SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · tidak terlepas dari suatu prinsip bahwa sistem hukum civil law...
Transcript of SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · tidak terlepas dari suatu prinsip bahwa sistem hukum civil law...
SIPENDIKUM 2018
200
URGENSI PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS) DALAM
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG:
Evaluasi Capaian Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009 dan Tahun 2010-
2014
Jamaludin Ghafur, SH., M.H.1
Email: [email protected]
Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah negara yang menganut sistem hukum civil law, keberadaan
peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu yang esensial bagi Indonesia. Hal ini
tidak terlepas dari suatu prinsip bahwa sistem hukum civil law merupakan sistem hukum
yang lebih banyak mengedapankan pembangunan hukumnya dengan membuat
peraturan perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan sistem hukum common law
yang lebih banyak menitik beratkan pembangunan hukumnya melalui putusan hakim
(yurisprudensi).2 Memang, dalam kenyataan tidak lagi ditemukan negara yang murni
hanya menganut civil law, atau hanya common law saja. Dalam perkembangannya,
masing-masing negara mengkombinasi pembangunan hukumnya antara tipe civil law
dan common law. Dengan mengutip pendapat E. Allan Farnsworth, Bagir Manan
menyatakan bahwa:
Walaupun tradisi hukum kontinental menempatkan peraturan perundang-
undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya, tetapi tidak berarti
mengabaikan yurisprudensi. Yurisprudensi tetap mempunyai peranan penting,
baik sebagai pengenal hukum maupun sebagai sumber hukum. Demikian pula
sebaliknya pada negara-negara yang menggunakan tradisi hukum anglo saksis,
tidak berarti sama sekali mengabaikan peraturan perundang-undangan. Baik
didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun
kebutuhan bersama dalam pergaulan antar bangsa (pergaulan internasional),
berbagai tradisi hukum dan system hukum tersebut berusaha untuk saling
1 Dosen Universitas Islam Indonesia
2 Tradisi Eropa Kontinental dengan civil law yang menekankan pada hukum tertulis dengan tekanan pada
kepastian hukum. Negara hukumnya disebut sebagai Rechtsstaat. Tradisi anglo saxon dengan common
law yang menekankan pada yurisprudensi guna mencapai penegakan rasa kedilan. Negara hukumnya
disebut sebagai the rule of law. Di dalam tata hukum, terutama yang berorientasi pada Eropa Kontinental
terdapat peraturan perundang-undangan yakni berbagai jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh
berbagai lembaga tertentu yang tersusun secara hierarkis untuk menentukan derajadnya masing-masing,
dengan konsekwensi bahwa jika ada dua peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku
adalah yang derajadnya paling tinggi. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 126-127
SIPENDIKUM 2018
201
mendekatkan da melakukan penyesuaian-penyesuaian satu sama lain
(harmonisasi hukum).3
Bahkan Amerika Serikat yang menganut sistem hukum common law dan dikenal
sebagai negara dengan sistem hukum kasus (case law system) juga sudah mentradisikan
pembentukan peraturan yang bersifat tertulis. Sebagaimana di sampaikan oleh Friedman
bahwa, In the united state, increasing attention is now paid to subject matters regulated
by Statute, such as tax law or labor law. Yet the number of decision based on statutory
interpretation, in comparison with common law decision, increases from month to
month.4
Namun demikian, tetap saja prinsip dasar sistem hukum yang dianut oleh suatu
negara akan lebih mendominasi pembangunan hukumnya. Artinya, negara yang
karakter sistem hukumnya civil law, sekalipun putusan hakim turut mewarnai
pembangunan hukumnya, tetapi pembentukan peraturan tertulis akan tetap lebih
dominan. Begitu juga sebaliknya. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia, dalam perjalanan
ketatanegaraannya, putusan-putusan hakim telah ikut mewarnai pembentukan negara
hukum Indonesia. Banyak keputusan-keputusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
eksekutif, dasarnya adalah putusan hakim terutama putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, aktifitas pembentukan peraturan tetap jalan terus bahkan semakin
meningkat. Terlebih setelah UUD 1945 diamandemen di mana fungsi legislasi DPR
semakin diperkuat.
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.5 Penjabaran fungsi legislasi DPR ini
terbagi dalam 4 (empat) hal: Pertama, Membentuk undang-undang yang dibahas
dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; Kedua, Membahas dan
memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; Ketiga,
Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang
berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan; dan
Keempat, Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Meskipun sejak tahun 1993 bidang hukum telah dijadikan bidang pembangunan
tersendiri dan pada era reformasi pembangunan bidang hukum diberikan prioritas yang
tinggi, namun dalam kenyataannya masih dijumpai berbagai permasalahan di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat sebagai berikut:6
3 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Armico, Bandung, 1987, hlm. 15 4 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tatanegara Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, 1993, hlm. 106-107 5 Selain memiliki fungsi legislasi, DPR juga memiliki fungsi pengawasan dan anggaran. Hal ini termuat
dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 bawa, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. 6 Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009, hlm. 4-5
SIPENDIKUM 2018
202
1. Prolegnas sebagai bagian dari Program Pembangunan Nasional belum sepenuhnya
dilaksanakan karena lemahnya koordinasi dan sikap mengutamakan kepentingan
sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Kemampuan lembaga pembentuk undang-undang dalam menyelesaikan
pembentukan undang-undang masih belum optimal karena belum dibakukannya
cara-cara dan metode perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan
undang-undang, dan masih kurangnya tenaga fungsional perancang peraturan
perundang-undangan.
3. Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dan
pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat belum maksimal dan aspirasi
masyarakat terutama yang terkait dengan substansi suatu rancangan
undangundang seringkali tidak terakomodasi sehingga suatu rancangan undang-
undang ketika disahkan menjadi undang-undang mendapat reaksi keras dari
masyarakat.
4. Perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi pasca amandemen UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum secara tuntas diikuti dengan
pembentukan undang-undang pelaksanaannya. Sementara itu, peraturan
perundang-undangan peninggalan kolonial masih merupakan hukum positif,
karena belum mampu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga cita-cita untuk mewujudkan sistem hukum nasional masih
jauh dari harapan.
5. Hukum positif masih banyak yang tumpang tindih, tidak konsisten, baik secara
vertikal maupun horizontal, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
6. Bahasa hukum yang digunakan belum baku dan sering tidak sesuai dengan kaidah
Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga rumusan suatu ketentuan dan
undang-undang tidak jelas dan multi tafsir.
7. Peraturan pelaksanaan undang-undang tidak segera diterbitkan atau terdapat jarak
waktu yang cukup lama antara berlakunya undang-undang dengan penerbitan
peraturan pelaksanaannya, sehingga undang-undang tidak terlaksana secara
efektif.
8. Masih terdapat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, bias gender,
dan kurang responsif terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama hak-hak
kelompok yang lemah dan marginal.
9. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, perlu secara selektif diadopsi
konvensikonvensi internasional dalam rangka memasuki era perdagangan bebas
dan mendukung upaya perlindungan hak asasi manusia, pelestarian lingkungan
hidup, dan pemberantasan kejahatan transnasional dan extraordinary crime yang
mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Banyaknya jumlah rancangan undang-undang (RUU) dalam daftar program
legislasi nasional membuktikan betapa bersemangatnya DPR dan Pemerintah untuk
SIPENDIKUM 2018
203
membuat UU. Jumal RUU dalam prolegnas tahun 2005-2009 (diluar daftar RUU
kumulatif terbuka) ditetapkan sebanyak 284 RUU.7 Sementara jumlah RUU dalam
prolegnas tahun 2010-2014 (diluar daftar RUU kumulatif terbuka) ditetapkan sebanyak
247 RUU.8 Namun demikian, semangat yang menggebu tersebut tidak diimbangi
dengan hasil yang maksimal. Realisasi dari pelaksanaan prolegnas selalu jauh di bawah
ekspektasi jika dibandingkan dengan rencana yang ada. Sebagai contoh, pada tahun
2006, jumlah Rancangan Undang-Undang yang menjadi prioritas Prolegnas adalah 43
RUU. Namun demikian, sampai akhir 2006 Presiden hanya mengesahkan 23 RUU.
Bahkan apabila diperhatikan dari daftar prioritas RUU yang ditetapkan dalam prolegnas
2006, dan jumlah UU yang telah disahkan pada tahun 2006, maka UU yang sesuai
dengan prolegnas hanya berjumlah tiga yaitu: (i) RUU tentang pengesahan konvensi
perserikatan bangsa-bangsa menentang korupsi, 2003 (United Nation Convention
Against Corruption, 2003); (ii) RUU tentang pengesahan konvensi internasional tentang
pemberantasan pengeboman oleh teroris ( International Convention For The
Suppression Of Terrorist Bombing); dan (iii) RUU tentang pengesahan konvensi
internasional tentang pemberantasan pendanaan terorisme (International Convention
For The Suppression Of The Financing Of Terrorism).9 Contoh lain, tahun 2013, DPR
dan Presiden menargetkan penyelesaian 75 RUU (70 RUU prolegnas dan 5 RUU
tambahan), namun capaian realisasi Prolegnas Tahun 2013 hanya berkisar 10,6%.
Hanya 8 RUU yang tercantum dalam Prolegnas Tahun 2013 kemudian dapat
diselesaikan dan disahkan menjadi UU. Jika melihat lebih detail, ternyata banyak UU
substansial yang disahkan merupakan luncuran dari Prolegnas Tahun 2012.10
Padahal, Program Legislasi Nasional (prolegnas) berfungsi sebagai landasan
operasional pembangunan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan
yang akan dapat memproyeksikan kebutuhan hukum atau undang-undang baik secara
kualitatif maupun kuantitatif dengan menetapkan visi dan misi, arah kebijakan, serta
indikator secara rational, sehingga Program Legislasi Nasional tidak sekedar himpunan
daftar judul RUU, melainkan mengandung kegiatan dalam kurun waktu lima tahun atau
satu tahun anggaran yang memiliki nilai strategis yang akan direalisasikan sebagai
bagian dari pembangunan nasional.11
Artinya, kegagalan dalam merealisasikan
prolegnas dapat diartikan sebagai kegagalan dalam membangun system hukum kita.
Efek negatif lainnya adalah Jumlah rencana legislasi yang diajukan dari tahun ke tahun
7 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang
Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. 8Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41 A/DPR RI/ I/2009-2010 Tentang
Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2010 – 2014. 9 Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 75 10
Asrul Ibrahim Nur, Produktivitas Legislasi: Realisasi Prolegnas Tahun 2013, The Indonesian Institute,
Center for Public Research, Volume VIII, No. 05 - Desember 2013, hlm. 4-5 11
Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia, Membanguan Keterpaduan Program Legislasi
Nasional dan Daerah, makalah, disampaikan dalam Workshop dan Focus Group Discussion dengan tema
“Program Legislasi Nasional Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional" yang diselenggarakan oleh
Badan Legislasi DPR RI, Rabu, 21 Mei 2008, hlm. 1
SIPENDIKUM 2018
204
semakin menumpuk karena harus antri menunggu realisasi. Karena keadaan ini, pola
“carry over” rencana legislasi tahun dari sebelumnya ke tahun berikutnya menjadi hal
yang lazim, mengingat begitu banyaknya tunggakan (back log) rencana legislasi yang
tidak mampu tertangani dan terselesaikan.12
Memotret kinerja DPR dan Pemerintah dalam merealisasikan seluruh rencana
legislasi yang ada dalam prolegnas baru sekedar bicara pada aspek kuantitas
pembentukan UU. Dari aspek ini saja DPR dan pemerintah sangat buruk kierjanya
karena selalu meninggalkan daftar RUU yang tidak selesai di buat dan disahkan. Rapor
merah bagi DPR dan pemerintah di bidang legislasi akan semakin bertambah bila
pembentukan UU tidak hanya dilihat dari berapa banyak UU yang telah dihasilkan oleh
DPR dan Pemerintah, tetapi lebih luas dari itu bicara tentang seberapa kualitas UU yang
telah di sahkan. Pada aspek inipun nampaknya kinerja pemerintah dan DPR juga tidak
begitu bagus. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya UU yang diajukan judicial review
(JR) ke Mahkamah Konstitusi. Pada umumnya, kualitas produk legislasi dapat dilihat
dari berapa banyak undang-undang yang sudah dibentuk kemudian dibatalkan oleh MK.
Semakin banyak undang-undang yang dibatalkan, secara umum diartikan bahwa produk
legislasi oleh para legislator kurang berkualitas. Data yang dirilis oleh Mahkamah
Konstitusi menunjukkan bahwa, Perkara pengujian undang-undang (PUU) yang
diregistrasi MK cenderung mengalami peningkatan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
Kenaikan signifkan terjadi dalam empat tahun terakhir. Jika pada 2003-2010 perkara
PUU masih pada kisaran angka 24-86 perkara, pada 2012 perkara PUU yang diregistrasi
meningkat yaitu sebanyak 118, kemudian pada 2013 menurun sebanyak 109, pada 2014
sebanyak 140, dan pada 2015 sebanyak 140 perkara.13
Total perkara PUU yang ditangani MK sejak 2003 hingga 2015 sebanyak 921
perkara dan telah diputus sebanyak 858 perkara. Adapun rincian perkara yang diputus
jika diklasifkasikan berdasarkan amar putusan, sebanyak 203 perkara dikabulkan, 297
perkara ditolak, 251 perkara tidak diterima, 13 perkara gugur, 89 perkara ditarik
kembali, dan terhadap 5 perkara MK menyatakan tidak berwenang. Sedangkan sisanya,
sebanyak 63 perkara PUU masih dilanjutkan proses pemeriksaannya pada 2016.14
Penting untuk segera dilakukan evaluasi terhadap perencanaan prolegnas dan
upaya realisasinya agar persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik.
Jika prolegnas diposisikan sebagai pintu awal dalam penyusunan RUU di mana RUU
tersebut akan menjadi system hukum bagi Indonesia, maka membenahi perencanaan di
level proleganas menjadi prasyarat bagi keberhasilan kita di dalam membangun system
hukum. Prolegnas harus diprogram semakin rasional dan realistik diperkirakan dapat
dilaksanakan.
12
Andi Irman Putra, Penulisan Kerangka Ilmiah Tentang Peran Prolegnas Dalam Perencanaan
Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD 1945 (Pasca Amandemen), Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2008, hlm. 33 13
Dinamika Pembangunan Budaya Hukum dan Demokrasi Lokal, Laporan Tahunan 2015 Mahkamah
Konstitusi RI, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, hlm. 12 14
Ibid, hlm. 13
SIPENDIKUM 2018
205
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan proses penting dalam
perencanaan penyusunan undang-undang. Sebab sebagai perangkat pengaturan
legalformal dalam bernegara, undang-undang seharusnya dapat merespon kebutuhan
masyarakat yang mendesak. Terlebih lagi dalam konteks perbaikan kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang tengah dilakukan oleh Indonesia. Undang-undang
seharusnya dapat secara jeli membidik persoalan-persoalan penting dalam masyarakat.15
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, Apa arti penting program legislasi
nasional dalam pembentukan undang-undang? Kedua, Mengapa pembentukan undang-
undang tidak pernah mencapai target sebagaimana tercantum dalam program legislasi
nasional? Ketiga, Berapa jumlah RUU yang rasional dalam program legislasi nasional?
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.16
Dalam penelitian ini akan
menggunakan bahan hukum primer (primary sources of authorities) yaitu seluruh
hukum perundang-undangan yang berlaku dan/atau pernah berlaku17
yang berkaitan
dengan penelitian ini, diantaranya adalah: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang
Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009, dan Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41 A/DPR RI/ I/2009-2010
Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2010 – 2014. Selain
itu, juga digunakan bahan hukum sekunder yaitu hasil penelitian (hukum), hasil karya
(ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya. Pengumpulan bahan hukum dilakukan
dengan studi kepustakaan yaitu mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan dan
literatur-literatur atau dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.18
Adapun pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach) dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum dengan penelitian ini19
Prosedur analisis bahan
hukum ditempuh melalui dua cara, pertama, pemilahan bahan hukum, dan kedua,
15
Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia, Op., Cit, hlm. 6 16
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, ctk. ketiga, Ghalia Indonesia,
1988, hlm. 11-12 17
Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah, dalam
Sulityowati Irianto dan Shidarta (edt), Metode Penelitia Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 90 18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 33. 19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Ctk. Kelima, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2009, hlm. 93.
SIPENDIKUM 2018
206
pengelompokan bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang telah diklasifikasikan tersebut
diinterpretasikan dengan suatu alur berfikir logis, yaitu; tesa (teori) - anti tesa (data)
dan - sintesa (analisis).20
Hasil dan Pembahasan
Urgensi Program Legislasi Nasional
Indonesia sebagai penganut sistem hukum Eropa Kontinental memandang
penting keberadaan peraturan perundang-undangan. Keberadaan peraturan perundang-
undangan sangat penting untuk mengatur kehidupan bersama agar tercipta ketertiban di
dalam masyarakat. Namun demikian, apabila derasnya aliran usulan-usulan atau
rencana pembentukan peraturan perundang-undangan (rencana legislasi) yang diajukan
tidak disertai dengan adanya suatu mekanisme yang efektif yang mampu menjamin
ketertiban, maka yang terjadi bukan perbaikan kondisi hukum malah justru akan
memperburuk kondisi hukum.21
Hal ini bisa terjadi apabila para pihak pemrakarsa yang mengajukan usulan atau
rencana secara subjektif berpendapat bahwa usulannya benar-benar mempunyai tingkat
urgensi yang tinggi sehingga perlu diprioritaskan untuk segera direalisasikan dalam
waktu singkat. Dengan alasan urgensi inilah, sering “pemilik” rencana tidak segan-
segan menempuh segala upaya agar programnya segera terealisasi, tanpa
mempertimbangkan bahwa pihak lain pun mempunyai kepentingan yang sama. Sikap
yang sering disebut “egoisme sectoral” inilah yang kerap menjadi penyakit dalam
proses legislasi di negara kita. Setiap pemrakarsa berlomba mengajukan rencana
legislasinya masing-masing, dengan target terbentuknya peraturan perundang-undangan.
Karena begitu banyaknya rencana legislasi yang diajukan, sementara lembaga yang
mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya sagat terbatas kemampuannya maka
akibatnya muncul kemudian kondisi “bottle-neck” yang lebih memperumit keadaan.22
Dengan demikian, pembangunan hukum dalam bentuk pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilakukan secara sistematis dan terencana agar tercipta
harmonisasi dan menghindari tumpang tindih atau bahkan pertentangan antar peraturan
yang ada. Dalam konteks ini, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa perencanaan pembentukan UU
harus disusun melalui Program Legislasi Nasional (prolegnas)23
sebagai instrumen
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.24
20
Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asas Manusia (HAM) di Indonesia di Era Reformasi: Studi
Tentang Penegakan Hukum HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, Ringkasan
Disertasi, Program Doktor (S3) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2010, hlm. 32 21
Ajarotni Nasution dan Omon (editor), Evaluasi Program Legislasi Nasional Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Yang Demokratis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM RI, Jakarta, 2010, hlm. 5 22
Ibid 23
Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 24
Pasal 1 angka (9) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
SIPENDIKUM 2018
207
Prolegnas secara sempit dapat diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi
perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati. Daftar urutan
tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah berdasarkan urgensi dan prioritas
pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas mencakup program pembinaan hukum,
pengembangan yurisprudensi, pembinaan program perjanjian (termasuk ratifkasi
konvensi internasional).25
Usulan RUU Prolegnas dapat berasal dari legislatif (DPR dan
DPD) dan Pemerintah di mana usulan tersebut minimal harus memuat: (1) judul
Rancangan Undang-Undang, (2) materi yang diatur, dan (3) keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.26
Adapun menyangkut materi yang akan diatur
dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya harus telah melalui
pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan dalam Naskah Akademik27
yang isinya
meliputi: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) sasaran yang ingin diwujudkan;
dan (c) jangkauan dan arah pengaturan.28
Dengan demikian, munculnya sejumlah RUU
dalam Prolegnas harus atas identifikasi masalah hukum yang hendak dipecahkan
sehingga judul RUU dalam Prolegnas tidak hanya sekedar menjadi daftar kumpulan
keinginan semata.
Secara garis besar, mekanisme prolegnas mencakup 5 (lima) tahapan, yaitu: (1)
tahap kompilasi, (2) tahap klasifikasi dan singkronisasi, (3) tahap konsultasi,
komunikasi, dan sosialisasi, (4) tahap penyusunan naskah prolegnas; dan (5) tahap
pengesahan.29
Menurut Bivitri Susanti, proses perencanaan legislasi melalui prolegnas
tampaknya diarahkan untuk menghasilkan legislasi yang terencana dengan jelas dan
terpola. Politik hukum yang dimaksud di sini adalah politik hukum yang
mengedepankan hukum sebagai alat pembangunan, yaitu untuk mengelola stabilitas
politik dan ekonomi agar pertumbuhan ekonomi stabil dan pembangunan berjalan
lancar. Hukum sebagaimana juga bidang-bidang kemasyarakatan lainnya, perlu
diarahkan sedemikian rupa agar masyarakat stabil tanpa gejolak dan sesuai dengan
rencana pembangunan pemerintah.30
Prolegnas dengan demikian merupakan tahapan paling awal dari proses dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni pada tahapan perencanaan.
Sebagaimana dikatakan dalam pasal 1 ayat (1) UU tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Meskipun prolegnas
merupakan rencana awal dan baru setingkat dengan rencana atau keinginan, namun
semua kalangan menganggap bahwa hal ini penting dan pengelolaannya harus
25
J.E. Sahetapy, dkk, Pemantauan Dan Pengkajian Legislasi Serta Permasalahan Aktual Di Bidang
Hukum (Suatu Rekomendasi), Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, 2011, hlm.5 26
Pasal 19 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 27
Pasal 19 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 28
Pasal 19 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 29
Ajarotni Nasution dan Omon (editor), Op., Cit, hlm. 8-13 30
Bivitri Susanti, Catatan Pelaksanaan Prolegnas 2005-2009, Makalah, disampaikan dalam Rapat
Pembahasan Tahunan Prolegnas Tahun 2008, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional departemen Hukum dan HAM, di Bogor, 26 Agustus 2008
SIPENDIKUM 2018
208
dilaksanakan dengan baik. Dan, hal mendasar yang menjadi catatan umum menyebut
bahwa kelemahan dalam aspek perencanaan merupakan salah satu faktor yang
memberikan kontribusi cukup besar atas tersendatnya pembangunan hukum di negara
kita.31
Prolegnas menjadi sedemikian penting karena melalui instrumen ini,
pembangunan hukum di Indonesia dapat berkesinambungan. Pembangunan hukum
membutuhkan waktu yang panjang dan upaya berkesinambungan.
Maksud diadakannya prolegnas adalah: (1) Untuk memberikan gambaran
objektif tentang kondisi umum di bidang peraturan perundang-undangan di tingkat
pusat. (2) Menyusun skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang sebagai
suatu program yang berkesinambungan dan terpadu sebagai pedoman bersama dalam
pembentukan undang-undang oleh lembaga yang berwenang dalam rangka mewujudkan
sistem hukum nasional, dan (3) Sebagai sarana untuk mewujudkan sinergi antar
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.32
Menurut Ignatius Mulyono, Prolegnas dihajatkan untuk dapat mewujudkan konsistensi
undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar undangundang (vertikal maupun
horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna,
dan demokratis.33
Selain itu dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang
merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
hukum masyarakat.34
Evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Selama ini, realisasi atas rencana penyusunan RUU dalam prolegnas tidak
pernah berhasil 100 persen. Sebagian kalangan menyebut bahwa hal ini disebabkan oleh
tidak rasionalnya jumlah daftar RUU dengan kemampuan yang ada. Mengapa jumlah
RUU nya terlalu banyak melebihi kapasitas kemampuan dan ketersediaan waktu? Salah
satunya karena adanya pasal terbuka yang memungkinkan DPR dan Pemerintah
semaunya membuat daftar usulan RUU dan bahkan mengabaikan begitu saja RUU yang
sudah ada dalam prolegnas. Pasal dimaksud adalah Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12
tahun 2011, bahwa, Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan
Rancangan Undang Undang di luar Prolegnas mencakup: (a) Untuk mengatasi
keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; dan (b) Keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang
Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum". Ketentuan pasal ini ditengarai justru menjadi pemicu semakin liarnya
pengajuan RUU baik oleh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif tanpa
mengindahkan daftar RUU Prioritas yang telah ada dalam Prolegnas.
31
Ajarotni Nasution dan Omon (editor), Op., Cit, hlm. 1-2 32
Ibid 33
Muh. Risnain, Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional, Jurnal
Rechtsvinding, Volume 4, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 403 34
Jimly Assidiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 50
SIPENDIKUM 2018
209
Dari sisi yuridis, munculnya berbagai RUU diluar daftar Prolegnas memang
dimungkinkan, namun ketentuan ini justru melemahkan posisi dan tujuan penyusunan
Prolegnas sebagai “kontrak” antara DPR dan Pemerintah untuk menyelesaikan kerja-
kerja legislasi yang dicanangkan bersama selama periode tertentu. Prolegnas sebagai
instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara
terencana, terpadu dan sistemamatis tidak lagi terlihat signifikansinya manakala terdapat
ketentuan yang memberi peluang untuk menafikan instrumen dimaksud. Sementara
Prolegnas digambarkan sebagai wajah politik perundang-undangan Indonesia untuk
periode lima tahun.35
Tidak fokusnya pembentukan UU sebagaimana sudah
diprogramkan dalam prolegnas karena terlalu banyaknya pembentukan UU yang justru
berasal dari non-prolegnas tergambar dalam data berikut: Selama masa DPR Tahun
2004/2009, RUU yang berasal dari kumulatif terbuka jumlahnya lebih besar dari RUU
yang masuk dalam daftar prolegnas. Tahun 2007, sebanyak 62 % RUU kumulatif
terbuka diajukan untuk dibahas dan disahkan DPR. Tahun 2008, sebanyak 62% RUU,
dan tahun 2009 sebanyak 51%.36
Oleh karena itu, untuk menghindari semakin menumpuknya jumlah RUU yang
harus diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah akibat tidak terkontrolnya jumlah RUU
yang berasal dari non-prolegnas, maka tahapan-tahapan dan kriteria suatu RUU
diusulkan menjadi prioritas tahunan perlu ditaati. Adapun rencana legislasi baru non
prolegnas harus didasarkan pada kebutuhan mendesak yang apabila tidak segera dibuat
aturannya akan menganggu kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Jumlah
RUU yang diusulkan dalam suatu periode harus lebih realistis sesuai dengan
kemampuan DPR dan Pemerintah menyelesaikannya.
Prolegnas periode 2005-2009 terdiri dari 284 RUU Prolegnas dan beberapa
RUU Non Prolegnas. Penetapan Prolegnas pada tahun 2005 dilakukan untuk satu masa
keanggotaan DPR periode 2004-2009 yang secara politis berkeinginan menyelesaikan
284 RUU. Dari 284 RUU apabila dibagi 5 tahun, berarti rata-rata tiap tahun harus
diselesaikan 56 RUU. Adapun susunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun Anggaran
(pertahun) berturut-turut adalah sebagai berikut: Tahun 2005 ditetapkan sebanyak 55
RUU, tahun 2006 sebanyak 43 RUU, tahun 2007 sebanyak 32 RUU, tahun 2008
sebanyak 31 RUU dan tahun 2009 sebanyak 36 RUU.
Di luar Prolegnas yang telah ditetapkan, tentu masih dimungkinkan pengajuan
RUU di luar Prolegnas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU
Nomor 10 Tahun 2004. Dengan demikian, jumlah keseluruhan RUU prolegnas dan non
prolegnas tahun 2005-2009 berjumlah 366 RUU. Sehingga jumlah keseluruhan (RUU
prolegnas dan RUU non prolegnas) untuk setiap tahunnya adalah sebagai berikut:
Tahun 2005 ditetapkan sebanyak 55 RUU, tahun 2006 sebanyak 76 RUU, tahun 2007
sebanyak 78 RUU, tahun 2008 sebanyak 81 RUU dan tahun 2009 sebanyak 76 RUU.
35
Khopiatuziadah, “Menanti Realisasi Prolegnas Prioritas 2010” diunduh dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/artikel/336-menanti-realisasi-prolegnas-prioritas- 2010,
hlm. 131 36
J.E. Sahetapy, dkk, Op., Cit, hlm. 7
SIPENDIKUM 2018
210
Adapun tingkat keberhasilan dalam DPR dan Pemerintah dalam menyelesaikan
keseluruhan RUU yang sudah diprogramkan, masing-masing sebagai berikut: Tahun
2005 sebanyak 14 RUU, tahun 2006 sebanyak 39 RUU, tahun 2007 sebanyak 40 TUU,
tahun 2008 sebanyak 61 RUU, dan tahun 2009 sebanyak 39 RUU.
Tabel 1
Produk Legislasi 2004-2009
No Tahun Target Disahkan
1 2005 55 14
2 2006 76 39
3 2007 78 40
4 2008 81 61
5 2009 76 39
366 193
Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Sementara itu, RUU Prolegnas periode 2010-2014 ditetapkan sebanyak 247
Rancangan Undang-Undang dan 5 (lima) Rancangan Undang-Undang Kumulatif
Terbuka.37
Selain itu juga ada beberapa RUU Non Prolegnas. Penetapan Prolegnas pada
tahun 2010 dilakukan untuk satu masa keanggotaan DPR periode 2010-2014. Dari 247
RUU apabila dibagi 5 tahun, berarti rata-rata tiap tahun harus diselesaikan 50 RUU.
Adapun susunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun Anggaran (pertahun) berturut-turut
adalah sebagai berikut: Tahun 2010 ditetapkan sebanyak 58 RUU, tahun 2011 sebanyak
70 RUU, tahun 2012 sebanyak 64 RUU, tahun 2013 sebanyak 70 RUU dan tahun 2014
sebanyak 66 RUU.
Di luar Prolegnas yang telah ditetapkan, tentu masih dimungkinkan pengajuan
RUU di luar Prolegnas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan 92)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian, jumlah keseluruhan RUU
prolegnas dan non prolegnas tahun 2010-2014 berjumlah 371 RUU. Sehingga jumlah
keseluruhan (RUU prolegnas dan RUU non prolegnas) untuk setiap tahunnya adalah
sebagai berikut: Tahun 2010 ditetapkan sebanyak 70 RUU, tahun 2011 sebanyak 93
RUU, tahun 2012 sebanyak 69 RUU, tahun 2013 sebanyak 70 RUU dan tahun 2014
sebanyak 69 RUU.
Adapun tingkat keberhasilan dalam DPR dan Pemerintah dalam menyelesaikan
kesleuruhan RUU yang sudah diprogramkan, masing-masing sebagai berikut: Tahun
2010 sebanyak 16 RUU, tahun 2011 sebanyak 24 RUU, tahun 2012 sebanyak 30 TUU,
tahun 2013 sebanyak 22 RUU, dan tahun 2014 sebanyak 31 RUU.
Tabel 2
Produk Legislasi 20010-2014
No Tahun Target Disahkan
37
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html,
SIPENDIKUM 2018
211
1 2010 70 16
2 2011 93 24
3 2012 69 30
4 2013 70 22
5 2014 69 31
371 123
Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Hasil evaluasi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
menyatakan bahwa target RUU yang tercantum dalam Prolegnas selalu tidak rasional
sehingga tidak pernah tercapai secara maksimal, bahkan capaiannya pun tidak murni
dari RUU yang sedari awal sudah direncanakan. Dari awal penggunaannya, tahun 2005,
Prolegnas selalu berjalan dengan pola yang sama, yaitu diawali dengan target yang
ambisius dan diakhiri dengan capaian yang tidak bagus.38
Tidak pernah tercapainya
target prolegnas dari sejak 2005 ini dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dan
eksekutif tidak saja gagal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, bahkan sekedar untuk
merealisasikan apa yang mereka rencanakan sendiri saja mereka tidak mampu. Berikut
grafik realisasi prolegnas dari tahun 2005 sampai dengan 2014.
Grafik capaian legislasi periode 2005-2014
Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingginya target Prolegnas dari tahun 2005-
2014 selalu dijawab dengan capaian RUU yang selalu jauh lebih rendah. Rata-rata
capaian pembentukan UU setiap tahunnya hanya 32 UU, angka itu jauh lebih kecil
dibandingkan dengan target rata-rata pengesahan RUU yang mencapai 74 RUU.
Apabila melihat pada periode waktu, dalam tahun 2005-2014 Indonesia memiliki dua
kepengurusan DPR yang berbeda, yaitu periode 2004-2009 dan 2009-2014. Hal itu
38
Fajri Nursyamsi, Menggagas Prolegnas Berkualitas, http://www.pshk.or.id/id/blog-id/menggagas-
prolegnas-berkualitas/
SIPENDIKUM 2018
212
tidak membuat prestasi capaian Prolegnas berubah, karena tidak ada evaluasi yang
mampu memberikan hasil yang signifikan.39
Tidak tercapainya target legislasi sebagaimana telah diprogramkan dalam
prolegnas menurut ketua Badan Legislasi DPR RI tahun 2004-2009 disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya:40
1) Penentuan jumlah RUU belum sepenuhnya menggunakan kriteria yang jelas dan
tepat, dikaitkan dengan kebutuhan hukum yang ada. Penentuan judul yang masuk
tidak disertai alasan mengenai urgensi RUU bahkan ada beberapa RUU yang
memiliki kesamaan atau kedekatan substansi materi yang akan diatur.
2) Penentuan prioritas tahunan belum sepenuhnya memperhitungkan kapasitas dan
ketersediaan waktu legislasi DPR. DPR menjadwalkan hari legislasi 2 hari kerja
dalam setiap minggu pada setiap Masa Persidangan.
3) Parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukan dalam
Prolegnas sering kalah oleh kepentingan politik.
4) Komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen perencanaan
pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ditaati baik oleh Pemerintah
maupun DPR, masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak
tercantum dalam daftar Prolegnas.
5) Mekanisme pembahasan RUU di lingkungan DPR membutuhkan waktu yang
panjang, karena keharusan adanya DIM lebih dulu dan harus mendapatkan
persetujuan semua fraksi dan Pemerintah.
Berkaca pada evaluasi realisasi prolegnas di dua periode tersebut di atas,
menunjukkan bahwa tidak tercapainya target prolegnas bukan disebabkan oleh faktor
tunggal. Namun demikian, jumlah RUU prolegnas yang terlalu banyak dengan
kemampuan dan waktu yang terbatas merupakan faktor paling penting yang
menyebabkan target tersebut tidak tercapai. Terlebih, kemampuan anggota DPR dalam
penguasaan substansi dan teknis perancangan undang-undang juga tidak cukup
memadai. Oleh karenanya, sudah sepatutnya DPR, DPD, dan Pemerintah benar-benar
menetapkan usulan RUU dalam prolegnas untuk hal-hal yang sangat penting dan
mendesak sehingga sejumlah RUU tersebut memang merupakan sesuatu yang urgen
untuk diprioritaskan. Dengan kata lain, tidak perlu memaksakan untuk memasukkan
daftar RUU yang begitu banyak dalam Prolegnas yang pada akhrinya menyebabkan
makna prioritas menjadi sumir dan memberi kesan bahwa RUU prioritas tahunan hanya
bersifat menampung usulan saja tanpa ada parameter yang jelas tentang prioritas
kebutuhan bangsa dalam bidang legislasi.
Jumlah Ideal RUU Prolegnas
Antara berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada, menurut Bagir
Manan, undang-undanglah yang mempunyai jangkauan yang paling luas untuk
mengatur berbagai hal. Undang-undang pada dasarnya dapat mengatur segala hal.
Pengaturan oleh undang-undang hanya dibatasi oleh kaidah-kaidah yang termuat dalam
39
ibid 40
Muh. Risnain, Op., Cit, hlm. 406-407
SIPENDIKUM 2018
213
UUD 1945 dan Tap MPR.41
Bisa jadi, faktor keluwasan materi muatan yang dapat
diatur dalam undang-undang inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab
perencanaan RUU dalam prolegnas tidak pernah realistis karena selalu melampaui
ketersediaan waktu dan keterbatasan kemampuan DPR dan Pemerintah untuk
merealisasikannya.
Sebagai gambaran, jumlah regulasi yang telah ditetapkan berdasarkan data dari
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM sejak tahun 2005
sampai bulan Juni 2013 adalah sebagai berikut:42
Tabel 3
Jumlah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2005-2013
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Gambar di atas memperlihatkan bahwa eksekutif maupun legislatif rata-rata
hanya mampu membentuk 29 undang undang setiap tahun, atau sekitar 145 undang
undang dalam lima tahun. Oleh karena itu, jumlah RUU Daftar Prioritas Prolegnas
2005-2009 dan 2010-2014 yang jumlahnya diatas 200 RUU dapat dikatakan tidak
realistis.
Hal yang sama disampaikan oleh Muhammad Amirulloh. Menurut hasil
penelitiannya, jumlah ideal RUU yang dibahas dalam satu periode keanggotaan DPR
adalah antara 100 (sertaus) sampai dengan 125 RUU di luar pembentukan daerah dan
41
Bagir Manan, Pertumbuhan Dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV Mandar Maju, Bandung,
1995, hlm. 38 42
Background Study: Pengintegrasian Kerangka Regulasi Dalam RPJMN 2015 – 2019, Direktorat
Analisa Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, 31 Desember 2013, hlm. 5
SIPENDIKUM 2018
214
ratifikasi perjanjian internasional. Hal ini didasarkan pada data empirik jumlah rata-rata
UU yang berhasil ditetapkan pada setiap tahunnya adalah antara 20 s.d 30 UU.43
Membludaknya jumlah RUU dalam prolegnas di setiap periode kepemimpinan
DPR RI menunjukkan bahwa DPR dan Pemerintah tidak memiliki indikator yang jelas
dalam menetapkan RUU prolegnas. Hal ini kemudian berdampak pada tidak
terkontrolnya jumlah rencana RUU yang pada akhirnya prolegnas hanya
merepresentasikan daftar keinginan dari masing-masing anggota DPR dan Pemerintah
itu sendiri tanpa di dasari oleh kajian yang mendalam. Oleh karenanya, sangat penting
bagi DPR dan Pemerintah sebelum menetapkan RUU prolegnas untuk memiliki
parameter-parameter tertentu tentang RUU apa saja yang dianggap penting dan urgen.44
Ada banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur skala prioritas
pembentukan undang-undang. Misalnya dengan mengguakan metode ROCCIPI (Rules,
Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology) atau RIA
(Regulatory Impact Assessment), dll. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa
kriteria-kriteria tersebut dalam konteks sumber hukum tata negara masuk pada kategori
sebagai sumber HTN materiil. DPR, DPD, dan Pemerintah sebagai penyelenggara
negara wajib untuk pertama-tama merujuk pada sumber HTN yang formil dalam setiap
memecahkan suatu persoalan hukum. Namun demikian, apabila sumber HTN formil
dianggap tidak memadai dalam menjawab persoalan, maka dapat merujuk pada sumber
HTN yang materiil. Berdasarkan hal ini, sumber HTN formil sebenarnya telah
menetapkan beberapa kriteria dalam menyusun prolegnas baik untuk jangka menengah
(5 tahun) atau jangka pendek (1 tahun) yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 18 UU 12 Tahun 2011 telah secara
tegas mengatur bahwa penyusunan Prolegnas didasarkan pada:
a. Perintah UUD 1945;
b. Perintah Ketetapan MPR
c. perintah undang-undang lainnya;
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. Rencana pembangunan jangka menengah; 43
Muhammad Amirulloh, Kajian Hukum Tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Sebagai
Sarana Pembangunan Hukum Yang Demokratis Dan Evaluasi Prolegnas Tahun 2008, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm. 45 44
Tidak adanya parameter yang digunakan oleh DPR dan pemerintah dalam menetapkan RUU prolegnas
salah satunya tergambar dari tidak singkronnya antara jumlah RUU Prolegnas dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Padahal, salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam penyusunan Prolegnas adalah kesesuaiannya dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Bukti tidak singkronnya antara RUU prolegnas dengan kebutuhan RUU
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tergambar dari data yang dirilis oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), bahwa: Prolegnas 2010-2014 menetapkan 258 Rancangan Undang-undang untuk
diselesaikan, namun RPJMN 2010-2014 hanya merencanakan 29 RUU. RUU yang sejalan antara RPJMN
2010-2014 dan Prolegnas 2010-2014 adalah sejumlah 20 RUU. Kondisi demikian memperlihatkan tidak
sinerginya antara perencanaan kebijakan pembangunan regulasi dengan perencanaan pembentukan
regulasi yang seharusnya memperlihatkan sinergi antara peran Negara sebagai regulator dan peran Negara
sebagai operator. Background Study, Op., Cit, hlm. 3-4
SIPENDIKUM 2018
215
g. Rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, (dan rencana strategis DPD);
dan
h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Kriteria nomor 1 s.d 8 di atas harus dimaknai sebagai hierarkhi sehingga
penentuan prioritas RUU prolegnas menjadi lebih jelas dan fokus serta menghindari
munculnya RUU-RUU pesanan politik tertentu. Kriteria dalam hierarki yang lebih
tinggi harus diprioritaskan dibandingkan kriteria dalam hierarki yang lebih rendah.
Selain itu, 4 (empat) indikator dapat dijadikan landasan dalam menentukan arah dan
kebijakan Prolegnas yaitu: Pertama, pengaturan lebih lanjut atas peraturan yang lebih
tinggi atau sederajad (termasuk didalamnya adalah tindak lanjut putusan MK dan
ratifikasi perjanjian internasional). Hal ini penting untuk diprioritaskan karena
pengaturan lebih lanjut dibutuhkan agar peraturan yang lebih tinggi dapat
dioperasionalkan. Kedua, pelaksanaan sisa RUU prolegnas tahun sebelumnya. Dengan
dasar pertimbangan bahwa sisa prolegnas tahun sebelumnya yang belum selesai penting
untuk didahulukan karena hal tersebut sudah pasti telah terdapat kajian yang matang
sehingga periode 2018 perlu untuk menindaklanjutinya. Ketiga, Rencana kerja
pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD. Hal ini dapat dilakukan
dengan membangun visi bersama sehingga akan tercipta kesepakatan antara DPR,
Pemerintah, dan DPD akan satu tolak ukur penentuan RUU mana yang dapat
mendukung visi bersama tersebut, dan, Keempat, kebutuhan hukum masyarakat. Untuk
poin nomor empat ini perlu diberikan rambu-rambu mengenai kriteria RUU berdasarkan
kebutuhan hukum masyarakat dan juga RUU yang diajukan di luar Prolegnas agar hal
ini tidak digunakan secara gampang yang kemudian dapat merusak rencana prolegnas
yang sudah baku.45
Pada akhirnya, pemilihan sebuah RUU untuk dijadikan skala
prioritas prolegnas juga harus mempertimbangkan 3 (tiga) hal yaitu: (1) ketersediaan
naskah akademik, (2) naskah Rancangan Undang-Undang, dan (3) telah dilakukan
harmonisasi.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
yaitu: Pertama, perencanaan legislasi melalui prolegnas dimaksudkan untuk
menghasilkan legislasi yang terencana dengan jelas dan terpola. Prolegnas merupakan
arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak untuk membuat dan melaksanakan
pembentukan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara. Kedua, beberapa faktor
45
Rambu-rambu yang dapat digunakan misalnya dengan mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-
VII/2009 yang mengatur tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi
Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu: (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang
dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang
secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan (Kekosongan hukum tersebut harus segera diatasi
dengan membentuk UU).
SIPENDIKUM 2018
216
yang menyebabkan RUU prolegnas tidak pernah dapat diselesaikan seluruhnya karena:
(1) Penentuan jumlah RUU belum sepenuhnya menggunakan kriteria yang jelas dan
tepat, dikaitkan dengan kebutuhan hukum yang ada. (2) Penentuan prioritas tahunan
belum sepenuhnya memperhitungkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi DPR.
(3) Parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukan dalam
Prolegnas sering kalah oleh kepentingan politik. (4) masih sering terjadi masuknya
RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar Prolegnas. (5) Mekanisme
pembahasan RUU di lingkungan DPR membutuhkan waktu yang panjang. Ketiga,
jumlah ideal RUU prolegnas harus menyesuaikan ketersediaan waktu dan kapasitas
DPR dan Presiden. Kemampuan DPR dan Presiden rata-rata hanya mampu membentuk
29 undang undang setiap tahun, atau sekitar 145 undang undang dalam lima tahun.
Daftar Pustaka
Andi Irman Putra, 2008, Penulisan Kerangka Ilmiah Tentang Peran Prolegnas Dalam
Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD 1945 (Pasca
Amandemen), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak
Asasi Manusia, Jakarta.
Ajarotni Nasution dan Omon (editor), 2010, Evaluasi Program Legislasi Nasional
Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Demokratis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tatanegara
Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung
Bagir Manan, 1995.Pertumbuhan Dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV
Mandar Maju, Bandung
Dinamika Pembangunan Budaya Hukum dan Demokrasi Lokal, Laporan Tahunan 2015
Mahkamah Konstitusi RI, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi
J.E. Sahetapy, dkk, 2011, Pemantauan Dan Pengkajian Legislasi Serta Permasalahan
Aktual Di Bidang Hukum (Suatu Rekomendasi), Komisi Hukum Nasional RI,
Jakarta
Jimly Assidiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta
Maria Farida Indrati. S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta
SIPENDIKUM 2018
217
Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Ctk. Kelima, Kencana
Prenada Media, Jakarta
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, ctk.
ketiga, Ghalia Indonesia
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sulityowati Irianto dan Shidarta (edt), 2009, Metode Penelitia Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asas Manusia (HAM) di Indonesia di Era
Reformasi: Studi Tentang Penegakan Hukum HAM dalam Penyelesaian
Pelanggaran HAM Masa Lalu, Ringkasan Disertasi, Program Doktor (S3)
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2010
Peraturan Perundang-undangan, Makalah, Jurnal dan Website
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-
2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-
2009.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41 A/DPR RI/
I/2009-2010 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun
2010 – 2014.
SIPENDIKUM 2018
218
Asrul Ibrahim Nur, Produktivitas Legislasi: Realisasi Prolegnas Tahun 2013, The
Indonesian Institute, Center for Public Research, Volume VIII, No. 05 -
Desember 2013.
Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia, Membanguan Keterpaduan Program
Legislasi Nasional dan Daerah, makalah, disampaikan dalam Workshop dan
Focus Group Discussion dengan tema “Program Legislasi Nasional Sebagai
Politik Pembangunan Hukum Nasional" yang diselenggarakan oleh Badan
Legislasi DPR RI, Rabu, 21 Mei 2008.
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bivitri Susanti, Catatan Pelaksanaan Prolegnas 2005-2009, Makalah, disampaikan
dalam Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Tahun 2008, yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional departemen Hukum
dan HAM, di Bogor, 26 Agustus 2008
FX. Soekarno, Arah Kebijakan Penyusunan Prolegnas 2010 – 2014, Makalah,
disampaiakan pada Lokakarya Prolegnas Tahun 2009, yang diselenggarakan
oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, tanggal 10 Juni 2009, di Bandung,
Jawa Barat.
Muh. Risnain, Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional,
Jurnal Rechtsvinding, Volume 4, Nomor 3, Desember 2015.
Background Study: Pengintegrasian Kerangka Regulasi Dalam RPJMN 2015 – 2019,
Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Jakarta, 31 Desember 2013.
Muhammad Amirulloh, Kajian Hukum Tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Yang Demokratis dan Evaluasi Prolegnas
Tahun 2008, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Program Legislasi Nasional Tahun 2005 –
2009.
Khopiatuziadah, “Menanti Realisasi Prolegnas Prioritas 2010” diunduh dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/artikel/336-menanti-realisasi-
prolegnas-prioritas- 2010.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html,
SIPENDIKUM 2018
219
Fajri Nursyamsi, Menggagas Prolegnas Berkualitas, http://www.pshk.or.id/id/blog-
id/menggagas-prolegnas-berkualitas/