Siska Novrianti.FSH.pdf
Transcript of Siska Novrianti.FSH.pdf
WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM
KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Siska Novrianti
NIM.1110045100002
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM
KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAII AGAMA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
Siska Novrianti
NrM. 1110045100002
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing
Drs. M. Arskal Salim GP. MA. Ph.D
NIP. 19700901 199603 1003
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
t43s Ht20t4 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SkTipsibeljudul..WACANAPE,MBERLAKUANHUKUMPIDANAISLAMDALAM K'MpETENSI ABSOLUT pERADILAN AGAMA (Anarisis putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)" telah diujikan dalry.sldanq
Munaqasyah pakuttas syari'ah dan Hukum universitas Islam Negeri (UIN).Syarif
Hidayatullah Jakarla p,idu zz Juni 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat m"mperoleh gelar Sarjana SyariahlS.Sy) pada Program Studi Jinayah
Siyasah, Konsentrasi Pidana Islam'
hkarta,28 Jwi20t4
Mengesahkan,
o.f.aq fEku,lt|#iaf 'ah dan Hukum
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pernbimbing :
4. Penguji I
PANITIA UJIAN
: Dr. Asmalvi. M.AsNIP. 1972 10101997031008
: Afwan Faizin. M.ANIP. 197210262003121001
: Dr. Rumadi. M.AeNIP. 196903041997031012
: Afwan Faizin. M.ANIP. 1972 10262003121001
")l l\'l lvlllsllllllll. lYl,{q680812 199903 l0 l4
Drs. M. Arskal Salim GP.lNrP. 19700901 r99603 1003
5. Penguji II
ABSTRAK
Siska Novrianti, NIM 1110045100002, “WACANA PEMBERLAKUAN
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT
PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
19/PUU-VI/2008) ”, Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M, x
halaman + 78 halaman+ halaman lampiran. Pemberlakuan hukum pidana Islam
masih terus diwacanakan di tengah-tengah masyarakat Plural Indonesia. Salah
satunya adalah permohonan judicial review UU Peradilan agama kepada
Mahkamah Konstitusi terkait kompetensi absolut Peradilan Agama. Skripsi ini
bertujuan untuk menguraikan bagaimana putusan MK tersebut dan untuk
mengetahui pemberlakuan sejumlah aspek hukum pidana Islam yang ada di
Indonesia serta bagaimana peluang pemberlakuan hukum pidana Islam di
Indonesia melalui analisis putusan MK No. 19/PUU-VI/2008. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan teknik
pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait
dengan topik penelitian. Serta menggunakan kerangka teori analisis Din
Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia dan juga menggunakan
pendekatan-pendekatan politik hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
sejumlah aspek pemberlakuan hukum pidana Islam pernah diberlakukan dalam
sejarah bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga pasca kemerdekaan. Dan
bahwa Indonesia sebagai negara dengan paradigma relasi agama-negara
Simbiotiknya membuka peluang pemberlakuan hukum pidana Islam untuk masuk
ke dalam sistem hukum nasional dalam hal ini lembaga Peradilan Agama sebagai
Institusi penegak hukumnya. Yang mana hal ini tentu sangat bergantung kepada
proses-proses politik di Indonesia.
Kata Kunci : Hukum Pidana Islam, Putusan Mahkamah Konstitusi No.
19/PUU-VI/2008, Undang-undang
Pembimbing : Drs. M. Arskal Salim GP, MA. Ph.D
Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d Tahun 2013
LEMBAR PBRNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (LIIN) Syarif
Hidayafullah Jakarta.
Siska Novrianti
1.
2.
a-'t -
vi
بسم ا اهلل ا الر حمن ا لر حيم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT. Dialah sumber dari segala kekuatan yang memampukan penulis dalam
menyelesaikan skripsi yang berjudul “WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM
PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”. Shalawat
serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat dan pengikutnya yang telah membawa umat manusia
menuju zaman yang terang benderang.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA.
2. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Dr. JM Muslimin, MA.
3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. Serta
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Afwan Faizin, M.A.
4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Drs. M. Arskal Salim GP, MA, Ph.D,
yang telah membimbing, mendukung dan mengajarkan penulis dalam
vii
membuat sebuah karya tulis ilmiah yang baik, serta respon beliau yang
ramah dan mau mendengar segala pendapat maupun keluhan terkait skripsi
penulis.
5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan kontribusi langsung kepada
penulis dalam penyelesaian karya tulis.
6. Kepada Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. Rumadi yang telah
memberi masukan judul skripsi dan kepada Bapak Dr. Khamami Zada yang
juga telah membantu memberikan referensi skripsi penulis, serta para dosen
Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis.
7. Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih yang begitu teristimewa
kepada ayahanda Ramadhan Tanjung dan ibunda Rosnani yang telah
mencurahkan hampir seluruh hidup mereka dalam mendidik penulis
menjadi manusia yang InsyaAllah akan dapat menjadi aset kebahagiaan
mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Serta kedua kakak penulis, Arni
Rosmadhani dan Putri Nandasari yang juga telah memberikan dukungan
moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga tentu tidak lupa
kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan doa dan
dukungannya.
8. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman,
sahabat-sahabat terbaik yang berada dalam Unit Kegiatan Mahasiswa
Foreign Language Association (FLAT), KKN DEFOS 2013, tidak lupa
kepada Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum, serta
viii
tentunya kepada All Crew NAPI (aNAk-anak Pidana Islam 2010) yang terus
memotivasi penulis menjadi salah satu mahasiswi “terbanyak nanya” pada
saat mata kuliah berlangsung. Terlebih kepada para sahabat-sahabat yang
tidak bisa diucapkan satu persatu yang selalu membantu penulis dalam
menuntut ilmu di kampus ini. Semoga kita semua dapat meraih masa depan
yang gemilang kelak. Juga penulis ucapkan terimakasih atas doa dan
dukungannya dari adik-adik kelas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
mengenal penulis.
9. Ucapan terimakasih penulis yang terakhir, tentunya kepada pihak-pihak
yang mengenal penulis dan tidak bisa penulis uraikan satu persatu.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb
Jakarta, 15 Mei 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Manfaat penelitian 6
D. Tinjauan Pustaka 8
E. Metode Penelitian 12
F. Sistematika Pembahasan 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA 16
A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia 16
B. Istilah Hukum Pidana Islam 21
BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
DI INDONESIA 28
A. Pada Masa Kerajaan Aceh 28
B. Pada Masa Kolonial Belanda 35
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan 39
x
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
19/PUU-VI/2008 TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT
PERADILAN AGAMA 45
A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi 45
B. Duduk Perkara 48
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi 51
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi 53
E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 69
B. Rekomendasi 70
DAFTAR PUSTAKA
SALINAN PUTUSAN
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).1 Karena Pancasila harus
diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum
Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu pokok
dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of
Religion atau kebebasaan beragama.2 Ini sejalan dengan apa yang telah
diamanatkan oleh UUD NRI 1945 bahwa negara telah menjamin kemerdekaan
warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masing-
masing.3
Lebih dari itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar
di dunia. Namun uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam4. Meskipun
demikian, masyarakat Muslim Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk
memberlakukan ketentuan hukum perdata Islam di tengah masyarakatnya.
Kedudukan hukum Islam dalam bidang keperdataan telah terjalin secara luas
dalam hukum positif. Baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau
sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-
1 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h. 91.
2 Ibid, h. 93.
3 Lihat Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
4 A. Ubaedillah, Dkk, Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III,
(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 97.
2
undangan ataupun yang tercakup dalam lingkup substansial dari Undang-
undang Peradilan Agama.5
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan
peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan yang ruang
lingkup dan batas kompetensinya telah ditentukan oleh Undang-Undang.6
Maka dari itu Peradilan Agama sering dikenal sebagai lembaga pencari
keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.7
Dari catatan sejarah yang terpencar-pencar, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan Peradilan Agama di Indonesia telah dimulai sejak berdirinya
berbagai kerajaan Islam.8 Awal eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu
badan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mulai terlihat setelah
disahkan dan diundangkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kemudian menyusul UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.9
5 A.Malik Fajar,”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan
Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin, ed., Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001), h. 15. 6 Lihat Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7 Lihat Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
8 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan
dan prospeknya, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 133. 9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997), h. 43.
3
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa
penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, melainkan
juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah, dengan mengesahkan
undang-undang itu, semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai
salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air
kita.10
Hal ini juga merupakan langkah awal pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia melalui hukum positif.
Namun sampai pada masa Orde Baru, kewenangan yang dimiliki
Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan
umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga; nikah, cerai/talak, waris,
wasiat dan wakaf. Hingga memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama
mendapat kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan
bidang; zakat, infaq, sedekah serta Ekonomi Syariah.11
Namun tidak
menyangkut bidang hukum pidana Islam (Jinayah).
Mengingat keterbatasan wewenang tersebut, rupanya ada pemikiran
dan inisiatif dari warga negara Indonesia yang mencoba melakukan perluasan
wewenang Peradilan Agama dalam bidang hukum pidana Islam (Jinayah).
Meskipun hukum pidana Islam masih dapat diakui secara konstitusional
sebagai hukum, namun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat
ini adalah yang terkandung dalam KUHP. Sebagai contoh, dalam hukum
pidana Islam ada ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah
10
K.H Abdurrahman Wahid, dkk, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), h. 77. 11
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta:Kencana, 2008) h. 13.
4
menikah. Apabila hukuman rajam itu dilakukan tanpa adanya payung hukum
berupa perundang-undangan yang mengaturnya dan tanpa institusi penegak
hukum yang sah, maka jika dilihat dari dari tinjauan politik hukum, eksekusi
rajam tersebut dapat dianggap melanggar hukum positif. Oleh karna itu
berbagai macam cara dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk mewujudkan
hukum pidana Islam di Indonesia. Salah satu inisiatif untuk menjadikan hukum
pidana Islam ke dalam hukum positif adalah dengan mengajukan permohonan
Judicial Review terhadap pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama kepada
Mahkamah Konstitusi.
Untuk itu, dengan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk
melakukan suatu penelitian yang terkait bagaimana wacana pemberlakuan
hukum pidana Islam yang berkembang di Indonesia melalui analisis putusan
Mahkamah Konstitusi secara mendalam terkait undang-undang Peradilan
Agama. Hal ini akan penulis ungkap ke dalam sebuah penelitian skripsi yang
berjudul “Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi
Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
19/PUU-VI/2008)”
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis
perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan
perumusan masalah.
5
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam penelitian
ini penulis melakukan pembatasan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum Pidana Islam yang penulis maksud ialah hukum pidana Islam yang
juga merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yang berarti segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.12
Tindakan kriminal yang dimaksud
adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum
serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits.13
Hukum pidana Islam mengenal ada tiga macam
ketentuan pidana atau jarimah, istilah yang sekaligus juga menyebut nama
hukumannya yaitu hudud, qishahsh diyat dan ta’zir.14
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang penulis maksud ialah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 terkait permohonan Judicial
Review pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
12
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), h. 86. 13
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 1. 14
Jarimah Hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang
telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah. Jarimah hudud ada tujuh yaitu:
zina, qadzaf,minum khamr, mencuri, perampokan, murtad dan pemberontakan. Jarimah Qishas
Diyat adalah jarimah yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat, yaitu hukuman yang
telah ditentukan batasnya. Jarimah qishas diyat ada lima yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan
semi sengaja, pembunuhan karena alpa, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja.
Sedangkan jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancamkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang
diserahkan kepada penguasa. Kategori jarimah ta’zir adalah jarimah selain jarimah hudud dan
qishas diyat. Lihat A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
7.
6
3. Institusi Penegak Hukum yang penulis maksud ialah Lembaga Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Agama.15
Dalam hal ini tidak
termasuk Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan khusus dalam
Undang-undang peradilan agama.
Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dapat
diuraikan dalam skripsi ini menjadi 3 (tiga) sub masalah yaitu :
1. Apa saja aspek-aspek hukum pidana Islam yang sudah pernah diberlakukan
di Indonesia pada masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa
pasca Kemerdekaan ?
2. Bagaimana isi putusan MK No. 19/PUU-VI/2008 dan mengapa putusan
tersebut tidak dapat memperluas kompetensi Absolut Peradilan Agama
sebagaimana diharapkan pemohon judicial review ?
3. Mungkinkah suatu waktu nanti hukum pidana Islam dilaksanakan oleh
Peradilan Agama di masa depan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan merumuskan dan menjelaskan
bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama. Secara spesifik penelitian ini bertujuan :
15
Lihat pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama
7
a. Menjelaskan apa saja aspek-aspek hukum Pidana Islam di Indonesia yang
pernah diberlakukan pada masa kerajaan Aceh, masa kolonial Belanda
hingga masa pasca kemerdekaan;
b. Memberi gambaran isi dan menjelaskan mengapa putusan MK No. 19/PUU-
VI/2008 menolak wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam
komptensi absolut Peradilan Agama;
c. Menjelaskan prospek pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam di
Indonesia dari segi konstitusi khususnya pasca putusan judicial review yang
sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
civitas akademik terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam
kompetensi Absolut Peradilan Agama di indonesia.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
pembaca bahwasanya sejumlah aspek hukum pidana Islam suatu waktu di
masa lalu pernah berlaku dan diterapkan dalam sejarah bangsa Indonesia.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait prospek
pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut
Peradilan Agama di Indonesia.
8
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam
dalam kompetensi absolut Peradilan Agama telah dilakukan, baik yang secara
spesifik mengkaji isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum.
Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian yang
berkaitan dengan judul ini.
1. Karya Simon Butt, yang mengusung judul Islam, the State and the
Constitutional Court In Indonesia. Karya ini dimuat dalam Pacific Rim
Law and Policy Journal Association, Volume 19 No. 2 Tahun 2010. Hal
yang menarik dalam artikel ini yaitu Simon Butt juga membahas terkait
kasus Judicial Review Undang-undang Peradilan Agama pada tahun 2008.
Dalam kajiannya, Simon mengemukakan bahwa sedikitnya dukungan akan
partai-partai Islam di Indonesia menandakan bahwa kebanyakan masyarakat
Indonesia belum mengingkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh
negara. Meskipun ada sebagian masyarakat Indonesia yang mengharapkan
hukum Islam untuk sepenuhnya dapat diakomodir ke dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama termasuk di dalamnya hukum pidana Islam.
Melihat realitas seperti itu, Simon berpendapat bahwasanya sebagian
masyarakat Islam yang mengharapkan pemberlakuan hukum Islam secara
utuh oleh negara harus tekendala dengan kurangnya dukungan akan partai-
parta Islam dalam pemilihan umum. Yang mana partai-partai Islam tidak
akan mampu mereresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam
tersebut.
9
2. Karya M. Arskal Salim, GP, Ph.D, yang mengusung judul Politik Hukum
Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan
Prospek Masa Depan. Tulisan ini merupakan sub judul dari buku Pidana
Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam
sub bab ini adalah membahas mengenai prospek hukum pidana Islam di
Indonesia. Menurut Arskal Salim, peluang bagi masuknya aspek-aspek
hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional bergantung pada
bagaimana politik hukum pidana Islam di Indonesia. Arskal Salim
menambahkan, harus ada kesadaran hukum pidana Islam di kalangan umat
Muslim Indonesia jika memang hukum pidana Islam benar-benar ingin
diterapkan.
3. Karya Dr. Khamami Zada, yang mengusung judul Sentuhan Adat dalam
pemberlakuan Syariat Islam di Aceh dan dimuat dalam Jurnal Karsa Vol. 20
No. 2 Desember 2012. Artikel ini membahas mengenai akar pemberlakuan
hukum Jinayah (Hudud dan Kisas) di Aceh pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam. Dalam artikel ini nampak bahwa hukum pidana Islam yang
berlaku di Aceh tidaklah sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah.
4. Karya Ayang Utriza NWAY, yang mengusung judul Adakah Penerapan
Syari’at Islam di Aceh?. Tulisan ini dipublikasikan dalam Jurnal Tashwirul
Afkar No. 24 Tahun 2008. Tidak jauh berbeda dengan Khamami Zada di
atas, temuan pokok dalam artikel ini mencoba menguraikan bahwa hukum
pidana yang dipraktikkan di Aceh tidak sepenuhnya sesuai dengan
ketentuan syariah melainkan terkontaminasi dengan unsur-unsur lainnya.
10
5. Karya Nurrohman, yang mengusung judul Artikulasi Hukum Pidana Islam
dalam Ruang Publik: Tinjauan Politik Hukum Islam atas Kasus Rajam di
Ambon, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, dan Qanun
Jinayat di Aceh. Publikasi ini muncul dalam Jurnal Studi Islam, Volume 18
No.2 Tahun 2012. Dalam artikel ini disinggung mengenai kasus judicial
review Undang-undang Peradilan Agama yang juga merupakan wujud
artikulasi hukum pidana Islam dalam ruang publik. Nurrohman
mengemukakan bahwa artikulasi hukum pidana Islam haruslah sejalan
dengan sistem hukum di Indonesia yang bersumber pada Pancasila.
6. Karya Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja SH, MH, yang mengusung judul Posisi
Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks
Politik Hukum Indonesia. Tulisan ini juga merupakan sub judul dari buku
Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan
pokok dalam sub bab ini adalah bahwa Indonesia bukanlah negara Agama
yang mengacu pada satu agama tertentu dan juga bukan negara sekuler yang
memisahkan agama dari negara. Meskipun hukum pidana Islam tidak sesuai
dengan konteks kenegaraan Indonesia, artikel ini mengajukan pendapat
bahwa teori zawajir seyogyanya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pembaruan hukum pidana di Indonesia. Teori tersebut mengatakan bahwa
bila dengan hukuman minimal tujuan penghukuman dapat dicapai, maka
hukuman maksimal yang disebut dalam nash tidak perlu diterapkan.
7. Karya Dr. Abdul Ghani Abdullah, SH, yang mengusung judul Eksistensi
Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Tulisan ini
11
pun merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek dan Tantangan. Menurut Abdul Ghani, hukum pidana Islam tidak
dapat berdiri sendiri karena berkaitan dengan kepentingan yang pluralistik
sehingga tidak mungkin langkah anarkis menjadi alternatif. Oleh karena itu
kebijakan politik yang arif, jujur dan adil menjadi instrumen politik dalam
mengakomodasi cita dan kebutuhan hukum masyarakat Islam.
8. Karya Jaenal Aripin, yang mengusung judul Reformasi Kewenangan:
Optimalisasi Peran dan Fungsi Peradilan Agama yang merupakan sub
judul dari buku Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia. Temuan pokok penelitian ini menjelaskan bahwa kewenangan
yang selama ini diemban oleh Peradilan Agama, baik lama maupun baru
ternyata dimiliki bukan hasil dari by design dari pihak berwenang.
Melainkan disebabkan karena faktor kultural masyarakat ketimbang
perencanaan dan design dari pihak struktural. Temuan lain menjelaskan
bahwa kewenangan Peradilan Agama dalam hukum pidana Islam masih
belum memungkinkan untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di
Indonesia.
9. Karya M. Abdul Kholiq, Program Magister Universitas Diponegoro
Semarang, tahun 2001, Tesis : Kontribusi Hukum Pidana Islam dalam
Pembaruan Hukum Pidana Di indonesia. Temuan pokok penelitian ini
membahas mengenai sejauh mana hukum pidana Islam dapat masuk ke
dalam sistem hukum di Indonesia. Temuan lain dari penelitian ini juga
12
membahas mengenai deskripsi tentang istilah hukum pidana Islam, sumber
dan tujuan hukum pidana Islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum di kalangan para ahli hukum, dikelompokan
ke dalam dua model, pertama yaitu penelitian kualitatif, kedua yaitu penelitian
kuantitatif.16
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analitis untuk mengungkapkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek
penelitian.17
Penelitian ini juga mengacu pada norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-
norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penelitian kualitatif ini
menggunakan pendekatan studi kasus terhadap permohonan judicial review
yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Suryani. Pendekatan
studi kasus ini akan mendeskripsikan, menguraikan dan menganalisis
pemikiran dan argumen hukum para hakim MK yang dikemukakan dalam
proses persidangan sebagaimana tertuang dalam putusan akhir MK No.
19/PUU-VI/2008.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan/studi dokumenter. Studi kepustakaan merupakan upaya
16
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 98. 17
Ibid, h. 25.
13
pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek
dan masalah dalam suatu penelitian.18
Studi kepustakaan juga merupakan
metode yang digunakan dalam penelitian hukum normatif.19
Dalam penelitian
hukum normatif, lazimnya dikenal data sekunder.20
Dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan data sekunder tersebut nantinya meliputi :
1) Bahan Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Norma dasar
Pancasila, NRI UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-
VI/2008, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer serta dapat membantu menganalisis serta memahami
bahan hukum primer tersebut. Misalnya hasil-hasil penelitian terdahulu,
pendapat para hukum, hasil-hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium,
diskusi), buku-buku yang relevan dan lain-lain.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelas terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
indeks dan lain sebagainya.
3. Teknik Analisis Data
Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui studi kepustakaan ini
selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. Karena data yang berhasil
dikumpulkan bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak
18
Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17. 19
Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktik,(Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 50. 20
Soerjono Soekanto,Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 13.
14
dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikasi21
tetapi studi kasus dalam
penelitian kualitatif bisa disusun dalam tema-tema.
Dalam analisa putusan ini, penulis menggunakan kerangka teori yang
diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Dalam
penelitian ini juga ditekankan pada pendekatan teori politik hukum yang
diajukan oleh Mahfud MD untuk mencoba menguraikan mengapa hakim MK
menolak permohonan tersebut. Yang mana ini tentu tidak lepas dari paradigma
politik hukum yang menyatakan bahwasanya hukum sangat dipengaruhi oleh
politik.
F. Sistematika Pembahasan
BAB I Merupakan Bab Pendahuluan, di dalam bab ini diuraikan pokok-
pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang
diorganisir menjadi 6 (enam) sub bab, yaitu (1) latar belakang
masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan
manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian,
dan (6) sistematika Pembahasan.
BAB II Bertajuk Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana, yang
diorganisir menjadi 2 (Dua) sub bab, yaitu (1) Istilah hukum
pidana di Indonesia, (2) Istilah hukum pidana Islam.
BAB III Bertajuk Aspek-aspek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di
Indonesia, yang diorganisir menjadi 3 (Tiga) sub bab, yaitu (1)
21
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 168.
15
Hukum pidana Islam pada masa kerajaan Aceh, (2) Hukum
pidana Islam pada masa kolonial Belanda , (3) Hukum pidana
Islam pasca kemerdekaan.
BAB IV Bertajuk Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
19/PUU-VI/2008 Terkait Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana
Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama, yang
diorganisir menjadi 5 (Lima) sub bab, yaitu (1) Profil Singkat
Mahkamah Konstitusi, (2) Duduk Perkara, (3) Amar putusan
Mahkamah Konstitusi, (4) Analisis Putusan, (5) Prospek
pemberlakuan hukum Pidana Islam di Indonesia.
BAB V Merupakan Penutup, dalam bab ini disajikan pokok-pokok
temuan penelitian yang dihasilkan yang memuat kesimpulan dan
rekomendasi.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA
Meskipun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ialah
hukum pidana yang bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) peninggalan Belanda, namun hukum pidana Islam masih terus
diwacanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sebelum membahas inti dari
pokok permasalahan penelitian ini, penulis terlebih dahulu ingin menguraikan
istilah hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan hukum pidana Islam. Hal
tersebut mencakup sumber dan tujuan dari masing-masingnya. Karena jika
ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Bab ini
akan memberikan pemahaman untuk bab selanjutnya bahwasanya aspek-aspek
hukum pidana Islam telah terserap ke dalam sistem hukum nasional yang ada di
Indonesia.
A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia
1. Definisi Hukum Pidana
Seorang ahli hukum, Muljatno memberikan pengertian terhadap definisi
hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
17
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.1
Rupanya pengertian yang diajukan Moeljatno ini sangat luas maknanya,
sehingga CST Kansil mencoba mempersempit definisi hukum pidana itu
menjadi seperangkat hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran
dan kejahatan terhadap kepentingan umum, yang dimana perbuatan tersebut
diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.2
2. Sumber Hukum Pidana
Tidak diketahui dengan jelas apa sumber hukum pidana yang paling awal
di Indonesia. Pada mulanya, masyarakat Indonesia kebanyakan hidup menurut
hukum adatnya masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat
hukum adat dengan masyarakat adat lainnya. Menurut Andi Zainal Abidin,
sebelum datangnya penjajahan Belanda, hukum pidana yang berlaku adalah
hukum pidana adat (sebagian besar tidak tertulis) yang beraneka ragam yang
berlaku di masing-masing kerajaan di Nusantara.3
Kedatangan bangsa Belanda yang pertama kali mendarat di Banten
tahun 1596, secara berangsur-angsur mulai membawa perubahan. Bangsa
1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2002), h. 1.
2 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1979), h. 242. 3 Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama, (Bandung: Aumni,
1987), h. 77-78.
18
Belanda yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian digantikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1800, menguasai banyak wilayah
dan membuat peraturan-peraturan tertulis. Salah satu diantaranya adalah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Dengan demikian
KUHP yang digunakan di Indonesia sekarang ini pada dasarnya ialah
kodifikasi peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda. Kodifikasi tersebut
pertama kali diundangkan dalam Staatsblad yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1918.4
Hukum pidana terbagi menjadi hukum pidana material dan hukum pidana
formal. Pada garis besarnya bahwa hukum pidana material memuat dasar-dasar
serta peraturan-peraturan umum mengenai perbuatan manusia yang dengan
tegas disebut dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dapat dihukum,
sekaligus menentukan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan. Sedangkan
hukum pidana formal atau bisa disebut juga dengan hukum acara pidana adalah
kumpulan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan
hukum pidana materil oleh penguasa negara jika terdapat peraturan yang
dilanggar.5 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini ialah:
6
a. KUHP warisan belanda sebagaimana ditetapkan pada Undang-undang No. 1
tahun 1946 jo Undang-undang No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-
perubahannya.
4 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), h. 42. 5 B. Bastian Tafal, Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992), h. 65. 6 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, (Jakarta:
AlumniAhaem-Petehaem, 1996), h. 50.
19
b. KUHPM sebagaimana ditentukan pada Undang-undang No.39 Tahun 1947.
c. Perundang-undangan hukum pidana lainnya antara lain tindak pidana
korupsi (UU No. 20 tahun 2001), tindak pidana narkoba (UU No. 35 tahun
2009, tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 tahun 2010 ) dan lain
sebagainya.
d. HIR dan beberapa pasal tertentu dari Strafvordering, Undang-undang No. 1
Drt tahun 1951, yang sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diganti dengan
KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981), Undang-undang pokok
kepolisian, Undang-undang pokok kejaksaan, Undang-undang hukum acara
pidana militer, Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman dan lain
sebagainya.
3. Tujuan Hukum Pidana
Mengenai tujuan hukum pidana, dewasa ini diketahui bahwa tujuan
hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara.
Salah satu cara atau alat untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah dengan
memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada dasarnya
terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu
pemidanaan, yaitu :7
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan.
c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan
7 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 11.
20
kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah
tidak dapat diperbaiki lagi.
Dengan kata lain, tujuan atau alasan dari pemidanaan dapat digolongkan
ke dalam tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori
tujuan dan golongan teori gabungan.8
a. Teori Pembalasan
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak
harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Dan tidak mempersoalkan
akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Ini merupakan wujud pembalasan
dari apa yang telah dilakukan oleh si terpidana.
b. Teori Tujuan
Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan
pemidanaan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk
perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan.
c. Teori Gabungan
Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori
tujuan. Artinya, alasan pemidanaan bukan hanya semata-mata untuk
membalas si pelaku tindak kejahatan, namun di sisi lain pemidanaan
tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan mencegah
perbuatan pidana lainnya.
8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008),
h. 157.
21
B. Istilah Hukum Pidana Islam
1. Definisi Hukum Pidana Islam
Dalam pembahasan hukum pidana Islam, ada juga yang menyebutnya
dengan istilah Fiqh Jinayah yang terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah.9
Secara Etimologis, fiqh berasal dari kata يفقه-فقه yang berarti paham atau
memahami ucapan secara baik. Sedangkan secara terminologis, fiqh
didefinisikan oleh Wahbah al Zuhaili, Abdul karim Zaidan dan Umar Sulaiman
dengan mengutip definisi al-Syafi‟i dan al-Amidi, yaitu ilmu tentang hukum-
hukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil
yang terperinci. Adapun istilah jinayah, secara etimologis berasal dari kata
و جنا ية-جنيا-يجنى-جنى yang berarti أ ذ نب (berbuat dosa). Sedangkan secara
terminologis, jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemudharatan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa.10
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqh
jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah
perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci. Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama
artinya dengan jarimah.11
Dan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
objek pembahasan fiqh jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah
atau tindak pidana dan uqubah atau hukumannya.12
9 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah, 2013), h. 1.
10 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2011),
h. 66. 11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 13. 12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. Ix.
22
Pengertian jarimah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Mawardi adalah sebagai berikut.
ية ز جر ا انهه تعا ل عنها بحد ا و تعس يرئى يحظى را ت شرع ا نجر ا
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.13
Dalam Istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul
Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut.
ا، سىا ء و قع ا نفعم عهى نفس أو يا ل أوغيرذنكفا نجنا ية ا سى نفعم يحر و شر ع
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’,
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau yang lainnya.14
Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang
ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi
kepada tiga bagian yaitu; jarimah Hudud, jarimah Qishas dan Diyat serta
jarimah Ta’zir.15
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, hukuman had adalah hukuman
yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah. Oleh karena
hukuman itu merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut tidak bisa
digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau
keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah
hudud ini terdiri dari tujuh macam, yaitu: Jarimah Zina; Jarimah Qadzaf;
13
Ibid 14
Ibid 15
Ibid, h. x.
23
Jarimah Syurb al-Khamr; Jarimah Pencurian; Jarimah Hirabah; Jarimah
Riddah; dan Jarimah Pemberontakan.16
b. Jarimah Qishas dan Diyat
Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat kedua-duanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak manusia.
Oleh karena hukuman itu merupakan hak manusia, maka hukuman tersebut
bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Jarimah
Qishas dan Diyat ini terdiri dari lima macam, yaitu: Pembunuhan sengaja;
Pembunuhan menyerupai sengaja; Pembunuhan karena kesalahan;
Penganiayaan sengaja; dan Penganiayaan tidak sengaja.17
c. Jarimah Ta‟zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir.
Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib, artinya memberi pelajaran.
Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak
atau mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana
yang dikemukakan Al-Mawardi yaitu ta‟zir adalah hukuman pendidikan
atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hukuman ta‟zir adalah
hukuman yang ditetapkan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya
diserahkan kepada ulil amri. Sedangkan yang termasuk kategori jarimah
16
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 19. 17
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. x.
24
ta‟zir adalah jarimah yang tidak tergolong ke dalam jarimah hudud dan
qisash diyat serta jarimah hudud dan qishas diyat yang terdapat syubhat.18
2. Sumber Hukum Pidana Islam
Mengenai sumber hukum pidana Islam itu sendiri pada dasarnya kata
tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang ditulis
ulama klasik. Kata-kata “sumber hukum Pidana Islam” merupakan terjemahan
dari lafaz-lafaz ا أل حكا و يصا د ر (Mashaadir al-ahkam). Untuk menjelaskan arti
sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syari‟ah د نة ا أل ا
ا أل حكا و يصا د ر al-Adillah al-Syariyyah ( penggunaan kata / نشر عية
(Mashaadir al-ahkam) oleh ulama sekarang ini tentu dimaksudkan adalah
seperti dengan istilah د نة ا نشر عية أل ا / al-Adillah al-Syariyyah. 19
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa sumber-sumber hukum Islam
pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur‟an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas.
Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-urutan dan kepentingannya.
Yakni apabila tidak terdapat dalam hukum sesuatu peristiwa dalam Al-Qur‟an
baru dicari dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam
Ijma, dan kalau tidak terdapat dalam Ijma, baru dicari dalam Qiyas.20
Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak
diperselisihkan tentang mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut ialah
Istishan, istishab, Maslahah Mursalah, „Urf, madzhab sahabat dan syari‟at
sebelum Islam (syar‟u man qablana). Bagi hukum-hukum pidana Islam formil
18
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143. 19
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 81. 20
Mardani, Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV INDHILL
CO, tt), h. 27.
25
(Ijraat Jinaiyyah/acara pidana) maka semua yang disebutkan diatas bisa
dipakai. Akan tetapi untuk hukum-hukum pidana Islam materiil, yaitu yang
berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat
sumber. Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟,
sedang satu sumber lainnya yaitu Qiyas masih diperselisihkan.21
3. Tujuan Hukum Pidana Islam
Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk:
a. Pencegahan (al radd wa al jazr)
b. Perbaikan (al „ishlah)
c. Pendidikan (al ta‟dib)22
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman
dalam syari‟at Islam adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga
mereka dari kerusakan, mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan
mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan
mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta‟at. Syariat Islam sama
pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak
pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam
maupun hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara
kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan
hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya,
yaitu :23
21
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), h.25. 22
Ibid, h. 255. 23
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas, H. 15-16.
26
1) Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat
memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh
karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela
dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan.
Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun
bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap
sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa
kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat.
2) Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana
Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum
pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya
telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan
qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan
kepada penguasa (ulil „amri) yaitu jarimah ta‟zir.
Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku
kejahatan. Hukum pidana Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat
yang begitu ketat sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan. 24
Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan
penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau
memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak
anak kehilangan suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat
24
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana, h. 99-100
27
dengan asumsi diyat itu dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah
kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan korban (keluarga korban) untuk
diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya
fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan
penderitaan korban atau keluarga korban. 25
Ketiga, dari sisi penegak hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki
landasan yang kuat dan tidak dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur‟an dan
As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengubah aturan,
menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum
yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui
dengan mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang
bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang26
Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum
tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak
lengkap dan tidak sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna
dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya undang-undang selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum
Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau
diganti.
25
Ibid 26
Ibid
28
BAB III
ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan aspek-aspek hukum pidana Islam
yang pernah berlaku di Indonesia. Penulis membaginya kepada tiga periode besar
yaitu; pada masa kerajaan, kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan. Meskipun
terdapat sejumlah kerajaan yang memberlakukan hukum pidana Islam di
Indonesia, pada bab ini penulis akan fokus hanya kepada kerajaan Aceh. Hal ini
dimaksudkan agar pembaca dapat mengetahui bahwasanya hukum pidana Islam
pernah dipraktekkan di kerajaan Nusantara walaupun hingga perkembangannya
saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum Pidana peninggalan Belanda.
Meskipun demikian, wacana hukum pidana Islam masih terus bergulir yang
nantinya akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.
A. Pada Masa Kerajaan Aceh
Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1514-1903), Sultan
Ali Mughayat Syah (1516-1530 M) tercatat dalam sejarah sebagai pembangun
Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul
Qahhar (1537-1571 M) sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun
undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini
kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Dalam
perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta
Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan
29
bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber
hukumnya berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas 1
Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum
pidana Islam di Kerajaan Aceh.
1. Perzinaan
Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di
kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah (1516-
1530 M).2 Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean
dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan,
yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak
bagi perempuan.3
Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar
(1537-1571 M), hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu
dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang
pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang
dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah
menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian
menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alun-
alun lalu dirajam hingga mati.4
1 A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h. 70-72.
2 Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu
belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M. 3 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah
Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h.
124. 4 Ibid, h. 125.
30
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin
Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604 M). Berdasarkan kesaksian Francois
Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman
zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang
berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik
hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong
kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua
matanya.5
Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda (1607-1636 M) juga pernah
memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan
mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah
Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah
seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda
meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang
Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan
Syari‟at Islam pada siapapun.6
Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa
pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus
zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina
akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari
perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh
senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki
5 Ibid, h. 126.
6 Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam, 2006), h. 114.
31
pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina
di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban,
tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka
suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam
menutup rapat aib tersebut.7
2. Pencurian
Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar (1537-1571 M)
menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut
sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian
tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak
menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.8
Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa
Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M). Francois Martin de Vitre menjelaskan
bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi
lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda
dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan
tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin
kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman
tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.9
Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda (1607-1636 M), hukuman
potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal
33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri
7 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127.
8 Ibid
9 Ibid
32
dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu
kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat
tinggalnya (pasal 34), dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong
tangannya (pasal 35).10
3. Minuman Keras
Sultan Alaudin Perak (1579-1586 M), tercatat sebagai Sultan yang
pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh.
Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa
yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan
Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya.11
Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada
masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan pada masa Sultanah Tajul
Alam Safiyatuddin (1641-1675 M). Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan
Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah
dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel
mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah
dengan cara menelan timah panas.12
4. Pembunuhan
Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar (1537-1571 M) pernah
melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau
atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria.13
10
Ibid, h. 129. 11
Ibid, h. 135. 12
Ibid, h. 136. 13
Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi.., h. 114.
33
Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M), dari
sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga
jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan
cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan
cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan
belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat
ganas dan tentu menjadi santapan mereka.14
Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M) yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta
Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan
mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan.15
Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M)
benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta
Alam tersebut.16
5. Murtad
Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh
pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh
Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar
Thani (1636-1641 M). Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf
wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang
14 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137. 15 Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga
korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang
harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak
tersebut (pasal 32). Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku
tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat
Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466. 16 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..” h. 138.
34
dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum
muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya.
Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad.17
Dalam Islam
Murtad harus dihukum mati.18
6. Perampokan
Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam
Nakiyatuddin (1675-1678 M). Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris
Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi
pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh
al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua
pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan
tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum.19
Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana
yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental (kaidah larangan)
dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum
khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental
(jenis ancaman hukuman), dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya
sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam
pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni
masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.20
17
Ibid, h. 140. 18
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h. 127. 19
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142. 20
Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh (1514-
1903 M)”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.
35
Menurut Arskal Salim, bahwa pemberlakuan hukum pidana lslam di
Nusantara menunjukan betapa pelaksanaan hukum pidana Islam tidak pernah
berlaku secara seragam dan konsisten.21
Karena keberlakuannya sangat
ditentukan oleh kebijakan penguasa pada masanya. Ia menambahkan,
pemberlakuan hukum pidana Islam di sejumlah kerajaan Nusantara22
adalah
sebuah proses interaksi yang aktif antara hukum lslam dan tradisi lokal
setempat yang kemudian menjelma menjadi sebuah akulturasi.23
B. Pada Masa Kolonial Belanda
Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan
Hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di
Indonesia sebagai hukum yang diterima dan diakui. Karena para penguasa
ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara.24
Belanda sejak
zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1798 M tetap
membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat sebagaimana
sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari
masyarakat Muslim dan VOC juga tetap mengakui apa yang berlaku sejak
21
Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”, Hukum Respublica,
Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68. 22
Selain Aceh, beberapa kerajaan lain seperti Banten dan Mataram juga pernah
memberlakukan aspek hukum pidana Islam. Bisa di lihat dalam Arskal Salim, Perkembangan
Awal Hukum Islam di Nusantara , h. 67, Azyumardi Azra, Implementasi Syari’at Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi
Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.
Xxviii, Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 39. 23
Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum...”, h. 72. 24
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Ciputat:Ciputat Press, 2005), h. 48.
36
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti hukum keluarga Islam,
perkawinan, waris dan wakaf.25
Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada
sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pemerintah
Belanda sendiri pada waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18 , berusaha
menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan
negeri (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statuta Jakarta 1642
bahkan hukum keluarga diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der
Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dikenal dengan Compendium
Freijer.26
Selain itu juga diadakannya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi
hakim-hakim peradilan adat yang isinya antara lain memuat sistim hukuman
seperti pemukulan, cap bakar, dirantai dan lain sebagainya. Selain itu juga
terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk pengadilan negeri
Semarang yang berisi perkara-perkara perdata dan pidana yang sebagian besar
bermuatan hukum pidana Islam.27
Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan
teori Reception in Complexu. Digagas oleh Loedewyk Willem Christian Van
Den Berg, teori ini menyatakan pemberlakuan hukum Islam secara penuh
terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata
25
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47. 26
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”,
dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta:Gema Insani press, 1996), h. 131. 27
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 34.
37
lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk
agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku.28
Meskipun demikian,
hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim.
Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam (Pernikahan, perceraian,
waris dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah
sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam.
Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan
penyempitan ruang gerak serta perkembangan hukum Islam. Di sisi lain,
Belanda memberikan keleluasaan kepada adat kebiasaan dan
membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha
meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan
mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut.29
Inilah yang disebut
sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie
Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30
.
Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki
atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam
Undang-Undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti
Regeerningsreglement (R.R), yang disebut Wet de Staatsinricting van
Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang
28
Ibid, h. 37-38. 29
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 252. 30
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 75.
38
diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan
tata hukum Hindia Belanda.31
Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan
Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu
dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh
hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada
landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda
untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk
hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang
pemeriksaannya kepada landraad. 32
Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil
Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung
pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.33
Itu sebabnya,
bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga
hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial
tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di
wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di
dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum
Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan
31
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132. 32
A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 155. 33
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:LP3S, 1985), h. 64-99.
39
perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak
menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.34
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan
Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk
memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami
dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan
pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam
empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI,
periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode
awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode
pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.35
Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat
(yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan perjuangan
memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum
pidana Islam) di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah
Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru,
terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa
partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman
kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.36
Sama
seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam yang
34
Ibid 35
Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern
Indonesia, (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), h. 85. 36
M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme
Politik dalam Kebijakan Publik”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198.
40
memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun
rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemeluk-
pemeluknya”.37
Dan kelompok nasionalis38
yang tetap konsisten menolak
Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang
Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.39
Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan
hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29
UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia.
Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak
menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.40
Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional
adalah KUHP yang tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur
pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam
KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi
hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan
di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak
diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh.
Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU
37
Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu:
PPP,PBB,PNU (Partai Nahdlatul Ulama),PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). sedangkan partai
dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK (sekarang PKS) 38
Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan) 39
Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107. 40
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta:Kanisius, ttp), h. 39.
41
No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk
melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.41
Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan
otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 200142
tentang Otonomi
Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula
masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.43
Dalam UU No.18 Tahun 2001
disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam
yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan
pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.44
Berikutnya lahir
sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam,
diantaranya:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam
Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002
secara lebih rinci.45
Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap
pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.46
41
Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh:Dinas
Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005) ,h. 60. 42
Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD 43
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225 44
Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61. 45
Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang
Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. 46
BAB VIII Ketentuan Pidana Pasal 20-23 Qanun no. 11 Tahun 2002.
42
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar
yang haram hukumnya. Hukum haram ini berkaitan dengan
pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.47
Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan
dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.48
Sedang bagi
orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara
menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.49
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Sejenisnya
Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir (perjudian)
adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak
atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.50
Mengenai
hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam
dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali51
.
Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja
dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta
pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang
pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah diancam dengan
hukuman Ta‟zir.52
47
Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya 48
Pasal 26 ayat (1) Qanun No. 12 Tahun 2003 49
Pasal 26 ayat (2) Qanun No. 12 Tahun 2003 50
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir
(Perjudian) dan sejenisnya. 51
Pasal 23 ayat (1) Qanun No. 13 Tahun 2003 52
Pasal 23 ayat (2) Qanun No. 13 Tahun 2003
43
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum)
Dalam qanun ini, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis
yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.53
Sedangkan mengenai
hukumannya, yaitu bagi mereka yang melanggar hukuman ini akan
dikenakan sanksi ta‟zir.54
5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat
Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal diberi kewenangan untuk
menentukan besaran dana yang akan diserahkan kepada masing-masing
senif. Tetapi penentuan besaran ini harus berpedoman pada ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Dewan Syari‟ah. Sedangkan hukuman atas orang-
orang yang melanggar qanun ini yaitu berupa sanksi ta‟zir.55
6. Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal
Seperti yang telah disinggung dalam qanun sebelumnya, badan Baitul
Mal mempunyai kewenangan yang salah satunya adalah mengumpulkan,
menyalurkan dan mendayagunakan zakat.56
Dalam pengelolaan zakat ada
beberapa perbuatan yang dianggap sebagai jarimah ta‟zir dan karena itu
hukumannya berupa sanksi ta‟zir.57
Dalam perjalanannya, pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia
mengalami pasang surut. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa politis
dalam artian sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki
53
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. 54
Pasal 22 ayat (1) (2) (3) Qanun No. 14 Tahun 2003 55
Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43 ) Qanun No. 7 Tahun 2004 56
Pasal 8 ayat (1) (2) Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 57
Pasal 50,51,52,53,54 Qanun No. 10 Tahun 2007
44
kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun ekonomi. Bisa dikatakan
bahwa pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam pada masa kerajaan
adalah benar adanya karena didukung oleh kehendak politik penguasa/raja.
Namun pada masa-masa awal kedatangan Belanda dengan politik hukumnya,
secara bertahap dan sistematis, Belanda berusaha mengurangi peran dan
wewenang dari institusi Peradilan Agama. Bukan hanya hukum keluarga yang
dibatasi, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan sebagian umat Islam untuk
menjadikan negara agama yang termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum
pidana Islam, juga mengalami dinamika politik yang fluktuatif. Hingga pada
akhirnya, meskipun hukum pidana Islam tidak bisa diberlakukan secara
nasional, namun daerah Aceh mendapat keistimewaan untuk menjalankan
syariat Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Adalah suatu
kenyataan bahwa penerapan Syari‟at Islam secara Formal di Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan bagian dari proses politik dalam rangka menciptakan
perdamaian di Aceh.58
58
Masykuri Abdillah, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan yang
tak pernah tuntas, (Jakarta:Renaisan, 2005), h. 210,
45
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 19/PUU-VI/2008
TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA
Jika pada bab-bab sebelumnya penulis telah menguraikan apa yang
dimaksud dengan istilah hukum pidana Islam serta sejarah pemberlakuan aspek
hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan menguraikan putusan
Mahkamah Konstitusi terkait wacana hukum pidana Islam ke dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama. Yang mana dalam hal ini penulis akan menganalisa
lebih lanjut amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 serta
bagaimana prospek pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia di masa
mendatang.
A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bab pendahuluan di atas
bahwa Indonesia adalah negara hukum, dalam artian yang menghendaki segala
tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada
legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis.1
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi
penting dari amandemen UUD NRI 1945 sebanyak 4 (empat) kali adalah harus
dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebaga lembaga negara yang berfungsi
1 Arief Budiman, Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi, (Jakarta:PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 1.
46
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita
demokrasi. Hal ini masih merupakan mata rantai reformasi 1998 yang
menghendaki perlunya reformasi konstitusi yang dapat menjamin secara
konsisten penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi melalui sistem
pemerintahan konstitusional. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2003
diterbitkanlah UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Seperti
dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan MK bagi suatu negara
umumnya merupakan negara-negara yang pernah mengalami krisis
konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan otoriter.2
Yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU
terhadap UUD NRI 1945, memutus sengketa antar lembaga negara yang
kewenangannya diatur di dalam UUD NRI 1945, memutus sengketa hasil
pemilu dan memutus pembubaran parpol. Sedangkan kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa
presiden/wakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD NRI
1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.3 Sejak keluarnya UU
No. 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan MK ditambah satu lagi yakni
memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)
yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan
2 H. Achmad Sukarti, “Kedudukan dan Wewenang MK Ditinjau dari Konsep Demokrasi
Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand)”, Equality
Vol. 11 No. 1, Februari 2006, h. 42. 3 Lihat pasal 10 ayat (1)-ayat (3) UU No. 24 tahun 2003 jo. UU No. 8 tahun 2011 tantang
Mahkamah Konstitusi.
47
wewenang ini merupakan konsekuensi dari ketentuan UU No. 22 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim
pemilihan umum.4
2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan keuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan secara bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lainnya.5 Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan)
orang anggota hakim konstitusi diantaranya diajukan masing-masing 3 (tiga)
orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, 3 (tiga) orang oleh
Presiden, dan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Presiden.6
Adapun susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh)
orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi. Sebelum ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat
pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim
konstitusi yang tertua usianya.7 Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan
4 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali
Pers, 2009), h. 273. 5 Lihat UUD NRI 1945 pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).
6 Terkait hakim yang menangani kasus judicial review oleh Suryani ini yaitu Jimly
Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi,
Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H.
Abdul Mukthie Fadjar. 7 Lihat pasal 4 UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
48
wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh Sekretariat Jenderal dan
kepaniteraan. Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan
wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sedangkan anggaran Mahkamah
Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).8
B. Duduk Perkara
Sebelum penulis menganalisa amar putusan dari Mahkamah Konstitusi,
terlebih dahulu akan diuraikan duduk perkara yang melatarbelakangi lahirnya
putusan ini. Putusan ini bermula ketika pada tanggal 24 Juni 2008 seorang
buruh bernama Suryani yang berasal dari Serang, Banten, mengajukan judicial
review atas Undang-Undang Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi
terkait dengan kompetensi Peradilan Agama di Indonesia. Suryani mengajukan
permohonan pengujian materiil Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun
1989, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di Bidang; (a). Perkawinan, (b). Waris, (c).
Wasiat, (d). Hibah, (e). Wakaf, (f). Zakat, (g). Infak, (h). Shadaqah, (i).
Ekonomi Syari‟ah.” beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap Pasal 28e ayat
8 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;Upaya
Membangun Kesadaran dan pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang
Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung:PT Citra
Aditya Bakti, 2006), h. 13.
49
(1), Pasal 28i ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945,
dengan alasan sebagai berikut:9
1. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh
Pemohon dalam permohonan ini adalah hak untuk bebas memeluk agama
dan beribadat menurut ajaran agama Pemohon, sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam UUD NRI 1945 yaitu pasal 28e ayat (1) juncto pasal 28i
ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).10
2. Bahwa pemohon berpendapat pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No.
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal yang sama beserta
penjelasannya, adalah bertentangan dan atau tidak sesuai dengan amanat
konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat
(1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Karena hak
dan/atau kewenangan konsitusional pemohon untuk “bebas beragama dan
beribadat menurut ajaran agama” agar dapat menjadi umat beragama yang
beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama
Pemohon yaitu agama Islam, telah “dibatasi” oleh negara melalui Undang-
Undang tentang Peradilan Agama tersebut.
9 Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 6-10.
10 Pasal 28e ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya,” juncto Pasal 28i ayat (1) “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. juncto Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”
50
3. Bahwa inti di dalam ajaran Agama Islam adalah iman dan taqwa, yang
berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan
menjauhkan segala laranganNya tanpa terkecuali. Selain diperintahkan
menjalankan hukum agama (syariat) Islam secara perdata untuk perkara
hukum rumah tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan
Peradilan Agama Indonesia, Al-Qur‟an juga memerintahkan umat Islam
untuk menjalankan hukum agama (syariat) di bidang pidana. Seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5):38, yaitu:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dengan tiga alasan itu, menurut pemohon, Undang-Undang tentang
Peradilan Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya, telah
merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). UU tersebut
dianggap membatasi umat Islam dalam hal menegakkan hukum agama
(syariat) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah diperintahkan Al-
Qur‟an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Juga
dianggap berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam sebagai
komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana telah
difirmankan dalam Al-Qur‟an (Surat al-Maidah ayat 38) tersebut di atas, maka
51
pasti akan dianggap menegakkan „hukum di atas hukum.‟ Sesuai aturan hukum
yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut akan dianggap
sebagai „pelanggaran hukum.‟ Jadi, jelaslah bahwa menurut pemohon,
ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah
merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan
seluruh umat Islam di Indonesia.
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum diuraikan apa yang menjadi isi putusan MK terkait hal ini,
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bukti-bukti tertulis yang menguatkan
alasan si pemohon. Diantaranya:11
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani.
2. Fotokopi UUD NRI 1945 yang sudah diamandemen (dalam satu naskah).
3. Fotokopi tentang UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.
4. Fotokopi artikel “Membumikan Syariat Islam di Pesantren”, dimuat Radar
Banten, 8 Juli 2006.
5. Fotokopi buku Penerapan Syari‟at Islam:Bercermin pada Sistem Aplikasi
Syariah Zaman Nabi, h. 26-29, oleh Drs. Husnul Khatimah, penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
11
Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 15.
52
6. Fotokopi Juz „Amma dan Terjemahannya, h. 18. Surat Al-Kafirun ayat 4-6.
Diterbitkan oleh CV Wicaksana, Semarang. Fotokopi Al-Qur‟an surat Al-
Maidah dan surat Al-Hajj.
7. Fotokopi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
8. Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Serang, terkait penjelasan inti dari ajaran agama Islam yaitu
Iman dan Takwa yang berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan
Yang Maha Esa dan meninggalkan segala laranganNya tanpa terkecuali.
Yang mana hal ini sejalan dengan amanat UUD NRI 1945 dan Pancasila.
9. Fotokopi Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan serta fotokopi Ketetapan MPR RI
No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan yang pada intinya
ketetapan ini menjelaskan bahwasanya beriman dan bertakwa juga
merupakan amanat konstitusional yang diperintahkan UUD NRI 1945 dan
Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.
Berdasarkan alasan dan seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
pemohon di atas, Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa
pertimbangan terkait hal ini, antara lain:
1. UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar
kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24
53
ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.12
2. Bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan ketidaksesuaian.
Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan
di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan
lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum pidana Islam (jinayah).
3. bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan
Indonesia mengenai hubungan antara agama dan negara. Karena Indonesia
bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu,
namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak
memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada
individu dan masyarakat.Dan bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan
Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya
sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945, sehingga dalil Pemohon
tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Maka, dari semua alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon, dan
atas dasar pertimbangan-pertimbangan Hakim Mahkamah tersebut, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwasanya permohonan tersebut Ditolak.
12
Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang”.
54
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.13
Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat
(1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Perlu diketahui
bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar
kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat
(2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.14
Dari kedua pasal ini nampak
bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan
yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar
belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah
Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya
juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU
13
Lihat pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, pasal 10 ayat (1) UU No.8 tahun 2011
tentang MK, pasal 29 ayat (1)a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 14
Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang”.
55
Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak
konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945.
Tentu dalam konteks permasalahan ini, siapapun bisa menafsirkan bentuk
kebebasan beragama yang juga dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara
Muslim untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk
bidang pidana Islam (menurut pemohon), yang mana hal ini tidak diakomodir
dalam UU Peradilan Agama. Sehingga, dalam hemat penulis, Mahkamah
Konstitusi seharusnya perlu menelaah hak konstitusional sebagaimana alasan
dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sebagai batu uji untuk menilai materi
yang tercantum dalam UU Peradilan Agama menyangkut kewenangannya.
Terlebih lagi pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 menyatakan
kata “perdata tertentu” telah diubah menjadi kata “perkara tertentu” yang
berarti menurut penulis, hukum pidana Islam bisa berpeluang untuk masuk ke
dalam wewenang Lembaga Peradilan Agama.
2. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan
Positive Legislator
Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama karena telah
bertentangan dengan UUD NRI 1945, Sedangkan di dalam positanya, pemohon
meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensi
Peradilan Agama diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum
pidana Islam (jinayah). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
sebagai positive legislator dalam arti menambah rumusan undang-undang yang
56
dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga, permohonan Suryani agar Peradilan
Agama ditambah wewenangnya untuk mengadili kasus yang terkait pidana
(jinayah) tidak bisa dikabulkan.15
Perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang sebagai
negative legislator yaitu menghapus ayat atau pasal-pasal dalam undang-
undang yang dinilai tidak sejalan dengan pasal atau ayat yang tertuang
konstitusi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa antara posita dan petitum
pemohon terdapat ketidaksesuaian. Dari uraian di atas, menurut penulis,
Mahkamah Konstitusi seolah menyarankan agar usulan si pemohon diajukan
kepada lembaga legislatif yang berwenang untuk menambah rumusan Undang-
Undang.
3. Paradigma Relasi Agama-Negara di Indonesia adalah Paradigma
Simbiotik
Berdasarkan kerangka teori analisis yang sudah dipaparkan di bab
pendahuluan, bagian sub bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana
putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari teori yang diajukan oleh Din
Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Menurut Din
Syamsuddin, terdapat paling tidak tiga paradigma tentang relasi agama dan
negara.16
Paradigma pertama mengajukan konsep bersatunya agama dan
negara atau yang biasa disebut dengan paradigma Integralistik. Paradigma ini
dianut oleh kelompok Syi‟ah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di
Pakistan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan
15
Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 23 16
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Ciputat:PT
Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 58.
57
keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
“kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di
“tangan” Tuhan.
Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang
bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa
pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar
negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.17
Melalui
kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana
tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian
diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar
negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya.
Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam
hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama
negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma
semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali.
Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah
satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan
negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan
jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan hukum-
17
Yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam bagi Pemeluknya”
58
hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam,
persatuan agama dan negara adalah absah.18
Selain itu, Pradoyo melihat bahwa
“kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan
pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya.19
Konsepsi
Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena tetap ada peluang “keterpaduan
Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik.
Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang
biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan
pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan
bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran
politik Ali Abdur Raziq dari Mesir.20
Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat,
ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa
pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan
Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam
sangat ekslusif.21
Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing
memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia,
penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol
performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan
gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut
18
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholis Madjid, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 92 19
Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, (Jakarta:Grafitipers, 1993), h. 182 20
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63 21
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992),
h. 91.
59
paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik
Islam.22
Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik
Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang
merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang
merupakan penganut paradigma simbiotik.23
Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agama-
negara dengan corak integralistik melalui parpol-parpol Islam “dibonsai”
dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal.24
Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya
menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera
bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir
oleh MAS Hikam (1988) sebagai indikasi munculnya semangat untuk
mengembangkan kembali paradigma integralistik. Meskipun dalam
manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam
dengan yang lainnya.25
Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, penulis
menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD
NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan
22
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul
Mun‟im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000),
h. 9 23
Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran
fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran
substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk
legal-formal ajaran. 24
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10. 25
Ibid, h. 11.
60
Republik Indonesia. Di dalam salah satu pertimbangan para hakim Konstitusi26
adalah kalimat “Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan
pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang
sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama
sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.” Dan “Pelayanan negara
kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan
kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.” Dari kalimat ini penulis
menyimpulkan bahwa relasi agama dan negara di Indonesia bukanlah mengacu
pada paradigma integralistik ataupun sekularistik, melainkan paradigma
simbiotik. Dalam artian peluang “keterpaduan agama” dengan negara Pancasila
hanya dapat terjadi melalui proses-proses politik.
Melalui jalan politik, umat Islam dapat menentukan kebijakan dan
hukum-hukum negara. Paradigma simbiotik relasi agama-negara inilah yang
harus dipahami oleh Suryani selaku pemohon. Sebagai contoh, salah satu
upaya pemberlakukan hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional yakni
draf RUU KUHP27
yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan
praktisi hukum namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Ini
menunjukan bahwa materi hukum pidana Islam dalam RUU KUHP sedemikian
26
Ke-9 hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara ini adalah Jimly
Asshidiqie, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar
Siahaan, H.A.S Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukhties Fadjar. 27
Dalam rancangan tersebut dimasukan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik
Agama, kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang
melanggar ketentuan agama dsb.
61
rupa tidak bisa menjadi secara otomatis dapat diberlakukan karena paradigma
relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik. Sehingga, dalam
usaha untuk memasukan unsur Islam dalam kebijakan-kebijakan hukum negara
termasuk pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam salah satu kewenangan
Peradilan Agama, haruslah melalui proses-proses politik.
Atas landasan paradigma simbiotik ini juga, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama ini tidak
akan mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI
1945.28
Dari pendapat Mahkamah Konstitusi ini, penulis berpandangan
bahwasanya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI
1945 tersebut bertentangan dengan sekularisme. Karena UUD NRI 1945
menetapkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan
Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Dalam hal itu, secara
konstitusional, beragama dan beriman dijamin oleh negara.29
Sehingga dalil
pemohon yang menyatakan bahwa UU Peradilan Agama dapat merugikan hak
konstitusionalnya sebagai warga negara dalam beragama sebagaimana yang
dijamin dalam UUD NRI 1945 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh
Mahkamah Konstitusi.
28
Lihat Pasal 28E, Pasal 25 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2) UUD
NRI 1945. 29
Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan
dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed., Hukum
Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus,
2001), h. 214.
62
E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Sebagaimana yang diketahui bahwa masyarakat Muslim di Indonesia
sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan hukum perdata Islam.
Hal ini termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Meskipun dalam proses pembentukannya mengalami reaksi yang beragam dari
berbagai kalangan diantaranya ada yang berpendapat bahwa RUU PA dinilai
tidak senafas dengan Pancasila dan bahkan disinyalir sebagai upaya
terselubung menghidupkan kembali Piagam Jakarta, Presiden Soeharto sebagai
figur yang paling bertanggung jawab mengenai RUU PA ini memberikan
garansi bahwa UU ini merupakan Pelaksana Pancasila dan UUD NRI 1945
serta tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.30
Sampai masa Orde Baru, kewenangan Peradilan Agama baru menyangkut
sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang
hukum keluarga;nikah, cerai/talak, waris, wasiat dan wakaf.31
Sedangkan
persoalan keperdataan Islam lainnya secara lebih luas termasuk bidang
ekonomi, belum menjadi kewenangan Peradilan Agama, apalagi menyangkut
hukum pidana Islam. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan tidak
terakomodirnya hukum pidana Islam pada masa pemerintahan Orde Baru,
yaitu; pertama, faktor politik hukum yang tidak memberikan kesempatan
masuknya nilai-nilai hukum Islam dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Sistem politik ini terkait dengan arah kebijakan partai politik di parlemen yang
phobia terhadap hukum pidana Islam yang dianggap tidak manusiawi. Selain
30
Zuffran Sabri, Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang RUU
PA, (Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix. 31
Lihat Pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
63
itu negara tidak berani mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait
dengan penolakan kelompok non muslim dan sebagian umat Islam yang tidak
pro terhadap hukum Islam. Dimensi hukum pidana Islam merupakan hal yang
sangat sensitif terutama kaitannya dengan isu-isu menuju Negara Islam dan
Piagam Jakarta serta formalisasi hukum Islam. Di samping itu, pemerintah
lebih memilih untuk tidak mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait
dengan stabilitas politik penguasa.32
Kedua, faktor kesalahpahaman dalam memahami hukum pidana Islam
disebabkan ketakutan yang berlebihan terutama bagi masyarakat non muslim
dan juga umat Islam sendiri. Selama ini pemahaman masyarakat terhadap
hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada aspek jawabir (penebus)
dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga
begitu menyebut pidana Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan
bila dilihat dari sisi pelaku.
Ketiga, faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlunya
membentuk hukum pidana Indonesia yang benar-benar bersumber dari hukum
yang hidup dari tengah-tengah masyarakat serta yang sejalan dengan Negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum. Dalam artian
maka diperlukan pembaruan hukum pidana Indonesia dengan menjadikan
hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional.33
Jadi menurut
penulis, nilai-nilai hukum Islam di bidang hukum pidana masih belum berhasil
32
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta:Badan Litbang dan Diklat
DEPAG RI, 2008), h. 321. 33
Ibid, h. 322.
64
mewarnai UU Peradilan Agama dan masih kuatnya pengaruh sistem hukum
pidana Belanda di Indonesia.
Memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapatkan kewenangan
baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang;zakat, infaq,
sedekah serta ekonomi syariah namun tidak untuk hukum pidana Islam. Hal ini
juga tidak lepas dari ke tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Namun,
lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 atas perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989
telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru sekaligus menjadi
landasan yang kuat atas terbentuknya lembaga Peradilan Agama (Mahkamah
Syari‟ah) di Aceh yang kewenangannya juga mencakup hukum pidana Islam
(Jinayah).34
Jaenal Aripin menguraikan bahwa salah satu yang menjadi kelemahan
Peradilan Agama adalah masih belum memungkinkannya hukum pidana Islam
untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia.35
Meskipun begitu,
penulis berpendapat, peluang atau prospek pemberlakuan hukum pidana Islam
ke dalam wewenang lembaga Peradilan Agama di Indonesia bukanlah hal yang
mustahil. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa Peradilan Agama ke
paradigma baru. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 3 tahun 2006
menyatakan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
34
Lihat Pasal 3A beserta penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
pasal 49 UU No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 35
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta:Kencana, 2008), h. 512.
65
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”.
Menurut penulis, Istilah “perkara tertentu” dalam pengertian di atas membuka
peluang bagi hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam salah satu
kewenangan Peradilan Agama.
Terkait hal ini, pasal 29 UUD NRI 1945 ayat (1) yang menegaskan:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat (2) “Negara
menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Menurut
penulis hakekatnya mengandung kebijakan-kebijakan prinsipil yang
memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan
menjamin dapat dijalankannya ajaran agama (termasuk hukum hukumnya) bagi
para umat pemeluknya sebagai manifestasi rasa keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Artinya, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari ajaran
agama Islam yang diakui keberadaannya oleh umat Islam Indonesia, adalah
sangat logis dan konstitusional apabila ia diberi jaminan berbentuk kebijakan
hukum negara yang tidak saja mengakui keberadaannya namun juga
memfasilitasi terlaksanakannya hukum pidana Islam tersebut.
Namun, yang perlu diingat bahwa, jika Indonesia adalah negara yang
menganut paradigma simbiotik sebagaimana yang telah penulis jelaskan di
atas, tentu prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama adalah sangat bergantung pada elit-elit partai Islam
yang menguasai kursi parlemen di DPR, karena elit-elit politik Islam lah yang
sangat berperan besar dalam menentukan hukum-hukum negara yang
66
berasaskan Islam. Inilah yang penulis maksud dengan pendekatan politik
hukum sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam kerangka analisis pada
bab pendahuluan. Karena hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya, dalam artian politik sering kali melakukan intervensi atas pembuatan
dan pelaksanaan hukum. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai
hal-hal yang bersifat das sollen (keinginan/seharusnya), melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan pasal-pasalnya
maupun dalam implementasinya.36
Jika kewenangan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun
1989 , pengadilan agama hanya berwenang mengadili perkara-perkara perdata
Tertentu,37
pada masa Reformasi terdapat perubahan signifikan yaitu perluasan
kewenangan di bidang zakat, infak dan ekonomi syariah. Perluasan
kewenangan ini tentu hasil dari proses-proses politik sehingga dikatakan
sebagai “hukum adalah produk politik” sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh
kekuatan politik yang terbesar,38
di samping dikarenakan berkembangnya
kebutuhan hukum masyarakat khususnya masyarakat muslim.
Namun, Ada juga pihak yang menyatakan bahwa politik Islam (baik
Partai yang berasaskan Islam maupun yang mendeklarasikan diri sebagai partai
36
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4, (Jakarta:Rajawali Pers,
2011), h. 10. 37
Bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. 38
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 4.
67
Islam) belum tentu akan memberi keuntungan yang seluas-luasnya kepada
umat Islam, dikarenakan kategori umat Islam tidaklah monolitik dan singular.
Akar historis dan kulturnya, aspirasi dan kepentingannya tidak begitu saja bisa
dirumuskan oleh satu pihak sebagai yang mewakili umat Islam.39
Terkait hal
ini, agaknya penulis memiliki pendapat lain, bahwa seperti yang diketahui pada
saat kekuasaan Orde Baru runtuh, muncul partai-partai politik beridentitaskan
Islam meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi
yang bervariasi dari satu parpol dengan parpol lainnya, namun MAS Hikam
memastikan adanya benang merah yang mempertemukan mereka, yaitu adanya
kehendak agar Islam yang klaimnya adalah sebuah ajaran sistem yang serba
mencakup, menjadi alternatif dan dominan dalam wacana praksis politik.40
Karena jika tidak ada hal demikian, lantas apa yang membedakan partai
Islam dengan partai Nasionalis? Maka dari itu, menurut penulis, peluang dapat
terlaksananya hukum pidana Islam ke dalam salah satu wewenang Peradilan
Agama adalah bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam dari
elit-elit partai politik Islam akan sejauh mana mereka dapat merepresentasikan
apa yang menjadi aspirasi umat Islam. Termasuk salah satunya pemberlakuan
hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama.
Sebenarnya, kasus judicial review UU Peradilan agama ini juga dikaji
oleh seorang sarjana hukum asal Australia, Simon Butt. Simon berpendapat
bahwa kurangnya keinginan mayoritas masyarakat Indonesia untuk memilih
partai-partai Islam sebagai wakil rakyat yang berada di kursi parlemen. Hal ini
39
Muh. Hanif Dhakiri, “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun‟im D.Z,
ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000), h. 136. 40
Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama..”, h. 10.
68
terlihat dalam pemilihan umum tahun 1999 dan 2004, partai-partai Islam
hanya menerima masing-masing 14% dan 17% suara. Sedangkan pada hasil
Pemilu 2009 suara untuk partai-partai Islam menurun secara signifikan.41
Disamping itu, kurangnya kesadaran dan kemauan umat muslim akan
pemberlakuan hukum Islam terlebih lagi hukum pidana Islam juga terlihat dari
hasil survei yang dilakukan LSI versi Denny JA di 33 provinsi pada 28 Juli - 3
Agustus 2006 dengan responden sebanyak 700 orang tentang "Respon Publik
atas Perda Bernuansa Syariat Islam”. Berdasarkan survei itu lebih dari 80 %
masyarakat setuju diterapkannya peraturan daerah anti kemaksiatan, berupa
larangan peredaran minuman keras, larangan perjudian dan anti pelacuran.
Denny JA menambahkan mayoritas masyarakat setuju adanya penegakan
terhadap moral dan kesusilaan, tetapi disisi lain ada yang menganggap cukup
diwakilkan dengan KUHP, tidak perlu lagi dibuatkan dalam peraturan daerah
yang bernuansa syariat Islam.42
Masih dalam survey yang sama, mayoritas
masyarakat yang beragama Islam (61.7 %) lebih memilih hukum nasional yang
menjamin keberagaman dibandingkan hukum Islam. Mayoritas masyarakat
yang beragama Kristen (78.5 %) maupun agama lainnya (90.9 %) juga
mendukung penerapan hukum nasional. Survei LSI itu juga menunjukkan
mayoritas masyarakat tidak setuju atas penerapan hukum pidana Islam, seperti
77.3 % masyarakat tidak setuju atas hukuman bagi yang tidak mengenakan
busana Muslim, 77.3 % masyarakat tidak setuju hukuman potong tangan untuk
41
Simon Butt, “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”, Pacific Rim
Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300. 42
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakat-setuju-
penerapan-perda-anti-maksiat.htm, diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:22.
69
pencuri, 56.4 % masyarakat tidak setuju atas hukuman cambuk untuk
pemabuk, 63.3 % masyarakat tidak setuju hukuman rajam untuk orang berzina
dan 71.2 % masyarakat tidak setuju hukuman mati untuk murtad.43
Dari hasil survey tersebut, penulis berpendapat bahwa pemahaman
masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada
aspek jawabir (penebus) dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang
dikatakan nash, sehingga begitu menyebut sanksi berdasarkan hukum pidana
Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan bila dilihat dari sisi pelaku.
Padahal Islam sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu. Allah
tidaklah membuat perundang-undangan atau syariat dengan main-main dan
tidak pula menciptakannya dengan sembarangan. Namun Allah mensyariatkan
perundang-undangan Islam untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.44
Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat termasuk
hukum pidana Islam tercakup dalam lima hal, seperti yang disebut oleh para
ulama dengan nama al-kulliyyat al-khams (lima hal/inti pokok) yang mereka
anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga
sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syathibi, yaitu:
1. Menjaga Agama (Hifdz Ad-Din); Illat (alasan) diwajibkannya berperang dan
berjihad, jika ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menjaga Jiwa (Hifdz An-Nafs); Illat (alasan) diwajibkannya hukum qishas,
diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
43
http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkan-
pancasila , diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:45. 44
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta:AMZAH, 2009), h. xiv.
70
3. Menjaga Akal (Hifdz Al-„Aql); Illat (alasan) diharamkannya semua benda
yang memabukkan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga Harta (Hifdz Al-Mal); Illat (alasan) pemotongan tangan untuk para
pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orang lain dengan cara batil lainnya.
5. Menjaga Keturunan (Hifdz An-Nasl); Illat (alasan) diharamkannya zina dan
qadzaf (menuduh orang lain berzina).45
Dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya di
bidang hukum pidana, penerapan hukum pidana Islam bisa saja dilakukan
dengan menggunakan pendekatan teori zawajir. Menurut teori ini, hukuman
yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tidak harus persis seperti
tersebut di dalam nash. Dalam artian, pelaku boleh dihukum dengan hukuman
apa saja, asal dengan hukuman itu tujuan penghukuman dapat dicapai, yaitu
membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa takut melakukan tindak pidana
bagi yang lain. Prof. Masykuri Abdillah menyebut hal ini sejalan dengan
kaidah fikih ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak dapat
dicapai sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Melalui pendekatan
teori ini, akan menimbulkan pemahaman hukum yang kontekstual dan hukum
Islam akan dinamis serta antisipatif terhadap perkembangan zaman.46
Dari semua uraian di atas, apabila politik hukum Islam (hukum pidana
Islam) dari elit-elit partai Islam bisa mendominasi parlemen, bukan hal yang
mustahil kebijakan-kebijakan negara di bidang hukum Islam yang lainnya,
45
Ibid, h. xv. 46
Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam..”, h. 222-223.
71
termasuk hukum pidana Islam dapat menjadi salah satu kewenangan Peradilan
Agama. Karena ketentuan yang ada pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3
tahun 2006 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru, yang dapat
ditafsirkan bahwa tidak hanya perkara perdata Islam yang menjadi
kewenangannya, tetapi juga perkara pidana Islam.
Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah konfigurasi
politik Islam di Indonesia masa mendatang? Mampukah partai-partai Islam
berpacu dengan partai-partai nasionalis lainnya yang selama ini mendominasi?
Karena dalam praktiknya, hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak
pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang
bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Sehingga dalam pandangan penulis,
sejatinya hukum sangat dipengaruhi oleh politik. Betapapun Indonesia sebagai
Negara Pancasila yang plural, dalam realitanya sekarang adalah kebijakan-
kebijakan hukum negara berada pada elit-elit politik yang berada di parlemen.
Sehingga bukan hal yang mustahil, suatu waktu nanti aspek-aspek hukum
pidana Islam dapat diterapkan di Indonesia. Selain dari bagaimana politik
hukum Islam dari elit partai Islam, ini tentu juga harus didorong oleh kesadaran
dan keinginan masyarakat Indonesia akan pentingnya pemberlakuan aspek-
aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum Nasional.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan keseluruhan bab pada skripsi ini dan menganalisa
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008, ada beberapa hal
yang dapat disimpulkan dari hal tersebut. Diantaranya:
1. Sejumlah aspek hukum pidana Islam sebenarnya pernah dipraktekkan di
sejumlah kerajaan Nusantara di Indonesia. Meskipun pada masa
berkuasanya politik Hindia Belanda tidak didapati praktek pemberlakuan
hukum pidana Islam, pada masa pasca Kemerdekaan hukum pidana Islam
dipraktekkan di wilayah Aceh.
2. Dari analisis putusan ini nampak bahwa, MK tidak dapat memenuhi apa
yang menjadi kehendak si pemohon karena UU Peradilan Agama tidaklah
bertentangan dengan UUD NRI 1945, selain itu MK bertindak sebagai
negative legislator, bukan positif legislator yang bisa menambah rumusan
hukum pidana Islam ke dalam UU Peradilan Agama. Terkait hal ini penulis
juga menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU
Peradilan Agama sebenarnya adalah sebuah putusan politik terhadap
kasus/fenomena hukum. Selain itu, nampak jelas bahwa relasi agama-negara
di Indonesia adalah paradigma simbiotik yang berarti keterpaduan agama
dan negara hanya bisa dilakukan melaui proses-proses politik.
3. Kata “perkara tertentu” sebagaimana terdapat pada pasal 2 atas perubahan
UU Peradilan Agama, di kemudian hari sangat membuka peluang terhadap
73
pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional di
Indonesia melalui lembaga Peradilan Agama sebagai institusi penegak
hukumnya. Dan tentu hal ini sangat bergantung pada bagaimana politik
hukum Islam dari elit-elit partai Islam Indonesia di masa mendatang. Dan
juga harus didorong oleh kesadaran dan keinginan masyarakat Indonesia
akan pentingnya pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam ke dalam
sistem hukum nasional.elit-elit partai Islam
B. Rekomendasi
1. Terhadap putusan ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu
memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU
Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak
konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945.
Yaitu UU Peradilan Agama yang tidak memasukan hukum Pidana Islam ke
dalam salah satu yang menjadi kewenangannya.
2. Harus adanya kesadaran umat Muslim yang tinggi untuk menerapkan
hukum Islam (termasuk hukum Pidana Islam) di dalam kehidupannya.
Karena sejauh mana kebijakan-kebijaka hukum negara yang berasaskan
hukum Islam sangat tergantung pada kesadaran umat Muslim di samping
tentu hal ini juga sangat bergantung pada elit-elit politik partai Islam.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdillah, Masykuri. Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan
yang tak pernah tuntas. Jakarta: Renaisan, 2005.
Abidin, Andi Zainal. Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama. Bandung:
Aumni, 1987.
Abubakar, Al Yasa’. Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam,
2006.
----------Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at
Islam Povinsi NAD, 2005.
Ahmad, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
---------- Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Al Faruk, Asadulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Anwar, M. Zainal. “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:Pendekatan
Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”. Millah Vol. X, No. 2,
Februari 2011, h. 198.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2008.
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Azizy, A. Qodri. Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam
dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
75
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997.
Budiman, Arief. Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Butt, Simon. “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”. Pacific
Rim Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2008.
Dhakiri, Muh. Hanif. “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun’im
D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta: PT KOMPAS Media
Nusantara, 2000.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Fajar, A. Malik, ”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan
dan Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin,
ed. Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek dan Tantangan.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
---------- Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
---------- Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008.
Hanafi, A. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1967.
Hasjmy, A. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, ttp.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta:Amzah, 2013.
Irfan, M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1. Jakarta: Amzah,
2011.
76
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam:Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta:Prenada Media
Group, 2010.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta:AMZAH, 2009.
Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1979.
Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
MD, Moh. Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
---------- Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Wakaf Paramadina,
1992.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Mardani. Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV
INDHILL CO, ttp.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah.
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
---------- Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
NWAY, Ayang Utriza. “Adakah Penerapan Syari’at Islam di Aceh? Tinjauan
Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”. Tashwirul
Afkar. Edisi No. 24 Tahun 2008. h. 124.
Pradoyo. Sekulerisasi dalam Polemik. Jakarta: Grafitipers, 1993.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992.
Sabri, Zuffran. Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang
RUU PA. Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
77
Salim, Arskal. “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”. Hukum
Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68.
---------- Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern
Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 2008.
----------“Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im
D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta:PT KOMPAS Media
Nusantara, 2000.
Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta:
AlumniAhaem-Petehaem, 1996.
Soekanto, Soerjono, Dkk. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sukardja, Ahmad “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-
undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim
dan Jaenal Aripin, ed. Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang,
Prospek dan Tantangan. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:LP3S, 1985.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia. Malang:Bayumedia Publishing, 2005.
Sunny, Ismail. “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan
indonesia”. dalam Ahmad, Amrullah SF, dkk, Dimensi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani press, 1996.
Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Ciputat:
PT Logos Wacana Ilmu, 2002.
Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Tafal, B. Bastian. Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
Ubaedillah, A, dkk. Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
78
Wahid, K.H Abdurrahman, dkk. Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan
Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktik. Jakarta:Sinar Grafika, 2008.
Zada, Khamami. “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh
(1514-1903)”. Karsa, Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.
Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholis Madjid. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008
UUD NRI 1945
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syiar Islam
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum)
Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat
Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal
Internet
http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkan-
pancasila
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakat-
setuju-penerapan-perda-anti-maksiat.htm
PUTUSAN
NOMOR 19/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:
[1.2] Suryani, agama Islam; pekerjaan buruh; kewarganegaraan Indonesia;
alamat Kp. Tubui Nomor 35 RT. 13/05 Desa/Kecamatan Waringinkurung,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Telah membaca permohonan dari Pemohon;
Telah mendengar keterangan dari Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 24 Juni 2008 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) tanggal 26
Juni 2008, dan di daftar pada tanggal 30 Juni 2008 dengan registrasi Nomor
19/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 28 Juli 2008, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
2
I. PENDAHULUAN
Bahwa Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah
oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4611) beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap
Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
alasan sebagai berikut.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, "Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a) perorangan warga negara Indonesia
b) kesatuan Masyarakat Hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c) badan hukum publik atau privat;
d) lembaga negara.
3
2. Bahwa penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan, "Yang dimaksud dengan
'hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945".
3. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh Pemohon
selaku perorangan warga negara Indonesia dalam permohonan ini adalah
hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agama
Pemohon, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya," juncto Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu" juncto Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
4. Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat
bahwa pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1989 Nomor 49 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4611) pada pasal yang sama beserta penjelasannya, adalah bertentangan
dan atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon untuk "bebas
beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat
beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut
4
ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara
melalui Undang-Undang tentang Peradilan Agama tersebut.
5. Bahwa di dalam ajaran Agama Islam, selain diperintahkan menjalankan
hukum agama (syari’at) Islam secara perdata untuk perkara hukum rumah
tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan Peradilan
Agama Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400)
yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya
Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya; Al-Qur’an juga memerintahkan
umat Islam untuk menjalankan hukum agama (syari’at) pidana untuk
perkara pelanggaran pidana. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam
Al-Qur’an, yang salah satu contohnya terdapat pada Surat Al-Maidah ayat
38, yang artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana".
Maka, jelaslah bahwa sesuai ketentuan yang ada pada Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta
penjelasannya, Pemohon menemukan adanya aturan yang telah merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). Karena telah
dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara
menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam.
5
Dan/atau berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam
sebagai komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana
telah di firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 38 tersebut di atas,
maka PASTI akan dianggap menegakkan hukum diatas hukum. Sesuai
aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut
akan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Jadi, jelaslah bahwa ketentuan UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata
telah merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional
Pemohon dan seluruh umat Islam di Indonesia [Pasal 28E ayat (1) juncto
Pasal 28I ayat (1) dan (2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945)
untuk bebas menjalankan agamanya dan beribadat menurut ajaran
agamanya itu. Dalam arti:
a. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah)
sebagai bentuk ibadah,
b. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah)
sebagai syarat mutlak untuk mencapai tingkatan takwa atau tingkatan
iman yang sempurna; dan
c. hukum agama (syari’at) Islam sebagai bagian yang tak bisa terpisahkan
dari Agama Islam.
Karena dalam ajaran agama Islam, hukum agama (syari’at) Islam
mempunyai kedudukan lebih utama dan spesial daripada ibadah. Bahkan
setiap perbuatan umat Islam tidak akan bernilai ibadah jika tidak sesuai
dengan hukum agama (syari’at) Islam.
6. Apabila negara membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam
untuk dapat hidup dalam naungan/payung hukum agama (syari'at) Islam
secara kaffah itu sama saja dengan bahwa:
1) Negara telah membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam
untuk dapat beragama dengan bebas agar menjadi umat Islam yang
beriman dan mencapai tingkatan takwa.
Maka jelaslah hal ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945; dan
2) Negara telah melakukan diskriminasi kepada umat Islam, karena telah
mengintervensi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya untuk
6
dapat bertakwa kepada Allah SWT. Padahal negara tidak
mengintervensi umat agama lainnya (non Islam) untuk dapat bertakwa
kepada Tuhan mereka.
Maka jelaslah pula hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945;
4. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia yang beragama Islam,
mempunyai kualifikasi untuk mengajukan Permohonan Pengujian Materiil
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya terhadap UUD
1945 kepada Mahkamah Konstitusi, karena merasa hak/kewenangan
konstitusional Pemohon [Pasal 28E ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) dan
(2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2)] sangat nyata telah dirugikan dan atau
potensial dirugikan akibat masih diberlakukannya materi undang-undang
dimaksud khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya sesuai
ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam Permohonan ini.
IV. ALASAN-ALASAN HUKUM PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN HAK UJI MATERIIL
1. Bahwa Inti ajaran dari setiap agama adalah iman dan takwa, begitu pula
dengan inti dari ajaran agama Islam adalah iman dan takwa. (sebagaimana
dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Serang. Surat Keterangan terlampir).
a) Bahwa Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kemudian
diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan pelaksanaan (amal
ibadah). Maksudnya membenarkan apa yang diberitakan Allah SWT
melalui rasul-Nya dan MEMATUHI apa saja yang diperintahkan-Nya dan
menjauhi apa saja yang dilarang-Nya sesuai ajaran Al-Qur'an dan
Al-Hadits.
7
[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir]; dan
b) Bahwa Takwa berarti melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi
semua larangan-Nya. Jadi muttaqin (orang yang bertaqwa) adalah
orang-orang yang selalu mengerjakan seluruh perintah Allah SWT dan
selalu menjauhi seluruh larangan-Nya, TANPA TERKECUALI.
[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir].
Jadi, Inti ajaran dari agama Islam adalah PATUH menjalankan segala
perintah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala larangan-Nya
TANPA TERKECUALI. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila.
Keduanya (iman dan takwa) merupakan satu kesatuan yang tak boleh
dipisahkan, agar umat Islam selamat dan bahagia baik di dunia maupun di
alam akhirat kelak. Karena iman tidak akan mencapai kesempurnaan jika
tidak disertai dengan takwa.
2. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. yang memiliki makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara beragama, yang tentunya harus dilandasi oleh Iman dan Takwa
(Imtak) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Maka beriman dan bertakwa juga merupakan amanat konstitusional yang
diperintahkan UUD 1945 dan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.
Sebagaimana diperkuat oleh:
- Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan, yang menyatakan bahwa:
”Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan
dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa
dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan
berbangsa.”; dan
- Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan, yang menyatakan bahwa:
8
”Untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020
dipergunakan indikator-indikator utama sebagai berikut:
1. Religius
a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal
dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan
diamalkan dalam perilaku keseharian;
b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;”
Maka apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk
menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara
menyeluruh (kaffah), itu sama saja artinya bahwa umat Islam di Negara
Indonesia ini dilarang untuk dapat beriman sempurna dan atau mencapai
tingkatan takwa kepada Tuhan kami (Allah SWT). Padahal hal itu
bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang
telah dijelaskan di atas.
3. Bahwa harus diingat, yang dimaksud ibadah dalam ajaran agama, memiliki
cakupan yang luas. Bahwa menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan
dan meninggalkan apa-apa saja yang dilarang oleh Allah SWT
sebagaimana yang telah diatur oleh Hukum Agama Islam (syari’at Islam)
sudah pasti bernilai ibadah.
[sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir].
Yaitu Ibadah dalam arti penghambaan dan penyerahan diri umat muslim
kepada Allah SWT sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Maha Esaan-
Nya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya.
(sebagaimana dikutip dari buku: PENERAPAN SYARI’AH ISLAM: bercermin
pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi yang ditulis oleh Dra. Husnul
Khatimah, M.Ag., diterbitkan Pustaka Pelajar).
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, ”Negara menjamin
9
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Maka, karena menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah)
adalah sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Agama Islam, maka sudah
menjadi keharusan bahwa Negara Republik Indonesia juga berkewajiban
untuk melindungi kemerdekaan umat Islam di Indonesia serta memberikan
penjaminan, perlindungan dan dukungan fasilitas bagi umat Islam untuk
dapat menerapkan dan atau menjalankan syari’at Islam-nya itu secara
menyeluruh/kaffah karena syari’at Islam merupakan salah satu bentuk
ibadah bagi umat Islam di negara Republik Indonesia ini.
4. Bahwa apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk
menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam-nya secara
menyeluruh (kaffah), itu sama saja dengan membatasi dan atau melarang
umat Islam untuk dapat beribadah dan patuh pada ajaran agamanya.
Hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.
5. Bahwa inti ajaran Agama Islam adalah beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT, dan agar menjadi umat yang Beriman dan Bertakwa, umat Islam
harus menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh,
(sebagaimana telah dijelaskan di atas). Maka jelaslah bahwa benar bisa
dibilang Agama Islam itu adalah hukum agama (syari’at) Islam itu sendiri. Jadi, apabila negara membatasi umat Islam untuk menegakkan
hukum agama (syari’at) Islam-nya secara menyeluruh dan total, hal tersebut
sama juga artinya bahwa negara telah membatasi umat Islam dalam
memeluk agamanya.
Tentu hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Hak beragama adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
6. Padahal umat pemeluk agama lain (non muslim) dalam kehidupan
beragamanya untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan mereka tidak
diintervensi oleh negara, sedangkan Pemohon dan seluruh umat Islam di
10
Indonesia untuk menjalankan perintah Tuhan kami (yaitu menegakkan
syari’at Islam secara menyeluruh) agar dapat mencapai tingkatan takwa,
dengan nyata telah dibatasi oleh negara. Maka jelaslah hal ini merupakan
sebuah bentuk diskriminasi negara kepada umat Islam yang hidup di
Indonesia.
Dan tentu saja hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945, yang menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
7. Bahwa umat Islam saat ini tahu betul bahwa negara Indonesia ini bukan
negara Islam, melainkan hanya negara yang menjamin tiap-tiap penduduk
agar dapat beribadat sesuai agamanya masing-masing saja. Sesuai anjuran
Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 4-6 yang telah dijelaskan di atas, maka
Negara seharusnya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam, tentunya
hanya untuk umat Islam saja, dan dipersilahkan juga kepada Negara untuk
menegakkan syari'at agama yang lainnya juga (jika dimungkinkan), dengan
ketentuan hanya untuk pemeluknya saja.
8. Bahwa dalam kenyataannya sampai saat ini, Negara Republik Indonesia
memang telah mengakomodir kebutuhan umat beragama khususnya bagi
umat Islam yang ada di Negara Republik Indonesia ini, yaitu dengan telah
menegakkannya hukum agama (syari’at) Islam pada lembaga Peradilan
Agama. Dengan dibuat dan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3400), yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4611).
Akan tetapi Negara hanya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam
dalam cakupan perkara tertentu saja yaitu dalam bentuk Hukum Perkara
Perdata tertentu saja, seperti yang telah terkutip dalam:
11
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang
kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006) pada
pasal yang sama, yang berbunyi:
”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a) Perkawinan
b) Waris
c) Hibah
d) Wakaf
e) Zakat
f) Infaq
g) Shadaqah; dan
h) Ekonomi syari’ah;
Yang kemudian diperkuat dengan penjelasannya dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400 (Penjelasan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang kemudian diubah
oleh Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611
(Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) yang
menyatakan bahwa:
“Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah”;
SARAN/USULAN
Bahwa setelah Pemohon mempelajari UU tentang Peradilan Agama dengan
seksama, selain menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 49 ayat (1),
12
Pemohon juga sebenarnya menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 1
ayat (1), dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, karena isinya bertentangan dengan UUD 1945.
Namun dikarenakan Pemohon merasa tidak dirugikan dengan berlakunya
kedua pasal tersebut, maka kedua pasal tersebut tidak diikutsertakan dalam
permohonan uji materiil ini.
Akan tetapi, dikarenakan apabila kedua pasal tersebut juga ikut diubah dan
atau diperbaiki oleh negara, maka akan semakin menguatkan permohonan uji
materiil yang diajukan Pemohon ini. Maka dengan ini Pemohon hanya
mencantumkannya sebagai sebuah saran/usulan untuk negara, dan seraya
berharap kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk berkenan ikut
menyetujui dan/atau mendukung saran/usulan Pemohon ini, yang uraiannya
sebagai berikut :
1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara beragama, yaitu
negara yang menganut beberapa agama, diantaranya: Agama Islam,
Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Maka untuk menghindari adanya peng-eksklusif-an salah satu agama
tertentu, maka syari’at agama yang lainnya juga harus ditegakkan
(bilamana diperlukan), pada Lembaga Peradilan Agama Indonesia.
Tentunya syari’at Agama tersebut haruslah ditujukan hanya bagi
pemeluknya saja. Contohnya: Syari’at Islam ditegakkan hanya untuk umat
muslim saja. Begitupun dengan syari’at agama yang lainnya juga
ditegakkan hanya untuk umat pemeluk agamanya masing-masing saja.
2. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara beragama yang
menganut beberapa agama, yaitu Agama Islam, Kristen Protestan,
Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Maka untuk menghindari adanya
peng-ekslusif-an agama tertentu, dengan ini Pemohon menyampaikan
saran/usulan sebagai berikut:
1) Bahwa semestinya lembaga Peradilan Agama juga ditujukan untuk
menegakkan seluruh Ajaran Agama, Aturan Agama, Norma Agama,
13
Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau Hukum Agama (syari’at)
yang ada di Negara Republik Indonesia ini, dan tentu saja ditegakkan
hanya untuk para pemeluk agamanya masing-masing saja.
Atau setidaknya minimal negara memberikan jaminan dan atau payung
hukum yang intinya adalah bahwa negara tidak menutup celah (tidak
melarang) kemungkinan bagi umat beragama selain umat Islam
(bilamana diperlukan) untuk menegakkan Ajaran Agama, Aturan
Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau
Hukum Agama (syari’at)-nya di Peradilan Agama Indonesia. Karena
Peradilan Agama sebagai lembaga publik dan/atau fasilitas yang
dibangun oleh negara, maka tidak boleh dikhususkan atau di-eksklusif-
kan hanya bagi golongan, suku, atau agama tertentu saja.
2) Bahwa untuk menghindari adanya kesan meng-eksklusif-kan umat
Islam. Maka mengenai teknis pelaksanaan dalam penegakan hukum
agama (syari’at) Islam (bilamana Permohonan Uji Materiil ini
dikabulkan), sebaiknya negara tidaklah perlu sampai harus membentuk
satuan polisi khusus seperti Polisi Syari’ah. Akan tetapi, hanya perlu
membentuk sebuah ”Komisi Penegakan Agama” seperti halnya
KOMNAS HAM, KPI, KPAI ataupun KPK yang diberi kewenangan
untuk menindak atau menjerat umat Islam yang bertindak atau
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam
dan/atau juga oknum umat beragama yang lain yang melakukan
perbuatan yang tidak sesuai ajaran agamanya (itu pun dimungkinkan
kalau apabila negara berkenan merealisasikan saran/usulan Pemohon
pada poin yang pertama di atas).
Dan,
3. Bahwa apabila ada salah satu agama tertentu merasa tidak membutuhkan,
atau ajaran agamanya tidak menuntut umatnya untuk menerapkan Ajaran
Agama, Aturan Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan
Agama dan/atau Hukum Agama (syari’at) pada Lembaga Peradilan Agama
Indonesia. Maka, sudah bukan menjadi urusan negara lagi.
14
VI. PETITUM
Bahwa, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini
memohon agar sudi kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan
wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal
10 ayat (1) juncto Pasal 45 juncto Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan Pemohon yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyetujui saran/usulan Pemohon;
3) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta
penjelasannya adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan Pasal 28E
ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta
penjelasannya adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya.
Di samping itu Pemohon telah mengajukan perbaikan permohonan dan
menyampaikan dalam persidangan pemeriksaan perbaikan permohonan pada
tanggal 31 Juli 2008 yang pada pokoknya sebagaimana tercantum dalam
kesimpulan Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: secara umum, Pemohon tidak
berniat untuk merubah ataupun mengganti Permohonan Uji Materiil
sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni
2008, sehingga tetap menjadikan permohonan tersebut sebagai acuan
utama Pemohon untuk meneruskan permohonannya.
15
2. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: akan memperbaiki, merubah,
dan mengganti Petitum Pemohon yang telah tercantum pada Permohonan
Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per
tanggal 26 Juni 2008, dan menyatakan Petitum tersebut (sebelum
perbaikan) tidak berlaku lagi.
3. Bahwa dengan segala keterbatasannya, Pemohon menyatakan masih
optimis, yakin dan percaya diri dengan kemampuan dan kualifikasi
Pemohon, sebagaimana telah dipersyaratkan UU tentang Mahkamah
Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Dan menyatakan
kualifikasinya cukup dalam bidang Ilmu Agama maupun Hukum, jika
hanya untuk sekedar mengajukan Permohonan Uji Materiil sebagaimana
telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008.
Meskipun tidak lebih.
4. Bahwa Pemohon ingin menyatakan: tidak punya niat sedikitpun untuk
mengundurkan diri ataupun mencabut kembali Permohonan Uji Materiil
sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni
2008. dan (Insya Allah) akan siap sedia menghadiri setiap sidang yang
dijadwalkan Mahkamah Konstitusi.
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang diberi meterai cukup dan
diberi tanda P - 1 sampai dengan P-13 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen
(dalam satu naskah);
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Serang;
Bukti P-6 : Fotokopi Artikel “Membumikan Syari’at Islam di Pesantren”, dimuat
Radar Banten, 8 Juli 2006;
16
Bukti P-7 : Fotokopi buku Penerapan Syari’ah Islam: Bercermin pada Sistem
Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi, hal. 26-29. Buku ditulis Drs. Husnul
Khatimah, dan diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta;
Bukti P-8 : Fotokopi Juz ‘Amma dan Terjemahannya, hal. 18. Surat Al-Kafirun
ayat 4-6. Diterbitkan oleh CV. Wicaksana, Semarang;
Bukti P-9 : Fotokopi Al Qur’an, Surat Al-Maaidah;
Bukti P-10 : Fotokopi Al-Qur’an, Surat Al-Hajj;
Bukti P-11 : Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa;
Bukti P-12 : Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan;
Bukti P-13 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah
untuk menguji Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama beserta Penjelasan pasal tersebut (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006,
Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611,
selanjutnya disebut UU Peradilan Agama) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh substansi
atau pokok permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
17
1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk diterima
sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;
Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara
lain, bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 12
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dan Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK).
[3.4] Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon
adalah permohonan pengujian undang-undang, Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan
Agama beserta Penjelasan atas pasal tersebut terhadap UUD 1945, maka
berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo.
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa dalam permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
kedudukan hukumnya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, Pasal 51 ayat
(1) UU MK menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yaitu:
18
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
[3.6] Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, maka orang
atau pihak dimaksud haruslah:
a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga
negara;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
[3.7] Menimbang bahwa, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31
Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan
putusan-putusan selanjutnya, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk
dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus
dipenuhi syarat-syarat:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
19
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;
[3.8] Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian
atas norma undang-undang yang bersifat umum, bukan berupa hak yang bersifat
privat (subjektief-recht), meskipun yang mengajukan permohonan adalah
perorangan. Dengan demikian, dalam setiap pengujian undang-undang, yang
dimaksud dengan kerugian konstitusional yang tidak akan atau tidak lagi terjadi
sebagaimana dimaksud dengan huruf e di atas, harus diartikan bahwa:
a. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu tidak ada
maka Pemohon tidak akan pernah mengalami kerugian hak konstitusional;
b. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian ditiadakan
maka kemungkinan kerugian bagi pihak-pihak lain tidak akan terjadi.
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian Pemohon di atas, maka dalam
menilai apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) menurut
Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah harus mempertimbangkan dua hal, yaitu:
a. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dapat
dikualifikasi sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dirugikan hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama;
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51
ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sesuai
dengan uraian Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang
diajukan;
[3.11] Menimbang bahwa Pemohon telah mendalilkan yang pada pokoknya,
telah dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
20
yang berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;
f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena Pemohon sebagai
perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 49
ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasannya, adalah bertentangan
dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945:
• Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali";
• Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi, " Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun." Ayat (2) yang berbunyi,
"Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu ";
• Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu".
Dikatakan bertentangan dengan konstitusi karena hak dan/atau kewenangan
konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran
agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan
mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam,
telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut.
[3.12] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 31 Juli 2008 Mahkamah
telah memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan ahli dan/atau
saksi namun Pemohon menyampaikan tidak mempergunakan kesempatan untuk
mengajukan ahli dan/atau saksi dalam perkara ini.
21
[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian
permohonan serta dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang
diajukan, berkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah
berpendapat:
1. bahwa Pemohon telah memenuhi syarat subjek sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yakni sebagai perorangan warga negara;
2. bahwa secara prima facie Pemohon telah memenuhi syarat kerugian
konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-IlI/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-V/2007
tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, yakni:
a. bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal
28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
b. bahwa Pemohon menganggap sebagai warga negara yang beragama Islam
yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 49
ayat (1) UU Peradilan Agama karena merasa dibatasi kebebasannya untuk
melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap (kaffah);
c. bahwa kerugian konstitusional dimaksud meskipun tidak secara spesifik dan
aktual tetapi setidak-tidaknya secara potensial akan terjadi;
d. bahwa kerugian konstitusional dimaksud memang disebabkan oleh
berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasan
pasal tersebut;
e. bahwa jika permohonan Pemohon dikabulkan, potensi kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan oleh Pemohon tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
[3.14] Menimbang, selanjutnya, sepanjang mengenai kerugian hak
konstitusional Pemohon dan inkonstitusionalitas Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan
Agama, Mahkamah akan mempertimbangkan dan memberi penilaian bersama-
sama dengan pertimbangan mengenai pokok permohonan berdasarkan
keterangan Pemohon dan bukti-bukti Pemohon yang diajukan di persidangan.
22
Pokok Permohonan
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah
merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi,
”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat;
g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon
untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi
umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut
ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui
UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah
berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang
berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam
Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.
• Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”;
• Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang”.
Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan
kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan
yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD
1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum
acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945
diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undang-
undang.
23
[3.16] Menimbang bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan
ketidaksesuaian. Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat
(1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan
di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup
kompetensinya diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum
pidana (jinayah). Terhadap permohonan yang demikian, Mahkamah berpendapat
bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan
Agama sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama,
karena Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10
UU MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan
tidak mengikat secara hukum apabila telah terbukti undang-undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pengujian materil maupun formil.
Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali
tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau menjadi positive legislator.
[3.17] Menimbang selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat
(1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menurut
Pemohon merugikan hak konstitusionalnya sebagaimana telah dijamin oleh
konstitusi khususnya Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29
ayat (1) dan (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945
sebagaimana dikutip di atas jelas menunjukkan bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang
menegakkan hukum dan keadilan, yang ruang lingkup dan batas kompetensinya
ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, pengaturan Pasal 49 ayat (1) UU
Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945;
[3.18] Menimbang, Pemohon mendalilkan pula bahwa hukum Islam dengan
semua cabangnya termasuk hukum pidana (jinayah) harus diberlakukan di
Indonesia karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Bahkan Pemohon juga mendalilkan bahwa setiap penganut agama
yang sah di Indonesia dapat meminta kepada negara untuk memberlakukan
hukum agamanya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, Pemohon juga
mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan
24
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi,
"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
diskriminatif itu". Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat
bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia
mengenai hubungan antara negara dan agama. Indonesia bukan negara agama
yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan
negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan
urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah
negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk
agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Dalam
hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin
keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi
beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional
dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu
bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran
besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika
masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional,
tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain
hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun
menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi
salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal.
Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan
sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional.
[3.19] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1)
UU Peradilan Agama bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1)
dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E
25
ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sehingga
dalil Pemohon tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
4. KONKLUSI
Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan fakta dan
hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan
Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan
(2) UUD 1945;
[4.2] bahwa oleh karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak
beralasan, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316),
maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,
Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, oleh sembilan
Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal delapan bulan Agustus tahun dua ribu
delapan, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari ini Selasa dua belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan,
oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap
Anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono,
Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukthie
Fadjar, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN
26
sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah atau
yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Jimly Asshiddiqie
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ttd.
HM. Arsyad Sanusi
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
H. Harjono
ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar
ttd.
H.A.S. Natabaya
ttd.
I Dewa Gede Palguna
ttd.
Maruarar Siahaan
PANITERA PENGGANTI,
ttd. Fadzlun Budi SN
Lampiran
Tabel 1
Materi Hukum Pidana Islam yang telah dilegalisasi oleh wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam
No Tindak Pidana Sanksi Peraturan Pelaksana
1.
Bidang Aqidah
Setiap orang yang
menyebarkan paham atau
aliran sesat dan orang yang
sengaja keluar dari aqidah dan
atau menghina atau
melecehkan agama Islam.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman penjara
maksimal 2 tahun atau
Cambuk maksimal 12
kali.1
Qanun No 11 Th 2002
tentang Pelaksanaan
Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah dan
Syi’ar Islam
Bidang Ibadah
Setiap orang tanpa uzur syar’i
tidak menunaikan solat jum’at.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman penjara
maksimal 6 bulan atau
cambuk maksimal 3
kali.2
Setiap Perusahan
pengangkutan umum yang
tidak memberi kesempatan
dan fasilitas kepada pengguna
jasa untuk melaksanakan solat
fardhu.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman pencabutan
izin usaha.3
1 Pasal 20 ayat (1) (2) Qanun No 11 Tahun 2002
2 Pasal 21 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002
3 Pasal 21 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002
Setiap orang yang
menyediakan fasilitas/ peluang
kepada orang muslim yang
tidak ada uzur syar’i untuk
tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman penjara
maksimal 1 tahun
atau denda maksimal
3 juta rupiah atau
cambuk maksimal 6
kali atau pencabutan
izin usaha.4
Qanun No 11 Th 2002
tentang Pelaksanaan
Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah dan
Syi’ar Islam
Setiap orang yang makan atau
minum di tempat umum pada
siang hari di bulan Ramadhan.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman penjara
maksimal 4 bulan atau
hukuman cambuk
maksimal 2 kali.5
Bidang Syi’ar
Setiap orang yang tidak
berbusana Islami yaitu pakaian
yang menutup aurat yang tidak
tembus pandang, dan tidak
memperlihatkan bentuk tubuh.
Sanksi Ta’zir setelah
melalui proses
peringatan dan
pembinaan oleh
Wilayatul Hisbah.6
2.
Khamar
Setiap orang yang
mengkonsumsi khamar.
Sanksi Hudud berupa
hukuman 40 kali
cambuk.7
Qanun No 12 Tahun
2003 tentang Minuman
Khamar dan Sejenisnya
Setiap orang/badan
hukum/badan usaha yang
membantu dalam dan atau
memproduksi, menyediakan,
Sanksi Ta’zir berupa
kurungan maksimal 1
tahun,paling singkat 3
bulan,dan atau denda
44
Pasal 22 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002 5 Pasal 22 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002
6 Pasal 23 Qanun No 11 Tahun 2002
7 Pasal 26 ayat (1) Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
menjual,memasukkan,mengeda
rkan,menyimpan, menimbun,
memperdangkan dan
mempromosikan minuman
khamar dan sejenisnya.
maksimal 75 juta,
minimal 25 juta.8
3.
Maisir (Perjudian)
Setiap orang yang melakukan
perbuatan masir.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman cambuk
maksimal 12 kali dan
minimal 6 kali.9
Qanun No 13 Tahun
2003 tentangMaisir
(Perjudian) dan
Sejenisnya
Setiap orang/badan hukum
/badan usaha yang
menyelenggarakan dan atau
memberikan fasilitas kepada
orang lain untuk melakukan
perbuatan maisir/menjadi
pelindung terhadap perbuatan
maisir.
Sanksi Ta’zir berupa
denda maksimal 35
juta minimal 15 juta.10
4.
Khalwat (Perbuatan Mesum)
Setiap orang yang melakukan
(khalwat). Sedang Khalwat/
mesum adalah perbuatan yang
dilakukan oleh dua orang yang
berlawanan jenis atau lebih,
tanpa ikatan nikah atau bukan
muhrim pada tempat tertentu
yang sepi yang memungkinkan
terjadinya perbuatan maksiat di
bidang seksual atau yang
berpeluang pada tejadinya
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman cambuk
Maksimal 9 kali,
paling sedikit 3 kali
atau denda maksimal
10 juta minimal
2,5 juta.11
Qanun No 14 Tahun
2003 tentang Khalwat
(Perbuatan Mesum)
8 Pasal 26 ayat (2) Qanun No 12 Tahun 2003
9 Pasal 23 ayat (1) Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir(Perjudian)dan Sejenisnya
10 Pasal 23 ayat (2) Qanun No 13 Tahun 2003
11 Pasal 22 ayat (1) Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwa (Perbuatan Mesum)
perbuatan perzinaan.
Setiap orang atau kelompok
masyarakat, atau aparatur
pemerintahan dan badan usaha
yang memberikan fasilitas
kemudahan dan/atau
melindungi orang melakukan
khalwat /mesum.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman kurungan
Maksimal 6 bulan,
Paling singkat 2 bulan
dan atau denda
Maksimal 15 juta
minimal 15 juta.12
5.
Pengelolaan Zakat
Setiap orang yang tidak
membayar zakat /membayar
tapi tidak menurut yang
sebenarnya.
Sanksi Ta’zir berupa
Denda maksimal 2
kali nilai zakat yang
wajib dibayarkan.13
Sanksi Ta’zir berupa
Qanun No 7 Tahun
2004 tentang
Pengelolaan Zakat
Setiap orang yang membuat
surat palsu/memalsukan surat
Badan Baitul Mal.
hukuman cambuk
Maksimal 3 kali
Minimal 1 kali.14
Setiap orang/badan yang
melakukan,
Atau membantu penggelapan
zakat.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman cambuk
Maksimal 3 kali
Minimal 1 kali, dan
Denda maksimal 2
kali minimal 1 kali
dari nilai zakat yang
di gelapkan.15
Setiap petugas Baitul Mal yang
melakukan penyelewengan
zakat.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman cambuk
Maksimal 4 kali
Minimal 2 kali.16
12
Pasal 22 ayat (2) Qanun No 14 Tahun 2003 13
Pasal 37 Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat 14
Pasal 38 Qanun No 7 Tahun 2004 15
Pasal 39 Qanun No 7 Tahun 2004
6.
Lembaga Baitul Mal
Setiap orang yang memalsukan
surat Baitul Mal yang dapat
mengakibatkan gugurnya
kewajiban membayar zakat.
Sanksi Ta’zir berupa
Denda maksimal 3
Juta minimal 1 juta
atau hukuman
Kurungan maksimal 3
bulan minimal 1
Bulan.17
Qanun No 10 Tahun
2007 tentang Baitul
Mal
setiap orang/badan yang
melakukan atau membantu
penggelapan zakat.
Sanksi Ta’zir berupa
hukuman cambuk
Maksimal 3 kali
Minimal 1 kali, dan
Denda maksimal 2
kali minimal 1 kali
dari nilai zakat yang
di gelapkan.18
Setiap petugas Baitul Mal yang
melakukan penyelewengan
zakat.
Sanksi Ta’zir
berupadenda minimal
1 juta maksimal 3 juta
atau hukuman
kurungan minimal 2
bulan atau maksimal 6
bulan dan membayar
kembali kepada Baitul
Mal senilai zakat atau
harta agama yang
diselewengkan.19
16
Pasal 40 Qanun No 7 Tahun 2004 17
Pasal 51 Qanun No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 18
Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2007 19
Pasal 53 Qanun No 10 Tahun 2007