Peningkatan kemampuan menentukan sinonim dan antonim ( pdf )
SINONIM (MUTARĀDIF) DALAM AL-QURʹAN STUDI KATA...
Click here to load reader
Transcript of SINONIM (MUTARĀDIF) DALAM AL-QURʹAN STUDI KATA...
SINONIM (MUTARĀDIF) DALAM AL-QURʹAN
STUDI KATA GULUW DAN ISRĀF DALAM TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ahmad Jaelani
1111034000056
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURʹAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
iv
ABSTRAK
Ahmad Jaelani
Sinonim (Mutarādif) dalam Al-Qurʹan (Studi Kata Guluw dan Isrāf dalam
Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ)
Di dalam al-Qurʹan kata guluw dengan bentuk fi’il nahyi (bentuk kata kerja
larangan) disebutkan sebanyak 2 kali. Sedangkan kata isrāf dengan bentuk fi’il
nahyi (bentuk kata kerja larangan) disebutkan sebanyak 2 kali.
Kajian ini telah dikaji oleh para ulama, baik klasik maupun kontemporer.
Pandangan para ulama terkait mutarādif dalam al-Qurʹan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu pandangan yang menetapkan adanya mutarādif dalam al-Qurʹan
dan pandangan yang menetapkan tidak adanya mutarādif dalam al-Qurʹan.
Penelitian dalam skripsi ini berkisar mengenai makna kata Guluw dan Isrāf
dalam tafsir al-baḥr al-muḥīṭ. Data yang digunakan adalah ayat-ayat al-Qurʹan yang
di dalamnya terdapat kata guluw dan isrāf dengan bentuk fi’il nahyi. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu mensistematikakan data atau
keterangan yang terkumpul dalam sebuah penjelasan terperinci disertai dengan
analisis penulis.
Mutarādif dalam al-Qurʹan adalah setiap kata yang memiliki makna yang
sama, akan tetapi tidak dapat disamakan sepenuhnya. Hal ini dikarenakan susunan
kata dalam al-Qurʹan selain memiliki kekhususan dalam setiap maknanya, juga
memiliki arti yang berbeda dengan yang lainya, di samping itu kata tersebut
memiliki kesesuaian dalam susunannya.
Abū Ḥayyān menafsirkan kata guluw adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan berlebih-lebihan dalam urusan berkeyakinan. Sedangkan beliau
menafsirkan kata isrāf tentunya berbeda dengan makna guluw, karena makna isrāf
sendiri adalah berlebih-lebihan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang timbul dari
diri sendiri maupun dengan segala sesuatu yang ia miliki.
Kata Kunci: Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, mutarādif, guluw, dan isrāf.
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم للا الر
Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis haturkan kepada Allah SWT.,
atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia
berikan kepada penulis. Dialah Tuhan tempat penulis mengadu ketika penulis sudah
merasa lelah dan Putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis
meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas
petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata, mengolah
kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide,
kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini.
Salawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-
pesan Allah SWT., sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi
yang berjudul “ SINONIM (MUTARĀDIF) DALAM AL-QURʹAN STUDI
KATA GULUW DAN IṢRĀF DALAM TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ ” ini
tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri, melainkan ada banyak
sosok kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan
ini selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M.Pd., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qurʹan dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas
Ushuluddin.
4. Dosen penasihat akademik, Bapak Hanafi, MA., yang banyak memberi
masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA., selaku pembimbing, yang dengan
ikhlas dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan juga kepada
bapak Eva Nugraha MA., beliaulah yang telah meluangkan waktu di
tengah kesibukannya untuk mengoreksi, memberikan arahan serta
memberikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan
membagikan berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis
selama penulis kuliah di kampus tercinta ini.
7. Ayahku Asmari dan Ibuku Siti Makiyah yang telah mendidik dan
membesarkanku menjadi manusia yang berguna untuk masyarakat.
8. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Pusat Studi al-
vii
Qurʹan (PSQ) Ciputat yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-
rujukan sebagai sumber referensi.
9. Kelurga besar El-Haq yang telah mensupport baik materi maupun moril
sehingga bisa terselesaikannya skripsi ini.
10. Teman terbaikku Aniesa Maqbullah yang selalu menemaniku di kala suka
maupun duka dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qurʹan dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Toib, Asep, Arif,
Rifai, Fuad, Ulil, Jamil, Iyan, Saiful, Ceceng, Subhan, Zulfikar, Seman,
Ilham, Hilman, Gandi, Bazit, Eka, Dayat, Akrom, Yasir, Yaqin, Fahmi,
Ramdan dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.
Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu yang akan selalu
terkenang. Terima kasih dan semoga Tuhan selalu menemani kita semua
dalam segala hal.
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah SWT., Semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai al-Qurʹan dan bermanfaat bagi semua yang mau
membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini menjadi tulisan pertama
penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.
Jakarta, 25 Juli 2018
Hormat saya
Ahmad Jaelani
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7
D. Manfaaat Penelitian .................................................................... 8
E. Kajian Pustaka ............................................................................ 8
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Sinonim (Mutarādif) ..................................... 13
1. Pengertian Sinonim (Mutarādif) ........................................... 13
2. Sebab-sebab Munculnya Sinonim (Mutarādif) ..................... 16
3. Pro Kontra Para Ulama Terhadap Sinonim (Mutarādif)
dalam Al-Qur′an .................................................................... 18
B. Gambaran Umum Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ ................................. 23
1. Riwayat Hidup Pengarang .................................................... 23
2. Metode Tafsir ........................................................................ 25
3. Corak Tafsir .......................................................................... 29
4. Sistematika Penafsiran .......................................................... 30
C. Gambaran Umum Kata Guluw dan Isrāf ................................... 31
BAB III ANALISIS KATA GULUW DAN ISRĀF
A. Kata Guluw dan Berbagai Derivasinya dalam Al-Qur′an .......... 34
B. Kata Isrāf dan Berbagai Derivasinya dalam Al-Qur′an ..............
C. Penafsiran Kata Guluw dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ .............. 41
D. Penafsiran Kata Isrāf dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ .................
E. Kata Guluw dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ ................................ 47
ix
F. Kata Isrāf dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ ................................... 47
G. Perbedaan kata Guluw dan Isrāf .................................................
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan ........................................................................... 49
2. Saran-saran ............................................................................ 49
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 50
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
No. 158 Tahun 1987-Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
Ṭ ط .Tidak dilambangkan 16 ا .1
Ẓ ظ .B 17 ب .2
‘ ع .T 18 ت .3
G غ .Ṡ 19 ث .4
F ف .J 20 ج .5
Q ق .Ḥ 21 ح .6
K ك .Kh 22 خ .7
L ل .D 23 د .8
M م .Ż 24 ذ .9
N ن .R 25 ر .10
W و .Z 26 ز .11
H ه .S 27 س .12
′ ء .Sy 28 ش .13
Y ي .Ṣ 29 ص .14
Ḍ ض .15
2. Vokal Pendek
= a ت ب Kataba ك
= i سئ ل Su′ila
= u ي ذه ب Yażhabu
3. Vokal Panjang
ا = ā ق ال Qāla
Qīla ق يل ī = ا ى
Yaqūlu يقول ū = أو
4. Diftong
Kaifa ك يف ia = أ ي
ول au = أ و Ḥaula ح
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
dinyatakan sebagai wahyu dari Allah. Wahyu ini membantu manusia untuk
memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan meruapakan pelita
bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kitab suci ini
memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nās (petunjuk bagi seluruh umat
manusia). Dari sini kitab suci al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat, yakni bukti
kebenaran yang Allah turunkan untuk manusia.1
Al-Qur’an juga adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan kepada nabi Muhammad saw dalam bahasa Arab, yang disampaikan
kepada umat manusia. Bahasa yang demikian indah, redaksinya yang demikian
teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah menyentuh kalbu
masyarakat yang berdecak kagum, walaupun nalar atau paham sebagian dari
mereka menolaknya. Dan fungsinya sebagai hudan li an-nās ditujukan kepada
seluruh umat manusia.2
Dari segi balaghah, al-Qur’an juga memiliki makna yang sangat
mendalam. Setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna tersendiri, yang itu
berbeda dengan kata lain meskipun secara tekstual memiliki arti yang sama.
Sehingga, bisa dikatakan bahwa ada sinonimitas dalam setiap kata yang ada dalam
al-Qur’an. Banyak contoh dalam al-Qur’an yang redaksinya yang berbeda, tetapi
1Achmad Yasir Arrojab , “Makna Kata Ṣirat, Sabil, dan Tariq”, Skripsi S1 Faultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2017), Hal. 1. 2Achmad Yasir Arrojab , “Makna Kata Ṣirat, Sabil, dan Tariq”, Hal. 1.
2
secara terminologi memiliki arti yang sama. Namun, jika dipandang dari segi
balaghahnya memiliki makna yang berbeda. Seperti kata boleh/bisa/dapat dalam
kata tersebut berbeda penulisannya namun maknanya sama. Tapi jika dipahami
dari segi balaghah, dua kata ini memiliki makna dan maksud yang berbeda.
Kemudian kata hudan dan rasydan yang dua kata itu, secara bahasa memiliki arti
petunjuk, namun dilihat dari balaghahnya, dua kata tersebut juga memiliki
kandungan yang berbeda.3
Dalam kajian al-Qurʹan persoalan sinonim (mutarādif) merupakan salah
satu bagian penting dalam metode penafsiran. Problematika ta‘āruḍ (secara lahir
teks ayat yang satu tampak bertentangan dengan teks ayat yang lain) yang sering
diselesaikan dengan metode nāsikh dan mansūkh (menghapus dan dihapus) dapat
dihindari dengan metode subtitusi dalam mutarādif.4
Sinonim (Mutarādif) ialah ragam kata yang mempunyai makna yang sama.
Seperti kata saif ( ي س
ف ), ḥusām ( ح ام س ), muhannad ( ن ه م د ) dan lain-lain. Ketiga
kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu pedang. Menurut M. Quraish Shihab,
keunikan bahasa Arab terlihat juga pada kekayaannya, bukan saja pada
bilangannya, yaitu tunggal (mufrad), dua (Musannā), dan lebih dari dua (jama’),
tetapi juga pada kekayaan kosakata dan sinonimnya.5
Al-Qurʹan selalu memberikan makna baru bagi setiap orang yang
menafsirkannya, tanpa mengubah makna yang terkandung di dalamnya dan tanpa
mengurangi nilai-nilai yang hendak disampaikan kepada manusia sebagai
petunjuk. Sementara itu, al-Qurʹan merupakan kitab wahyu yang yufassiru
3Achmad Yasir Arrojab , “Makna Kata Ṣirat, Sabil, dan Tariq”, Hal. 2. 4Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam Al-Qur’an,” Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Vol 2, no. 4 (2015): h. 7. 5Ahmad Toib, “Mutarādif dalam al-Qur’an: Studi Kata Tayyib dan Hasan dalam Tafsir
al-Baḥr al-Muḥīṭ”, Skripsi S1 Faultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2018), h. 1.
3
ba’ḍuhu ba’ḍān (sebagian ayatnya menjelaskan ayat yang lainnya).6 Jika dilihat
dari ungkapan tersebut, sebenarnya al-Qurʹan telah menjelaskan dirinya sendiri,
hanya saja tergantung kepada para mufassir tentang bagaimana ia bisa mengaitkan
antara satu ayat dengan ayat yang lain sesuai dengan tema dan permasalahan yang
sama.
Hal tersebut berlaku bagi setiap penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurʹan.
Tak terkecuali dengan penafsiran ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata guluw7
( و ل ) dan iṣrāf 8 (غ
اف ر kedua kata ini sering kali diartikan dengan melampaui ,(اس
batas atau berlebih-lebihan. Seperti dalam kamus bahasa Arab Al-Munawwir,
ketika dicari arti dari kedua kata tersebut, maka arti yang ditemukan adalah
“melampaui batas atau berlebih-lebihan”.
Di dalam al-Qurʹan kata guluw ( و ل التغلو dengan bentuk fi’il nahyi (غ
(bentuk kata kerja larangan) disebutkan sebanyak 2 kali.9 Begitu pula kata isrāf
(
اف ر disebutkan (bentuk kata kerja larangan) التسرفو dengan bentuk fi’il nahyi (اس
sebanyak 2 kali.10
Di antaranya ialah :
1. Q.S. al-Nisā ayat 171
ى سيح عيس ا ٱل م إن
ق ح ٱل
ه إل
ى ٱلل
ل ع
وا
ول ق
ت
ل م و
في دينك
وا
لغ
ت
ب ل
كت هل ٱل
أي
نه
وح م ر م و ري ى م إل
ا ه ى
ق
ل ۥ أ ه ت لم
ك ه و
ول ٱلل س م ر ري ٱبن م
أ ف
ل لهۦ و س ر ه و
بٱلل
وا من
6Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistomologi Tafsir (Yogyakarta: Pustakak Pelajar, 2008),
h. 40. 7Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984), h. 1015. 8Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 628. 9Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm
(Mesir: Matba’ah Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1364 H), h. 504. 10Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm, h.
349.
4
ل
د
ل ۥ و ه
ل
ون ك ن ي
ۥ أ ه ن
بح س حد
ه و ه إل
ا ٱلل م إن
م
ك
يرا ل
خ
وا ه ٱنت
ة
ث ل ث
وا
ول ق
ا في ت ۥ م ه
كيل ه و ى بٱلل
ف
ك رض و
ا في ٱل م ت و و م ٱلس
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan
(yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada
Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-
Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
2. Q.S. al-A’raf 31
حب ي
ۥ ل ه إن ا و
سرف
ت
ل و
وا ب ر
ٱش و
وا
ل ك سجد و م
ل م عند ك
ك ت
زين
وا
ذ
م خ اد ني ء ب ي
سرفين ٱل
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Jika diperhatikan dengan seksama kedua ayat di atas, terdapat kata guluw
dan iṣrāf dengan arti “melampaui batas atau berlebih-lebihan”, untuk sementara
dapat disimpulkan bahwa al-Qurʹan menggunakan kata guluw dan isrāf untuk
menunjukkan kata yang bermakna “melampaui batas atau berlebih-lebihan”.
Ayat di atas memerintahkan kepada manusia untuk memanfaatkan rejeki
yang telah Allah berikan untuk manusia tanpa berlebihan. Maksud sebaliknya dari
ayat tersebut ialah larangan untuk melakukan perbuatan melampaui batas, yaitu
tidak berlebihan dalam menikmati apa yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan
pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Dalam terminologi syari’at, kata guluw bisa bermakna berlebih-lebihan
dalam suatu perkara atau bersikap ekstrem pada suatu masalah dengan melampaui
5
batas yang telah disyari’atkan. Adapun guluw secara istilah adalah model atau tipe
keberagamaan yang mengakibatkan seseorang melenceng dari agama tersebut.11
Guluw merupakan suatu fenomena yang ada pada setiap umat, dan dapat
menghancurkan seluruh umat. Contohnya antara lain adalah kaum yahudi, yang di
dalam sejarah diceritakan terdapat ekstremitas di antara mereka, sehingga
melahirkan terorisme. Mereka telah mendustakan para Nabi dan bahkan sampai
membunuhnya. Dalam berakidah sebagian dari kaum Nasrani juga telah bertindak
guluw, sehingga membangun kepatuhan totalitas kepada para pastor dan pendeta
mereka.12
Dalam bukunya yang berjudul iqāmah al-Hujjah ‘alā anna al-ikhtisār fi
al-‘ibadah, Syekh Abul Hasanat Abdul Hayy al-Lacknawi menjelaskan bahwa
yang termasuk tindakan ekstrem adalah tuduhan melakukan bid’ah terhadap para
ahli ibadah yang memfokuskan diri dalam beribadah.13
Adapun isrāf berasal dari kata al-sarf berarti melampaui ukuran dan batas
dalam setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Menurut Mustafa al-Maragi, kata
isrāf maksudnya adalah suatu sifat atau tindakan yang melebihi batas dalam
membelanjakan harta serta tidak sesuai dengan batas naluri, batas ekonomi dan
batas Syar’i. Menurut Quraish Shihab kata isrāf terambil dari kata sarafa yang
berarti melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan
diberi nafkah. Sifat ini larangan untuk melakukan perbuatan yang melampaui
batas, yaitu berlebih-lebihan dalam hal apapun.14
11Sihabuddin Afroni, “Makna Guluw dalam Islam: Benih Ekstremisme Beragama ” Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, No. 1 (Januari, 2016): h. Hal. 7. 12Abdullah Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan
Islam (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 95. 13Abdullah Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan
Islam, hal. 96. 14 Nurfaziah, “Penafsiran Kata Isrāf dalam Al-Qur’an Menurut Ibnu Katsir dan Al-
Maragi” Skripsi S1 Faultas Ushuluddin, UIN Syarif Kasim (Riau, 2014), Hal. 3.
6
Lalu pertanyaan yang muncul ialah apakah al-Qurʹan menggunakan
banyak kata untuk menunjukkan satu makna. Sebagaimana diketahui bahwa al-
Qurʹan ini adalah sebuah mukjizat, maka tidaklah mungkin al-Qurʹan
menggunakan beberapa kata yang memiliki makna yang sama, untuk maksud dan
tujuan yang sama pula, ini merupakan sesuatu yang sia-sia, dan pastinya akan
mengurangi sisi kemukjizatan al-Qurʹan dari segi bahasa.
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa tidak ada dua kata atau
lebih yang memiliki makna yang sama kecuali pasti ada perbedaan maknanya.
Karena al-Qurʹan bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap sisinya.
Gaya bahasa yang tinggi dan penempatannya bukanlah ditempatkan oleh Allah
begitu saja, namun mengandung banyak muatan dan konsep-konsep yang tidak
hanya menunjukkan satu makna, akan tetapi dapat menampung sekian banyak
makna.15
Berangkat dari hal inilah penulis merasa perlu untuk membahas hal ini.
Bagaimana memahami makna kata guluw dan isrāf dalam al-Qurʹan ?
Untuk mempertajam penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka
dengan menggunakan kitab tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, karena kitab tafsir ini adalah
salah satu kitab tafsir yang bercorak bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Rusydi Khalid dalam artikelnya bahwa metode pendekatan atau corak penafsiran
yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam kitab tafsir al-Bahr al-Muḥīṭ kebanyakan
memuat masalah kebahasaan khususnya nahwu, juga masalah Qirāʹat, dan
15 Ahmad Toib, “Mutarādif dalam al-Qur’an: Studi Kata Tayyib dan Hasan dalam Tafsir
al-Baḥr al-Muḥīṭ”, h. 4.
7
masalah fiqh.16 Berlandaskan inilah kitab tafsir ini sangat cocok dijadikan rujukan
utama dalam penelitian ini.
Oleh karena itu penulis terdorong melakukan penelitian skripsi dengan
judul “Sinonim (Mutarādif) dalam al-Qurʹan (Studi Kata Guluw dan Isrāf
dalam Tafsir Al-Baḥr Al-Muḥīṭ).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya bentuk kata guluw dan iṣrāf dengan berbagai
derivasinya dalam al-Qurʹan, maka untuk memperjelas dan menghindari
pembahasan yang tidak mengarah pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini,
penulis menginventarisir ayat-ayat al-Qurʹan yang di dalamnya terdapat kata-kata
tersebut, lalu mendapati bahwa makna yang paling menyerupai ialah kata lā taglū
dengan bentuk fi’il nahyi (bentuk kata kerja (التسرفوا) dan lā tusrifū (التغلو)
larangan).
Dari pembatasan masalah yang tercantum diatas maka penulis
merumuskannya, bagaimana sinonim kata guluw dan isrāf menurut Abu Hayyan
dalam kitab tafsir al-Bahr al-Muhit?
C. Tujuan Penelitian
1. Menguraikan definisi sinonim dalam al-Qurʹan
2. Menguraikan kata guluw dan isrāf dalam al-Qurʹan.
3. Menjelaskan makna kata guluw dan isrāf dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
16H.M. Rusydi Khalid, ”Al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abū Ḥayyān
al-Andalūsī” Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. (2015): h. 180.
8
D. Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi penelitian
sebelumnya yang membahas mengenai konsep berlebih-lebihan,17 atau lebih
khusus yang membahas konsep ghuluw dan isrāf dalam al-Qur’an.18
E. Kajian Pustaka
Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis
menemukan beberapa skripsi yang berkaitan dengan skripsi ini :
Nurfaizah19 menulis tentang “Penafsiran kata Isrāf dalam Al-Qur’an
menurut Ibn Katsīr dan al-Maraghi.” Ia menguraikan kata israf dalam al-Qur’an
dengan menggunakan data dari kamus Mu’jam al-Mufahras. Berikutnya Nur
Faizah menjelaskan penafsiran Ibn Katsīr dan al-Maraghi terkait persamaan dan
perbedaan dari kedua kata tersebut. Menurutnya penggunaan kata israf sering
berkaitan dengan makanan atau rizki.
Umi Alifah20 menulis tentang “Makna Tabzir dan Isrāf dalam Al-Qur’an”.
Penulis mengumpulkan berbagai penafsiran khususnya yang bercorak kebahasaan.
Di antara tafsir yang banyak di rujuk olehnya ialah: M. Quraish Shihab, al-
Maraghi, Hamka dan Ibn Katsīr. Dengan penelitian ini penulis memperkuat
17Penelitian terkait berlebih lebihan sering mengacu pada kata israf dan tabzir, diantara
yang membahas ini adalah Umi Alifah, “Makna Tabzir dan Israf dalam al-Qur’an” Skripsi S1
Faultas Ushuluddin (Uin Yogyakarta, 2016). Nurfaizah, Penafsiran kata Israf dan Tabzir menurut
Ibn Katsir dan al-Maraghi” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin (UIN Sultan Syarif Kasim, 2014). 18Sihabuddin Afroni, “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstremisme Beragama”
Jurnal: Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1(Januari 2016): h. 70-85. Dan Ahmad Fauzan, “Ghuluw
(Berlebih lebihan dalam agama): Sebuah Kajian Atas Q.s. al-Nisāʹ/4: 171 dan al-Māʻidah/5: 77 “
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 19Nurfaizah, “Penafsiran kata Israf dan Tabzir menurut Ibn Katsir dan al-Maraghi”,
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim (Riau, 2014). 20Umi Alifah, “Makna Tabzir dan Israf dalam al-Qur’an” Skripsi S1 Faultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta, 2016).
9
pendapat penelitian sebelumnya tentang persamaan dan perbedaan kata tabzir dan
israf dalam al-Qur’an secara makna dan penafsiran. Namun dengan penelitian ini
penulis meyakini bahwa tabzir dapat dipahami juga sebagai dampak dari israf.
Syihabuddin Afroni21 menulis sebuah artikel dengan Judul “Makna
Ghuluw dalam Islam: Benih Extrimisme Beragama”. Data yang digunakan penulis
adalah penafsiran para ulama. Ia mengakomodir beberapa pendapat cendikiawan
modern terkait penafsiran ayat tentang ghuluw. Dengan penelitian ini penulis
meyakini bahwa sikap ghuluw berdampak pada ekstrimisme agama. Bahkan lebih
dari itu sikap ghuluw adalah pangkal dari ekstrimisme itu sendiri.
Menurut Ahmad Fauzan,22 sikap berlebih-lebihan dalam agama (Ghuluw)
mengarah pada segala sesuatu yang dimiliki manusia. Tidak hanya pada aqidah
melaikan pada sikap dan hubungan antara sesama manusia. Ahmad Fauzan
berkesimpulan bahwa ghuluw dan seperangkat kata lain memiliki konsep yang
berbeda, perbuatan ibadah seperti makan dan minum yang berlebihan tidak
dianggap sebagai ghuluw. Karena hal ini tidak membuat sesorang menjadi
musryik.
Aulatun Ni’mah23 membahas mengenai sikap berlebih-lebihan perspektif
hadist. Menurutnya hadist melarang sikap ini dengan berbagai redaksi yang
memiliki beberapa perbedaan. Apabila dibandingkan dengan redaksi yang
digunakan al-Qur’an, redaksi hadits terkait sikap berlebih-lebihan lebih mengarah
pada Isrāf dan tabzir. Sedangkan kata ghuluw menurutnya memiliki beberapa
21Sihabuddin Afroni, “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstremisme Beragama”
Jurnal: Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1(Januari 2016): h. 70-85. 22Ahmad Fauzan, “Ghuluw (Berlebih lebihan dalam Agama): Sebuah Kajian Atas Q.s. al-
Nisāʹ/4: 171 dan al-Māʻidah/5: 77 “ Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah (Jakarta, 2003). 23Aulatun Ni’mah, “Larangan berlebih-lebihan dalam perspektif Hadits”, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Walisongo (Semarang 2014)
10
konteks, diantaranya boros dalam memakai harta, dan sikap nekat dalam bertindak
serta melampaui batas.
Dari beberapa penelitian di atas maka penulis mencoba menganalisis kata-
kata yang memiliki makna melampau batas atau berlebih-lebihan, penulis
menemukan hanya dua kata yang benar-benar memiliki kesamaan makna
(mutarādif) yaitu kata guluw dan isrāf. Dan untuk membedakan penelitian ini,
maka penulis menggunakan tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, karena tafsir ini begitu dalam
penjelasannya ketika membahas aspek kebahasaan. Dengan ini, penulis berharap
bisa menganalisis makna kata guluw dan isrāf dalam al-Qurʹan melalui tafsir al-
Baḥr al-Muḥīṭ.
F. Metodoogi Penelitian
1. Metode
Metode yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah:
a. Metode penelitian kuantitatif, yakni metode yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, sebagai lawannya adalah
eksperimen. Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengedepankan
sistematika data dengan kajian telaah pustaka (library research), yaitu
menelusuri dan mengkaji data-data yang berhubungan dengan masalah
penelitian dari sumber-sumber buku.24
24Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
(Bandung: Alfabeta, 2013). h. 15.
11
b. Metode deskriptif analisis, yaitu mensistematikakan data atau
keterangan yang terkumpul dalam sebuah penjelasan terperinci disertai
dengan analisis penulis.25
c. Metode telaah pustaka, yakni membaca dan memahami referensi
penelitian, baik itu dari sumber data bersifat primer, maupun sumber
data yang bersifat sekunder.
2. Sumber Data
Sumber data yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
terbagi dua:
a. Sumber data primer, yaitu data yang sangat mendukung dan menjadi
pokok pembahasan dalam skripsi ini, atau sumber data utama, yang
dalam hal ini adalah tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang bersifat menunjang
terkait tema yang akan dibahas, sumber data ini dapat berupa buku-
buku, jurnal, karya ilmiah lainnya terkait dengan masalah yang akan
dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab, masing-masing bab akan diperincikan ke
dalam subbab, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan. Urgensi bab
ini adalah sebagai landasan dasar pencarian masalah.
25Sudarto. M. Hum, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada,
2002). h. 62.
12
Bab dua merupakan gambaran umum tentang sinonim dalam al-Qurʹan,
gamaran umum tafsir al-baḥr al-muḥīṭ, dan gambaran umum tentang kata guluw
dan isrāf. Urgensi Bab ini adalah sebagai pratinjau kata kunci yang akan dibahas
pada bab berikutnya.
Bab tiga merupakan analisis terhadap kata guluw dan isrāf dalam al-
Qurʹan beserta tafsirannya yang terdiri dari kata guluw dalam al-Qur’an,
penafsiran kata guluw dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, kata isrāf dalam al-Qur’an,
dan penafsiran kata isrāf dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ. Urgensi bab ini adalah
sebagai analisa dari semua kata kunci yang dibahas pada bab sebelumnya, serta
menjawab dari permasalahan yang dibahas pada bab pendahuluan.
Bab Empat merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang dilakukan
oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk
melakukan riset lanjutan dari penulis. Urgensi bab ini adalah sebagai jawaban
ringkas dari rumusan masalah yang ada pada bab pendahuluan.
13
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Sinonim (Mutarādif)
1. Pengertian Sinonim (Mutarādif)
Istilah sinonim atau sinonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma
yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Makna harfiahnya adalah nama lain
untuk benda yang sama. Adapun secara leksikal sinonim adalah he fact of two or
more words or expressions having the same meaning (fakta bahwa dua atau lebih
kata atau ungkapan memiliki kesamaan makna).1
Dalam pengertian yang lebih luas dalam kamus linguistik menjelaskan
bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan
bentuk lain. Kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat,
walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Sinonim juga
adalah ungkapan, baik sebuah kata, frase ataupun kalimat yang kurang lebih sama
maknanya dengan suatu ungkapan lain.2
Kata sinonim dalam bahasa Arab adalah al-tarāduf ( اد ر الت
ف ) berasal dari
akar kata ( ف -د -ر ) dan berasal dari fi‘il ( ر د
د ر ي - ف
ف ) yang bentuk masdar-nya
adalah ( د الر
ف ) ialah segala sesuatu yang mengikuti sesuatu lainnya di belakangnya.
Bentuk jama’-nya ( ي اف د الر ), telah dikatakan telah datang rombongan kaum berturut-
turut ( ا اء ج ل ي اف د ر م و ق ) maksudnya ialah bagian satu mengikuti bagian yang lainnya.
Lalu Mutarādif ( ال ر ت اد
ف ) merupakan ism al-Fā‘il dari kata (
اد ر ت
ي –ف
اد ر ت
- ف
اد ر ت
اف ), yang memiliki arti ( اب ت الت ع ) yang berarti saling mengikuti. Pengertian ini
1Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam al-Qurʹan”, Surya Bahtera: Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Vol 2, No. 04 (2015), h. 2. 2Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam al-Qurʹan”, hal. 3.
14
tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam kamus Lisān al-‘Arab. Kata
mutarādif diartikan “setiap sesuatu yang mengikuti sesuatu yang lain”.3
Makna al-Mutarādif ( ال ر ت اد
ف ) ialah mengendarai sesuatu di belakang
pengendara atau membonceng. Perkataan bagi malam dan siang berurutan, karena
setiap salah satu dari keduanya mengikuti yang lain.4 Maksud dari tarāduf al-
syakhsān ( اد ر ت
ف
الش
ص خ ان ) ialah saling membantu atau gotong royong, dapat
dipahami juga dengan saling mengikuti atau membonceng.5 Al-Tarāduf dilihat dari
sisi istilah tidak ditemukan kesepakatan umum diantara para ulama, akademisi
klasik dan kontemporer. Imam Sibawaih (w. 180 H.) diduga sebagai orang pertama
yang menampakkan penjelasan mengenai tarāduf dalam ilmu bahasa. Ia membagi
konteks hubungan antara lafadz dengan makna, menjadi tiga macam yakni: lafadz-
lafadz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang beraneka ragam pula, satu
lafadz mempunyai aneka makna yang berbeda-beda dan beragam lafadz namun
hanya mempunyai satu makna. Pembagian tersebut disinyalir sebagai awal
munculnya konsep musytarak lafzi dan al-Mutarādif.6
Menurut al-Murtada al-Zabadi (w. 1205 H.) ia mendefinisikan mutarādif
dengan menjadikan banyak nama pada satu hal. Pengertian ini tidak keluar dari
pernyataan yang disampaikan oleh imam Sibawaih dalam klasifikasi hubungan
antara lafadz dengan makna.7 Hal yang berbeda disampaikan oleh al-Suyuti bahwa
mutarādif ialah beberapa dengan satu arti, namun beliau membatasi pada beberapa
kata yang memang mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-Insān dengan al-
3Muhammad Ibn Makram Ibn ‘Ali Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab, Vol. 19 (Kairo: Dār al-
Ma’ārif, t.th), h.1625. 4Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munajjad, al-Tarāduf fī al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 1997),
h. 29. 5Emīl Badi’ Ya’qūb, Mausū’ah Ulūm al-Lugāh al-‘Arābiyah, (Beirut: Dār al-Kutūb al-
‘Ilmiyah, 2006), h. 294. 6Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur′ān al-Karīm, h. 30. 7Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur′ān al-Karīm, h. 32.
15
Basyar dan al-Saif dengan al-Sārim. Kedua kata ini mempunyai batasan dari segi
zat dan sifatnya.8
Mutarādif menurut istilah bahasa adalah beraneka ragamnya kata berjumlah
dua atau lebih dengan disepakati satu makna. Seperti kata ,
ث ي ع , ال ب د , الس س
لا
ة ام س
yang menunjukkan mempunyai satu makna yaitu singa. Begitu juga dengan أ
kata , ام س ح ال ي ان
م ي د , ال ن ه
, ال
ف ي الس memiliki satu makna yaitu pedang. Mutarādif
yaitu lafaẓ bermacam-macam dengan kesesuaian makna. Bangsa Arab adalah
bangsa yang paling kaya bahasa dengan sinonim (mutarādif). Misalnya kata
ف ي الس
memiliki lebih dari seribu nama. Kata د س mempunyai lima ratus nama. Kata لا
ل س ع namanya lebih dari delapan puluh nama.9 ال
Ada yang berpendapat bahwa mutarādif serupa dengan al-Nazāir dan
Musytarak serupa dengan al-Wujūh. Sebenarnya ada sedikit perbedaan antara al-
Musytarak dan al-Wujūh, antara lain al-Wujūh dapat terjadi pada lafadz tunggal dan
dapat juga akibat rangkaian kata-kata, berbeda dengan Musytarak yang tertuju
kepada satu lafadz saja. Ada juga perbedaan antara mutarādif dengan al-Nazāir.
Kendati keduanya serupa, tetapi letak perbedaannya pada kedalaman analisa.
Ketika seseorang berkata insān ا ن (انس ) nazir serupa dengan kata basyar ( ب
رش ),
sekedar berhenti di sana, tidak menganalisa lebih jauh apa kesamaan dan
perbedaannya. Seharusnya ada penjelasan lebih jauh.10
Bagi al-Jurjānī, mutarādif adalah setiap kata yang memiliki satu makna dan
memiliki beberapa nama, dan mutarādif merupakan antonim dari musytarak.11 Lain
halnya dengan al-Suyūṭī yang menyatakan bahwa mutarādif adalah dua kata yang
8Jalāl al-Dīn al-Suyūti, al-Muzhīr fî ‘ulūm al-Lugah wa ‘Anwaā’uhā, (Kairo: Maktabah Dār
al-Turās,) h. 403. 9Amīl Badi’ Ya’qūb, Mausū’ah Ulūm al-Lugāh al-‘Arābiyah, h. 294. 10M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir , ed: Abd. Syakur. DJ, (Tangerang: Lentera Hati,
2015), h. 120. 11Abū al-Ḥasan al-Ḥusaini al-Jurjānī, Kītab al-Ta‘rifāt (Beirut: Dār al-Fikr, 1998 ), h. 138.
16
memiliki arti serupa atau berdekatan.12 Sementara al-A‘rabi memiliki definisi yang
hampir berbeda. Menurutnya, mutarādif adalah dua kata berbeda yang biasanya
digunakan orang Arab untuk menyebutkan satu nama atau benda yang sama dengan
penggunaan yang berbeda.13 Tampaknya al-A‘rabi membedakan dua kata tersebut
dalam penggunaannya, kendatipun memiliki makna yang sama.
2. Sebab-sebab Munculnya Sinonim (Mutarādif)
Ada beberapa alasan yang menjadikan sejumlah kata memiliki persamaan
makna, antara lain:14
a. Banyaknya kata-kata yang berdialek Arab berpindah ke dialek Quraisy.
Dari sekian banyak kosakata yang banyak jumlahnya, tidak sedikit kata
yang tidak menjadi kehendak dialek Quraisy. Sehingga sampai
menimbulkan persamaan dalam nama-nama, sifat-sifat dan bentuk-
bentuknya.
b. Sumber kosakata yang diambil oleh kamus-kamus berasal dari
bermacam-macam dialek suku (suku Qais, Ailān, Tamīm, Asad, Huzail,
Quraisy, dan sebagian suku Kinānah). Kesempurnaan kamus-kamus
atas kosakatanya bukan berasal dari Quraisy saja. Namun didapati
mayoritas kosakatanya berasal dari bahasa ini.
c. Penulisan kata-kata dalam kamus-kamus banyak yang tidak digunakan
lagi dalam penggunaannya, kemudian tergantikan dengan kosakata yang
lain.
d. Tidak adanya pembeda dalam peletakan kosakata di kamus-kamus
antara makna ḥaqīqī dengan makna majāzī, banyak kosakata yang
12Jalal al-Dīn al-Suyūṭī, al-Muzhīr fî ‘ulūm al-Lugah wa ‘Anwaā’uhā, h. 403. 13Khalid Abd al-Raḥmān al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduh (Beirut: Dār al-Nafāʹis
1986), h. 271. 14Amīl Badi’ Ya’qūb, Mausū’ah Ulūm al-Lugāh al-‘Arābiyah, h. 299-300.
17
belum diletakkan pada maknanya yang tepat. Namun kebanyakan
digunakan pada makna majāzī.
e. Banyaknya kata yang berpindah ke dalam makna kata benda yang
sebenarnya menyifatkannya. Seperti kata ي ان م ي
د , ال ن ه
ع , ال اط
ق
ام , ال س ح
ال
merupakan nama-nama
ف ي yang menunjukkan setiap dari (pedang) الس
nama-nama tersebut sesungguhnya ialah sifat-sifat khusus kata
ف ي . الس
kata
ف ي terganti dengan sifat-sifatnya tersebut kemudian الس
menunjukkan bahwa sifat-sifatnya adalah al-saif itu sendiri.
f. Sesungguhnya banyak dari kosakata yang hakikatnya bukan benar-
benar sama. Akan tetapi setiap darinya memiliki keadaan yang khusus
kemudian menunjukkan perbedaan konteks yang dimiliki setiap kata
sehingga terlihatlah perbedaannya antara satu dengan lainnya. Seperti
kata kerja ج د , ح ظ ح
ق , ل م ا, ر
ن ن , ر
ف
ش . Dari sekian kata kerja tersebut
menunjukkan persamaan pada kata kerja ر ظ
yang (melihat) ن
sesungguhnya memiliki ciri khasnya masing-masing yakni memiliki
konteks yang berbeda. Ramaqa menunjukkan pada penglihatan yang
menggunakan kedua mata. Laḥaẓa menunjukkan pada memandang dari
samping telinga atau melirik. Hadaja bermakna melihat dengan cara
terbelalak. Syafana menunjukkan pada cara melihat dengan takjub. Dan
ranā adalah cara memandang dengan kedamaian atau keterangan.
g. Banyak lembaran-lembaran dalam kitab-kitab bahasa Arab masa
lampau yang ditulis dengan tulisan Arab (khat al-‘Arabi) yang terbebas
dari tanda atau sykl (harakat).
18
3. Pro Kontra Para Ulama Terhadap Sinonim (Mutarādif) dalam Al-Qur′an
Pandangan para ahli tafsir terkait mutarādif dalam al-Qurʹan dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu pandangan yang menetapkan adanya
mutarādif dalam al-Qurʹan dan pandangan yang menetapkan tidak adanya
mutarādif dalam al-Qurʹan. Secara teologis kedua pandangan ini bisa dicarikan
alasannya. Di antaranya, bila dikaitkan dengan sifat kemahatahuan Zat yang
menciptakannya,. Kalangan pro mutarādif mengapresiasi banyaknya kata dengan
satu makna sebagai bagian dari kemukjizatan al-Qurʹan dari segi keindahan
sastranya. Sedangkan kalangan kontra mutarādif menganggap banyaknya kata
hanya dengan satu makna itu bertentangan dengan kemukjizatan al-Qurʹan dari sisi
keluasan hikmahnya. Allah yang Maha Tahu dan Maha Luas Ilmu-Nya tidak
mungkin menciptakan banyak kata hanya dengan satu makna saja, bervariasinya
simbol tentu dimaksudkan membedakan makna.15
Pandangan yang menetapkan adanya mutarādif dalam al-Qurʹan di
antaranya didasarkan pada:16
a. Mutarādif dipahami sebagai sab‘ah al-aḥruf
Riwayat al-Bukhari dalam Ṣaḥih al-Bukhari kitāb faḍāil al-Qur’an bāb
unzila al-Qur’an ‘ala sab’ah al-aḥruf. Bahwasanya Rasulullah brsabda
“sesungguhnya al-Qurʹan ini diturunkan atas tujuh macam bacaan (sab‘ah al-aḥruf)
maka bacalah apa yang termudah darinya”.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa sab‘ah al-aḥruf adalah tujuh bahasa
atau dialek dalam bahasa Arab yang memiliki satu makna.17 Al-Zarkasyi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mutarādif adalah kata yang terdapat
15Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam al-Qurʹan”, h. 8. 16Al-Munajjad, al-Tarāduf fī al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 109. 17Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qurʹān (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
h. 158.
19
dalam tujuh dialek Kabilah Arab dan memiliki arti sama. Seperti kata aqbil,
ḥalumma, dan ta‘al. Lebih lanjut, Al-Zarkasyi menguatkan pendapatnya dengan
menyitir ayat al-Qurʹan in kānat illā ṣaiḥatan wāḥidah,18 dalam dialek lain dibaca
in kānat illā zaqīyan wāḥidah. Demikian juga dengan ayat ka al-‘ihn al-manfūsy19
yang dalam dialek lain dibaca ka al-ṣauf al-manfūsy.20
Sesuai dengan perkembangannya, enam dialek dari sab‘ah al-aḥruf dihapus
dan ditetapkan menjadi satu dialek sebagai patokan mushaf Usmani, yaitu dialek
Quraisy. Namun jika yang dimaksud dengan sab’ah al-aḥruf adalah tujuh dialek
dari berbagai suku Arab, maka sab’ah al-aḥruf tidak dapat digolongkan sebagai
mutarādif.
b. Mutarādif dipahami sebagai taukīd
Sebagian ulama tafsir memahami mutarādif sebagai taukīd, karena dalam
taukīd ada pengulangan kata yang memiliki makna sama (al-taukīd bi al-alfāẓ al-
murādif). Ini sebagaimana ayat dalam al-Qurʹan “wa jā‘a rabbuka wa al-malak
ṣaffan ṣaffān”.21 Kata ṣaffan ṣaffān diulang dua kali dengaan menunjuk pada makna
yang sama, yaitu “berbaris-baris”. Taukīd dengan pengertian pengulangan kata
terkadang juga dipisah dengan huruf ‘aṭaf. Seperti dalam surat Ṭāhā ayat 112:
ضما ه
ل ما و ل ظ
اف
خ ي
ل
ن ف م
ؤ و م ه ت و
ح ل ن ٱلص ل م عم ن ي م و
Dan barang siapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan
beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil
(terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya
Taukīd model seperti ayat di atas dinamakan taukīd ma‘nawī, Kata ẓulmān
dan haḍmān itu memiliki arti yang saling berdekatan.
18Al-Qurʹan, 36 (Yāsīn): 29. 19Al-Qurʹan, 101 (al-Qāri‘ah): 5 20Badr al-Dīn Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurʹān, Vol.
1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1972), h. 228. 21Al-Qurʹan, 89 (al-Fajr: 22)
20
c. Mutarādif dipahami sebagai mutasyābih
Selain dari sab’ah al-aḥruf dan taukīd, ada pendapat yang mengatakan
bahwa mutarādif dalam al-Qur’an itu berupa tasyābuh, yaitu satu kisah yang
diceritakan dalam banyak bentuk dalam al-Qur’an.22 Ini seperti dalam surat al-
Baqarah ayat 36:
ا نه ن ع يط
ا ٱلش م ه
ل ز
أ الخ . . .ف
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu. . .
Dalam bentuk yang lain diungkapkan dengan redaksi yang lain, seperti
dalam surat al-A‘rāf ayat 20:
...الخ ن يط
ا ٱلش م ه
س ل سو و
ف
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya. . .
Bagi al-Suyūṭī, adanya beberapa kata yang memiliki makna sinonim tidak
menjadi persoalan, jika disebabkan faktor perbedaan bahasa atau dialek.23 Yang
menjadi persoalan adalah ketika makna sinonim tersebut bukan karena faktor
perbedaan bahasa, atau hanya karena faktor perbedaan kecil saja dalam pengujaran.
Makna sinonim muncul dapat disebabkan fenomena tidak adanya indra bahasa dan
ketidakmampuan untuk menentukan dan membatasi makna kalimat itu sendiri, atau
karena faktor lain yang tidak substansial.24
Sementara kelompok yang mengingkari adanya mutarādif dalam al-Qurʹan
melihat bahwa susunan kata yang digunakan al-Qurʹan dalam setiap ayatnya
memiliki karakteristik yang berbeda dan tidak bisa diganti dengan kata lain
walaupun maknanya sama, sebab setiap susunan redaksi ayat-ayat al-Qurʹan
22Al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurʹān, Vol. 1, h. 43. 23Al-Suyūṭī, al-Muzhir fī al-‘Ulūm al-Lugah, h. 405. 24Aḥmad Ibn Fāris, al-Ṣāḥibī fī Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Masāʹilihā wa Sunan al-
‘Arab fī Kalāmihā (Mesir: Dār al-Ma‘ārif t.th), h. 8.
21
terdapat keserasian dan keindahan di dalamnya. Seperti kata raib dalam surat al-
Baqarah ayat 2:
ين ق ت م
ل دى ل ه
يه يب ف ر
ب لت ك
ك ٱل ل
ذ
Kitab (al-Qurʹan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa
Kata raib di dalam ayat tersebut tidak dapat diganti dengan kata syakka
sehingga menjadi lā syakka fīh. Demikian pula dengan kata tatlū dalam surat al-
Ankabūt ayat 48:
إ ك ين م
ي ۥ ب ه ط
خ
ت
ل ب و
ت ن ك ۦ م ه بل ن ق م
وا
تل
نت ت
ا ك م و
ون ل بط
اب ٱل
رت
ا ل
ذ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qurʹan) sesuatu Kitab pun
dan kamu tidak (pernah) menulis sebuah Kitab dengan tangan kananmu,
andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang
yang mengingkari(mu).
Kata tatlū di dalam ayat tersebut tidak dapat diganti dengan kata taqraʹ
sehingga ayat tersebut berubah menjadi wamā kunta taqraʹ min qablihi min kitāb.
Di samping itu, ada spesifikasi makna tertentu dari dua kata yang dianggap sama
maknanya. Seperti dalam surat al-Fāṭir ayat 35 :
ا ل يه ا ف ن س م ي
ل ب و ص
ا ن يه ا ف ن س م ي
ۦ ل ه ضل
ن ف ة م
ام ق ار ٱل ا د ن
ل ح
ي أ ذ
وبٱل
غ
Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-
Nya, di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu"
kata al-Naṣb dan al-Lugūb memiliki makna yang sama, akan tetapi memiliki
keutamaan masing-masing.
Al-Aṣfahānī berpendapat bahwa setiap kata yang memiliki makna yang
sama di dalam al-Qurʹan tidak dapat disamakan sepenuhnya. Hal ini dikarenakan
susunan kata dalam al-Qurʹan selain memiliki kekhususan dalam setiap maknanya,
juga memiliki arti yang berbeda dengan yang lainnya, di samping itu kata tersebut
memiliki kesesuaian dalam susunannya. Karyanya yang berjudul Mu‘jam Mufradāt
22
li Alfāz al-Qurʹān didedikasikan untuk menjelaskan beberapa kata yang dianggap
mirip maknanya dalam al-Qurʹan.25
Beberapa ulama kontemporer juga tidak sedikit yang memiliki pandangan
yang sama dengan al-Aṣfahānī, di antaranya ialah Abd al-Raḥmān al-Akk, Mannā’
Khalīl al-Qaṭṭān, dan ‘Āisyah bint al-Syāṭi’. Al-Akk berpendapat bahwa dalam al-
Qur’an tidak ada kata-kata yang sama kecuali memiliki makna dan maksud yang
berbeda.26 Hal ini senada dengan pendapat al-Qaṭṭān yang mengatakan, “sesuatu
yang dianggap sinonim (mutarādif) dalam al-Qurʹan sejatinya bukanlah sinonim,
seperti kata al-khasyyah, kata ini lebih dalam maknanya dari pada kata al-khauf.27
Bint al-Syāṭi‘ dalam al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn al-
Azraq secara tegas mengkritik ulama yang sejak lama disibukkan oleh perdebatan
seputar eksistensi sinonim (mutarādif) di dalam al-Qurʹan sehingga melahirkan
banyak pendapat. Kitab al-Iʹjāz al-Bayāni ini diuji untuk memecahkan perbedaan
itu dengan menjelaskan makna filosofis kata yang tidak bisa digantikan dengan kata
lain yang dinilai sebagai sinonimnya.28
Menurut Bint Syāṭi′, konsep mutarādif dalam al-Qurʹan sebagaimana
konsep ziyādah dalam huruf, mengundang pertanyaan dari perspektif bayānī,
apakah dua kata yang memiliki makna yang sama mengandung pengertian bahwa
salah satu dari keduanya tidak bermakna lagi, atau mengapa Tuhan memfirmankan
dua kata yang memiliki makna yang sama? Bukankah itu menunjukkan bahwa
penggunaan kata yang tidak efisien. Jika demikian, mungkinkah Tuhan
memfirmankannya. Karena itu sejak awal Bint Syāṭi‘ menolak konsep huruf
25Al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mu‘jam Mufradāt li Alfāz al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 2008),
h. 7. 26Al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā‘iduh, h. 271. 27Al-Qaṭṭān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qurʹān, h. 194. 28‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān bint Syāṭi‘, al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn
al-Azraq (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1971), h. 209.
23
ziyādah dan konsep makna sinonim (mutarādif), karena hanya akan mengurangi
i‘jāz bayānī dalam al-Qurʹan.29
B. Gambaran Umum Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
1. Riwayat Hidup Pengarang
Nama lengkap Abū Ḥayyān pengarang kitab Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ adalah
Abū ‘Abdillah Aṡīruddin Muḥammad ibn Yūsuf ibn ‘Alī ibn Ḥayyān al-Gharnaṭī
al-Jayyānī al-Nifzī al-Andalūsī.30 Beliau lahir di kota Granada pada akhir bulan
Syawwāl 654 H (1256 M) dan wafat kota Kairo pada tahun 745 H (1344 M).31
Beliau adalah seorang ulama besar dalam beberapa disiplin ilmu seperti Hadis,
Tafsir, Bahasa Arab, Qirāʹat, Adab, Sejarah, dan Naḥw Ṣarf. Abū Ḥayyān diberi
gelar ustāż al-mufassirīn (guru besar para mufassir), dan juga syaikh al-nuḥāt (guru
para ahli naḥw). Sejak kecil beliau telah belajar membaca al-Qurʹan dan
menghafalnya dibawah bimbingan Syaikh al-Khaṭīb ‘Abd al-Ḥaqq ibn ‘Alī. Setelah
itu ia berguru kepada al-Khaṭīb Abū Ja‘far ibn al-Ṭiba. Beliaupun belajar aneka
qirāʹat pada al-Ḥāfiz Abū al-Ḥusain ibn Abd al-‘Azīz ibn Abī al-Ahwasy (w. 705
H) di Maliqah.32
Abu Ḥayyān merupakan ulama yang berwawasan luas dan suka
mengembara demi menuntut ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu keislaman.
Beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk belajar pada ulama
terkenal. Ia belajar hadis di Andalusia dan Afrika. Ia belajar ilmu Qirāʹat kepada
‘Abd al-Nāṣir ibn ‘Alī al-Maryūṭī di Iskandariah. Ia belajar tentang kitab-kitab
29Bint Syāṭi‘, al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn al-Azraq, h. 412. 30Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz 1 (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995), h.325. 31Ḥasan Yūnus Ḥasn Ubaid, Dirāsah wa Mabāhits fī Tārikh al-Tafsīr wa Manḥaj al-
Mufassirīn (Kairo: Markaz al-Kitāb wa al-Nasyr, t.th), h. 128. 32Muhammad Rusydi Khalid, “al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir bercorak Nahwu Karya Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Adabiyah, Vol 15, No. 2 (2015), h. 1.
24
Adab (sastra) kepada Abū Ṭāhir Ismā‘īl ibn Abdullah al-Mulayji dan Syaikh Bahāʹ
al-Dīn ibn al-Nahhās di Mesir. Guru-guru tempatnya berguru dari satu kota ke kota
lain berjumlah sekitar 450 orang, sedangkan yang memberinya Ijazah sekitar
seratus orang.33
Di antara guru-guru Abū ḥayyān adalah:34
a. Aḥmad ibn Ibrāhīm ibn Zubair ibn Ḥasan ibn al-Ḥusain al-Tsaqafī al-
Asyimī. Beliau seorang yang ahli dalam bidang hadis, naḥw, uṣūl, dan
adab. Abū Ḥayyān banyak mengutip pendapat Aḥmad ibn Ibrāhīm
dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
b. Al-Ḥusain ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn
Muḥammad al-Imām Abū ‘Alī ibn al-Aḥwās al-Qarsyī. Beliau seorang
yang fāqih, ahli hadis, ahli naḥw dan banyak menyusun buku yang
berkaitan dengan qirāʹat
c. ‘Alī ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-Raḥīm al-Khasynī
d. Muḥammad ibn ‘Alī ibn Yūsuf al-‘Allāmah Raḍī al-Dīn Abū Abdillah
al-Anṣarī al-Syātibī
e. Muḥammad ibn Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Abī Naṣr
f. Syaikh al-Khaṭīb ‘Abd al-Ḥaqq ibn ‘Alī
g. Al-Khaṭīb Abū Ja‘far ibn al-Ṭiba
33Rusydi Khalid, “al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir bercorak Nahwu Karya Abū Ḥayyān al-
Andalūsī”, h. 2. 34Muhammad Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi
Penafsiran Abū Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Shautut Tarbiyah, Vol 27, No. 18 (2012), h. 45.
25
Adapun di antara murid-murid Abū Ḥayyān adalah :35
a. ‘Alī ibn ‘Abd al-Kāfī ibn ‘Alī ibn Tamām ibn Yūsuf ibn Mūsa ibn Hāmis
ibn Yaḥya ibn ‘Umar ibn ‘Usmān ibn ‘Alī ibn Siwār ibn Sālim al-Subkī
b. Muḥammad ibn ‘Abd al-Birr ibn Yaḥya ibn ‘Alī ibn Tamām Bahāʹ al-
Dīn
c. Aḥmad ibn Yūsuf ibn ‘Abd al-Dāim ibn Muḥammad al-Halabī Syihāb
al-Dīn
d. Abdullah ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abdullah ibn Muḥammad ibn ‘Āqil
al-Qarsyī.
2. Metode Tafsir
Metode yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam tafsirnya adalah metode
tahlīlī, yaitu metode penafsiran al-Qurʹan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mushaf. Mulai surat al-Fātihah sampai al-Nās semuanya ditafsirkan secara
berturut-turut secara rinci dan lengkap. Metode ini telah digunakan oleh para
mufassir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh
al-Farra‘ (w. 207 H) sampai tahun tahun 1960. 36
Dalam mengumpulkan data, Abū Ḥayyān banyak menggunakan metode
riwāyah yang dalam hal ini adalah al-Qurʹan dan hadis-hadis nabi sehingga tafsir
ini masuk dalam kaategori tafsir bi al-ma’sūr. Abū Ḥayyān menyebutkan hadis
yang betul-betul dari nabi maupun dari sahabat dan tābi‘īn yang ṡiqqah. Akan tetapi
beliau tidak menyebutkan dari mana sumber hadis tersebut, malah pada sebagian
tempat beliau tidak menyebutkan rāwi hadis sehingga besar kemungkinan ada
beberapa hadis ḍaīf yang dipakai dalam menafsirkan ayat. Di samping tafsir ini
35Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 45. 36Muhammad Quraish shihab, membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 112.
26
dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’sūr, juga dikategorikan sebagai tafsir bi al-
ra’yi. Hal ini bisa dilihat dari metode Abū Ḥayyān dalam menjelaskan i‘rāb ayat
demi ayat secara rinci sehingga secara sepintas ketika dibaca tafsir ini seperti buku
i‘rāb.37
Dalam menganalisis sebuah ayat, Abū Ḥayyān memilih satu ayat menjadi
beberapa bagian. Misalnya ketika menafsirkan māliki yaumi al-dīn, dipilah
menjadi tiga bagian mālik, yaum, dan al-dīn. Kemudian setiap kata tersebut
ditafsirkan tersendiri. Setelah penafsiran kata perkata dalam sebuah ayat sudah
lengkap Abū Ḥayyān menjelaskan makna ayat dengan terlebih dahulu menyebutkan
asbab al-nuzūl, i‘rāb, dan qirāʹat-nya, akan tetapi terkadang juga beliau
mengelompokkan beberapa ayat dalam satu kelompok kemudian dijelaskan ayat-
ayat tersebut dengan tetap mengutamakan aspek kebahasaan. Misalnya
mengelompokkan dari ayat 104 sampai 113 dari surat al-Baqarah. Setelah
pengelompokkan ini barulah beliau menjelaskan makna setiap kalimat dari setiap
ayat secara rinci. Dan surat-surat yang pendek hanya dikelompokkan dalam satu
kelompok setelah itu beliau tafsirkan.38
Ada beberapa teknik interpretasi yang digunakan oleh Abū Ḥayyan dalam
menafsirkan al-Qur’an:
1. Interpretasi Tekstual
Yaitu interpretasi dengan menggunakan teks al-Qurʹan dan hadis.39
Misalnya surat al-Baqarah ayat 36 ا و ذ
ق ا اد ن ل
خ ه ا هذ و ل
ال ي ر ق
. . .ة , kata
ال ي ر ق
ة dalam
ayat ini banyak ditafsirkan oleh para ulama dengan penafsiran yang berbeda-beda.
37Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 48. 38Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 49. 39Abdul Muin Salim, Metodologi Tfasir: Sebuah Rekonstruksi Epistimologi Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: 1999).
27
Akan tetapi penafsiran yang paling rājiḥ (unggul) yaitu dengan melihat ayat lain
yang ada hubungannya dengan ayat ini yaitu dalam surat al-Māidah ayat 21 , د ا
خ او ل
ر ا ض
ال ق د س
. . . ة . Jadi kata
ا
ي ر لق
ة dalam surat al-Baqarah ditafsirkan dengan Bait
al-Maqdis sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Māidah ayat 21.
2. Interpretasi Linguistik
Yaitu interpretasi dengan menggunakan pengertian dan kaedah-kaedah
kebahasaan.40 Teknik ini mencakup semantik etimologis yang membahas arti dari
struktur dasar bahasa Arab. Semantik morfologis ialah makna yang diperoleh
berdasarkan bentuk taṣrīf lafẓ, misalnya kata ض ف
ت ل
م ك dalam surat al-Baqarah ayat
47 dijelaskan dengan mengemukakan struktur dasar kata ل ض ف
ل yang fi’il-nya ال ض
ف
. Begitupula kata ال ض ف
ل
ة yang berasal dari fi‘il
ف ل ض . Kemudian kedua bentuk ini
dijelaskan sesuai dengan makna yang diperoleh berdasarkan bentuk taṣrīf lafẓ.
Semantik leksikal yaitu makna yang diperoleh dari kamus. Misalnya ketika Abū
Ḥayyān menafsirkan ayat 76 dari surat al-Raḥmān:
ك ت ان م س خ ح
ر ي بق ع ضر و
فخ خ ر
ف ر
ى ين ع
Mereka bersandar pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani
yang indah
Ketika menafsirkan kata ر ر ف
ف beliau berpedoman pada makna yang
diperoleh dari kamus. Bahwa yang dimaksud dengan kalimat ini adalah tempat
yang bagus dan lapang, atau bisa berarti taman surga yang penuh dengan
kenikmatan dan kebaikan.41
40Abdul Muin Salim, Metodologi Tafsir: Sebuah Rekonstruksi Epistimologi Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: 1999). 41Abū Ḥayyān al-Andalusī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz VIII (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 197.
28
3. Interpretasi Sosio Historis
Ialah penafsiran dengan menggunakan riwayat mengenai kehidupan sosial
politik dan kultural bangsa Arab pada saat turunnya al-Qurʹan, dengan kata lain ayat
ditafsirkan berdasarkan asbāb al-nuzūl.42 Interpretasi ini ditempuh dengan
mengemukakan asbāb al-nuzūl suatu ayat yang ingin ditafsirkan apabila ayat
tersebut turun berdasarkan satu peristiwa. Misalnya Abū Ḥayyān ketika
menafsirkan surat al-Muzammil maka terlebih dahulu beliau mengemukakan asbāb
al-nuzūl ayat ini. Dijelaskan bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah sedang
menyendiri di Gua Hira tiba-tiba beliau didatangi oleh malaikat jibril
menyampaikan wahyu pertama. Ketika Rasulullah pulang menemui istrinya
Khadijah beliau minta diselimuti seraya berkata زملوني زملوني , maka turunlah ayat
ini ياايها الزمل.
4. Interpretasi Logis
Ialah interpretasi dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dalam
menafsirkan sebuah ayat. Misalnya firman Allah SWT:
ن ۦ م ه ب ر ج
خ
أ ء ف
ا ء م
ا م ن ٱلس ل م نز
أ ء و
ا ن ب
ء ا م ٱلس ا و
ش ر رض ف
م ٱل
ك
ل ل ع ي ج ذ
ٱل
ون م
عل
م ت نت
أ ادا و ند
ه أ
ل ل
وا
ل جع
ت
ل
ف
م
ك
ا ل
زق ت ر
ر م ٱلث
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui
Dalam ayat ini Allah memulai dengan menyebutkan langit, kemudian hujan
dan terakhir tumbuhan. Abū Ḥayyān kemudian menjelaskan bahwa dalam ayat ini
42Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz VIII, h. 197.
29
ada sebab akibat. Dari sebab adanya langit yang mengeluarkan air hujan sehingga
tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan rezeki bagi manusia.43
5. Interpretasi Sistemik
dengan kata lain interpretasi ini bisa dipahami dengan munāsabah
(keterkaitan) ayat yang satu dengan ayat yang lainnya atau munāsabah surat dengan
surat yang lain. Contohnya ketika Abū Ḥayyān mengaitkan ayat 20 dan 21 dari surat
al-Ḥadīd. Dalam ayat 20 disebutkan bahwa di akhirat nanti ada magfirah yang
dijanjikan oleh Allah, maka di ayat 21 Allah memerintahkan kita berlomba-lomba
untuk meraih mag firah itu melalui iman, amal shaleh dan ketaatan. Begitu juga
keterkaitan antara satu surat dengan surat yang lain. Misalnya ketika Abū Ḥayyān
menafsirkan surat al-Taḥrīm, beliau terlebih dahulu mengemukakan adanya
keterkaitan surat ini dengan surat sebelumnya yaitu surat al-Ṭalāq. Dalam hal ini
beliau mengemukakan bahwa pada surat sebelumnya (al-Ṭalāq) telah disebutkan
beberapa hukum yang berkaitan dengan istri-istri orang mukmin, maka dalam surat
al-Taḥrīm Allah SWT menyebutkan sebagian hukum-hukum yang berlaku pada
istri-istri Rasul.44
3. Corak Tafsir
Pendekatan yang paling dominan digunakan dalam tafsir ini adalah
pendekatan lugawī (bahasa), kemudian pendekatan fiqh. Dalam menggunakan
pendekatan bahasa beliau banyak menukil penafsiran al-Zamakhsyarī dan Ibn
Atiyyah. Yang mana kedua mufassir tersebut cenderung menafsirkan al-Qur’an
dengan pendekatan kebahasaan. Al-Zamakhsyarī misalnya, ia banyak menyikap
keindahan bahasa al-Qur’an dan ketinggian unsur balagah-nya melalui pendekatan
43Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 50. 44Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 450.
30
ilmu al-Ma’ānī, ilmu al-Bayān, ilmu Naḥw, dan Ṣarf. Al-Zamakhsyarī berpendapat
bahwa untuk menyikap kandungan al-Qurʹan maka yang paling penting untuk
dikuasai adalah ilmu bahasa Arab dengan berbagai macam cabang-cabangnya.45
Sementara dalam menggunakan pendekatan fiqh, Abū Ḥayyān ketika
menafsirkan ayat-ayat hukum beliau menyebutkan pendapat sahabat dan tabi‘īn.
Begitupula beliau menukil pendapat dari imam mażhab yang empat, Abū Hanīfah,
Mālik, Syāfi‘ī dan Aḥmad. Akan tetapi karena pada saat itu di Andalusia banyak
menganut mazhab Mālikī sehingga dalam mengistimbatkan hukum ia banyak
berpedoman pada mażhab Mālikī. Namun setelah ia meninggalkan Andalusia ia
berpindah ke mażhab Al-Syāf‘ī.46
4. Sistematika Penafsiran
Dalam menafsirkan al-Qurʹan, terkadang Abū Ḥayyān menyebutkan satu
ayat secara langsung kemudian ditafsirkan, dan terkadang juga ia mengelompokkan
dua atau beberapa ayat dalam satu kelompok, kemudian ia menguraikan semua ayat
yang telah dikelompokkan itu dengan penjelasan yang rinci. Mulai dari makna
mufradat, i’rāb, asbāb al-nuzūl apabila ayat tersebut dilandasi oleh sebab
diturunkannya dan selanjutnya dijelaskan makna dan kandungan dari ayat
tersebut.47
Ada satu hal yang menarik dari tafsir ini adalah banyaknya syair-syair Arab
yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam menjelaskan ayat sekalipun tidak
disebutkan sumber syair tersebut. Kemudian beliau menjelaskan yang menjadi
syawāhid dalam syair tersebut. Contoh ketika Abū Ḥayyān menafsirkan surat al-
45Muṣṭafa al-Ḍawī al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’ān wa Bayān
I’jāzih (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.th), h. 77. 46Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz 1, h. 57. 47Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 51.
31
Baqarah ayat 173. Kata al-mayyitah dalam ayat tersebut dijelaskan dengan
mengemukakan syair Arab terlebih dahulu:
ي ل م س م ن ات
ف اس
ر ت م ب اح
ي ا تخم ن
ا الي م ت
ي ت اء ي ح ا
Bukan orang mati itu orang yang istirahat karena kematiannya, akan tetapi
orang mati adalah orang yang telah mati perasaan malunya
Setelah itu barulah beliau menjelaskan makna dan arti sesungguhnya kata
al-mayyitah dalam ayat itu.
C. Gambaran Umum Kata Guluw dan Isrāf
1. Pengertian Kata Guluw
Secara bahasa, guluw bermakna : "Hal yang melewati batas atau
hal-hal yang berlebih-Iebihan."48 Dalam kamus kontemporer, lafaz-lafaz
guluw sernakna dengan ifraṭ, taṭarruf yang artinya keterlaluan (perbuatan),
hal yang melampaui batas.49 Guluw secara bahasa juga bermakna
menambahkan, meninggikan, dan melampaui batas serta kadar ukuran yang
biasa pada segala sesuatu, atau berlebihan padanya, seperti kalimat “ghola
fiddin wal amru yaghlu” kalimat ini artinya adalah melampaui batas.50
Sedangkan guluw menurut istilah syara' ialah perbuatan atau sikap
yang keterlaluan, berlebih-lebihan dalam memuliakan atau meninggikan
derajat seseorang sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan
semestinya.51
Maksudnya, janganlah kalian mengangkat derajat makhluk
48Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progrcssif, 1997), h.
1015. 49Alabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdiar, Kamus Komtemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Makmur Pondok Pcsantren Krapyak, 1996), h. 1357. 50Abul Fadal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Manzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-
Arab, jilid 15 (Beirut : Dar al-Ṣādir, t.th) h. 131-132. 51Mansur Said, Bahava Syirik dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1996), h. 97.
32
melebihi kedudukan yang telah ditetapkan Allah, karena jika berbuat demikian
berarti telah menetapkan pada kedudukan yang tidak sepatutnya dimiliki oleh
selain Allah. Atau dapat juga dikatakan bahwa guluw ialah melampaui
batas-batas syariat baik berupa amal atau keyakinan.52
Al-Qur′an, hadis, dan bahasa menunjukan bahwa guluw artinya
melampaui batas dan kadar (ukuran). Sehingga setiap orang yang mengatakan
kenabian untuk orang yang bukan Nabi, atau menuhankan manusia, atau
mengakui kepemimpinan seseorang yang bukan pemimpin, maka ia layak
untuk dikatakan bahwa ia telah melakukan guluw.
Dengan demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa guluw
merupakan suatu sikap berlebih-lebihan seseorang dalam memposisikan
makhluk lain baik dengan amal perbuatan maupun keyakinan.
2. Pengertian Kata Isrāf
Kata isrāf berasal dari bahasa arab yang merupakan isim masdar dari kata
asrafa-yusrifu-isrāfan ( ا
ف ر -س
ر فس ا -ي
اف ر س ا ), yang berarti berlebih-lebihan,
melampaui batas, pemborosan, dan menghambur-hamburkan harta.53
Di dalam kamus kontemporer disebutkan bahwa kata isrāf bermakna
pemborosan. Kata isrāf berasal dari kata sarafa yang artinya suatu hal yang
melampaui batas, ketidaksengajaan, dan kekeliruan.54
Kata asrafa berarti melampaui batas. Para ulama membedakan antara isrāf
dan tabżīr dengan menyatakan bahwa tabżīr berkaitan dengan kadar pemberian,
52Muhammad Afifuddin, "Guluw dalam Dien". Majalah Salafy. edisi VII,
(Yogyakarta: Yayasan as-sunnah, 1996), h. 40. 53Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah,
19..), h. 168. 54Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003), h. 308.
33
dalam arti memberi melebihi kadar yang seharusnya diberikan, sedangkan isrāf
adalah memberi siapa saja yang seharusnya tidak diberi. Oleh karena itu, pelaku
tabżīr dinilai lebih sedikit keburukannya oleh sementara orang, dibandingkan
dengan pelaku isrāf.55
Kata al-isrāf secara bahasa bisa berarti kesalahan. Contohnya, ketika
seorang Arab pedalaman yang ingin menemui suatu kaum ia berkata, “ṭalabtukum
fasariftukum”, artinya “aku telah mencari kalian namun aku salah mendatangi
tempat”.56
Imam Abu Ja’far menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, Ath-Thabari,
bahwa di dalam kitab tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
isrāf yaitu memakan makanan yang haram. Hal ini juga dijelaskan oleh Ibnu Abu
Hatim di dalam tafsirnya.57
Di dalam skripsinya Aris Muh. Syadzili disebutkan bahwa menurut
Mustafa al-Khairi, kata isrāf bermakna jauh dari keseimbangan atau kesederhanaan,
baik dalam urusan harta maupun urusan duniawi lainnya.58
55M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an vol. 12,
h. 209. 56Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi jilid 15, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.
276. 57Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari jilid 11, h. 31. 58Aris Muh. Syadzili, Konsep Israf dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim Karya Ibnu Katsir,
Skripsi, h. 33.
34
BAB III
ANALISIS KATA GULUW DAN ISRĀF
A. Kata Guluw dengan Berbagai Derivasinya dalam Al-Qur′an
Kata guluw dalam al-Qur′an hanya disebutkan sebanyak dua kali, kata
guluw tersebut disebutkan hanya dalam bentuk fi‘il nahyi (kata kerja larangan).
Adapun ketika kata guluw menjadi fi‘il nahyi maka akan menjadi lā taglū.
1. Q.S Al-Nisā′: 171
ى سيح عيس ما ٱل إن
حق ٱل
ه إل
ى ٱلل
عل
وا
قول
ت
م ول
في دينك
وا
لغ
ت
ب ل
كت
هل ٱل
أي
ٱبن مريم ف
نه
ى مريم وروح م إل
ها ى
ق
للمتهۥ أ
ه وك
رسول ٱلل
ه ورسله ول
بللل
امنوا
ل
د
هۥ ول
ون ل
ن يك
نهۥ أ
سبح
حد
ه و
ه إل
ما ٱلل إن
م
ك
يرا ل
خ
ٱنتهوا
ة
ثل ث
وا
قول
ي ا فهۥ مت
ه وكيلى بللل
ف
رض وك
ت وما في ٱل و م ٱلس
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan
(yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada
Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu)
tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak,
segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.
2. Q.S Al-Māidah: 77
في وا
لغ
ت
ب ل
كت
هل ٱل
أل ي
بل ق
من ق
وا
د ضل
وم ق
ء ق
هوا
أ
ا بعو
ت ت
ول
حق ير ٱل
م غ
دينك
بيل ء ٱلس عن سوا
وا
ثيرا وضل
ك
وا
ضل
وأ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui
batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".
35
B. Kata Isrāf dengan Berbagai Derivasinya dalam Al-Qur′an
Kata isrāf dengan berbagai derivasinya disebutkan sebanyak 23 kali dalam
al-Qur′an. Di antaranya dalam bentuk fi‘il māḍī sebanyak 2 kali. Dalam bentuk fi‘il
nahyi sebanyak 2 kali. Dalam bentuk fi‘il muḍāri‘ sebanyak 2 kali. Dalam bentuk
isim maṣdar sebanyak 2 kali. Dalam bentuk isim fā‘il sebanyak 15 kali.
1. Kata isrāf dalam bentuk fi‘il māḍī
Q.S Ṭāha: 127
من بم يؤ
ول
سرف
جزي من أ
لك ن
ذ
د ووك
د
خر أ
ا ٱل
عذ
ه ول
ر ى ايبق
أ
Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak
percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu
lebih berat dan lebih kekal.
Q.S Al-Zumar: 53
نفسهم أ
ى عل
وا
سرف
ذين أ
عبادي ٱل
ل ي
فر ق
ه يغ
ه إن ٱلل
حمة ٱلل من ر
وا
قنط
ت
ل
حيم فور ٱلرغ
هۥ هو ٱل إن
و جميعا
ن ٱلذ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
2. Kata isrāf dalam bentuk fi‘il nahyi
Q.S al-An‘ām: 141
رع ل وٱلزخ وٱلن
ير معرود
وغ
عرود م
جنأ
نش
ذي أ
هۥ وهو ٱل
لكتلفا أ
مخ
هۥ ي حقوا
مر وءات
ث أ
امره إذ
من ث
وا
لبه ك
ش
ير مت
بها وغ
ش
ان مت م يتون وٱلر م ووٱلز
سرفين يحب ٱل
هۥ ل إن
ا و
سرف
ت
حصاده ول
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan
36
Q.S al-A‘rāf: 31
ل
م عند ك
تك
زين
وا
ذ
بني ءادم خ يحب ي
هۥ ل إن
ا و
سرف
ت
ول
وا ر
وٱد
وا
لمسجد وك
سرفين ٱل
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
3. Kata isrāf dalam bentuk fi‘il muḍāri‘
Q.S al-Isrā′: 33
ه نا لولي
د جعل
ق
وما ف
لتل مظ
ومن ق
حق
بلل
ه إل
م ٱلل تي حر
فس ٱل ٱلن
وا
قتل
ت
ول
هۥ تل إنق
ي ٱل
يسرف ف
ل
نا ف
ط
ان منصورا سل
ك
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan
Q.S al-Furqān: 67
واما لك ق
ان بين ذ
وك
روا
م يقت
ول
وا
م يسرف
ل
قوا
نف
أ
اذين إذ
وٱل
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian
4. Kata isrāf dalam bentuk isim maṣdar
Q.S al-Nisā′: 6
إن اح ف
ك
ٱلن وا
غ
ا بل
إذ
ى مى حتيت
ٱل
وا
وٱبتل
هم
ل مو
يهم أ
إل
ا عو
لدف
دا ف
نهم رد
ستم م ءان
يلقيرا ف
ان ف
ومن ك
يستعفف
لا ف
ني ان غ
ومن ك
بروا
ن يك
دارا أ ا و
إسراف
وها
لكأ ت
ول
ل أك
ل مو
يهم أ
عتم إل
ا دف
إذ
ف
عروف
ه حسيبابلل
ى بللل
ف
وك
يهم
عل
هدوا
د
أ هم ف
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan
janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
37
(janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang
miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Q.S al-Imrān: 147
داق
أ
ب ا وث
مرن
نا في أ
نا وإسراف و
ننا ذ
فر ل
نا ٱغ ر
وا
ال
ن ق
أ
هم إل
ول
ان ق
نا موما ك
فرين ك
وم ٱل
ق
ى ٱل
ا عل
وٱنصرن
Tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa
kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami
dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir"
5. Kata isrāf dalam bentuk isim fā‘il
Q.S Gāfir: 28
ن من م
ؤ ال رجل م
د وق
ه وق
ي ٱلل
ن يقول رب أ
ون رجل
قتل
تنهۥ أ تم إيم
ءال فرعون يك
م بعض ا يصبك
ذبهۥ وإن يك صادق
يه ك
عل
ذبا ف
وإن يك ك
م
ك
من رن بي
م بلل
ءك
جا
ذي ي ٱل
ه ل
إن ٱلل
م
ا يعدك
ذ
ك
هدي من هو مسرف
Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir´aun
yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh
seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia
telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung
(dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian
(bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu".
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas
lagi pendusta
Q.S Gāfir: 34
ا إذ
ى م به حتءك
ا جا م
م ك
تم في د
ما زل
ف
ن بي
بل بلل
من ق
م يوسف
ءك
د جا
ق
ول
ه من بعده ٱلل
ن يبعث
تم ل
لك ق
ه هل
لك يضل ٱلل
ذ
ك
رسول ا
رت م
من هو مسرف
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa
38
yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata:
"Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya. Demikianlah
Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu
Q.S al-Māidah: 32
ساد في ٱل
و ف
فس أ
ير ن
ا بغ فس
تل ن
هۥ من ق ن
ءيل أ
ى بني إسرتبنا عل
لك ك
جل ذ
ض رمن أ
ءتهم د جا
ق
ول
اس جميعا حيا ٱلن
أ
ما ن
أك
حياها ف
اس جميعا ومن أ تل ٱلن
ما ق ن
أك
ف
نون رسل
سرف
رض ل
لك في ٱل
نهم بعد ذ
ثيرا م م إن ك
ث
ن بي
ا بلل
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi
Q.S al-A‘rāf: 81
م هو
جال د
ون ٱلر تتأ
م ل
ك ونإن
سرف وم م
نتم ق
ء بل أ
سا
ن دون ٱلن
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada
mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas
Q.S Yāsīn: 19
ئن ذ
م أ
عك م م
ئرك
ط
وا
ال
ون ق
سرف وم م
نتم ق
م بل أ
رت
ك
Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri.
Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya
kamu adalah kaum yang melampui batas"
Q.S al-An′ām: 141
هۥ لكتلفا أ
رع مخ ل وٱلز
خ وٱلن
ير معرود
وغ
عرود م
جنأ
نش
ذي أ
وهو ٱل
هۥ ي حقوا
مر وءات
ث أ
امره إذ
من ث
وا
لبه ك
ش
ير مت
بها وغ
ش
ان مت م يتون وٱلر م ووٱلز
سرفين حصاده يحب ٱل
هۥ ل إن
ا و
سرف
ت
ول
39
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan
Q.S al-A‘rāf: 31
يحب
هۥ ل إنا و
سرف
ت
ول
وا ر
وٱد
وا
ل مسجد وك
ل م عند ك
تك
زين
وا
ذ
بني ءادم خ ي
سرفين ٱل
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
Q.S Yūnus: 12
هۥ مر فنا عنه ضر
شا ك م
لئما ف
او ق
اعدا أ
و ق
ا لجنبه أ
ر دعان ن ٱلض نس
ا مس ٱل
وإذ
ون ك
يعمل
وا
ان
مسرفين ما ك
ن لل
لك زي ذ
هۥ ك س م
ى ضر إل
م يدعنا
ن ل
أ
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam
keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan
bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-
olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya
yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan
Q.S Yūnus: 83
وإن يفتنهم
يهم أ
ن فرعون ومل
وف م ى خ
ومه عل
ن ق
م ة ي
ر ذ
إل
ى وس ءامن ل
ما
ف ن
سرفين ن ٱل
هۥ ل رض وإن
عال في ٱل
فرعون ل
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda
dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir´aun dan pemuka-
pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir´aun itu
berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang melampaui batas
40
Q.S al-Anbiya: 9
سرفين نا ٱل
ك
هل
ء وأ
ا
ش
هم ومن ن
نجين
أوعد ف
هم ٱل
نم صدق
ث
Kemudian Kami tepati janji (yang telah Kami janjikan) kepada mereka.
Maka Kami selamatkan mereka dan orang-orang yang Kami kehendaki dan
Kami binasakan orang-orang yang melampaui batas
Q.S al-Syu‘ara: 151
سرفين مر ٱل
أ
ا طيعو
ت
ول
dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.
Q.S Gāfir: 43
في ٱلدهۥ دعو
يس ل
يه ل
ني إل
دعون
ما ت ن
جرم أ
ه ل
ى ٱلل
إل
ان ن مرد
خر وأ
في ٱل
يا ول
ن
ار ب ٱلنصح
سرفين هم أ
ن ٱل
وأ
Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya
tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di
akhirat. Dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya
orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka
Q.S al-Zukhruf: 5
ر صفحا أ
ك
م ٱلذ
نضر عنك
ف
سرفينأ وما م
نتم ق
ن ك
Maka apakah Kami akan berhenti menurunkan Al-Quran kepadamu, karena
kamu adalah kaum yang melampaui batas
Q.S al-Dukhān: 31
سرفين ن ٱل
ان عاليا م هۥ ك إن
من فرعون
dari (azab) Fir´aun. Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah
seorang dari orang-orang yang melampaui batas
41
Q.S al-Zāriyāt: 34
مسرفين ك لل
عند ر مة سو م
yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang
melampaui batas".
Dari pemaparan ayat-ayat di atas maka penulsi menemukan bahwa titik
temu antara kedua kata guluw dan isrāf adalah pada fi‘il nahyi karena kedua kata
tersebut dalam bentuk fi‘il nahyi terdapat dalam al-Qur′an. sehingga penulis hanya
membatasi kata guluw dan isrāf hanya yang berbentuk fi′il nahyi.
C. Penafsiran Kata Guluw dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
Kata guluw ( و ل di dalam al-Qurʹan dengan bentuk fi’il nahyi (bentuk kata (غ
kerja larangan) disebutkan sebanyak 2 kali.1
1. Al-Nisa: 171
ى سيح عيس ما ٱل إن
حق ٱل
ه إل
ى ٱلل
عل
وا
قول
ت
م ول
في دينك
وا
لغ
ت
ب ل
كت
هل ٱل
أبن ٱ ي
ف
نه
ى مريم وروح م إل
ها ى
ق
للمتهۥ أ
ه وك
ومريم رسول ٱلل
قول
ت
ه ورسله ول
بللل
امنوا
ا
د
هۥ ول
ون ل
ن يك
نهۥ أ
سبح
حد
ه و
ه إل
ما ٱلل إن
م
ك
يرا ل
خ
ٱنتهوا
ة
ثلو ث م هۥ ما في ٱلس
ت ل
هى بللل
ف
رض وك
وكيل وما في ٱل
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)
dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan
Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya
kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
Penafsiran Abū Ḥayyān:
1Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm
(Mesir: Matba’ah Dār al-Kutub al-Misriyyah, 1364 H), h. 504.
42
ال ، ولابن، وق
ون: لا
وت يقول
ال
هم يعتقدون الث إن
صارى، ف ة الن جمهور: في عام
ال
عنى: . وال
حد جاوز ال
صارى، نهاهم عن ت يهود والن
. وقيل: في ال ه واحد
قدس إل
وروح ال
ذي أ
م ال
مروا في دينك
أ
ل، ول
ضل
ى دينهم ال
إل
ار
د
يس لا
ون به، ول و
لتم مط
ن
لق. وغ
ل
ط
ى لا
ه عل
في دين الل
و لغ
رك ال
مروا بت
ما أ ، وإن
و ليه دون غ
بوت عل
بالث
سيح عل
ال
يهود في حط
ال
لده، وغ
ير رد
ودا لغ
ته مول
جعل
ته حيث
زل
م عن من
ل يه الس
ا كتا خط
هل ال
ه: يا أ
ول
ن ق
هر أ
ذي يظ
ها. وال
وه إل
جعل
صارى فيه حيث الن
جا ا أ
ية. ول
صارى، بدليل آخر لا ون في للن
ذين يبالغ
يهود ال
به ال
ى عن د
عال
ه ت
الل
عوا ى اد سيح حت عظيم ال
ون في ت
ط
ر ذين يف
صارى ال مر الن
في أ
ذ
خ
سيح أ
ى ال
عن عل
الط
عوا. 2فيه ما اد
Jumhur ulama berkata: secara umum orang-orang Nasrani meyakini konsep
trinitas. Allah SWT melarang orang-orang yahudi dan nasrani agar tidak
melampaui batas. Adapun maksud di dalam agama kalian adalah agama
yang kalian anut. Secara mutlak Allah memerintahkan agar tidak berlebih-
lebihan dalam agama. Orang-orang Yahudi dianggap berlebih-lebihan
dalam agamanya karena mereka menganggap bahwa kelahiran nabi Isa itu
bukanlah termaksud dari petunjuk Allah. Orang-orang Nasrani dianggap
berlebih-lebihan dalam agamanya karena mereka menggap bahwa Nabi Isa
adalah Tuhan. Secara jelas ayat ini adalah jawaban Allah atas orang-orang
Yahudi yang mencela atas kelahiran Nabi Isa. Ayat ini juga jawaban dari
Allah atas sikap orang-orang Nasrani yang mengagung-agungkan Nabi Isa
secara berlebih-lebihan.
Pada ayat ini Abu Hayyan menafsirkan kata guluw yaitu berlebih-lebihan
dalam aspek keyakinan, dalam hal ini ialah pengingkaran orang-orang Yahudi
terhadap kenabian Nabi Isa dan keyakinan orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa
adalah Tuhan. Menurut Abu Hayyan ini merupakan sesuatu yang berlebih-lebihan
dan dalam hal ini disebut dengan guluw.
2. Al-Maidah: 77
موا
د ضل
وم ق
ء ق
هوا
أ
ا بعو
ت ت
ول
حق ير ٱل
م غ
في دينك
وا
لغ
ت
ب ل
كت
هل ٱل
أل ي
بل نق
ق
عن سووا
ثيرا وضل
ك
وا
ضل
بيل وأ ء ٱلس
ا
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui
batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu
2Abū Ḥayyān al-Andalusī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 416.
43
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".
Penafsiran Abū Ḥayyān:
حاضرين كتا ال
هل ال
اهره نداء أ
ظ
حق ير ال
م غ
وا في دينك
لغ
ت
كتا ل
هل ال
ل يا أ
ق
ىه صل
ول في زمان رسول الل
ق
ا سبق ال
ناول من جاء بعدهم. ول
م، ويت
يه وسل
ه عل
الل
ين. في الد
و لغ
هي عن ال ان في الن
ريق
ف
صارى، جمع ال باطيل الن
يهود وأ
باطيل ال
أ
و الغ
وهو ال
حق ير ال
تصب غ
راد وان
يه، بل ال
ين هنا ما هم عل
راد بالد يس ال
باطل، ول
ل
ان: ولين غ
و في الد لغ
: ال ري
ش
مخ ال الز
ى وعيس ى. ق ذي جاء به موس
حق ال
ين ال
الد
تائقه ويف
ن يفحص عن حق
، وهو أ و حق
لحصيل غ
باعد معانيه ويجتهد في ت
ش عن أ
ن يجاوز و باطل وهو أ
لوحيد، وغ عدل والت
هل ال
مون من أ
لتك
ما يفعل ال
حججه ك
به ك
باع الش
ة وات
دل
عراض عن لا
اه بال حق ويتعد
بدع ال
هواء وال
هل لا
ما يفعل أ
بدع عنده هم أ
هواء وال
هل لا
ة، وأ
زل
عت
ال
ة ئم
وحيد هم أ عدل والت
هل ال
تهى. وأ
هلان
ة، و ن . ومالسة
زل
عت
من عدا ال
ار ن
ك
يهود إن
ال
و له. ن غ
ه الل ن
هم فيه أ
عاؤ
ى، واد عيس بو
حد آلهةه أ ن
ه، وبعضهم أ
ه الل ن
اد بعضهم فيه أ
م من اعتق د
ق
صارى ما ت الن
و ل ومن غ
يرا غ و
لي: غ
ة أ
ف
ى الص ير هنا عل
تصا غ
ة. وان
ث
ل
ها ث ن
ى أ
هب إل
بعد من ذ
. وأ
حق ال
بعوه. اتحق ف
كن ال
ره: ل
د ناء ويق
ها استث ن
ى أ
هب إل
، ومن ذ صل ناء مت
3استث
Wahai ahli kitab janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas)
dengan cara tidak benar dalam agamamu. Secara jelas ayat ini adalah seruan
kepada Ahli kitab yang ada pada zaman Rasulullah dan juga Ahli kitab
setelah mereka. Tatkala dahulu ada perkatan yang mengatakan tentang
kekeliruan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka terbentuklah dua
kelompok terkait larangan atas guluw (berlebih-lebihan) dalam agama.
Adapun yang dimaksud agama adalah agama yang dibawa oleh Nabi Musa
dan Isa. Guluw (berlebih-lebihan) dalam agama itu ada dua, yaitu guluw hak
dan guluw batil. Guluw hak adalah sikap selalu mecari kebenaran-
kebenaran dari agama dan mencari alasan-alasan atas kebenaran tersebut
sehingga menghasilkan sebuah kebenaran-kebenaran yang bisa mereka
gunakan sebagai hujjah mereka, seperti yang dilakukan oleh para
mutakallim yaitu mereka yang merupakan golongan Mu’tazilah. Sedangkan
guluw batil adalah sikap berlebih-lebihan terhadap kebenaran yang ada dan
mengikuti sesuatu yang hujjah-nya belum jelas, seperti yang dilakukan oleh
golongan ahli bid’ah dari golongan ahli sunnah dan selain golongan
mu’tazilah. Adapun guluw yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi adalah
sikap mereka yang mengingkari atas kenabian Nabi Isa. Sedangkan guluw
yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani adalah sikap mereka yang terlalu
3Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz III, h. 546-547.
44
mengagung-agungkan Nabi Isa sehingga menggap Nabi Isa adalah salah
satu dari Tuhan mereka yang tiga.
Pada ayat ini Abu Hayyan menafsirkan kata guluw tidak jauh berbeda
dengan ayat yang sebelumnya. Guluw pada ayat ini juga bermakna berlebih-lebihan
dalam aspek keyakinan. Pada ayat ini Abu Hayyan menafsirkan kata guluw ialah
berlebih-lebihannya orang-orang Mu’tazilah yang menganggap bahwa sesuatu
berlebihan yang dilakukan oleh orang-orang Ahli Sunnah dalam hal ibadah
merupakan sebuah bid’ah.
D. Penafsiran Kata Isrāf dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
Kata iṣrāf (
di dalam al-Qurʹan dengan bentuk fi’il nahyi (bentuk kata (اسراف
kerja larangan) disebutkan sebanyak 2 kali.4
1. Al-A’raf: 31
يحب
هۥ ل إنا و
سرف
ت
ول
وا ر
وٱد
وا
ل مسجد وك
ل م عند ك
تك
زين
وا
ذ
بني ءادم خ ي
سرفين ٱل
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
Penafsiran Abū Ḥayyān:
حريم وا في ت
سرف
ت
يضا ل
ال أ
لاستواء، وق
روج عن حد خ
ال
سراف
اس: لا ال ابن عب
ق
تان سرفصل
ك خ
تأط
خ
ما أ
بس ما دئ
وال
ل ما دئ
يضا: ك
ال أ
م، وق
ك
حل ل
ما أ
ال ابن ز، وق
ة
ل من ومخيل
ك لا
سراف
اج لا ج ال الز
حرام، وق
ل ال
ك أ
سراف
يد: لا
مر أ
ة
ف
ال
مخ
سراف
راك، وقيل: لا
د
لا
سراف
: لا اتل
ال مق
حاجة، وق
وق ال
ل ف
حل
ال
قون ويصف يصف
وافهم عرا
ه في ط
ل الل
حل
يس في ال
يضا: ل
اس أ ال ابن عب
رون، وق
صد ق
ل ال
حل
: يريد في ال
ة ال ابن عطي
ي، ق عاص
ا ال
في ارتك
رف ما الس إن
سرف
4Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm, h.
349.
45
س بفعل بلقا فيمن ت
لرف مط هي عن الس ي الن قتض
ت
ة
فظ
ب والل
لل ت و
تأ
سه به حرام ف
ى ى فيه عل
إن مش
س بفعل مباح ف ب
ليه ومن ت
هي عل ه الن وج
سرفين وت
حصل من ال
يضا منرر حصل أ ل الض
ى دخ حت
رط
ف
حسن وإن أ
مور ف
وساط لا
صد وأ
ق
ال
سرفين 5ال
Ibnu Abbas berkata: isrāf adalah keluar dari batasan yang telah ditentukan.
Beliau juga berkata janganlah berlebih-lebihan dalam mengharamkan
sesuatu yang Allah halalkan. Ibnu zaid berkata: yang dimaksud isrāf adalah
memakan sesuatu yang haram. Zajāj berkata isrāf adalah memakan sesuatu
yang halal melebihi yang dibutuhkan. Muqātil berkata isrāf adalah
menyekutukan Allah. Dikatakan pula bahwa isrāf adalah bertentangan
dengan perintah Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa isrāf itu tidak ada pada
perkara yang halal. Sesungguhnya isrāf itu pada perkara maksiat kepada
Allah.
Pada ayat ini Abu Hayyan menafsirkan kata isrāf dengan banyak makna.
Isrāf bisa berlebih-lebihan dalam mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan.
Isrāf juga bisa bermakna memakan sesuatu yang halal melebihi dari yang
dibutuhkan. Isrāf juga bisa bermakna menyekutukan Allah.
2. Al-An’am: 141
هلكتلفا أ
رع مخ ل وٱلز
خ وٱلن
ير معرود
وغ
عرود م
جنأ
نش
ذي أ
ۥ وهو ٱل
هۥ ي حقوا
مر وءات
ث أ
امره إذ
من ث
وا
لبه ك
ش
ير مت
بها وغ
ش
ان مت م يتون وٱلر م ووٱلز
سرفين يحب ٱل
هۥ ل إن
ا و
سرف
ت
حصاده ول
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan
5Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz IV, h. 292.
46
Penafsiran Abū Ḥayyān:
مر ا أ
سرفين ل
يحب ال
ه ل وا إن
سرف
هى عنول ت
ه، ن
إيتاء حق ل من ثماره وك ى بال
عال
ت
ل فيه يدخ
سراف ف
راد لا
ن إف هي يتضم ا الن
وا وهذ
سرف
ت
ال: ل
ق
ف
حد مجاوز ال
يء ل
ى منها ش يبق
ى ل مر حت
ل الث
ك في أ
سراف
ة بها حتلا
دق في الص
سراف
ا ، ولا
ك ى لز
ة بجميع ال
دق عالية وابن جريج بالص
بو ال
ده أ ي
يئا وق
لعياله د
يبقي لنفسه ول
ال ل
ال ابن جرياس. وق ى الن
عل
ل
ه ك
ى هو وعيال
يبق
ل ف
كيأ
ل ف
ك هي في لا
يضا: هو ن
ج: أ
عصية. وقيل: في ة في ال
ق
ف هي عن الن
: هو ن هري ال الز
جب فيه. وق
ى ما ت
يبق
ى ل حت
رك
ش
ال
ما صرف
رض ، ك
تتي اف
جهة ال
ير ال
ى غ
ة إل
دق صنامصرف الص
ى جهة أ
هم. ون إل
اب بن ن ث
اس أ ائد. وروي عن ابن عب ذ الز
خ
ة عن أ
دق ى الص
عاملين عل
هي لل
وقيل: ن
هرك ل
م يت
سمها في يوم واحد ول
ة وق
لخ
ة ن
مسمائ
خ
اس جذ م
يس بن د
يئا ق
له د
م يزل ل بن جبل ف
معاذ
ه، وعن ابن جريج جذ
لوا ك
عط
ت
ي ل
وا أ
سرف
ول ت
زل
نف
ون وا يعط
ان
عالية: ك
بو ال
ال أ
وا. وق
سرف
ت
ل
زل
نم يبق منها ديئا ف
ى ل ق حت يتصد
يئا عند
بيس دبو ق
ان أ
و ك
: ل ال مجاهد
. وق
زل
نوا ف
سرف
أتماروا فيه ف
اذ ف
جذ
ال
ق درهما واحدا في معصية ف
نو أ
ا ول
ن مسرف
م يك
ه ل
اعة الل
ه في ط
ق
ف
نأهبا ف
لرجل ذ
ال إا. وق
ان مسرف
ه ك
.الل
هو سرف
ه ف
مر الل
ل ما جاوزت فيه أ
: ك
6ياس بن معاوية
Janganlah kalian berlebih-lebihan karena Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan, ayat ini ialah dalam konteks ketika Allah
memerintahkan untuk memakan buah-buahan dengan tidak berlebih-
lebihan sampai tidak tersisah buah yang untuk dizakatkan. Dan isrāf yang
dimaksud ialah berlebih-lebihan dalam bersedekah sehingga tidak tersisah
untuk dirinya dan keluarganya. Ibnu Juraij berkata isrāf juga bermakna
berlebih-lebihan dalam makan sampai tidak tersisa sesuatu yang diwajibkan
dalam makanan tersebut. Al-Zuhrī berkata isrāf yang dimaksud adalah
larangan untuk saling membantu dalam kemaksiatan. Dikatakan juga bahwa
isrāf yang dimaksud adalah bersedekah dalam perkara yang tidak diridoi
Allah, seperti sedekahnya orang-orang musyrik untuk patung-patung yang
mereka sembah. Dikatakan pula ini adalah larangan bagi orang-orang yang
bersedekah agar tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam
bersedekah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa asbāb al-nuzūl ayat ini
adalah suatu ketika Sābit ibn Qais menyedekahkan 500 dirham hartanya
dalam satu hari lalu ia tidak menyisahkan apapun untuk keluarganya maka
turunlah ayat ini. Mujāhid berkata jika Abū Qais menyedekahkan seluruh
hartanya di jalan Allah maka itu tidaklah disebut isrāf (berlebih-lebihan),
dan walaupun ia hanya menyedekahkan satu dirham untuk bermaksiat maka
itu bisa dikatakan isrāf. Iyās ibn Mu’awiyah mengatakan bahwa setiap
6Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz IV, h. 240.
47
sesuatu yang melebihi dari standard perintah yang Allah tetapkan maka itu
disebut isrāf.
Pada ayat ini Abu Hayyan menafsirkan kata isrāf tidak jauh berbeda dengan
ayat sebelumnya. Beliau menafsirkan bahwa makna kata isrāf ialah berlebih-
lebihan dalam memakan sesuatu, sampai tidak tersisah yang untuk dizakatkan. Isrāf
juga bermakna menyedekahkan harta dengan cara yang berlebih-lebihan sampai
tidak tersisah untuk dirinya dan keluarganya.
E. Kata Guluw dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
Setelah melakukan penelusuran terhadap kata guluw dalam al-Qur’an dan
mencari penafsirannya dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, maka penulis menemukan
bahwa kata guluw memiliki beberapa makna. Diantaranya ialah guluw bermakna
belebih-lebihan dalam meyakini sesuatu. Pada konteks ini adalah pengingkaran
orang-orang Yahudi terhadap kenabian Nabi Isa dan keyakinan orang-orang
Nasrani yang meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan.
F. Kata Isrāf dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
Setelah melakukan penelusuran terhadap kata isrāf dalam al-Qurʹan dan
mencari penafsirannya dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, maka penulis menemukan
bahwa kata isrāf memiliki beberapa makna. Isrāf bisa bermakna berlebih-lebihan
dalam mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan. Isrāf juga bisa bermakna
memakan sesuatu yang halal akan tetapi melebihi dari yang dibutuhkan. Isrāf juga
bisa bermakna belebih-lebihan dalam memakan sesuatu sehingga tidak tersedia
sesuatu yang untuk dizakatnya. Isrāf juga bisa bermakna bersedekah dengan cara
berlebih-lebihan sehingga tidak tersisah sesuatu untuk dirinya dan keluarganya.
48
G. Perbedaan kata Guluw dan Isrāf
Dari analisa yang telah penulis lakukan, maka penulis mendapatkan bahwa
kata guluw dan isrāf memiliki perbedaan. Kata guluw maknanya lebih condong
untuk sesuatu yang berlebih-lebihan dalam segi keyakinan. Sedangkan kata isrāf
yaitu sesuatu yang berlebih-lebihan dalam aspek yang lebih umum, tidak hanya
dalam aspek keyakinan melainkan juga pada aspek kehidupan sehari-hari, baik
yang berkaitan dengan diri sendiri maupun berkaitan dengan apa yang dimilki.
49
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sinonim (mutarādif) dalam al-Qurʹan adalah setiap kata yang memiliki
makna yang sama, akan tetapi tidak dapat disamakan sepenuhnya. Hal ini
dikarenakan susunan kata dalam al-Qurʹan selain memiliki kekhususan dalam
setiap maknanya, juga memiliki arti yang berbeda dengan yang lainya, di samping
itu kata tersebut memiliki kesesuaian dalam susunannya.
Abū Ḥayyān menafsirkan kata guluw adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan berlebih-lebihan dalam urusan berkeyakinan. Sedangkan beliau
menafsirkan kata isrāf tentunya berbeda dengan makna guluw, karena makna isrāf
sendiri adalah berlebih-lebihan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang timbul dari
diri sendiri maupun dengan segala sesuatu yang ia miliki.
B. Saran-saran
Setelah penulis menyelesaikan penelitian ini, penulis sangat menyadari
bahwa penelitian ini jauh dari kata cukup apalagi sempurna. Sehingga penulis yakin
bahwa penelitian ini meninggalkan banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya.
Karena itu penelitian ini sesungguhnya tidak dapat dikatakan telah selesai, masih
banyak hal yang dapat dikaji dari penelitian ini lebih dalam lagi. Di antaranya yaitu
pengkajian secara mendetail mengenai kata-kata yang dianggap bersinonim di
dalam al-Qur’an. Mengingat masih banyaknya kata dalam al-Qur’an yang memiliki
kesamaan makna, akan tetapi memiliki perbedaan dari segi penggunaan kata.
50
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ibn Faris Ibn Zakariya Abū al-Husain. Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, III.
Beirut: Dār al-Fikr, 1979.
al-‘Akk, Khālid Abd al-Raḥmān, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawāʹiduh. Beirut: Dār al-
Nafāʹis 1986.
al-Andalūsī, Abū Ḥayyan. al-Baḥr al-Muḥīṭ, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1413 /1992.
al-Aṣfahānī, Al-Rāgib, Mu‘jam Mufradāt li Alfāz al-Qurʹān. Beirut: Dār al-Fikr,
2008.
Bāqī, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu‘jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qurʹān al-
Karīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
al-Bustanī, Fuad Afrain, Munjid al-Ṭullāb. Beirut: Dār al-Masyriq, 1986.
al-Dzahabī, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz. Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995.
Fāris, Aḥmad Ibn, al-Ṣāḥibī fī Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Masāʹilihā wa
Sunan al-‘Arab fī Kalāmihā. Mesir: Dār al-Ma‘ārif t.th.
Gulami, Gulan Reza, Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa. Jakarta: Pustaka
Zahra, 2004.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offest, 1994.
Has, Muhammad Hasdin, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah
Metodologi Penafsiran Abū Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Shautut Tarbiyah,
Vol 27, No. 18 (2012).
al-Jurjānī, Abū Bakr Ibn ‘Abd al-Qāhir Ibn ‘Abd al-Raḥmān Ibn Muḥammad, Kitāb
al-Ta‘rifāt. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyyah, 2009.
al-Juwainī, Muṣṭafa al-Ḍawī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qurʹān wa Bayān
I‘jāzih. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.th.
Khalid, Muhammad Rusydi, “al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir bercorak Nahwu Karya Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Adabiyah, Vol 15, No. 2 (2015).
Manẓūr , Muḥammad Ibn Makram ‘Ali Ibn, Lisān al-‘Arab, Jilid. 19. Kairo: Dār
al-Ma‘ārif, t.th.
Marjuni, Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab
– Indonesia. Jakarta: Ciputat Press Group, 2007.
Mukhtār ‘Umar, Ahmad. al-Mu‘jam al-Mausū‘ī lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm wa
Qirāʹatihi. al-Riyāḍ: Mu‘asisah Sutūr al-Ma‘rifah, 1423.
al-Munajjad, Muḥammad Nūr al-Dīn, al-Tarāduf fī al-Qurʹān. Beirut: Dār al-Fikr,
1997.
51
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistomologi Tafsir. Yogyakarta: Pustakak Pelajar,
2008.
Nurhadi, Rofiq, “Pro Kontra Sinonim dalam al-Qurʹan”, Surya Bahtera: Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 2, No. 04 (2015).
al-Qaṭṭān, Mannāʹ Khalīl, Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qurʹān. Kairo: Maktabah Wahbah,
2000.
al-Rāzī, Abu ‘Abdillah Muḥammad Ibn ‘Umar. Mafātiḥ al-Gaib. Beirut: Dār Ihyaʹ
al-Turaṡ al-‘Arabī. 1990.
Salim, Abdul Muin, Metodologi Tafsir: Sebuah Rekonstruksi Epistimologi
Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. Ujung
Pandang: 1999.
Shihab, M. Quraish, Eksiklopedia Al-Qurʹan: Kajian Kosakata, Cet, 1. Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
_ _ _ _ , Mu’jizat al-Qurʹan : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, ed., Abdul Syakur, Tangerang: Lentera Hati,
2015.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta, 2013.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Muzhir fī al-‘Ilm al-Lugah. Kairo: Maktabah Dār al-
Turaṡ, t.th.
Syāṭiʹ, ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān Bint, al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa
Masāʹil Ibn al-Azraq. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1971.
_ _ _ _. al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qurʹān. Kairo: Dār al-Turāṡ, 1405/1985.
Ubaid, Ḥasan Yūnus Ḥasan, Dirāsah wa Mabāhiṡ fī Tārikh al-Tafsīr wa Manḥaj
al-Mufassirīn. Kairo: Markaz al-Kitāb wa al-Nasyr, t.th.
Ya’qūb, Amīl Badi‘, Mausū‘ah ‘Ulūm al-Lugāh. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2006.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuriyah, 1989.
Zakaria, Abū al-Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah. Beirut:
Dār al-Turāṡ al-‘Arabī, 2001.
al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muḥammad Ibn ‘Abdillah, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurʹān.
Beirut: Dār al-Fikr, 1972.