SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara...

25
SIPENDIKUM 2018 23 KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016 Kristian 1 E-mail : [email protected] Aji Mulyana 2 E-mail : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi suatu tindak pidana korupsi dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat makin maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi terlebih belum adanya kebijakan dalam regulasi yang mengakomodir mengenai pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sekalipun telah ada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi namun masih terdapat beberapa kelemahan yang akan berdampak terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ketidakjelasan formulasi mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan konsekwensi terhadap upaya penyempurnaan peraturan berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Penelitian ini hendak membahas mengenai kualifikasi suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Kata Kunci : Kebijakan; Korupsi; Korporasi; Pidana. 1 Penulis Pertama adalah Dosen tetap Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Suryakancana. 2 Penulis Kedua adalah Pegawai tetap Universitas Suryakancana sebagai Staf LPPM.

Transcript of SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara...

Page 1: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

23

KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH

KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016

Kristian1

E-mail : [email protected]

Aji Mulyana2

E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi suatu tindak pidana

korupsi dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

korporasi pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat

makin maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi

terlebih belum adanya kebijakan dalam regulasi yang mengakomodir

mengenai pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang

terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sekalipun telah ada Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata

Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi namun masih

terdapat beberapa kelemahan yang akan berdampak terhadap upaya

penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ketidakjelasan formulasi

mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi memberikan konsekwensi terhadap upaya penyempurnaan

peraturan berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

korporasi. Penelitian ini hendak membahas mengenai kualifikasi suatu

tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi sehingga hasil penelitian

ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif

(yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna

mengumpulkan data sekunder.

Kata Kunci : Kebijakan; Korupsi; Korporasi; Pidana.

1 Penulis Pertama adalah Dosen tetap Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Suryakancana. 2 Penulis Kedua adalah Pegawai tetap Universitas Suryakancana sebagai Staf LPPM.

Page 2: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

24

Pendahuluan

Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu

penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara sistemik dan

meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian

negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.3

Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan

nasional bangsa Indonesia yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara luas mendefinisikan tindak pidana korupsi

sebagai “missus of (public) power for private gain”.4 Menurut Centre for Crime Prevention

(CICP) tindak pidana korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi hal-hal

berikut ini: tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud),

pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan

perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest), perdagangan informasi oleh

orang dalam (insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik

(illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.5

Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan tindak

pidana korupsi baik pada era orde lama, orde baru, maupun pada era reformasi, serta era

baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana korupsi justru

semasih merajalela bahkan dilakukan dengan cara-cara yang semakin canggih dan semakin

tersistematis. Salah satu cara atau modus operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan

dewasa ini adalah dengan menggunakan korporasi sebagai sarana, subjek maupun objek

dari tindak pidana korupsi, dengan demikian, tindak pidana korupsi yang dilakukan dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi.

Lemahnya penanggulangan atas maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

korporasi disebabkan karena belum terakomodirnya kualifikasi suatu tindak pidana korupsi

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, sehingga melengkapi ketidakjelasan kebijakan mengenai sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam perkembangan terbaru telah terbit Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi tertanggal 29 Desember 2016.

3 Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, (2008), Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum

Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 4 Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap Harmonisasi Antara Hukum

Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)], PT. Refika Aditama, hlm.

22. 5 Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi…, Ibid. hlm. 22.

Page 3: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

25

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang

Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi disebutkan dengan jelas

bahwa korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan

kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

nasional dalam kenyataannya korporasi ada kalanya melakukan berbagai tindak pidana

(corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat;

korporasi juga dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak

pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal

liability) dan banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek

tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban (salah satunya Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), namun perkara dengan subjek

hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu

penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak

pidana masih belum jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman bagi aparat

penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi.6

Ketentuan peraturan sebagaimana tersebut di atas, tidak memberi pengaruh yang

signifikan terhadap upaya penanggulangan kasus korupsi yang dilakukan oleh korporasi,

seperti halnya kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat ditemukan

dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Giri Jaladhi Wana.7 Kasus

tindak pidana korupsi ini terjadi pada tahun 2009 yang dilakukan oleh korporasi yang

bernama PT. Giri Jaladhi Wana, sebuah korporasi yang bergerak di bidang perdagangan,

industri, agrobisnis, pengadaan barang dan jasa, transportasi, pembangunan, dan design

interior. Dalam kasus ini, pada mulanya direktur utama dari korporasi tersebut telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.

7.600.000.000 (tujuh milyar enam ratus juta rupiah) dan dijatuhi pidana dengan pidana

penjara selama 6 tahun serta serta membayar uang pengganti Rp. 6.300.000.000 (enam

milyar tiga ratus juta rupiah) berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 936

K/Pid.Sus/2009. Karena uang pengganti yang dibayarkan hanya sebesar Rp. 6.300.000.000

(enam milyar tiga ratus juta rupiah) sedangkan kerugian negara sebesar Rp. 7.600.000.000

(tujuh milyar enam ratus juta rupiah) maka telah terjadi selisih (kerugian negara yang

belum dipulihkan) senilai Rp. 1.300.000.000 (satu milyar tiga ratus juta rupiah) yang harus

dibayarkan oleh atau didakwakan kepada PT. Giri Jaladhi Wana (sebagai korporasi).

6 Pertimbangan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. 7 Lihat selengkapnya dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, Putusan

Pengadilan Tinggi Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM dan Putusan Mahkamah Agung No. 936

K/Pid.Sus/2009.

Page 4: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

26

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi juga disebutkan

bahwa maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh

Korporasi adalah untuk menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara

pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus, mengisi kekosongan hukum khususnya

hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau

Pengurus; dan mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan

pelaku Korporasi dan/atau Pengurus.

Meskipun demikian, menurut hemat peneliti, keberadaan dan kebijakan formulasi

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, masih mengandung banyak kelemahan

baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis sehingga akan mempengaruhi

aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia.

Kelemahan kebijakan formulasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh

Korporasi ini diantaranya dapat ditemukan dalam kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi (kapan dan dalam hal bagaimana suatu

tindak pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi).

Ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi menyatakan

bahwa: “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang

berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar

Lingkungan Korporasi” (kursif oleh peneliti). Adapun yang dimaksud dengan “lingkungan

korporasi” menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja yang

termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak

langsung (Pasal 1 Angka 13).

Ruang lingkup tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dirumuskan jauh lebih luas

dibandingkan dengan cakupan tindak pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai undang-undang pokok yang mengatur

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi).

Hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya disebutkan :

Page 5: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

27

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut

dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun

bersama-sama. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi

dan/atau pengurusnya”. (kursif oleh peneliti).

Sebagai konsekuensinya, menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh

Korporasi, tindak pidana yang dilakukan orang (manusia alamiah) diluar lingkup korporasi

atau diluar lingkup usaha korporasi atau diluar lingkup kerja yang termasuk dan/atau

mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung dapat

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korporasi sehingga dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bersangkutan.

Ketentuan tersebut, tentunya merupakan ketentuan yang dapat dan tidak masuk logika

hukum sehingga keberadaannya bertentangan dengan asas negara hukum Indonesia yang

menjamin kepastian hukum. Ketentuan ini juga bertentangan dengan asas lex certa dan

pertanggungjawaban pidana yang bersifat individual dalam hukum pidana. Bagaimana

mungkin, suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) di luar lingkup

korporasi, di luar lingkup usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang termasuk kegiatan

usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang mendukung kegiatan usaha korporasi baik

langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bagi

korporasinya? Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai suatu Undang-Undang) sehingga

muncul masalah hukum, dapatkah Peraturan Mahkamah Agung mengubah atau

memperluas Norma yang terdapat dalam suatu Undang-Undang.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penelitian ini hendak membahas

mengenai kualifikasi (kapan dan dalam hal bagaimana) suatu tindak pidana korupsi dapat

dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi menurut Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi.

Metode Penelitian

Page 6: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

28

Penulisan penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif)

dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (kepustakaan) yang

merupakan data sekunder, yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah

disusun oleh peneliti-peneliti terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan

tempat.8

Setelah semua bahan hukum terkumpul maka terhadap bahan hukum tersebut akan

dilakukan interpretasi baik secara autentik, gramatikal, sistematis dan sejarah (historis).

Dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka tersebut diharapkan dapat

menemukan asas-asas yang terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-pengertian

dasar dari masalah yang diteliti sehingga dapat dijadikan dasar dalam menganalisis

permasalahan.

Sehubungan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif

maka peneliti menggunakan 4 (empat) spesifikasi penelitian ini yaitu undang-undang

(statute), konseptual (conceptual), sejarah (historical) serta filsafat hukum, teori-teori

hukum dan asas-asas hukum.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh

dari kepustakaan, karena data ini bersumber dari bahan-bahan pustaka. Jenis data ini

digunakan, karena penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan, yakni penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

Bahan-bahan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari

norma dasar atau kaidah dasar yaitu Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar

1945, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasi, konvensi, yurisprudensi dan traktat.9 Bahan hukum primer ini juga

mencakup peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi, putusan-putusan

hakim atau putusan pengadilan, yurisprudensi yang secara langsung maupun tidak

langsung mengatur tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

perkara tindak pidana korupsi.

2. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitan,

hasil karya dari kalangan hukum dan pendapat para sarjana hukum.10

Bahan hukum

sekunder juga mencakup buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-5, Jakarta, hlm. 37. 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian … Ibid, hlm. 13.

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian … Ibid, hlm. 13.

Page 7: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

29

dibahas, berbagai artikel dan jurnal, laporan-laporan penelitian, dokumen-dokumen

yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dan lain sebagainya.

3. Bahan Hukum Tertier.

Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum

yang dimaksud diantaranya: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Kamus Hukum, internet, ensiklopedia dan lain sebagainya.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara library research (kepustakaan) yakni

dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berdasarkan topik permasalahan yang telah

dirumuskan dan dikaji menurut pengklasifikasian permasalahan menurut sumber dan

hierarkinya secara komprehensif.

Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, artinya data yang diperoleh

yang mengarah pada kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, doktrin-doktrin

hukum dan isi kaidah hukum terlebih dahulu diuraikan secara sistematis, kemudian

dilakukan analisis secara kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Pengertian korporasi penting untuk diformulasikan dalam undan-gundang pidana

khusus yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang secara

khusus mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum pidana, oleh karena dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korporasi tidak dikenal sebagai subjek

hukum pidana.11

Alasan mengapa penulis katakan penting oleh karena hukum pidana merupakan satu

sistem, dimana Ketentuan Umum Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

berlaku untuk Ketentuan Khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), sendiri maupun yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Karena dalam Ketentuan Umum Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), korporasi tidak dikenal sebagai salah satu subjek hukum pidana maka ketentuan

khusus yang mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum harus mengaturnya

dalam ketentuan umumnya sebagai akibat dari penyimpangan tersebut.12

Pengertian korporasi menurut Loebby Loqman sebagaimana sudah dijelaskan dalam

kerangka teori, ada yang bersifat sempit dan ada yang bersifat luas. Korporasi dalam arti

sempit adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum. Korporasi dalam arti

luas adalah korporasi tidak harus berbadan hukum, setiap kumpulan manusia baik itu dalam

hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya dapat dipertanggungjawabkan.13

11

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam

Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume, 12, Nomor 2, hlm. 191. 12

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 191. 13

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 191-192.

Page 8: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

30

Dasar hukum yang digunakan oleh penegak hukum terkait dengan dugaan tindak

pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dalam kaitannya dengan pembahasan penelitian ini yakni berkaitan dengan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum

pidana sehingga terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1 Angka 1:

Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 1 Angka 3:

Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Pasal 18 :

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang

tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana

korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi

dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau

sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah

kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa

dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Page 9: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

31

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar

uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan

pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana

pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana

tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 20:

(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka

tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya.

(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut

dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun

bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi

tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat

diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di

pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke

sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk

menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di

tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan

ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Dengan demikian, mencermati berbagai ketentuan sebagaimana termuat dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap pihak yang

dapat diketegorikan sebagai korporasi (kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum) dinilai dapat

melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

Berbicara tentang hal ini Menurut Barda Nawawi Arief, dalam aturan khusus hukum

pidana yang tersebar di luar KHUP, yang mengenal korporasi sebagai subjek hukum

pidana, tidak ada keseragaman dalam pengaturannya, artinya ada yang merumuskan dan

ada yang tidak merumuskan.14

14

Barda Nawawi Arief, (2002), Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,

Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm, 75.

Page 10: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

32

Ketentuan khusus yang mengatur tentang kapan korporasi melakukan tindak pidana,

misalnya Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat

(2) yang bunyinya :

“Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu badan

hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan

dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu

tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak

pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana

tersebut”.

Sehubungan dengan perumusan tersebut di atas Barda Nawawi Arief, mengatakan :

Di dalam perumusan Pasal 15 ayat (2) Tindak Pidana Ekonomi memang ada perumusan

yang ”seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan

suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi “suatu tindak pidana .... dilakukan juga

oleh atau atas nama suatu badan hukum... dan seterusnya”.

Dengan adanya kata-kata “dilakukan juga” jelas bahwa rumusan di atas hanya

merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana sebenarnya tidak dilakukan

oleh badan hukum tetapi “dianggap” telah dilakukan juga oleh badan hukum. Jadi

perumusan di atas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu dikatakan

melakukan (sebagai pembuat) tindak pidana.15

Barda Nawawi Arief menyatakan apabila perumusan itu dimaksudkan untuk

menjelaskan hal tersebut, maka kiranya dapat digunakan perumusan sebagai berikut :

“suatu tindak pidana ...... dilakukan oleh badan hukum atau atas nama badan hukum,

apabila ..... (misalnya: dilakukan oleh pengurus, salah seorang anggota pengurus atau atas

nama pengurus/anggota pengurus)”.16

Hal tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana

Ekonomi (UU No 7 Drt/1955) yang antara lain berbunyi : “Ayat 2 menentukan dalam hal-

hal mana suatu tindak pidana ekonomi dianggap dilakukan oleh badan hukum.....dst”.17

Setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) dan penjelasannya ternyata belum

memberikan ketegasan mengenai batasan atau ukuran yang dipakai untuk menentukan

suatu tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Hanya saja

dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan yaitu :

a. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; dan

15

Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Edisi Revisi, Bandung: Alumni,

hlm. 134. 16

Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori … Ibid, hlm. 134-135. 17

Dwidja Priyatno, (2006), Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: PT.Refika

Aditama, hlm. 21.

Page 11: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

33

b. Bertindak dalam lingkungan badan hukum.18

Perumusan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas, dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat

dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) yang bunyinya sebagai berikut : “Tindak pidana korupsi

dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam

lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.19

Jadi suatu tindak pidana korupsi dipandang telah dilakukan oleh korporasi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang :

a. Berdasarkan Hubungan Kerja Maupun Hubungan Lain;

b. Bertindak Dalam Lingkungan Korporasi;

c. Baik Sendiri Maupun Bersama-Sama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (7) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut di atas, apabila terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, suatu korporasi dapat dijatuhi pidana

pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa perampasan barang, pembayaran

uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, pencabutan seluruh atau

sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,

penyitaan harta benda milik korporasi, pengumuman putusan hakim dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas dan untuk memudahkan pemahaman tentang tinjauan

pustaka dapat di lihat ragaan di bawah ini :

18

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Op Cit, hlm. 193. 19

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 193.

Page 12: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

34

Bentuk Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dilakukan Oleh Korporasi.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi juga diatur dalam beberapa ketentuan [Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (1)

huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2),

Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d dan Pasal 13

sebagai tindak pidana korupsi berupa suap-menyuap; Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf

a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c sebagai tindak pidana korupsi berupa

penyalahgunaan jabatan; Pasal 12 dan Pasal 12 huruf e sebagai tindan pidana korupsi

yang berbentuk pemerasan; Pasal 7 ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1)

huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan

dengan kecurangan, Pasal 12 huruf i sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan

dengan pengadaan; Pasal 12B, Pasal 12C sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan

dengan gratifikasi (pemberian hadiah yang tidak semestinya).

Tindak Pidana Korupsi

yang dilakukan oleh

korporasi

1. Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Yang Dapat Dilakukan Oleh

Korporasi

2. Kapan dan dalam hal bagaimana

suatu tindak pidana korupsi

dikategorikan sebagai tindak

pidana korupsi yang dilakukan

oleh korporasi

Penegakan hukum

terhadap tindak Pidana

Korupsi pada bidang

korporasi

Problem penanganan tindak pidana korupsi;

problem-problem kesejahteraan; pelanggaran

HAM; konflik ekonomi, sosial dll

Perlu penanganan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh korporasi

Page 13: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

35

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan pengelompokan tindak pidana korupsi

sebagaimana disebutkan diatas, tidak semua tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh

suatu korporasi. Sebagai konsekuensinya, tidak semua tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi (padahal, dalam Pasal 1 Angka 3

undang-undang ini disebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau

termasuk korporasi).

Tindak pidana korupsi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni tindak

pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam beberapa ketentuan berikut ini: Pasal 2,

Pasal 3: Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12 A dan 12 B, Pasal 13, Pasal

15, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22. Ketentuan-ketentuan ini pada dasarnya dapat

dilakukan oleh suatu korporasi (melalui organ atau pengurusnya namun memenuhi syarat-

syarat tertentu sehingga perbuatan dari organ atau pengurusnya tersebut dapat

dikategorikan sebagai perbuatan dari korporasi) dan korporasi memperoleh keuntungan

atau manfaat dari tindak pidana tersebut sehingga atas perbuatannya, korporasi dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Kapan Dan Dalam Hal Bagaimana Suatu Tindak Pidana Korupsi Dikategorikan

Sebagai Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi

Selain memenuhi rumusan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan diatas,

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur dengan

tegas kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana korupsi dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi.

Hal ini diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyatakan bahwa

tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan

oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Dalam

hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan

penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Berkaitan dengan hal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Tindak Pidana oleh Korporasi adalah

tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi

sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi. Dengan demikian,

Page 14: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

36

maka tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi akan mengacu kepada ketentuan

Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah

oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tersebut diatas.

Apabila dicermati dengan saksama, ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat dengan jelas bahwa

tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi “Apabila” tindak pidana tersebut dilakukan

oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Jika ditelaah lebih jauh, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Apabila”

berasal dari kata “Jika” atau “Kalau”.20

Sebagai suatu Predikat dalam tata bahasa

Indonesia, kata “Apabila” artinya kata penghubung untuk menandai syarat atau darat

diartikan “seandainya”.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, penggunaan kata

“Apabila” dicontohkan dengan kalimat sebagai berikut: “Apabila hari tidak hujan, saya

akan datang”, “ seandainya ia tidak mau membayar utangnya, apa yang akan kau

perbuat?”.22

Perkataan “Apabila hari tidak hujan, saya akan datang” diatas artinya, saya akan

datang jika hari tidak hujan (hari tidak hujan sebagai prasyarat untuk perbuatan saya akan

datang). Kalimat tersebut sama konstruksinya dengan kalimat “apabila saya lapar, saya

akan makan” (artinya: saya akan makan jika saya lapar (lapar disini sebagai prasayarat

yang harus ada sebelum perbuatan makan dilakukan).

Dengan demikian, perumusan kata “Apabila” dalam ketentuan pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: “tindak

pidana korupsi dilakukan oleh korporasi „apabila‟ tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”

menurut hemat penulis menimbulkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi tempus

(waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagai prasayaratnya.

Dengan demikian, dalam perkataan yang lain, dapat dikatakan bahwa dugaan adanya tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi baru dapat ditindaklanjuti apabila sudah

terbuti secara sah dan meyakinkan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh orang-

orang (baik sendiri maupun bersama-sama) yang merupakan organ dari korporasi, sudah

terbukti bahwa orang tersebut memiliki hubungan kerja maupun hubungan lain dengan

korporasi dan sudah terbukti bahwa orang tersebut bertindak dalam lingkungan korporasi

20

https://kbbi.web.id/apabila diakses terakhir pada hari Kamis, 28 Januari 2018 pada pukul 22. 45. 21

Ibid. 22

Ibid.

Page 15: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

37

serta sudah terbukti secara sah dan meyakinkan korporasi mendapat keuntungan atas tindak

pidana korupsi tersebut (perbuatan-perbuatan ini sebagai prasayarat untuk meminta

pertanggungjawaban pidana dari korporasi).

Masih berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak

pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama. Jika ditafsirkan secara argumentum a contrario,

pertanggungjawaban pidana tidak dapat diterapkan terhadap korporasi manakala:

1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh organ korporasi tidak dilakukan atas

dasar hubungan kerja atau hubungan lain; dan

2. Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan diluar lingkungan korporasi.

Perumusan kalimat “dilakukan oleh atau atas nama korporasi”, “dilakukan oleh

orang-orang”, “berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”,

“bertindak dalam lingkungan korporasi” dan perumusan “baik sendiri maupun bersama-

sama” dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatas, menunjukan bahwa undang-undang ini telah

menganut beberapa teori yaitu:

1. Teori atau doktrin identifikasi yang menyatakan bahwa tindak pidana dilakukan

oleh korporasi apabila tindak pidana itu dilakukan oleh “pejabat senior” (senior

officer) sebagai “directing mind” (otak korporasi) yakni orang yang menentukan

arah dan kebijakan dari korporasi) sehingga perbuatan dari pejabat senior tersebut

dapat diidentifikasi sebagai perbuatan dari korporasi,

2. Teori vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti) yang menyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau

pengurus dapat digantikan oleh korporasi manakala terpenuhi beberapa syarat

(tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau pengurus, tindak pidana dilakukan

dalam ruang lingkup pekerjaannya, tindak pidana dilakukan dengan tujuan untuk

menguntungkan atau memberikan manfaat bagi korporasi dan lain sebagainya) dan

3. Doktrin of aggregation yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana bagi

suatu korporasi dapat diterapkan apabila terdapat kesalahan sejumlah orang secara

kolektif.

Pengaturan kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dirumuskan pula pada ketentuan Pasal

3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata

Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Ketentuan pasal 3 menyatakan

sebagai berikut: “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan

Page 16: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

38

oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam

maupun di luar Lingkungan Korporasi”.23

Ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi tersebut diatas

sepintas serupa dengan perumusan tindak pidana korporasi yang terdapat dalam Pasal 20

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun demikian, apabila diperhatikan dengan teliti, terdapat perbedaan yang cukup

signifikan antara perumusan tindak pidana korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi dengan perumusan tindak pidana korporasi dalam Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan 2 (dua)

ketentuan berikut ini:

Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi APABILA tindak

pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan

hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak

DALAM lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-

sama. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan

terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. (kursif oleh penulis)

Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi menyatakan:

“Tindak pidana oleh Korporasi MERUPAKAN tindak pidana yang

dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan

23

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ini, dapat dilihat bahwa, sama

seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi

telah menganut teori atau doktrin identifikasi, teori vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti)

dan doktrin of aggregation.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 3 ini, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi

telah menganut teori atau doktrin reactive corporate fault dan teori atau doktrin the corporate culture

model atau company culture theory. Mengenai kedua hal ini, lihat pada penjelasan berikutnya.

Page 17: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

39

hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang

bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun DI LUAR

Lingkungan Korporasi”. (kursif oleh penulis)

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak

diatur lebih jauh mengenai “hubungan kerja” atau “hubungan lain” sehingga

mempengaruhi aplikasi dan eksekusi dari aturan tersebut. Singkat kata, karena terdapat

ketidakjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan “hubungan kerja” atau

“hubungan lain” dalam undang-undang ini, ketentuan tersebut sulit untuk diaplikasikan

dalam praktik berhukum di Indonesia.

Berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sebagai

ketentuan yang melengkapi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

mengenai “hubungan kerja” atau “hubungan lain” telah diatur secara tegas.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, yang dimaksud

dengan “Hubungan Kerja” adalah hubungan antara korporasi dengan pekerja/pegawainya

berdasarkan perjanjian yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan/atau perintah (Pasal 1

Angka 11). Sedangkan yang dimaksud dengan “Hubungan Lain” adalah hubungan antara

pengurus dan/atau korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan

pihak lain tersebut bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik

tertulis maupun tidak tertulis (Pasal 1 Angka 12). Ketentuan mengenai “hubungan kerja”

dan “hubungan lain” tersebut diatas, tentu menjadi berlaku bagi Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena filosofis lahirnya Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara

Tindak Pidana Oleh Korporasi adalah untuk melengkapi dan mengefektifkan penegakan

hukum atas undang-undang yang sebelumnya telah mengatur korporasi sebagai subjek

hukum pidana.

Berikutnya, dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, diatur

pula hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni mengenai “Lingkungan Korporasi”. Yang

dimaksud dengan “Lingkungan Korporasi” dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana

Oleh Korporasi adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja

Page 18: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

40

yang termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak

langsung (Pasal 1 Angka 13).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dilihat ruang lingkup

tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan cakupan tindak pidana

korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal

tersebut dikarenakan tindak pidana korporasi dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi mencakup tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh

orang (manusia alamiah) di luar lingkungan korporasi. Sebagai konsekuensinya, tindak

pidana yang dilakukan orang (manusia alamiah) diluar lingkup korporasi atau diluar

lingkup usaha korporasi atau diluar lingkup kerja yang termasuk dan/atau mendukung

kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bersangkutan.

Menurut hemat penulis, ketentuan tersebut, tentunya merupakan ketentuan yang

bias dan tidak masuk logika hukum sehingga keberadaannya bertentangan dengan asas

Negara hukum Indonesia yang menjamin kepastian hukum. Ketentuan ini juga

bertentangan dengan asas lex certa dalam hukum pidana. Bagaimana mungkin, suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) di luar lingkup korporasi, di luar

lingkup usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang termasuk kegiatan usaha korporasi, di

luar lingkup kerja yang mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak

langsung (misalnya pihak-pihak yang terafiliasi dengan korporasi seperti konsultan,

konsultan hukum, akuntan publik, penilai, notaris dan pihak-pihak lainnya seperti keluarga

atau kerabat dari direksi korporasi) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bagi

korporasi? Atas tindak pidana seperti ini seharusnya diterapkan pertanggungjawaban

pidana secara individual dari orang (manusia alamiah) yang melakukan tindak pidana

tersebut, bukan pertanggungjawaban pidana dari korporasi. Analisis yang demikian

dikuatkan oleh ketentuan Pasal 23 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana

Oleh Korporasi yang menyatakan: “Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau

Pengurus tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang

berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut”.

Dengan demikian, pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korporasi dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana secara individual.

Masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana

Oleh Korporasi, menurut hemat penulis, perumusan tindak pidana korporasi sebagaimana

Page 19: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

41

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 3 khususnya yang berkaitan dengan “berdasarkan

hubungan lain” dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dirumuskan

secara kabur atau tidak jelas. Katentuan pasal 3 menyatakan sebagai berikut: “Tindak

pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan

hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-

sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan

Korporasi”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Angka 12 yang dimaksud dengan “Hubungan

Lain” dalam Peraturan Mahkamah Agung ini adalah “hubungan antara pengurus dan/atau

korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut

bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik tertulis maupun

tidak tertulis”.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, apabila terdapat tindak pidana yang

dilakukan oleh orang dan/atau korporasi lain (korporasi pihak ke dua) sehingga pihak

tersebut bertindak untuk kepentingan korporasi pihak pertama maka pertanggungjawaban

pidananya dibebankan kepada orang dan/atau korporasi lain tersebut (sebagai pelaku tindak

pidana), bukan saja kepada korporasi pihak pertama yang memperoleh keuntungan. Apabila

pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada korporasi pihak pertama sedang

korporasi lainnya (korporasi pihak ke dua) sebagai pelaku tindak pidana, tidak dibebankan

pertanggungjawaban pidana maka akan terjadi “lempar batu sembunyi tangan” alias

pengalihan pertanggungjawaban pidana terlebih apabila tindak pidana yang dilakukan

menguntungkan atau memberikan manfaat juga bagi korporasi pihak ke dua tersebut.

Hal ini harus pertegas dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh

Korporasi karena pada dasarnya hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang menyatakan: “Dalam hal tindak

pidana dilakukan oleh Korporasi dengan melibatkan induk Korporasi dan/atau Korporasi

subsidiari dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana sesuai dengan peran masing-masing”.

Selain dalam ketentuan Pasal 3 tersebut diatas, kapan dan dalam hal bagaimana

suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi diatur pula dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh

Korporasmenyatakan sebagai berikut:

“Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai

kesalahan Korporasi antara lain:

Page 20: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

42

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak

pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk

kepentingan Korporasi;

b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan

memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku

guna menghindari terjadinya tindak pidana”.

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 3

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi khususnya yang berkaitan dengan

“diluar lingkungan korporasi” sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka

dapat diketahui maksud pembuat undang-undang, bahwa tindak pidana oleh korporasi

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) dan tindak pidana

tersebut harus menguntungkan atau memberikan manfaat bagi korporasi. Sedangkan

apabila tindak pidana tersebut dilakukan diluar lingkungan korporasi maka pada hakikatnya

korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pada hakikatnya Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah mengadopsi doktrin atau teori

Reactive Corporate Fault dan doktrin atau teori The Corporate Culture Model atau The

Company Culture Theory. Menurut doktrin atau teori reactive corporate fault, di bawah

kesalahan reaktif,24

perusahaan-perusahaan atau korporasi membuat dirinya sendiri

bertanggung jawab untuk mengamati dan melaporkan disiplin internal setelah sebuah

pelanggaran (termasuk pula tindak pidana) terjadi dan juga menyelesaikan tanggung jawab

tersebut.25

Adapun bentuk pertanggungjawaban yang dapat dimintakan terhadap korporasi

misalnya sebagai berikut:26

1. Meminta perusahaan atau korporasi untuk menyelidiki siapa yang bertanggung

jawab dalam organisasi perusahaan atau korporasi tersebut;

2. Mengambil tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggung jawab;

24

Kesalahan korporasi reaktif bisa didefinisikan secara luas sebagai kegagalan perusahaan atau korporasi

yang tidak layak untuk menyuruh dan melaksanakan tindakan preventif atau korektif terhadap sebuah

pelanggaran oleh personal yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi. Lihat juga dalam:

Kristian, (2014), Hukum Pidana Korporasi (Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), CV. Nuansa Aulia, hlm. 72-73. 25

Lihat juga dalam: Ibid. 26

Ibid.

Page 21: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

43

3. Memerintahkan agar perusahaan atau korporasi tersebut mengirimkan laporan yang

terperinci mengenai tindakan apa saja yang telah diambil oleh perusahaan atau

korporasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Menurut teori ini, apabila perusahaan atau suatu korporasi dinilai telah melakukan

tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut maka pertanggungjawaban

pidana tidak akan dikenakan terhadap korporasi yang bersangkutan. Apabila dinilai

sebaliknya, di mana korporasi dinilai tidak mengambil tindakan atau langkah yang cukup

dalam rangka menanggulangi tindak pidana maka korporasi yang bersangkutan dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.27

Menurut doktrin atau teori the corporate culture model, suatu korporasi dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana dilihat atau didasarkan pada prosedur, sistem

bekerjanya atau budayanya.28

Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut sebagai

teori atau model sistem atau model organisasi (organisational or systems model).29

Menurut teori ini, suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana

apabila prosedur dalam korporasi, organisasi dalam korporasi, sistem bekerja dan budaya

yang terdapat dalam korporasi memungkinkan dilakukannya tindak pidana oleh para

pengurusnya. Sebaliknya, apabila korporasi telah membentuk prosedur kerja, organisasi,

sistem bekerja dan budaya yang baik dimana karena hal tersebut tindak pidana dapat

diminimalisir sampai kepada titik terendah (tidak memungkinkan dilakukannya tindak

pidana oleh para pengurusnya) maka terhadap korporasi tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau

pengurusnya (apabila tindak pidana tetap terjadi, maka pertanggungjawaban pidana

dibebankan kepada pengurusnya secara individual).

Dalam praktik, untuk melihat dan menilai apakah suatu korporasi telah membentuk

sebuah sistem, prosedur, disiplin internal atau pengawasan dan budaya yang dapat

mencegah dan menindak dilakukannya tindak pidana dan korporasi telah melakukan

tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tindak pidana atau pelanggaran yang

muncul, perlu ditelaah AD/ART dan SOP yang terdapat dalam korporasi yang

bersangkutan. Kedua hal tersebut, dalam praktik dapat dikategorikan sebagai alasan yang

membenarkan atau alasan yang menjustifikasi penjatuhan pidana bagi korporasi (Peraturan

Mahkamah Agung menyatakan “dalam menjatuhkan pidana bagi korporasi” dan “untuk

menilai kesalahan korporasi”). Namun demikian, menurut hemat penulis, dalam tataran

teoritis dan praktik, kedua hal tersebut dapat juga digunakan sebagai alasan pemaaf (alasan

yang menghapuskan kesalahan) bagi korporasi sehingga korporasi tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana atau setidaknya sebagai alasan yang dapat

27

Ibid. 28

Ibid., hlm. 70. 29

Ibid.

Page 22: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

44

dipertimbangkan oleh hakim sebagai alasan yang meringankan dalam hal hakim

menjatuhkan putusan pidana bagi korporasi.

Meskipun hal ini belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

nasional (baik dalam undang-undang pidana khusus diluar Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung

Republik Indonesia maupun dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RKUHP) versi tahun 2015, dimasa yang akan datang seharusnya hal ini dirumuskan secara

tegas melengkapi ketentuan Pasal 53 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RKUHP) versi tahun 2015 yang mengatur mengenai alasan pemaaf dan alasan pembenar

yang dapat diajukan oleh korporasi.

Selanjutnya, perlu pula diperhatikan bahwa dalam pandangan teoritis yang

membahas mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, suatu tindak pidana

yang dilakukan oleh pengurus (organ korporasi atau manusia alamiah) dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sehingga korporasi dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana manakala terpenuhi beberapa persyarakan sebagai

berikut:30

1. Tindak pidana dilakukan oleh personil pengendali korporasi (sebagai senior officer

atau directing mind);

2. Tindak pidana dilakukan karena diperintahkan oleh personil pengendali korporasi

(adanya pendelegasian oleh pihak yang sah);

3. Tindak pidana dilakukan oleh agen atau organ atas nama korporasi;

4. Tindak pidana dilakukan dalam lingkup pekerjaannya;

5. Tindak pidana dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;

6. Tindak pidana dilakukan melalui agen yang berhubungan erat dengan korporasi;

7. Tindak pidana dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi

perintah;

8. Tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara kolektif yang ada

dalam korporasi yang bersangkutan;

9. Korporasi tidak membentuk sebuah sistem, prosedur, disiplin internal atau

pengawasan dan budaya yang terdapat dalam korporasi yang dapat mencegah dan

menindak dilakukannya tindak pidana;

10. Korporasi gagal menindak pelanggaran (tindak pidana) yang terjadi dalam korporasi

tersebut;

11. Tindak pidana dilakukan dengan maksud untuk memberikan manfaat atau

keuntungan bagi Korporasi.

30

Kristian, Optimalisasi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dalam Rangka Penanggulangan Tindak

Pidana Korporasi Di Indonesia Dan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Universitas Islam Bandung

(UNISBA), Disertasi, 2017., hlm. 456- 457.

Page 23: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

45

Dengan demikian, apabila persyaratan sebagaimana disebutkan diatas tidak

terpenuhi (misalnya tindak pidana tidak dilakukan oleh personil pengenadali korporasi,

tindak pidana tidak dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi)

maka tindak pidana yang dilakukan oleh organ korporasi (manusia alamiah) tidak dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Sebagai

konsekuensinya, pertanggungjawaban pidana harus dimintakan secara individual kepada

pengurus (organ-manusia alamiah) yang melakukan tindak pidana (dalam doktrin

digambarkan dengan perkataan “pengurus sebagai pelaku tindak pidana dan penguruslah

yang harus bertanggungjawab secara pidana”), bukan kepada korporasi karena tindak

pidana yang dilakukan bukan atau tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

korporasi.

Perumusan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh

Korporasi juga telah mengubah konstruksi hukum tindak pidana korporasi dalam Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena dalam ketentuan Pasal 3

Peraturan Mahkamah Agung ini, tindak pidana korporasi dirumuskan dengan istilah

“Merupakan” sehingga tidak membutuhkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi

tempus (waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagaima

tercermin jika dirumuskan dengan istilah “Apabila” sebagaimana termuat dalam ketentuan

pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah

oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, terutama analisis terhadap

pokok permasalahan dalam penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan di bawah,

tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih marak terjadi. Tindak pidana

korupsi disinyalir sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan nasional bangsa

Indonesia yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Tindak pidana

korupsi saat ini dilakukan dengan cara-cara yang semakin canggih dan semakin

tersistematis dengan menggunakan korporasi sebagai sarana, subjek maupun objek dari

tindak pidana korupsi (sebagai tindak pidana korporasi). Terdapat ketidakjelasan formulasi

mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana

Oleh Korporasi bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan mengefektifkan

penegakan hukum terkait dengan subjek hukum pidana berupa korporasi. Tidak semua

Page 24: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

46

tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana

korporasi. Kualifikasi tindak pidana (kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana

dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi) menurut Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbeda dengan Kualifikasi tindak pidana korporasi

menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang

Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Perumusan kata “Apabila”

dalam ketentuan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah

diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menimbulkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi tempus (waktu) antara

perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagai prasayaratnya. Ketentuan Pasal 3

Peraturan Mahkamah Agung ini, tindak pidana korporasi dirumuskan dengan istilah

“Merupakan” sehingga tidak membutuhkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi

tempus (waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain. Ruang lingkup

tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan cakupan tindak pidana

korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena

mencakup tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh orang (manusia

alamiah) di luar lingkungan korporasi.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, (2002), Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Dwidja Priyatno, (2006), Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung:

PT.Refika Aditama.

Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap Harmonisasi

Antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC)], PT. Refika Aditama,

___________, (2014), Hukum Pidana Korporasi (Kebijakan Integral (Integral Policy)

Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), CV. Nuansa

Aulia.

Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Edisi Revisi,

Bandung: Alumni.

Page 25: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara ... pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),

SIPENDIKUM 2018

47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-5, Jakarta,.

Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, Putusan Pengadilan Tinggi

Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM Dan Putusan Mahkamah Agung No. 936

K/Pid.Sus/2009.

Lain-lain.

Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Penelitian Hukum tentang Aspek

Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008.

https://kbbi.web.id/apabila diakses terakhir pada hari Kamis, 28 Januari 2018 pada pukul

22. 45.

Kristian, (2017), Optimalisasi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dalam Rangka

Penanggulangan Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia Dan Pembaharuan Hukum

Pidana Nasional, Universitas Islam Bandung (UNISBA), Disertasi.

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait Pertanggung Jawaban Pidana

Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume,

12, Nomor 2.