SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA MELALUI TOKOH … · Teknik yang digunakan dalam penelitian ini...
Transcript of SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA MELALUI TOKOH … · Teknik yang digunakan dalam penelitian ini...
SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA MELALUI TOKOH BRATASENA
DALAM CERITA PEWAYANGAN BALE SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CARITA
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh
ANANG JOKO BUDIMAN
NIM : 024114037
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA MELALUI TOKOH BRATASENA
DALAM CERITA PEWAYANGAN BALE SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CARITA
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh
ANANG JOKO BUDIMAN
NIM : 024114037
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
Skripsi ini Kupersembahkan untuk:
Sang Juru Selamat Sejati
Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan mendoakan aku
Saudara yang selalu mendukungku
Dan Alm. Kakakku yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi
v
MOTTO
Pujilah Tuhan, hai jiwaku!
Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!
Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan jangan lupakan segala kebaikan-Nya!
Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu.
Dia yang menebus hidupmu dari lubang kubur
Yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat
Dia yang memuasakan hasratmu dengan kebaikan
Sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali.
(Mazmur, 103:1-5)
vi
. ABSTRAK
Budiman, Anang Joko. 2010. Sikap Batin Masyarakat Jawa Melalui Tokoh Bratasena dalam Cerita Pewayangan Bale Sigala-gala Karya Ki Narya Carita: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini mengkaji sikap batin masyarakat Jwamelalui tokoh Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan unsure tokoh dan penokohan yang lebih ditekankan terhadap tokoh Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala untuk mengetahui sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Penelitian ini diawali dengan melakukan analisis struktural khususnya tokoh dan penokohan Bratasena. Hasil analisis struktural tokoh dan penokohan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dan metode deskripsi. Adapun langkah konkrit yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut. Penulis menggunakan metode analisis untuk menganalisis tokoh dan penokohan dan sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena. Kemudian penulis menggunakan metode deskripsi untuk memaparkan dan melaporkan hasil penelitian.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan penulis untuk menyimak cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita sebagai bahan penelaahan. Teknik catat digunakan penulis untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai untuk memecahakn rumusan masalah, dalam hal ini meliputi tokoh dan penokohan dan sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena.
Dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita ini, diperoleh bahwa nilai-nilai moral melalui tokoh Bratasena ditunjukkan dalam bentuk sikap . adapun sikap-sikap tokoh Bratasena yang mengandung sikap batin masyarakat Jawa adalah sikap berbudi luhur, sikap jujur, sikap nrima, sikap rila dan sikap ikhlas.
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita mengandung sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena. Tokoh Bratasena dalam melindungi, memperoleh hak dan memberikan keselamatan kepada keluarganya dengan mengedepankan sikap yang luhur, rela berkorban untuk sebuah kebenaran.
vii
ABSTRACT
Budiman, Anang Joko. 2010. Mental attitude of Javanese Society through Bratasena character in the Puppet Story Bale Sigala-gala by Ki Narya Carita: A Lirerary Sociology Study. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Sanata Dharma University.
This research is about the mental attitude of Javanese society through Bratasena figure in the Puppet show : Bale Sigala-gala, a master piece by Ki Narya Carita. The purpose of this research was to descibe the element of character and characterization of Bratasena in the puppet story Bale Sigala-gala to find out the spiritual attitude of Javanese society through Bratasena character.
The researcher used literary sociology approach in conducting the research which underlined the literary texts as the review material. The researcher began the research by doing structural analysis especially on the character and characterization of Bratasena. The result was used as a foundation to analyze mental attitude of Javanese society through character and charaterization of Bratasena in the puppet story Bale Sigala-gala.
The researcher used analytical method and descriptive method. The steps of the research are as follows. The researcher used analytical method to analyze character and charaterization and mental attitude of Javanese society through Bratasena figure. Then, the researcher used descriptive method to describe and report the research result.
The techniques which were used in this study covered two techniques, listening and taking note techniques. The purpose of listening techniques is to listen the puppet story Bale Sigala-gala by Ki Narya Carita as the review material. The note taking technique was used to record things which were correspond to solve the problem formula, which covered character and charaterization and mental attitude of Javanese society through Bratasena figure.
In this puppet story Bale Sigala-gala by Ki Narya Carita, the researcher found out that moral values of Bratasena character were shown in the form of attitude. The attitudes of Brasena which contains Javanese society mental attitude are virtuous, honesty, acceptance, willingness and sincere.
It can be concluded by the result of the research that puppet story Bale Sigala-gala by Ki Narya Carita contains Javanese society mental attitude through Bratasena character. This reflects Bratasena character in protecting, obtain right and give salvation for his family by put virtuois, willingness to sacrifice for righteousness forward.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Allah yang telah
memberikan limpahan berkat, kasih dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. skripsi berjudul Nilai-Nilai Moral Melalui Tokoh Bratasena dalam Cerita Pewayangan Bale
Sigala-gala Karya Ki Narya Carita: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra, ditulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia (SIND).
Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapakn terima kasih kepada:
1. Dra. Fransiska Tjandrasih Adji, M. Hum., dan S. E. Peni Adji, S. S, M. Hum, selaku
dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu dan membimbing dengan
sabar sampai tersusunnya skripsi ini.
2. Para dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah mendidik dan memberikan ilmu
kepada penulis;
3. Para karyawan dan karyawati secretariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah
pengurusan adminitrasi;
4. Para karyawan dan karyawati perpustakaan Universitas Sanata Dharma;
5. Bapak dan Ibu, saudara serta almarhum kakakku yang telah memberikan berbagai
dukungan dan kasih sayang, sehingga skripsi ini dapat selesai;
6. Emmanuella (Dee) yang selalu mendukung, memberi semangat yang membuat penulis
terbangun dapat tergugah dalam penyelesaian skripsi ini;
ix
7. Priska Niawati, Mas Agus Miyanto, Mas Vincent, Mas Domex, Ki Dalang Bagong
Yunioko, Mas Gepeng dan teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2002 yang
telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini;
8. Temen-temen kos Karang Bendo Kulon yang selalu membuat suasana tertawa, sedih
dan membuat selalu enjoy dalam berbagai suasana;
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan
dan dan dukunagannya.
Dengan kerendahan hati penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mohon sumbangan berupa, pemikiran, kritik dan masukan untuk
menyempurnakannya. Dalam ketidaksempurnaan ini, penulis berharap skripsi ini
bermanfaat bagi pembaca dan sebagai pendorong berbagai pihak untuk lebih mencintai
karya sastra, seni dan budaya, terima kasih.
Yogyakarta, 25 Agustus 2010
Penulis
(Anang Joko Budiman)
x
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN BIMBINGAN ................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iii
MOTTO ........................................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... x
LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................................. xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan penelitian .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 5
1.5 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5
1.6 Landasan Teori ................................................................................. 6
1.6.1 Teori Struktural ................................................................. 6
1.6.2 Tokoh dan Penokohan ....................................................... 7
1.6.3 Sosiologi Sastra ................................................................. 9
1.6.4 Sikap Batin Masyarakat Jawa ........................................... 10
1.7 Metode Penelitian ............................................................................. 13
xiii
1.8 Sistematika Penyajian ....................................................................... 14
1.9 Sumber Data Primer ......................................................................... 15
BAB II : UNSUR CERITA TOKOH DAN PENOKOHAN
CERITA PEWAYANGAN BALAI SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CERITA ....................................................... 16
2.1 Bratasena .......................................................................................... 16
2.2 Dewi Kunthi ..................................................................................... 21
2.3 Yama Widura.................................................................................... 23
2.4 Raden Puntadewa ............................................................................. 26
2.5 Prabu Dhastharasta ........................................................................... 27
2.6 Prabu Anom Kurupati....................................................................... 28
2.7 Patih Sengkuni .................................................................................. 30
2.8 Adipati Purocana .............................................................................. 31
BAB III : SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA
MELALUI TOKOH BRATASENA DALAM CERITA
PEWAYANGAN BALE SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CARITA ....................................................... 33
3.1 Sikap Berbudi Luhur ........................................................................ 34
3.2 Sikap Jujur ........................................................................................ 38
3.3 Sikap Nrima ...................................................................................... 41
3.4 Sikap Rila ......................................................................................... 45
3.5 Sikap Ikhlas ...................................................................................... 47
BAB IV : PENUTUP ....................................................................................... 50
xiv
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 50
4.2 Saran ................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54
LAMPIRAN ..................................................................................................... 55
BIODATA PENULIS ………………………………………………………. 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah karya seni, karena itu sastra juga mempunyai sifat yang sama seperti dengan
karya seni yang lain, seperti seni sastra, seni lukis, seni pahat dan lain-lain. Wayang adalah
gambar atau tiruan orang dan sebagainya untuk mempertunjukkan suatu lakon atau cerita
(Poerwodarminto 1984:1150). Dalam masyarakat Jawa wayang bukan sekedar sebuah tontonan
tapi merupakan suatu tuntunan tuntunan bagaimana etika dalam kehidupan yang harmonis.
Wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia yang merupakan penggambaran kehidupan
(Marwanto dan Moehanto, 1996:1). Suatu hasil dari budaya yang tercipta dari lingkungan
masyarakat. Sebuah cerita pewayangan erat hubungannya dengan budaya, karena budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 2000:180).
Terdapat dua sumber cerita dari cerita wayang, yaitu cerita Ramayana dan cerita Mahabarata.
Intisari cerita Ramayana timbulnya peperangan antara Rahwana dan Rama yang memperebutkan
Dewi Sinta, sedangkan intisari dari cerita Mahabarata adalah terjadinya perang Bharatayuda
antara Pandhawa dan Kurawa yang memperebutkan kerajaan Hastina (Marwanto dan Moehanto,
1996:5). Cerita pewayangan mengungkapkan pandangan-pandangan dan merupakan produk
kehidupan yang banyak mengandung nila-nilai moral, sosial, politik, etika, religi dan fisafat.
Disamping itu wayang juga sebagai media untuk menjelaskan kepada manusia tentang
bagaimana cara menjadi manusia yang lebih baik, menjadi manusia yang bisa menyelamatkan
sesama, memberi kasih sayang dan menciptakan suasana kehidupan yang seimbang (Ra’uf,
2010:180).
2
Salah satu cara untuk mengetahui mengenai cerita wayang kulit, tidak harus dengan
menonton pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Cerita pewayangan telah di terbitkan
dalam bentuk buku. Tujuan dari cerita pewayangan yaitu membantu manusia menyikapkan
rahasia keadaannya untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membantu ke dalam
jalan kebenaran. Karena wayang adalah gambaran manusia yang memiliki pesan-pesan di
dalamnya, bisa mendobrak pemikiran seseorang untuk lebih bijak dan arif dalam suatu
kehidupan (Ra’uf: 2010: 9).
Dalam cerita pewayangan Serat Pedhalangan seri Mahabarata dengan lakon Bale Sigala-
gala karya Ki Narya Carita diceritakan tentang kelakuan angkara dari Kurawa terhadap
Pandawa. Suatu penggambaran tentang kekuasaan menimbulkan sebuah keegoisan diri untuk
menghalalkan segala cara demi kelanggengan tahta dan harta walaupun apa yang dilakukan
melanggar aturan-aturan kehidupan. Ki Narya Carita juga menonjolkan tokoh Bratasena sebagai
tokoh yang berperan aktif dalam membangun isi cerita. Cerita pewayangan ini juga
menggambarkan perjuangan dari tokoh Bratasena dan keluarga Pandhawa untuk melawan
kelicikan dan niat jahat Kurawa. Bagaimana Tokoh Bratasena berusaha melindungi dan
menyelamatkan keluarganya dengan tetap berpegang teguh pada suatu etika-etika kapatutan,
sebuah sikap yang menunjukkan keteladanan mengenai kejujuran, keikhlasan, menyayangi
sesama dan berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang luhur. Perjuangan yang ditunjukkan dalam
sikap batin tokoh Bratasena sangat kental mewarnai isi cerita pewayangan ini.
Serat pedhalangan Bale Sigala- gala memiliki isi cerita yang menarik, karena di dalamnya
dapat diambil makna tentang realitas kehidupan. Cerita pewayangan ini juga menunjukkan
bagaimana pentingnya sebuah kehidupan yang dilandasi dengan sikap-sikap kejujuran, keadilan,
3
menyayangi sesama dan kehidupan yang berjuang untuk mencapai segala sesuatu dengan tetap
mengedepankan norma dan etika.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan tokoh dan penokohan Bratasena serta sikap
batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena yang terdapat dalam cerita pewayangan seri
Mahabarata berjudul “Bale Sigala-gala”.
Dari cerita pewayang Bale Sigala-gala ini dapat diambil suatu inti sari di dalamnya yaitu
tokoh utama yang menonjol dan menjadi pelindung Pandhawa dan sasaran utama Kurawa adalah
keluarga Pandhawa. Cerita ini pula mempunyai suatu penggambaran mengenai sikap batin
masyarakat Jawa yang ingin di sampaikan yang secara tidak langsung merupakan gambaran
kehidupan yang selaras dalam lingkup masyarakat Jawa. tokoh Bratasena adalah tokoh yang
sangat terkenal dalam pandangan dan kebudayaan Jawa. Bratasena merupakan simbol kekuatan,
kejujuran dan seorang ksatria masyarakat Jawa.
Penulis memilih topik penelitian sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena
dalam cerita atau lakon pewayangan Bale Sigala-gala karena tokoh Bratasena memiliki sifat dan
tindakan untuk memperjuangkan, melindungi dan melawan kelicikan dari Kurawa yang
menginginkan keluarga Pandhawa tidak mendapatkan Hak dari sebuah wilayah dengan cara
membunuh keluarga Pandhawa di suatu pesanggrahan. Dia mempertaruhkan jiwa raganya
berkali-kali untuk mempertahankan dan senantiasa melindungi keluarga Pandhawa dari niat jahat
Kurawa. Apa yang dilakukan Bratasena dalam hal ini selalu identik dengan sifat dan wataknya
yang menggambarkan sebuah sikap yang patut untuk diterapkan dalam kehidupan. Hal inilah
yang menarik perhatian penulis untuk menelaah lebih lanjut. Disamping itu penelitian ini
mencoba untuk memaparkan bahwa cerita pewayangan memiliki suatu pesan yaitu bagaimana
sikap batin dalam masyarakat Jawa yang digambarkan dalam sebuah cerita wayang kulit. Dari
4
sebuah cerita wayang kulit Bale Sigala-gala ini dapat terlihat peran pewayangan yang bukan
hanya dijadikan bukan hanya sebagai tontonan dan bacaan tapi juga sebagai suatu tuntunan.
Dalam penelitian ini, penulis akan mempergunakan pendekatan sosiologi. Pendekatan ini
bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989:
46). Oleh karena itu, teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra. Cerita ini memiliki
sebuah isi yang menyangkut kehidupan sosial.
Di dalam menganalisis cerita atau lakon pewayangan Bale Sigala-gala ini, juga tidak
meninggalkan analisis struktural khususnya mengenai tokoh dan penokohan yang lebih
ditekankan pada tokoh Bratasena.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-
gala karya Ki Narya Carita?
1.2.2 Apa sajakah sikap batin masyarakat Jawa yang ingin di sampaikan melalui tokoh
Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Bratasena dalam cerita pewayangan Bale
Sigala-gala.
1.3.2 Mendeskripsikan sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena yang terdapat
dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala.
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dari segi praktis, penulisan ini bermanfaat untuk mengenalkan kebudayaan
wayang dan mencintai kebudayaan wayang
1.4.2. Dalam bidang sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kritik
sastra, khususnya bidang sosiologi sastra.
1.4.3. Dalam bidang sosiologi, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai sikap
batin masyarakat Jawa yang ingin di sampaikan dalam cerita atau lakon wayang
khususnya cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai tokoh dalam cerita pewayangan telah banyak dilakukan. Salah satunya
adalah sebuah skripsi yang berjudul Kontruksi Sosial Nilai Psikologi Punakawan Semar Pada
Masyarakat Jawa yang disusun oleh Aeiny Nur Anisah pada tahun 2008. Skripsi tersebut ingin
mengungkap kontruksi sosial nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam punakawan Semar
pada masyarakat Jawa.
Skripsi tersebut digunakan penulis sebagai referensi dalam penyusunan skripsi yang
berjudul Sikap Batin Masyarakat Jawa Melalui Tokoh Bratasena dalam cerita pewayangan Bale
Sigala-gala karya Ki Narya Carita.
Penulis sejauh ini belum menemukan sebuah penelitian yang menyangkut sikap batin
masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki
Narya Carita.
6
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Teori Struktural
Menurut Hawkes dalam Nurgiyantoro (2002:37) strukturalisme pada dasarnya dipandang
sebagai cara berpikir tentang dunia kesastraan yang lebih merupakan susunan hubungan daripada
susunan benda. Dengan demikian, setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai
makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di
dalamnya.
Analisis struktural untuk bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetil dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya
sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Nurgiyantoro, 2002:37). Pendapat
Sudjiman mengatakan bahwa antara tokoh, alur, latar dan tema itu saling kait mengait. Unsur-
unsur itu tidak bias berdiri sendiri, ada interaksi antara unsur-unsur itu (Sudjiman, 1988 : 40).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam analisis sosiologi sastra tetap tidak dapat
dipisahkan dari analisis struktural karena pada hakikatnya karya sastra adalah sebuah struktur
yang bermakna. Dalam penelitian ini, diarahkan pada analisis teks itu sendiri. Di dalam teks-teks
ini terdapat unsur berupa tokoh dan penokohan. Analisis struktural di pakai untuk menganalisis
tokoh dalam cerita pewayangan ini, kemudian dapat digunakan untuk menjabarkan nilai-nilai
moral dari tokoh tersebut dan isi cerita secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori struktural yang dikemukakan oleh
Nurgiyantoro dan teori yang dikemukakan Sudjiman sebagai pendukung.
7
1.6.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Menurut
Abrams (dalam Nurgiyantoro 2002:165) tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang
mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Menurut Nurgiyantoro (2002:176) berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya, tokoh
terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaanya dalam novel/cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan
kejadiannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan
dengan tokoh utama secara langsung. Tokoh utama dapat saja hadir dalam setiap kejadian dan
dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, tetapi tokoh utama juga bisa
tidak muncul dalam setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun
ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan tokoh
utama.
Tokoh utama dalam sebuah cerita, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar
keutamaannya tidak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya
penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Penentuan tokoh
utama dalam sebuah cerita dapat dilakukan dengan cara yaitu tokoh itu yang paling terlibat
dengan makna atau tema, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, tokoh
itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
8
Pembaca dapat menentukan tokoh utama dengan jalan melihat keseringan
pemunculannya dalam suatu cerita. Selain lewat memahami peranan dan keseringan
pemunculannya, dalam menentukan tokoh utama dapat juga melalui
petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya.Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2002:165)
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang
membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang
disebut penokohan.
Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan berhubungan dengan cara
pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh tersebut,
sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa penokohan adalah
penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita baik lahirnya maupun batinnya oleh
seorang pengarang. Tokoh
Menurut Nurgiyantoro (2002:194 –210) ada dua penggambaran perwatakan dalam prosa
fiksi yaitu sebagai berikut:
1. Secara eksplositori
Teknik eksplositori sering juga disebut sebagai teknik analitis, yaitu pelukisan tokoh cerita
dilakukan dengan memberikan diskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita
hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan
begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat watak,
tingkah laku atau bahkan ciri fisiknya.
9
2. Secara dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tidak langsung. Artinya,
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.
Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui
berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat
tindakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang penokohan yang terdapat dalam cerita
atau lakon pewayangan Bale Sigala-gala. Penulis meneliti tokoh Bratasena sebagai tokoh utama
yang kemudian akan diteliti secara sosiologi kaitannya dengan sikap batin masyarakat Jawa
melalui tokoh Bratasena dalam memperjuangkan, melindungi dan memperoleh keadilan keluarga
Pandawa dari sifat jahat Kurawa.
1.6.3 Sosiologi Sastra
Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa ahli
disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiaannya dengan
sosiosastra, pendekatan sosilogis, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1979:
2).
Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama, pendapat
yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka.
Sastra hanya berharga dalam hubungan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan
yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam
sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya. Kemudian dipergunakan
untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1979 : 2-3).
10
Peneliti akan menggunakan sosiologi menurut pengertian yang kedua sebagai acuan
penelitian ini, karena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita
berhubungan dengan aspek sosial yaitu mengenaisikap batin masyarakat Jawa. Peneliti
menggunakan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelahaan. Metode
yang digunakan dalam pendekatan sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi mengenai gejala social
yang ada di luar satra (Damono, 1979:2-3).
1.6.4 Sikap Batin Masyarakat Jawa
Menurut Magnis Suseno yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah
bahasa Jawa yang sebenarnya. Masyarakat Jawa dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat
yang mempunyai cara bersikap sopan satun, mengedepankan etika dan senantiasa berpewran
aktif dalam lingkup sosialnya.
Media wayang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Cerita wayang digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu hal melalui isi cerita dan
tokoh-tokoh didalamnya yang berhubungan cara bersikap, baik buruk dan berbagai masalah
kehidupan. Pada cerita wayang, dalam tindakan dan nasib masing-masing tokoh pewayangan,
orang Jawa dapat memahami makna kehidupan (Suseno, 1985:160).
Magnis Suseno (1985:139) mengemukakan sikap batin adalah suatu sikap dimana manusia
dapat mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Nafsu adalah perasaan-perasaan
kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia membelenggu secara buta pada dunia lahir.
Sedangakn pamrih adalah mengusahakan kepentingan diri sendiri (individual) saja dengan tidak
11
menghiraukan kepentingan-kepentingan orang lain (masyarakat). Dalm hal ini nafsu dan pamrih
tersebut dapat mengancam sikap batin dalm diri manusia.
Selain dari keseluruhan cerita, nilai-nilai moral tercermin dari sifat dan watak Bratasena
menurut Marwanto dan Moehanto (1996:28) yaitu, (a) berhati teguh, (b) waspada, (c) berlaku
adil, (d) jujur, (e) mempunyai karakter keras tetapi berbudi luhur, (f) seorang yang berwatak
ksatria, (g) melaksanakan kewajiban sebagai pelindung. Dari sifat dan watak Bratasena
mempunyai keterkaitan dengan sikap batin masyarakat Jawa.
Menurut Magnis Suseno, sikap batin yang tepat dalam etika Jawa terdiri dari:
(a) Sikap berbudi luhur yakni, mempuyai perasaan tepat bagaimana cara bersikap terhadap orang
lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan dan dikatakan (Suseno, 1985:144).
(b) Sikap jujur yakni mempunyai sifat dapat mengandalkan janjinya, menepati janjinya dan juga
dapat bersikap adil (Suseno,1985:144)
(c) Sikap Nrima yakni ketika orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitanpun beraksi
secara rasional dengan tidak ambruk, dan juga tidak menetang secara percuma, yang menuntut
kekuatan-kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri
dihancurkan olehnya (Suseno,1985:142)
(d) Sikap Rila adalah kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak
milik, kemampuan-kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri apabila itu menjadi tanggung jawab
atau nasib adalah sikap rila (Suseno, 1985:143-144).
(e) Sikap Ikhlas berarti bersedia, sikap itu memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas
(Suseno,1985:143).
12
Sikap-sikap tersebut memiliki keterkaitan khususnya dengan sikap batin dari Bratasena dan
keseluruhan dalam isi cerita pewayangan ini.
Dalam penelitian ini, pengertian sikap batin khususnya dalam masyarakat jawa adalah
suatu sikap batin yang dilakukan untuk mensikapi suatu hal menggunakan hati nurani dan
mengedepankan etika atau norma-norma yang berlaku untuk mengalahkan nafsu dan pamrih
dalam kehidupan sehari-hari. Penulis akan menggunakan teori tersebut untuk meneliti sikap batin
masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena yang terdapat dalam cerita pewayangan Bale Sigala-
gala ini. Dalam serat pedalangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita dipahami kaitannya
dengan masyarakat Jawa. Karena wayang adalah suatu gambaran kehidupan yang makna dan
segala sesuatu didalamnya bagi masyarakat Jawa adalah sesuatu yang penting, sebuah simbol
duniawi yang mempunyai nilai-nilai moral (Ra’uf, 2010:30).
Sikap batin dalam masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena, juga isi cerita secara
keseluruhan erat kaitannya dengan siakap-sikap yang dianut masyarakat Jawa. Dalam usahanya
Bratasena ingin melindungi dan memperjuangkan apa yang manjadi hak keluarga Pandawa dari
tindak kesewenang-wenangan dan kelicikan Kurawa. Tokoh Bratasena tetap menjalankan semua
sesuai dengan etika dalam besikap selayaknya seorang laki-laki ksatria yang tetap menjunjung
tinggi harkat dan martabat serta kepribadian keluarga Pandawa.
13
1.7 Metode Penelitian
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan
tokoh dan penokohan dari Bratasena dan sikap batin masyarakat Jawa yang ingin di sampaikan
dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita.
Pendekatan yang digunakan dalm penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Diawali
dengan analisis struktural yaitu mengenai tokoh dan penokohan dalam cerita pewayangan ini
seteliti dan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek analisis dan aspek karya
sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Hasil analisis struktural mengenai
tokoh dan penokohan Bratasena, tokoh-tokoh pendukung digunakan sebagai dasar untuk
mengalisis sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena yang ingin disampaikan dalam
cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode analisis dan metode
deskripsi.Metode Deskripsi adalah metode yang menjelaskan sebuah data atau objek secara
natural, objektif, dan faktual atau apa adanya, Metode analisis adalah cara-cara khas tertentu
yang di tempuh peneti untuk memahami problematik satuan kebahasan yang diangkat sebagai
objek penelitian (Sudaryanto, 1994:57). Metode analisis digunakan untuk menganalisis tokoh
dan penokohan selanjutnya penulis menentukan ada keterkaitan tokoh Bratasena dan tokoh-
tokoh pendukung untuk menentukan sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena yang
terdapat dalam cerita pewayangan ini. Teknik yang digunakan adalah teknik simak dan teknik
catat. Teknik simak adalah penjaringan data yang dilakukan dengan menyimak objek data dan
teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan (Sudaryanto,
1994:60). Teknik catat dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan
14
mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut
dari teknik simak.
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, landasan teori, metode penelitian, sistematika penyajian dan sumber data. Bab dua
merupakan analisis tokoh dan penokohan dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki
Narya Carita. Bab tiga merupakan analisis tentang sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh
Bratasena dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karaya Ki Narya Carita. Bab empat
merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
15
1.9 Sumber Data
Judul : Bale Sigala-gala
Pengarang : Ki Narya Carita
Penerbit : CV. Cendrawasih
Tebal : x + 150
Tahun : 1993
Data pendukung diambil oleh penulis dari berbagai artikel, melalui internet dan wawancara
langsung dengan beberapa dalang.
16
BAB II
UNSUR STRUKTUR CERITA TOKOH DAN PENOKOHAN
CERITA PEWAYANGAN BALE SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CARITA
Pembahasan mengenai tokoh dan penokohan dalam penelitian ini meliputi tokoh utama
Bratasena dan juga beberapa tokoh-tokoh lain yang mendukung jalannya isi cerita. Pada
unsur tokoh, yang diteliti adalah tokoh utama Bratasena. Penentuan tokoh tersebut
didasarkan pada frekuensi kemunculan tokoh dan intensitas keterlibatan tokoh dalam
membangun cerita.adapun tokoh tambahan adalah Prabu Dhastharasta, Yamawidura, Dewi
Kunthi, Raden Puntadewa, Prabu Anom Kurupati, Patih Sengkuni, dan Purocana. Tokoh-
tokoh tersebut mendukung jalan cerita dan juga mengembangkan peran dari tokoh utama
dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita.
2.1 Bratasena
Pada penokohan ini, penulis akan meneliti tentang tokoh utama Bratasena dan tokoh-
tokoh tambahan. Kejujuran yang tak tergoyahkan, kesetiannya, ketabahannya, dan
keahliannya berperang membuatnya menjadi salah seorang dari tokoh-tokoh yang paling
dikagumi dalam wayang (Usman,2010:26). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang
jelas tentang seseorang yang ditampilan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiantoro,
2002:165). Penokohan juga erat kaitannya dengan perwatakan dan sifat tokoh. Dalam
bagian ini, penulis akan meneliti tentang tokoh dan penokohan Bratasena dan tokoh-tokoh
tambahan yang terdapat dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala. Bratasena merupakan
17
putra kedua dari Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi Talibrata. Tokoh Bratasena
digambarkan sebagai sosok yang bertubuh kekar dan gagah. Dalam kutipan (1) berikut
digambarkan sosok Bratasena secara eksiplostori
(1) Raden Bratasena ya sang Gandawastratmaja. Salira gung aluhur pangawak prabata, balungan sentosa, polatan tajem hagemu weweka (hlm.44).
Tejemahan: Raden Bratasena memiliki sebutan Gandawastratmaja. Seorang memiliki
sifat luhur, mempunyai tubuh yang kuat, pemikiran tajam terhadap berbagai hal.
Bratasena sosok yang sangat menghormati Ibunya dan senantiasa patuh terhadap apa
yang diperintakah oleh Dewi Kunthi. Disamping itu, Ia juga senantiasa bertanggung jawab
sebagai pelindung Pandhawa. Dibalik sifatnya yang luhur, Bratasena tidak bisa berbahasa
Jawa krama, tetapi selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko. Hal tersebut dilakukan terhadap
ibunya ataupun saudara-saudaranya yang lebih tua. Dalam tradisi masyrakat Jawa
penggunaan bahasa Jawa krama digunakan terhadap orangtua, juga orang-orang yang lebih
tua dan orang-orang yang dihormati. Dalam kutipan (2) secara dramatik diperlihatkan
bagaimana Bratasena dengan ibu Kunthi berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa
ngoko.
(2) Hiiiiiii….Babu Kunthi, teka gawe kaget ana wigati apa, mara enggal dawuha (hlm.89).
Terjemahan: hiiiiii….Ibu Kunthi, kedatanganmu membuat aku terkejut, ada masalah
apa, aku menunggu perintahmu.
kutipan (2) diatas adalah kebiasaan Bratasena dalam aktivitas berkomunikasi dengan
Dewi Kunthi. Bratasena menggunakan bahasa Jawa krama inggil pada saat bertemu dengan
tokoh Dewa Ruci. Dewa Ruci dipercayai sebagai lambang hati nurani Bratasena, hati adalah
18
tempat dimana para dewa berada. Hal ini menunjukkan sifat Bratasena yang memiliki
keteguhan hati.
Demikan pula dalam hal berpikir, Bratasena memiliki pemikiran yang tajam dalam
melihat sesuatu hal. Menimbang dan selalu memikirkan segala kemungkinan untuk
mengambil suatu keputusan pengalaman yang telah terjadi sebagai cerminnya.
karena Bratasena selalu berkaca kebelakang agar terhindar dari tindakan ceroboh yang dapat
menyebabkan kesengsaraan. Kutipan (3) dibawah ini menunjukkan secara dramatik
bagaimana kedewasaan pemikiran, sikap bijak Bratsena dalam menyikapi undangan dari
Prabu Destharasta dan para kurawa.
(3) Kudu ngelingi tembung weyaning tindak dadi margining kasangsaran, pratitis tindak anjog margining kamulyan, mangkono lelakon kang uwis-uwis iku kalebu pawulang (hlm. 51).
Terjemahan: harus ingat suatu perkataan bahwa tindakan yang ceroboh akan
menyebabkan kesengsaran, tindakan yang penuh dengan pemikiran yang jernih akan
menyebabkan kebahagian, seperti kejadian yang sudah-sudah itu merupakan suatu
pelajaran.
Bagi Bratasena, kewaspadaan itu perlu senantiasa diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Hal tersebut untuk menghidari kejadian-kejadian buruk yang kemungkinan dapat
terjadi. Dalam percakapan Bratasena dan Prabu anom Kurupati, sikap waspada itu selalu di
kedepankan. Walaupun sebagian orang telah mempercayai omongan Prabu Anom Kurupati
namun tidak dengan Bratasena. Ia selalu menyelidiki di balik sikap baik yang ditunjukkan
Kurawa. Perkataan dan sikap baik belum tentu menjamin seseoarang berbuat baik. Menurut
Bratasena ucapan itu terkadang tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Ucapan dan
perkataan itu harus sejalan agar tidak terjadi kebohongan yang merugikan. Dalam Kutipan
19
(4) secara dramatik Bratasena selalu mewaspadai dan tidak mudah percaya kepada niat baik
Prabu Anom Kurupatiyang menyampaikan keikhlasan keluarga Kurawa terhadap rencana
pembagian kerajaan Hastina
(4) Hi..hi..hi..Kurupati kakangku, yen panemuku janji ucape kakang Kurupati tulus lan batine, dak kira saya santosa Negara Astina. Nanging kosok baline menawa ora tulus ucape kakang Kurupati, dak kira malah dadi jalaran rusake dalan barata (hlm. 79).
Terjemahan: Hi…hi…hi…kakakku Kurupati, menurutku jika perkataan Kakak
Kurupati tulus dari dalam hati, aku kira semakin jaya Negara Hastina. Tetapi
sebaliknya bila tidak tulus dari dalam hati akan menjadi jalan bagi kerusakan hidup
manusia.
Kehidupan yang menuju kebaikan dan kehidupan yang menuju suatu kerusakan
tergantung pada tutur kata, perilaku dan sikap dari seseorang untuk itulah sikap kewaspadaan
dan juga kejujuran selalu dijadikan Bratasena dalam menjalani hidup.
Dari sikap yang baik yang diperlihatkan oleh Prabu Anom Kurupati hanya kebohongan. Para
Kurawa menginginkan Pandhawa sirna sehingga pembagian wilayah Hastina urung
dilakukan. Niat licik itu tergambar jelas setelah keluarga tiba di pesanggrahan yang di buat
para Kurawa. Arsitek Purocana sebagai pengatur mulai pembuatan pesanggrahan sampai
dengan perjamuan makan yang didalam makanan tersebut dicampur dengan obat tidur.
Rencana Kurawa Dan Purocana kemudian membakar pesanggrahan. Dari rencana tersebut
seakan-akan Pandhawa mati karena kebakaran. Bratasena juga memilki sifat kasih, hal
tersebut terggambar ketika dai mendukung niat ibunya menolong seorang janda yang
kelaparan seperti terdapat dalam kutipan (5) secara dramatik berikut ini
(5) Babu Kunthi ora perlu kejeron panampa, babu mau mung welas lan tetulung, ora darbe cipta nedya sikara, pangrasaku ibu ora luput (Hlm.90)
20
Terjemahan: Ibu Kunthi tidak perlu berpikiran terlalu jauh, ibu tadi mempunyai niat
baik untuk menolong dan tidak mempunyai niat jahat, menurutku ibu tidak salah
Dalam Kutipan Di atas tergambar bagaiman sikap Bratasena yang tidak menyalahkan
ibunya karena menolong seorang janda, walaupun hal tersebut tidak diperkenankan oleh para
penguasa Hastina. Menurut Bratasena menolong sesama bertujuan baik walaupun keadaan
bahaya mengancam dan hal ini selalu dianggap benar oleh Bratasena
Kewaspadaan dari Bratasena dan Dewi kunthi ternyata senantiasa ada. Hal tersebut
ditunjukkan ketika saudara-saudara Bratasena, Punakawan dan seorang janda beserta anak-
anaknya tertidur pulas, Bratasena dan Dewi kunti tidak tertidur tetapi selalu berdoa. Dewi
kunthi segera menyuruh Bratasena untuk segera menyelematakan saudara-saudaranya ,
punakawan dan orang-orang disekitar pesanggrahan tersebut. Naluri dan rasa tanggung
jawab Bratasena tergugah, kemudian Ia berusaha menyelamatkan keluarga Pandhawa dari
amukan api. Sikap melindungi dari Bratasena itu ditunjukan secara dramatik pada kutipan
(6) berikut ini
(6) Dene kakang Punta Bakal dak singitake anan ing kancing gelung, Permadi lan Kembar bakal dak bundeli ono ing dodotku, dimen lestari sing pada turu (hlm. 90)
Terjemahan: dan kakak Punta akan ku sembunyikan dalam kancing rambutku,
Permadi dan Kembar akan aku ku ikat di perutku, supaya tidurya tetap aman.
Tokoh Bratasena adalah seorang yang mempunyai kepribadian yang luhur. Dari
Kutipan-kutipan diatas penulis menyimpulkan sifat-sifat Bratasena yaitu: berbudi luhur
berhati teguh, waspada, berlaku adil, jujur, mempunyai karakter keras tetapi berbudi luhur,
seorang yang berwatak ksatria, melaksanakan kewajiban sebagai pelindung.
21
2.2 Dewi Kunthi
Dewi Kunthi Talibrata adalah ibu dari putra-putra Pandhawa yaitu Raden Puntadewa,
Raden Bratasena dan Raden Arjuna. Selain itu Dewi Kunthi juga mengasuh dua putra
kembar bernama Nakula dan Sadewa yang merupakan anak dari adiknya. Dewi Kunthi
adalah sosok istri yang setia pada suaminya Prabu Pandhu Dewanata. Sepeninggal Prabu
Pandu, Ia mengasuh kelima putranya Pandhawa Lima di kadipaten Gajah Oya. Pengorbanan
dan perjuangan Dewi Kunthi dalam mendewasakan putra-putranya dapat dijadikan suri
tauladan yang baik. Ia merupakan seorang ibu yang ideal dan patut diteladani, sehingga para
Pandhawa mempunyai kesetiaan yang sangat besar kepada ibunya. Berkat kejujuran,
kesabaran dan keluhuran budi Dewi Kunthi, keluarga Pandhawa dapat terlepas dari tindakan
jahat para Kurawa.
Dalam berbagai masalah Dewi Kunthi selalu mengikutsertakan pemikiran dan
pertimbangan anak-anaknya untuk memutusakn suatu hal. Disaat Yamawidura
menyampaikan keinginan dari Prabu Destharasta dalm hal pembagian kerajaan Astina
kepada keluarga Pandhawa, Dewi Kunthi tetap meminta pertimbangan dari kelima putranya.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (7) yang ditunjukkan dengan teknik dramatik berikut ini
(7) Yayi banget panarimaning atiku, dene kakang Destharasta banget anggon welas marang aku dalah anak-anakku kabeh, mung bae aku bakal tetimbangan karo anak-anakku kabeh (hlm.51)
Terjemahan: Adikku hatiku menerima dengan baik, jikalu kakak Destharasta begitu
sangat mengasihi aku dan anak-anakku semua, akan tetapi aku ingin meminta
pertimbangan anak-anakku semua.
Sebagai seorang ibu, Dewi Kunthi selalu memerikan pengetahuan dan ajaran-ajaran
tentang menghormati, mematuhi dan sopan santun terhadap kepada perintah dari sang raja
22
Hastina pura dan juga orang yang lebih tua karena semua itu adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan. Kutipan (8) menunjukkan hal tersebut secara dramatik
(8)Dhuh anakku dak rasa kuwi bener ature kakangmu Puntadewa, pamundutku aja pisan wani nglerwakake dhawuhe kangwa, kakang Prabu Destharasta marga iku makili wong tua nira (hlm.53)
Terjemahan: Anakku aku rasa apa yang menjadi perkataan kakakmu Puntadewa itu
benar, permintaanku jangan meremehkan perintah Pamanmu, kakak Prabu Destharasta
sebab, sebagai wakil orang tuamu
Dewi Kunthi adalah sosok keibuan yang penuh kesabaran dan tidak memiliki sifat
pendendam termasuk kepada Kurawa walaupun beberapa kali Kurawa berusaha membuat
celaka dan ingin menyingkirkan keluarga Pandhawa. Saat bertemu dengan Prabu Anom
Kurupati, patih Sengkuni dan para kurawa yang lain, Kunthi dan anak-anaknya tetap
menerima dengan penuh maaf tanpa mengigat-ingat perbuatan yang pernah dilakukan para
Kurawa. Hal tersebut ditunjukan pada kutipan (9) berikut
(9) Anakku Sang Prabu Anom, apa dene yayi Patih Sengkuni, aja banget nelangsa Atimu, anggetuni lelakon kang wus kepungkur, yektine tanpa guna wong nyatane
anak-anakku Pandhawa iseh padha rahayu (hlm 79) Terjemahan: Anakku Sang Prabu Anom Kurupati, dan juga Patih Sengkuni, jangan
terlalu sedih hatimu, menyesali apa yang sudah terjadi dalam waktu yang lalu, tak ada
gunanya kenyataannya anak-anakku Pandhawa masih selamat
Dalam pesta dipesanggrahan Warana Wata Dewi kunthi melihat janda beserta kelima
anaknya terlihat kelaparan. Perasaan welas asihnya menggelora, Ia segera memanggil janda
itu dan menyuruh anak-anaknya untuk menyisihkan makanan yang akan diberikan kepada
janda dan anak-anaknya tersebut. Kunthi juga bertanggungjawab apabila hal tersebut akan
membuat Prabu Anom Kurupati marah. Karena bagi Kunthi menolong sesama itu tidak
23
melanggar aturan dan hal tersebut meupakan kewajiban dalm kehidupan. Secara dranatik hal
tersebut ditujukkan dalam Kutipan (10) berikut
(10)Purocana, timbalana, yen ana dukane anak Prabu Anom dimen aku sing didukani. Utawa kowe Puntadewa lan adhi-adhimu dalasan para Punakawan, rehning leladi bujana wes cumawis, enggal rahabana sesugguhane kang Prabu Anom Kurupati. Mung bae kang separo sisihna, mbok menawa wong nishada lan anak-anakke padha keluwen (hlm.82)
Terjemahan: Purocana, panggil kesini, kalau anak Prabu Anom Kurupati Marah biar
aku yang bertanggung jawab. Atau kamu Puntadewa dan adik-adikmu juga para
Punakawan, karena perjamuan makan sudah siap, cepatlah menikmati makanan dan
minumanan yang telah di persiapkan Prabu Anom Kurupati. Hanya saja sisakan yang
sebagian, kalau saja janda dan anak- anaknya lapar.
Dari kutipan dan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Dewi
Kunthitalibrata merupakan sosok ibu yang bijaksana yang memiliki sifat setia, menyayangi
anak-anaknya, tidak pendendam, patuh, menjunjung tinggi aturan dan kesopanan serta suka
menolong sesama tanpa memandang itu siapa.
2.3 Yamawidura
Yamawidura adalah sosok yang bijak, dia merupakan adik Dewi Kunthi. Bersama-
sama keluarga Pandhawa berjuangg memperoleh keadilan atas negeri Hastina. Saat
Yamawidura hadir dalam pertemuan bersama Prabu Destharasta dan para Kurawa, berbagai
masukan dan keadaan keluarga Pandhawa dia laporkan kepada sang raja.
Setelah mendengarkan laporan dari Yamawidura dan Begawan Durna mengenai hasil
ujian yang dilakukan terhadap anak-anak Kurawa dan Pandhawa, Prabu Destharasta
memerintahkan Yamawidura untuk memberitahukan bahwa kerajaan Hastina akan dibagi
menjadi dua dan Prabu Destharasta akan melaksakan wisuda kepada Pandhawa. Sebagi
24
seorang yang mempunyai sikap kepatuhan dan selalu menghormati ap yang menjadi perintah
sang raja, Yamawidura siap melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepadanya seperti
tergambar dalam kutipan (11) secara dramatik berikut ini
(11)Dhuh kakang prabu kadang kulo sepuh, mapan punika ingkang dados pangajeng-ajeng manah kula, mila lajeng kadhawuhana ayahan punapa ingkang kedah kula lampahi, senadyan awrata dikados punapa, temtu badhe kula lampahi kanthi sukaning manah, mboten pisan-pisan badhe suwala (Hlm.10)
Terjemahan: aduh kakak prabu saudara tua saya, inilah yang menjadi harapan saya,
maka dari itu segera perintahkan hal apa yang harus aku laksanakan, walaupun berat,
akan aku laksanakan dengan senang hati, tidak sekali-kali aku akan menolaknya
Dalam kutipan (11) diatas menunjukkan bahwa Yamawidura siap melaksanakan
dengan senang hati apa yang menjadi perintah Prabu Destharasta. Sebagai seorang adipati
perintah seorang raja suatu hal yang menjdi kewajibannya untuk melaksanakan dengan
tanggungjawab dan sepenuh hati. Walaupun berat perintah tersebut baginya merupakan
amanah yang tidak boleh ditolak.
Yamawidura memiliki pemikiran yang tenang dan jernih dalam menyikapi suatu hal.
Ketika Puntadewa dan Bratasena mengungkapkan pendapatnya yang berbeda mengenai
rencana pembagian Negara Hastina kepada Kurawa dan Pandhawa, dia tidak memijhak
kepada salah satu pihak, tetapi dengan bijak memaparkan tentang makna dari pemikiran
Puntadewa dan Bratasena seperti terdapat dalam kutipan (12) berikut secara dramatik
(12)Mengko ta anak-anakku para Pandhawa, bareng aku midhangetke aturi Bratasena lan Puntadewa, loro-lorone padha benere, benere Bratasena bab kaprayitnan, dene benere Puntadewa ing reh kautaman, lan rumangsa kawulaning negara mung kudhu tansah manut dhawuhe sang natal an aja darbe rasa sumelang, marga wong kang tumindak adhedhasar welas asih iku prasasat pager wesi, sesaka waja pamor, senadyan dikaya ngapa Kurawa anggone bakal sikara nanging pasthi bakal oara utama, marga anak-anakku para Pandhawa padha dipayungi kautaman adedhasar welas asih. Dene para Kurawa kang hambeg hangkara ya bakal
25
ngundhuh wohing panggawene, teka titi mangsa tumiban ing karmapala pasthi bakal rusak kang tinemu. (Hlm.53)
Terjemahan: Nanti dulu anak-anakku Pandhawa, setelah aku mendengarkan apa yang
dikatakan Bratasena dan Puntadewa, dua-duanya ada benarnya, benarnya Bratasena
mengenai kewaspadaan, dan benarnya Puntadewa mengenai kebaikan dan merasa
sebagai abdi Negara harus melaksanakan apa yang menjadi perintah raja dan jangan
punya rasa khawatir, sebab orang yang bertindak luhur berdasarkan kasih, itu bagaikan
pagar besi dari baja yang kuat, walaupun seperti apa Kurawa akan berbuat jahat pasti
hasilnya tidak akan baik, sebab anak-anakku Pandhawa dilandasi kebaikan
berdasarkan kasih sayang. Sedangkan para Kurawa yang mempunyai sifat jahat ya
akan menuai apa yang telah diperbuat, samapai pada saatnya karma yang akan terjadi
membawa kerusakan.
Kutipan (12) tersebut menjelaskan sikap bijaksana dari Yamawidara untuk tidak
memihak dan menyalahkan pemikiran Bratasena maupun Puntadewa. Karena menurutnya
dua pemikiran tersebut mengajarkan akan kewaspadaan, kebaikan dan sebagai rakyat harus
patuh kepada apa yang menjadi perintah sang raja. Yamwidura juga mengajarkan bahwa
suatu kebaikan tidak akan terkalahkan oleh kejahatan, pada saatnya siapa yang menanam
baik atau buruk akan menuainya .
Dari hasil uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Yamawidura memilki sifat
bijaksana, patuh terhadap perintah pemimpinnya, berkepribadian baik, selalu berpikir positif
dan bersikap adil atau tidak memihak.
26
.2.4 Raden Puntadewa
Raden Puntadewa adalah anak pertama kelima bersaudara putra dari Prabu
Pandudewanata dan Dewi kunthi Talibrata. Ia adalah seorang kesatria yang berhati sabar,
selalu menggalang kerukunan dan persatuan serta senantiasa berupaya untuk tidak
bermusuhan dengan siapapun. Dalam cerita pewayangan ini Raden Puntadewa senantiasa
menyikapi segala keadaan dengan sabar dan bijak. Dalam kutipan (13) tergambar
bagaimana pikiran bijak Raden Puntadewa terhadap adik-adiknya dalam menghadapi
tingkah laku para Kurawa
(13)Duh kanjeng ibu, apadene kadang-kadangku kabeh padha midhangetna pangandikaning pun kakang, rehning aku sekadang padha percaya karmapala, apa gunane demen ngrasani alaning liyan, ing batin darbe rasa serik, bakal nandukake piwales, mangka para kawula ngastina pada nglingga murda kautamaning tidakmu, anggonmu darbe rasa welas asih marang sepadha, nanging kasunyatanne wewatekanmu mau ora adoh saka Patih Sengkuni lan para Kurawa manawa nyata satriya utama adhedasar welas asih, pasthi ora darbe rasa memungsuhan karo Kurawa, malah kepara welas marang tumindaking para Kurawa kalamun wus tumibaning karmapala, lelakon apa kang bakal disandhang, dening Kurawa (Hlm 52)
Terjemahan: Ibu, dan juga saudara-saudaraku semua dengarkan perkataan kakakmu,
karena aku dan keluarga semua percaya adanya karma, apa gunanya membicrakan
kejelekan orang lain, dalam hati punya rasa iri, akan membawa pembalasan, sedangkan
rakyat Hastina melihat kebaikan tindaknmu, dirimu ynag punya rasa kasih terhadap
sesama, tetapi kenyataannya watakmu tadi tidak jauh dari Patih Sengkuni dan Kurawa
apabila seorang satria utama mempunyai jiwa kasih, pasti tidak punya rasa
bermusuhan dengan Kurawa, tetapi mempunyai rasa kasih pada Kurawa karena sudah
jatuh dalam karma, kejadian apa yang akan di terima oleh Kurawa
Dalam kutipan (13), menjelaskan suatu kepribadian Puntadewa yang senantiasa
mengedepankan kebersamaan dan kerukunan. Menurutnya dalam kehidupan menjelekan
27
orang lain, sikap iri hati akan membawa kehidupan menuju karma yang membawa
kesengsaraan. Puntadewa juga sangat mencintai keluarganya, ketika adiknya Bratasena ingin
dipinang oleh Betari Nagagini, dengan ikhlas dan senang hati dia merestuinyai, seperti
tergambar dalam kutipan (14) secara dramatik berikut ini
(14)yayi Sena kadange pun kakang, aturmu kang mengkono mau nuduhake anggonmu bekti marang kadang tuwa, sumurupa kang kena wilatan iku lamun ora entuk idin kadang tua, nanging lamun kadange tuwa wis ngideni kaya ora bakal kena wilatan (Hlm.115)
Terjemahan: Adikku Sena, perkataanmu yang seperti itu tadi memperlihatkan baktimu
kepada saudara tua, mengertilah yang mendapat keburukan itu bila tidak mendapatkan
ijin dari saudaramu tertua, tetapi apabila saudaramu tua telah mengijinkan tidak akan
mendapatkan keburukan.
Dari kutipan (14) menunjukkan bahwa Puntadewa mencintai dan menyayangi adik-
adiknya, hal tersebut terlihat ketika dengan penuh keikhlasan memberikan ijin dan merestui
pernikahan Bratasena dengan Nagagini, walaupun sebagai saudara tertua Pandhawa
Puntadewa belum menikah.
Dari kutipan diatas, penulis menyimpulkan sifat Raden Puntadewa adalah seorang
yang bijaksana, mencntai keluarga, sabar, tidak senang bermusuhan, tidak sombong,
senantiasa menjaga pikiran dari tindakan kotor dan suka menolong.
.
2.5 Prabu Dhastharasta
Prabu Destharasta adalah raja kerajaan Hastina Pura setelah Prabu Pandhu Dewanata.
Disebut Destharasta karena memiliki cacat fisik yaitu tidak dapat melihat atau buta dan
memiliki seratus anak yang kemudian bernama Kurawa. Walaupun memiliki cacat fisik, Ia
28
adalah seorang raja yang bijaksana, teramat memperhatikan kehidupan putra Kurawa, putra
Pandhawa dan rakyatnya. Bermula dari keinginan Prabu Destharasta untuk memberikan
pendidikan mental dan keahlian bela diri terhadap putra Kurawa dan Pandhawa yang diasuh
oleh Begawan Durna. Setelah selesai Destharasta ingin membangi wilayah Hastina menjadi
dua yaitu kepada Kurawa dan Pandhawa. Dalam kutipan (15) tergambar keinginan dan
perintah Prabu Destharasta untuk membagi wilayah Hastina
(15)Marma padha seksenana yayi Adipati, Begawan Durna, Yayi Patih Sengkuni, menawa ing besuk barengi purnamaning tanggal ing candra iki jeneng ingsun bakal maringake separoning praja Ngastina marang tanganing Pandhawa (hlm 17)
Terjemahan: Menjadi saksi adik Adipati, Begawan Durna, adik Patih Sengkuni, besuk
seiring datangnya bulan purnama terlihat di bulan ini Aku akan memberikansebagian
kerajaan Hastina kepada Pandhawa.
Dari perintah Prabu Destharasta tersebut menjadikan Putra Kurawa tidak senang.
Kemudian Patih Sengkuni dan Kurawa menyusun rencana jahat untuk menyingkirkan
Pandhawa. Dari kutipan di atas penulis menyimpulkan bahwa Prabu Destharasta memiliki
sifat jujur, adil dan bijaksana
.
2.6 Prabu Anom Kurupati
Prabu Anom Kurupati merupakan anak dari Prabu Destharasta dan Dewi Gendari.
Kurupati adalah anak pertama dari seratus saudara yang bernama Kurawa. Ia adalah seorang
pangeran Hastina yang licik, mudah terpengaruh oleh hasutan dari Patih Sengkuni dan patuh
pada perintahnya. Dalam kutipan (16) terlihat jelah bagaimana sikap Kurupati yang patuh
kepada Patih Sengkuni ketika menyusun rencna jahat terhadap Pandhawa.
(16)Paman , kula jumurung keparingipun Paman
29
Terjemahan: Paman aku ikut apa yang menjadi keinginan Paman
Dari kutipan (16) diatas menunjukkan bahwa Prabu Anom Kurupati selalu menuruti apa
yang menjadi keinginan dari Patih Sengkuni. Apa yang menjadi ide dan pemikiran Patih
Sengkuni selalu disetujui oleh Prabu Anom Kurupati. Sikap iri hati terhadap Pandhawa juga
terlihat dalam kutipan (17) berikut ini secara dramatic
(17)Paman Hariya, manawi raos kula sanget boten lila, menawi Pandhawa kaparingan kamukten, sampun malih sapalihing nagari, senadyan namung sepecak tetep kula mboten kekahi, namung badhe matur rama Prabu sanget ajrih kawula. Mila mangsa borong, jenagandika paman pasthi boten kekilapan anggen paduka nandukaken sandi upaya, mrih sirnaning Pandhawa (Hlm.24)
Terjemahan: Paman Hariya, kalau perasaanku sangat tidak rela, apabila Pandhawa
mendapatkan kebahagiaan, apalagi menerima sebagian Negara, walaupun hanya satu
langkah tidak saya ikhlaskan, tetapi aku takut berbicara dengan ayah prabu. Oleh
karena itu semuanya saya serahkan kepada paman pasti tidak akan lupa dalam
menyusun rencana, untuk kematian Pandhawa
Kutipan (17) diatas menjelaskan ketidakrelaan Prabu anom Kurupati apabila
memperoleh sebagian dari Negara Hastina, walaupun hanya satu langkah tidak akan
diikhlaskan. Dia menyerahkan perencanaan pembunuhan Pandhawa kepada Patih Sengkuni.
Dengan kematian Pandhawa Negara Hastina akan tetap utuh dalam kekuasaan Kurawa.
Dari uraian diatas di atas penulis menyimpulkan bahwa Prabu Anom Kurupati memiliki
sifat licik, iri hati, mudah kena hasutan dan haus akan kekuasaan.
30
2.7 Patih Sengkuni
Patih Sengkuni adalah seorang patih kerajaan Hastina Pura. Ia dalah adik dari istri
Prabu Destharasta, Dewi Gendari. Sengkuni teramat dekat dengan putra-putra Kurawa.
Apapun yang menjadi keinginan dan persoalan Kurawa, Ia selalu ikut campur di dalamnya.
Ia lihai dalm menyusun rencana licik dan para Kurawa pun patuh dalam perintahnya. Ketika
Prabu Destharasta memerintahkan untuk membagi Hastina kepada Pandhawa, rencana licik
disusun. Tujuannya agar Pandhawa celaka dan tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya.
Dalam kutipan (13) tergambar dengan jelah bagaimana Patih Sengkuni menyusun rencana
jahat terhadap Pandhawa.
(18)Angger sampun sumelang galih, tujunipun kula gadhah atur pamiwahaning Pandhawa, kula suwun manggen sajawininig kitha, kang sinuwun marengaken, punika kemawon saget kangge sarana murih sirnaning Pandhawa (hlm 24)
Terjemahan: Anakku jangan khawatir dalam hati, untungnya aku punya ide dalam
acara Pandhawa, Aku minta Kurawa berada di luar kota, Prabu memperbolehkan, ini
saja dapat jadi rencana dan jalan untuk menyingkirkan Padhawa.
Dalam kutipan (18) menjelaskan bahwa Patih Sengkuni mempunyai ide yang
cemerlang dalam menyusun rencana jahat terhadap Pandhawa. Sengkuni sangat cerdik
dalam hal strategi menyingkirkan Pandhawa, itulah sebabnya Prabu Anom Kurupati
mempercayai sepenuhnya mengenai berbagai rencana untuk kemakmuran Putra-putra
Kurawa. Untuk melaksanakan rencana tersebut Patih sengkuni menyerahkan kepada arsitek
istana yaitu Adipati Purocana seperti tergambar dalam secara dramatik dalam kutipan (19)
berikut
(19)Mangko ta Purocana, kaya wus trawaca nggonira midhangetake perkara iki, rehning aku kapatah akarya pasanggrahan ing warana wata, minangka palereman lan pamisudahaning Pandhawa, marma gaweya rekadaya tanduking sandi upaya supaya Pandhawa nganti tumapaking wisudhan wis teka pati, mengkono uga
31
budinen aja nganti mindho gawe, supaya babar pisan tekan pati, nanging lamun bisa aja nganti kawistara (Hlm.25)
Terjemahan: Begitulah Purocana, sudah terbaca jelas, bahwa kamu telah
mendengarkan tentang masalah ini, karena aku yang diperintahkan supaya membuat
pesanggrahan di waranawata, sebagai tempat peristirahatan dan wisuda Pandhawa,
maka buatlah suatu perencanaan yang tidak rapi supaya Pandhawa sebelum di wisuda
sudah mati. Buatlah dengan baik, jangan sampai berkali-kali, supaya cukup satu kali
saja langsung mati. Tetapi kalau bisa jangan sanpai ketahuan.
Kutipan (19) menunjukkan Patih Sengkuni menyusun rencana dengan Purocana utuk
membuat tempat peristirahatan dan tempat wisuda Pandhawa di Waranawata. Dalm hal ini
Patih Sengkuni menginginkan perencanaan serapi mungkin agar tidak diketahui oleh
siapapun. Dia juga mengingikan rencan tersebut sekaligus sebagai cara untuk membunuh
Pandhawa dan nantinya tidak terlacak mengenai unsure-unsur dari perencanaan pembunuhan
Pandhawa.
Dari kutipan diatas penulis menyimpulkan bahwa Patih Sengkuni memiliki sifat licik,
iri, dengki, suka berbohong dan senang menghasut.
2.8 Adipati Purocana
Purocana adalah seorang arsitek kerajaan Hastina. Ia handal dalam membuat berbagai
kreasi bangunan. Purocana patuh terhadap apa yang menjadi perintah Patih Sengkuni. Untuk
itulah dia diminta untuk menyusun rencana menyingkirkan Pandhawa.
(20)Dene kula gadhah cara mekaten. Anggen paduka andamel pasanggrahan pirantos miwah rerengganing pasanggrahan kadamela saking barang barang ingkang gampil murub. Menawi asmpun paripurna pandamelipun pasanggrahan, dashar sampun samekta kula ingkang sagah nyidra pejahipun Pandhawa.
32
Tejemahan: Dan Aku punya ide begini. Agar pasanggrahan di buat dari bahan-bahan
yang mudah terbakar. Apabila pasanggrahan telah jadi, Aku siap untuk membunuh
Pandhawa.
Dari kutipan di atas penulis menyimpilkan bahwa Purocana memiliki sifat cerdik, licik
dan patuh pada atasan.
Berdasarkan dari seluruhan uarian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa tokoh dan
penokohan dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala karya Ki Narya Carita adalah
Brastasena sebagai tokoh utama protagonist. Sedangkan tokoh antagonis yaitu Prabu Anom
Kurupati, Patih Sengkuni dan Purocana. Sebagai tokoh bawahan digambarkan Dewi Kunthi,
Puntadewa, Destharastra dan Yamawidura yan berfungsi mendukung keseluruhan
penceritaan.
Bratasena digambarkan memiliki peranan penting dalam membangun isi cerita.
Dimulai dengan pertemuan dengan Kurawa, konflik di pesanggrahan, keluarganya diselamat
oleh musang putih kemudian menikah dengan Nagagini sampai akhir cerita terbunuhnya
Prabu Baka. Tokoh Bratasena selalu tampi pada setiap adegan cerita. Hal ini membuktikan
bahwa tokoh Bratasena dengan menunjukkan sikap yang baik. Dari sikap- sikapnya tersebut
berperan dalam membangun tokoh dan penokohan dan isi cerita secara menyeluruh.
33
BAB III
ANALISIS SIKAP BATIN MELALUI TOKOH BRATASENA
DALAM CERITA PEWAYANGAN BALE SIGALA-GALA
KARYA KI NARYA CARITA
Dalam analisis nilai-nilai moral cerita pewayangan Bale Sigala-gala Karya Ki Narya
Carita, penelitian ini akan menitikberatkan pada sikap batin yang tepat, dimana sikap batin
tersebut dilakukan oleh tokoh Bratasena dalam memperjuangkan harkat, martabat,
melindungi keluarga Pandhawa dari kelicikan dan niat jahat Kurawa. Adapun sifat-sifat yang
tergambar dari tokoh Bratasena adalah berbudi luhur berhati teguh, waspada, berlaku adil,
jujur, mempunyai karakter keras tetapi berbudi luhur, seorang yang berwatak ksatria,
melaksanakan kewajiban sebagai pelindung. Bratasena menggambarkan keagungan badan
dan kelembutan hati, yang telah begitu tinggi dihargai oleh generasi-generasi Jawa dalam
arti memiliki sosok perkasa dan mempunyai sikap batin yang bijak (Usman, 2010:27).
Dengan mengetahui sifat-sifat dasar tersebut diharapkan penulis dapat menjabarkan
sikap batin masyarakat Jawa yang ingin disampaikan oleh tokoh Bratasena dan dari isi cerita
secra keseluruhan. Analisis ini dilakukan dengan cara menyejajarkan sifat-sifat tokoh
Bratasena dan juga isi cerita pewayangan ini berdasarkan sikap batin yang tepat yang
dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa dan didukung
oleh Syafaruddin-Usman dalam bukunya Wayang (Kepribadian Luhur Jawa). Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan lima sikap batin yang tepat dan mengkaitkan dengan
sifat-sifat tokoh Bratasena dan isi cerita pewayangan. Sikap tersebut meliputi: sikap berbudi
luhur, sikap jujur, sikap nrima, sikap rila dan sikap ikhlas. Dimana sikap-sikap tersebut dapat
33
34
memberikan pemahaman tentang nilai-nilai moral. Berikut ini peneliti akan memaprakan
sikap-sikap tokoh Bratasena berdasarkan lima sikap batin yang tepat menurut Magnis-
Suseno
3.1 Sikap Berbudi Luhur
Sikap berbudi luhur yakni, mempunyai perasaan tepat bagaimana cara bersikap
terhadap orang lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan dan dikatakan (Suseno,
1985:144).
Bratasena memiliki sifat selalu mempertimbangkan dan mewaspadai apa yang terjadi
dalam kehidupan yang dilaluinya bersama keluarga kejadian yang telah terjadi dijadikan
pegangan dalam mengambil sikap agar kejadian yang buruk tidak terulang lagi. Dalam
bertindak dan mengambil suatu sikap, dia selalu menjaga perkataan dan perilakunya, yakni
apakah sesuai dengan kenyataan atau tidak. Sifat tersebut tercermin dari sikap Bratasena
ketika Yamawidura menyampaikan perintah dari Prabu Destharasta mengenai hal
pembagian kerajaan Hastina menjadi dua bagian utuk Kurawa dan Pandhawa. Hal tersebut
tergambar secara dramatik dalam kutipan (21) berikut.
(21)Menawa wa Prabu Destharasta iku sejatine temen suci penggalihe lan jejeg adil, nanging ngelingana menawa wa Prabu iku cacat paningal, dene pangwasaning prajaka pasrahake Patih Sengkuni, dadi prasasat Patih Sengkuni kang jumeneng dadi ratu. Mangka purwane kakangku Kurawa darbe rasa gething keburu sengit marang Pandhawa iku ora liya mung saka panggosoke Patih Sengkuni, mula ora mokal menawa salawase Kurawa mung tansah ambudi sirnaning Pandhawa, luwih-luwih sabubaring pendadaran, barang cetha menawa Kurawa kasor mungsuh Pandhawa, saya katon banget anggoone nggangep mungsuh marang Pandhawa. Mula prayogane dipikir ndishek aja kesusu nampa lan aja gampang pracaya, senadyan ta dhawuhe wa Prabu Destharasta pisan (Hlm 51)
Terjemahan: apabila Paman Prabu Destharasta itu sebenarnya baik hati dan adil. Tetapi
perlu diingat bahwa Paman Prabu Destharasta itu buta, dan kekuasaan diserahkan
35
kepada Patih Sengkuni, jadi terkesan Patih Sengkuni yang menjadi ratu. Sebenarnya
dari awal kakakku Kurawa punya rasa benci kepada Pandhawa itu tidak lain karena
hasutan Patih Sengkuni, maka tidak salah bila selamanya Kurawa selalu ini membuat
hilangnya Pandhawa, lebih-lebih setelah selesainya ujian, kenyataannya Kurawa kalah
menghadapi Pandhawa, semakin terlihat mengganggap mungsuh terhadap Pandhawa.
Maka dari itu sebaiknya dipikirkan dahulu jangan terburu-buru menerima dan mudah
percaya, walaupun itu perintah dari Paman Prabu Dhastharasta sendiri.
Dari kutipan (21) menunjukan Bratasena tetap menghormati orang lain yaitu ibu,
paman dan saudaranya dalam mensikapi perintah dari Prabu Dhastharasta. Dengan bijak
Bratasena memberikan pendapat untuk terlebih dahulu memikirkan dan mempertimbangkan
mengenai perintah dan permintaan dari Prabu Dhastharasta untuk datang dalam upacara
wisuda pembagian hak wilayah Hastina. Bratasena selalu mewaspadai tindakan-tindakan
Kurawa dan tidak menginginkan hal buruk kembali menimpa keluarganya. Dalam
kenyataannya, Bratasena melihat bahwa Prabu Destharasta buta oleh karenanya mudah
dibohongi oleh Patih Sengkuni tentang kejadian sebenarnya. Apalagi setelah kurawa kalah
ujian dengan Pandhawa, kejadian ini semakin menambah kebencian dan keinginan untuk
menyingkirkan keluarga Pandhawa. Demi terjaganya keselamatan keluarganya Bratasena
selalu berhati-hati terhadap tingkah laku Kurawa dengan tetap menghormati apa yang
menjadi keputusan Prabu Destharasta.
Meskipun Bratasena memiliki watak keras, dia selalu menghormati ibunya dan selalu
tunduk apa yang menjadi perintah ibu dan saudara-saudaranya yang lebih tua. Karena
menurutnya akan berakhir dengan baik dan benar. Pernyataan tersebut terdapat dalam
kutipan (22) berikut secara dramatik
36
(22)Hiiiii, Yamawidura bapakku, rehning Babu Kunthi apadene paman Widura sarujuk ature pambarep kakangku, ora liwat aku mung manut (Hlm 54)
Terjemahan: Hiiiii, Yamawidura bapakku, karena ibu Kunthi dan paman Widura setuju
perkataan kakak pertamaku, tidak lain aku hanya menurut.
Dalam kutipan (22) tersebut Bratasena menunjukkan sikap yang luhur yaitu
menghormati dan melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan keluarga. Sikap luhur yang
ditunjukkan Bratasena adalah melindungi dan memberikan rasa aman bagi keluarganya. Dia
meliliki kewajiban serta tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan keluarganya dari
segala bahaya. Hal tersebut terdapat dalam Kutipan (23) berikut ini
(23)Mula prayogane Babu Kunthi, kakang Puntadewa, apadene kembar barenga nitih rata lawan paman Yamawidura, dene aku lan Permadi bakal lumaku dharat, nrabas madyaning alas ngiras naliti mbok menawa para Kurawa nandukake kala desa(Hlm 54)
Terjemahan: untuk lebik baiknya ibu Kunthi, kakak Puntadewa, dan juga kembar
berjalan bersama paman Yamawidura, sedangkan aku dan Permadi akan berjalan
melewati hutan sambil meniliti apabila Kurawa memasang jebakan di desa.
Kutipan (23) diatas menggambarkan Brtasena memiliki kewaspadaan yang tinggi di
akan segala kemungkinan yang terjadi, agar nantinya dapat menghindari dari niat jahat
Kurawa untuk mencelakai keluarga Pandhawa. Bratasena juga senantiasa siaga dalam
mengawasi tingkah laku Kurawa yang seringkali mengancam keselamatannya dan
keluarganya. Dia siap untuk melakukan apa saja , termasuk berperang melawan prajurit-
prajurit Kurawa.
Raden Bratasena adalah sosok pemberani dan selalu berada digaris terdepan dalam
keadaan bahaya. Ketika pesanggrahan telah terbakar, Dewa mengamanatkan Dewi Kunthi
memberitahu Bratasena agar menyelamatkan keluarganya. Dewa mempercayai Bratasena
37
sanggup menyelamatkan keluarga dari kebakaran di pesanggrahan. Kutipan (24)
menggambarkan hal tersebut sebagai berikut
(24)Mula aja kesuwen dienggal gugahen anakmu Bratasena, wedharana prakara iki. Dimen bisa tetulung marang kadang-kadange (Hlm 88)
Terjemahan: Maka jangan kelamaan cepat bangunkan anakmu Bratasena, beritahukan
masalah ini. Agar bisa menolong saudara-saudaranya
Dalam kutipan (24) terlihat jelas kepribadian luhur dari Bratasena ketika Dewa
mempercayai kemampuan Bratasena sebagai pelindung, penyelamat dan seorang ksatria
yang rela berkorban untuk keluarganya.
Bratasena memiliki perasaan yang mudah naik darah ketika melihat keluarganya
teraniaya. Dia tidak merelakan hal tersebut terjadi, siapapun yang berbuat jahat terhadap
keluarganya Bratasena akan membalasnya. Kutipan (25) menggambarkan sikap Bratasena
setelah mengetahui pesanggrahan telah terbakar
(25)Hiiii..saya ndadra Kurawa anggone daksiya, apa babu pirsa sapa kang ngobong pasanggrahan? (Hlm 89)
Terjemahan: Hiiii..semakin merajalela Kurawa semena-semena, apa ibu tahu siapa
yang membakar pesanggrahan?
Kutipan (25) menggambarkan ambisi Bratasena untuk mencari tahu pelaku utama
pembakaran pesanggrahan, walaupan sudah diketahui bahwa Kurawa merupakan otak
dibalik skenario kejadian tersebut. Bagi Bratasena pelaku harus ditangkap sehingga
mendapat hukuman yang setimpal dari perbuatannya.
Berdasarkan urain diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Bratasena adalah tokoh
yang berbudi luhur, yakni berperilaku sesuai dengan etika dan tata krama jawa. Selain itu
38
sebagai seorang anak, Bratasena juga mampu untuk mengambil sikap dan tindakan tepat
untuk melindungi seluruh anggota keluarganya.
3.2 Sikap Jujur
Sikap jujur yakni mempunyai sifat dapat mengandalkan janjinya, menepati janjinya
dan juga dapat bersikap adil (Suseno,1985:144)
Bratasena selalu mengedapan kejujuran. Karena setiap hal akan berakhir dengan baik
bila semuanya dilandasi dengan kejujuran. Jujur juga harus bersikap adil dan keadilan adalah
buah dari kejujuran. Ketika Bratasena mengetahui bahwa pelaku pembakaran pesanggrahan
adalah Adipati Kurawa yaitu Purocana, maka bratasena ingin mendengar kejujuran dari
Purocana. Kutipan (26) menunjukan hal tersebut berikut ini
(26)Heh Purocana kang hambeg candhala, kowe dadi gedibale Patih Sengkuni, mung tansah mbudidaya mamrih patiku sekadang. Bungah atimu dene tansah munggah pangkatmu, rumongsa mulya dene tansah dijoroki raja brana, nanging samengko rasakna wohing pakartimu, miturut ujaring para tapa wongkang gawe luweng, kanggo sikarananing liyan ya luweng kang di gawe iku bakal kok enggoni dhewe (Hlm 92)
Terjemahan: Heh Purocana yang jahat, kamu menjadi budak Patih Sengkuni, selalu
mencari cara untuk kematianku dan saudara-saudaraku. Senang hatimu karena selalu
naik pangkat, merasakan kebahagiaan karena selalu diberikan harta kekayaan, tetapi
nanti kamu merasakan apa yang menjadi perbuatanmu, menurut ajaran para pertapa
orang yang membuat cara untuk membunuh orang lain, cara itu sendiri yang akan
menimpa dirinya sendiri.
Dalam kutipan (26) Bratasena ingin mendapatkan pengakuan yang sejujurnya dari
Purocana. Apa yang telah diperbuat harus ada pertanggung jawabannya, keadilan akan
39
menentukan dan menghukum siapa yang salah. Kejujuran dari Bratasena dan Keluarga
Pandhawa membawanya ke dalam keselamatan. Kejahatan Purocana membuat Bratasena
berbuat seadil-adilnya, siapa yang salah harus dihukum dan yang benar harus dilindungi.
Seperti dalam pepatah jawa “sapa sing nandur mesti bakal nggunduh” hal itulah yang terjadi
terhadap Purocana yang menanam kejahatan.
Bratasena selalu mengedepankan kejujuran. Ketika bertemu dengan Bethara Nagaraja,
dia mengakui bahwa dia tidak bisa berbahasa jawa krama selayaknya yang dilakukan oleh
saudara-saudaranya. Kutipan (27) menggambarkan hal tersebut
(27)Emoh, aku rikuh, marga aku ora bisa basa (Hlm 111) Terjemahan: tidak mau, aku tidak enak, karena aku tidak bisa berbahasa krama
Kutipan (27) menunjukkan sebuah kejujuran Bratasena. Dengan ketegaran hati dia
mengakui bahwa tidak bisa berbicara menggunakan bahasa krama baik kepada Bethara Naga
Raja, Bethari Nagagini dan lainnya. Tetapi sebuah kejujuran serta sikap apa adanya itu
membuat orang merasakan simpati dan senang kepada Bratasena.
Saat Bratasena ingin dinikahkan dengan Bratasena, dalam hatinya merasakan berat.
Karena dia melihat kakak tertuanya saja belum menikah. Dengan kejujuran Bratasena
menggungkapkan isi hatinya yang tergambar dalam kutipan (28) berikut
(28)Ora marga aku ora seneng, nanging aku wedi wilatan, marga sadulurku tuwa durung rabi, aku kang kabener enom andhingini rabi (Hlm 115)
Terjemahan: Bukan karena aku tidak cinta, tetapi aku takut kualat, karena saudaraku
tertua belum menikah, aku yang lebih muda mendahului menikah.
Dalam kutiapan (28) dengan sejujur-jujurnya Bratasena menyatakan bahwa dia
mencintai Nagagini. Akan tetapi secara jujur pula dia mengakui bahwa takut akan perasaan
40
bersalah. Karena dalam etika jawa, orang yang menikah dahulu adalah yang lebih muda.
Bratasena masih memegang aturan tersebut dan tidak ingin melanggarnya.
Dalam percintaan Bratasena bukan merupakan sosok yang pandai merayu. Dia lebih
menginginkan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan apa yang telah dimilikinya.
Kutipan (29) menunjukkan ketika Bratasena menyatakan tidak bisa merayu dengan kata-kata
yang baik terhadap Nagagini
(29)Menawa sejatine aku ora bisa angrungrum, ya mung sak bisaku timbang gawe cuwa. Bathuke-bhatuke, bhatuke cedhak karo rambute, mripate-mripate sandhing alise. Irunge-irunge, irunge cedhak karo lambene (Hlm 117)
Terjemahan: sebenarnya aku tidak bisa merayu, sebisaku daripada membuat kecewa.
Jidatnya-jidatnya, jidatnya dekat dengan rambutnya, matanya-matanya bersandingan
dengan alisnya. Hidungnya-hidungnya dekat dengan mulutnya.
Dari kutipan (29) tersebut, terlihat Bratasena mengungkapkan kejujurannya bahwa dia
bukan lelaki yang pandai merayu dan romantis. Tetapi karena tidak ingin membuat kecewa
dengan apa adanya Bratasena berusaha merayu calon istrinya. Dalam suatu hubungan suami
istri, Bratasena mementingkan sebuah kejujuran, keterbukaan dan saling melengkapi agar
kehidupan rumah tangga berjalan harmonis.
Disaat Bratasena sedang bercengkrama dengan calon istrinya, Bethara Nagaraja dan
saudara-saudaranya datang. Mereka beranggapan Bratasena telah melakukan tindakan
semena-mena terhadap Nagagini. Atas tuduhan Bratasena dengan bijak dan penuh kejujuran
menjelaskan seperti terdapat dalam kutipan (30) berikut ini
(30)Heemmm dadi kuwi kang dadi sababe, saka pangrasaku selawasku durung tau daksiya marang sepadha, apa maneh milara kang ora dosa. Luwih-luwih bojo kang tak tresnani, yen nganti aku daksiya lan milara, saiba gedhening bebendu kang bakal dak sandhang. Wondene menawa ora percaya, takono dhewe anakmu Nagagini (Hlm 119)
41
Terjemahan: Heemmm jadi itu yang menjadi penyebabnya, seingatku seumur hidupku
belum pernah semena-mena kepada sesama, apalagi menyakiti orang yang tidak
berdosa. Lebih-lebih istri yang ku cintai, kalau aku sampai semena-mena dan
menyakiti, sangat besar resiko yang akan menimpa diriku. Akan tetapi bila tidak
percaya, tanyalah sendiri anakmu Nagagini.
Dari kutipan (30) tersebut ditunjukkan bahwa Bratasena memaklumi tuduhan yang
dikatakan oleh Bethara Nagaraja kepadanya. Dengan segala kejujuran dan kerendahan hati,
Bratasena menjelaskan bahwa tuduhan itu tidak benar. Dia tidak pernah berbuat semena-
mena dan menyakiti orang lain, terlebih dengan istrinya sendiri. Bratasena tidak begitu saja
membela diri, agar terjadi salah paham dan tuduhan yang salah, dia meminta Nagagini untuk
menjelaskan kepada ayahnya bahwa semua itu tidak benar. Atas kejujuran Bratasena
akhirnya masalah tersebut dapat terselesaikan
Dari uraian tersebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Bratasena adalah sosok
yang jujur. Kejujuran itu ditunjukkannya ketika Purocana menerima hukuman atas sebuah
keadilan, kejujuran tentang pribadinya yang tidak bisa berbahasa jawa krama, kejujuran
bahwa dia adalah laki-laki yang tidak bisa merayu dan kejujuran bahwa dai tidak pernah
berbuat semena-mena terhadap orang tidak bersalah. Sikap ini mengakjarkan akan
pentingnya sebuah kejujuran terhadap diri sendiri, kejujuran terhadap orang lain dan
kejujuran yang menciptakan suatu keadilan.
3.3 Sikap Nrima
Nrima merupakan sikap hidup Jawa yang positif, yakni ketika orang dalam keadaan
kecewa dan dalam kesulitanpun beraksi secara rasional dengan tidak ambruk, dan juga tidak
42
menetang secara percuma, yang menuntut kekuatan-kekuatan untuk menerima apa yang
tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya (Suseno,1985:142)
Sikap Nrima adalah menerima segala apa yang mendatangi kita tanpa protes dan
pemberontakan (Suseno, 1985:143). Bratasena menerima apa yang menjadi Keinginan
Bethara Nagaraja untuk meminang putrinya Nagagini sebagai istrinya. Bratasena tidak
menolak karena telah memperoleh restu dari ibu dan saudara-saudaranya. Dalam kutipan
(31) menunjukkan ketika Bratasena menerima dan mau meminang Nagagini
(31)Pembarep kakangku, aku saguh nanging aku arep krungu tembunge Bethati Nagagini, Dheweke apa nyata tresna marang aku, aku emoh yen tresnane mung lamis (Hlm 115)
Terjemahan: Kakakku, aku mau tetapi aku ingin mendengar perkataan Bethari
Nagagini, apakah dia benar-benar mencintai aku, aku tidak mau kalau cintanya hanya
suatu kebohongan.
Kutipan (31) menunjukkan ketika Bratasena menerima apa yang telah menjadi
kesepakatan keluarga dan Bethara Nagaraja untuk menikah dengan Bethari Nagagini. Tetapi
Bratasena juga ingin tahu apakah Nagagini menerimanya dengan cinta kasih atau hanya
sekedar menurutu ayahnya. Tentang sikap nrima, Bratasena ingin menunjukkan bahwa sikap
itu tidak hanya digunakan untuk kesenangan sementara akan tetapi sikap nrima hendaknya
dilandasi dengan hati yang jernih dan kebenaran. Dia tidak menginginkan sikap nrima yang
penuh kebohongan sehingga berakhir dengan kekecewaan. Sikap nrima ditempatkan oleh
Bratasena didalam hati dengan penuh kesungguhan.
Bratasena menerima apa yang menjadi kecurigaan dari Bethara Nagaraja tentang
tingkah lakunya. Setelah semua dijelasakan Bethara Nagaraja meminta maaf. Tetapi apa
43
yang dilakukan oleh Bethara Nagaraja tidak membuat kemarahan Bratasena tetapi membuat
hatinya lega. Hal tersebut tergambar dalm kutipan(32) berikut
(32)Hiiii kaya ora dadi apa, malah aku luwih bungah dene sakabehe prekara terus dilairke, ora direndem ana telenging ati, dadi ganjang meruhi kasunyatan (Hlm 121)
Terjemahan: Hiiii tidak apa-apa, aku lebih senang karena semua perkara
diungkapakan, tidak disimpan dalm lubuk hati, jadi akan melihat kenyataan yang
sebenarnya.
Dalam kutipan (32) Bratasena tidak merasa marah dan kecewa atas segala tuduhan
Bethara Nagaraja. Tetapi dia malah senang semua masalah yang terselesaikan dengan baik
tanpa ada yang disimpan dalam hati
Saat Bratasena berpamitan dengan orangtua, bethara Nagaraja dan istrinya yang
sedang mengandung, dalm pikiran Bratasena tersirat bahwa apapun yang akan terjadi nanti
dengan besar hati akan diterimanya. Sikap nrima Bratasena tergambar dalam kutipan (33)
berikut
(33)Hiiii, Nagaraja wong tuaku, bedhelen atiku ora paja-paja darbe sedya agawe panandange liyan, apa maneh bojo kang dak tak tresnani. Kapara ucapku kan nyangeni mau saka anggonku welas marang bojo, lan anakku kang ana kandutan. Marga yen nganti anakku lair, nganti sawatara dewasa, meruhi panandhange wong tuwane, lan mbanjur ngerti sapa kang gawe kasangsaran wong tuane. Pasthi banjur tuwuh rasa memungsuhan marang Kurawa, lan gelem ora gelem pasthi darbe sedya bakal males. Kang mangkono mau prasasat aku kang nandur wiji memungsuhan marang anakku padha bae karo aku kang gawe panandhange anakku. Ewadene perkara iki aku dianggep luput, aku nglenggana ora dak selaki (Hlm 127)
Terjemahan: Hiiii, Nagaraja orangtuaku, sebenarnya hatiku tidak mengiginkan
membuat orang lain celaka, apalagi istri yang aku cintai. Perkataanku tadi aku ucapkan
karena aku mengasihi istriku, dan anakku dalam yang ada kandungan. Kareana apabila
44
anakku lahir, dan menginjak dewasa, melihat apa yang dialami orang tuanya, dan
selanjutnya tahu siapa yang membuat orang tuanya menderita. Pasti akan tumbuh
perasaan bermusuhan terhadap Kurawa, dan mau tidak mau pasti mempunyai niat
ingin membalas. Yang seperti itu bagaikan aku yang menanam benih permusuhan
terhadap anakku sama saja aku yang membuat anakku mengalami penderitaan.
Apabila permasalahan ini aku dianggap bersalah, aku ikhlas menerima dan tak
kupungkiri.
Dari kutipan (33) menunjukkan sikap Bratasena ketika harus meninggalkan istri dan
anak yang masih dalam kandungan Nagagini. Meskipun berat utuk meninggalkan Nagagini
dan anaknya, tetapi Bratasena menerima dengan iklas. Dia harus melawan segala keinginan-
kenginan yang dapat menyurutkan keputusaan tanpa melawan keinginan-keinginan itu.
Bratasena tetap berusaha menempatkan setiap keinginan agar saling mendukung. Dia juga
nrima semua yang dilakukan untuk melawan kejahatan Kurawa berisiko dan berpengaruh
tidak baik apabila anaknya dan mengetahui perjalanan kehidupannya sengsara oleh
perbuatan jahat Kurawa. Dengan besar hati Bratasena akan bertanggung jawab dan akan
tetap menjaga keberadaan istri dan anaknya. Bratasena juga mengakui apabila yang
dilakukan dianggap salah akan menerima dan menanggung akibat tanpa merasa terkalahkan
dan dihancurkan oleh kesulitan dan kekecewaan.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mennnyimpulkan bahwa Bratasena merupakan
seorang anak, suami dan pribadi yang mampu untuk menerima segala tuduhan dan
penderitaan batin yang menimpa dirinya tanpa melakukan pembelaan yang percuma. Apa
yang dilakukan Bratasena dengan segal resiko akan diterima dengan penuh tanggung jawab.
45
Hal ini merupakan sikap positif yang terdapat dalam masyarakat jawa, yaitu “nrimo lego
lilo”.
3.4 Sikap Rila
Kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik,
kemampuan-kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri apabila itu menjadi tanggung jawab
atau nasib adalah sikap rila (Suseno, 1985:143-144).
Bratasena selalu memperhatikan dan kebutuhan keluarganya. Dia teramat menyayangi
istri dan anaknya yg masih dalam kandungan. Akan tetapi sebagai seorang ksatria, dia
dituntut untuk selalu melindungi kepentingan orang banyak dan meninggalkan istrinya yang
tengah mengandung. Kutipan (34) menggambarkan ketika Bratasena sedang berpamitan
dengan istrinya
(34)Hiiii, Nagagini aku njaluk pamit, senadyan kaya apa aboting atiku pisah lan kowe. Luwih-luwih ngelingi jabang bayi kang kok kandut. Nanging kepriye maneh, gelem ora gelem aku kudhu nutugake lelakonku. Mung bae piwelingku, sing santosa atimu aja darbe rasa kuwatir, ora pisan-pisan aku lali marang kowe. Kapara meluo nenuwun dimen para pendhawa enggal antuk kawibawan. Malah jabang bayi kang ana kandutanmu bakal dak sangeni, aja pati alir menawa Pandhawa durung atuk kamukten. (Hlm 125)
Terjemahan: Hiiii, Nagagini aku pamit, walaupun berat hatiku berpisah denganmu.
Lebih-lebih ingat bayi yang ada dalam kandunganmu. Tapi bagaimana lagi, mau tidak
mau aku harus menyelesaikan perjalanku. Pesanku kepadamu, jadilah sentosa hatimu
jangan mempunyai rasa khawatir, tidak sekali-kali aku melupakanmu. Bayi yang ada
dalam kandunganmu akan aku jaga dari jauh, jangan mati semangat apabila Pandhawa
belum memperoleh kebahagiaan.
46
Kutipan (34) menggambarkan bahwa Bratasena rela untuk meninggalkan istri dan anak
yang masi dalam kandungan Nagagini. Walaupun berat Bratasena harus tetap melangkah
untuk menyelematkan rakyat yang tertindas oleh kejahatan Kurawa. Sudah menjadi
kebulatan tekad untuk memperjuangkan kepentingan umum dam rela meninggalkan
kepentingan-kepentingan pribadi. Kerelaan Bratasena untuk meninggalkan istrinya bukan
berarti telah lepas tanggung jawab akan tetapi tetap mengawasi dan mendoakan dan setelah
tugasnya selesai dia akan kembali.
Setelah Bratasena berpamitan dengan istrinya, kemdian dia bertemu dengan Bethara
Nagaraja untuk mendapatkan doa dan restu. Hal tersebut tergambar dalam kutipan (35)
berikut
(35)Banget bungahku, dene bapa Nagaraja wis bisa nimbang,ora liwat aku mung nyuwun pangestu lan nitip anakmu Nagagini.
Terjemahan: Aku sangat senang, karena bapak Nagaraja sudah bisa menimbang, tidak
lain akun minta doa restu dan aku menitipkan anakmu Nagagini.
Dalam kutipan (35) menjelaskan Bratasena meminta doa restu dari Bethara Nagaraja
juga menitipkan Nagagini. Bratasena rela meninggalkan semuanya demi menunaikan tugas
yang mulia utuk kemakmuran Pandhawa dan semua rakyat.
Bratasena memiliki jiwa berkorban untuk kebenaran dan menolong keselamatan
banyak orang, yang tergambar dalam kutipan (36) berikut
(36)Lan kowe ora perlu nyumelangake menawa aku teka pati, kaprecayane Bratasena janji tumindak bener, ambelani wong sak negara kang tansah disikara, kiraku Sang Hyang Wisesa bakal ngayomi marang aku. (Hlm 139)
47
Terjemahan: dan kamu tidak perlu khawatir apabila aku mati, kepercayaan Bratasena
berjanji melakuakn tindakan yang benar, membela orang senegara yang selalu disiksa,
setahuku Tuhan akan melindungiku.
Dalam kutipan (36) digambarkan niat Bratasena untuk menolong dan menyelamatakan
rakyat dari keangkaramurkaan penguasa yang senantiasa membuat rakyat menderita. Dia
rela mati dalam perjuangannya, tetapi karena suatu kepercayaan begitu besar terhadap
Tuhan akan diselamatkan. Bratasena menyakini apa bila yang dilakukan adalah untuk
kebenaran.
3.5 Sikap Ikhlas
Ikhlas berarti bersedia, sikap itu memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas
(Suseno,1985:143). Sikap ikhlas berarti juga memberi tanpa meminta balasan.
Sikap ikhlas ditunjukkan ketika Bratasena ingin membantu Begawan Ijrapa untuk
melawan keangkaraan Prabu Baka yang terdapat dalam kutipan (37) berikut
(37)Sendika dhawuhe babu Kunthi, mara Beghawan Ijrapa, aku bumbonana lan ladekna Prabu Baka (Hlm 139)
Terjemahan: Siap melaksanakan perintah ibu Kunthi, Beghawan Ijrapa kasih bumbu
dibadanku dan hidangkan Prabu Baka
Kutipan (37) menunjukkan bahwa Bratasena memenuhi perintah ibunya dan ikhlas
menjadi santapan Prabu Baka.
Dalam hal menolong orang lain, Bratasena melakukan semua dengan keikhlasan tanpa
mengharapkan imbalan. Bratasena tidak menginginkan rakyat menjadi korban dalam
perjuangannya melawan Prabu Baka, hal tersebut tergambar dalam kutipan (38) berikut
48
(38)Lan sedyaku anggonku tetulung aja pisan gawe bebanten kang ora dosa.mula aku butuh ketemu Prabu Baka padha ijen...(Hlm 139)
Terjemahan: dan kesediaanku untuk menolong jangan sampai mengorbankan orang
yang tidak berdosa. Makanya aku ingin bertemu Prabu Baka sendiri
Dari kutipan (38) menunjukkan bahawa Bratsena secra ksatria ingin bertemu sendiri
dengan Prabu Baka. Dia tidak ingin orang lain menjadi koraban, tetapi biarlah dirinya sendiri
yang menjadi korban atas watak jahat Prabu Baka.
Ketika bertemu dengan Prabu Baka, Bratasena dengan berani menghadapi Prabu Baka.
Hal tersebut digambarkan dalam kutipan (39) berikut
(39)Mung bae sak durunge aku kok pangan, aku bakal tutur marang kowe ndhisik, perkara kok gugu lan ora ya sak karepmu (Hlm 144)
Terjemahan: Sebelum aku kamu makan, aku berpesan padamu, entah nantinya mau
kamu turuti atau tidak.
Kutipan (39) menunjukkan bahwa Bratasena telah siap menjadi korban dan dimakan
oleh Prabu Baka akan tetapi Bratasena berpesan bahwa apa yang dilakukan Prabu Baka itu
tidak baik.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Bratasena
mengikhaskan dirinya dan menjadi korban Prabu Baka, tanpa mengorbankan orang lain.
Bratasena berusaha ingin menyingkirkan Prabu Baka dengan segala cara karena rakyat telah
banyak menderita dan menjadi korban atas sifat jahatnya membunuh dan memakan
rakyatnya sendiri.
Pada hakikatnya , dalam bab III ini penulis dapat menyimpulkan bahwa hal paling
penting dititikberatkan pada sikap batin Bratasena yang dilakukan terhadap keluarga ataupun
orang lain, baik berupa tindakan maupun dalam bentuk pikiran. Penganalisisan mampu
49
menggambarkan sosok Bratasena sebagai seorang anak yang melindungi keluarga dan orang
lain dengan mempertaruhkan keselamatannya sendiri. Sikap berbudi luhur, sikap nrima,
sikap rila, dan sikap ikhlas yang ditunjukkan oleh Bratasena memiliki sikap batin yang tinggi
dan mengacu pada sikap dalam masyarakat jawa. Disamping itu, tokoh Bratasena
memberikan suatu contoh sikap batin yang diwujudkan dengan sikap berkorban dan
melindungi keluarga juga sesama dari keangkaramurkaan Kurawa. Sikap batin masyarakat
Jawa yang terkandung dari sikap-sikap Bratasena patut menjadi pedoman dalam kehidupan
50
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa cerita
pewayangan Bale Sigala-gala Karya Ki Narya Carita sikap batin masyarakat Jawa yang
tercermin dalam sikap tokoh Bratasena yang berkorban untuk melindungi keluarga
Pandhawa dari sifat jahat Kurawa. Sikap batin tersebut menyangkut bagaimana semestinya
keluarga Pandhawa besikap dan mensikapi tentang kesewenang-wenangan, kejahatan yang
dilakukan Kurawa. Dalam mensikapi hal tersebut Tokoh Bratasena dan keluarga Pandhawa
mengedepankan nilai-nilai yang luhur yaitu tetap bertindak dalam aturan-aturan yang
berlaku.
Dalam menganalisis struktur cerita, peneliti menitik beratkan menganalisis tokoh dan
penokohan. Sehingga dari analisis tokoh dan penokohan dapat mempermudah dalam
memaparkan tokoh utamadan tokoh tambahan. Dalam penelitian ini didapatkan tokoh utama
sekaligus tokoh protagonis yaitu Bratasena dan tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu Dewi
Kunthi, Prabu Dhastharastra, Yamawidura, Puntadewa, Prabu Anom Kurupati, Patih
Sengkuni dan Adipati Purocana. Penentuan Bratasena sebagai tokoh utama dalam cerita ini
berdasarkan pada frekuensi kemunculan dan intensitas keterlibatan tokoh dalm membangun
rangkaian suatu cerita. Tokoh utama merupakan pusat sorotan yang berhubungan dengan
tokoh lain.
51
Peneliti menemukan tokoh yang berperan sebagai penyeimbang dalam membangun
isi cerita , Prabu Anom Kurupati, Patih Sengkuni dan Adipati Purocana yang ditentukan
penulis untuk mewakili pihak yang jahat atau yang salah.
Dalam menganalisis penokohan ditemukan sifat-sifat yang meliputi: berbudi luhur
berhati teguh, waspada, berlaku adil, jujur, mempunyai karakter keras tetapi berbudi luhur,
seorang yang berwatak ksatria, menyayangi keluarga dan melaksanakan kewajiban sebagai
pelindung. Adapun sifat-sifat tokoh tambahan yang lain yaitu Dewi Kunthi mempunyai sifat-
sifat: setia, menyayangi anak-anaknya, tidak pendendam, suka menolong sesama tanpa
memandang itu siapa, patuh, menjunjung tinggi aturan dan kesopanan. Sifat-sifat Prabu
Dhastharasta meliputi: jujur, adil dan bijaksana. Sifat-sifat Raden Puntadewa meliputi:
bijaksana, sabar, tidak senang bermusuhan, tidak sombong dan suka menolong. Sifat-sifat
Yamawidura meliputi: sifat bijaksana, patuh terhadap perintah pemimpinnya, berkepribadian
baik, selalu berpikir positif dan bersikap adil atau tidak memihak. Sedangkan tokoh-tokoh
tamabahan seperti Prabu Anom Kurupati memiliki sifat-sifat sebagai berikut: iri ahti, licik,
mudah terkena hasutan, rakus akan kekuasaan dan harta. Sifat-sifat Patih Sengkuni meliputi:
licik, iri hati, dengki, senang menghasut dan suka berbohong. Sifat-sifat Adipati Purocana
meliputi: patuh pada atasan, cerdik dan licik.
Dalam meneliti sikap batin masyarakat Jawa melalui tokoh Bratasena, peneliti
menentukan sikap Bratasena yang sesuai dengan sifat-sifatnya dan apa yang dilakukan
dalam kesehariannya dalam cerita pewayangan Bale Sigala-gala Karya Ki Narya Carita.
Adapun sikap tersebut meliputi: sikap berbudi luhur, sikap jujur, sikap nrima, sikap rila dan
sikap ikhlas.
52
Cerita pewayangan Bale Sigala-gala mencerninkan sikap pengorbanan, perjuangan
dan tindakan melindungi keluarga juga sesama yang dilakukan secara ikhlas sebagai
penggambaran tindakan-tindakan dalam masyarakat Jawa. Hal utama yang ditonjolkan dari
cerita pewayangan tersebut adalah sikap batin masyarakat Jawa yang tercermin dari sikap
dan sifat yang ditunjukkan Bratasena dalam memperoleh keadilan dalam memperoleh hak,
melindungi, menyelamatkan keluarga dan sesama dari kejahatan yang dilakukan Kurawa.
Sebagai seorang anak, Bratasena tidak hanya mengabdikan dirinya kepada ibu dan saudara-
saudaranya tetapi secara tulus ikhlas kepada rakyat yang merasa tertindas oleh Kurawa dan
pengikut-pengikutnya.
Akhirnya peneliti menyimpulkan bahwa Ki Narya Carita menyampaikan suatu pesan
berupa suatu nilai-nilai moral melalui tokoh Bratasena sikap apa yang harus dilakukan
terhadap kewenang-wenangan dan kejahatan Kurawa. Sikap batin masyarakat Jawa melalui
tokoh Bratasena mencerminkan sikap-sikap yang selaras dengan kehidupan. Suatu kata bijak
dalam masyarakat Jawa yaitu “becik ketitik, olo ketara” dan “sapa sing nandur, besuke bakal
nggunduh”. Dalam cerita ini akhirnya sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Bratasena dan
Pandhawa membawa hidup dalam kedamaian, keselarasan dan keselamatan.
4.2 Saran
Cerita pewayangan Bale Sigala-gala Karya Ki Narya Carita masih memiliki banyak
permasalahan untuk digunakan sebagai penelitian. Cerita pewayangan ini dapat diteliti
dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra karena tokoh Bratasena dan keluarga
Pandhawa mengalami konflik batin. Konflik batin tersebut berupa ketika Bratasena dan
53
keluarga Pandhawa dalam melawan tindakan sewenang-wenang Kurawa padahal baik
Pandhawa dan Kurawa masih terikat hubungan saudara.
54
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.
Anisah, Nur Aeiny. 2008. Kontruksi Sosial Nilai Psikologis Punakawan Semar Pada
Masyarakat Jawa. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koenjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ki Carita, Narya. 1993. Serat Pedhalangan Bale Sigala-gala. Sukoharjo: CV. Cendrawasih.
Marwanto dan Moehanto, R. Budhy. 1995. Apresiasi Wayang. Sukoharjo: CV. Cendrawasih.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Rau’uf, Amrin. 2010. Jagad Wayang. Yogyakarta: Gara Ilmu.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suseno, Magnis, F. 1983. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Usman, MHD Syafaruddin dan Isnawita. 2010. Wayang (Kepribadian Luhur Jawa). Jakarta:
Penerbit Cakrawala.
55
LAMPIRAN
Sinopsis Cerita
Cerita dimulai ketika raja Hastina, Prabu Desthrarasta bermaksud untuk membagi
kerajaan Hastina menjadi dua bagian yaitu untuk putra-putra Kurawa dan putra-putra
Pandhawa. Tapi keinginan dari Prabu Desthrarasta itu kurang disetujui oleh Patih Sengkuni
dan putra-putra Kurawa. Niat licik pun mulai direncanakan oleh Patih Sengkuni dan
Pangeran Anom Kurupati putra tertua dari Kurawa agar para Putra-putra Padawa dan Ibu
mendapatkan petaka. Patih Sengkuni dan Pangeran Anom Kurupati merancang rencana licik
guna menyingkirkan keluarga Pandhawa dengan cara yang seakan-akan tidak disengaja atau
merupakan suatu kecelakaan. Melalui arsitek istana bernama Purocana, bala Kurawa mulai
membuat suatu tempat peristirahatan di atas gunung yang di maksudkan sebagai tempat
peristirahatan keluarga Pandhawa sebelum di nobatkan oleh Prabu Desthrarastra
mendapatkan pembagian kerajaan Hastina. Bersama Ibu Kunti Talibrata dan pamannya
Yamawidura putra-putra Pandawa yaitu Raden Puntadewa, Raden Bratasena, Raden
Permadi, Raden Nakula dan Raden Sadewa beserta para Punakawan berangkat menuju
tempat peristirahatan bernama pasanggrahan warana wat. Dalam perjalanan keluarga
Pandawa banyak dihadang oleh para perusuh tapi mereka selamat sampai warana wata.
Ketika sampai di pesanggrahan warana wata keluarga Pandhawa di sambut oleh Patih
Sengkuni, Pangeran Anom Kurupati dan para putra-putra Kurawa. Pesta pun dimulai para
Kurawa dan Pandhawa menikmati sajian makanan dan minuman. Setelah tengah malam
Patih Sengkuni dan Putra-putra Kurawa berpamitan kembali ke Hastina. Putra-putra
Pandhawa mulai terlelap tidur, namun tidak dengan sang Ibu Kunti Talibrata. Dalam hati
Kunti mulai timbul kecurigaan. Di tengah pendapa Kunti bertemu dengan seorang pengemis
56
perempuan bersama tiga anaknya yang sudah tiga hari tidak makan. Setelah bercerita
kepada Kunti pengemis perempuan beserta tiga anaknya pun diberi makanan dan minuman.
Pengemis dan anak-anaknyapun mulai tertidur. Kunti masuk ke kamar Bratasena dan
mulailah pintu terkunci dari luar, terdengar benda-benda terbakar. Bratasena pun terbangun
bersama ibunya, Ia membangunkan putra-putra Pandawa, Punakawan serta yang lain. Seekor
musang putih tiba tiba ada di tempat itu memberi isyarat Kunti dan keluarga Pandawa untuk
masuk ke sebuah lorong dan mereka selamat. kemudian Bratasenapun mencari Purocana,
setelah Bratasena mengetahui bahwa Purocana yang mengatur rencana semua atas peritah
Kurawa. Perang tanding pun terjadi, Purocana tewas terbakar.
Setelah keluarga Pandhawa dan Punakawan selamat dari bahaya, cerita ini berakhir
dengan pertemuan antara Bratasena dengan Bethari Nagagini putri Bethara Nagaraja
penguasa daerah Kayuwangan Saptapratala. Setelah berbagai rintangan dilalui, Bratasena
kemudian menikah dengan Bethari Nagagini. Cerita ini diakhri dengan kematian Prabu Baka
seorang raja yang tamak dan suka memakan daging rakyatnya sendiri.
57
BIODATA PENULIS
Anang Joko Budiman lahir pada 27 Februari 1984 di Gunungkidul.
Mengawali pendidikan semenjak di bangku taman kanak-kanak TK PKK
Tambakromo Ponjong pada tahun 1989-1990. Dilanjutkan ke jenjang
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri III Tambakromo Ponjong pada
tahun 1990-1996 dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Taman Dewasa
Tambakromo Ponjong pada tahun 1996-1999. Penulis melanjutkan ke tingkat Sekolah
Menengah Atas Negeri I Karangmojo pada tahun 1999-2002. Pendidikan terakhir yang
ditempuh penulis pada tahun 2002 hingga sekarang di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharama Yogyakarata.