KAMIS, 26 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Sentra Beduk … fileKalau turun hujan, dipastikan...

1
Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah, itu menghaluskan permukaan kayunya dengan ampelas. Meski siang terik pertengah- an Ramadan, sambil men- jalankan ibadah puasa, seluruh pembuat beduk tetap berjibaku mengejar penyelesaian beduk- beduk pesanan yang belum rampung. Tenggat hampir ha- bis untuk penuntasan pesanan beduk bulan ini yang melonjak bukan main. Takir bergumam, menyelesai- kan sebuah beduk berdiameter 80 sentimeter seperti yang ada di tangannya makan waktu 3-5 hari. Setelah menghaluskan kayu serta memasang kulit sapi pada kedua sisi, beduk dicat lalu dijemur di bawah terik matahari supaya benar-benar kering sebe- lum dipasarkan. “Pekerjaannya sebetulnya sederhana, tapi butuh waktu cukup lama karena harus menunggu kulitnya kering. Kalau turun hujan, dipastikan penyelesaiannya mundur.” Dipasarkan ke Ibu Kota Usaha beduk tempat Takir bekerja mulai berdiri sejak 1991, sebagai alternatif dari sentra pembuatan utama, yakni di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Semakin berkembangnya produksi beduk asal Desa Ke- niten membuat kawasan ini naik daun dan menjadi pesaing kuat bagi pemasaran beduk ke Ibu Kota. “Sampai-sampai dari Bumiayu ada yang mengambil dari sini,” kata Tauk Amin, 38, pemilik usaha tersebut. Sepanjang bulan Ramadan, Taufik mengaku kebanjiran order. Beberapa pesanan kon- sumen harus ditolak karena pekerja kewalah- an. “Pada awal Ramadan sampai Lebaran mendatang, setidaknya ada pesanan sekitar 11 beduk berbagai ukuran dari 50 cm hingga 1 meter. Ini dua kali li- pat daripada pesanan bulan lalu,” ujarnya. Mengerjakan beduk berukur- an kecil hanya butuh waktu sehari. Sementara itu, beduk besar dengan diameter 1 meter memakan waktu pengerjaan hingga 10 hari. “Lamanya waktu hingga penyelesaian sebetulnya tergantung musim. Sebab kami harus menunggu kulit sapi kering terlebih da- hulu baru bisa dipasang,” jelas Tauk yang hanya menyelesai- kan pendidikan hingga SMP. Untuk membuat rangka dan tempat beduk berdiameter 1 meter, dibutuhkan 1,5 kubik kayu jenis trembesi yang kini harganya mencapai Rp950 ribu per kubik. Dengan begitu, biaya pembelian kayu untuk satu beduk sekitar Rp1,4 juta. Sementara itu, satu beduk besar membutuhkan 45 kilo- gram kulit sapi yang saat ini harganya Rp19.500 per kg. “Total modal pembelian bahan pembuatan beduk berdiameter 1 meter sekitar Rp2,3 juta. Saat ini kalau kami jual kembali, harganya berkisar Rp5 juta,” terang Tauk. Ramadan memang memberi berkah bagi sentra-sentra pem- buatan beduk di Tanah Air. Sebagian produk dari Desa Keniten dikirim langsung ke konsumen yang datang meme- san, untuk kebutuhan malam takbiran. Lainnya diperda- gangkan lagi lewat para peda- gang di sentra beduk yang lebih besar, yakni Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. (N-4) [email protected] DI Pulau Alor masih tersimpan pakaian yang terbuat dari kulit kayu, peninggalan masa lampau masyarakat Pureman yang mendiami sisi timur pulau tersebut. Setiap parade seni budaya menjelang HUT kemerdekaan RI berlangsung, pakaian ini dikeluarkan dan dipakai. Warga yang hadir selalu menunggu kemunculan kelompok warga yang dalam parade itu memamerkan busana kulit kayu berkeliling lapangan sambil menari mengikuti irama musik. Dulunya, nenek moyang orang Pureman memang berdiam di hutan. Mereka berburu binatang dengan busur dan panah untuk santapan sehari-hari. Untuk pakaian, mereka membersihkan kulit kayu dan mem- bentuknya menyerupai baju dan celana untuk dikenakan kaum lelaki dan perempuan. Sekarang, meskipun masyarakat Pureman masih teriso- lasi dan belum mempunyai akses jalan dan komunikasi yang memadai, banyak muda-mudinya sudah meninggalkan pakai- an kulit kayu dan mulai mengenakan busana berbahan kain, jins, dan kaos. Sementara orang dewasa biasa mengenakan tenun adat yang dibentuk menjadi sarung. Ada juga yang sudah memakai ke- meja dan kaus seperti masyarakat modern. Tetapi tetap saja, ke mana pun mereka pergi, biasanya mereka menyelipkan panah, busur, serta parang di pinggang. (PO/N-4) T AKIR, 28, tengah menge- but penyelesaian sebuah beduk besar. Tangannya cekatan menancapkan paku ke tatanan kayu yang membentuk lingkaran berdiameter 80 sen- timeter. Kemudian, pekerja di unit usaha beduk Desa Keniten, Sentra Beduk di Ujung Tenggat Nusantara | 9 KAMIS, 26 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Pembuat beduk terpaksa berjibaku mengejar penyelesaian beduk-beduk pesanan yang belum rampung. Liliek Dharmawan PERAJIN BEDUK: Pekerja merampungkan pembuatan beduk di Desa Keniten, Kecamatan Kedung Banteng, Banyumas, Jawa Tengah, pekan lalu. Di bulan Ramadan, pemesanan beduk naik dua kali lipat. ASAL USUL Pakaian Kulit Kayu FOTO-FOTO: MI/LILIEK DHARMAWAN MI/ PALCE AMALO

Transcript of KAMIS, 26 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Sentra Beduk … fileKalau turun hujan, dipastikan...

Page 1: KAMIS, 26 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Sentra Beduk … fileKalau turun hujan, dipastikan penyelesaiannya mundur.” Dipasarkan ke Ibu Kota Usaha beduk tempat Takir bekerja mulai

Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah, itu menghaluskan permukaan kayunya dengan ampelas.

Meski siang terik pertengah-an Ramadan, sambil men-jalankan ibadah puasa, seluruh pembuat beduk tetap berjibaku mengejar penyelesaian beduk-beduk pesanan yang belum rampung. Tenggat hampir ha-bis untuk penuntasan pesanan beduk bulan ini yang melonjak bukan main.

Takir bergumam, menyelesai-kan sebuah beduk berdiameter 80 sentimeter seperti yang ada di tangannya makan waktu 3-5 hari. Setelah menghaluskan kayu serta memasang kulit sapi pada kedua sisi, beduk dicat lalu dijemur di bawah terik matahari supaya benar-benar kering sebe-lum dipasarkan.

“Pekerjaannya sebetulnya sederhana, tapi butuh waktu cukup lama karena harus menunggu kulitnya kering. Kalau turun hujan, dipastikan penyelesaiannya mundur.”

Dipasarkan ke Ibu KotaUsaha beduk tempat Takir

bekerja mulai berdiri sejak 1991, sebagai alternatif dari sentra pembuatan utama, yakni di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Semakin berkembangnya produksi beduk asal Desa Ke-niten membuat kawasan ini naik daun dan menjadi pesaing kuat bagi pemasaran beduk ke Ibu Kota. “Sampai-sampai dari Bumiayu ada yang mengambil dari sini,” kata Taufi k Amin, 38, pemilik usaha tersebut.

Sepanjang bulan Ramadan, Taufik mengaku kebanjiran order. Beberapa pesanan kon-s u m e n harus ditolak k a r e n a p e k e r j a kewalah- an.

“Pada awal Ramadan sampai Lebaran mendatang, setidaknya ada pesanan sekitar 11 beduk berbagai ukuran dari 50 cm hingga 1 meter. Ini dua kali li-pat daripada pesanan bulan lalu,” ujarnya.

Mengerjakan beduk berukur-an kecil hanya butuh waktu sehari. Sementara itu, beduk besar dengan diameter 1 meter memakan waktu pengerjaan hingga 10 hari. “Lamanya waktu hingga penyelesaian sebetulnya tergantung musim. Sebab kami harus menunggu kulit sapi kering terlebih da-hulu baru bisa dipasang,” jelas Taufi k yang hanya menyelesai-kan pendidikan hingga SMP.

Untuk membuat rangka dan tempat beduk berdiameter 1 meter, dibutuhkan 1,5 kubik kayu jenis trembesi yang kini harganya mencapai Rp950 ribu per kubik. Dengan begitu, biaya pembelian kayu untuk satu beduk sekitar Rp1,4 juta.

Sementara itu, satu beduk besar membutuhkan 45 kilo-gram kulit sapi yang saat ini harganya Rp19.500 per kg. “Total modal pembelian bahan pembuatan beduk berdiameter 1 meter sekitar Rp2,3 juta. Saat ini kalau kami jual kembali, harganya berkisar Rp5 juta,” terang Taufi k.

Ramadan memang memberi berkah bagi sentra-sentra pem-buatan beduk di Tanah Air. Sebagian produk dari Desa Keniten dikirim langsung ke konsumen yang datang meme-san, untuk kebutuhan malam takbiran. Lainnya diperda-gangkan lagi lewat para peda-gang di sentra beduk yang lebih besar, yakni Bumiayu, Kabupaten Brebes , Jawa Tengah. (N-4)

[email protected]

DI Pulau Alor masih tersimpan pakaian yang terbuat dari kulit kayu, peninggalan masa lampau masyarakat Pureman yang mendiami sisi timur pulau tersebut.

Setiap parade seni budaya menjelang HUT kemerdekaan RI berlangsung, pakaian ini dikeluarkan dan dipakai. Warga yang hadir selalu menunggu kemunculan kelompok warga yang dalam parade itu memamerkan busana kulit kayu berkeliling lapangan sambil menari mengikuti irama musik.

Dulunya, nenek moyang orang Pureman memang berdiam di hutan. Mereka berburu binatang dengan busur dan panah untuk santapan sehari-hari.

Untuk pakaian, mereka membersihkan kulit kayu dan mem-

bentuknya menyerupai baju dan celana untuk dikenakan kaum lelaki dan perempuan.

Sekarang, meskipun masyarakat Pureman masih teriso-lasi dan belum mempunyai akses jalan dan komunikasi yang memadai, banyak muda-mudinya sudah meninggalkan pakai-an kulit kayu dan mulai mengenakan busana berbahan kain, jins, dan kaos.

Sementara orang dewasa biasa mengenakan tenun adat yang dibentuk menjadi sarung. Ada juga yang sudah memakai ke-meja dan kaus seperti masyarakat modern. Tetapi tetap saja, ke mana pun mereka pergi, biasanya mereka menyelipkan panah, busur, serta parang di pinggang. (PO/N-4)

TAKIR, 28, tengah menge-but penyelesaian sebuah beduk besar. Tangannya

cekatan menancapkan paku ke tatanan kayu yang membentuk lingkaran berdiameter 80 sen-timeter.

Kemudian, pekerja di unit usaha beduk Desa Keniten,

Sentra Beduk di Ujung Tenggat

Nusantara | 9 KAMIS, 26 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

Pembuat beduk terpaksa berjibaku mengejar penyelesaian beduk-beduk pesanan yang belum rampung.

Liliek Dharmawan

PERAJIN BEDUK: Pekerja merampungkan pembuatan beduk di Desa Keniten, Kecamatan Kedung Banteng, Banyumas, Jawa Tengah, pekan lalu. Di bulan Ramadan, pemesanan beduk naik dua kali lipat.

ASAL USUL

Pakaian Kulit Kayu

FOTO-FOTO: MI/LILIEK DHARMAWAN

MI/ PALCE AMALO