SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN DAN KORBAN...

120
i LAPORAN AKHIR TAHUN Penelitian Sosial, Humaniora, dan Pendidikan (PSHP) SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN DAN KORBAN KONFLIK PASCAMOU HELSINKI Tahun ke 1 dari Rencana 2 Tahun HALAMAN SAMPUL Ketua Azwardi, S.Pd, M.Hum NIDN 0020117301 Anggota Dr. Sanusi, M.Si. NIDN 0014047301 Muhammad Iqbal, S.Pd.,M.Hum NIDN 0023118001

Transcript of SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN DAN KORBAN...

i

LAPORAN AKHIR TAHUN

Penelitian Sosial, Humaniora, dan Pendidikan (PSHP)

SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN

DAN KORBAN KONFLIK PASCAMOU HELSINKI

Tahun ke 1 dari Rencana 2 Tahun

HALAMAN SAMPUL

Ketua

Azwardi, S.Pd, M.Hum

NIDN 0020117301

Anggota

Dr. Sanusi, M.Si.

NIDN 0014047301

Muhammad Iqbal, S.Pd.,M.Hum

NIDN 0023118001

ii

HALAMAN PENGESAHAN

iii

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sikap para eks kombatan dan korban

konflik pasca-MoU Helsinki terhadap penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia

sebagai bahasa nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang

dominan di Aceh. Upaya ini dilakukan dalam kerangka pembinaan, perlindungan,

dan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Aceh

sebagai salah satu bahasa ibu di Nusantara. Target capaian tahunan penelitian ini

adalah sebagai berikut: (1) publikasi ilmiah, baik jurnal ilmiah nasional terakreditasi

maupun jurnal ilmiah internasional, (2) makalah dalam pertemuan ilmiah, dan (3)

buku ajar ber-ISBN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian dikumpulkan melalui angket yang

substansinya berkaitan dengan identitas informan, kemampaun berbahasa, dan sikap

bahasa. Instrumen penelitian ini menggunakan simpulan skala Likert dengan fokus

pertanyaan pada tiga hal mendasar yang berkaitan dengan sikap bahasa, yaitu

kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), kebanggaan terhadap penggunaan

bahasa (language pride), dan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the

norm). Pengolahan data delakukan dengan menggunakan rumus Statistical Package

for the Social Sciences (SPSS). Hipotesis penelitian ini adalah para eks kombatan

dan korban konflik memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dan memiliki

positif terhadap bahasa Aceh. Penelitian ini dilakukan di sebelas wilayah kabupaten

di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah,

Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Kesebelas

kabupaten tersebut merupakan daerah basis eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) atau daerah konflik sebelum perundingan damai antara GAM dan

Pemerintah Republik Indonesia. Informan penelitian ini adalah para eks kombatan

dan korban konflik, baik yang sudah menduduki jabatan struktural di pemerintah

Aceh maupun yang berstatus masyarakat biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sikap bahasa para eks kombatan korban konflik pasca-MoU Helsinki positif, baik

terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu

bahasa daerah di Aceh cederung positif. Berdasarkan hasil pengolahan data terkait

dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa

nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah, temuan penelitian

ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu sebagai berikut: (1) sikap yang berkaitan

dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan

dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap

yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm).

Ketiga sikap tersebut cenderung positif dimiliki oleh para eks kombatan dan korban

konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.

Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality)

merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan

kemandirian bahasanya, bahkan bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa

asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan

iv

bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam

mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai

lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari

orang atau kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran

penggunaan bahasa (awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat

yang positif dalam kesadaran menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang

berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat, dan santun. Kesadaran tersebut

merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian

bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa

merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.

(1) Kebanggaan Bahasa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori

positif. Walaupun terdapat perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang

kebanggaan berbahasa, secara umum responden suka dan bangga menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Begitu pula

jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia merupakan salah

satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden mengatakan

sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-

pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada

setiap responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan

terhadap bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga

melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal

dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan

tidak setuju.

Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek,

yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling

berhubungan satu sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah

masyarakat seringkali pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan”

yang didapat oleh seseorang menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak

sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu sama lainnya, sebuah perilaku dapat

menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan tetapi, sebaliknya, jika

komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat digunakan untuk

mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap seseorang.

Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara

keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum

memberikan respon positif terhadap aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun bahasa Aceh sebagai salah satu

bahasa daerah yang dominan di Aceh.

(2) Kesetiaan Bahasa

Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang

berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari

pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia

v

dan berbahasa Aceh para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di

Aceh cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1) bahasa Indonesia

merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia

penting karena dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh

pekerjaan, (3) anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya

lebih baik daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada

beberapa pernyataan yang lain cenderung terdapat perbedaan pendapat yang

diberikan oleh responden. Misalnya, saya lebih senang menggunakan bahasa

Indonesia dalam membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan belajar

bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai

informasi penting di media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat

dikatakan bahwa kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-

MoU Helsinki di Aceh cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku

berbahasa atau perilaku tutur mereka dalam konteks pergaulan sehari-hari.

Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh

yang menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik

dan benar dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal

dari bahasa Indonesia, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang

sudah lebih dahulu ada bukan serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini

tidaklah berlebihan karena sesuai dengan data yang diperoleh dari informan, yaitu

para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh.

(3) Kesadaran Bahasa

Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat

dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan

faktor yang sangat menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran

adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan

kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan

aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil

pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks kombatan dan korban konflik

pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini didasari

pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para informan.

Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan,

kesadaran para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa

kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat

dan sesuai dengan kaidah.

Kata kunci; sikap bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Aceh, para eks kombatan,

para korban konflik, nasionalisme, kebanggaan, kesetian, kesadaran, NKRI

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kami sampaikan kepada Allah swt. yang telah memberikan

kesehatan dan kesempatan kepada kami sehingga dapat melaksanakan penelitian ini.

Salawat dan salam tidak lupa kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang

telah membawa kita kepada peradaban yang berilmu pengetahuan dan berteknologi.

Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya kekompakan

tim peneliti. Dengan kekompakan dan kerja keras tim peneliti, penelitian ini dapat

terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, penelitian ini juga tidak akan terselesaikan

dengan baik tanpa bantuan dari tim pencacah data dan tenaga pembantu di

lapanagan. Selain itu, penelitian ini juga tidak terlepas bantuan informan, yakni para

eks kombatan dan para korban konflik Aceh yang telah bersedia mengisi dan

mengecek kebenaran data penelitian ini. Kecuali itu, bantuan dan arahan pihak

Badan Reintegrasi Aceh juga sangat berarti dalam pengumpulan data di daerah-

daerah sasaran penelitian. Atas semua peran dan kontribusi yang telah diberikan

demi kesuksesan penelitian ini kami ucakan terima kasih.

Pada kesempatan ini tim peneliti tidak lupa menyampaikan ungkapan terima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terlasananya penelitian ini.

Terima kasih yang pertama kami ucapkan kepada Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala yang telah mengesahkan proposal

penelitian ini. Selanjutnya, terima kasih juga kami sampaikan kepada Ketua

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala

dan stafnya yang telah bersedia memfasilitasi kontrak penelitian ini. Kemudian,

ucapan terima kasih yang sangat patut juga kami sampaikan kepada Ristek Dikti

yang telah membiayai penelitian ini.

Penelitian ini sudah dideskripsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan

standar keilmuan yang berlaku sehingga segala hal yang positif sungguh merupakan

suatu keberhasilan peneliti, namun jika kekurangan masih menyertainya, tim peneliti

vii

dengan hati membuka diri menerima segala kritikan yang bersifat menyempurnakan

hasil penelitian ini.

Tim Peneliti,

Oktober 2017

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................. ii

RINGKASAN .................................................................................................................... iii

PRAKATA ........................................................................................................................ vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... x

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Potensi dan Kondisi Sosial ...................................................................... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5

2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................................... 5

2.2 Sikap Bahasa ........................................................................................................... 6

2.3 Bahasa ...................................................................................................................... 7

2.4 Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa ........................................................ 8

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ........................................................10

3.3 Manfaat Penelitian .................................................................................................10

3.5 Rencana Target Capaian Tahunan ........................................................................11

BAB 4. METODE PENELITIAN ....................................................................................13

4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................................................13

4.3 Teknik Pengumpulan Data.....................................................................................14

4.4 Instrumen Penelitian ..............................................................................................14

4.5 Anggapan Dasar .....................................................................................................15

4.6 Hipotesis..................................................................................................................15

4.7 Teknik Penganalisisan Data ...................................................................................15

BAB 5. HASIL DAN LUARAN DAN LUARAN YANG DICAPAI ...............................17

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ............................................................90

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................91

7.1 Simpulan .................................................................................................................91

7.2 Saran .......................................................................................................................94

ix

Lampiran II ; Instrumen Penelitian ...................................... Error! Bookmark not defined.

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Surat Tugas Penelitian ....................................................................

Lampiran II Instrumen Penelitian ......................................................................

Lampiran III Foto-Foto Penelitian .....................................................................

Lampiran IV Pengolahan Data ..........................................................................

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini berkenaan dengan wujud sikap bahasa para eks kombatan Gerakan

Aceh Merdeka (GAM), yaitu (1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap

bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap

penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan

kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm) para eks kombatan dan

korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hal ini dilakukan sebagai langkah dan

usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang harus dilakukan

untuk membina bahasa Indonesia dan menjaga kelestarian bahasa Aceh.

Berdasarkan situasi yang teramati, sikap berbahasa Indonesia para kombatan

cenderung negatif, tetapi wujud sikap berbahasa Aceh sebagai salah satu bahasa

daerah di Aceh cenderung positif. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap

nasionalisme bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar

1945. Nasionalisme seseorang dapat dilihat dari sikap berbahasa para penutur.

Apabila sikap berbahasanya negatif, nasionalisme terhadap kebangsaan pun dapat

diragukan. Tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, dalam Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 20009 tentang Lambang Negara, Simbol Negara, Lagu

Kebangsaan, dan Bahasa Indonesia disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan

lambang identitas kebangsaan dan dapat digunakan untuk mempersatu antara suku

yang satu dan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, para eks kombatan dan

korban konflik Aceh merupakan masyarakat yang secara nyata mengalami peristiwa

yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai

(Adwani, 2012:98). Dilandaskan hal tersebut, wujud sikap berbahasa Indonesia para

kombatan dan konflik dominan negatif dan bersifat aktif dan pasif.

Faktor yang mempengaruhi seseorang penutur bersikap negatif terhadap

suatu bahasa sangatlah beragam. Salah satunya adalah pengaruh psikologi pada

seorang penutur. Konflik bersenjata yang menimpa masyarakat Aceh sejak 1976-

2005 secara tidak sadar telah membentuk sikap negatif para masyarakat Aceh,

khususnya para kombatan dan korban konflik untuk berbahasa Indonesia dengan

2

baik yang benar. Hal ini disebabkan oleh para eks kombatan dan korban konflik yang

menaruh dendam kepada militer, baik TNI maupun POLRI yang pada saat itu

menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Paradigma yang terbentuk

di waktu itu adalah bahwasanya negara Indonesia telah merenggut saudaranya

(korban meninggal) sehingga menganggap berbicara bahasa Indonesia merupakan

sebuah dosa.

Berkaitan dengan kondisi ini, Crystal (1987, 15:66) mengatakan bahwa

bahasa, ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menunjukkan berbagai

macam identitas, seperti idententitas fisik (physicalidentity), identitas psikologis

(psychologicalidentity), identitas geografis (geographicalidentity), identitas etnis

dan nasional (ethnicandnationalidentity), identitas sosial (socialidentity), identitas

kontekstual (contectualidentity), serta identitas stilistik dan sastra

(stylisticidentityandliterature). Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini, Azwardi

(2015) mengekukakan bahwa sikap positif terhadap bahasa tecermin dari

kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Berdasarkan pendapat

tersebut, khususnya identitas sosial dan identitas etnis, terlihat sangat kental pada

para eks kombatan dan korban konflik terkait penggunaan bahasa daerah dan bahasa

Indonesia.

Sejak terwujudnya perundingan damai antara Pemerintah Republik Indonesia

dan GAM pada 15 Agustus 2005 atau yang dikenal dengan Memorandum of

Understanding (MoU) Helsinki telah memberikan rasa aman dan nyaman bagi

seluruh masyarakat Aceh. Sebagaimana yang termaktub dalam Qanun Pemerintah

Aceh, MoU Helsinki adalah Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik

Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki,

Finlandia. Setelah adanya MoU tersebut, proses reintegrasi pun sangat gencar

dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proses tersebut, antara lain, dengan

membentuk lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dari keenam fungsi BRA

yang telah dirumuskan, salah satunya terdapat poin pemulihan hak sipil, hak politik,

hak ekonomi, dan hak sosial dan budaya para eks kombatan dan korban konflik.

Pemulihan hak sipil berkaitan dengan sosial dan budaya dapat dijabarkan

secara lebih luas, antara lain, melalui pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh.

3

Akan tetapi, berkaitan dengan pembinaan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa

daerah di Aceh, sejak tercetusnya proses perdamaian cenderung kurang mendapat

prioritas dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Fokus reintegrasi yang selama

ini gencar dilakukan lebih kepada hal-hal yang bersifat fisik, atau dengan perkataan

lain, mengutamakan proses rekontruksi, sedangkan pembinaan bahasa Aceh dan

bahasa Indonesia dipercayakan sepenuhnya kepada pihak-pihak perguruan tinggi

atau dinas pendidikan. Kenyataannya, ketersediaan buku-buku pelajaran muatan

lokal bahasa Aceh dan kurikulum bahasa Indonesia yang representatif sangatlah

minim. Selain itu, muatan buku-buku bacaan yang dibagikan kepada siswa tidak

mewakili kearifan lokal masyarakat Aceh.

Berkaitan dengan hal tersebut, diasumsikan bahwa ada kemungkinan

masyarakat Aceh, khususnya para eks kombatan dan korban konflik, memiliki sikap

negatif terhadap bahasa Indonesia yang disebabkan oleh trauma yang mereka hadapi

sebelumnya. Hal ini tentulah bukan alasan yang tepat untuk menjawab permasalahan

tersebut dan secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, ada

diasumsikan juga bahwa para eks kombatan dan korban konflik memiliki sikap

positif yang lebih terhadap bahasa Aceh atau bahasa Melayu dibandingkan dengan

bahasa Indonesia. Akan tetapi, hal ini juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya

karena belum pernah dilakukan penelitian terkait. Oleh karena itu, melalui penelitian

yang berjudul “Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik pasca MoU

Helsinki” ini akan diungkapkan secara komprehensif. Hal ini urgen untuk

membuktikan bahwa sikap negatif berbahasa Indonesia bukanlah yang disengaja,

dan reintegrasi yang selama ini digalakkan belum menyentuh bidang pembinaan

bahasa Indonesia atau bahasa Aceh.

1.2 Rumusan Potensi dan Kondisi Sosial

Perdamaian Aceh sudah berjalan 10 tahun dan usia perdamaian itu, pada Agustus

2016, akan memasuki 11 tahun. Perdamaian yang telah lama dinanti dan diharapkan

akan terus bertahan hingga selama-lamanya. Namun, ada asumsi bahwa trauma

sosial akibat kearogansian aparat bersenjata saat konflik bersenjata di Aceh masih

membekas dalam memori masyarakat. Akibatnya, para kombatan dan korban konflik

4

cenderung bersikap negatif terhadap pemakaian bahasa Indonesia, dan sebaliknya

bersikap positif pada bahasa Aceh atau bahasa Melayu. Untuk melaksanakan

pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dapat dilakukan dengan bermacam-

macam usaha, antara lain, melalui penelitian sehingga akan diperoleh informasi dan

data konfrehensif yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Informasi dan

data itu, antara lain, menyangkut simpulan dari sikap berbahasa para eks kombatan

dan korban konflik yang diperoleh di lapangan dan diuji dengan pengolahan data

secara statistik inferensial. Selain itu, diperlukan informasi dan data mengenai usaha-

usaha pembinaan yang pernah dilakukan. Informasi-informasi dan data itu hanya

dapat diperoleh melalui penelitian.

Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa masalah pokok yang ingin

diketahui, yaitu sebagai berikut:

(1) wujud sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para kombatan dan

korban konflik pasca-MoU Helsinki;

(2) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh

para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;

(3) usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang selama ini telah

dan akan dilakukan.

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai sikap bahasa, terutama sikap bahasa Indonesia bagi penutur

berbahasa Ibu bahasa Aceh pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.

Adapun penelitian terdahulu pernah dilakukan oleh Yusuf, dkk. (1981), Subhayni

(2006), Sulistyaningtyas (2008), dan Fuad (2014). Penelitian Yusuf (1981) hanya

mengkaji mengenai sikap berbahasa Indonesia bagi para penutur bahasa ibu bahasa

daerah dalam hal kemampuan berbicara dan menulis di tingkat Sekolah Dasar. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Subhayni (2006) berisi simpulan bahwa sikap

berbahasa para mahasiswa matrikulasi penutur berbahasa ibu bahasa Aceh

cenderung negatif terhadap bahasa Indonesia. Hasil penelitian tersebut belum

mewakili mengenai secara keseluruhan sikap berbahasa para penutur bahasa ibu

bahasa daerah di Provinsi Aceh karena status para responden sama, yakni

mahasiswa. Sulistyaningtyas (2008) menyimpulkan bahwa yang dapat berperan

sebagai pemersatu bangsa, khususnya bagi masyarakat perbatasan di Batam adalah

bahasa Indonesia. Selanjutnya, hasil penelitian Fuad (2014) menyimpulkan bahwa

sikap berbahasa Indonesia bagi masyarakat Aceh di perantauan terhadap bahasa

Indonesia positif, sedangkan bahasa daerah negatif. Penelitian ini yang dilakukan

oleh Fuad tidak dapat menjawab mengenai sikap berbahasa Indonesia masyarakat

Aceh secara keseluruhan karena sikap berbahasa seorang penutur dapat berubah

sesuai dengan stimulasi dan respons lingkungan dan psikologi penutur bahasa

tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian mengenai sikap berbahasa

Indonesia bagi para eks kombatan dan korban konflik di Aceh belum pernah diteliti

oleh para peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini urgen dan menarik

dilakukan sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan,

terutama bagi pemerintah pusat dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia di daerah

berkas konflik bersenjata dan penguatan bahasa daerah.

6

.

2.2 Sikap Bahasa

Sikap bahasa merupakan tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai

bahasa tertentu, mengenai objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada

seseorang untuk beraksi dengan cara tertentu dengan yang disenanginya. Menurut

Anderson (dalam Sumarsono, 2001:363) sikap dibagi menjadi dua, yakni sikap

berbahasa dan sikap nonbahasa, seperti sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis.

Selanjutnya, sikap bahasa ini dapat dirincikan lagi menjadi dua, yakni sikap positif

dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap berbahasa yang digunakan oleh penutur

dengan mempertahankan, baik struktur maupun makna sesuai dengan kaidah yang

berlaku dalam suatu bahasa tertentu tanpa mencampurkannya dengan bahasa lain.

Sikap negatif berbahasa adalah sikap berbahasa yang diterapkan oleh penutur yang

bertolak belakang dengan sikap positif berbahasa atau dengan kata lain

mencampuradukkan penggunaan bahasa tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, Hasan (2001) mengemukakan bahwa sikap dan

kepercayaan terhadap bahasa merupakan hal yang menentukan bagi tingkah laku

linguistik, dan hal tersebut harus dipelajari secara intensif dan komprehensif. Dalam

hal ini, para sosiolinguis, antropolog, harus menganalisis tidak hanya situasi

linguistik dan tingkah lakunya, tetapi juga nilai yang diberikan masyarakat kepada

bahasa-bahasa. Sikap penutur terhadap bahasa berkembang mula-mula di lingkungan

keluarga dan masyarakat dan kemudian barulah melebar di tingkat sekolah hingga

memunculkan kepribadiannya.

Sikap bahasa erat kaitannya dengan tipologi bahasa (languangetypology).

Hassan (2001:92) merincikan tipologi bahasa menjadi empat, yaitu (1) berdasarkan

daerah, geografis tanpa memperhatikan strukturnya, (2) berdasarkan struktural, ciri-

ciri struktur bahasa, yaitu secara fonologis, morfologi, dan sintaksis, (3) berdasarkan

geneologi, keturunan, silsilah bahasa, dan (4) berdasarkan fungsional, fungsinya

dalam masyarakat. Sebagai alat perhubungan antarwarga dan sebagai sarana penerus

ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Indonesia telah memenuhi tuntutan

kehidupan suatu masyarakat yang modern.

7

2.3 Bahasa

Komunitas bahasa (speechcommunity) adalah suatu konsep yang pernah dibahas oleh

Hudson (1980), Troike (1982), dan Braitwaite (1984). Pengertian mengenai

komunitas bahasa pun sangat beragam dan menurut hemat penulis, pengertian

komunitas bahasa yang relevan mengenai melihat peristiwa tutur di Indonesia adalah

pendapat yang dikemukakan oleh Blomfield. Blomfield (dalam Ohoiwutun,

2007:37) mengatakan bahwa komunitas bahasa dibentuk oleh mereka (kumpulan

orang yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa (lungisticrule) yang

sama). Dari pernyataan Blomfield tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu itu

dapat dikatakan sebagai komunitas bahasa apabila perkataan (kata, frasa, dan

kalimat) sudah disepakati dan dipahami maksudnya oleh semua kalangan para

penutur di suatu komunitas tersebut (konvensional). Hal ini sama halnya dengan

bahasa prokem yang berkembang di Jakarta pada 1970. Bahasa tersebut digunakan

oleh para preman dan pencopet di Jakarta. Bahasa tersebut umumnya tidak

dimengerti oleh masyarakat umum dan bahasa prokem tersebut hanya dimengerti

oleh sesama para komunitas yang berprofesi sama dengannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:924) dinyatakan bahwa

masyarakat bahasa memiliki pengertian kelompok orang yang merasa memiliki

bahasa bersama, yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yangg berpegang

pada bahasa standar yang sama. Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil

yang hubungannya bersemuka atau terdiri atas seluruh bahasa, tergantung pada

tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumper, dalam Depdiknas, 1995:162). Selain

itu, keseluruhan dialek atau varianya yang digunakan secara teratur dalam suatu

masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat. Keunggulan konsep

repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan peneliti menghubungkan antara

struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat di bawah suatu kerangka

relasi yang sama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa

merupakan keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama

diassitem tertentu dalam perbedaan dialektal dan sosiolektal.

8

Sesuai dengan yang telah dikemukakan di atas, Provinsi Aceh yang terdiri

atas berbagai etnik dan suku telah membentuk komunitas bahasa yang beragam.

Pasca-MoU Helsinki 2015, dengan kondisi kamtibmas yang semakin kondusif,

Pronvinsi Aceh kian banyak dikunjungi oleh pelancong atau para pencari kerja

sehinga komunitas bahasa di Aceh kian beragam. Penelitian ini akan

mengungkapkan dan mengkaji bagaimana sikap para kombatan dan korban konflik

terhadap menggunaan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi

dalam upaya mengatasi masalah-masalah berkenaan dengan sikap bahasa. Hal ini

sesuai dengan dengan pernyataan yang dikemukan Hasan (2001:153) berikut:

(1) pemakai bahasa mungkin merupakan dua atau lebih kode yang

dipergunakan dalam komunikasi multilingual. Dalam hal ini orang-orang

memindahkan kode-kode mereka dalam suatu pola tertentu untuk

menunjukkan identitas mereka atau menyatakan kemarahan;

(2) para penutur bahasa Indonesia memindahkan kode-kode sehingga

komunikan sering tidak dapat berkomunikasi seefektif mungkin.

2.4 Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa

Sikap berbahasa Indonesia berhubungan dengan nasionalisme berbahasa. Penutur

yang bersikap positif terhadap bahasa Indonesia secara otomatis nasionalisme

terhadap negara Republik Indonesia sangatlah tinggi. Sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Fishman (dalam Sumarsono, 2002:168) peranan bahasa dalam

nasionalisme itu sangat gamblang. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionalisme

dua bidang, yakni bidang administrasi pemerintahan dan pendidikan.

Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula

merupakan ragam regional atau raga sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak

secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan

modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula.

Nasionalisme berbading terbalik dengan etnisitas. Menurut Sumarsono (2002:168)

bagi nasionalitas, kuatnya kelompok itu mempertahankan dan menuntut penggunaan

bahasa kelompok itu, dan bagi etnisitas, kuatnya kelompok itu dipersiapkan untuk

menolak dan melepaskannya.

9

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, sikap bahasa

merupakan representasi pengalaman yang melekat pada seorang penutur, kemudian

diimplementasikan dengan bahasa. Dengan perkataan lain, sikap bahasa relevan

dengan psikologi penutur bahasa. Khususnya di Provinsi Aceh, masyarakat Aceh

mampu menguasai dua bahasa sekurang-kurangnya bahasa Aceh dan bahasa

Indonesia. Seorang dwibahasawan tentu menghadapi tiga situasi psikologis ketika

berbicara dengan orang lain, yakni (1) kebutuhan pribadi, (2) situasi saat

pembicaraan (immediatesituation), dan (3) situasi yang melatarbelakangi

pembicaraan (backgroundsituation) (Herman, dalam Sumarsono, 2002:2010).

Lebih lanjut, Sumarsono juga mengemukakan bahwa ada beberapa variasi

pilihan yang mungkin terjadi jika seorang penutur berinteraksi dengan orang dari

luar kelompoknya. Pertama, perilaku yang paling bersifat konvergensi adalah

memakai bahasa lawan bicara dan berusaha keras menampilkan ujaran yang serupa

betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana interkulor. Kedua, perilaku yang

kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa si interlokutor tetapi

aksenya mungkin lebih berat. Ketiga, penutur memakai bahasanya tetapi dengan

tempo yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin kurang

memahami bahasa yang dipakai. Keempat, penutur memakai bahasanya dengan

kecepatan normal, membiarkan lawan bicara memahami ujarannya sebisa mungkin.

Terkait dengan hal ini, Alkaidar (1999) (dalam Hutagalung, dkk 2013:9) juga

mengekukakan bahwa pasca-MoU Helsinki keadaan sosial masyarakat sama seperti

keadaan setelah perang pada 1873-1913 yang mendapat banyak "luka" pada fisik

yang berkesan dalam jiwa. Kemudian, Reid (2008) juga menggambarkan bahwa

situasi tersebut sebagai kehancuran jiwa dan mental. Selanjutnya, hasil penelitian

Hutagalung, dkk. (2013) juga membuktikan bahwa konflik bersenjata dan bencana

tsunami telah memberikan trauma bagi remaja meskipun masih pada kategorikan

sedang.

10

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Umum

Seusai dengan rumusan masalah, tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan politik bahasa nasional yang berisi

perencanaan, pengarahan, pembinaan, pengembangan, dan pemertahanan;

(2) untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan pembinaan, pengembangan, dan

pemertahanan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh yang masih

aktif digunakan oleh penuturnya.

3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) gambaran tentang wujud sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;

(2) faktor yang mempengaruhi sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para

eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;

(3) usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang selama ini telah

dan akan dilakukan.

3.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat, baik secara praktis maupun teoretis.

Manfaat praktis penelitian adalah dapat menjadi rujukan pemerintah dalam

merumuskan kebijakan politik bahasa Nasional dan khazanah ilmu pengetahuan,

terutama di bidang sosiolinguistik. Manfaat teoretis penelitian ini adalah ter-submit

di jurnal terakreditasi nasional atau internasional dan tersedianya buku ajar alternatif

bagi mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah sosiolinguistik. Buku ajar yang

disusun nantinya adalah buku ajar yang ber-ISBN dan berisikan tentang persoalan

sikap penutur berbahasa Indonesia bagi para penutur berbahasa ibu nonbahasa

Indonesia.

11

3.5 Rencana Target Capaian Tahunan

Penelitian ini bersifat multitahun (multiyear) dan akan selesai dilaksanakan selama

dua tahun. Hasil penelitian ini akan diseminarkan dalam pertemuan ilmiah berskala

nasional dan melibatkan berbagai elemen terkait, baik Pemerintah Aceh, perguruan

tinggi, para peneliti, maupun masyarakat luas. Dengan memperhatikan masukan dari

seminar tersebut, peneliti akan membukukan hasil penelitian ini dalam bentuk buku

ajar ber-ISBN sehingga dapat digunakan oleh mahasiswa, baik di strata-1, strata-2,

maupun strata-3. Selain itu, hasil penelitian ini akan dipublikasikan pada jurnal

ilmiah terakreditasi, baik nasional maupun internasinal. Adapun target capaian

penelitian ini sebagaimana terdapat pada tabel 1 berikut.

Tabel; 1 Rencana Target Capaian Tahunan

No. Jenis Luaran Indikator Capaian

TS1 TS+1 TS+2

1. Gerakan Sosial,

Lembaga Sosial-

Kemasyaarakatan,

Kebijakan, Naskah

Akademik, dan

sebagainya

Internasional tidak ada tidak ada tidak ada

Nasional

Terakreditasi

submitted published

2. Kelompok atau

Komunitas

Binaan

Internasional tidak ada tidak ada tidak ada

Nasional

Lokal model

pembinaan

bahasa

sudah

dilaksana-

kan

3. Publikasi Ilmiah Internasional submitted published tidak ada

Nasional

Terakreditasi

submitted published tidak ada

4. Pemakalah dalam

Temu Ilmiah

Internasional tidak ada tidak ada tidak ada

Nasional makalah,

terdaftar

sudah

dilaksakan

5. Invited Speaker dalam

Temu Ilmiah

Internasional tidak ada tidak ada tidak ada

Nasional Draft makalah,

sudah

dilaksana-

kan

tidak ada

6. Visiting Lecturer Internasional tidak ada tidak ada tidak ada

12

7. Hak Kekayaan

Intelektual

Paten tidak ada tidak ada tidak ada

Paten

Sederhana

tidak ada tidak ada tidak ada

Hak Cipta tidak ada tidak ada tidak ada

Merek

Dagang

tidak ada tidak ada tidak ada

Rahasia

Dagang

tidak ada tidak ada tidak ada

Desain

Produk

Industri

tidak ada tidak ada tidak ada

8. Model/Purwarupa/Desain/Karya Seni/

Rekayasa Sosial

model

pembinaan

bahasa

sudah

dilaksana-

kan

tidak ada

9. Buku Ajar (ISBN) draft,

editing

sudah

terbit

10. Tingkat Kesiapan Teknologi skala 1 skala 1

13

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan pendekatan

deskriptif-kualitatif (mixedmethod). Menurut Bungin (2008:25) pada penelitian

kuantitatif, teori atau paradigma teori digunakan untuk menuntun peneliti

menemukan masalah penelitian, menemukan hipotesis, menemukan konsep-konsep,

menemukan metodologi, dan menemukan alat-alat analisis data. Adapun penggunaan

pendekatan kuantitatif bertujuan mendeskripsikan data yang diperoleh secara statistik

inferensial (SPSS). Terkait dengan pendekatan kualitatif, menurut (Silalahi, 2009:82)

penelitian kualitatif dalam penelitian sosial tidak selalu seperti yang digunakan

dalam bidang antropologi. Ada kecenderungan pegangan peneliti kemudian dapat

berubah ketika penelitian lapangan dilaksanakan. Penggunaan pendekatan kualitatif

bertujuan mendeskripsikan data di lapangan sesuai apa yang diperoleh dengan

penjelasan yang runtun, saksama, jelas, dan padat.

4.2 Sumber Data dan Informan

Sumber data atau informan penelitian ini adalah para eks kombatan dan korban

konflik pasca-MoU Helsinki yang tersebar di 11 kabupaten di Aceh. Kesebelas

kabupaten tersebut adalah sebagai berikut: Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara,

Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,

dan Aceh Selatan.

Tabel 2; Data Informan

Kabupaten

Jumlah Jabatan

Sruktural/Fungsional

Kombatan Korban

Konflik Ada Tidak

Aceh Besar 10 5

Pidie 20 10

Bireuen 20 10

Aceh Utara 20 10

Aceh Timur 10 10

Aceh Tengah 6 4

14

Aceh Jaya 8 5

Aceh Barat 8 5

Nagan Raya 8 5

Aceh Barat Daya 8 5

Aceh Selatan 8 5

Total 126 74

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah teknik angket,

wawancara, dan kaji dokumen. Adapun langkah kerjanya adalah sebagai berikut:

(1) pernyataan masalah;

(2) pilih subjek;

(3) susun kuesioner;

(4) validasi kuesioner;

(5) siapkan surat pengantar;

(6) uji kuesioner kepada sampel kecil dari subjek;

(7) tidak lanjuti kegiatan;

(8) lakukan pengeditan kuesioner dan pengkodeaan terhadap tiap respons;

(9) analisis data

(10) tulis satu laporan yang menyajikan temuan (Silalahi, 2009:296).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara tak

terstruktur. Sebagaimana dikatakan Silalahi (2009:313) bahwa wawancara tak

terstruktur dilakukan bila pewawancara tidak memiliki seting wawancara dengan

sekuensi pertanyaan yang direncanakan yang dia akan tanyakan kepada responden.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner

digunakan untuk mengukur sikap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. Bentuk

kuesioner adalah Skala Likert yang meliputi pernyataan sangat setuju, setuju, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju. Skala Likert digunakan untuk mengukur, sikap,

pendapat, atau persepsi seseorang tentang dirinya atau kelompoknya atau

sekelompok orang yang berhubungan suatu hal. (Bungin, 2008:229-232)

15

4.5 Anggapan Dasar

Undang-Undang Dasar 1945 BAB XV Pasal 36 mengamanatkan bahwa bahasa

negara ialah Bahasa Indonesia. Selanjutnya, pada bagian penjelasan disebutkan

bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh

rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura

dan bahasa Aceh) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara.

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Berkaitan dengan hal tersebut, anggapan dasar dalam penelitian ini bahwa

konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pasca-MoU Helsinki telah membuat para eks

kombatan dan korban konflik trauma akibat perlakuan aparat keamanan yang

berbahasa Indonesia saat beroperasi di Aceh sehingga sikap berbahasa Indonesia

para kombatan dan korban konflik menjadi negatif.

4.6 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah sikap berbahasa Indonesia para eks kombatan dan

korban konflik negatif sedangkan sikap berbahasa Aceh cenderung positif.

4.7 Teknik Penganalisisan Data

Ada dua teknik penganalisisan data yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama,

data mengenai sikap berbahasa dianalisis secara kuantitatif dalam bentuk tabulasi

dengan menghitung dengan rumus SPSS. Selain mengkaji nilai rata-rata

ketercapaian, peneliti juga menganalisis keterkaitan dengan variabel lain dan faktor

penyebab yang mempengaruhi sikap bahasa. Adapun variabel yang akan dikaji

adalah gender, keterlibatan saat konflik (kombat/nonkombat/korban) usia, riwayat

pendidikan, dan jabatan struktural/fungsional.

Kedua, data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif. Secara umum langkah-

langkah yang ditempuh dalam penganalisisan data penelitian ini adalah sebagai

berikut:

(1) pemberian kode (koding) untuk setiap kategori data;

(2) menyusun kategorisasi data;

16

(3) mendeskripsikan data dan menafsirkan data;

(4) pemaknaan data;

(5) penarikan simpulan.

17

BAB 5. HASIL DAN LUARAN DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Hasil Penelitian

Dalam bab ini akan dibahas hasil analisis data berdasarkan masalah yang telah

dirumuskan sesuai dengan detail jawaban atas pertanyaan atau pernyataan berkaitan

dengan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang telah

ditentukan dalam instrumen penelitian. Sebanyak 12 pertanyaan berkaitan dengan

data pelengkap dan 26 pertanyaan behubungan dengan inti persoalan yang diteliti.

Semua pertanyaan tersebut sudah representatif sebagai instrumen untuk menjaring

data berkenaan dengan sikap bahasa para informan yang menjadi objek penelitian

ini, baik yang berkaitan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maupun

bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan digunakan di Aceh.

5.1.1 Substansi Data

Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam istrumen penjaringan data

penelitian ini adalah sebagai berikut.

No. Kemampuan Berbahasa

1. Kemampuan Berbahasa Indonesia

2. Kemampuan Berbahasa Aceh

3. Kemampuan Berbahasa Daerah Lainnya

(1).......................................

(2).......................................

(3).......................................

(4).......................................

(5).......................................

4. Kemampuan Berbahasa Asing

(1).......................................

(2).......................................

(3).......................................

5. Apa bahasa ibu Anda (bila bahasa Aceh, sebutkan dialek apa)?

6. Bahasa apakah yang digunakan oleh keluarga Anda di rumah?

7. Bahasa apakah yang digunakan oleh teman-teman dan kerabat Anda di

rumahnya?

8. Apakah Anda merasa nyaman saat menggunakan bahasa tersebut?

9. Apakah ada istilah-istilah bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang tidak

18

Anda pahami? Jika ada, apa sebabnya?

10. Apa saja usaha yang Anda lakukan selama ini untuk meningkatkan

kemampuan dalam bidang penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh?

11. Apakah Anda selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan cara membaca buku, majalah, koran, dan sebagainya? Jika

tidak apa penyebabnya, dan bila ada, bagaimana caranya?

12. Apa saran Anda terkait dengan peran pemerintah dalam pengembangan,

pembinaan, dan pelestarian bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa

Aceh (bahasa daerah) ?

No. Pernyataan

1. Saya suka dan bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi

sehari-hari.

Saya suka dan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-

hari.

2. Sebagai orang Indonesia, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa

Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai orang Aceh, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa Aceh

dalam kehidupan sehari-hari.

3.

Mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar penting bagi saya

sebagai eks kombatan/korban konflik.

Mampu berbahasa Aceh dengan baik dan benar penting bagi saya sebagai

eks kombatan/korban konflik.

4. Belajar bahasa Indonesia merupakan salah satu wujud mempertahankan

identitas nasional.

Belajar bahasa Aceh merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas

daerah.

5. Belajar bahasa Indonesia penting untuk menyerap atau memperoleh ilmu

pengetahuan.

Belajar bahasa Aceh penting untuk menyerap atau memperoleh ilmu

pengetahuan.

6. Belajar bahasa Indonesia penting karena dapat membuat saya bersaing

dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan.

Belajar bahasa Aceh penting karena dapat membuat saya bersaing dengan

orang lain untuk memperoleh pekerjaan.

7. Belajar bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau

berbagai informasi penting di media massa dengan baik.

Belajar bahasa Aceh penting karena dapat memahami berita-berita atau

berbagai informasi penting di media massa dengan baik.

8. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi.

Bahasa Aceh merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi.

9. Saya lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam membicarakan

19

masalah umum.

Saya lebih senang menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan

masalah umum.

10. Saya merasa bahasa Indonesia hanya untuk golongan terpelajar.

Saya merasa bahasa Aceh hanya untuk golongan terpelajar.

11. Penerapan kaidah berbahasa Indonesia dengan benar sering mengganggu

kelancaran berkomunikasi bagi saya.

Penerapan kaidah berbahasa Aceh dengan benar sering mengganggu

kelancaran berkomunikasi bagi saya.

12. Kecenderungan saya akan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa

Indonesia.

Kecenderungan saya akan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa

Aceh.

13. Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan

pelestarian bahasa Indonesia.

Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan

pelestarian bahasa Aceh.

14. Kemampuan berbahasa Indonesia saya hanya mampu bercakap-cakap dalam

pembicaraan sehari-hari.

Kemampuan berbahasa Aceh saya hanya mampu bercakap-cakap dalam

pembicaraan sehari-hari.

15. Saya mampu mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Indonesia,

misalnya berceramah, berpidato, dan berdiskusi.

Saya mampu mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Aceh,

misalnya berceramah, berpidato, dan berdiskusi.

16. Saya mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis, misalnya melalui

surat-menyurat resmi.

Saya mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis dalam bahasa Aceh,

misalnya melalui surat-menyurat resmi.

17. Saya selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-

hari.

Saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi sehari-hari.

18. Saya menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

Saya menguasai bahasa Aceh dengan baik.

19. Bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi.

Bahasa Aceh dapat menunjukkan identitas pribadi.

20. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berarti menjaga

identitas nasional dan daerah dengan baik.

Menggunakan bahasa Aceh dengan baik dan benar berarti menjaga identitas

nasional dan daerah dengan baik.

21. Bahasa Indonesia perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi

keutuhan negara dan bangsa Indonesia.

Bahasa Aceh perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi keutuhan

negara dan bangsa Indonesia.

22. Saya membutuhkan kamus standar dan pedoman umum ejaan bahasa

20

Indonesia agar dapat mempelajari dan menggu-nakannya secara benar.

Saya membutuhkan kamus standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh

agar dapat mempelajari dan menggunakannya secara benar.

23. Saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam

bahasa Indonesia.

Saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam

bahasa Aceh.

24. Bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada bahasa

Aceh

Bahasa Aceh lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada bahasa

Indonesia

25. Saya bangga melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal

maupun nonformal dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Saya bangga melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal

maupun nonformal dengan menggunakan bahasa Aceh.

26. Anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih

baik daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh.

Anak sekolah yang menggunakan bahasa Aceh perkembangannya lebih baik

daripada anak yang menggunakan bahasa Indonesia.

5.1.2 Hasil Pengolahan Data

Hasil pengolahan data dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan substansi sikap

bahasa, yaitu (1) berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa, (2) berkaitan dengan

kebanggaan terhadap penggunaan bahasa, dan (3) berkaitan dengan kesadaran

penggunaan bahasa, baik sikap para eks kombatan maupun para korban konflik

terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh.

5.1.2.1 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan terhadap Bahasa Indonesia

(1) Kategori Kebanggaan

KEBANGGAAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KEBANGGAAN .00 0 0 1 1

15.00 0 0 4 4

16.00 0 0 5 5

17.00 0 0 3 3

18.00 0 0 9 9

19.00 0 0 2 2

20.00 0 0 13 13

21.00 0 0 6 6

21

22.00 0 0 6 6

23.00 0 7 0 7

24.00 0 4 0 4

25.00 0 3 0 3

26.00 0 4 0 4

27.00 0 2 0 2

28.00 4 0 0 4

Total 4 20 49 73

(2) Kategori Kesetiaan

KESETIAAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESETIAAN .00 0 0 1 1

15.00 0 0 1 1

16.00 0 0 2 2

17.00 0 0 3 3

18.00 0 0 5 5

19.00 0 0 2 2

20.00 0 0 2 2

21.00 0 0 4 4

22.00 0 0 9 9

23.00 0 9 0 9

24.00 0 8 0 8

25.00 0 5 0 5

26.00 0 6 0 6

27.00 0 4 0 4

28.00 4 0 0 4

29.00 4 0 0 4

30.00 2 0 0 2

31.00 1 0 0 1

69.00 1 0 0 1

Total 12 32 29 73

(3) Kategori Kesadaran

KESADARAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESADARAN .00 0 0 1 1

16.00 0 0 1 1

22

18.00 0 0 2 2

20.00 0 0 1 1

21.00 0 0 5 5

22.00 0 0 7 7

23.00 0 6 0 6

24.00 0 13 0 13

25.00 0 7 0 7

26.00 0 9 0 9

27.00 0 5 0 5

28.00 3 0 0 3

29.00 4 0 0 4

30.00 2 0 0 2

31.00 3 0 0 3

32.00 3 0 0 3

33.00 1 0 0 1

Total 16 40 17 73

5.1.2.2 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan terhadap Bahasa Aceh

(1) Kategori Kebanggaan

KEBANGGAAN

Total SEDANG RENDAH

KEBANGGAAN .00 0 1 1

12.00 0 3 3

13.00 0 1 1

14.00 0 1 1

15.00 0 3 3

16.00 0 5 5

17.00 0 6 6

18.00 0 9 9

19.00 0 5 5

20.00 0 6 6

21.00 0 19 19

22.00 11 0 11

23.00 1 0 1

24.00 2 0 2

Total 14 59 73

23

(2) Kategori Kesetiaan

KESETIAAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESETIAAN .00 0 0 1 1

12.00 0 0 1 1

13.00 0 0 1 1

14.00 0 0 1 1

16.00 0 0 1 1

17.00 0 0 1 1

18.00 0 0 3 3

19.00 0 0 2 2

20.00 0 0 7 7

21.00 0 0 6 6

22.00 0 6 0 6

23.00 0 7 0 7

24.00 0 10 0 10

25.00 0 8 0 8

26.00 0 6 0 6

27.00 0 5 0 5

28.00 2 0 0 2

29.00 3 0 0 3

30.00 2 0 0 2

Total 7 42 24 73

(3) Kategori Kesadaran

KESADARAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESADAR

AN

.00 0 0 1 1

18.00 0 0 3 3

19.00 0 0 2 2

20.00 0 0 2 2

21.00 0 0 6 6

22.00 0 5 0 5

23.00 0 8 0 8

24.00 0 7 0 7

25.00 0 9 0 9

26.00 0 10 0 10

24

27.00 0 4 0 4

28.00 3 0 0 3

29.00 3 0 0 3

30.00 2 0 0 2

31.00 3 0 0 3

32.00 4 0 0 4

33.00 1 0 0 1

Total 16 43 14 73

5.1.2.3 Sikap Bahasa Para Korban Konflik terhadap Bahasa Indonesia

(1) Kategori Kebanggaan

KEBANGGAAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KEBANGGAAN .00 0 0 1 1

15.0

0 0 0 2 2

16.0

0 0 0 9 9

17.0

0 0 0 14 14

18.0

0 0 0 7 7

19.0

0 0 0 17 17

20.0

0 0 0 20 20

21.0

0 0 0 9 9

22.0

0 0 0 11 11

23.0

0 0 6 0 6

24.0

0 0 11 0 11

25.0

0 0 7 0 7

26.0

0 0 2 0 2

25

27.0

0 2 0 0 2

28.0

0 8 0 0 8

Total 10 26 90 126

(2) Kategori Kesetiaan

KESADARAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESADARAN .00 0 0 1 1

20.00 0 0 2 2

21.00 0 0 7 7

22.00 0 0 6 6

23.00 0 25 0 25

24.00 0 21 0 21

25.00 0 15 0 15

26.00 0 19 0 19

27.00 7 0 0 7

28.00 10 0 0 10

29.00 5 0 0 5

30.00 6 0 0 6

31.00 2 0 0 2

Total 30 80 16 126

(3) Kategori Kesadaran

KESETIAAN

Total TINGGI SEDANG

RENDA

H

KESETIAAN .00 0 0 1 1

16.00 0 0 1 1

17.00 0 0 3 3

18.00 0 0 2 2

19.00 0 0 6 6

20.00 0 0 12 12

21.00 0 0 17 17

22.00 0 0 14 14

23.00 0 9 0 9

26

24.00 0 15 0 15

25.00 0 15 0 15

26.00 0 16 0 16

27.00 4 0 0 4

28.00 5 0 0 5

29.00 3 0 0 3

30.00 2 0 0 2

32.00 1 0 0 1

Total 15 55 56 126

5.1.2.4 Sikap Bahasa Para Korban Konflik terhadap Bahasa Aceh

(1) Kategori Kebanggaan

KEBANGGAAN0

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESADARAN .00 0 0 1 1

19.00 0 0 2 2

20.00 0 1 7 8

21.00 0 0 11 11

22.00 0 1 4 5

23.00 0 4 12 16

24.00 0 12 9 21

25.00 0 5 5 10

26.00 3 6 9 18

27.00 1 7 8 16

28.00 1 5 3 9

29.00 4 6 0 10

30.00 5 3 0 8

31.00 1 2 0 3

32.00 4 1 0 5

33.00 2 0 0 2

35.00 1 0 0 1

36.00 1 0 0 1

Total 23 53 71 147

(2) Kategori Kesetiaan

KESETIAAN Total

27

TINGGI SEDANG RENDAH

KESETIAAN .00 0 0 1 1

13.00 0 0 2 2

14.00 0 0 2 2

16.00 0 0 2 2

17.00 0 0 4 4

18.00 0 0 2 2

19.00 0 0 10 10

20.00 0 0 7 7

21.00 0 0 10 10

22.00 0 0 14 14

23.00 0 29 0 29

24.00 0 10 0 10

25.00 0 10 0 10

26.00 0 13 0 13

27.00 3 0 0 3

28.00 11 0 0 11

29.00 8 0 0 8

30.00 2 0 0 2

31.00 7 0 0 7

Total 31 62 54 147

(3) Kategori Kesadaran

KESADARAN

Total TINGGI SEDANG RENDAH

KESADARAN .00 0 0 1 1

19.00 0 0 2 2

20.00 0 0 8 8

21.00 0 0 11 11

22.00 0 0 5 5

23.00 0 16 0 16

24.00 0 21 0 21

25.00 0 10 0 10

26.00 0 18 0 18

27.00 16 0 0 16

28.00 9 0 0 9

29.00 10 0 0 10

30.00 8 0 0 8

28

31.00 3 0 0 3

32.00 5 0 0 5

33.00 2 0 0 2

35.00 1 0 0 1

36.00 1 0 0 1

Total 55 65 27 147

29

5.2 Pembahasan

5.2.1 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan Aceh Pasca-MoU Helsinki

5.2.1.1 Sikap terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Hasil pengolahan data terhadap sikap kombatan pada pertanyaan 1 menunjukkan

bahwa yang memilih setuju (S) sangat mendominasi dengan persentase 57.5% atau

42 responden, sedangkan yang memilih sangat setuju (SS) berada pada tingkat kedua

dengan persentase 21.9% atau 16 responden. Hal ini memperlihatkan bahwa para eks

kombatan masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Dalam kondisi lain,

pilihan setuju menandakan bahwa eks kombatan masih setia terhadap bahasa

Indonsia sekaligus sadar betapa bahasa Indonesia adalah jati diri atau identitas

nasional sebagai warga negara Indonesia. Adapun responden yang memilih tidak

setuju (TS) terhadap opsi ini hanya 17.8% atau 13 orang dan yang memilih sangat

tidak setuju (STS) sebesar 1.4% atau 1 orang. Demikian pula dengan yang memilih

tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 orang. Persentase ini dihitung dari total

informan seluruh Aceh sebanyak 73 orang eks kombatan yang sebagian besar pernah

menjabat posisi panglima di daerahnya.

Pertanyaan kedua untuk para kombatan terkait bahasa Indonesia adalah

pentingkah menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari? Hasil

pengolahan data terhadap pertanyaan 2 memperlihatkan bahwa kombatan yang

memilih tidak mengerti (TM) terhadap pertanyaan ini ada 1 orang atau 1.4%. Hal ini

menunjukkan bahwa masih ada eks kombatan yang tidak mau tahu tentang bahasa

Indonesia. Adapun eks kombatan yang terang-terangan menyatakan tidak setuju

terhadap pertanyaan 2 ada 10 orang atau sebesar 13.7%. Selebihnya, para eks

kombatan yang memilih setuju (S) bahwa bahasa Indonesia penting digunakan

sehari-hari sebanyak 60.3% atau 44 orang dan yang memilih sangat setuju (SS)

sebesar 24.7% atau 18 orang. Hal ini menunjukkan bahwa respon terhadap

pertanyaan 2 lebih didominasi oleh eks kombatan yang menyatakan setuju (S).

Pertanyaan kedua merupakan bentuk kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Dengan

demikian, eks kombatan yang menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia berada

pada tataran setuju.

30

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 3 memperlihatkan bahwa

kesadaran eks kombatan terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi

sehari-hari masih tergolong tinggi. Hal ini tampak dengan persentase yang memilih

setuju (S) terhadap pertanyaan 3 lebih dominan hingga 63.0% atau 46 responden,

disusul posisi kedua oleh mereka yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 17.8%

atau 13 responden. Sedikit sekali eks kombatan yang menyatakan tidak setuju (TS)

terhadap pertanyaan 3. Jumlah responden eks kombatan yang menyatakan tidak

setuju (TS) hanya 15.1% atau 11 responden, diikuti responden yang menyatakan

sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden. Eks kombatan yang

memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Utara.

Selain itu, masih terdapat 1 eks kombatan yang tidak menjawab sama sekali atau

masuk kategori tidak mengerti (TM) terhadap pertanyaan 3 ini yakni sebanyak 1

orang atau sebesar 1.4%.

Hal yang sama juga terlihat pada respon terhadap pertanyaan 4, yakni eks

kombatan yang memilih setuju (S) dengan pertanyan 4 masih dominan dengan

persentase 52.1% atau 38 responden. Selebihnya, yang memilih sangat setuju (SS)

sebesar 37.0% atau 27 responden. Hal ini menunjukkan bahwa eks kombatan di

seluruh Aceh masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai wujud

mempertahankan identitas nasional. Pada pertanyaan 4 ini muncul pula nilai

nasionalisme dalam diri setiap orang. Oleh karena itu, tingginya persentase yang

menyatakan setuju terhadap pertanyaan 4 disusul pilihan sangat setuju

memperlihatkan bahwa eks kombatan Aceh masih tetap nasionalisme Indonesia.

Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) hanya tercatat sebesar 8.2% atau

6 responden dan yang memilih sangat tidak setuju (STS) serta tidak mengerti (TM)

masing-masing 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan yang merasa tidak mengerti

terhadap pertanyaan 4 berasal dari Aceh Utara.

Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 5 memperlihatkan

bahwa masih banyak eks kombatan yang merasa sangat penting belajar bahasa

Indonesia untuk menyerap atau memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari

persentase yang memilih setuju (S) terhadap pertanyaan ini lebih dominan dengan

persentase 50.7% atau 37 responden, disusul yang memilih sangat setuju (SS)

31

sebesar 39.7% atau 29 responden. Dengan demikian, nilai kesadaran akan pentingnya

bahasa Indonesia masih dapat digolongkan tinggi. Apalagi, responden yang memilih

tidak setuju (TS) hanya sebesar 6.8% atau 5 responden, disusul yang memilih sangat

tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) masing-masing 1.4% atau 1 responden.

Eks kombatan yang memilih tidak mengerti masih tetap dari Kabupaten Aceh Utara.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 6 memperlihatkan bahwa eks

kombatan yang memilih tidak mengerti (TM) masih tetap ada 1.4% atau 1 orang,

yakni dari Kabupaten Aceh Utara, sedangkan informan yang memilih sangat tidak

setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden, diikuti yang memilih tidak setuju (TS)

terhadap pertanyaan 4 sebesar 24.7% atau 18 responden. Adapun eks kombatan yang

menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pertanyaan ini sebesar 30.1% atau 22

responden dan yang memilih opsi setuju (S) sebesar 41.1% atau 30 responden.

Dengan demikian, respon terbanyak terhadap pertanyaan 6 didominasi oleh

responden yang menyatakan setuju (S). Hal ini menunjukkan bahwa para eks

kombatan masih memiliki sikap sadar betapa pentingnya belajar bahasa Indonesia

sebagai bekal bersaing mencai pekerjaan.

Pertanyaan 7 masih terkait dengan sikap kesadaran berbahasa Indonesia.

Respon eks kombatan terhadap pertanyaan 7 membuktikan bahwa mereka sangat

setuju (SS) belajar bahasa Indonesia penting agar dapat memahami berita-berita atau

berbagai informasi di media massa dengan baik. Persentase terhadap pilihan sangat

setuju mencapai 46.6% atau 34 responden, disusul dengan yang memilih setuju (S)

sebesar 39.7% atau 29 responden. Adapun eks kombatan yang merasa tidak setuju

(TS) dengan pertanyaan 4 hanya terdapat 9 orang atau sebesar 12.3% dan yang

menyatakan tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan yang

menyatakan TM masih merupakan eks kombatan yang berasal dari Kabupaten Aceh

Utara.

Hal ini berbeda dengan respons eks kombatan terhadap pertanyaan 8 yang

berisi bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar dalam situasi resmi. Untuk

pertanyaan ini, responden yang memilih setuju (S) lebih dominan dengan persentase

47.9% atau 35 orang, disusul responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar

46.6% atau 34 orang. Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan

32

pernyataan nomor 8 tercatat sebesar 2.7% atau 2 orang, sedangkan responden yang

memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 responden. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa sikap kombatan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa

resmi tergolong ke dalam kebangaan yang relatif tinggi.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 9 memperlihatkan bahwa

kesetiaan terhadap bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi masalah umum masih

tergolong rendah. Hal ini tampak dengan persentase pemilih sangat setuju (SS)

terhadap pernyataan nomor 9 hanya 19.2% atau 14 orang dan responden yang

memilih setuju (S) hanya 28.8% atau 21 orang. Adapun responden yang memilih

tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 9 mencapai 34.2% atau 25 orang. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa sikap eks kombatan terhadap bahasa Indonesia

sebagai bahasa dalam komunikasi masalah umum masih tergolong rendah. Ditambah

lagi, data yang menunjukkan pilihan sangat tidak setuju (STS) sebanyak 16.4% atau

12 orang.

Hal yang sama terlihat pada respons eks kombatan terhadap pertanyaan

nomor 10 yang berisi bahwa bahasa Indonesia hanya untuk kalanga terpelajar. Hasil

pengolahan data menunjukkan bahwa respons terbanyak pada pertanyaan 10

didominasi pada pilihan tidak setuju (TS) dengan persentase sebesar 37.0% atau 18

orang. Dengan demikian, ada nilai kesadaran dari eks kombatan terhadap bahasa

Indonesia. Responden yang menyatakan sangat tidak setuju (STS) dengan hal ini

sebesar 24.7% atau 18 orang dan yang memilih setuju (S) sedikit lebih kecil, yakni

23.3% atau 17 orang. Adapun yang memilih sangat setuju (SS) tercatat 13.7% atau

10 orang dan yang memilih tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden.

Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 11 menunjukkan

bahwa eks kombatan yang menyatakan sangat setuju (SS) penggunaan bahasa

Indonesia dengan menggunakan kaidah sering menghambat kelancaran komunikasi

mencapai 12.3% atau 9 responden, sedangkan yang menyataan setuju (S) saja

sebesar 30.1% atau 22 responden. Dari hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 11

terlihat bahwa eks kombatan merasa komunikasi dengan penerapan kaidah yang

benar sama sekali tidak menghambat komunikasi. Hal ini berdasarkan opsi yang

tidak setuju (TS) mencapai 52.1% atau 38 responden. Ada kesan bahwa kesadaran

33

eks kombatan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah

masih rendah. Ditambah lagi, responden yang memilih sangat tidak setuju (STS)

masih terdata sebesar 4.1% atau 3 orang. Pada pertanyaan ini, masih tetap terdapat 1

orang yang memilih tidak mengerti (TM) dengan persentase sebesar 1.4% yakni dari

Aceh Utara. Dengan demikian nilai kesadaran terhadap bahasa Indonesia sesua

pernyataan 11 masih tergolong rendah.

Selanjutnya, pertanyaan 12 terkait dengan kecenderungan untuk

meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia. Hal ini merupakan sikap berbahasa

yang termasuk ke dalam kesadaran meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia.

Respon terhadap pertanyaan 12 ini menunjukkan bahwa eks kombatan yang

menyatakan setuju (S) lebih besar dibanding opsi lain dengan persentase 58.9% atau

43 responden. Posisi berikutnya disusul eks kombatan yang menyataan tidak setuju

(TS) sebanyak 19.2% atau 14 responden dan eks kombatan yang menyatakan sangat

setuju (SS) sebanyak 17.8% atau 13 responden. Sedikit sekali responden yang

memilih sangat tidak setuju (STS), hanya sekitar 2.7% atau 2 responden, sedangkan

responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih tetap 1 orang atau sebanyak

1.4%. Hal ini memperlihatkan bahwa kesadaran eks kombatan untuk meningkatkan

kemampuan berbahasa Indonesia masih tergolong sedang.

Untuk pertanyaan 13, respons terbesar didominasi oleh pilihan setuju (S)

dengan persentase 46.6% atau 34 responden, disusul respons tidak setuju (TS)

sebesar 24.7% atau 18 responden. Hal ini memperlihatkan bahwa eks kombatan di

Aceh merasa sadar bertapa perlu dirinya terlibat dalam usaha pengembangan dan

pembinaan bahasa Indonesia. Rasa sadar akan hal ini masih berada pada tingkat

sedang, sebab eks kombatan yang merespon sangat setuju (SS) masih sedikit

dibanding yang memilih setuju (S). Persentase pemilih SS hanya 19.2% atau 14

responden. Adapun responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) jauh lebih

kecil yakni 8.2% atau 6 responden dan responden yang memilih tidak mengerti (TM)

tercatat 1 orang atau sebesar 1.4%.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 14 menunjukkan bahwa eks

kombatan sangat sadar dirinya mampu bercakap dalam bahasa Indonesia melebih

kebiasaan sehari-hari. Hal ini ditunjukkan dengan respon terbanyak ada pada opsi

34

tidak setuju (TS). Opsi tidak setuju ini menunjukkan bahwa eks kombatan tidak

setuju apabila dikatakan mereka masih rendah berkomunikasi sehari-hari

menggunakan bahasa Indonesia. Persentase yang menyatakan TS untuk pernyataan

nomor 14 mencapai 47.9% atau 35 responden. Adapun eks kombatan yang merasa

dirinya memang masih belum terlalu cakap menggunakan bahasa Indonesia berkisar

antara 31.4% sampai dengan 13.7%. Persentase ini menujukkan responden yang

memilih setuju mencapai 23 orang dan responden yang memilih sangat setuju (SS)

sebesar 10 orang. Selebihnya, yang menyatakn sangat tidak setuju (STS) dengan

pernyataan nomor 14 sebesar 5.5% atau 5 responden, dan yang memilih tidak

mengerti (TM ) masih sebesar 1.4% atau 1 responden. Hal ini menunjukkan bahwa

respons terhadap pertanyaan 14 didominasi oleh pemilih tidak setuju. Dengan

demikian, dapat diartikan bawha eks kombatan masih masih setia menggunakan

bahasa Indonsia dalam tuturan sehari-hari.

Hasil pengolahan data selanjutnya adalah pertanyaan 15 yang menyiratkan

sikap bangga berbahasa Indonesia dengan merasa mampu menggunakan bahasa

Indonesia dalam pidaro, ceramah, dan kegiatan sejenisnya. Respons eks kombatan

terhadap pertanyaan 15 ini didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase

mencapai 57.5% atau 42 responden. Adapun posisi kedua adalah pilihan tidak setuju

(TS) dengan persentase sebesar 24.7% atau 18 responden. Hal ini menunjukkan

bahwa rasa bangga berbahasa Indonesia masih berada pada tataran sedang, sebab

yang memilih sangat setuju (SS) terhadap hal ini hanya 16.4% atau 12 responden dan

yang memilih sanga tidak setuju (STS) sebanyak 1 orang. Demikian pula yang

memilih tidak mengerti (TM) tetap sebesar 1.4% atau 1 responden.

Respons terhadap pertanyaan 16 yang berisi rasa mampu menggunakan

bahasa Indonesia dalam ragam tulis juga didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan

jumlah 34 responden atau 46.6%, disusul pilihan terhadap tidak setuju (TS) sebanyak

22 responden atau 30.1%. Hal ini menandakan bawha rasa bangga terhadap bahasa

Indonesia dalam ragam tulis resmi masih berada pada kategori sedang, sebab

perbandingan antara setuju (S) dan tidak setuju (TS) mencapai 10% lebih. Adapun

responden yang menyatakan pilihan sangat setuju (SS) hanya 15 responden atau

20.5%. Selanjutnya, responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) dengan

35

pernyataan nomor 16 hanya 1.4% atau 1 orang. Hal ini sama dengan yang memilih

tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 17 membuktikan bahwa sikap

berbahasa eks kombatan terhadap kesetiaan berbahasa Indonesia dalam komunikasi

sehari-sehari masih sangat redah. Hal ini terlihat pada persentase yang menyatakan

tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 17 sangat mendominasi hingga 41.1% atau 30

responden. Urutan kedua adalah opsi setuju (S) dengan persentase sebesar 28.8%

atau 21 responden. Meskipun pilihan setuju berada pada opsi kedua, perbandingan

opsi setuju dengan tidak setuju sangat mencolok sehingga kesetiaan berbahasa

Indonesia eks kombatan di sini dapat dikatakan masih rendah. Terlebih lagi, opsi

ketiga untuk pernyataan 17 adalah pilihan tidak setuju (STS) dengan persentase

sebesar 17.8% atau 13 responden. Adapun opsi sangat setuju (SS) berada urutan

keempat dengan persentase sebesar 11.0% atau 8 responden dan yang memilih tidak

mengerti (TM) tetap ada 1 orang atau sebesar 1.4%. Total responden keseluruhan

kabupaten yang mendapat angket ini sebanyak 73 orang. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa eks kombatan masih sedikit yang menggunakan bahasa

Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.

Untuk pertanyan 18 yang berbunyi saya menguasai bahasa Indonesia dengan

baik, masih terdapat responden yang memilih tidak mengerti (TM) yakni 1 orang

atau 1.4%. Responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) terhadap pertanyaan

18 sebesar 2.8% atau 2 orang. Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS)

tercatat sebesar 31.9% atau 23 orang, responden yang memilih setuju (S) sebesar

43.1% atau 31 orang, dan responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 20.8%

atau 15 orang. Artinya, respon terbanyak untuk pertanyaan 18 ada pada pilihan setuju

(S) sehingga dapat disimpulkan bahwa eks kombatan yang menguasai bahasa

Indonesia pasca-MoU Helsinki masih tergolong bagus. Hal ini sekaligus

menandakan bahwa eks kombatan masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia.

Untuk pertanyaan 18 ada suara missing sebanyak 1.4% atau 1 responden sehingga

toal responden yang mengisi angket hanya 72 orang.

Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 19 menunjukkan

bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih mendominasi dengan persentase

36

mencapai 53.4% atau 39 orang, disusul yang memilih sangat setuju (SS) sebesar

23.3% atau sebanyak 17 orang. Hal ini menyiratkan bahwa kebanggan terhadap

bahasa Indonesia di kalangan eks kombatan masih tergolong tinggi, sebab pertanyaan

19 berisi bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi. Reponden yang

menyatakan tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 19 hanya 20.5% atau sebanyak 15

orang dan yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 1.4% atau sebanyak 1

orang. Demikian pula yang memilih tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau sebanyak

1 respoden yakni eks kombatan yang berada di Aceh Utara.

Pertanyaan 20 berisi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan baik. Respon terbanyak untuk

pernyataan tersebut didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase sebesar

57.5% atau 42 responden, disusul pilihan sangat setuju (SS) sebesar 28.8% atau 21

responden. Adapun yang memilih tidak setuju (TS) hanya 11.0% atau 8 responden.

Selebihnya, yang memilih sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM)

masing-masing 1.4% atau 1 responden. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa

nilai kesadaran eks kombatan terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas nasional

dan daerah tergolong sangat bagus. Angka persentase setuju sudah mencapai di atas

50% disusul persentase pilihan sangat setuju setengahnya adalah bentuk positif sikap

berbahasa Indonesia.

Hal lebih menarik adalah respons eks kombatan terhadap pertanyaan 21.

Pertanyaan 21 berupa ajakan bahwa bahasa Indonesia perlu dikembangkan, dibina,

dan dilestarikan demi keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Respons terhadap

pernyataan yang memuat nilai nasionalisme ini didominasi oleh mereka yang

memilih sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 46.6% atau 34 responden.

Artinya, hampir setengah dari total responden yang mengisi angket menyatakan

sangat setuju terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Hal ini

merupakan sikap positif berbahasa Indonesia untuk kategori kesadaran. Adapun

responden yang memilih setuju (S) terhadap pernyataan 21 tercatat sebesar 43.8%

atau 32 responden. Selebihnya, yang memilih tidak setuju (TS) sebesar 5.5% atau 4

responden, yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden,

dan yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 responden. Lagi-lagi

37

masih ada responden yang menyatakan tidak mengerti yakni dari Kabupaten Aceh

Utara.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 22 menunjukkan bahwa yang

memilih tidak mengerti (TM) dan sangat tidak setuju (STS) masih sama besarnya,

masing-masing 1.4% atau 1 responden. Hal ini sama sekali tidak bermakna apa-apa

untuk pertanyaan 22 yang berisi membutuhkan kamus standar untuk mempelajari

bahasa Indoensia. Namun, yang memilih setuju (TS) terhadap pernyataan ini

mendominasi dengan persentase sebesar 47.9% atau 35 responden. Artinya, masih

ada rasa sadar dalam diri kalangan eks kombatan untuk belajar bahasa Indonesia

lebih giat lagi, termasuk dengan kebutuhan terhadap kamus standar. Namun

demikian, ada juga sebagian eks kombatan yang menyatakan tidak setuju (TS)

terhadap pernyataan tersebut. Mereka yang memilih TS berada pada posisi kedua

dengan persentase 26.0% atau sebesar 19 responden. Sementara itu, yang memilih

sangat setuju (SS) berada posisi ketiga dengan persentase sebesar 23.3% atau 17

responden.

Untuk pertanyaan 23 yang berupa pernyataan kesulitan memahami orang

berbahasa Indonesia, respon terbanyak adalah pilihan tidak setuju (TS) sebesar

63.0% atau 46 responden. Artinya, lebih 50% dari total informan tidak setuju dengan

pernyataan tersebut. Dengan kata lain, bahasa Indonesia bukanlah sebuah bahasa

yang sulit dipahami oleh kalangan eks kombatan. Selain menguasai bahasa

Indonesia, eks kombatan juga sangat paham ketika orang lain berbahasa Indonesia.

Namun demikian, masih ada juga yang setuju dan merasa kesulitan mendengar orang

lain berbahasa Indonesia, tetapi hanya 17.8% atau 13 responden, sedangkan yang

menyatakan sangat tidak setuju (STS) ada 9 orang atau sebesar 12.3%. Hanya 3

responden atau 4.1% yang memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan 23.

Sisanya, 1.4% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM).

Respon terhadap pertanyaan 24 menunjukkan bahwa yang memilih tidak

mengerti (TM) dan sangat tidak setuju (STS) sama besarnya yakni 1.4% atau

masing-masing 1 responden. Respon terbesar untuk pertanyaan 24 ada pada pilihan

setuju (S) dengan persentase mencapai 35.6% atau 26 responden, disusul yang

memilih sangat setuju (SS) sebesar 31.5% atau 23 responden. Kecilnya selisih antara

38

pilihan setuju dengan sangat setuju menunjukkan bahwa kesadaran eks kombatan

terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dipelajari dibanding bahasa

Aceh masih sangat tinggi. Meski demikian, masih ada sebagian kalangan eks

kombatan yang merasa kesulitan mempelajari bahasa Indonesia dengan memberikan

opsi tidak setuju (TS) terhadap pertanyaan 24. Responden yang menyatakan tidak

setuju sebesar 30.1% atau 22 orang dari totoal keseluruhan 73 orang. Responden

yang paling banyak memilih tidak setuju dengan pernyatan 24 berasal dari

Kabupaten Bireuen, yakni 5 responde menyatakan tidak setuju dan 5 responde lagi

menyatakan setuju.

Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 25 memperlihatkan bahwa

responden yang memilih sangat setuju (SS) berada pada urutan kedua yakni sebesar

31.5% atau 23 orang. Adapun urutan pertama terbanyak adalah responden yang

memilih setuju (S) dengan persentase mencapai 47.9% atau 35 orang. Dengan

demikian, masih banyak eks kombatan yang merasa bangga melihat dan mendengar

anak-anak mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Sikap positif

terhadap bahasa Indonesia ini terbanyak datang dari eks kombatan di Kabupaten

Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Adapun

responden yang memilih tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 25 hanya 19.2% atau

14 orang dan responden yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1

orang yakni dari Kabupaten Aceh Utara.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pertanyaan 26 yang memuat

pernyataan anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia lebih berkembang

daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Respon terhadap pernyataan ini

didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase sebesar 39.7% atau 29 orang.

Selanjutnya, responden yang memilih sangat setuju (SS) berada pada urutan kedua

dengan persentase sedikit di bawah itu, yakni sebesar 34.2% atau 25 orang. Adapun

responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan 26 tercatat sebesar

24.7% atau 18 orang dan responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih ada 1

orang atau sebesar 1.4%. Dengan demikian, ada rasa sadar pada kalangan eks

kombatan betapa pentingnya bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan.

39

Dari hasil pengolahan data keseluruhan untuk 73 informan di seluruh

kabupaten/kota terlihat bahwa kebanggan berbahasa Indonesia dalam kalangan eks

kombatan pasca-MoU Helsinki tergolong masih rendah. Mereka yang memiliki rasa

bangga berbahasa Indonesia hanya sebagian kecil, yakni 6%. Selebihnya, 27%

berada pada posisi sedang. Sebanyak 67% dari total informan, masih memiliki rasa

bangga berbahasa Indonesia dengan olongan rendah. Persentase tersebut tergambar

dalam grafik batang dan diagram di bawah ini.

Grafik 1: tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia eks-kombatan

Diagram 1: tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia eks-kombatan

40

Selanjutnya, sikap berbahasa para kombatan untuk kategori kesetiaan berada

pada level sedang. Artinya, para kombatan masih menaruh rasa setia untuk

menggunakan dan mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Namun demikian, perbandingan golon sedangn dan rendah tidak terlalu jauh, 32

orang banding 29 orang atau 44% banding 40%. Hal ini seperti terlihat dalam grafik

dan diagram berikut.

Grafik 2: tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia eks-kombatan

Diagram 2: tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia eks-kombatan

41

Kategori kesadaran berbahasa Indonesia di kalangan eks-kombatan Aceh juga

tergolong sedang. Tercatat 55% masuk kategori sedang, 23% termasuk kategori

rendah, dan 22% termasuk kategori tinggi. Dengan demikian, setengah dari informan

dapat dikatakan masih memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan membina

bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Indonesia. Persentase kesadaran

berbahasa Indonesia kalangan eks kombatan tergambar dalam grafik dan diagram di

bawah ini.

Grafik 3: tingkat kesadaran berbahasa Indonesia eks-kombatan

Diagram 3: tingkat kesadaran berbahasa Indonesia eks-kombatan

42

5.2.1.2 Sikap terhadap Bahasa Aceh sebagai Bahasa Daerah

Para kombatan memilik pandangan positif terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa

daerah yang mereka gunakan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para

kombatan sangat suka dan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi

sehari-hari. Hal ini dapat dilihat pada opsi pertanyaan sekaligus pernyataan 1 yang

terkait dengan kesukaan dan kebanggan berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data

memperlihatkan bahwa para kombatan menyatakan sangat setuju (SS) menggunakan

bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari. Persentase untuk opsi SS mencapai 52.1%.

Artinya, tercatat 38 responden dari 73 responden keseluruhan menyatakan sangat

setuju (SS) dengan pernyataan 1. Selanjutnya, responden yang menyatakan setuju (S)

terhadap pernyataan 1 sebanyak 30 orang atau 41.1%. Hanya 4 responden yang

memilih tidak setuju (TS) atau setara dengan 5.5%, sedangkan yang menyatakan

tidak mengerti (TM) atau tidak merespons ada 1 responden atau 1.4 %. Hal ini

menunjukkan tingginya kebanggaan kombatan terhadap bahasa Aceh.

Selain merasa bangga dengan penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa

komunikasi sehari-sehari, para kombatan juga berpikir betapa pentingnya

menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Merasa pentingnya

menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari merupakan sikap bahasa

terkait kesetiaan. Artinya, para kombatan masih sangat setia terhadap bahasa Aceh

yang merupakan bahasa ibu di Aceh. Nilai kesetiaan ini tamak pada respons

informan terhadap pernyataan 2 yang berisi sebagai orang Aceh, penting bagi kita

menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Respons terhadap

pernyataan ini menunjukkan bahwa pemilih sangat setuju (SS) sangat dominan

dengan persentase 54.8% atau 40 responden dari 73 respoden. Selanjutnya,

responden lainnya sebanyak 28 orang memilih setuju (S) atau setara dengan 38.4%.

Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan 2 hanya

sebanyak 4 orang atau 5.5%. Untuk pernyataan 2 ini masih responden yang memilih

tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang atau 1.4%.

Hasil pengolahan data menunjukkan pula bahwa tingkat kesadaran berbahasa

Aceh para kombatan didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase 47.9%

43

atau 35 responden, disusul pilihan sangat setuju (SS) sebesar 39.7% atau 29

responden. Dengan demikian, untuk pertanyaan 3 ini, pemilih yang menyatakan tidak

setuju (TS) hanya 9.6% atau 7 responden, sedangkan yang memilih sangat tidak

setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) sama besarnya, masing-masing 1 responden

atau setara dengan 1.4%. Artinya, rasa sadar para kombatan terhadap bahasa Aceh

masih tergolong positif.

Belajar bahasa Aceh merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas

daerah. Pernyataan nomor 4 ini adalah sikap bangga terhadap bahasa Aceh. Respons

kombatan terhadap pernyataan nomor 4 menunjukkan bahwa pemilih sangat setuju

(SS) sangat dominan dengan persentase mencapai 61.6% atau 45 responden, diikuti

yang memilih setuju (S) sebesar 26.0% atau 19 responden. Hanya 11.0% atau 8

responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan ini yakni 2 responden

dari Aceh Selatan, 2 responden dari Aceh Barat Daya, dan 4 responden dari Aceh

Tengah. Dilihat dari wilayah ini, kombatan yang menyatakan tidak setuju dengan

pernyataan nomor 4 adalah kombatan yang berasal dari daerah yang bukan penutur

asli berbahasa Aceh. Penutur asli di Aceh Selatan adalah Aneuk Jamae, Kluet, dan

Aceh sehingga wajar ada 2 orang kombatan yang menyatakan TS terhadap

pernyataan nomor 4. Demikian halnya dengan wilayah Aceh Barat Daya dan Aceh

Tengah, kedua wilayah ini bukan penutur asli bahasa Aceh. Untuk pernyaraan nomor

4 ini, tidak ada yang memilih sangat tidak setuju (STS). Namun, masih terdapat 1

responden yang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 1.4%, yakni

responden dari Aceh Besar.

Hasil pengolahan data untuk pernyatan nomor 5 lebih didominasi oleh pilihan

setuju (S) dengan persentase 56.2% atau 41 responden. Adapun yang memilih sangat

setuju (SS) berada pada urutan kedua dengan persentase 24.7% atau 18 responden.

Hal ini menunjukkan bahwa eks kombatan Aceh masih memiliki nilai rasa sadar

terhadap pentingnya belajar bahasa Aceh untuk menyerap ilmu pengetahuan sebagai

wujud sikap positif berbahasa Aceh. Untuk pernyataan nomor 5 ini, hanya 17.8%

atau 13 responden yang memilih tidak setuju (TS). Selain itu, tercatat 1 responden

tetap memilih tidak mengerti (TM) yakni dari Kabupaten Aceh Utara. Dengan

44

demikian, sikap positif dengan kategori sadar berbahasa Aceh masih tetap

digolongkan berada pada level tinggi dalam kalangan eks kombatan.

Selanjutnya, pernyataan nomor 6 berkaitan dengan sikap berbahasa dengan

kategori kesetiaan. Pernyataan tersebut berbunyi belajar bahasa Aceh penting karena

dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan.

Pernyataan ini merupakan bentuk rasa setia terhadap bahasa Aceh sehingga merasa

sangat penting belajar bahasa Aceh dalam persaingan mencari kerja. Respons eks

kombatan untuk pernyataan ini menunjukkan bahwa pemilih setuju (S) lebih

dominan dibanding opsi lainnya. Responden yang memilih setuju (S) dengan

pernyataan nomor 7 sebanyak 30 orang atau 41.1%. Pada urutan kedua terdapat

responden yang memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebesar 21 orang atau 28.8%.

Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 7

sebanyak 16 orang atau 21.9%. Hanya 5 orang atau 6.8% responden yang memilih

dengan sikap sangat tidak setuju (STS). Persentase setiap opsi pada pernyataan

nomor tujuh ini sangat renggang antara S, TS, SS, dan STS. Hal ini menunjukkan

bahwa sikap eks kombatan sangat bervariasi terhadap pentingnya belajar bahasa

Aceh untuk mendapatkan pekerjaan. Namun demikian, masih terdapat yang memilih

tidak mengerti (TM) 1 orang atau 1.4%. Responden yang memilih TM sepertinya

masih orang yang sama dari Kabupaten Aceh Utara.

Pernyataan nomor 7 masih gambaran kesetiaan terhadap bahasa Aceh.

Pernyatan ini mencoba menggali rasa cinta dan setia eks kombatan dalam belajar

bahasa Aceh untuk mendapatkan informasi dari media massa. Ternyata, masih ada

eks kombatan yang memilih dengan opsi tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang atau

1.4%, yakni eks kombatan dari Aceh Utara. Adapun responden yang memimilih

dengan opsi sangat tidak setuju (STS) terhadap pernyataan nomor 7 sebanyak 2

orang atau setara 2.7% dan yang memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebanyak 21

orang atau 28.8%. Responden yang memilih dengan opsi setuju (S) terhadap

pernyataan ini sebanyak 29 orang atau 39.7%, disusul yang memilih dengan opsi

sangat setuju (SS) sebanyak 20 orang atau 27.4%. Artinya, respons terhadap

pertanyaan 7 masih didominasi oleh pilihan setuju (S) yang menyiratkan bahwa eks

kombatan memiliki rasa setia terhadap bahasa Aceh dengan kategori sedang.

45

Hal yang sama juga terjadi untuk respons terhadap pernyataan nomor 8 yang

berbunyi bahasa Aceh merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi. Pernyatan

ini mencoba memancing sikap berbahasa Aceh para eks kombatan untuk kategori

setia. Respons terbanyak ada dengan opsi setuju (S) yakni mencapai 41.1% atau 30

responden dari total keseluruhan 73 responden. Hal ini menandakan bahwa hampir

setengah responden memilih dengan opsi setuju. Namun demikian, responden yang

memilih tidak setuju (TS) juga masih tergolong besar, yakni 30.1% atau 22

responden, sedangkan responden yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS)

sebesar 17.8% atau 13 responden. Adapun responden yang memilih dengan opsi

sangat tidak setuju (STS) tercatat sebesar 9.6% atau 7 responden. Respons terkecil

adalah opsi tidak mengerti (TM) yakni sebesar 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan

yang tinggi rasa setianya terhadap bahasa Aceh sesuai penyataan nomor 8 berasal

dari Kabupaten Aceh Selatan. Dari 5 informan yang diberikan angket, 4 informan

memberikan respons sangat setuju jika bahasa Aceh dijadikan sebagai bahasa

pengantar dalam situasi resmi.

Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pernyatan nomor 9

memperlihatkan bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih mendominasi

dibanding yang memilih sangat setuju (SS). Persentase perbandingan antara setuju

(S) dan sangat setuju (SS) adalah 53.4% dengan 26.0%. Artinya, para eks kombatan

merasa lebih senang menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan masalah

umum. Pernyataan ini merupakan sikap berbahasa Aceh untuk kategori setia. Dengan

demikian, tingkat kesetiaan eks kombatan menggunakan bahasa Aceh sesuai

pernyataan nomor 8 masuk kategori tinggi. Hanya 16.4% atau sebanyak 12

responden yang menyatakan tidak setuju (TS) dengan pernyatan nomor 9, sedangkan

yang menyatakan sangat tidak setuju (STS) tercatat 2.7% atau 2 orang. Keduanya

merupakan eks kombatan dari Aceh Tengah. Adapun yang memilih tidak mengerti

(TM) masih tetap 1 orang atau 1.4% yakni dari Aceh Utara.

Pernyataan nomor 10 terkait dengan rasa sadar terhadap bahasa Aceh. Nilai

kesadaran tersebut dieksplisitikan dengan pernyataan yang berbunyi saya merasa

bahasa Aceh hanya untuk golongan terpelajar. Artinya, ada anggapan bahwa bahasa

Aceh hanya bagi kalangan terpelajar. Respons terhadap peranyatan ini masih ada

46

yang tidak mengerti (TM) atau tidak mengisi angket sama sekali, yakni 1 orang atau

1.4%. Informan ini bersal dari Kabupaten Utara. Adapun yang merespons dengan

opsi sangat tidak setuju (STS) tercatat sebanyak 23 orang atau 31.5% dan yang

memilih tidak setuju (TS) sebanyak 30 orang atau 41.1%. Hanya 12 orang atau

16.4% yang merespons dengan opsi setuju (S) dan 7 orang atau 9.6% yang memilih

dengan opsi sangat setuju (SS). Hal ini berarti para kombatan lebih dominan memilih

tidak setuju (TS) terhadap pernyaataan nomor 10. Dengan demikian, banyak

kombatan menganggap bahasa Aceh bukan sekadar bahasa bagi kalangan terpelajar,

tetapi juga bahasa bagi non-terpelajar.

Selanjutnya, pernyataan nomor 11 terkait dengan rasa sadar bahwa

penerapan kaidah berbahasa Aceh dengan benar sering mengganggu kelancaran

berkomunkasi. Respon eks kombatan terhadap pernyataan ini didominasi oleh opsi

tidak setuju (TS) dengan persentase sebesar 63.0% atau 46 responden, disusul opsi

setuju (S) sebesar 28.8% atau 21 responden. Hal ini menunjukkan bahwa para eks

kombatan tidak pernah merasa terganggu dengan kaidah berbahasa Aceh. Bagi

mereka, berbahasa dengan menggunakan kaidah tetap bisa memperlancara

komunikasi. Oleh karena itu, yang sangat setuju (SS) bahwa penerapan kaidah

berbahasa Aceh bisa mengganggu kelancaran komunikasi hanya 4.1% atau 3

responden. Selebihnya, yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2

responden dan yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 orang.

Para kombatan Aceh juga merasa masih perlu meningkatkan kemampuan

berbahasa Aceh mereka. Hal ini seperti terlihat untuk respon pernyataan nomor 12.

Responden yang menyatakan setuju (S) meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh

mereka mencapai 64.4% atau 47 orang. Namun, sebagian besar eks kombatan merasa

tidak perlu lagi meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh mereka. Mereka yang

menyatakan tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 12 sebesar 19.2% atau 14

orang. Adapun responden yang menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pernyataan

nomor 12 sekitar 12.3% atau 9 orang. Responden yang memilih sangat tidak setuju

(STS) sebesar 2.7% atau 2 orang yakni eks kombatan dari Aceh Barat Daya. Untuk

peranyataan nomor 12 ini, masih tetap ada responden yang memilih tidak mengerti

(TM) sebesar 1.4% atau 1 orang, yakni dari Aceh Utara.

47

Hasil pengolahan data menunjukkan pula kesadaran eks kombatan untuk turut

berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan pelestarian bahasa

Aceh. Hal ini sesuai dengan respons terhadap pernyataan nomor 13 dengan

persentase dominan ada pada opsi setuju (S) sebesar 57.5% atau 42 orang.

Responden dan yang memilih sangat setuju (SS) tercatat sebesar 15.1% atau 11

responden. Adapun yang menyakan tidak mengerti (TM) dengan pernyataan nomor

13 masih tetap 1 orang atau sebesar 1.4%. Selanjutnya, responden yang menyatakan

sangat tidak setuju (STS) tercatat 5.5% atau 4 orang dan responden yang memilih

tidak setuju (TS) sebesar 20.5% atau 15 orang. Dengan demikian, lebih setengah dari

jumlah total informan yang diberikan angket menyatakan setuju bahwa eks kombatan

perlu berperan serta dalam mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa

Aceh.

Selanjutnya, para kombatan masih merasa hanya mampu menggunakan

bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari sebagai pernyataan nomor 14. Respons

terhadap pernyataan ini didominasi oleh opsi setuju (S) dan tidak setuju (TS) dengan

nilai sama banyaknya, masing-masing 28 responden atau 38.4%. Artinya, tingkat

kesetiaan eks kombatan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-sehari

sebagaimana tercantum dalam pernyataan nomor 14 sebanding antara setuju dengan

tidak setuju. Posisi kedua untuk respon nomor 14 adalah mereka yang memilih

dengan opsi sangat tidak setuju (STS) sebesar 13.7% atau 10 responden. Sedikit

sekali yang memberikan respons dengan opsi sangat setuju (SS) yakni hanya 8.2%

atau 6 responden. Hal ini menunjukkan bahwa sikap berbahasa Aceh eks kombatan

untuk kategori kesetiaan masih tergolong rendah. Terlebih lagi, masih ada eks

kombatan yang tidak memberikan respons (TM) sama sekali, yakni 1 orang atau

setara dengan 1.4%.

Hal yang menarik pada hasil penelitian ini antara lain terlihat untuk respons

pernyataan nomor 15 yang berisi mampu mengungkapkan gagasan secara lisan

berbahasa Aceh dalam bentuk pidato, ceramah, dan berdiskusi. Respons eks

kombatan untuk pernyataan ini didominasi oleh opsi setuju (S) dengan persentase

54.8%. Artinya, ada 40 responden dari total keseluruhan 73 responden menyatakan

mampu berbahasa Aceh dalam bentuk pidato, cerama, dan sejenisnya. Hal ini

48

merupakan sikap positif untuk kesetiaan berbahasa Aceh. Namun demikian, masih

banyak yang merasa tidak mampu menggunakan bahasa Aceh saat berpidato,

ceramah, dan berdikusi. Hal ini ditunjukkan oleh responden yang memilih tidak

setuju (TS) terhadap pernyatan nomor 15 sebanyak 17 orang atau 23.3%. Mereka

yang menyatakan sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 15 berjumlah 20.5%

atau 15 orang. Artinya, sedikit sekali perbedaan antara yang memilih TS dan SS,

hanya selisih 3%. Dengan demikian, sikap kesetiaan terhadap bahasa Aceh sesuai

pernyataan nomor 15 masih dapat digolongkan tinggi. Apalagi, responden yang

menyatakan tidak mengerti (TM) hanya 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten

Aceh Utara.

Pernyataan nomor 16 merupakan penyeimbang sekaligus penguat pernyataan

nomor 15. Jika pernyataan nomor 15 berisi kemapuan mengungkapkan gagasan

secara lisan, pernyataan 16 berisi kemampuan mengungkapkan gagasan secara

tertulis dalam bahasa Aceh. Respons untuk pernyataan ini didominasi oleh pilihan

tidak setuju (TS) dengan persentase 41.1% atau 30 responden, disusul opsi setuju (S)

dengan persentase 39.7% atau 30 responden. Responden yang memilih tidak

mengerti dengan pernyatan ini masih ada 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten

Aceh Utara. Hal yang sama juga terdapat pada opsi sangat tidak setuju (STS), yakni

1 orang atau 1.4%. Responden yang menyatakan TM berasal dari Kabupaten Aceh

Timur. Responden yang memilih sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 16

hanya 16.4% atau 12 orang. Dengan demikian, tingkat kebanggaan berbahasa Aceh

para kombatan sesuai tuntutan pernyataan 16 masih tergolong rendah.

Pernyataan nomor 17 berkait dengan kesetiaan terhadap bahasa Aceh.

Pernyataan tersebut berbunyi saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam

komunikasi sehari-hari. Respons terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa yang

memilih sangat setuju (SS) jauh lebih unggul dengan persentase 42.5% atau 31

pemilih. Posisi kedua adalah responden yang memilih setuju (S) dengan persentase

39.7 atau 29 pemilih. Artinya, sikap positif berbahasa Aceh untuk kategori kesetiaan

terhadap bahasa Aceh sesuai pernyataan nomor 16 dalam kalangan eks kombatan

sangat bagus atau berada pada posisi tinggi. Hanya sedikit yang memberikan respons

tidak setuju (TS), yakni 9 orang atau 12.3%. Adapun persentase responden yang

49

memilih sangat tidak setuju (STS) tercatat 3 orang, dan dan responden yang memilih

tidak mengerti (TM) hanya 1 orang atau 1.4%.

Selanjutnya, pernyataan nomor 18 merupakan pernyataan bernilai

kebanggaan terhadap bahasa Aceh dalam bentuk mampu menguasai bahasa Aceh

dengan baik. Respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh mereka yang memilih

setuju (S) dengan persentase mencapai 43.8% atau 32 orang. Artinya, banyak eks

kombatan merasa bangga sekaligus yakin dirinya mampu berbahasa Aceh dengan

baik. Namun, mereka yang merasa mampu berbahasa Aceh dengan baik ini tidak

sampai 50% dari total informan. Dengan demikian, tingkat kebanggaan berbahasa

Aceh dalam kalangan eks kombatan Aceh masih berada pada posisi sedang. Adapun

yang mereka yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS) terhadap pernyataan

nomor 18 sebanyak 27 orang atau 37.0%. Posisi ketiga adalah responden yang

memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebesar 16.4% atau 12 responden. Untuk

pernyataan nomor 18 ini, terdapat masing-masingg 1 responden yang memilih sangat

tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) yakni masing-masing dari Kabupaten

Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Utara.

Sedikit berbeda dengan respons terhadap pernyataan nomor 18, pernyataan

nomor 19 yang juga gambar kebanggaan berbahasa Aceh mendapat respon positif

yang lebih bagus dari informan. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor

19 menunjukkan opsi sangat setuju (SS) lebih dominan dengan jumlah 32 pemilih

atau 43.8%. Posisi kedua adalah responden yang memilih setuju (S) sebanyak 29

orang atau 39.7%. Artinya, para eks kombatan masih merasa bangga dengan bahasa

Aceh dalam bentuk mengakui bahwa bahasa Aceh dapat menunjukkan identitas

pribadi. Rasa bangga ini ditunjukkan dengan jumlah pemilih opsi sangat setuju dan

setuju hampir sama banyaknya sehingga sikap berbahasa untuk respons terhadap

pernyataan nomor 19 dapat dikategorikan sangat bagus atau termasuk ke dalam

kategori tinggi. Hanya 11 orang sisa informan yang memilih tidak setuju (TS) atau

setara dengan 15.1%. Tidak ada yang memilih sangat tidak setuju (STS) terhadap

pernyataan nomor 19 ini. Hanya saja, yang memilih tidak mengerti masih tetap ada 1

orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten Aceh Utara.

50

Selanjutnya, pernyataan nomor 20 berimplikasi pada kebanggan sekaligus

kesadaran berbahasa Aceh. Namun, pernyataan nomor 20 yang berbunyi bahasa

Aceh yang baik dan benar berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan

baik lebih cenderung kepada nilai kesadaran terhadap bahasa Aceh. Respons untuk

pernyataan ini lebih didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase 49.3% atau

sejumlah 36 responden memilih opsi setuju (S). Posisi kedua adalah opsi sangat

setuju (SS) dengan persentase 35.6% atau sebanyak 26 responden. Hasil pengolahan

data terhadap pernyataan ini, hanya 10 informan atau 13.7% yang menyatakan tidak

setuju (TS). Sisanya, 1.4% atau 1 informan memilih tidak mengerti atau tidak

merespons (TM).

Hal yang menarik adalah pernyataan nomor 21 yang memancing kesadaran

para eks kombatan untuk merasa bahwa bahasa Aceh perlu dibina demi keutuhan

negara dan bangsa Indonesia. Pernyatan ini bukan sekadar kesadaran terhadap

keberlangsungan bahasa, tetapi juga mengandung nilai-nilai nasionalisme yang tinggi

dari sisi kebahasaan. Dengan adanya pengakuan bahwa bahasa Aceh dapat menjaga

keutuhan negara dan bangsa Indonesia, diharapkan para infrman sadar betapa

pentingnya mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa Aceh sebagai

bahasa daerah yang paling dominan di Provinsi Aceh. Respons eks kombatan

terhadap pernyataan ini masuk ke dalam kategori sangat baik atau tinggi. Hal ini

terlihat dari hasil pengolahan data bahwa yang merespons sangat setuju (SS)

mencapai 46.6% atau sebanyak 34 respoden, disusul yang memilih setuju (S) dengan

persentase sebesar 41.1% atau 30 pemilih. Sisa informan 9 orang lagi terbagi, 6

orang atau 8.2% memilih tidak setuju (TS), 2 orang atau 2.7% memilih tidak

mengerti (TM), dan 1 orang atau 1.4% memilih sangat tidak setuju (STS).

Pernyataan nomor 22 juga terkait dengan kesadaran berbahasa Aceh sebagai

sikap positif berbahasa. Pernyataan tersebut berbunyi saya membutuhkan kamus

standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh agar dapat mempelajari dengan

menggunakannya dengan benar. Pernyatan ini juga mengandung sebuah harapan

lahirnya pedoman umum dan ejaan yang standar dalam bahasa Aceh. Sampai saat

ini, belum ada pedoman umum atau kaidah yang standar dalam bahasa Aceh. Oleh

karenanya, pernyataan nomor 22 sangat bagus memantik kesadaran para eks

51

kombatan terhadap kaidah berbahasa Aceh yang baik dan benar. Hasil pengolahan

data menunjukkan bahwa respons sangat setuju (SS) hanya 20.5% atau 15 responden.

Angka ini lebih kecil dibanding respons tidak setuju (TS) yang mencapai 28.8% atau

21 responden. Namun, informan yang memberikan respons setuju (S) jauh lebih

unggul dengan persentase mencapai 49.3% atau 36 responden. Dengan demikian,

kesadaran berbahasa Aceh para eks kombatan sesuai penyataan nomor 22 berada

pada posisi sedang. Sisa informan 1 orang lagi memilih tidak mengerti (TM) atau

tidak merespon sama sekali. Informan yang tidak memberikan respons terhadap

penyataan 22 masih sama dengan informan yang tidak memberikan respons terhadap

pernyataan lain yakni informan dari Kabupaten Aceh Utara.

Selanjutnya, pernyataan nomor 23 juga terkait dengan sikap berbahasa untuk

kategori kesadaran. Hanya saja, kesadaran yang dimaksud pada nomor 23 lebih

kepada ketidakpahaman berbahasa Aceh. Pernyataan ini tentu penting diketahui dari

eks kombatan yang dulu mengaku sebagai pejuang Aceh. Jika di antara eks

kombatan masih banyak yang sadar bahwa dirinya kesuliatan memahami orang lain

berbahasa Aceh, tentu menjadi sebuah kasus terbaru yang baik untuk diteliti.

Kenyataannya, yang merespon tidak setuju (TS) terhadap pernyataan nomor 23

sangat mendominasi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa yang memberikan

respons TS terhadap pernyataan ini mencapai 60.3% atau 44 responden. Angka

fantastis ini membuktikan bahwa sangat banyak eks kombatan pintar dan paham

berbahasa Aceh dengan baik. Bahkan, sebesar 15.1% atau 11 responden memilih

sangat tidak setuju (STS) dengan pernyataan nomor 23. Hanya 17.8% atau 13

responden yang merasa sadar bahwa dirinya belum paham jika orang lain berbahasa

Aceh. Selebihnya, 1 orang atau 1.4% responden memilih tidak mengerti (TM) dan 4

orang atau 5.5% memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 23.

Masih seiring dengan pernyataan nomor 23, pernyataan nomor 24 juga

mencoba menggali kesadaran eks kombatan terhadap bahasa Aceh. Hanya saja,

pernyataan nomor 24 lebih kepada kesadaran terhadap mempelajari bahasa Aceh.

Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 24 memperlihatkan bahwa pilihan

sangat setuju (SS) masih tetap sedikit yakni 11 orang atau 15.1%, sedangkan yang

memilih setuju (S) berjumlah 35 orang atau 47.9%. Artinya, banyak eks kombatan

52

merasa bahwa mempelajari bahasa Aceh jauh lebih sulit tinimbang mempelajari

bahasa Indonesia. Adapun yang memilih tidak setuju (TS) terhadap pernyataan ini

berjumlah 26 orang atau 35.6%, sedangkan yang memilih tidak mengerti (TM)

sebesar 1.4% atau 1 orang. Dengan demikian, kesadaran berbahasa Aceh untuk

pernyataan nomor 24 masih tergolong rendah.

Pernyataan nomor 25 terkait dengan kebangaan terhadap bahasa Aceh.

Kebangaan di sini lebih ditujukan kepada sikap orangtua melihat anaknya dalam

berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data menunjukkan sebanyak 58.9% atau 43

responden memilih setuju (S) atau bangga melihat anak-anaknya berbahasa Aceh

baik dalam situasi formal maupun nonformal. Adapun yang merasa sagat bangga

(SS) jika anak-anaknya berbahasa Aceh dalam situasi formal dan nonformal tercatat

sebanyak 28.8% atau 21 orang. Artinya, tingkat kebangaan eks kombatan terhadap

bahasa Aceh di kalangan anak-anak mereka sudah berada pada level sangat baik atau

tinggi. Namun, sebagian eks kombatan masih ada yang memilih tidak setuju (TS)

terhadap pernyataan nomor 25 yang berarti mereka belum memiliki rasa bangga

terhadap bahasa Aceh. Mereka yang memilih tidak setuju dengan pernyataan nomor

25 berjumlah 8 orang atau 11.0%, sedangkan yang tidak merespon sama sekali

tercatat 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten Aceh Utara.

Hasil pengolahan data terhadap pernyataan terakhir, nomor 26, menujukkan

bahwa pemilih tidak setuju (TS) jauh mendominasi dengan persentase mencapai

57.5% atau 42 responden. Pernyataan nomor 26 terkait dengan kesetiaan terhadap

bahasa Aceh. Pernyataan tersebut berbunyi bahwa anaka sekolah yang menggunakan

bahasa Aceh perkembangannya lebih baik daripada anak yang menggunakan

bahasa Indonesia. Di satu sisi, pernyataan ini mencoba memantik kesetiaan eks

kombatan terhadap bahasa Aceh. Di sisi lain, pernyataan tersebut juga mengurangi

nilai nasionalisme dalam diri para eks kombatan. Oleh karenanya, opsi tidak setuju

yang melebih angka 50% dari total keseluruhan responden menunjukkan bahwa para

eks kombatan Aceh masih menaruh harapan bahwa anak sekolah yang belajar bahasa

Aceh belum tentu lebih baik perkembangannya dibanding anak sekolah yang

menggunakan bahasa Indonesia. Responde yang memilih setuju (S) dengan

pernyataan ini sebesar 30.1% atau 22 responden. Adapun responden yang tidak

53

mengerti (TM) atau tidak merespon sama sekali berjumlah 2 orang atau 2.7%,

sedangkan yang memilih sangat tidak setuju (STS) berjumlah 1 orang atau 1.4%.

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa sikap berbahasa

eks kombatan terhadap bahasa Aceh secara umum berada pada kategori sedang.

Namun demikian, terdapat perbedaan nilai antara kebanggaan, kesetiaan, dan

kesadaran terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah. Untuk aspek kebanggaan,

sikap eks kombatan tergolong ke dalam kategori rendah. Dari tujuh pernyataan yang

berkaitan dengan kebanggaan berbahasa Aceh ternyata hanya 14 orang yang

menyatakan setuju (S) atau tergolong ke dalam kategori sedang. Selebihnya, 59

responden lebih memilih tidak setuju (TS) bahkan beberapa di antaranya mengambil

opsi sangat tidak setuju (STS). Hal ini bermakna sikap berbahasa Aceh para eks

kombatan untuk aspek kebanggaan masih berada pada posisi rendah. Jika

dipersentasekan, perbandingannya 81% berada pada posisi rendah, 19% berada pada

posisi sedang. Secara lebih rinci dapat dilihat dalam grafik dan diagram di berikut.

Grafik 4: kebanggaan berbahasa Aceh eks-kombatan.

54

Diagram 4: kebanggaan berbahasa Aceh eks-kombatan.

Untuk aspek kesetiaan berbahasa, peneliti memberikan pernyataan-

pernyataan yang berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan

kemandirian bahasanya dari pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kesetiaan berbahasa Aceh para eks kombatan cenderung berada pada posisi sedang.

Dari hasil pengolahan data keseluruhan terlihat bahwa sebanyak 42 orang berada

pada posisi sedang, selebihnya 24 orang berada posisi rendah dan hanya 7 orang

yang menunjukkan sikap paling positif atau berada pada posisi tinggi. Beberapa

pernyataan yang diberikan terkait kesetiaan berbahasa para eks kombatan terhadap

bahasa Aceh antara lain sebagai orang Aceh, penting bagi kita menggunakan bahasa

Aceh dalam kehidupan sehari-hari; saya lebih senang menggunakan bahasa Aceh

dalam membicarakan masalah umum; saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam

komunikasi sehari-hari. Semua pernyataan terkait kesetiaan diajukan dalam bentuk

mempertahakan kemandirian bahasa Aceh sebagai bahasa daerah yang mereka

gunakan sehari-hari. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa hanya 10% yang

tergolong ke dalam kategori tinggi. Sebanyak 33% masih berada pada posisi rendah,

57% berada pada posisi sedang. Hal ini dapat dilihat dari grafik dan diagram di

berikut.

55

Grafik 5: kesetiaan berbahasa Aceh eks-kombatan

Diagram 5: kesetiaan berbahasa Aceh eks-kombatan.

Terakhir, kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan

bahasa secara tepat dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang

demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku pemakai bahasa. Pada

aspek ini, kesadaran adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk

meningkatkan kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa

merupakan aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa.

56

Berdasarkan hasil instrumen diketahui bahwa kesadaran berbahasa Aceh para eks

kombatan Aceh pasca-MoU Helsinki termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini

didasari pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang terdapat pada instrumen

penelitian. Beberapa pernyataan yang tergolong ke dalam kesadaran berbahasa antara

lain bahasa Indonesia perlu dibina, dikembangkan, dan dilestarikan demi keutuhan

negara dan bangsa Indonesia; saya membutuhkan kamus standar dan pedoman

umum ejaan bahasa Aceh agar dapat mempelajari dan menggunakannya dengan

benar; saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam

bahasa Aceh. Dari 10 pernyataan yang terkait dengan aspek kesadaran, sebanyak 43

orang berada pada posisi sedang, 16 orang berada pada posisi tinggi, dan 14 orang

berada pada posisi rendah. Jika dipersentasekan data keseluruhannya adalah 59%

berada pada posisi sedang, 22% berada pada posisi tinggi, dan 19% berada pada

posisi rendah. Secara lebih rinci dapat dilihat dalam grafik dan diagram di bawah ini.

Grafik 6: kesadaran berbahasa Aceh eks-kombatan.

57

Diagram 6: kesadaran berbahasa Aceh eks-kombatan.

5.2.2 Sikap Bahasa Para Korban Konflik Aceh Pasca-MoU Helsinki

5.2.2.1 Sikap terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Pascakonflik dan MoU Helsinki merupakan fase baru bagi masyarakat Aceh dalam

menentukan sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh sebagai wujud

nasionalisme. Dari sikap berbahasa tersebut, dapat diketahui tingkat kebanggan,

kesetiaan, dan kesadaran masyarakat Aceh, terutama korban konflik, terhadap bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional dan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah.

Sama halnya seperti instrumen yang diajukan kepada eks-kombatan, ada 26

pertanyaan yang berisi pernyataan sikap berbahasa bagi korban konflik Aceh.

Pernyataan-pernyataan tersebut diklasifikasi menjadi tiga: kebangaan, kesetiaan, dan

kesadaran. Namun, klasifikasi tersebut diimplisitkan dengan memberikan pernyataan

secara acak.

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa sikap berbahasa korban konflik

Aceh terhadap bahasa Indonesia pada pernyataan nomor 1 berada pada posisi sedang.

Terdata sebanyak 46.8% responden menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor

1. Angka ini relatif besar dibanding responden yang menyatakan tidak setuju (TS)

hanya 31.7%. Adapun responden yang menyatakan sangat setuju (SS) dengan

pernyatan nomor 1 berada pada angka 19.8% dan responden menyatakan sangat

58

tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) masing-masing 0.8%. Artinya, ada 1

orang yang menyatakan sangat tidak setuju dan 1 orang tidak mengerti. Dengan

demikian, persentase masyarakat korban konflik yang merasa bangga dengan bahasa

Indonesia dalam komunikasi sehari-sehari berada pada posisi sedang. Adapun

pernyataan yang menunjukkan kebanggaan tersebut berbunyi saya suka dan bangga

menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.

Selanjutnya, pernyataan nomor 2 berkenaan dengan kesetiaan terhadap

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Respon korban konflik terhadap

pernyataan nomor 2 juga berada pada posisi sedang. Terdapat 72 responden

menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor 2, disusul 37 responden

menyatakan sangat setuju (SS). Artinya, ada 57.1% responden menyatakan setuju

dan 29.4% memilih sanga setuju. Angka ini jauh lebih bagus dibanding responde

yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Hasil pengolahan data

menunjukkan bahwa responden yang memilih tidak setuju (TS) berjumlah 16 orang

atau 12.7%. Responden yang menyatakan sangat setuju (SS) paling banyak terdapat

di Kabupaten Aceh Utara (10 orang), disusul Aceh Barat (8 orang), lalu Aceh Jaya,

Aceh Selatan, dan Aceh Besar (masing-masing 4 orang). Artinya, masih banyak

korban konflik yang menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia sesuai bunyi

penyataan nomor 2, sebagai orang Indonesia, penting bagi kita menggunakan

bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-sehari. Pernyatan ini bukan sekadar

mengandung makna setia terhadap bahasa Indonesia, tetapi juga terkait rasa

nasionalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, korban konflik

Aceh masih banyak yang nasionalisme Indonesia.

Butir pernyataan 3 berisi mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar

penting bagi saya sebagai korban konflik. Tentu saja pernyataan ini terkait dengan

sikap berbahasa untuk aspek kesadaran berbahasa. Bahasa baik terkait bahasa yang

sesuai dengan komunikasi lisan, sedangkan bahasa benar merupakan bahasa yang

sesuai dengan kaidah (tulis). Tingkat responsif korban konflik terhadap pernyataan

ini sudah berada pada posisi tinggi atau baik. Hasil pengolahan data memperlihatkan

bahwa sebanyak 35 orang menyatakan sangat setuju (SS) dan 69 orang menyatakan

setuju (S) terhadap pernyataan nomor 3. Persentasenya 27.8% berada pada opsi

59

sangat setuju dan 54.8% berada pada posisi setuju. Angka ini jauh lebih besar

dibanding respons pilihan tidak setuju atau sangat tidak setuju. Mereka yang

memberikan respons tidak setuju (S) berjumlah 19 orang atau 15.1% dan yang

menyatakan sangat tidak setuju (STS) hanya 2 orang atau 1.6%. Selebihnya, terdapat

1 responden atau 0.8% berada pada posisi tdak mengerti. Dengan demikian, tingkat

kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik masih berada posisi tinggi. Ada

kesadaran betapa pentingnya belajar bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Pengakuan ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa Indonesia sangat dibutuhkan

dalan kehidupan sehari-hari di Aceh. Jika dilihat dari tabulasi data, responden yang

menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 3 berasal dari Kabupaten

Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Timur, dan

Aceh Jaya. Ada empat kabupaten/kota yang respondennya tidak memilih SS sama

sekali, yakni Nagan Raya, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Besar.

Pernyataan 4 kembali mencoba sikap berbahasa korban konflik untuk aspek

kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Dengan kalimat belajar bahasa Indonesia

merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas nasional terbukti bahwa

korban konflik Aceh sangat nasionalis. Hasil pengolahan data menunjukkan

sebanyak 81 responden menyatakan setuju (S) dan 36 responde memilih sangat

setuju (SS) dengan pernyataan nomor 4. Angka drastis ini, jika dipersentasekan

menjadi 64.3% berada pada posisi setuju dan 28.6% berada pada posisi sangat setuju.

Dengan demikian, hanya tersisa 9 responden lagi dari total 126 responden korban

konflik yang mengisi instrumen. Dari 9 responden tersebut, sebanyak 8 responden

atau 6.3% memilih tidak setuju (TS) dan 1 responde atau 0.8% memilih tidak

mengerti (TM). Responden yang paling banyak memilih sangat setuju (SS) terdapat

di Kabupaten Aceh Utara (12 orang dari 20 responden), disusul Aceh Barat (8

responden), Aceh Jaya 7 responden, Aceh Timur 5 responden, Aceh Barat Daya 3

responden, dan Aceh Selatan 1 responden. Dengan demikian, terbukti bahwa lebih

dari 50% korban konflik di seluruh kabupaten/kota masih memiliki sikap bangga

terhadap bahasa Indonesia sekaligus berjiwa nasionalis terhadap bangsa dan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

60

Pernyataan nomor 5 kembali pada aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia

dengan terus belajar bahasa Indonesia untuk menyerap ilmu pengetahuan. Respons

terhadap pernyatan ini menunjukkan bahwa dari 126 responden yang diberikan

instrumen tercatat 42 orang menyatakan sangat setuju (SS), 77 orang memilih setuju

(S), 5 orang memilih tidak setuju (TS), dan 2 orang menyatakan tidak mengerti

(TM). Dengan demikian, tingkat kesetiaan korban konflik terhadap bahasa Indonesia

sangat tinggi. Ada rasa kebutuhan terhadap bahasa Indonesia dalam menyerap ilmu

pengetahuan. Nilai rasa inilah yang dituangkan oleh para korban konflik sehingga

muncul persentase setuju sebesar 33.35% dan sangat setuju mencapai 61.1%. Hal ini

berarti bahasa Indonesia masih sangat berperan dalam kehidupan korban konflik

pasca-MoU Helsinki. Hanya 4.0% yang berada posisi tidak setuju dan 1.6% berada

pada posisi tidak mengerti. Dilihat data per kabupaten, responden yang paling

banyak memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 5 terdapat di

Kabupaten Aceh Utara (12 orang dari 20 responden). Adapun di Kabupaten Bireuen,

dari 20 responden, seluruhnya memilih setuju (S). Selanjutnya, responden dari

kabupaten/kota lain memilih dengan bervariasi antara setuju (S) dan tidak setuju

(TS). Hanya saja, 2 responden masing-masing dari Aceh Besar dan Aceh Barat Daya

memilih tidak mengerti (TM).

Hasil pengolahan data berikutnya, untuk pernyataan nomor 6, sikap

berbahasa korban konflik berada pada posisi sedang. Pernyataan nomor 6 masih

terkait dengan aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, yakni belajar bahasa

Indonesia penting untuk memperoleh pekerjaan. Sebanyak 58 responden atau 46.0%

menyatakan setuju (S) dengan pernyataan tersebut, sedangkan 31 responden atau

24.6% memilih sangat setuju (SS). Selebihnya, 23 responden atau 18.3% memilih

tidak setuju (TS), 13 responden atau 10.3% memilih sangat tidak setuju (STS), dan 1

responden atau 0.8% menyatakan tidak mengerti (TM). Responden berada pada opsi

tidak mengerti (TM) berasal dari Kabupaten Aceh Besar. Adapun Responden yang

paling banyak memilih sangat setuju (SS) berasal dari Kabupaten Aceh Utara.

Dengan demikian, sikap berbahasa korban konflik untuk nomor 6 berada pada posisi

sedang atau menengah.

61

Selanjutnya, pernyataan nomor 7 masih berkenaan dengan aspek kesetiaan

terhadap bahasa Indonesia. Pernyataan nomor 7 masih berkaitan dengan pernyataan

nomor 6, yakni soal kepentingan belajar bahasa Indonesia. Jika pernyataan nomor 6

berbunyi belajar bahasa Indonesia penting untuk memperoleh pekerjaan, pernyataan

nomor 7 berbunyi belajar bahasa Indonesia penting untuk memahami berbagai

berita dan informasi di media massa. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa

57.1% atau sebanyak 72 responden menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor

7. Selebihnya, sebanyak 39.7% atau 50 responden memilih dengan opsi sangat setuju

(SS) dan sebesar 2.4% atau 3 responden memilih opsi tidak setuju (TS). Selain itu,

dari jumlah total informan sebanyak 126 orang, hanya 1 orang atau 0.8% berada pada

opsi tidak mengerti (TM). Adapun responden yang paling banyak memilih SS

terdapat di Kabupaten Aceh Utara, disusul Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Jaya,

Aceh Timur, Aceh Besar, Abdya, dan Nagan Raya. Hal ini menunjukkan bahwa

korban konflik Aceh masih menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia dalam hal

memahami berbagai informasi dari media massa.

Pernyataan nomor 8 juga masih berkaitan dengan aspek kesetiaan. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa masih terdapat 1 orang atau 0.8% tidak mengerti

(TM) terhadap pernyataan nomor 8 yang bunyinya bahasa Indonesia merupakan

bahasa pengantar dalam situasi resmi. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan

ini menunjukkan bahwa ada 5 orang memilih tidak setuju (TS), 63 orang memilih

setuju (S), dan 57 orang memilih sangat setuju (SS). Hasil pilihan tersebut dapat

dipersentasekan dengan angka 4.0% tidak setuju, 50.0% setuju, dan 45.2% sangat

setuju. Hal ini berarti bahwa yang memilih setuju (S) masih tetap mendominasi. Di

bawahnya adalah opsi setuju yang tidak jauh berbeda dari pilihan sangat setuju.

Dengan demikian, sikap berbahasa korban konflik untuk pernyataan nomor delapan

dapat dikatakan berada pada posisi sedang.

Pernyataan nomor 9 masih menggali aspek kesetiaan berbahasa Indonesia.

Ternyata tingkat kesetiaan para korban konflik terhadap bahasa Indonesia dalam

membicarakan masalah umum sebagaimana tertera pada pernyataan nomor 8 berada

pada posisi rendah. Hal ini dapat dilihat dari pengolahan data yang menunjukkan

pilihan opsi tidak setuju (TS) lebih mendominasi dibanding yang memilih setuju (S)

62

dan sangat setuju (SS). Persentasenya 46.8% memilih TS, 34.1% memilih S, 11.9%

memilih SS. Sisanya terdapat 6.3% memilih sangat tidak setuju (STS) dan 0.8%

memilih tidak mengerti (TM). Adapun jumlah responden yang memilih tidak setuju

(TS) sebanyak 59 orang, yang memilih setuju (S) sebanyak 43 orang, yang memilih

sangat setuju (SS) sebanyak 15 orang, dan yang memilih sangat tidak setuju (STS)

sebanyak 8 orang. Sisanya, 1 orang atau sebesar 0.8% responden berada pada pilihan

tidak mengerti (TM). Responden yang paling banyak memilih tidak setuju (TS)

berasal dari Kabupaten Pidie yakni 14 orang dari 20 responden. Adapun yang tidak

memilih tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang berasal dari Aceh Besar.

Berikutnya, informan disuguhkan pernyataan nomor 10 yang berisi saya

merasa bahasa Indonesia hanya untuk kalangan terpelajar. Pernyataan ini berkaitan

dengan aspek kesadaran. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa yang memilih

tidak setuju (TS) masih mendominasi yakni 73 orang, disusul pemilih sangat tidak

setuju (STS) sebanyak 27 orang. Artinya, ada kesadaran dalam diri korban konflik

pasca-MoU bahwa bahasa Indonesia hanya untuk kalangan terpelajar. Kesadaran ini

tentu sangat positif, meskipun yang memilih TS dan STS mendominasi. Karena

pernyataan ini mengarah pada pemikiran negatif, maka opsi TS dianggap sebagai

pilihan positif terutama dalam menjaga bahasa Indonesia. Dari pengolahan data,

terlihat bahwa hanya 22 orang yang memilih setuju (S) dan sebanyak 3 orang

memilih sangat setuju (SS). Untuk pernyataan nomor 10 ini juga terdapat 1 orang

yang memilih tidak mengerti (TM). Dengan demikina, pesentase terhadap data ini

adalah 57.9% TS, 21.4% STS, 17.5% S, 2.4% SS, dan 0.8% TM. Responden yang

memilih sangat setuju berasal dari Kabupaten Aceh Selatan (2 orang) dan dari

Kabupaten Aceh Barat (1 orang).

Pernyataan nomor 11 berbunyi bahwa penerapan kaidah berbahasa

Indonesia yang benar sering menggangu kelancaran komunikasi. Pernyataan ini

merupakan aspek kesadaran terhadap bahasa Indonesia. Pilihan terhadap pernyataan

11 berkaitan dengan rasa sadar sejauhmana mampu berkomunikasi dengan penerapan

tata bahasa atau kaidah. Hasil pengolahan data membuktikan bahwa kesadaran

berbahasa sesuai pernyataan nomor 11 bagi para korban konflik berada pada level

sedang. Hal ini terlihat dari 126 informan, sebanyak 64 responden menyatakan tidak

63

setuju (TS) dengan pernyataan nomor 11. Selebihnya, sebanyak 52 responden

menyatakan setuju (S), 8 responden menyatakan sangat setuju (SS), 1 responden

menyatakan sangat tidak setuju (STS), dan 1 responden menyatakan tidak mengerti

(TM). Persentase terhadap pertanyaan 11 adalah 59.8% menyatakan TS, 41.3%

menyatakan S, 6.3% menyatakan SS, 0.8% menyatakan STS, dan 0.8% menyatakan

TM. Dari data ini tampak bahwa responden yang paling banyak menyatakan tidak

setuju (TS) berasal dari Kabupaten Aceh Utara, disusul Pidie, Aceh Timur, dan Aceh

Barat.

Pernyataan nomor 12 juga berkaitan dengan aspek kesadaran berbahasa

Indonesia. Para korban konflik merasa bahwa perlu meningkatkan kemampuan

berbahasa Indonesia. Hal ini terlihat bahwa yang memilih setuju dengan pernyataan

di atas sebanyak 71.4% responden, 14.3% responden menyatakan tidak setuju (TS),

12/7% responden menyatakan sangat setuju (SS), 0.8% responden menyatakan

sangat tidak setuju (STS), 0.8% responden menyatakan tidak mengerti (TM).

Penjumlahan terhadap tabulasi data ini menunjukkan bahwa 90 orang menyatakan S,

18 orang menyatakan TS, dan 16 orang menyatakan SS, 1 orang menyatakan STS,

dan 1 orang menyatakan TM. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang paling

banyak memilih TS berasal dari Aceh Utara, sedangkan yang terbanyak TM berasal

dari Aceh Besar. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bahwa tingkat

kesadaran berbahasa Indonesia para korban konflik sesuai pernyataan nomor 12

berada pada posisi sedang.

Pertanyaan nomor 13 juga berkaitan dengan aspek kesadaran terhadap bahasa

Indonesia. Kesadaran di sini lebih kepada peran serta para korban konflik dalam

menjaga mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa Indonesia. Hasil

pengolahan data memperlihatkan bahwa yang memilih setuju (S) lebih banyak

daripada yang memilih tidak setuju (TS), sangat setuju (SS), sangat tidak setuju (SS)

dan tidak mengerti (TM). Persentase terhadap pertanyaan 13 menunjukkan bahwa

51.6% responden memilih S, disusul 36.5% responden memilih TS, 8.7% responden

memilih SS, 2.4% responden memilih STS, dan 08% TM. Adapun jumlah pemilih

dari total responden seluruhnya 126 orang dengan rincian 65 orang S, 46 orang TS,

64

11 orang SS, 3 orang STS, dan 1 orang TM. Responden yang paling banyak memilih

sangat setuju berasal dari Kabupaten Aceh Barat.

Pernyataan nomor 14 berkaitan dengan aspek kesetiaan sekaligus kesadaran

terhadap bahasa Indonesia. Hanya saja, pernyatan kemampuan berbahasa Indonesia

hanya mampu untuk bercakap-cakap sehari-sehari lebih cenderung kepada aspek

kesetiaan. Kemampuan berbahasa seseorang tergantung pada kesetiaan orang

tersebut terhadap bahasanya. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa

pengakuan korban konflik terhadap hal ini berada pada level sedang. Tercatat 63

responden berada pada opsi setuju (S) dengan pernyataan nomor 14 tersebut. Namun,

jumlah ini tidak jauh berbeda dengan responden yang memilih opsi tidak setuju (TS),

yakni 54 orang. Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) hanya 7 orang,

diikuti yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebanyak 1 orang, dan yang berada

pada opsi tidak mengerti (TM) juga 1 orang. Dengan demikian, persentase respons

korban konflik terhadap pernyataan ini adalah 0.8% memilih TM, 0.8% memilih

STS, 42.9% memilih TS, 50.0% memilih S, dan 5.6% memilih SS.

Hasil pengolahan data terhadap pernyataan 15 menunjukkan bahwa 22 orang

atau 17.5% responden memilih sangat setuju (SS), 75 orang atau 59.5% responden

memilih setuju (S), 28 orang atau 22.2% responden memilih tidak setuju (TS), dan 1

orang atau 0.8% responden memilih tidak mengerti (TM). Responden yang paling

banyak memilih SS didominasi dari Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah pemilih setuju

lebih dominan terhadap pernyataan nomor 15 yang berbunyi saya mampu

mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian,

ada 75 responden dari 126 total informan yang merasa dirinya mampu berbahasa

Indonesia secara lisan. Hal ini berarti rasa bangga terhadap bahasa Indonesia dalam

kalangan korban konflik Aceh masih berada pada posisi baik. Kendati 28 orang

memilih tidak setuju terhadap pernataan nomor 15, hal itu sudah tertutupi dengan

jumlah pemilih setuju dan sangat setuju.

Selanjutnya, pernyataan nomor 16 juga mengacu pada aspek kebanggaan

berbahasa Indonesia. Jika pernyataan nomor 15 lebih kepada kebanggan berbahasa

secara lisan, pernyataan nomor 16 lebih kepada penguasaan bahasa secara tulis

dalam situasi resmi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa 24 orang atau 19.0%

65

responden memilih sangat setuju (SS) yang bermakna dirinya mampu menggunakan

bahasa Indonesia dalam tulisa-menulis surat resmi. Selebinya, 60 orang atau 47.6%

memilih setuju (S) dan 40 orang atau 31.7% responden memilih tidak setuju (TS).

Dengan demikian, perbandingan antara setuju dengan tidak setuju sangat kontras

sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap berbahasa korban konflik sesuai pernyataan

nomor 16 berada pada level baik. Hanya 1 orang yang memilih sangat tidak setuju

(STS) dan 1 orang berada pada opsi tidak mengerti (TM), dengan persentase masing-

masing 0.8%.

Tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia masyarakat Aceh korban konflik juga

dapat dilihat pada respons mereka terhadap pernyataan nomor 17. Kalimat saya

selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari menunjukkan

kesetiaan seseorang terhadap bahasa Indonesia. Respons terhadap pernyataan ini

menunjukkan bahwa tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik masih

berada pada level rendah. Namun demikian, bisa saja rendahnya respons tersebut

karena para korban konflik merasa tidak lancara berbahasa Aceh. Intinya, terdata

sebanyak 69 responden atau 54.8% memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan

nomor 17. Selebihnya, 36 responden atau 28.6% berada pada posisi setuju (S), dan

masing-masing 10 responden berada pada posisi sangat setuju (SS) dan sangat tidak

setuju (STS). Hanya 1 reponden atau 0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan

demikian, respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh pilihan tidak setuju (TS)

dan 20 responden dari Bireuen seluruhnya memilih tidak setuju.

Pernyataan nomor 18 berkenaan dengan penguasaan bahasa Indonesia secara

baik. Pernyataan ini mengarah pada aspek kebanggaan. Respons masyarakat korban

konflik terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa 66 orang atau 52.4% responden

memilih setuju (S), 33 orang atau 26.2% memilih tidak setuju (TS), 25 orang atau

19.8% memilih sangat setuju (SS), dan masing-masing 1 orang atau 0.8% memilih

sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM). Responden yang paling banyak

memilih sangat setuju (SS) berasal dari Aceh Utara, yakni 7 dari 20 responden. Hal

ini bermakna bahwa tingkat kebanggaan masyarakat korban konflik pada bahasa

Indonesia berada pada level menengah atau sedang. Perbandingan antara pilihan

setuju dengan tidak setuju mencapai 50%. Hanya saja, masih ada 25 responden yang

66

mememilih sangat setuju, sedangkan yang sangat tidak setuju hanya 1 responden

sehingga tingkat kebangaan berbahasa Indonesia sesuai pernyataan nomor 18 sudah

berada pada posisi menengah.

Nilai kebanggaan terhadap bahasa Indonesia juga dapat dilihat pada respons

korban konflik terhadap pernyataan bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas

pribadi. Rasa kebanggan di sini mengacu pada pengakuan identitas diri. Jika korban

konflik mengaku bahwa bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas peribadi,

berarti mereka masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Jika pilihan mereka

lebih kepada tidak setuju, beramakna nilai kebangaan terhadap bahasa Indonesia

berada pada level rendah. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa sebanyak 71

responden berada pada posisi setuju (S) terhadap pernyataan nomor 19. Selebihnya,

24 responden memilih opsi sangat setuju (SS), 28 orang memilih tidak setuju (TS),

dan 2 responden memilih sangat tidak setuju. Selain itu, ada 1 responden dari

Kabupaten Aceh Besar memilih tidak mengerti (TM) terhadap pernyataan tersebut.

Tingkat kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik dalam hal

menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berarti menjaga identitas

nasional dan daerah dengan baik sudah berada pada posisi baik. Hasil pengolahan

data memperlihatkan sebanyak 65.9% atau 83 responden memilih setuju (S) untuk

menjaga identitas nasional. Nilai positif ini dibantu pula oleh responden yang

memilih dengan opsi sangat setuju (SS) sebesar 24.6% atau 31 orang. Sisanya, 1

orang atau 0.8% responden memilih tidak mengerti (TM), 11 orang atau 8.7%

responden memilih tidak setuju (TS).

Hal yang sama tampak pada respons terhadap pernyataan bahwa bahasa

Indonesia perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi keutuhan negara

kesatuan Repulik Indonesia. Respons korban konflik terhadap pernyataan ini

menunjukkan bahwa opsi setuju (S) sangat mendominasi. Terdapat 65.1% memilih

opsi setuju (S). Artinya, ada 82 responden dari total keseluruhan 126 informan

memilih setuju dengan pernyataan nomor 21 tersebut. Sisanya, 27.0% atau 34

responden memilih sangat setuju (SS), 6.3% atau 8 responden memilih tidak setuju

(TS). Tercatat pula sebesar 1.6% atau 2 responden memilih tidak mengerti (TM).

67

Responden yang berada pada posisi tidak mengerti berasal dari Kabupaten Aceh

Barat dan Kabupaten Aceh Besar.

Selanjutnya, pernyataan nomor 22 berkaitan dengan aspek kesadaran

berbahasa Indonesia yang berbunyi saya membutuhkan kamus standar dan pedoman

umum ejaan bahasa Indonesia. Rasa kebutuhan terhadap kamus dan pedoman ejaan

berkaitan dengan tingkat kesadaran berbahasa yang berimplikasi pada kemapuan

berbahasa seseorang secara tatabahasa. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa

ada 1 responden memilih tidak mengerti (TM) terhadap pernyataan ini. Demikian

pula dengan opsi sangat tidak setuju (STS), terdapat 1 responden atau 0.8%. Namun

demikian, terdata sebayak 33 orang atau 26.2% memilih tidak setuju (TS) dengan

pernyataan tersebut. Selebihnya, 38 orang atau 30.2% memilih sangat setuju (SS)

dan 53 orang atau 42.1% memilih setuju (S). Hal ini menunjukkan bahwa resonsif

masyarakat korban konflik terhadap pertanyaan 22 lebih banyak setuju (S). Dengan

demikian, tingkat kesdaran berbahasa Indonesia para korban konflik sudah bagus.

Mereka merasa bahwa kehadiran kamus dan pedoman ejaan sangat penting dalam

berbahasa.

Tingkat kesadaran berbahasa Indonesia para korban konflik juga dapat dilihat

dari respons mereka terhadap pernyataan nomor 23. Kesadaran tersebut diukur dari

tingkat keterpahaman seseorang mendengar orang lain berbahasa Indonesia. Hasil

pengolahan data menunjukkan bahwa yang memilih tidak setuju (TS) lebih banyak

dibanding opsi lain dengan persentase mencapai 61.1% atau 77 orang. Artinya,

tingkat kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik sudah relatif baik atau berada

pada level sedang. Terlihat bahwa hanya 33 orang yang memilih setuju (S) atau

setara dengan 26.2%. Mereka yang memilih setuju dengan pernyataan 23 berarti

tingkat keterpahaman berbahasa Indonesia mereka masih rendah. Selanjutnya, yang

memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan 23 sebanyak 8 orang atau 6.3% dan

yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebanyak 7 orang atau 5.6%. Sisanya, yang

tidak merespon (TM) sebanyak 1 orang atau 0.8%.

Pernyataan nomor 24 juga masih berkenaan dengan aspek kesadaran

berbahasa Indonesia. Pada nomor 24, para korban konflik diajukan pernyataan yang

berbunyi belajar bahasa Indonesia lebih mudah daripada belajar bahasa Aceh.

68

Perbandingan mempelajari bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh ini sekaligus

melihat kemampuan keterpahaman masyarakat korban konflik. Hasil pengolahan

data menunjukkan bahwa masih ada 1 orang memilih tidak mengerti (TM), yakni

informan yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar. Selebihnya, 2 responden memilih

sangat tidak setuju (STS) dan 43 responden memilih tidak setuju (TS). Mereka yang

memilih sangat tidak setuju dan setuju bermakna belajar bahasa Indonesia tidak

sesulit belajar bahasa Aceh. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang

memilih opsi setuju (S) dan sangat setuju (SS). Terdapat 55 orang memilih setuju (S)

dan 25 orang memilih sangat setuju (SS). Dengan demikian, respons terhadap

pernyataan nomor 24 lebih didominasi oleh opsi setuju (S) dengan persentase 43.7%.

Selanjutnya, pernyataan nomor 25 berkaitan dengan aspek kebangaan

berbahasa Indonesia. Kebanggaan tersebut lebh ditujukan kepada korban konflik

yang sudah berumur atau orang tua. Melalui pernyataan nomor 25 dapat diketahui

tingkat kebangaan orang tua melihat anak-anaknya berbahasa Indonesia, baik formal

maupun nonformal. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa masih ada 1

responden yang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 0.8%. Demikian

pula yang memilih tidak mengerti (TM), juga ada 1 responden. Selebihnya, yang

memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 25 sebanyak 26 orang atau

20.6%, yang memilih setuju (S) berjumlah 65 orang atau 51.6%, dan yang memilih

sangat setuju (SS) sejumlah 33 orang atau 26.2%. Dengan demikian, diketahui

bahwa tingkat kebanggaan para orang tua korban konflik Aceh melihat anak-anaknya

berkomunikasi dengan bahasa Indonesia berada pada level sedang.

Pernyataan terakhir yang diberikan kepada korban konflik terkait dengan

anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik

dibanding anak yang menggunakan bahasa Aceh. Perbandingan ini mengacu pada

aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Hasil pengolahan data menunjukkan

bahwa respons terbanyak adalah opsi setuju (S) dengan persentase mencapai 44.4%

atau 56 orang, disusul respons sangat setuju (SS) sebesar 27.0% atau 34 orang.

Adapun yang memilih tidak setuju (TS) hanya 23.0% atau 29 orang dan yang

memilih sangat tidak setuju (STS) sekitar 4.8% atau 6 orang. Untuk pernyataan

nomor 26 ini masih ada responden yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 0.8%

69

atau 1 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia

korban konflik berada pada level sedang.

Setelah mencermati hasil pengolahan data keseluruhan terhadap sikap

berbahasa Indonesia para korban konflik, didapati hasil rata-rata masih berada pada

level rendah. Untuk kategori kebanggaan, meskipun rata-rata korban konflik suka

menggunakan bahasa Indonesia, tetapi banyak pernyataan yang mengacu pada aspek

kebanggaan yang dipilih dengan opsi setuju dan tidak setuju. Artinya, kebanggaan

berbahasa Indonesia dalam kalangan korban konflik Aceh belum merata. Sedikit

sekali informan yang memilih pernyataan pada aspek kebangaan dengan opsi sangat

setuju. Dari setiap pernyataan yang diajukan, tidak ada sebuah pernyataan pun,

misalnya, yang didominasi oleh pilihan sangat setuju. Hampir semua pernyataan

yang mengarah pada aspek kebangaan didominasi oleh pilihan setuju saja dan tidak

setuju.

Beberapa pernyataan yang tidak sekadar menggali kebangaan berbahasa

Indonesia, tetapi juga memuat sikap nasionalisme kebangsaan Indonesia, juga

didominasi oleh pilihan setuju. Pernyataan Belajar bahasa Indonesia merupakan

salah satu wujud mempertahankan identitas nasional, misalnya, sebanyak 81 korban

konflik memilih setuju. Hanya 36 responden yang menyatakan sangat setuju. Hal ini

menandakan bahwa tingkat kebangaan berbahasa Indonesia para korban konflik

masih berada pada level rendah bahkan bisa dikatakan sangat rendah. Demikian pula

untuk pernyataan Bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi, sebanyak

71 orang korban konflik memilih setuju saja, hanya 24 orang yang berada pada posisi

sangat setuju, sedangkan yang memilih tidak setuju mencapai 28 responden. Bahkan,

untuk kebanggaan melihat anak-anak berbahasa Indonesia pun, para korban konlfik

masih berada pada posisi rendah. Sebanyak 65 responden berada pada posisi setuju,

hanya 33 orang yang menyatakan sangat setuju melihat anak-anaknya berbahasa

Indonesia. Selebihnya, 26 responden lebih memilih sangat tidak setuju. Dengan

demikian, hasil rata-rata keseluruhan pernyataan untuk aspek kebanggaan berbahasa

Indonesia para korban konflik Aceh masih berada pada level rendah. Hal ini dapat

dilihat dalam grafik dan diagram berikut.

70

Grafik 7: kebanggaan berbahasa Indonesia korban konflik

Diagram 7: kebanggaan berbahasa Indonesia korban konflik

Dari grafik dan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 90

responden korban konflik masih memiliki kebangaan berbahasa Indonesia pada level

rendah, 26 responden berada pada posisi sedang, dan hanya 10 responden yang

memiliki sikap kebangaan dengan tingkat tinggi.

71

Untuk aspek kesadaran berbahasa Indonesia, para korban konflik sudah

berada pada tingkat sedang. Aspek kesadaran berbahasa terkait dengan norma-norma

dalam bahasa. Kebutuhan terhadap aturan “perbahasaan” seperti kamus, pedoman

umum ejaan, dan sejenisnya merupakan pernyatan-pernyataan yang terkait dengan

aspek kesadaran berbahasa. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa 80

responden sudah memiliki kesadaran berbahasa pada posisi sedang, sedangkan yang

berada pada kategori tinggi terdata 30 responden. Hanya 20 respoden yang masih

memiliki kesadaran berbahasa pada posisi rendah. Hal ini dapat dilihat dalam grafik

8 di bawah. Adapun persentase kesadaran berbahasa para korban konflik dapat

dilihat pada diagram 8 yang menjukkan bahwa 63% berada pada posisi sedang, 24%

pada posisi tinggi, dan 13% masih berada pada posisi rendah.

Grafik 8: kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik

72

Diagram 8: kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik

Pada aspek kesetiaan berbahasa, peneliti memberikan pernyataan-pernyataan

yang berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian

bahasanya dari pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan

berbahasa Indonesia para korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh cenderung

rendah. Hanya bebeapa item yang dipilih dengan opsi tinggi atau sangat setuju.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kesetiaan berbahasa para ekskombatan dan

korban konflik pasca-MoU cenderung positif, perbandingan antara yang berada pada

tingkat kesadaran rendah dengan tingkat kesadaran sedang hanya 1 responden.

Secara, persentase, tak ada perbedaan antara tingkat kesadaran rendah dengan tingkat

kesadaran sedang. Sebanyak 56 responden berada pada posisi rendah dan sebanyak

55 responden berada pada posisi sedang, sedangkan 15 responden lainnya sudah

berada pada posisi tinggi. Secara rinci, hal ini dapat dilihat pada grafik dan diagram

berikut.

73

Grafik 9: kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik

Diagram 9: kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik

74

5.2.2.2 Sikap terhadap Bahasa Aceh sebagai Bahasa Daerah

Data terakhir yang diolah dalam penelitian ini terkait sikap berbahasa para korban

konflik terhadap bahasa ibu bahasa Aceh. Pernyataan atau pertanyaan yang diajukan

masih sama dengan pernyataan pada sikap berbahasa Indonesia. Perbedaannya hanya

pada bahasa, misalnya, jika pada sikap berbahasa Indonesia ada pernyataan bangga

menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, pada sikap berbahasa

Aceh diajukan pernyataan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan

sehari-hari. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 1 ini menunjukkan

bahwa tingkat kebangaan berbahasa Aceh para korban konflik sangat positif.

Terdapat 51.6% atau 65 responden menyatakan sangat setuju (SS) dengan pernyataan

pertama. Selebihnya, 42.1% atau 53 responden memilih setuju (S), 4.8% atau 6

responden menyatakan tidak setuju (TS), dan masing-masing 0.8% atau 1 responden

menyatakan sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM). Responden yang

paling banyak menyatakan SS berada di Kabupaten Pidie yakni 14 responden dari 20

responden. Adapun responden yang menyatakan TM dan TST berada di Kabupaten

Aceh Besar dan Aceh Tengah.

Sebagian besar masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki merasa

sangat penting bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Pengakuan bahwa bahasa

Aceh sangat penting sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dapat dilihat dari respons

mereka terhadap pernyataan nomor 2. Hasl pengolahan data menunjukkan bahwa

63.5% responden menyatakan sangat setuju (SS) bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-

hari. Selain itu, terdapat 30.2% memilih penting (setuju) bahasa Aceh sebagai bahasa

sehari-hari. Namun demikian, terdapat 4.8 masyarakat korban konflik masih berada

pada pilihan tidak setuju atau tidak sepakat (TS), dan masing-masing 1 responden

mengambil pilihan sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti. Mereka yang

memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Tengah. Kemungkinan responden korban

konflik ini bukan berbahasa ibu bahasa Aceh. Akan tetapi, 1 orang yang memilih

tidak mengerti berasal dari Kabupaten Aceh Besar dan berbahasa ibu bahasa Aceh.

Tentu pilihan ini memunculkan spekulasi baru, mengapa orang berbahasa ibu bahasa

Aceh tidak mengerti jika bahasa Aceh baik sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.

75

Pernyataan nomor 3 terkait dengan aspek kesadaran berbahasa Aceh.

Masyarakat korban konflik merasa bahwa mampu berbahasa Aceh dengan baik dan

benar penting bagi dirinya. Pilihan yang dominan pada pernyataan nomor 3 adalah

sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 53.2% atau 67 responden, disusul

40.5% atau 51 responden memilih setuju (S). Dengan demikian, masyarakat korban

konflik masih merasa bangga dengan bahasa Aceh. Kebangaan tersebut ditunjukkan

dengan pilihan mereka pada opsi sangat setuju. Hanya 4.8% atau 6 responden yang

memilih tidak setuju (TS), 0.8% atau 1 responden memilih sangat tidak setuju (STS),

dan 0.8% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM). Hal yang menarik pada

pertanyaan 3 ini bahwa seluruh responden di Aceh Barat menyatakan SS, dan 19 dari

20 responden di Kabupaten Pidie menyatakan SS juga. Selebihnya, responden di

kabupaten/kota lain memilih SS dan S secara bervariasi. Artinya, korban konflik di

Aceh Barat dan Pidie merupakan korban konflik yang menjunjung tinggi bahasa

Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Artinya, tingkat kesadaran berbahasa Aceh

masyarakat korban konflik di kedua kabupaten tersebut berada pada level sangat

baik.

Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 4 menunjukkan tingkat

kebanggaan masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh sebagai identitas

daerah. Ternyata jawaban para korban konflik sangat memuaskan berada pada

tingkat sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 56.3% atau sebanyak 71

responden dari total 126 responden. Adapun tingkat kedua yang memilih setuju (S)

berjumlah 45 orang atau 35.7%. Artinya, tingkat kebangaan masyarakat korban

konflik terhadap bahasa Aceh sebagai identitas daerah berada pada level tinggi.

Hanya 8 orang atau 6.3% yang masih memilih tidak setuju (TS) dan 1 orang berada

pada opsi sangat tidak setuju (STS). Sisanya, 1 responden lagi masih memilih tidak

mengerti (TM). Responden yang memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Barat

Daya dan responden yang memilih TM berasal dari Kabupaten Aceh besar.

Selanjutnya, pernyataan nomor 5 berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa

Aceh dengan tetap mempelajarinya sebagai bahasa yang dapat membantu menyerap

ilmu pengetahuan. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa yang memilih

setuju (S) lebih mendominasi dibanding yang memilih sangat setuju (SS) dan opsi

76

lainnya. Mereka yang memilih setuju dengan pernyataan nomor 5 mencapai 56.3%

atau 71 responden, disusul yang memilih sangat setuju 24.6% atau 31 responden.

Meskipun pilihan terhadap sangat setuju berada di posisi kedua, kesetiaan terhadap

bahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor 5

masih berada pada posisi tinggi. Hal ini karena mereka yang memilih tidak setuju

hanya 15.9% atau 20 responden. Angka ini jauh di bawah pemilih setuju dan sangat

setuju. Demikian pula responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) hanya 2.4%

atau 3 orang. Namun demikian, masih tetap ada 1 responden atau 0.8% yang memilih

tidak mengerti (TM) yakni informan dari Kabupaten Aceh Besar.

Masyarakat korban konflik juga diminta memberikan opsi terhadap

pernyataan pentingnya belajar bahasa Aceh untuk memperoleh pekerjaan.

Pernyataan nomor 6 ini direspon positif oleh kalangan korban konflik Aceh. Tingkat

kesetiaan masyarakat korban konflik berdasarkan pernyataan nomor 6 berada pada

kategori rendah. Hal ini berdasarkan hasil pengolahan data yang tertera bahwa

pemilih setuju (S) lebih mendominasi dibanding pemilih sangat setuju. Mereka yang

memilih setuju berjumlah 49 orang atau 38.9%, sedangkan mereka yang memilih

sangat setuju (SS) berjumlah 23 orang atau 18.3%. Hal yang menarik untuk

pernyataan nomor 6 ini adalah angka pada opsi tidak setuju lebih besar dibanding

angka pada opsi pemilih setuju. Pilihan tidak setuju (TS) mencapai 37 responden

atau 29.4%. Adapun responden yang memilih sangat tidak setuju juga lumayan

banyak, 16 orang atau 12.7%. Dengan demikian, tingkat kesetiaan berbahasa Aceh

para korban konflik sesuai pernyataan nomor 6 masih berada pada kategori rendah.

Pernyataan nomor 7 juga berkaitan dengan aspek kesetiaan berbahasa Aceh

para korban konflik yang berbunyi Belajar bahasa Aceh penting karena dapat

memahami berbagai informasi penting di media massa. Hasil pengolahan data

memperlihatkan bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih banyak dibanding

yang memilih sangat setuju (SS). Persentase pemilih setuju mencapai 38.1% atau 48

responden, sedangkan yang memilih sangat setuju hanya 25.4% atau 32 orang.

Angka pada pilihan sangat setuju masih berada di bawah angka opsi tidak setuju.

Responden yang memilih tidak setuju (TS) sebesa 33.3% atau 42 responden. Artinya,

para pemilih tidak setuju hampir sebanding dengan pemilih setuju. Oleh karena itu,

77

tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik sesuai pernyataan nomor 7

masih berada pada level rendah. Ditambah lagi para responden yang memilih sangat

tidak setuju (STS) ada 2.4% atau 3 orang dan responden yang memilih tidak

mengerti (TM) 0.8% atau 1 orang.

Rendahnya tingkat kesetiaan berbahasa Aceh masyarakat korban konflik juga

terlihat dari respons mereka terhadap pernyataan nomor 8. Banyak sekali masyarakat

korban konfik yang tidak mengakui bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yang

digunakan dalam situasi resmi. Respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh

pilihan tidak setuju (TS) yang mencapai 39.7% atau 50 responden. Pada posisi

kedua, mereka yang memberikan respons setuju (S) berjumlah 31.0% atau 39

responden, dan posisi ketiga adalah respon sangat setuju (SS) sebesar 23.8% atau 30

responden. Selain itu, terdapat pemilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 4.8% atau 6

responden dan pemilih tidak mengerti (TM) sejumlah 0.8% atau 1 respoden. Hasil

pengolahan data ini menunjukkan bahwa responden dari Kabupaten Bireuen lebih

mendominasi memilih TS, disusul responden Kabupaten Aceh Besar dan Aceh

Barat. Adapun responden yang memilih tidak mengerti dengan pernyataan nomor 8

adalah responden yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar.

Berbeda dengan pernyataan nomor 8, tingkat kesetiaan berbaasa Aceh para

korban konflik untuk pernyataan nomor 9 sudah berada pada tingkat sedang. Hasil

pengolahan data menunjukkan bahwa 51 orang atau sebesar 40.5% responden

memilih setuju menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Adapun

mereka yang memilih sangat setuju (SS) sejumlah 38.1% atau 48 responden. Artinya,

hampir seluruh masyarakat korban konflik di Aceh setuju bahkan sangat setuju

menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari mereka. Hanya 16.7% atau

21 responden memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut dan 4.0% atau 5

responden memilih sangat tidak setuju (STS). Adapun 1 responden dari Aceh Besar

memilih tidak mengerti dengan tidak memberikan respon sama sekali.

Hal yang menarik adalah respons terhadap pernyataan nomor 10 yang

berbunyi Saya merasa bahasa Aceh hanya untuk kalangan terpelajar. Pernyataan ini

berimplikasi pada aspek kesadaran berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data

memperlihatkan bahwa ada kesadaran dalam kalangan masyarakat korban konflik

78

dengan memilih tidak setuju (TS) bahkan sangat tidak setuju (STS) jika bahasa Aceh

hanya bagi kalangan terpelajar. Mereka yang memberikan respons tidak setuju

mencapai 52 orang atau 41.3% dan yang merespons sangat tidak setuju berjumlah 47

orang atau 37.3%. Adapun yang memberikan responden sangat setuju (SS) hanya

4.8% atau 6 responden dan yang memberikan respons setuju (S) sejumlah 20 orang.

Adapun responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih ada 1 orang atau 0.8%,

yakni responden dari Kabupaten Aceh Besar. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat

kesadaran masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh sesuai pernyataan nomor

10 sudah berada pada tingkat sedang.

Aspek kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik juga dilihat

pada respons mereka terhadap pernyataan nomor 11. Pernyataan tersebut berbunyi

Penerapan kaidah berbahasa Aceh yang benar dapat mengganggu kelancaran

berkomunikasi. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 11 menunjukkan

bahwa reponden yang memilih tidak setuju mendominasi dengan persentase

mencapai 62.7% atau 79 responden, disusul responden yang memilih setuju (S)

sebesar 24.6% atau 31 orang. Artinya, tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat

korban konflik sesuai pernyataan di atas masih berada pada tingkat rendah. Ditambah

respons para pemilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 7.1% atau 9 orang, semain

memperkuat bahwa tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik

masih rendah. Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) hanya 4.8% atau

6 orang. Untuk pernyataan ini tetap masih ada responden yang berada pada pilihan

tidak mengerti (TM) 1 orang atau 0.8% yakni dari Kabupaten Aceh Besar.

Tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik dengan tetap

mau belajar dan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh berada pada

level sedang. Responden yang memilih setuju (S) untuk meningkatkan kemampuan

berbahasa Aceh mereka mencapai 62.7% atau 79. Adapun responden yang

memberikan respon sangat setuju (SS) sama besarnya dengan yang memilih tidak

setuju (TS), yakni 18.3% atau 23 orang. Hal ini bermakna bahwa tingkat kesadaran

masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh belum terlalu bagus. Untuk

pernyataan nomor 12 ini, masih ada 1 orang atau 0.8% mengambil sikap tidak

mengerti (TM).

79

Hal yang sama tampak pada respons korban konflik Aceh terhadap pernyatan

13 yang berbunyi Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan,

pembinaan, dan pelestarian bahasa Aceh. Responden yang memilih setuju (S) lebih

mendominasi hingga 46.0% atau 58 orang. Responden yang memilih sangat setuju

(SS) berada pada posisi kedua dengan persentase 27.0% atau 34 orang. Adapun

responden yang memilih tidak setuju (TS) berbeda satu angka dengan pemilih SS,

yakni 26.2% atau 33 orang. Selanjutnya, responden yang memilih tidak mengerti

(TM) masih ada 1 orang atau 0.8%. Hal ini bermakna bahwa tingkat kesadaran

berbahasa Aceh para korban konflik dengan turut berperan mengembangkan dan

membina bahasa Aceh masih berada pada level sedang.

Selanjutnya pernyataan nomor 14 berbunyi Kemampuan berbahasa Aceh

saya hanya mampu untuk bercakap-cakap dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan

ini merupakan aspek kesadaran berbahasa yang menunjukkan tingkat kemampuan

seseorang dalam berkomunikasi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa respons

terhadap pernyataan nomor 14 lebih didominiasi oleh mereka yang memilih setuju

(S) dengan persentase 42.1% atau 53 responden. Hal ini bermakna bahwa tingkat

kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik masih berada pada level

rendah. Harusnya, mereka tidak sekadar mampu menggunakan bahasa Aceh dalam

kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk

lebih luas. Oleh karena itu sangat menarik melihat respons masyarakat korban

konflik fi Kabupaten Pidie. Dari 20 informan di Kabupaten Pidie, sebanyak 14 orang

memilih sangat tidak setuju (STS). Artinya, korban konflik di Kabupaten Pidie

merasa kemampuan berbahasa Aceh mereka bukan sekadar untuk komunikasi sehari-

hari. Namun demikian, hasil rata-rata terhadap pernyataan nomor 14 menunjukan

respons setuju lebih mendominasi. Posisi kedua adalah opsi tidak setuju (TS) dengan

persentase sebesar 31.0% atau 39 responden. Adapun responden yang memilihi

sangat setuju (SS) sebesar 13.5% atau 17 responden, berbeda satu angka dengan

pemilih sangat setuju (STS) dengan persentase sebesar 12.7% atau 16 responden.

Untuk pernyataan ini masih tetap ada 1 orang atau 0.8% memilih tidak mengerti

(TM) yakni responden dari Kabupaten Aceh Besar.

80

Respon korban konflik Aceh terhadap pertanyaan 15 juga tidak jauh berbeda

dengan respons terhadap pernyataan 14. Antara responden yang memilih tidak setuju

dengan responden yang memilih sangat setuju hanya berbeda satu angka. Pemilih

tidak setuju sebanyak 32 orang, sedangkan pemilih sangat setuju sebanyak 33 orang.

Hanya saja, responden yang memberikan pilihan setuju (S) sangat mendominasi

hingga 60 orang atau 47.6%. Artinya, para korban konflik sangat bangga memiliki

bahasa Aceh dengan menyatakan mampu menggunakan bahasa Aceh dalam

mengungkapkan gagasan secara lisan seperti ceramah dan pidato. Rasa kemampuan

untuk pernyataan ini berimplikasi pada aspek kebanggaan. Hanya 1 responden atau

0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan demikian, tingkat kebanggaan

berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor

15 sudah berada pada tingkat sedang.

Hasil pengolahan data untuk pernyataan nomor 16 sangat variatif. Antara

responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan responden yang memilih setuju (S)

dan sangat setuju (SS) hanya bebeda beberapa angka. Sebanyak 57 responden

menyatakan tidak setuju dengan pernyataan 16, sedangkan 43 responden memilih

setuju, dan 23 responden menyatakan sangat setuju. Persentase perbedaan tersebut

dapat diurutkan menjadi 45.2% memilih TS, 34.1% memilih S, dan 18.3% memilih

sangat setuju. Satu orang atau sebesar 0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan

demikian, tingkat kebanggan berbahasa Aceh masyarakat korban konflik sesuai

pernyataan nomor 16 masih berada pada posisi rendah. Banyak korban konfik

merasa belum mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis dalam bahasa Aceh

sehingga banyak yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut.

Selanjutnya, pernyataan nomor 17 terkait aspek kesetiaan berbahasa.

Masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki diberikan pertanyaan apakah

mereka masih selalu menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari atau

tidak. Hasil pengolahan data keseluruhan menunjukkan bahwa 65 responden dari

total 126 responden mengaku masih setia menggunakan bahasa Aceh dalam

komunikasi sehari-hari. Persentase terhadap pemilih sangat setuju (SS) dengan

pernyataan nomor 17 sebesar 51.6%. Artinya, setengah dari keseluruhan responden

yang diberikan angket masih sanat setuju menggunakan bahasa Aceh dalam

81

komunikasi sehari-hari. Posisi kedua adalah mereka yang memberikan pilihan setuju

(S) yakni sebesar 38.1% atau 48 responden dan posisi ketiga responden yang

memilihi tidak setuju (TS) sebesar 7.9% atau 10 responden. Adapun responden yang

memilih sangat tidak setuju (STS) terdapat sebesar 1.6% atau 2 responden dan yang

memilih tidak mengerti (TM) tercatat sebesar 0.8% atau 1 responden. Dengan

demikian, tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik sesuai pernyataan

nomor 17 sudah berada pada tingkat tinggi.

Untuk pernyatan nomor 18, masyarakat korban konflik diminta memberikan

opsi apakah mereka menguasai bahasa Aceh dengan baik atau tidak. Responden

yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 43.7% atau 55 responden, sedangkan yang

memilih setuju (S) mencapai 46.8% atau 59 responden. Artinya, respons terhadap

pertanyaan 18 sangat positif. Dengan demikian, rasa bangga berbahasa Aceh dalam

kalangan korban konflik Aceh sudah berada pada tingkat tinggi. Hanya 9 orang atau

7.1% yang masih memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut. Selebihnya,

1 orang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 0.8%. Respons terhadap

pernyataan 18 ini sekaligus menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Aceh dalam

kalangan masyarakat korban konflik tidak perlu diragukan lagi. Hampir seluruh

korban konflik di Aceh sangat menguasai bahasa Aceh sebagai bahasa daerah

sekaligus bahasa ibu mereka.

Rasa bangga berbahasa Aceh tidak hanya ditunjukkan dengan mampu dan

menguasai bahasa Aceh, tetapi juga pengakuan bahasa Aceh sebagai identitas pribadi

orang Aceh. Pernyataan nomor 19 mencoba menggali pengakuan tersebut bagi

masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hasilnya, 1 responden dari

Kabupaten Aceh Besar memilih tidak mengerti (TM). Artinya, responden satu ini

dianggap tidak mengetahui apa-apa terhadap pertanyaan tersebut. Namun demikian,

responden yang menyatakan setuju (S) dalam artian setuju bahasa Aceh sebagai

identitas pribadi mencapai 49.2% atau sebanyak 62 orang. Posisi kedua disusul oleh

responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 42.9% atau 54 orang. Hanya 9

orang atau sebesar 7.1% yang berada pada pilihan tidak setuju (TS). Tidak ada

responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) dengan pernyataan ini. Artinya,

82

tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik

sudah berada pada tingkat tinggi.

Respons untuk penyataan nomor 20 didominasi oleh informan yang memilih

sangat setuju (SS). Responden yang menyatakan sangat setuju dengan pernyataan 20

berjumlah 57 orang atau sebesar 45.2%. Berbeda satu angka, posisi kedua adalah

respons dengan pilihan setuju (S) sebanyak 56 orang atau 44.4%. Hal ini memberi

makna bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat

korban konflik sesuai pernyataan nomor 20 sudah berada pada tingkat tinggi.

Pernyataan tersebut berbunyi Menggunakan bahasa Aceh dengan baik dan benar

berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan baik. Hanya 12 responden

yang memberikan respons tidak setuju (TS) terhadap pernyataan ini. Artinya, tidak

sampai 10% yang memilih tidak setuju bahwa bahasa Aceh juga dapat menunjukkan

identitas nasional.

Bahasa Aceh juga perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi

keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Pernyataan ini tertera pada angket nomor 21

yang harus dijawab oleh para korban konflik. Hasil pengolahan data menunjukkan

bahwa responden yang memilih sangat setuju (SS) lebih unggul mencapai 50.8%

atau 64 responden dibanding yang memilih opsi lainnya. Posisi kedua terdapat

responden dengan pilihan setuju (S) sebesar 42.1% atau 53 responden. Dengan

demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik sudah berada pada

level tinggi. Hanya 5.6% atau 7 responden memilih tidak setuju (TS) yang bermakna

tingkat kesadaran mereka masih rendah. Dari 7 responden tersebut, masing 1 orang

dari Kabupaten Aceh Timur, 1 orang dari Kabupaten Pidie, 1 orang Kabupaten Aceh

Utara, 1 orang dari Kabupaten Aceh Selatan, dan 3 orang dari Kabupaten Aceh Barat

Daya. Sisanya, 2 orang atau sebesar 1.6% mengambil pilihan tidak mengerti (TM).

Selanjutnya, respon terhadap pernyataan 22 membuktikan bahwa kesadaran

berbahasa Aceh para korban konflik masih rendah. Pernyataan ini berbunyi Saya

membutuhkan kamus yang standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh agar

dapat mempelajari dan menggunakannya secara benar. Ternyata hasil pengolahan

data menunjukkan bahwa para korban konflik masih tdak setuju pentingnya kamus

dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh. Ketidaksetujuan mereka bisa jadi

83

berdasarkan pikiran bahwa mereka sudah mampu menggunakan bahasa Aceh secara

benar. Namun, ketidaksetujuan ini dapat pula bermakna sebagai kesadaran yang

masih rendah terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Responden

yang memilih tidak setuju (TS) dominan dengan persentase 34.1% atau 43

responden, disusul responden yang memilih setuju (S) sebesar 31.7% atau 40

responden. Adapun responden yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS)

mencapai 29.4% atau 37 responden dan responden yang memilih sangat tidak setuju

(STS) sebesar 4.0% atau 5 responden. Ada 1 responden atau 0.8% berada pada posisi

tidak mengerti (TM). Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh

masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor 21 masih tergolong rendah.

Selain itu, tingkat kesadaran berbahasa Aceh juga dapat dilihat dari hasil

jawaban para korban konflik terhadap pernyataan nomor 23 yang berbunyi Saya

merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam bahasa Aceh. Jika

tingkat kesulitan memahami ini lebih besar dibanding tingkat kemudahan

memahami, bermakna bahwa kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik masih

rendah. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa

ada 1 orang yang masih tetap memilih tidak mengerti (TM). Responden ini berasal

dari Kabupaten Aceh Besar. Adapun yang memberikan respons dengan opsi sangag

tidak setuju (STS) berkisar 21.4% atau 27 responden dan yang memilih tidak setuju

(TS) sebesar 48.4% atau 61 responden. Artinya, banyak korban konflik Aceh merasa

tidak kesulitan memahami orang lain berbahasa Aceh. Tentu saja hasil ini sangat

bagus untuk menggambarkan tingkat kesadaran berbahasa Aceh. Namun demikian,

masih ada 21 responden atau sebesar 16.7% memilih setuju (S) dalam artian masih

merasa kesulitan memahami orang lain berbahasa Aceh. Sisanya, sebanyak 16

responden sebesar 12.7% mengaku sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 23.

Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh dalam hal pemahaman terhadap

berbahasa Aceh orang lain dalam kalangan korban konflik masih berada pada tingkat

sedang.

Pernyataan nomor 24 juga berkenaan dengan aspek kesadaran berbahasa

Aceh yang tidak jauh berbeda dengan maksud pernyataan nomor 23. Dalam

pernyataan nomor 24 disebutkan bahwa Bahasa Aceh lebih mudah dipahami

84

daripada bahasa Indonesia. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa pengakuan

dengan opsi setuju (S) lebih dominan mencapai 50.8% atau 64 responden. Namun,

responden yang memilih tidak setuju (TS) juga tidak kalah banyaknya, 36.5% atau

46 responden. Adapun responden yang memberikan respons sangat setuju terhadap

pernyataan nomor 24 hanya 9.5% atau 12 responden, sedangkan yang merespons

dengan pilihan sangat tidak setuju (STS) berada pada angka 2.4% atau 3 responden.

Dengan demikian, kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik pasca-MoU

Helsinki masih berada pada tingkat rendah.

Selanjutnya, aspek kebanggan berbahasa Aceh dapat dilihat dari respons

terhadap pernyataan nomor 25 yang berbunyi Saya bangga melihat anak-anak saya

berkomunikasi dalam bahasa Aceh. Kebanggaan ini sekaligus bagian dari kecintaan

terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa ibu. Hasil pengolahan data memperlihatkan

bahwa korban konflik yang memberikan respons setuju (S) lebih dominan dengan

persentase 55.6% atau 70 responden. Disusul posisi kedua responden yang

memberikan pilihan sangat setuju (SS) sebesar 32.5% atau 41 responden. Adapun

yang memilih tidak setuju (TS) hanya 11.1%. Dengan demikian, dapat diketahui

bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan orang tua korban konflik

sudah berada pada level tinggi. Terlebih lagi, tidak satu responden pun yang

memberikan opsi sangat tidak setuju terhadap pernyataan nomor 25. Hanya saja,

masih ada 1 responden atau.8% yang memberikan pilihan tidak mengerti (TM),

yakni informan dari Kabupaten Aceh Besar.

Terakhir, para korban konflik juga diminta memberikan respons terhadap

pengakuan bahwa perkembangan anak sekolah yang menggunakan bahasa Aceh

lebih baik daripada yang menggunakan bahasa Indonesia. Pernyataan ini berkaitan

dengan aspek kesetiaan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah sekaligus

bahasa ibu bagi masyarakat Aceh. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor

26 ini menunjukkan bahwa yang merespon dengan pilihan tidak setuju (TS) lebih

unggul dengan persentase 50.8% atau 64 responden. Artinya, tingkat kesetiaan

terhadap bahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik masih rendah.

Terlebih lagi, responden yang memberikan pilihan setuju (S) jauh di bawah

responden yang memberikan pilihah tidak setuju. Responden yang memberikan

85

pilihan setuju sebesar 35.7% atau 45 responden dan yang memberikan responden

sangat setuju (SS) sebesar 7.9%. Selebihnya, sebesar 4.8% atau 6 responden memilih

sangat tidak setuju (STS) dan 0.8% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM).

Dengan demikian, respons terhadap pernyataan nomor 26 ini menunjukkan bahwa

tingkat kesetiaan korban konflik terhadap bahasa Aceh masih rendah.

Hasil pengolahan data keseluruhan terhadap responden korban konflik Aceh

pasca-MoU Helsinki memperlihatkan sikap berbahasa yang variatif antara

kebanggaan, kesetiaan, dan kesadaran. Untuk kebanggaan berbahasa Aceh sendiri,

hasilnya masih variatif. Di satu sisi ada yang memberikan pilihan sangat setuju untuk

beberapa item sehingga dikategorikan memiliki sikap tinggi. Namun, di sisi lain, ada

beberapa item yang masih rendah dengan jawaban tidak setuju atau sekadar setuju.

Misalnya, untuk pernyataan Saya bangga melihat anak-anak berbahasa Aceh,

ternyata banyak yang menjawab pernyataan ini sekadar setuju saja. Sedikit sekali

yang menjawab dengan opsi sangat setuju. Demikian beberapa pernyataan lainnya

yang mengacu kepada aspek kebanggaan, rata-rata menjawab setuju bahkan tidak

setuju sehingga hasil pengolahan data terakhir terhadap aspek kebanggaan berbahasa

Aceh masih berada pada posisi rendah. Hasil ini dapat dilihat pada grafik 10 yang

menunjukkan 71 responden masih berada pada kategori rendah, 53 orang berada

pada kategori sedang, dan hanya 23 orang berada pada kategori kebangaan tinggi.

Grafik 10: kebanggaan berbahasa Aceh korban konflik

86

Garfik di atas jika dipersentasekan menjadi 48% berada pada kategori rendah,

36% berada kategori sedang, dan 16% berada pada kategori tinggi. Hal ini secara

rinci tergambar dalam diagram 10 di bawah.

Diagram 10: kebanggaan berbahasa Aceh korban konflik

Tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik pasca-MoU Helsinki

juga tidak terlalu baik. Beberapa pernyataan yang menyiratkan kesetiaan terhadap

bahasa Aceh hanya dipilih dengan opsi setuju. Sedikit sekali responden yang

memberikan jawaban sangat setuju untuk pernyataan-pernyataan yang mengandung

aspek kesetiaan berbahasa. Bahkan, untuk pernyataan Saya lebih senang

menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan masalah umum hanya didominasi

oleh pilihan setuju saja.

Hasil akhir secara keseluruhan untuk aspek kesetiaan berbahasa Aceh

menunjukkan bahwa sebanyak 62 orang berada pada kategori sedang, 54 orang

berada kategori rendah, dan sebanyak 31 orang berada pada kategori tinggi. Hal ini

memperlihatkan bahwa tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik belum

terlalu menggembirakan. Kategori sedang dan rendah hampir sama banyaknya,

sedangkan kategori tinggi hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat pada grafik 11 berikut.

87

Grafik 11: kesetiaan berbahasa Aceh korban konflik

Hasil dari grafik di atas, jika dipersentasekan akan mendapatkan hasil

sebanyak 42% kesetiaan berbahasa para korban konflik Aceh masih berada pada

kategori sedang, sebanyak 37% berada pada kategori rendah, dan sebanyak 21%

berada pada kategori tinggi. Secara rinci, hal itu dapat dilihat dalam diagram bulat

berikut.

Diagram 11: kesetiaan berbahasa Aceh korban konflik

88

Terakhir adalah aspek kesadaran berbahasa Aceh dalam kalangan korban

konflik pasca-MoU Helsinki. Dari data keseluruhan diketahui bahwa tingkat

kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik masih belum terlalu baik. Namun,

jumlah yang menduduki kategori tinggi lebih banyak dibanding pada aspek

kebanggaan dan aspek kesetiaan. Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa

Aceh dalam kalangan korban konflik sudah lebih baik dibanding tiingkat kebanggaan

dan kesetiaan. Secara angka, sebanyak 65 orang korban konflik memilik tingkat

kesadaran berbahasa dengan kategori sedang, sebanyak 55 orang berada pada

kategori tinggi, dan 27 orang berada pada kategori rendah. Hal yang

menggembirakan untuk aspek kesadaran berbahasa ini bahwa banyak korban konflik

merasa sangat setuju dengan pernyataan Mampu berbahasa Aceh dengan baik dan

benar penting bagi saya. Rasa sadar pentingnya bahasa Aceh dalam komunikasi

sehari-hari merupakan tingkat kesadaran berbahasa yang positif. Hasil akhir dari

jumlah keseluruhan kabupaten/kota terhadap kesadaran berbahasa Aceh dalam

kalangan korban konflik dapat dilihat melalui grafik 11 di bawah.

Grafik 12: tingkat kesadaran berbahasa Aceh korban konflik

89

Grafik di atas menunjukkan tingkat kesadaran berbahasa Aceh para korban

konflik yang sudah mulai mengarah pada sisi positif. Setelah diolah dalam bentuk

persentase, grafik di atas akan memperlihatkan sebesar 44% korban konflik memiliki

tingkat kesadaran berbahasa Aceh dengan kategori sedang, 38% berada pada kategori

tinggi, dan 18% berada kategori rendah. Secara rinci, hasil ini dapat dilihat dalam

diagram bulat berikut.

Diagram 12: tingkat kesadaran berbahasa Aceh korban konflik

90

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Hasil penelitian tahun pertama (2017) menunjukkan bahwa para eks kombatan dan

korban konflik Aceh pasca-MoU Helsingki, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai

nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan

digunakan masyarakat Aceh cenderung positif. Secara umum mereka bangga, setia

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh meskipun kedaran akan norma

bahasa cenderung negatif. Berdasarkan temuan penelitian tahun pertama, pada tahun

kedua (2018) akan dilakukan pembinaan secara khusus kepada mereka dan

masyarakat sekitar mereka dalam wilayah objek penelitian demi memantapkan sikap

positif mereka terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Aceh.

Pembinaan akan difasilitasi oleh tim peneliti dan informan-informan yang sikap

bahasanya sudah sangat positif. Informan-informan yang memiliki sikap bahasa yang

relatif sangat itu umumnya telah memiliki rasa nasionalisme yang baik terhadap

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tersebar di setiap wilayah

penelitian. Selain itu, pada tahun kedua, selain menghasilkan publikasi ilmiah, juga

akan dilakukan kegiatan penulisan buku terkait dengan pemertahanan bahasa

Indonesia dan pemartabatan bahasa Aceh sehingga masyarakat luas memahami akan

kebanggan, kesetiaan, dan kesadaran akan bahasanya, baik bahasa Indonesia maupun

bahasa Aceh.

91

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data terkait dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap

terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh

sebagai bahasa daerah, temuan penelitian ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu

(1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2)

sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language

pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa

(awareness of the norm). Ketiga sikap tersebut cenderung positif dimiliki oleh para

eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.

Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality)

merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan

kemandirian bahasanya, bahkan bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa

asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan

bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam

mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai

lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari

orang atau kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran

penggunaan bahasa (awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat

yang positif dalam kesadaran menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang

berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat, dan santun. Kesadaran tersebut

merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian

bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa

merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.

(1) Kebanggaan Bahasa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori

positif. Walaupun terdapat perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang

kebanggaan berbahasa, secara umum responden suka dan bangga menggunakan

92

bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Begitu pula

jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia merupakan salah

satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden mengatakan

sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-

pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada

setiap responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan

terhadap bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga

melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal

dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan

tidak setuju.

Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek,

yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling

berhubungan satu sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah

masyarakat seringkali pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan”

yang didapat oleh seseorang menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak

sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu sama lainnya, sebuah perilaku dapat

menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan tetapi sebaliknya, jika

komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat digunakan untuk

mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap seseorang.

Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara

keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum

memberikan respon positif terhadap aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun bahasa Aceh sebagai salah satu

bahasa daerah yang dominan di Aceh.

(2) Kesetiaan Bahasa

Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang

berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari

pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia

dan Aceh para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh

93

cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1) bahasa Indonesia merupakan

bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia penting karena

dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan, (3)

anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik

daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada beberapa

pernyataan yang lain cenderung terdapat perbedaan pendapat yang diberikan oleh

responden, misalnya saya lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam

membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan belajar bahasa Indonesia

penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai informasi penting di

media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa

kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di

Aceh cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau

perilaku tutur.

Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh

yang menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik

dan benar dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal

dari bahasa Indonesia, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang

sudah lebih dahulu ada bukan serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini

tidaklah berlebihan karena sesuai dengan data yang diperoleh dari informan, yaitu

para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh.

(3) Kesadaran Bahasa

Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat

dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan

faktor yang sangat menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran

adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan

kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan

aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil

pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks kombatan dan korban konflik

pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini didasari

pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para informan.

94

Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan,

kesadaran para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa

kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat

dan sesuai dengan kaidah.

7.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, temuan penelitian ini hendaknya ditindaklanjuti pada

tahun kedua untuk memantapkan sikap positif yang telah terlihat pada para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh demi meningkatkan rasa

nasionalisme mereka. Kemudian, perlu dilakukan pembinaan secara komprehensif

dan terus menurus. Terkait dengan hal ini juga, pihak Balai Bahasa Aceh dengan

didukung oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hendaknya memprogramkan

kegiatan-kegiatan pembinaan bahasa seacara khusus kepada mereka dan

menyediakan referensi-referensi yang memadai melalui Gerakan Literasi Nasional,

khusus berkaitan dengan pemantapan kesadaran menggunakan bahasa yang baik dan

benar.

95

DAFTAR PUSTAKA

Adwani, 2012. “Perlindungan terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik

Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional”. Jurnal Dinamika

Hukum. Volume 12 (1): 97-107.

Azwardi. 2015. “TOEFL vs UKBI”. Dalam SKH Serambi Indonesia, Edisi Kamis,

16 April 2015.

Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Media

Group. Universitas Pendidikan Indonesia.

Crystal. 1987. The Cambridge of Encyclopedia of Languange. Cambridge:

Cambridge University Press.

Depdiknas. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik I. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Edwards, Alen L. 1957. Technique of Attitude Scale Construction. Newyork:

Apleton Century Crofts.

Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan

Paul.

Fuad, Zaki Al. 2014. “Sikap Bahasa Siswa Sekolah Dasar terhadap Bahasa Daerah

dan Bahasa Indonesia”. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.

Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in

Language and Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed.) Reading in Tes Sosiology of

Language, Mounton. Paris: The Hague.

Hasan, Kailani. 2001. Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Riau: Unsri Press.

Hutagalung, dkk. 2013. “Trauma Remaja Korban Konflik Bersenjata dan Tsunami di

Aceh”. Jurnal Psikologia. Volume 8 (1): 1-11.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.

Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton

Mifflin Company.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

96

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks

Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: KesainBlanc.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kemeterian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict.

Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV

Diponegoro.

Savile, Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil

Balckwell.

Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Atitama.

Subhayni. 2006. “Sikap Mahasiswa yang Berbahasa Ibu Nonbahasa Aceh terhadap

Mata Kuliah Bahasa Aceh pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia”. Laporan Penelitian FKIP Unsyiah.

Sulistyaningtyas, Tri. 2008. “Pemantapan Ketahanan Nasional NKRI melalui

Pendekatan Kebahasaan Studi Kasus: Masyarakat Perbatasan di Batam”.

Jurnal Sosioteknologi, Volume 7 (1): 334-343.

Sumarsono dan Paina Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary

Offset.

Yusuf, dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah

Dasar yang Berbahasa Ibu Bahasa Aceh: Mendengarkan dan Berbicara.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

1 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN

DAN KORBAN KONFLIK PASCAMOU HELSINKI

oleh

Azwardi, Sanusi, dan Muhammad Iqbal

FKIP Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Dalam makalah ini penulis mendeskripsikan hasil penelitian terkait dengan sikap para eks

kombatan dan korban konflik pasca MoU Helsinki terhadap penggunaan bahasa, baik bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di

Aceh. Upaya ini dilakukan dalam kerangka pembinaan, perlindungan, dan pemertahanan bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa ibu di Nusantara.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data

penelitian dikumpulkan melalui angket yang substansinya berkaitan dengan sikap bahasa.

Instrumen penelitian ini menggunakan simpulan skala Likert dengan fokus pertanyaan pada tiga

hal mendasar yang berkaitan dengan sikap bahasa, yaitu kesetiaan terhadap bahasa (language

loyality), kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan kesadaran penggunaan

bahasa (awareness of the norm). Pengolahan data delakukan dengan menggunakan rumus

Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Hipotesis penelitian ini adalah para eks

kombatan dan korban konflik memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dan memiliki

positif terhadap bahasa Aceh. Penelitian ini dilakukan di sebelas wilayah kabupaten di Aceh,

yaitu Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh

Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Kesebelas kabupaten tersebut

merupakan daerah basis eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau daerah konflik

sebelum perundingan damai antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia. Informan

penelitian ini adalah para eks kombatan dan korban konflik, baik yang sudah menduduki jabatan

struktural di pemerintah Aceh maupun yang berstatus masyarakat biasa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sikap bahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki

cederung positif, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional maupun bahasa Aceh sebagai

salah satu bahasa daerah di Aceh.

Kata kunci; sikap bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Aceh, para eks kombatan, para korban

konflik, nasionalisme, kebanggaan, kesetian, kesadaran, NKRI

disampaikan pada seminar nasional dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa 2017 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah, Darussalam, 30 Oktober 2017 Dosen Tetap FKIP Unsyiah

2 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

Pendahuluan

Substansi makalah ini berkenaan dengan wujud sikap bahasa para eks kombatan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM), yaitu (1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language

loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language

pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the

norm) para eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hal ini dilakukan

sebagai langkah dan usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang harus

dilakukan untuk membina bahasa Indonesia dan menjaga kelestarian bahasa Aceh.

Berdasarkan situasi yang teramati, sikap berbahasa Indonesia para kombatan cenderung

negatif, tetapi wujud sikap berbahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh cenderung

positif. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap nasionalisme bangsa Indonesia sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Nasionalisme seseorang dapat dilihat dari sikap

berbahasa para penutur. Apabila sikap berbahasanya negatif, nasionalisme terhadap kebangsaan

pun dapat diragukan. Tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, dalam Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 20009 tentang Lambang Negara, Simbol Negara, Lagu Kebangsaan, dan

Bahasa Indonesia disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan lambang identitas kebangsaan

dan dapat digunakan untuk mempersatu antara suku yang satu dan yang lainnya. Berkaitan

dengan hal tersebut, para eks kombatan dan korban konflik Aceh merupakan masyarakat yang

secara nyata mengalami peristiwa yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-

pihak yang bertikai (Adwani, 2012:98). Dilandaskan hal tersebut, wujud sikap berbahasa

Indonesia para kombatan dan konflik dominan negatif dan bersifat aktif dan pasif.

Faktor yang mempengaruhi seseorang penutur bersikap negatif terhadap suatu bahasa

sangatlah beragam. Salah satunya adalah pengaruh psikologi pada seorang penutur. Konflik

bersenjata yang menimpa masyarakat Aceh sejak 1976-2005 secara tidak sadar telah membentuk

sikap negatif para masyarakat Aceh, khususnya para kombatan dan korban konflik untuk

berbahasa Indonesia dengan baik yang benar. Hal ini disebabkan oleh para eks kombatan dan

korban konflik yang menaruh dendam kepada militer, baik TNI maupun POLRI yang pada saat

itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Paradigma yang terbentuk di waktu

itu adalah bahwasanya negara Indonesia telah merenggut saudaranya (korban meninggal)

sehingga menganggap berbicara bahasa Indonesia merupakan sebuah dosa.

Berkaitan dengan kondisi ini, Crystal (1987, 15:66) mengatakan bahwa bahasa, ketika

kita berinteraksi dengan orang lain akan menunjukkan berbagai macam identitas, seperti

idententitas fisik (physicalidentity), identitas psikologis (psychologicalidentity), identitas

3 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

geografis (geographicalidentity), identitas etnis dan nasional (ethnicandnationalidentity),

identitas sosial (socialidentity), identitas kontekstual (contectualidentity), serta identitas

stilistik dan sastra (stylisticidentityandliterature). Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini,

Azwardi (2015) mengekukakan bahwa sikap positif terhadap bahasa tecermin dari

kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Berdasarkan pendapat tersebut,

khususnya identitas sosial dan identitas etnis, terlihat sangat kental pada para eks kombatan dan

korban konflik terkait penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Sejak terwujudnya perundingan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM

pada 15 Agustus 2005 atau yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU)

Helsinki telah memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat Aceh. Sebagaimana

yang termaktub dalam Qanun Pemerintah Aceh, MoU Helsinki adalah Nota Kesepahaman antara

Pemerintah Republik Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di

Helsinki, Finlandia. Setelah adanya MoU tersebut, proses reintegrasi pun sangat gencar

dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proses tersebut, antara lain, dengan membentuk

lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dari keenam fungsi BRA yang telah dirumuskan, salah

satunya terdapat poin pemulihan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial dan budaya

para eks kombatan dan korban konflik.

Pemulihan hak sipil berkaitan dengan sosial dan budaya dapat dijabarkan secara lebih

luas, antara lain, melalui pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. Akan tetapi, berkaitan

dengan pembinaan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh, sejak tercetusnya

proses perdamaian cenderung kurang mendapat prioritas dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Pusat. Fokus reintegrasi yang selama ini gencar dilakukan lebih kepada hal-hal yang bersifat

fisik, atau dengan perkataan lain, mengutamakan proses rekontruksi, sedangkan pembinaan

bahasa Aceh dan bahasa Indonesia dipercayakan sepenuhnya kepada pihak-pihak perguruan

tinggi atau dinas pendidikan. Kenyataannya, ketersediaan buku-buku pelajaran muatan lokal

bahasa Aceh dan kurikulum bahasa Indonesia yang representatif sangatlah minim. Selain itu,

muatan buku-buku bacaan yang dibagikan kepada siswa tidak mewakili kearifan lokal

masyarakat Aceh.

Berkaitan dengan hal tersebut, diasumsikan bahwa ada kemungkinan masyarakat Aceh,

khususnya para eks kombatan dan korban konflik, memiliki sikap negatif terhadap bahasa

Indonesia yang disebabkan oleh trauma yang mereka hadapi sebelumnya. Hal ini tentulah bukan

alasan yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut dan secara ilmiah tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Selain itu, ada diasumsikan juga bahwa para eks kombatan dan korban

4 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

konflik memiliki sikap positif yang lebih terhadap bahasa Aceh atau bahasa Melayu

dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, hal ini juga tidak dapat dibuktikan

kebenarannya karena belum pernah dilakukan penelitian terkait. Oleh karena itu, melalui

penelitian yang berjudul “Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU

Helsinki” ini akan diungkapkan secara komprehensif. Hal ini urgen untuk membuktikan bahwa

sikap negatif berbahasa Indonesia bukanlah yang disengaja, dan reintegrasi yang selama ini

digalakkan belum menyentuh bidang pembinaan bahasa Indonesia atau bahasa Aceh.

Komunitas Bahasa

Komunitas bahasa (speechcommunity) adalah suatu konsep yang pernah dibahas oleh Hudson

(1980), Troike (1982), dan Braitwaite (1984). Pengertian mengenai komunitas bahasa pun sangat

beragam dan menurut hemat penulis, pengertian komunitas bahasa yang relevan mengenai

melihat peristiwa tutur di Indonesia adalah pendapat yang dikemukakan oleh Blomfield.

Blomfield (dalam Ohoiwutun, 2007:37) mengatakan bahwa komunitas bahasa dibentuk oleh

mereka (kumpulan orang yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa

(lungisticrule) yang sama). Dari pernyataan Blomfield tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu

itu dapat dikatakan sebagai komunitas bahasa apabila perkataan (kata, frasa, dan kalimat) sudah

disepakati dan dipahami maksudnya oleh semua kalangan para penutur di suatu komunitas

tersebut (konvensional). Hal ini sama halnya dengan bahasa prokem yang berkembang di Jakarta

pada 1970. Bahasa tersebut digunakan oleh para preman dan pencopet di Jakarta. Bahasa

tersebut umumnya tidak dimengerti oleh masyarakat umum dan bahasa prokem tersebut hanya

dimengerti oleh sesama para komunitas yang berprofesi sama dengannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:924) dinyatakan bahwa masyarakat bahasa

memiliki pengertian kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama, yang merasa

termasuk dalam kelompok itu, atau yangg berpegang pada bahasa standar yang sama.

Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri

atas seluruh bahasa, tergantung pada tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumper, dalam

Depdiknas, 1995:162). Selain itu, keseluruhan dialek atau varianya yang digunakan secara

teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat. Keunggulan konsep

repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan peneliti menghubungkan antara struktur

sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat di bawah suatu kerangka relasi yang sama. Oleh

karena itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa merupakan keseluruhan penutur yang

5 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diassitem tertentu dalam perbedaan dialektal dan

sosiolektal.

Sesuai dengan yang telah dikemukakan di atas, Provinsi Aceh yang terdiri atas berbagai

etnik dan suku telah membentuk komunitas bahasa yang beragam. Pasca-MoU Helsinki 2015,

dengan kondisi kamtibmas yang semakin kondusif, Pronvinsi Aceh kian banyak dikunjungi oleh

pelancong atau para pencari kerja sehinga komunitas bahasa di Aceh kian beragam. Penelitian

ini akan mengungkapkan dan mengkaji bagaimana sikap para kombatan dan korban konflik

terhadap menggunaan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam

upaya mengatasi masalah-masalah berkenaan dengan sikap bahasa. Hal ini sesuai dengan dengan

pernyataan yang dikemukan Hasan (2001:153) berikut:

(1) pemakai bahasa mungkin merupakan dua atau lebih kode yang dipergunakan dalam

komunikasi multilingual. Dalam hal ini orang-orang memindahkan kode-kode mereka dalam

suatu pola tertentu untuk menunjukkan identitas mereka atau menyatakan kemarahan;

(2) para penutur bahasa Indonesia memindahkan kode-kode sehingga komunikan sering tidak

dapat berkomunikasi seefektif mungkin.

Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa

Sikap berbahasa Indonesia berhubungan dengan nasionalisme berbahasa. Penutur yang bersikap

positif terhadap bahasa Indonesia secara otomatis nasionalisme terhadap negara Republik

Indonesia sangatlah tinggi. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fishman (dalam Sumarsono,

2002:168) peranan bahasa dalam nasionalisme itu sangat gamblang. Bahasa akan menjadi

masalah bagi nasionalisme dua bidang, yakni bidang administrasi pemerintahan dan pendidikan.

Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam

regional atau raga sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional mengikat para

penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang

harus dipergunakan secara sadar pula. Nasionalisme berbading terbalik dengan etnisitas.

Menurut Sumarsono (2002:168) bagi nasionalitas, kuatnya kelompok itu mempertahankan dan

menuntut penggunaan bahasa kelompok itu, dan bagi etnisitas, kuatnya kelompok itu

dipersiapkan untuk menolak dan melepaskannya.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, sikap bahasa merupakan

representasi pengalaman yang melekat pada seorang penutur, kemudian diimplementasikan

dengan bahasa. Dengan perkataan lain, sikap bahasa relevan dengan psikologi penutur bahasa.

Khususnya di Provinsi Aceh, masyarakat Aceh mampu menguasai dua bahasa sekurang-

6 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

kurangnya bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Seorang dwibahasawan tentu menghadapi tiga

situasi psikologis ketika berbicara dengan orang lain, yakni (1) kebutuhan pribadi, (2) situasi saat

pembicaraan (immediatesituation), dan (3) situasi yang melatarbelakangi pembicaraan

(backgroundsituation) (Herman, dalam Sumarsono, 2002:2010).

Lebih lanjut, Sumarsono juga mengemukakan bahwa ada beberapa variasi pilihan yang

mungkin terjadi jika seorang penutur berinteraksi dengan orang dari luar kelompoknya. Pertama,

perilaku yang paling bersifat konvergensi adalah memakai bahasa lawan bicara dan berusaha

keras menampilkan ujaran yang serupa betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana interkulor.

Kedua, perilaku yang kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa si interlokutor

tetapi aksenya mungkin lebih berat. Ketiga, penutur memakai bahasanya tetapi dengan tempo

yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin kurang memahami bahasa yang

dipakai. Keempat, penutur memakai bahasanya dengan kecepatan normal, membiarkan lawan

bicara memahami ujarannya sebisa mungkin. Terkait dengan hal ini, Alkaidar (1999) (dalam

Hutagalung, dkk 2013:9) juga mengekukakan bahwa pasca-MoU Helsinki keadaan sosial

masyarakat sama seperti keadaan setelah perang pada 1873-1913 yang mendapat banyak "luka"

pada fisik yang berkesan dalam jiwa. Kemudian, Reid (2008) juga menggambarkan bahwa

situasi tersebut sebagai kehancuran jiwa dan mental. Selanjutnya, hasil penelitian Hutagalung,

dkk. (2013) juga membuktikan bahwa konflik bersenjata dan bencana tsunami telah memberikan

trauma bagi remaja meskipun masih pada kategorikan sedang.

Sikap Bahasa

Sikap bahasa merupakan tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa

tertentu, mengenai objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk

beraksi dengan cara tertentu dengan yang disenanginya. Menurut Anderson (dalam Sumarsono,

2001:363) sikap dibagi menjadi dua, yakni sikap berbahasa dan sikap nonbahasa, seperti sikap

politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Selanjutnya, sikap bahasa ini dapat dirincikan lagi menjadi

dua, yakni sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap berbahasa yang digunakan

oleh penutur dengan mempertahankan, baik struktur maupun makna sesuai dengan kaidah yang

berlaku dalam suatu bahasa tertentu tanpa mencampurkannya dengan bahasa lain. Sikap negatif

berbahasa adalah sikap berbahasa yang diterapkan oleh penutur yang bertolak belakang dengan

sikap positif berbahasa atau dengan kata lain mencampuradukkan penggunaan bahasa tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, Hasan (2001) mengemukakan bahwa sikap dan kepercayaan

terhadap bahasa merupakan hal yang menentukan bagi tingkah laku linguistik, dan hal tersebut

7 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

harus dipelajari secara intensif dan komprehensif. Dalam hal ini, para sosiolinguis, antropolog,

harus menganalisis tidak hanya situasi linguistik dan tingkah lakunya, tetapi juga nilai yang

diberikan masyarakat kepada bahasa-bahasa. Sikap penutur terhadap bahasa berkembang mula-

mula di lingkungan keluarga dan masyarakat dan kemudian barulah melebar di tingkat sekolah

hingga memunculkan kepribadiannya.

Sikap bahasa erat kaitannya dengan tipologi bahasa (languangetypology). Hassan

(2001:92) merincikan tipologi bahasa menjadi empat, yaitu (1) berdasarkan daerah, geografis

tanpa memperhatikan strukturnya, (2) berdasarkan struktural, ciri-ciri struktur bahasa, yaitu

secara fonologis, morfologi, dan sintaksis, (3) berdasarkan geneologi, keturunan, silsilah bahasa,

dan (4) berdasarkan fungsional, fungsinya dalam masyarakat. Sebagai alat perhubungan

antarwarga dan sebagai sarana penerus ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Indonesia telah

memenuhi tuntutan kehidupan suatu masyarakat yang modern.

Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality) merupakan

sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan kemandirian bahasanya, bahkan

bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan

kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat

yang positif dalam mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai

lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari orang atau

kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa

(awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam kesadaran

menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat,

dan santun. Kesadaran tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam

wujud pemakaian bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran

bahasa merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.

Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

Kebanggaan Bahasa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks kombatan dan

korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori positif. Walaupun terdapat

perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang kebanggaan berbahasa, secara umum

responden suka dan bangga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi

sehari-hari. Begitu pula jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia

merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden

8 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

mengatakan sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-

pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada setiap

responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan terhadap bahasa

Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga melihat anak-anak saya

berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal dengan menggunakan bahasa

Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan tidak setuju.

Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek, yaitu

komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling berhubungan satu

sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah masyarakat seringkali

pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan” yang didapat oleh seseorang

menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu

sama lainnya, sebuah perilaku dapat menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan

tetapi sebaliknya, jika komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat

digunakan untuk mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap

seseorang. Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara

keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks kombatan dan

korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum memberikan respon positif terhadap

aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun

bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan di Aceh.

Kesetiaan Bahasa

Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang berhubungan

dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari pengaruh asing. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia dan Aceh para eks kombatan dan

korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1)

bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia

penting karena dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan, (3)

anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik daripada anak

yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada beberapa pernyataan yang lain cenderung

terdapat perbedaan pendapat yang diberikan oleh responden, misalnya saya lebih senang

menggunakan bahasa Indonesia dalam membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan

belajar bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai

informasi penting di media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan

9 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

bahwa kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh

cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur.

Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh yang

menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal dari bahasa Indonesia,

misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang sudah lebih dahulu ada bukan

serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini tidaklah berlebihan karena sesuai dengan

data yang diperoleh dari informan, yaitu para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU

Helsinki di Aceh.

Kesadaran Bahasa

Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat dan cermat

sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan faktor yang sangat

menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran adanya norma bahasa,

penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, serta

pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan aspek penting yang terdapat dalam item

kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks

kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang.

Simpulan ini didasari pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para

informan. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan, kesadaran

para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa kesadaran adanya norma

mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat dan sesuai dengan kaidah.

Penutup

Berdasarkan hasil pengolahan data terkait dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap terhadap

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa

daerah, temuan penelitian ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu (1) sikap yang berkaitan

dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan

kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan

kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm). Ketiga sikap tersebut cenderung positif

dimiliki oleh para eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.

Berdasarkan simpulan di atas, temuan penelitian ini hendaknya ditindaklanjuti pada tahun

kedua untuk memantapkan sikap positif yang telah terlihat pada para eks kombatan dan korban

10 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh demi meningkatkan rasa nasionalisme mereka. Kemudian,

perlu dilakukan pembinaan secara komprehensif dan terus menurus. Terkait dengan hal ini juga,

pihak Balai Bahasa Aceh dengan didukung oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hendaknya memprogramkan

kegiatan-kegiatan pembinaan bahasa seacara khusus kepada mereka dan menyediakan referensi-

referensi yang memadai melalui Gerakan Literasi Nasional, khusus berkaitan dengan

pemantapan kesadaran menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Hasil penelitian tahun pertama (2017) menunjukkan bahwa para eks kombatan dan

korban konflik Aceh pasca-MoU Helsingki, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional

maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan digunakan masyarakat

Aceh cenderung positif. Secara umum mereka bangga, setia menggunakan bahasa Indonesia dan

bahasa Aceh meskipun kedaran akan norma bahasa cenderung negatif. Berdasarkan temuan

penelitian tahun pertama, pada tahun kedua (2018) akan dilakukan pembinaan secara khusus

kepada mereka dan masyarakat sekitar mereka dalam wilayah objek penelitian demi

memantapkan sikap positif mereka terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa

Aceh. Pembinaan akan difasilitasi oleh tim peneliti dan informan-informan yang sikap

bahasanya sudah sangat positif. Informan-informan yang memiliki sikap bahasa yang relatif

sangat itu umumnya telah memiliki rasa nasionalisme yang baik terhadap Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Mereka tersebar di setiap wilayah penelitian. Selain itu, pada tahun

kedua, selain menghasilkan publikasi ilmiah, juga akan dilakukan kegiatan penulisan buku

terkait dengan pemertahanan bahasa Indonesia dan pemartabatan bahasa Aceh sehingga

masyarakat luas memahami akan kebanggan, kesetiaan, dan kesadaran akan bahasanya, baik

bahasa Indonesia maupun bahasa Aceh.

11 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

DAFTAR PUSTAKA

Adwani, 2012. “Perlindungan terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut

Hukum Humaniter Internasional”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume 12 (1): 97-107.

Azwardi. 2015. “TOEFL vs UKBI”. Dalam SKH Serambi Indonesia, Edisi Kamis, 16 April

2015.

Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Media Group.

Universitas Pendidikan Indonesia.

Crystal. 1987. The Cambridge of Encyclopedia of Languange. Cambridge: Cambridge

University Press.

Depdiknas. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Edwards, Alen L. 1957. Technique of Attitude Scale Construction. Newyork: Apleton Century

Crofts.

Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan Paul.

12 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

Fuad, Zaki Al. 2014. “Sikap Bahasa Siswa Sekolah Dasar terhadap Bahasa Daerah dan Bahasa

Indonesia”. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.

Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language and

Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed.) Reading in Tes Sosiology of Language, Mounton.

Paris: The Hague.

Hasan, Kailani. 2001. Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Riau: Unsri Press.

Hutagalung, dkk. 2013. “Trauma Remaja Korban Konflik Bersenjata dan Tsunami di Aceh”.

Jurnal Psikologia. Volume 8 (1): 1-11.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.

Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton Mifflin

Company.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan

Kebudayaan. Jakarta: KesainBlanc.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kemeterian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict.

Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.

Savile, Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Balckwell.

Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Atitama.

Subhayni. 2006. “Sikap Mahasiswa yang Berbahasa Ibu Nonbahasa Aceh terhadap Mata Kuliah

Bahasa Aceh pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Laporan

Penelitian FKIP Unsyiah.

Sulistyaningtyas, Tri. 2008. “Pemantapan Ketahanan Nasional NKRI melalui Pendekatan

Kebahasaan Studi Kasus: Masyarakat Perbatasan di Batam”. Jurnal Sosioteknologi,

Volume 7 (1): 334-343.

Sumarsono dan Paina Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset.

Yusuf, dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah Dasar yang

Berbahasa Ibu Bahasa Aceh: Mendengarkan dan Berbicara. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa.

13 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki

AzwardiMuhammad Iqbal

ISBN 978-602-50647-1-5