SESOBEK BUKU HARIAN INDONESIA filekalau bisa aku ingin lenyap hidupku sudah jelas: tak bisa...
Transcript of SESOBEK BUKU HARIAN INDONESIA filekalau bisa aku ingin lenyap hidupku sudah jelas: tak bisa...
HTTP://MY.OPERA.COM/ALLFAISHALL
1993 2008
SESOBEK BUKU HARIAN
INDONESIA ‗M‘ Frustasi dan Sajak-sajak Cinta
Emha Ainun Nadjib
J L N . W I S A N G G E N I 3 3 2 P U R W O R E J O P I L A N G K E N C E N G M A D I U N 6 3 1 5 4 I N D O N E S I A
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
SESOBEK BUKU HARIAN
INDONESIA
‘M’ Frustasi dan Sajak-sajak Cinta
6/1/2008
Emha Ainun Nadjib
Allfaishall
SESOBEK BUKU HARIAN INDONESIA ‘M’ Frustasi dan Sajak-sajak Cinta
Faishal Himawan MKI 6/1/2008
S E S O B E K
B U K U H A R I A N
I N D O N E S I A (BAGIAN PERTAMA DARI EMPAT BAGIAN)
„M‟ Frustasi
Dan
Sajak-sajak Cinta
Lenyap
kalau bisa aku ingin
lenyap
letih berkisar mengikuti jejak angin
dan akhirnya takut, Takut
memandang warna warni
kalau bisa aku ingin
lenyap
hidupku sudah jelas:
tak bisa mencontoh gerak burung
yang polos
dan jernih kicaunya
kenapa bisa los
76
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 3.
“M” Frustasi! (1)
Saudara-saudara!
Aku mau tidur
Tolong bantu doa
Agar tak bangun lagi
Gelora, gelora
Meleset dari dada
Gelora, gelora
Kau ke mana
Sejak Kaukucilkan
aku dari sejuta gemuruh
Dari sejuta kepala
Yang bangkit
Dari sejuta tangan
Yang menuding ke langit!
O, saudara-saudara!
Aku mau tidur
Tolong bantu doa
Agar kekal lelap mendengkur ……
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 4.
“M” Frustasi Haihaata!
―Dan bagi tiap-tiap jiwa
Kukalungkan nasib
Sendiri-sendiri……..‖
(Q.S. 17: 13)
Sehingga Mohamad menggigil kedinginan
Mohamad pun sepi, dalam kesepian yang layaknya salju: kamar es
yang menggenggamnya sampai beku
Mohamad basah kuyup oleh rakhmat dan puji
Begitu besar cinta Tuhan kepadanya, sehingga tak seorang pun
di sini yang berani tidak mencintainya
Maka siapa pun maklum, dengan demikian Mohamad dicintai tidak
secara spiritual, dan kepatuhanmu sekadar merupakan
kerangka fisik, yang kurang hidup dalam sukma dan tidak
berwibawa atas batin
Mohamad sejak mula kelahirannya di bumi telah bergelepotan
aunah, kasih dan keselamatan
Limpahan mahabbah tiada henti mengguyurnya dari langit
Tapi toh akhirnya ia curiga dan segera merasa terkucil
Mohamad akhirnya tersinggung kepergok oleh nasibnya sendiri dan
menganganggap hari-harinya sangat monoton dan tanpa variasi
―Cinta model beginian adalah jebakan politis!
Cinta yang terbingkai dalam kesopanan sepihak
Cinta tanpa keleluasaan proses untuk sampai pada
ketegangan
dialog yang memungkinkan cinta itu sendiri berdarah
dan mengandung Nur
Cinta model beginian adalah kuman yang menggerogotimu
perlahan-lahan dengan watak halus dan berdarah
dingin
Itu pseudo, itu semu, itu pemanjaan berisi tindak subversi
yang dilangsungkan secara gerilya
Cinta yang demikian sangat murah, tapi tidak populer
Cinta yang demikian tidak kontemporer, tidak pula antik
tapi langka dan pucat!‖
Maka keluarlah dari biliknya hari ini, ia dengan laku
mengherankan
Dibantingnya daun pintu hingga seluruh Negeri Surga
berderak-derak
Haihaata! Wajahnya yang kusut masai dan tangannya
yang mengepal!
Para penghuni surga terbelalak matanya!
―Haihaata!
Lelaki yang lembut
Yang kelembutannya seolah kekal
Lelaki yang molek bagai rembulan
Yang wajahnya sareh, yang pandangan meripatnya rindang
Gerangan bakal apa yang kejadian!
Haihaata!
Pemimpin kita berjalan ke barat, tentu akan menemui
Pemelihara kita di rumah keramat
Tapi pemimpin kita nampak seperti orang yang sangat marah
Di wajahnya tidak kita jumpai kelembutan seperti adanya dan
cahaya kedua matanya tidak kita kenal sebelumnya
Haihaata adakah sesuatu yag bakal menimpa!‖
―Tidak -sahut yang lain- tidak akan terjadi apa-apa!
Di surga tidak ada gema, tidak ada badai, tidak ada bencana
Di surga hanya ada peristiwa kasih sayang
dan bukti pahala-pahala!‖
Para penghuni surga saling bepandangan
Para penghuni surga kena tradisi mereka hidup dalam
ketenteraman
yang ilusif, karena itu lantas saling ketakutan
Para ahli surga berlari-lari melaporkan perihal Pemimpin
mereka kepada sanak keluarga, kepada tetangga
dan siapa saja yang dijumpainya
―Kenapa sih dengan gembala kita yang bijaksana?
Hari Hisab telah kita lewati
Shiratal Mustaqim telah kita lampaui
Perhitungan, peradilan, timbang dosa timbang pahala
telah kita bereskan
Bumi telah berguncang
Bintang-bintang telah bertabrakan
Topan yang kejam
Telah Kauhembuskan dan isi perut bumi telah termuntahkan
Juga gunung-gunung dalam jiwa manusia!
Keperkasaan sejati atau angkara murka
Segala pengabdian umat-Mu
Yang berujud kepasrahan maupun kesombongan
Telah Kauteliti dan Kaupancangkan keputusan!
Masih ada lagikah pertanda-pertanda
Pertanda-pertanda yang selamanya hanya menyodorkan
abstraksi?
Masih ada lagikah azab yag bakal menimpa punggung
kami, azab yang tak pernah kami mengerti?
Tuhan kami!
Telah beres utang-piutang antara kita
Telah selesai perhitungan dalam perdagangan ini
Tapi kenapa tak selesai teka-teki
Tuhan kami!
Telah kami layani seaik-baiknya dan sebisa-bisa kami
segala ulah-Mu
Hingga sampai di negeri yang Kausuruh kami
mengidamkannya
Tapi cahaya apakah yang memancar dari mata Mohamad
Pemimpin kami?‖
Para ahli surga berlari-larian tak menentu
Para penghuni surga kebingungan dan masing-masing merasa
disergap sesuatu
Tak seorang pun berani coba menegur Mohamad yang merah
menyala
Yang terus berjalan ke barat. Yang setiap langkahnya
menimbulakan gempa di seluruh pelataran surga
Tapi sebagaimana tradisi yang terus hidup sejak di dunia,
berduyun-duyun mereka mengikutinya
Terseret bagai Muqallid yang buta
―Bodoh! Kalian semua bodoh!‖ tiba-tiba terdengar suara
Mohamad
Para penghuni surga bergetar, sendi jiwanya
Para penghuni surga serasa patah tulang-tulang sukmanya
Kalian semua bodoh
Di surga kalian semua tetap saja bodoh
Dari ujung kaki hingga pucuk rambut kalian tetap saja bodoh
Dan inilah kesalahan Tuhan yang paling besar
Dan inilah kesalahan yang paling berbahaya!
Mendidik umat-Nya tidak ke arah keseimbangan
berkembangnya kesadaran, rasa dan hati-hati
Tapi lebih pada kepasrahan, kepasrahan yang fatal
dan menjijikkan!
Para penghuni surga gugur dadanya
Para penghuni surga nyinyir hatinya
―Buka telingamu lebar-lebar, hai keranjang kebodohan!
Dengarlah bahwa justru di surga ini letak inti bencana
Kecuali jika seluruhnya terbius dari masa lalu!
Haihaata!
Haihaata!‖
Para penghuni surga membeku
Para penghuni surga menangis dan berkeringat total
Tapi Mohamad terus berjalan ke barat
Mohamad tidak peduli pertanyaan-pertanyaan yang kemudian
membuat hawa surga menjadi panas dan lembap!
(Ia sangat terkenal di sini. Sejak ujian masuk surga, ketika ia
lulus pertama
Selebihnya ia memang berwajah handsome dan lagi suka berjasa
Di surga, Mohamad setiap hari sibuk memberi tanda tangan
para fans-nya
―Thola‘al badru ‗alaina! Thola‘al badru ‗alaina!
Telah terbit rembulan atas kita! Telah terbit rembulan atas kita!‖
Para penghuni surga setiap hari bernyanyi, bersorak-sorak dan
mengharubiru Pemimpinnya
Buku koleksi tanda tangan bertumpuk di depannya, di sisi dan
di belakangnya
Hingga pada suatu hari buku-buku itu hampir menimbuni
tubuhnya
Tapi memang telah menimbuni batinnya!
Belum lagi para kaum yang menyodorkan punggung, telapak
tangan bahkan pipinya untuk dibubuhi tanda tangan
Sebaiknya kubikin stempel tanda tanganku! Pikirnya, tapi ia
sadar
Mental stempel itulah yang di muka bumi berhasil merapuhkan
orisinalitas cinta dan peradaban!)
Tiba-tiba ia merasa muak! Tiba-tiba Mohamad mau muntah
oleh kerumunan puji dan sanjungan demi sanjungan yang
baunya busuk!
―Kalian amat sangat bodoh!
Dari ujung kaki hingga pucuk rambut kalian semua bodoh!
Di surga yang terang benderang begini kalian masih
menyimpan kegelapan!‖
Mohamad berprihatin dan marah menyaksikan arah
kebudayaan yang mengkhawatirkan di surga
Ia terus berjalan ke barat
Demi kekekalan surga yang terus tak menjawab beban yang
disidamnya sejak ditiup ia menjadi dirinya, ia terus
berjalan ke barat
Akhirnya Mohamad sampai di tempat yang kosong
Yang tanpa wujud
Yang tanpa warna
Tanpa cuaca dan tanpa apa-apa
Yang lengkang yang kelelangan itu sendiri tak ada
Mohamad berdiri tegak
Mohamad tangannya mengepal
Mohamad tangannya teracung
Mohamad wajahnya menyala dan matanya bagai memadamkan
surya
+ ―Kaudatang Mohammad?‖
- ―Ya, aku datang menghadap-Mu, wahai Dzat di mana
tergenggam segala-galanya!‖
+ ―Haihaata! Tanpa malaikat Syakhlatus Syamsi di telapak
tangan kananmu?‖
- ―Ya Tuhanku‖
+ ―Tanpa malaikat Al-Musytari di telapak tangan kirimu?‖
- ―Ya Kekasihku‖
+ ―Tanpa Ad Dzuhroh di antara kedua bahumu?‖
- ―Ya Kekasihku‖
+ ―Tanpa Az Zuhal di belakang punggungmu?‖
- ―Ya Kekasihku‖
+ ―Tanpa Al Marikh di antara kedua lenganmu?‖
- ―Ya Kekasihku‖
+ ―Tanpa Al Athorid di telapak kakimu?‖
- ―Ya Kekasihku‖
+ ―Haihaata! Kau ke manakan gerangan mereka, Mohamad?‖
- ―Demi kekekalan surga yang meleset dari lamunanku,
Kekasihku para malaikat itu seluruhnya tak mampu
menghiburku, tidak mampu melenyapkan kesepianku,
penyakit yang kuidap sejak di bumi!
Maka kucampakkan mereka ke bumi, untuk bekerja
sebisa-bisanya di sana
Agar berusaha memberi hiburan yang sejati. Seperti Kau ketahui
orang-orang di sana amat membutuhkan hiburan sejati,
bukan lobang-lobang onani!
+ ―Mohamad! Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui
Aku suluhkan api penuntun
Bagi siapa pun yang Kukehendaki
Aku gelapkan dan Kututup jalan
Bagi siapa pun yang Kumurkai!‖
- ―Itukah prinsip hidup-Mu Tuhan?‖
+ ―Aku tidak punya prinsip!‖
Aku tidak butuh prinsip-prinsip
Aku Mahahidup, berdiri sendiri, dan Kekal
Mohamad, kini mulai membenih kesombonganmu!‖
- ―Demikianlah barangkali Kekasihku!
Tapi aku tak memiliki apa-apa
Selain yang Kauanugerahkan kepadaku
Juga kesombongan ini—Atau bukan sombong
Atau tidak persoalannya
Tapi penerimaan kebenaran secara wajar yang diterima
Oleh mata jiwa dengan wajar pula, tidak dipaksakan
Sebagai dogma yang gelap‖
+ ―Mohamad!
Ingatlah keluasan langit, yang terbentang,
yang tak mampu kaujangkau
Juga langit dalam hatimu, dalam jiwamu
Maka adalah kepercayaan kepada-Ku,
pada akhirnya yang kaubutuhkan!‖
- ―Tentu telah terjadi kesalahan, bila begitu, Kekasihku!
Sehingga dogma harus menjadi keharusan alami
yang melatari nilai individu setiap umat-Mu
Tapi jelas kesalahan itu tidak terletak padaku, pada kami,
yang terkejut sesudah beberapa tahun lahir dan ada
ada dalam ada yang terpencil di liar alternatif dasar
Jelas kesalahan ini bukan dari kami. Tapi ia ada,
dan mencekik kami!
+ ―Mohamad!
Segala yang ada di langit
Segala yang melata di bumi
Bersujud kepada-Ku
Tapi mereka tidak sombong!‖
- ―Kekasihku! Ciri kultur mereka adalah berjalan membuta
dan suatu keterseretan
Kepasrahan yang menjadi kerangka hidup mereka itu
sendiri tidak diterima oleh biji sukma mereka yang
sesungguhnya
+ ―Mohamad! Apakah itu berarti bahwa mereka ingin
alam menjadi benderang hingga sampailah segala
penglihatan mereka
Sedang kau bukan Aku
Sedang kalian bukan Aku, bukan Aku!
Ukuran kalian adalah iman kepada-Ku, hari Gaib, para
Malaikat kepada Ruh dan segala keputusan-Ku!‖
- ―Kekasih, itulah sebabnya maka segala penciptaan ini
Sia-sia segala ini ada nonsen belaka
Kaulahirkan aku sebagai pilihanku di bumi, tanpa proses
Tanpa tawar-menawar dan perjanjian apa-apa
Sebelumnya
Di bumi – bahkan hingga kini – aku berguyur basah oleh kasih
sayang-Mu, sedang darah tertumaph di mana-mana
Darah tertumpah disusul pekikan-pekikan atau tertumpah
diam-diam dalam batin setiap umat-Mu
Darah tertumpah oleh galauan nurani yang Kausumbat
Maka aku muak terhadap cintamu yang berlebih,
yang karenanya adalah palsu
Aku muak terhadap sikap-Mu yang terlampau memanjakanku
Pemanjaan adalah laknat
Pemanjaan adalah perintang jalan menuju nuclea
Kemanusiaan dan individu
Pemanjaan adalah jalan buntu!‖
- ―Wahai umatku!
Itulah sebabnya maka penciptaan ini sia-sia
Itulah sebabnya maka segala ada ini nonsens belaka!‖
Para penghui surga nampak mulai membeku
Para penghuni surga, karena pengaruh kebodohannya,
mimik mereka membatu
―Di barisan umat yang berjejal masuk pintu surga,
Aku berada paling depan
Tapi kesepianku tetap membungkus dan pandanganku
makin kabur
Surga dengan air yang kekal airnya
Surga dengan air susu yang tiada beralih rasanya
Surga dengan sungai-sungai khamar yang menggelegakkan
peminumnya
Sungai-sungai madu
Sungai buah-buahan dan ampunan
Sungai dihinggapi baksil-baksil kesepian!
Yang kalian terima dengan mati rasa mati hati dan
ketenteraman demi ketenteraman yang lebih merupakan
sikap terbodoh
Para penghuni surga, sampai di sini nampak benar-benar membeku
Para penghuni surga tidak leleh kebodohannya karena itu
Surga mejadi malam
Surga menjadi siang
Surga menjadi gelap
Surga menjadi benderang
Sesuai dengan gerak kehendakmu masing-masing
Surga menjadi malam atau siang atau gelap atau
Benderang dalam jiwamu masing-masing
Di surga kau dijaga oleh kehendakmu sendiri-sendiri
Kun! Jadilah maka ia pun jadi
Kau bisa jadi Tuhan kecil-kecilan
Di surga sagalanya selesai
Perjuangan, keperkasaan atas diri sendiri pengorbanan
Tapi di surga tak boleh ada kenangan
Tentang peperangan kita yang dulu belum selesai
Tentang darah di batinmu, darah yang hingga kini
terus meleleh
Tentang berbagai kelicikan nasib, yang kemudian
kita tiru beramai-ramai
Tentang kebuasannya, tapi juga kasih sayangnya
yang terduga
Di surga tak boleh ada kenangan tentang
keseimbangan antara kelembutan dan kekejaman,
wujud dan jumlahnya, yang membingungkan kita
Di surga, wahai umatku! Jangan ada kenangan
tentang awal kejadian, kelahiran atau yang jauh
ke belakang
Seperti yang mencekikku kini!
Di surga masa lalu harus ditindas
Di surga jangan sekali-kali ada kenangan,
ke belakang maupun ke depan
Sebab kenangan itu hantu
Kenangan itu kuku, kuku-kuku yang panjang
dan tajam yang merampas ketenteraman yang kita
didik secara wajar perlahan-lahan selama ini
Karena kenangan, otot-otot perasaanmu menegang
Karena kenangan, aliran darahmu menderas,
dadamu dipukul dari luar dan dari dalam
Karena kenangan igauan jiwamu tak bisa dibendung
Sesudah itu wajahmu sendiri adalah hantu, dan kau
berteriak-teriak
Tuhanku! Tuhanku!
Mana tangan-Mu
Mana jari-jari-Mu
Atau menjelmalah jadi sesuatu
Tempat aku bersandar, tempat aku berpegangan!
Sesudah itu sepi
Sesudah itu kautahu, Sesudah itu sepi
―Dan inilah persoalannya Tuhanku!
Sepi inilah persoalannya
Sepi inilah yang kaubiarkan berlarut-larut, hingga menjadi klise
dan menjadi kata-kata yang membosankan,
cengeng tapi snob!
Aku adalah roh
Kau adalah Roh
Tapi roh dan Roh
Berbeda!
Di surga semua adalah roh
Roh tidak boleh punya kenangan
Sebab Roh Kau dan roh aku adalah lain
Roh Kau adalah simpanan yang Teguh
Sedang roh aku?
Boneka yang kecewa!
Surga yang di bawahnya mengalir sungai abadi, limpahan air
susu dan pohon-pohon kuldi
Surga yang na‘im, 10 malaikat yang menjaga setiap sudut
tubuhku dan 700 bidadari yang menjilat-jilati kulitku
Semua hanya memaksaku untuk ingat pada ke-0 istriku, pada
kenabianku dan anugerah-Mu yang aneh
Yang karenanya kedudukanku pun menjadi aneh pula!
Kerasulan
Jiwa pilihan
Insanul Kamil
Jiwa sempurna
Yang terjaga
Yang Kaucintai, teramat Kaucintai
Adalah otoritas yang terselubung, bayangan yang
mengucilkanku dari bainku sendiri
Maka sepi itulah persoalannya!
Dan Kau, Tuhanku, Kekasihku, mustahil bahwa Kau sama
sekali tak merasa kesepian
Tak mungkin Kau bisa terbebas dari sepi di tengah umat-Mu
yang buta
Di hadapan wajah mereka yang bengong, yang melongo
Yang melontarkan berjuta pertanyaan dan tuntutan
ke arah-Mu
Atau kalian sendiri yang tak merasa kesepian, wahai umatku?
Bagaimana kalian bisa tenang-tenang sedang Tuhan kita saja
pasti juga
merasa kesepian!
Siapakah yang membius kalian, sehingga lelap tidur
Sehingga arah peradaban kalian begitu
memprihatinkan dan kabur?
Para penghuni surga kini membeku
Para penghuni surga kini membeku total!
+ ―Mohamad!
Adakah engkau pun kini akan lahir
Ketahuilah mereka itu takwa dan pasrah kepada-Ku
Yang termulia di hadapanku adalah yang paling
takut di antara kalian
Dan oleh karenanyalah mereka lantas merasa
berbahagia!
- ―Tuhanku!
Kebahagiaan mereka itu semu!
+ ―Mohamad!
Ingatlah olehmu cerita tentang kesombongan
Ingatlah olehmu cerita tentang Musa
Yang terlempar hingga pingsan
Ketika gunung Timur bergoncang
Sebagai awal pertanda ujud-Ku bagimu!‖
- ―Okeylah! Tapi apa kabar kesepianku
Dan kesepian seluruh umatku?‖
+ ―Maka sama sekali tidak merasa kesepian Mohamad!‖
- ―Mereka kesepian, tapi kesepian itu terpendam
Mohon janganlah membuat bencana dengan
membiarkannya
Karena akhirnya bakal meletus dan surga
tak bernilai lagi bagi mereka‖
+ ―Aku Maha Mengetahui apa yang kau tidak ketahui,
Mohamad!‖
―Tuhanku
Janganlah ulangi sekali lagi kata-kata-Mu itu
Sebab akan menambah kesepianku
Sebab akan mempertegas kesepianku
Kemarilah Engkau, kemari saja
Kita tak usah berbantah, sebab jawabanmu selamanya statis
Sebab Kau tak pernah mau membuka diri barang sedikit
Kemarilah Engkau wahai pelindungku yang Agung, keluarlah
Engkau dari persembunyian-Mu
Kupersilahkan dan kumohon dengan penuh hormat, keluarlah
Ingin kucium tangan-Mu, kucium lutut kaki-Mu
Ingin kupandang raut-Mu, sekejap, dan kemudian tamatlah
cerita tentang cita-cita yang panjang,
yang teramat panjang!
Kita bertatapan, sekejap saja dan sesudah itu leburlah aku
Sebab tiada mungkin bertahan
Tapi itu lebih baik daripada harus mengidap dahaga yang
jelas tiada pemenuhnya, yang lebih berupa
demonstrasi kasar dari ketidakterbatasan
dan kekuasaan-Mu
Keluarlah Kekasihku
Keluarlah Engkau
Keluarlah
Keluar
Keluaaaaaar!!!
(―Ya Allah
Bisikkanlah seruling
Di ubunku
Seruling dan lagu
Yang merahasiakan ujud-Mu
Ya Allah
Abadilah seruling
Abadilah rahasia
Ya Allah
Sunyilah semua bintang
Sunyilah jiwa dan tenteram
―Atau sirnalah ruang dan waktu!
Sirna dan kembali tiada)
Atau kepribadianmu telah berkembang kini, Tuhan?
Hati nuranimu cenderung menjadi kaku dan perasaan-Mu kini
Sulit disentuh?
Ah, Tuhanku! Kekasihku!
Temperamenmu aneh
Kau eksentrik dan nyleneh!‖
13 Februari 1975
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 5—18.
“M” Frustasi! (3)
Waktu kubuka jendela
Kulihat api berkobar
Dan para kaum yang terbakar
Kulihat seribu kekerasan
Kulihat jeritan dan seribu perlawanan
Hendak ke manakah pergi hari ini?
Segala kenikmatan telah kenyang
Kureguk bersama Tuhan
Segala pemandangan, segala perempuan
Segala doaku telah Kaukabulkan
Waktu kubuka jendela
Kulihat api berkobar
Dan para kaum yang terbakar
Kulihat seribu kekerasan
Kulihat jeritan dan seribu perlawanan
Saudara-saudaraku para nabi
Kita ini orang istimewa
Apa enaknya?
Tak inginkah bisa lolos ke sana
Dan kita tinggalkan Ia
Tak inginkah memperjelas kesepian
Yang selama ini dengan bodoh kita pendam
Tenggelam dalam derita mutlak
Kawan seperti Ia, kita tolak
Saudara-saudaraku
Marilah datang ke kegelapan
Memekik!
Dan mengancamnya!
Kukira lebih manis Ia
Jika dipandang dari sana
75.
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 19—21.
Nocturno
Tuhan si anak kenangan berbaring di cakrawala selatan
Tuhan si anak kenangan berloncatan di atas bintang-bintang
Tuhan si anak kenangan berebut masuk keluar pernapasan
Tuhan si anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam
Tuhan si anak kenangan terjatuh!
: dalam bayang
bayang
―Selamat malam!
O, si buah angan
Selamat malam!
O, si anak hilang!‖
75.
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 21.
Tangan Lelaki Itu
Ditarik-Nya
Tangan lelaki itu ditarik-Nya
Dan tubuhnya dilempar
Ke dalam rimba
Yang gelap
Yang pohon-pohonnya melintang malang
Yang tanpa arah jalan
Yang setiap sentuhan daunnya
Terasa gatal dan membuatnya terus berjalan
Dan terus menyandang kebimbangan
―Apa sih mau-Mu sebenarnya
Dengan berulangkali meledekku‖ kata lelaki itu
Sebab kemudian Ia memancingnya dengan cahaya
Dengan seberkas Cahaya
Yang mengandung isyarat
Agar berjalan keluar kegelapan
Tapi kemudian dipadamkan-Nya sendiri
Cahaya itu
Isyarat itu
Yang seakan membukakan pintu.
Sewaktu-waktu
Seekor binatang buas pasti menerkamnya
Merobek dadanya
Merebut, menyiakan proses
Dan segala bangunan imannya
Dan itu pasti!
Dari arah mana pun. Sebab binatang itu
Ya – binatang itu! Tak lain Ia sendiri
Yang dengan segala kebijaksanaan tak tercerna
Menyergap setiap lelaki
Maka lelaki itu tetaplah pengkhianat
Berulangkali
Bagi perempuan-perempuan
Dan bagi segala jalan kepada-Nya
Sebab demikian diharuskan
Sebab demikian ia dirajah
Oleh kebimbangan demi kebimbangan
―Apa sih mau-Mu sebenarnya
Dengan berulangkali meledekku‖ ujar lelaki itu
(Ke seluruh hutan suaranya berkumandang
Dalam bisu kegelapan: suaranya tenggelam
Dan menjelma dalam nyanyi
Burung-burung malam
: Yang kekal menyepi).
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 22—23.
Dengan Berat
Dengan berat, akhirnya kau pun
tiba. Di garis waktu
Proses-proses ungu
Dengan berat kaulepaskan nurani
Buat merebut usirnya kembali
Di nisbi Perburuan ini
Bahwasanya di pintu terungkap arti tapi sia-sia
Dalam sepi kau menatap langit bagai kertas-kertas ujian
Berulangkali terjerembab: kau tak bisa undur diri
72
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 24.
Refleksi
Katamu apa yang lebih keras dari kebisuanmu? Engkau bagai
gunung-gunung setia, percaya kepada matahari yang bergerak,
percaya bahwa akan tiba sebuah dari gerakan itu yang
menghiburmu
ya! Apa yang lebih pedas dari Kebisuan ini? Burung-burung
silahkan bernyanyi memuja ufuk setiap pagi, rembulan silahkan
berseri tapi kita tidak!
Itu menipu - abad yang riuh pun sangatlah menipu! Kenapa
harus mengelakkan Kebisuan secara dungu? menunggu
di antara detak waktu, mencari di antara kebeningan semu,
semuanya sia dan tipu!
Perjalanan ini hancur-hancuran! Sebab tak bisa percaya pada
hiburan dan kealpaan, skenario harus dirusak dan segala sikap
keperawanan harus dicincang......
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 25.
Kelembutan Hati!
Kamu yang menangis pasti kutampar mukamu
Kamu yang melelehkan peluh mata di hadapan dunia yang
bengis
Awas kurobek keningmu!
Kelembutan mati kamu tahu!
Kelembutan sudah lama mati dan dunia begitu renta
Karena Engkau tak pernah peduli
Cepat terjun ke air panas dendam yang mendidih
Matamu mesti membelalak liar dan harus menyimpan
Gelombang dan kekejaman
Marah besar
Dada menggelegak hingga sukma terbakar
Sesudah itu baru kematian luhur
Burung-burung yang bernyanyi bungkam mulutnya
Batumu jangan leleh oleh terik matahari atau bisik angin
Dan bunuh suara-suara yang mengajakmu terharu
Hanya perawan boleh berharap pada keterharuan
Karena ia belum kenal gelombang lautan
Karena tak membunuh diri dengan perlawanan
Kelembutan mati - kamu tahu!
Kelembutan sudah lama mati dan dunia begitu renta
Karena Engkau tak pernah peduli
Kamu yang menangis pasti kulukai mukamu
Kamu yang tak jadi batu dan menyangka bisa ketemu
Awas kukoyak kenanganmu!
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 26.
Upacara
1
Di depan tubuhmu telanjang
Tuhan menggoda makin dalam
Siapakah yang menggerakkan angin
di luar itu: Hingga tiupannya lain?
Hingga di segenap dinding
Menyorot mata-mata asing!
2
Demikianlah kukira, Ia
mengikut ke mana jua
Pilih mana di luar
Kuyup dalam cahaya
Atau bertekad dalam gelap ruang
Dan dari sekilat cahaya: menangkap bayang ujud-Nya?
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 27.
Sajak Jatuh Cinta
Karena ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak
Maka terimalah dengan meripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum
Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian senyap sesaat
Tuhan melintaskan syafaat
Kemudian daun-daun bersijingkat
dalam pesona memikat
Karena ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak, dik
Maka terimalah dengan meripat kanak-kanak
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 28.
Sajak
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Khusus untuk memulangkan diriku
Kepada kumandang tangis bayi, yang telanjang
Yang hening lagunya bergaung
Ke ladang-ladang jiwa
Yang meripatnya bening
dan yang semua geraknya
Dibimbing
Oleh kegaiban
Demi rembulan di larut malam
Yang bagai kereta kencana
Ditarik oleh kuda siluman
Yang bangkit dari cakrawala
yang bangkit begitu saja
berderap
Perlahan
Dan menciptakan gmeuruh
Dalam kediaman
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Untuk mengusap kening jiwa yang berabad menangis
Jiwa Adam
Rintih kerinduan
Yang mencegatnya di ujung jalan
Dan yang mencegatku kini
Dalam derita dan keasingan
Yang terus menjelma
Yang mengawali setiap pekik kelahiran
Dan yang terus berkembang dalam kenangan
Demi rembulan yang bagai pejalan sunyi
Menjelajah seluruh malam
Sehingga terciptalah dunia dan kehidupan
Dari angin, embun dan dedaunan
Yang berkilat
Karena cahayanya
Yang seakan mengisyaratkan harapan
Bagi kerinduanku nantinya
Ah, Tuhan!
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Buat menggoda!
Di semak-semak ini
Di hutan gelap yang tercipta
dalam gaung jiwa
Dalam gelegak samudera
Dalam gelegak darahku
Yang letih
Dan maya
:kutikamkan pisau ini
ke dadaku!
(terimalah
semangatku
reguklah
cintaku!)
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 29—30.
Laut Bergelombang
laut bergelombang laut bergelombang meninggalkan
pandangku hingga sayup laut bergelombang laut terus
bergelombang! kukira sejak sebelum Adam dihijrahkan laut
bergelombang mendenyutkan sejarah mengguyur abad demi
abad kuyup dalam bimbang -
aku sendiri bimbang, Tuhanku!
termangu di pantai dan tumbuhy risau diam-diam
lautan yang rahasia
bersusun-susun ombak dari kejauhan
kemudian cakrawala
kemudian matahari tenggelam di dalamnya
-- adakah ini sindiran
bagi cintaku, yang berulangkali mejelma
kesepian
di ujungnya?
ah, matahari! - bagai engkau
aku pun berulagkali tenggelam
di dada perempuan, di dada seribu padang
tapi selalu
di puncak persenyawaan
aku kehilangan - Ia
yang tak terpegang
-- kerna bagai Engkau jua
setiap kali muncul kembali dan menciptakan
terik siang -- aku pun kepergok
oleh mimpi yang lapar dan angan yang menghauskan
Tuhan, -- kapankah kiranya
Engkau berontak dari impian
turun di ranjangku
dan memecah keperawanan di batinku
yang dendam bagai setan!
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 31—32.
Kerna Janji Semesta
Kerna janji semesta
Dan agar langitku membuka
Kepunglah aku, Perempuanku!
Jika benar kau bakal ada
Muncul dari Alam
Lahir ketika sabda dibisikkan
Lirih di batinku
Yang hanya diam
Pengembaraan alangkah pajang!
Angan wajahu betapa kelam
Dan amat menghauskan
Sungguh kepunglah -
Meski harus kutempuh sehabis ini
Perjalanan demi perjalanan akhali
Petualangan tak kembali
Kerna yakin
Hausku sesudah ini akan lain.
Jika mungkin hendaklah
Tak kausindirkan ketemteraman
Atau kemerdekaan pada permukaannya yang sombong
Sebab bagiku soalnya -
Bagaimana tepat dan lebih dalam bersyukur
Kepada tangan yang kasih
Dan berusaha karib
Dengan daerah asalku
Yang dilambangkan rahim ibu.
Kepunglah, agar panas jiwaku, Perempuanku!
Agar berdenyut makna rindu
Dan agar menemukan gairah dalam terbelenggu
Bisakah kiranya kuharapkan godaan
Samar wajah-Mu
Dalam selintas pandang
ketika menjelma Engkau
Dari gelombang mimpi jauhku!
Kepunglah! Kepunglah!
Agar memberkas cahaya
Dari gulita nyawa dan kegelapan ruangku
Kegelapan, dan kegelapan
Berbeda -
Kegelapan karena buta mata yang putus asa
Sungguh tiada kuinginkan
Sebab tak bisa kukobarkan
Semangat untuk menemukan kemungkinan
Memahami lintas bayan-bayang
Jadi kepunglah!
Hingga menetes perih
Darah dari luka di dalam
Luka yang membahagiakan
Kemudian menggelepar aku dalam alpa
Dan tak bisa lagi bertanya
Jijik pada masa silamku
Pada pertanyaan-pertanyaan dungu, Perempuanku!
Aku bakal mati
Dengan merobek mukaku
Jika tak datang engkau
: memabukkanku!
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 33—34.
Harus Dengan Keringat
Jiwa
-- sajak perkawinan --
harus dengan keringat jiwa yang kita peras tuntas, kasihku
untuk menanam pohon yang kekal, di atas ladang
yang kita beli dengan nyawa dan seluruh usia kita
kerna itulah maka kumasuki bilik ini dan kudekap kau
agar tersiram sedikit hausku dan jika mungkin
seperti juga kau: "hendak kureguk deru isi dadamu!"
matamu memancarkan semangat bagai gelombang lautan
dari sorot mataku kaulihatkah lapar yang tiada henti
yang kemudian keduanya bertemu, dan meledak bagai
benturan dua matahari
dalam rahimmu kutumpahkan darah yang menyala
yang bertahun-tahun kutahan di batin, tubuhmu mengejang
dan berpijar sukma - nampak dari mimikmu yang pejam
maka tahulah aku apa makna kebijaksanaan kita ini
- tapi cukuplah usiamu dan usiaku, jika kita sambung
buat mengukur jarak Kau dan Aku - o, cahaya buruanku!
harus dengan keringat jiwa yang kita peras tuntas
agar terus berkumandang pergolakan ini
agar gegap gempita tetap terbungkus dalam sepi.
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 35.
Sedang Tuhan pun
Memanggil Cintamu
Sedang Tuhan pun memanggil-manggil
cintamu. memanggil kita yang dungu
Ketika dari lengking muadzin yang menggigil
Berjatuhan gerimis
Dan jiwa yang teriris
Marilah sembahyang!
Marilah bersujud!
Marilah tenggelam!
Seseorang bangkit dengan sendirinya
dari ranjang. Berwudhu, mengusap muka
dengan air sumur bumi kinasihnya. Air dari tanah
yakni sang Ibu yang melahirkannya
dan mengurus hari-hari matinya
- itu bakti kepada-Nya. Karena demikianlah semangat
dan bahagia: menemukan wujudnya.
Angin subuh membelai tubuhnya
DAn bulu-bulunya pun bangkitlah
Angin subuh adalah napas Tuhan
Berhembus dari mulutnya yang wangi
Mengusap keningmu. Meniupkan kesejukan
Mengalirkan darah hawa kehidupan
seseorang itu pun sedekap dan berpejam
Tidak untuk berpikir hal semacam keyakinan
Tapi buat mengangkat hasrat kasih
ke langit, ke kesertamertaan cinta
Menembuskannya ke kerlip bintang-bintang. Ke segala lambang
SSupaya terjilat gelap misteri
di belakangnya. Yakni si Mahakelam
Marilah sembahyang!
Marilah bersujud!
Marilah tenggelam!
Sedang Tuhan pun memanggil-manggil cintamu
Sedang Tuhan pun: rindu
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 36—37.
Merasuk Dalam
Asma Allah Semesta
Merasuk dalam asma Allah semesta
aku berjalan menerobos gerimis di hari senja
Aku dengan seluruh gelegak pesonaku
Menggenggam wajahmu. Agar sampai
Angan rinduku di keharibaanmu
Apakah namanya ini jika bukan taqarrub?
Membiaska semangat cinta kasih dalam wujud
Maka terimalah sembahyang kami, Semestaku
Janganlah berdiri kaku di situ. Ikutlah terlibat
Dalam pelukan ini. Agar mutlak peristiwa sujud kami
dapun jika sesat nafsu membakar
Itu adalah soal yang harus dperjuangkan
Itu dosa bagi perjanjian. Tapi bukan
Bagi kedamaian kita, bagi kerelaan dan pengorbanan
Allah sang Dewa Cinta
Tidaklh berpandangan kaku
atau cuci tangan
Terhadap gelombang jiwa yang ingin tenggelam
Allah
Dengan segala perbendaharaan-Nya yang mentakjubkan
Mengupas kening kita
Dan meniupkan permaafan
Seperti kau ketahui
Ia bagaikan cakrawala
kegaibannya sering tak kentara
Tapi menjamin kelelapan tidur kita
Maka supaya terjilat bayangan-Nya
Aku berjalan menerobos gerimis di suatu hari senja
Aku menerobos gerimis yang tak habisnya turun dalam jiwa
Yang membasahi nyawa
Aku ikut irama lagunya
Merasuk dalam asma Allah semesta
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 38—39.
Rimba Gelap di Depanmu
rimba gelap di depanmu
loncat masuk! -dan bukan berpikir
kapal di belakangmu musnah terbakar dan api terus
bernyala-nyala
api terus berkobar, menjilat-jilat, meremuk masa silammu
sedang gelombang samudera terus menderu, mengguncang
setiap pertimbangan
dan akan menerkam semua pengecut yang dungu, yang
tertegun dan bimbang
terjun! - dan jangan bertanya mana jalan, berapa jauh tepian
pertanyaan mesti dibereskan dengan pertanyaan. Api yang
memerah
harus menjadi perlambang bai panas jiwa, dan suara lautan
adalah gemuruh semangat, gelegak darah yang pantang bagai
malaikat
kegelapan, Perempuaku'tidak untuk dijabarkan'
Adam tidak membiarkan matanya kosong bertanya-tanya kapan
dan di mana berada gunung kenikmatan, tapi Hawa yang
telanjang
langsung diterkam dan direguknya! - berkat tangan gelap Tuhan
dan pecahlah keperawanan bumi. Kemudian bermula riwayat
di atas ladang-ladang misteri. - Demikianlah bayangan hidup
di mana seseorang harus hadir dan berangkat begitu saja
kekhawatiran, ketakutan, keasingan yang terbungkus dalam
tiap pengamatan
itu sah milik kita dan sangatlah diperlukan, tapi kapan?
seseorang tidak boleh mati dipecundang oleh akal yang
senantiasa menipiskan harapan
seseorang harus tetap hidup sementara kaku penimbangan
membuatnya terkencing-kencing
dan bersembunyi di belakang kata-kata manis yang berdesir
lunak di telinga khalayak
tapi di manakah letak Tuhan? Di dalam kegelapan itu, di manakah
Ia berjaga sambil memainkan peranannya diamdiam?
barangkali cuma bisa dilayani dengan Iman atau beberapa
tipuan yang mengasyikkan
tetapi urusan kita hanyalah perbuatan
dan berpikir sambil berjalan
Perempuanku,
hidup kita hanyalah
menembus kelam
mengetuk setiap pintu
sambil berdebar
menanti jawaban......
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 40—41.
Jika Kaucium
maka jika kaucium punggung jari tanganku, kakukira aku akan
berbusung dada bagai sesat hati si raja dungu yang lupa siapa
berdiri di belakang tabir putih nurani rakyatnya?
siapa, kautahu. Siapa?
atau kausangka aku segera berpikir hal cengeng menang kalah
perang?
dan meledakkan gemerincing belenggu serta lagu pahit
seorang budak belian?
ataukah terhalang kekhusyukanmu oleh kesombongan dungu
tentang harga
topeng manis dari rasa malu yang diam-diam, serta tentang
kemerdekaan?
kemerdekaan! betapa perkasa nyanyi kemerdekaan!
o, mimpi kisruh kemanusiaan! - ingatlah bahwa kita tak bisa
lepas terbang seperti burung-burung
sambil memiliki bening dan mutlaknya cinta, tanpa diganggu
akal yang sok dan liku nasib yang licik
dan apa sih harga? kebanggaan-kebanggaan tercecer di
pinggir jalan?
pembelaan setiap kali kepergok dan kedodoran atau pisau
yang keliru ditikamkan?
sungguh tak pantas mukanya nongol dalam tuntas keringat
kita dan jangan sekali-kali menghambat gemuruh darah yang
tegang bersenyawa
Perempuanku! - itu isyarat Tuhan
penderitaan adalah perlambang
di sisi seribu kebetulan dan hal-hal remeh yang mengisyaratkan
kukira sang penjaga di ubun
di kaki
di punggung
di pundak
di kedua tangan
dan segenap ruang, menyeretku
begitu saja, sambil memberiku rasa sakit
yang sama denganmu!
kemudian tumbuh semacam dahaga
kekeringan di tenggorokan jiwaku
yang hanya basah oleh liurmu
dan apa artinya merdeka? jika ia tak bebas
mencari wujudnya!
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 42—43.
Lagu
Sangatlah nyaman
Serta penuh kekhusyukan
Bersahabat dengan angin
Dan matahari pagi
Wajah gadisku yang membayang
Mengajakku sejenak berpejam
Tunduk kepala, dan
Menggumamkan salam
Dan embun menguap
Setelah semalaman
- bagai peristiwa cinta -
Membungkus dedaunan lelap
O, biru langit!
O, bukit-bukit!
Saksikanlah bahwa merdeka
Sangatlah mengikat
Bahwa jiwa
Butuh saat-saat alpa
Di mana roh diguncang
Tercampak dari tanya dan pikiran
Gadisku! Wahai gadisku!
Sangatlah nyaman
Bersetia kasih dengan Alam
Dan di bawah Iman-Nya: kita tenggelam
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 44.
Bisakah Kiranya
bisakah kiranya kuharapkan godaan
bisakah kiranya sekilas kau membayang
bisakah kiranya kurebahkan kejemuan
bisakah kiranya bangit dari kebekuan
bisakah kiranya lenyap dari kesadaran
bisakah kiranya dalam alpa aku tenggelam
bisakah kiranya dalam pelukanmu kucipta nyanyian
75
Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-2). Sesobek Buku Harian Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama. Hal. 45.
Siapapun… Siapapun…!
Saya mohon didoakan. Apa saja. Pokoknya bukan doa yang bukan
berpotensi pada kecelakaan dan kesia-siaan hidup saya. Terimakasih
sebelum dan sesudahnya. Terimakasih selamanya.
Surabaya, 01 Juni 2008 – 02:07
Pengetik (bukan penulis) kumpulan puisi ini
Faishal Himawan MKI