SINDROMA HORNER.doc
-
Upload
martin-susanto -
Category
Documents
-
view
241 -
download
9
Transcript of SINDROMA HORNER.doc
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma Horner merupakan akibat dari terganggunya suplai persarafan
simpatis ke mata dan bercirikan dengan triad klasik antara lain miosis, ptosis
parsial dan anhidrosis hemifasial. Sindroma Horner merupakan pertanda dari
masalah medis seperti tumor, cedera sumsum tulang belakang atau stroke yang
merusak saraf di wajah. Terkadang kasus penyebab utamanya tidak dapat
ditemukan karena sindroma Horner sebenarnya bukanlah penyakit. Sindroma
Horner tidak mempunyai penatalaksanaan spesifik. Namun jika dimungkinkan,
penatalaksanaan diarahkan pada penyebab utamanya.1,2
Orang pertama yang memperkenalkan sindroma ini adalah Johann
Friedrich Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan Swiss (1831 – 1886).
Dimana ia menemukan beberapa kelainan dari gejala klinis pada orang yang
terpengaruhi luas. Kelainan tersebut sangat khas, yaitu adanya ptosis parsial,
miosis ipsilateral, enophtalmos, dan anhidrosis hemifasial. 1,2
Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang
tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular.
Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi
preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. Pada anak, penyebab sindroma
Horner terutama berhubungan dengan kongenital atau lesi didapat/post-operasi. 1
Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang
mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan
postganglionik mempunyai penyebab primer benigna.2
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah “Sindroma Horner” ini adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan
pembaca, terutama mengenai sindroma Horner.
1
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu dapat lebih memahami dan
mengenali etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis sindroma Horner,
sehingga dapat melakukan deteksi dini dan penatalaksanaan awal yang yang tepat,
serta menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terhadap sindroma ini.
2
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Neuroanatomi Mata
Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan
mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan
sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan
untuk memberikan pengertian visual.3
Gambar 1. Anatomi mata.3
Anatomi mata antara lain:
a) Palpebra, berfungsi untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra juga
merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bolamata
terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan mata. Bola mata, pada orang
dewasa, diameter antero-posterior sebesar 24,5 mm.4
3
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
b) Konjungtiva, merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. 5
Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. 6
Gambar 2. Konjungtiva bulbi.5
c) Sklera, adalah pembungkus fibrosa pelindung mata bagian luar. Tebalnya
rata- rata 1 milimeter tetapi pada insersi otot, menebal menjadi 3
milimeter. Jaringan ini padat dan berwarna putih, menyambung dengan
kornea di anterior dan durameter optikus di belakang. Permukaan luar
sklera dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus yaitu
episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memasok
sklera. 5,7
d) Kornea, yaitu selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan,
merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari
sumber cahaya. Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu : 3,5,7
4
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 5
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. 5
3. Stroma
Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma. 5
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.5
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. 5
5
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf kranialis V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus
Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.5
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.5
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea. 5
Gambar 3. Histologi kornea.7
e) Uvea, terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid, bagian ini adalah lapisan
tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian ini ikut
mensuplai darah ke retina.5
- Pupil dan Iris
Pupil menetukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih
dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan
6
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Sedangkan iris adalah
perpanjangan dari korpus siliare ke anterior. Iris mengendalikan
banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata, ukuran pupil
pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatis yang di hantarkan melelui n.kranialis III dan
dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.5
- Korpus siliaris
Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler dan
radial. Fungsinya untuk kontraksi dan relaksasi serat-serat zonula, yang
berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris, otot ini mengubah
tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat menyesuaikan berbagai
fokus dengan baik.5
- Koroid, adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.5
f) Lensa, suatu struktur bikonveks, avaskuler, tidak berwarna dan hampir
transparan sempurna, tebal 4 mm, diameter 9 mm. Lensa ditahan di
tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula zinii, yang
tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip
dalam ekuator lensa. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya,
sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek
yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan
untuk melihat objek yang dekat (cahaya dari dekat), lensa mata menebal.5,7
g) Retina, terdiri dari selembar tipis jaringan tipis yang semi transparan dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua sepertiga posterior dinding bola
mata. Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya,
khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya
diteruskan ke saraf optik. Lapisan retina dari dalam:
1. membrana limitans interna
2. lapisan serat saraf
3. lapisan sel ganglion
4. lapisan pleksiform dalam
5. lapisan inti dalam badan sel bipolar (amakrin dan sel horizontal)
6. lapisan pleksiform luar
7
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
7. lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. membrana limitans eksterna
9. lapisan fotoreseptor, segmen dalam/luar batang dan kerucut
10.epitelium pigmen retina5,7
h) Badan Vitreous adalah suatu badan gelatin yang jernih atau avaskuler,
yang membentuk 2/3 dari volume dan berat mata, vitreous merupakan
ruangan yang di batasi lensa, retina dan diskus optikus. Vitreous berisi 99 %
air, 1 % meliputi 2 komponen, kolagen dan asam hialuranat yang
memberikan bentuk dan konsistensi mirip gelombang pada vitreous karena
kemampuannya mengikat banyak air.5
i) Saraf Optikus
Saraf yang memasuki sel batang dan kerucut dalam retina, untuk menuju ke
otak3. Berikut adalah sistem kerja penglihatan pada saraf optik (visual
pathway):7
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual.
Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak
meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP).
Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris
atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan
terdalam (neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan
sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron
bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron ketiga).
Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat
retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus
optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri sentralis retina yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika.7
8
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Gambar 4. Lapisan Neuron pada Retina.7
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum.
Di depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber
sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas
membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing-
masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut
temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan
perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior.
Chiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut
saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras visual
sedangkan serabut saraf yang berakhir di kolikulus superior menghantarkan
impuls visual membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil.3,7
Gambar 5. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal) 7,8
9
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang
membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic
radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di
girus kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi
dari arteri kalkarina yang merupakan cabang dari arteri serebri posterior.
Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral
membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal
dari lateral membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 6).7,8
Gambar 6. Radiatio Optika 4
Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior,
saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang
berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua
sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen
motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus
okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot
sfingter pupil (gambar 7).7
10
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Gambar 7. Jaras Refleks Pupil 7
2.2 Anatomi Jalur Persarafan Simpatis ke Mata
Serabut simpatis sentral keluar dari hipotalamus posterolateral, turun
melalui otak tengah dan pons, dan berakhir dalam sel intermediolateral dari
sumsum tulang belakang pada servikal kedelapan hingga torakal kedua (C8-T2
[pusat siliospinal Budge]). 2
Serabut pupillomotor preganglionik keluar dari sumsum tulang belakang
setinggi torakal pertama (T1), dan memasuki rantai simpatis serviks, dimana
berada di dekat puncak paru dan arteri subklavia. Serabut naik melalui
rantai simpatik dan sinaps di ganglion servikal superior di tingkat bifurkasio dari
arteri karotid komunis (servikal ketiga hingga servikal keempat [C3-C4]). 2
Serabut pupillomotor postganglionik keluar dari ganglion servikal superior
dan naik di sepanjang arteri karotid internal. Setelah serabut postganglionic
meninggalkan vasomotor ganglion servikal superior, lalu berjalan di
sepanjang arteri karotid eksternal untuk menginervasi pembuluh darah dan
kelenjar keringat pada wajah. Serabut pupillomotor naik sepanjang arteri karotis
interna, masuk ke sinus kavernosa. 2
Kemudian, serabut meninggalkan pleksus karotis untuk bergabung dengan
nervus abdusen (N.VI) pada sinus kavernosus dan masuk orbita melalui
fisura orbital superior bersama dengan cabang oftalmikus dari nervus trigeminus
11
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
(N.VI) melalui nervus ciliary longus. Kemudian menginervasi dilator iris dan
otot Müller. 2
Gambar 8. Ilustrasi yang Menggambarkan Jalur Simpatis dari Hipotalamus. 9
2.3 Sindroma Horner
2.3.1 Definisi
Menurut Dorland, 2006, sindroma Horner adalah suatu sindroma yang
terdiri dari kelainan berupa masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas,
kelopak mata atas sedikit naik, kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura
palpebra, anhidrosis dan warna kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan
oleh paralisa saraf-saraf simpatis servikal.10
Sindroma Horner juga disebut dengan Bernard’s Syndrome, Bernard-
Horner’s Syndrome dan Horner’s Ptosis. 10
2.3.2 Etiologi
12
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Sindroma Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan atau
gangguan pada jalur saraf simpatis. 6,11
Sindroma Horner dapat merupakan kongenital, didapat ataupun murni
herediter (autosomal dominant). Terganggunya serat-serat simpatis dapat terjadi
secara sentral (misalnya, antara hippothalamus dan titik tempat keluar serat-serat
dari sumsum tulang belakang servikal kedelapan hingga torakal kedua [C8-T2])
atau secara perifer (misalnya, pada rantai simpatis servikal, pada ganglion
servikalis superior, atau sepanjang arteri karotis). 2
Lesi-lesi yang menyebabkan sindroma Horner mengganggu serat-serat
preganglion ketika lesi-lesi ini mendesak toraks bagian atas. Semua lesi yang
menyebabkan disfungsi simpatis postganglionik berlokasi di intrakranial atau
intraorbita karena ganglion servikalis superior terletak dekat tulang tengkorak.
Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang
mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan
postganglionik mempunyai penyebab primer benigna (misalnya, biasanya
vascular headache). 2
Tabel 1. Penyebab Sindroma Horner Pada Orang Dewasa1
2.3.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
13
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Pada sindroma Horner, adanya suatu patologi dalam jalur simpatik
bermanifestasi sebagai miosis ipsilateral, ptosis parsial, enophthalmos dan
anhidrosis. Miosis ipsilateral, perbedaan sekitar 1-2 mm, terjadi karena kegagalan
dari otot dilator pupillae. Ptosis parsial, perbedaan sekitar 1-2 mm, merupakan
akibat dari kegagalan dari otot Muller. Enophtalmos disebabkan kegagalan
refraktor kelopak mata bawah yang belum sempurna, hal ini membuat mata
tampak lebih kecil. Penurunan sekresi kelenjar keringat, hanya pada gangguan
preganglionik dimana kelenjar keringat menerima suplai saraf melalui karotid
eksternal. 6,12
A.
B.
Gambar 9. Sindroma Horner pada mata kanan (A) dan mata kiri (B).11
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis sindroma Horner dapat ditegakkan dengan penggunaan cocaine
topikal atau apraclonidine tetes. 13
Mekanisme kerja cocaine adalah dengan mengeblok reuptake norepinefrin
yang normalnya dilepaskan dari ujung–ujung saraf. Jika, terjadi gangguan pada
jalur simpatis, norepinefrin tidak dilepaskan, cocaine tidak mempunyai efek
adrenergik. Pupil yang terpengaruh pada pasien dengan sindroma Horner kurang
14
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
berdilatasi dengan cocaine dibanding pupil yang normal. Cocaine hydrochloride
10% diteteskan pada kedua mata dan setelah 60 menit, anisokoria semakin jelas,
karena pupil yang normal lebih berdilatasi dibanding pupil Horner. 13,14,15
Baru-baru ini, telah dianjurkan uji menggunakan Apraclonidine 0.5%
untuk mendiagnosis sindroma Horner sebagai pengganti cocaine. 30 menit
sesudah Apraclonidine topikal ke kedua mata, mata yang miosis dengan defek
okulosimpatis berdilatasi dan anisokoria membaik. Apraclonidine menyebabkan
perbaikan anisocoria dengan dilatasi pupil yang terpengaruh (yang lebih kecil)
dan tidak ada efek pada pupil normal. Pada pasien dengan anisokoria akibat
penyebab lain, seperti anisokoria fisiologis, tidak ada midriasis yang terjadi. 13,14,15
Tetes mata Hydroxyamphetamine 1% membantu menentukan letak lesi
pada sindroma Horner. Hydroxyamphetamine melepaskan norepinefrin dari
penyimpanan pada ujung-ujung saraf simpatis. Pengujian amat sederhana –
diameter kedua pupil diukur sebelum dan 40-60 menit sesudah
hydroxyamphetamine diteteskan pada kedua mata. Perubahan anisokoria pada
ruang terang dicatat. Jika pupil yang terpengaruh (yang lebih kecil) kurang
berdilatasi dibanding pupil normal, peningkatan anisokoria terjadi dan lesi
terdapat pada neuron postganglionik. Jika pupil yang lebih kecil sekarang
berdilatasi hingga menjadi lebih besar, lesi adalah preganglionik dan neuron
postganglionik intak.13,14,15
Investigasi Penyebab Sindroma Horner
Menguji pupil dengan tetes mata cocaine dapat mengkonfirmasi diagnosis
sindroma Horner. Hydroxyamphetamine 1% dapat digunakan membedakan lesi
sentral dan preganglionik dari postganglionik, bagaimanapun, dalam praktik
sehari-hari pengujian farmakologik jarang dilakukan. Akan tetapi, untuk
membedakan penyakit sentral, pre- dan postganglionik bergantung pada tanda-
tanda klinis yang ada. Sebagai contoh, seorang pasien dengan lesi pada sinus
kavernosus akan sering bersamaan dengan defisit neurologis yang mempengaruhi
berbagai derajat nervus kranialis III, IV, V, dan VI.1
Pada pasien yang diketahui memiliki keganasan paru menunjukkan gejala
berupa nyeri pada bahu dan lengan, sindroma Horner mungkin merupakan ciri
tambahan dari tumor Pancoast. kebanyakan pasien yang hadir dengan sindroma
15
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Horner dalam isolasi tanpa tambahan. Gambaran klinis akan memiliki lesi
postganglionik atau mungkin idiopatik, yaitu, tidak ada kelainan pencitraan dapat
ditunjukkan. 1
Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang
tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular.
Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi
preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. Pada anak, penyebab sindroma
Horner terutama berhubungan dengan kongenital atau lesi didapat/post-operasi. 1
a. Sentral
Penyebab sentral yang paling sering teridentifikasi adalah infark dari arteri
cerebellar posterior inferior atau penyumbatan arteri vetebralis distal yang
menghasilkan sindroma medullary lateral (gambar 10). Pasien ini juga
mengeluhkan vertigo, kesulitan menelan, mati rasa wajah unilateral, dan
kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada tungkai yang berlawanan. Tanda-tanda
sensoris atau motorik tersilang sangat mungkin dari sebuah lesi batang otak.
Patologi dalam otak tengah menghasilakan lumpuhnya saraf keempat
kontralateral. Tumor, trauma, stroke, dan penyakit vaskular lainnya, seperti
malformasi arteriovenosus, yang dapat meliputi otak dan spinal cord, semuanya
telah terlibat. Penyebab yang lebih jarang meliputi “acute disseminated
encephalomyelitis”. 1
Gambar 10. Infark cerebellar posterior inferior kanan. 1
16
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Ket: Seorang pria 47 tahun menunjukkan secara mendadak sulit bicara/cadel,
nistagmus, kelemahan sisi kanan tubuh, dan sindroma Horner ipsilateral. 1
b. Preganglionik
Sindroma Horner preganglionik sering disebabkan oleh trauma atau tumor.
Avulsi akar saraf mengganggu jalur simpatik dapat menghasilkan gejala mencapai
distribusi plexus brachialis. Pada bayi baru lahir, penyebab iatrogenik seperti
persalinan dengan forcep dapat bertanggung jawab. Tumor di apeks (puncak)
paru-paru, tumor Pancoast dan tumor neurogenik (gambar 11) merupakan yang
paling sering berhubungan. Hal ini lebih sering ganas daripada jinak. 1
Penyebab lain termasuk paraganglioma dari rantai simpatik antara lain
kista hidatidosa, insersi drain intercostal, anestesi blok regional, simpatektomy,
aneurysma arteri subclavia, keganansan thyroid, dan prolaps discus. Digre et al.
Menyediakan protocol untuk investigasi magnetic resonance imaging (MRI) dari
sindroma Horner preganglionik. Cakupan seluruh tulang leher pada tiga pesawat
ortogonal direkomendasikan, untuk melibatkan tulang thorakal atas dan thoracic
inlet. Potongan koronal dengan dan tanpa supresi lemak dapat memberikan detail
dari setiap cedera pleksus brakhialis. Jika sebuah lesi apikal paru-paru atau sebuah
tumor dalam mediastinum atas atau leher depan dianggap mungkin diperlukan
axial contrast-enhanced computed tomography (CT). 1
Gambar 11. Neuroma apikal. 1
Ket : Seorang wanita 37 tahun dengan nyeri sisi kanan leher yang timbul gradual
dan sindroma Horner ipsilateral. (a) radiografi dada menunjukkan lesi massa pada
aspek medial dari apeks lobus kanan atas. (b) pencitraan CT reformat dengan
peningkatan kontras multiplanar parasagital oblique dari leher menunjukkan detail
17
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
kedua vaskular dan hubungan massa terhadap vetebra pada level tulang thorakal
atas. (c) MRI dengan T2-weighted parasagital oblique menunjukkan massa apikal
berukuran 4 cm. 1
c. Postganglionik
Sindroma Horner postganglionik dapat disebabkan oleh kondisi mulai dari
relatif sepele mengancam jiwa sampai yang mengancam jiwa. Nyeri sering
merupakan gejala yang menyertai. Distribusi anatomikal meluas dari arteri carotis
interna sampai ke basis kranii, sinus cavernosus dan apeks orbita. Penyebab
paling umum adalah diseksi arteri carotis spontan atau traumatik (gambar 12),
sering bersamaan dengan carotydynia (nyeri dari wajah dan leher). Thrombosis
dalam vessel merangsang hemiplegia kontralateral. Pasien dengan gangguan
jaringan ikat, seperti fibromuscular dysplasia atau sindrom Ehlerse Danlos,
mungkin lebih rentan. Baik tumor dan trauma dapat mengganggu saraf ketiga
dalam basis kranii dan sinus cavernosus (gambar 13). 1
Terjadinya kelumpuhan saraf kranial III, IV, V, dan VI menunjukkan
sebuah lesi dalam sinus cavernosus atau fissura orbita superior. Sebuah lesi apeks
orbita juga dapat menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai tambahan. Sakit
kepala tipe cluster dianggap merupakan akibat cedera serabut simpatik dalam
tulang canalis carotikus. Riwayat pasien sering tipikal; unilateral berat, sakit
kepala singkat yang terlokalisir ke area orbita, temporal dan pertengahan wajah
dimana pencitraan mungkin tidak membantu. Umumnya, pencitraan memiliki
hasil positif yang lebih besar pada penyakit postganglionik jika gejalanya akut
dibandingkan kronik. Angiografi digital dengan formal kateter merupakan teknik
yang berharga yntuk mendeteksi diseksi arteri carotis interna, tapi sedang
digantikan dengan magnetic resonance (MR) dan computed tomography (CT)
angiografi. MRI axial leher dengan T1-weighted, lemak ditekan dan magnetic
resonance angiography (MRA) akan mendeteksi sebagian besar diseksi arteri
karotis interna. 1
18
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Gambar 12. Diseksi Arteri Carotis
Interna. 1
Ket : Seorang wanita berusia 50 tahun dengan carotydynia dan sindroma Horner
sisi kanan. (a) axial T2-weighted MRI setinggi basis kranii menunjukkan
perubahan sinyal tinggi menggantikan kekosongan aliran normal dalam arteri
carotis interna ekstrakranial kanan (panah putih). (b) axial T1-weighted enhanced
MRI menunjukkan diseksi flap dan sinyal tinggi dalam lumen yang menyempit. 1
19
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Gambar 13. Metastasis Sinus Kavernosus. 1
Ket: Seorang pria berusia 55 tahun dengan riwayat karsinoma nasopharyngeal
berkembang menjadi sindroma Horner pada sisi kanan yang berhubungan dengan
ophthalmoplegia. (a) axial T1-weighted MRI dari kepala sampai setinggi basis
kranii menunjukkan massa jaringan lunak yang isointense terhadap otak mengisi
sinus cavernosus kanan dan meluas sepanjang dasar fossa kranial tengah.
Intracavernosus arteri carotis interna sebagian tertekan. (b) axial T1-weighted
MRI setelah intravena gadolinium menunjukkan peningkatan massa sinus
cavernosus.1
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tergantung pada lokalisasi dan etiologi yang dicurigai, tes laboratorium
yang dapat dipertimbangkan dalam hubungannya dengan konsultasi medis yang
tepat, meliputi hitung sel darah lengkap, tes fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS), tes Venereal Disease Research Laboratory (VDRL), tes
purified protein derivative (PPD), serta tes urine (sebagai contoh,
vanillylmandelic acid [VMA], homovanillic acid [HVA]) untuk menyingkirkan
neuroblastoma pada sindroma Horner anak. 2
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi
medis tergantung dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk
magnetic resonance imaging (MRI)/magnetic resonance angiography (MRA),
angiografi, ekstrakranial Ultrasonografi Doppler dan rontgen dada. 2
Radiografi dada sebaiknya dilakukan, karsinoma bronkogenik apikal
merupakan penyebab paling umum sindroma Horner. Jika stroke dicurigai,
computed tomography (CT) kepala diperiksa. 2
Sindroma Horner yang nyeri menunjukkan kemungkinan diseksi arteri
karotid, dan pasien harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut (misalnya,
MRI/MRA otak dan leher) untuk menyingkirkan kemungkinan ini. Diseksi arteri
karotid interna mengancam kehidupan dan menimbulkan resiko bahwa pasien
mungkin akan mengalami stroke. 2
20
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Ultrasonografi dipertimbangkan tetapi ditemukan tidak reliabel untuk
mendiagnosis diseksi arteri karotid pada pasien dengan sindroma Horner. 2
2.3.6 Diagnosis Banding
Diagnosis utama untuk sindroma Horner adalah Argyll Robertson pupil.
Argyll Robertson pupil diakibatkan oleh cedera pada jalur parasimpatis sentral di
area periaquaduktus. Secara klasik, Argyll Robertson pupil merupakan tanda khas
dari penyakit meningovaskular sifilis (misalnya, neurosifilis, tabes dan parese
yang umum) dan sesekali dapat ditemukan pada ensefalitis batang otak,
alkoholisme, pinealoma dan diabetes mellitus yang lanjut. Argyll Robertson pupil
ditandai dengan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya, pupil tidak berkontraksi
meskipun cahaya terang dipancarkan ke mata. Miosis biasanya ada dan bilateral.
Ketika cocaine diteteskan ke mata, pupil akan berdilatasi pada sisi kontralateral.
Juga dijumpai dilatasi pupil yang tidak sempurna setelah penetesan atropine. 16
Kondisi-kondisi atau penyakit-penyakit lain yang dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding sindroma Horner meliputi: pemakaian unilateral obat-obatan
miotikum dan keracunan obat-obatan sistemik, serta lesi pada pons. Obat-obatan
miotikum yang dapat menyebabkan miosis unilateral antara lain: pilocarpine,
neostigmine, physostigmine, carbachol, Methacholine, dan lain-lain. Sedangkan
keracunan obat-obatan sistemik menyebabkan miosis bilateral antara lain:
narcotika, barbiturat, phentolamine, meprobamate, kolinergik, mariyuana,
guanethidine, reserpine, dan lain-lain. Perdarahan intrapontine biasanya
berhubungan dengan pin-point pupil, kehilangan kesadaran, dan tetraparese
spastik dengan refleks yang meningkat.16
2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang sesuai untuk sindroma Horner tergantung pada
etiologi yang mendasarinya. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengeradikasi
proses penyakit yang mendasarinya. Pada banyak kasus, bagaimana pun juga,
tatalaksana yang efektif tidak diketahui. 2
21
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi
tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait
aneurisma, dan juga bedah vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri karotis
atau aneurisma. 2
22
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
BAB III
PENUTUP
1. Sindroma Horner adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa
masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik,
kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna
kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisa saraf-saraf
simpatis servikal.
2. Sindroma Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan pada jalur saraf
simpatis baik sentral, preganglionik maupun postganglionik.
3. Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang
mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan
postganglionik mempunyai penyebab primer benigna.
4. Menguji pupil dengan tetes mata cocaine hydrochloride 10%dapat
mengkonfirmasi diagnosis sindroma Horner. 1% hydroxyamphetamine dapat
digunakan membedakan lesi sentral dan preganglionik dari postganglionik.
5. Bagaimana pun, dalam praktik sehari-hari pengujian farmakologik diagnostik
jarang dilakukan. Akan tetapi, untuk membedakan penyakit sentral, pre- dan
postganglionik bergantung pada tanda-tanda klinis yang ada.
6. Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi medis
tergantung dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk
MRI/MRA, angiografi, ekstrakranial Ultrasonografi Doppler dan rontgen dada.
7. Penatalaksanaan yang sesuai untuk sindroma Horner tergantung pada etiologi
yang mendasarinya. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengeradikasi
proses penyakit yang mendasarinya. Pada banyak kasus, bagaimana pun juga,
tatalaksana yang efektif tidak diketahui.
8. Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi
tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait
aneurisma, dan juga bedah vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri
karotis atau aneurisma.
23
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
DAFTAR PUSTAKA
1. George A., Haydar A.A., Adams W.M., 2008. Imaging of Horner’s
Syndrome. United Kingdom: http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10967.pdf.
Diunduh tanggal 1 Januari 2014.
2. Horner Syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/1220091-overview.
Diunduh pada tanggal 1 Januari 2014.
3. Tank, P.W., Gest, T.R., 2009. Lippincott Williams & Wilkins Atlas of
Anatomy. 1st Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 353-354.
4. Kanski, J.J., 2006. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6th
Edition. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier.
5. Riordan-eva, P., Withcher, J.P., 2007. Vaughan and Asbury’s General
Opthalmology. 17th Edition. New York: McGraw Hill-Lange.
6. Crick, R.P., Khaw, P.T., 2003. Textbook of Clinical Ophthalmology. 3rd
Edition. New Jersey: World Scientific Publishing, 41-420.
7. Waxman, S.G., 2002. Clinical neuroanatomy: The Visual System. 25th
Edition. New Haven: Lange, 322-344.
8. Lang, Gerhard K, 2000. Ophtalmology: A Pockets Textbook Atlas. 2nd
Edition. New York: Thieme Stutgart, 389-391.
9. Ilustrasi sindrom Horner. http://ryosakai.net/horners-syndrome. Diunduh pada
tanggal 1 Januari 2014.
10. Dorland. 2006. Kamus Kedokteran. Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
11. Lang, Gerhard K, 2000. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. 2nd
Edition. New York: Thieme Stuttgart, 229-230.
12. Ming, A.L.S., Constable, I.J., 2007. Color atlas of ophthalmology. 3rd
edition. New Jersey: World Scientific Publishing.
13. Smit, Derrick P. Pharmacological testing in Horner's syndrome - A new
paradigm. South African Medical Journal, S. Afr. med. j. vol.100 no.11 Cape
Town Nov. 2010.
24
STATUS PASIENDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Martin SusantoNIM : 080100383
14. American Academy of Ophtalmology, 2011. Pediatric Ophtalmology and
Strabismus Section 6. San Francisco: The Eye M.D. Association.
15. Wiggs et al., 2009. Yanofff and Duker Ophtalmology. 2nd Edition.
Philadelphia: Elvesier Inc.
16. Tsementzis, 2000. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.
New York: Thieme Stuttgart, 85-92.
25