atau

    waktu diadakannya pembagian. Namun, dalam praktek secara umum, waktu

    pembagian warisan adalah setelah dilaksanakannya acara sedekah atau selamatan

    yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah

    pewaris wafat. Apabila terjadi konflik, diupayakan terlebih dahulu melalui

    musyawarah atau mufakat. Apabila gagal, baru diminta bantuan dan campur

    tangan ketua adat atau pemuka agama.6

    Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka penulis

    tertarik untuk membahas masalah ini ke dalam penelitian yang penulis beri judul

    “SISTEM HUKUM WARIS HARTA TUNGGU TUBANG PADA SUKU

    SEMENDO MUARA ENIM SUMATERA SELATAN (Studi Perbandingan

    Hukum Adat Dan Hukum Islam)”.

    5 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,

    (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet. 2, hal. 41-43. 6 Wahyu Kucoro, Waris Permasalahannya dan Solusinya Cara Halal dan Legal

    Membagi Warisan, (Jakarta Timur: Raih Asa Sukses, 2015), cet. 1, hal. 16.

  • 4

    B. Identifikasi Masalah

    1. Bagaimana ketentuan pembagian waris harta Tunggu Tubang dalam sistem

    kewarisan adat masyarakat Semendo Darat Ulu?

    2. Bagaimana kedudukan harta Tunggu Tubang dalam sistem kewarisan adat

    masyarakat Semendo Darat Ulu?

    3. Bagaimana dampak dari sistem pembagian waris harta Tunggu Tubang?

    4. Bagaimana hukum waris Tunggu Tubang dipandang dari Hukum Islam?

    5. Bagaimana hukum waris Tunggu Tubang dipandang dari Hukum Positif?

    6. Bagaimana sebab terjadinya pembagian waris harta Tunggu Tubang?

    C. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Batasan Masalah

    Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam

    penelitian ini dan juga luasnya wilayah Suku Semendo, maka penulis membatasi

    pembahasannya. Hal ini bertujuan agar pembahasannya tidak melebar atau meluas

    dan sesuai dengan sasaran. Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian

    hanya pada wilayah Desa Datar Lebar Kecamatan Semendo Darat Ulu.

    2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan banyaknya identifikasi masalah yang timbul, maka penulis

    merumuskan permasalahan yang akan penulis teliti yaitu Bagaimana

    perbandingan hukum adat Tunggu Tubang dan hukum Islam dalam hal pembagian

    waris ?

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui hukum pembagian waris harta Tunggu Tubang

    dipandang dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.

    2. Manfaat Penelitian

    a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

    menambah wawasan dan pengetahuan kita sebagai umat Islam dalam

    memahami hukum dari sistem waris adat yang berlaku di masyarakat

  • 5

    Indonesia. Penelitian ini juga untuk menambah literatur perpustakaan

    khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab dan Hukum.

    b. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab

    pertanyaan hukum terhadap penomena yang berkembang di masyarakat

    semendo. Penelitian ini juga bisa menjadi rujukan para mubaligh dan

    praktisi hukum dalam menjawab dan mengkritisi kegiatan umat Islam

    dalam hal pembagian harta waris.

    E. Review Kajian Terdahulu

    Dalam penelitian ini, peneliti telah melakukan kajian pustaka terhadap

    beberapa karya ilmiah yang dibuat sebelum penelitian ini. Ada beberapa karya

    ilmiah yang telah peneliti review dan mendekati penelitian yang hendak peneliti

    lakukan, yaitu:

    Skripsi yang bejudul “Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap

    Hukum Waris Islam (Studi di Kelurahan Cengkareng Jakarta Barat)” yang

    ditulis oleh Mariyah.7 Dalam skripsi ini, Mariyah meneliti tentang pengetahuan

    dari masyarakat yang ada di Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam.

    Penelitian ini juga membahas tentang sikap dan perilaku masyarakat terhadap

    hukum waris Islam. Sedangkan penelitian yang hendak peneliti lakukan adalah

    berkenaan dengan sebuah sistem kewarisan yang berlaku di masyarakat Semendo

    Darat Ulu. Bukan membahas kepada kesadaran atau sikap perilaku masyarakat.

    Hal lain yang membedakan penelitian yang hendak peneliti lakukan adalah

    peneliti juga membandingkan aspek hukum dari sistem kewarisan tersebut

    dipandang dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.

    Selanjutnya skripsi yang berjudul “Pembagian Waris Masyarakat

    Betawi Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kelurahan

    Lebak Bulus Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan)” yang ditulis oleh Siti

    7 Mariyah, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam (Studi di

    Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2009.

  • 6

    Azizah.8 Pada skripsi ini, Siti Azizah membahas tentang pembagian waris yang

    terjadi di masyarakat Betawi dan memandangnya dari segi hukum Islam.

    Penelitian ini sedikit memiliki kesamaan dengan penelitian yang hendak peneliti

    bahas, yaitu sama-sama membahas tentang sistem pembagian waris yang terjadi di

    masyarakat dan juga memandangnya dari segi hukum Islam. Adapun

    perbedaannya yaitu, penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian Siti

    Azizah berbeda wilayah dan juga juga berbeda sistem pembagian warisnya. Hal

    lain yang membedakan yaitu, peneliti juga hendak membandingkan sistem

    pembagian waris tersebut ditinjau dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum

    Islam.

    Selanjutnya skripsi yang berjudul “Tradisi Penyelesaian Waris Desa

    Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan” yang ditulis oleh Moh.

    Khoiruddin.9 Dalam penelitian ini, Khoiruddin membahas tentang tradisi atau

    kebiasaan yang dilakukan dalam menyelesaikan pembagian harta waris. Dalam

    penelitian ini juga, Khoiruddin meninjau tradisi ini dengan hukum Islam dan juga

    membahas tentang sebab-sebab tetap memakai tradisi ini. Perbedaan penelitian

    yang hendak peneliti teliti yaitu objek dari adatnya berbeda, wilayah yang berbeda

    dan juga peneliti membahas juga dari segi hukum Islam (fikih) dan Kompilasi

    Hukum Islam, sedangkan Khoiruddin tidak.

    Penelitian lain yakni skripsi yang berjudul “Pembagian Harta Pusaka

    Menurut Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat Perpatih di

    Daerah Rembau Provinsi Negeri Sembilan Malaysia” yang ditulis oleh

    Fatehah Binti Zulkafli.10 Dalam penelitian ini, Fatehah membahas tentang cara

    membagi harta yang terjadi di masyarakat Rembau Malaysia. Fatehah juga

    membahas aspek berbeda dalam pewarisan antara pewarisan dalam hukum Islam

    8 Siti Azizah, Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau dari Hukum Islam (Studi

    Pada Masyarakat Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan). Skripsi

    Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2009. 9 Moh. Khoiruddin, Tradisi Penyelesaian Waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran

    Kabupaten Lamongan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

    Jakarta, 2011. 10 Fatehah Binti Zulkafli, Pembagian Harta Pusaka Menurut Hukum Kewarisan Islam

    dan Hukum Kewarisan Adat Perpatih Di Daerah Rembau Provinsi Negeri Sembilan Malaysia,

    Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2008.

  • 7

    dan Adat Perpatih. Skripsi ini sudah mendekati dengan penelitian yang hendak

    peneliti lakukan, ada beberapa aspek berbeda antara penelitian Fatehah dengan

    penulis, yakni penulis membahas tentang Adat Tunggu Tubang Semendo Muara

    Enim dan juga penulis membahas dari aspek fikih.

    Selanjutnya skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan di

    Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan” yang

    ditulis oleh Achmad Fachmi Ramdhan.11 Dalam skripsi ini, Achmad Fachmi

    Ramdhan hanya membahas terkait sistem kewarisan yang ada di Srengseng

    Sawah Jakarta Selatan. Adapun hal yang membedakan dengan penelitian penulis

    yakni penulis membahas juga dari aspek hukum dari sistem kewarisan yang

    berlaku di masyarakat. Penulis juga membahas aspek perbandingan hukum atas

    sistem kewarisan yang berlaku ditinjau dari hukum Islam (fikih).

    Terakhir yakni jurnal yang berjudul “Tunggu Tubang Dalam Pembagian

    Harta Warisan Pada Masyarakat Suku Semende” yang ditulis oleh Azelia

    Velinda dan kawan-kawan.12 Dalam jurnal ini, Azelia dan kawan-kawan hanya

    membahas tentang apa itu Tunggu Tubang, harta Tunggu Tubang, hak dan

    kewajiban anak Tunggu Tubang. Jurnal ini hanya membahas sebagian kecil dari

    skripsi yang hendak penulis susun. Sedangkan bahasan penulis lebih luas dan

    mendalam mengenai kewarisan adat Tunggu Tubang. Skripsi yang hendak penulis

    susun ini berbeda secara signifikan dalam aspek meninjau adat Tunggu Tubang

    dengan hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.

    Melihat skripsi yang telah penulis uraikan di atas, penulis berpendapat

    bahwa skripsi yang hendak penulis teliti adalah berbeda dengan penelitian yang

    telah lalu. Skripsi pertama membahas tentang kesadaran hukum terhadap waris.

    Skripsi kedua fokus kepada pembagian waris di masyarakat Betawi ditinjau dari

    hukum Islam. Skripsi ketiga fokus kepada tradisi penyelesaian waris di Desa

    Tunggul. Skripsi keempat fokus kepada kewarisan adat Perpatih. Skripsi kelima

    11 Achmad Fachmi Ramdhan, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Perkampungan Budaya

    Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014. 12 Azelia Velinda, dkk. Tunggu Tubang Dalam Pembagian Harta Warisan Pada

    Masyarakat Suku Semende, Sosietas, Vol. 7, 2, 2017, Jawa Barat: Universitas Pendidikan

    Indonesia.

  • 8

    fokus kepada pelaksanaan hukum kewarisan di Betawi Srengseng. Jurnal Azelia

    dan kawan-kawan fokus kepada bagaimana Tunggu Tubang dalam proses

    pembagian waris. Sedangkan penulis fokus kepada adat Tunggu Tubang Semendo

    dan meninjaunya dari hukum Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam. Jadi bisa

    disimpulkan bahwa skripsi yang hendak penulis susun ini murni dan masih baru.

    F. Metode Penelitian

    Untuk skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan

    pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok

    manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu

    kelas peristiwa pada masa sekarang. Suatu metode yang bertujuan membuat

    deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

    fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar penomena yang diselidiki.13 Penelitian

    yang ditujukan untuk menggambarkan situasi atau kejadian yang terjadi. Metode

    kualitatif menghasilkan informasi hanya pada kasus-kasus tertentu yang dipelajari

    dan kesimpulan umum hanya pada hipotesis yang diajukan saja.14

    1. Jenis Penelitian

    Berdasarkan data dan tempat pengambilan data, skripsi ini menggunakan

    metode kepustakaan dengan pendekatan kualitatif,. Penelitian yang mendasarkan

    data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa

    dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan/atau hasil rekaman verbatim (hasil

    wawancara).15 Berdasarkan tingkat eksplanasinya, penelitian ini menggunakan

    metode komparatif, yaitu penelitian yang ditujukan untuk membandingkan satu

    atau lebih data sampel.16 Dalam hal ini, penulis membandingkan antara hukum

    Islam (fikih) dan Kompilasi Hukum Islam.

    13 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), cet. 8, hal. 54. 14 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi Pada Penelitian

    Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), cet. 1, hal. 111. 15 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

    Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), cet. 1, hal. 9. 16 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 118-119.

  • 9

    2. Sumber Data dan Pengumpulan Data

    Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh suatu

    organisasi atau perorangan langsung dari objeknya.17 Dalam hal penelitian ini,

    penulis mengambil data dari kitab-kitab fikih, undang-undang, buku-buku dan

    literatur yang berkaitan dengan kewarisan.

    Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, sudah

    dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain, biasanya sudah dalam bentuk publikasi.18

    Dalam hal ini penulis mengambil sumber dari skripsi, jurnal, eksiklopedi yang

    berkaitan dengan pembahasan, media cetak dan elektronik dan juga pendapat dari

    ulama.

    3. Analisis Data

    Data-data yang penulis peroleh dari hasil penelitian kemudian

    diklasifikasikan. Setelah itu penulis menganalisis dengan menggunakan metode

    kualitatif, yaitu menganalisis untuk menjawab rumusan masalah atau menguji

    hipotesis.19 Penulis menggunakan metode normatif, yaitu mengkaji hukum yang

    tertulis.20 Penulis menggunakan metode empiris, yaitu meneliti hukum yang

    berlaku di masyarakat, mengenai hukum yang tidak tertulis.21 Penulis

    menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum, studi komparatif, dan

    argumentasi rasional. Penulis juga menggunakan metode pragmatis, yaitu kajian

    tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan

    konteks yang sesuai dengan kalimat itu. Kemudian data tersebut atau jawaban atas

    rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk narasi sehingga jelas,

    logis dan mudah dipahami.

    17 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 171. 18 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif Teori dan Aplikasi, hal. 171. 19 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan M&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), cet. 8,

    hal. 243. 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya

    Bakti, 2004), hal. 101. 21 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hal. 155.

  • 10

    4. Teknik Penulisan

    Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman

    Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

    G. Rancangan Sistematika Penulisan

    Untuk memudahkan penulis dalam memahami skripsi ini, penulis ingin

    membagi skripsi yang akan penulis susun ini dalam lima bab, yaitu:

    BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

    identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, review kajian terdahulu, metode penelitian, dan rancangan sistematika

    penulisan.

    BAB II membahas tentang pengertian, dasar hukum waris, rukun dan

    syarat-syarat kewarisan, sebab-sebab dan halangan untuk menerima harta waris,

    macam-macam ahli waris dan bagian masing-masing dan asas-asas kewarisan.

    BAB III membahas tentang gambaran umum Suku Semendo, ketentuan

    dan kedudukan harta Tunggu Tubang Semendo Darat Ulu, ahli waris menurut

    adat, pembagian waris adat dan halangan mendapatkan harta warisan.

    BAB IV tentang analisa pembagian waris harta Tunggu Tubang ditinjau

    dari fikih, hukum adat, kompilasi hukum Islam dan analisa penulis.

    BAB V yaitu penutup yang meliputi atas kesimpulan dan rekomendasi.

  • 11

    BAB II

    KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM

    A. Pengertian Kewarisan

    1. Secara Bahasa

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kewarisan adalah hal

    yang berhubungan dengan waris atau warisan. Waris adalah orang yang berhak

    menerima harta pusaka dari orang yang meninggal. Warisan adalah sesuatu yang

    diwariskan seperti harta, nama baik, dan/atau harta pusaka.1

    Mawaris secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras yang

    artinya warisan. Mawaris disebut juga faraidh. Faraidh jamak dari kata tunggal

    faridah yang berarti ketentuan bagian ahli waris yang secara jelas diatur dalam al-

    Qur’an.2 Mawaris disebut juga dengan faraidh berdasarkan sabda Rasulullah

    SAW:

    )رواه البخاري .رٍ َرُجٍل ذَكَ ی ْولِلَ فَ تََرَكِت اْلفََراِئُض، ِبأَْهِلَها َفَمافََرائَِض الْ اأَْلِحقُو

    ومسلم(.3

    “Berikanlah harta warisan (faraidh) kepada orang-orang yang berhak

    menerimanya (menurut ketentuan). Jika masih ada sisa, diberikan kepada

    keluarga laki-laki yang terdekat (nasabnya dengan mayat). (H.R. Bukhari dan

    Muslim).

    Sedangkan dalam KHI, menggunakan kata hukum. Hukum kewarisan

    adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

    peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

    waris dan berapa bagiannya masing-masing.4

    1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

    (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed. 3, cet. 3, hal. 1269. 2 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995), cet. 2, hal. 1.

    (lihat Amin Suma “Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks” hal. 11). 3 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, (Beirut: Dar al-Fikr) hadis No. 6746, j. 8, hal. 10. (Lihat juga Shahih

    Muslim Hadis No. 1615, hal. 340). 4 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

    Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171 huruf a, hal. 77.

  • 12

    2. Secara Istilah

    Prof. Hasbi ash-Shiddiqy menerangkan dalam bukunya bahwa para fuqaha

    menta’rifkan ilmu mawaris dengan:

    .عٍ الت ْوِزيْ ةُ دَاُر ُكل ِ َواِرٍث َوَكْيِفي يُْعَرُف ِبِه َمْن َيِرُث َوَمْن الَ َيِرُث َوِمقْ ِعْلم

    Artinya: “Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang

    menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima

    oleh tiap-tiap waris dan cara membaginya”.5

    M. Ali Hasan mendifinisikan faraidh adalah jamak dari faridah yang

    artinya satu bagian tertentu. Jadi faraidh menurutnya adalah beberapa bagian

    tertentu. Untuk mengetahui siapa-siapa yang berhak atas bagian tertentu itu, maka

    ditetapkan terlebih dahulu pewaris dari orang yang meninggal. Kemudian baru

    diketahui siapa di antara mereka berhak atas bagian dan yang tidak berhak atas

    bagian.6

    A. Kadir dalam bukunya yang berjudul “Memahami Ilmu Faraidh Tanya

    Jawab Hukum Waris Islam” menerangkan bahwa ahli fikih menta’rifkan faraidh

    dengan redaksi berikut: 7

    ْرثِ أَْلِفْقهُ اْلُمتَعَل ُِق ِب ذَِلَك َوَمْعِرفَةُ قَْدِر َمْعِرفَةٍ لَیفَةُ اْلِحَساِب اْلُمْوِصِل إِ ْعرِ َومَ ااْلِ

    . ٍ اْلَواِجِب ِمَن الت ِْرَكِة ِلُكل ِ ِذْي َحق

    Artinya: “Ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,

    pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pembagian

    warisan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang semestinya dari harta

    peninggalan itu untuk setiap mereka yang punya hak”.

    ٍ َحق ل ِ َما َيُخصُّ كُ ی َمْعِرَفةٍ ُل إِلَ ِص ِعْلُم اْلِحَساِب اْلُموْ ُهوَ اْلَمَواِرثِ ْلِفْقهُ ٲَ هُ ِذْي َحق

    ِمَن الت ِْرَكِة.

    5 Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,

    (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. 1, hal. 18. 6 M. Ali Hasan, Hukum Waris Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet.1, hal. 9.

    (lihat juga bukunya yang lain yang berjudul “Al-Fara’id Ilmu Pembagian Waris” hal. 11). 7 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, (Jakarta:

    Amzah, 2016), cet. 1, hal. 9-10.

  • 13

    Artinya: “Ilmu mawaris adalah ilmu tentang hisab (perhitungan) yang

    mengantarkan pada pengertian yang mengkhususkan setiap yang mempunyai hak

    akan haknya dari harta warisan peninggalan sang mayit”.

    B. Dasar Hukum Waris

    Adapun dasar hukum kewarisan dalam Islam bersumber dari tiga sumber,

    yakni:

    1. Al-Qur’an

    a. QS. an-Nisaa’/4: 7

    Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua

    dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta

    peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

    bagian yang telah ditetapkan”.

    Ayat ini turun berkaitan dengan Aus bin Tsabit Al Anshari tatkala dia

    wafat dan meninggalkan seorang istri yang bernama Ummu Kujjah dan tiga orang

    anak perempuan. Sebelum wafat dia mewasiatkan hartanya untuk keponakannya

    Suwaid dan Arfajah. Kedua keponakan itu mengambil seluruh harta dan tidak

    meninggalkan sedikitpun buat istri dan anak-anak Aus bin Tsabit. Hal ini terjadi

    karena pada masa jahiliyah wanita dan anak-anak kecil tidak mendapat warisan.8

    Ummu Kujjah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, nabi lalu

    memanggil kedua keponakan itu, mereka berkata “wahai Rasulullah anak wanita

    tidak dapat menunggang kuda, tidak membawa senjata ataupun melukai musuh.

    Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, bahwa

    perkataan dan cara mewarisi tersebut didasari karena kebodohan mereka, karena

    8 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an. Penerjemah Ahmad Rijali

    Kadir. Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal. 114.

  • 14

    anak-anak kecil lebih berhak atas warisan daripada orang dewasa. Karena mereka

    tidak dapat mencari nafkah dan juga lebih bermanfaat buat masa depan mereka.9

    b. QS. an-Nisaa’/4: 8

    Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir karib kerabat, anak-anak

    yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)

    dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

    Yang dimaksud kerabat dalam ayat ini adalah selain ahli waris, demikian

    juga anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Allah menerangkan dalam ayat ini

    apabila mereka menghadiri pembagian warisan, maka mereka ada rezeki dari

    pembagian itu yang harus diberikan sekedarnya oleh orang-orang yang tengah

    membagikannya. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam (hukumnya

    berlaku), dan perintah dalam ayat ini berhukum nadb (Sunnah). Yang lain

    berpendapat bahwa ayat ini mansukh (hukumnya telah dihapus oleh ayat 11).10

    c. QS. an-Nisaa’/4: 9

    Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka

    meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir

    terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa

    kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

    Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata “Ayat ini

    berkaitan dengan seseorang yang menjelang ajal. Ada orang lain yang mendengar

    orang itu menyampaikan wasiat yang menyengsarakan ahli warisnya, maka Allah

    menyuruh orang yang mendengar itu agar bertakwa kepada Allah, meluruskan,

    9 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 115. 10 Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Fathul Qadir (Al Jami’ baina ar-

    Riwayah wa ad-Dirayah min Ilm al-Tafsir). Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Asep

    Saefullah, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 703-704.

  • 15

    dan membenarkan orang yang berwasiat itu agar memperhatikan ahli warisnya

    dan berbuat baik terhadap mereka dan menghawatirkan mereka terlantar.11

    d. QS. an-Nisaa’/4: 10

    Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara

    zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan

    masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

    Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berasal dari

    Gathfan yang bernama Mirtsad bin Zaid yang diberi amanah untuk menjaga dan

    mengelola harta keponakannya yang yatim dan masih kecil, kemudian dia

    memakan harta itu tanpa hak, lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.12

    e. QS. an-Nisaa’/4: 11

    Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

    anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang

    anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka

    bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu

    seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,

    bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

    meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak ada

    meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat

    sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

    mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi

    wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang

    tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang

    11 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir.

    Penerjemah Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Gema Insani Press, 1999), Cet.

    1, hal. 656. 12 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 134.

  • 16

    lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

    Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

    Dalam ayat ini Allah menyuruhmu berlaku adil terhadap mereka. Pada

    zaman jahiliah, harta pusaka itu hanya bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum

    wanita. Kemudian Allah memerintahkan agar menyamakan dalam prinsip

    kewarisan. Allah pun membedakan antara kedua jenis itu, laki-laki mendapat dua

    bagian perempuan. Karena laki-laki perlu biaya buat keluarganya.13

    f. QS. an-Nisaa’/4: 12

    Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

    istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai

    anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah

    dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para

    istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak

    mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh

    seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang

    kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,

    baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

    meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau

    seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua

    jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih

    dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu, sesudah dipenuhi

    wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

    memberi mudharat (kepada ahli waris)(Allah menetapkan yang demikian itu

    sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi

    Maha Penyantun”.

    13 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 660.

  • 17

    Dalam ayat ini dijelaskan bahwa utang harus diselesaikan terlebih dahulu,

    kemudian wasiatnya, lalu warisan. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa

    wasiat itu harus adil, tidak memudharatkan, lalim, dan menyalahi. Contohnya,

    tidak member bagian untuk ahli waris atau sebagian ahli waris, atau mengurangi,

    atau menambah bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. Barangsiapa yang

    melakukan hal itu, maka sama saja dengan menentang hukum dan syariat Allah.14

    g. QS. an-Nisaa’/4: 13

    Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.

    Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke

    dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di

    dalamnya dan itulah kemenangan yang besar”.

    Ayat ini menerangkan bahwa kadar dan bagian warisan merupakan had-

    had (hukum-hukum) Allah. Maka kita tidak boleh melampauinya. Taat kepada

    Allah dan Rasul maksudnya dia tidak melebihkan bagian ahli waris yang satu dan

    tidak pula mengurangi bagian ahli waris lain melalui suatu tipu daya. Dalam ayat

    ini kita disuruh dalam hal warisan untuk mengikuti hukum Allah, baik penentuan

    dan pembagiannya. Balasan bagi orang yang seperti ini adalah surga.15

    h. QS. an-Nisaa’/4: 14

    Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan

    melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api

    neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”.

    14 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 665-666. 15 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 667.

  • 18

    Ayat ini menerangkan bahwa bagi yang durhaka kepada Allah dan Rasul-

    Nya terkait kewarisan, maka balasan orang seperti ini adalah neraka. Karena dia

    telah mengubah apa yang telah ditetapkan Allah dan menentang hukum Allah.16

    i. QS. an-Nisaa’/4: 33

    Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu

    bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan (jika ada) orang-

    orang yang kamu telah bersumpah setia denga mereka, maka berilah kepada

    mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

    Ayat ini menerangkan bahwa setiap orang mempunyai ahli waris dan wali-

    wali, oleh sebab itu hendaklah nikmat Allah yang berupa warisan ini dapat

    dimanfaatkan dengan baik.17 Dan berikanlah bagi orang-orang yang kamu terikat

    sumpah dengan mereka.18

    j. QS. an-Nisaa’/4: 176

    Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

    ”Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal

    dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka

    bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,

    dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),

    jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,

    maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang

    meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan

    perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua

    16 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 667. 17 Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, hal. 385. 18 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 701.

  • 19

    orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya

    kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

    Ayat ini menjadi pedoman bagi mereka yang berpendapat bahwa tidak ada

    ayah bukan syarat untuk disebut kalalah. Keberadaan kalalah cukup dengan tidak

    adanya anak, ini riwayat Umar bin Khatthab melalui sanad yang sahih dan berasal

    dari Ibnu Jarir. Adapun menurut jumhur ulama dan batasan Abu Bakar bahwa

    kalalah ialah orang yang tidak memiliki anak dan ayah.19

    k. QS. al-Anfaal/8: 75

    Artinya:“Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan

    berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang

    mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya

    (daripada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha

    Mengetahui segala sesuatu”.

    2. Sunnah Nabi

    a. Hadis Ibnu ‘Abbas

    نِ بْ للِا دِ بْ عَ نْ ، عَ حٍ وْ رَ نْ ، عَ عٍ يْ رَ زُ نُ بْ دُ يْ زِ ا َي َنثَ د ، حَ امٍ طَ سْ ِب نُ بْ ةُ ي مَ ا أُ َنثَ د حَ

    ِ بِ الن نِ عَ اٍس ب عَ نِ ابْ نِ ، عَ هِ يْ ِب أَ نْ ،عَ ٍس اوُ طَ وا قُ حِ لْ أَ :الَ صلى للا عليه وسلم قَ ي

    َ هْ لِ هَ ا فَ مَ اتَ رَ كْ تِ الْ فَ رَ اِئ ضُ ، فَ ِلَ وْ لَ ی رَ جُ لٍ ذَ كَ رٍ .)رواه البخاري و مسلم(20 الْ فَ رَ اِئ ضَ ِب أ

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Bistham, telah

    menceritakan kepada kami Yazid bin Zura’i, dari Rauh, dari Abdillah bin Thawus

    dari Ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: Berikanlah

    faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya

    berikanlah untuk pewaris laki-laki yang paling dekat”.(Muttafaq Alaih).

    19 Muhammad Nasib ar-Rifai, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari, hal. 865. 20 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, hadis No. 6746, j. 8, hal. 10, dan Shahih Muslim Hadis No. 1615, j. 5, hal. 340.

  • 20

    b. Hadis Jabir bin Abdullah

    لِ وْ سُ ى رَ لَ ٳِ دٍ عْ سَ نْ مِ اهَ يْ تَ ِن بْ اِ ِب عِ يْ ِب الر نِ بْ دِ عْ سَ ةُ ٲَ رَ امْ تْ اءَ جَ :الَ قَ للاِ دِ بْ عَ نِ بْ رِ ابِ جَ نْ عَ

    لَ تِ قُ عِ يْ بِ الر نِ بْ دِ عْ ا سَ تَ نَ ابْ انِ اتَ هَ !للاِ لَ وْ سُ ا رَ َي :تْ الَ قَ فَ صلى للا عليه وسلم للِا

    اَل وَ ،ال اا مَ مَ هُ لَ عْ دَ َي مْ لَ ا فَ مَ هُ لَ امَ ذَ خَ ا اَ مَ هُ م عَ ن ٳِ وَ ،اد يْ هِ شَ دٍ حُ اُ مَ وْ يَ كَ عَ ا مَ مَ هُ وْ بُ ٲَ

    لُ وْ سُ رَ ثَ عَ بَ فَ ،اثِ رَ يْ المِ ةُ َي اَ تْ لَ زَ نَ فَ .كِ لِ ى ذَ فِ للاُ يَ ِض قْ َي :الَ قَ .ال ا مَ مَ هُ لَ وَ ال ٳِ انِ حَ كَ نْ تُ

    ا مَ هُ م ٲُ طِ عْ ٲَ وَ نِ يْ ثَ لُ الثُّ دٍ عْ سَ يْ تَ َنابْ طِ عْ ٲِ :الَ قَ ا فَ مَ هِ م ِ ى عَ لَ صلى للا عليه وسلم ٳِ للِا

    الثُّ مُ نَ وَ مَ ا َب قِ يَ فَ هُ وَ لَ كَ .)رواه الترمذي(.21

    Artinya: “Dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata: “Istri Sa’ad bin Rabi’ datang

    kepada rasulullah SAW beserta kedua putrinya, dia berkata: “Ya Rasulullah, ini

    adalah kedua putrinya Sa’ad bin Rabi’ yang telah syahid di perang Uhud

    bersamamu, dan sesungguhnya pamannya mengambil seluruh hartanya dan tidak

    menyisakan sedikitpun untuk keduanya dan tentunya keduanya tidak dapat

    dinikahkan kecuali jika memiliki uang. Nabi berkata: “Allah akan menetapkan

    hukum dalam perkara ini. Setelah itu turunlah ayat waris,lalu Rasulullah SAW

    mengutus seseorang kepada paman keduanya dengan perintah:“Berikanlah

    kepada kedua putrid Sa’ad dua pertiga harta, dan berilah ibu mereka

    seperdelapan, lalu harta yang tersisa menjadi milikmu. (H.R. Tirmidzi).

    c. Hadis Huzail bin Syurahbil.

    صلى للا عليه وسلم يِ ِب الن اءِ ضَ قَ ِب ا هَ يْ فِ َين ِض قْ لَ : قَاَل َعْبدُ للِا:الَ قَ لٍ يْ زَ هُ نْ عَ

    ا مَ وَ ،سُ دُ السُّ نِ بْ اْلَ ا ةِ َنالبْ وَ ،فُ صْ الن ِ ةٍ َنبْ لِ لِ صلى للا عليه وسلم ْوقَاَل: قَاَل الن ِبيُّ ٲَ َب قِ يَ فَ لِ لُ خْ تِ .)رواه البخاري، الترمذي و ابن ماجة(.22

    Artinya: “Dari Huzail mengatakan, Abdullah mengatakan: Sungguh aku putuskan

    perkara ini dengan keputusan Nabi SAW, dia mengatakan: Nabi SAW bersabda:

    anak perempuan mendapat separo dan cucu perempuan dari anak laki-laki

    mendapat seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan. (H.R. Bukhari,

    Tirmidzi dan Ibnu Majah).

    21 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, (Riyad:

    Darussalam Linnasir Wattauzi’i, 279), Hadis No. 2092, hal. 633. 22 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6742, j. 8, hal. 9. (Lihat juga Jami’u Tirmidzi Hadis No. 2093,

    hal. 633 dan Sunan Ibnu Majah Hadis No. 2721, j. 2, hal. 909).

  • 21

    d. Hadis ‘Umran bin Husein

    ِ بِ ى الن لَ ٳِ ل جُ رَ اءَ : جَ الَ قَ نِ يْ صَ حُ نِ بْ انَ رَ مْ عِ نْ عَ ن ٳِ :الَ قَ فَ صلى للا عليه وسلم ي

    ابْ ِن يْ مَ اتَ فَ مَ الِ ي مِ نْ مِ يْ رَ اِث هِ ؟ فَ قَ الَ : لَ كَ السُّ دُ سُ .)رواه الترمذي(.23

    Artinya: “Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata: Seorang laki-laki mendatangi

    Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya anakku mati, berapakah bagianku dari

    harta warisannya? Nabi berkata: “kamu mendapat seperenam.” (H.R. Tirmidzi).

    e. Hadis Qubaishah bin Zueb

    َ سَ فَ رٍ كْ َب يْ ِب ى ٲَ لَ ٳِ ةُ د جَ الْ تِ اءَ جَ :الَ قَ بٍ يْ ٶَ زُ نِ بْ ةَ صَ يْ ِب قَ نْ عَ ا مَ :اهَ لَ الَ قَ ،اهَ ثَ ايرَ مِ هُ ْت لَ ٲ

    ء يْ صلى للا عليه وسلم شَ للاِ لِ وْ سُ رَ ةِ ن سُ يفِ كِ لَ امَ وَ ،ء يْ شَ للاِ ابِ تَ كِ يفِ كِ لَ

    َ سْ ى ٲَ ت ي حَ عِ جِ ارْ فَ َ سَ ،فَ اسَ الن لَ ٲ لَ وْ سُ رَ تُ رْ ضَ حَ :ةَ َب عْ شُ نُ بْ ةُ رَ يْ غِ المُ الَ قَ فَ ،اسَ الن لَ ٲ

    نُ بْ دُ م حَ مُ امَ قَ فَ ؟كَ رُ يْ غَ كَ عَ مَ لْ هَ :الَ قَ فَ ،سَ دُ ا السُّ اهَ طَ عْ للا صلى للا عليه وسلم ٲَ

    َ فَ ،ةَ َب عْ شُ نُ بْ ةُ رَ يْ غِ المُ الَ ا قَ مَ لَ ثْ مِ الَ قَ فَ ةَ مَ لَ سْ مَ )رواه الترمذي و ابن .رٍ كْ و َب بُ ا ٲَ هَ لَ هُ ذَ فَ نْ ٲ ماجة(.24

    Artinya: “Dari Qabishah bin Dzu’aib dia berkata: “Seorang nenek mendatangi

    Abu Bakar guna bertanya mengenai bagiannya dalam harta warisan, lalu Abu

    Bakar berkata kepadanya, Bagianmu tidak disebutkan di dalam al-Qur’an sedikit

    pun, dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah SAW. Kembalilah dahulu hingga

    aku menanyakannya kepada orang-orang, lalu Mughirah bin Syu’bah berkata:

    Aku pernah menghadiri Rasulullah SAW yang memberikan hak nenek sebanyak

    seperenam.” Berkata Abu Bakar: “Apakah ada orang lain selain kamu yang

    mengetahuinya? Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti yang

    dikatakan Mughirah bin Syu’bah. Sehingga Abu Bakar pun segera

    menunaikannya. (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

    f. Hadis Abu Hurairah

    ِ بِ الن نِ عَ ةَ رَ يْ رَ هُ يْ ِب ٲَ نْ عَ )رواه الترمذي و .ثُ رِ َي اَل لُ اِت قَ : الْ الَ صلی للا عليه وسلم قَ ي

    ابن ماجة(.25

    Artinya: “Dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Pembunuh tidak boleh

    mewarisi.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

    23 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2099,

    hal. 634-635. 24 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2101,

    hal. 635, dan Ibnu Majah Hadis No. 2724, j. 2, hal. 909-910. 25 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2109,

    hal. 637, dan Ibnu Majah Hadis No. 2735, j. 2, hal. 913.

  • 22

    g. Hadis Usamah bin Zaid

    ِ لِ عَ نْ ، عَ ابٍ هَ شِ نِ ابْ نِ ، عَ جٍ يْ رَ جُ نِ ابْ نِ عَ ،مٍ اِص عَ وبُ ا أَ َنثَ د حَ رَ مَ عُ نْ عَ ،نٍ يْ سَ حُ نِ بْ ي

    مَ ل سَ وَ هِ يْ لَ عَ ی للاُ ل صَ ي ِب الن ن ا أَ مَ هُ نْ عَ للاُ يَ ِض رَ دٍ يْ زَ نِ بْ ةَ امَ سَ أُ نْ عَ ،انَ مَ ْث عُ نِ بْ

    قَ الَ : اَل َي رِ ثُ الْ مُ سْ لِ مُ الْ كَ افِ رَ ، وَ اَل الْ كَ فِ رُ الْ مُ لْ سِ مَ .)رواه البخاري و مسلم(.26

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari ibni zuraij, dari

    ibni syihab, dari Ali bin Husain, dari Umar bin Usman, dari Usamah bin Zaid

    radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi SAW bersabda: orang muslim tidak

    mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.”(Muttafaq

    Alaih).

    h. Hadis Sa’ad bin Abi Waqqash

    َ ا فَ ض رَ مَ ةَ ك مَ بِ تُ ضْ رِ : مَ الَ قَ هِ يْ ِب ٲَ نْ ،عَ اٍص ق وَ يبِ ٲَ نِ بْ دِ عْ سَ نْ عَ ی لَ عَ هُ نْ مِ تُ يْ فَ شْ ٲ

    َ فَ تِ وْ مَ الْ اال مَ يلِ ن ٳِ للِا لَ وْ سُ ا رَ َي :تُ لْ قُ فَ يْ ِن دُ وْ عُ وسلم يَ صلی للا عليه يُّ ِب الن يَ اِن تَ ٲ

    َ فَ ٲَ يِت نَ ابْ ال ٳِ ينِ ثُ رِ َي سَ يْ لَ ا وَ ر يْ ثِ كَ ،رُ طْ الش فَ تُ لْ قُ :الَ ،قَ : اَل الَ قَ ؟يلِ امَ يثَ لُ ثُ بِ قُ د صَ تَ ٲ

    نْ ٲَ نْ مِ ر يْ خَ اءَ َي نِ غْ ٲَ كَ دَ لَ وَ تَ كْ رَ تَ نْ ٳِ كَ ن ٳِ رُ ِثيْ كَ ثُ لُ الثُّ :الَ قَ ثِ لُ الثُّ :تُ لْ قُ .اَل :الَ قَ

    تَ ْت رُ كَ هُ مْ عَ الَ ة يَ تَ كَ ف فُ وْ نَ الن اسَ .)رواه البخاري(.27

    Artinya: “Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya mengatakan:“Aku pernah

    sakit parah di Makkah, hingga rasanya berada di ujung kematian. Kemudian

    Nabi SAW menjengukku.”Saya bertanya:“Ya Rasulullah, saya memiliki harta

    yang banyak, dan tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak

    perempuanku, bolehkah aku sedekahkan dua pertiganya. Jawab Nabi: “jangan,”

    Saya berkata lagi:“Bagaimana kalau separuhnya?” Jawab Nabi: “jangan,” Saya

    berkata lagi:“Bagaimana kalau Sepertiga?” Nabi menjawab:“Sepertiga itu

    sudah banyak, Sesungguhnya bila kamu meninggalkan anakmu berkecukupan,itu

    lebih baik daripada meninggalkannya berkekurangan, sampai memint-minta

    kepada orang lain.”(H.R. Bukhari).

    26 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6764, j. 8, hal. 14, dan Syekh Muslim, Ikmalil Ma’lami bifauidu

    Muslim, Hadis No. 1614, j. 5, hal. 337. 27 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6733, hal. 6-7.

  • 23

    i. Hadis ‘Amiri bin Muslim

    هِ يْ لَ عَ ى للاُ ل صَ للِا لُ وْ سُ رَ الَ قَ :تْ الَ قَ ةَ شَ اِئ عَ نْ عَ ،ٍس اوُ طَ نْ عَ ،مٍ لِ سْ مُ نِ و بْ رِ مْ عَ نْ عَ

    وَ سَ ل مَ : الْ خَ الُ وَ ارِ ثُ مَ نْ اَل وَ ارِ ثَ لَ هُ .)رواه الترمذي و ابن ماجة(.28

    Artinya: “Dari ‘Amiri bin Muslim dari Thawus, dari ‘Aisyah dia berkata:

    “Bersabda Rasulullah SAW: “bibi dari ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak

    ada ahli warisnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

    j. Hadis Abu Hurairah

    ِ ِب الن نِ عَ ،هُ نْ عَ للاُ يَ ِض رَ ةَ رَ يْ رَ هُ يِب ٲَ نْ عَ لی وْ ا ٲَ َن: ٲَ الَ صلی للا عليه وسلم قَ ي

    نْ مَ وَ ،هُ اؤُ ضَ ا قَ َنيْ لَ عَ فَ اء فَ وَ كْ رُ تْ يَ مْ لَ وَ ن يْ دَ هِ يْ لَ عَ وَ اتَ مَ نْ مَ فَ ،مْ هِ سِ فُ نْ ٲَ نْ مِ نَ يْ نِ مِ ؤْ مُ الْ ِب

    تَ رَ كَ مَ اال فَ لِ وَ رَ ثَ ِت هِ .)رواه البخاري و مسلم(.29

    Artinya: “Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW bersabda:

    “Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri,

    maka barangsiapa yang meninggal sedang dia mempunyai utang dan tidak

    meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya.

    Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.

    (Muttafaq Alaih)

    k. Hadis Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah

    صلی للا عليه للاِ لُ وْ سُ رَ الَ : قَ ااَل قَ ؛ةَ مَ رَ خْ مَ نِ بْ رِ وَ سْ مِ الْ وَ للِا دِ بْ عَ نِ بْ رِ ابِ جَ نْ عَ

    وْ ٲَ يحَ ِص يَ وَ يَ كِ بْ َي نْ ٲَ ،هُ لُ َل هِ تَ سْ اوَ :الَ قَ .اخ ارِ صَ ل هِ تَ سْ ی َي ت حَ يُّ ِب الص ثُ رِ يَ وسلم اَل

    َي عْ طِ سَ .)رواه ابن ماجة(.30

    Artinya: “Dari Jabir bin ‘Abdullah dan Al Miswar bin Makhramah keduanya

    berkata: bersabda Rasulullah SAW: “Seorang bayi tidak berhak menerima

    28 Imam Hafiz Abi ‘Is Muhammad bin ‘Is at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, Hadis No. 2104,

    hal. 636, dan Ibnu Majah, Hadis No. 2737, j. 2, hal. 914. 29 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-

    Ju’fi Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar Min Umur Rasul Allah SAW Wa

    Sunanih Wa Ayyamih, Hadis No. 6731, j. 8, hal. 6, dan Syekh Muslim, Ikmalil Ma’lami bifauidu

    Muslim, Hadis No.1619, hal. 352-353. 30 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr),

    Hadis No. 2751, j. 2, hal. 919.

  • 24

    warisan sampai ia berteriak, yang dimaksud berteriak yaitu menangis, berteriak

    atau bersin. dengan jeritan.” (H.R. Ibnu Majah).

    3. Ijtihad Ulama

    Adalah hasil pemikiran seseorang ahli fikih dalam menghasilkan dugaan

    kuat berkenaan dengan hukum Allah berdasarkan pemahamannya terhadap firman

    Allah dalam al-Qur’an dan/atau Hadis Nabi. Jika hasil ijtihad itu disetujui secara

    jelas oleh mujtahid lain atau tidak terdapat penolakan oleh mujtahid lain, maka

    status ijtihad ini menjadi ijma ulama.31

    Adapun contoh ijtihad ulama yakni, ulama sepakat kalau ahli waris dari

    pihak laki-laki ada 15 orang. Ulama sepakat kalau ahli waris dari pihak

    perempuan ada 10 orang. Ulama juga sepakat kalau kalimat “li adzdzakari mitslu

    hazhah al-untsayain” bermakna bagian satu orang anak laki-laki berbanding sama

    dengan bagian dua orang anak perempuan.

    Sedangkan dasar hukum positif yang dipakai di Peradilan Agama adalah

    Buku ke II (Hukum Kewarisan) dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 sampai

    pasal 214 yang terdiri atas enam bab, yakni bab 1 tentang Ketentuan Umum, bab 2

    tentang Ahli Waris, bab 3 tentang Besarnya Bahagian, bab 4 tentang Aul dan Rad,

    bab 5 tentang wasiat dan bab 6 tentang Hibah.32

    C. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan

    Ulama tidak berbeda pendapat atas rukun terjadinya kewarisan, yaitu:

    1. Pewaris (orang yang mewariskan harta), seseorang yang telah meninggal

    dunia, baik meninggal hakiki (dapat dibuktikan dan disaksikan secara

    nyata), meninggal hukmi (karena putusan atau pertimbangan yang

    ditetapkan hakim), atau meninggal taqdiri (dengan persangkaan yang

    dianggap pasti).

    31 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia

    Group, 2011), hal. 19. 32 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

    Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171-214, hal. 77-91.

  • 25

    2. Ahli waris (orang yang berhak menerima warisan dari orang yang

    meninggal dunia), seseorang yang memiliki ikatan pertalian darah atau

    kekerabatan, ikatan pernikahan, ikatan perwalian, dan persamaan agama

    (ikatan Islam).

    3. Warisan (sesuatu yang diwariskan), berupa harta peninggalan setelah

    dikurangi biaya perawatan, utang, zakat harta, dan hibah atau wasiat (tidak

    melebihi sepertiga hartanya).33

    Adapun syarat sah terjadinya kewarisan yaitu:

    1. Tidak ada sebab yang menghalangi (sebagaimana dalam uraian beberapa

    penghalang mewarisi).

    2. Meninggalnya orang yang mewariskan (orang yang masih hidup belum

    diperbolehkan memberi warisan).

    3. Ahli waris itu hidup ketika muwaris meninggal dunia, walaupun masih

    dalam kandungan.34

    Sedangkan rukun dan syarat yang terdapat di Kompilasi hukum Islam

    adalah sebagai berikut: 35

    1. Rukun

    a. Pewaris (adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang

    dinyatakan meninggal berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam,

    meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pasal 171 huruf b

    KHI).

    b. Ahli Waris (adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

    hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

    Islam, dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.

    Pasal 171 huruf c KHI).

    33 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 11. (lihat

    juga buku Ahmad Rofiq yang berjudul “Fiqh Mawaris” hal. 22-23 dan lihat juga “Shahih Fikih

    Sunnah” karangan Abu Malik Kamal, hal. 610). 34 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 12. (lihat

    juga dalam buku “Fikih Mawaris Untuk Warisan Dalam Syari’at Islam” karangan Hasbi ash-

    Shiddiqy hal. 47-49). 35 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

    Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 171-175, hal. 77-79.

  • 26

    c. Harta Waris (adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

    setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

    meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahyiz), pembayaran utang,

    dan pemberian untuk kerabat. Pasal 171 huruf e KHI).

    2. Syarat-syarat sahnya kewarisan.

    a. Tidak ada sebab menghalangi.

    b. Meninggalnya sang pewaris.

    c. Ahli waris beragama Islam.

    d. Ahli waris itu hidup.

    e. Ahli waris telah menyelesaikan kewajibannya terhadap pewaris.

    Secara tidak langsung kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dan

    kewarisan dalam Islam (fikih) sama. Hal ini disebabkan karena Kompilasi Hukum

    Islam ada melalui pengambilan nilai-nilai yang ada di dalam hukum Islam (fikih).

    Yang membedakan yakni Kompilasi Hukum Islam telah dijadikan patokan resmi

    dan diakui secara nasional di Negara Republik Indonesia.

    D. Sebab-sebab dan Halangan Untuk Menerima Harta Waris

    Ada beberapa sebab yang mengakibatkan seseorang mewarisi harta waris

    dari sang pewaris, yakni hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, hubungan

    perwalian atas pembebasan budak dan persamaan agama. Hubungan kekerabatan

    terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu Furu’ (anak cabang di si muwaris), Ushul

    (asal atau pokok yang menyebabkan adanya muwaris), dan Hawasyi (Keluarga

    yang dihubungkan dengan si muwaris).36

    Adapun sebab terhalangnya seseorang untuk mewarisi yakni pembunuhan

    secara tidak hak dan melawan hukum, berbeda agama atau keyakinan,

    perbudakan, perzinaan atau li’an, kematian dini,37 dan karena adanya hijab dari

    ahli waris lain.38

    36 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan

    Hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), ed. 1, cet. 1, hal. 72-73. 37 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, hal. 14-18. 38 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan

    Hukum Positif Di Indonesia, hal. 80.

  • 27

    Sedangkan sebab menerima warisan yang tercantum dalam Kompilasi

    Hukum Islam yakni karena hubungan darah, hubungan perkawinan dan hubungan

    agama. Sedangkan halangan untuk menerima warisan yakni membunuh dan

    memfitnah sang pewaris dalam melakukan kejahatan yang hukuman kejahatan itu

    diancam dengan 5 tahun penjara atau lebih berat.39

    E. Macam-macam Ahli Waris dan Bagian Masing-masing

    1. Macam-macam Ahli Waris

    Adapun macam-macam ahli waris dan bagiannya masing-masing yaitut:

    a. Menurut bagian yang berhak diterima

    1) Ahli waris dzawil Furudh

    Yakni ahli waris yang hak bagiannya masing-masing telah

    ditentukan kecil besarnya secara jelas.

    2) Ahli waris ashabah

    Yaitu ahli waris yang bagiannya masing-masing belum ditentukan,

    tetapi mengikuti hasil akhir bagian dzawil furudh atau mengambil

    sisa bagian harta yang telah dibagikan terlebih dahulu ke ahli waris

    dzawil furudh.

    b. Menurut hubungan darah

    1) Golongan laki-laki yakni ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,

    paman, dan kakek.

    2) Golongan perempuan yakni ibu, anak perempuan, saudara

    perempuan, dan nenek.

    c. Menurut hubungan perkawinan yakni duda atau janda.40

    2. Bagian Masing-masing

    Adapun Rincian bagian-bagian ahli waris adalah sebagai berikut:

    a. Suami: ½ jika pewaris tidak ada keturunan dan ¼ jika pewaris memiliki

    keturunan.

    39 Departemen Agama R.1. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

    Tahun 1997/1998, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 172-174, hal. 78-79. 40 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di

    Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), cet. 1, hal. 92.

  • 28

    b. Istri: ¼ jika pewaris tidak mempunyai keturunan dan 1/8 jika pewaris

    mempunyai keturunan

    c. Anak Perempuan: ½ jika sendiri tanpa ada anak laki-laki pewaris dan

    2/3 jika lebih dari satu dan tanpa ada anak laki-laki pewaris.

    d. Cucu Perempuan: ½ jika sendiri tanpa ada anak laki-laki pewaris, 2/3

    jika lebih dari satu dan tanpa ada keturunan laki-laki pewaris dan 1/6

    jika ada satu anak perempuan pewaris tanpa ada anak laki-laki.

    e. Ibu: 1/3 jika tidak ada keturunan pewaris dan/atau tanpa bersama dua

    orang atau lebih saudara pewaris. 1/6 jika ada keturunan pewaris

    dan/atau bersama dengan dua orang atau lebih saudara pewaris.

    f. Ayah: 1/6 jika ada keturunan laki-laki pewaris. 1/6+A jika bersama

    keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-laki pewaris.

    g. Kakek: 1/6 jika ada keturunan laki-laki pewaris tanpa ada ayah. 1/6+A

    jika bersama keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-

    laki pewaris dan/atau ayah.

    h. Nenek: 1/6 jika satu orang atau lebih tanpa ada ayah dan ibu pewaris.

    i. Saudara Perempuan Kandung: ½ jika sendiri tanpa saudara laki-laki

    sekandung dan tanpa keturunan laki-laki pewaris juga ayah pewaris. 2/3

    jika dua orang atau lebih tanpa saudara laki-laki.

    j. Saudara Perempuan Seayah: ½ jika sendiri tanpa saudara laki-laki

    seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah, saudara laki-laki sekandung

    dan dua/lebih saudara perempuan sekandung. 2/3 jika dua orang/lebih

    tanpa saudara laki-laki seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah,

    saudara laki-laki sekandung dan dua/lebih saudara perempuan

    sekandung. 1/6 jika bersama dengan satu saudara perempuan sekandung

    tanpa saudara laki-laki seayah, keturunan laki-laki pewaris, ayah,

    saudara laki-laki sekandung dan dua/lebih saudara perempuan

    sekandung.

    k. Saudara laki-laki seibu: 1/6 jika sendiri tanpa ada keturunan pewaris,

    ayah dan kakek pewaris. 1/3 jika dua orang/lebih tanpa ada keturunan

    pewaris, ayah dan kakek pewaris.

  • 29

    l. Saudara Perempuan Seibu: 1/6 jika sendiri tanpa ada keturunan pewaris,

    ayah dan kakek pewaris. 1/3 jika dua orang/lebih tanpa ada keturunan

    pewaris, ayah dan kakek pewaris.

    Selain ahli waris yang disebutkan di atas, ada beberapa ahli waris yang

    bagiannya tidak ditetapkan secara furudh, ahli waris ini bisa mendapatkan bagian

    lebih banyak, lebih sedikit atau tidak mendapatkan sama sekali. ahli waris

    mengambil sisa harta yang telah dibagikan ke ahli waris yang telah ditentukan

    haknya.41 Ahli waris ini berjumlah dua belas, yakni anak laki-laki, cucu laki-laki

    dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak

    laki-laki dari sudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki

    seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung,

    anak laki-laki dari paman seayah, orang yang memerdekakan budak baik wanita

    atau pria.42

    Selain ahli waris furudh dan ahli waris ashabah, ada lagi ahli waris yang

    bisa atau masuk ke dalam dua jenis ahli waris tersebut. Ahli waris ini yaitu ayah

    dan kakek. Ayah bisa mendapatkan bagian pasti ketika tidak ada keturunan laki-

    laki pewaris. Bisa mendapat bagian pasti dengan ashabah jika hanya bersama

    keturunan perempuan pewaris. Kakek bisa mendapat bagian pasti jika tidak ada

    keturunan laki-laki pewaris dan ayah. Mendapat bagian pasti dengan ashabah jika

    bersama dengan keturunan perempuan pewaris tanpa ada keturunan laki-laki

    pewaris dan ayah.43

    Ada beberapa hal yang berbeda antara KHI dengan hukum Islam (fikih),

    yakni: pertama, ayah mendapatkan 1/3 bila pewaris tidak ada keturunan.

    Sedangkan dalam fikih ayah mendapat 1/6 ditambah dengan ashabah. Kedua, ahli

    waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam melakukan pembagian harta

    waris setelah ahli waris mengetahui bagiannya masing-masing.44

    41 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, hal. 233-239. 42 Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah Mesir, Ahkamul Mawaarits Fil-Fiqhil-Islami.

    Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman. Hukum Waris. (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,

    2004), cet. 1, hal. 98. 43 Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah Mesir, Hukum Waris, hal. 99. 44 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 1, hal. 48.

  • 30

    f. Asas-asas Kewarisan Dalam Islam

    Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam Edisi

    Kedua mengungkapkan ada lima asas kewarisan dalam Islam,45 yakni:

    1. Asas Ijbari: Perpindahan warisan dari seorang pewaris kepada ahli

    warisnya terjadi dengan sendirinya sesuai kehendak Allah tanpa

    memandang kehendak pewaris atau ahli waris.

    2. Asas Bilateral: Kewarisan terjadi dengan dua garis kerabat, yakni kerabat

    keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan.

    3. Asas Individual: bermakna harta waris itu bisa dibagi-bagi untuk

    perseorangan tanpa ada ikatan dengan ahli waris lain.

    4. Asas Keadilan Berimbang: bermakna bahwa warisan dibagi berdasarkan

    hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris. Laki-laki

    mendapat dua bagian karena kewajiban nafkahnya lebih banyak.

    Perempuan mendapat satu bagian karena kewajibannya lebih rendah atas

    laki-laki.

    5. Asas Semata Akibat Kematian: bermakna bahwa ahli waris bisa menerima

    warisan jika sang pewaris telah meninggal dunia.

    Syamsulbahri di dalam bukunya menambahkan beberapa asas lagi terkait

    dengan kewarisan Islam,46 yakni:

    6. Asas Personalitas Keislaman: bermakna bahwa peralihan harta hanya

    terjadi jika antara muwaris dan pewaris sama-sama beragama islam.

    7. Asas Pembagian Seketika: bermakna bahwa pembagian harta warisan

    harus lebih cepat dilakukan atau diperhitungkan dan dibagikan kepada

    muwaris setelah pewaris meninggal dunia.

    8. Asas Penyebarluasan dengan Prioritas di Lingkup Keluarga: bermakna

    bahwa pembagian warisan bukan hanya kepada anak saja, tapi bisa juga

    diberikan kepada kerabat lain dengan perhitungan siapa yang paling dekat

    kerabatannya.

    45 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, hal. 21-32. 46 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum

    Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), cet. 1,

    hal. 45-50.

  • 31

    9. Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian: Maknanya laki-laki dan

    perempuan atau kerabat dengan dengan kerabat jauh harus sama hak nya

    dalam pembagian warisan, sama-sama berhak mendapat warisan tapi

    dengan bagian yang ditentukan.

    Sedangkan Asas yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam menurut

    Syamsulbahri sebagaimana disebutkan dalam bukunya,47 yaitu:

    1. Asas ahli waris langsung (eigen hoofde), sebagaimana disebutkan dalam

    KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 174.

    2. Asas ahli waris pengganti (plaatsvervulling), diatur pada Pasal 185.

    3. Asas hubungan darah: yakni akibat perkawinan yang sah, perkawinan

    subhat, dan pengakuan atas anak.

    4. Asas wasiat wajibah: bermakna bahwa anak angkat dan ayah angkat secara

    timbal balik bisa melakukan wasiat mengenai harta masing-masing.

    5. Asas egaliter: bermakna kerabat yang non muslim bisa mendapat wasiat

    wajibah maksimal 1/3 bagian.

    6. Asas retroaktif terbatas: bermakna Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku

    surut.

    Asas-asas yang disebutkan diatas, semuanya berlandaskan kepada al-

    Qur’an dan Hadits. Asas ini digali melalui sumber hukum yang ada, dipahami dan

    diambil maknanya. Sedangkan asas untuk Kompilasi Hukum Islam bersumber

    dari isi dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri. Jadi menurut penulis, semua asas

    ini sudah mencakup poin-poin yang ingin disampaikan oleh Kitabullah dan juga

    Kompilasi Hukum Islam.

    47 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum