SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN DAN KORBAN...
Transcript of SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN DAN KORBAN...
i
LAPORAN AKHIR TAHUN
Penelitian Sosial, Humaniora, dan Pendidikan (PSHP)
SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN
DAN KORBAN KONFLIK PASCAMOU HELSINKI
Tahun ke 1 dari Rencana 2 Tahun
HALAMAN SAMPUL
Ketua
Azwardi, S.Pd, M.Hum
NIDN 0020117301
Anggota
Dr. Sanusi, M.Si.
NIDN 0014047301
Muhammad Iqbal, S.Pd.,M.Hum
NIDN 0023118001
iii
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sikap para eks kombatan dan korban
konflik pasca-MoU Helsinki terhadap penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang
dominan di Aceh. Upaya ini dilakukan dalam kerangka pembinaan, perlindungan,
dan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Aceh
sebagai salah satu bahasa ibu di Nusantara. Target capaian tahunan penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) publikasi ilmiah, baik jurnal ilmiah nasional terakreditasi
maupun jurnal ilmiah internasional, (2) makalah dalam pertemuan ilmiah, dan (3)
buku ajar ber-ISBN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian dikumpulkan melalui angket yang
substansinya berkaitan dengan identitas informan, kemampaun berbahasa, dan sikap
bahasa. Instrumen penelitian ini menggunakan simpulan skala Likert dengan fokus
pertanyaan pada tiga hal mendasar yang berkaitan dengan sikap bahasa, yaitu
kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), kebanggaan terhadap penggunaan
bahasa (language pride), dan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the
norm). Pengolahan data delakukan dengan menggunakan rumus Statistical Package
for the Social Sciences (SPSS). Hipotesis penelitian ini adalah para eks kombatan
dan korban konflik memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dan memiliki
positif terhadap bahasa Aceh. Penelitian ini dilakukan di sebelas wilayah kabupaten
di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah,
Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Kesebelas
kabupaten tersebut merupakan daerah basis eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) atau daerah konflik sebelum perundingan damai antara GAM dan
Pemerintah Republik Indonesia. Informan penelitian ini adalah para eks kombatan
dan korban konflik, baik yang sudah menduduki jabatan struktural di pemerintah
Aceh maupun yang berstatus masyarakat biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sikap bahasa para eks kombatan korban konflik pasca-MoU Helsinki positif, baik
terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu
bahasa daerah di Aceh cederung positif. Berdasarkan hasil pengolahan data terkait
dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah, temuan penelitian
ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu sebagai berikut: (1) sikap yang berkaitan
dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan
dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap
yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm).
Ketiga sikap tersebut cenderung positif dimiliki oleh para eks kombatan dan korban
konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.
Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality)
merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan
kemandirian bahasanya, bahkan bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa
asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan
iv
bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam
mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai
lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari
orang atau kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran
penggunaan bahasa (awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat
yang positif dalam kesadaran menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang
berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat, dan santun. Kesadaran tersebut
merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian
bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa
merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.
(1) Kebanggaan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori
positif. Walaupun terdapat perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang
kebanggaan berbahasa, secara umum responden suka dan bangga menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Begitu pula
jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia merupakan salah
satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden mengatakan
sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-
pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada
setiap responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga
melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal
dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan
tidak setuju.
Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek,
yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling
berhubungan satu sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah
masyarakat seringkali pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan”
yang didapat oleh seseorang menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak
sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu sama lainnya, sebuah perilaku dapat
menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan tetapi, sebaliknya, jika
komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat digunakan untuk
mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap seseorang.
Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara
keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum
memberikan respon positif terhadap aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun bahasa Aceh sebagai salah satu
bahasa daerah yang dominan di Aceh.
(2) Kesetiaan Bahasa
Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang
berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari
pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia
v
dan berbahasa Aceh para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di
Aceh cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1) bahasa Indonesia
merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia
penting karena dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh
pekerjaan, (3) anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya
lebih baik daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada
beberapa pernyataan yang lain cenderung terdapat perbedaan pendapat yang
diberikan oleh responden. Misalnya, saya lebih senang menggunakan bahasa
Indonesia dalam membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan belajar
bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai
informasi penting di media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat
dikatakan bahwa kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-
MoU Helsinki di Aceh cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku
berbahasa atau perilaku tutur mereka dalam konteks pergaulan sehari-hari.
Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh
yang menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal
dari bahasa Indonesia, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang
sudah lebih dahulu ada bukan serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini
tidaklah berlebihan karena sesuai dengan data yang diperoleh dari informan, yaitu
para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh.
(3) Kesadaran Bahasa
Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat
dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan
faktor yang sangat menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran
adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan
aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil
pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks kombatan dan korban konflik
pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini didasari
pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para informan.
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan,
kesadaran para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa
kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat
dan sesuai dengan kaidah.
Kata kunci; sikap bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Aceh, para eks kombatan,
para korban konflik, nasionalisme, kebanggaan, kesetian, kesadaran, NKRI
vi
PRAKATA
Puji dan syukur kami sampaikan kepada Allah swt. yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan kepada kami sehingga dapat melaksanakan penelitian ini.
Salawat dan salam tidak lupa kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita kepada peradaban yang berilmu pengetahuan dan berteknologi.
Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya kekompakan
tim peneliti. Dengan kekompakan dan kerja keras tim peneliti, penelitian ini dapat
terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, penelitian ini juga tidak akan terselesaikan
dengan baik tanpa bantuan dari tim pencacah data dan tenaga pembantu di
lapanagan. Selain itu, penelitian ini juga tidak terlepas bantuan informan, yakni para
eks kombatan dan para korban konflik Aceh yang telah bersedia mengisi dan
mengecek kebenaran data penelitian ini. Kecuali itu, bantuan dan arahan pihak
Badan Reintegrasi Aceh juga sangat berarti dalam pengumpulan data di daerah-
daerah sasaran penelitian. Atas semua peran dan kontribusi yang telah diberikan
demi kesuksesan penelitian ini kami ucakan terima kasih.
Pada kesempatan ini tim peneliti tidak lupa menyampaikan ungkapan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terlasananya penelitian ini.
Terima kasih yang pertama kami ucapkan kepada Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala yang telah mengesahkan proposal
penelitian ini. Selanjutnya, terima kasih juga kami sampaikan kepada Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala
dan stafnya yang telah bersedia memfasilitasi kontrak penelitian ini. Kemudian,
ucapan terima kasih yang sangat patut juga kami sampaikan kepada Ristek Dikti
yang telah membiayai penelitian ini.
Penelitian ini sudah dideskripsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan
standar keilmuan yang berlaku sehingga segala hal yang positif sungguh merupakan
suatu keberhasilan peneliti, namun jika kekurangan masih menyertainya, tim peneliti
vii
dengan hati membuka diri menerima segala kritikan yang bersifat menyempurnakan
hasil penelitian ini.
Tim Peneliti,
Oktober 2017
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................. ii
RINGKASAN .................................................................................................................... iii
PRAKATA ........................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... x
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Potensi dan Kondisi Sosial ...................................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................................... 5
2.2 Sikap Bahasa ........................................................................................................... 6
2.3 Bahasa ...................................................................................................................... 7
2.4 Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa ........................................................ 8
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ........................................................10
3.3 Manfaat Penelitian .................................................................................................10
3.5 Rencana Target Capaian Tahunan ........................................................................11
BAB 4. METODE PENELITIAN ....................................................................................13
4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................................................13
4.3 Teknik Pengumpulan Data.....................................................................................14
4.4 Instrumen Penelitian ..............................................................................................14
4.5 Anggapan Dasar .....................................................................................................15
4.6 Hipotesis..................................................................................................................15
4.7 Teknik Penganalisisan Data ...................................................................................15
BAB 5. HASIL DAN LUARAN DAN LUARAN YANG DICAPAI ...............................17
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ............................................................90
BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................91
7.1 Simpulan .................................................................................................................91
7.2 Saran .......................................................................................................................94
ix
Lampiran II ; Instrumen Penelitian ...................................... Error! Bookmark not defined.
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Tugas Penelitian ....................................................................
Lampiran II Instrumen Penelitian ......................................................................
Lampiran III Foto-Foto Penelitian .....................................................................
Lampiran IV Pengolahan Data ..........................................................................
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini berkenaan dengan wujud sikap bahasa para eks kombatan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), yaitu (1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap
bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap
penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan
kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm) para eks kombatan dan
korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hal ini dilakukan sebagai langkah dan
usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang harus dilakukan
untuk membina bahasa Indonesia dan menjaga kelestarian bahasa Aceh.
Berdasarkan situasi yang teramati, sikap berbahasa Indonesia para kombatan
cenderung negatif, tetapi wujud sikap berbahasa Aceh sebagai salah satu bahasa
daerah di Aceh cenderung positif. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap
nasionalisme bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar
1945. Nasionalisme seseorang dapat dilihat dari sikap berbahasa para penutur.
Apabila sikap berbahasanya negatif, nasionalisme terhadap kebangsaan pun dapat
diragukan. Tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 20009 tentang Lambang Negara, Simbol Negara, Lagu
Kebangsaan, dan Bahasa Indonesia disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan
lambang identitas kebangsaan dan dapat digunakan untuk mempersatu antara suku
yang satu dan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, para eks kombatan dan
korban konflik Aceh merupakan masyarakat yang secara nyata mengalami peristiwa
yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai
(Adwani, 2012:98). Dilandaskan hal tersebut, wujud sikap berbahasa Indonesia para
kombatan dan konflik dominan negatif dan bersifat aktif dan pasif.
Faktor yang mempengaruhi seseorang penutur bersikap negatif terhadap
suatu bahasa sangatlah beragam. Salah satunya adalah pengaruh psikologi pada
seorang penutur. Konflik bersenjata yang menimpa masyarakat Aceh sejak 1976-
2005 secara tidak sadar telah membentuk sikap negatif para masyarakat Aceh,
khususnya para kombatan dan korban konflik untuk berbahasa Indonesia dengan
2
baik yang benar. Hal ini disebabkan oleh para eks kombatan dan korban konflik yang
menaruh dendam kepada militer, baik TNI maupun POLRI yang pada saat itu
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Paradigma yang terbentuk
di waktu itu adalah bahwasanya negara Indonesia telah merenggut saudaranya
(korban meninggal) sehingga menganggap berbicara bahasa Indonesia merupakan
sebuah dosa.
Berkaitan dengan kondisi ini, Crystal (1987, 15:66) mengatakan bahwa
bahasa, ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menunjukkan berbagai
macam identitas, seperti idententitas fisik (physicalidentity), identitas psikologis
(psychologicalidentity), identitas geografis (geographicalidentity), identitas etnis
dan nasional (ethnicandnationalidentity), identitas sosial (socialidentity), identitas
kontekstual (contectualidentity), serta identitas stilistik dan sastra
(stylisticidentityandliterature). Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini, Azwardi
(2015) mengekukakan bahwa sikap positif terhadap bahasa tecermin dari
kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Berdasarkan pendapat
tersebut, khususnya identitas sosial dan identitas etnis, terlihat sangat kental pada
para eks kombatan dan korban konflik terkait penggunaan bahasa daerah dan bahasa
Indonesia.
Sejak terwujudnya perundingan damai antara Pemerintah Republik Indonesia
dan GAM pada 15 Agustus 2005 atau yang dikenal dengan Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki telah memberikan rasa aman dan nyaman bagi
seluruh masyarakat Aceh. Sebagaimana yang termaktub dalam Qanun Pemerintah
Aceh, MoU Helsinki adalah Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik
Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia. Setelah adanya MoU tersebut, proses reintegrasi pun sangat gencar
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proses tersebut, antara lain, dengan
membentuk lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dari keenam fungsi BRA
yang telah dirumuskan, salah satunya terdapat poin pemulihan hak sipil, hak politik,
hak ekonomi, dan hak sosial dan budaya para eks kombatan dan korban konflik.
Pemulihan hak sipil berkaitan dengan sosial dan budaya dapat dijabarkan
secara lebih luas, antara lain, melalui pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh.
3
Akan tetapi, berkaitan dengan pembinaan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa
daerah di Aceh, sejak tercetusnya proses perdamaian cenderung kurang mendapat
prioritas dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Fokus reintegrasi yang selama
ini gencar dilakukan lebih kepada hal-hal yang bersifat fisik, atau dengan perkataan
lain, mengutamakan proses rekontruksi, sedangkan pembinaan bahasa Aceh dan
bahasa Indonesia dipercayakan sepenuhnya kepada pihak-pihak perguruan tinggi
atau dinas pendidikan. Kenyataannya, ketersediaan buku-buku pelajaran muatan
lokal bahasa Aceh dan kurikulum bahasa Indonesia yang representatif sangatlah
minim. Selain itu, muatan buku-buku bacaan yang dibagikan kepada siswa tidak
mewakili kearifan lokal masyarakat Aceh.
Berkaitan dengan hal tersebut, diasumsikan bahwa ada kemungkinan
masyarakat Aceh, khususnya para eks kombatan dan korban konflik, memiliki sikap
negatif terhadap bahasa Indonesia yang disebabkan oleh trauma yang mereka hadapi
sebelumnya. Hal ini tentulah bukan alasan yang tepat untuk menjawab permasalahan
tersebut dan secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, ada
diasumsikan juga bahwa para eks kombatan dan korban konflik memiliki sikap
positif yang lebih terhadap bahasa Aceh atau bahasa Melayu dibandingkan dengan
bahasa Indonesia. Akan tetapi, hal ini juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya
karena belum pernah dilakukan penelitian terkait. Oleh karena itu, melalui penelitian
yang berjudul “Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik pasca MoU
Helsinki” ini akan diungkapkan secara komprehensif. Hal ini urgen untuk
membuktikan bahwa sikap negatif berbahasa Indonesia bukanlah yang disengaja,
dan reintegrasi yang selama ini digalakkan belum menyentuh bidang pembinaan
bahasa Indonesia atau bahasa Aceh.
1.2 Rumusan Potensi dan Kondisi Sosial
Perdamaian Aceh sudah berjalan 10 tahun dan usia perdamaian itu, pada Agustus
2016, akan memasuki 11 tahun. Perdamaian yang telah lama dinanti dan diharapkan
akan terus bertahan hingga selama-lamanya. Namun, ada asumsi bahwa trauma
sosial akibat kearogansian aparat bersenjata saat konflik bersenjata di Aceh masih
membekas dalam memori masyarakat. Akibatnya, para kombatan dan korban konflik
4
cenderung bersikap negatif terhadap pemakaian bahasa Indonesia, dan sebaliknya
bersikap positif pada bahasa Aceh atau bahasa Melayu. Untuk melaksanakan
pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dapat dilakukan dengan bermacam-
macam usaha, antara lain, melalui penelitian sehingga akan diperoleh informasi dan
data konfrehensif yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Informasi dan
data itu, antara lain, menyangkut simpulan dari sikap berbahasa para eks kombatan
dan korban konflik yang diperoleh di lapangan dan diuji dengan pengolahan data
secara statistik inferensial. Selain itu, diperlukan informasi dan data mengenai usaha-
usaha pembinaan yang pernah dilakukan. Informasi-informasi dan data itu hanya
dapat diperoleh melalui penelitian.
Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa masalah pokok yang ingin
diketahui, yaitu sebagai berikut:
(1) wujud sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para kombatan dan
korban konflik pasca-MoU Helsinki;
(2) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh
para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;
(3) usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang selama ini telah
dan akan dilakukan.
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai sikap bahasa, terutama sikap bahasa Indonesia bagi penutur
berbahasa Ibu bahasa Aceh pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Adapun penelitian terdahulu pernah dilakukan oleh Yusuf, dkk. (1981), Subhayni
(2006), Sulistyaningtyas (2008), dan Fuad (2014). Penelitian Yusuf (1981) hanya
mengkaji mengenai sikap berbahasa Indonesia bagi para penutur bahasa ibu bahasa
daerah dalam hal kemampuan berbicara dan menulis di tingkat Sekolah Dasar. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Subhayni (2006) berisi simpulan bahwa sikap
berbahasa para mahasiswa matrikulasi penutur berbahasa ibu bahasa Aceh
cenderung negatif terhadap bahasa Indonesia. Hasil penelitian tersebut belum
mewakili mengenai secara keseluruhan sikap berbahasa para penutur bahasa ibu
bahasa daerah di Provinsi Aceh karena status para responden sama, yakni
mahasiswa. Sulistyaningtyas (2008) menyimpulkan bahwa yang dapat berperan
sebagai pemersatu bangsa, khususnya bagi masyarakat perbatasan di Batam adalah
bahasa Indonesia. Selanjutnya, hasil penelitian Fuad (2014) menyimpulkan bahwa
sikap berbahasa Indonesia bagi masyarakat Aceh di perantauan terhadap bahasa
Indonesia positif, sedangkan bahasa daerah negatif. Penelitian ini yang dilakukan
oleh Fuad tidak dapat menjawab mengenai sikap berbahasa Indonesia masyarakat
Aceh secara keseluruhan karena sikap berbahasa seorang penutur dapat berubah
sesuai dengan stimulasi dan respons lingkungan dan psikologi penutur bahasa
tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian mengenai sikap berbahasa
Indonesia bagi para eks kombatan dan korban konflik di Aceh belum pernah diteliti
oleh para peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini urgen dan menarik
dilakukan sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan,
terutama bagi pemerintah pusat dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia di daerah
berkas konflik bersenjata dan penguatan bahasa daerah.
6
.
2.2 Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai
bahasa tertentu, mengenai objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada
seseorang untuk beraksi dengan cara tertentu dengan yang disenanginya. Menurut
Anderson (dalam Sumarsono, 2001:363) sikap dibagi menjadi dua, yakni sikap
berbahasa dan sikap nonbahasa, seperti sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis.
Selanjutnya, sikap bahasa ini dapat dirincikan lagi menjadi dua, yakni sikap positif
dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap berbahasa yang digunakan oleh penutur
dengan mempertahankan, baik struktur maupun makna sesuai dengan kaidah yang
berlaku dalam suatu bahasa tertentu tanpa mencampurkannya dengan bahasa lain.
Sikap negatif berbahasa adalah sikap berbahasa yang diterapkan oleh penutur yang
bertolak belakang dengan sikap positif berbahasa atau dengan kata lain
mencampuradukkan penggunaan bahasa tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Hasan (2001) mengemukakan bahwa sikap dan
kepercayaan terhadap bahasa merupakan hal yang menentukan bagi tingkah laku
linguistik, dan hal tersebut harus dipelajari secara intensif dan komprehensif. Dalam
hal ini, para sosiolinguis, antropolog, harus menganalisis tidak hanya situasi
linguistik dan tingkah lakunya, tetapi juga nilai yang diberikan masyarakat kepada
bahasa-bahasa. Sikap penutur terhadap bahasa berkembang mula-mula di lingkungan
keluarga dan masyarakat dan kemudian barulah melebar di tingkat sekolah hingga
memunculkan kepribadiannya.
Sikap bahasa erat kaitannya dengan tipologi bahasa (languangetypology).
Hassan (2001:92) merincikan tipologi bahasa menjadi empat, yaitu (1) berdasarkan
daerah, geografis tanpa memperhatikan strukturnya, (2) berdasarkan struktural, ciri-
ciri struktur bahasa, yaitu secara fonologis, morfologi, dan sintaksis, (3) berdasarkan
geneologi, keturunan, silsilah bahasa, dan (4) berdasarkan fungsional, fungsinya
dalam masyarakat. Sebagai alat perhubungan antarwarga dan sebagai sarana penerus
ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Indonesia telah memenuhi tuntutan
kehidupan suatu masyarakat yang modern.
7
2.3 Bahasa
Komunitas bahasa (speechcommunity) adalah suatu konsep yang pernah dibahas oleh
Hudson (1980), Troike (1982), dan Braitwaite (1984). Pengertian mengenai
komunitas bahasa pun sangat beragam dan menurut hemat penulis, pengertian
komunitas bahasa yang relevan mengenai melihat peristiwa tutur di Indonesia adalah
pendapat yang dikemukakan oleh Blomfield. Blomfield (dalam Ohoiwutun,
2007:37) mengatakan bahwa komunitas bahasa dibentuk oleh mereka (kumpulan
orang yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa (lungisticrule) yang
sama). Dari pernyataan Blomfield tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu itu
dapat dikatakan sebagai komunitas bahasa apabila perkataan (kata, frasa, dan
kalimat) sudah disepakati dan dipahami maksudnya oleh semua kalangan para
penutur di suatu komunitas tersebut (konvensional). Hal ini sama halnya dengan
bahasa prokem yang berkembang di Jakarta pada 1970. Bahasa tersebut digunakan
oleh para preman dan pencopet di Jakarta. Bahasa tersebut umumnya tidak
dimengerti oleh masyarakat umum dan bahasa prokem tersebut hanya dimengerti
oleh sesama para komunitas yang berprofesi sama dengannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:924) dinyatakan bahwa
masyarakat bahasa memiliki pengertian kelompok orang yang merasa memiliki
bahasa bersama, yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yangg berpegang
pada bahasa standar yang sama. Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil
yang hubungannya bersemuka atau terdiri atas seluruh bahasa, tergantung pada
tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumper, dalam Depdiknas, 1995:162). Selain
itu, keseluruhan dialek atau varianya yang digunakan secara teratur dalam suatu
masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat. Keunggulan konsep
repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan peneliti menghubungkan antara
struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat di bawah suatu kerangka
relasi yang sama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa
merupakan keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama
diassitem tertentu dalam perbedaan dialektal dan sosiolektal.
8
Sesuai dengan yang telah dikemukakan di atas, Provinsi Aceh yang terdiri
atas berbagai etnik dan suku telah membentuk komunitas bahasa yang beragam.
Pasca-MoU Helsinki 2015, dengan kondisi kamtibmas yang semakin kondusif,
Pronvinsi Aceh kian banyak dikunjungi oleh pelancong atau para pencari kerja
sehinga komunitas bahasa di Aceh kian beragam. Penelitian ini akan
mengungkapkan dan mengkaji bagaimana sikap para kombatan dan korban konflik
terhadap menggunaan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi
dalam upaya mengatasi masalah-masalah berkenaan dengan sikap bahasa. Hal ini
sesuai dengan dengan pernyataan yang dikemukan Hasan (2001:153) berikut:
(1) pemakai bahasa mungkin merupakan dua atau lebih kode yang
dipergunakan dalam komunikasi multilingual. Dalam hal ini orang-orang
memindahkan kode-kode mereka dalam suatu pola tertentu untuk
menunjukkan identitas mereka atau menyatakan kemarahan;
(2) para penutur bahasa Indonesia memindahkan kode-kode sehingga
komunikan sering tidak dapat berkomunikasi seefektif mungkin.
2.4 Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa
Sikap berbahasa Indonesia berhubungan dengan nasionalisme berbahasa. Penutur
yang bersikap positif terhadap bahasa Indonesia secara otomatis nasionalisme
terhadap negara Republik Indonesia sangatlah tinggi. Sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Fishman (dalam Sumarsono, 2002:168) peranan bahasa dalam
nasionalisme itu sangat gamblang. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionalisme
dua bidang, yakni bidang administrasi pemerintahan dan pendidikan.
Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula
merupakan ragam regional atau raga sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak
secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan
modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula.
Nasionalisme berbading terbalik dengan etnisitas. Menurut Sumarsono (2002:168)
bagi nasionalitas, kuatnya kelompok itu mempertahankan dan menuntut penggunaan
bahasa kelompok itu, dan bagi etnisitas, kuatnya kelompok itu dipersiapkan untuk
menolak dan melepaskannya.
9
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, sikap bahasa
merupakan representasi pengalaman yang melekat pada seorang penutur, kemudian
diimplementasikan dengan bahasa. Dengan perkataan lain, sikap bahasa relevan
dengan psikologi penutur bahasa. Khususnya di Provinsi Aceh, masyarakat Aceh
mampu menguasai dua bahasa sekurang-kurangnya bahasa Aceh dan bahasa
Indonesia. Seorang dwibahasawan tentu menghadapi tiga situasi psikologis ketika
berbicara dengan orang lain, yakni (1) kebutuhan pribadi, (2) situasi saat
pembicaraan (immediatesituation), dan (3) situasi yang melatarbelakangi
pembicaraan (backgroundsituation) (Herman, dalam Sumarsono, 2002:2010).
Lebih lanjut, Sumarsono juga mengemukakan bahwa ada beberapa variasi
pilihan yang mungkin terjadi jika seorang penutur berinteraksi dengan orang dari
luar kelompoknya. Pertama, perilaku yang paling bersifat konvergensi adalah
memakai bahasa lawan bicara dan berusaha keras menampilkan ujaran yang serupa
betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana interkulor. Kedua, perilaku yang
kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa si interlokutor tetapi
aksenya mungkin lebih berat. Ketiga, penutur memakai bahasanya tetapi dengan
tempo yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin kurang
memahami bahasa yang dipakai. Keempat, penutur memakai bahasanya dengan
kecepatan normal, membiarkan lawan bicara memahami ujarannya sebisa mungkin.
Terkait dengan hal ini, Alkaidar (1999) (dalam Hutagalung, dkk 2013:9) juga
mengekukakan bahwa pasca-MoU Helsinki keadaan sosial masyarakat sama seperti
keadaan setelah perang pada 1873-1913 yang mendapat banyak "luka" pada fisik
yang berkesan dalam jiwa. Kemudian, Reid (2008) juga menggambarkan bahwa
situasi tersebut sebagai kehancuran jiwa dan mental. Selanjutnya, hasil penelitian
Hutagalung, dkk. (2013) juga membuktikan bahwa konflik bersenjata dan bencana
tsunami telah memberikan trauma bagi remaja meskipun masih pada kategorikan
sedang.
10
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Umum
Seusai dengan rumusan masalah, tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan politik bahasa nasional yang berisi
perencanaan, pengarahan, pembinaan, pengembangan, dan pemertahanan;
(2) untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan pembinaan, pengembangan, dan
pemertahanan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh yang masih
aktif digunakan oleh penuturnya.
3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) gambaran tentang wujud sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;
(2) faktor yang mempengaruhi sikap berbahasa Indonesia dan berbahasa Aceh para
eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki;
(3) usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang selama ini telah
dan akan dilakukan.
3.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat, baik secara praktis maupun teoretis.
Manfaat praktis penelitian adalah dapat menjadi rujukan pemerintah dalam
merumuskan kebijakan politik bahasa Nasional dan khazanah ilmu pengetahuan,
terutama di bidang sosiolinguistik. Manfaat teoretis penelitian ini adalah ter-submit
di jurnal terakreditasi nasional atau internasional dan tersedianya buku ajar alternatif
bagi mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah sosiolinguistik. Buku ajar yang
disusun nantinya adalah buku ajar yang ber-ISBN dan berisikan tentang persoalan
sikap penutur berbahasa Indonesia bagi para penutur berbahasa ibu nonbahasa
Indonesia.
11
3.5 Rencana Target Capaian Tahunan
Penelitian ini bersifat multitahun (multiyear) dan akan selesai dilaksanakan selama
dua tahun. Hasil penelitian ini akan diseminarkan dalam pertemuan ilmiah berskala
nasional dan melibatkan berbagai elemen terkait, baik Pemerintah Aceh, perguruan
tinggi, para peneliti, maupun masyarakat luas. Dengan memperhatikan masukan dari
seminar tersebut, peneliti akan membukukan hasil penelitian ini dalam bentuk buku
ajar ber-ISBN sehingga dapat digunakan oleh mahasiswa, baik di strata-1, strata-2,
maupun strata-3. Selain itu, hasil penelitian ini akan dipublikasikan pada jurnal
ilmiah terakreditasi, baik nasional maupun internasinal. Adapun target capaian
penelitian ini sebagaimana terdapat pada tabel 1 berikut.
Tabel; 1 Rencana Target Capaian Tahunan
No. Jenis Luaran Indikator Capaian
TS1 TS+1 TS+2
1. Gerakan Sosial,
Lembaga Sosial-
Kemasyaarakatan,
Kebijakan, Naskah
Akademik, dan
sebagainya
Internasional tidak ada tidak ada tidak ada
Nasional
Terakreditasi
submitted published
2. Kelompok atau
Komunitas
Binaan
Internasional tidak ada tidak ada tidak ada
Nasional
Lokal model
pembinaan
bahasa
sudah
dilaksana-
kan
3. Publikasi Ilmiah Internasional submitted published tidak ada
Nasional
Terakreditasi
submitted published tidak ada
4. Pemakalah dalam
Temu Ilmiah
Internasional tidak ada tidak ada tidak ada
Nasional makalah,
terdaftar
sudah
dilaksakan
5. Invited Speaker dalam
Temu Ilmiah
Internasional tidak ada tidak ada tidak ada
Nasional Draft makalah,
sudah
dilaksana-
kan
tidak ada
6. Visiting Lecturer Internasional tidak ada tidak ada tidak ada
12
7. Hak Kekayaan
Intelektual
Paten tidak ada tidak ada tidak ada
Paten
Sederhana
tidak ada tidak ada tidak ada
Hak Cipta tidak ada tidak ada tidak ada
Merek
Dagang
tidak ada tidak ada tidak ada
Rahasia
Dagang
tidak ada tidak ada tidak ada
Desain
Produk
Industri
tidak ada tidak ada tidak ada
8. Model/Purwarupa/Desain/Karya Seni/
Rekayasa Sosial
model
pembinaan
bahasa
sudah
dilaksana-
kan
tidak ada
9. Buku Ajar (ISBN) draft,
editing
sudah
terbit
10. Tingkat Kesiapan Teknologi skala 1 skala 1
13
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan pendekatan
deskriptif-kualitatif (mixedmethod). Menurut Bungin (2008:25) pada penelitian
kuantitatif, teori atau paradigma teori digunakan untuk menuntun peneliti
menemukan masalah penelitian, menemukan hipotesis, menemukan konsep-konsep,
menemukan metodologi, dan menemukan alat-alat analisis data. Adapun penggunaan
pendekatan kuantitatif bertujuan mendeskripsikan data yang diperoleh secara statistik
inferensial (SPSS). Terkait dengan pendekatan kualitatif, menurut (Silalahi, 2009:82)
penelitian kualitatif dalam penelitian sosial tidak selalu seperti yang digunakan
dalam bidang antropologi. Ada kecenderungan pegangan peneliti kemudian dapat
berubah ketika penelitian lapangan dilaksanakan. Penggunaan pendekatan kualitatif
bertujuan mendeskripsikan data di lapangan sesuai apa yang diperoleh dengan
penjelasan yang runtun, saksama, jelas, dan padat.
4.2 Sumber Data dan Informan
Sumber data atau informan penelitian ini adalah para eks kombatan dan korban
konflik pasca-MoU Helsinki yang tersebar di 11 kabupaten di Aceh. Kesebelas
kabupaten tersebut adalah sebagai berikut: Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara,
Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
dan Aceh Selatan.
Tabel 2; Data Informan
Kabupaten
Jumlah Jabatan
Sruktural/Fungsional
Kombatan Korban
Konflik Ada Tidak
Aceh Besar 10 5
Pidie 20 10
Bireuen 20 10
Aceh Utara 20 10
Aceh Timur 10 10
Aceh Tengah 6 4
14
Aceh Jaya 8 5
Aceh Barat 8 5
Nagan Raya 8 5
Aceh Barat Daya 8 5
Aceh Selatan 8 5
Total 126 74
4.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah teknik angket,
wawancara, dan kaji dokumen. Adapun langkah kerjanya adalah sebagai berikut:
(1) pernyataan masalah;
(2) pilih subjek;
(3) susun kuesioner;
(4) validasi kuesioner;
(5) siapkan surat pengantar;
(6) uji kuesioner kepada sampel kecil dari subjek;
(7) tidak lanjuti kegiatan;
(8) lakukan pengeditan kuesioner dan pengkodeaan terhadap tiap respons;
(9) analisis data
(10) tulis satu laporan yang menyajikan temuan (Silalahi, 2009:296).
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara tak
terstruktur. Sebagaimana dikatakan Silalahi (2009:313) bahwa wawancara tak
terstruktur dilakukan bila pewawancara tidak memiliki seting wawancara dengan
sekuensi pertanyaan yang direncanakan yang dia akan tanyakan kepada responden.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner
digunakan untuk mengukur sikap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. Bentuk
kuesioner adalah Skala Likert yang meliputi pernyataan sangat setuju, setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju. Skala Likert digunakan untuk mengukur, sikap,
pendapat, atau persepsi seseorang tentang dirinya atau kelompoknya atau
sekelompok orang yang berhubungan suatu hal. (Bungin, 2008:229-232)
15
4.5 Anggapan Dasar
Undang-Undang Dasar 1945 BAB XV Pasal 36 mengamanatkan bahwa bahasa
negara ialah Bahasa Indonesia. Selanjutnya, pada bagian penjelasan disebutkan
bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh
rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura
dan bahasa Aceh) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara.
Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Berkaitan dengan hal tersebut, anggapan dasar dalam penelitian ini bahwa
konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pasca-MoU Helsinki telah membuat para eks
kombatan dan korban konflik trauma akibat perlakuan aparat keamanan yang
berbahasa Indonesia saat beroperasi di Aceh sehingga sikap berbahasa Indonesia
para kombatan dan korban konflik menjadi negatif.
4.6 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sikap berbahasa Indonesia para eks kombatan dan
korban konflik negatif sedangkan sikap berbahasa Aceh cenderung positif.
4.7 Teknik Penganalisisan Data
Ada dua teknik penganalisisan data yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama,
data mengenai sikap berbahasa dianalisis secara kuantitatif dalam bentuk tabulasi
dengan menghitung dengan rumus SPSS. Selain mengkaji nilai rata-rata
ketercapaian, peneliti juga menganalisis keterkaitan dengan variabel lain dan faktor
penyebab yang mempengaruhi sikap bahasa. Adapun variabel yang akan dikaji
adalah gender, keterlibatan saat konflik (kombat/nonkombat/korban) usia, riwayat
pendidikan, dan jabatan struktural/fungsional.
Kedua, data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif. Secara umum langkah-
langkah yang ditempuh dalam penganalisisan data penelitian ini adalah sebagai
berikut:
(1) pemberian kode (koding) untuk setiap kategori data;
(2) menyusun kategorisasi data;
17
BAB 5. HASIL DAN LUARAN DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dibahas hasil analisis data berdasarkan masalah yang telah
dirumuskan sesuai dengan detail jawaban atas pertanyaan atau pernyataan berkaitan
dengan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang telah
ditentukan dalam instrumen penelitian. Sebanyak 12 pertanyaan berkaitan dengan
data pelengkap dan 26 pertanyaan behubungan dengan inti persoalan yang diteliti.
Semua pertanyaan tersebut sudah representatif sebagai instrumen untuk menjaring
data berkenaan dengan sikap bahasa para informan yang menjadi objek penelitian
ini, baik yang berkaitan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maupun
bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan digunakan di Aceh.
5.1.1 Substansi Data
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam istrumen penjaringan data
penelitian ini adalah sebagai berikut.
No. Kemampuan Berbahasa
1. Kemampuan Berbahasa Indonesia
2. Kemampuan Berbahasa Aceh
3. Kemampuan Berbahasa Daerah Lainnya
(1).......................................
(2).......................................
(3).......................................
(4).......................................
(5).......................................
4. Kemampuan Berbahasa Asing
(1).......................................
(2).......................................
(3).......................................
5. Apa bahasa ibu Anda (bila bahasa Aceh, sebutkan dialek apa)?
6. Bahasa apakah yang digunakan oleh keluarga Anda di rumah?
7. Bahasa apakah yang digunakan oleh teman-teman dan kerabat Anda di
rumahnya?
8. Apakah Anda merasa nyaman saat menggunakan bahasa tersebut?
9. Apakah ada istilah-istilah bahasa Indonesia dan bahasa Aceh yang tidak
18
Anda pahami? Jika ada, apa sebabnya?
10. Apa saja usaha yang Anda lakukan selama ini untuk meningkatkan
kemampuan dalam bidang penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh?
11. Apakah Anda selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan cara membaca buku, majalah, koran, dan sebagainya? Jika
tidak apa penyebabnya, dan bila ada, bagaimana caranya?
12. Apa saran Anda terkait dengan peran pemerintah dalam pengembangan,
pembinaan, dan pelestarian bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa
Aceh (bahasa daerah) ?
No. Pernyataan
1. Saya suka dan bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-hari.
Saya suka dan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-
hari.
2. Sebagai orang Indonesia, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang Aceh, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa Aceh
dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar penting bagi saya
sebagai eks kombatan/korban konflik.
Mampu berbahasa Aceh dengan baik dan benar penting bagi saya sebagai
eks kombatan/korban konflik.
4. Belajar bahasa Indonesia merupakan salah satu wujud mempertahankan
identitas nasional.
Belajar bahasa Aceh merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas
daerah.
5. Belajar bahasa Indonesia penting untuk menyerap atau memperoleh ilmu
pengetahuan.
Belajar bahasa Aceh penting untuk menyerap atau memperoleh ilmu
pengetahuan.
6. Belajar bahasa Indonesia penting karena dapat membuat saya bersaing
dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan.
Belajar bahasa Aceh penting karena dapat membuat saya bersaing dengan
orang lain untuk memperoleh pekerjaan.
7. Belajar bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau
berbagai informasi penting di media massa dengan baik.
Belajar bahasa Aceh penting karena dapat memahami berita-berita atau
berbagai informasi penting di media massa dengan baik.
8. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi.
Bahasa Aceh merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi.
9. Saya lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam membicarakan
19
masalah umum.
Saya lebih senang menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan
masalah umum.
10. Saya merasa bahasa Indonesia hanya untuk golongan terpelajar.
Saya merasa bahasa Aceh hanya untuk golongan terpelajar.
11. Penerapan kaidah berbahasa Indonesia dengan benar sering mengganggu
kelancaran berkomunikasi bagi saya.
Penerapan kaidah berbahasa Aceh dengan benar sering mengganggu
kelancaran berkomunikasi bagi saya.
12. Kecenderungan saya akan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa
Indonesia.
Kecenderungan saya akan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa
Aceh.
13. Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan
pelestarian bahasa Indonesia.
Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan
pelestarian bahasa Aceh.
14. Kemampuan berbahasa Indonesia saya hanya mampu bercakap-cakap dalam
pembicaraan sehari-hari.
Kemampuan berbahasa Aceh saya hanya mampu bercakap-cakap dalam
pembicaraan sehari-hari.
15. Saya mampu mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Indonesia,
misalnya berceramah, berpidato, dan berdiskusi.
Saya mampu mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Aceh,
misalnya berceramah, berpidato, dan berdiskusi.
16. Saya mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis, misalnya melalui
surat-menyurat resmi.
Saya mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis dalam bahasa Aceh,
misalnya melalui surat-menyurat resmi.
17. Saya selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-
hari.
Saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi sehari-hari.
18. Saya menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Saya menguasai bahasa Aceh dengan baik.
19. Bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi.
Bahasa Aceh dapat menunjukkan identitas pribadi.
20. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berarti menjaga
identitas nasional dan daerah dengan baik.
Menggunakan bahasa Aceh dengan baik dan benar berarti menjaga identitas
nasional dan daerah dengan baik.
21. Bahasa Indonesia perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi
keutuhan negara dan bangsa Indonesia.
Bahasa Aceh perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi keutuhan
negara dan bangsa Indonesia.
22. Saya membutuhkan kamus standar dan pedoman umum ejaan bahasa
20
Indonesia agar dapat mempelajari dan menggu-nakannya secara benar.
Saya membutuhkan kamus standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh
agar dapat mempelajari dan menggunakannya secara benar.
23. Saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam
bahasa Indonesia.
Saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam
bahasa Aceh.
24. Bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada bahasa
Aceh
Bahasa Aceh lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada bahasa
Indonesia
25. Saya bangga melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal
maupun nonformal dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Saya bangga melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal
maupun nonformal dengan menggunakan bahasa Aceh.
26. Anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih
baik daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh.
Anak sekolah yang menggunakan bahasa Aceh perkembangannya lebih baik
daripada anak yang menggunakan bahasa Indonesia.
5.1.2 Hasil Pengolahan Data
Hasil pengolahan data dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan substansi sikap
bahasa, yaitu (1) berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa, (2) berkaitan dengan
kebanggaan terhadap penggunaan bahasa, dan (3) berkaitan dengan kesadaran
penggunaan bahasa, baik sikap para eks kombatan maupun para korban konflik
terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh.
5.1.2.1 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan terhadap Bahasa Indonesia
(1) Kategori Kebanggaan
KEBANGGAAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KEBANGGAAN .00 0 0 1 1
15.00 0 0 4 4
16.00 0 0 5 5
17.00 0 0 3 3
18.00 0 0 9 9
19.00 0 0 2 2
20.00 0 0 13 13
21.00 0 0 6 6
21
22.00 0 0 6 6
23.00 0 7 0 7
24.00 0 4 0 4
25.00 0 3 0 3
26.00 0 4 0 4
27.00 0 2 0 2
28.00 4 0 0 4
Total 4 20 49 73
(2) Kategori Kesetiaan
KESETIAAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESETIAAN .00 0 0 1 1
15.00 0 0 1 1
16.00 0 0 2 2
17.00 0 0 3 3
18.00 0 0 5 5
19.00 0 0 2 2
20.00 0 0 2 2
21.00 0 0 4 4
22.00 0 0 9 9
23.00 0 9 0 9
24.00 0 8 0 8
25.00 0 5 0 5
26.00 0 6 0 6
27.00 0 4 0 4
28.00 4 0 0 4
29.00 4 0 0 4
30.00 2 0 0 2
31.00 1 0 0 1
69.00 1 0 0 1
Total 12 32 29 73
(3) Kategori Kesadaran
KESADARAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESADARAN .00 0 0 1 1
16.00 0 0 1 1
22
18.00 0 0 2 2
20.00 0 0 1 1
21.00 0 0 5 5
22.00 0 0 7 7
23.00 0 6 0 6
24.00 0 13 0 13
25.00 0 7 0 7
26.00 0 9 0 9
27.00 0 5 0 5
28.00 3 0 0 3
29.00 4 0 0 4
30.00 2 0 0 2
31.00 3 0 0 3
32.00 3 0 0 3
33.00 1 0 0 1
Total 16 40 17 73
5.1.2.2 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan terhadap Bahasa Aceh
(1) Kategori Kebanggaan
KEBANGGAAN
Total SEDANG RENDAH
KEBANGGAAN .00 0 1 1
12.00 0 3 3
13.00 0 1 1
14.00 0 1 1
15.00 0 3 3
16.00 0 5 5
17.00 0 6 6
18.00 0 9 9
19.00 0 5 5
20.00 0 6 6
21.00 0 19 19
22.00 11 0 11
23.00 1 0 1
24.00 2 0 2
Total 14 59 73
23
(2) Kategori Kesetiaan
KESETIAAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESETIAAN .00 0 0 1 1
12.00 0 0 1 1
13.00 0 0 1 1
14.00 0 0 1 1
16.00 0 0 1 1
17.00 0 0 1 1
18.00 0 0 3 3
19.00 0 0 2 2
20.00 0 0 7 7
21.00 0 0 6 6
22.00 0 6 0 6
23.00 0 7 0 7
24.00 0 10 0 10
25.00 0 8 0 8
26.00 0 6 0 6
27.00 0 5 0 5
28.00 2 0 0 2
29.00 3 0 0 3
30.00 2 0 0 2
Total 7 42 24 73
(3) Kategori Kesadaran
KESADARAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESADAR
AN
.00 0 0 1 1
18.00 0 0 3 3
19.00 0 0 2 2
20.00 0 0 2 2
21.00 0 0 6 6
22.00 0 5 0 5
23.00 0 8 0 8
24.00 0 7 0 7
25.00 0 9 0 9
26.00 0 10 0 10
24
27.00 0 4 0 4
28.00 3 0 0 3
29.00 3 0 0 3
30.00 2 0 0 2
31.00 3 0 0 3
32.00 4 0 0 4
33.00 1 0 0 1
Total 16 43 14 73
5.1.2.3 Sikap Bahasa Para Korban Konflik terhadap Bahasa Indonesia
(1) Kategori Kebanggaan
KEBANGGAAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KEBANGGAAN .00 0 0 1 1
15.0
0 0 0 2 2
16.0
0 0 0 9 9
17.0
0 0 0 14 14
18.0
0 0 0 7 7
19.0
0 0 0 17 17
20.0
0 0 0 20 20
21.0
0 0 0 9 9
22.0
0 0 0 11 11
23.0
0 0 6 0 6
24.0
0 0 11 0 11
25.0
0 0 7 0 7
26.0
0 0 2 0 2
25
27.0
0 2 0 0 2
28.0
0 8 0 0 8
Total 10 26 90 126
(2) Kategori Kesetiaan
KESADARAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESADARAN .00 0 0 1 1
20.00 0 0 2 2
21.00 0 0 7 7
22.00 0 0 6 6
23.00 0 25 0 25
24.00 0 21 0 21
25.00 0 15 0 15
26.00 0 19 0 19
27.00 7 0 0 7
28.00 10 0 0 10
29.00 5 0 0 5
30.00 6 0 0 6
31.00 2 0 0 2
Total 30 80 16 126
(3) Kategori Kesadaran
KESETIAAN
Total TINGGI SEDANG
RENDA
H
KESETIAAN .00 0 0 1 1
16.00 0 0 1 1
17.00 0 0 3 3
18.00 0 0 2 2
19.00 0 0 6 6
20.00 0 0 12 12
21.00 0 0 17 17
22.00 0 0 14 14
23.00 0 9 0 9
26
24.00 0 15 0 15
25.00 0 15 0 15
26.00 0 16 0 16
27.00 4 0 0 4
28.00 5 0 0 5
29.00 3 0 0 3
30.00 2 0 0 2
32.00 1 0 0 1
Total 15 55 56 126
5.1.2.4 Sikap Bahasa Para Korban Konflik terhadap Bahasa Aceh
(1) Kategori Kebanggaan
KEBANGGAAN0
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESADARAN .00 0 0 1 1
19.00 0 0 2 2
20.00 0 1 7 8
21.00 0 0 11 11
22.00 0 1 4 5
23.00 0 4 12 16
24.00 0 12 9 21
25.00 0 5 5 10
26.00 3 6 9 18
27.00 1 7 8 16
28.00 1 5 3 9
29.00 4 6 0 10
30.00 5 3 0 8
31.00 1 2 0 3
32.00 4 1 0 5
33.00 2 0 0 2
35.00 1 0 0 1
36.00 1 0 0 1
Total 23 53 71 147
(2) Kategori Kesetiaan
KESETIAAN Total
27
TINGGI SEDANG RENDAH
KESETIAAN .00 0 0 1 1
13.00 0 0 2 2
14.00 0 0 2 2
16.00 0 0 2 2
17.00 0 0 4 4
18.00 0 0 2 2
19.00 0 0 10 10
20.00 0 0 7 7
21.00 0 0 10 10
22.00 0 0 14 14
23.00 0 29 0 29
24.00 0 10 0 10
25.00 0 10 0 10
26.00 0 13 0 13
27.00 3 0 0 3
28.00 11 0 0 11
29.00 8 0 0 8
30.00 2 0 0 2
31.00 7 0 0 7
Total 31 62 54 147
(3) Kategori Kesadaran
KESADARAN
Total TINGGI SEDANG RENDAH
KESADARAN .00 0 0 1 1
19.00 0 0 2 2
20.00 0 0 8 8
21.00 0 0 11 11
22.00 0 0 5 5
23.00 0 16 0 16
24.00 0 21 0 21
25.00 0 10 0 10
26.00 0 18 0 18
27.00 16 0 0 16
28.00 9 0 0 9
29.00 10 0 0 10
30.00 8 0 0 8
29
5.2 Pembahasan
5.2.1 Sikap Bahasa Para Eks Kombatan Aceh Pasca-MoU Helsinki
5.2.1.1 Sikap terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Hasil pengolahan data terhadap sikap kombatan pada pertanyaan 1 menunjukkan
bahwa yang memilih setuju (S) sangat mendominasi dengan persentase 57.5% atau
42 responden, sedangkan yang memilih sangat setuju (SS) berada pada tingkat kedua
dengan persentase 21.9% atau 16 responden. Hal ini memperlihatkan bahwa para eks
kombatan masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Dalam kondisi lain,
pilihan setuju menandakan bahwa eks kombatan masih setia terhadap bahasa
Indonsia sekaligus sadar betapa bahasa Indonesia adalah jati diri atau identitas
nasional sebagai warga negara Indonesia. Adapun responden yang memilih tidak
setuju (TS) terhadap opsi ini hanya 17.8% atau 13 orang dan yang memilih sangat
tidak setuju (STS) sebesar 1.4% atau 1 orang. Demikian pula dengan yang memilih
tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 orang. Persentase ini dihitung dari total
informan seluruh Aceh sebanyak 73 orang eks kombatan yang sebagian besar pernah
menjabat posisi panglima di daerahnya.
Pertanyaan kedua untuk para kombatan terkait bahasa Indonesia adalah
pentingkah menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari? Hasil
pengolahan data terhadap pertanyaan 2 memperlihatkan bahwa kombatan yang
memilih tidak mengerti (TM) terhadap pertanyaan ini ada 1 orang atau 1.4%. Hal ini
menunjukkan bahwa masih ada eks kombatan yang tidak mau tahu tentang bahasa
Indonesia. Adapun eks kombatan yang terang-terangan menyatakan tidak setuju
terhadap pertanyaan 2 ada 10 orang atau sebesar 13.7%. Selebihnya, para eks
kombatan yang memilih setuju (S) bahwa bahasa Indonesia penting digunakan
sehari-hari sebanyak 60.3% atau 44 orang dan yang memilih sangat setuju (SS)
sebesar 24.7% atau 18 orang. Hal ini menunjukkan bahwa respon terhadap
pertanyaan 2 lebih didominasi oleh eks kombatan yang menyatakan setuju (S).
Pertanyaan kedua merupakan bentuk kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Dengan
demikian, eks kombatan yang menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia berada
pada tataran setuju.
30
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 3 memperlihatkan bahwa
kesadaran eks kombatan terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-hari masih tergolong tinggi. Hal ini tampak dengan persentase yang memilih
setuju (S) terhadap pertanyaan 3 lebih dominan hingga 63.0% atau 46 responden,
disusul posisi kedua oleh mereka yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 17.8%
atau 13 responden. Sedikit sekali eks kombatan yang menyatakan tidak setuju (TS)
terhadap pertanyaan 3. Jumlah responden eks kombatan yang menyatakan tidak
setuju (TS) hanya 15.1% atau 11 responden, diikuti responden yang menyatakan
sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden. Eks kombatan yang
memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Utara.
Selain itu, masih terdapat 1 eks kombatan yang tidak menjawab sama sekali atau
masuk kategori tidak mengerti (TM) terhadap pertanyaan 3 ini yakni sebanyak 1
orang atau sebesar 1.4%.
Hal yang sama juga terlihat pada respon terhadap pertanyaan 4, yakni eks
kombatan yang memilih setuju (S) dengan pertanyan 4 masih dominan dengan
persentase 52.1% atau 38 responden. Selebihnya, yang memilih sangat setuju (SS)
sebesar 37.0% atau 27 responden. Hal ini menunjukkan bahwa eks kombatan di
seluruh Aceh masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai wujud
mempertahankan identitas nasional. Pada pertanyaan 4 ini muncul pula nilai
nasionalisme dalam diri setiap orang. Oleh karena itu, tingginya persentase yang
menyatakan setuju terhadap pertanyaan 4 disusul pilihan sangat setuju
memperlihatkan bahwa eks kombatan Aceh masih tetap nasionalisme Indonesia.
Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) hanya tercatat sebesar 8.2% atau
6 responden dan yang memilih sangat tidak setuju (STS) serta tidak mengerti (TM)
masing-masing 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan yang merasa tidak mengerti
terhadap pertanyaan 4 berasal dari Aceh Utara.
Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 5 memperlihatkan
bahwa masih banyak eks kombatan yang merasa sangat penting belajar bahasa
Indonesia untuk menyerap atau memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari
persentase yang memilih setuju (S) terhadap pertanyaan ini lebih dominan dengan
persentase 50.7% atau 37 responden, disusul yang memilih sangat setuju (SS)
31
sebesar 39.7% atau 29 responden. Dengan demikian, nilai kesadaran akan pentingnya
bahasa Indonesia masih dapat digolongkan tinggi. Apalagi, responden yang memilih
tidak setuju (TS) hanya sebesar 6.8% atau 5 responden, disusul yang memilih sangat
tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) masing-masing 1.4% atau 1 responden.
Eks kombatan yang memilih tidak mengerti masih tetap dari Kabupaten Aceh Utara.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 6 memperlihatkan bahwa eks
kombatan yang memilih tidak mengerti (TM) masih tetap ada 1.4% atau 1 orang,
yakni dari Kabupaten Aceh Utara, sedangkan informan yang memilih sangat tidak
setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden, diikuti yang memilih tidak setuju (TS)
terhadap pertanyaan 4 sebesar 24.7% atau 18 responden. Adapun eks kombatan yang
menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pertanyaan ini sebesar 30.1% atau 22
responden dan yang memilih opsi setuju (S) sebesar 41.1% atau 30 responden.
Dengan demikian, respon terbanyak terhadap pertanyaan 6 didominasi oleh
responden yang menyatakan setuju (S). Hal ini menunjukkan bahwa para eks
kombatan masih memiliki sikap sadar betapa pentingnya belajar bahasa Indonesia
sebagai bekal bersaing mencai pekerjaan.
Pertanyaan 7 masih terkait dengan sikap kesadaran berbahasa Indonesia.
Respon eks kombatan terhadap pertanyaan 7 membuktikan bahwa mereka sangat
setuju (SS) belajar bahasa Indonesia penting agar dapat memahami berita-berita atau
berbagai informasi di media massa dengan baik. Persentase terhadap pilihan sangat
setuju mencapai 46.6% atau 34 responden, disusul dengan yang memilih setuju (S)
sebesar 39.7% atau 29 responden. Adapun eks kombatan yang merasa tidak setuju
(TS) dengan pertanyaan 4 hanya terdapat 9 orang atau sebesar 12.3% dan yang
menyatakan tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan yang
menyatakan TM masih merupakan eks kombatan yang berasal dari Kabupaten Aceh
Utara.
Hal ini berbeda dengan respons eks kombatan terhadap pertanyaan 8 yang
berisi bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar dalam situasi resmi. Untuk
pertanyaan ini, responden yang memilih setuju (S) lebih dominan dengan persentase
47.9% atau 35 orang, disusul responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar
46.6% atau 34 orang. Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan
32
pernyataan nomor 8 tercatat sebesar 2.7% atau 2 orang, sedangkan responden yang
memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 responden. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa sikap kombatan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi tergolong ke dalam kebangaan yang relatif tinggi.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 9 memperlihatkan bahwa
kesetiaan terhadap bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi masalah umum masih
tergolong rendah. Hal ini tampak dengan persentase pemilih sangat setuju (SS)
terhadap pernyataan nomor 9 hanya 19.2% atau 14 orang dan responden yang
memilih setuju (S) hanya 28.8% atau 21 orang. Adapun responden yang memilih
tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 9 mencapai 34.2% atau 25 orang. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa sikap eks kombatan terhadap bahasa Indonesia
sebagai bahasa dalam komunikasi masalah umum masih tergolong rendah. Ditambah
lagi, data yang menunjukkan pilihan sangat tidak setuju (STS) sebanyak 16.4% atau
12 orang.
Hal yang sama terlihat pada respons eks kombatan terhadap pertanyaan
nomor 10 yang berisi bahwa bahasa Indonesia hanya untuk kalanga terpelajar. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa respons terbanyak pada pertanyaan 10
didominasi pada pilihan tidak setuju (TS) dengan persentase sebesar 37.0% atau 18
orang. Dengan demikian, ada nilai kesadaran dari eks kombatan terhadap bahasa
Indonesia. Responden yang menyatakan sangat tidak setuju (STS) dengan hal ini
sebesar 24.7% atau 18 orang dan yang memilih setuju (S) sedikit lebih kecil, yakni
23.3% atau 17 orang. Adapun yang memilih sangat setuju (SS) tercatat 13.7% atau
10 orang dan yang memilih tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden.
Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 11 menunjukkan
bahwa eks kombatan yang menyatakan sangat setuju (SS) penggunaan bahasa
Indonesia dengan menggunakan kaidah sering menghambat kelancaran komunikasi
mencapai 12.3% atau 9 responden, sedangkan yang menyataan setuju (S) saja
sebesar 30.1% atau 22 responden. Dari hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 11
terlihat bahwa eks kombatan merasa komunikasi dengan penerapan kaidah yang
benar sama sekali tidak menghambat komunikasi. Hal ini berdasarkan opsi yang
tidak setuju (TS) mencapai 52.1% atau 38 responden. Ada kesan bahwa kesadaran
33
eks kombatan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah
masih rendah. Ditambah lagi, responden yang memilih sangat tidak setuju (STS)
masih terdata sebesar 4.1% atau 3 orang. Pada pertanyaan ini, masih tetap terdapat 1
orang yang memilih tidak mengerti (TM) dengan persentase sebesar 1.4% yakni dari
Aceh Utara. Dengan demikian nilai kesadaran terhadap bahasa Indonesia sesua
pernyataan 11 masih tergolong rendah.
Selanjutnya, pertanyaan 12 terkait dengan kecenderungan untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia. Hal ini merupakan sikap berbahasa
yang termasuk ke dalam kesadaran meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia.
Respon terhadap pertanyaan 12 ini menunjukkan bahwa eks kombatan yang
menyatakan setuju (S) lebih besar dibanding opsi lain dengan persentase 58.9% atau
43 responden. Posisi berikutnya disusul eks kombatan yang menyataan tidak setuju
(TS) sebanyak 19.2% atau 14 responden dan eks kombatan yang menyatakan sangat
setuju (SS) sebanyak 17.8% atau 13 responden. Sedikit sekali responden yang
memilih sangat tidak setuju (STS), hanya sekitar 2.7% atau 2 responden, sedangkan
responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih tetap 1 orang atau sebanyak
1.4%. Hal ini memperlihatkan bahwa kesadaran eks kombatan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa Indonesia masih tergolong sedang.
Untuk pertanyaan 13, respons terbesar didominasi oleh pilihan setuju (S)
dengan persentase 46.6% atau 34 responden, disusul respons tidak setuju (TS)
sebesar 24.7% atau 18 responden. Hal ini memperlihatkan bahwa eks kombatan di
Aceh merasa sadar bertapa perlu dirinya terlibat dalam usaha pengembangan dan
pembinaan bahasa Indonesia. Rasa sadar akan hal ini masih berada pada tingkat
sedang, sebab eks kombatan yang merespon sangat setuju (SS) masih sedikit
dibanding yang memilih setuju (S). Persentase pemilih SS hanya 19.2% atau 14
responden. Adapun responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) jauh lebih
kecil yakni 8.2% atau 6 responden dan responden yang memilih tidak mengerti (TM)
tercatat 1 orang atau sebesar 1.4%.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 14 menunjukkan bahwa eks
kombatan sangat sadar dirinya mampu bercakap dalam bahasa Indonesia melebih
kebiasaan sehari-hari. Hal ini ditunjukkan dengan respon terbanyak ada pada opsi
34
tidak setuju (TS). Opsi tidak setuju ini menunjukkan bahwa eks kombatan tidak
setuju apabila dikatakan mereka masih rendah berkomunikasi sehari-hari
menggunakan bahasa Indonesia. Persentase yang menyatakan TS untuk pernyataan
nomor 14 mencapai 47.9% atau 35 responden. Adapun eks kombatan yang merasa
dirinya memang masih belum terlalu cakap menggunakan bahasa Indonesia berkisar
antara 31.4% sampai dengan 13.7%. Persentase ini menujukkan responden yang
memilih setuju mencapai 23 orang dan responden yang memilih sangat setuju (SS)
sebesar 10 orang. Selebihnya, yang menyatakn sangat tidak setuju (STS) dengan
pernyataan nomor 14 sebesar 5.5% atau 5 responden, dan yang memilih tidak
mengerti (TM ) masih sebesar 1.4% atau 1 responden. Hal ini menunjukkan bahwa
respons terhadap pertanyaan 14 didominasi oleh pemilih tidak setuju. Dengan
demikian, dapat diartikan bawha eks kombatan masih masih setia menggunakan
bahasa Indonsia dalam tuturan sehari-hari.
Hasil pengolahan data selanjutnya adalah pertanyaan 15 yang menyiratkan
sikap bangga berbahasa Indonesia dengan merasa mampu menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidaro, ceramah, dan kegiatan sejenisnya. Respons eks kombatan
terhadap pertanyaan 15 ini didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase
mencapai 57.5% atau 42 responden. Adapun posisi kedua adalah pilihan tidak setuju
(TS) dengan persentase sebesar 24.7% atau 18 responden. Hal ini menunjukkan
bahwa rasa bangga berbahasa Indonesia masih berada pada tataran sedang, sebab
yang memilih sangat setuju (SS) terhadap hal ini hanya 16.4% atau 12 responden dan
yang memilih sanga tidak setuju (STS) sebanyak 1 orang. Demikian pula yang
memilih tidak mengerti (TM) tetap sebesar 1.4% atau 1 responden.
Respons terhadap pertanyaan 16 yang berisi rasa mampu menggunakan
bahasa Indonesia dalam ragam tulis juga didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan
jumlah 34 responden atau 46.6%, disusul pilihan terhadap tidak setuju (TS) sebanyak
22 responden atau 30.1%. Hal ini menandakan bawha rasa bangga terhadap bahasa
Indonesia dalam ragam tulis resmi masih berada pada kategori sedang, sebab
perbandingan antara setuju (S) dan tidak setuju (TS) mencapai 10% lebih. Adapun
responden yang menyatakan pilihan sangat setuju (SS) hanya 15 responden atau
20.5%. Selanjutnya, responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) dengan
35
pernyataan nomor 16 hanya 1.4% atau 1 orang. Hal ini sama dengan yang memilih
tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau 1 responden.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 17 membuktikan bahwa sikap
berbahasa eks kombatan terhadap kesetiaan berbahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-sehari masih sangat redah. Hal ini terlihat pada persentase yang menyatakan
tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 17 sangat mendominasi hingga 41.1% atau 30
responden. Urutan kedua adalah opsi setuju (S) dengan persentase sebesar 28.8%
atau 21 responden. Meskipun pilihan setuju berada pada opsi kedua, perbandingan
opsi setuju dengan tidak setuju sangat mencolok sehingga kesetiaan berbahasa
Indonesia eks kombatan di sini dapat dikatakan masih rendah. Terlebih lagi, opsi
ketiga untuk pernyataan 17 adalah pilihan tidak setuju (STS) dengan persentase
sebesar 17.8% atau 13 responden. Adapun opsi sangat setuju (SS) berada urutan
keempat dengan persentase sebesar 11.0% atau 8 responden dan yang memilih tidak
mengerti (TM) tetap ada 1 orang atau sebesar 1.4%. Total responden keseluruhan
kabupaten yang mendapat angket ini sebanyak 73 orang. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa eks kombatan masih sedikit yang menggunakan bahasa
Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
Untuk pertanyan 18 yang berbunyi saya menguasai bahasa Indonesia dengan
baik, masih terdapat responden yang memilih tidak mengerti (TM) yakni 1 orang
atau 1.4%. Responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) terhadap pertanyaan
18 sebesar 2.8% atau 2 orang. Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS)
tercatat sebesar 31.9% atau 23 orang, responden yang memilih setuju (S) sebesar
43.1% atau 31 orang, dan responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 20.8%
atau 15 orang. Artinya, respon terbanyak untuk pertanyaan 18 ada pada pilihan setuju
(S) sehingga dapat disimpulkan bahwa eks kombatan yang menguasai bahasa
Indonesia pasca-MoU Helsinki masih tergolong bagus. Hal ini sekaligus
menandakan bahwa eks kombatan masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia.
Untuk pertanyaan 18 ada suara missing sebanyak 1.4% atau 1 responden sehingga
toal responden yang mengisi angket hanya 72 orang.
Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 19 menunjukkan
bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih mendominasi dengan persentase
36
mencapai 53.4% atau 39 orang, disusul yang memilih sangat setuju (SS) sebesar
23.3% atau sebanyak 17 orang. Hal ini menyiratkan bahwa kebanggan terhadap
bahasa Indonesia di kalangan eks kombatan masih tergolong tinggi, sebab pertanyaan
19 berisi bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi. Reponden yang
menyatakan tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 19 hanya 20.5% atau sebanyak 15
orang dan yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 1.4% atau sebanyak 1
orang. Demikian pula yang memilih tidak mengerti (TM) hanya 1.4% atau sebanyak
1 respoden yakni eks kombatan yang berada di Aceh Utara.
Pertanyaan 20 berisi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan baik. Respon terbanyak untuk
pernyataan tersebut didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase sebesar
57.5% atau 42 responden, disusul pilihan sangat setuju (SS) sebesar 28.8% atau 21
responden. Adapun yang memilih tidak setuju (TS) hanya 11.0% atau 8 responden.
Selebihnya, yang memilih sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM)
masing-masing 1.4% atau 1 responden. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
nilai kesadaran eks kombatan terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas nasional
dan daerah tergolong sangat bagus. Angka persentase setuju sudah mencapai di atas
50% disusul persentase pilihan sangat setuju setengahnya adalah bentuk positif sikap
berbahasa Indonesia.
Hal lebih menarik adalah respons eks kombatan terhadap pertanyaan 21.
Pertanyaan 21 berupa ajakan bahwa bahasa Indonesia perlu dikembangkan, dibina,
dan dilestarikan demi keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Respons terhadap
pernyataan yang memuat nilai nasionalisme ini didominasi oleh mereka yang
memilih sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 46.6% atau 34 responden.
Artinya, hampir setengah dari total responden yang mengisi angket menyatakan
sangat setuju terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Hal ini
merupakan sikap positif berbahasa Indonesia untuk kategori kesadaran. Adapun
responden yang memilih setuju (S) terhadap pernyataan 21 tercatat sebesar 43.8%
atau 32 responden. Selebihnya, yang memilih tidak setuju (TS) sebesar 5.5% atau 4
responden, yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2 responden,
dan yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 responden. Lagi-lagi
37
masih ada responden yang menyatakan tidak mengerti yakni dari Kabupaten Aceh
Utara.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 22 menunjukkan bahwa yang
memilih tidak mengerti (TM) dan sangat tidak setuju (STS) masih sama besarnya,
masing-masing 1.4% atau 1 responden. Hal ini sama sekali tidak bermakna apa-apa
untuk pertanyaan 22 yang berisi membutuhkan kamus standar untuk mempelajari
bahasa Indoensia. Namun, yang memilih setuju (TS) terhadap pernyataan ini
mendominasi dengan persentase sebesar 47.9% atau 35 responden. Artinya, masih
ada rasa sadar dalam diri kalangan eks kombatan untuk belajar bahasa Indonesia
lebih giat lagi, termasuk dengan kebutuhan terhadap kamus standar. Namun
demikian, ada juga sebagian eks kombatan yang menyatakan tidak setuju (TS)
terhadap pernyataan tersebut. Mereka yang memilih TS berada pada posisi kedua
dengan persentase 26.0% atau sebesar 19 responden. Sementara itu, yang memilih
sangat setuju (SS) berada posisi ketiga dengan persentase sebesar 23.3% atau 17
responden.
Untuk pertanyaan 23 yang berupa pernyataan kesulitan memahami orang
berbahasa Indonesia, respon terbanyak adalah pilihan tidak setuju (TS) sebesar
63.0% atau 46 responden. Artinya, lebih 50% dari total informan tidak setuju dengan
pernyataan tersebut. Dengan kata lain, bahasa Indonesia bukanlah sebuah bahasa
yang sulit dipahami oleh kalangan eks kombatan. Selain menguasai bahasa
Indonesia, eks kombatan juga sangat paham ketika orang lain berbahasa Indonesia.
Namun demikian, masih ada juga yang setuju dan merasa kesulitan mendengar orang
lain berbahasa Indonesia, tetapi hanya 17.8% atau 13 responden, sedangkan yang
menyatakan sangat tidak setuju (STS) ada 9 orang atau sebesar 12.3%. Hanya 3
responden atau 4.1% yang memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan 23.
Sisanya, 1.4% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM).
Respon terhadap pertanyaan 24 menunjukkan bahwa yang memilih tidak
mengerti (TM) dan sangat tidak setuju (STS) sama besarnya yakni 1.4% atau
masing-masing 1 responden. Respon terbesar untuk pertanyaan 24 ada pada pilihan
setuju (S) dengan persentase mencapai 35.6% atau 26 responden, disusul yang
memilih sangat setuju (SS) sebesar 31.5% atau 23 responden. Kecilnya selisih antara
38
pilihan setuju dengan sangat setuju menunjukkan bahwa kesadaran eks kombatan
terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dipelajari dibanding bahasa
Aceh masih sangat tinggi. Meski demikian, masih ada sebagian kalangan eks
kombatan yang merasa kesulitan mempelajari bahasa Indonesia dengan memberikan
opsi tidak setuju (TS) terhadap pertanyaan 24. Responden yang menyatakan tidak
setuju sebesar 30.1% atau 22 orang dari totoal keseluruhan 73 orang. Responden
yang paling banyak memilih tidak setuju dengan pernyatan 24 berasal dari
Kabupaten Bireuen, yakni 5 responde menyatakan tidak setuju dan 5 responde lagi
menyatakan setuju.
Hasil pengolahan data terhadap pertanyaan 25 memperlihatkan bahwa
responden yang memilih sangat setuju (SS) berada pada urutan kedua yakni sebesar
31.5% atau 23 orang. Adapun urutan pertama terbanyak adalah responden yang
memilih setuju (S) dengan persentase mencapai 47.9% atau 35 orang. Dengan
demikian, masih banyak eks kombatan yang merasa bangga melihat dan mendengar
anak-anak mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Sikap positif
terhadap bahasa Indonesia ini terbanyak datang dari eks kombatan di Kabupaten
Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Adapun
responden yang memilih tidak setuju (TS) terhadap pernyataan 25 hanya 19.2% atau
14 orang dan responden yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1
orang yakni dari Kabupaten Aceh Utara.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada pertanyaan 26 yang memuat
pernyataan anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia lebih berkembang
daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Respon terhadap pernyataan ini
didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase sebesar 39.7% atau 29 orang.
Selanjutnya, responden yang memilih sangat setuju (SS) berada pada urutan kedua
dengan persentase sedikit di bawah itu, yakni sebesar 34.2% atau 25 orang. Adapun
responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan 26 tercatat sebesar
24.7% atau 18 orang dan responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih ada 1
orang atau sebesar 1.4%. Dengan demikian, ada rasa sadar pada kalangan eks
kombatan betapa pentingnya bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan.
39
Dari hasil pengolahan data keseluruhan untuk 73 informan di seluruh
kabupaten/kota terlihat bahwa kebanggan berbahasa Indonesia dalam kalangan eks
kombatan pasca-MoU Helsinki tergolong masih rendah. Mereka yang memiliki rasa
bangga berbahasa Indonesia hanya sebagian kecil, yakni 6%. Selebihnya, 27%
berada pada posisi sedang. Sebanyak 67% dari total informan, masih memiliki rasa
bangga berbahasa Indonesia dengan olongan rendah. Persentase tersebut tergambar
dalam grafik batang dan diagram di bawah ini.
Grafik 1: tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia eks-kombatan
Diagram 1: tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia eks-kombatan
40
Selanjutnya, sikap berbahasa para kombatan untuk kategori kesetiaan berada
pada level sedang. Artinya, para kombatan masih menaruh rasa setia untuk
menggunakan dan mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Namun demikian, perbandingan golon sedangn dan rendah tidak terlalu jauh, 32
orang banding 29 orang atau 44% banding 40%. Hal ini seperti terlihat dalam grafik
dan diagram berikut.
Grafik 2: tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia eks-kombatan
Diagram 2: tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia eks-kombatan
41
Kategori kesadaran berbahasa Indonesia di kalangan eks-kombatan Aceh juga
tergolong sedang. Tercatat 55% masuk kategori sedang, 23% termasuk kategori
rendah, dan 22% termasuk kategori tinggi. Dengan demikian, setengah dari informan
dapat dikatakan masih memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan membina
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Indonesia. Persentase kesadaran
berbahasa Indonesia kalangan eks kombatan tergambar dalam grafik dan diagram di
bawah ini.
Grafik 3: tingkat kesadaran berbahasa Indonesia eks-kombatan
Diagram 3: tingkat kesadaran berbahasa Indonesia eks-kombatan
42
5.2.1.2 Sikap terhadap Bahasa Aceh sebagai Bahasa Daerah
Para kombatan memilik pandangan positif terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa
daerah yang mereka gunakan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para
kombatan sangat suka dan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi
sehari-hari. Hal ini dapat dilihat pada opsi pertanyaan sekaligus pernyataan 1 yang
terkait dengan kesukaan dan kebanggan berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data
memperlihatkan bahwa para kombatan menyatakan sangat setuju (SS) menggunakan
bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari. Persentase untuk opsi SS mencapai 52.1%.
Artinya, tercatat 38 responden dari 73 responden keseluruhan menyatakan sangat
setuju (SS) dengan pernyataan 1. Selanjutnya, responden yang menyatakan setuju (S)
terhadap pernyataan 1 sebanyak 30 orang atau 41.1%. Hanya 4 responden yang
memilih tidak setuju (TS) atau setara dengan 5.5%, sedangkan yang menyatakan
tidak mengerti (TM) atau tidak merespons ada 1 responden atau 1.4 %. Hal ini
menunjukkan tingginya kebanggaan kombatan terhadap bahasa Aceh.
Selain merasa bangga dengan penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa
komunikasi sehari-sehari, para kombatan juga berpikir betapa pentingnya
menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Merasa pentingnya
menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari merupakan sikap bahasa
terkait kesetiaan. Artinya, para kombatan masih sangat setia terhadap bahasa Aceh
yang merupakan bahasa ibu di Aceh. Nilai kesetiaan ini tamak pada respons
informan terhadap pernyataan 2 yang berisi sebagai orang Aceh, penting bagi kita
menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Respons terhadap
pernyataan ini menunjukkan bahwa pemilih sangat setuju (SS) sangat dominan
dengan persentase 54.8% atau 40 responden dari 73 respoden. Selanjutnya,
responden lainnya sebanyak 28 orang memilih setuju (S) atau setara dengan 38.4%.
Adapun responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan 2 hanya
sebanyak 4 orang atau 5.5%. Untuk pernyataan 2 ini masih responden yang memilih
tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang atau 1.4%.
Hasil pengolahan data menunjukkan pula bahwa tingkat kesadaran berbahasa
Aceh para kombatan didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase 47.9%
43
atau 35 responden, disusul pilihan sangat setuju (SS) sebesar 39.7% atau 29
responden. Dengan demikian, untuk pertanyaan 3 ini, pemilih yang menyatakan tidak
setuju (TS) hanya 9.6% atau 7 responden, sedangkan yang memilih sangat tidak
setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) sama besarnya, masing-masing 1 responden
atau setara dengan 1.4%. Artinya, rasa sadar para kombatan terhadap bahasa Aceh
masih tergolong positif.
Belajar bahasa Aceh merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas
daerah. Pernyataan nomor 4 ini adalah sikap bangga terhadap bahasa Aceh. Respons
kombatan terhadap pernyataan nomor 4 menunjukkan bahwa pemilih sangat setuju
(SS) sangat dominan dengan persentase mencapai 61.6% atau 45 responden, diikuti
yang memilih setuju (S) sebesar 26.0% atau 19 responden. Hanya 11.0% atau 8
responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan ini yakni 2 responden
dari Aceh Selatan, 2 responden dari Aceh Barat Daya, dan 4 responden dari Aceh
Tengah. Dilihat dari wilayah ini, kombatan yang menyatakan tidak setuju dengan
pernyataan nomor 4 adalah kombatan yang berasal dari daerah yang bukan penutur
asli berbahasa Aceh. Penutur asli di Aceh Selatan adalah Aneuk Jamae, Kluet, dan
Aceh sehingga wajar ada 2 orang kombatan yang menyatakan TS terhadap
pernyataan nomor 4. Demikian halnya dengan wilayah Aceh Barat Daya dan Aceh
Tengah, kedua wilayah ini bukan penutur asli bahasa Aceh. Untuk pernyaraan nomor
4 ini, tidak ada yang memilih sangat tidak setuju (STS). Namun, masih terdapat 1
responden yang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 1.4%, yakni
responden dari Aceh Besar.
Hasil pengolahan data untuk pernyatan nomor 5 lebih didominasi oleh pilihan
setuju (S) dengan persentase 56.2% atau 41 responden. Adapun yang memilih sangat
setuju (SS) berada pada urutan kedua dengan persentase 24.7% atau 18 responden.
Hal ini menunjukkan bahwa eks kombatan Aceh masih memiliki nilai rasa sadar
terhadap pentingnya belajar bahasa Aceh untuk menyerap ilmu pengetahuan sebagai
wujud sikap positif berbahasa Aceh. Untuk pernyataan nomor 5 ini, hanya 17.8%
atau 13 responden yang memilih tidak setuju (TS). Selain itu, tercatat 1 responden
tetap memilih tidak mengerti (TM) yakni dari Kabupaten Aceh Utara. Dengan
44
demikian, sikap positif dengan kategori sadar berbahasa Aceh masih tetap
digolongkan berada pada level tinggi dalam kalangan eks kombatan.
Selanjutnya, pernyataan nomor 6 berkaitan dengan sikap berbahasa dengan
kategori kesetiaan. Pernyataan tersebut berbunyi belajar bahasa Aceh penting karena
dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan.
Pernyataan ini merupakan bentuk rasa setia terhadap bahasa Aceh sehingga merasa
sangat penting belajar bahasa Aceh dalam persaingan mencari kerja. Respons eks
kombatan untuk pernyataan ini menunjukkan bahwa pemilih setuju (S) lebih
dominan dibanding opsi lainnya. Responden yang memilih setuju (S) dengan
pernyataan nomor 7 sebanyak 30 orang atau 41.1%. Pada urutan kedua terdapat
responden yang memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebesar 21 orang atau 28.8%.
Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 7
sebanyak 16 orang atau 21.9%. Hanya 5 orang atau 6.8% responden yang memilih
dengan sikap sangat tidak setuju (STS). Persentase setiap opsi pada pernyataan
nomor tujuh ini sangat renggang antara S, TS, SS, dan STS. Hal ini menunjukkan
bahwa sikap eks kombatan sangat bervariasi terhadap pentingnya belajar bahasa
Aceh untuk mendapatkan pekerjaan. Namun demikian, masih terdapat yang memilih
tidak mengerti (TM) 1 orang atau 1.4%. Responden yang memilih TM sepertinya
masih orang yang sama dari Kabupaten Aceh Utara.
Pernyataan nomor 7 masih gambaran kesetiaan terhadap bahasa Aceh.
Pernyatan ini mencoba menggali rasa cinta dan setia eks kombatan dalam belajar
bahasa Aceh untuk mendapatkan informasi dari media massa. Ternyata, masih ada
eks kombatan yang memilih dengan opsi tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang atau
1.4%, yakni eks kombatan dari Aceh Utara. Adapun responden yang memimilih
dengan opsi sangat tidak setuju (STS) terhadap pernyataan nomor 7 sebanyak 2
orang atau setara 2.7% dan yang memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebanyak 21
orang atau 28.8%. Responden yang memilih dengan opsi setuju (S) terhadap
pernyataan ini sebanyak 29 orang atau 39.7%, disusul yang memilih dengan opsi
sangat setuju (SS) sebanyak 20 orang atau 27.4%. Artinya, respons terhadap
pertanyaan 7 masih didominasi oleh pilihan setuju (S) yang menyiratkan bahwa eks
kombatan memiliki rasa setia terhadap bahasa Aceh dengan kategori sedang.
45
Hal yang sama juga terjadi untuk respons terhadap pernyataan nomor 8 yang
berbunyi bahasa Aceh merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi. Pernyatan
ini mencoba memancing sikap berbahasa Aceh para eks kombatan untuk kategori
setia. Respons terbanyak ada dengan opsi setuju (S) yakni mencapai 41.1% atau 30
responden dari total keseluruhan 73 responden. Hal ini menandakan bahwa hampir
setengah responden memilih dengan opsi setuju. Namun demikian, responden yang
memilih tidak setuju (TS) juga masih tergolong besar, yakni 30.1% atau 22
responden, sedangkan responden yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS)
sebesar 17.8% atau 13 responden. Adapun responden yang memilih dengan opsi
sangat tidak setuju (STS) tercatat sebesar 9.6% atau 7 responden. Respons terkecil
adalah opsi tidak mengerti (TM) yakni sebesar 1.4% atau 1 responden. Eks kombatan
yang tinggi rasa setianya terhadap bahasa Aceh sesuai penyataan nomor 8 berasal
dari Kabupaten Aceh Selatan. Dari 5 informan yang diberikan angket, 4 informan
memberikan respons sangat setuju jika bahasa Aceh dijadikan sebagai bahasa
pengantar dalam situasi resmi.
Selanjutnya, hasil pengolahan data terhadap pernyatan nomor 9
memperlihatkan bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih mendominasi
dibanding yang memilih sangat setuju (SS). Persentase perbandingan antara setuju
(S) dan sangat setuju (SS) adalah 53.4% dengan 26.0%. Artinya, para eks kombatan
merasa lebih senang menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan masalah
umum. Pernyataan ini merupakan sikap berbahasa Aceh untuk kategori setia. Dengan
demikian, tingkat kesetiaan eks kombatan menggunakan bahasa Aceh sesuai
pernyataan nomor 8 masuk kategori tinggi. Hanya 16.4% atau sebanyak 12
responden yang menyatakan tidak setuju (TS) dengan pernyatan nomor 9, sedangkan
yang menyatakan sangat tidak setuju (STS) tercatat 2.7% atau 2 orang. Keduanya
merupakan eks kombatan dari Aceh Tengah. Adapun yang memilih tidak mengerti
(TM) masih tetap 1 orang atau 1.4% yakni dari Aceh Utara.
Pernyataan nomor 10 terkait dengan rasa sadar terhadap bahasa Aceh. Nilai
kesadaran tersebut dieksplisitikan dengan pernyataan yang berbunyi saya merasa
bahasa Aceh hanya untuk golongan terpelajar. Artinya, ada anggapan bahwa bahasa
Aceh hanya bagi kalangan terpelajar. Respons terhadap peranyatan ini masih ada
46
yang tidak mengerti (TM) atau tidak mengisi angket sama sekali, yakni 1 orang atau
1.4%. Informan ini bersal dari Kabupaten Utara. Adapun yang merespons dengan
opsi sangat tidak setuju (STS) tercatat sebanyak 23 orang atau 31.5% dan yang
memilih tidak setuju (TS) sebanyak 30 orang atau 41.1%. Hanya 12 orang atau
16.4% yang merespons dengan opsi setuju (S) dan 7 orang atau 9.6% yang memilih
dengan opsi sangat setuju (SS). Hal ini berarti para kombatan lebih dominan memilih
tidak setuju (TS) terhadap pernyaataan nomor 10. Dengan demikian, banyak
kombatan menganggap bahasa Aceh bukan sekadar bahasa bagi kalangan terpelajar,
tetapi juga bahasa bagi non-terpelajar.
Selanjutnya, pernyataan nomor 11 terkait dengan rasa sadar bahwa
penerapan kaidah berbahasa Aceh dengan benar sering mengganggu kelancaran
berkomunkasi. Respon eks kombatan terhadap pernyataan ini didominasi oleh opsi
tidak setuju (TS) dengan persentase sebesar 63.0% atau 46 responden, disusul opsi
setuju (S) sebesar 28.8% atau 21 responden. Hal ini menunjukkan bahwa para eks
kombatan tidak pernah merasa terganggu dengan kaidah berbahasa Aceh. Bagi
mereka, berbahasa dengan menggunakan kaidah tetap bisa memperlancara
komunikasi. Oleh karena itu, yang sangat setuju (SS) bahwa penerapan kaidah
berbahasa Aceh bisa mengganggu kelancaran komunikasi hanya 4.1% atau 3
responden. Selebihnya, yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 2.7% atau 2
responden dan yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 1.4% atau 1 orang.
Para kombatan Aceh juga merasa masih perlu meningkatkan kemampuan
berbahasa Aceh mereka. Hal ini seperti terlihat untuk respon pernyataan nomor 12.
Responden yang menyatakan setuju (S) meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh
mereka mencapai 64.4% atau 47 orang. Namun, sebagian besar eks kombatan merasa
tidak perlu lagi meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh mereka. Mereka yang
menyatakan tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 12 sebesar 19.2% atau 14
orang. Adapun responden yang menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pernyataan
nomor 12 sekitar 12.3% atau 9 orang. Responden yang memilih sangat tidak setuju
(STS) sebesar 2.7% atau 2 orang yakni eks kombatan dari Aceh Barat Daya. Untuk
peranyataan nomor 12 ini, masih tetap ada responden yang memilih tidak mengerti
(TM) sebesar 1.4% atau 1 orang, yakni dari Aceh Utara.
47
Hasil pengolahan data menunjukkan pula kesadaran eks kombatan untuk turut
berperan serta dalam usaha pengembangan, pembinaan, dan pelestarian bahasa
Aceh. Hal ini sesuai dengan respons terhadap pernyataan nomor 13 dengan
persentase dominan ada pada opsi setuju (S) sebesar 57.5% atau 42 orang.
Responden dan yang memilih sangat setuju (SS) tercatat sebesar 15.1% atau 11
responden. Adapun yang menyakan tidak mengerti (TM) dengan pernyataan nomor
13 masih tetap 1 orang atau sebesar 1.4%. Selanjutnya, responden yang menyatakan
sangat tidak setuju (STS) tercatat 5.5% atau 4 orang dan responden yang memilih
tidak setuju (TS) sebesar 20.5% atau 15 orang. Dengan demikian, lebih setengah dari
jumlah total informan yang diberikan angket menyatakan setuju bahwa eks kombatan
perlu berperan serta dalam mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa
Aceh.
Selanjutnya, para kombatan masih merasa hanya mampu menggunakan
bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari sebagai pernyataan nomor 14. Respons
terhadap pernyataan ini didominasi oleh opsi setuju (S) dan tidak setuju (TS) dengan
nilai sama banyaknya, masing-masing 28 responden atau 38.4%. Artinya, tingkat
kesetiaan eks kombatan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-sehari
sebagaimana tercantum dalam pernyataan nomor 14 sebanding antara setuju dengan
tidak setuju. Posisi kedua untuk respon nomor 14 adalah mereka yang memilih
dengan opsi sangat tidak setuju (STS) sebesar 13.7% atau 10 responden. Sedikit
sekali yang memberikan respons dengan opsi sangat setuju (SS) yakni hanya 8.2%
atau 6 responden. Hal ini menunjukkan bahwa sikap berbahasa Aceh eks kombatan
untuk kategori kesetiaan masih tergolong rendah. Terlebih lagi, masih ada eks
kombatan yang tidak memberikan respons (TM) sama sekali, yakni 1 orang atau
setara dengan 1.4%.
Hal yang menarik pada hasil penelitian ini antara lain terlihat untuk respons
pernyataan nomor 15 yang berisi mampu mengungkapkan gagasan secara lisan
berbahasa Aceh dalam bentuk pidato, ceramah, dan berdiskusi. Respons eks
kombatan untuk pernyataan ini didominasi oleh opsi setuju (S) dengan persentase
54.8%. Artinya, ada 40 responden dari total keseluruhan 73 responden menyatakan
mampu berbahasa Aceh dalam bentuk pidato, cerama, dan sejenisnya. Hal ini
48
merupakan sikap positif untuk kesetiaan berbahasa Aceh. Namun demikian, masih
banyak yang merasa tidak mampu menggunakan bahasa Aceh saat berpidato,
ceramah, dan berdikusi. Hal ini ditunjukkan oleh responden yang memilih tidak
setuju (TS) terhadap pernyatan nomor 15 sebanyak 17 orang atau 23.3%. Mereka
yang menyatakan sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 15 berjumlah 20.5%
atau 15 orang. Artinya, sedikit sekali perbedaan antara yang memilih TS dan SS,
hanya selisih 3%. Dengan demikian, sikap kesetiaan terhadap bahasa Aceh sesuai
pernyataan nomor 15 masih dapat digolongkan tinggi. Apalagi, responden yang
menyatakan tidak mengerti (TM) hanya 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten
Aceh Utara.
Pernyataan nomor 16 merupakan penyeimbang sekaligus penguat pernyataan
nomor 15. Jika pernyataan nomor 15 berisi kemapuan mengungkapkan gagasan
secara lisan, pernyataan 16 berisi kemampuan mengungkapkan gagasan secara
tertulis dalam bahasa Aceh. Respons untuk pernyataan ini didominasi oleh pilihan
tidak setuju (TS) dengan persentase 41.1% atau 30 responden, disusul opsi setuju (S)
dengan persentase 39.7% atau 30 responden. Responden yang memilih tidak
mengerti dengan pernyatan ini masih ada 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten
Aceh Utara. Hal yang sama juga terdapat pada opsi sangat tidak setuju (STS), yakni
1 orang atau 1.4%. Responden yang menyatakan TM berasal dari Kabupaten Aceh
Timur. Responden yang memilih sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 16
hanya 16.4% atau 12 orang. Dengan demikian, tingkat kebanggaan berbahasa Aceh
para kombatan sesuai tuntutan pernyataan 16 masih tergolong rendah.
Pernyataan nomor 17 berkait dengan kesetiaan terhadap bahasa Aceh.
Pernyataan tersebut berbunyi saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam
komunikasi sehari-hari. Respons terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa yang
memilih sangat setuju (SS) jauh lebih unggul dengan persentase 42.5% atau 31
pemilih. Posisi kedua adalah responden yang memilih setuju (S) dengan persentase
39.7 atau 29 pemilih. Artinya, sikap positif berbahasa Aceh untuk kategori kesetiaan
terhadap bahasa Aceh sesuai pernyataan nomor 16 dalam kalangan eks kombatan
sangat bagus atau berada pada posisi tinggi. Hanya sedikit yang memberikan respons
tidak setuju (TS), yakni 9 orang atau 12.3%. Adapun persentase responden yang
49
memilih sangat tidak setuju (STS) tercatat 3 orang, dan dan responden yang memilih
tidak mengerti (TM) hanya 1 orang atau 1.4%.
Selanjutnya, pernyataan nomor 18 merupakan pernyataan bernilai
kebanggaan terhadap bahasa Aceh dalam bentuk mampu menguasai bahasa Aceh
dengan baik. Respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh mereka yang memilih
setuju (S) dengan persentase mencapai 43.8% atau 32 orang. Artinya, banyak eks
kombatan merasa bangga sekaligus yakin dirinya mampu berbahasa Aceh dengan
baik. Namun, mereka yang merasa mampu berbahasa Aceh dengan baik ini tidak
sampai 50% dari total informan. Dengan demikian, tingkat kebanggaan berbahasa
Aceh dalam kalangan eks kombatan Aceh masih berada pada posisi sedang. Adapun
yang mereka yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS) terhadap pernyataan
nomor 18 sebanyak 27 orang atau 37.0%. Posisi ketiga adalah responden yang
memilih dengan opsi tidak setuju (TS) sebesar 16.4% atau 12 responden. Untuk
pernyataan nomor 18 ini, terdapat masing-masingg 1 responden yang memilih sangat
tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) yakni masing-masing dari Kabupaten
Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Utara.
Sedikit berbeda dengan respons terhadap pernyataan nomor 18, pernyataan
nomor 19 yang juga gambar kebanggaan berbahasa Aceh mendapat respon positif
yang lebih bagus dari informan. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor
19 menunjukkan opsi sangat setuju (SS) lebih dominan dengan jumlah 32 pemilih
atau 43.8%. Posisi kedua adalah responden yang memilih setuju (S) sebanyak 29
orang atau 39.7%. Artinya, para eks kombatan masih merasa bangga dengan bahasa
Aceh dalam bentuk mengakui bahwa bahasa Aceh dapat menunjukkan identitas
pribadi. Rasa bangga ini ditunjukkan dengan jumlah pemilih opsi sangat setuju dan
setuju hampir sama banyaknya sehingga sikap berbahasa untuk respons terhadap
pernyataan nomor 19 dapat dikategorikan sangat bagus atau termasuk ke dalam
kategori tinggi. Hanya 11 orang sisa informan yang memilih tidak setuju (TS) atau
setara dengan 15.1%. Tidak ada yang memilih sangat tidak setuju (STS) terhadap
pernyataan nomor 19 ini. Hanya saja, yang memilih tidak mengerti masih tetap ada 1
orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten Aceh Utara.
50
Selanjutnya, pernyataan nomor 20 berimplikasi pada kebanggan sekaligus
kesadaran berbahasa Aceh. Namun, pernyataan nomor 20 yang berbunyi bahasa
Aceh yang baik dan benar berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan
baik lebih cenderung kepada nilai kesadaran terhadap bahasa Aceh. Respons untuk
pernyataan ini lebih didominasi oleh pilihan setuju (S) dengan persentase 49.3% atau
sejumlah 36 responden memilih opsi setuju (S). Posisi kedua adalah opsi sangat
setuju (SS) dengan persentase 35.6% atau sebanyak 26 responden. Hasil pengolahan
data terhadap pernyataan ini, hanya 10 informan atau 13.7% yang menyatakan tidak
setuju (TS). Sisanya, 1.4% atau 1 informan memilih tidak mengerti atau tidak
merespons (TM).
Hal yang menarik adalah pernyataan nomor 21 yang memancing kesadaran
para eks kombatan untuk merasa bahwa bahasa Aceh perlu dibina demi keutuhan
negara dan bangsa Indonesia. Pernyatan ini bukan sekadar kesadaran terhadap
keberlangsungan bahasa, tetapi juga mengandung nilai-nilai nasionalisme yang tinggi
dari sisi kebahasaan. Dengan adanya pengakuan bahwa bahasa Aceh dapat menjaga
keutuhan negara dan bangsa Indonesia, diharapkan para infrman sadar betapa
pentingnya mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa Aceh sebagai
bahasa daerah yang paling dominan di Provinsi Aceh. Respons eks kombatan
terhadap pernyataan ini masuk ke dalam kategori sangat baik atau tinggi. Hal ini
terlihat dari hasil pengolahan data bahwa yang merespons sangat setuju (SS)
mencapai 46.6% atau sebanyak 34 respoden, disusul yang memilih setuju (S) dengan
persentase sebesar 41.1% atau 30 pemilih. Sisa informan 9 orang lagi terbagi, 6
orang atau 8.2% memilih tidak setuju (TS), 2 orang atau 2.7% memilih tidak
mengerti (TM), dan 1 orang atau 1.4% memilih sangat tidak setuju (STS).
Pernyataan nomor 22 juga terkait dengan kesadaran berbahasa Aceh sebagai
sikap positif berbahasa. Pernyataan tersebut berbunyi saya membutuhkan kamus
standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh agar dapat mempelajari dengan
menggunakannya dengan benar. Pernyatan ini juga mengandung sebuah harapan
lahirnya pedoman umum dan ejaan yang standar dalam bahasa Aceh. Sampai saat
ini, belum ada pedoman umum atau kaidah yang standar dalam bahasa Aceh. Oleh
karenanya, pernyataan nomor 22 sangat bagus memantik kesadaran para eks
51
kombatan terhadap kaidah berbahasa Aceh yang baik dan benar. Hasil pengolahan
data menunjukkan bahwa respons sangat setuju (SS) hanya 20.5% atau 15 responden.
Angka ini lebih kecil dibanding respons tidak setuju (TS) yang mencapai 28.8% atau
21 responden. Namun, informan yang memberikan respons setuju (S) jauh lebih
unggul dengan persentase mencapai 49.3% atau 36 responden. Dengan demikian,
kesadaran berbahasa Aceh para eks kombatan sesuai penyataan nomor 22 berada
pada posisi sedang. Sisa informan 1 orang lagi memilih tidak mengerti (TM) atau
tidak merespon sama sekali. Informan yang tidak memberikan respons terhadap
penyataan 22 masih sama dengan informan yang tidak memberikan respons terhadap
pernyataan lain yakni informan dari Kabupaten Aceh Utara.
Selanjutnya, pernyataan nomor 23 juga terkait dengan sikap berbahasa untuk
kategori kesadaran. Hanya saja, kesadaran yang dimaksud pada nomor 23 lebih
kepada ketidakpahaman berbahasa Aceh. Pernyataan ini tentu penting diketahui dari
eks kombatan yang dulu mengaku sebagai pejuang Aceh. Jika di antara eks
kombatan masih banyak yang sadar bahwa dirinya kesuliatan memahami orang lain
berbahasa Aceh, tentu menjadi sebuah kasus terbaru yang baik untuk diteliti.
Kenyataannya, yang merespon tidak setuju (TS) terhadap pernyataan nomor 23
sangat mendominasi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa yang memberikan
respons TS terhadap pernyataan ini mencapai 60.3% atau 44 responden. Angka
fantastis ini membuktikan bahwa sangat banyak eks kombatan pintar dan paham
berbahasa Aceh dengan baik. Bahkan, sebesar 15.1% atau 11 responden memilih
sangat tidak setuju (STS) dengan pernyataan nomor 23. Hanya 17.8% atau 13
responden yang merasa sadar bahwa dirinya belum paham jika orang lain berbahasa
Aceh. Selebihnya, 1 orang atau 1.4% responden memilih tidak mengerti (TM) dan 4
orang atau 5.5% memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 23.
Masih seiring dengan pernyataan nomor 23, pernyataan nomor 24 juga
mencoba menggali kesadaran eks kombatan terhadap bahasa Aceh. Hanya saja,
pernyataan nomor 24 lebih kepada kesadaran terhadap mempelajari bahasa Aceh.
Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 24 memperlihatkan bahwa pilihan
sangat setuju (SS) masih tetap sedikit yakni 11 orang atau 15.1%, sedangkan yang
memilih setuju (S) berjumlah 35 orang atau 47.9%. Artinya, banyak eks kombatan
52
merasa bahwa mempelajari bahasa Aceh jauh lebih sulit tinimbang mempelajari
bahasa Indonesia. Adapun yang memilih tidak setuju (TS) terhadap pernyataan ini
berjumlah 26 orang atau 35.6%, sedangkan yang memilih tidak mengerti (TM)
sebesar 1.4% atau 1 orang. Dengan demikian, kesadaran berbahasa Aceh untuk
pernyataan nomor 24 masih tergolong rendah.
Pernyataan nomor 25 terkait dengan kebangaan terhadap bahasa Aceh.
Kebangaan di sini lebih ditujukan kepada sikap orangtua melihat anaknya dalam
berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data menunjukkan sebanyak 58.9% atau 43
responden memilih setuju (S) atau bangga melihat anak-anaknya berbahasa Aceh
baik dalam situasi formal maupun nonformal. Adapun yang merasa sagat bangga
(SS) jika anak-anaknya berbahasa Aceh dalam situasi formal dan nonformal tercatat
sebanyak 28.8% atau 21 orang. Artinya, tingkat kebangaan eks kombatan terhadap
bahasa Aceh di kalangan anak-anak mereka sudah berada pada level sangat baik atau
tinggi. Namun, sebagian eks kombatan masih ada yang memilih tidak setuju (TS)
terhadap pernyataan nomor 25 yang berarti mereka belum memiliki rasa bangga
terhadap bahasa Aceh. Mereka yang memilih tidak setuju dengan pernyataan nomor
25 berjumlah 8 orang atau 11.0%, sedangkan yang tidak merespon sama sekali
tercatat 1 orang atau 1.4% yakni dari Kabupaten Aceh Utara.
Hasil pengolahan data terhadap pernyataan terakhir, nomor 26, menujukkan
bahwa pemilih tidak setuju (TS) jauh mendominasi dengan persentase mencapai
57.5% atau 42 responden. Pernyataan nomor 26 terkait dengan kesetiaan terhadap
bahasa Aceh. Pernyataan tersebut berbunyi bahwa anaka sekolah yang menggunakan
bahasa Aceh perkembangannya lebih baik daripada anak yang menggunakan
bahasa Indonesia. Di satu sisi, pernyataan ini mencoba memantik kesetiaan eks
kombatan terhadap bahasa Aceh. Di sisi lain, pernyataan tersebut juga mengurangi
nilai nasionalisme dalam diri para eks kombatan. Oleh karenanya, opsi tidak setuju
yang melebih angka 50% dari total keseluruhan responden menunjukkan bahwa para
eks kombatan Aceh masih menaruh harapan bahwa anak sekolah yang belajar bahasa
Aceh belum tentu lebih baik perkembangannya dibanding anak sekolah yang
menggunakan bahasa Indonesia. Responde yang memilih setuju (S) dengan
pernyataan ini sebesar 30.1% atau 22 responden. Adapun responden yang tidak
53
mengerti (TM) atau tidak merespon sama sekali berjumlah 2 orang atau 2.7%,
sedangkan yang memilih sangat tidak setuju (STS) berjumlah 1 orang atau 1.4%.
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa sikap berbahasa
eks kombatan terhadap bahasa Aceh secara umum berada pada kategori sedang.
Namun demikian, terdapat perbedaan nilai antara kebanggaan, kesetiaan, dan
kesadaran terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah. Untuk aspek kebanggaan,
sikap eks kombatan tergolong ke dalam kategori rendah. Dari tujuh pernyataan yang
berkaitan dengan kebanggaan berbahasa Aceh ternyata hanya 14 orang yang
menyatakan setuju (S) atau tergolong ke dalam kategori sedang. Selebihnya, 59
responden lebih memilih tidak setuju (TS) bahkan beberapa di antaranya mengambil
opsi sangat tidak setuju (STS). Hal ini bermakna sikap berbahasa Aceh para eks
kombatan untuk aspek kebanggaan masih berada pada posisi rendah. Jika
dipersentasekan, perbandingannya 81% berada pada posisi rendah, 19% berada pada
posisi sedang. Secara lebih rinci dapat dilihat dalam grafik dan diagram di berikut.
Grafik 4: kebanggaan berbahasa Aceh eks-kombatan.
54
Diagram 4: kebanggaan berbahasa Aceh eks-kombatan.
Untuk aspek kesetiaan berbahasa, peneliti memberikan pernyataan-
pernyataan yang berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan
kemandirian bahasanya dari pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesetiaan berbahasa Aceh para eks kombatan cenderung berada pada posisi sedang.
Dari hasil pengolahan data keseluruhan terlihat bahwa sebanyak 42 orang berada
pada posisi sedang, selebihnya 24 orang berada posisi rendah dan hanya 7 orang
yang menunjukkan sikap paling positif atau berada pada posisi tinggi. Beberapa
pernyataan yang diberikan terkait kesetiaan berbahasa para eks kombatan terhadap
bahasa Aceh antara lain sebagai orang Aceh, penting bagi kita menggunakan bahasa
Aceh dalam kehidupan sehari-hari; saya lebih senang menggunakan bahasa Aceh
dalam membicarakan masalah umum; saya selalu menggunakan bahasa Aceh dalam
komunikasi sehari-hari. Semua pernyataan terkait kesetiaan diajukan dalam bentuk
mempertahakan kemandirian bahasa Aceh sebagai bahasa daerah yang mereka
gunakan sehari-hari. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa hanya 10% yang
tergolong ke dalam kategori tinggi. Sebanyak 33% masih berada pada posisi rendah,
57% berada pada posisi sedang. Hal ini dapat dilihat dari grafik dan diagram di
berikut.
55
Grafik 5: kesetiaan berbahasa Aceh eks-kombatan
Diagram 5: kesetiaan berbahasa Aceh eks-kombatan.
Terakhir, kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan
bahasa secara tepat dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang
demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku pemakai bahasa. Pada
aspek ini, kesadaran adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa
merupakan aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa.
56
Berdasarkan hasil instrumen diketahui bahwa kesadaran berbahasa Aceh para eks
kombatan Aceh pasca-MoU Helsinki termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini
didasari pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang terdapat pada instrumen
penelitian. Beberapa pernyataan yang tergolong ke dalam kesadaran berbahasa antara
lain bahasa Indonesia perlu dibina, dikembangkan, dan dilestarikan demi keutuhan
negara dan bangsa Indonesia; saya membutuhkan kamus standar dan pedoman
umum ejaan bahasa Aceh agar dapat mempelajari dan menggunakannya dengan
benar; saya merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam
bahasa Aceh. Dari 10 pernyataan yang terkait dengan aspek kesadaran, sebanyak 43
orang berada pada posisi sedang, 16 orang berada pada posisi tinggi, dan 14 orang
berada pada posisi rendah. Jika dipersentasekan data keseluruhannya adalah 59%
berada pada posisi sedang, 22% berada pada posisi tinggi, dan 19% berada pada
posisi rendah. Secara lebih rinci dapat dilihat dalam grafik dan diagram di bawah ini.
Grafik 6: kesadaran berbahasa Aceh eks-kombatan.
57
Diagram 6: kesadaran berbahasa Aceh eks-kombatan.
5.2.2 Sikap Bahasa Para Korban Konflik Aceh Pasca-MoU Helsinki
5.2.2.1 Sikap terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Pascakonflik dan MoU Helsinki merupakan fase baru bagi masyarakat Aceh dalam
menentukan sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Aceh sebagai wujud
nasionalisme. Dari sikap berbahasa tersebut, dapat diketahui tingkat kebanggan,
kesetiaan, dan kesadaran masyarakat Aceh, terutama korban konflik, terhadap bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah.
Sama halnya seperti instrumen yang diajukan kepada eks-kombatan, ada 26
pertanyaan yang berisi pernyataan sikap berbahasa bagi korban konflik Aceh.
Pernyataan-pernyataan tersebut diklasifikasi menjadi tiga: kebangaan, kesetiaan, dan
kesadaran. Namun, klasifikasi tersebut diimplisitkan dengan memberikan pernyataan
secara acak.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa sikap berbahasa korban konflik
Aceh terhadap bahasa Indonesia pada pernyataan nomor 1 berada pada posisi sedang.
Terdata sebanyak 46.8% responden menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor
1. Angka ini relatif besar dibanding responden yang menyatakan tidak setuju (TS)
hanya 31.7%. Adapun responden yang menyatakan sangat setuju (SS) dengan
pernyatan nomor 1 berada pada angka 19.8% dan responden menyatakan sangat
58
tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM) masing-masing 0.8%. Artinya, ada 1
orang yang menyatakan sangat tidak setuju dan 1 orang tidak mengerti. Dengan
demikian, persentase masyarakat korban konflik yang merasa bangga dengan bahasa
Indonesia dalam komunikasi sehari-sehari berada pada posisi sedang. Adapun
pernyataan yang menunjukkan kebanggaan tersebut berbunyi saya suka dan bangga
menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
Selanjutnya, pernyataan nomor 2 berkenaan dengan kesetiaan terhadap
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Respon korban konflik terhadap
pernyataan nomor 2 juga berada pada posisi sedang. Terdapat 72 responden
menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor 2, disusul 37 responden
menyatakan sangat setuju (SS). Artinya, ada 57.1% responden menyatakan setuju
dan 29.4% memilih sanga setuju. Angka ini jauh lebih bagus dibanding responde
yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa responden yang memilih tidak setuju (TS) berjumlah 16 orang
atau 12.7%. Responden yang menyatakan sangat setuju (SS) paling banyak terdapat
di Kabupaten Aceh Utara (10 orang), disusul Aceh Barat (8 orang), lalu Aceh Jaya,
Aceh Selatan, dan Aceh Besar (masing-masing 4 orang). Artinya, masih banyak
korban konflik yang menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia sesuai bunyi
penyataan nomor 2, sebagai orang Indonesia, penting bagi kita menggunakan
bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-sehari. Pernyatan ini bukan sekadar
mengandung makna setia terhadap bahasa Indonesia, tetapi juga terkait rasa
nasionalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, korban konflik
Aceh masih banyak yang nasionalisme Indonesia.
Butir pernyataan 3 berisi mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar
penting bagi saya sebagai korban konflik. Tentu saja pernyataan ini terkait dengan
sikap berbahasa untuk aspek kesadaran berbahasa. Bahasa baik terkait bahasa yang
sesuai dengan komunikasi lisan, sedangkan bahasa benar merupakan bahasa yang
sesuai dengan kaidah (tulis). Tingkat responsif korban konflik terhadap pernyataan
ini sudah berada pada posisi tinggi atau baik. Hasil pengolahan data memperlihatkan
bahwa sebanyak 35 orang menyatakan sangat setuju (SS) dan 69 orang menyatakan
setuju (S) terhadap pernyataan nomor 3. Persentasenya 27.8% berada pada opsi
59
sangat setuju dan 54.8% berada pada posisi setuju. Angka ini jauh lebih besar
dibanding respons pilihan tidak setuju atau sangat tidak setuju. Mereka yang
memberikan respons tidak setuju (S) berjumlah 19 orang atau 15.1% dan yang
menyatakan sangat tidak setuju (STS) hanya 2 orang atau 1.6%. Selebihnya, terdapat
1 responden atau 0.8% berada pada posisi tdak mengerti. Dengan demikian, tingkat
kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik masih berada posisi tinggi. Ada
kesadaran betapa pentingnya belajar bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Pengakuan ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa Indonesia sangat dibutuhkan
dalan kehidupan sehari-hari di Aceh. Jika dilihat dari tabulasi data, responden yang
menyatakan sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 3 berasal dari Kabupaten
Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Timur, dan
Aceh Jaya. Ada empat kabupaten/kota yang respondennya tidak memilih SS sama
sekali, yakni Nagan Raya, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Besar.
Pernyataan 4 kembali mencoba sikap berbahasa korban konflik untuk aspek
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Dengan kalimat belajar bahasa Indonesia
merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas nasional terbukti bahwa
korban konflik Aceh sangat nasionalis. Hasil pengolahan data menunjukkan
sebanyak 81 responden menyatakan setuju (S) dan 36 responde memilih sangat
setuju (SS) dengan pernyataan nomor 4. Angka drastis ini, jika dipersentasekan
menjadi 64.3% berada pada posisi setuju dan 28.6% berada pada posisi sangat setuju.
Dengan demikian, hanya tersisa 9 responden lagi dari total 126 responden korban
konflik yang mengisi instrumen. Dari 9 responden tersebut, sebanyak 8 responden
atau 6.3% memilih tidak setuju (TS) dan 1 responde atau 0.8% memilih tidak
mengerti (TM). Responden yang paling banyak memilih sangat setuju (SS) terdapat
di Kabupaten Aceh Utara (12 orang dari 20 responden), disusul Aceh Barat (8
responden), Aceh Jaya 7 responden, Aceh Timur 5 responden, Aceh Barat Daya 3
responden, dan Aceh Selatan 1 responden. Dengan demikian, terbukti bahwa lebih
dari 50% korban konflik di seluruh kabupaten/kota masih memiliki sikap bangga
terhadap bahasa Indonesia sekaligus berjiwa nasionalis terhadap bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
60
Pernyataan nomor 5 kembali pada aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia
dengan terus belajar bahasa Indonesia untuk menyerap ilmu pengetahuan. Respons
terhadap pernyatan ini menunjukkan bahwa dari 126 responden yang diberikan
instrumen tercatat 42 orang menyatakan sangat setuju (SS), 77 orang memilih setuju
(S), 5 orang memilih tidak setuju (TS), dan 2 orang menyatakan tidak mengerti
(TM). Dengan demikian, tingkat kesetiaan korban konflik terhadap bahasa Indonesia
sangat tinggi. Ada rasa kebutuhan terhadap bahasa Indonesia dalam menyerap ilmu
pengetahuan. Nilai rasa inilah yang dituangkan oleh para korban konflik sehingga
muncul persentase setuju sebesar 33.35% dan sangat setuju mencapai 61.1%. Hal ini
berarti bahasa Indonesia masih sangat berperan dalam kehidupan korban konflik
pasca-MoU Helsinki. Hanya 4.0% yang berada posisi tidak setuju dan 1.6% berada
pada posisi tidak mengerti. Dilihat data per kabupaten, responden yang paling
banyak memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan nomor 5 terdapat di
Kabupaten Aceh Utara (12 orang dari 20 responden). Adapun di Kabupaten Bireuen,
dari 20 responden, seluruhnya memilih setuju (S). Selanjutnya, responden dari
kabupaten/kota lain memilih dengan bervariasi antara setuju (S) dan tidak setuju
(TS). Hanya saja, 2 responden masing-masing dari Aceh Besar dan Aceh Barat Daya
memilih tidak mengerti (TM).
Hasil pengolahan data berikutnya, untuk pernyataan nomor 6, sikap
berbahasa korban konflik berada pada posisi sedang. Pernyataan nomor 6 masih
terkait dengan aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, yakni belajar bahasa
Indonesia penting untuk memperoleh pekerjaan. Sebanyak 58 responden atau 46.0%
menyatakan setuju (S) dengan pernyataan tersebut, sedangkan 31 responden atau
24.6% memilih sangat setuju (SS). Selebihnya, 23 responden atau 18.3% memilih
tidak setuju (TS), 13 responden atau 10.3% memilih sangat tidak setuju (STS), dan 1
responden atau 0.8% menyatakan tidak mengerti (TM). Responden berada pada opsi
tidak mengerti (TM) berasal dari Kabupaten Aceh Besar. Adapun Responden yang
paling banyak memilih sangat setuju (SS) berasal dari Kabupaten Aceh Utara.
Dengan demikian, sikap berbahasa korban konflik untuk nomor 6 berada pada posisi
sedang atau menengah.
61
Selanjutnya, pernyataan nomor 7 masih berkenaan dengan aspek kesetiaan
terhadap bahasa Indonesia. Pernyataan nomor 7 masih berkaitan dengan pernyataan
nomor 6, yakni soal kepentingan belajar bahasa Indonesia. Jika pernyataan nomor 6
berbunyi belajar bahasa Indonesia penting untuk memperoleh pekerjaan, pernyataan
nomor 7 berbunyi belajar bahasa Indonesia penting untuk memahami berbagai
berita dan informasi di media massa. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
57.1% atau sebanyak 72 responden menyatakan setuju (S) dengan pernyataan nomor
7. Selebihnya, sebanyak 39.7% atau 50 responden memilih dengan opsi sangat setuju
(SS) dan sebesar 2.4% atau 3 responden memilih opsi tidak setuju (TS). Selain itu,
dari jumlah total informan sebanyak 126 orang, hanya 1 orang atau 0.8% berada pada
opsi tidak mengerti (TM). Adapun responden yang paling banyak memilih SS
terdapat di Kabupaten Aceh Utara, disusul Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Jaya,
Aceh Timur, Aceh Besar, Abdya, dan Nagan Raya. Hal ini menunjukkan bahwa
korban konflik Aceh masih menyatakan setia terhadap bahasa Indonesia dalam hal
memahami berbagai informasi dari media massa.
Pernyataan nomor 8 juga masih berkaitan dengan aspek kesetiaan. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa masih terdapat 1 orang atau 0.8% tidak mengerti
(TM) terhadap pernyataan nomor 8 yang bunyinya bahasa Indonesia merupakan
bahasa pengantar dalam situasi resmi. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan
ini menunjukkan bahwa ada 5 orang memilih tidak setuju (TS), 63 orang memilih
setuju (S), dan 57 orang memilih sangat setuju (SS). Hasil pilihan tersebut dapat
dipersentasekan dengan angka 4.0% tidak setuju, 50.0% setuju, dan 45.2% sangat
setuju. Hal ini berarti bahwa yang memilih setuju (S) masih tetap mendominasi. Di
bawahnya adalah opsi setuju yang tidak jauh berbeda dari pilihan sangat setuju.
Dengan demikian, sikap berbahasa korban konflik untuk pernyataan nomor delapan
dapat dikatakan berada pada posisi sedang.
Pernyataan nomor 9 masih menggali aspek kesetiaan berbahasa Indonesia.
Ternyata tingkat kesetiaan para korban konflik terhadap bahasa Indonesia dalam
membicarakan masalah umum sebagaimana tertera pada pernyataan nomor 8 berada
pada posisi rendah. Hal ini dapat dilihat dari pengolahan data yang menunjukkan
pilihan opsi tidak setuju (TS) lebih mendominasi dibanding yang memilih setuju (S)
62
dan sangat setuju (SS). Persentasenya 46.8% memilih TS, 34.1% memilih S, 11.9%
memilih SS. Sisanya terdapat 6.3% memilih sangat tidak setuju (STS) dan 0.8%
memilih tidak mengerti (TM). Adapun jumlah responden yang memilih tidak setuju
(TS) sebanyak 59 orang, yang memilih setuju (S) sebanyak 43 orang, yang memilih
sangat setuju (SS) sebanyak 15 orang, dan yang memilih sangat tidak setuju (STS)
sebanyak 8 orang. Sisanya, 1 orang atau sebesar 0.8% responden berada pada pilihan
tidak mengerti (TM). Responden yang paling banyak memilih tidak setuju (TS)
berasal dari Kabupaten Pidie yakni 14 orang dari 20 responden. Adapun yang tidak
memilih tidak mengerti (TM) sebanyak 1 orang berasal dari Aceh Besar.
Berikutnya, informan disuguhkan pernyataan nomor 10 yang berisi saya
merasa bahasa Indonesia hanya untuk kalangan terpelajar. Pernyataan ini berkaitan
dengan aspek kesadaran. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa yang memilih
tidak setuju (TS) masih mendominasi yakni 73 orang, disusul pemilih sangat tidak
setuju (STS) sebanyak 27 orang. Artinya, ada kesadaran dalam diri korban konflik
pasca-MoU bahwa bahasa Indonesia hanya untuk kalangan terpelajar. Kesadaran ini
tentu sangat positif, meskipun yang memilih TS dan STS mendominasi. Karena
pernyataan ini mengarah pada pemikiran negatif, maka opsi TS dianggap sebagai
pilihan positif terutama dalam menjaga bahasa Indonesia. Dari pengolahan data,
terlihat bahwa hanya 22 orang yang memilih setuju (S) dan sebanyak 3 orang
memilih sangat setuju (SS). Untuk pernyataan nomor 10 ini juga terdapat 1 orang
yang memilih tidak mengerti (TM). Dengan demikina, pesentase terhadap data ini
adalah 57.9% TS, 21.4% STS, 17.5% S, 2.4% SS, dan 0.8% TM. Responden yang
memilih sangat setuju berasal dari Kabupaten Aceh Selatan (2 orang) dan dari
Kabupaten Aceh Barat (1 orang).
Pernyataan nomor 11 berbunyi bahwa penerapan kaidah berbahasa
Indonesia yang benar sering menggangu kelancaran komunikasi. Pernyataan ini
merupakan aspek kesadaran terhadap bahasa Indonesia. Pilihan terhadap pernyataan
11 berkaitan dengan rasa sadar sejauhmana mampu berkomunikasi dengan penerapan
tata bahasa atau kaidah. Hasil pengolahan data membuktikan bahwa kesadaran
berbahasa sesuai pernyataan nomor 11 bagi para korban konflik berada pada level
sedang. Hal ini terlihat dari 126 informan, sebanyak 64 responden menyatakan tidak
63
setuju (TS) dengan pernyataan nomor 11. Selebihnya, sebanyak 52 responden
menyatakan setuju (S), 8 responden menyatakan sangat setuju (SS), 1 responden
menyatakan sangat tidak setuju (STS), dan 1 responden menyatakan tidak mengerti
(TM). Persentase terhadap pertanyaan 11 adalah 59.8% menyatakan TS, 41.3%
menyatakan S, 6.3% menyatakan SS, 0.8% menyatakan STS, dan 0.8% menyatakan
TM. Dari data ini tampak bahwa responden yang paling banyak menyatakan tidak
setuju (TS) berasal dari Kabupaten Aceh Utara, disusul Pidie, Aceh Timur, dan Aceh
Barat.
Pernyataan nomor 12 juga berkaitan dengan aspek kesadaran berbahasa
Indonesia. Para korban konflik merasa bahwa perlu meningkatkan kemampuan
berbahasa Indonesia. Hal ini terlihat bahwa yang memilih setuju dengan pernyataan
di atas sebanyak 71.4% responden, 14.3% responden menyatakan tidak setuju (TS),
12/7% responden menyatakan sangat setuju (SS), 0.8% responden menyatakan
sangat tidak setuju (STS), 0.8% responden menyatakan tidak mengerti (TM).
Penjumlahan terhadap tabulasi data ini menunjukkan bahwa 90 orang menyatakan S,
18 orang menyatakan TS, dan 16 orang menyatakan SS, 1 orang menyatakan STS,
dan 1 orang menyatakan TM. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang paling
banyak memilih TS berasal dari Aceh Utara, sedangkan yang terbanyak TM berasal
dari Aceh Besar. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bahwa tingkat
kesadaran berbahasa Indonesia para korban konflik sesuai pernyataan nomor 12
berada pada posisi sedang.
Pertanyaan nomor 13 juga berkaitan dengan aspek kesadaran terhadap bahasa
Indonesia. Kesadaran di sini lebih kepada peran serta para korban konflik dalam
menjaga mengembangkan, membina, dan melestarikan bahasa Indonesia. Hasil
pengolahan data memperlihatkan bahwa yang memilih setuju (S) lebih banyak
daripada yang memilih tidak setuju (TS), sangat setuju (SS), sangat tidak setuju (SS)
dan tidak mengerti (TM). Persentase terhadap pertanyaan 13 menunjukkan bahwa
51.6% responden memilih S, disusul 36.5% responden memilih TS, 8.7% responden
memilih SS, 2.4% responden memilih STS, dan 08% TM. Adapun jumlah pemilih
dari total responden seluruhnya 126 orang dengan rincian 65 orang S, 46 orang TS,
64
11 orang SS, 3 orang STS, dan 1 orang TM. Responden yang paling banyak memilih
sangat setuju berasal dari Kabupaten Aceh Barat.
Pernyataan nomor 14 berkaitan dengan aspek kesetiaan sekaligus kesadaran
terhadap bahasa Indonesia. Hanya saja, pernyatan kemampuan berbahasa Indonesia
hanya mampu untuk bercakap-cakap sehari-sehari lebih cenderung kepada aspek
kesetiaan. Kemampuan berbahasa seseorang tergantung pada kesetiaan orang
tersebut terhadap bahasanya. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa
pengakuan korban konflik terhadap hal ini berada pada level sedang. Tercatat 63
responden berada pada opsi setuju (S) dengan pernyataan nomor 14 tersebut. Namun,
jumlah ini tidak jauh berbeda dengan responden yang memilih opsi tidak setuju (TS),
yakni 54 orang. Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) hanya 7 orang,
diikuti yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebanyak 1 orang, dan yang berada
pada opsi tidak mengerti (TM) juga 1 orang. Dengan demikian, persentase respons
korban konflik terhadap pernyataan ini adalah 0.8% memilih TM, 0.8% memilih
STS, 42.9% memilih TS, 50.0% memilih S, dan 5.6% memilih SS.
Hasil pengolahan data terhadap pernyataan 15 menunjukkan bahwa 22 orang
atau 17.5% responden memilih sangat setuju (SS), 75 orang atau 59.5% responden
memilih setuju (S), 28 orang atau 22.2% responden memilih tidak setuju (TS), dan 1
orang atau 0.8% responden memilih tidak mengerti (TM). Responden yang paling
banyak memilih SS didominasi dari Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah pemilih setuju
lebih dominan terhadap pernyataan nomor 15 yang berbunyi saya mampu
mengungkapkan gagasan secara lisan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian,
ada 75 responden dari 126 total informan yang merasa dirinya mampu berbahasa
Indonesia secara lisan. Hal ini berarti rasa bangga terhadap bahasa Indonesia dalam
kalangan korban konflik Aceh masih berada pada posisi baik. Kendati 28 orang
memilih tidak setuju terhadap pernataan nomor 15, hal itu sudah tertutupi dengan
jumlah pemilih setuju dan sangat setuju.
Selanjutnya, pernyataan nomor 16 juga mengacu pada aspek kebanggaan
berbahasa Indonesia. Jika pernyataan nomor 15 lebih kepada kebanggan berbahasa
secara lisan, pernyataan nomor 16 lebih kepada penguasaan bahasa secara tulis
dalam situasi resmi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa 24 orang atau 19.0%
65
responden memilih sangat setuju (SS) yang bermakna dirinya mampu menggunakan
bahasa Indonesia dalam tulisa-menulis surat resmi. Selebinya, 60 orang atau 47.6%
memilih setuju (S) dan 40 orang atau 31.7% responden memilih tidak setuju (TS).
Dengan demikian, perbandingan antara setuju dengan tidak setuju sangat kontras
sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap berbahasa korban konflik sesuai pernyataan
nomor 16 berada pada level baik. Hanya 1 orang yang memilih sangat tidak setuju
(STS) dan 1 orang berada pada opsi tidak mengerti (TM), dengan persentase masing-
masing 0.8%.
Tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia masyarakat Aceh korban konflik juga
dapat dilihat pada respons mereka terhadap pernyataan nomor 17. Kalimat saya
selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari menunjukkan
kesetiaan seseorang terhadap bahasa Indonesia. Respons terhadap pernyataan ini
menunjukkan bahwa tingkat kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik masih
berada pada level rendah. Namun demikian, bisa saja rendahnya respons tersebut
karena para korban konflik merasa tidak lancara berbahasa Aceh. Intinya, terdata
sebanyak 69 responden atau 54.8% memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan
nomor 17. Selebihnya, 36 responden atau 28.6% berada pada posisi setuju (S), dan
masing-masing 10 responden berada pada posisi sangat setuju (SS) dan sangat tidak
setuju (STS). Hanya 1 reponden atau 0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan
demikian, respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh pilihan tidak setuju (TS)
dan 20 responden dari Bireuen seluruhnya memilih tidak setuju.
Pernyataan nomor 18 berkenaan dengan penguasaan bahasa Indonesia secara
baik. Pernyataan ini mengarah pada aspek kebanggaan. Respons masyarakat korban
konflik terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa 66 orang atau 52.4% responden
memilih setuju (S), 33 orang atau 26.2% memilih tidak setuju (TS), 25 orang atau
19.8% memilih sangat setuju (SS), dan masing-masing 1 orang atau 0.8% memilih
sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM). Responden yang paling banyak
memilih sangat setuju (SS) berasal dari Aceh Utara, yakni 7 dari 20 responden. Hal
ini bermakna bahwa tingkat kebanggaan masyarakat korban konflik pada bahasa
Indonesia berada pada level menengah atau sedang. Perbandingan antara pilihan
setuju dengan tidak setuju mencapai 50%. Hanya saja, masih ada 25 responden yang
66
mememilih sangat setuju, sedangkan yang sangat tidak setuju hanya 1 responden
sehingga tingkat kebangaan berbahasa Indonesia sesuai pernyataan nomor 18 sudah
berada pada posisi menengah.
Nilai kebanggaan terhadap bahasa Indonesia juga dapat dilihat pada respons
korban konflik terhadap pernyataan bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas
pribadi. Rasa kebanggan di sini mengacu pada pengakuan identitas diri. Jika korban
konflik mengaku bahwa bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas peribadi,
berarti mereka masih merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Jika pilihan mereka
lebih kepada tidak setuju, beramakna nilai kebangaan terhadap bahasa Indonesia
berada pada level rendah. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa sebanyak 71
responden berada pada posisi setuju (S) terhadap pernyataan nomor 19. Selebihnya,
24 responden memilih opsi sangat setuju (SS), 28 orang memilih tidak setuju (TS),
dan 2 responden memilih sangat tidak setuju. Selain itu, ada 1 responden dari
Kabupaten Aceh Besar memilih tidak mengerti (TM) terhadap pernyataan tersebut.
Tingkat kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik dalam hal
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berarti menjaga identitas
nasional dan daerah dengan baik sudah berada pada posisi baik. Hasil pengolahan
data memperlihatkan sebanyak 65.9% atau 83 responden memilih setuju (S) untuk
menjaga identitas nasional. Nilai positif ini dibantu pula oleh responden yang
memilih dengan opsi sangat setuju (SS) sebesar 24.6% atau 31 orang. Sisanya, 1
orang atau 0.8% responden memilih tidak mengerti (TM), 11 orang atau 8.7%
responden memilih tidak setuju (TS).
Hal yang sama tampak pada respons terhadap pernyataan bahwa bahasa
Indonesia perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi keutuhan negara
kesatuan Repulik Indonesia. Respons korban konflik terhadap pernyataan ini
menunjukkan bahwa opsi setuju (S) sangat mendominasi. Terdapat 65.1% memilih
opsi setuju (S). Artinya, ada 82 responden dari total keseluruhan 126 informan
memilih setuju dengan pernyataan nomor 21 tersebut. Sisanya, 27.0% atau 34
responden memilih sangat setuju (SS), 6.3% atau 8 responden memilih tidak setuju
(TS). Tercatat pula sebesar 1.6% atau 2 responden memilih tidak mengerti (TM).
67
Responden yang berada pada posisi tidak mengerti berasal dari Kabupaten Aceh
Barat dan Kabupaten Aceh Besar.
Selanjutnya, pernyataan nomor 22 berkaitan dengan aspek kesadaran
berbahasa Indonesia yang berbunyi saya membutuhkan kamus standar dan pedoman
umum ejaan bahasa Indonesia. Rasa kebutuhan terhadap kamus dan pedoman ejaan
berkaitan dengan tingkat kesadaran berbahasa yang berimplikasi pada kemapuan
berbahasa seseorang secara tatabahasa. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
ada 1 responden memilih tidak mengerti (TM) terhadap pernyataan ini. Demikian
pula dengan opsi sangat tidak setuju (STS), terdapat 1 responden atau 0.8%. Namun
demikian, terdata sebayak 33 orang atau 26.2% memilih tidak setuju (TS) dengan
pernyataan tersebut. Selebihnya, 38 orang atau 30.2% memilih sangat setuju (SS)
dan 53 orang atau 42.1% memilih setuju (S). Hal ini menunjukkan bahwa resonsif
masyarakat korban konflik terhadap pertanyaan 22 lebih banyak setuju (S). Dengan
demikian, tingkat kesdaran berbahasa Indonesia para korban konflik sudah bagus.
Mereka merasa bahwa kehadiran kamus dan pedoman ejaan sangat penting dalam
berbahasa.
Tingkat kesadaran berbahasa Indonesia para korban konflik juga dapat dilihat
dari respons mereka terhadap pernyataan nomor 23. Kesadaran tersebut diukur dari
tingkat keterpahaman seseorang mendengar orang lain berbahasa Indonesia. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa yang memilih tidak setuju (TS) lebih banyak
dibanding opsi lain dengan persentase mencapai 61.1% atau 77 orang. Artinya,
tingkat kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik sudah relatif baik atau berada
pada level sedang. Terlihat bahwa hanya 33 orang yang memilih setuju (S) atau
setara dengan 26.2%. Mereka yang memilih setuju dengan pernyataan 23 berarti
tingkat keterpahaman berbahasa Indonesia mereka masih rendah. Selanjutnya, yang
memilih sangat setuju (SS) terhadap pernyataan 23 sebanyak 8 orang atau 6.3% dan
yang memilih sangat tidak setuju (STS) sebanyak 7 orang atau 5.6%. Sisanya, yang
tidak merespon (TM) sebanyak 1 orang atau 0.8%.
Pernyataan nomor 24 juga masih berkenaan dengan aspek kesadaran
berbahasa Indonesia. Pada nomor 24, para korban konflik diajukan pernyataan yang
berbunyi belajar bahasa Indonesia lebih mudah daripada belajar bahasa Aceh.
68
Perbandingan mempelajari bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh ini sekaligus
melihat kemampuan keterpahaman masyarakat korban konflik. Hasil pengolahan
data menunjukkan bahwa masih ada 1 orang memilih tidak mengerti (TM), yakni
informan yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar. Selebihnya, 2 responden memilih
sangat tidak setuju (STS) dan 43 responden memilih tidak setuju (TS). Mereka yang
memilih sangat tidak setuju dan setuju bermakna belajar bahasa Indonesia tidak
sesulit belajar bahasa Aceh. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang
memilih opsi setuju (S) dan sangat setuju (SS). Terdapat 55 orang memilih setuju (S)
dan 25 orang memilih sangat setuju (SS). Dengan demikian, respons terhadap
pernyataan nomor 24 lebih didominasi oleh opsi setuju (S) dengan persentase 43.7%.
Selanjutnya, pernyataan nomor 25 berkaitan dengan aspek kebangaan
berbahasa Indonesia. Kebanggaan tersebut lebh ditujukan kepada korban konflik
yang sudah berumur atau orang tua. Melalui pernyataan nomor 25 dapat diketahui
tingkat kebangaan orang tua melihat anak-anaknya berbahasa Indonesia, baik formal
maupun nonformal. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa masih ada 1
responden yang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 0.8%. Demikian
pula yang memilih tidak mengerti (TM), juga ada 1 responden. Selebihnya, yang
memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan nomor 25 sebanyak 26 orang atau
20.6%, yang memilih setuju (S) berjumlah 65 orang atau 51.6%, dan yang memilih
sangat setuju (SS) sejumlah 33 orang atau 26.2%. Dengan demikian, diketahui
bahwa tingkat kebanggaan para orang tua korban konflik Aceh melihat anak-anaknya
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia berada pada level sedang.
Pernyataan terakhir yang diberikan kepada korban konflik terkait dengan
anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik
dibanding anak yang menggunakan bahasa Aceh. Perbandingan ini mengacu pada
aspek kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Hasil pengolahan data menunjukkan
bahwa respons terbanyak adalah opsi setuju (S) dengan persentase mencapai 44.4%
atau 56 orang, disusul respons sangat setuju (SS) sebesar 27.0% atau 34 orang.
Adapun yang memilih tidak setuju (TS) hanya 23.0% atau 29 orang dan yang
memilih sangat tidak setuju (STS) sekitar 4.8% atau 6 orang. Untuk pernyataan
nomor 26 ini masih ada responden yang memilih tidak mengerti (TM) sebesar 0.8%
69
atau 1 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Indonesia
korban konflik berada pada level sedang.
Setelah mencermati hasil pengolahan data keseluruhan terhadap sikap
berbahasa Indonesia para korban konflik, didapati hasil rata-rata masih berada pada
level rendah. Untuk kategori kebanggaan, meskipun rata-rata korban konflik suka
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi banyak pernyataan yang mengacu pada aspek
kebanggaan yang dipilih dengan opsi setuju dan tidak setuju. Artinya, kebanggaan
berbahasa Indonesia dalam kalangan korban konflik Aceh belum merata. Sedikit
sekali informan yang memilih pernyataan pada aspek kebangaan dengan opsi sangat
setuju. Dari setiap pernyataan yang diajukan, tidak ada sebuah pernyataan pun,
misalnya, yang didominasi oleh pilihan sangat setuju. Hampir semua pernyataan
yang mengarah pada aspek kebangaan didominasi oleh pilihan setuju saja dan tidak
setuju.
Beberapa pernyataan yang tidak sekadar menggali kebangaan berbahasa
Indonesia, tetapi juga memuat sikap nasionalisme kebangsaan Indonesia, juga
didominasi oleh pilihan setuju. Pernyataan Belajar bahasa Indonesia merupakan
salah satu wujud mempertahankan identitas nasional, misalnya, sebanyak 81 korban
konflik memilih setuju. Hanya 36 responden yang menyatakan sangat setuju. Hal ini
menandakan bahwa tingkat kebangaan berbahasa Indonesia para korban konflik
masih berada pada level rendah bahkan bisa dikatakan sangat rendah. Demikian pula
untuk pernyataan Bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi, sebanyak
71 orang korban konflik memilih setuju saja, hanya 24 orang yang berada pada posisi
sangat setuju, sedangkan yang memilih tidak setuju mencapai 28 responden. Bahkan,
untuk kebanggaan melihat anak-anak berbahasa Indonesia pun, para korban konlfik
masih berada pada posisi rendah. Sebanyak 65 responden berada pada posisi setuju,
hanya 33 orang yang menyatakan sangat setuju melihat anak-anaknya berbahasa
Indonesia. Selebihnya, 26 responden lebih memilih sangat tidak setuju. Dengan
demikian, hasil rata-rata keseluruhan pernyataan untuk aspek kebanggaan berbahasa
Indonesia para korban konflik Aceh masih berada pada level rendah. Hal ini dapat
dilihat dalam grafik dan diagram berikut.
70
Grafik 7: kebanggaan berbahasa Indonesia korban konflik
Diagram 7: kebanggaan berbahasa Indonesia korban konflik
Dari grafik dan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 90
responden korban konflik masih memiliki kebangaan berbahasa Indonesia pada level
rendah, 26 responden berada pada posisi sedang, dan hanya 10 responden yang
memiliki sikap kebangaan dengan tingkat tinggi.
71
Untuk aspek kesadaran berbahasa Indonesia, para korban konflik sudah
berada pada tingkat sedang. Aspek kesadaran berbahasa terkait dengan norma-norma
dalam bahasa. Kebutuhan terhadap aturan “perbahasaan” seperti kamus, pedoman
umum ejaan, dan sejenisnya merupakan pernyatan-pernyataan yang terkait dengan
aspek kesadaran berbahasa. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa 80
responden sudah memiliki kesadaran berbahasa pada posisi sedang, sedangkan yang
berada pada kategori tinggi terdata 30 responden. Hanya 20 respoden yang masih
memiliki kesadaran berbahasa pada posisi rendah. Hal ini dapat dilihat dalam grafik
8 di bawah. Adapun persentase kesadaran berbahasa para korban konflik dapat
dilihat pada diagram 8 yang menjukkan bahwa 63% berada pada posisi sedang, 24%
pada posisi tinggi, dan 13% masih berada pada posisi rendah.
Grafik 8: kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik
72
Diagram 8: kesadaran berbahasa Indonesia korban konflik
Pada aspek kesetiaan berbahasa, peneliti memberikan pernyataan-pernyataan
yang berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian
bahasanya dari pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan
berbahasa Indonesia para korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh cenderung
rendah. Hanya bebeapa item yang dipilih dengan opsi tinggi atau sangat setuju.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kesetiaan berbahasa para ekskombatan dan
korban konflik pasca-MoU cenderung positif, perbandingan antara yang berada pada
tingkat kesadaran rendah dengan tingkat kesadaran sedang hanya 1 responden.
Secara, persentase, tak ada perbedaan antara tingkat kesadaran rendah dengan tingkat
kesadaran sedang. Sebanyak 56 responden berada pada posisi rendah dan sebanyak
55 responden berada pada posisi sedang, sedangkan 15 responden lainnya sudah
berada pada posisi tinggi. Secara rinci, hal ini dapat dilihat pada grafik dan diagram
berikut.
73
Grafik 9: kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik
Diagram 9: kesetiaan berbahasa Indonesia korban konflik
74
5.2.2.2 Sikap terhadap Bahasa Aceh sebagai Bahasa Daerah
Data terakhir yang diolah dalam penelitian ini terkait sikap berbahasa para korban
konflik terhadap bahasa ibu bahasa Aceh. Pernyataan atau pertanyaan yang diajukan
masih sama dengan pernyataan pada sikap berbahasa Indonesia. Perbedaannya hanya
pada bahasa, misalnya, jika pada sikap berbahasa Indonesia ada pernyataan bangga
menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, pada sikap berbahasa
Aceh diajukan pernyataan bangga menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan
sehari-hari. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 1 ini menunjukkan
bahwa tingkat kebangaan berbahasa Aceh para korban konflik sangat positif.
Terdapat 51.6% atau 65 responden menyatakan sangat setuju (SS) dengan pernyataan
pertama. Selebihnya, 42.1% atau 53 responden memilih setuju (S), 4.8% atau 6
responden menyatakan tidak setuju (TS), dan masing-masing 0.8% atau 1 responden
menyatakan sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti (TM). Responden yang
paling banyak menyatakan SS berada di Kabupaten Pidie yakni 14 responden dari 20
responden. Adapun responden yang menyatakan TM dan TST berada di Kabupaten
Aceh Besar dan Aceh Tengah.
Sebagian besar masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki merasa
sangat penting bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Pengakuan bahwa bahasa
Aceh sangat penting sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dapat dilihat dari respons
mereka terhadap pernyataan nomor 2. Hasl pengolahan data menunjukkan bahwa
63.5% responden menyatakan sangat setuju (SS) bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-
hari. Selain itu, terdapat 30.2% memilih penting (setuju) bahasa Aceh sebagai bahasa
sehari-hari. Namun demikian, terdapat 4.8 masyarakat korban konflik masih berada
pada pilihan tidak setuju atau tidak sepakat (TS), dan masing-masing 1 responden
mengambil pilihan sangat tidak setuju (STS) dan tidak mengerti. Mereka yang
memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Tengah. Kemungkinan responden korban
konflik ini bukan berbahasa ibu bahasa Aceh. Akan tetapi, 1 orang yang memilih
tidak mengerti berasal dari Kabupaten Aceh Besar dan berbahasa ibu bahasa Aceh.
Tentu pilihan ini memunculkan spekulasi baru, mengapa orang berbahasa ibu bahasa
Aceh tidak mengerti jika bahasa Aceh baik sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
75
Pernyataan nomor 3 terkait dengan aspek kesadaran berbahasa Aceh.
Masyarakat korban konflik merasa bahwa mampu berbahasa Aceh dengan baik dan
benar penting bagi dirinya. Pilihan yang dominan pada pernyataan nomor 3 adalah
sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 53.2% atau 67 responden, disusul
40.5% atau 51 responden memilih setuju (S). Dengan demikian, masyarakat korban
konflik masih merasa bangga dengan bahasa Aceh. Kebangaan tersebut ditunjukkan
dengan pilihan mereka pada opsi sangat setuju. Hanya 4.8% atau 6 responden yang
memilih tidak setuju (TS), 0.8% atau 1 responden memilih sangat tidak setuju (STS),
dan 0.8% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM). Hal yang menarik pada
pertanyaan 3 ini bahwa seluruh responden di Aceh Barat menyatakan SS, dan 19 dari
20 responden di Kabupaten Pidie menyatakan SS juga. Selebihnya, responden di
kabupaten/kota lain memilih SS dan S secara bervariasi. Artinya, korban konflik di
Aceh Barat dan Pidie merupakan korban konflik yang menjunjung tinggi bahasa
Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Artinya, tingkat kesadaran berbahasa Aceh
masyarakat korban konflik di kedua kabupaten tersebut berada pada level sangat
baik.
Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 4 menunjukkan tingkat
kebanggaan masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh sebagai identitas
daerah. Ternyata jawaban para korban konflik sangat memuaskan berada pada
tingkat sangat setuju (SS) dengan persentase mencapai 56.3% atau sebanyak 71
responden dari total 126 responden. Adapun tingkat kedua yang memilih setuju (S)
berjumlah 45 orang atau 35.7%. Artinya, tingkat kebangaan masyarakat korban
konflik terhadap bahasa Aceh sebagai identitas daerah berada pada level tinggi.
Hanya 8 orang atau 6.3% yang masih memilih tidak setuju (TS) dan 1 orang berada
pada opsi sangat tidak setuju (STS). Sisanya, 1 responden lagi masih memilih tidak
mengerti (TM). Responden yang memilih STS berasal dari Kabupaten Aceh Barat
Daya dan responden yang memilih TM berasal dari Kabupaten Aceh besar.
Selanjutnya, pernyataan nomor 5 berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa
Aceh dengan tetap mempelajarinya sebagai bahasa yang dapat membantu menyerap
ilmu pengetahuan. Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa yang memilih
setuju (S) lebih mendominasi dibanding yang memilih sangat setuju (SS) dan opsi
76
lainnya. Mereka yang memilih setuju dengan pernyataan nomor 5 mencapai 56.3%
atau 71 responden, disusul yang memilih sangat setuju 24.6% atau 31 responden.
Meskipun pilihan terhadap sangat setuju berada di posisi kedua, kesetiaan terhadap
bahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor 5
masih berada pada posisi tinggi. Hal ini karena mereka yang memilih tidak setuju
hanya 15.9% atau 20 responden. Angka ini jauh di bawah pemilih setuju dan sangat
setuju. Demikian pula responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) hanya 2.4%
atau 3 orang. Namun demikian, masih tetap ada 1 responden atau 0.8% yang memilih
tidak mengerti (TM) yakni informan dari Kabupaten Aceh Besar.
Masyarakat korban konflik juga diminta memberikan opsi terhadap
pernyataan pentingnya belajar bahasa Aceh untuk memperoleh pekerjaan.
Pernyataan nomor 6 ini direspon positif oleh kalangan korban konflik Aceh. Tingkat
kesetiaan masyarakat korban konflik berdasarkan pernyataan nomor 6 berada pada
kategori rendah. Hal ini berdasarkan hasil pengolahan data yang tertera bahwa
pemilih setuju (S) lebih mendominasi dibanding pemilih sangat setuju. Mereka yang
memilih setuju berjumlah 49 orang atau 38.9%, sedangkan mereka yang memilih
sangat setuju (SS) berjumlah 23 orang atau 18.3%. Hal yang menarik untuk
pernyataan nomor 6 ini adalah angka pada opsi tidak setuju lebih besar dibanding
angka pada opsi pemilih setuju. Pilihan tidak setuju (TS) mencapai 37 responden
atau 29.4%. Adapun responden yang memilih sangat tidak setuju juga lumayan
banyak, 16 orang atau 12.7%. Dengan demikian, tingkat kesetiaan berbahasa Aceh
para korban konflik sesuai pernyataan nomor 6 masih berada pada kategori rendah.
Pernyataan nomor 7 juga berkaitan dengan aspek kesetiaan berbahasa Aceh
para korban konflik yang berbunyi Belajar bahasa Aceh penting karena dapat
memahami berbagai informasi penting di media massa. Hasil pengolahan data
memperlihatkan bahwa responden yang memilih setuju (S) lebih banyak dibanding
yang memilih sangat setuju (SS). Persentase pemilih setuju mencapai 38.1% atau 48
responden, sedangkan yang memilih sangat setuju hanya 25.4% atau 32 orang.
Angka pada pilihan sangat setuju masih berada di bawah angka opsi tidak setuju.
Responden yang memilih tidak setuju (TS) sebesa 33.3% atau 42 responden. Artinya,
para pemilih tidak setuju hampir sebanding dengan pemilih setuju. Oleh karena itu,
77
tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik sesuai pernyataan nomor 7
masih berada pada level rendah. Ditambah lagi para responden yang memilih sangat
tidak setuju (STS) ada 2.4% atau 3 orang dan responden yang memilih tidak
mengerti (TM) 0.8% atau 1 orang.
Rendahnya tingkat kesetiaan berbahasa Aceh masyarakat korban konflik juga
terlihat dari respons mereka terhadap pernyataan nomor 8. Banyak sekali masyarakat
korban konfik yang tidak mengakui bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yang
digunakan dalam situasi resmi. Respons terhadap pernyataan ini didominasi oleh
pilihan tidak setuju (TS) yang mencapai 39.7% atau 50 responden. Pada posisi
kedua, mereka yang memberikan respons setuju (S) berjumlah 31.0% atau 39
responden, dan posisi ketiga adalah respon sangat setuju (SS) sebesar 23.8% atau 30
responden. Selain itu, terdapat pemilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 4.8% atau 6
responden dan pemilih tidak mengerti (TM) sejumlah 0.8% atau 1 respoden. Hasil
pengolahan data ini menunjukkan bahwa responden dari Kabupaten Bireuen lebih
mendominasi memilih TS, disusul responden Kabupaten Aceh Besar dan Aceh
Barat. Adapun responden yang memilih tidak mengerti dengan pernyataan nomor 8
adalah responden yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar.
Berbeda dengan pernyataan nomor 8, tingkat kesetiaan berbaasa Aceh para
korban konflik untuk pernyataan nomor 9 sudah berada pada tingkat sedang. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa 51 orang atau sebesar 40.5% responden
memilih setuju menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Adapun
mereka yang memilih sangat setuju (SS) sejumlah 38.1% atau 48 responden. Artinya,
hampir seluruh masyarakat korban konflik di Aceh setuju bahkan sangat setuju
menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari mereka. Hanya 16.7% atau
21 responden memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut dan 4.0% atau 5
responden memilih sangat tidak setuju (STS). Adapun 1 responden dari Aceh Besar
memilih tidak mengerti dengan tidak memberikan respon sama sekali.
Hal yang menarik adalah respons terhadap pernyataan nomor 10 yang
berbunyi Saya merasa bahasa Aceh hanya untuk kalangan terpelajar. Pernyataan ini
berimplikasi pada aspek kesadaran berbahasa Aceh. Hasil pengolahan data
memperlihatkan bahwa ada kesadaran dalam kalangan masyarakat korban konflik
78
dengan memilih tidak setuju (TS) bahkan sangat tidak setuju (STS) jika bahasa Aceh
hanya bagi kalangan terpelajar. Mereka yang memberikan respons tidak setuju
mencapai 52 orang atau 41.3% dan yang merespons sangat tidak setuju berjumlah 47
orang atau 37.3%. Adapun yang memberikan responden sangat setuju (SS) hanya
4.8% atau 6 responden dan yang memberikan respons setuju (S) sejumlah 20 orang.
Adapun responden yang memilih tidak mengerti (TM) masih ada 1 orang atau 0.8%,
yakni responden dari Kabupaten Aceh Besar. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat
kesadaran masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh sesuai pernyataan nomor
10 sudah berada pada tingkat sedang.
Aspek kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik juga dilihat
pada respons mereka terhadap pernyataan nomor 11. Pernyataan tersebut berbunyi
Penerapan kaidah berbahasa Aceh yang benar dapat mengganggu kelancaran
berkomunikasi. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor 11 menunjukkan
bahwa reponden yang memilih tidak setuju mendominasi dengan persentase
mencapai 62.7% atau 79 responden, disusul responden yang memilih setuju (S)
sebesar 24.6% atau 31 orang. Artinya, tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat
korban konflik sesuai pernyataan di atas masih berada pada tingkat rendah. Ditambah
respons para pemilih sangat tidak setuju (STS) sebesar 7.1% atau 9 orang, semain
memperkuat bahwa tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik
masih rendah. Adapun responden yang memilih sangat setuju (SS) hanya 4.8% atau
6 orang. Untuk pernyataan ini tetap masih ada responden yang berada pada pilihan
tidak mengerti (TM) 1 orang atau 0.8% yakni dari Kabupaten Aceh Besar.
Tingkat kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik dengan tetap
mau belajar dan berusaha meningkatkan kemampuan berbahasa Aceh berada pada
level sedang. Responden yang memilih setuju (S) untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa Aceh mereka mencapai 62.7% atau 79. Adapun responden yang
memberikan respon sangat setuju (SS) sama besarnya dengan yang memilih tidak
setuju (TS), yakni 18.3% atau 23 orang. Hal ini bermakna bahwa tingkat kesadaran
masyarakat korban konflik terhadap bahasa Aceh belum terlalu bagus. Untuk
pernyataan nomor 12 ini, masih ada 1 orang atau 0.8% mengambil sikap tidak
mengerti (TM).
79
Hal yang sama tampak pada respons korban konflik Aceh terhadap pernyatan
13 yang berbunyi Saya senantiasa berperan serta dalam usaha pengembangan,
pembinaan, dan pelestarian bahasa Aceh. Responden yang memilih setuju (S) lebih
mendominasi hingga 46.0% atau 58 orang. Responden yang memilih sangat setuju
(SS) berada pada posisi kedua dengan persentase 27.0% atau 34 orang. Adapun
responden yang memilih tidak setuju (TS) berbeda satu angka dengan pemilih SS,
yakni 26.2% atau 33 orang. Selanjutnya, responden yang memilih tidak mengerti
(TM) masih ada 1 orang atau 0.8%. Hal ini bermakna bahwa tingkat kesadaran
berbahasa Aceh para korban konflik dengan turut berperan mengembangkan dan
membina bahasa Aceh masih berada pada level sedang.
Selanjutnya pernyataan nomor 14 berbunyi Kemampuan berbahasa Aceh
saya hanya mampu untuk bercakap-cakap dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan
ini merupakan aspek kesadaran berbahasa yang menunjukkan tingkat kemampuan
seseorang dalam berkomunikasi. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa respons
terhadap pernyataan nomor 14 lebih didominiasi oleh mereka yang memilih setuju
(S) dengan persentase 42.1% atau 53 responden. Hal ini bermakna bahwa tingkat
kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik masih berada pada level
rendah. Harusnya, mereka tidak sekadar mampu menggunakan bahasa Aceh dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk
lebih luas. Oleh karena itu sangat menarik melihat respons masyarakat korban
konflik fi Kabupaten Pidie. Dari 20 informan di Kabupaten Pidie, sebanyak 14 orang
memilih sangat tidak setuju (STS). Artinya, korban konflik di Kabupaten Pidie
merasa kemampuan berbahasa Aceh mereka bukan sekadar untuk komunikasi sehari-
hari. Namun demikian, hasil rata-rata terhadap pernyataan nomor 14 menunjukan
respons setuju lebih mendominasi. Posisi kedua adalah opsi tidak setuju (TS) dengan
persentase sebesar 31.0% atau 39 responden. Adapun responden yang memilihi
sangat setuju (SS) sebesar 13.5% atau 17 responden, berbeda satu angka dengan
pemilih sangat setuju (STS) dengan persentase sebesar 12.7% atau 16 responden.
Untuk pernyataan ini masih tetap ada 1 orang atau 0.8% memilih tidak mengerti
(TM) yakni responden dari Kabupaten Aceh Besar.
80
Respon korban konflik Aceh terhadap pertanyaan 15 juga tidak jauh berbeda
dengan respons terhadap pernyataan 14. Antara responden yang memilih tidak setuju
dengan responden yang memilih sangat setuju hanya berbeda satu angka. Pemilih
tidak setuju sebanyak 32 orang, sedangkan pemilih sangat setuju sebanyak 33 orang.
Hanya saja, responden yang memberikan pilihan setuju (S) sangat mendominasi
hingga 60 orang atau 47.6%. Artinya, para korban konflik sangat bangga memiliki
bahasa Aceh dengan menyatakan mampu menggunakan bahasa Aceh dalam
mengungkapkan gagasan secara lisan seperti ceramah dan pidato. Rasa kemampuan
untuk pernyataan ini berimplikasi pada aspek kebanggaan. Hanya 1 responden atau
0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan demikian, tingkat kebanggaan
berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor
15 sudah berada pada tingkat sedang.
Hasil pengolahan data untuk pernyataan nomor 16 sangat variatif. Antara
responden yang memilih tidak setuju (TS) dengan responden yang memilih setuju (S)
dan sangat setuju (SS) hanya bebeda beberapa angka. Sebanyak 57 responden
menyatakan tidak setuju dengan pernyataan 16, sedangkan 43 responden memilih
setuju, dan 23 responden menyatakan sangat setuju. Persentase perbedaan tersebut
dapat diurutkan menjadi 45.2% memilih TS, 34.1% memilih S, dan 18.3% memilih
sangat setuju. Satu orang atau sebesar 0.8% memilih tidak mengerti (TM). Dengan
demikian, tingkat kebanggan berbahasa Aceh masyarakat korban konflik sesuai
pernyataan nomor 16 masih berada pada posisi rendah. Banyak korban konfik
merasa belum mampu mengungkapkan gagasan secara tertulis dalam bahasa Aceh
sehingga banyak yang memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut.
Selanjutnya, pernyataan nomor 17 terkait aspek kesetiaan berbahasa.
Masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki diberikan pertanyaan apakah
mereka masih selalu menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari atau
tidak. Hasil pengolahan data keseluruhan menunjukkan bahwa 65 responden dari
total 126 responden mengaku masih setia menggunakan bahasa Aceh dalam
komunikasi sehari-hari. Persentase terhadap pemilih sangat setuju (SS) dengan
pernyataan nomor 17 sebesar 51.6%. Artinya, setengah dari keseluruhan responden
yang diberikan angket masih sanat setuju menggunakan bahasa Aceh dalam
81
komunikasi sehari-hari. Posisi kedua adalah mereka yang memberikan pilihan setuju
(S) yakni sebesar 38.1% atau 48 responden dan posisi ketiga responden yang
memilihi tidak setuju (TS) sebesar 7.9% atau 10 responden. Adapun responden yang
memilih sangat tidak setuju (STS) terdapat sebesar 1.6% atau 2 responden dan yang
memilih tidak mengerti (TM) tercatat sebesar 0.8% atau 1 responden. Dengan
demikian, tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik sesuai pernyataan
nomor 17 sudah berada pada tingkat tinggi.
Untuk pernyatan nomor 18, masyarakat korban konflik diminta memberikan
opsi apakah mereka menguasai bahasa Aceh dengan baik atau tidak. Responden
yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 43.7% atau 55 responden, sedangkan yang
memilih setuju (S) mencapai 46.8% atau 59 responden. Artinya, respons terhadap
pertanyaan 18 sangat positif. Dengan demikian, rasa bangga berbahasa Aceh dalam
kalangan korban konflik Aceh sudah berada pada tingkat tinggi. Hanya 9 orang atau
7.1% yang masih memilih tidak setuju (TS) dengan pernyataan tersebut. Selebihnya,
1 orang memilih tidak mengerti (TM) atau setara dengan 0.8%. Respons terhadap
pernyataan 18 ini sekaligus menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Aceh dalam
kalangan masyarakat korban konflik tidak perlu diragukan lagi. Hampir seluruh
korban konflik di Aceh sangat menguasai bahasa Aceh sebagai bahasa daerah
sekaligus bahasa ibu mereka.
Rasa bangga berbahasa Aceh tidak hanya ditunjukkan dengan mampu dan
menguasai bahasa Aceh, tetapi juga pengakuan bahasa Aceh sebagai identitas pribadi
orang Aceh. Pernyataan nomor 19 mencoba menggali pengakuan tersebut bagi
masyarakat korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hasilnya, 1 responden dari
Kabupaten Aceh Besar memilih tidak mengerti (TM). Artinya, responden satu ini
dianggap tidak mengetahui apa-apa terhadap pertanyaan tersebut. Namun demikian,
responden yang menyatakan setuju (S) dalam artian setuju bahasa Aceh sebagai
identitas pribadi mencapai 49.2% atau sebanyak 62 orang. Posisi kedua disusul oleh
responden yang memilih sangat setuju (SS) sebesar 42.9% atau 54 orang. Hanya 9
orang atau sebesar 7.1% yang berada pada pilihan tidak setuju (TS). Tidak ada
responden yang memilih sangat tidak setuju (STS) dengan pernyataan ini. Artinya,
82
tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik
sudah berada pada tingkat tinggi.
Respons untuk penyataan nomor 20 didominasi oleh informan yang memilih
sangat setuju (SS). Responden yang menyatakan sangat setuju dengan pernyataan 20
berjumlah 57 orang atau sebesar 45.2%. Berbeda satu angka, posisi kedua adalah
respons dengan pilihan setuju (S) sebanyak 56 orang atau 44.4%. Hal ini memberi
makna bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan masyarakat
korban konflik sesuai pernyataan nomor 20 sudah berada pada tingkat tinggi.
Pernyataan tersebut berbunyi Menggunakan bahasa Aceh dengan baik dan benar
berarti menjaga identitas nasional dan daerah dengan baik. Hanya 12 responden
yang memberikan respons tidak setuju (TS) terhadap pernyataan ini. Artinya, tidak
sampai 10% yang memilih tidak setuju bahwa bahasa Aceh juga dapat menunjukkan
identitas nasional.
Bahasa Aceh juga perlu dikembangkan, dibina, dan dilestarikan demi
keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Pernyataan ini tertera pada angket nomor 21
yang harus dijawab oleh para korban konflik. Hasil pengolahan data menunjukkan
bahwa responden yang memilih sangat setuju (SS) lebih unggul mencapai 50.8%
atau 64 responden dibanding yang memilih opsi lainnya. Posisi kedua terdapat
responden dengan pilihan setuju (S) sebesar 42.1% atau 53 responden. Dengan
demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik sudah berada pada
level tinggi. Hanya 5.6% atau 7 responden memilih tidak setuju (TS) yang bermakna
tingkat kesadaran mereka masih rendah. Dari 7 responden tersebut, masing 1 orang
dari Kabupaten Aceh Timur, 1 orang dari Kabupaten Pidie, 1 orang Kabupaten Aceh
Utara, 1 orang dari Kabupaten Aceh Selatan, dan 3 orang dari Kabupaten Aceh Barat
Daya. Sisanya, 2 orang atau sebesar 1.6% mengambil pilihan tidak mengerti (TM).
Selanjutnya, respon terhadap pernyataan 22 membuktikan bahwa kesadaran
berbahasa Aceh para korban konflik masih rendah. Pernyataan ini berbunyi Saya
membutuhkan kamus yang standar dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh agar
dapat mempelajari dan menggunakannya secara benar. Ternyata hasil pengolahan
data menunjukkan bahwa para korban konflik masih tdak setuju pentingnya kamus
dan pedoman umum ejaan bahasa Aceh. Ketidaksetujuan mereka bisa jadi
83
berdasarkan pikiran bahwa mereka sudah mampu menggunakan bahasa Aceh secara
benar. Namun, ketidaksetujuan ini dapat pula bermakna sebagai kesadaran yang
masih rendah terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Responden
yang memilih tidak setuju (TS) dominan dengan persentase 34.1% atau 43
responden, disusul responden yang memilih setuju (S) sebesar 31.7% atau 40
responden. Adapun responden yang memilih dengan opsi sangat setuju (SS)
mencapai 29.4% atau 37 responden dan responden yang memilih sangat tidak setuju
(STS) sebesar 4.0% atau 5 responden. Ada 1 responden atau 0.8% berada pada posisi
tidak mengerti (TM). Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh
masyarakat korban konflik sesuai pernyataan nomor 21 masih tergolong rendah.
Selain itu, tingkat kesadaran berbahasa Aceh juga dapat dilihat dari hasil
jawaban para korban konflik terhadap pernyataan nomor 23 yang berbunyi Saya
merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan orang dalam bahasa Aceh. Jika
tingkat kesulitan memahami ini lebih besar dibanding tingkat kemudahan
memahami, bermakna bahwa kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik masih
rendah. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa
ada 1 orang yang masih tetap memilih tidak mengerti (TM). Responden ini berasal
dari Kabupaten Aceh Besar. Adapun yang memberikan respons dengan opsi sangag
tidak setuju (STS) berkisar 21.4% atau 27 responden dan yang memilih tidak setuju
(TS) sebesar 48.4% atau 61 responden. Artinya, banyak korban konflik Aceh merasa
tidak kesulitan memahami orang lain berbahasa Aceh. Tentu saja hasil ini sangat
bagus untuk menggambarkan tingkat kesadaran berbahasa Aceh. Namun demikian,
masih ada 21 responden atau sebesar 16.7% memilih setuju (S) dalam artian masih
merasa kesulitan memahami orang lain berbahasa Aceh. Sisanya, sebanyak 16
responden sebesar 12.7% mengaku sangat setuju (SS) dengan pernyataan nomor 23.
Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa Aceh dalam hal pemahaman terhadap
berbahasa Aceh orang lain dalam kalangan korban konflik masih berada pada tingkat
sedang.
Pernyataan nomor 24 juga berkenaan dengan aspek kesadaran berbahasa
Aceh yang tidak jauh berbeda dengan maksud pernyataan nomor 23. Dalam
pernyataan nomor 24 disebutkan bahwa Bahasa Aceh lebih mudah dipahami
84
daripada bahasa Indonesia. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa pengakuan
dengan opsi setuju (S) lebih dominan mencapai 50.8% atau 64 responden. Namun,
responden yang memilih tidak setuju (TS) juga tidak kalah banyaknya, 36.5% atau
46 responden. Adapun responden yang memberikan respons sangat setuju terhadap
pernyataan nomor 24 hanya 9.5% atau 12 responden, sedangkan yang merespons
dengan pilihan sangat tidak setuju (STS) berada pada angka 2.4% atau 3 responden.
Dengan demikian, kesadaran berbahasa Aceh masyarakat korban konflik pasca-MoU
Helsinki masih berada pada tingkat rendah.
Selanjutnya, aspek kebanggan berbahasa Aceh dapat dilihat dari respons
terhadap pernyataan nomor 25 yang berbunyi Saya bangga melihat anak-anak saya
berkomunikasi dalam bahasa Aceh. Kebanggaan ini sekaligus bagian dari kecintaan
terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa ibu. Hasil pengolahan data memperlihatkan
bahwa korban konflik yang memberikan respons setuju (S) lebih dominan dengan
persentase 55.6% atau 70 responden. Disusul posisi kedua responden yang
memberikan pilihan sangat setuju (SS) sebesar 32.5% atau 41 responden. Adapun
yang memilih tidak setuju (TS) hanya 11.1%. Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa tingkat kebanggaan berbahasa Aceh dalam kalangan orang tua korban konflik
sudah berada pada level tinggi. Terlebih lagi, tidak satu responden pun yang
memberikan opsi sangat tidak setuju terhadap pernyataan nomor 25. Hanya saja,
masih ada 1 responden atau.8% yang memberikan pilihan tidak mengerti (TM),
yakni informan dari Kabupaten Aceh Besar.
Terakhir, para korban konflik juga diminta memberikan respons terhadap
pengakuan bahwa perkembangan anak sekolah yang menggunakan bahasa Aceh
lebih baik daripada yang menggunakan bahasa Indonesia. Pernyataan ini berkaitan
dengan aspek kesetiaan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa daerah sekaligus
bahasa ibu bagi masyarakat Aceh. Hasil pengolahan data terhadap pernyataan nomor
26 ini menunjukkan bahwa yang merespon dengan pilihan tidak setuju (TS) lebih
unggul dengan persentase 50.8% atau 64 responden. Artinya, tingkat kesetiaan
terhadap bahasa Aceh dalam kalangan masyarakat korban konflik masih rendah.
Terlebih lagi, responden yang memberikan pilihan setuju (S) jauh di bawah
responden yang memberikan pilihah tidak setuju. Responden yang memberikan
85
pilihan setuju sebesar 35.7% atau 45 responden dan yang memberikan responden
sangat setuju (SS) sebesar 7.9%. Selebihnya, sebesar 4.8% atau 6 responden memilih
sangat tidak setuju (STS) dan 0.8% atau 1 responden memilih tidak mengerti (TM).
Dengan demikian, respons terhadap pernyataan nomor 26 ini menunjukkan bahwa
tingkat kesetiaan korban konflik terhadap bahasa Aceh masih rendah.
Hasil pengolahan data keseluruhan terhadap responden korban konflik Aceh
pasca-MoU Helsinki memperlihatkan sikap berbahasa yang variatif antara
kebanggaan, kesetiaan, dan kesadaran. Untuk kebanggaan berbahasa Aceh sendiri,
hasilnya masih variatif. Di satu sisi ada yang memberikan pilihan sangat setuju untuk
beberapa item sehingga dikategorikan memiliki sikap tinggi. Namun, di sisi lain, ada
beberapa item yang masih rendah dengan jawaban tidak setuju atau sekadar setuju.
Misalnya, untuk pernyataan Saya bangga melihat anak-anak berbahasa Aceh,
ternyata banyak yang menjawab pernyataan ini sekadar setuju saja. Sedikit sekali
yang menjawab dengan opsi sangat setuju. Demikian beberapa pernyataan lainnya
yang mengacu kepada aspek kebanggaan, rata-rata menjawab setuju bahkan tidak
setuju sehingga hasil pengolahan data terakhir terhadap aspek kebanggaan berbahasa
Aceh masih berada pada posisi rendah. Hasil ini dapat dilihat pada grafik 10 yang
menunjukkan 71 responden masih berada pada kategori rendah, 53 orang berada
pada kategori sedang, dan hanya 23 orang berada pada kategori kebangaan tinggi.
Grafik 10: kebanggaan berbahasa Aceh korban konflik
86
Garfik di atas jika dipersentasekan menjadi 48% berada pada kategori rendah,
36% berada kategori sedang, dan 16% berada pada kategori tinggi. Hal ini secara
rinci tergambar dalam diagram 10 di bawah.
Diagram 10: kebanggaan berbahasa Aceh korban konflik
Tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik pasca-MoU Helsinki
juga tidak terlalu baik. Beberapa pernyataan yang menyiratkan kesetiaan terhadap
bahasa Aceh hanya dipilih dengan opsi setuju. Sedikit sekali responden yang
memberikan jawaban sangat setuju untuk pernyataan-pernyataan yang mengandung
aspek kesetiaan berbahasa. Bahkan, untuk pernyataan Saya lebih senang
menggunakan bahasa Aceh dalam membicarakan masalah umum hanya didominasi
oleh pilihan setuju saja.
Hasil akhir secara keseluruhan untuk aspek kesetiaan berbahasa Aceh
menunjukkan bahwa sebanyak 62 orang berada pada kategori sedang, 54 orang
berada kategori rendah, dan sebanyak 31 orang berada pada kategori tinggi. Hal ini
memperlihatkan bahwa tingkat kesetiaan berbahasa Aceh para korban konflik belum
terlalu menggembirakan. Kategori sedang dan rendah hampir sama banyaknya,
sedangkan kategori tinggi hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat pada grafik 11 berikut.
87
Grafik 11: kesetiaan berbahasa Aceh korban konflik
Hasil dari grafik di atas, jika dipersentasekan akan mendapatkan hasil
sebanyak 42% kesetiaan berbahasa para korban konflik Aceh masih berada pada
kategori sedang, sebanyak 37% berada pada kategori rendah, dan sebanyak 21%
berada pada kategori tinggi. Secara rinci, hal itu dapat dilihat dalam diagram bulat
berikut.
Diagram 11: kesetiaan berbahasa Aceh korban konflik
88
Terakhir adalah aspek kesadaran berbahasa Aceh dalam kalangan korban
konflik pasca-MoU Helsinki. Dari data keseluruhan diketahui bahwa tingkat
kesadaran berbahasa Aceh para korban konflik masih belum terlalu baik. Namun,
jumlah yang menduduki kategori tinggi lebih banyak dibanding pada aspek
kebanggaan dan aspek kesetiaan. Dengan demikian, tingkat kesadaran berbahasa
Aceh dalam kalangan korban konflik sudah lebih baik dibanding tiingkat kebanggaan
dan kesetiaan. Secara angka, sebanyak 65 orang korban konflik memilik tingkat
kesadaran berbahasa dengan kategori sedang, sebanyak 55 orang berada pada
kategori tinggi, dan 27 orang berada pada kategori rendah. Hal yang
menggembirakan untuk aspek kesadaran berbahasa ini bahwa banyak korban konflik
merasa sangat setuju dengan pernyataan Mampu berbahasa Aceh dengan baik dan
benar penting bagi saya. Rasa sadar pentingnya bahasa Aceh dalam komunikasi
sehari-hari merupakan tingkat kesadaran berbahasa yang positif. Hasil akhir dari
jumlah keseluruhan kabupaten/kota terhadap kesadaran berbahasa Aceh dalam
kalangan korban konflik dapat dilihat melalui grafik 11 di bawah.
Grafik 12: tingkat kesadaran berbahasa Aceh korban konflik
89
Grafik di atas menunjukkan tingkat kesadaran berbahasa Aceh para korban
konflik yang sudah mulai mengarah pada sisi positif. Setelah diolah dalam bentuk
persentase, grafik di atas akan memperlihatkan sebesar 44% korban konflik memiliki
tingkat kesadaran berbahasa Aceh dengan kategori sedang, 38% berada pada kategori
tinggi, dan 18% berada kategori rendah. Secara rinci, hasil ini dapat dilihat dalam
diagram bulat berikut.
Diagram 12: tingkat kesadaran berbahasa Aceh korban konflik
90
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Hasil penelitian tahun pertama (2017) menunjukkan bahwa para eks kombatan dan
korban konflik Aceh pasca-MoU Helsingki, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai
nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan
digunakan masyarakat Aceh cenderung positif. Secara umum mereka bangga, setia
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh meskipun kedaran akan norma
bahasa cenderung negatif. Berdasarkan temuan penelitian tahun pertama, pada tahun
kedua (2018) akan dilakukan pembinaan secara khusus kepada mereka dan
masyarakat sekitar mereka dalam wilayah objek penelitian demi memantapkan sikap
positif mereka terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Aceh.
Pembinaan akan difasilitasi oleh tim peneliti dan informan-informan yang sikap
bahasanya sudah sangat positif. Informan-informan yang memiliki sikap bahasa yang
relatif sangat itu umumnya telah memiliki rasa nasionalisme yang baik terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tersebar di setiap wilayah
penelitian. Selain itu, pada tahun kedua, selain menghasilkan publikasi ilmiah, juga
akan dilakukan kegiatan penulisan buku terkait dengan pemertahanan bahasa
Indonesia dan pemartabatan bahasa Aceh sehingga masyarakat luas memahami akan
kebanggan, kesetiaan, dan kesadaran akan bahasanya, baik bahasa Indonesia maupun
bahasa Aceh.
91
BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data terkait dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap
terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh
sebagai bahasa daerah, temuan penelitian ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu
(1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2)
sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language
pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa
(awareness of the norm). Ketiga sikap tersebut cenderung positif dimiliki oleh para
eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.
Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality)
merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan
kemandirian bahasanya, bahkan bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa
asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan
bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam
mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai
lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari
orang atau kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran
penggunaan bahasa (awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat
yang positif dalam kesadaran menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang
berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat, dan santun. Kesadaran tersebut
merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian
bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa
merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.
(1) Kebanggaan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori
positif. Walaupun terdapat perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang
kebanggaan berbahasa, secara umum responden suka dan bangga menggunakan
92
bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Begitu pula
jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia merupakan salah
satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden mengatakan
sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-
pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada
setiap responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga
melihat anak-anak saya berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal
dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan
tidak setuju.
Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek,
yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling
berhubungan satu sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah
masyarakat seringkali pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan”
yang didapat oleh seseorang menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak
sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu sama lainnya, sebuah perilaku dapat
menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan tetapi sebaliknya, jika
komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat digunakan untuk
mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap seseorang.
Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara
keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum
memberikan respon positif terhadap aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun bahasa Aceh sebagai salah satu
bahasa daerah yang dominan di Aceh.
(2) Kesetiaan Bahasa
Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang
berhubungan dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari
pengaruh asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia
dan Aceh para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh
93
cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1) bahasa Indonesia merupakan
bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia penting karena
dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan, (3)
anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik
daripada anak yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada beberapa
pernyataan yang lain cenderung terdapat perbedaan pendapat yang diberikan oleh
responden, misalnya saya lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam
membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan belajar bahasa Indonesia
penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai informasi penting di
media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa
kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di
Aceh cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau
perilaku tutur.
Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh
yang menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal
dari bahasa Indonesia, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang
sudah lebih dahulu ada bukan serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini
tidaklah berlebihan karena sesuai dengan data yang diperoleh dari informan, yaitu
para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh.
(3) Kesadaran Bahasa
Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat
dan cermat sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan
faktor yang sangat menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran
adanya norma bahasa, penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa, serta pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan
aspek penting yang terdapat dalam item kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil
pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks kombatan dan korban konflik
pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang. Simpulan ini didasari
pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para informan.
94
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan,
kesadaran para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa
kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat
dan sesuai dengan kaidah.
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, temuan penelitian ini hendaknya ditindaklanjuti pada
tahun kedua untuk memantapkan sikap positif yang telah terlihat pada para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh demi meningkatkan rasa
nasionalisme mereka. Kemudian, perlu dilakukan pembinaan secara komprehensif
dan terus menurus. Terkait dengan hal ini juga, pihak Balai Bahasa Aceh dengan
didukung oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hendaknya memprogramkan
kegiatan-kegiatan pembinaan bahasa seacara khusus kepada mereka dan
menyediakan referensi-referensi yang memadai melalui Gerakan Literasi Nasional,
khusus berkaitan dengan pemantapan kesadaran menggunakan bahasa yang baik dan
benar.
95
DAFTAR PUSTAKA
Adwani, 2012. “Perlindungan terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik
Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional”. Jurnal Dinamika
Hukum. Volume 12 (1): 97-107.
Azwardi. 2015. “TOEFL vs UKBI”. Dalam SKH Serambi Indonesia, Edisi Kamis,
16 April 2015.
Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Media
Group. Universitas Pendidikan Indonesia.
Crystal. 1987. The Cambridge of Encyclopedia of Languange. Cambridge:
Cambridge University Press.
Depdiknas. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik I. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Edwards, Alen L. 1957. Technique of Attitude Scale Construction. Newyork:
Apleton Century Crofts.
Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan
Paul.
Fuad, Zaki Al. 2014. “Sikap Bahasa Siswa Sekolah Dasar terhadap Bahasa Daerah
dan Bahasa Indonesia”. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.
Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in
Language and Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed.) Reading in Tes Sosiology of
Language, Mounton. Paris: The Hague.
Hasan, Kailani. 2001. Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Riau: Unsri Press.
Hutagalung, dkk. 2013. “Trauma Remaja Korban Konflik Bersenjata dan Tsunami di
Aceh”. Jurnal Psikologia. Volume 8 (1): 1-11.
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
96
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks
Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: KesainBlanc.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kemeterian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict.
Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV
Diponegoro.
Savile, Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil
Balckwell.
Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Atitama.
Subhayni. 2006. “Sikap Mahasiswa yang Berbahasa Ibu Nonbahasa Aceh terhadap
Mata Kuliah Bahasa Aceh pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia”. Laporan Penelitian FKIP Unsyiah.
Sulistyaningtyas, Tri. 2008. “Pemantapan Ketahanan Nasional NKRI melalui
Pendekatan Kebahasaan Studi Kasus: Masyarakat Perbatasan di Batam”.
Jurnal Sosioteknologi, Volume 7 (1): 334-343.
Sumarsono dan Paina Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary
Offset.
Yusuf, dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah
Dasar yang Berbahasa Ibu Bahasa Aceh: Mendengarkan dan Berbicara.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
SIKAP BAHASA PARA EKS KOMBATAN
DAN KORBAN KONFLIK PASCAMOU HELSINKI
oleh
Azwardi, Sanusi, dan Muhammad Iqbal
FKIP Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Dalam makalah ini penulis mendeskripsikan hasil penelitian terkait dengan sikap para eks
kombatan dan korban konflik pasca MoU Helsinki terhadap penggunaan bahasa, baik bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di
Aceh. Upaya ini dilakukan dalam kerangka pembinaan, perlindungan, dan pemertahanan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa ibu di Nusantara.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data
penelitian dikumpulkan melalui angket yang substansinya berkaitan dengan sikap bahasa.
Instrumen penelitian ini menggunakan simpulan skala Likert dengan fokus pertanyaan pada tiga
hal mendasar yang berkaitan dengan sikap bahasa, yaitu kesetiaan terhadap bahasa (language
loyality), kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan kesadaran penggunaan
bahasa (awareness of the norm). Pengolahan data delakukan dengan menggunakan rumus
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Hipotesis penelitian ini adalah para eks
kombatan dan korban konflik memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dan memiliki
positif terhadap bahasa Aceh. Penelitian ini dilakukan di sebelas wilayah kabupaten di Aceh,
yaitu Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Kesebelas kabupaten tersebut
merupakan daerah basis eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau daerah konflik
sebelum perundingan damai antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia. Informan
penelitian ini adalah para eks kombatan dan korban konflik, baik yang sudah menduduki jabatan
struktural di pemerintah Aceh maupun yang berstatus masyarakat biasa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sikap bahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki
cederung positif, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional maupun bahasa Aceh sebagai
salah satu bahasa daerah di Aceh.
Kata kunci; sikap bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Aceh, para eks kombatan, para korban
konflik, nasionalisme, kebanggaan, kesetian, kesadaran, NKRI
disampaikan pada seminar nasional dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa 2017 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah, Darussalam, 30 Oktober 2017 Dosen Tetap FKIP Unsyiah
2 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
Pendahuluan
Substansi makalah ini berkenaan dengan wujud sikap bahasa para eks kombatan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), yaitu (1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language
loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language
pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the
norm) para eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki. Hal ini dilakukan
sebagai langkah dan usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang harus
dilakukan untuk membina bahasa Indonesia dan menjaga kelestarian bahasa Aceh.
Berdasarkan situasi yang teramati, sikap berbahasa Indonesia para kombatan cenderung
negatif, tetapi wujud sikap berbahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh cenderung
positif. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap nasionalisme bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Nasionalisme seseorang dapat dilihat dari sikap
berbahasa para penutur. Apabila sikap berbahasanya negatif, nasionalisme terhadap kebangsaan
pun dapat diragukan. Tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 20009 tentang Lambang Negara, Simbol Negara, Lagu Kebangsaan, dan
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan lambang identitas kebangsaan
dan dapat digunakan untuk mempersatu antara suku yang satu dan yang lainnya. Berkaitan
dengan hal tersebut, para eks kombatan dan korban konflik Aceh merupakan masyarakat yang
secara nyata mengalami peristiwa yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-
pihak yang bertikai (Adwani, 2012:98). Dilandaskan hal tersebut, wujud sikap berbahasa
Indonesia para kombatan dan konflik dominan negatif dan bersifat aktif dan pasif.
Faktor yang mempengaruhi seseorang penutur bersikap negatif terhadap suatu bahasa
sangatlah beragam. Salah satunya adalah pengaruh psikologi pada seorang penutur. Konflik
bersenjata yang menimpa masyarakat Aceh sejak 1976-2005 secara tidak sadar telah membentuk
sikap negatif para masyarakat Aceh, khususnya para kombatan dan korban konflik untuk
berbahasa Indonesia dengan baik yang benar. Hal ini disebabkan oleh para eks kombatan dan
korban konflik yang menaruh dendam kepada militer, baik TNI maupun POLRI yang pada saat
itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Paradigma yang terbentuk di waktu
itu adalah bahwasanya negara Indonesia telah merenggut saudaranya (korban meninggal)
sehingga menganggap berbicara bahasa Indonesia merupakan sebuah dosa.
Berkaitan dengan kondisi ini, Crystal (1987, 15:66) mengatakan bahwa bahasa, ketika
kita berinteraksi dengan orang lain akan menunjukkan berbagai macam identitas, seperti
idententitas fisik (physicalidentity), identitas psikologis (psychologicalidentity), identitas
3 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
geografis (geographicalidentity), identitas etnis dan nasional (ethnicandnationalidentity),
identitas sosial (socialidentity), identitas kontekstual (contectualidentity), serta identitas
stilistik dan sastra (stylisticidentityandliterature). Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini,
Azwardi (2015) mengekukakan bahwa sikap positif terhadap bahasa tecermin dari
kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Berdasarkan pendapat tersebut,
khususnya identitas sosial dan identitas etnis, terlihat sangat kental pada para eks kombatan dan
korban konflik terkait penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Sejak terwujudnya perundingan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM
pada 15 Agustus 2005 atau yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU)
Helsinki telah memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat Aceh. Sebagaimana
yang termaktub dalam Qanun Pemerintah Aceh, MoU Helsinki adalah Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia. Setelah adanya MoU tersebut, proses reintegrasi pun sangat gencar
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proses tersebut, antara lain, dengan membentuk
lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dari keenam fungsi BRA yang telah dirumuskan, salah
satunya terdapat poin pemulihan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial dan budaya
para eks kombatan dan korban konflik.
Pemulihan hak sipil berkaitan dengan sosial dan budaya dapat dijabarkan secara lebih
luas, antara lain, melalui pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. Akan tetapi, berkaitan
dengan pembinaan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di Aceh, sejak tercetusnya
proses perdamaian cenderung kurang mendapat prioritas dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Pusat. Fokus reintegrasi yang selama ini gencar dilakukan lebih kepada hal-hal yang bersifat
fisik, atau dengan perkataan lain, mengutamakan proses rekontruksi, sedangkan pembinaan
bahasa Aceh dan bahasa Indonesia dipercayakan sepenuhnya kepada pihak-pihak perguruan
tinggi atau dinas pendidikan. Kenyataannya, ketersediaan buku-buku pelajaran muatan lokal
bahasa Aceh dan kurikulum bahasa Indonesia yang representatif sangatlah minim. Selain itu,
muatan buku-buku bacaan yang dibagikan kepada siswa tidak mewakili kearifan lokal
masyarakat Aceh.
Berkaitan dengan hal tersebut, diasumsikan bahwa ada kemungkinan masyarakat Aceh,
khususnya para eks kombatan dan korban konflik, memiliki sikap negatif terhadap bahasa
Indonesia yang disebabkan oleh trauma yang mereka hadapi sebelumnya. Hal ini tentulah bukan
alasan yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut dan secara ilmiah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, ada diasumsikan juga bahwa para eks kombatan dan korban
4 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
konflik memiliki sikap positif yang lebih terhadap bahasa Aceh atau bahasa Melayu
dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, hal ini juga tidak dapat dibuktikan
kebenarannya karena belum pernah dilakukan penelitian terkait. Oleh karena itu, melalui
penelitian yang berjudul “Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU
Helsinki” ini akan diungkapkan secara komprehensif. Hal ini urgen untuk membuktikan bahwa
sikap negatif berbahasa Indonesia bukanlah yang disengaja, dan reintegrasi yang selama ini
digalakkan belum menyentuh bidang pembinaan bahasa Indonesia atau bahasa Aceh.
Komunitas Bahasa
Komunitas bahasa (speechcommunity) adalah suatu konsep yang pernah dibahas oleh Hudson
(1980), Troike (1982), dan Braitwaite (1984). Pengertian mengenai komunitas bahasa pun sangat
beragam dan menurut hemat penulis, pengertian komunitas bahasa yang relevan mengenai
melihat peristiwa tutur di Indonesia adalah pendapat yang dikemukakan oleh Blomfield.
Blomfield (dalam Ohoiwutun, 2007:37) mengatakan bahwa komunitas bahasa dibentuk oleh
mereka (kumpulan orang yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa
(lungisticrule) yang sama). Dari pernyataan Blomfield tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu
itu dapat dikatakan sebagai komunitas bahasa apabila perkataan (kata, frasa, dan kalimat) sudah
disepakati dan dipahami maksudnya oleh semua kalangan para penutur di suatu komunitas
tersebut (konvensional). Hal ini sama halnya dengan bahasa prokem yang berkembang di Jakarta
pada 1970. Bahasa tersebut digunakan oleh para preman dan pencopet di Jakarta. Bahasa
tersebut umumnya tidak dimengerti oleh masyarakat umum dan bahasa prokem tersebut hanya
dimengerti oleh sesama para komunitas yang berprofesi sama dengannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:924) dinyatakan bahwa masyarakat bahasa
memiliki pengertian kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama, yang merasa
termasuk dalam kelompok itu, atau yangg berpegang pada bahasa standar yang sama.
Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri
atas seluruh bahasa, tergantung pada tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumper, dalam
Depdiknas, 1995:162). Selain itu, keseluruhan dialek atau varianya yang digunakan secara
teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat. Keunggulan konsep
repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan peneliti menghubungkan antara struktur
sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat di bawah suatu kerangka relasi yang sama. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa merupakan keseluruhan penutur yang
5 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diassitem tertentu dalam perbedaan dialektal dan
sosiolektal.
Sesuai dengan yang telah dikemukakan di atas, Provinsi Aceh yang terdiri atas berbagai
etnik dan suku telah membentuk komunitas bahasa yang beragam. Pasca-MoU Helsinki 2015,
dengan kondisi kamtibmas yang semakin kondusif, Pronvinsi Aceh kian banyak dikunjungi oleh
pelancong atau para pencari kerja sehinga komunitas bahasa di Aceh kian beragam. Penelitian
ini akan mengungkapkan dan mengkaji bagaimana sikap para kombatan dan korban konflik
terhadap menggunaan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam
upaya mengatasi masalah-masalah berkenaan dengan sikap bahasa. Hal ini sesuai dengan dengan
pernyataan yang dikemukan Hasan (2001:153) berikut:
(1) pemakai bahasa mungkin merupakan dua atau lebih kode yang dipergunakan dalam
komunikasi multilingual. Dalam hal ini orang-orang memindahkan kode-kode mereka dalam
suatu pola tertentu untuk menunjukkan identitas mereka atau menyatakan kemarahan;
(2) para penutur bahasa Indonesia memindahkan kode-kode sehingga komunikan sering tidak
dapat berkomunikasi seefektif mungkin.
Nasionalisme dan Psikologis Penutur Bahasa
Sikap berbahasa Indonesia berhubungan dengan nasionalisme berbahasa. Penutur yang bersikap
positif terhadap bahasa Indonesia secara otomatis nasionalisme terhadap negara Republik
Indonesia sangatlah tinggi. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fishman (dalam Sumarsono,
2002:168) peranan bahasa dalam nasionalisme itu sangat gamblang. Bahasa akan menjadi
masalah bagi nasionalisme dua bidang, yakni bidang administrasi pemerintahan dan pendidikan.
Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam
regional atau raga sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional mengikat para
penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang
harus dipergunakan secara sadar pula. Nasionalisme berbading terbalik dengan etnisitas.
Menurut Sumarsono (2002:168) bagi nasionalitas, kuatnya kelompok itu mempertahankan dan
menuntut penggunaan bahasa kelompok itu, dan bagi etnisitas, kuatnya kelompok itu
dipersiapkan untuk menolak dan melepaskannya.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, sikap bahasa merupakan
representasi pengalaman yang melekat pada seorang penutur, kemudian diimplementasikan
dengan bahasa. Dengan perkataan lain, sikap bahasa relevan dengan psikologi penutur bahasa.
Khususnya di Provinsi Aceh, masyarakat Aceh mampu menguasai dua bahasa sekurang-
6 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
kurangnya bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Seorang dwibahasawan tentu menghadapi tiga
situasi psikologis ketika berbicara dengan orang lain, yakni (1) kebutuhan pribadi, (2) situasi saat
pembicaraan (immediatesituation), dan (3) situasi yang melatarbelakangi pembicaraan
(backgroundsituation) (Herman, dalam Sumarsono, 2002:2010).
Lebih lanjut, Sumarsono juga mengemukakan bahwa ada beberapa variasi pilihan yang
mungkin terjadi jika seorang penutur berinteraksi dengan orang dari luar kelompoknya. Pertama,
perilaku yang paling bersifat konvergensi adalah memakai bahasa lawan bicara dan berusaha
keras menampilkan ujaran yang serupa betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana interkulor.
Kedua, perilaku yang kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa si interlokutor
tetapi aksenya mungkin lebih berat. Ketiga, penutur memakai bahasanya tetapi dengan tempo
yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin kurang memahami bahasa yang
dipakai. Keempat, penutur memakai bahasanya dengan kecepatan normal, membiarkan lawan
bicara memahami ujarannya sebisa mungkin. Terkait dengan hal ini, Alkaidar (1999) (dalam
Hutagalung, dkk 2013:9) juga mengekukakan bahwa pasca-MoU Helsinki keadaan sosial
masyarakat sama seperti keadaan setelah perang pada 1873-1913 yang mendapat banyak "luka"
pada fisik yang berkesan dalam jiwa. Kemudian, Reid (2008) juga menggambarkan bahwa
situasi tersebut sebagai kehancuran jiwa dan mental. Selanjutnya, hasil penelitian Hutagalung,
dkk. (2013) juga membuktikan bahwa konflik bersenjata dan bencana tsunami telah memberikan
trauma bagi remaja meskipun masih pada kategorikan sedang.
Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa
tertentu, mengenai objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk
beraksi dengan cara tertentu dengan yang disenanginya. Menurut Anderson (dalam Sumarsono,
2001:363) sikap dibagi menjadi dua, yakni sikap berbahasa dan sikap nonbahasa, seperti sikap
politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Selanjutnya, sikap bahasa ini dapat dirincikan lagi menjadi
dua, yakni sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap berbahasa yang digunakan
oleh penutur dengan mempertahankan, baik struktur maupun makna sesuai dengan kaidah yang
berlaku dalam suatu bahasa tertentu tanpa mencampurkannya dengan bahasa lain. Sikap negatif
berbahasa adalah sikap berbahasa yang diterapkan oleh penutur yang bertolak belakang dengan
sikap positif berbahasa atau dengan kata lain mencampuradukkan penggunaan bahasa tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Hasan (2001) mengemukakan bahwa sikap dan kepercayaan
terhadap bahasa merupakan hal yang menentukan bagi tingkah laku linguistik, dan hal tersebut
7 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
harus dipelajari secara intensif dan komprehensif. Dalam hal ini, para sosiolinguis, antropolog,
harus menganalisis tidak hanya situasi linguistik dan tingkah lakunya, tetapi juga nilai yang
diberikan masyarakat kepada bahasa-bahasa. Sikap penutur terhadap bahasa berkembang mula-
mula di lingkungan keluarga dan masyarakat dan kemudian barulah melebar di tingkat sekolah
hingga memunculkan kepribadiannya.
Sikap bahasa erat kaitannya dengan tipologi bahasa (languangetypology). Hassan
(2001:92) merincikan tipologi bahasa menjadi empat, yaitu (1) berdasarkan daerah, geografis
tanpa memperhatikan strukturnya, (2) berdasarkan struktural, ciri-ciri struktur bahasa, yaitu
secara fonologis, morfologi, dan sintaksis, (3) berdasarkan geneologi, keturunan, silsilah bahasa,
dan (4) berdasarkan fungsional, fungsinya dalam masyarakat. Sebagai alat perhubungan
antarwarga dan sebagai sarana penerus ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Indonesia telah
memenuhi tuntutan kehidupan suatu masyarakat yang modern.
Sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality) merupakan
sikap bahasa masyarakat yang positif dalam mempertahankan kemandirian bahasanya, bahkan
bila perlu mencegah masuknya pengaruh bahasa asing. Selanjutnya, sikap yang berkaitan dengan
kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride) merupakan sikap bahasa masyarakat
yang positif dalam mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai
lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus sebagai pembeda dari orang atau
kelompok lain. Kemudian, sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa
(awareness of the norm) merupakan sikap bahasa masyarakat yang positif dalam kesadaran
menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah yang berlaku, seperti benar, logis, sistematis, cermat,
dan santun. Kesadaran tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam
wujud pemakaian bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran
bahasa merupakan ciri-ciri positif yang dapat diamati dari pengguna terhadap suatu bahasa.
Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
Kebanggaan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa para eks kombatan dan
korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori positif. Walaupun terdapat
perbedaan nilai pada pernyataan-pernyataan tentang kebanggaan berbahasa, secara umum
responden suka dan bangga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh dalam komunikasi
sehari-hari. Begitu pula jawaban responden terhadap pernyataan belajar bahasa Indonesia
merupakan salah satu wujud mempertahankan identitas nasional, umumnya responden
8 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
mengatakan sangat setuju. Di sisi lain, adanya keberagaman pendapat pada pernyataan-
pernyataan dalam instrumen menggambarkan bahwa kebanggaan berbahasa pada setiap
responden berbeda-beda. Begitu juga halnya jika dilihat dari kebanggaan terhadap bahasa
Indonesia dapat menunjukkan identitas pribadi dan saya bangga melihat anak-anak saya
berkomunikasi sehari-hari, baik formal maupun nonformal dengan menggunakan bahasa
Indonesia, sebagian responden menyatakan setuju dan tidak setuju.
Uraian di atas menggambarkan bahwa sikap bahasa terdiri atas tiga aspek, yaitu
komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga komponen sikap ini saling berhubungan satu
sama lain. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di tengah masyarakat seringkali
pengalaman “menyenangkan“ atau “tidak menyenangkan” yang didapat oleh seseorang
menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Jika ketiga komponen ini sejalan satu
sama lainnya, sebuah perilaku dapat menunjukkan sikap seseorang terhadap suatu keadaan. Akan
tetapi sebaliknya, jika komponen-komponen tersebut tidak sejalan, perilaku tidak dapat
digunakan untuk mengetahui sikap. Perilaku memang belum tentu menunjukkan sikap
seseorang. Oleh sebab itu, meskipun ada perbedaan pada hasil instrumen, hasil secara
keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok sikap berbahasa Indonesia para eks kombatan dan
korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh secara umum memberikan respon positif terhadap
aspek kebanggaan berbahasa, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maupun
bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan di Aceh.
Kesetiaan Bahasa
Pada aspek kesetiaan berbahasa peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang berhubungan
dengan sikap untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari pengaruh asing. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesetiaan berbahasa Indonesia dan Aceh para eks kombatan dan
korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh cenderung tinggi pada beberapa item. Misalnya, (1)
bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam situasi resmi, (2) belajar bahasa Indonesia
penting karena dapat membuat saya bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pekerjaan, (3)
anak sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia perkembangannya lebih baik daripada anak
yang menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi, pada beberapa pernyataan yang lain cenderung
terdapat perbedaan pendapat yang diberikan oleh responden, misalnya saya lebih senang
menggunakan bahasa Indonesia dalam membicarakan masalah umum, selanjutnya pernyataan
belajar bahasa Indonesia penting karena dapat memahami berita-berita atau berbagai
informasi penting di media massa dengan baik. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan
9 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
bahwa kesetiaan berbahasa para eks kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh
cenderung positif. Hal ini dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur.
Di samping itu, kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap patuh yang
menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal dari bahasa Indonesia,
misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang sudah lebih dahulu ada bukan
serapan yang berasal dari bahasa asing. Pernyataan ini tidaklah berlebihan karena sesuai dengan
data yang diperoleh dari informan, yaitu para ekskombatan dan korban konflik pasca-MoU
Helsinki di Aceh.
Kesadaran Bahasa
Kesadaran adanya norma mendorong seseorang menggunakan bahasa secara tepat dan cermat
sesuai dengan kaidah bahasa. Kesadaran yang demikian merupakan faktor yang sangat
menentukan prilaku pemakaian bahasa. Pada aspek ini kesadaran adanya norma bahasa,
penerapan kaidah, kecenderungan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, serta
pengembangan dan pembinaan bahasa merupakan aspek penting yang terdapat dalam item
kesadaran berbahasa. Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa kesadaran para eks
kombatan dan korban konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh termasuk pada kategori sedang.
Simpulan ini didasari pada hasil keseluruhan pernyataan-pernyataan yang direspon oleh para
informan. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat dalam memberikan pernyataan, kesadaran
para eks kombatan cenderung positif. Hal ini menggambarkan bahwa kesadaran adanya norma
mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat dan sesuai dengan kaidah.
Penutup
Berdasarkan hasil pengolahan data terkait dengan substansi sikap bahasa, yaitu sikap terhadap
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sikap terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa
daerah, temuan penelitian ini dapat disimpulkan atas 3 kategori, yaitu (1) sikap yang berkaitan
dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan
kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan
kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm). Ketiga sikap tersebut cenderung positif
dimiliki oleh para eks kombatan dan korban konflik Aceh pasca-MoU Helsinki.
Berdasarkan simpulan di atas, temuan penelitian ini hendaknya ditindaklanjuti pada tahun
kedua untuk memantapkan sikap positif yang telah terlihat pada para eks kombatan dan korban
10 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
konflik pasca-MoU Helsinki di Aceh demi meningkatkan rasa nasionalisme mereka. Kemudian,
perlu dilakukan pembinaan secara komprehensif dan terus menurus. Terkait dengan hal ini juga,
pihak Balai Bahasa Aceh dengan didukung oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hendaknya memprogramkan
kegiatan-kegiatan pembinaan bahasa seacara khusus kepada mereka dan menyediakan referensi-
referensi yang memadai melalui Gerakan Literasi Nasional, khusus berkaitan dengan
pemantapan kesadaran menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Hasil penelitian tahun pertama (2017) menunjukkan bahwa para eks kombatan dan
korban konflik Aceh pasca-MoU Helsingki, baik terhadap bahasa Indonesia sebagai nasional
maupun bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan digunakan masyarakat
Aceh cenderung positif. Secara umum mereka bangga, setia menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Aceh meskipun kedaran akan norma bahasa cenderung negatif. Berdasarkan temuan
penelitian tahun pertama, pada tahun kedua (2018) akan dilakukan pembinaan secara khusus
kepada mereka dan masyarakat sekitar mereka dalam wilayah objek penelitian demi
memantapkan sikap positif mereka terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa
Aceh. Pembinaan akan difasilitasi oleh tim peneliti dan informan-informan yang sikap
bahasanya sudah sangat positif. Informan-informan yang memiliki sikap bahasa yang relatif
sangat itu umumnya telah memiliki rasa nasionalisme yang baik terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Mereka tersebar di setiap wilayah penelitian. Selain itu, pada tahun
kedua, selain menghasilkan publikasi ilmiah, juga akan dilakukan kegiatan penulisan buku
terkait dengan pemertahanan bahasa Indonesia dan pemartabatan bahasa Aceh sehingga
masyarakat luas memahami akan kebanggan, kesetiaan, dan kesadaran akan bahasanya, baik
bahasa Indonesia maupun bahasa Aceh.
11 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
DAFTAR PUSTAKA
Adwani, 2012. “Perlindungan terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut
Hukum Humaniter Internasional”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume 12 (1): 97-107.
Azwardi. 2015. “TOEFL vs UKBI”. Dalam SKH Serambi Indonesia, Edisi Kamis, 16 April
2015.
Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Media Group.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Crystal. 1987. The Cambridge of Encyclopedia of Languange. Cambridge: Cambridge
University Press.
Depdiknas. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Edwards, Alen L. 1957. Technique of Attitude Scale Construction. Newyork: Apleton Century
Crofts.
Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan Paul.
12 | Sikap Bahasa Para Kombatan dan Korban Konflik Pasca-MoU Helsinki
Fuad, Zaki Al. 2014. “Sikap Bahasa Siswa Sekolah Dasar terhadap Bahasa Daerah dan Bahasa
Indonesia”. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.
Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language and
Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed.) Reading in Tes Sosiology of Language, Mounton.
Paris: The Hague.
Hasan, Kailani. 2001. Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Riau: Unsri Press.
Hutagalung, dkk. 2013. “Trauma Remaja Korban Konflik Bersenjata dan Tsunami di Aceh”.
Jurnal Psikologia. Volume 8 (1): 1-11.
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan
Kebudayaan. Jakarta: KesainBlanc.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kemeterian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict.
Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Savile, Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Balckwell.
Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Atitama.
Subhayni. 2006. “Sikap Mahasiswa yang Berbahasa Ibu Nonbahasa Aceh terhadap Mata Kuliah
Bahasa Aceh pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Laporan
Penelitian FKIP Unsyiah.
Sulistyaningtyas, Tri. 2008. “Pemantapan Ketahanan Nasional NKRI melalui Pendekatan
Kebahasaan Studi Kasus: Masyarakat Perbatasan di Batam”. Jurnal Sosioteknologi,
Volume 7 (1): 334-343.
Sumarsono dan Paina Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset.
Yusuf, dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah Dasar yang
Berbahasa Ibu Bahasa Aceh: Mendengarkan dan Berbicara. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.