SETRATEGI PEMBELAJARAN TEMATIK

38
SETRATEGI PEMBELAJARAN TEMATIK Posted by Kang Gito Blog on 05.49 in pendidikan | 0 komentar BAB I PENDAHULUAN Istilah Tematik tentunya sudah tidak asing bagi kita semua terutama dikalangan pendidik sekolah dasar. Namun, tidak banyak dari para pendidik kita yang mengerti dan paham akan istilah tersebut walaupun sudah lama dilontarkan.Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu latar belakang pendidikan pendidik yang bervariasi, lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya di satuan pendidikan masing-masing pendidik.Untuk mengatasi hal ini perlu adanya sistem pembelajaran yang sisitematis terutama penyusunan strategi pembelajaran tematik. Pembelajaran adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa atau anak didik, agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Tematik adalah suatu sistem penerapan dengan menggabungkan beberapa tema dari beberapa pelajaran tertentu sehingga menjadi pembelajaran yang padu, efektif, menyenangkan dan dapat berkesan bagi siswa sehingga pelajaran mampu bertahan lama didalam otak anak. Strategi merupakan suatu pola umum kegiatan Guru-Murid di dalam perwujudan proses belajar mengajar. Karena dengan strategi, Guru mempunyai pedoman berkenaan dengan berbagai alternatif pilihan yang mungkin, dapat, atau ditempuh supaya kegiatan belajar-mengajar dapat berlangsung secara teratur, sisitematis, terarah, lancar dan efektif. (Mansyur : 1995). Dengan kata lain, Strategi Pembelajaran adalah pemikiran dan pengupayaan secara strategi dalam memilih, menyusun, memobilasi dan mensinergikan segala cara, sarana/prasarana, dan sumber daya untuk mencapai tujuan (Soli Abimanyu : 2003). Strategi Pembelajaran Tematik adalah suatu upaya pemikiran yang disusun berdasarkan tema-tema dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran tertentu dengan sistematis, dan dengan metode – metode tertentu supaya dalam penyampaian Kegiatan Belajar Mengajar dapat menarik / menyenangkan bagi siswa. Sehingga, siswa dapat menerima / menyerap pembelajaran tersebut tanpa mengalami tekanan / beban pikir.

description

a

Transcript of SETRATEGI PEMBELAJARAN TEMATIK

SETRATEGI PEMBELAJARAN TEMATIK

Posted by Kang Gito Blog on 05.49 in pendidikan | 0 komentar

BAB IPENDAHULUAN

Istilah Tematik tentunya sudah tidak asing bagi kita semua terutama dikalangan pendidik sekolah dasar. Namun, tidak banyak dari para pendidik kita yang mengerti dan paham akan istilah tersebut walaupun sudah lama dilontarkan.Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu latar belakang pendidikan pendidik yang bervariasi, lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya di satuan pendidikan masing-masing pendidik.Untuk mengatasi hal ini perlu adanya sistem pembelajaran yang sisitematis terutama penyusunan strategi pembelajaran tematik. Pembelajaran adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa atau anak didik, agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Tematik adalah suatu sistem penerapan dengan menggabungkan beberapa tema dari beberapa pelajaran tertentu sehingga menjadi pembelajaran yang padu, efektif, menyenangkan dan dapat berkesan bagi siswa sehingga pelajaran mampu bertahan lama didalam otak anak.

Strategi merupakan suatu pola umum kegiatan Guru-Murid di dalam perwujudan proses belajar mengajar. Karena dengan strategi, Guru mempunyai pedoman berkenaan dengan berbagai alternatif pilihan yang mungkin, dapat, atau ditempuh supaya kegiatan belajar-mengajar dapat berlangsung secara teratur, sisitematis, terarah, lancar dan efektif. (Mansyur : 1995). Dengan kata lain, Strategi Pembelajaran adalah pemikiran dan pengupayaan secara strategi dalam memilih, menyusun, memobilasi dan mensinergikan segala cara, sarana/prasarana, dan sumber daya untuk mencapai tujuan (Soli Abimanyu : 2003).

Strategi Pembelajaran Tematik adalah suatu upaya pemikiran yang disusun berdasarkan tema-tema dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran tertentu dengan sistematis, dan dengan metode – metode tertentu supaya dalam penyampaian Kegiatan Belajar Mengajar dapat menarik / menyenangkan bagi siswa. Sehingga, siswa dapat menerima / menyerap pembelajaran tersebut tanpa mengalami tekanan / beban pikir.

Dengan demikian, dalam penyusunan bahan pengajaran tematik diperlukan suatu strategi dan metode yang tepat, sehinga  tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal.

BAB IIPEMBAHASAN

A.      Pengertian Pembelajaran TematikPembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan

beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum dan aspek belajar mengajar. Pembelajar tematik hanya diajarkan pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas 1, kelas 2 dan kelas 3), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial. dan emosional.

B.       Strategi Pembelajaran Tematis1.         Bersahabat, menyenangkan, dan bermakna bagi anak.2.         Dalam menanamkan konsep atau pengetahuan dan keterampilan anak tidak harus di-drill,

tetapi ia belajar melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu, dan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak.

C.      Ciri-ciri Pembelajaran TematisSebagai suatu model pembelajaran di sekolah dasar, pembelajaran tematik

memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:1.       Berpusat pada siswa

Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.

2.       Memberikan pengalaman langsungPembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct

experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkrit) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak.

3.      Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelasDalam pembelajaran tematik pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu

jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.

4.      Menyajikan konsep dari berbagai matapelajaranPembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran

dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, Siswa mampu memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

5.      Bersifat fleksibelPembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) dimana guru dapat mengaitkan

bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.

6.      Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswaSiswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai

dengan minat dan kebutuhannya.7.      Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan

Siswa diberikan kesempatan bermain untuk menerjemahkan pengalaman kedalam pengertian..

D.      Kekuatan Pembelajaran Tematis1.         Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan

kebutuhan anak.2.         Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak.3.         Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan bermakna.4.         Mengembangkan keterampilan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi,

dan5.         Menumbuhkan keterampilan sosial, bekerja sama, toleransi, komunikasi dan tanggap

terhadap gagasan orang lain.

E.       Peran Tema1.         Siswa mudah memusatkan perhatian satu tema atau topik tertentu.

2.         Siswa dapat mempelajari pengetahuan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama.

3.         Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan.4.         Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran

lain dan pengalaman pribadi.5.         Anak lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan konteks tema

yang jelas.6.         Anak lebih bergairah belajar karena mereka bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata,

misalnya bertanya, bernyanyi, bercerita, menulis, deskripsi, menulis surat, dan sebagainya untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, sekaligus untuk mempelajari mata pelajaran lain.

7.         Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam 2 atau 3 kali pertemuan. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.

F.       Langkah-langkah Penyusunan Strategi Pembelajaran Tematik1.         Mempelajari Kurikulum2.         Memahami Silabus3.         Menentukan SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal)4.         Membuat jaring-jaring tema5.         Menggabungkan  materi pelajaran dari beberapa mata pelajaran yang berkaitan.6.         Membuat ringkasan materi dengan menggunakan kata-kata yang pendek dan mudah

dipahami anak serta memilih buku pedoman sebagai sumber belajar yang sesuai / relevan.7.         Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sekaligus menentukan

metode/tehnik,serta sarana dan alat peraga pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga dapat berkesan bagi siswa

BAB IIIPENUTUP

1.        KesimpulanStrategi Pembelajaran Tematik adalah suatu upaya pemikiran yang disusun

berdasarkan tema-tema dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran tertentu dengan sistematis, dan dengan metode – metode tertentu supaya dalam penyampaian Kegiatan Belajar Mengajar dapat menarik / menyenangkan bagi siswa. Sehingga, siswa dapat

menerima / menyerap pembelajaran tersebut tanpa mengalami tekanan / beban pikir. Atau dengan kata lain bahwa strategi pembelajaran tematik itu harus memiliki beberapa aspek yaitu :1. Bersahabat, menyenangkan, dan bermakna bagi anak.2. Dalam menanamkan konsep atau pengetahuan dan keterampilan anak tidak harus di-

drill, tetapi ia belajar melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu, dan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak.Ciri-ciri Pembelajaran Tematis :

1.         Berpusat pada anak.2.         Memberikan pengalaman langsung pada anak.3.         Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas.

4.         Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses.5.         Bersifat fleksibel.

6.         Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat, dan kebutuhan anak.7.         Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.

Kekuatan Pembelajaran Tematis :1.         Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan

kebutuhan anak.2.         Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak.

3.         Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan bermakna.4.         Mengembangkan keterampilan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi,

dan5.         Menumbuhkan keterampilan sosial, bekerja sama, toleransi, komunikasi dan tanggap

terhadap gagasan orang lain.2.  Saran

Sebagai seorang guru sebaiknya kita dapat merencanakan berbagai program pembelajaran, seperti program pembelajaran individual didalam kelas, hal ini bertujuan agar setiap anak dapat belajar sendiri-sendiri dalam jangka waktu tertentu. Namun, kita juga dapat merencanakan pengalaman belajar dengan kelas yang berkompetisi sehingga peserta didik (siswa) dapat membentuk diri seolah-olah sedang berlomba mengendarai mobil, yang akhirnya menjadi pemenang. Atau kita juga dapat merencanakan program pembelajaran kerja sama (kooperatif) yang mengharapkan siswa dapat bekerja sama dimana keberhasilannya tergantung pada anggota tim.

Jadi sebagai seorang guru, dalam menerapkan dan merancang model-model pembelajaran yang akan digunakan. Dalam pelaksanaannya sebaiknya kita terlebih dahulu memahami karakteristik dalam setiap model-model pembelajaran. Sehingga kita dapat mengetahui pembelajaran yang cocok untuk digunakan oleh peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Kurikulum 2013Posted Fri, 03/08/2013 - 11:20 by sidiknas

 

Oleh Mohammad Nuh

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Artikel ini Sudah Dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013

Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.  Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya. Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai.  Perencanaan Pembelajaran Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.

Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan. Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana. Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran.  Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji,  menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif  dan kreatif, dalam ranah konkret dan  abstrak, sesuai dengan yang  ditugaskan kepadanya.”Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya. Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata

pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berfikir.  Kompetensi Inti Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan. Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas. Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.  Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.  Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3). Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini  sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

 Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,  22/2) Kedudukan Bahasa Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berfikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik. Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan. Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan. Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari

yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik. (***)

Tentang Kurikulum 2013Rupanya beberapa hari ini tampang saya muncul di sebuah advertensi di televisi.

Sampai detik ini saya sendiri belum tertarik melihatnya. Tapi saya senang sesekali

mengerjakan sebuah iklan layanan masyarakat. Khususnya untuk mempromosikan

“Kurikulum 2013″.

Banyak yang bertanya mengapa saya bersedia jadi “bintang iklan” untuk sesuatu yang

kontroversial. Tidakkah saya hanya dimaanfatkan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan untuk agenda mereka?

Jawab saya tak bisa panjang: saya bersedia mempromosikan Kurikulum 2013 karena

saya menyetujui pemikiran yang mendasarinya. Kementerian tak akan bisa membayar

saya sebanyak apapun kalau saya tak menyetujuinya.

Kontroversi yang timbul — termasuk bila itu timbul karena iklan-iklan itu — justru

penting, untuk memperjelas apa yang tak jelas, untuk membatalkan apa yang perlu

dibatalkan, atau memperbaiki apa yang perlu diperbaiki.

Saya sendiri bukannya tak punya kritik kepada beberapa bagian dari bangunan yang

disebut “Kurikulum 2013″ itu.

***

Saya bukan seorang pedagog. Bukan pula guru. Pengalaman saya mengajar terbatas.

Sambil menulis ini saya ingat kata-kata seorang menteri pendidikan: “Tiap orang adalah

pendidik — dan makin tua ia makin merasa tahu tentang masalah-masalah pendidikan,

meskipun sebenarnya tidak.”

Saya harus tahu diri. Tapi setidaknya saya seorang warganegara yang ingin anak-anak

Indonesia terdidik dengan baik. Data tentang ketinggalan murid-murid Indonesia di

pelbagai bidang dibandingkan dengan negara sekitar kita sering dikemukakan. Saya

ingin ada perubahan yang substansial dalam cara belajar di sekolah kita. Kalau tidak,

bangsa kita akan macet di masa depan.

Dengan sumber-sumber yang ada, perbaikan bukan mustahil. Saya ingat Pak Tino Sidin

yang beberapa puluh tahun yang lalu muncul di TVRI mengajar anak-anak

menggambar. Nama programnya bukan “Belajar Menggambar”, melainkan “Gemar

Menggambar”.

Bagi saya Pak Tino sebuah inspirasi: begitulah seharusnya proses belajar berlangsung.

Yang penting bukan menghasilkan gambar dengan teknis yang jitu, melainkan

menggemari ketrampilan itu.

Dengan itulah proses belajar membentuk sikap. Belajar bukan hanya untuk mengetahui

dan menambah informasi. Belajar adalah menjelajah dunia yang selalu baru dan

mengasyikkan.

Dari sana tumbuh sikap yang selalu ingin tahu, kecenderungan menemukan dan

mencipta, kebiasaan berpikir jernih dan teratur, kemampuan bertukar gagasan dengan

orang lain.

Pendek kata: sebuah perubahan dari “pintar” menjadi “gemar”. Dari “gemar” bisa

tumbuh pelbagai hal, termasuk menjadi “pintar”. Saya ingat dulu di sekolah menengah

guru saya membuat saya menyukai geometri dengan mengatakan: “Kalian di kelas ini

bukan untuk jadi insiyur, tapi untuk terbiasa berpikir keras dan logis.” Setelah saya

belajar lebih lanjut, saya menemukan kata-kata bagus dari Alfred North Whitehead:

“The pursuit of mathematics is a divine madness of the human spirit.”

Selama bertahun-tahun, hanya kadang-kadang, secara kebetulan, saya menemukan

guru yang bisa membuat anak-anak terpesona menempuh “pursuit” itu, yang bisa

menunjukkan peran imajinasi, bahkan dalam axioma matematika, misalnya dalam teori

himpunan.

Selebihnya sekolah-sekolah adalah tempat yang tak membiarkan imajinasi. Nyaris

represif.

Saya pernah melihat bagaimana anak-anak diminta mengingat berapa sentimeter tinggi

net tennis — bukan diajak menikmati permainannya, setidaknya sebagai penonton. Atau

mereka, dalam pelajaran atletik, dilecut untuk bisa lari dalam kecepatan tertentu —

bukan untuk merasakan asyiknya kesegaran jasmani.

Saya juga pernah melihat bagaimana buku-buku pelajaran sastra menyebut nama

pengarang dan judul bukunya, tanpa anak-anak diberi kenikmatan membaca karya

sastra. Baru-baru ini saya menemukan satu pelajaran mengarang yang membagi-bagi

satu komposisi dalam, misalnya, “deskripsi”, “eksplanasi”, “resolusi” — sementara saya

tahu, sebagai pengarang, bahwa itu pembagian yang tak ada gunanya. Bagi saya,

pedoman itu membuat anak-anak tak punya spontanitas dalam menulis, dan tanpa

spontanitas, bagaimana kreatifitas tumbuh?

***

Syahdan, karena alasan yang kurang jelas, beberapa bulan yang lalu saya diminta jadi

salah seorang “narasumber” bagi penyempurnaan Kurikulum 2013. Saya merasa lega

bahwa di samping saya ada Anis Baswedan, Taufik Abdullah, Frnas Magnis Suseno,

Yohannes Surya, Juwono Surdarsono, Ahmad Muchlish, Suparno, Ratna Megawangi.

Mereka, saya tahu, punya lebih banyak bekal dalam soal ilmu dan pendidikan.

Seraya tak meyakini kapasitas saya sendiri, saya ikuti diskusi tim perumus kurikulum

dengan sikap skeptis. Waktu itu saya baru dua kali bertemu (tak lebih dari 10 menit)

Muh. Nuh, Menteri Pendidikan & Kebudayaan. Saya tak kenal kemampuan dan

tekadnya. Saya sering kecewa dengan menteri-menteri pendahulunya. Dari semua

menteri pendidikan yang saya kenal, hanya Daoed Joesoef yang punya konsep jelas, dan

berani mempertahankannya di tengah permusuhan, manipulasi penguasa Orde Baru,

dan oposisi di luar itu.

Saya juga cenderung ragu untuk bisa berharap dari para birokrat yang umumnya tak

ingin mengguncang perahu apapun untuk perubahan.

Tapi berangsur-angsur, saya menemukan beberapa hal yang membuat pandangan saya

berubah.

Pertama, perdebatan dalam pertemuan-pertemuan itu cukup terbuka, terus terang, tak

jarang sengit — dan pihak kementerian tetap terbuka untuk dikritik. Pelbagai

perumusan tentang Kurikulum 2013 berkembang terus karena pendapat positif dan

negatif yang diterima.

Kedua, saya merasa bahwa proses perumusan itu banyak menimbulkan salah paham —

dan mendorong saya untuk lebih seksama menyimak.

Di hari-hari awal saya menjadi “narasumber”, pada suatu pagi saya menerima sebuah

sandek dari seorang teman. Ia mendapat informasi bahwa dalam Kurikulum 2013

bahasa Inggris tak akan diajarkan — bahkan ada pejabat yang menyebutnya “haram”.

Ini mengagetkan, karena saya tahu Tim Perumus tak mengharamkan bahasa Inggris.

Yang ditentukan: ia bukan mata pelajaran wajib.

Lebih masuk akal adalah rasa cemas orang di luar akan hilangnya mata pelajaran ilmu

pengetahuan alam. Sebuah koran luar negeri bahkan menilai kurikulum yang sedang

disiapkan itu akan membawa Indonesia ke Abad Gelap: pelajaran agama ditambah

jamnya, sementara pelajaran sains ditiadakan.

Memang sebuah kesalahan jika pelajaran agama diintensifkan — terutama bila

ajarannya doktriner — karena mengira generasi muda akan lebih berakhlak dengan

cara itu. Hari-hari ini terbukti bahwa tak ada korelasi yang konsisten antara

pengetahuan agama seseorang dan akhlaknya.

Tapi memang akhirnya tergantung bagaimana agama diajarkan. Saya cemas jika

kompetensi seorang siswa dalam beragama (dan berbudi pekerti) diukur dari

banyaknya juz Qur’an yang dihafalnya.

Tapi ketika saya baca dokumen terakhir dari Kementerian, saya sedikir lega.

Kompetensi dasar dalam agama Islam dirumuskan, antara lain, “Menunjukkan perilaku

jujur dalam kehidupan sehari-hari sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. At-

Taubah (9) : 119 dan Q.S. Lukman (31) : 14 serta hadits terkait” Juga: “Menunjukkan

sikap semangat melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan sebagai implementasi

dari pemahaman dan perkembangan Islam di dunia.”

Di sini saja tampak, tak ada pelecehan terhadap ilmu. Dalam perdebatan yang saya

ikuti, dapat saya simpulkan bahwa ilmu pengetahuan alam sebagai mata pelajaran

memang tak akan ada (sampai dengan kelas 4 atau, kalau tidak, sampai dengan kelas 6

SD), tapi kompetensi untuk itu tetap dikembangkan. Dalam proses itu, bahasa Indonesia

diajarkan sebagai sarana mengobservasi, bertanya, mengumpulkan informasi,

menganalisa dan mengkomunikasikan temuan tentang gejala-gejala alam — satu bagian

awal dari pendidikan sains.

Hal itu agaknya sejalan dengan kompetensi dasar umum yang jadi tujuan Kurikulum

2013. Dalam dokumen yang saya terima dirumuskan: “Mengembangkan kreativitas,

rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk critical minds

yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.”

***

Tak semua perumusan dalam Dokumen itu melegakan. Banyaknya “agama” disebut bisa

menimbulkan kesan bahwa yang disiapkan Kementerian adalah sebuah generasi yang

tak akan punya kemungkinan melahirkan seorang Stephen Hawking, ilmuwan yang

ulung yang menyimpulkan bahwa Tuhan tak diperlukan dalam penciptaan alam

semesta.

Tentu saja, bukan mustahil akan ada seorang ilmuwan atheis dari sekolah-sekolah kita.

Tak ada kementerian yang bisa mencegah kemungkinan itu. Tapi saya maklum: sebuah

kurikulum yang disiapkan Pemerintah tak akan bisa lepas dari hegemoni nilai di

masyarakat. Hari-hari ini hegemoni itu ada pada agama.

Agar hegemoni itu tak berarti ketertutupan, agama harus hadir sebagai sesuatu yang

inspiratif dan membebaskan, bukan cuma perskriptif dan mengintimidasi pemikiran.

Saya belum menganggap Kurikulum 2013 akan membawa kreatifitas, imajinasi dan

sikap kritis beku karena diintimidasi. Tapi memang beberapa perumusan dalam

Dokumen ini memberi kesan keagamaan yang berlebihan.

Kalimat-kalimat untuk kompetensi dasar Bahasa Indonesia, misalnya. Ketiga frase

awalnya dimulai dengan kata-kata “mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan

bahasa Indonesia…”. Sebuah repetisi yang tak perlu, seakan-akan para perumusnya tak

yakin akan efek kata-kata mereka sendiri.

***

Dalam ceramahnya di Komunitas Salihara bulan yang lalu, konseptor utama Kurikulum

2013, Abdullah Alkaff — seorang ilmuwan dari ITS — mengemukakan sesuatu yang

menarik: menurut penelitian paling baru, kecerdasan seseorang tak akan bisa banyak

dikembangkan. Faktor genetik menentukan. Tapi yang bisa berkembang adalah

kreativitas. Kurikulum 2013 bertujuan mengembangkanya.

Saya tak punya bantahan buat itu. Meskipun bukannya saya tak punya keraguan malah

waswas. Perubahan kurikulum perlu persiapan yang matang. Penggunaan metode

“thematik-integratif” yang akan dipakai dalam Kurikulum 2013 — meskipun sudah

banyak dipakai di sekolah-sekolah “elite” di Indonesia — perlu waktu. Konon di Inggris

dan Singapura perlu percobaan selama tiga tahun.

Belum lagi bagian persiapan yang strategis: penulisan buku untuk dipergunakan guru

dan murid. Dari informasi yang saya dapat, persiapan buku ini tidak memuaskan.

Terlalu pendek masa pengolahannya, terlalu terbatas para penulis yang mampu

menerjemahkan metode dan isi yang diajarkan.

Maka agaknya kita harus bersabar — juga dalam menyiapkan dan memberikan kritik.

Yang agak menggembirakan ialah bahwa meskipun Kurikulum 2013 akan diterapkan

tahun ini — karena tahun 2014 akan jadi tahun politik dan pertimbangan sehat bisa tak

berlaku — jumlah sekolah yang akan menerapkannya, sepanjang yang saya dengar,

cuma 6000. Setapak demi setapak ini penting, sambil memperbaiki apa saja yang masih

timpang.

Menteri Nuh seorang yang mampu dan punya komitmen untuk memperbaiki pendidikan

sekolah kita. Tapi pelajaran pahit dalam Ujian Nasional yang kacau tempo hari bisa jadi

caveat: aparat yang ada di kementerian manapun di Republik Indonesia mengharuskan

siapapun, bahkan Presiden, untuk bersiap mengatasi salah-urus di bawah dan di

sekitarnya.

Jakarta, 23 Mei 2013.

Kurikulum 2013Jumat, 8 Maret 2013 | 08:20 WIB

Baca juga

550

                       

557

                       

0

Oleh Mohammad Nuh

KOMPAS.com - Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompasmemuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.

Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.

Perencanaan pembelajaran

Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan. Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya.”

Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

Mengatakan tak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.

Kompetensi inti

Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan

kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada ”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

Uraian kompetensi dasar sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.

Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2).

Kedudukan bahasa

Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat

memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.

Memahami Kurikulum SD Berbasis Tematik Integratif

 Berita kali ini yang disampaikan oleh panduanguru.comadalah mengenai Kurikulum berbasis

tematik Integratif untuk SD. Sedianya Perubahan kurikulum tahun ajaran 2013/2014

diberlakukan pada siswa mulai dari sekolah dasar (SD) sampai ke sekolah menengah atas

(SMA), karena seperti yang kita ketahui pendekatan yang paling krusial pada ketiga jenjang

sekolah ini, terletak pada tingkat dasar.

Mohammad Nuh yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa

persiapan pendekatan kurikulum untuk tingkat dasar harus dirancang sebaik mungkin. Hal ini

dikarenakan siswa mulai mengenal dan mengamati berbagai hal pada tingkatan Sekolah Dasar

sehingga hal ini menjadi penting untuk agar tidak salah konsep.

Memahami Kurikulum SD Berbasis Tematik Integratif

“Banyak sekali terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat di dalam tim Untuk tingkat SD ini.

Namun ada satu hal yang disepakati bahwa pada jenjang sekolah dasar, pendekatan proses

belajarnya menggunakan tematik integratif,” Ujar Nuh pada saat jumpa pers di Kemdikbud,

Selasa (13/11/2012).

Dari sebelumnya sebanyak 10 mata pelajaran, Jumlah mata pelajaran untuk jenjang SD

dipadatkan menjadi enam mata pelajaran. Hal ini ihwal berkurangnya jumlah mata pelajaran ini

disebabkan agar mata pelajaran IPA dan IPS tidak lagi berdiri sendiri, namun bersatu atau

berintegrasi dengan mata pelajaran wajib lainnya. Pelajaran wajib lainnya itu seperti Bahasa

Indonesia, Agama, Matematika, PPKn, Seni Budaya, serta PenJasKes.

Sekarang ini terdapat dua pilihan atau alternatif pada penerapan kurikulum baru untuk

pendidikan dasar tersebut.

1. Mata Pelajaran IPA dan IPS tidak berdiri sendiri sebagai mata pelajaran untuk kelas I hingga

kelas VI.

2. Mata Pelajaran IPA dan IPS akan berdiri sendiri sebagai mata pelajaran saat siswa masuk

kelas IV hingga kelas VI.

Kedua usulan tersebut ditampung sedemikian rupa,namun pada dasarnya Mata Pelajaran IPA

dan IPS tidak hilang, namun  dimasukkan pada mata pelajaran yang lain. Pendekatannya saja

namanyatematik integratif.

Dengan menggunakan pendekatan tematik integratif, siswa SD akan belajar sesuai dengan

tema yang dipilih oleh gurunya secara teratur tiap minggu. Dari Tema tersebutlah maka akan

menjadi penggerak mata pelajaran yang lain.

Misalnya guru memilih tema Sungai, maka siswa dapat diajak bercerita tentang sungai dalam

bentuk tulisan, itu masuk Bahasa Indonesia. Setelah itu, diterangkan bahwa sungai tidak boleh

dicemari karena dapat  merugikan masyarakat, keterangan tersebut dapat termasuk ke dalam

PPKn. Guru yang kompeten dan kreatif akan sangat dibutuhkan pada Pendekatan

kurikulum untuk pendidikan dasar ini. Guru nantinya akan diberi buku panduan untuk dapat

memilih tema dan mengembangkan tema tersebut untuk disampaikan kepada siswa. Siswa juga

akan sesekali diajak keluar kelas untuk observasi langsung terkait tema yang dipilih.

Melihat kegiatan belajar mengajar tersebut, maka lingkungan alam bebas di luar juga dapat

dijadikan sebuah laboratorium. Dengan ini, kompetensi lulusannya juga akan berubah lebih baik.

Teori Belajar Bermakna dari David P Ausubel

15OKT

A. Teori Belajar Bermakna Ausubel

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang terkenal dengan teori belajar bermakna

(meaningfull). Ausubel (Tim MKPBM, 2001 : 35) membedakan antara belajar menemukan dengan

belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya,

tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu

saja.

Menurut Ausubel (Dahar, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan

informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang

(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_060909_chapter2.pdf). Struktur kognitif meliputi

fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif

yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu

tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan

fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang

mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-

fakta baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.

B. Tipe Belajar Menurut Ausubel

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya

dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan

pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan

pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri

oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara

logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh

itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun

secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia

peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

C. Kebaikan Belajar Bermakna

Menurut Ausubel dan Novak (Dahar, 1996 : 115) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :

(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_060909_chapter2.pdf)

1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.

2. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat

meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar

mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.

3. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas

sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah

lupa.

Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:

1. Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar

bermakna,

2. Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah

dimiliki siswa.

3. Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

D. Hubungan Teori Belajar Bermakna dan Konstruktivisme

Teori Belajar Bermakna Ausubel sangat dekat dengan Konstruktivisme. Keduanya menekankan

pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem

pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru

kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam

proses belajar itu siswa aktif.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses

belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas

belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau

mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan

lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel,

lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.

E. Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel

Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :

1. Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran.

2. Tentukan konsep-konsep yang relevan.

3. Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.

4. Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak

konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.

5. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta

konsep.

Langkah-langkah yang dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai

berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.

Advance organizer merupakan pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyengkut

strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan

belajar mengajar di kelas (Suherman, 2001: 8). Model pembelajaran disusun untuk mengarahkan

belajar, dimana guru membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide keterampilan, nilai, cara

berpikir dan mengekspresikan dirinya (Joyce et.al dalam Prikasih, 2003 : 11).

Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel :

1. Menentukan tujuan pembelajaran.

2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan

sebagainya).

3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk

konsep-konsep inti.

4. Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan

dipelajari siswa.

5. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.

6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

SUBSTANSI PERUBAHAN KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR TAHUN 2013

Oleh: Yudi Permadi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

pasal 3 menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik untuk menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokkratis dan bertanggumg

jawab’’.

 

Untuk melaksanakan fungsi di atas, salah satu komponen yang paling penting dalam suatu

sistem pendidikan adalah adanya sebuah kurikulum. Karena melalui kurikulumlah peserta didik

diantar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, segenap potensinya dikembangkan

seoptimal mungkin melalui proses pembelajaran. 

Saat ini sistem pendidikan nasional Indonesia telah menetapkan Kurikulum 2006 (KTSP) untuk

diberlakukan secara nasional. Hampir enam tahun KTSP telah dilaksanakan, namun berbagai

permasalahan dan kendala masih dihadapi oleh sekolah maupun guru. Di satu sisi setiap

sekolah harus melaksanakan KTSP, di sisi lain berbagai macam permasalahan dan kendala

sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan.

 

Permasalahan yang mengemuka adalah; (1) Konten kurikulum masih terlalu padat yang

ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat

kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak, (2) Kurikulum belum sepenuhnya

berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, (3)

Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan

pengetahuan, (4) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan (misalnya pendidikan karakter,

metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum

terakomodasi di dalam kurikulum, (5) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan

sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global, (6) Standar proses pembelajaran

belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran

yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru, dan (7)

Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil)

dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala..

 

Landasan Pengembangan Kurikulum

Melihat berbagai masalah yang dimiliki kurikulum 2006 serta tantangan untuk menghadapi masa

depan, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merencanakan

pengembangan kurikulum pendidikan nasional untuk tahun 2013, tentunya setelah

mempertimbangkan berbagai aspek yang dijadikan sebagai landasan untuk

menyempurnakannya.

 

Pertama, Aspek Filosofis; Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik

yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat yang berorientasi pada

pengembangan kompetensi, Kedua, Aspek Yuridis; (1) RPJMN 2010-2014, tentang Sektor

Pendidikan, dimana telah direncanakan adanya perubahan metodologi pembelajaran dan

penataan kurikulum, (2) Inpres Nomor 1 tahun 2010, tentang percepatan pelaksanaan prioritas

pembangunan nasional. Ini berarti bahwa ada penyempurnaan kurikulum dan metode

pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter

bangsa, dan Ketiga Aspek Konseptual; Dimana proses pembelajaran lebih menekankan kepada

aktivitas belajar dengan memperhatikan output dan outcome belajar.

 

Komponen Rancangan Kurikulum SD

Dalam file presentasi draft kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh kemendikbud (November 2012)

dapat diketahui bahwa dari semua perubahan kurikulum itu yang paling esensial adalah yang

terjadi di tingkat SD. Nantinya, pendekatan yang dilakukan bersifat tematik integratif. Siswa

diajak untuk melihat, memperhatikan, mengobservasi lingkungan dan tidak lagi diorientasikan

pada hafalan. 

 

Dalam pendekatan ini, mata pelajaran IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua

pelajaran. Artinya, kedua mata pelajaran itu tidak diajarkan secara terpisah tetapi dilebur dalam

mata pelajaran lainnya. Prosesnya, tema-tema yang ada pada dua pelajaran itu diintegrasikan

ke dalam sejumlah mata pelajaran. Untuk IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasan

Indonesia, Matematika, dan lain-lain. Sedangkan untuk IPS menjadi materi pembahasan

pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan lain-lain.

 

Dua hal penting lainnya adalah muatan lokal dan pengembangan diri. Muatan lokal menjadi

materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Penjasorkes. Mata pelajaran

Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran. Dengan demikian, tidak ada

substansi pelajaran yang hilang dari kurikulum SD ini, substansi pelajaran sains justru menjadi

muatan kurikulum.

 

Ini berarti jika tahun ini SD memiliki 10 mata pelajaran, maka dengan kurikulum baru akan

dilebur menjadi enam mata pelajaran, yakni pendidikan agama; pendidikan pancasila dan

kewarganegaraan; bahasa Indonesia; matematika; seni budaya dan prakarya; serta pendidikan

jasmani, olah raga dan kesehatan.

 

Untuk Bahasa Inggris di SD, keberadaannya dipertahankan. Bahasa Inggris tetap sebagai mata

pelajaran tetapi dimasukan kedalam kelompok muatan lokal. Meski berkurang, kurikulum baru ini

akan menambah panjangnya jam pelajaran.

 

Komponen Rancangan Kurikulum SMP

Kurikulum SMP pada prinsipnya adalah sama dengan SD, yaitu disusun berdasarkan

kompetensi yang harus dimiliki peserta didik SMP dalam ranah sikap, keterampilan, dan

pengetahuan dengan menggunakan mata pelajaran sebagai sumber kompetensi dan substansi

pelajaran serta lebih menegedepankan pendekatan sains dalam proses pembelajaran seperti

mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta yang

diterapkan untuk semua mata pelajaran.

 

Jumlah mata pelajaran yang semula ada 12 akan dikurangai menjadi 10 melalui pengintegrasian

beberapa mata pelajaran, yaitu Pendidikan Agama; Pancasila dan Kewarganegaraan; Bahasa

Indonesia; Matematika; IPA; IPS; Bahasa Inggris, dan kelompok muatan lokal yang terdiri dari

Seni Budaya; Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; serta Prakarya.

 

Sedangkan untuk mata pelajaran TIK dan Mata pelajaran Pengembangan Diri tidak berdiri

sendiri, karena menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran. Ke depan, IPA dan

IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies,

bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif,

pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pembangunan

sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial, sedangkan Bahasa

Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa.

 

Penutup

Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali.

Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan

perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial

budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum

sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan

tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. 

 

Semua perubahan kurikulum nasional sejak tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,

2004, dan 2006, pada hakekatnya dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila

dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan

dalam merealisasikannya.***

ABSTRAKMatematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok , mata pelajaran wajib

yang ada di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah. Matematika juga menjadi salah satu dari tiga mata pelajaran yang mulai tahun ajaran 2009/2010 di masukkan dalam UASBN. Namun kenyataannya sampai sekarang masih ada siswa yang kurang berminat terhadap Matematika dan hasil belajar Matematikapun belum menunjukkan hasil yang optimal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan peraga Tulang Napier dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian bersusun. Metode pada penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan bentuk kolaboratif yang melibatkan peneliti yang juga sebagai  kepala sekolah,dan teman sejawat (guru) ..

Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SD Negeri 1 Tlingsing kecamatan Cawas pada tahun pelajaran 2009/2010 dengan jumlah 29 siswa.Fokus penelitian ini

adalah hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian dan efektivitas penggunaan peraga tulang napier. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan dua siklus. Masing – masing siklus terdiri dari empat langkah yaitu perencanaan, tindakan,observasi dan refleksi.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan,hal ini dibuktikan dengan hasil yang di peroleh pada siklus I  dan siklus II dengan SK / KD sama indikator berbeda dalam kategori amat baik. Dengan melihat hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mampu menjawab tujuan penelitian yaitu penggunaan peraga tulang napier dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian bersusun siswa kelas V SD Negeri 1 Tlingsing Kecamatan Cawas tahun 2009/2010.Data –data lain yang  berhubungan dengan penelitian dan hasil kerja siswa sebagaimana dalam lampiran. Akhirnya peneliti menyarankan kepada seluruh guru untuk kreatif dalam menyajikan pembelajaran terutama dalam menggunakan alat peraga dan media yang menarik serta bervariasi sehingga dapat membawa siswa dalam proses pembelajaran yang menyenangkan dan batas tuntas hasil belajar siswa dapat tercapai. 

Kata Kunci : Hasil belajar matematika, peraga Tulang NapierBAB I

PENDAHULUANA.    Latar Belakang Masalah

            Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok , mata pelajaran wajib yang ada di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah. Matematika juga menjadi salah satu dari tiga mata pelajaran yang mulai tahun ajaran 2009/2010 di masukkan dalam UASBN. Sampai sekarang masih ada siswa yang kurang berminat terhadap Matematika dan prestasi belajar Matematikapun belum menunjukkan hasil yang optimal.

      Siswa sekolah dasar mulai mengenal operasi hitung perkalian ketika berada di kelas II. Seharusnya mereka sudah mengetahui konsep dasarnya ketika berada di kelas rendah dan sudah bisa mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam materi yang lainnya ketika berada di kelas yang lebih tinggi yaitu kelas IV,V dan VI. Kenyataannya siswa kelas V yang termasuk kelas tinggi, banyak yang belum hafal perkalian dasar. Untuk  mengerjakan perkalian dua angka atau lebih mereka masih kesulitan. Kesulitan itu terlihat pada operasi hitung perkalian  ketika tes akhir pembelajaran matematika, untuk materi operasi hitung perkalian  di kelas V SD Negeri 1 Tlingsing Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Oleh sebab itu Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk Standar Kompetensi 1 dan Kompetensi Dasar 3 belum tercapai karena  nilai sebagian siswa masih di bawah KKM yaitu di bawah 60.

      Masalah yang juga sering muncul adalah siswa dalam kondisi terpaksa harus menelan dan menghafal secara mekanis apa-apa yang telah di sampaikan oleh guru, sehingga menjadikan para siswa tidak memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat, tak kreatif dan mandiri, apalagi untuk berfikir inovatif. Selain itu, pendekatan pembelajaran matematika masih menggunakan pendekatan tradisional, yaitu duduk dengar catat dan hafal. Pembelajaran jadi membosankan, tidak menarik dan hasilnya tidak memuaskan. Waktu untuk mengerjakan soalpun terasa lebih lama, sehingga tidak semua soal dapat terjawab dengan cepat dan benar.

Mata Pelajaran Matematika pada diberikan kepada siswa kelas V  SD pada semester satu (I) untuk membekali siswa berpikir logis , analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta mampu bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Untuk menguasai mata pelajaran matematika secara baik, diperlukan pemahaman konsep dan prosedur (algoritma) secara baik pula.

Pemahaman konsep matematika  tidak lahir dengan sendirinya, tetapi diproses melalui tatanan kehidupan pembelajaran. Tatanan kehidupan pembelajaran di sekolah secara formal yang paling dominan adalah pembelajaran. Berarti, praktik pembelajaran di sekolah idealnya dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Akan tetapi, ada sinyalemen bahwa sebagian praktik pembelajaran model pada pelajaran matematika belum secara serius dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang sahih untuk memberikan peluang siswa belajar cerdas, kritis, kreatif, dan memecahkan masalah. Sebagian besar praktik pengajaran di sekolah masih menggunakan cara-cara lama yang dikembangkan dengan menggunakan intuisi, atau berdasarkan pengalaman sejawat.

Mata Pelajaran Matematika tentang perkalian bilangan dilaksanakan semester gasal tahun 2009/2010, sehingga belum tahu kesenjangannya. Namun kesenjangan tersebut dapat diasumsikan relevan dengan kesenjangan yang ada pada mata pelajaran matematika yang diupayakan guru kelas pada SD Negeri 1 Tlingsing Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten. Asumsi ini peneliti ambil, karena peneliti sekaligus sebagai kepala sekolah yang berkolaborasi dengan guru kelas,guru kelas tersebut sama, materi ajar, sarana-prasarana dan lingkungan sekolah serta karakteristik siswanya tidak jauh berbeda.

Mata Pelajaran matematika yang diupayakan guru kelas atau guru matematika belum menunjukkan sebagai suatu proses peningkatan pemahaman konsep siswa. Proses pembelajaran masih sebatas sebagai proses transfer of knowledge, bersifat verbalistik dan cenderung bertumpu pada kepentingan guru dari bukan pada kebutuhan siswa yang lazim disebut teacher centered. Hal ini didukung hasil pengamatan peneliti pada semester gasal tahun sebelumnya, yaitu adanya kecenderungan guru dalam memilih dan menggunakan metode mengajar bersifat spekulatif, yang berakibat kegiatan pengajaran  kurang menarik, tidak menantang, dan sulit mencapai target prestasi yang ditentukan (KKM). Berdasarkan hal tersebut, peneliti menemukan kesenjangan-kesenjangan kemampuan pemahaman konsep siswa. 

B. Identifikasi Masalah Dari kenyataan diatas, peneliti dengan bantuan teman sejawat untuk

berkolaborasi yaitu dengan guru kelas, bersama-sama mengidentifikasi masalah terhadap kekurangan-kekurangan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil refleksi terungkap masalah – masalah dalam pembelajaran, antara lain :

1.      Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep perkalian dua bilangan atau lebih dengan teknik menyimpan

2.      Kurangnya alat peraga yang digunakan guru untuk menanamkan konsep perkalian3.      Pembelajaran kurang menarik dan tidak menyenangkan

C. Pembatasan Masalah            Pembatasan Masalah diperlukan agar penelitian lebih efektif, efisien dan terarah. Adapun hal-hal yang membatasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Peneliti hanya meneliti siswa kelas V SD Negeri 1 Tlingsing Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten, Semester I Tahun pelajaran 2009/2010 pada materi operasi hitung perkalian.

2. Penelitian ini difokuskan pada upaya meningkatkan hasil belajar Matematika pada operasi hitung perkalian dengan teknik menyimpan  menggunakan peraga tulang napier.

3. Penelitian ini diharapkan terjadi peningkatan hasil belajar siswa.

D. Rumusan Masalah      Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka

peneliti dapat merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :”Apakah penggunanan peraga Tulang Napier dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian   siswa kelas V SD Negeri 1 Tlingsing Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten tahun pelajaran 2009/2010?”

E. Tujuan Penelitian1. Tujuan Umum

      Tujuan umum Penelitian Tindakan Kelas ini adalah untuk meningkatkan        hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus Penelitian Tindakan Kelas ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian dengan menggunakan peraga tulang napier sehingga dihasilkan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, menyenangkan dan pada akhirnya dapat mencapai hasil pembelajaran tuntas.

F. Manfaat Penelitian1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam dunia pendidikan berupa gambaran mengenai sebuah teori yang menyatakan bahwa peningkatan hasil belajar matematika pada operasi hitung perkalian dapat dilakukan dengan menggunakan peraga tulang napier.2. Manfaat Praktis

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut :

a.       Bagi siswa1)      Agar siswa dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal matematika terutama

pada indikator perkalian dua angka atau lebih dengan teknik menyimpan.2)      Siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya dengan kemampuan menyelesaikan

soal matematika pada operasi hitung perkalian dengan menggunakan peraga tulang napier

3)      Siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan aktif , kreatif, dan menyenangkan.b.      Bagi guru/peneliti

1)     Dengan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini peneliti memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman tentang Penelitian Tindakan Kelas.

2)     Peneliti mampu mendeteksi permasalahan yang ada di dalam proses pembelajaran, sekaligus mencari alternatif pemecahan masalah yang tepat.

3)     Peneliti mampu memperbaiki proses pembelajaran di dalam kelas dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada operasi hitung perkalian.

4)     Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnyac.       Bagi Sekolah

1)            Sebagai masukan bagi guru SD dalam mengajarkan matematika pada operasi hitung perkalian dengan teknik menyimpan.

2)            Sebagai sumbangan pemikiran dalam usaha-usaha yang mengarah pada peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika melalui peraga tulang napier

3)            Sebagai acuan untuk melakukan kegiatan yang sejenis.