Siska Novrianti.FSH.pdf

119
WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Siska Novrianti NIM.1110045100002 KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Transcript of Siska Novrianti.FSH.pdf

Page 1: Siska Novrianti.FSH.pdf

WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM

KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Siska Novrianti

NIM.1110045100002

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: Siska Novrianti.FSH.pdf

WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM

KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAII AGAMA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

Siska Novrianti

NrM. 1110045100002

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing

Drs. M. Arskal Salim GP. MA. Ph.D

NIP. 19700901 199603 1003

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

t43s Ht20t4 M

Page 3: Siska Novrianti.FSH.pdf

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SkTipsibeljudul..WACANAPE,MBERLAKUANHUKUMPIDANAISLAMDALAM K'MpETENSI ABSOLUT pERADILAN AGAMA (Anarisis putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)" telah diujikan dalry.sldanq

Munaqasyah pakuttas syari'ah dan Hukum universitas Islam Negeri (UIN).Syarif

Hidayatullah Jakarla p,idu zz Juni 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat m"mperoleh gelar Sarjana SyariahlS.Sy) pada Program Studi Jinayah

Siyasah, Konsentrasi Pidana Islam'

hkarta,28 Jwi20t4

Mengesahkan,

o.f.aq fEku,lt|#iaf 'ah dan Hukum

1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pernbimbing :

4. Penguji I

PANITIA UJIAN

: Dr. Asmalvi. M.AsNIP. 1972 10101997031008

: Afwan Faizin. M.ANIP. 197210262003121001

: Dr. Rumadi. M.AeNIP. 196903041997031012

: Afwan Faizin. M.ANIP. 1972 10262003121001

")l l\'l lvlllsllllllll. lYl,{q680812 199903 l0 l4

Drs. M. Arskal Salim GP.lNrP. 19700901 r99603 1003

5. Penguji II

Page 4: Siska Novrianti.FSH.pdf

ABSTRAK

Siska Novrianti, NIM 1110045100002, “WACANA PEMBERLAKUAN

HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT

PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

19/PUU-VI/2008) ”, Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M, x

halaman + 78 halaman+ halaman lampiran. Pemberlakuan hukum pidana Islam

masih terus diwacanakan di tengah-tengah masyarakat Plural Indonesia. Salah

satunya adalah permohonan judicial review UU Peradilan agama kepada

Mahkamah Konstitusi terkait kompetensi absolut Peradilan Agama. Skripsi ini

bertujuan untuk menguraikan bagaimana putusan MK tersebut dan untuk

mengetahui pemberlakuan sejumlah aspek hukum pidana Islam yang ada di

Indonesia serta bagaimana peluang pemberlakuan hukum pidana Islam di

Indonesia melalui analisis putusan MK No. 19/PUU-VI/2008. Metode yang

digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan teknik

pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait

dengan topik penelitian. Serta menggunakan kerangka teori analisis Din

Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia dan juga menggunakan

pendekatan-pendekatan politik hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

sejumlah aspek pemberlakuan hukum pidana Islam pernah diberlakukan dalam

sejarah bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga pasca kemerdekaan. Dan

bahwa Indonesia sebagai negara dengan paradigma relasi agama-negara

Simbiotiknya membuka peluang pemberlakuan hukum pidana Islam untuk masuk

ke dalam sistem hukum nasional dalam hal ini lembaga Peradilan Agama sebagai

Institusi penegak hukumnya. Yang mana hal ini tentu sangat bergantung kepada

proses-proses politik di Indonesia.

Kata Kunci : Hukum Pidana Islam, Putusan Mahkamah Konstitusi No.

19/PUU-VI/2008, Undang-undang

Pembimbing : Drs. M. Arskal Salim GP, MA. Ph.D

Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d Tahun 2013

Page 5: Siska Novrianti.FSH.pdf

LEMBAR PBRNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (LIIN) Syarif

Hidayafullah Jakarta.

Siska Novrianti

1.

2.

a-'t -

Page 6: Siska Novrianti.FSH.pdf

vi

بسم ا اهلل ا الر حمن ا لر حيم

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT. Dialah sumber dari segala kekuatan yang memampukan penulis dalam

menyelesaikan skripsi yang berjudul “WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM

PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”. Shalawat

serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta

para keluarga, sahabat dan pengikutnya yang telah membawa umat manusia

menuju zaman yang terang benderang.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat

bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak

Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA.

2. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Bapak Dr. JM Muslimin, MA.

3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. Serta

Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Afwan Faizin, M.A.

4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Drs. M. Arskal Salim GP, MA, Ph.D,

yang telah membimbing, mendukung dan mengajarkan penulis dalam

Page 7: Siska Novrianti.FSH.pdf

vii

membuat sebuah karya tulis ilmiah yang baik, serta respon beliau yang

ramah dan mau mendengar segala pendapat maupun keluhan terkait skripsi

penulis.

5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan kontribusi langsung kepada

penulis dalam penyelesaian karya tulis.

6. Kepada Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. Rumadi yang telah

memberi masukan judul skripsi dan kepada Bapak Dr. Khamami Zada yang

juga telah membantu memberikan referensi skripsi penulis, serta para dosen

Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada

penulis.

7. Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih yang begitu teristimewa

kepada ayahanda Ramadhan Tanjung dan ibunda Rosnani yang telah

mencurahkan hampir seluruh hidup mereka dalam mendidik penulis

menjadi manusia yang InsyaAllah akan dapat menjadi aset kebahagiaan

mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Serta kedua kakak penulis, Arni

Rosmadhani dan Putri Nandasari yang juga telah memberikan dukungan

moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga tentu tidak lupa

kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan doa dan

dukungannya.

8. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman,

sahabat-sahabat terbaik yang berada dalam Unit Kegiatan Mahasiswa

Foreign Language Association (FLAT), KKN DEFOS 2013, tidak lupa

kepada Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum, serta

Page 8: Siska Novrianti.FSH.pdf

viii

tentunya kepada All Crew NAPI (aNAk-anak Pidana Islam 2010) yang terus

memotivasi penulis menjadi salah satu mahasiswi “terbanyak nanya” pada

saat mata kuliah berlangsung. Terlebih kepada para sahabat-sahabat yang

tidak bisa diucapkan satu persatu yang selalu membantu penulis dalam

menuntut ilmu di kampus ini. Semoga kita semua dapat meraih masa depan

yang gemilang kelak. Juga penulis ucapkan terimakasih atas doa dan

dukungannya dari adik-adik kelas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

mengenal penulis.

9. Ucapan terimakasih penulis yang terakhir, tentunya kepada pihak-pihak

yang mengenal penulis dan tidak bisa penulis uraikan satu persatu.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb

Jakarta, 15 Mei 2014

Penulis

Page 9: Siska Novrianti.FSH.pdf

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4

C. Tujuan dan Manfaat penelitian 6

D. Tinjauan Pustaka 8

E. Metode Penelitian 12

F. Sistematika Pembahasan 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA 16

A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia 16

B. Istilah Hukum Pidana Islam 21

BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM

DI INDONESIA 28

A. Pada Masa Kerajaan Aceh 28

B. Pada Masa Kolonial Belanda 35

C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan 39

Page 10: Siska Novrianti.FSH.pdf

x

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

19/PUU-VI/2008 TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN

HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT

PERADILAN AGAMA 45

A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi 45

B. Duduk Perkara 48

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi 51

D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi 53

E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 69

B. Rekomendasi 70

DAFTAR PUSTAKA

SALINAN PUTUSAN

LAMPIRAN

Page 11: Siska Novrianti.FSH.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak

berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).1 Karena Pancasila harus

diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum

Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu pokok

dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of

Religion atau kebebasaan beragama.2 Ini sejalan dengan apa yang telah

diamanatkan oleh UUD NRI 1945 bahwa negara telah menjamin kemerdekaan

warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masing-

masing.3

Lebih dari itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar

di dunia. Namun uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam4. Meskipun

demikian, masyarakat Muslim Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk

memberlakukan ketentuan hukum perdata Islam di tengah masyarakatnya.

Kedudukan hukum Islam dalam bidang keperdataan telah terjalin secara luas

dalam hukum positif. Baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau

sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-

1 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h. 91.

2 Ibid, h. 93.

3 Lihat Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

4 A. Ubaedillah, Dkk, Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III,

(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 97.

Page 12: Siska Novrianti.FSH.pdf

2

undangan ataupun yang tercakup dalam lingkup substansial dari Undang-

undang Peradilan Agama.5

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan

peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan yang ruang

lingkup dan batas kompetensinya telah ditentukan oleh Undang-Undang.6

Maka dari itu Peradilan Agama sering dikenal sebagai lembaga pencari

keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.7

Dari catatan sejarah yang terpencar-pencar, dapat disimpulkan bahwa

keberadaan Peradilan Agama di Indonesia telah dimulai sejak berdirinya

berbagai kerajaan Islam.8 Awal eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu

badan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mulai terlihat setelah

disahkan dan diundangkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Kemudian menyusul UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 28

Tahun 1977, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.9

5 A.Malik Fajar,”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan

Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin, ed., Pidana Islam di Indonesia:

Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001), h. 15. 6 Lihat Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7 Lihat Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

8 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan

dan prospeknya, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 133. 9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I,

(Bandung:PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997), h. 43.

Page 13: Siska Novrianti.FSH.pdf

3

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa

penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, melainkan

juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah, dengan mengesahkan

undang-undang itu, semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai

salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air

kita.10

Hal ini juga merupakan langkah awal pemberlakuan hukum Islam di

Indonesia melalui hukum positif.

Namun sampai pada masa Orde Baru, kewenangan yang dimiliki

Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan

umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga; nikah, cerai/talak, waris,

wasiat dan wakaf. Hingga memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama

mendapat kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan

bidang; zakat, infaq, sedekah serta Ekonomi Syariah.11

Namun tidak

menyangkut bidang hukum pidana Islam (Jinayah).

Mengingat keterbatasan wewenang tersebut, rupanya ada pemikiran

dan inisiatif dari warga negara Indonesia yang mencoba melakukan perluasan

wewenang Peradilan Agama dalam bidang hukum pidana Islam (Jinayah).

Meskipun hukum pidana Islam masih dapat diakui secara konstitusional

sebagai hukum, namun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat

ini adalah yang terkandung dalam KUHP. Sebagai contoh, dalam hukum

pidana Islam ada ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah

10

K.H Abdurrahman Wahid, dkk, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek,

(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), h. 77. 11

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(Jakarta:Kencana, 2008) h. 13.

Page 14: Siska Novrianti.FSH.pdf

4

menikah. Apabila hukuman rajam itu dilakukan tanpa adanya payung hukum

berupa perundang-undangan yang mengaturnya dan tanpa institusi penegak

hukum yang sah, maka jika dilihat dari dari tinjauan politik hukum, eksekusi

rajam tersebut dapat dianggap melanggar hukum positif. Oleh karna itu

berbagai macam cara dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk mewujudkan

hukum pidana Islam di Indonesia. Salah satu inisiatif untuk menjadikan hukum

pidana Islam ke dalam hukum positif adalah dengan mengajukan permohonan

Judicial Review terhadap pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama kepada

Mahkamah Konstitusi.

Untuk itu, dengan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk

melakukan suatu penelitian yang terkait bagaimana wacana pemberlakuan

hukum pidana Islam yang berkembang di Indonesia melalui analisis putusan

Mahkamah Konstitusi secara mendalam terkait undang-undang Peradilan

Agama. Hal ini akan penulis ungkap ke dalam sebuah penelitian skripsi yang

berjudul “Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi

Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

19/PUU-VI/2008)”

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara

sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis

perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan

perumusan masalah.

Page 15: Siska Novrianti.FSH.pdf

5

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam penelitian

ini penulis melakukan pembatasan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Hukum Pidana Islam yang penulis maksud ialah hukum pidana Islam yang

juga merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yang berarti segala

ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang

dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani

kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang

terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.12

Tindakan kriminal yang dimaksud

adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum

serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari

Al-Qur’an dan Hadits.13

Hukum pidana Islam mengenal ada tiga macam

ketentuan pidana atau jarimah, istilah yang sekaligus juga menyebut nama

hukumannya yaitu hudud, qishahsh diyat dan ta’zir.14

2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang penulis maksud ialah Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 terkait permohonan Judicial

Review pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

12

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Lembaga Studi Islam dan

Kemasyarakatan, 1992), h. 86. 13

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 1. 14

Jarimah Hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang

telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah. Jarimah hudud ada tujuh yaitu:

zina, qadzaf,minum khamr, mencuri, perampokan, murtad dan pemberontakan. Jarimah Qishas

Diyat adalah jarimah yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat, yaitu hukuman yang

telah ditentukan batasnya. Jarimah qishas diyat ada lima yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan

semi sengaja, pembunuhan karena alpa, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja.

Sedangkan jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancamkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang

diserahkan kepada penguasa. Kategori jarimah ta’zir adalah jarimah selain jarimah hudud dan

qishas diyat. Lihat A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.

7.

Page 16: Siska Novrianti.FSH.pdf

6

3. Institusi Penegak Hukum yang penulis maksud ialah Lembaga Peradilan

Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Agama.15

Dalam hal ini tidak

termasuk Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan khusus dalam

Undang-undang peradilan agama.

Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dapat

diuraikan dalam skripsi ini menjadi 3 (tiga) sub masalah yaitu :

1. Apa saja aspek-aspek hukum pidana Islam yang sudah pernah diberlakukan

di Indonesia pada masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa

pasca Kemerdekaan ?

2. Bagaimana isi putusan MK No. 19/PUU-VI/2008 dan mengapa putusan

tersebut tidak dapat memperluas kompetensi Absolut Peradilan Agama

sebagaimana diharapkan pemohon judicial review ?

3. Mungkinkah suatu waktu nanti hukum pidana Islam dilaksanakan oleh

Peradilan Agama di masa depan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan merumuskan dan menjelaskan

bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi

absolut Peradilan Agama. Secara spesifik penelitian ini bertujuan :

15

Lihat pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama

Page 17: Siska Novrianti.FSH.pdf

7

a. Menjelaskan apa saja aspek-aspek hukum Pidana Islam di Indonesia yang

pernah diberlakukan pada masa kerajaan Aceh, masa kolonial Belanda

hingga masa pasca kemerdekaan;

b. Memberi gambaran isi dan menjelaskan mengapa putusan MK No. 19/PUU-

VI/2008 menolak wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam

komptensi absolut Peradilan Agama;

c. Menjelaskan prospek pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam di

Indonesia dari segi konstitusi khususnya pasca putusan judicial review yang

sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada

civitas akademik terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam

kompetensi Absolut Peradilan Agama di indonesia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para

pembaca bahwasanya sejumlah aspek hukum pidana Islam suatu waktu di

masa lalu pernah berlaku dan diterapkan dalam sejarah bangsa Indonesia.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait prospek

pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut

Peradilan Agama di Indonesia.

Page 18: Siska Novrianti.FSH.pdf

8

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam

dalam kompetensi absolut Peradilan Agama telah dilakukan, baik yang secara

spesifik mengkaji isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum.

Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian yang

berkaitan dengan judul ini.

1. Karya Simon Butt, yang mengusung judul Islam, the State and the

Constitutional Court In Indonesia. Karya ini dimuat dalam Pacific Rim

Law and Policy Journal Association, Volume 19 No. 2 Tahun 2010. Hal

yang menarik dalam artikel ini yaitu Simon Butt juga membahas terkait

kasus Judicial Review Undang-undang Peradilan Agama pada tahun 2008.

Dalam kajiannya, Simon mengemukakan bahwa sedikitnya dukungan akan

partai-partai Islam di Indonesia menandakan bahwa kebanyakan masyarakat

Indonesia belum mengingkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh

negara. Meskipun ada sebagian masyarakat Indonesia yang mengharapkan

hukum Islam untuk sepenuhnya dapat diakomodir ke dalam kompetensi

absolut Peradilan Agama termasuk di dalamnya hukum pidana Islam.

Melihat realitas seperti itu, Simon berpendapat bahwasanya sebagian

masyarakat Islam yang mengharapkan pemberlakuan hukum Islam secara

utuh oleh negara harus tekendala dengan kurangnya dukungan akan partai-

parta Islam dalam pemilihan umum. Yang mana partai-partai Islam tidak

akan mampu mereresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam

tersebut.

Page 19: Siska Novrianti.FSH.pdf

9

2. Karya M. Arskal Salim, GP, Ph.D, yang mengusung judul Politik Hukum

Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan

Prospek Masa Depan. Tulisan ini merupakan sub judul dari buku Pidana

Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam

sub bab ini adalah membahas mengenai prospek hukum pidana Islam di

Indonesia. Menurut Arskal Salim, peluang bagi masuknya aspek-aspek

hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional bergantung pada

bagaimana politik hukum pidana Islam di Indonesia. Arskal Salim

menambahkan, harus ada kesadaran hukum pidana Islam di kalangan umat

Muslim Indonesia jika memang hukum pidana Islam benar-benar ingin

diterapkan.

3. Karya Dr. Khamami Zada, yang mengusung judul Sentuhan Adat dalam

pemberlakuan Syariat Islam di Aceh dan dimuat dalam Jurnal Karsa Vol. 20

No. 2 Desember 2012. Artikel ini membahas mengenai akar pemberlakuan

hukum Jinayah (Hudud dan Kisas) di Aceh pada masa Kerajaan Aceh

Darussalam. Dalam artikel ini nampak bahwa hukum pidana Islam yang

berlaku di Aceh tidaklah sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah.

4. Karya Ayang Utriza NWAY, yang mengusung judul Adakah Penerapan

Syari’at Islam di Aceh?. Tulisan ini dipublikasikan dalam Jurnal Tashwirul

Afkar No. 24 Tahun 2008. Tidak jauh berbeda dengan Khamami Zada di

atas, temuan pokok dalam artikel ini mencoba menguraikan bahwa hukum

pidana yang dipraktikkan di Aceh tidak sepenuhnya sesuai dengan

ketentuan syariah melainkan terkontaminasi dengan unsur-unsur lainnya.

Page 20: Siska Novrianti.FSH.pdf

10

5. Karya Nurrohman, yang mengusung judul Artikulasi Hukum Pidana Islam

dalam Ruang Publik: Tinjauan Politik Hukum Islam atas Kasus Rajam di

Ambon, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, dan Qanun

Jinayat di Aceh. Publikasi ini muncul dalam Jurnal Studi Islam, Volume 18

No.2 Tahun 2012. Dalam artikel ini disinggung mengenai kasus judicial

review Undang-undang Peradilan Agama yang juga merupakan wujud

artikulasi hukum pidana Islam dalam ruang publik. Nurrohman

mengemukakan bahwa artikulasi hukum pidana Islam haruslah sejalan

dengan sistem hukum di Indonesia yang bersumber pada Pancasila.

6. Karya Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja SH, MH, yang mengusung judul Posisi

Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks

Politik Hukum Indonesia. Tulisan ini juga merupakan sub judul dari buku

Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan

pokok dalam sub bab ini adalah bahwa Indonesia bukanlah negara Agama

yang mengacu pada satu agama tertentu dan juga bukan negara sekuler yang

memisahkan agama dari negara. Meskipun hukum pidana Islam tidak sesuai

dengan konteks kenegaraan Indonesia, artikel ini mengajukan pendapat

bahwa teori zawajir seyogyanya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

pembaruan hukum pidana di Indonesia. Teori tersebut mengatakan bahwa

bila dengan hukuman minimal tujuan penghukuman dapat dicapai, maka

hukuman maksimal yang disebut dalam nash tidak perlu diterapkan.

7. Karya Dr. Abdul Ghani Abdullah, SH, yang mengusung judul Eksistensi

Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Tulisan ini

Page 21: Siska Novrianti.FSH.pdf

11

pun merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang,

Prospek dan Tantangan. Menurut Abdul Ghani, hukum pidana Islam tidak

dapat berdiri sendiri karena berkaitan dengan kepentingan yang pluralistik

sehingga tidak mungkin langkah anarkis menjadi alternatif. Oleh karena itu

kebijakan politik yang arif, jujur dan adil menjadi instrumen politik dalam

mengakomodasi cita dan kebutuhan hukum masyarakat Islam.

8. Karya Jaenal Aripin, yang mengusung judul Reformasi Kewenangan:

Optimalisasi Peran dan Fungsi Peradilan Agama yang merupakan sub

judul dari buku Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia. Temuan pokok penelitian ini menjelaskan bahwa kewenangan

yang selama ini diemban oleh Peradilan Agama, baik lama maupun baru

ternyata dimiliki bukan hasil dari by design dari pihak berwenang.

Melainkan disebabkan karena faktor kultural masyarakat ketimbang

perencanaan dan design dari pihak struktural. Temuan lain menjelaskan

bahwa kewenangan Peradilan Agama dalam hukum pidana Islam masih

belum memungkinkan untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di

Indonesia.

9. Karya M. Abdul Kholiq, Program Magister Universitas Diponegoro

Semarang, tahun 2001, Tesis : Kontribusi Hukum Pidana Islam dalam

Pembaruan Hukum Pidana Di indonesia. Temuan pokok penelitian ini

membahas mengenai sejauh mana hukum pidana Islam dapat masuk ke

dalam sistem hukum di Indonesia. Temuan lain dari penelitian ini juga

Page 22: Siska Novrianti.FSH.pdf

12

membahas mengenai deskripsi tentang istilah hukum pidana Islam, sumber

dan tujuan hukum pidana Islam.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum di kalangan para ahli hukum, dikelompokan

ke dalam dua model, pertama yaitu penelitian kualitatif, kedua yaitu penelitian

kuantitatif.16

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif analitis untuk mengungkapkan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek

penelitian.17

Penelitian ini juga mengacu pada norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-

norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penelitian kualitatif ini

menggunakan pendekatan studi kasus terhadap permohonan judicial review

yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Suryani. Pendekatan

studi kasus ini akan mendeskripsikan, menguraikan dan menganalisis

pemikiran dan argumen hukum para hakim MK yang dikemukakan dalam

proses persidangan sebagaimana tertuang dalam putusan akhir MK No.

19/PUU-VI/2008.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan/studi dokumenter. Studi kepustakaan merupakan upaya

16

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 98. 17

Ibid, h. 25.

Page 23: Siska Novrianti.FSH.pdf

13

pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap

dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek

dan masalah dalam suatu penelitian.18

Studi kepustakaan juga merupakan

metode yang digunakan dalam penelitian hukum normatif.19

Dalam penelitian

hukum normatif, lazimnya dikenal data sekunder.20

Dalam penelitian ini, yang

dimaksud dengan data sekunder tersebut nantinya meliputi :

1) Bahan Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Norma dasar

Pancasila, NRI UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-

VI/2008, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer serta dapat membantu menganalisis serta memahami

bahan hukum primer tersebut. Misalnya hasil-hasil penelitian terdahulu,

pendapat para hukum, hasil-hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium,

diskusi), buku-buku yang relevan dan lain-lain.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelas terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

indeks dan lain sebagainya.

3. Teknik Analisis Data

Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui studi kepustakaan ini

selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. Karena data yang berhasil

dikumpulkan bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak

18

Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

(Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17. 19

Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktik,(Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 50. 20

Soerjono Soekanto,Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo

Persada, 2003), h. 13.

Page 24: Siska Novrianti.FSH.pdf

14

dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikasi21

tetapi studi kasus dalam

penelitian kualitatif bisa disusun dalam tema-tema.

Dalam analisa putusan ini, penulis menggunakan kerangka teori yang

diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Dalam

penelitian ini juga ditekankan pada pendekatan teori politik hukum yang

diajukan oleh Mahfud MD untuk mencoba menguraikan mengapa hakim MK

menolak permohonan tersebut. Yang mana ini tentu tidak lepas dari paradigma

politik hukum yang menyatakan bahwasanya hukum sangat dipengaruhi oleh

politik.

F. Sistematika Pembahasan

BAB I Merupakan Bab Pendahuluan, di dalam bab ini diuraikan pokok-

pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang

diorganisir menjadi 6 (enam) sub bab, yaitu (1) latar belakang

masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan

manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian,

dan (6) sistematika Pembahasan.

BAB II Bertajuk Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana, yang

diorganisir menjadi 2 (Dua) sub bab, yaitu (1) Istilah hukum

pidana di Indonesia, (2) Istilah hukum pidana Islam.

BAB III Bertajuk Aspek-aspek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di

Indonesia, yang diorganisir menjadi 3 (Tiga) sub bab, yaitu (1)

21

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 168.

Page 25: Siska Novrianti.FSH.pdf

15

Hukum pidana Islam pada masa kerajaan Aceh, (2) Hukum

pidana Islam pada masa kolonial Belanda , (3) Hukum pidana

Islam pasca kemerdekaan.

BAB IV Bertajuk Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

19/PUU-VI/2008 Terkait Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana

Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama, yang

diorganisir menjadi 5 (Lima) sub bab, yaitu (1) Profil Singkat

Mahkamah Konstitusi, (2) Duduk Perkara, (3) Amar putusan

Mahkamah Konstitusi, (4) Analisis Putusan, (5) Prospek

pemberlakuan hukum Pidana Islam di Indonesia.

BAB V Merupakan Penutup, dalam bab ini disajikan pokok-pokok

temuan penelitian yang dihasilkan yang memuat kesimpulan dan

rekomendasi.

Page 26: Siska Novrianti.FSH.pdf

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA

Meskipun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ialah

hukum pidana yang bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) peninggalan Belanda, namun hukum pidana Islam masih terus

diwacanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sebelum membahas inti dari

pokok permasalahan penelitian ini, penulis terlebih dahulu ingin menguraikan

istilah hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan hukum pidana Islam. Hal

tersebut mencakup sumber dan tujuan dari masing-masingnya. Karena jika

ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Bab ini

akan memberikan pemahaman untuk bab selanjutnya bahwasanya aspek-aspek

hukum pidana Islam telah terserap ke dalam sistem hukum nasional yang ada di

Indonesia.

A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia

1. Definisi Hukum Pidana

Seorang ahli hukum, Muljatno memberikan pengertian terhadap definisi

hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-

aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Page 27: Siska Novrianti.FSH.pdf

17

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.1

Rupanya pengertian yang diajukan Moeljatno ini sangat luas maknanya,

sehingga CST Kansil mencoba mempersempit definisi hukum pidana itu

menjadi seperangkat hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran

dan kejahatan terhadap kepentingan umum, yang dimana perbuatan tersebut

diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.2

2. Sumber Hukum Pidana

Tidak diketahui dengan jelas apa sumber hukum pidana yang paling awal

di Indonesia. Pada mulanya, masyarakat Indonesia kebanyakan hidup menurut

hukum adatnya masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat

hukum adat dengan masyarakat adat lainnya. Menurut Andi Zainal Abidin,

sebelum datangnya penjajahan Belanda, hukum pidana yang berlaku adalah

hukum pidana adat (sebagian besar tidak tertulis) yang beraneka ragam yang

berlaku di masing-masing kerajaan di Nusantara.3

Kedatangan bangsa Belanda yang pertama kali mendarat di Banten

tahun 1596, secara berangsur-angsur mulai membawa perubahan. Bangsa

1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2002), h. 1.

2 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1979), h. 242. 3 Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama, (Bandung: Aumni,

1987), h. 77-78.

Page 28: Siska Novrianti.FSH.pdf

18

Belanda yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian digantikan oleh

Pemerintah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1800, menguasai banyak wilayah

dan membuat peraturan-peraturan tertulis. Salah satu diantaranya adalah Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Dengan demikian

KUHP yang digunakan di Indonesia sekarang ini pada dasarnya ialah

kodifikasi peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda. Kodifikasi tersebut

pertama kali diundangkan dalam Staatsblad yang mulai berlaku sejak 1 Januari

1918.4

Hukum pidana terbagi menjadi hukum pidana material dan hukum pidana

formal. Pada garis besarnya bahwa hukum pidana material memuat dasar-dasar

serta peraturan-peraturan umum mengenai perbuatan manusia yang dengan

tegas disebut dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dapat dihukum,

sekaligus menentukan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan. Sedangkan

hukum pidana formal atau bisa disebut juga dengan hukum acara pidana adalah

kumpulan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan

hukum pidana materil oleh penguasa negara jika terdapat peraturan yang

dilanggar.5 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini ialah:

6

a. KUHP warisan belanda sebagaimana ditetapkan pada Undang-undang No. 1

tahun 1946 jo Undang-undang No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-

perubahannya.

4 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2012), h. 42. 5 B. Bastian Tafal, Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992), h. 65. 6 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, (Jakarta:

AlumniAhaem-Petehaem, 1996), h. 50.

Page 29: Siska Novrianti.FSH.pdf

19

b. KUHPM sebagaimana ditentukan pada Undang-undang No.39 Tahun 1947.

c. Perundang-undangan hukum pidana lainnya antara lain tindak pidana

korupsi (UU No. 20 tahun 2001), tindak pidana narkoba (UU No. 35 tahun

2009, tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 tahun 2010 ) dan lain

sebagainya.

d. HIR dan beberapa pasal tertentu dari Strafvordering, Undang-undang No. 1

Drt tahun 1951, yang sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diganti dengan

KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981), Undang-undang pokok

kepolisian, Undang-undang pokok kejaksaan, Undang-undang hukum acara

pidana militer, Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman dan lain

sebagainya.

3. Tujuan Hukum Pidana

Mengenai tujuan hukum pidana, dewasa ini diketahui bahwa tujuan

hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang

perseorangan dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara.

Salah satu cara atau alat untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah dengan

memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada dasarnya

terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu

pemidanaan, yaitu :7

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan.

c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan

7 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2010), h. 11.

Page 30: Siska Novrianti.FSH.pdf

20

kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah

tidak dapat diperbaiki lagi.

Dengan kata lain, tujuan atau alasan dari pemidanaan dapat digolongkan

ke dalam tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori

tujuan dan golongan teori gabungan.8

a. Teori Pembalasan

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah

melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak

harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Dan tidak mempersoalkan

akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Ini merupakan wujud pembalasan

dari apa yang telah dilakukan oleh si terpidana.

b. Teori Tujuan

Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan

pemidanaan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk

perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan.

c. Teori Gabungan

Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori

tujuan. Artinya, alasan pemidanaan bukan hanya semata-mata untuk

membalas si pelaku tindak kejahatan, namun di sisi lain pemidanaan

tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan mencegah

perbuatan pidana lainnya.

8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008),

h. 157.

Page 31: Siska Novrianti.FSH.pdf

21

B. Istilah Hukum Pidana Islam

1. Definisi Hukum Pidana Islam

Dalam pembahasan hukum pidana Islam, ada juga yang menyebutnya

dengan istilah Fiqh Jinayah yang terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah.9

Secara Etimologis, fiqh berasal dari kata يفقه-فقه yang berarti paham atau

memahami ucapan secara baik. Sedangkan secara terminologis, fiqh

didefinisikan oleh Wahbah al Zuhaili, Abdul karim Zaidan dan Umar Sulaiman

dengan mengutip definisi al-Syafi‟i dan al-Amidi, yaitu ilmu tentang hukum-

hukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil

yang terperinci. Adapun istilah jinayah, secara etimologis berasal dari kata

و جنا ية-جنيا-يجنى-جنى yang berarti أ ذ نب (berbuat dosa). Sedangkan secara

terminologis, jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan

mengandung kemudharatan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa.10

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqh

jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah

perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil-

dalil yang terperinci. Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama

artinya dengan jarimah.11

Dan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa

objek pembahasan fiqh jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah

atau tindak pidana dan uqubah atau hukumannya.12

9 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah, 2013), h. 1.

10 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2011),

h. 66. 11

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 13. 12

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. Ix.

Page 32: Siska Novrianti.FSH.pdf

22

Pengertian jarimah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al

Mawardi adalah sebagai berikut.

ية ز جر ا انهه تعا ل عنها بحد ا و تعس يرئى يحظى را ت شرع ا نجر ا

Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.13

Dalam Istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul

Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut.

ا، سىا ء و قع ا نفعم عهى نفس أو يا ل أوغيرذنكفا نجنا ية ا سى نفعم يحر و شر ع

Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’,

baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau yang lainnya.14

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang

ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi

kepada tiga bagian yaitu; jarimah Hudud, jarimah Qishas dan Diyat serta

jarimah Ta’zir.15

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, hukuman had adalah hukuman

yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah. Oleh karena

hukuman itu merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut tidak bisa

digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau

keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah

hudud ini terdiri dari tujuh macam, yaitu: Jarimah Zina; Jarimah Qadzaf;

13

Ibid 14

Ibid 15

Ibid, h. x.

Page 33: Siska Novrianti.FSH.pdf

23

Jarimah Syurb al-Khamr; Jarimah Pencurian; Jarimah Hirabah; Jarimah

Riddah; dan Jarimah Pemberontakan.16

b. Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat kedua-duanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak manusia.

Oleh karena hukuman itu merupakan hak manusia, maka hukuman tersebut

bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Jarimah

Qishas dan Diyat ini terdiri dari lima macam, yaitu: Pembunuhan sengaja;

Pembunuhan menyerupai sengaja; Pembunuhan karena kesalahan;

Penganiayaan sengaja; dan Penganiayaan tidak sengaja.17

c. Jarimah Ta‟zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir.

Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib, artinya memberi pelajaran.

Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak

atau mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana

yang dikemukakan Al-Mawardi yaitu ta‟zir adalah hukuman pendidikan

atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hukuman ta‟zir adalah

hukuman yang ditetapkan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya

diserahkan kepada ulil amri. Sedangkan yang termasuk kategori jarimah

16

Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009), h. 19. 17

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. x.

Page 34: Siska Novrianti.FSH.pdf

24

ta‟zir adalah jarimah yang tidak tergolong ke dalam jarimah hudud dan

qisash diyat serta jarimah hudud dan qishas diyat yang terdapat syubhat.18

2. Sumber Hukum Pidana Islam

Mengenai sumber hukum pidana Islam itu sendiri pada dasarnya kata

tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang ditulis

ulama klasik. Kata-kata “sumber hukum Pidana Islam” merupakan terjemahan

dari lafaz-lafaz ا أل حكا و يصا د ر (Mashaadir al-ahkam). Untuk menjelaskan arti

sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syari‟ah د نة ا أل ا

ا أل حكا و يصا د ر al-Adillah al-Syariyyah ( penggunaan kata / نشر عية

(Mashaadir al-ahkam) oleh ulama sekarang ini tentu dimaksudkan adalah

seperti dengan istilah د نة ا نشر عية أل ا / al-Adillah al-Syariyyah. 19

Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa sumber-sumber hukum Islam

pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur‟an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas.

Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-urutan dan kepentingannya.

Yakni apabila tidak terdapat dalam hukum sesuatu peristiwa dalam Al-Qur‟an

baru dicari dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam

Ijma, dan kalau tidak terdapat dalam Ijma, baru dicari dalam Qiyas.20

Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak

diperselisihkan tentang mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut ialah

Istishan, istishab, Maslahah Mursalah, „Urf, madzhab sahabat dan syari‟at

sebelum Islam (syar‟u man qablana). Bagi hukum-hukum pidana Islam formil

18

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143. 19

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1997), h. 81. 20

Mardani, Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV INDHILL

CO, tt), h. 27.

Page 35: Siska Novrianti.FSH.pdf

25

(Ijraat Jinaiyyah/acara pidana) maka semua yang disebutkan diatas bisa

dipakai. Akan tetapi untuk hukum-hukum pidana Islam materiil, yaitu yang

berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat

sumber. Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟,

sedang satu sumber lainnya yaitu Qiyas masih diperselisihkan.21

3. Tujuan Hukum Pidana Islam

Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk:

a. Pencegahan (al radd wa al jazr)

b. Perbaikan (al „ishlah)

c. Pendidikan (al ta‟dib)22

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman

dalam syari‟at Islam adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga

mereka dari kerusakan, mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan

mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan

mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta‟at. Syariat Islam sama

pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak

pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam

maupun hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara

kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan

hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya,

yaitu :23

21

A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), h.25. 22

Ibid, h. 255. 23

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas, H. 15-16.

Page 36: Siska Novrianti.FSH.pdf

26

1) Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat

memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh

karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela

dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan.

Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun

bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap

sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa

kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat.

2) Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana

Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum

pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya

telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan

qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan

kepada penguasa (ulil „amri) yaitu jarimah ta‟zir.

Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku

kejahatan. Hukum pidana Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat

yang begitu ketat sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan. 24

Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan

penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau

memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak

anak kehilangan suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat

24

Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana, h. 99-100

Page 37: Siska Novrianti.FSH.pdf

27

dengan asumsi diyat itu dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah

kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan korban (keluarga korban) untuk

diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya

fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan

penderitaan korban atau keluarga korban. 25

Ketiga, dari sisi penegak hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki

landasan yang kuat dan tidak dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur‟an dan

As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengubah aturan,

menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum

yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui

dengan mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang

bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang26

Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum

tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak

lengkap dan tidak sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna

dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya undang-undang selalu

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum

Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau

diganti.

25

Ibid 26

Ibid

Page 38: Siska Novrianti.FSH.pdf

28

BAB III

ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM

DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan aspek-aspek hukum pidana Islam

yang pernah berlaku di Indonesia. Penulis membaginya kepada tiga periode besar

yaitu; pada masa kerajaan, kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan. Meskipun

terdapat sejumlah kerajaan yang memberlakukan hukum pidana Islam di

Indonesia, pada bab ini penulis akan fokus hanya kepada kerajaan Aceh. Hal ini

dimaksudkan agar pembaca dapat mengetahui bahwasanya hukum pidana Islam

pernah dipraktekkan di kerajaan Nusantara walaupun hingga perkembangannya

saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum Pidana peninggalan Belanda.

Meskipun demikian, wacana hukum pidana Islam masih terus bergulir yang

nantinya akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.

A. Pada Masa Kerajaan Aceh

Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1514-1903), Sultan

Ali Mughayat Syah (1516-1530 M) tercatat dalam sejarah sebagai pembangun

Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul

Qahhar (1537-1571 M) sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun

undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini

kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Dalam

perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta

Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan

Page 39: Siska Novrianti.FSH.pdf

29

bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber

hukumnya berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas 1

Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum

pidana Islam di Kerajaan Aceh.

1. Perzinaan

Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di

kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah (1516-

1530 M).2 Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean

dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan,

yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak

bagi perempuan.3

Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar

(1537-1571 M), hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu

dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang

pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang

dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah

menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian

menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alun-

alun lalu dirajam hingga mati.4

1 A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h. 70-72.

2 Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu

belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M. 3 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah

Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h.

124. 4 Ibid, h. 125.

Page 40: Siska Novrianti.FSH.pdf

30

Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin

Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604 M). Berdasarkan kesaksian Francois

Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman

zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang

berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik

hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong

kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua

matanya.5

Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda (1607-1636 M) juga pernah

memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan

mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah

Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah

seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda

meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang

Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan

Syari‟at Islam pada siapapun.6

Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa

pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus

zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina

akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari

perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh

senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki

5 Ibid, h. 126.

6 Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:

Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam, 2006), h. 114.

Page 41: Siska Novrianti.FSH.pdf

31

pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina

di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban,

tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka

suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam

menutup rapat aib tersebut.7

2. Pencurian

Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar (1537-1571 M)

menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut

sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian

tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak

menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.8

Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa

Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M). Francois Martin de Vitre menjelaskan

bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi

lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda

dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan

tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin

kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman

tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.9

Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda (1607-1636 M), hukuman

potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal

33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri

7 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127.

8 Ibid

9 Ibid

Page 42: Siska Novrianti.FSH.pdf

32

dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu

kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat

tinggalnya (pasal 34), dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong

tangannya (pasal 35).10

3. Minuman Keras

Sultan Alaudin Perak (1579-1586 M), tercatat sebagai Sultan yang

pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh.

Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa

yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan

Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya.11

Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada

masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan pada masa Sultanah Tajul

Alam Safiyatuddin (1641-1675 M). Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan

Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah

dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel

mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah

dengan cara menelan timah panas.12

4. Pembunuhan

Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar (1537-1571 M) pernah

melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau

atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria.13

10

Ibid, h. 129. 11

Ibid, h. 135. 12

Ibid, h. 136. 13

Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi.., h. 114.

Page 43: Siska Novrianti.FSH.pdf

33

Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M), dari

sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga

jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan

cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan

cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan

belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat

ganas dan tentu menjadi santapan mereka.14

Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan

Iskandar Muda (1607-1636 M) yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta

Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan

mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan.15

Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M)

benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta

Alam tersebut.16

5. Murtad

Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh

pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh

Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar

Thani (1636-1641 M). Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf

wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang

14 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137. 15 Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga

korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang

harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak

tersebut (pasal 32). Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku

tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat

Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466. 16 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..” h. 138.

Page 44: Siska Novrianti.FSH.pdf

34

dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum

muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya.

Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad.17

Dalam Islam

Murtad harus dihukum mati.18

6. Perampokan

Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam

Nakiyatuddin (1675-1678 M). Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris

Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi

pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh

al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua

pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan

tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum.19

Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana

yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental (kaidah larangan)

dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum

khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental

(jenis ancaman hukuman), dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya

sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam

pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni

masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.20

17

Ibid, h. 140. 18

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h. 127. 19

Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142. 20

Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh (1514-

1903 M)”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.

Page 45: Siska Novrianti.FSH.pdf

35

Menurut Arskal Salim, bahwa pemberlakuan hukum pidana lslam di

Nusantara menunjukan betapa pelaksanaan hukum pidana Islam tidak pernah

berlaku secara seragam dan konsisten.21

Karena keberlakuannya sangat

ditentukan oleh kebijakan penguasa pada masanya. Ia menambahkan,

pemberlakuan hukum pidana Islam di sejumlah kerajaan Nusantara22

adalah

sebuah proses interaksi yang aktif antara hukum lslam dan tradisi lokal

setempat yang kemudian menjelma menjadi sebuah akulturasi.23

B. Pada Masa Kolonial Belanda

Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan

Hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di

Indonesia sebagai hukum yang diterima dan diakui. Karena para penguasa

ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara.24

Belanda sejak

zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1798 M tetap

membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat sebagaimana

sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari

masyarakat Muslim dan VOC juga tetap mengakui apa yang berlaku sejak

21

Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”, Hukum Respublica,

Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68. 22

Selain Aceh, beberapa kerajaan lain seperti Banten dan Mataram juga pernah

memberlakukan aspek hukum pidana Islam. Bisa di lihat dalam Arskal Salim, Perkembangan

Awal Hukum Islam di Nusantara , h. 67, Azyumardi Azra, Implementasi Syari’at Islam di

Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi

Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.

Xxviii, Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT

RajaGrafindo Persada, 2002), h. 39. 23

Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum...”, h. 72. 24

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Ciputat:Ciputat Press, 2005), h. 48.

Page 46: Siska Novrianti.FSH.pdf

36

berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti hukum keluarga Islam,

perkawinan, waris dan wakaf.25

Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada

sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pemerintah

Belanda sendiri pada waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18 , berusaha

menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan

negeri (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statuta Jakarta 1642

bahkan hukum keluarga diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der

Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum

perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dikenal dengan Compendium

Freijer.26

Selain itu juga diadakannya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi

hakim-hakim peradilan adat yang isinya antara lain memuat sistim hukuman

seperti pemukulan, cap bakar, dirantai dan lain sebagainya. Selain itu juga

terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk pengadilan negeri

Semarang yang berisi perkara-perkara perdata dan pidana yang sebagian besar

bermuatan hukum pidana Islam.27

Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan

teori Reception in Complexu. Digagas oleh Loedewyk Willem Christian Van

Den Berg, teori ini menyatakan pemberlakuan hukum Islam secara penuh

terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata

25

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT

RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47. 26

Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”,

dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,

(Jakarta:Gema Insani press, 1996), h. 131. 27

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di

Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 34.

Page 47: Siska Novrianti.FSH.pdf

37

lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk

agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku.28

Meskipun demikian,

hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim.

Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam (Pernikahan, perceraian,

waris dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah

sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam.

Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan

penyempitan ruang gerak serta perkembangan hukum Islam. Di sisi lain,

Belanda memberikan keleluasaan kepada adat kebiasaan dan

membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha

meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan

mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut.29

Inilah yang disebut

sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie

Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30

.

Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki

atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam

Undang-Undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti

Regeerningsreglement (R.R), yang disebut Wet de Staatsinricting van

Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang

28

Ibid, h. 37-38. 29

Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa

Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 252. 30

Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:PT

RajaGrafindo Persada, 2006), h. 75.

Page 48: Siska Novrianti.FSH.pdf

38

diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan

tata hukum Hindia Belanda.31

Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda

mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan

Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu

dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh

hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada

landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda

untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk

hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang

pemeriksaannya kepada landraad. 32

Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil

Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung

pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.33

Itu sebabnya,

bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga

hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial

tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di

wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di

dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum

Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan

31

Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132. 32

A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan

Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 155. 33

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:LP3S, 1985), h. 64-99.

Page 49: Siska Novrianti.FSH.pdf

39

perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak

menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.34

C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan

Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk

memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami

dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan

pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam

empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI,

periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode

awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode

pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.35

Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat

(yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan perjuangan

memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum

pidana Islam) di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah

Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru,

terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa

partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman

kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.36

Sama

seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam yang

34

Ibid 35

Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern

Indonesia, (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), h. 85. 36

M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme

Politik dalam Kebijakan Publik”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198.

Page 50: Siska Novrianti.FSH.pdf

40

memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun

rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemeluk-

pemeluknya”.37

Dan kelompok nasionalis38

yang tetap konsisten menolak

Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang

Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.39

Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan

hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29

UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia.

Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak

menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.40

Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional

adalah KUHP yang tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur

pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam

KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi

hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan

di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak

diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh.

Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU

37

Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu:

PPP,PBB,PNU (Partai Nahdlatul Ulama),PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). sedangkan partai

dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK (sekarang PKS) 38

Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan) 39

Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107. 40

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya,

(Yogyakarta:Kanisius, ttp), h. 39.

Page 51: Siska Novrianti.FSH.pdf

41

No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk

melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.41

Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan

otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 200142

tentang Otonomi

Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula

masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.43

Dalam UU No.18 Tahun 2001

disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam

yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan

pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.44

Berikutnya lahir

sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam,

diantaranya:

1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di

Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam

Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002

secara lebih rinci.45

Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap

pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.46

41

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh:Dinas

Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005) ,h. 60. 42

Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD 43

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225 44

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61. 45

Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang

Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. 46

BAB VIII Ketentuan Pidana Pasal 20-23 Qanun no. 11 Tahun 2002.

Page 52: Siska Novrianti.FSH.pdf

42

2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar

yang haram hukumnya. Hukum haram ini berkaitan dengan

pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.47

Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan

dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.48

Sedang bagi

orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara

menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.49

3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Sejenisnya

Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir (perjudian)

adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak

atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.50

Mengenai

hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam

dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali51

.

Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja

dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta

pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang

pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah diancam dengan

hukuman Ta‟zir.52

47

Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya 48

Pasal 26 ayat (1) Qanun No. 12 Tahun 2003 49

Pasal 26 ayat (2) Qanun No. 12 Tahun 2003 50

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir

(Perjudian) dan sejenisnya. 51

Pasal 23 ayat (1) Qanun No. 13 Tahun 2003 52

Pasal 23 ayat (2) Qanun No. 13 Tahun 2003

Page 53: Siska Novrianti.FSH.pdf

43

4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum)

Dalam qanun ini, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan

bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis

yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.53

Sedangkan mengenai

hukumannya, yaitu bagi mereka yang melanggar hukuman ini akan

dikenakan sanksi ta‟zir.54

5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal diberi kewenangan untuk

menentukan besaran dana yang akan diserahkan kepada masing-masing

senif. Tetapi penentuan besaran ini harus berpedoman pada ketentuan yang

telah ditetapkan oleh Dewan Syari‟ah. Sedangkan hukuman atas orang-

orang yang melanggar qanun ini yaitu berupa sanksi ta‟zir.55

6. Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

Seperti yang telah disinggung dalam qanun sebelumnya, badan Baitul

Mal mempunyai kewenangan yang salah satunya adalah mengumpulkan,

menyalurkan dan mendayagunakan zakat.56

Dalam pengelolaan zakat ada

beberapa perbuatan yang dianggap sebagai jarimah ta‟zir dan karena itu

hukumannya berupa sanksi ta‟zir.57

Dalam perjalanannya, pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia

mengalami pasang surut. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa politis

dalam artian sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki

53

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. 54

Pasal 22 ayat (1) (2) (3) Qanun No. 14 Tahun 2003 55

Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43 ) Qanun No. 7 Tahun 2004 56

Pasal 8 ayat (1) (2) Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 57

Pasal 50,51,52,53,54 Qanun No. 10 Tahun 2007

Page 54: Siska Novrianti.FSH.pdf

44

kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun ekonomi. Bisa dikatakan

bahwa pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam pada masa kerajaan

adalah benar adanya karena didukung oleh kehendak politik penguasa/raja.

Namun pada masa-masa awal kedatangan Belanda dengan politik hukumnya,

secara bertahap dan sistematis, Belanda berusaha mengurangi peran dan

wewenang dari institusi Peradilan Agama. Bukan hanya hukum keluarga yang

dibatasi, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya.

Setelah Indonesia merdeka, perjuangan sebagian umat Islam untuk

menjadikan negara agama yang termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum

pidana Islam, juga mengalami dinamika politik yang fluktuatif. Hingga pada

akhirnya, meskipun hukum pidana Islam tidak bisa diberlakukan secara

nasional, namun daerah Aceh mendapat keistimewaan untuk menjalankan

syariat Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Adalah suatu

kenyataan bahwa penerapan Syari‟at Islam secara Formal di Nanggroe Aceh

Darussalam merupakan bagian dari proses politik dalam rangka menciptakan

perdamaian di Aceh.58

58

Masykuri Abdillah, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan yang

tak pernah tuntas, (Jakarta:Renaisan, 2005), h. 210,

Page 55: Siska Novrianti.FSH.pdf

45

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 19/PUU-VI/2008

TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM

DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Jika pada bab-bab sebelumnya penulis telah menguraikan apa yang

dimaksud dengan istilah hukum pidana Islam serta sejarah pemberlakuan aspek

hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan menguraikan putusan

Mahkamah Konstitusi terkait wacana hukum pidana Islam ke dalam kompetensi

absolut Peradilan Agama. Yang mana dalam hal ini penulis akan menganalisa

lebih lanjut amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 serta

bagaimana prospek pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia di masa

mendatang.

A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bab pendahuluan di atas

bahwa Indonesia adalah negara hukum, dalam artian yang menghendaki segala

tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada

legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis.1

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi

penting dari amandemen UUD NRI 1945 sebanyak 4 (empat) kali adalah harus

dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebaga lembaga negara yang berfungsi

1 Arief Budiman, Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi, (Jakarta:PT Gramedia

Pustaka Utama, 1996), h. 1.

Page 56: Siska Novrianti.FSH.pdf

46

menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga

konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita

demokrasi. Hal ini masih merupakan mata rantai reformasi 1998 yang

menghendaki perlunya reformasi konstitusi yang dapat menjamin secara

konsisten penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi melalui sistem

pemerintahan konstitusional. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2003

diterbitkanlah UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Seperti

dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan MK bagi suatu negara

umumnya merupakan negara-negara yang pernah mengalami krisis

konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan otoriter.2

Yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU

terhadap UUD NRI 1945, memutus sengketa antar lembaga negara yang

kewenangannya diatur di dalam UUD NRI 1945, memutus sengketa hasil

pemilu dan memutus pembubaran parpol. Sedangkan kewajiban Mahkamah

Konstitusi adalah memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa

presiden/wakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD NRI

1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.3 Sejak keluarnya UU

No. 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan MK ditambah satu lagi yakni

memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)

yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan

2 H. Achmad Sukarti, “Kedudukan dan Wewenang MK Ditinjau dari Konsep Demokrasi

Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand)”, Equality

Vol. 11 No. 1, Februari 2006, h. 42. 3 Lihat pasal 10 ayat (1)-ayat (3) UU No. 24 tahun 2003 jo. UU No. 8 tahun 2011 tantang

Mahkamah Konstitusi.

Page 57: Siska Novrianti.FSH.pdf

47

wewenang ini merupakan konsekuensi dari ketentuan UU No. 22 tahun 2006

tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim

pemilihan umum.4

2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan keuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan secara bebas dari pengaruh

kekuasaan lembaga lainnya.5 Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan)

orang anggota hakim konstitusi diantaranya diajukan masing-masing 3 (tiga)

orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, 3 (tiga) orang oleh

Presiden, dan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Presiden.6

Adapun susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua

merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh)

orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh

hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan

terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

Konstitusi. Sebelum ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat

pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim

konstitusi yang tertua usianya.7 Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan

4 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali

Pers, 2009), h. 273. 5 Lihat UUD NRI 1945 pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).

6 Terkait hakim yang menangani kasus judicial review oleh Suryani ini yaitu Jimly

Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi,

Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H.

Abdul Mukthie Fadjar. 7 Lihat pasal 4 UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 58: Siska Novrianti.FSH.pdf

48

wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh Sekretariat Jenderal dan

kepaniteraan. Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan

wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sedangkan anggaran Mahkamah

Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).8

B. Duduk Perkara

Sebelum penulis menganalisa amar putusan dari Mahkamah Konstitusi,

terlebih dahulu akan diuraikan duduk perkara yang melatarbelakangi lahirnya

putusan ini. Putusan ini bermula ketika pada tanggal 24 Juni 2008 seorang

buruh bernama Suryani yang berasal dari Serang, Banten, mengajukan judicial

review atas Undang-Undang Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi

terkait dengan kompetensi Peradilan Agama di Indonesia. Suryani mengajukan

permohonan pengujian materiil Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun

1989, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di Bidang; (a). Perkawinan, (b). Waris, (c).

Wasiat, (d). Hibah, (e). Wakaf, (f). Zakat, (g). Infak, (h). Shadaqah, (i).

Ekonomi Syari‟ah.” beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap Pasal 28e ayat

8 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;Upaya

Membangun Kesadaran dan pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang

Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung:PT Citra

Aditya Bakti, 2006), h. 13.

Page 59: Siska Novrianti.FSH.pdf

49

(1), Pasal 28i ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945,

dengan alasan sebagai berikut:9

1. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh

Pemohon dalam permohonan ini adalah hak untuk bebas memeluk agama

dan beribadat menurut ajaran agama Pemohon, sebagaimana yang telah

dinyatakan dalam UUD NRI 1945 yaitu pasal 28e ayat (1) juncto pasal 28i

ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).10

2. Bahwa pemohon berpendapat pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No.

3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal yang sama beserta

penjelasannya, adalah bertentangan dan atau tidak sesuai dengan amanat

konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat

(1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Karena hak

dan/atau kewenangan konsitusional pemohon untuk “bebas beragama dan

beribadat menurut ajaran agama” agar dapat menjadi umat beragama yang

beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama

Pemohon yaitu agama Islam, telah “dibatasi” oleh negara melalui Undang-

Undang tentang Peradilan Agama tersebut.

9 Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 6-10.

10 Pasal 28e ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya,” juncto Pasal 28i ayat (1) “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. juncto Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu.”

Page 60: Siska Novrianti.FSH.pdf

50

3. Bahwa inti di dalam ajaran Agama Islam adalah iman dan taqwa, yang

berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan

menjauhkan segala laranganNya tanpa terkecuali. Selain diperintahkan

menjalankan hukum agama (syariat) Islam secara perdata untuk perkara

hukum rumah tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah dan perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan

Peradilan Agama Indonesia, Al-Qur‟an juga memerintahkan umat Islam

untuk menjalankan hukum agama (syariat) di bidang pidana. Seperti yang

difirmankan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5):38, yaitu:

Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dengan tiga alasan itu, menurut pemohon, Undang-Undang tentang

Peradilan Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya, telah

merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). UU tersebut

dianggap membatasi umat Islam dalam hal menegakkan hukum agama

(syariat) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah diperintahkan Al-

Qur‟an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Juga

dianggap berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam sebagai

komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana telah

difirmankan dalam Al-Qur‟an (Surat al-Maidah ayat 38) tersebut di atas, maka

Page 61: Siska Novrianti.FSH.pdf

51

pasti akan dianggap menegakkan „hukum di atas hukum.‟ Sesuai aturan hukum

yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut akan dianggap

sebagai „pelanggaran hukum.‟ Jadi, jelaslah bahwa menurut pemohon,

ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah

merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan

seluruh umat Islam di Indonesia.

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebelum diuraikan apa yang menjadi isi putusan MK terkait hal ini,

terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bukti-bukti tertulis yang menguatkan

alasan si pemohon. Diantaranya:11

1. Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani.

2. Fotokopi UUD NRI 1945 yang sudah diamandemen (dalam satu naskah).

3. Fotokopi tentang UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 tahun 2006 tentang

Peradilan Agama.

4. Fotokopi artikel “Membumikan Syariat Islam di Pesantren”, dimuat Radar

Banten, 8 Juli 2006.

5. Fotokopi buku Penerapan Syari‟at Islam:Bercermin pada Sistem Aplikasi

Syariah Zaman Nabi, h. 26-29, oleh Drs. Husnul Khatimah, penerbit

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

11

Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 15.

Page 62: Siska Novrianti.FSH.pdf

52

6. Fotokopi Juz „Amma dan Terjemahannya, h. 18. Surat Al-Kafirun ayat 4-6.

Diterbitkan oleh CV Wicaksana, Semarang. Fotokopi Al-Qur‟an surat Al-

Maidah dan surat Al-Hajj.

7. Fotokopi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

8. Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Kabupaten Serang, terkait penjelasan inti dari ajaran agama Islam yaitu

Iman dan Takwa yang berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan

Yang Maha Esa dan meninggalkan segala laranganNya tanpa terkecuali.

Yang mana hal ini sejalan dengan amanat UUD NRI 1945 dan Pancasila.

9. Fotokopi Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan serta fotokopi Ketetapan MPR RI

No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan yang pada intinya

ketetapan ini menjelaskan bahwasanya beriman dan bertakwa juga

merupakan amanat konstitusional yang diperintahkan UUD NRI 1945 dan

Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.

Berdasarkan alasan dan seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh pihak

pemohon di atas, Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa

pertimbangan terkait hal ini, antara lain:

1. UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar

kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24

Page 63: Siska Novrianti.FSH.pdf

53

ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.12

2. Bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan ketidaksesuaian.

Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU

Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan

di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan

lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum pidana Islam (jinayah).

3. bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan

Indonesia mengenai hubungan antara agama dan negara. Karena Indonesia

bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu,

namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak

memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada

individu dan masyarakat.Dan bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU

Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan

Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945, sehingga dalil Pemohon

tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Maka, dari semua alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon, dan

atas dasar pertimbangan-pertimbangan Hakim Mahkamah tersebut, Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwasanya permohonan tersebut Ditolak.

12

Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya

diatur dengan undang-undang”.

Page 64: Siska Novrianti.FSH.pdf

54

D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi

kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.13

Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat (1) UU

Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat

(1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Perlu diketahui

bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar

kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat

(2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.14

Dari kedua pasal ini nampak

bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan

yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar

belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama

sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah

Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai

sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya

juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU

13

Lihat pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, pasal 10 ayat (1) UU No.8 tahun 2011

tentang MK, pasal 29 ayat (1)a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 14

Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya

diatur dengan undang-undang”.

Page 65: Siska Novrianti.FSH.pdf

55

Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak

konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945.

Tentu dalam konteks permasalahan ini, siapapun bisa menafsirkan bentuk

kebebasan beragama yang juga dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara

Muslim untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk

bidang pidana Islam (menurut pemohon), yang mana hal ini tidak diakomodir

dalam UU Peradilan Agama. Sehingga, dalam hemat penulis, Mahkamah

Konstitusi seharusnya perlu menelaah hak konstitusional sebagaimana alasan

dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sebagai batu uji untuk menilai materi

yang tercantum dalam UU Peradilan Agama menyangkut kewenangannya.

Terlebih lagi pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 menyatakan

kata “perdata tertentu” telah diubah menjadi kata “perkara tertentu” yang

berarti menurut penulis, hukum pidana Islam bisa berpeluang untuk masuk ke

dalam wewenang Lembaga Peradilan Agama.

2. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan

Positive Legislator

Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU

Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama karena telah

bertentangan dengan UUD NRI 1945, Sedangkan di dalam positanya, pemohon

meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensi

Peradilan Agama diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum

pidana Islam (jinayah). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang

sebagai positive legislator dalam arti menambah rumusan undang-undang yang

Page 66: Siska Novrianti.FSH.pdf

56

dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga, permohonan Suryani agar Peradilan

Agama ditambah wewenangnya untuk mengadili kasus yang terkait pidana

(jinayah) tidak bisa dikabulkan.15

Perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang sebagai

negative legislator yaitu menghapus ayat atau pasal-pasal dalam undang-

undang yang dinilai tidak sejalan dengan pasal atau ayat yang tertuang

konstitusi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa antara posita dan petitum

pemohon terdapat ketidaksesuaian. Dari uraian di atas, menurut penulis,

Mahkamah Konstitusi seolah menyarankan agar usulan si pemohon diajukan

kepada lembaga legislatif yang berwenang untuk menambah rumusan Undang-

Undang.

3. Paradigma Relasi Agama-Negara di Indonesia adalah Paradigma

Simbiotik

Berdasarkan kerangka teori analisis yang sudah dipaparkan di bab

pendahuluan, bagian sub bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana

putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari teori yang diajukan oleh Din

Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Menurut Din

Syamsuddin, terdapat paling tidak tiga paradigma tentang relasi agama dan

negara.16

Paradigma pertama mengajukan konsep bersatunya agama dan

negara atau yang biasa disebut dengan paradigma Integralistik. Paradigma ini

dianut oleh kelompok Syi‟ah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di

Pakistan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan

15

Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 23 16

Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Ciputat:PT

Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 58.

Page 67: Siska Novrianti.FSH.pdf

57

keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar

“kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di

“tangan” Tuhan.

Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang

bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa

pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar

negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.17

Melalui

kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana

tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian

diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar

negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya.

Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan

secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam

hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat

berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama

negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma

semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali.

Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah

satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan

negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip

demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan

jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan hukum-

17

Yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam bagi Pemeluknya”

Page 68: Siska Novrianti.FSH.pdf

58

hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam,

persatuan agama dan negara adalah absah.18

Selain itu, Pradoyo melihat bahwa

“kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan

pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya.19

Konsepsi

Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena tetap ada peluang “keterpaduan

Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik.

Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang

biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan

pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan

bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran

politik Ali Abdur Raziq dari Mesir.20

Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat,

ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa

pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan

Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam

sangat ekslusif.21

Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing

memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia,

penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol

performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan

gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut

18

Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik

Nurcholis Madjid, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 92 19

Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, (Jakarta:Grafitipers, 1993), h. 182 20

Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63 21

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992),

h. 91.

Page 69: Siska Novrianti.FSH.pdf

59

paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik

Islam.22

Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik

Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang

merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang

merupakan penganut paradigma simbiotik.23

Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agama-

negara dengan corak integralistik melalui parpol-parpol Islam “dibonsai”

dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal.24

Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya

menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera

bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir

oleh MAS Hikam (1988) sebagai indikasi munculnya semangat untuk

mengembangkan kembali paradigma integralistik. Meskipun dalam

manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam

dengan yang lainnya.25

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, penulis

menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD

NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan

22

M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul

Mun‟im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000),

h. 9 23

Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran

fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran

substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk

legal-formal ajaran. 24

M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10. 25

Ibid, h. 11.

Page 70: Siska Novrianti.FSH.pdf

60

Republik Indonesia. Di dalam salah satu pertimbangan para hakim Konstitusi26

adalah kalimat “Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan

pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang

sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama

sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk

melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.” Dan “Pelayanan negara

kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan

kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.” Dari kalimat ini penulis

menyimpulkan bahwa relasi agama dan negara di Indonesia bukanlah mengacu

pada paradigma integralistik ataupun sekularistik, melainkan paradigma

simbiotik. Dalam artian peluang “keterpaduan agama” dengan negara Pancasila

hanya dapat terjadi melalui proses-proses politik.

Melalui jalan politik, umat Islam dapat menentukan kebijakan dan

hukum-hukum negara. Paradigma simbiotik relasi agama-negara inilah yang

harus dipahami oleh Suryani selaku pemohon. Sebagai contoh, salah satu

upaya pemberlakukan hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional yakni

draf RUU KUHP27

yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan

praktisi hukum namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Ini

menunjukan bahwa materi hukum pidana Islam dalam RUU KUHP sedemikian

26

Ke-9 hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara ini adalah Jimly

Asshidiqie, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar

Siahaan, H.A.S Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukhties Fadjar. 27

Dalam rancangan tersebut dimasukan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik

Agama, kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang

melanggar ketentuan agama dsb.

Page 71: Siska Novrianti.FSH.pdf

61

rupa tidak bisa menjadi secara otomatis dapat diberlakukan karena paradigma

relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik. Sehingga, dalam

usaha untuk memasukan unsur Islam dalam kebijakan-kebijakan hukum negara

termasuk pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam salah satu kewenangan

Peradilan Agama, haruslah melalui proses-proses politik.

Atas landasan paradigma simbiotik ini juga, Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama ini tidak

akan mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI

1945.28

Dari pendapat Mahkamah Konstitusi ini, penulis berpandangan

bahwasanya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI

1945 tersebut bertentangan dengan sekularisme. Karena UUD NRI 1945

menetapkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan

Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Dalam hal itu, secara

konstitusional, beragama dan beriman dijamin oleh negara.29

Sehingga dalil

pemohon yang menyatakan bahwa UU Peradilan Agama dapat merugikan hak

konstitusionalnya sebagai warga negara dalam beragama sebagaimana yang

dijamin dalam UUD NRI 1945 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh

Mahkamah Konstitusi.

28

Lihat Pasal 28E, Pasal 25 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2) UUD

NRI 1945. 29

Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan

dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed., Hukum

Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus,

2001), h. 214.

Page 72: Siska Novrianti.FSH.pdf

62

E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia

Sebagaimana yang diketahui bahwa masyarakat Muslim di Indonesia

sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan hukum perdata Islam.

Hal ini termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Meskipun dalam proses pembentukannya mengalami reaksi yang beragam dari

berbagai kalangan diantaranya ada yang berpendapat bahwa RUU PA dinilai

tidak senafas dengan Pancasila dan bahkan disinyalir sebagai upaya

terselubung menghidupkan kembali Piagam Jakarta, Presiden Soeharto sebagai

figur yang paling bertanggung jawab mengenai RUU PA ini memberikan

garansi bahwa UU ini merupakan Pelaksana Pancasila dan UUD NRI 1945

serta tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.30

Sampai masa Orde Baru, kewenangan Peradilan Agama baru menyangkut

sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang

hukum keluarga;nikah, cerai/talak, waris, wasiat dan wakaf.31

Sedangkan

persoalan keperdataan Islam lainnya secara lebih luas termasuk bidang

ekonomi, belum menjadi kewenangan Peradilan Agama, apalagi menyangkut

hukum pidana Islam. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan tidak

terakomodirnya hukum pidana Islam pada masa pemerintahan Orde Baru,

yaitu; pertama, faktor politik hukum yang tidak memberikan kesempatan

masuknya nilai-nilai hukum Islam dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Sistem politik ini terkait dengan arah kebijakan partai politik di parlemen yang

phobia terhadap hukum pidana Islam yang dianggap tidak manusiawi. Selain

30

Zuffran Sabri, Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang RUU

PA, (Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix. 31

Lihat Pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Page 73: Siska Novrianti.FSH.pdf

63

itu negara tidak berani mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait

dengan penolakan kelompok non muslim dan sebagian umat Islam yang tidak

pro terhadap hukum Islam. Dimensi hukum pidana Islam merupakan hal yang

sangat sensitif terutama kaitannya dengan isu-isu menuju Negara Islam dan

Piagam Jakarta serta formalisasi hukum Islam. Di samping itu, pemerintah

lebih memilih untuk tidak mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait

dengan stabilitas politik penguasa.32

Kedua, faktor kesalahpahaman dalam memahami hukum pidana Islam

disebabkan ketakutan yang berlebihan terutama bagi masyarakat non muslim

dan juga umat Islam sendiri. Selama ini pemahaman masyarakat terhadap

hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada aspek jawabir (penebus)

dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga

begitu menyebut pidana Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan

bila dilihat dari sisi pelaku.

Ketiga, faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlunya

membentuk hukum pidana Indonesia yang benar-benar bersumber dari hukum

yang hidup dari tengah-tengah masyarakat serta yang sejalan dengan Negara

Indonesia yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum. Dalam artian

maka diperlukan pembaruan hukum pidana Indonesia dengan menjadikan

hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional.33

Jadi menurut

penulis, nilai-nilai hukum Islam di bidang hukum pidana masih belum berhasil

32

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam

Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta:Badan Litbang dan Diklat

DEPAG RI, 2008), h. 321. 33

Ibid, h. 322.

Page 74: Siska Novrianti.FSH.pdf

64

mewarnai UU Peradilan Agama dan masih kuatnya pengaruh sistem hukum

pidana Belanda di Indonesia.

Memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapatkan kewenangan

baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang;zakat, infaq,

sedekah serta ekonomi syariah namun tidak untuk hukum pidana Islam. Hal ini

juga tidak lepas dari ke tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Namun,

lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 atas perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989

telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru sekaligus menjadi

landasan yang kuat atas terbentuknya lembaga Peradilan Agama (Mahkamah

Syari‟ah) di Aceh yang kewenangannya juga mencakup hukum pidana Islam

(Jinayah).34

Jaenal Aripin menguraikan bahwa salah satu yang menjadi kelemahan

Peradilan Agama adalah masih belum memungkinkannya hukum pidana Islam

untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia.35

Meskipun begitu,

penulis berpendapat, peluang atau prospek pemberlakuan hukum pidana Islam

ke dalam wewenang lembaga Peradilan Agama di Indonesia bukanlah hal yang

mustahil. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan UU Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa Peradilan Agama ke

paradigma baru. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 3 tahun 2006

menyatakan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

34

Lihat Pasal 3A beserta penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan

pasal 49 UU No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 35

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(Jakarta:Kencana, 2008), h. 512.

Page 75: Siska Novrianti.FSH.pdf

65

perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”.

Menurut penulis, Istilah “perkara tertentu” dalam pengertian di atas membuka

peluang bagi hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam salah satu

kewenangan Peradilan Agama.

Terkait hal ini, pasal 29 UUD NRI 1945 ayat (1) yang menegaskan:

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat (2) “Negara

menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Menurut

penulis hakekatnya mengandung kebijakan-kebijakan prinsipil yang

memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan

menjamin dapat dijalankannya ajaran agama (termasuk hukum hukumnya) bagi

para umat pemeluknya sebagai manifestasi rasa keimanan kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Artinya, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari ajaran

agama Islam yang diakui keberadaannya oleh umat Islam Indonesia, adalah

sangat logis dan konstitusional apabila ia diberi jaminan berbentuk kebijakan

hukum negara yang tidak saja mengakui keberadaannya namun juga

memfasilitasi terlaksanakannya hukum pidana Islam tersebut.

Namun, yang perlu diingat bahwa, jika Indonesia adalah negara yang

menganut paradigma simbiotik sebagaimana yang telah penulis jelaskan di

atas, tentu prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi

absolut Peradilan Agama adalah sangat bergantung pada elit-elit partai Islam

yang menguasai kursi parlemen di DPR, karena elit-elit politik Islam lah yang

sangat berperan besar dalam menentukan hukum-hukum negara yang

Page 76: Siska Novrianti.FSH.pdf

66

berasaskan Islam. Inilah yang penulis maksud dengan pendekatan politik

hukum sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam kerangka analisis pada

bab pendahuluan. Karena hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan

lainnya, dalam artian politik sering kali melakukan intervensi atas pembuatan

dan pelaksanaan hukum. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai

hal-hal yang bersifat das sollen (keinginan/seharusnya), melainkan harus

dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak

mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan pasal-pasalnya

maupun dalam implementasinya.36

Jika kewenangan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun

1989 , pengadilan agama hanya berwenang mengadili perkara-perkara perdata

Tertentu,37

pada masa Reformasi terdapat perubahan signifikan yaitu perluasan

kewenangan di bidang zakat, infak dan ekonomi syariah. Perluasan

kewenangan ini tentu hasil dari proses-proses politik sehingga dikatakan

sebagai “hukum adalah produk politik” sebab ia merupakan kristalisasi,

formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling

bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh

kekuatan politik yang terbesar,38

di samping dikarenakan berkembangnya

kebutuhan hukum masyarakat khususnya masyarakat muslim.

Namun, Ada juga pihak yang menyatakan bahwa politik Islam (baik

Partai yang berasaskan Islam maupun yang mendeklarasikan diri sebagai partai

36

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4, (Jakarta:Rajawali Pers,

2011), h. 10. 37

Bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. 38

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 4.

Page 77: Siska Novrianti.FSH.pdf

67

Islam) belum tentu akan memberi keuntungan yang seluas-luasnya kepada

umat Islam, dikarenakan kategori umat Islam tidaklah monolitik dan singular.

Akar historis dan kulturnya, aspirasi dan kepentingannya tidak begitu saja bisa

dirumuskan oleh satu pihak sebagai yang mewakili umat Islam.39

Terkait hal

ini, agaknya penulis memiliki pendapat lain, bahwa seperti yang diketahui pada

saat kekuasaan Orde Baru runtuh, muncul partai-partai politik beridentitaskan

Islam meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi

yang bervariasi dari satu parpol dengan parpol lainnya, namun MAS Hikam

memastikan adanya benang merah yang mempertemukan mereka, yaitu adanya

kehendak agar Islam yang klaimnya adalah sebuah ajaran sistem yang serba

mencakup, menjadi alternatif dan dominan dalam wacana praksis politik.40

Karena jika tidak ada hal demikian, lantas apa yang membedakan partai

Islam dengan partai Nasionalis? Maka dari itu, menurut penulis, peluang dapat

terlaksananya hukum pidana Islam ke dalam salah satu wewenang Peradilan

Agama adalah bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam dari

elit-elit partai politik Islam akan sejauh mana mereka dapat merepresentasikan

apa yang menjadi aspirasi umat Islam. Termasuk salah satunya pemberlakuan

hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama.

Sebenarnya, kasus judicial review UU Peradilan agama ini juga dikaji

oleh seorang sarjana hukum asal Australia, Simon Butt. Simon berpendapat

bahwa kurangnya keinginan mayoritas masyarakat Indonesia untuk memilih

partai-partai Islam sebagai wakil rakyat yang berada di kursi parlemen. Hal ini

39

Muh. Hanif Dhakiri, “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun‟im D.Z,

ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000), h. 136. 40

Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama..”, h. 10.

Page 78: Siska Novrianti.FSH.pdf

68

terlihat dalam pemilihan umum tahun 1999 dan 2004, partai-partai Islam

hanya menerima masing-masing 14% dan 17% suara. Sedangkan pada hasil

Pemilu 2009 suara untuk partai-partai Islam menurun secara signifikan.41

Disamping itu, kurangnya kesadaran dan kemauan umat muslim akan

pemberlakuan hukum Islam terlebih lagi hukum pidana Islam juga terlihat dari

hasil survei yang dilakukan LSI versi Denny JA di 33 provinsi pada 28 Juli - 3

Agustus 2006 dengan responden sebanyak 700 orang tentang "Respon Publik

atas Perda Bernuansa Syariat Islam”. Berdasarkan survei itu lebih dari 80 %

masyarakat setuju diterapkannya peraturan daerah anti kemaksiatan, berupa

larangan peredaran minuman keras, larangan perjudian dan anti pelacuran.

Denny JA menambahkan mayoritas masyarakat setuju adanya penegakan

terhadap moral dan kesusilaan, tetapi disisi lain ada yang menganggap cukup

diwakilkan dengan KUHP, tidak perlu lagi dibuatkan dalam peraturan daerah

yang bernuansa syariat Islam.42

Masih dalam survey yang sama, mayoritas

masyarakat yang beragama Islam (61.7 %) lebih memilih hukum nasional yang

menjamin keberagaman dibandingkan hukum Islam. Mayoritas masyarakat

yang beragama Kristen (78.5 %) maupun agama lainnya (90.9 %) juga

mendukung penerapan hukum nasional. Survei LSI itu juga menunjukkan

mayoritas masyarakat tidak setuju atas penerapan hukum pidana Islam, seperti

77.3 % masyarakat tidak setuju atas hukuman bagi yang tidak mengenakan

busana Muslim, 77.3 % masyarakat tidak setuju hukuman potong tangan untuk

41

Simon Butt, “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”, Pacific Rim

Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300. 42

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakat-setuju-

penerapan-perda-anti-maksiat.htm, diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:22.

Page 79: Siska Novrianti.FSH.pdf

69

pencuri, 56.4 % masyarakat tidak setuju atas hukuman cambuk untuk

pemabuk, 63.3 % masyarakat tidak setuju hukuman rajam untuk orang berzina

dan 71.2 % masyarakat tidak setuju hukuman mati untuk murtad.43

Dari hasil survey tersebut, penulis berpendapat bahwa pemahaman

masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada

aspek jawabir (penebus) dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang

dikatakan nash, sehingga begitu menyebut sanksi berdasarkan hukum pidana

Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan bila dilihat dari sisi pelaku.

Padahal Islam sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu. Allah

tidaklah membuat perundang-undangan atau syariat dengan main-main dan

tidak pula menciptakannya dengan sembarangan. Namun Allah mensyariatkan

perundang-undangan Islam untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.44

Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat termasuk

hukum pidana Islam tercakup dalam lima hal, seperti yang disebut oleh para

ulama dengan nama al-kulliyyat al-khams (lima hal/inti pokok) yang mereka

anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga

sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syathibi, yaitu:

1. Menjaga Agama (Hifdz Ad-Din); Illat (alasan) diwajibkannya berperang dan

berjihad, jika ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada.

2. Menjaga Jiwa (Hifdz An-Nafs); Illat (alasan) diwajibkannya hukum qishas,

diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.

43

http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkan-

pancasila , diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:45. 44

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta:AMZAH, 2009), h. xiv.

Page 80: Siska Novrianti.FSH.pdf

70

3. Menjaga Akal (Hifdz Al-„Aql); Illat (alasan) diharamkannya semua benda

yang memabukkan atau narkotika dan sejenisnya.

4. Menjaga Harta (Hifdz Al-Mal); Illat (alasan) pemotongan tangan untuk para

pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta

orang lain dengan cara batil lainnya.

5. Menjaga Keturunan (Hifdz An-Nasl); Illat (alasan) diharamkannya zina dan

qadzaf (menuduh orang lain berzina).45

Dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

bidang hukum pidana, penerapan hukum pidana Islam bisa saja dilakukan

dengan menggunakan pendekatan teori zawajir. Menurut teori ini, hukuman

yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tidak harus persis seperti

tersebut di dalam nash. Dalam artian, pelaku boleh dihukum dengan hukuman

apa saja, asal dengan hukuman itu tujuan penghukuman dapat dicapai, yaitu

membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa takut melakukan tindak pidana

bagi yang lain. Prof. Masykuri Abdillah menyebut hal ini sejalan dengan

kaidah fikih ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak dapat

dicapai sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Melalui pendekatan

teori ini, akan menimbulkan pemahaman hukum yang kontekstual dan hukum

Islam akan dinamis serta antisipatif terhadap perkembangan zaman.46

Dari semua uraian di atas, apabila politik hukum Islam (hukum pidana

Islam) dari elit-elit partai Islam bisa mendominasi parlemen, bukan hal yang

mustahil kebijakan-kebijakan negara di bidang hukum Islam yang lainnya,

45

Ibid, h. xv. 46

Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam..”, h. 222-223.

Page 81: Siska Novrianti.FSH.pdf

71

termasuk hukum pidana Islam dapat menjadi salah satu kewenangan Peradilan

Agama. Karena ketentuan yang ada pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3

tahun 2006 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru, yang dapat

ditafsirkan bahwa tidak hanya perkara perdata Islam yang menjadi

kewenangannya, tetapi juga perkara pidana Islam.

Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah konfigurasi

politik Islam di Indonesia masa mendatang? Mampukah partai-partai Islam

berpacu dengan partai-partai nasionalis lainnya yang selama ini mendominasi?

Karena dalam praktiknya, hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak

pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang

bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Sehingga dalam pandangan penulis,

sejatinya hukum sangat dipengaruhi oleh politik. Betapapun Indonesia sebagai

Negara Pancasila yang plural, dalam realitanya sekarang adalah kebijakan-

kebijakan hukum negara berada pada elit-elit politik yang berada di parlemen.

Sehingga bukan hal yang mustahil, suatu waktu nanti aspek-aspek hukum

pidana Islam dapat diterapkan di Indonesia. Selain dari bagaimana politik

hukum Islam dari elit partai Islam, ini tentu juga harus didorong oleh kesadaran

dan keinginan masyarakat Indonesia akan pentingnya pemberlakuan aspek-

aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum Nasional.

Page 82: Siska Novrianti.FSH.pdf

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan keseluruhan bab pada skripsi ini dan menganalisa

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008, ada beberapa hal

yang dapat disimpulkan dari hal tersebut. Diantaranya:

1. Sejumlah aspek hukum pidana Islam sebenarnya pernah dipraktekkan di

sejumlah kerajaan Nusantara di Indonesia. Meskipun pada masa

berkuasanya politik Hindia Belanda tidak didapati praktek pemberlakuan

hukum pidana Islam, pada masa pasca Kemerdekaan hukum pidana Islam

dipraktekkan di wilayah Aceh.

2. Dari analisis putusan ini nampak bahwa, MK tidak dapat memenuhi apa

yang menjadi kehendak si pemohon karena UU Peradilan Agama tidaklah

bertentangan dengan UUD NRI 1945, selain itu MK bertindak sebagai

negative legislator, bukan positif legislator yang bisa menambah rumusan

hukum pidana Islam ke dalam UU Peradilan Agama. Terkait hal ini penulis

juga menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU

Peradilan Agama sebenarnya adalah sebuah putusan politik terhadap

kasus/fenomena hukum. Selain itu, nampak jelas bahwa relasi agama-negara

di Indonesia adalah paradigma simbiotik yang berarti keterpaduan agama

dan negara hanya bisa dilakukan melaui proses-proses politik.

3. Kata “perkara tertentu” sebagaimana terdapat pada pasal 2 atas perubahan

UU Peradilan Agama, di kemudian hari sangat membuka peluang terhadap

Page 83: Siska Novrianti.FSH.pdf

73

pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional di

Indonesia melalui lembaga Peradilan Agama sebagai institusi penegak

hukumnya. Dan tentu hal ini sangat bergantung pada bagaimana politik

hukum Islam dari elit-elit partai Islam Indonesia di masa mendatang. Dan

juga harus didorong oleh kesadaran dan keinginan masyarakat Indonesia

akan pentingnya pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam ke dalam

sistem hukum nasional.elit-elit partai Islam

B. Rekomendasi

1. Terhadap putusan ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu

memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU

Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak

konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945.

Yaitu UU Peradilan Agama yang tidak memasukan hukum Pidana Islam ke

dalam salah satu yang menjadi kewenangannya.

2. Harus adanya kesadaran umat Muslim yang tinggi untuk menerapkan

hukum Islam (termasuk hukum Pidana Islam) di dalam kehidupannya.

Karena sejauh mana kebijakan-kebijaka hukum negara yang berasaskan

hukum Islam sangat tergantung pada kesadaran umat Muslim di samping

tentu hal ini juga sangat bergantung pada elit-elit politik partai Islam.

Page 84: Siska Novrianti.FSH.pdf

74

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abdillah, Masykuri. Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan

yang tak pernah tuntas. Jakarta: Renaisan, 2005.

Abidin, Andi Zainal. Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama. Bandung:

Aumni, 1987.

Abubakar, Al Yasa’. Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:

Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam,

2006.

----------Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at

Islam Povinsi NAD, 2005.

Ahmad, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

---------- Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al Faruk, Asadulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009.

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004.

Anwar, M. Zainal. “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:Pendekatan

Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”. Millah Vol. X, No. 2,

Februari 2011, h. 198.

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,

Hambatan dan prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.

Jakarta: Kencana, 2008.

Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Azizy, A. Qodri. Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam

dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Page 85: Siska Novrianti.FSH.pdf

75

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997.

Budiman, Arief. Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Butt, Simon. “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”. Pacific

Rim Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,

2008.

Dhakiri, Muh. Hanif. “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun’im

D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta: PT KOMPAS Media

Nusantara, 2000.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1997.

Fajar, A. Malik, ”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan

dan Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin,

ed. Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek dan Tantangan.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005.

---------- Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2002.

---------- Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam

Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta:

Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008.

Hanafi, A. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,

1967.

Hasjmy, A. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, ttp.

Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta:Amzah, 2013.

Irfan, M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1. Jakarta: Amzah,

2011.

Page 86: Siska Novrianti.FSH.pdf

76

Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam:Dari

Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta:Prenada Media

Group, 2010.

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta:AMZAH, 2009.

Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PN

Balai Pustaka, 1979.

Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta:

Sinar Grafika, 2010.

MD, Moh. Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:

Rajawali Pers, 2009.

---------- Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers,

2011.

Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Wakaf Paramadina,

1992.

Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta:

Rajawali Pers, 2012.

Mardani. Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV

INDHILL CO, ttp.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah.

Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

---------- Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

NWAY, Ayang Utriza. “Adakah Penerapan Syari’at Islam di Aceh? Tinjauan

Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”. Tashwirul

Afkar. Edisi No. 24 Tahun 2008. h. 124.

Pradoyo. Sekulerisasi dalam Polemik. Jakarta: Grafitipers, 1993.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam

dan Kemasyarakatan, 1992.

Sabri, Zuffran. Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang

RUU PA. Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001.

Page 87: Siska Novrianti.FSH.pdf

77

Salim, Arskal. “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”. Hukum

Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68.

---------- Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern

Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 2008.

----------“Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im

D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta:PT KOMPAS Media

Nusantara, 2000.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta:

AlumniAhaem-Petehaem, 1996.

Soekanto, Soerjono, Dkk. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo

Persada, 2003.

Sukardja, Ahmad “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-

undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim

dan Jaenal Aripin, ed. Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang,

Prospek dan Tantangan. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001.

Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:LP3S, 1985.

Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial

Politik di Indonesia. Malang:Bayumedia Publishing, 2005.

Sunny, Ismail. “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan

indonesia”. dalam Ahmad, Amrullah SF, dkk, Dimensi Hukum Islam

dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani press, 1996.

Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Ciputat:

PT Logos Wacana Ilmu, 2002.

Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta:PT

RajaGrafindo Persada, 2006.

Tafal, B. Bastian. Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992.

Ubaedillah, A, dkk. Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III.

Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Page 88: Siska Novrianti.FSH.pdf

78

Wahid, K.H Abdurrahman, dkk. Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan

Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktik. Jakarta:Sinar Grafika, 2008.

Zada, Khamami. “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh

(1514-1903)”. Karsa, Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik

Nurcholis Madjid. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008

UUD NRI 1945

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah,

Ibadah dan Syiar Islam

Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya

Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum)

Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

Internet

http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkan-

pancasila

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakat-

setuju-penerapan-perda-anti-maksiat.htm

Page 89: Siska Novrianti.FSH.pdf

PUTUSAN

NOMOR 19/PUU-VI/2008

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada

tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan

Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan

oleh:

[1.2] Suryani, agama Islam; pekerjaan buruh; kewarganegaraan Indonesia;

alamat Kp. Tubui Nomor 35 RT. 13/05 Desa/Kecamatan Waringinkurung,

Kabupaten Serang, Provinsi Banten;

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Telah membaca permohonan dari Pemohon;

Telah mendengar keterangan dari Pemohon;

Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan

surat permohonan bertanggal 24 Juni 2008 yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) tanggal 26

Juni 2008, dan di daftar pada tanggal 30 Juni 2008 dengan registrasi Nomor

19/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada

tanggal 28 Juli 2008, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Page 90: Siska Novrianti.FSH.pdf

2

I. PENDAHULUAN

Bahwa Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal

49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah

oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4611) beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap

Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan

alasan sebagai berikut.

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, "Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu:

a) perorangan warga negara Indonesia

b) kesatuan Masyarakat Hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c) badan hukum publik atau privat;

d) lembaga negara.

Page 91: Siska Novrianti.FSH.pdf

3

2. Bahwa penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan, "Yang dimaksud dengan

'hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945".

3. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh Pemohon

selaku perorangan warga negara Indonesia dalam permohonan ini adalah

hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agama

Pemohon, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (1)

UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya," juncto Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang

berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak

bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu" juncto Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar

atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

4. Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat

bahwa pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1989 Nomor 49 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4611) pada pasal yang sama beserta penjelasannya, adalah bertentangan

dan atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon untuk "bebas

beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat

beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut

Page 92: Siska Novrianti.FSH.pdf

4

ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara

melalui Undang-Undang tentang Peradilan Agama tersebut.

5. Bahwa di dalam ajaran Agama Islam, selain diperintahkan menjalankan

hukum agama (syari’at) Islam secara perdata untuk perkara hukum rumah

tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan

perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan Peradilan

Agama Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989

Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400)

yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya

Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya; Al-Qur’an juga memerintahkan

umat Islam untuk menjalankan hukum agama (syari’at) pidana untuk

perkara pelanggaran pidana. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam

Al-Qur’an, yang salah satu contohnya terdapat pada Surat Al-Maidah ayat

38, yang artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka

kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana".

Maka, jelaslah bahwa sesuai ketentuan yang ada pada Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta

penjelasannya, Pemohon menemukan adanya aturan yang telah merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). Karena telah

dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara

menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan

Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam.

Page 93: Siska Novrianti.FSH.pdf

5

Dan/atau berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam

sebagai komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana

telah di firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 38 tersebut di atas,

maka PASTI akan dianggap menegakkan hukum diatas hukum. Sesuai

aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut

akan dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Jadi, jelaslah bahwa ketentuan UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata

telah merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional

Pemohon dan seluruh umat Islam di Indonesia [Pasal 28E ayat (1) juncto

Pasal 28I ayat (1) dan (2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945)

untuk bebas menjalankan agamanya dan beribadat menurut ajaran

agamanya itu. Dalam arti:

a. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah)

sebagai bentuk ibadah,

b. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah)

sebagai syarat mutlak untuk mencapai tingkatan takwa atau tingkatan

iman yang sempurna; dan

c. hukum agama (syari’at) Islam sebagai bagian yang tak bisa terpisahkan

dari Agama Islam.

Karena dalam ajaran agama Islam, hukum agama (syari’at) Islam

mempunyai kedudukan lebih utama dan spesial daripada ibadah. Bahkan

setiap perbuatan umat Islam tidak akan bernilai ibadah jika tidak sesuai

dengan hukum agama (syari’at) Islam.

6. Apabila negara membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam

untuk dapat hidup dalam naungan/payung hukum agama (syari'at) Islam

secara kaffah itu sama saja dengan bahwa:

1) Negara telah membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam

untuk dapat beragama dengan bebas agar menjadi umat Islam yang

beriman dan mencapai tingkatan takwa.

Maka jelaslah hal ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945; dan

2) Negara telah melakukan diskriminasi kepada umat Islam, karena telah

mengintervensi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya untuk

Page 94: Siska Novrianti.FSH.pdf

6

dapat bertakwa kepada Allah SWT. Padahal negara tidak

mengintervensi umat agama lainnya (non Islam) untuk dapat bertakwa

kepada Tuhan mereka.

Maka jelaslah pula hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD

1945;

4. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia yang beragama Islam,

mempunyai kualifikasi untuk mengajukan Permohonan Pengujian Materiil

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya terhadap UUD

1945 kepada Mahkamah Konstitusi, karena merasa hak/kewenangan

konstitusional Pemohon [Pasal 28E ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) dan

(2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2)] sangat nyata telah dirugikan dan atau

potensial dirugikan akibat masih diberlakukannya materi undang-undang

dimaksud khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya sesuai

ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon memiliki kedudukan

hukum (legal standing) dalam Permohonan ini.

IV. ALASAN-ALASAN HUKUM PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN HAK UJI MATERIIL

1. Bahwa Inti ajaran dari setiap agama adalah iman dan takwa, begitu pula

dengan inti dari ajaran agama Islam adalah iman dan takwa. (sebagaimana

dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten

Serang. Surat Keterangan terlampir).

a) Bahwa Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kemudian

diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan pelaksanaan (amal

ibadah). Maksudnya membenarkan apa yang diberitakan Allah SWT

melalui rasul-Nya dan MEMATUHI apa saja yang diperintahkan-Nya dan

menjauhi apa saja yang dilarang-Nya sesuai ajaran Al-Qur'an dan

Al-Hadits.

Page 95: Siska Novrianti.FSH.pdf

7

[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir]; dan

b) Bahwa Takwa berarti melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi

semua larangan-Nya. Jadi muttaqin (orang yang bertaqwa) adalah

orang-orang yang selalu mengerjakan seluruh perintah Allah SWT dan

selalu menjauhi seluruh larangan-Nya, TANPA TERKECUALI.

[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir].

Jadi, Inti ajaran dari agama Islam adalah PATUH menjalankan segala

perintah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala larangan-Nya

TANPA TERKECUALI. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila.

Keduanya (iman dan takwa) merupakan satu kesatuan yang tak boleh

dipisahkan, agar umat Islam selamat dan bahagia baik di dunia maupun di

alam akhirat kelak. Karena iman tidak akan mencapai kesempurnaan jika

tidak disertai dengan takwa.

2. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa. yang memiliki makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah

negara beragama, yang tentunya harus dilandasi oleh Iman dan Takwa

(Imtak) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Maka beriman dan bertakwa juga merupakan amanat konstitusional yang

diperintahkan UUD 1945 dan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.

Sebagaimana diperkuat oleh:

- Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan, yang menyatakan bahwa:

”Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan

dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa

dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan

berbangsa.”; dan

- Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa

Depan, yang menyatakan bahwa:

Page 96: Siska Novrianti.FSH.pdf

8

”Untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020

dipergunakan indikator-indikator utama sebagai berikut:

1. Religius

a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak

mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal

dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan

diamalkan dalam perilaku keseharian;

b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;

c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;”

Maka apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk

menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara

menyeluruh (kaffah), itu sama saja artinya bahwa umat Islam di Negara

Indonesia ini dilarang untuk dapat beriman sempurna dan atau mencapai

tingkatan takwa kepada Tuhan kami (Allah SWT). Padahal hal itu

bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang

telah dijelaskan di atas.

3. Bahwa harus diingat, yang dimaksud ibadah dalam ajaran agama, memiliki

cakupan yang luas. Bahwa menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan

dan meninggalkan apa-apa saja yang dilarang oleh Allah SWT

sebagaimana yang telah diatur oleh Hukum Agama Islam (syari’at Islam)

sudah pasti bernilai ibadah.

[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir].

Yaitu Ibadah dalam arti penghambaan dan penyerahan diri umat muslim

kepada Allah SWT sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Maha Esaan-

Nya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya.

(sebagaimana dikutip dari buku: PENERAPAN SYARI’AH ISLAM: bercermin

pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi yang ditulis oleh Dra. Husnul

Khatimah, M.Ag., diterbitkan Pustaka Pelajar).

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, ”Negara menjamin

Page 97: Siska Novrianti.FSH.pdf

9

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Maka, karena menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah)

adalah sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Agama Islam, maka sudah

menjadi keharusan bahwa Negara Republik Indonesia juga berkewajiban

untuk melindungi kemerdekaan umat Islam di Indonesia serta memberikan

penjaminan, perlindungan dan dukungan fasilitas bagi umat Islam untuk

dapat menerapkan dan atau menjalankan syari’at Islam-nya itu secara

menyeluruh/kaffah karena syari’at Islam merupakan salah satu bentuk

ibadah bagi umat Islam di negara Republik Indonesia ini.

4. Bahwa apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk

menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam-nya secara

menyeluruh (kaffah), itu sama saja dengan membatasi dan atau melarang

umat Islam untuk dapat beribadah dan patuh pada ajaran agamanya.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.

5. Bahwa inti ajaran Agama Islam adalah beriman dan bertakwa kepada Allah

SWT, dan agar menjadi umat yang Beriman dan Bertakwa, umat Islam

harus menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh,

(sebagaimana telah dijelaskan di atas). Maka jelaslah bahwa benar bisa

dibilang Agama Islam itu adalah hukum agama (syari’at) Islam itu sendiri. Jadi, apabila negara membatasi umat Islam untuk menegakkan

hukum agama (syari’at) Islam-nya secara menyeluruh dan total, hal tersebut

sama juga artinya bahwa negara telah membatasi umat Islam dalam

memeluk agamanya.

Tentu hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Hak beragama adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

6. Padahal umat pemeluk agama lain (non muslim) dalam kehidupan

beragamanya untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan mereka tidak

diintervensi oleh negara, sedangkan Pemohon dan seluruh umat Islam di

Page 98: Siska Novrianti.FSH.pdf

10

Indonesia untuk menjalankan perintah Tuhan kami (yaitu menegakkan

syari’at Islam secara menyeluruh) agar dapat mencapai tingkatan takwa,

dengan nyata telah dibatasi oleh negara. Maka jelaslah hal ini merupakan

sebuah bentuk diskriminasi negara kepada umat Islam yang hidup di

Indonesia.

Dan tentu saja hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945, yang menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak bebas

dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

7. Bahwa umat Islam saat ini tahu betul bahwa negara Indonesia ini bukan

negara Islam, melainkan hanya negara yang menjamin tiap-tiap penduduk

agar dapat beribadat sesuai agamanya masing-masing saja. Sesuai anjuran

Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 4-6 yang telah dijelaskan di atas, maka

Negara seharusnya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam, tentunya

hanya untuk umat Islam saja, dan dipersilahkan juga kepada Negara untuk

menegakkan syari'at agama yang lainnya juga (jika dimungkinkan), dengan

ketentuan hanya untuk pemeluknya saja.

8. Bahwa dalam kenyataannya sampai saat ini, Negara Republik Indonesia

memang telah mengakomodir kebutuhan umat beragama khususnya bagi

umat Islam yang ada di Negara Republik Indonesia ini, yaitu dengan telah

menegakkannya hukum agama (syari’at) Islam pada lembaga Peradilan

Agama. Dengan dibuat dan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3400), yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4611).

Akan tetapi Negara hanya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam

dalam cakupan perkara tertentu saja yaitu dalam bentuk Hukum Perkara

Perdata tertentu saja, seperti yang telah terkutip dalam:

Page 99: Siska Novrianti.FSH.pdf

11

Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang

kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006) pada

pasal yang sama, yang berbunyi:

”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang:

a) Perkawinan

b) Waris

c) Hibah

d) Wakaf

e) Zakat

f) Infaq

g) Shadaqah; dan

h) Ekonomi syari’ah;

Yang kemudian diperkuat dengan penjelasannya dalam Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400 (Penjelasan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang kemudian diubah

oleh Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611

(Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) yang

menyatakan bahwa:

“Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku

kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan

keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang

yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah”;

SARAN/USULAN

Bahwa setelah Pemohon mempelajari UU tentang Peradilan Agama dengan

seksama, selain menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 49 ayat (1),

Page 100: Siska Novrianti.FSH.pdf

12

Pemohon juga sebenarnya menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 1

ayat (1), dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, karena isinya bertentangan dengan UUD 1945.

Namun dikarenakan Pemohon merasa tidak dirugikan dengan berlakunya

kedua pasal tersebut, maka kedua pasal tersebut tidak diikutsertakan dalam

permohonan uji materiil ini.

Akan tetapi, dikarenakan apabila kedua pasal tersebut juga ikut diubah dan

atau diperbaiki oleh negara, maka akan semakin menguatkan permohonan uji

materiil yang diajukan Pemohon ini. Maka dengan ini Pemohon hanya

mencantumkannya sebagai sebuah saran/usulan untuk negara, dan seraya

berharap kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk berkenan ikut

menyetujui dan/atau mendukung saran/usulan Pemohon ini, yang uraiannya

sebagai berikut :

1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara beragama, yaitu

negara yang menganut beberapa agama, diantaranya: Agama Islam,

Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Maka untuk menghindari adanya peng-eksklusif-an salah satu agama

tertentu, maka syari’at agama yang lainnya juga harus ditegakkan

(bilamana diperlukan), pada Lembaga Peradilan Agama Indonesia.

Tentunya syari’at Agama tersebut haruslah ditujukan hanya bagi

pemeluknya saja. Contohnya: Syari’at Islam ditegakkan hanya untuk umat

muslim saja. Begitupun dengan syari’at agama yang lainnya juga

ditegakkan hanya untuk umat pemeluk agamanya masing-masing saja.

2. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara beragama yang

menganut beberapa agama, yaitu Agama Islam, Kristen Protestan,

Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Maka untuk menghindari adanya

peng-ekslusif-an agama tertentu, dengan ini Pemohon menyampaikan

saran/usulan sebagai berikut:

1) Bahwa semestinya lembaga Peradilan Agama juga ditujukan untuk

menegakkan seluruh Ajaran Agama, Aturan Agama, Norma Agama,

Page 101: Siska Novrianti.FSH.pdf

13

Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau Hukum Agama (syari’at)

yang ada di Negara Republik Indonesia ini, dan tentu saja ditegakkan

hanya untuk para pemeluk agamanya masing-masing saja.

Atau setidaknya minimal negara memberikan jaminan dan atau payung

hukum yang intinya adalah bahwa negara tidak menutup celah (tidak

melarang) kemungkinan bagi umat beragama selain umat Islam

(bilamana diperlukan) untuk menegakkan Ajaran Agama, Aturan

Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau

Hukum Agama (syari’at)-nya di Peradilan Agama Indonesia. Karena

Peradilan Agama sebagai lembaga publik dan/atau fasilitas yang

dibangun oleh negara, maka tidak boleh dikhususkan atau di-eksklusif-

kan hanya bagi golongan, suku, atau agama tertentu saja.

2) Bahwa untuk menghindari adanya kesan meng-eksklusif-kan umat

Islam. Maka mengenai teknis pelaksanaan dalam penegakan hukum

agama (syari’at) Islam (bilamana Permohonan Uji Materiil ini

dikabulkan), sebaiknya negara tidaklah perlu sampai harus membentuk

satuan polisi khusus seperti Polisi Syari’ah. Akan tetapi, hanya perlu

membentuk sebuah ”Komisi Penegakan Agama” seperti halnya

KOMNAS HAM, KPI, KPAI ataupun KPK yang diberi kewenangan

untuk menindak atau menjerat umat Islam yang bertindak atau

melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam

dan/atau juga oknum umat beragama yang lain yang melakukan

perbuatan yang tidak sesuai ajaran agamanya (itu pun dimungkinkan

kalau apabila negara berkenan merealisasikan saran/usulan Pemohon

pada poin yang pertama di atas).

Dan,

3. Bahwa apabila ada salah satu agama tertentu merasa tidak membutuhkan,

atau ajaran agamanya tidak menuntut umatnya untuk menerapkan Ajaran

Agama, Aturan Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan

Agama dan/atau Hukum Agama (syari’at) pada Lembaga Peradilan Agama

Indonesia. Maka, sudah bukan menjadi urusan negara lagi.

Page 102: Siska Novrianti.FSH.pdf

14

VI. PETITUM

Bahwa, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini

memohon agar sudi kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan

wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal

10 ayat (1) juncto Pasal 45 juncto Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa, mengadili,

dan memutus permohonan Pemohon yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2) Menyetujui saran/usulan Pemohon;

3) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta

penjelasannya adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan Pasal 28E

ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta

penjelasannya adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya.

Di samping itu Pemohon telah mengajukan perbaikan permohonan dan

menyampaikan dalam persidangan pemeriksaan perbaikan permohonan pada

tanggal 31 Juli 2008 yang pada pokoknya sebagaimana tercantum dalam

kesimpulan Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: secara umum, Pemohon tidak

berniat untuk merubah ataupun mengganti Permohonan Uji Materiil

sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni

2008, sehingga tetap menjadikan permohonan tersebut sebagai acuan

utama Pemohon untuk meneruskan permohonannya.

Page 103: Siska Novrianti.FSH.pdf

15

2. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: akan memperbaiki, merubah,

dan mengganti Petitum Pemohon yang telah tercantum pada Permohonan

Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per

tanggal 26 Juni 2008, dan menyatakan Petitum tersebut (sebelum

perbaikan) tidak berlaku lagi.

3. Bahwa dengan segala keterbatasannya, Pemohon menyatakan masih

optimis, yakin dan percaya diri dengan kemampuan dan kualifikasi

Pemohon, sebagaimana telah dipersyaratkan UU tentang Mahkamah

Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Dan menyatakan

kualifikasinya cukup dalam bidang Ilmu Agama maupun Hukum, jika

hanya untuk sekedar mengajukan Permohonan Uji Materiil sebagaimana

telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008.

Meskipun tidak lebih.

4. Bahwa Pemohon ingin menyatakan: tidak punya niat sedikitpun untuk

mengundurkan diri ataupun mencabut kembali Permohonan Uji Materiil

sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni

2008. dan (Insya Allah) akan siap sedia menghadiri setiap sidang yang

dijadwalkan Mahkamah Konstitusi.

[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya

Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang diberi meterai cukup dan

diberi tanda P - 1 sampai dengan P-13 sebagai berikut:

Bukti P-1 : Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani;

Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen

(dalam satu naskah);

Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama;

Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama;

Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Kabupaten Serang;

Bukti P-6 : Fotokopi Artikel “Membumikan Syari’at Islam di Pesantren”, dimuat

Radar Banten, 8 Juli 2006;

Page 104: Siska Novrianti.FSH.pdf

16

Bukti P-7 : Fotokopi buku Penerapan Syari’ah Islam: Bercermin pada Sistem

Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi, hal. 26-29. Buku ditulis Drs. Husnul

Khatimah, dan diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta;

Bukti P-8 : Fotokopi Juz ‘Amma dan Terjemahannya, hal. 18. Surat Al-Kafirun

ayat 4-6. Diterbitkan oleh CV. Wicaksana, Semarang;

Bukti P-9 : Fotokopi Al Qur’an, Surat Al-Maaidah;

Bukti P-10 : Fotokopi Al-Qur’an, Surat Al-Hajj;

Bukti P-11 : Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika

Kehidupan Berbangsa;

Bukti P-12 : Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi

Indonesia Masa Depan;

Bukti P-13 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah

untuk menguji Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama beserta Penjelasan pasal tersebut (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006,

Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611,

selanjutnya disebut UU Peradilan Agama) terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh substansi

atau pokok permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut

Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Page 105: Siska Novrianti.FSH.pdf

17

1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo;

2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk diterima

sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;

Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara

lain, bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 12

ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dan Pasal 10 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK).

[3.4] Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon

adalah permohonan pengujian undang-undang, Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan

Agama beserta Penjelasan atas pasal tersebut terhadap UUD 1945, maka

berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah

menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo.

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa dalam permohonan pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima

kedudukan hukumnya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, Pasal 51 ayat

(1) UU MK menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-

undang, yaitu:

Page 106: Siska Novrianti.FSH.pdf

18

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

[3.6] Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak

dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, maka orang

atau pihak dimaksud haruslah:

a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara

Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga

negara;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi

sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya

undang-undang yang dimohonkan pengujian;

[3.7] Menimbang bahwa, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31

Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan

putusan-putusan selanjutnya, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk

dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus

dipenuhi syarat-syarat:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual

atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

Page 107: Siska Novrianti.FSH.pdf

19

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi;

[3.8] Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian

atas norma undang-undang yang bersifat umum, bukan berupa hak yang bersifat

privat (subjektief-recht), meskipun yang mengajukan permohonan adalah

perorangan. Dengan demikian, dalam setiap pengujian undang-undang, yang

dimaksud dengan kerugian konstitusional yang tidak akan atau tidak lagi terjadi

sebagaimana dimaksud dengan huruf e di atas, harus diartikan bahwa:

a. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu tidak ada

maka Pemohon tidak akan pernah mengalami kerugian hak konstitusional;

b. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian ditiadakan

maka kemungkinan kerugian bagi pihak-pihak lain tidak akan terjadi.

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian Pemohon di atas, maka dalam

menilai apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) menurut

Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah harus mempertimbangkan dua hal, yaitu:

a. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dapat

dikualifikasi sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia

sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dirugikan hak

konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama;

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51

ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sesuai

dengan uraian Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang

diajukan;

[3.11] Menimbang bahwa Pemohon telah mendalilkan yang pada pokoknya,

telah dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama

Page 108: Siska Novrianti.FSH.pdf

20

yang berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;

f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena Pemohon sebagai

perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 49

ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasannya, adalah bertentangan

dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945:

• Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih

pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara

dan meninggalkannya, serta berhak kembali";

• Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi, " Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun." Ayat (2) yang berbunyi,

"Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu ";

• Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha

Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu".

Dikatakan bertentangan dengan konstitusi karena hak dan/atau kewenangan

konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran

agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan

mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam,

telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut.

[3.12] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 31 Juli 2008 Mahkamah

telah memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan ahli dan/atau

saksi namun Pemohon menyampaikan tidak mempergunakan kesempatan untuk

mengajukan ahli dan/atau saksi dalam perkara ini.

Page 109: Siska Novrianti.FSH.pdf

21

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian

permohonan serta dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang

diajukan, berkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah

berpendapat:

1. bahwa Pemohon telah memenuhi syarat subjek sebagaimana diatur dalam

Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yakni sebagai perorangan warga negara;

2. bahwa secara prima facie Pemohon telah memenuhi syarat kerugian

konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-IlI/2005

tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-V/2007

tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, yakni:

a. bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal

28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;

b. bahwa Pemohon menganggap sebagai warga negara yang beragama Islam

yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 49

ayat (1) UU Peradilan Agama karena merasa dibatasi kebebasannya untuk

melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap (kaffah);

c. bahwa kerugian konstitusional dimaksud meskipun tidak secara spesifik dan

aktual tetapi setidak-tidaknya secara potensial akan terjadi;

d. bahwa kerugian konstitusional dimaksud memang disebabkan oleh

berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasan

pasal tersebut;

e. bahwa jika permohonan Pemohon dikabulkan, potensi kerugian

konstitusional seperti yang didalilkan oleh Pemohon tidak akan atau tidak

lagi terjadi.

[3.14] Menimbang, selanjutnya, sepanjang mengenai kerugian hak

konstitusional Pemohon dan inkonstitusionalitas Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan

Agama, Mahkamah akan mempertimbangkan dan memberi penilaian bersama-

sama dengan pertimbangan mengenai pokok permohonan berdasarkan

keterangan Pemohon dan bukti-bukti Pemohon yang diajukan di persidangan.

Page 110: Siska Novrianti.FSH.pdf

22

Pokok Permohonan

[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah

merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama

dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi,

”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat;

g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon

untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi

umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut

ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui

UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah

berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang

berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam

Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.

• Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi”;

• Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan,

dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur

dengan undang-undang”.

Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan

kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan

yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD

1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum

acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945

diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undang-

undang.

Page 111: Siska Novrianti.FSH.pdf

23

[3.16] Menimbang bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan

ketidaksesuaian. Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat

(1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan

di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup

kompetensinya diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum

pidana (jinayah). Terhadap permohonan yang demikian, Mahkamah berpendapat

bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan

Agama sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama,

karena Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10

UU MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan

tidak mengikat secara hukum apabila telah terbukti undang-undang tersebut

bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pengujian materil maupun formil.

Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali

tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau menjadi positive legislator.

[3.17] Menimbang selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat

(1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menurut

Pemohon merugikan hak konstitusionalnya sebagaimana telah dijamin oleh

konstitusi khususnya Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29

ayat (1) dan (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah

berpendapat bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945

sebagaimana dikutip di atas jelas menunjukkan bahwa Peradilan Agama

merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang

menegakkan hukum dan keadilan, yang ruang lingkup dan batas kompetensinya

ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, pengaturan Pasal 49 ayat (1) UU

Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.18] Menimbang, Pemohon mendalilkan pula bahwa hukum Islam dengan

semua cabangnya termasuk hukum pidana (jinayah) harus diberlakukan di

Indonesia karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Bahkan Pemohon juga mendalilkan bahwa setiap penganut agama

yang sah di Indonesia dapat meminta kepada negara untuk memberlakukan

hukum agamanya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, Pemohon juga

mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan

Page 112: Siska Novrianti.FSH.pdf

24

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi,

"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar

apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

diskriminatif itu". Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat

bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia

mengenai hubungan antara negara dan agama. Indonesia bukan negara agama

yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan

negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan

urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah

negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk

agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Dalam

hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin

keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi

beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional

dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu

bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran

besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika

masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka

dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional,

tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain

hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun

menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi

salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal.

Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan

sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional.

[3.19] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1)

UU Peradilan Agama bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1)

dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut

Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama

sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk

agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E

Page 113: Siska Novrianti.FSH.pdf

25

ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sehingga

dalil Pemohon tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

4. KONKLUSI

Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan fakta dan

hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan

Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan

(2) UUD 1945;

[4.2] bahwa oleh karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak

beralasan, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.

5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316),

maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945,

Mengadili,

Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, oleh sembilan

Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal delapan bulan Agustus tahun dua ribu

delapan, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk

umum pada hari ini Selasa dua belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan,

oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap

Anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono,

Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukthie

Fadjar, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN

Page 114: Siska Novrianti.FSH.pdf

26

sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah atau

yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Jimly Asshiddiqie

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Moh. Mahfud MD

ttd.

HM. Arsyad Sanusi

ttd.

Muhammad Alim

ttd.

H. Harjono

ttd.

H. Abdul Mukthie Fadjar

ttd.

H.A.S. Natabaya

ttd.

I Dewa Gede Palguna

ttd.

Maruarar Siahaan

PANITERA PENGGANTI,

ttd. Fadzlun Budi SN

Page 115: Siska Novrianti.FSH.pdf

Lampiran

Tabel 1

Materi Hukum Pidana Islam yang telah dilegalisasi oleh wilayah Nanggroe Aceh

Darussalam

No Tindak Pidana Sanksi Peraturan Pelaksana

1.

Bidang Aqidah

Setiap orang yang

menyebarkan paham atau

aliran sesat dan orang yang

sengaja keluar dari aqidah dan

atau menghina atau

melecehkan agama Islam.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman penjara

maksimal 2 tahun atau

Cambuk maksimal 12

kali.1

Qanun No 11 Th 2002

tentang Pelaksanaan

Syari’at Islam Bidang

Aqidah, Ibadah dan

Syi’ar Islam

Bidang Ibadah

Setiap orang tanpa uzur syar’i

tidak menunaikan solat jum’at.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman penjara

maksimal 6 bulan atau

cambuk maksimal 3

kali.2

Setiap Perusahan

pengangkutan umum yang

tidak memberi kesempatan

dan fasilitas kepada pengguna

jasa untuk melaksanakan solat

fardhu.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman pencabutan

izin usaha.3

1 Pasal 20 ayat (1) (2) Qanun No 11 Tahun 2002

2 Pasal 21 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002

3 Pasal 21 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002

Page 116: Siska Novrianti.FSH.pdf

Setiap orang yang

menyediakan fasilitas/ peluang

kepada orang muslim yang

tidak ada uzur syar’i untuk

tidak berpuasa pada bulan

Ramadhan.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman penjara

maksimal 1 tahun

atau denda maksimal

3 juta rupiah atau

cambuk maksimal 6

kali atau pencabutan

izin usaha.4

Qanun No 11 Th 2002

tentang Pelaksanaan

Syari’at Islam Bidang

Aqidah, Ibadah dan

Syi’ar Islam

Setiap orang yang makan atau

minum di tempat umum pada

siang hari di bulan Ramadhan.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman penjara

maksimal 4 bulan atau

hukuman cambuk

maksimal 2 kali.5

Bidang Syi’ar

Setiap orang yang tidak

berbusana Islami yaitu pakaian

yang menutup aurat yang tidak

tembus pandang, dan tidak

memperlihatkan bentuk tubuh.

Sanksi Ta’zir setelah

melalui proses

peringatan dan

pembinaan oleh

Wilayatul Hisbah.6

2.

Khamar

Setiap orang yang

mengkonsumsi khamar.

Sanksi Hudud berupa

hukuman 40 kali

cambuk.7

Qanun No 12 Tahun

2003 tentang Minuman

Khamar dan Sejenisnya

Setiap orang/badan

hukum/badan usaha yang

membantu dalam dan atau

memproduksi, menyediakan,

Sanksi Ta’zir berupa

kurungan maksimal 1

tahun,paling singkat 3

bulan,dan atau denda

44

Pasal 22 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002 5 Pasal 22 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002

6 Pasal 23 Qanun No 11 Tahun 2002

7 Pasal 26 ayat (1) Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

Page 117: Siska Novrianti.FSH.pdf

menjual,memasukkan,mengeda

rkan,menyimpan, menimbun,

memperdangkan dan

mempromosikan minuman

khamar dan sejenisnya.

maksimal 75 juta,

minimal 25 juta.8

3.

Maisir (Perjudian)

Setiap orang yang melakukan

perbuatan masir.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman cambuk

maksimal 12 kali dan

minimal 6 kali.9

Qanun No 13 Tahun

2003 tentangMaisir

(Perjudian) dan

Sejenisnya

Setiap orang/badan hukum

/badan usaha yang

menyelenggarakan dan atau

memberikan fasilitas kepada

orang lain untuk melakukan

perbuatan maisir/menjadi

pelindung terhadap perbuatan

maisir.

Sanksi Ta’zir berupa

denda maksimal 35

juta minimal 15 juta.10

4.

Khalwat (Perbuatan Mesum)

Setiap orang yang melakukan

(khalwat). Sedang Khalwat/

mesum adalah perbuatan yang

dilakukan oleh dua orang yang

berlawanan jenis atau lebih,

tanpa ikatan nikah atau bukan

muhrim pada tempat tertentu

yang sepi yang memungkinkan

terjadinya perbuatan maksiat di

bidang seksual atau yang

berpeluang pada tejadinya

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman cambuk

Maksimal 9 kali,

paling sedikit 3 kali

atau denda maksimal

10 juta minimal

2,5 juta.11

Qanun No 14 Tahun

2003 tentang Khalwat

(Perbuatan Mesum)

8 Pasal 26 ayat (2) Qanun No 12 Tahun 2003

9 Pasal 23 ayat (1) Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir(Perjudian)dan Sejenisnya

10 Pasal 23 ayat (2) Qanun No 13 Tahun 2003

11 Pasal 22 ayat (1) Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwa (Perbuatan Mesum)

Page 118: Siska Novrianti.FSH.pdf

perbuatan perzinaan.

Setiap orang atau kelompok

masyarakat, atau aparatur

pemerintahan dan badan usaha

yang memberikan fasilitas

kemudahan dan/atau

melindungi orang melakukan

khalwat /mesum.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman kurungan

Maksimal 6 bulan,

Paling singkat 2 bulan

dan atau denda

Maksimal 15 juta

minimal 15 juta.12

5.

Pengelolaan Zakat

Setiap orang yang tidak

membayar zakat /membayar

tapi tidak menurut yang

sebenarnya.

Sanksi Ta’zir berupa

Denda maksimal 2

kali nilai zakat yang

wajib dibayarkan.13

Sanksi Ta’zir berupa

Qanun No 7 Tahun

2004 tentang

Pengelolaan Zakat

Setiap orang yang membuat

surat palsu/memalsukan surat

Badan Baitul Mal.

hukuman cambuk

Maksimal 3 kali

Minimal 1 kali.14

Setiap orang/badan yang

melakukan,

Atau membantu penggelapan

zakat.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman cambuk

Maksimal 3 kali

Minimal 1 kali, dan

Denda maksimal 2

kali minimal 1 kali

dari nilai zakat yang

di gelapkan.15

Setiap petugas Baitul Mal yang

melakukan penyelewengan

zakat.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman cambuk

Maksimal 4 kali

Minimal 2 kali.16

12

Pasal 22 ayat (2) Qanun No 14 Tahun 2003 13

Pasal 37 Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat 14

Pasal 38 Qanun No 7 Tahun 2004 15

Pasal 39 Qanun No 7 Tahun 2004

Page 119: Siska Novrianti.FSH.pdf

6.

Lembaga Baitul Mal

Setiap orang yang memalsukan

surat Baitul Mal yang dapat

mengakibatkan gugurnya

kewajiban membayar zakat.

Sanksi Ta’zir berupa

Denda maksimal 3

Juta minimal 1 juta

atau hukuman

Kurungan maksimal 3

bulan minimal 1

Bulan.17

Qanun No 10 Tahun

2007 tentang Baitul

Mal

setiap orang/badan yang

melakukan atau membantu

penggelapan zakat.

Sanksi Ta’zir berupa

hukuman cambuk

Maksimal 3 kali

Minimal 1 kali, dan

Denda maksimal 2

kali minimal 1 kali

dari nilai zakat yang

di gelapkan.18

Setiap petugas Baitul Mal yang

melakukan penyelewengan

zakat.

Sanksi Ta’zir

berupadenda minimal

1 juta maksimal 3 juta

atau hukuman

kurungan minimal 2

bulan atau maksimal 6

bulan dan membayar

kembali kepada Baitul

Mal senilai zakat atau

harta agama yang

diselewengkan.19

16

Pasal 40 Qanun No 7 Tahun 2004 17

Pasal 51 Qanun No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 18

Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2007 19

Pasal 53 Qanun No 10 Tahun 2007