Sindroma Cauda Equina
-
Upload
baharudinjosep -
Category
Documents
-
view
54 -
download
4
description
Transcript of Sindroma Cauda Equina
SINDROMA CAUDA EQUINA
BAB I
PENDAHULUAN
Cauda equina merupakan kumpulan akar saraf intradural pada ujung medulla spinalis. Cauda
merupakan bahasa latin dari ekor, dan equina adalah bahasa latin untuk kuda, sehingga berarti ekor
kuda. Medula spinalis adalah kelanjutan medulla oblongata kearah bawah yang dimulai tepat
dibawah foramen magnum dan berakhir pada diskus intervertebralis antara vertebrae lumbalis
pertama dan kedua sebagai struktur yang mengecil yang disebut conus medullaris, terdiri dari
segmen medulla spinalis sakralis. Ini memberi inervasi sensorik ke “saddle area”, inervasi motorik ke
sfingter dan inervasi parasimpatis ke kandung kencing dan usus bagian bawah, yaitu dari flexura
lienalis kiri ke rektum.
Saraf pada region cauda equina meliputi lumbal bagian bawah dan semua akar saraf sakralis. Nervus
splanchnic pelvicus membawa serat parasimpatis preganglionik dari S2-S4 untuk menginervasi
musculus detrusor pada kandung kencing. Sebaliknya lower motor neuron somatic dari S2-S4
menginervasi otot volunter dari sfingter ani eksterna dan sfingter uretra ke rektum inferior, dan
percabangan perineum dari nervus pudendus. Oleh karena itu akar saraf region cauda equina
membawa sensasi dari ekstremitas bawah, somatom perineum, dan serta motorik yang keluar ke
miotom ekstremitas bawah. Lanjutan dari conus yag tipis, seperti benang yaitu filum terminale
merupakan elemen non neuron dalam region cauda equina yang meluas ke bawah menuju
coccygeus. 1,2
Cauda Equina Syndrome (CES) , suatu kelainan neurologis yang jarang ditemukan, merupakan
kombinasi gejala dan tanda akibat kompresi simultan akar saraf lumbosakral multiple di bawah level
conus medullaris. Manifestasi klinis neuromuskular dan urogenital bervariasi dengan karakteristik
gangguannya adalah nyeri punggung bawah, ischialgia bilateral atau unilateral, kelemahan bilateral
atau unilateral ekstremitas bawah, hipestesi atau anestesi perianal atau tipe sadel, impotensi,
bersamaan dengan disfungsi bowel dan bladder.
CES merupakan kasus yang jarang terjadi baik yang diakibatkan oleh trauma maupun nontrauma.
Insidensi CES bervariasi, tergantung pada etiologinya. Prevalensi di antara populasi umum
diperkirakan antara 1:100.000 dan 1:33.000. Penyebab paling umum adalah herniasi diskus lumbalis.
Dilaporkan oleh lebih kurang 1% sampai 10% pasien herniasi diskus lumbal.
Sindroma cauda equina merupakan kondisi yang serius. Meskipun lesi secara teknik melibatkan akar
saraf dan menunjukkan kerusakan saraf “perifer”, akibat yang ditimbulkan dapat irreversibel
sehingga CES memerlukan tidakan bedah emergensi. Sindroma cauda equina dianggap sebagai
darurat bedah karena jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen kontrol usus dan
kandung kemih dan kelumpuhan kaki. 1,2,3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Tulang belakang terdiri dari 24 tulang yang dapat digerakkan, dinamakan vertebrae. Terdapat 7 ruas
vertebrae segmen cervival, 12 segmen thoracal, 5 segmen lumbal, 4 segmen sacrum dan 4 segmen
coccygeus yang bersatu. Segmen lumbal tulang belakang (terutama vertebrae Lumbal 5) menyangga
berat badan terbesar. 1,3,5
Foramen vertebra adalah cincin tipis tulang vertebra yang terdiri dari bagian corpus, pediculus, dan
lamina. Setiap segmen tulang belakang memiliki karakter yang berbeda. Foramen vertebra dari
kumpulan tiap level vertebra akan membentuk canalis vertebralis, ruang dimana medulla spinalis
berada.
Gambar 1. Potongan sagital canalis vertebral (spinal) menunjukkan medulla spinalis dan nervus
spinalis keluar dari foramina intervertebralis.
Gambar 2. Epiconus, conus medullaris, dan cauda equina, dengan hubungan topografis dengan
radiks menuju corpus vertebra dan diskus intervertebralis.
Gambar 3. Diagram dermatom lumbosacral
Gambar 4 . Vertebra lumbalis dan struktur di sekitarnya.
Gambar 5. Vaskularisasi medulla spinalis menunjukkan 1 arteri spinalis anterior yang memberikan
vaskularisasi 2/3 bagian depan medulla spinalis, dan dua arteri spinalis posterior yang masing-masing
memberikan vaskularisasi 1/6 medulla spinalis.7
Antara tulang vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis dan facet joint. Diskus
intervertebralis berupa jaringan ikat mirip gel yang mengikat satu tulang vertebra pada tulang
vertebra selanjutnya dan berfungsi sebagai bantalan atau peredam goncangan antar tulang vertebra.
Fungsi ini melindungi vertebra, otak dan struktur lainnya. Adanya diskus intervertebralis juga
memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi.6
Diantara corpus vertebra, terdapat sebuah massa fibrous yang berfungsi sebagai bantalan absorber
yang disebut diskus. Diskus ini tetap berada di tempatnya karena disokong oleh ligamen-ligamen.
Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen yang berbeda: annulus fibrosus di bagian luar dan
nucleus pulposus, massa gelatin di bagian dalam. Mereka tertambat pada vertebra di bagian atas dan
bagian bawah oleh cartilage end plates. Pada diskus normal, air merupakan komponen penting dari
nucleus. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air dalam diskus berkurang dan
menyebabkan degenerasi diskus.8 Medula spinalis pada orang dewasa berakhir pada level vertebra
antara L1 dan L2 dengan sekumpulan berkas akar saraf lumbal dan sacral dalam kanalis spinalis
yang membentuk cauda equina di bawah medulla spinalis. Akar-akar saraf itu kemudian terpisah dan
keluar dari kanalis spinalis melalui foramina intervertebrale yang sesuai. Cauda equina terlindung
dalam ruang subarakhnoid hingga setinggi vertebra sakralis II. Nyeri dan gejala lain dapat timbul bila
diskus yang rusak menekan ke dalam kanalis spinalis atau radiks saraf.
PATOFISIOLOGI
Sindrom cauda equina disebabkan oleh penyempitan apapun pada canalis spinalis yang menekan
akar saraf di bawah level medula spinalis. Lesi pada cauda equina bersifat LMN karena radiks yang
terkena merupakan bagian dari susunan saraf perifer.
Cauda Equina Syndrome (CES) merujuk pada kondisi dimana terjadi kompresi secara bersamaan
pada akar saraf lumbosakral dibawah level conus medularis, yang menyebabkan gejala
neuromuskuler dan urogenital. Patofisiologi mekanisme terjadinya CES belum sepenuhnya dipahami.
Akar saraf ini rentan terhadap cedera kompresi atau regangan karena memiliki epineurinum yang
tidak berkembang dengan baik. Jika epineurinum terbentuk sempurna, seperti pada saraf-saraf
perifer, akan dapat melindungi saraf dari tekanan atau tarikan/regangan. Selain itu sistem
mikrovaskuler pada akar saraf cauda equina memiliki area yang relatif hipovaskuler yang terbentuk
oleh kombinasi area anastomosis di sepertiga proksimal akar saraf. Hal tersebut menimbulkan
rasionalisasi anatomik terhadap terjadinya manifestasi neuroiskemik bersamaan dengan perubahan
degenerasi. 9,10,11
Gambar 6 . Berbagai variasi perubahan patologik pada cauda equina11
Beberapa penyebab sindrom cauda equina telah dilaporkan, meliputi cedera traumatik, herniasi
diskus, stenosis spinalis, neoplasma spinal, schwannoma, ependimoma, kondisi peradangan, kondisi
infeksi, dan penyebab iatrogenik. 3
Trauma
• Kejadian traumatik yang menyebabkan fraktur atau subluksasi dapat menyebabkan kompresi
cauda equina.
• Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi cauda equina.
• Manipulasi spinal yang menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan munculnya sindrom cauda
equina.
• Kasus yang jarang berupa fraktur insufisiensi sacral telah dilaporkan menyebabkan sindrom cauda
equina.
Herniasi diskus
• Kejadian sindroma cauda equina yang disebabkan oleh herniasi diskus lumbalis dilaporkan
bervariasi dari 1-15%.
• Sembilan puluh persen herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5 atau L5-S1.
• Tujuh puluh persen kasus herniasi diskus yang menyebabkan sindrom cauda equina terjadi pada
pasien dengan riwayat low back pain kronis, dan 30% berkembang menjadi sindrom cauda equina
sebagai gejala pertama herniasi diskus lumbalis.
• Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap sindrom cauda equina akibat
herniasi diskus.
• Sebagian besar kasus sindrom cauda equina yang disebabkan herniasi diskus melibatkan partikel
besar dari materi diskus yang rusak, mengganggu setidaknya sepertiga diameter canalis spinalis.
• Pasien dengan stenosis kongenital yang menderita herniasi diskus yang menetap lebih mungkin
untuk mengalami sindrom cauda equina yang disebabkan bahkan oleh herniasi diskus yang ringan
dapat secara drastis membatasi ruang yang tersedia untuk akar saraf.
• Patofisiologi Hernia Nukleus Pulposus
Banyak faktor meningkatkan resiko terjadinya hernia diskus:
(1) gaya hidup seperti merokok, kurang aktivitas, dan nutrisi yang tidak adekuat berkontribusi
terhadap kondisi diskus.
(2) seiring dengan bertambahnya usia, perubahan biokimia menyebabkan diskus secara perlahan-
lahan menjadi kering sehingga mempengaruhi kekuatan diskus.
(3) postur yang buruk dikombinasi dengan kebiasaan buruk yang mengakibatkan penekanan mekanik
pada tulang belakang mempengaruhi kemampuan tulang belakang untuk menyangga berat
badan.12
Kombinasi dari faktor-faktor ini, ditambah dengan trauma, robekan sehari-hari dari diskus, cara
mengangkat beban yang tidak benar mengakibatkan herniasi diskus. Herniasi dapat terjadi tiba-tiba
atau perlahan-lahan dalam hitungan minggu atau bulan. Berikut adalah 4 tahap herniasi diskus:
11,14,15
1. Degenerasi diskus
Perubahan biokimiawi berkaitan dengan penuaan mengakibatkan diskus menjadi lemah, tetapi tanpa
herniasi.
2. Prolaps
Bentuk atau posisi diskus berubah dengan sedikit penonjolan ke canalis spinalis. Disebut juga bulging
atau protrusion.
3. Ekstrusi
Nucleus pulposus menembus annulus fibrosus namun tetap berada di dalam diskus
4. Sekuestrasi
Nucleus pulposus menembus annulus fibrosus, menembus keluar diskus sampai ke canalis spinalis
Gambar 7. Herniasi nucleus pulposus
Gambar 8. Manifestasi klinis hernia diskus lumbalis
Sumber Pustaka : Jones HR, Srinivasan G, Allam GJ. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier
Saunders. Philadelpia. 2012
Stenosis spinalis
• Penyempitan canalis spinalis dapat disebabkan oleh abnormalitas dalam proses perkembangan
atau degeneratif.
• Kasus spondilolistesis dan Paget’s diseaseyang berat dapat menyebabkan sindrom cauda equina.
• Stenosis spinalis menyebabkan “neurogenic intermittent claudication” atau iskemia intermittent
cauda equine yang disebabkan oleh herniasi lumbal, hipertrofi tepi corpus ke dalam canalis spinalis,
spondilolistesis atau tumor extradural.
Gambar 9 . Patologi stenosis spinalis 13
Neoplasma
• Sindrom cauda equina dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer atau metastasis,
biasanya berasal dari prostat (pada laki-laki).
• Sindrom cauda equina dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer atau metastasis,
biasanya berasal dari prostat (pada laki-laki).
• 60 % pasien dengan sindrom cauda equina yang disebabkan neoplasma spinal mengalami nyeri
berat yang dini.
• Temuan terbaru meliputi kelemahan ekstremitas bawah yang disebabkan oleh keterlibatan ventral
root.
• Pasien umumnya mengalami hipotoni dan hiporefleks.
• Hilangnya sensoris dan disfungsi sfingter juga umum ditemukan.
Schwannoma
• Schwannoma adalah neoplasma jinak dengan kapsul yang secara struktural identik dengan
sinsisium sel Schwann.
• Pertumbuhan ini dapat berasal dari saraf perifer atau simpatis.
• Schwannoma dapat dilihat menggunakan mielografi, tetapi MRI adalah kriteria standar.
Schwannoma bersifat isointense pada image T1, hyperintense pada image T2, dan enhanced dengan
kontras gadolinium.
Ependimoma
• Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim yang relatif undifferentiated.
• Mereka sering berasal dari canalis sentralis medula spinalis dan cenderung tersusun secara radial di
sekitar pembuluh darah.
• Ependimoma paling umum ditemukan pada pasien yang berusia sekitar 35 tahun.
• Mereka dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan kadar protein pada
cairan serebrospinalis.
• Temuan pada MRI dapat digunakan untuk membantu dokter dalam mendiagnosis sindrom cauda
equina. Lesi tampak isointense pada T1-weighted image, hypointense pada T2-weighted image, dan
enhanced dengan kontras gadolinium.
Inflamasi
• Kondisi peradangan pada medula spinalis yang berlangsung lama, misalnya Paget’s disease dan
spondilitis ankilosa, dapat menyebabkan sindrom cauda equina karena stenosis ataupun fraktur
spinal.
Infeksi
• Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat menyebabkan deformitas akar saraf dan medula
spinalis.
• MRI dapat menampilkan penampakan abnormal akar saraf yang tertekan ke satu sisi sacus duralis.
• Gejala secara umum meliputi nyeri punggung yang berat dan kelemahan motorik yang berkembang
sangat cepat.
Penyebab iatrogenik
• Komplikasi dari instrumentasi spinal telah dilaporkan menyebabkan kasus sindrom cauda equina,
misalnya pedicle screw dan laminar hook yang salah tempat.
• Anestesi spinal yang kontinyu juga telah dihubungkan sebagai penyebab sindrom cauda equina.
• Injeksi steroid epidural, injeksi lem fibrin, dan penempatan free fat graft merupakan penyebab yang
juga dilaporkan sebagai penyebab sindrom cauda equina meskipun jarang.
DIAGNOSIS 9,13
Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :
1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung bawah sebelumnya
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang memiliki riwayat nyeri punggung dan
ischialgia
3. progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita nyeri punggung kronik dan
ischialgia.
Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24 jam.
Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium dalam hubungannya dengan fungsi
urinari: stadium I, CES dengan retensi dan overflow incontinence; stadium II, CES inkomplit, dengan
ciri penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih (pengosongan), pancaran urin
tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa berkemih.15
Anamnesis 3,4,10,16,17
Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan nyeri punggung yang
merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al menunjukkan bahwa didapatkan akurasi diagnostik
antara retensi urin, frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi berkemih dan penurunan
sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya prolaps diskus. Anamnesis yang harus
didapatkan dari pasien antara lain:
• Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa karakteristik yang mengesankan
adanya hal yang berbeda dari strain lumbal pada umumnya. Pasien mungkin melaporkan adanya
trigger yang memperparah, seperti menolehkan kepala.
• Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik
• Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau abnormalitas sensorik
• Disfungsi bowel dan bladder
o Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan munculnya overflow incontinence, dan
kemudian bisa juga diikuti dengan keluhan inkontinensia alvi
o Biasanya dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel
• Gangguan ereksi dan ejakulasi
Pemeriksaan Fisik 3,4,10,16,17
Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan nyeri tekan setempat atau nyeri
sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal
biasanya nyeri yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra. Nyeri radikular
umumnya bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi radiks saraf dorsal. Nyeri
radikular diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya refleks fisiologis. Refleks
yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan medula spinalis sehingga diagnosis CES bisa
disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau bilateral merupakan karakteristik CES,
diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas sensorik mungkin muncul di area perineal atau
ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan (light touch) pada area perineal seharusnya dilakukan.
Area yang mengalami anestesi mungkin menunjukkan adanya kerusakan kulit.
Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi dari radiks saraf yang
terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik. Tonus sphincter ani yang menurun atau hilang
merupakan karakteristik CES.
Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan diagnosis selain
CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi bladder dapat dinilai
secara empiris dengan kateterisasi urin.
CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki keluhan nyeri
punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder. Disfungsi bladder biasanya merupakan
akibat dari kelemahan otot detrussor dan areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan
retensi urin yang kemudian diikuti dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya. Pasien
yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil pemeriksaan neurologisnya
normal seharusnya diukur volume residual postvoid-nya. Volume residual postvoid yang lebih besar
dari 100 mL menunjukkan adanya overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut;
sedangkan volume kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang ditimbulkan
dengan mengusap kulit lateral anus, normalnya menyebabkan kontraksi refleks sphincter ani
eksterna. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk menilai tonus sphincter ani dan sensibilitas
jika ditemukan tanda atau gejala CES.
Gambar 10. Inervasi regio pelvis oleh sacral inferior dan nervus pudendus
Gambar 11. Standard Neurological Classification of Spinal Cord Injury (From ASIA) 18
Pemeriksaan Penunjang3,9
Diagnosis CES umumnya bisa didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dan untuk
menentukan lokasi patologik dan penyakit yang mendasari.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES adalah:
• X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin dapat dilakukan dalam
kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran adanya perubahan destruktif pada vertebra,
penyempitan diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
• CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT
• MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI umumnya
merupakan tes yang disukai dokter dalam mendiagnosis CES. MRI direkomendasikan untuk seluruh
pasien yang memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan dengan nyeri punggung
bawah dan ischialgia.
• Ultrasonografi mungkin bisa digunakan untuk estimasi volume residual post-void
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula
darah puasa, sedimentation rate, dan sifilis dan lyme serology. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga
dapat dilakukan jika didapatkan tanda meningitis.
PENATALAKSANAAN
Belum ada bukti yang menunjukkan terapi apa yang paling baik pada CES. Terapi umumnya
ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya CES.
Pembedahan2,4,5,10,12
Pada sebagian kasus, CES merupakan indikasi untuk dilakukan operasi dekompresi secepatnya;
laminektomi yang diikuti dengan retraksi cauda equina secara hati-hati (untuk menghindari
komplikasi meningkatnya gangguan neurologis) dan diskectomy pada penderita CES yang
disebabkan oleh herniasi diskus merupakan tindakan pilihan. Waktu yang tepat dilakukan tindakan
dekompresi belum sepenuhnya disepakati. Umumnya, pasien CES yang dilakukan operasi dalam 24
jam sejak timbul gejala awal dipercaya akan mencapai perbaikan neurologis yang lebih baik secara
signifikan. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak ditemukannya perbaikan outcome secara
signifikan pada pasien yang dioperasi dalam waktu 24 jam dibandingkan dengan pasien-pasien yang
dioperasi dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penelitian lain menunjukkan bahwa pembedahan yang
dilakukan secara elektif dibandingkan pembedahan emergensi tidak mengganggu perbaikan
neurologis. Meskipun begitu, sebagian besar peneliti merekomendasikan tindakan operasi
dekompresi secepat mungkin setelah munculnya gejala untuk meningkatkan kemungkinan
memperoleh perbaikan neurologis komplit.
Medikamentosa3,4
• Agen vasodilator
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agen vasodilator memiliki efek terapetik yang signifikan
terhadap CES. Dalam sebuah penelitian eksperimental menyebutkan bahwa pengobatan sistemik
dengan OP-1206 α-CD, suatu analog prostaglandin E1, dapat secara signifikan meningkatkan aliran
darah dan menurunkan hiperalgesia thermal yang diinduksi oleh cedera konstriksi saraf pada tikus.
• Agen anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif pada pasien dengan penyebab
inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam pengobatan nyeri punggung, tapi tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan manfaat yang signifikan. Regimen steroid yang
biasa dipakai adalah deksametason dengan dosis awal 10 mg secara intravena, diikuti 4 mg secara
intravena diberikan setiap enam jam. Deksametason umumya diberikan intravena pada dosis 4
sampai 100 mg.
NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah kalsifikasi jaringan lunak, osifikasi heterotopik dan
perlengketan. Beberapa peneliti juga menegaskan resiko potensial penggunaan steroid. Pernah
dilaporkan bahwa penggunaan agen antiinflamasi mungkin menghambat penyembuhan dan
seringkali menimbulkan pembentukan abses.
REHABILITASI MEDIK PADA SINDROMA CAUDA EQUINA
Perawatan kulit
Pada saat terjadinya cedera medulla spinalis seringkali menyebabkan pasien memerlukan tirah
baring dalam waktu lama. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus pada daerah-
daerah tubuh tertentu yang mengalami penekanan terus menerus. Usaha terhadap pencegahan
penanganan dekubitus harus dimulai segera setelah terjadinya cedera. Dasar perawatan adalah
membebaskan tonjolan tulang dari tekanan setiap 2-3 jam sekali. 19,20
Perawatan kandung kemih dan rektum
Dalam program rehabilitasi, perawatan kandung kemih dan rektum sangat penting dan merupakan
kunci keberhasilan hidup di masa mendatang.
Lower Motor Neuron Bladder Training
Pada tipe ini refleks bulbocavernosus dan anal superficial selalu negatif, penekanan / pemijatan
kandung kemih dengan mengejangkan otot – otot abdomen dan diafragma yang tidak mengalami
paralisis serta dibantu manual kompresi (maneuver Crede) dapat dilakukan untuk membantu
pengosongan kandung kemih (pertama kali dilakukan 2 minggu setelah terjadinya cedera). Bila ini
gagal, ulangi 2 kali seminggu sampai terjadi pengosongan kandung kemih ( biasanya terjadi setelah 2
– 8 minggu ). Dapat juga dilakukan usaha dengan kateter intermiten setiap 4-6 jam untuk melatih
pengosongan kandung kemih secara efektif. Bila pengosongan kandung kemih sudah dapat terjadi,
maka usaha selanjutnya dilakukan oleh penderita sendiri tiap 2 jam di siang hari dan perawat
membantu melakukan penekanan secara manual di malam hari saat membalik posisi pasien. Sekali
penderita telah menguasai tehnik pengosongan kandung kemih ini dengan memuaskan, maka
frekuensi pengosongan dapat diatur sendiri, misalnya 3 – 4 jam sekali di siang hari, sebelum tidur,
tengah malam (waktu membalikan posisi pasien), serta waktu bangun tidur di pagi hari., 20,21
Bowel Care
Dasar dari latihan rektum ini adalah supaya fungsi pengosongan rektum berjalan dengan efektif,
efisien dan wajar. 19
Fisioterapi
Program fisioterapi harus sudah dimulai sejak pasien dirawat. Ada berbagai macam program
fisioterapi yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom kauda equina dan tentunya tidak
semuanya cocok diberikan untuk setiap pasien. Jelas pemberian latihan ini disesuaikan dengan
keadaan klinis pasien dan juga gangguan neurologis yang ditemukan pada pasien tersebut. Adapun
program-program tersebut antara lain:
1. Gerakan pasif.
Tiap persendian dari group otot ekstremitas inferior digerakan secara pasif dan full ROM, sekurang –
kurangnya 2 kali sehari. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya kontraktur, karena gerakan pasif
tersebut memelihara tonus dan panjang otot, serta melancarkan aliran darah dari ekstremitas inferior
yang rentan terhadap kemungkinan timbulnya trombosis yang disebabkan aliran darah biasanya
ditempat tersebut sangat lambat.
2. Keseimbangan duduk.
Pada pasien dengan kelemahan otot ekstremitas inferior yang cukup berat saat mula-mula di pindah
ke kursi roda perlu waktu beberapa hari bagi pasien dapat duduk tegak dengan baik. Paralisis otot-
otot tubuh seringkali mengganggu keseimbangan dan bagi pasien hal ini dirasakan sangan
mengganggu. Jika duduk tegak maka pasien akan merasakan gejala-gejala seperti hipotensi antara
lain pusing dan mual. Biasanya secara bertahap pasien dapat menyesuaikan diri. Jika hal ini terus
berlanjut, maka dapat digunakan tilt table untuk membantu pasien membiasakan diri duduk tegak.
3. Berenang
Latihan berenang di kolam sangat bermanfaat dan menyenangkan karena akan membantu dan
mempermudah otot-otot ekstremitas inferior untuk aktif berfungsi. Ban dan jaket penyelamat dapat
digunakan untuk pengaman dan memperbesar rasa percaya diri pasien. Jika pasien ragu-ragu, maka
terapis dapat membantu dengan menyangga tubuh pasien pada tempat yang sensoriknya masih
berfungsi. Latihan renang ini dari sejak awalnya sudah dapat dikembangkan menjadi salah satu
latihan yang dapat menyenangkan sekaligus sebagai suatu rekreasi.
4. Gym work
Tujuan latihan di ruang senam ini adalah untuk mengembangkan sepenuhya aktifitas otot-otot yang
persyarafannya masih baik. Latihan dengan tahanan, per dan beban, press up, dan memanjat dengan
tali.
5. Mat work (senam lantai di matras),
Pasien dalam posisi berbaring di lantai bertujuan untuk menguatkan otot–otot trunkus dan
meningkatkan tonus otot – otot paravertebralis sehingga nantinya hal tersebut dapat membantu
pasien dalam memperbaiki keseimbangan duduk dan postur. Latihan di matras ini bertujuan
membantu mengurangi spastisitas otot – otot tersebut dan ini kelak akan membantu berfungsinya
bladder dan bowel. Semua pasien diajarkan berguling di lantai dan jika mungkin belajar duduk tanpa
dibantu. Selanjutnya latihan keseimbangan dapat terus di kembangkan dengan latihan duduk di tepi
tempat tidur. Selain itu bisa pula dilakukan senam Kegel untuk menguatkan otot-otot panggul.
6. Berdiri
Pasien paraparese atau paraplegia secara teratur harus diajarkan cara untuk berdiri tegak. Disamping
meningkatkan moril dan kepercayaan diri pasien, hal ini bertujuan untuk meringankan beban tekanan
di sakrum dan pantat, memperbaiki tonus otot di trunkus dan ekstremitas inferior, mencegah
deformitas fleksi di pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki, memperbaiki efisiensi pengosongan
ginjal dan kandung kemih serta fungsi rektum dan juga berperan dalam pencegahan osteoporosis
dan fraktur patologis. Untuk memungkinkan latihan berdiri tegak ini dapat digunakan alat yang
dinamakan standing frame. Pengikat yang dilapisi kulit halus berfungsi sebagai brace, sedangkan
meja miring didepan berfungsi sebagai tempat penderita melakukan berbagai aktifitasnya sambil
berdiri.
7. Latihan jalan.
Faktor yang sangat menentukan kemampuan pasien dalam berjalan ialah: kekuatan otot quadriceps,
propioseptif lutut, tidak adanya kontraktur fleksi dari panggul dan kontrol lengan. Untuk melangkah
adalah merupakan problem yang besar bagi pasien. Kemauan merupakan kunci kearah keberhasilan,
yang juga sangat tergantung faktor umur, berat badan dan jumlah otot-otot yang masih berfungsi.
Teknik-teknik yang dapat dipergunakan dalam latihan jalan ini antara lain: swing to & swing through
qait menggunakan kruk siku (elbow crutches).
8. Pemakaian kursi roda
Harus dipesan kursi roda yang sesuai untuk tiap pasien. Idealnya pasien dipesankan kursi roda sedini
mungkin yang tipenya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan. Waktu yang paling tepat adalah saat
pasien mulai belajar duduk.
Sebaiknya pemesanan kursi roda ini didiskusikan oleh tim. Pemilihan jenis kursi roda sangat
tergantung kepada usia, ukuran tubuh, tinggi badan dan berat badan dan ditentukan oleh kekuatan
lengan (1,2,3). Tempat kaki yang dapat dibuka dan berputar, ketinggian yang dapat diatur serta
sandaran tangan yang dapat dilepaskan merupakan bentuk standart.
Latihan mengendalikan kursi roda diberikan sampai pasien betul – betul yakin akan kemampuannya.
Antara lain latihan tersebut adalah bagaimana cara – cara melintasi pintu, permukaan lantai yang
tidak rata, kemiringan dari “trotoar”. Kepada pasien juga diajarkan cara–cara mundur dengan
baik.19,20,21
Sosial medik
Pekerja sosial medik merupakan salah satu anggota tim yang diperlukan dan tugasnya meliputi
berbagai aspek yang sangat bervariasi. Kontak dengan pasien dan keluarganya segera dilakukan
pada saat pasien masuk rumah sakit. Kontak dengan dinas sosial setempat harus segera dilakukan,
ini kelak akan sangat membantu dalam memulangkan pasien kerumahnya. Begitu pula halnya untuk
keperluan seperti kursi roda dan alat bantu lainnya diusahakan dengan bekerja sama dengan dinas
tersebut. Kadang – kadang pekerja sosial medik diminta bantuannya untuk mengatasi kesulitan yang
dialami pasien maupun keluarganya. Disamping itu pekerja sosial medik juga diperlukan untuk
mengadakan kunjungan ke rumah pasien dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut: 22
• Tinggi tombol lampu
• Penutup lantai / karpet yang lepas
• Lebar pintu
• Permukaan lantai tidak boleh licin
• Anak tangga pada pintu yang menghambat mobilitas
• Kamar tidur harus ada di lantai bawah
• Letak kamar mandi
• Tipe bangunan rumah bila diperlukan “hoists” (katrol)
• Tinggi meja dapur
• Lebar lorong di dalam rumah
Ortotik
Pada trauma medula spinalis daerah torako lumbal dapat diberikan torako lumbal brace. Prinsip kerja
ini alat ini adalah memberikan penekanan pada 3 buah titik yang dikenal dengan “three point
pressure”. Penekanan tersebut diberikan dibagian antero distal yang terletak diatas pubis, dibagian
antero proksimal pada sternum, sedangkan dibagian posterior tekanan diberikan pada daerah thorax
bagian distal hingga lumbal bagian proksimal yang berupa “padding”, seperti tampak pada gambar
yang menunjukkan salah satu tipe torako lumbal brace yaitu Jewett Brace. 22
Sedangkan pada trauma medula spinalis daerah torako lumbo sakral dapat diberikan torako lumbo
sakral brace (TLSO). Prinsip kerja alat ini untuk menghambat gerakan tulang punggung kearak fleksi,
ekstensi, laterofleksi. “Frame dan padding” yang menahan otot – otot abdominal mulai dari umbilikus
sampai daerah supra pubis. Gambar menunjukkan salah satu bentuk torako lumbo sakral brace yaitu
Goltwait brace.
Lesi pada T12 – L1 mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik mulai dari panggul ke
bawah. Pada keadaan ini diperlukan pola jalan “swing throuh” yang memerlukan energi 6 kali lebih
besar dibandingkan keadaan normal untuk setiap meternya. Pasien yang mampu berjalan dengan
pola ini dan dalam kecepatan yang cukup baik 60 m/menit sangat jarang. 22
Okupasi Terapi
Okupasi terapi bertujuan untuk:
• Aktifitas kehidupan sehari – hari.
• Penilaian kursi roda
• Penilaian alat bantu jalan
• Penilaian pekerjaan dan penempatan kembali
• Penguatan otot – otot punggung dan ekstremitas atas
• Mempertahankan sisa fungsi yang masih ada
• Membangkitkan kembali semangat penderita
• Mencegah kontraktur otot
Psikologi
Secara umum dikatakan bahwa depresi dapat mengganggu proses rehabilitasi. Depresi dan ansietas
dapat mengakibatkan disabilitas yang sama beratnya dengan yang disebabkan trauma medula
spinalis. Kekuatiran akan masa depan dan akibat cacat yang diderita, sikap tidak realistis, sikap
agresif merupakan tanda–tanda keresahan emosional. Dorongan dari terapis dan keluarga,
pendekatan positif kepada pasien dan kemampuannya, sangat membantu dalam menghilangkan
gejala. Mereka yang mengalami depresi ringan biasanya memberikan respon yang baik terhadap
obat – obat anti depresi. Waktu penyesuaian psikologi biasanya memerlukan waktu sekitar 18-24
bulan.
PROGNOSIS3,4
Para peneliti telah menemukan kriteria-kriteria spesifik yang dapat membantu memprediksi
prognosis pasien CES.
• Pasien dengan ischialgia bilateral dilaporkan memiliki prognosis yang kurang baik dibanding yang
mengalami ishialgia unilateral.
• Pasien dengan gejala anestesi perineal komplit kemungkinan besar akan menderita paralisis
bladder permanen
• Luasnya defisit sensorik tipe sadel atau perineal merupakan prediktor perbaikan/penyembuhan
yang paling penting. Pasien dengan defisit unilateral memiliki prognosis yang lebih baik daripada
pasien dengan defisit bilateral.
• Wanita dan pasien dengan disfungsi bowel memiliki outcome yang lebih buruk.
Prognosis dapat juga diprediksi dengan skala American Spinal Injury Association (ASIA) berikut :
• ASIA A : 90 % pasien masih mampu dalam ambulasi fungsional
• ASIA B : 72 % pasien tidak dapat mencapai ambulasi fungsional
• ASIA C/D : 13 % pasien tidak mampumencapai ambulasi fungsional 1 tahun setelah cedera.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. 8th ed. Mc.Graw-Hill. New York. 2005; 168-171.
2. Mahadewa T, Maliawan S. Cedera Saraf Tulang Belakang Aspek Klinis dan Penatalaksanaannya.
Udayana University Press. Denpasar 2009
3. Dawodu ST. Cauda Equina and Conus Medullaris Syndromes. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#showall
4. Cauda Equina Syndrome, http://www.emedicinehealth.com, Januari 11,2012
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. EGC Jakarta 2002
6. Mercer S, Bogduk N. The ligaments and annulus fibrosus of human adult cervikal intervertebral
discs. Spine. Apr 1 1999;24(7):619-26; discussion 627-8.
7. Bartleson JD, Deen HG. Spine Disorders Medical and Surgical Management. Cambridge University
Press, New York 2009
8. Skyme AD, SElmon GPF, Apthorp L. Common spinal disorders explained. London: Remedica. 2005:
39-43.
9. MA Bin et al. Cauda equina syndrome: a review of clinical progress.Chin Med J 2009;122(10):1214-
1222
10. Jason C Eck. Cauda equina syndrome. Available from http://emedicine.medscape.com
/article/1263571-overview . Updated: Feb 12, 2012
11. David H Durrant, Jerome M True. Myelopathy,radiculopathy, and peripheral entrapment
syndromes. CRC press. 2002.
12. Available at http://www.mwspinecare.com/files/Lumbar_Herniated_Disc.pdf
13. Clarke A, Jones A, Malley MO, McLarren R. ABC of spinal disorders. Singapore: Blackwell. 2010: 22-
3.
14. Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology Anatomy • Physiology • Signs •
Symptoms . 4th edition , Thieme , Stuttgart • New York 2005 : 56 – 113
15. Gleave JR, Macfarlane R. Cauda equina syndrome: what is the relationship between timing of
surgery and outcome? Br JNeurosurg 2002; 16: 325-328.
16. Tsementzis Sotirios. Differential diagnosis in neurology and neurosurgery. Thieme. 2000. 210-212
17. Esther Dan-Phuong. A case study of cauda equina syndrome. The Permanente Journal. fall 2003;
7(4):13-17
18. Evans RW. Neurology and Trauma. 2nd ed. Oxford University Press 2006 : 267
19. Cucurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New York: Demos. 2004
20. Tan J. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis: Mosby. 1998
CAUDA EQUINA SINDROM
I. PENDAHULUAN
Sepanjang perkembangannya, korda spinalis dan kolumna vertebralis tumbuh dalam waktu yang
tidak bersamaan, dengan pertumbuhan columna vertebralis lebih cepat dibandingkan korda spinalis.
Nervus spinalis keluar dari kolumna vertebralis secara progresif dengan sudut-sudut yang lebih oblique
karena peninggian jarak antara segmen korda spinalis dan penyesuaian dari vertebra. Nervus lumbalis
dan nervus sacralis berjalan menurun kebawah melalui kanalis spinalis untuk mencapai jalan keluar
foramennya.
Korda spinalis melancip pada ujung yang dekat dengan vertebra lumbal pertama, membentuk
konus medullaris. Perpanjangan fibrosa dari korda ini merupakan filum terminal. Gumpalan dari radik
saraf di dalam rongga subarachnoid distal yang membentuk konus medullaris adalah cauda equina.
Cauda equina sindrom berasal dari pemadatan atau penyempitan yang simultan dari radik saraf
lumbosacral multipel dibawah konus medullaris, sehingga menghasilkan gangguan neuromuscular dan
gejala-gejala urogenital.
II. PATOFISIOLOGI
Cauda equina sindrom disebabkan oleh berbagai pengempitan dari kanalis spinalis yang menekan
radik saraf dibawah korda spinalis. Beberapa penyebab cauda equina sindrom yang dilaporkan, yaitu
termasuk luka trauma, herniasi diskus, stenosis spinal, schwannoma, ependimoma, keadaan inflamasi,
kondisi infeksi dan penyebab iatrogenik.
Trauma
Terjadinya fraktur yang menyebabkan subluxatio dapat menimbulkan kompresi dari cauda equina.
Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi dari cauda equina.
Manipulasi spinal menimbulkan subluxatio yang menyebabkan cauda equina sindrom.
Herniasi diskus
Laporan insiden dari cauda equina sindrom berasal dari herniasi diskus lumbal yang berkisar antara 1-
15%.
90% dari herniasi diskus lumbal terjadi antara L4-L5 atau L5-S1.
71 % Kasus dari herniasi diskus menjadi cauda equina sindrom terjadi pada pasien dengan riwayat Low
Back Pain (LBP) kronik dan 30 % perkembangan cauda equina sindrom merupakan gejala pertama
dari herniasi diskus lumbal.
Laki-laki usia 40 sampai 50 tahun cenderung banyak menderita cauda equina sindrom sebagai akibat
dari herniasi diskus.
Kebanyakan kasus dari cauda equina sindrom berasal dari herniasi diskus yaitu masuknya partikel
besar membentuk tonjolan material diskus, yang diperkirakan sekitar satu per tiga dari diameter
canalis.
Stenosis Spinal
Penyempitan ujung dari canalis spinalis dapat berasal dari perkembangan abnormal atau proses
degeneratif.
Kasus-kasus berat dari spondylolistesis dan Paget disease dapat menjadi cauda equina sindrom.
Neoplasma
Cauda equina sindrom dapat disebabkan oleh neoplasma spinal primer atau metastase yang biasanya
berasal dari prostat pada laki-laki.
96 % Dari cauda equina sindrom berasal dari perkembangan neoplasma spinal yang segera ditandai
dengan gejala nyeri yang berat.
Penemuan terakhir termasuk kelemahan ekstermitas bawah berasal dari keterlibatan dari radik ventral.
Pasien biasanya menunjukkan gejala hipotonus dan hiporeflek.
Kehilangan sensorik dan disfungsi spinchter sering ditemukan.
Schwannoma
Schwannoma adalah neoplasma berkapsul jinak yang secara struktur identik dengan sinsitium dari sel
schwan.
Pertumbuhan-pertumbuhan ini dapat timbul dari nervus perifer atau nervus simpatis.
Schwannoma dapat dilihat menggunakan myelografi, tetapi standar patokannya adalah MRI.
Schwannoma menunjukkan gambaran isointense pada gambaran T1, hiperintense pada gambaran
T2, dan enhanced dengan kontras gadolinium.
Ependimoma
Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim undifferentiated.
Sel ini biasanya berawal dari kanalis spinalis dari korda spinalis dan cenderung berubah menyerupai
pembuluh darah.
Ependimoma lebih sering ditemukan pada pasien usia sekitar 35 tahun.
Ependimoma dapat menimbulkan peningkatan TIK dan peningkatan protein pada cairan serebrospinal.
MRI diketahui dapat digunakan untuk menolong dokter dalam menegakkan diagnosa dari cauda equina
sindrom. Lesi memperlihatkan isointense pada gambaran T1, hipointense pada gambaran T2, dan
enhanced dengan kontras gadolinium.
Kondisi inflamasi
Kondisi inflamasi jangka panjang dari tulang belakang termasuk Paget disease dan ankylosing
spondilitis dapat menjadi cauda equina sindrom karena penyakit-penyakit tadi menyebabkan
stenosis spinal.
Kondisi Infeksi
Kondisi infeksi dapat menyebabkan deformitas dari radik saraf dan korda spinalis.
MRI dapat menunjukkan gambaran abnormal berupa penekanan pada radik saraf ke satu sisi dari
saccus dura.
Gejala-gejala umumnya termasuk nyeri punggung berat dan kelemahan gerakan motorik yang cepat
dan progresif.
Penyebab Iatrogenic
Kelainan dari susunan saraf spinal telah dilaporkan menjadi penyebab kasus cauda equina sindrom,
termasuk kesalahan penempatan pedicle screw dan pengait laminar.
Pemberian anastesi spinal yang terus menerus juga telah dikaitkan dengan kasus cauda equina
sindrom.
Beberapa kasus melibatkan penggunaan hiprbarik 5 % lignocain.
Beberapa rekomendasi menyarankan agar hiperbarik lignocain sebaiknya tidak diberikan pada
konsentrasi lebih dari 2 % dengan total dosis tidak melebihi 60 mg.
III. GEJALA
Gejala dari cauda equina sindrom termasuk berikut :
Low Back Pain
Sciatika unilateral atau bilateral
Saddle perineal atau perineal hipoestesi atau anastesi
Gangguan berkemih dan defekasi
Kelemahan motorik ekstermitas bawah dan defisit sensorik
Pengurangan atau tidak adanya refleks ekstermitas bawah.
Low back pain dapat dibagi dalam nyeri lokal dan radikular :
Nyeri lokal biasanya sangat nyeri dan dalam, yang berasal dari jaringan lunak dan iritasi badan
vertebra.
Nyeri radikular umumnya seperti nyeri tusukan benda tajam yang dihasilkan dari penekanan radik saraf
dorsal. Nyeri radik menunjukkan adanya distribusi dermatomal.
Manifestasi pengeluaran urin pada cauda equina sindrom berupa :
Retensi
Sulit memulai miksi
Penurunan sensasi urethra
Manifestasi defekasi termasuk hal-hal berikut :
Inkontinensia
Konstipasi
Kehilangan tonus dan sensasi anal
Nyeri dan defisit dihubungkan dengan masuknya radik saraf terlihat pada tabel berikut.
Nyeri dan defisit dihubungkan dengan radik saraf spesifik.
RadikSaraf
NyeriDefisit
sensorikDefisit motorik Defisit reflek
L2Paha Medial Anterior
Paha atas
Kelemahan quadricep ringan, fleksi panggul, adduksi paha
Penyusutan ringan suprapatella
L3Paha lateral anterior
Paha bawah
Kelemahan quadricep, ekstensi lutut, adduksi paha
Patella atau suprapatella
L4Paha Posterolateral, anterior tibia
Kaki medialEkstensi pedis dan lutut
Patella
L5 Dorsum pedisDorsum pedis
Dorsofleksi dari pedis dan tumit
Hamstrings
S1-2 Lateral pedisLateral pedis
Plantar fleksi dari pedis dan tumit
Achiles
S3-5 Perineum Saddle Sphincter Bulbocavernosus; anal
IV. GAMBARAN RADIOGRAFI DAN LABORATORIUM
Diagnosa cauda equina sindrom bisa didapatkan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang
ditemukan. Radiologi dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui letak patologi dan
penyebab kasus tersebut.
Karena didapat kemungkinan bahwa penyakit ini berasal dari jaringan lunak, MRI dapat menjadi
pemeriksaan yang lebih disukai oleh tenaga medis. Meskipun begitu, tidak ada pemeriksaan radiologi
yang spesifik sebagai standar dalam mendiagnosa cauda equina sindrom.
Myelografi, CT, dan MRI masing-masing digunakan pada kasus yang spesifik, dan masing-masing
alat tersebut mempunyai derajat akurasi terbaik.
Pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan kimia, kadar gula
darah, sedimen, sifilis dan lyme serologies. Pemeriksaan liquid cerebrospinal (LCS) harus dilakukan jika
ada indikasi, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik yang ditemukan.
Human leucocyt antigen (HLA)-B27 dapat diperiksa jika ankylosing spondilitis atau berbagai
spondyloarthropati seronegatif diyakinkan sebagai diagnosa banding.
Pemeriksaan urodinamik sangat berguna untuk menilai derajat dan sebab dari disfungsi sphingter,
sebaiknya pantau pemulihan dari fungsi kandung kemih yang disebabkan oleh operasi dekompresi.
Pemantauan intraoperatif dari somatosensorik dan motor evoked potensial dapat dilakukan untuk
evaluasi dari radikulopati dan neuropati.
V. PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA
Iskemik radik saraf sebagian dapat memungkinkan timbulnya nyeri dan penurunan kekuatan otot
yang dihubungkan dengan cauda equina sindrom. Berdasarkan penelitian, terapi vasodilator sangat
berguna untuk beberapa pasien.
Terapi dengan Lipoprostaglandin E1 dan derivatnya telah dilaporkan lebih efektif dalam
meningkatkan aliran darah di bagian cauda equina dan mengurangi gejala nyeri dan kelemahan motorik.
Pilihan terapi sebaiknya diberikan pada pasien dengan gejala stenosis spinal ringan dengan klaudikasio
neurogenik. Dari laporan, tidak ada keuntungan menggunakan terapi ini pada pasien dengan gejala-
gejala berat atau pasien dengan gejala-gejala radikular.
Pilihan terapi medik lain berguna penuh untuk kepentingan pasien, bergantung pada penyebab
dari cauda equina sindrom. Obat-obat anti inflamasi dan steroid dapat efektif pada pasien dengan proses
inflamasi, termasuk ankylosing spondilitis.
Pasien dengan cauda equina sindrom yang penyebabnya berasal dari infeksi sebaiknya diberikan
terapi antibiotik. Pasien dengan neoplasma spinal sebaiknya dievaluasi untuk kemoterapi yang cocok dan
terapi radiasi.
Sebaiknya perlu diperhatikan dalam menggunakan obat-obatan untuk manajemen terapi dari
cauda equina sindrom. Beberapa pasien dengan true cauda equina sindrom dengan gejala anastesi
saddle dan atau kelemahan anggota gerak bawah bilateral atau kehilangan kontrol berkemih atau
defekasi sebaiknya mendapatkan terapi medis awal tidak lebih dari 24 jam pertama. Jika tidak ada
keringanan gejala yang diperlihatkan selama periode ini, dekompresi bedah perlu secepatnya dilakukan
untuk meminimalisir kesempatan luka neurogenik yang permanen.
VI. PENATALAKSANAAN BEDAH
Pada beberapa kasus dari cauda equina sindrom, dekompresi segera dari kanalis spinalis adalah
pilihan terapi yang tepat. Tujuannya adalah untuk memebebaskan tekanan saraf pada cauda equina
dengan memindahkan alat-alat yang mengkompresi dan meningkatkan ruang kanalis spinalis. Dulunya,
pada penderita cauda equina sindrom diyakini perlu dilakukan bedah segera dengan dekompresi bedah
selama 48 jam dari awal onset gejala.
Pada pasien dengan herniasi diskus sebagai penyebab cauda equina sindrom, dianjurkan
melakukan laminektomi untuk melepaskan penekanan dari kanalis, diikuti dengan retraksi terbaik dan
laminektomi.
Banyak tim medis dan peneliti melaporkan telah mempresentasikan data fungsional dengan
melakukan dekompresi bedah. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam derajat penyembuhan fungsional dengan melakukan dekortikasi bedah. Walaupun
demikian, masih banyak anjuran untuk dilakukan dekompresi bedah sesegera mungkin bila timbul gejala-
gejala dalam onset tertentu sebagai pilihat terbaik dari penyembuhan neurologi komplit.
Peneliti telah mencoba untuk mengidentifikasi kriteria speifik yang dapat membantu dalam
memprediksi prognosa pasien dengan cauda equina sindrom.
Pasien dengan sciatica bilateral telah dilaporkan mempunyai prognosa yang kurang baik
dibandingkan dengan pasien dengan nyeri unilateral.
Pasien dengan anastesi perineal komplit lebih diyakini mengalami paralisa permanen pada fungsi
berkemih.
Luas defisit sensorik dari perineal atau saddle telah dilaporkan menjadi aktor penting dalam
memprediksi prognosa atau pemeliharaan penyembuhan penyakit. Pasien dengan defisit unilateral
memiliki prognosa lebih baik daripada pasien dengan defisit bilateral.