KAMI BISA!

92
Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy FIELD Indonesia Sekolah Lapangan untuk Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan Kami Bisa!

Transcript of KAMI BISA!

Page 1: KAMI BISA!

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and DemocracyFIELD Indonesia

Sekolah Lapanganuntuk Ketahanan

Daerah Aliran Sungaidan Kesehatan

Kami Bisa!

Page 2: KAMI BISA!

Sekolah Lapanganuntuk Ketahanan

Daerah Aliran Sungaidan Kesehatan

Kami Bisa!

FIELD Indonesia

Page 3: KAMI BISA!

Thorburn, Craig, “Kami Bisa!: Sekolah Lapangan untuk Ketahanan Daerah AliranSungai dan Kesehatan”, Jakarta, FIELD Indonesia, 2010.

Terjemahan dari: Thorburn, Craig, “YesWe Can: Field Schools for WatershedResilience and Health”, Jakarta, USAID's Environment Services Program, 2009.

Penerbitan ini didukung oleh Yayasan FIELD Indonesia

Farmers' Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Jalan Teluk Jakarta No. 1, Komplek Perumahan TNI AL, Rawa Bambu, Pasar Minggu,Jakarta 12520Tel. 021-7803740, 33101515Fax. 021-7803740Email [email protected]: www.field-indonesia.org; www.thefieldalliance.org; www.alivefp3.org;www.pedigrea.org

USAID's Environment Services ProgramRatu Plaza Building lantai 17Jalan Jendral Sudirman Kav. 9Jakarta 10270Tel. 021-7209594Fax. 021-7204546Web: www.esp.or.id

Penulis: Craig ThorburnPenterjemah: Triyoga Dharma UtamiTim Editor dan Produksi: Nugroho Wienarto,Alifah Sri Lestari,Triyanto Purnama AdiTata Letak, Ilustrasi dan Perwajahan: Triyanto Purnama AdiFoto: Craig Thorburn, dan ESP

Januari 2010Publikasi ini diterbitkan oleh Yayasan FIELD Indonesia, atas ijin dari Program Jasa Lingkungan (ESP) DAI dan United States Agency for International Development (USAID)

ISBN 979-98088-10-2

ACUAN

iiKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 4: KAMI BISA!

iiiKami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

KATAPENGANTAR

FIELD Indonesia

Buku ini diterbitkan oleh Yayasan FIELD Indonesia sebagai terjemahan dari laporan Program Jasa Lingkungan (Environment Services Program-ESP) USAID,berjudul YesWe Can: Field Schools for Watershed Resilience and Health, yang ditulis oleh Dr. Craig Thorburn dari Universitas Monash,Australia. FIELD membantu ESP dan mitra dalam pengembangan metodologi dan pelaksanaan Sekolah Lapangan ESP, yang terkait dengan pengelolaan daerah aliran sungai, pertanian berbasis kehutanan, konservasi keanekaragaman hayati, dan komponen program lainnya.

Program Jasa Lingkungan (Environmental Service Program - ESP) USAIDmempromosikan peningkatan derajad kesehatan yang lebih baik dengan memperbaiki pengelolaan sumber daya air dan meningkatkan akses air bersih dan layanan sanitasi. ESP melakukan pendekatan 'Dari Hulu ke Hilir, untuk memastikan ketersediaan air bersih dengan melindungi sumber-sumber air yang rentan di kawasan hulu; bekerja sama dengan para pihak penyedia dan pengguna sumber daya air di daerah hilir.Tiga komponen dalam program ESP meliputi:Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Konservasi Keanekaragaman Hayati; Kegiatan Jasa Lingkungan; dan Pembiayaan Jasa Lingkungan. Ekosistem DAS di kawasan hulu yang dikelola dengan baik menentukan keberhasilan seluruh program ESP; tanpa pengelolaan DAS yang baik, hanya akan sedikit perbaikan terjadi dalam penyediaan air bersih sanitasi lingkungan di daerah hilir.Satu pendekatan yang dikenal sebagai Sekolah Lapangan (SL) telah diadaptasi sebagai strategi utama dalam komponen program kunci ini, yang dilaksanakan bersama masyarakat, yang mendiami maupun berdekatan dengan wilayah resapan DAS yang vital.

Besar harapan kami agar buku ini bisa ikut menyumbang khasanah ilmu pengetahuan dan pengalaman nyata bagi para pembaca, baik yang menjadi penentu kebijakan dan pelaksana di Pemerintah pusat dan daerah, maupun para penggiat di universitas, LSM dan badan-badan pembangunan karena buku ini memberikan contoh dan inspirasi bagi pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan sumberdaya air, keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup kita bersama. Untuk itu, kami sampaikan terima kasih kepada Dr. Craig Thorburn yang menyarikan pengalaman dan ide-ide masyarakat,pelaksanaan berbagai Sekolah Lapangan di ESP, pengembangan metodologi dan konteks lingkungan dan pembangunan dalam sebuah tulisan yang ringkas.

Page 5: KAMI BISA!

ivKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Pada kesempatan ini pula, ijinkanlah kami menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung pengembangan Sekolah Lapangan ESP, khususnya anggota masyarakat dan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga mitra di wilayah-wilayah program yang sedang berjuang dalam mengelola sumber daya air, kekayaan hayati dan kehidupan bersama untuk masa depan.

Jakarta, Januari 2010

Nugroho WienartoDirektur Eksekutif, FIELD

Reed MerrillDeputy Chief of Party/WatershedManagement Advisor, ESP

Page 6: KAMI BISA!

Banyak pihak telah berkontribusi dalam penerbitan kali ini. Laiknya Sekolah Lapangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terjabarkan di sini, buku ini juga menghadirkan kreasi kolektif semua pihak yang berbagi pengetahuan,pengalaman, ide-ide dan keahlian. Terima kasih terutama disampaikan kepada para pimpinan Program Jasa Lingkungan USAID (Environmental Services Program/ESP USAID), terutama Deputy Chief of Party dan Penasehat Pengelolaan DAS ESP - Reed Merrill dan Koordinator ESP Sumatera Utara, Russ Dilts, yang memunculkan gagasan menyusun buku ini, dan untuk Ibu Trigeany Linggoatmodjo dari USAID yang memberikan dukungan. Saya sangat berterima kasih kepada Staf Spesialis Monitoring dan Evaluasi Partisipatif ESP, Alifah Sri Lestari, yang mengoordinasikan seluruh kunjungan lapangan, menemani penulis pada beberapa kunjungan lapangan, dan memastikan bahwa segalanya terlaksana sesuai dengan rencana. Tanpa bantuannya yang mumpuni, itikad baik ini tak mungkin terselesaikan tepat pada waktunya!

Ucapan terima kasih disampaikan pula secara khusus kepada sejumlah staf lapangan ESP yang mencurahkan segenap waktu dan upaya untuk menunjukkan kepada saya ‘cara kerja’ di lapangan,Wahyu Sutisna dan Arief Lukman Hakim di JawaTimur, Nanang Budiyanto di Jawa Tengah,Aditiajaya,Arman Abdul Rohman,Idham Arsyad, Sih Yuni dan Wouter Sahanaya di Jawa Barat, Rezki Mulia Bahar di DKI Jakarta, John Pontius dan Faisal Rusli di Aceh, serta Russ Dilts, Syafrizaldi dan Widyastama Cahyana di Sumatra Utara. Nugroho Wienarto dan Engkus Kuswara dari FIELD Indonesia yang berkenan menemani saya dalam beberapa kunjungan lapangan, dan bermurah hati membagi wawasan dan pengetahuan mereka tentang pendekatan Sekolah Lapangan Petani, beserta sejarah dan prestasinya. Beberapa diskusi hangat di kantor FIELD Indonesia di Jakarta terbukti bermanfaat dalam mengembangkan kerangka konseptual untuk buku ini.Triyanto Purnama Adi, juga dari FIELD Indonesia, menyajikan sejumlah tampilan gambar dalam buku ini, yang menjadikan buku ini semakin mudah dibaca.

Sejumlah pemerintah daerah dan pihak swasta yang berperan sebagai pihak pendukung telah memberikan pendapat mereka terhadap Program Jasa Lingkungan dan model Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS, penghargaan terhadap skema Jasa lingkungan, dan keterlibatan para pihak; Bapak Bambang Dono dari Bappeda Kabupaten Magelang, Bapak Alimin dari PT Indonesia Power,dan Ir. Djoni dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat secara khusus saya ucapan terima kasih.

UCAPANTERIMA KASIH

vKami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 7: KAMI BISA!

Namun orang-orang yang sejatinya menginspirasi buku ini, dan yang memberikan sebagian besar informasi pada halaman demi halaman buku ini, adalah para alumni Sekolah Lapangan ESP, kelompok masyarakat dan anggota forum, serta para Asisten Lapangan yang telah berbagi pengalaman dan semangat mereka,memamerkan hamparan sawah mereka, hutan, mata air dan sungai, dan secara keseluruhan memancarkan dinamika dan kreativitas dari pengalaman Sekolah Lapangan. Saya hanya bisa berharap semoga kata-kata dari saya memuat apa yang telah mereka tuturkan dengan penuh kebanggaan sekaligus ketulusan.

Pendapat yang dikemukakan dalam buku ini tidak mewakili kebijakan maupun kedudukan lembaga USAID dan DAI, melainkan mewakili penulis sendiri.Demikian juga setiap kesalahan fakta ataupun penafsiran adalah tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Laporan ini ditulis oleh Craig Thorburn dari Monash University.

viKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 8: KAMI BISA!

Acuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i ii

Ucapan Terima Kasih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

Executive Summary / Ringkasan Eksekutif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi

Daftar Istilah dan Singkatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii

1. Pendahuluan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

1.1. Bagaimana Caranya?. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

1.2. Kita Butuh Roh Sekolah Lapangan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5

2. Berawal dari Sawah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9

2.1. Menggerakkan Sekolah Lapangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

2.2. Masyarakat PHT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14

3. Sekolah Lapangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ESP . . . . . . . . . 19

3.1. Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21

3.1.1. Modal Perikehidupan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23

3.1.2. Konteks Kerentanan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

3.1.3. Kebijakan, Proses, Dan Kelembagaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26

3.2. ToT di Solok. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

3.3. Sekolah Lapangan di Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

3.3.1. Sekolah Lapangan Wengkon, Jawa Timur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33

3.3.2. Sekolah Lapangan Perlindungan Sumber Air, Jawa Tengah . . . . 36

DAFTARISI

viiKami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 9: KAMI BISA!

3.3.3. Sekolah Lapangan Perikehidupan, Nanggroe Aceh Darussalam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38

3.3.4. Sekolah Lapangan Kampung-perkotaan, Jakarta . . . . . . . . . . . . 39

3.3.5. Sekolah Lapangan-Mini . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40

4. Daya Dongkrak dan Perluasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45

4.1. Hari Temu Lapangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46

4.2. Forum-forum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47

4.3. Jejaring dan Kemitraan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 48

4.4. Dukungan Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52

5. Sekolah Lapangan untuk Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan . . . . 53

5.1. Pembangunan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54

5.2. Keberlanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55

5.3. Degradasi, Konservasi dan Pengelolaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57

5.4. Partisipasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59

5.5. Pendidikan Non-formal untuk Orang Dewasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63

5.5.1. Ranah Pembelajaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64

5.5.2. …atau, Bagaimana (dan Mengapa) Sekolah Lapangan PHT Berjalan Sukses . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 66

6. Epilog: Sebuah Monumen Keran di Sukamulya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 69

FIELD Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 71

ESP (Environmental Services Program) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 72

Rujukan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 74

viiiKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 10: KAMI BISA!

The USAID Environmental Services Program (ESP) promotes better health by improving water resources management and increasing access to clean water supply and sanitation services. ESP takes a 'Ridges to Reefs' approach, to ensure the availability of clean water by protecting fragile upland sources, while working with water providers and users in the lowlands.The ESP program encompasses three distinct components:WatershedManagement and Biodiversity Conservation; Environmental Services Delivery; and Environmental Services Finance. Sound management of upland watershed ecosystems is critical to the success of all of ESP's programs;without good watershed management,there can be little improvement of downstream water delivery or environmental sanitation. An approach known as the Farmer Field School (FFS) has been adapted as the primary strategy of this key program component, carried out with communities living in or adjacent to vital watershed catchment areas.

The Farmer Field School (FFS) is an approach to experiential learning first developed in Indonesia during the 1980s and '90s to encourage farmers to practice Integrated Pest Management (IPM) in rice. The FFS model combines adult non-formal education with agro-ecosystem analysis, involving a series of weekly meetings over the course of an

EXECUTIVESUMMARY

ix

Program Jasa Lingkungan (EnvironmentalService Program -ESP) USAID mempromosikan tingkat kesehatan yang lebih baik dengan memperbaiki pengelolaan sumber daya air dan meningkatkan akses air bersih dan layanan sanitasi. ESP melakukan pendekatan ‘Dari Hulu ke Hilir’, untuk memastikan ketersediaan air bersih dengan melindungi sumber-sumber air yang rentan di dataran tinggi; bekerja sama dengan para pihak penyedia dan pengguna sumber daya air di dataran rendah. Tiga komponen dalam program ESP meliputi: Pengelolaan Daerah AliranSungai (DAS) dan KonservasiKeanekaragaman Hayati; Kegiatan Jasa Lingkungan; dan Pendanaan Jasa Lingkungan. Ekosistem DAS di dataran tinggi yang dikelola dengan baik menentukan keberhasilan seluruh program ESP; tanpa pengelolaan DAS yang baik, hanya akan sedikit perbaikan terjadi dalam penyaluran air ke daerah hilir maupun sanitasi lingkungan di daerah hilir. Satu pendekatan yang dikenal sebagai Sekolah Lapangan Petanitelah diadaptasi sebagai strategi utama dalam komponen program kunci ini,yang dilaksanakan bersama masyarakat yang mendiami maupun berdekatan dengan wilayah resapan DAS yang vital.

Sekolah Lapangan Petani (SLP) merupakan satu pendekatan pembelajaran melalui pengalaman yang pertama dikembangkan di Indonesia pada sekitar tahun 1980an dan 1990an

RINGKASANEKSEKUTIF

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 11: KAMI BISA!

entire growing season. Small groups of farmers conduct in-field observation and analysis, and make crop management decisions. The FFS approach represents a radical departure from prior models of agricultural extension. IPM Farmer Field Schools proved to be quite effective, and the model has subsequently been adapted to a broad range of agricultural crops and systems, in at least 78 developing countries in Asia, Africa, Latin America,Eastern Europe and the Middle East,with a total of over four million graduates. This book describes ESP's adaptation and application of the Farmer Field School model to promote sustainable agro-forestry and integrated watershed management in the Indonesian provinces Aceh, North and West Sumatra, and East, Central and West Java.

Whereas in the original IPM Farmer Field Schools, the rice field agro-ecosystem formed the basis for organizing and action, ESP WatershedManagement Field Schools (WSM-FS) focus on the hydrological cycle as their primary organizational concept, combined with the Sustainable Livelihoods Framework -- a conceptual model that helps participants explore the relationships between social,economic and environmental resources,structures, actions, forces, and impacts.The basic WSM-FS model has been adapted to the particular conditions and contexts faced by communities in each region where ESP operates, and as such, has given rise to a diverse range of follow-up action plans and activities.

Although implementation of ESP's WSM-FS model has only been underway for a relatively short time,

x

dalam rangka mendorong petani mempraktikkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) untuk tanaman padi.SLP menggabungkan model pendidikan non-formal orang dewasa dengan analisis agro-ekosistem, melibatkan serangkaian pertemuan mingguan selama masa pelatihan dalam satu musim tanam. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari para petani melakukan observasi dan analisis lapangan, sekaligus membuat keputusan tentang pengelolaan tanaman.Pendekatan SLP menyuguhkan perubahan radikal dari model penyuluhan pertanian sebelumnya.Sekolah Lapangan Petani PHT terbukti cukup efektif, dan model ini selanjutnya diadaptasi berbagai sistem dan tanaman pertanian, di sedikitnya 78 negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Timur Tengah,dengan total jumlah lulusan lebih dari empat juta orang. Buku ini menjabarkan adaptasi ESP dan aplikasi model Sekolah Lapangan Petani untuk mempromosikan pertanian berbasis kehutanan berkelanjutan dan pengelolaan daerah aliran sungai terpadu di sejumlah provinsi di Indonesia, yaitu Aceh,Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Jika Sekolah Lapangan Petani PHT meyakini agro-ekosistem di sawahmerupakan basis bagi pengorganisasian dan pelaksanaan aksi, Sekolah Lapangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SL-PDAS) fokus pada siklus hidrologis sebagai konsep dasar pengorganisasian,yang dipadukan dengan Kerangka Perikehidupan Berkelanjutan -- sebuah model konseptual yang membantu para peserta menggali hubungan antara sumber daya, struktur, aksi, kemampuan,dan dampak yang memuat unsur sosial,

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 12: KAMI BISA!

xi

results have been extremelyencouraging, as alumni groups continue to innovate and disseminate effective agro-forestry and watershed management approaches.

This manuscript is not intended to provide a detailed account of all the different innovations and variations that have developed over the course of the ESP program’s implementation of the WSM-FS model, but rather provides a number of examples to illustrate the effectiveness of the approach, and the sorts of sustainable development outcomes that have emerged from this process. The narrative begins with a brief overview of the origins of the FFS model for IPM in rice, followed by descriptions and discussion of ESP experiences implementing WSM-FS in different regions and contexts.Thefollowing section discusses issues of ‘leveraging’ and ‘scaling-up’ that have evolved as part of this process of continuous learning and innovation.The final chapter examines some of the conceptual issues underpinning the FFS model, and reasons for its success.

ekonomi serta lingkungan hidup. Model dasar SL-PDAS telah diadaptasi kesejumlah kondisi dan konteks tertentu yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di masing-masing wilayah yang berada di dalam wilayah kerja ESP,sehingga melahirkan berbagai rencana aksi dan aktivitas tindak lanjut.

Meskipun penerapan model SL-PDAS yang dilakukan ESP baru berlangsung dalam kurun waktu relatif singkat, hasil-hasilnya ternyata sangat memuaskan,karena para kelompok alumni terus melanjutkan berinovasi dan menyebarkan pendekatan pengelolaan DAS dan pertanian berbasis kehutanan yang efektif.

Naskah ini tidak bermaksud menjabarkan secara rinci seluruh aneka inovasi dan variasi yang dikembangkan selama masa pelatihan penerapan model SL-PDAS dalam program ESP, melainkan mengangkat sejumlah contoh untuk menggambarkan efektifitas pendekatan,dan jenis-jenis hasil perkembangan berkelanjutan yang muncul dari proses ini. Narasi dimulai dengan gambaran singkat mengenai asal mula model SLP dalam PHT untuk tanaman padi,dilanjutkan dengan ulasan dan bahasan pengalaman ESP menerapkan SL-PDAS di sejumlah wilayah dan konteks yang berbeda. Bagian selanjutnya membahas isu ‘daya dongkrak’ dan ‘perluasan’ yang menjadi bagian dari proses pembelajaran dan berinovasi terus-menerus ini. Bab terakhir mengkaji sejumlah isu konseptual yang melandasi model SLP beserta alasan-alasan keberhasilannya.

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 13: KAMI BISA!

xiiKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 14: KAMI BISA!

Asian Development BankYayasan Alumni Fakultas Pertanian - Universitas Andalas, Sumatra BaratAppreciative Inquiry (Kajian Apresiasif)Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBadan Perencanaan Pembangunan DaerahBimbingan Massal - Program Nasional Intensifikasi PadiCommunity-based Needs Assessment (Penilaian Kebutuhan Berbasis Masyarakat)Consultative Group on International Agricultural ResearchDevelopment Alternatives Inc.Daerah Aliran SungaiDepartment for International Development (UK)Environmental Services Program (Program Jasa Lingkungan)Food dan Agriculture Organization (Organisasi Pangan dan Pertanian)Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods dan DemocracyForum Multi StakeholderGerakan Aceh MerdekaHimpunan Petani Minangkabau Peduli LingkunganPertanian berbasis kehutanan - wana taniInstitute for Development Studies (Institut Studi Pembangunan)Institut Pertanian Organik, Sumatra BaratIkatan Petani Pengendalian Hama Terpadu IndonesiaInsinyurInternational Rice Research Institute (Institut Penelitian Padi Internasional)Kecamatan Development Program (Bank Dunia - Program Pengembangan Kecamatan)Lembaga Swadaya MasyarakatUnit tradisional masyarakat, yang terdiri dari beberapa dusun atau desaNorwegian Agency for Development Cooperation (Badan Pemerintahan Norwegia untuk Kerjasama Pembangunan)Organization of Petroleum Exporting Countries (Organisasi Negara Pengekspor Minyak)Pemerintahan masa mantan Presiden Suharto - 1965-1998Participatory Action Research (Riset Aksi Partisipatoris)

ADBAFTA

AIBAPPENASBAPPEDA

BIMASCBNA

CGIARDAIDAS

DFIDESP

FAO

FIELDFMS

GAMHPMPL

AgroforestryIDSIPO

IPPHTIIr.

IRRI

KDP

LSMNagari

NORAD

OPEC

Orde BaruPAR

DAFTAR ISTILAHDAN SINGKATAN

xiiiKami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 15: KAMI BISA!

PDAMPerdes

Perum PerhutaniPHBM

PHTPLA

PMDHPNPM Mandiri

PPKPRAPTS

SLSLA

SLF

SRIToT

UNCED

UNDP

USAID

WCED

Wengkon

Perusahaan Daerah Air MinumPeraturan DesaPerusahaan Kehutanan IndonesiaPengelolaan Hutan Bersama MasyarakatPengendalian Hama TerpaduParticipatory Learning dan Action (Tindakan dan Pembelajaran Partisipatoris)Pembangunan Masyarakat Desa HutanProgram Nasional Pemberdayaan Masyarakat MandiriProgram Pengembangan Kecamatan (Bank Dunia)Participatory Rural Appraisal (Kajian Pedesaan Partisipatoris)Padi Tanam SebatangSekolah LapanganSustainable Livelihoods Analysis (Analisis Perikehidupan Berkelanjutan)Sustainable Livelihoods Framework (Kerangka PerikehidupanBerkelanjutan)System of Rice Intensification (Sistem Intensifikasi Tanaman Padi)Training of Trainers (Pelatihan untuk Pemandu)United Nations Conference on Environment dan Development(Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan - Konferensi Rio de Janeiro)United Nations Development Programme (Badan Program Pembangunan PBB)United States Agency for International Development (Badan Pemerintahan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional)World Commission on Environment dan Development, (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, disebut juga Komisi Bruntland)Sistem bertanam di lahan di sela-sela batang-batang pepohonan muda di atas lahan hutan milik negara

xivKami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 16: KAMI BISA!

Kami bersepuluh berjejalan memenuhi satu-satunya ruangan yang ada di rumah sempit ini, membuat saya sedikit kuatir rumah ini akan runtuh akibat tak mampu menopang tubuh kami. Saya dan dua orang rekan dari kantor ESP mendatangi rumah ini dengan maksud menemui tujuh orang alumni sekolah lapangan sanitasi dan air kampung-perkotaan yang diadakan di tempat ini beberapa bulan sebelumnya.

Setelah sekitar setengah jam kedatangan kami, saya menjadi sadar bahwa ketujuh orang yang kami datangi ini semuanya berusaha berbicara dalam waktu bersamaan, lantang bersuara agar mereka didengarkan.

“Sekarang suami saya melakukannya juga saat kami duduk bersiap mulai makan, dia langsung bertanya kepada anak-anak,'Kalian sudah cuci tangan?”

“…Waktu Pak RTmelihat acara wisuda kelulusan kami di TV, dia pasti mengubah saluran TV-nya. Sekarang dia mendukung apapun yang kami lakukan …”

“Itu yang kedua kalinya saya masuk TV; yang pertama itu waktu mereka menggusur perkampungan lama yang mau dibangun menjadi mal”

“…Aku dengar mereka tidak akan lagi menggusur rumah kecuali untuk membangun sekolah atau puskesmas …”

“Bagus itu; lebih baik kalau dibangun puskesmas!”

“Mereka tak akan bisa lagi membangun apapun di sini, ke mana lagi air mengalir kalau ada banjir?”

“Ini Jakarta. Mereka akan bangun apapun, seperti tidak tahu saja …”

“Yah, aku tak mau pergi. Jika kita yang bersihkan semua sampah,tempat ini pasti menyenangkan!”

“Aku tidak lihat suamimu membuang sampah!”

PENDAHULUAN1

1Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 17: KAMI BISA!

“Apa maksudmu? Mas membantu banyak; dia sangat bangga terhadap kita!”

“Bangga punya istri yang kerjakan semua pekerjaan?”

“Kita sudah coba mengajak para tetangga membantu bersih-bersih. Mereka butuh air, tapi mereka sepertinya tidak paham hubungan antara pemukiman yang bersih dan air bersih. Memang sulit…”

“Kita hanya perlu lakukan itu. Kalau orang-orang melihat, mereka akan paham..”

Sejenak, ada jeda saat semuanya sudah tampak mulai kehabisan nafas.Ayi,salah seorang dari orang yang kami kunjungi terkikik dan berkata,

“Bagus juga punya banyak pendapat yang berbeda-beda; kita jadi bisa belajar banyak dari yang lain …”

Kampung Pulo Kandang adalah salah satu perkampungan kumuh yang padat penduduk di Jakarta. Seluruh kompleks, yang berisikan sekitar 300 rumah, dibangun dari potongan-potongan kayu, lempengan-lempengan besi dan lembaran-lembaran plastik bekas. Semuanya berupa rumah panggung, dengan ketinggian sekitar satu meter di atas rawa berlumpur yang dipenuhi onggokan sampah. Di setiap dinding rumah, ada tanda-tanda bekas air dari luapan terakhir Kali Cakung. Di pojok utara kampung, datarannya sedikit meninggi. Di tempat itu, sejumlah orang memanfaatkannya sebagai lahan kebun.Sebagian besar ibu-ibu tadi bersuamikan buruh bangunan, sekaligus beberapa di antara mereka juga berprofesi sebagai pemulung -- mengais rezeki dengan memungut serpihan plastik, logam, dan kaca dari sampah-sampah di dekat perumahan terdekat. Ibu-ibu itu cukup blak-blakan menanggapi kemiskinan mereka, ketidaknyamanan dan kesulitan mereka mendapatkan akses layanan. Namun, hal yang paling mencolok dari kelompok ini bukanlah kemelaratan mereka, melainkan keyakinan mereka, kesungguhan mereka,dan martabat diri mereka.

Kampung Pulo Kandang, Jakarta Utara

2Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 18: KAMI BISA!

Stereotip-stereotip (cap negatif) tentang fatalisme, maupun ‘budaya bisu’, tidak berlaku di sini. Inilah kelompok perempuan yang berkomitmen memperbaiki kehidupanmereka, keluarga dan warga masyarakat di sekitar mereka, meskipun kemiskinan mendera mereka. Pesan yang mereka sampaikan sederhana saja: Kita bisa hidup di dalam kampung yang lebih bersih dan lebih sehat, dan hidup kita pun akan menjadi lebih baik. Perangkat yang mereka miliki dan kegiatan yang mereka lakukan, juga sederhana: Cuci tangan dengan sabun. Buanglah sampah di tempat yang telah disediakan di tepi jalan. Bersihkan sampah yang ada di bawah rumah kita; pisahkan dan lakukan daur ulang. Banyak di antara mereka kini menggunakan saringan air sederhana untuk membersihkan air sumur yang mereka manfaatkan untuk mencuci; mereka tidak perlu lagi membeli air untuk kebutuhan rumah tangga. Ada juga yang menjahit dompet,tas tangan, dan tas jinjing dari kemasan-kemasan minuman dan deterjen yang didaur ulang, yang selanjutnya mereka pasarkan melalui sebuah LSM lokal. Mereka berusaha mengorganisir para tetangga untuk membantu menjadikan wilayah itu bersih, dan berencana mulai memproduksi kompos dari limbah rumah tangga, untuk dimanfaatkan di kebun-kebun mereka. Dan, mereka akan memberitahu siapapun yang bersedia mendengarkan!

Program Jasa Lingkungan USAID (ESP) bertujuan untuk mempromosikan kesehatan yang lebih baik dengan memperbaiki pengelolaan sumber air dan meningkatkan akses air bersih dan layanan sanitasi. ESP melakukan pendekatan 'Lereng ke Karang' untuk memastikan ketersediaan air bersih dengan melindungi sumber-sumber alam yang rentan yang ada di dataran tinggi, bekerja sama dengan pihak-pihak penyedia dan pengguna air di dataran rendah. Hal ini melibatkan keterpaduan dari tiga komponen yang berbeda:

> Pengelolaan DAS dan Konservasi Keanekaragaman Hayati berusaha menstabilkan dan memperbaiki pasokan air baku untuk penduduk perkotaan dan pinggiran kota melalui promosi praktik-praktik penggunaan lahan berkelanjutan seperti penghijauan hutan kembali, pertanian berbasis kehutanan, rencana pemanfaatan lahan, dan peningkatan pengelolaan hutan;

> Kegiatan Jasa Lingkungan bertujuan untuk meningkatkan penyediaan layanan -- termasuk pasokan air, pembuangan sampah, dan limbah padat -- di pusat-pusat pemukiman yang ada di kawasan hilir. Program tersebut berusaha memperbaiki kapasitas teknis, operasional, dan keuangan PDAM dan bekerjasama dengan pemerintahan dan masyarakat setempat untuk meningkatkan layanan sanitasi; dan

> Pembiayaan Jasa Lingkungan berusaha untuk meningkatkan pembiayaan yang tersedia bagi pemerintahan setempat dalam rangka memperbaiki dan memperluas pasokan sumber daya air dan fasilitas sanitasi.

1.1. BAGAIMANA CARANYA?

3Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 19: KAMI BISA!

Program ini cukup kompleks, dengan melibatkan sejumlah kelompok para pihak/pemangku kepentingan yang beragam, dan melakukan berbagai kegiatan, yang sekilas, tampak tidak saling bersinggungan. Dalam hal ini, mitra pelaksana USAID,Development Alternatives Inc . (DAI) mengembangkan sebuah kerangka kerja konseptual yang disebut ‘Benang Biru’, di mana air -- khususnya air minum -- berfungsi sebagai titik awal bagi keterlibatan masyarakat.

‘Benang Biru’ -- Mengaitkan Pengelolaan DAS denganPeningkatan Pasokan Air dan Sanitasi

Di wilayah pedesaan, pendekatan berfokus pada pengelolaan lahan untuk memperbaiki,atau terkadang mempersiapkan, sumber-sumber air minum. Tahapan ini dilanjutkan dengan peningkatan pengelolaan air, sanitasi, dan perubahan perilaku.

‘Benang Biru’ bagi Masyarakat Pedesaan Kawasan Hulu

Di wilayah perkotaan dan piggiran kota, pendekatan ‘Benang Biru’ lebih berfokus pada 1

penguatan masyarakat miskin untuk terlibat dengan PDAM, sekaligus perbaikan kebersihan dan sanitasi, dan sekali lagi, perubahan perilaku.

‘Benang Biru’ bagi Masyarakat Perkotaan dan Pinggiran Kota

1Regional Water Utility (Perusahaan Daerah Air Minum)

4

Pengelolaan

Lahan

PerlindunganSumber Daya

ProduksiKonsumen

Perilaku DiareBerkurang

Rehabilitasi

Daerah Hulu

PerlindunganMata Air

Pemakaidi Pedesaan

Pemurnian

Air Minum

Rumah Tangga

Cuci Tangan &

Sarana Sanitasi

yang SehatDiare

Berkurang

Perlindungan

Sumber Air

Baku PDAM

PengembanganKapasitas PDAM

Kualitas danKuantitas

Air MinumKonsumen

Miskin Perkotaan

Pemurnian

Air Minum

Rumah Tangga

Cuci Tangan &

Sarana Sanitasi

yang SehatDiare

Berkurang

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 20: KAMI BISA!

‘Benang Biru’ dipertautkan dengan pendekatan lainnya, yang mereka namakan ‘Bersih,Hijau, dan Sehat’, yang berfokus terutama pada pengelolaan limbah padat.

'Bersih, Hijau, dan Sehat'

Bagi kalangan pengelola program dan pengambil keputusan, hal ini dengan mudah dapat dipahami. Rambu-rambu yang gampang diingat bergulir mudah bersama pemerintahan setempat, dan masyarakat. Namun demikian, dibutuhkan lebih dari sekadar slogan untuk memobilisasi perubahan. Cukup sederhana, komitmen warga masyarakat -- dan kapasitas -- untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air, dan untuk meningkatkan kebersihan dan sanitasi di lingkungan pemukiman mereka, mutlak diperlukan untuk pencapaian keberhasilan tujuan program ESP. Pendekatan utama ESP untuk membangun komitmen dan kapasitas ini dikenal sebagai Sekolah Lapangan.

Sekolah Lapangan (SL) bagi petani adalah sebuah pendekatan pembelajaran berkelompok yang awalnya dikembangkan oleh Program Pengendalian Hama Terpadu(PHT) Tanaman Padi di Indonesia yang didukung pendanaannya oleh pihak USAID pada sekitar akhir tahun 1980-an, untuk memerangi penggunaan pestisida yang berlebihan dan meningkatkan penghidupan petani.

Pendekatan SL menekankan pada pembelajaran melalui pengalaman -- melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan selama satu musim tanam. Proses dan praktik yang dikembangkan oleh pendekatan SL terbilang nyaris sama sekali baru. Model ini menerapkan sekaligus konsep dan metoda agro-ekologi, pendidikan non-formal orang dewasa dan pengembangan masyarakat, untuk menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai permasalahan dan penyebabnya, serta mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan, mengadaptasi, dan mengembangkan pengetahuan ini dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, SL menekankan prinsip-prinsip eksperimentasi, partisipasi, dan pendekatan holistik untuk mengatasi kondisi, kebutuhan,permasalahan dan kendala tertentu.

Dasar dari pendekatan pelatihan… adalah pendidikan non-formal, yaitu proses penemuan yang ‘berpusat pada pembelajar’. Pendekatan ini berusaha memberdayakan orang-orang untuk memecahkan ‘permasalahan kehidupan’ secara aktif dengan meningkatkan partisipasi,

1.2. KITA BUTUH ROH SEKOLAH LAPANGAN…

5

Pengolahan

Limbah Padat

KampanyeCuci Tangan Perubahan

Perilaku

DiareBerkurang

PemberdayaanMasyarakat

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 21: KAMI BISA!

kepercayaan diri, dialog, pengambilan keptusan bersama, dan penentuan 2

nasib secara mandiri.

Tidak ada guru maupun murid di Sekolah Lapangan. Yang ada, justru sekelompok orang dengan minat yang sama, untuk belajar ‘bagaimana dan mengapa’ tentang suatu topik tertentu. Kegiatan pokok mencakupi eksperimen sederhana, observasi lapangan secara teratur, dan analisis kelompok. Dalam SL-PHT yang sebenarnya, lahan sawah itu sendiri yang menjadi guru -- yang menyediakan hampir semua materi pelatihan, seperti tanaman, serangga, dan permasalahan nyata. Model SL berpijak pada keyakinan bahwa petani sesungguhnya telah memiliki kekayaan pengetahuan dan pengalaman.

Pendidikan untuk anak-anak seringkali laksana mengisi sebuah cangkir dengan air teh, susu dan gula, sementara pendidikan orang dewasa lebih seperti mengaduk secangkir teh yang sudah penuh agar semua bahan

3tercampur dan tercipta rasa baru.

Proses tersebut dipandu oleh seorang fasilitator, yang berpengalaman dalam teknik-teknik dasar mengenai pendidikan partisipatif, dinamika kelompok, dan mengelola proses. Pengetahuan bekerja dengan kompak mengenai suatu subjek juga dibutuhkan;misalnya, petani justru cenderung menjadi fasilitator paling handal di SL. Tidak ada dosen di sini, dan langsung menjawab pertanyaan (yang diajukan fasilitator) justru dianggap kehilangan kesempatan untuk belajar. Para peserta didorong untuk berdiskusi tentang apa yang mereka amati, dan membuat kesimpulan sendiri. Kerap kali, kegiatan ini mengarahkan mereka kepada gagasan-gagasan dan rencana-rencana melakukansejumlah eksperimen yang baru, atau observasi maupun kajian yang lebih mendalam lagi mengenai suatu topik atau isu tertentu.

Hasil dari proses yang sederhana ini bisa sangat mencengangkan. Seiring meningkatnya pemahaman para peserta terhadap problem dan solusi, meningkat pula kepercayaandiri mereka terhadap kemampuan yang mereka miliki untuk melakukan investigasi,eksperimen, analisis, dan memecahkan masalah. Ada ‘rasa memiliki’ yang menular di dalam kelompok, dengan para anggota yang saling memberi dukungan satu sama lain,kadangkala juga saling bersaing, yang selalu dipenuhi semangat. Sekolah Lapangan berakhir dengan ‘Hari Temu Lapangan’, yang dirancang sendiri oleh para peserta. Pada hari itu, para peserta mempresentasikan apa yang telah mereka pelajari serta rencana-rencana kegiatan tindak lanjut yang akan dilakukan, di hadapan warga, pemerintahan setempat, dan segenap pemangku kepentingan lainnya. Para pihak luar terutama para pejabat pemerintah pada umumnya kagum dengan pemahaman para alumni SL terhadap isu, wawasan dan kecerdikan mereka, serta rasa percaya diri dan keterbukaan mereka.

Sejak pembangunan awal SL untuk tanaman padi di Indonesia pada tahun 1980-an,model Sekolah Lapangan telah diadopsi setidaknya di 78 negara berkembang di Asia,Afrika,Amerika Latin, Eropa Timur dan Timur Tengah, dengan jumlah total lebih dari 4

2Röling dan van de Fliert (1998)

3Gallagher (1999)

6Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 22: KAMI BISA!

4juta lulusan. Awalnya dikembangkan untuk budidaya padi tropis, model ini selanjutnya diadaptasi di berbagai varietas tanaman dan belahan tempat, antara lain untuk tanaman sayuran, kapas, jagung, kentang, palawija, unggas, dan sapi perah. Topik-topik pertanian yang tidak menyangkut tanaman tertentu yakni degradasi lahan dan pengolahan kesuburan tanah, pertanian berbasis kehutanan, ketahanan pangan, nutrisi dan perikanan. Belakangan ini, model SL telah diadaptasi untuk membahas topik-topik di luar pertanian, termasuk masyarakat di sekitar hutan, keanekaragaman hayati,pengendalian malaria, HIV/AIDS, pemberantasan buta huruf, advokasi, dan juga SL untuk

5anak-anak sekolah.

4Braun et al. (2006)

5FAO (2007)

7Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 23: KAMI BISA!

8Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 24: KAMI BISA!

Padi adalah tanaman dengan jumlah orang yang mengkonsumsinya lebih banyak dibandingkan tanaman lainnya, dan dalam putaran waktu yang lebih lama. Padi telah dibudidayakan di Asia Selatan dan Tenggara selama 6 hingga 12 ribu tahun belakangan ini, dan saat ini memenuhi sepersepuluh lahan subur yang ada di seantero dunia -- lebih dari sepertiga dari seluruh lahan yang ditanami di wilayah negara-negara Asia.

Distribusi geografis pembudidayaan tanaman padi sawah yang ekstensif,digabungkan dengan sejarah ekologisnya yang panjang, menghasilkan penciptaan lahan pertanian luas yang dikelola oleh manusia. Kekayaan spesies arthropoda di sawah tropis melampaui kekayaan spesies arthropoda di daerah dingin.Kekuatan ekosistem padi sangat bergantung pada keragaman ekologis yang ada di sawah. Berlimpahnya sampah bekas panenan dan serangga pemangsa plankton pada awal musim menjadi sumber pakan yang tersebar dengan baik untuk komunitas musuh alamiah (natural enemies) yang beragam, yang membuat populasi predator berkembang dengan baik mendahului populasi hama padi,sehingga dapat mengendalikan serangan herbivora di bawah level bahaya secara ekonomi.

Swasembada beras dianggap sebagai kunci untuk memastikan ketahanan pangan nasional di sejumlah negara -- seperti Indonesia -- dengan beras sebagai produk utama yang dihasilkan. Saat ini, Indonesia memiliki 11 juta hektar lahan sawah beririgasi, dan antara 15 hingga 20 juta petani padi -- yang sebagian besar bercocok tanam pada lahan kecil dengan kisaran luas lahan pertanian antarakurang dari 0.2 sampai 0.5 hektar.

Seperti sebagian besar negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, Indonesia mencanangkan secara agresif program intensifikasi padi sejak tahun 1960-an.Dasar upaya ini adalah agar para petani padi dapat menerapkan teknologi

7‘Revolusi Hijau’. Pendekatan Revolusi Hijau mencakup ‘paket’ teknologi pertanian intensif yang menggunakan varietas padi unggul pendek, pertumbuhan serempak, mekanisasi pertanian yang meningkat, kontrol air yang ketat, dan asupan kimiawi yang intensif dan tepat waktu. Pengendalian hama mengacu pada pemakaian insektisida yang bersifat pencegahan dengan sistem kalender.

6Sebagian besar bab ini merupakan ringkasan dari Thorburn (2009)

7Istilah 'Revolusi Hijau' pertama dikenalkan oleh Pejabat USAID William Gaud pada tahun 1968. Lihat lebih lengkap naskah pidato Gaud tentang gambaran masa depan, kunjungi http://www.agbioworld.org/biotech-info/topics/borlaug/borlaug-green.html

BERAWALDARI SAWAH

2

9Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 25: KAMI BISA!

Program intensifikasi padi Indonesia, yang dikenal dengan singkatan BIMAS, Bimbingan Massal, menghadirkan salah satu kisah sukses mengenai Revolusi Hijau untuk beras.Didukung oleh lebih dari 3 miliar dolar dalam bentuk pinjaman dari Bank Dunia dikombinasikan dengan keuntungan dari kenaikan harga minyak OPEC tahun 1970-an,Indonesia bisa mencapai produktivitas lebih dari dua kali lipat per hektar dan menghasilkan beras nasional tiga kali lipat, mengubah diri dari pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1960, menjadi negara yang mencapai swasembada beras pada tahun 1984.

Basis teknologi yang menjadi pendekatan Revolusi Hijau justru mendatangkan benih-benih kegagalannya sendiri. Sistem pertanian-monokultur, jarak tanam yang dekat,penggunaan pupuk kimia yang tinggi, dan kanopi rapat dengan penutup tebal, justru menguntungkan beberapa jenis hama tertentu untuk berkembang biak dengan pesat.Yang paling penting, penggunaan insektisida secara intensif membunuh predator alami dan juga seranggga herbivora, merongrong stabilitas ekologis yang sebenarnya dapat

8menghasilkan panen yang memuaskan.

Masalah-masalah awal mulai muncul pada fasilitas Lembaga Penelitian Padi Internasional (International Rice Research Institute - IRRI) di Filipina hanya beberapa tahun dimulainya program pemuliaan padi, saat lahan percobaan mulai menampakkan adanya serangan hama wereng coklat (Nilaparvata lugens [Stål]), dan gejala penyakit yang dikenal dengan ‘terbakar’. Wereng coklat adalah semacam serangga kecil berwarna kecoklatan yang menghisap, termasuk ordo Homoptera. Wereng coklat merupakan mahluk penghisap pembuluh yang menggunakan sungut kecil di mulutnya untuk menggerogoti bagian batang dan menyedot cairan dari jaringan pengangkut makanan dari tanaman padi yang segar. Selain mengganggu proses fotosintesis tanaman, mahluk penghisap ini pun memblokir pembuluh-pembuluh yang ada di dedaunan batang padi, yang mengakibatkan meningkatnya racun dari asam amino bebas yang merupakan penyebab tanaman

8Saat aplikasi pupuk nitrogen dua kali atau tiga lipat menyebabkan meningkatnya produksi padi varietas unggulan secara signifikan, tidak ada bukti parael yang menunjukkan bahwa penggunaan insektisida yang meningkat menyebabkan kenaikan panen yang dapat diukur -- ataupun tidak, sebaliknya, penggunaan yang dikurangi mengakibatkan berkurangnya panen (Pingali dan Gerpachio 1997). Tanpa ini pun, dua belas persen insektisida yang dijual di sepenjuru dunia digunakan pada tanaman padi, lebih dari yang digunakan untuk tanaman lainnya (Matteson 2000).

Sawah Padi , Jawa Timur

10Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Page 26: KAMI BISA!

terbakar. Ciri awal terbakar adalah dedaunan yang makin menguning, tapi pada kasus-kasus yang sudah parah seluruh tanaman berubah menjadi coklat dan mati.

Wereng sebenarnya mahluk asli di seluruh lahan sawah yang ada di Asia, namun tidak diketahui oleh kebanyakan orang sampai merebaknya Revolusi Hijau, yang justru seketika menjadi hama. Pada lahan-lahan sawah yang tidak pernah disemprot, beragam predator alami justru mengendalikan populasi wereng coklat. Ironisnya, wabah wereng coklat secara langsung disebabkan oleh penggunaan insektisida pada tanaman padisuatu contoh klasik yang dikenal sebagai ‘hama yang bangkit lagi akibat insektisida’.Wereng coklat menaruh telur-telurnya di dalam sarung daun-daun padi, yang bisa menyelamatkan mereka dari semprotan insektisida. Masing-masing betina mampu bertelur hingga 200-400, dan siklus hidupnya hanya sekitar 22 hari. Dengan tidak adanya musuh-musuh alami, populasi wereng coklat dapat berkembang pesat. Pada lahan sawah yang disemprot, populasi wereng coklat dengan cepat dapat meraih

9tingkatan yang menyebabkan wabah terbakar ‘sebanding dengan wabah belalang’.

Sekitar pertengahan 1970an, wabah wereng coklat mulai menyebabkan kerugian panen yang serius di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya yang mengadopsi varietas-varietas baru tersebut. Di IRRI, prioritas penelitian pun bergeser menjadi pengembangan varietas padi baru yang tahan wereng coklat -- suatu pendekatan yang berhasil selama beberapa waktu. Namun demikian, setelah beberapa musim, biotipe wereng yang baru muncul yang justru menyerang varietas yang tahan wereng tersebut,yang menandakan pendekatan-pendekatan baru segera dibutuhkan.

Tak ada negara yang terkena dampak lebih buruk daripada Indonesia. Hanya berselang dua tahun setelah mencapai tujuan jangka panjang swasembada beras pada tahun 1984,penyebaran hama wereng coklat di dataran subur utara Jawa menghancurkan puluhan ribu hektar sawah, yang mendatangkan ancaman besar bagi ketahanan pangan nasional.

Sejumlah pakar pertanian dari perguruan tinggi pertanian di Bogor bersama para peneliti FAO dan IRRI dari Filipina, menangkap kesempatan ini untuk segera melakukan tindakan. Pada bulan Oktober 1986, kelompok ini pun membawakan beberapa kotakkorek api yang berisi serangga hama dan laba-laba ke kantor Presiden Suharto dalam rangka menjelaskan jaring makanan predator-pemangsa tanaman, konsep hama yang bangkit lagi akibat insektisida, dan prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu untuk tanaman padi. Presiden Suharto sangat terkesan saat itu, sehingga dengan segera beliau menyusun rancangan Instruksi Presiden yang melarang 28 bahan aktif pada 57 merek insektisidaf digunakan pada tanaman padi, melakukan penghapusan bertahap terhadap subsidi pestisida pemerintah, dan mengeluarkan mandat bahwa Pengendalian Hama

10Terpadu menjadi kebijakan nasional untuk perlindungan padi dan palawija.

Program intensifikasi padi BIMAS termasuk salah satu di antaranya adalah penerjunan 14.000 petugas penyuluh ke lapangan. Di bawah sistem penyuluhan pertanian yang disebut ‘Latihan dan Kunjungan’ masing-masing petugas penyuluh melakukan kunjungan dua mingguan ke kelompok-kelompok yang dibina oleh 16 orang ‘kontak tani’ yang

9Kiritani (1979)

10Instruksi Presiden No. 3 /1986 tentang Program Nasional PHT

11Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 27: KAMI BISA!

masing-masing secara bergiliran bertanggung jawab menyebarkan pesan BIMAS kepada 10 hingga 20 orang petani lainnya. Awalnya, para petugas Latihan dan Kunjungan penyuluhan siap sedia dikerahkan untuk menerapkan Pengendalian Hama Terpadusebagai kebijakan nasional yang baru. Pemerintah mengalihkan dana 4,19 juta dolar ASyang tersisa dari Projek Penyuluhan Pertanian Nasional yang tengah berjalan dengan dukungan Bank Dunia, untuk melatih satu kelompok ‘Pelatih Utama PHT’, yang selanjutnya menyediakan pelatihan 6 hari berturut-turut bagi para Pengamat Hama Penyakit (PHP) dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Orang-orang ini selanjutnyaharus menyampaikan pesan tersebut kepada para ‘petani penghubung’, dengan cara lama Latihan dan Kunjungan. Panduan pelatihan, gambar-gambar, tayangan-tayangan,dan 150.000 lembar brosur dicetak dan dibagikan dengan segera. Program menghabiskan seluruh anggaran yang tersedia dalam waktu tujuh bulan saja, justru mencapai di bawah 10 persen dari 10.300 petani yang ditargetkan. Kurang dari seperempat dari mereka yang terjun ke lapangan selama program pelatihan tersebut.Dalam kajian pasca-pelatihan, para petani melaporkan bahwa tidak banyak pelajaran yang dapat mereka terapkan. Upaya perdana Indonesia untuk menerapkan Pengendalian Hama Terpadu pada tanaman padi pun gagal total.

Pada tahun 1989, USAID menyediakan dana 4.7 juta dolar AS kepada Departemen Keuangan Indonesia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk memulai Program Nasional PHT selama dua tahun, yang akan diawali di 6 provinsi penghasil beras, dengan bantuan teknis yang disediakan FAO. Keputusan untuk menyerahkan projek kepada BAPPENAS bukan kepada Departemen Pertanian cukup strategis -- ada anggapan terlalu sulit untuk menyusun strategi baru yang radikal bagi suatu lembaga yang sudah sedemikian kuat berkomitmen melakukan ‘transferteknologi’ dalam pendekatan penyuluhan dengan Latihan dan Kunjungan, dan terlibat sedemikian dalam dengan kepentingan perusahaan pestisida. Tim FAO mendirikan Sekretariat PHT di perkantoran BAPPENAS di Jakarta dan Kantor Cabang di Yogyakarta, dan menjalin kerja sama dengan para pengamat hama dan sejumlah PPL yang terseleksi di sejumlah kabupaten tertentu.

Hal ini menyusun tahapan perkembangan model SL-PHT, semacam 'sekolah tanpa dinding' yang memadukan pendidikan non-formal orang dewasa dengan analisis agro-ekosistem. SL-PHT mewakili keterlepasan besar-besaran dari model-model penyuluhan pertanian sebelumnya dengan mendorong para petani untuk melakukan sendiri penelitian dan analisis mereka dan memutuskan sendiri cara pengelolaan tanaman mereka; dan dari pendekatan yang selama ini ada menjadi pengendalian hama,dengan mengkaji keseluruhan agro-ekosistem tanaman padi bukan sekadar fokus pada permasalahan hama. Staf Program Nasional PHT utamanya terdiri dari para pakar pendidik dan mantan aktivis -- lahan sawah menyediakan laboratorium dan ruang kelas,dan para petani sendiri menyajikan ilmu pengetahuan.

2.1. MENGGERAKKAN SEKOLAH LAPANGAN

12Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 28: KAMI BISA!

SL-PHT berisikan pertemuan-pertemuan mingguan sehari penuh selama masa pelatihan dalam satu kali musim tanam, sekitar 10 hingga 12 pekan. SL-PHT menggunakan dua lahan percobaan: satu lahan ‘non-PHT’ yang disemprot dengan insektisida sesuai dengan petunjuk Dinas Pertanian, dan sebidang lahan PHT yang diolah berdasarkan keputusan yang diambil oleh kelompok selama pertemuan demi pertemuan mingguan mereka.Tidak ada guru maupun murid, atau pelatih dan yang dilatih, melainkan fasilitator dan peserta. SL-PHT ini memiliki sekitar 25 anggota, yang terbagi menjadi lima kelompok untuk melakukan observasi dan analisis lapangan.

Masing-masing sesi dimulai dengan pengkajian yang cermat mengenai kondisi di lapangan, observasi rumpun padi yang diambil dari masing-masing lahan sawah secara acak diagonal. Kelompok-kelompok tersebut mencatat serangga, laba-laba, gejala kerusakan tanaman, gulma dan penyakit yang diobservasi dari setiap rumpun, seiring masa pertumbuhan tanaman, kondisi cuaca dan air. Serangga dan binatang-binatang lain yang menarik perhatian ditangkap hidup-hidup, dijaga untuk keperluan observasi. Para petani melakukan eksperimen untuk mempelajari efek dari perbedaan jarak tanam,pengendalian air, varietas, karateristik tanah, serta pemakaian pupuk dan insektisida terhadap pertumbuhan tanaman.

Usai kerja lapangan mereka, para peserta berkumpul di rumah atau dangau terdekat,dan menggambarkan apa yang mereka observasi pada lembar berita yang berupa lembaran- lembaran kertas berukuran lebar. Yang tersisa dari pertemuan SL-PHT diangkat dalam diskusi hangat yang membahas temuan mingguan. Para petani terdorong untuk mendiskusikan apa yang telah mereka temukan, dan merumuskan kesimpulan mereka sendiri mengenai status tanaman dan langkah-langkah pengendalian yang dimungkinkan (atau menyiapkan eksperimen baru untuk menemukan jawabannya).Diskusi didasarkan pada prinsip ‘Apa ini?’. Menjawab pertanyaan secara langsung [yang diajukan oleh fasilitator] dianggap sebagai hilangnya kesempatan belajar. Tujuan dari diskusi-diskusi ini adalah menghasilkan definisi fungsional mengenai serangga: Berapa jumlahnya? Ada di mana mereka pada tanaman? Apa yang mereka lakukan? Apaakibatnya? Sejumlah 'kebun serangga', yang masing-masing dibuat dengan menaruh kelambu berserat halus yang menyelubungi sebatang tanaman padi, digunakan untuk mengamati proses memangsa dan parasitasi bekerja, dengan mempersilahkan petani mempelajari siapa saja kawan-kawan mereka, musuh mereka, dan juga musuh dari musuh-musuh mereka. Kegiatan icebreaker -- selingan untuk menggugah suasana- digunakan untuk membuat sesi demi sesi menjadi menarik dan menambah rasa kebersamaan di antara kelompok.

Dengan berpartisipasi di SL-PHT dan arahan melakukan aktivitas penelitian partisipatoris sebagai tindak lanjut, para petani pun belajar mengambil keputusanpengelolaan tanaman yang mengacu pada keadaan mereka sendiri serta keseimbangan ekologis lahan sawah masing-masing. Empat prinsip panduan dari Program Nasional PHT merefleksikan keterpaduan ini, serta tujuan keseluruhan program untuk menjadikan para petani sebagai pengelola yang percaya diri dan pembuat keputusan,bersemangat dengan gagasan-gagasan dan informasi baru dan terbebas dari ketergantungan terhadap petunjuk-petunjuk dari ‘yang di atas’:

13Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 29: KAMI BISA!

1. Pelihara tanaman padi yang sehat.2. Amati sawah secara mingguan.3. Lindungi musuh-musuh alami.4. Petani adalah ahli PHT.

Hasilnya berlangsung cepat dan mencengangkan: di antara para petani SL-PHT,penggunaan insektisida berkurang dari rata-rata 2,8 semprotan per musim menjadi

11sekali saja dan sebagian besar petani tidak melakukan semprotan sama sekali. Bila para petani benar-benar menggunakan insektisida, sebagian besar hanya dapat mengindentifikasi satu jenis hama. Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa para petani PHT menghasilkan panen, rata-rata, yang sedikit lebih tinggi, dan pengeluaran

12yang lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka yang bukan petani PHT. Namun perubahan yang paling berkesan bukan semata-mata pada yang terjadi di sawah,melainkan pada karakter para petani PHT sendiri:

Para pejabat yang mengunjungi Sekolah Lapangan terkagum-kagum pada apa yang tengah terjadi. Inilah para petani dan beberapa perangkat desa,kelompok paling rendah dalam jenjang birokratis, secara aktif dan cerdasmembahas permasalahan mereka, menyajikan secara piawai dan akurat gambaran-gambaran berbagai serangga, berbicara di hadapan umum (termasuk di depan para pejabat yang berkunjung seperti Menteri Pertanian), dan membuat keputusan yang matang mengenai pengendalian

13hama.

Proyek yang sebenarnya berlangsung selama dua tahun diperpanjang menjadi proyektiga tahun. Menjelang akhir dari fase perintis tiga tahunan pada tahun 1992, lebih dari 250.000 petani di enam propinsi berpartisipasi dalam kegiatan SL-PHT, yang menyebabkan pengurangan penggunaan insektisida hingga 60 persen di wilayah-wilayah

14proyek.

Pada tahun 1992, keputusan diambil untuk mencanangkan 'lingkup nasional', dengan dana pinjaman 32 juta dolar AS dari Bank Dunia, 14 juta dolar AS dari Pemerintah Indonesia, dan tambahan 7 juta dolar AS dari USAID. Manajemen program dialihkan ke Departemen Pertanian, dan implementasi diperluas ke 12 propinsi penghasil beras di Indonesia. Program Nasional PHT di Indonesia berjalan dari tahun 1993 hingga 1999,dengan jumlah petani berperan serta di SL-PHT dan berbagai program penelitian partisipatoris lanjutan setelah SL-PHT mencapai lebih dari satu juta orang.

2.2. MASYARAKAT PHT

11FAO (1993)

12Settle et al. (1996)

13Röling dan van de Fliert (1994)

14FAO (1993)

14Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 30: KAMI BISA!

Sumatra Barat:

Sekolah Lapangan PetaniTingkat Propinsi

PHT tanaman padi dimulai di Sumatra Barat bahkan sebelum Instruksi Presiden tahun 1986 dan inisiasi lanjutan berupa Program Nasional PHT, tepatnya setelah seorang pengamat muda di bidang Hama dan Penyakit Tanaman dari propinsi tersebut mendapatkan pelatihan teknik-teknik PHT di IRRI di Filipina pada tahun 1984. Sepanjang tahun-tahun awal tersebut, Ir. Djoni bekerja tanpa lelah meyakinkan para petani untuk mengurangi atau meninggalkan pemakaian pestisida, dan kerap menghadapi pertentangan keras dari rekan sejawat dan pihak-pihak yang berkedudukan lebih tinggi. Usaha beliau pun tak sia-sia saat Ir. Djoni mampu meyakinkan projek irigasi Swiss untuk menerapkan PHT di sepanjang wilayah Kecamatan Sepuluh Koto Singkarak, setelah proyek tersebut nyaris gagal disebabkan wabah wereng sebagai akibat pemakaian insektisida. Selanjutnya, Ir. Djoni turut membantu melatih kelompok fasilitator SL-PHT yang pertama saat Program Nasional PHT dijalankan pada tahun 1989. Sumatra Barat merupakan salah satu dari 12 besar propinsi penghasil beras yang termasuk dalam fase ‘daya bobot’ Program Nasional PHT antara tahun 1992 dan 1999, dengan meraih keberhasilan yang substansial dalam mempromosikan PHT tanaman padi.

Ir. Djoni pun naik jenjang menjadi pejabat dinas pertanian tingkat propinsi, dengan menjabat sebagai Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun 1996. Pada tahun itu, beliau mulai berkolaborasi dengan sejumlah pakar agronomi dari Clemson University dengan dukungan tambahan yang disediakan USAID untuk Program Nasional PHT, dalam rangka mempromosikan pertanian sayuran organik.

Tidak puas dengan gerak perubahan di dalam lingkup birokrasi, Ir. Djoni memobilisasi petani untuk mendirikan Himpunan Petani Minang Peduli Lingkungan (HPMPL) pada tahun 1993. Di antara para aktivis lainnya, kelompok ini kerap mengusung demonstrasi selama pertengahan hingga akhir tahun 1990an menuntut pihak propinsi mengeluarkan larangan terhadap penggunaan pestisida. Pada tahun 2003, beliau membentuk Asosiasi Alumni Fakultas Pertanian (AFTA) sebagai forum non-pemerintah yang memberi dukungan lebih lanjut terhadap perkembangan dan penyebaran pertanian berkelanjutan di Sumatra Barat. Pada tahun 2006 beliau pun mendirikan Institut Pertanian Organik (IPO) di Padang Panjang, sebagai sebuah pusat pelatihan dan penelitian pertanian sayuran organik.

15Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 31: KAMI BISA!

Sumatra Barat:

Institut Pertanian Organik, Padang Panjang

Pada tahun 2003, Ir. Djoni ditunjuk sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Barat, yang memberinya kesempatan untuk mengajukan sejumlah program inovatif. Pada tahun 2009,Dinas Pertanian Propinsi mengadakan SL bagi 2800 peserta untuk mempromosikan pertanian Padi Tanam Sebatang (PTS), sebagai adaptasi teknologi SRI (System of Rice Intensification Sistem Intensifikasi Tanaman Padi), yang mampu menghasilkan panen memuaskan dengan pengayaan kesuburan tanah melalui pemakaian kompos dan kotoran ternak, melebarkan jarak tanam masing-masing benih, dan mengurangi pemakaian air irigasi dalam jumlah besar. Pihak propinsi menyediakan insentif Rp 200.000,- per hektar bagi para petani agar tidak membakar batang padi yang kering (jerami), melainkan menimbun kembali batang padi tersebut ke dalam tanah.

Kini, Propinsi Sumatra Barat dapat memberikan sertifikasi kepada para petani organik,dengan menyediakan subsidi pemerintah sebesar Representative 250,- per kilogram untuk penjualan produk organik yang bersertifikat. Kini, terdapat hampir 300 hektar sawah organik bersertifikat di Sumatra Barat. Inovasi lainnya antara lain adalah pembagian lebih dari 2.000 kambing kepada para petani organik bersertifikat, dengan persyaratan bahwa mereka telah menggantungkan tanda ‘Pabrik Pupuk’ di atas kandang kambing-kambing tersebut. AFTA mempunyai daftar berisikan sekitar 46 orang ‘Petani Pakar’ dengan keahlian sejumlah topik mulai dari budidaya padi PTS, pertanian sayuran dan buah organik,persemaian dan grafting (penyambungan), hingga manajemen usaha pertanian. PemerintahPropinsi menyediakan bayaran bagi setiap kelompok maupun dinas yang membutuhkan layanan mereka.

Pada tahun 2009, Gubernur H. Gamawan Fauzi secara resmi menyatakan wilayah kotaPadang Panjang sebagai ‘Kota Organik’ pertama di Indonesia; dua belas persen dari 600 hektar lahan pertaniannya telah tersertifikasi organik, dengan target pencapaian 100 persen dalam tiga sampai empat tahun selanjutnya. Pada tahun yang sama, Ir. Djoni dianugerahi penghargaan tertinggi di bidang pelayanan lingkungan hidup,Kalpataru, dengan upaya yang beliau lakukan selama 25 tahun mempromosikan pertanian berkelanjutan yang berpihak pada lingkungan di Sumatra Barat.

16Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 32: KAMI BISA!

Menyadari bahwa mencapai ‘keberkelanjutan birokratis’ tentang pendekatan SekolahLapangan dengan Departemen Pertanian harus diperjuangkan dengan keras, maka Program PHT di Indonesia pun mengadopsi sebuah strategi,‘Masyarakat PHT’, yang berfokus pada petani dan kelompok petani sebagai agen utama yang melakukan

15‘perluasan dan inovasi’. Semenjak fase-fase awal program ini, Petani Pemandu direkrut dan dilatih dengan sejumlah ketrampilan dasar memandu SL-PHT, yakni menyediakan tambahan pemandu dari Departemen Pertanian dan menyampaikan

16pesan kepada pihak lain dalam kelompok masyarakat mereka.

Untuk menciptakan jejaring tingkat nasional yang dapat mendukung upaya-upaya kelompok tani PHT di tingkat lokal, alumni SL menggunakan kesempatan lokakarya evaluasi akhir yang diselenggarakan FAO dan Program Nasional PHT di Yogyakartapada tahun 1999 untuk membentuk Ikatan Petani PHT Indonesia (IPPHTI), dengan tujuan menguatkan kelompok petani di tingkat lokal sebagai fondasi bagi para petani untuk berjejaring dan memiliki sebuah ikatan yang kuat di tingkat nasional. Sepuluh tahun setelah berakhirnya Program Nasional PHT, IPPHTI masih aktif di banyak wilayah negeri ini. Para anggota masih melaksanakan Sekolah Lapangan dengan berbagai macam topik, seiring meluasnya kegiatan eksperimen dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para petani, persilangan tanaman dan sistem benih masyarakat, penyusunan kebijakan dan advokasi. Para aktivis alumni IPPHTI juga telah mendirikan sebuah 'Universitas Petani' di satu desa yang berada di pinggiran Yogyakarta,dengan menggabungkan pendekatan Sekolah Lapangan dengan materi-materi pelajaran formal di bidang pertanian. Selain itu, para anggota kunci Sekretariat Nasional PHT membentuk sebuah lembaga baru, Farmers' Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (Inisiatif Petani untuk Perikehidupan yang Ekologis dan Demokrasi) atau FIELD Indonesia, bagian dari Aliansi FIELD tingkat regional. FIELD Indonesia bekerja sama dengan berbagai mitra dalam rangka pengembangan kapasitas untuk perencanaan perikehidupan dan riset aksi di tingkat desa, pelatihan petani mengenai pengelolaan sumber daya genetik, persilangan tanaman dan produksi sayur sehat, serta kegiatan advokasi yang berhubungan dengan pemerintah setempat dan peran petani dalam sistem pangan global. FIELD Indonesia merupakan salah satu mitra DAI Inc.'s dalam pelaksanaan program ESP.

15Dilts (2001); Pontius, Dilts dan Bartlett (2002)

16Para pimpinan program berpendapat bahwa petani-pemandu PHT seringkali menjadi fasilitator yang lebih baik

daripada petugas penyuluhan dari luar -- mereka memahami masyarakat dan anggotanya, berbicara dengan bahasa petani, dan dikenal oleh warga sebagai teman, dan memahami wilayah dengan baik. Mereka juga dapat bekerja secara mandiri, di luar dari struktur formal.

17Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 33: KAMI BISA!

18Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 34: KAMI BISA!

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dikembangkan sebagai sebuah cara inovatif untuk melahirkan dan membagi pengetahuan mengenai isu-isu agronomi yang kompleks. Kunci utama keberhasilan sekolah ini adalah kebermanfaatan yang dimiliki. Budidaya padi adalah salah satu kegiatan ekonomiyang paling penting bagi jutaan rumah tangga pedesaan di Indonesia. Lebih dari sejuta petani padi Indonesia dengan rela mencurahkan waktu mereka yang berharga dan berupaya keras berperan serta dalam kegiatan SL-PHT, karena kegiatan ini memberi mereka keterampilan dan pengetahuan yang secara langsung dan segera berdampak pada produktivitas, pendapatan, perikehidupan,dan kesehatan mereka.

Pengalaman di Indonesia dan tempat-tempat lainnya telah membuktikan bahwa model SL-PHT dapat diadaptasi dengan baik ke berbagai jenis tanaman dan aktivitas pertanian. Seberapa jauh keberhasilannya untuk kegiatan-kegiatan -- seperti pengelolaan DAS -- yang sangat tidak berhubungan dengan peningkatan produksi maupun pendapatan? Program ESP, bekerja sama dengan FIELD Indonesia, berupaya untuk menemukan jawabannya, dengan mengembangkan suatu program SL yang baru untuk mendukung peningkatan pengelolaan sumber daya air.

Indonesia dianugerahi dengan sumber daya alam yang berlimpah, tanah pegunungan yang subur, dan curah hujan yang lebat di sebagian besar wilayahnya.Hujan turun hampir selalu konsisten dan dalam jumlah yang banyak di pegunungan-pegunungan yang menjulang di pulau-pulau besar, memenuhi sungai-sungai, embung-embung penampung air dan mata air yang menjadi sumber air sumur bagi kehidupan masyarakatnya. Mudah saja memahami mengapa pemerintahan yang baru terpilih menempatkan pelestarian kesehatan ekosistem hutan-hutan yang ada di sekitar lereng pegunungan tinggi sebagai prioritas utama. Namun demikian, selama berpuluh-puluh tahun lalu ekosistem kehutanan di daratan tinggi Indonesia telah mengalami kerusakan parah, melalui penebangan/pembalakan liar, pembukaan hutan untuk lahan pertanian, dan buruknya praktik pengelolaan hutan. Selain banjir dan longsor yang parah yang merenggut korban jiwa di setiap musim hujan, hal ini juga berdampak pada berkurangnya aliran air di sejumlah sungai dan mata air yang berperan penting,sehingga mengancam berkurangnya pasokan air untuk para pengguna sumber air di bidang pertanian, industri, pelanggan di perkotaan dan pengguna air lainnya.Inilah permasalahan yang akan diatasi oleh Sekolah Lapangan ESP.

Agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah mengisi pendekatan SL sejak awal beroperasinya, model yang baru ini sangat berorientasi untuk

SEKOLAH LAPANGANPENGELOLAAN DAERAHALIRAN SUNGAI ESP

3

19Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 35: KAMI BISA!

memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan. Dari awal, rencana-rencana yang digagas pada akhirnya adalah mengembangkan sekolah lapangan untuk para pengguna akhir (yaitu, komunitas miskin perkotaan), namun demikian, kelompok tersebut berkeyakinan lebih baik memulai dengan cara berfokus pada pengelolaan pertanian berbasis kehutanan di bagian hulu, yang mencakup pengelolaan DAS terpadu dalam konteks yang lebih luas. Rancangan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS (SL-PDAS) juga perlu untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun jejaring antara pengelolaan pertanian berbasis kehutanan dan komponen-komponen Kesehatan dan Higienitas dari program ESP.

Tujuan dasar Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS adalah untuk menyediakan pengetahuan dan keterampilan bagi warga dan keluarga yang tinggal di bagian hulu dalam rangka mengadopsi praktek-praktek ‘pertanian konservasi’ untuk pertanian lahan

17kering mereka (terutama pertanian berbasis kehutanan, atau kebun ), sehingga dapat

17Kebun merupakan lahan yang relatif kecil (sekitar 0.25 hingga 1 hektar) yang berada di kawasan Pertanian

berbasis kehutanan lahan kering. biasanya tidak jauh dari rumah-rumah petani. Kebun berbeda dengan perkebunan maupun pekarangan.

DAS Progo, Magelang, Jawa Tengah. Curah hujan yang turun di lereng gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro menjadi sumber untuk 19 mata air bawah tanah utama dan aliran sungai Kali Progo. Dapat dilihat dengan mudah bagaimana peradaban masa lalu berkembang di wilayah ini; Candi Borobudur, dibangun oleh dinasti Sailendra sekitar 800 SM, berlokasi di jantung DAS ini. Bahaya yang mengancam hutan di daerah resapan Progo dapat mengganggu perikehidupan lebih dari 1.5 juta orang yang mendiami wilayah DAS ini.

20Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Page 36: KAMI BISA!

melestarikan dan melindungi persediaan air baku (baik air permukaan maupun cadangan). Satu langkah awal nyata adalah kebutuhan keluarga petani untuk meningkatkan pendapatan dari kebun mereka, dengan cara meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja.

Secara konseptual, hal ini tidak terlalu sulit karena dengan budidaya tanaman padi,pertanian berbasis kehutanan yang baik secara ekologis tentu lebih stabil -- dan lebih menguntungkan -- daripada praktek pertanian yang tidak berkelanjutan. Praktek pengelolaan tanah yang baik, termasuk pengendalian erosi, pemakaian pupuk organik, dan budidaya tanaman yang menggabungkan varietas tanaman jangka panjang dan jangka pendek dengan tanaman musiman, dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan sistem pertanian lahan kering. Kendala utama dalam pertanian berbasis kehutanan dan berkebun adalah air.Siklus hidrologis menjadi ‘landasan’konseptual untuk menciptakan kurikulum dasar sekolah lapangan pengelolaan DASdan pertanian berbasis kehutanan.

Pengalaman dua puluh dua tahun bersama Sekolah Lapangan Petani PHT dengan jelas menunjukkan bahwa seiring meningkatnya pemahaman para petani mengenai dinamika ekologis yang ada di sawah mereka, meningkat pula kesadaran mereka mengenai konteks sosio-ekonomi yang lebih luas yang termasuk di dalamnya. Hal ini, selanjutnya,meningkatkan keinginan dan kapasitas mereka untuk menjalankan aksi bersama untuk mengatasi sejumlah isu dan masalah yang menghadang. Fokus dan lingkup kegiatan SL-PHT dan pasca-SL-PHT ‘secara alami’ bergeser naik dan keluar, dan fokus awal pada pertanian-ekosistem pada tanaman padi secara perlahan bermorfologis menjadi suatu analisis sosial yang lebih luas. Dimulai pada akhir tahun 1990-an, program Masyarakat PHT mulai menggunakan Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan sebagaiperangkat konseptual pegangan yang mengarahkan saling keterkaitan di antara aspek pembangunan yang berlainan, menempatkan perikehidupan warga sebagai titik pusat proses pembangunan.

3.1. KERANGKA KERJA PERIKEHIDUPAN18

BERKELANJUTAN

“Proyek-proyek cuma seperti mainan; dimainkan sebentar, lalu kalau sudah bosan tinggal minta yang baru …”

- Pak Marsilan, Petani Pemandu

“Pendidikan Sekolah Lapangan itu tak pernah selesai. Kalian akan tetap mengidentifikasi hal-hal baru untuk dipelajari, hal-hal baru yang harus dicoba. Pertanyaan dasar berubah dari 'Apa ini?' menjadi 'Apa lagi?'”

- Ir. Djoni, Kepala Dinas Pertanian Propinsi Sumatra Barat.

18Diadaptasi dari DFID (1999)

21Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 37: KAMI BISA!

Pendekatan Perikehidupan Berkelanjutan adalah suatu cara berpikir mengenai tujuan,lingkup dan prioritas pembangunan manusia yang telah dikembangkan lebih dari dua dasawarsa lalu oleh sejumlah pakar, praktisi dan aktivis, yang melibatkan banyak lembaga termasuk Institute for Development Studies (IDS), DFID, UNDP, World Bank, dan LSM-LSM di beberapa negara.

Perikehidupan berisikan kemampuan, modal (termasuk sumber daya material dan sosial) dan kegiatan yang dibutuhkan sebagai cara untuk bertahan hidup. Suatu perikehidupan dikatakan berkelanjutan bila perikehidupan tersebut dapat mengatasi dan memulihkan guncangan dan himpitan serta menjaga ataupun meningkatkan kemampuan dan modal yang dimiliki pada saat sekarang dan di masa depan, dengan tidak hanya

19mengandalkan sumber daya alam.

Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan berpusat pada kelompok manusia.Tujuannya adalah membantu pihak pemangku kepentingan dengan berbagai perspektif untuk terlibat dalam kegiatan bertukar pikiran yang terstruktur dan dipahami dengan jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perikehidupan, makna pentingnya yang terkait, dan bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi. Hal ini, selanjutnya,dapat membantu mengidentifikasi langkah-langkah awal yang sesuai untuk mendukung perikehidupan.

Kerangka kerja terdiri dari tiga bagian yang berbeda, atau ranah analisis: Konteks kerentanan, serangkaian Modal Perikehidupan, serta Kebijakan, Proses, dan Kelembagaan. Kerangka kerja ini tidak bekerja secara linier, dan tidak berusaha menghadirkan suatu model tentang realita. Melainkan, kerangka ini merupakan suatu cara yang sangat sederhana untuk mengarahkan isu, pengaruh, proses dan interaksi,yang dapat membantu dalam menyiapkan tujuan dan menyusun strategi dalam rangka meningkatkan keberkelanjutan dan memperbaiki perikehidupan. Kerangka ini merupakan alat yang fleksibel, yang dapat diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan pada keadaan-keadaan tertentu.

22Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

ModalManusia

ModalSosial

ModalAlam

ModalUang

ModalFisik

KebijakanProses

Kelembagaan

Pemerintah

Sektor Swasta

LSMHukum

Budaya

Kebijakan

Kelembagaan

Ko

nte

ks

Kere

nta

nan Guncangan

Kecenderungan

Musiman

Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 38: KAMI BISA!

3.1.1. MODAL PERIKEHIDUPAN

Segi lima modal bertitik pusat pada kerangka perikehidupan,di dalam kontekskerentanan. Segi lima secara visual memberikan informasi mengenai modal yang dimiliki warga, yang dapat memberikan pemahaman keterkaitan antara berbagai modal yang diharapkan oleh masing-masing orang, keluarga, dan anggota masyarakat.

Modal Manusia terdiri dari keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja dan kesehatan dalam kondisi yang baik yang secara bersamaan mendorong orang-orang mengejar berbagai strategi dan mencapai tujuan perikehidupan mereka.

Modal Sosial merupakan sumber daya sosial yang digunakan orang-orang untuk meraih tujuan perikehidupan. Modal sosial dikembangkan melalui:

? jejaring dan hubungan, baik secara vertikal (patron/klien) maupun horizontal (di antara para individu dengan minat yang sama) yang meningkatkan kepercayaan dan kemampuan orang-orang untuk bekerja sama dan memperluas akses mereka ke berbagai lembaga, seperti organisasi politik atau sipil;

? keanggotaan dalam kelompok formal yang sering mengikatkan pada kewajibanuntuk saling bersepakat atau menerima kesepakatan aturan bersama, norma dan sangsi; serta

? hubungan akan kepercayaan, kebersamaan dan saling berbagi yang dapat memfasilitasi kerja sama, mengurangi pengeluaran bertransaksi danmenyediakan landasan dasar bagi jaring pengaman informal di antara kelompok miskin.

Modal Alam merupakan istilah yang digunakan untuk sumber daya alam yang dimanfaatkan ataupun dinikmati secara langsung (misalnya, pertanian, perikanan) atau dari tempat sumber alam itu mengalir dan tersedia (misalnya, siklus nutrisi,perlindungan erosi) yang bermanfaat bagi perikehidupan yang bersangkutan. Hubungan antara modal alam dan Konteks kerentanan sangat dekat sekali.

Modal Fisik terdiri dari infrastruktur dasar dan pihak penghasil barang yang diperlukan untuk mendukung perikehidupan. Hal ini termasuk beberapa komponen penting seperti:

? dapat diandalkan dan terjangkau;

? bangunan dan tempat perlindungan yang aman;

? pasokan air yang mencukupi dan sarana sanitasi;

? energi yang murah; serta

? akses informasi (komunikasi).

23Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 39: KAMI BISA!

Modal Keuangan bermakna sumber daya keuangan yang digunakan oleh orang-orang untuk mencapai tujuan perikehidupan mereka, termasuk aliran atau cadangan dana dan berkontribusi terhadap konsumsi serta produksi. Akses modal keuangan -- misalnya,kredit -- kerap kali sama pentingnya dengan dana modal.

Konteks Kerentanan merupakan kerangka dari lingkungan eksternal tempat masyarakat berada. Perikehidupan orang-orang dan ketersediaan modal yang lebih luas sangat dipengaruhi oleh kecenderungan yang kurang menguntungkan serta guncangan dan musiman -- yang bisa saja membuat mereka menjadi terbatas atau tidak berkuasa.Faktor-faktor ini memiliki dampak langsung terhadap kehidupan dan modal masyarakat,dan pilihan yang terbuka bagi mereka untuk memperoleh penghasilan dari perikehidupan mereka.

? Guncangan dapat menghancurkan modal yang dimiliki seseorang atau memaksa seseorang meninggalkan rumah dan sumber perikehidupan yang dimiliki.Guncangan termasuk bencana alam, guncangan ekonomi, gagal panen maupun wabah, dan konflik.

? Kecenderungan lebih dapat diperkirakan, meskipun tidak bisa dikatakan kurang merisaukan. Kecenderungan termasuk di antaranya perubahan teknologi,kecenderungan ekonomi tingkat nasional maupun internasional, perubahan dalam pola pemakaian sumber daya, dan pergeseran demografis/penduduk.

? Perubahan secara musiman termasuk fluktuasi harga, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja.

Faktor-faktor ini secara langsung berdampak pada kehidupan masyarakat, namun hanya sedikit individu maupun kelompok kecil warga yang dapat mengurangi kerentananmereka, selain menjadi waspada akan tekanan-tekanan di dunia kerja mereka dan bekerja jeras meningkatkan ketahanan mereka, serta mencari langkah pemulihan pada tingkatan Kebijakan, Proses, dan Kelembagaan (misalnya, perubahan kebijakan, bantuan dari pemerintah maupun dari LSM).

3.1.2. KONTEKS KERENTANAN

24Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 40: KAMI BISA!

Diagram kecenderungan yang sederhana saat jalan atau jembatan dibangun, atau saat merupakan alat partisipatif yang efektif listrik masuk desa. untuk membantu kelompok dan individu

Mereka kemudian diajak mendiskusikan untuk menyusun visi dan memahami

sebab dan akibat perubahan terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas

sejumlah tanda atau faktor, dan mengkaji mereka selama jangka waktu tertentu.

kaitan antara perubahan pada satu faktor Para peserta diminta untuk menyusun

dengan perubahan pada faktor-faktor lainnya.daftar berbagai tanda yang membentuk

Misalnya, perubahan pada lapisan hutan karakter desa dan lingkungan mereka;

berkemungkinan mengakibatkan pengurangan yakni jumlah rumah tangga, kondisi hutan,

sumber air dan aliran sungai, atau sawah, sungai, mata air, kegiatan

meningkatkan banjir. Peningkatanpeternakan maupun pertanian, kesehatan

pemanfaatan lahan kering untuk pertanian dan penyakit, dan seterusnya. Mereka

barangkali berkaitan dengan berkurangnya kemudian menyiapkan simbol-simbol

lapisan hutan; peningkatan jumlah ternak sebagai tanda dari masing-masing faktor

dapat saja berkaitan dengan perubahan pada tersebut pada waktu-waktu tertentu

kesejahteraan maupun kesehatan rumah sepanjang sejarah yang dilalui warga

tangga. Jika hubungan sebab-akibat seperti ini masyarakat; kemungkinan dalam jangka

telah terbentuk, kelompok pun diminta untuk waktu 10 tahun, atau kadangkala dengan

mempertimbangkan faktor eksternal apapun menggunakan kejadian-kejadian penting

yang berkontribusi pada perubahan dari masa lalu, seperti jaman

lingkungan setempat.kemerdekaan, tokoh-tokoh nasional tertentu, perang atau konflik, kelaparan,

Analisis Kecenderungan:

25Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 41: KAMI BISA!

3.1.3. KEBIJAKAN, PROSES, DAN KELEMBAGAAN

Kebijakan, proses dan kelembagaan dalam kerangka kerja perikehidupan adalah lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, kebijakan-kebijakan dan perundangan yang membentuk perikehidupan. Hal ini berupa norma, praktek dan struktur kebudayaan.Kebijakan,proses, dan kelembagaan bekerja di semua tingkatan, mulai dari rumah tangga hingga arena internasional, dan di semua lapisan, mulai dari yang paling pribadi hingga yang paling umum. Semua itu secara efektif menentukan:

? akses dan ketersediaan bebagai jenis modal, strategi perikehidupan dan lembaga pengambil keputusan dan sumber pengaruh;

? syarat pertukaran di antara berbagai jenis modal; dan

? Imbalan (secara ekonomi dan lainnya) terhadap tiap strategi perikehidupanyang disediakan.

Berbeda dari faktor yang ada dalam Konteks Kerentanan, semua individu dan warga masyarakat (bahkan kelompok miskin) dapat memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan, proses dan kelembagaan yang berdampak pada perikehidupan mereka.Strategi dapat berkisar dari resistensi pasif hingga keanggotaan aktif dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan.

Kebijakan, proses dan kelembagaan berkecenderungan terbentuk dari faktor-faktor yang ada dalam Konteks Kerentanan, juga keterkaitan dengan modal yang dimiliki warga yang mereka kaitkan. Hubungan tersebut dialektikal, karena kebijakan, proses dankelembagaan dapat menekan maupun mengendalikan guncangan, kecenderungan danperubahan musiman. (misalnya, hubungan antara kebijakan konservasi hutan dan banjir,erosi dan kekeringan), juga ketersediaan, akses, dan perubahan nilai berbagai modalperikehidupannya.

Bersama Masyarakat PHT dan program SLP lainnya, pendekatan partisipatif (termasuk pelatihan dari petani ke petani, riset aksi dan dialog mengenai kebijakan) digunakan untuk melakukan transformasi terhadap berbagai jenis modal (termasuk modal alam,manusia dan sosial) menjadi hasil perikehidupan yang bernilai positif, yakni keamanan pendapatan, pasokan pangan dan kesehatan, dan peningkatan warga masyarakat sipil di pedesaan.

Seiring dengan pemahaman dasar mengenai siklus hidrologis, Kerangka KerjaPerikehidupan Berkelanjutan memberikan platform yang jelas untuk mengangkat berbagai aspek Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS secara bersamaan, dan menghubungkan semua aspek tersebut ke permasalahan yang lebih luas yang tercakup dalam keseluruhan tujuan program ESP. Secara khusus, Konteks Kerentanan, dan Segi Lima Modal, dengan kehadirannya berupa berbagai jenis ‘modal’, merupakan alat sederhana untuk mengikat semua aspek yang berbeda yang terdapat dalam susunan kurikulum Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS. Alat perencanaan yang sederhana,

26Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 42: KAMI BISA!

seperti ‘Jembatan Bambu’, memungkinkan warga untuk menggunakan pengetahuan ini dalam rangka mengembangkan strategi dan rencana kerja praktis.

Selama masa-masa awal implementasi ESP, suatu kegiatan Kajian Perikehidupan Berkelanjutan dilakukan relatif singkat (biasanya dalam waktu 3 hari) digunakan sebagai kegiatan pembuka untuk memulai proses pembentukan kelompok dan mengidentifikasi kunci utama pada titik-titik awal untuk aktivitas pengelolaan DAS, perikehidupan,kesehatan dan sanitasi yang berbasis masyarakat. Suatu analisis Perikehidupan Berkelanjutan yang bersifat partisipatoris meliputi sejumlah teknik PRA (ParticipatoryRural Appraisal) seperti penelusuran kawasan, pemetaan, analisis kelembagaan (Diagram Venn), analisis musim dan kecenderungan, serta analisis pendapatan-pengeluaran perikehidupan rumah tangga untuk identifikasi masalah, dikombinasikan dengan penyusunan prioritas dan identifikasi strategi untuk mengatasi isu-isu yang menjadi prioritas.

Jembatan Bambu:

Jembatan Bambu merupakan salah satu diminta untuk mempersiapkan dua teknik perencanaan partisipatif sederhana skenario visual baik berupa poster yang yang dikembangkan sekitar tahun 1970an digambar dengan tangan maupun tempelan oleh Save the Children dan sebuah tim dari pada alas papan flanel yang berisikan projek Unit Pengembangan Inovasi potongan-potongan gambar dan bentuk -- Pendidikan Non-Formal dengan dukungan yang mencerminkan kondisi sebenarnya USAID (USAID-sponsored Non-formal yang ada di desa mereka dan sebuah ‘desaEducation Innovation Utilization Unit - idaman’ yang mereka inginkan untuk USPI) di Aceh, Indonesia. Para peserta didiami di masa depan.

27Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 43: KAMI BISA!

Mereka kemudian didorong untuk mereka identifikasi, dan lalu memutuskan menyusun daftar sumber daya yang dapat prioritas dan tahapan logis dari langkah-mereka manfaatkan -- misalnya, berbagai langkah ini. Hal ini disimbolkan dengan ‘aset’ atau jenis-jenis ‘modal’, sesuai sejumlah tapak kaki yang melintasi jembatan dengan istilah Analisis Perikehidupan tersebut; bergerak dari situasi yang merekaBerkelanjutan. Semua ini dituliskan pada hadapi sekarang menuju masa depan yang sejumlah potongan batang bambu yang lebih baik yang menjadi visi mereka.disusun menjadi lempengan, yang Sederhana dan bersahaja, Jembatan Bambu digunakan untuk membangun sebuah telah digunakan di berbagai konteks jembatan yang menghubungkan dua masyarakat di sejumlah negara berkembang gambar tadi di dunia. Sangat menarik untuk menyimak

penjelasan teknik ini dan hasilnya dari Yang terakhir, mereka menyusun

seorang warga desa Saree,Aceh, yang belum serangkaian langkah penting untuk

lahir saat gagasan ini pertama kali menyeberangi jembatan ini, dengan

diujicobakan di desanya 30 tahun lalu.memanfaatkan sumber daya yang telah

Karena proses ini terbukti memberikan informasi yang berguna bagi kalangan pimpinan program mengenai persepsi dan masalah lokal, dan membantu membangun kesadaran di kalangan warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses, pihak pimpinan program ESP berpendapat bahwa suatu pendekatan Sekolah Lapangan yang semakin intensif dan ekstensif sangat dibutuhkan untuk membangun landasan ini, dan untuk ‘memacu’ dinamika aksi kemandirian masyarakat. Untuk mengantarkan pendekatan Sekolah Lapangan di berbagai wilayah sasaran projek, satu kelompok staf lapangan ESP dan perwakilan dari organisasi mitra lokal mengikuti Pelatihan untuk Pemandu mengenai metodologi pendampingan Sekolah Lapangan.

Pelatihan untuk Pemandu (Training of Trainers -- ToT) Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP diselenggarakan di Solok, Sumatra Barat, pada bulan Juli hingga September 2006. Para peserta termasuk 29 Asisten Lapangan ESP yang baru direkrut dan 9 orang petugas lapangan dari mitra ESP di lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Pelatihan yang berlangsung selama sebelas pekan tersebut mengembangkan berbagai keterampilan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memfasilitasi Sekolah Lapangan ESP yang efektif untuk Pengelolaan DAS.Termasuk di dalamnya prinsip dan konsep pendidikan non-formal dan pendampingan orang dewasa, serta arahan materi teknis di antaranya Pengelolaan DAS, Pertanian berbasis kehutanan, Konservasi Keanekaragaman Hayati, Hidrologi, Sanitasi dan Air Warga, serta Hieginitas dan Kesehatan. Format ToTtersbut mengikuti model Sekolah Lapangan Petani, yakni menggabungkan teori di dalam kelas dengan penerapan, pengujian, dan analisis lapangan yang dilakukan secara ekstensif.

3.2. TOT DI SOLOK

28Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 44: KAMI BISA!

Tiap pekan terdiri dari lima hari penuh kombinasi kegiatan di dalam kelas dan lapangan,dua setengah hari berupa praktikum di tempat persemaian benih pohon yang tersedia di tempat pelatihan, dan dua setengah hari adalah melakukan fasilitasi Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS di desa-desa sekitar. Kurikulum terbagi menjadi empat ‘kotak’ besarmeskipun aspek dari tiap komponen terjalin bersama dalam setiap kegiatan pelatihan.Empat tema utama tersebut adalah:

1. Memandu Pelatihan -- teori, metoda dan praktek pendidikan non-formal dan proses pendidikan orang dewasa; merangsang kreativitas dan komunikasi;merencanakan dan memfasilitasi kerja kelompok; mengorganisir dan mengelola pelatihan dan jejaring kerja, resolusi konflik; penelitian oleh petani.

2. Kajian Perikehidupan Berkelanjutan -- alat dan teknik melibatkan warga masyarakat dalam penelitian partisipatif, kajian, analisis, dan pemahaman mendalam mengenai permasalahan, kendala, dan peluang perikehidupan.

3. Pertanian berbasis kehutanan -- menganalisa pemakaian lahan saat sekarang dan kebun sebagai agro-ekosistem; ekologi tanah dan pemakaian lahan;merencanakan upaya pembenahan; pemeliharaan kebun; mengendalikan hama dan penyakit; mempersiapkan dan menggunakan pupuk organik.

4. Agro-ekosistem dan Pengelolaan DAS -- ketrampilan pemetaan dan pembuatan peta; melakukan kajian terhadap agro-ekosistem DAS skala kecil;mengindentifikasi lahan yang terdegradasi dan beberapa pilihan pemulihan lahan;pemakaian lahan dan masalah sewa lahan; kualitas dan pelestarian air, hukum dan kebijakan pengelolaan DAS, isu-isu ekonomi, etnis, dan sosial.

Tema-tema umum yang saling berkaitan dan berlintasan di antaranya adalah analisis gender, pengelolaan sumber daya alam dan hukum adat, resolusi konflik serta 'memberlakukan norma-norma' tentang praktek-praktek di bidang kesehatan dan higienitas yang berjalan cukup baik.

Di tempat persemaian Pertanian berbasis kehutanan, para peserta memperoleh keterampilan teknis khusus yang dibutuhkan untuk melakukan seleksi, pemuliaan,penempelan, pemeliharaan dan menanam benih, mengendalikan hama dan penyakit,serta menyiapkan dan menggunakan pupuk organik dan media pot.

Elemen inti dari program pelatihan ini adalah pendampingan aktual Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP sesuai dengan kebutuhan sekitar. Para peserta pelatihan terbagi menjadi beberapa kelompok sebanyak 6 hingga 7 kelompok, untuk mendampingi 6 Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP di empat desa sekitar (Nagari), yang berada di aliran DAS dari Gunung Talang turun ke Solok dan sekitar Danau Singkarak. Lewat Sekolah Lapangan ini, para peserta dapat mempertajam keterampilan teknis baru yang mereka miliki dan membangun kepercayaan diri mereka dalam pendampingan masyarakat. Proses Sekolah Lapangan juga memastikan bahwa tiap peserta pelatihan telah benar-benar mengalami seluruh aspek yang ada dalam proses Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP sebelum menyelesaikan program pelatihan. Hal ini juga

29Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 45: KAMI BISA!

memastikan bahwa Asisten Lapangan dan Mitra Program ESP dapat kembali ke tempat kerja mereka dan secara efektif melakukan pendampingan Sekolah LapanganPengelolaan DAS di daerah mereka masing-masing.

Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP juga meliputi penyusunan rencana tindak lanjut,dan para peserta ToT di Solok memiliki kesempatan untuk membantu para alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP yang ada di enam Nagari untuk mengajukan beberapa rencana ini, dan untuk berjejaring dengan berbagai pihak pemerintah dan non-pemerintah serta individu yang dapat terus mendukung kegiatan-kegiatan ini.

Alumni ToT Solok:

Sebagian besar dari 29 alumni peserta Pelatihan untuk Pelatih Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS tahun 2006 melanjutkan kerja sama dengan program ESP. Jabatan ‘AsistenLapangan’ tidak seimbang dengan tanggung jawab yang mereka emban, maupun keberhasilan yang mereka raih. Berikut ini hanya sejumlah contoh:

Dhina Mustikaningrum bekerja sebagai seorang Asisten Lapangan ESP di daerah resapan air Sungai Welang di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.Setelah menyelesaikan ToT, Dhina pertama kali bekerja dengan suatu tim yang lebih besar di hulu DAS Brantas, daerah Malang, tapi setahun kemudian diberi tanggung jawab untuk memulai Sekolah Lapangan dan program pengelolaan DASdi sebuah wilayah pengembangan yang baru di DAS Welang. Dhina berhasil memfasilitasi sembilan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS bersama warga di dua wilayah tersebut, bersamaan dengan sejumlah tindak lanjut ‘Sekolah Lapangan mini' yang membahas sejumlah topik pengelolaan sampah,biogas, beternak lebak, dan sekolah lapangan

lingkungan khusus bagi anak-anak sekolah. Dhina juga bertindak sebagai pemandu untuk sejumlah program pelatihan kecakapan bagi dinas-dinas lainnya, termasuk pelatihan staf untuk Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru dan Departemen Pertanian, dengan topik seperti rehabilitasi lahan kritis dan pemulihan Jasa lingkungan. Dia pun berperan penting dalam pencanangan Dana Bersama Hutan Asuh, yakni ketika pihak perusahaan dan pemerintah menyumbangkan dana untuk sejumlah program tindak lanjut dari para alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS dan kelompok warga. Namun demikian, yang paling dibanggakan Dhina adalah setiap kali ada alumni Sekolah Lapangan yang dia bantu fasilitasi diminta untuk melatih kelompok masyarakat lainnya.

Agus Elia Nova bergabung bersama Program ESP di Aceh beberapa bulan sebelum programToT Solok. Eli, demikian dia dipanggil, adalah warga Aceh asli, dan berniat membantu warga Aceh bangkit kembali dari dampak luar biasa bencana Tsunami Desember

Dhina memimpin diskusimenganalisa lembaga-lembaga sosial

30Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 46: KAMI BISA!

31Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

2004 dan perang saudara selama 30 tahun.Kebanyakan tugasnya sejak berpartisipasi di ToTSolok berada bersama masyarakat pantai yang berupaya bangkit kembali dari tsunami, di mana program ESP telah berperan penting dalam penyediaan air minum. Dukungan kegiatan di 29 kelompok warga tempat Eli bekerja, termasuk juga peningkatan sanitasi dan pengelolaan sampah, dan program melatih hidup sehat untuk anak-anak sekolah. Pengelolaan sampah dan kegiatan sanitasi yang dilakukan Eli termasuk juga pembuatan kompos dari limbah rumah tangga dan pertanian.Warga masyarakat kini memanfaatkan kompos baik di kebun-kebun mereka maupun programpenghijauan hutan kembali pasca-tsunami.

Hendriana Dharmawan adalah anggota dari sebuah LSM lokal di DAS Cikapundung di Jawa Barat bernama Warga Peduli Lingkungan (WPL),yang menjalin kerja sama dengan ESP lewat program hibah dalam jumlah kecil. Hendri mengikuti ToT di Solok sebagai perwakilan dari LSM ini, tapi kemudian direkrut untuk bekerja sebagai Asisten Lapangan ESP di wilayah ini.Hendri telah membantu terlaksananya sejumlah kegiatan Sekolah Lapangan pelestarian hutan dan pertanian berkelanjutan, serta berperan penting dalam memfasilitasi kerja sama antara kelompok dan forum alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan

DAS dengan pemerintah setempat. Sepanjang kegiatan itu, Hendri menjaga posisinya bersama WPL, yang kini telah mendapatkan dukungan dari ADB untuk program pelestarian DAS yang terpadu. Hendri mengorganisir program Pelatihan untuk Pemandu dalam rangka mendukung implementasi Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS sebagai bagian dari program pelestarian DAS tersebut.

Sukirman telah memiliki pengalaman yang memadai dengan model Sekolah Lapangan Petani jauh sebelum bergabung bersama program ESP di JawaTengah. Kirman adalah kordinaor wilayah Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia yang berpartisipasi dalam Program Nasional PHT sekitar tahun 1990-an. ToT di Solok membantu Kirman mengembangkan pengetahuannya tentang pengelolaan DAS, dan menerapkan pendekatan SLP untuk konteks yang baru dan berbeda.Kirman memfasilitasi Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS di 27 desa di DAS Tangsi dan Bolong yang merupakan perbatasan Taman

Hendri Dharmawanmemfasilitasi sebuah diskusi

Sukirman tengah mengarahkansebuah kegiatan pemecah suasana

Eli Nova melatih para perempuanAceh untuk membuat kerajinan

tangan dari limbah daur ulang

Page 47: KAMI BISA!

Nasional Merapi-Merbabu, dan kerap kali diundang untuk memfasilitasi Sekolah Lapangan dan program pelatihan kekhususan mengenai pelestarian tanah, perlindungan sumber air,pertanian berbasis kehutanan dan budidaya kopi bersama kelompok masyarakat di seluruh propinsi ini.

ToT di Solok awalnya dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan Pengelolaan DAS ESP,tapi pada saat proses berjalan, para peserta mulai menyusun strategi untuk mengembangkan modul Sekolah Lapangan untuk warga dan pihak pemangku kepentingan lainnya. ToT di Solok memberikan landasan sumber daya manusia dan intelektual bagi metodologi Sekolah Lapangan agar dapat diterima di sepanjang program, mulai dari masyarakat desa yang berada di hulu hingga daerah hilir perkotaan.

Saat kembalinya mereka ke masing-masing program di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, serta Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, para alumni ToT di Solok selanjutnya bersiap merancang dan menerapkan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS yang diadaptasi ke sejumlah konteks di masing-masing wilayah. Proses ini lebih

sederhana daripada yang mungkin terkesan: fokus pada siklus hidrologis dan penerapan Kerangka KerjaPerikehidupan Berkelanjutan berarti bahwa kurikulum Sekolah Lapangan ‘secara alami’ beradaptasi terhadap konteks lokal -- proses mengidentifikasi isu, masalah dan potensi solusi terbangun menjadi satu dalam kajian dan analisa partisipatif yang selanjutnya menjadi dasar pijakan proses Sekolah Lapangan. Sekolah Lapangan di tiap wilayah merupakan langkah awal dalam bekerja sama dengan warga setempat untuk membangun bentuk-bentuk upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya dalam bahasa daerah mereka sendiri. Dengan demikian, Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS pun bergerak dalam proses yang lebih luas membentuk basis sosial, kelembagaan dan teknologi untuk pengelolaan DAS di hulu secara berkelanjutan.Bagian berikut ini secara ringkas menjabarkan beberapa model Sekolah Lapangan yang dikembangkan di beberapa wilayah.

3.3. SEKOLAH LAPANGAN DI DAERAH

Pembuatan peta desa dan petaekologis, Kabupaten Magelang

32Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 48: KAMI BISA!

3.3.1. SEKOLAH LAPANGAN WENGKON, JAWA TIMUR

Di kawasan hulu DAS Sumber Brantas di Jawa Timur, mayoritas kepala keluarga petani melakukan pertanian tanaman sela -- yaitu, bertanam dengan di sela-sela batang-batang pohon muda di atas lahan hutan milik perusahaan kehutanan negara, yang disebut ‘tumpang sari’ dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dan dikenal dengan ‘wengkon’dalam istilah lokal. Sistem ini telah ada pada abad ke-19 di Jawa, digunakan oleh sistem kolonial sebagai suatu pengelolaan lahan dan buruh kerja dalam hutan jati komersil(dan kemudian, untuk beberapa spesies lainnya juga). Dalam buku klasiknya Rich Forests,

20Poor People, Nancy Peluso menggambarkan dinamika pertengkaran sengit ibarat ‘kucing dengan tikus’ yang berkembang di antara perusahaan kehutanan milik negara dan sebagian besar petani yang tak memiliki lahan yang bercocok tanam dan mengawasi pohon-pohon sambil bercocok tanam dalam perselisihan di antara mereka. Hubungan tersebut merupakan satu bentuk antagonisme, kecurigaan, paksaan dan resistensi -- dengan dua pihak yakni masyarakat petani maupun ekosistem hutan yang merasakan penderitaan yang hebat. Segalanya menjadi makin parah pada saat terjadinya krisis fiskal yang menyerang Asia pada tahun 1997 dan diikuti runtuhnya kekuasaan pemerintah pusat di Indonesia -- suatu masa yang kini diacu sebagai 'krisis multi-dimensional' Indonesia. Antara 1998 dan 2003, ribuan hektar lahan hutan milik negara di Jawa menjadi korban penebangan liar dan pencurian lahan, yang mendatangkan berbagai konsekuensi lingkungan yang parah.

Dimulai pada tahun 2001 Perum Perhutani, perusahaan kehutanan milik negara yang dimaksud, mengembangkan konsep 'Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat' (PHBM),yang memberikan peningkatan -- dan sangat lebih menjelaskan -- hak dan kewajiban bagi warga di desa yang bertempat di dalam atau di pinggiran lahan hutan negara.PHBM merupakan sebuah perkembangan dari program ‘Pembangunan Masyarakat Desa Hutan’ (PMDH) yang dimulai oleh Perum Perhutani pada tahun 1992, dalam program tersebut rancangan dan penerapan proses diputuskan melalui serangkaian forum multi-stakeholder, dengan melibatkan warga setempat, LSM, pemerintah daerah

21dan Perum Perhutani.

Secara konseptual cukup sederhana, proses tersebut bergantung pada kemampuan -- dan kemauan -- dari warga masyarakat untuk menyediakan diri mereka bagi kesempatan baru yang ditawarkan oleh skema tersebut, kemampuan mereka bernegosiasi dengan pihak pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka dan rencana kerja yang telah disusun dengan jelas dan runtut.

Pertanian ‘tradisional’ wengkon mencakupi penanaman tanaman musiman -- terutama jagung dan ubi -- untuk tujuan dijual dan persediaan sendiri. Petani tidak diperbolehkan menanam tanaman jangka menengah maupun jangka panjang milik mereka di lahan tersebut, karena kekuatiran pihak Perhutani akan dampak ‘kepemilikan’ yang lebih permanen oleh pihak petani, dan kekuatiran bahwa tanaman petani akan bersaing

20Peluso (1992)

21Djajanti (2006)

33Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 49: KAMI BISA!

34

Wengkon, Kabupaten Malang, Jawa Timur

dengan pepohonan yang akan diperjualbelikan. Dasar dari aturan tumpang sari adalah petani akan merawat pohon-pohon yang masih muda saat bercocok tanam di sela-sela pepohonan tersebut, hingga pepohonan tersebut tumbuh cukup besar dan merimbuni tanaman musiman. Pada titik ini, petani diperbolehkan mengambil petak lainnya yang ada di hutan itu untuk ditanami dengan benih-benih baru, dan memulai lagi proses tadi.Karena telah menanam investasi berupa tenaga dalam menyiapkan dan mengolah tanah di petak bagian mereka, para petani biasanya enggan meninggalkan petak lahan mereka dan berpindah ke petak baru. Barangkali saja, petani memang sudah berniat mencegah pohon-pohon hutan tumbuh dengan baik -- atau tidak tumbuh sama sekali. Merekaakan secara rutin memangkas dahan-dahan dari pepohonan yang mulai tumbuh itu agar tidak menjadi rimbun dan menutupi tanaman mereka, dan dengan berbagai akal bulus berusaha memperlambat pertumbuhan pepohonan tersebut -- termasuk menganggu akar, mengelupasi batang, meracuni, bahkan sengaja mencoba membakar.

Kerangka kerja PHBM yang baru membuka lebar kesempatan bagi pertanian berbasis kehutanan yang lebih berkelanjutan -- termasuk melayani kepentingan petani dengan memberikan bagi hasil dari penjualan kayu. Yang lebih penting lagi, kerangka baru ini mendorong para petani untuk memasukkan tanaman jangka panjang dan menengah milik mereka, termasuk pepohonan dan perdu ke dalam kombinasi kegiatan pertanian mereka. Untuk semua jenis tanaman, sekarang ini sudah terdapat kepastian perjanjian bagi hasil.

Hal ini tentu memperlihatkan bahwa pola-pola lama diakhiri, karena itu dibutuhkan analisis dan perencanaan mendalam untuk membantu petani memaksimalkan keuntungan. Kurikulum Sekolah Lapangan Wengkon mengupayakan ini melalui langkah-langkah berikut:

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 50: KAMI BISA!

? Memahami wengkon

? Analisis kebutuhan konsumsi rumah tangga

? Analisis kebutuhan masukan pertanian di hutan

? Inventarisasi dan pemetaan wengkon

? Analisis tutupan lahan (kanopi)

? Analisis panen -- tanaman musiman dan jangka panjang

? Analisis pendapatan petani hutan

? Analisis resiko

? Analisis ekonomi dan ekologi mengenai petakwengkon oleh petani perseorangan

? Memahami PHBM

? Perencanaan wengkon perseorangan untuk memaksimalkan keuntungan

? Rencana aksi tindak lanjut

? Hari Lapangan Sekolah Lapangan Wengkon

Keterlibatan kaum perempuan di Sekolah Lapangan Wengkon terbukti bermakna penting bagi keberhasilan mereka, karena mereka menyebarkan pemahaman rinci mengenai kebutuhan konsumsi rumah tangga, dan membantu mengembangkan konsep sistem pertanian berbasis kehutanan wengkon yang dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan ini dengan lebih baik. Sebelumnya, kaum perempuan telah banyak menyediakan tenaga kerja untuk pertanian wengkon, namun hanya bisa memberi sedikit masukan mengenai apa yang mesti ditanam, atau bagaimana sebaiknya pengelolaannya.

Sekolah Lapangan Wengkon:Merencanakan Pertanian berbasis kehutanan

Peserta Sekolah Lapangan Wengkon Field menanam bibit kopi, Desa Argosari,Kabupaten Malang

35Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 51: KAMI BISA!

Pembibitan Pohon, Desa Sambak, Kabupaten Magelang

Hasil awal sangat menjanjikan: komunikasi dan kerja sama kelompok petani dengan pihak Perhutani jelas sekali memasuki era baru. Mereka bisa menanam lebih banyak pilihan tanaman, termasuk kopi dan tanaman lainnya, demikian pula tanaman musiman yang dahulu hanya jagung dan ubi yang bisa mereka tanam. Rumusan ini secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi dan ekologi sistem pertanian, memperbaiki ketersediaan sumberdaya rumah tangga dan meningkatkan pendapatan.

Analisis dan perencanaan yang dilakukan selama kegiatan belajar di Sekolah Lapangan,presentasi Hari Temu Lapangan dan tindak lanjut kegiatan melobi telah menghasilkan sejumlah rencana dan kegiatan, seperti Sekolah Lapangan-Mini untuk pengembangan ketrampilan tertentu, yaitu kebun kopi, pertanian organik, produksi kompos dan biogas.Kelompok alumni desa telah berhasil meraih dukungan dari berbagai pihak pemangku kepentingan untuk menjalankan berbagai rencana tindak-lanjut mereka.

Banyak warga masyarakat sasaran ESP di kabupaten Magelang Jawa Tengah mendiami lereng sejumlah gunung berapi di sekitar DAS Kali Progo. Kawasan hulu yang ada di Merapi dan Merbabu merupakan bagian dari Taman Nasional Merapi Merbabu, yang berperan sebagai daerah tangkapan air untuk sejumlah mata air dan sungai besar.Desa-desa yang berlokasi di sepanjang perbatasan taman nasional juga berperan penting dalam kesehatan ekosistem wilayah konservasi ini. Berbagai bentuk kegiatan perampasan, termasuk di antaranya penambangan pasir dan kerikil di dasar sungai,

3.3.2. SEKOLAH LAPANGAN PERLINDUNGAN SUMBER AIR,JAWA TENGAH

36Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 52: KAMI BISA!

‘Kampung Ternak’ dan ruang pertemuan Sekolah Lapangan, Desa Citrasono, Kabupaten Magelang

pembalakan liar dan pengumpulan kayu bakar, serta pencaplokan lahan untuk pertanian memperlihatkan ancaman serius terhadap daerah tangkapan untuk sumber air dan sungai yang mengaliri kota Magelang dan masyarakat lainnya yang ada di daerah hilir.

Sebagian besar desa berbentuk segitiga, dengan wilayah hutan masyarakat berada di puncak, melebar menuruni lereng berisikan hamparan pertanian lahan kering dan tempat ternak merumput, dengan pemukiman dan sawah beririgasi sebagai bagian bentuk alas dari segitiga ini. Kerusakan yang terjadi di hutan masyarakat -- dan di hutan konservasi yang berada di atasnya, mengakibatkan berkurangnya pasokan air untuk tanaman padi, juga untuk seluruh warga dan aktivitas produktif yang berada jauh di bagian hilir. Menurunnya produktivitas padi menyebabkan meningkatnya tekanan pada agro-ekosistem di daerah hulu, karena orang-orang meningkatkan kegiatan bercocok tanam dan kegiatan perampasan untuk menutupi menurunnya tingkat pendapatan mereka.

Analisis Agro-ekosistem dan Perikehidupan Berkelanjutan yang dilakukan di Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS di desa-desa ini membantu menggambarkan dengan jelas pola sebab-akibat yang membayangi kerusakan ini -- dan untuk menunjukkan jenis langkah yang diperlukan untuk mempertahankannya. Analisis kecenderungan secara khusus juga turut membantu menegaskan korelasi langsung antara berkurangnya tutupan hutan dan pengurangan pasokan air. Dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah desa, sebagian besar sekolah lapangan berfokus pada penetapan wilayahdesa dan rencana konservasi hutan, yang kemudian secara resmi mendorong terciptanya Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Desa lainnya termasuk penetapan badan pengelola sumber daya air, pembentukan desa ekowisata dan kajian alam,pembatasan penebangan pohon dan pengumpulan kayu bakar, pembentukan forum pengelola DAS, larangan penambangan pasir dan kerikil, aturan mengenai lahan dan

37Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 53: KAMI BISA!

pakan untuk ternak. Satu contoh menarik adalah terciptanya sebuah 'kampung ternak' di desa Citrasono, dengan semua sapi, kerbau, dan kambing milik anggota kelompok ditaruh di kandang yang berlokasi di atas petak lahan milik pemerintah desa, untuk memudahkan penyuluhan dan Jasa uji kesehatan hewan ternak oleh pihak pemerintah,keamanan, pengumpulan pakan dan produksi kompos. Rencana penataan wilayah desa yang didukung Perdes menjadikan desa-desa ini layak untuk mendapatkan dana khusus dari Pemerintah Kabupaten untuk mendukung 'Desa-Desa Konservasi' yang berbatasan dengan taman nasional dan wilayah konservasi lainnya.

Untuk mendukung lebih lanjut rencana konservasi dan penataan wilayah desa, peserta Sekolah Lapangan membentuk tempat persemaian pohon, untuk menyediakan bibit bagi anggota dan warga masyarakat lainnya dalam melakukan pengayaan tanaman di lahan mereka di hutan masyarakat. Aktivitas tindak-lanjut lainnya termasuk Sekolah Lapangan mini tentang metoda pertanian organik dan peningkatan budidaya serta metoda panen bambu.

Masyarakat di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami penderitaan suram selama beberapa puluh tahun lalu, baik dari gempa bumi dan tsunami Desember 2004 yang meluluhlantakan, dan juga dari 30 tahun konflik bersenjata antara Gerakan AcehMerdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain menyebabkan ratusan ribu korban, bencana yang saling bersusulan ini benar-benar melemahkan kemampuanjutaan rakyat Aceh untuk menjalankan kegiatan produktif dan mendapatkan akses layanan dasar. Titik berangkat yang nyata untuk mobilisasi masyarakat dan pengembangan kapasitas di Aceh adalah berfokus pada perikehidupan.

Kegiatan Kajian Perikehidupan Berkelanjutan baik di desa yang terkena dampak tsunami maupun yang terkena dampak konflik membantu warga mengidentifikasi berbagai isu yang menekan, sehingga memungkinkan mereka memulai kegiatan mandiri, termasuk di antaranya penanaman pohon untuk memperkuat struktur tanah, restorasi lahan pertanian dan perkebunan dan projek pasokan air di desa-desa yang terkena dampak tsunami, serta pertanian organik, projek pertanian sayuran campuran dan pasokan air di wilayah pedalaman. Kebanyakan dari aktivitas ini sudah dijalankan sebelum ESP mengenalkan sekolah lapangan; pada banyak kasus, kelompok mandiri warga sudah terbentuk dan berfungsi sebelum sekolah lapangan diselenggarakan.

Aktivitas sekolah lapangan kerap dilaksanakan sampai larut malam, setelah para anggota kelompok kembali kerja dari ladang mereka. Sesi ‘yang dibutuhkan’ pada siang hari dijadualkan berdasarkan jadual kerja anggota kelompok. Kegiatan demi kegiatan biasanya cukup terfokus; mengembangkan topik dan isu yang ditetapkan selama kegiatan Kajian Perikehidupan Berkelanjutan pertama. Aktivitas umum terdiri dari pembentukan pembibitan pohon, teknik penempelan tunas (budding) dan sambung cabang (grafting), peremajaan kebun, produksi kompos dan pertanian organik,

3.3.3. SEKOLAH LAPANGAN PERIKEHIDUPAN, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

38Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 54: KAMI BISA!

pengendalian hama biologis, serta sanitasi warga dan pembuangan limbah padat. Sesi ‘teori’ yang berlangsung pada malam hari yaitu pengembangan analisis situasi yang mendalam, mengenai kajian Perikehidupan Berkelanjutan sebelumnya, mengkaji siklus hidrologis, kajian mendalam masalah dan prospek pasokan air, analisis agro-ekosistem,diskusi mengenai penyakit manusia dan tanaman, prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan, dan perencanaan tindak-lanjut; sementara aktivitas yang dibutuhkan yang dilaksanakan selama sesi siang hari yaitu analisis tambahan dan pemetaan agro-ekosistem, produksi kompos, pengendalian hama terpadu, menanam dan pengelolaan bibit persemaian, pemangkasan pohon buah-buahan dan sanitasi kebun, serta merancang dan melakukan pertanian dan eksperimen perkebunan organik dan lahan uji coba.

Budidaya tanaman coklat dengan cepat menjadi salah satu program yang paling disukai di Aceh. ESP mengembangkan suatu pendekatan sekolah lapangan untuk tanaman coklat, termasuk rehabilitasi perkebunan yang sudah ada, proses sambung cabang varietas yang berproduksi tinggi ke cabang pohon yang ada, pemangkasan, pengelolaan kesuburan tanah, dan pembentukan tempat

persemaian. Banyak desa mendukung kegiatan ini dengan produksi kompos organik dalam jumlah banyak, untuk digunakan di kebun mereka sendiri maupun dijual ke dinas-dinas pemerintah, LSM dan petani lainnya.

Sekolah lapangan lainnya berfokus pada pasokan air, termasuk perlindungan mata air dan pengayaan tanaman pepohonan di wilayah tangkapan mata air, peraturan desa mengenai perlindungan DAM dan hutan, serta instalasi sistem berbasis gravitasi untuk pasokan air minum dan jaringan distribusinya di desa.

Meskipun model Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP dikembangkan untuk masyarakat pertanian di bagian hulu, pendekatan Sekolah Lapangan juga telah diadaptasi untuk warga daerah kumuh perkotaan. Sekolah Lapangan Kampung Perkotaan lebih berfokus pada sanitasi lingkungan dan pembuangan limbah, meskipun pasokan air masih

3.3.4. SEKOLAH LAPANGAN KAMPUNG-PERKOTAAN,JAKARTA

39

Kegiatan Sekolah Lapangan Coklat:graftingdan pemangkasan, Kabupaten Aceh Besar

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Page 55: KAMI BISA!

tetap menjadi fokus sentral. Kerap kali (tidak selalu), Sekolah Lapangan ini dijalankan bersamaan dengan pemasangan sistem pasokan air melalui pipanisasi untuk warga pemukiman kumuh. Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan memberikan kerangkadasar untuk Sekolah Lapangan, sementara analisis siklus hidrologis berfokus terutama pada pembuangan air limbah, pencemaran air permukaan, dan pencegahan penyakit yang mudah menular. Banyak kegiatan yang dijalankan selama pertemuan mingguan sama halnya dengan yang dilakukan di Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS, termasuk penelusuran kawasan dan pemetaan warga, analisis kecenderungan, analisis kelembagaan,‘menemukan visi’ dan perencanaan tindak-lanjut. Penekanan juga dilakukan oleh ESP untuk mempromosikan cuci tangan pakai sabun sebagai suatu cara mencegah diare. Agar sejalan dengan pendekatan Sekolah Lapangan, kegiatan ini dimulai dengan observasi dan analisis kebiasaan keluarga terkini dan dampaknya bagi kesehatan mereka. Kurikulum Sekolah Lapangan juga menekankan untuk menjajaki kesempatan meningkatkan pendapatan rumah tangga dan menyediakan kebutuhandasar, termasuk industri rumahan yang memanfaatkan limbah yang didaur-ulang,produksi kompos dan kebun tanaman keluarga.

Para peserta yang utama adalah kaum perempuan, meskipun mereka berusaha untuk melibatkan kaum lelaki dalam banyak kegiatan tindak-lanjut, seperti pembangunan, perbaikan dan penjagaan sistem drainase, dan kampanye kebersihan di kampung.Sebagaimana yang telah digambarkan dalam paragraf pembuka tulisan ini, para perempuan yang berperan serta di Sekolah Lapangan berbicara dengan jelas untuk mengadvokasi berbagai pihak tentang pelajaran yang mereka peroleh dan rencana yang mereka hasilkan. Bersama dengan Sekolah Lapangan lainnya yang berbeda jenisnya,maka Hari Temu Lapangan yang diorganisir oleh para peserta pada akhir proses fomal Sekolah Lapangan memberikan kesempatan berharga untuk mengumpulkan dukungan dari tokoh masyarakat dan tetangga serta pemerintah setempat, dan membantu melahirkan momentum dan antusiasme untuk program dan kegiatan lanjutan.

Sekolah Lapangan Mini yang mirip dengan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ini berlangsung selama dua hingga tiga bulan, termasuk dimulainya sejumlah kegiatan rintisan dan kegiatan lanjutan lainnya, serta pembentukan kelompok dan konsolidasi.Dalam banyak kasus, para peserta mengidentifikasikan sejumlah topik yang mereka ingin pelajari lebih lanjut sebagai hasil dari rencana dan program yang dikembangkan selama proses Sekolah Lapangan. Dengan meneruskan pendekatan belajar melalui pengalaman yang memang terbukti berhasil, staf lapangan ESP membantu menyusun rencana dan menerapkan beberapa Sekolah Lapangan mini yang berfokus pada topik dan keterampilan tertentu.

Sekolah Lapangan Peraturan Desa (Perdes): Salah satu contoh penting dari Sekolah Lapangan mini adalah persiapan Perdes untuk memasukkan rencana yang tersusun dan kegiatan yang diajukan selama proses Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS.Agar memiliki otoritas hukum, Peraturan Desa harus mengikuti suatu format khusus,

3.3.5. SEKOLAH LAPANGAN-MINI

40Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 56: KAMI BISA!

Sekolah Lapangan Biogas, Kabupaten Malang

dan disahkan oleh Pemerintah Kabupaten. Format dan bahasa yang rumit yang digunakan dalam perundang-undangan Indonesia membutuhkan pelatihan khusus.Namun, Sekolah Lapangan Perdes, tidak terbatas pada pelatihan penyusunan perundang-undangan. Prosesnya juga termasuk perencanaan dan implementasi proses konsultasi, bukan sekadar mencari masukan dari pihak pemangku kepentingan di desa,melainkan mempublikasi dan mengumpulkan dukungan untuk berbagai itikad baik.Rancangan Perdes mencakup pembentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pasokan air desa, perlindungan DAS dan mata air, penataan wilayah desa dan rencana konservasi, aturan lahan pakan bagi ternak, pembatasan penambangan pasir dan kerikil, pencanangan wilayah ekowisata dan agrowisata, perlindungan pinggir sungai,dan pembentukan usaha-usaha di desa. Beberapa kelompok memanfaatkan kesempatan ini juga untuk menyusun rancangan kesepakatan bagi himpunan petani dan konservasi dengan jejaring antar-kelompok.

Sekolah Lapangan Biogas: Sebagian warga masyarakat -- terutama mereka yang memiliki ternak dalam jumlah besar -- meyakini produksi biogas sebagai satu cara penting dalam upaya melindungi sumber daya yang ada di hutan sekitar (dalam artian mengurangi kebutuhan kayu bakar) dan pengelolaan limbah serta sanitasi lingkungan.Produksi biogas dari kotoran hewan telah dipromosikan oleh sejumlah program pemerintah dan LSM di Indonesia sejak tahun 1970an, namun masih dengan teknologi yang terbelakang. Sebagian besar unit percobaan bertahan hanya selama projek tersebut dijalankan sebelum akhirnya tidak bisa lagi digunakan. Sedikit sekali atau tak ada sama sekali replikasi spontan yang pernah dibuat. Kebanyakan desain yang dipakai

41Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

FIELD Indonesia

Page 57: KAMI BISA!

mahal, tidak praktis, atau kedua-duanya. Belakangan ini, warga desa Toyomerto di kecamatan Batu hadir dengan sebuah rancangan pemroses biogas yang sederhana berdasarkan gambar-gambar yang diperoleh dari sebuah terbitan dari satu LSM Amerika Selatan, dengan menggunakan kantong plastik berukuran besar yang permukaan atas dan bawah masing-masing ditutup dengan lapisan yang dipatri,dihubungkan ke pipa saluran untuk memasukkan dan mengeluarkan cairan limbah,dengan sebuah saluran keluar kedua yang menyalurkan gas naik ke permukaan atas kantong. Kantong tersebut ditempatkan di dalam sebuah bak sederhana yang diberi pembatas batu bata. Gas dialirkan dan disimpan ke dalam kantong plastik, biasanya ditaruh di langit-langit kandang ternak atau gudang penyimpanan. Rancangan ini jauh lebih murah dari rancangan sebelumnya yang menggunakan tangki logam untuk menyimpan gas yang terkumpul, dapat menghasilkan gas dalam jumlah yang bisa digunakan dari kotoran dua hingga tiga ekor hewan ternak, dan mudah untuk diperbaiki jika ada yang bocor.

Kurikulum Sekolah Lapangan tidak terbatas pada pembuatan pemroses biogas dan pemakaiannya, melainkan juga riset dan eksperimen seputar konsumsi kayu bakar,produksi gas dan kotoran hewan, manfaat limbah biogas untuk pupuk, dan menyusun perputaran ‘bank biogas’ untuk menghasilkan beberapa unit pemroses untuk anggota kelompok lain. Anggota kelompok berhasil menciptakan berbagai inovasi, termasuk alat pemompa, alat pemisah gas, dan alat penggosok sederhana, serta modifikasi mesin berbahan bakar minyak menjadi berbahan bakar biogas untuk alat pembangkit listrik (genset) dan industri rumah tangga.

Di beberapa desa, alumni Sekolah Lapangan telah membentuk kelompok arisan biogas,yang menggunakan sistem bergilir. Tiap bulan, anggota menyerahkan uang dan tenaga untuk memproduksi sebuah unit biogas yang baru untuk satu orang anggota, sampai semua anggota mendapatkan jatahnya.

Sekolah Lapangan Bambu: Bambu memang terbukti sebagai tanaman yang memiliki banyak manfaat, juga fungsi ekologis yang penting. Bambu menghasilkan tujuh kali biomassa dibandingkan kebanyakan spesies pohon, menjadi bahan bangunan yang lentur, makanan, dan humus dalam jumlah banyak. Bambu benar-benar bermanfaat dalam mencegah erosi di sepanjang aliran sungai dan di bagian yang curam. Bambu juga relatif tahan hama dan penyakit jika dirawat dengan baik. Sekolah Lapangan Bambu diselenggarakan dengan masukan teknis dari CV Sahabat Bambu dari Jogyakarta dan Yayasan Lingkungan Bambu dari Bali. Topik-topik Sekolah Lapangan terdiri dari analisis potensi bambu secara ekologis, ekonomi, dan sosial -- termasuk inventarisasi pengetahuan, pengelolaan, dan pemanfaatan tradisional setempat; budidaya dan penyebaran; pemetaan pemakaian lahan untuk mengidentifikasi lahan untuk pengembangan budidaya bambu; peningkatan mutu dan ekologi tanah; teknik jarak dan panen untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki panen; pengendalian hama dan penyakit bambu, memasukkan bambu ke dalam sistem pertanian berbasis kehutanan;perlakuan pengawetan pasca-panen; dan berbagai penggunaan bambu dan produk sampingannya. Dalam banyak contoh, Sekolah Lapangan Bambu berkesimpulan dengan penanaman bambu di sepanjang aliran sungai dalam rangka pengendalian erosi dan penambahan pendapatan warga.

42Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 58: KAMI BISA!

Sekolah Lapangan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga: Sanitasi lingkungan merupakan salah satu kegiatan inti program ESP, dan sebuah subjek penting yang disampaikan dalam Sekolah Lapangan awal mengenai Pengelolaan DAS dan Kajian Perikehidupan Berkelanjutan yang diselenggarakan di dalam kelompok masyarakat.Setelah kesadaran tentang masalah pencemaran lingkungan dan sampah muncul,sejumlah kelompok desa memilih menyelenggarakan Sekolah Lapangan mini mengenai pengelolaan sampah rumah tangga. Diawali dengan kajian masalah dan praktek yang ada, para peserta mendiskusikan cara untuk mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang berbagai jenis produk sampah. Para peserta ditantang untuk merancang sistem yang praktis untuk menyortir sampah, dan memroses beragam jenis. Sampah plastik dapat dibersihkan dan disortir untuk dijual kepada pihak pengolah, beberapa jenis dapat digunakan oleh warga setempat. Sampah organik dapat dimanfaatkan untuk memproduksi kompos. Air limbah dapat disalurkan ke lahan pertanian dan perkebunan,atau dimasukkan ke sistem penyaringan biologis sederhana sebelum disalurkan kembali ke aliran atau batang sungai. Setelah mencoba berbagai teknik, para peserta Sekolah Lapangan menyiapkan strategi kampanye dan komunikasi sebagai upaya mendorong perbaikan sanitasi lingkungan di komunitas mereka sendiri.

FIELD Indonesia

Sekolah Lapangan Bambu, Kabupaten Magelang

Produksi Kompos Rumah Tangga,Kabupaten Magelang

43Kami Bisa!

Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Page 59: KAMI BISA!

Topik-topik ‘Sekolah Lapangan mini’ lainnya termasuk di antaranya pembibitan lele dan udang; terasering perdu menggunakan rumput Vetiver (Vetiveria zizanioidesa, kadang disebut juga ‘Sunshine Cultivar’; rumput ilalang yang tinggi kaya akan nitrogen yang cocok sebagai pakan ternak, dengan akar yang rapat dan dalam bermanfaat untuk memperkuat tanah di sisi bukit yang rawan erosi); sambung cabang dan penempelan mata; perawatan persemaian; teknik pemangkasan tanaman coklat dan jeruk; produksi kerajinan tangan dari bahan daur ulang; serta produksi dan pemanfaatan agensia hayati pengendali hama tanaman alami.Kerapkali, para pelatih dan pendamping 'Sekolah Lapangan mini' ini disediakan nara sumber oleh ESP yang berasal dari lembaga-lembaga setempat dengan bidang ilmu yang sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian, makin banyak warga masyarakat alumni Sekolah Lapangan itu sendiri yang bertugas sebagai pemandu dan pendamping untuk kegiatan-kegiatan ini, baik di dalam komunitas mereka sendiri, dan juga menyebarkan teknik dan keterampilan kepada desa-desa tetangga.

Sekolah Lapangan Rumput Vetiver,Kabupaten Magelang

44Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 60: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

DAYA DONGKRAKDAN PERLUASAN

4

Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP berhasil dalam memulai berbagai kegiatan individu dan kolektif, namun program tidak berhenti sampai di situ.Sekolah Lapangan merupakan langkah awal dalam sebuah proses mobilisasi dan aksi masyarakat yang lebih luas dan lebih mendalam jangkauannya.

Banyak program dan projek pengelolaan sumber daya alam -- termasuk ESP -- mempromosikan pembentukan 'Forum Multi-Pihak' (FMP) sebagai strategi untuk menyatukan beragam kelompok pemangku kepentingan dan masyarakat yang terkena dampak untuk merancang dan menerapkan strategi dan kegiatan konservasi dan pembangunan terpadu. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari Forum semacam ini hanya bertahan seusia proyek yang menciptakan mereka, dan dengan cepat menghilang bila dukungan dari luar tidak lagi datang.Penciptaan Forum Multi-Pihak yang bertahan abadi dan efektif bergantung pada meyakinkan berbagai anggota konstituen bahwa ada 'sesuatu di dalamnya untuk mereka', dengan mengembangkan sistem yang benar-benar memberikan hasil yang bisa memenuhi kebutuhan pokok. Secara khusus, memang dirasa penting untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dan wakil-wakil kelompok masyarakat untuk mempersiapkan rencana kerja dan advokasi untuk perubahandalam rangka penciptaan struktur FMP yang bertahan abadi dan efektif. Pemangku kepentingan lainnya, seperti badan-badan pemerintah dan kepentingan sektor swasta, akan terus berpartisipasi dalam Forum semacam ini jika mereka bisa menunjukkan bahwa dukungan kepada masyarakat memberikan manfaat yang jelas dan mengarah pada perubahan yang positif. Di sinilah terletak salah satu dampak paling kuat pendekatan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP.

‘Daya Dongkrak' dan 'Perluasan' adalah dua konsep strategis yang membedakan dari pendekatan Sekolah Lapangan Petani. Sepuluh tahun pengalaman pasca- program, kelompok alumni Masyarakat SL-PHT dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian besar dari kelompok SL-PHT terus melaksanakan SL dan penelitian terkait, pengorganisasian masyarakat dan kegiatan-kegiatan advokasidalam waktu yang berselang cukup lama setelah program yang menciptakan mereka telah menyelesaikan kegiatannya. Kelompok alumni SL-PHT -- dan organisasi petani nasional, IPPHTI -- belakangan ini terlibat dalam berbagai kegiatan yang jauh melampaui tujuan awal yakni peningkatan budidaya tanaman padi. Bahkan ada contoh dari pengamat hama dan Petugas Penyuluh Lapangan Departemen Pertanian meninggalkan status pamong praja mereka untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada program-program IPPHTI. Sebaliknya,banyak alumni SL-PHT telah mengambil peran dalam pemerintahan desa, atau sebagai fasilitator program-program pemerintah seperti PNPM (Program

45

FIELD Indonesia

Page 61: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Nasional Pembangunan Masyarakat) Mandiri. Sebagian besar konseptualisasi 'perluasan' memiliki visi mengembangkan struktur dan jejaring kelembagaan untuk menyebarkan dan meneruskan masukan dan hasil program pembangunan; pendekatan SLP berfokus pada penguatan kelompok masyarakat, yang dapat bertindak secara mandiri atau berhasil mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk inisiatif mereka sendiri.

Dukungan 'daya dongkrak' merupakan sebuah konsep baru dalam politik pembangunan Indonesia. Warisan dari program pembangunan 'top-down' selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru lalu menumbuhkan suatu cara pandang yang telanjur melekat bahwa tugas pemerintah adalah memberikan pembinaan dan pengembangan kepada masyarakat, sementara tugas masyarakat adalah berpartisipasi dalam projek besar ini.Prosedur formal untuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan lebih berfungsi untuk membawa masyarakat sejalan dengan rencana dan prioritas pemerintah, daripada sebaliknya. Kelompok masyarakat yang cukup memperoleh informasi, terorganisir dan percaya diri -- seperti PHT dan kelompok alumni Sekolah Lapangan Petani Pengeloaan DAS -- telah mencapai keberhasilan dalam mengumpulkan cukup banyak dukungan dari berbagai sektor.

Yang melekat pada model Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS adalah konsep strategi mundur dari ESP, di mana peserta Sekolah Lapangan sendiri yang terlibat dalam penetapan agenda dan penyusunan strategi tindak lanjut. Kegiatan tindak lanjut pada tahap awal meliputi berbagai 'Sekolah Lapangan-mini' yang berfokus pada keterampilan dan metodologi tertentu, konsolidasi kelompok, menghubungkan kelompok-kelompok di desa-desa, dan jejaring untuk mengidentifikasi dan memobilisasi sumber-sumber dukungan tambahan. Sesuai dengan pendekatan Sekolah Lapangan Petani, peran staf lapangan ESP adalah mendukung; sementara kelompok alumni Sekolah Lapangan bertanggung jawab untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Berikut ini adalah diskusi dari beberapa bentuk strategi 'daya dongkrak' dan 'perluasan' ESP:

Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS adalah awal dari sebuah proses, sesuatu yang harus berkembang luas agar dapat merangkul anggota masyarakat lainnya dan masyarakat sekitarnya, dan menghasilkan berbagai kegiatan tindak lanjut. Proses tindak lanjut dan penyebaran ini secara resmi diluncurkan pada Hari Temu Lapangan, yang direncanakan dan dikoordinasikan oleh peserta Sekolah Lapangan. Pada Hari Temu Lapangan, anggota kelompok mempresentasikan temuan-temuan, analisis dan rencana mereka di hadapan para anggota dan tokoh masyarakat, ditambah pejabat pemerintah daerah dan wakil-wakil dari kelompok pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan perusahaan swasta yang menggunakan air permukaan atau air tanah yang berasal dari daerah tangkapan air di dataran tinggi. Bagi banyak kalangan, ini adalah pertemuan pertama mereka dengan Sekolah Lapangan, dan merupakan kesempatan baik untuk mengumpulkan dukungan dan menjajaki rencana-rencana dan kampanye yang dikembangkan selama proses Sekolah Lapangan.

4.1. HARI TEMU LAPANGAN

46

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 62: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Semua peserta Sekolah Lapangan mengambil bagian dalam kegiatan Hari Temu Lapangan, ada yang berada di balik layar kapasitas organisasi, yang lain menyajikan eksperimen, demonstrasi dan analisis. Di sinilah dapat dilihat dampak munculnya kepercayaandiri yang berkarakter dari Sekolah Lapangan memegang peran penting; menggalang dukungan sekiranya memang mutlak dilakukan, dari masyarakat,pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk melaksanakan program tindak lanjut yang dikembangkan peserta Sekolah Lapangan.Semangat menular 'Kami Bisa' memenuhi agenda Hari Temu Lapangan, yang kerap melahirkan janji dukungan dari pemangku kepentingan dari pihak pemerintah dan sektor swasta.

Salah satu ciri penting dari pendekatan pengelolaan DAS ESP adalah bekerja dengan kelompok masyarakat yang berada di sekitar sub-DAS yang penting, sebagai upaya untuk mengembangkan 'massa kritis' yang cukup terhadap dampak kesehatan ekosistem yang terukur, sehingga menghasilkan dampak yang cukup pada kesehatan ekosistem dan kapasitas retensi air. Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS dilakukan di tingkat desa, sehingga masing-masing masyarakat desa dapat menetapkan prioritas mereka sendiri dan menentukan portofolio kegiatan tindak lanjut mereka. Dengan berjalannya program-program dan mulai terbangunnya momentum, program pun mendorong kelompok-kelompok desa di sepanjang sub-DAS membentuk koalisi atau forum, untuk memfasilitasi penyerbukan-silang dan pertukaran ide dan pengalaman, dan untuk mengumpulkan sumber daya dan suara politik untuk bernegosiasi dengan pemerintah daerah, pihak pengguna dan konsumen, serta mitra sektor swasta yang potensial. Selain itu, forum ini memberikan lokus nyaman kepada ESP untuk memberikan pelatihan teknis dan manajemen dan masukan lainnya kepada kelompok masyarakat, daripada harus mengulang kegiatan di masing-masing kelompok warga satu per satu.

Penting dicatat bahwa kegiatan dan masing-masing kelompok Sekolah Lapangan mencapai tingkat kematangan yang cukup dan momentum sebelum mencoba untuk membentuk kelompok antar-forum; menjalankan upaya ini terlalu cepat memiliki risiko forum ini akan bubar karena kurangnya minat atau kapasitas; dan juga tentunya menciptakan ketergantungan yang tidak sehat pada staf lapangan ESP atau dukungan dari luar lainnya.

Contoh-contoh kerja sama antar desa meliputi usaha oleh kelompok-kelompok alumni Sekolah Lapangan di Sumatera Utara untuk memobilisasi semua petani jeruk di kecamatan mereka untuk melakukan membudidayakan tanaman mereka secara organik,sehingga kelak dapat menghasilkan pasokan buah organik yang dikenal pembeli dan

4.2. FORUM-FORUM

47

Hari Temu Lapangan: Presentasi hasilanalisis perikehidupan yang ekologis

FIELD Indonesia

Page 63: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

sehingga kelak dapat menghasilkan pasokan buah organik yang dikenal pembeli dan konsumen memiliki reputasi baik dan dapat diandalkan; upaya kelompok alumni SL Pengelolaan DAS di kawasan hulu di Jawa Barat untuk memobilisasi masyarakat daerah hilir untuk berpartisipasi dalam pembersihan sungai dan aktivitas perbaikan; dan pembentukan berbagai skema 'imbal jasa lingkungan' di Jawa Tengah dan Jawa Timur(lihat di bawah ini).

Petani dan produsen di desa tidak beroperasi dalam ruang hampa. Peristiwa dan kekuatan eksternal membentuk dan membatasi pilihan yang tersedia bagi kelompok pembudidaya lokal, tindakan mereka -- dan dampak terhadap terhadap tanah dan tanaman pepohonan tersebut, curah dan penyerapan air hujan, regenerasi sungai dan embung -- mempengaruhi tetangga, masyarakat hilir, dan pengguna limpahan air jika terjadi hujan di lereng bukit yang berjarak berkilo-kilometer ke arah hulu. Pengguna sumberdaya yang berbeda-beda berbagi satu kepentingan -- kepentingan yang seringkali bertentangan -- dalam modal dan jasa lingkungan. Mereka masing-masing memainkan peranan yang berbeda dalam menentukan bagaimana sumber daya tersebut dikelola dan digunakan, dan secara berbeda-beda pula dipengaruhi oleh perubahan lingkungan setempat.

Forum antar desa hanyalah salah satu cara untuk memperluas dampak dari program tindak lanjut Sekolah Lapangan DAS ESP. Sering kali, para pejabat pemerintah daerah dan sektor swasta yang menghadiri Hari Temu Lapangan membuat komitmen dukungan dana, material, atau dukungan lainnya untuk rencana tindak lanjut yang disajikan oleh peserta. Namun, tanpa tindak lanjut yang terus-menerus, banyak dari komitmen ini tidak terwujud. Awalnya,Asisten Lapangan dan Kordinator Regional ESP membantu kelompok untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber pemerintah dan perusahaan, dengan selalu menjadi pendamping alumni Sekolah Lapangan dalam negosiasi ini. Pada saat kepercayaan diri anggota kelompok sudah meningkat, peran personil ESP dalam bernegosiasi ini pun mulai berkurang.

Kelompok alumni Sekolah Lapangan telah berhasil menegosiasikan kesepakatan bersama dengan berbagai badan nasional dan pemerintah daerah serta perusahaan milik pemerintah dan perusahaan swasta, seperti kontrak yang jelas dan mengikat mengenai penggunaan lahan Wengkon dengan Perum Perhutani, dukungan untuk pengelolaan hutan masyarakat dan rencana pengembangan ekowisata dengan Departemen Kehutanan,Taman Nasional dan pemerintah daerah, dan kesepakatan 'imbal jasa lingkungan' dengan kalangan pengguna air dalam jumlah besar seperti Aqua,Coca-Cola dan pemukiman perusahaan petrokimia Gresik. Pihak swasta di Indonesia diminta untuk menggulirkan sebagian kecil dari keuntungan untuk kegiatan-kegiatansebagai bentuk tanggung jawab sosial (CSR). Paling sering, dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek konstruksi seperti masjid dan ruang pertemuan desa, fasilitas olahraga desa, atau kadang-kadang program pengembangan usaha kecil. Perusahaan-perusahaan ini kekurangan staf dan keahlian dalam hal berkomunikasi dan mendukung

4.3. JEJARINGAN DAN KEMITRAAN

48

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 64: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

pengembangan masyarakat. Sehingga mereka sering menyambut baik usulan dari masyarakat desa (terutama ketika ini memberikan manfaat langsung kepada perusahaan itu sendiri). Staf ESP Jawa Timur telah memfasilitasi pembentukan 'Hutan Asuh TrustFund' yang baru, yang dapat digunakan perusahaan-perusahaan ini -- dan pemerintah -- dalam rangka menyalurkan dana CSR mereka untuk mendukung kegiatan konservasihutan dan daerah aliran sungai. Sebuah contoh yang baik mengenai ini adalah dari dukungan Petrokimia Gresik untuk konstruksi pemroses biogas oleh kelompok masyarakat di hulu DAS Sungai Brantas, yang dapat membantu penduduk mengurangi ketergantungan pada kayu bakar yang diambil dari hutan di daerah tangkapan air embung bawah tanah yang menjadi sumber air perusahaan. Kegiatan ini menjadi salah satu contoh sukses dari Indonesia mengenai skema 'imbal jasa lingkungan' yang bisa dijalankan.

Dalam contoh lain, kelompok-kelompok alumni Sekolah Lapangan di desa-desa dekat Cagar Alam Orangutan Bukit Lawang di Taman Nasional Gunung Leuser saat ini sedang dalam proses negosiasi dengan para pejabat Taman Nasional untuk mendapatkan 'ijin lokasi' yang memungkinkan mereka untuk menanam pohon-pohon buah di dalam batas-batas taman, dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan orangutan menyeberangi sungai untuk mencari makanan dari kebun petani lokal, sekaligus pada saat yang sama membangun sumber makanan di sekitar jalur pendakian, sehingga wisatawan yang berkunjung ke taman nasional akan lebih mudah bertemu dengan binatang liar yang tengah mencari makan di hutan. Mereka mengusulkan adanya pengembangan skema 'mengadopsi satu batang pohon' agar para wisatawan yang berkunjung, simpatisan dari luar negeri, dan perusahaan-perusahaan lokal dan nasional lokal berkesempatan untuk berinvestasi dalam rehabilitasi hutan di suaka alam yang penting ini. Program ini lebih jauh didukung oleh intensifikasi dan perbaikan kebun hortikultura lokal, mengurangi kebutuhan petani lokal untuk membuka lahan pertanian baru di dekat hutan.

Pembibitan tanaman pohon buah-buahan dan pertanian berbasis kehutanan, Bukit Lawang

49

FIELD Indonesia

Page 65: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Dalam kasus lain, alumni Sekolah Lapangan bertugas di komite perencanaan untuk Program Nasional Pembangunan Masyarakat (PNPM Mandiri, nama baru untuk Program Pengembangan Kecamatan yang didanai Bank Dunia dahulu), yang memungkinkan mereka mempengaruhi perencanaan tentang bagaimana dana tersebut akan dibelanjakan. Di Aceh, banyak donor dan LSM dengan sengaja mencari desa-desa tempat Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS telah diselenggarakan, untuk memastikan program mereka dapat berhasil dan dapat dilakukan dengan baik. Di tempat lain, staf lapangan ESP dan alumni Sekolah Lapangan telah dikontrak oleh instansi pemerintah dan perusahaan swasta untuk melakukan Sekolah Lapangan atau program pelatihan yang ditargetkan bagi masyarakat di masing-masing daerah tangkapan air. Sebagai contoh, di Jawa Barat, Indonesia Power telah membuat perjanjian dengan ESP untuk membiayai tambahan Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS di DAS Cikapundung, yang sangat memperluas cakupan kegiatan pengembangan pertanian berbasis kehutanan terpadu di daerah tangkapan air tersebut, sedangkan di Jawa Timur, Perum Perhutani telah mengajak sejumlah alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS dan Biogas untuk melatih penduduk desa yang tinggal berdekatan dengan lahan hutan negara di daerah pegunungan yang ada di propinsi ini.

PENINGKATAN PENGELOLAAN SUMER DAYA AIR

Publik, Indonesia Power, dan ESP bekerja bergandengan tangan menjamin aliran air sepanjang tahun di Jawa Barat

PT Indonesia Power, sebuah anak perusahaan dari BUMN PLN, menyediakan listrik bagi pelanggan melalui pembangkit tenaga hidroelektrik. Pengelolaan sumber daya air yang efektif bermakna penting terhadap keberlangsungan produksi listrik. Selama bertahun-tahun, Indonesia Power telah melibatkan masyarakat setempat yang berada di daerah pembangkit tenaga listrik dengan berbagai program dalam rangka perlindungan dan pelestarian sumber daya air utamanya sebagai bagian dari strategi tanggung jawab sosial perusahaan mereka. Kini, Indonesia Power merasakan perlunya melakukan hal ini untuk menyelamatkan keberhasilan bisnis mereka.

Sejak 2006, ESP telah berkolaborasi dengan warga di sub-DAS Cikapundung untuk membenahi kualitas hidup dan kesehatan mereka melalui Sekolah Lapangan.“Di Sekolah Lapangan, orang-orang tidak hanya diajari menjaga lingkungan, tetapi juga menyadari dan memahami manfaat dan fungsi pelestarian lingkungan bagi kehidupan mereka,” ujar Salman Bahtiar dari Indonesia Power ketika menghadiri kegiatan Hari Temu Lapangan di Desa Wangunharja. Dengan visi yang serupa dalam rangka memperbaiki kondisi kehidupan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat, ESP dan PT Indonesia Power membangun sebuah kemitraan untuk memperkuat dan memperluas dampak dari Sekolah Lapangan di DAS Citarum, sebuah wilayah prioritas bagi PT Indonesia Power. Kemitraan ini

Jawa Barat:

50

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 66: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

sangat sejalan dengan strategi ESP untuk membenahi pengelolaan sumber daya air di anak DAS Cikapundung, bagian dari DAS Citarum.

Program kemitraan dimulai dengan pelaksanaan Pelatihan untuk Pemandu (Training of Trainers -TOT) Sekolah Lapangan di kantor Indonesia Power di UBP Saguling, Kabupaten Bandung Barat pada bulan Desember 2007. Program tersebut dihadiri oleh 28 peserta dari 20 desa tetangga, juga para petugas Taman Nasional. Materi pelatihan bersumber dari pendekatan Sekolah Lapangan ESP.

Menurut Pimpinan Umum Indonesia Power Sudibyanto, “Program kerja sama in merupakan bagian dari komitmen perusahaan dalam rangka memberdayakan warga masyarakat untuk melestarikan lingkungan. Upaya yang dilakukan dalam kemitraan ini diharapkan dapat memperbaiki lingkungan, terutama terhadap sumber daya air agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan rakyat. Sehingga, warga setempat dapat membenahi akses air bersih, sekaligus kebutuhan mereka akan listrik pun terpenuhi yang dapat membantu mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari.”

Setelah pelatihan dilanjutkan dengan pelaksanaan Sekolah Lapangan di 5 desa, dan seluruh rencana aksi di desa-desa sekitar mendapatkan dukungan. Sekolah Lapangan telah berdampak pada peningkatan kualitas hidup warga masyarakat dan pasokan air yang berkelanjutan bagi Indonesia Power.

Selain mempercepat penyebaran model Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS terpadu dan kegiatan Pertanian berbasis kehutanan, kemitraan ini mempunyai efek mengkonsolidasikan kelompok-kelompok dan forum-forum alumni Sekolah Lapangan,membantu membangun rasa percaya diri dan keterampilan teknis, negosiasi dan kepemimpinan para petani pemandu dan pemimpin kelompok. Hal ini, pada gilirannya,membantu untuk memastikan bahwa proses belajar melalui pengalaman dan mobilisasi masyarakat yang dimulai pada Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS dapat terus tumbuh dalam waktu yang lama setelah Program Jasa Lingkungan ini berakhir.

51

FIELD Indonesia

Page 67: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

4.4. DUKUNGAN KEBIJAKAN

Salah satu prestasi yang paling mengesankan dan penting dari alumni Sekolah Lapangan PHT di kabupaten dan propinsi di seluruh negeri ini adalah kemampuan kelompok-kelompok ini memengaruhi kebijakan pemerintah daerah. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah peraturan daerah tentang strategi pengendalian penggerek batang padiputih di daerah lumbung padi Indramayu Jawa Barat. Percobaan petani PHT menghasilkan sebuah cara sederhana dan efektif untuk mengendalikan hama padi yang luar biasa merusak ini, yang membutuhkan waktu yang yang diatur secara khusus untuk persiapan lahan dan persemaian, berdasarkan pola curah hujan. Sebuah peraturan daerah mengharuskan semua petani di daerah tersebut untuk menunggu perintah dari petani-peneliti PHT sebelum melakukan persemaian.

Wabah penggerek batang di daerah tersebut lantas menurun secara dramatis. Sejumlah kabupaten lain telah menyatakan 'zona budidaya padi organik', maupun melakukan pembatasan penjualan dan penggunaan insektisida. Dinas Pertanian Sumatera Barat memberikan subsidi atas penjualan produk organik bersertifikat, dan juga membayar petani untuk tidak membakar jerami padi, melainkan untuk membajaknya kembali ke dalam tanah ketika mempersiapkan lahan sawah mereka.

Kelompok alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP juga berhasil menggalang dukungan kebijakan untuk kegiatan mereka. Contoh yang paling spektakuler, barangkali,adalah yang di kabupaten Magelang Jawa Tengah, di mana sebuah peraturan daerah baru mengkaji sepuluh persen 'imbal jasa lingkungan' atas air yang dibeli oleh perusahaan daerah air minum (PDAM). Dana ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan hutan masyarakat di Desa Konservasi Hutan yang memenuhi kriteria tertentu (Sekolah Lapangan Perlindungan Sumber Air, Bab 3). Pemerintah kabupaten bergerak untuk mengumpulkan biaya ini dari pengguna air industri lainnya di kabupaten tersebut,dimulai dengan sebuah retribusi 'simbolis' dalam rangka mensosialisasikan konsep,sebelum meningkatkan tingkat biaya sampai sepuluh persen.

Kelompok Sekolah Lapangan Wengkon ESP di Jawa Timur (Bab 3) telah berhasil mengumpulkan dukungan material dan kelembagaan dari Perum Perhutani untuk mempromosikan pengembangan pertanian berbasis kehutanan di lahan hutan negara.Lebih penting lagi, mereka mendapatkan perjanjian yang jelas dan mengikat, yang tercantum dalam Kesepakatan Bersama, yang meliputi jangka waktu dan kondisi pemanfaatan lahan Perhutani oleh petani, jenis pohon kayu dan tanaman pangan yang ditanam, dan pembagian hasil dari penjualan baik kayu dan tanaman keras (misalnya,kopi, buah-buahan). Hal ini mewakili perubahan paradigma besar, menandai awal era baru kerjasama antara Perhutani dan produsen pertanian setempat, setelah konflik dan kontestasi berkepanjangan -- dengan penderitaan yang dialami semua pihak baik petani,hutan maupun penerimaan negara.

Dalam demokratisasi dan desentralisasi pada masa pasca Orde Baru Indonesia, ruang-ruang politik baru telah diciptakan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kontur dan kecepatan perubahan di daerah asal mereka masing-masing. Sekolah Lapangan Petani merupakan alat ampuh yang memungkinkan masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan regional dan nasional.

52

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 68: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

SEKOLAH LAPANGAN UNTUKKETAHANAN DAERAH ALIRANSUNGAI DAN KESEHATAN

5

53

Sekolah Lapangan telah membuktikan sebagai cara yang sangat efektif untuk memobilisasi dan menjadikan masyarakat mampu mengatasi isu-isu dan kendala-kendala ekologi, sosial dan ekonomi, memobilisasi sumber daya, dan melakukan advokasi serta bernegosiasi dengan instansi dan pemangku kepentingan lainnya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan mereka. Namun, model Sekolah Lapangan berpijak pada konsep-konsep dan teknik yang telah ada selama beberapa dasawarsa. Bukanlah serangkaian teknik atau kegiatan tertentu yang menjelaskan keberhasilan model tersebut, melainkan keterpaduan dari konsep-konsep inti yang mengisi pendekatan Sekolah Lapangan yang menjadikannya berbeda. Diskusi berikut mengkaji beberapa isu konseptual mendasar yang menjabarkan pendekatan Sekolah Lapangan, seperti pembangunan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam, partisipasi, pendidikan non-formal orang dewasa, dan pemberdayaan.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dipopulerkan lebih dari 25 tahun yang lalu, oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED, yang sering disebut Komisi Bruntland) yang terselenggara pada tahun 1983. Inilah lembaga besar internasional pertama yang menghubungkan secara eksplisit kerusakan lingkungan manusia dan alam dengan keberhasilan atau kegagalan pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan terbitnya laporan OurCommon Future pada tahun 1987, pembangunan berkelanjutan telah menjadi semacam slogan yang beredar di mana-mana; terkadang menuai kritik karena memiliki definisi yang hampir sama banyaknya dengan jumlah para praktisi, dan terlalu tidak meyakinkan sehingga hanya memiliki sedikit makna atau tidak bermakna sama sekali.Meskipun demikian,pembangunan berkelanjutan telah menjadi prinsip utama pihak pemerintah, donor dan LSM di seluruh dunia.

*Diadaptasi dari Adams (2006)

Environmental Eco

nom

ic

Social

Bearable Equitable

Sustain-able

Viable

*Dimensi Keberkelanjutan

FIELD Indonesia

Page 69: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

54

Hampir semua definisi istilah tersebut berupaya untuk memasukkan dimensi sosial,lingkungan dan ekonomi, serta pembangunan ekonomi istimewa yang melindungi atau melestarikan sumber daya alam serta proses dan layanan ekologi.

Diskusi berikut akan membahas beberapa konsep formatif -- dan masalah -- yang mengisi kedinamisan nan kompleks ini, sebelum kembali ke diskusi tentang bagaimana dan mengapa Sekolah Lapangan terselenggarakan.

Selama tahun 1970-an dan terutama sepanjang tahun 1980-an, konsep pembangunanberada di bawah pengawasan yang meningkat. 'Pembangunan sepuluh-tahunan' yang berturut-turut, yang diumumkan secara resmi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah gagal memenuhi janji untuk menutup kesenjangan antara masyarakat 'berkembang' dan 'tertinggal', atau membawa perbaikan yang signifikan terhadap kehidupan kaum miskin mayoritas di dunia.

Sungguh luar biasa bahwa sebuah konsep yang mengumpulkan dukungan internasional yang luas seperti itu, dan memobilisasi sumber daya dalam jumlah sebesar itu, berhasil dilakukan tanpa banyak usaha serius untuk mendefinisikan istilah itu sendiri.'Pembangunan' memiliki keunggulan-keunggulan sebagai kata kunci: tidak memiliki definisi yang sebenarnya, dikombinasikan dengan keyakinan yang kuat tentang gagasan

22yang diharapkan dapat dijalankan. Hal ini menjadikannya dapat dirangkul oleh sekelompok pelaku yang tampaknya tidak saling akur, yakni negara-negara yang berseteru dalam Perang Dingin, penjajah dan yang dijajah, elite penguasa dan penduduk miskin yang tertindas.

Di mana-mana, pembangunan dikuasai oleh kelompok ekonom, yang mempromosikan gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kekuatan motivasi utama yang akan menyelesaikan semua masalah lain. Di mana pun kemiskinan, buta huruf, pengangguran,kelaparan, penyakit dan bentuk-bentuk kesenjangan sosial lainnya tetap bertahan,masalahnya tidak pernah melulu pembangunan itu sendiri, melainkan kesalahan dalam penyelenggaraannya. Hal ini, pada gilirannya, dapat diatasi melalui penerapan dana pembangunan dan bantuan teknis dalam jumlah yang semakin besar.

Pada tahun 1970-an, tampak jelas di negara-negara berkembang maupun maju bahwa pertumbuhan ekonomi juga menyertakan sejumlah masalah sosial dan lingkungan.Memproduksi barang dan jasa secara terus-menerus dalam jumlah yang kian meningkat mengakibatkan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya mineral dan yang tidak bisa diperbarui serta pencemaran lingkungan, dan runtuhnya norma-norma dan ikatan sosial. Lahan dan hutan yang dikelola secara komunal beralih menjadi milik swasta maupun pemerintah, sementara lingkungan alam diubah menjadi 'sumber daya'. adi

5.1. PEMBANGUNAN

22Rist (2007)

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 70: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan55

Layanan yang dulunya bebas dipertukarkan dalam ikatan keluarga, kerabat atau di antara tetangga terus berubah menjadi pekerjaan dengan imbalan -- yang sebenarnya sering tidak mencukupi untuk biaya bepergian di sekitar daerah itu.

Dengan pertumbuhan gerakan lingkungan hidup kontemporer pada akhir 1960-an dan 1970-an, dan perdebatan mengenai keterbatasan pertumbuhan, isu-isu lingkungan pun harus dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan arus besar seputar pembangunan.Perdebatan ini memuncak dalam laporan tengara WCED, yang menawarkan definisi klasik terkini tentang pembangunan berkelanjutan:

… pembangunan yang memenuhi kebutuhan kekinian tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

23kebutuhan mereka sendiri.

Sekali lagi, pembangunan itu sendiri tidak dipertanyakan. Sebaliknya, penambahan kata 'berkelanjutan' yang mengacu pada kualifikasi menjadikan sosoknya berdamai dengan persyaratan yang berlawanan, seputar perlindungan lingkungan dari polusi,penggundulan hutan, degradasi lahan, dan pemanasan global dan, pada saat yang bersamaan, memastikan bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi masih dianggap sebagai syarat kebahagiaan secara umum. Selama tiga dasawarsa terakhir ini, jejaring para pelaku yang beragam telah terbentuk, aliansi diciptakan, lembaga-lembaga dan organisasi dibangun, proyek dirumuskan, dan uang -- dalam jumlah yang semakin besar -- telah dihabiskan atas nama pembangunan berkelanjutan.

Keberlanjutan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu sistem -- baik sosial maupun ekologis -- untuk merespon guncangan dan tekanan, dan melanjutkan keadaan stabilitas dinamis. Dalam arti luas, keberlanjutan adalah kemampuan untuk bertahan. Baik konstruksi ekologis dan sosial akan konsep tersebut semakin mengedepankan ketahanan sebagai atribut kunci dari sebuah sistem berkelanjutan.

Sebagai upaya menerapkan konsep-konsep ini menjadi bidang perhatian ekonomi-politik, kalangan ekonom neo-klasik mencoba memasukkan faktor faktor lingkungan ke dalam model pertumbuhan, dengan menekankan bentuk substitusi 'modal alami',mengembangkan bidang-bidang seperti analisis siklus kehidupan, kajian jejak ekologi,dan sistem pembukuan nasional alternatif. Para pakar politik pun menggambarkan teori politik yang menggabungkan perspektif politik 'hijau', menempatkan masalah keberlanjutan di pusat pemahaman normatif perubahan sosial dan politik. Sementara itu pihak lain menawarkan sintesis integratif, yang menghubungkan dimensi keberkelanjutan yang bersifat ekonomi, lingkungan, dan sosio-politik menjadi sebuah bidang baru yang dijuluki 'ilmu keberlanjutan'.

5.2. KEBERLANJUTAN

23WCED (1987a)

FIELD Indonesia

Page 71: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

56

Makna teknis yang berbeda dibangun bersama visi yang berbeda tentang bagaimana projek pembangunan berkelanjutan yang lebih luas harus dipahami. Satu sama lain saling bersaing dengan hebatnya, jika membingungkan, berdebat…

Persoalan ilmiah, yang ditarik dari bidang ilmu ekologi, ekonomi, dan politik,dipadukan dengan agenda politik dan birokrasi yang spesifik dalam suatu proses pembangunan bersamaan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan.Aliansi dibentuk, yakni Utara dan Selatan, yang terdiri dari pemerintah, LSM,konsultan swasta, dan akademisi dengan menjalin hubungan tidak seperti kumpulan organisasi dan antara individu. Sepertinya sepatah kata (atau dalam hal ini dua) telah menciptakan jejaring yang menyeluruh, yang secara longgar berafiliasi di sekitar rangkaian ketidakjelasan dan kesepakatan yang kurang dipahami tentang suatu konsep yang rumit dan agak

24membingungkan.

Keberlanjutan mencapai puncak agenda politik global pada saat KonferensiPerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) tahun 1992 yang diselenggarakan di Rio di Janeiro, sepuluh tahun setelah bersidang dari Komisi Bruntland. Konferensi UNCED meluncurkan sejumlah konvensi tingkat tinggi -- mengenai perubahan iklim, keanekaragaman hayati, penggurunan -- dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan berkelanjutan terkait masalah pokok lingkungan global. Pada saat bersamaan, yang lebih di tingkat lokal, proses yang diselenggarakan komunitas pun tercipta, yang membentangkan bayangan keberkelanjutan yang sedang dibangun dari bawah melalui inisiatif lokal oleh pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan warga negara. Lingkungan dan pembangunan itu, tampaknya, akhirnya datang juga.

Kepentingan komersial di beberapa negara -- terutama Amerika Serikat -- gigih melobi untuk melunakkan konvensi tersebut, dan pada akhirnya,Amerika Serikat tidak ikut menandatangani. Di sebagian besar negara-negara penanda-tangan, Kementerian Lingkungan baru menghadapi tugas sulit dalam mencari anggaran dan menciptakan ruang politik bagi isu-isu lingkungan dan pembangunan. Di tempat bagi mereka yang memang berhasil melakukan itu, birokrasi yang menerapkan model manajerialisme -- dengan fokus pada rencana aksi, projek, dan indikator -- sering menyebabkan melunaknya dan hilangnya dinamika dalam perdebatan energik sebelumnya.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, di antara beberapa lembaga donor dan lembaga pembangunan, istilah 'Perikehidupan Berkelanjutan' menjadi penanda akan pembangunan yang 'baik'. Istilah ini mempunyai asal-usul dalam sebuah laporan lanjutan WCED setelah laporan Our Common Future yang mempopulerkan istilah

25Pembangunan Berkelanjutan. Seperti tercantum dalam bab sebelumnya, konsep Perikehidupan Berkelanjutan diperdalam definisinya oleh Chambers dan Conway dan lain-lain dari Institut Studi Pembangunan (IDS) di Universitas Sussex. Dengan

24Sconnes (2007)

25WCED (1987b)

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 72: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan57

penerbitan pemerintah Inggris White Paper on International Development pada tahun 26

1997, konsep Perikehidupan Berkelanjutan dinaikkan ke tengah panggung, dipandang sebagai elemen penting dari pemikiran baru tentang pembangunan.

Sementara inisiatif kebijakan Perikehidupan Berkelanjutan DFID akhirnya mengalami nasib birokratis yang sama dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan 'indukan',Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan tetap terus memberikan cara yang nyaman dan praktis bagi masyarakat setempat dan kelompok-kelompok untuk mengatur konsep mengenai visi perubahan lokal dengan cara yang menyeimbangkan persoalan sosial dan lingkungan yang mereka miliki.

Analisis Perikehidupan Berkelanjutan merupakan suatu komponen integral dari Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP. Kerangka Kerja Perikehidupan Berkelanjutan menyediakan alat sederhana bagi masyarakat untuk inventarisasi modal,mengidentifikasi praktek-praktek, ancaman dan kendala yang berbahaya, serta menyusun visi perubahan yang dibutuhkan dalam kebijakan, institusi dan perilaku.Secara khusus, segi lima modal ini, terutama konsep modal alam, telah membuktikan kacamata analitis yang penting untuk membantu peserta melakukan penilaian holistik terhadap praktek, kendala dan peluang saat ini, dan untuk mengembangkan rencana untuk perubahan yang lebih seimbang menghadapi masa depan.

Degradasi lingkungan dan konservasi alam yang mengikutinya merupakan pusat untuk semua konseptualisasi Pembangunan Berkelanjutan. Banyak jenis tindakan konservasi telah dilakukan; yang dapat dikelompokkan secara luas ke dalam dua kategori. Pertama adalah inisiatif yang berusaha untuk melindungi pentingnya wilayah hutan atau batang air untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan / atau kegiatan penelitian, kadang-kadang dikombinasikan dengan pengembangan rekreasi dan pariwisata. Pemerintah dan organisasi lingkungan mengklaim bahwa akan ada banyak manfaat bagi populasi penduduk dan sekitarnya. Tipe kedua adalah kalangan yang bertujuan memperoleh kembali atau meningkatkan sumber daya lingkungan yang berada di dalam atau berbatasan dengan pemukiman, sebagai upaya memperbaiki kondisi hidup kelompok-kelompok warga seperti petani, penggembala, mereka yang tidak memiliki lahan dan perempuan. Inisiatif-inisiatif ini meliputi kegiatan seperti konservasi tanah, retensi air,penghijauan, pertanian berbasis kehutanan serta regenerasi hutan dan padang rumput.Banyak masyarakat sasaran program ESP tinggal berdekatan dengan taman nasional atau kawasan lindung lainnya, namun sebagian besar kegiatan pengelolaan DAS ESP jatuh ke dalam kategori kedua yaitu konservasi wilayah asal (in-situ) di lahan-lahan milik petani dan desa.

5.3. DEGRADASI, KONSERVASI, DANPENGELOLAAN LAHAN

26DFID (1997)

FIELD Indonesia

Page 73: KAMI BISA!

Konservasi dan pengelolaan sumber daya alam adalah proses sosial. Degradasi lahan,konservasi sumber daya, maupun rehabilitasi ekosistem, hanyalah 'puncak gunung es';hasil nyata dari kegiatan adalah yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok;yang berpijak pada norma-norma, nilai, kebiasaan dan tradisi; yang kerap didorong oleh perubahan pasar, teknologi dan kerangka peraturan; yang dibatasi atau diaktifkan oleh struktur dan kekuatan sosial politik, serta munculnya kesempatan ekonomi (atau kurangnya kesempatan). Mengubah atau melaksanakan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam memerlukan penanganan terhadap penyebab degradasi yang sebenarnya.

Ekosistem terus-menerus mengalami perubahan. Degradasi terjadi ketika produktivitas sumber daya maupun lahan menurun, paling sering disebabkan oleh intervensi manusia. Peran 'pengelola lahan' adalah pusat untuk memahami proses-proses ini.

Pengelola lahan kerap menyadari bahwa saat mereka menanggapi perubahan di lingkungan sosial, politik dan ekonomi mereka, sangat bergantung pada sifat intrinsik dari lahan yang mereka garap. Mereka barangkali tidak diberi akses ke sumber daya umum, atau dipaksa menanam tanaman oleh pemilik lahan, pasar atau tuntutan sosial, atau

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

58

Perubahan lingkungan hanyalah berupa 'puncak gunung es’

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 74: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan59

oleh negara. Mereka diharuskan menemukan strategi yang dapat memenuhi tekanan tersebut, dan melakukan ini pada tanah yang

27sebenarnya senantiasa berubah sendiri secara alami.

Dalam kegiatan SL Pengelolaan DAS ESP,Analisis Perikehidupan Berkelanjutan, melalui pengkajian perubahan terhadap modal alam, fisik, manusia, sosial, dan finansial yang dimiliki rumah tangga dan masyarakat, serta kecenderungan dan guncangan terhadap sistem lokal ('Konteks Kerentanan'), membantu mengidentifikasikan faktor dan kekuatan yang mendorong perubahan lingkungan dalam konteks tertentu; informasi yang digunakan dalam perumusan rencana aksi kolaboratif. Selain berhasil, juga memiliki efek yang penting untuk menyatukan pemahaman tiap pihak terhadap masalah dan tantangan, dan menempa aliansi dari individu-individu yang berpikiran sehaluan yang berkomitmen untuk tujuan bersama.

Kesadaran bahwa partisipasi adalah 'unsur penting dalam pembangunan yang berhasil' tengah tumbuh. Demikian pula, kesadaran bahwa pada semua tingkat pembangunan,keberkelanjutan sangat terkait erat dengan partisipasi sepenuhnya dan tulus dari para penerima manfaat, atau subjek, dari proses pembangunan.

Pendekatan partisipatif awal muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an sebagai kontra-narasi terhadap model-model pembangunan top-down teknokratik, yang mendominasi pada waktu itu.Tujuan yang mendasari paradigma partisipatoris bukanlah pembangunan -- ataupun 'pengentasan kemiskinan' -- melainkan lebih merupakan transformasi struktur budaya, politik, dan ekonomi yang mereproduksi kemiskinan dan

28marjinalisasi. Pada pertengahan 1980-an, namun demikian, partisipasi duduk sejajar dengan slogan-slogan menarik seputar pembangunan, beriringan dengan frasa-frasa raksasa 'pembangunan berkelanjutan', 'kebutuhan mendasar' dan 'pengembangan kapasitas'. Adopsi partisipasi (beberapa kalangan menyebut kooptasi) oleh pemerintah dan organisasi pembangunan arus utama menandakan efektivitas pendekatan ini dalam memobilisasi warga dan masyarakat untuk menantang paradigma yang berkuasa. Para pakar ilmu pembangunan pun bergegas untuk menghadiri lokakarya tentang cara menggunakan paket yang memuat beragam metodologi seperti Penilaian

5.4. PARTISIPASI

27Blaikie dan Brookfield (1987)

28Leal (2007)

FIELD Indonesia

Page 75: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

60

Partisipatoris Pedesaan (PRA -Participatory Rural Appraisal),Aksi dan Pembelajaran Partisipatoris (PLA - Participatory Learning dan Action), Kajian Apresiasif (AI - Appreciative Inquiry), Penilaian Kebutuhan Berbasis Masyarakat (CBNA -Community Based Needs Assessment), dan Analisis Pemangku Kepentingan. Penekanan diberikan pada pada teknik dan formula yang terjadi pada biaya pengeluaran konseptualisasipartisipasi yang lebih holistik dalam konteks sosial politik yang lebih luas yang harus terjadi, mungkin dapat dikenali melalui persamaan berikut, yang dikembangkan agar dapat membantu dalam melakukan analisis biaya-manfaat dari pendekatan partisipatif:

P = (B x Pr) - C

dimana partisipasi (P) sama dengan manfaat (B) yang diharapkan, dikalikan dengan tingkat kemungkinan (Pr) bahwa manfaat tersebut benar-benar akan diperoleh,

29dikurangi biaya untuk memperolehnya (C).

Berbagai sumber mengusulkan berbagai tipologi partisipasi, mulai dari 'pasif' sampai 'mobilisasi-mandiri'. Meskipun ada variasi halus antara tipologi yang ditawarkan,mereka setuju pada aspek yang paling fundamental. Contoh berikut menggambarkan progresi dari 'tingkat partisipasi ":

31Contoh lainnya, dari sebuah dokumen panduan proposal projek Concern Worldwidemengindentifikasi tipe partisipasi sebagai berikut:

29Bryant dan White (1980)

30Diadaptasi dari NORAD (1999)

31Concern Worldwide (1995)

30Tingkat Partisipasi

PenerimaPasif

Melaksanakantugas yangdiberikan

Mitra dialogdalam melakukan

analisa situasi

Bertukargagasan

Berpartisipasi dalamperencanaan dan

pemecahan masalah

Berbagitanggung jawabkepemimpinan

Bertanggungjawab penuh

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 76: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Jelaslah, makin 'maju' bentuk-bentuk partisipasi, yaitu 'partisipasi interaktif' dan 'mobilisasi mandiri', harus makin lebih berkelanjutan hasil yang diperoleh, terutama ketika spektrum yang luas dari anggota masyarakat yang terlibat dalam penetapan agenda dan proses pengambilan keputusan, sehingga menjadi pemangku kepentingan yang sesungguhnya dalam proses dan hasilnya.

Hirarki tipologi seperti yang disajikan di atas muncul untuk menyatakan sebuah proses yang berurutan, di mana tingkat partisipasi semakin maju melalui serangkaian tahapan.Namun, hal ini tidak sering terjadi. Setiap tipologi partisipasi, maupun tingkatannya,mengaktifkan -- dan memperkuat -- rangkaian struktur dan hubungan sosial tertentu. (Hal yang sama dapat dikatakan menyangkut pembangunan pada umumnya.)

61

FIELD Indonesia

Tipologi Partisipasi

Karakteristik tiap tipe

Informasi satu pihak dilakukan dengan pemberitahuan kepada semua pihak tentang hal yang akan terjadi.

Meskipun semua pihak berkonsultasi, masalah masih ditentukan dan dianalisa oleh pihak luar yang selanjutnya mengambil semua keputusan.

Semua pihak berkontribusi sumber daya, seperti tenaga kerja dan material, yang digantikan dalam bentuk makanan, uang atau insentif lainnya, namun tanpa kepemilikan terhadap projek dan saham lanjutan saat insentif berakhir.

Partisipasi didorong sebagai cara mencapai tujuan yang sering digagas.

Semua pihak secara bersama berpartisipasi dalam analisis, pengembangan dan implementasi rencana aksi,serta monitoring dampak. Partisipasi bersifat interaktif dan terstruktur dengan mempersilahkan semua kelompok melakukan pengambilan keputusan dan pengendalian terhadap sumber daya, sehingga mereka memiliki andil untuk memantau struktur dan praktek.

Semua pihak secara mandiri mengambil inisiatif dari bantuan pihak luar dan bertanggung jawab terhadap sumber daya. Pihak Dinas dimungkinkan memberikan dukungan untuk penyusunan formasi serta penyebaran kelompok-kelompok semacam itu.

Tipologi

Partisipasi Pasif

Konsultasi

Partisipasi untuk Insentif Material

Partisipasi Fungsional

Partisipasi Interaktif

Swa-mobilisasi

Page 77: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Ada kesepakatan luas bahwa partisipasi adalah nilai inti dari pembangunan masyarakat yang berkelanjutan; sedangkan konsep 'menempatkan orang-orang di tengah-tengah

32pembangunan' telah menjadi tema utama kajian pembangunan selama puluhan tahun.Tetapi hanya ada sedikit kesepakatan tentang cara terbaik untuk mencapai hal ini.

Praktek pembangunan partisipatif kadang-kadang dikritik karena tidak sengaja (mungkin sengaja) mengabadikan kesenjangan yang ada, dengan menggiring pandangan dan harapan banyak orang sejalan dengan rencana yang disusun, dengan atau tanpa

33partisipasi mereka, oleh 'atasan' mereka. Apakah kita suka atau tidak, 'partisipasi' dan 'konsensus' dapat mengakibatkan 'bentuk-bentuk kekuasaan yang lebih sulit untuk

34ditentang, karena mereka mengurangi ruang konflik dan relatif jinak dan liberal'.Sebagian besar dari apa yang telah ditulis tentang partisipasi menekankan pada individu dan masyarakat, seringkali dengan mengorbankan analisis dan tantangan terhadap struktur kekuasaan yang berisikan baik konteks lokal dan yang lebih luas tempatnya berada. Penting sekiranya untuk menyadari bahwa pendekatan partisipatif sendiri merupakan bagian dari struktur kekuasaan tersebut.

Dikotomi sederhana dari pembangunan 'top-down' versus 'bottom-up' mengabaikan kompleksitas hubungan sosial dan kesenjangan kekayaan dan kekuasaan yang ada didalam masyarakat. Tantangannya adalah merancang dan mengelola proses pembangunan partisipatif dengan cara yang benar-benar inklusif, dengan memberikan ruang dan peran menyampaikan pendapat dari anggota komunitas yang kurang beruntung sedari awal keterlibatan mereka. Proses tersebut mengakui konflik kepentingan antara berbagai kelompok masyarakat, dan membolehkan konflik tersebut sebagai bagian proses partisipatif yang melekat erat. Partisipasi efektif juga termasuk mengajak semua anggota masyarakat untuk berbicara melintasi batas-batas sosial yang ada (yang sering tak terlihat).

Deputy Chief of Party dan Penasihat Pengelolaan DAS ESP Reed Merrill menyatakan bahwa penciptaan pemimpin komunitas yang baru adalah salah satu dampak yang paling kuat dari pendekatan Sekolah Lapangan. 'Orang-orang mendambakan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Mereka memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi kepada peningkatan 'keberadaan dan kesejahteraan' komunitas mereka'. Model Sekolah Lapangan memberikan kesempatan semua orang untuk berkontribusi, dan kepercayaandiri untuk menjadi pemimpin. Dalam kelompok kerja kecil, model ini selalu menekankan bahwa seseorang dalam setiap kelompok dapat berkontribusi melalui pengorganisasian, penelitian, menggambar, menulis, berbicara, atau keterampilan penting lainnya yang dibutuhkan untuk melaksanakan pengamatan, eksperimentasi, analisis dan presentasi kegiatan yang menjadi ciri pendekatan Sekolah Lapangan. Aspekmembangun kepercayaan diri dari pengalaman ini bukanlah sesuatu yang sederhana.

62

32E.g., Chambers (1983, 1997), UNDP (1994)

33Cooke dan Kothari (2001)

34Kothari (2001)

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 78: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

5.5. PENDIDIKAN NON-FORMAL ORANG DEWASA

Kalimat bijak bahwa 'Pengetahuan adalah Kekuatan' menjadi jelas terkuak ketikamenyoal proses partisipatoris. Pendidikan Non-formal Orang Dewasa sarat dengan sejumlah pendekatan dalam upaya menyulutkan keberanian dan memobilisasi pengetahuan, perilaku, pengalaman, dan jejaring yang ada dan dimiliki warga, serta menyuarakannya kepada warga dan sektor-sektor komunitas yang sebelumnya tidak (atau tidak dapat) berperan serta dalam penyusunan aturan, ruang lingkup dan arahan pembangunan di wilayah sekitar mereka.

Pendidikan Non-formal Orang Dewasa berbagi akar anti-kemapanannya dalam wacana partisipasi. Kalangan pendidik yang progresif telah lama menekankan bahwa peserta didik belajar sambil melakukan bukan sekadar secara pasif menyerap informasi. Pada sekitar tahun 1960-an dan awal 1970-an, sejumlah orang dari kalangan pendidik, aktivis dan teoritis terkemuka, bersepakat dengan Paulo Freire tokoh dari Brazil, yang mengajukan sebuah pendidikan 'kesadaran' yang emansipatoris (conscientização dalam bahasa Portugis, kadang juga diterjemahkan sebagai 'peningkatan kesadaran' atau 'kesadaran kritis') yang berkutat di sekitar proses 'Riset Aksi Partisipatif' (ParticipatoryAction Research PAR). PAR dikembangkan sebagai sebuah metodologi, atau pendekatan, terhadap pembelajaran yang dapat menjadikan kaum miskin dan tertindas mampu mengubah lingkungan mereka (dan diri mereka) melalui perilaku praxis mereka

35sendiri. Freire mengkritisi sikap dan perilaku yang menindas yang diistilahkannya dengan 'pendidikan perbankan' yakni dengan si pendidik yang berperan sebagai depositor pengetahuan, dan peserta didik adalah tempat penyimpanan. Sebaiknya,proses pembelajaran justru membantu individu-individu menyimak perkara-perkara sosial, politik dan ekonomi, sehingga mereka menjadi mampu bertindak untuk mengatasi unsur-unsur yang menindas dalam dunia nyata. Kesadaran kritis,menurutnya, akan mengizinkan umat manusia menjadi 'mahluk yang bermanfaat untuk sesama'.

Meskipun berakar radikal, Pendidikan Non-formal Orang Dewasa justru popular ke seluruh penjuru dunia, dengan segera menjadi sebuah komponen keharusan (de rigueur)dalam strategi pembangunan nasional maupun pihak donor. Karena bersamaan dengan partisipasi, pencomotan ini diiringi oleh transformasi parameter dan tujuan dari wacana dan praktek Pendidikan Non Formal; penekanan bergeser dari mengembangkan kesadaran kritis menjadi penyediaan kecakapan melek huruf, berhitung dan kejuruan yang akan memungkinkan masyarakat miskin dan buta huruf lebih aktif dan efektif berpartisipasi dalam pembangunan nasional -- tidak untuk menantang itu. PendidikanNon-formal pun menjadi semakin menyerupai pendidikan dasar atau pendidikan menengah 'tradisional', dengan perbedaan utama karena usia dan keadaan subyeknya,dan format serta isi dari modul pengantar. Bahkan di mana Pendidikan Non Formal mempertahankan sebagian dari tujuannya yang lebih luas yang menghadapi dan menantang struktur maupun praktek sosial politik, ini ditandai dengan penekanan berlebihan pada rumus dan teknik, dan seiring dengan mengabaikan dinamika partisipasi dan pengucilan, serta peran kekuasaan.

63

35Freire (1970)

FIELD Indonesia

Page 79: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Meskipun demikian, nilai-nilai inti dari konsep asli Pendidikan Non-formal Orang Dewasa tetap hidup dan dikembangkan lebih lanjut oleh kelompok-kelompok aktivis dan pendidik di negara-negara di seluruh dunia. Sekolah Lapangan Petani, seraya fokus pada keterampilan praktis terutama untuk mengatasi masalah teknis, berutang keberhasilannya pada fakta bahwa proses ini tertanam di dalam kerangka yang lebih luas dari analisis ekosistem (termasuk manusia/elemen sosial), yang lebih ditingkatkan melalui penerapan Kerangka Perikehidupan Berkelanjutan sebagai sebuah kacamata konseptual untuk membantu mengembangkan pemahaman kritis dan holistik tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap atau menghambat pencapaian tujuan individual dan kolektif. Dasar-dasar teoritis dari pendekatan SLP ditarik dari pemikiran

36Jürgen Habermas, khususnya dalam konsepnya tentang 'ranah pembelajaran'.

Mengikuti Habermas, kerangka dasar untuk pendekatan pendidikan SLP menekankan tiga ranah mendasar pembelajaran. Pertama adalah ranah kerja teknis. Dalam pendekatan SLP, petani tidak mempelajari serangkaian pesan atau petunjuk tertentu; melainkan menguasai proses belajar yang dapat diterapkan terus menerus pada situasi yang dinamis: ekologi yang ada di lahan sawah mereka. Ini membentuk dasar bagi keseluruhan pendekatan 'petani sebagai ahli' yang mendasari pendekatan Sekolah Lapangan Petani.

Konsep kunci mengembangkan kompetensi dalam ranah kerja teknis hanya 'memberi petani sesuatu untuk dilakukan'. Kalau mereka menghadapi masalah hama di sawah mereka, misalnya, atau tanaman layu karena kurangnya kelembaban tanah, daripada menunggu ahli penyuluhan untuk mengajari mereka pestisida atau pupuk apa yang digunakan, peserta dan alumni Sekolah Lapangan didorong untuk melakukan penyidikan dan percobaan: misalnya, menghitung serangga; menilai tingkat kerusakan; melakukan percobaan; mengamati tanaman yang bernasib lebih baik di bawah kondisi yang berbeda di lahan mereka; menganalisa kandungan organik di dalam tanah di sekitar tanaman yang sehat dan layu; menguji coba berbagai pengelolaan tanah dan teknik pembudidayaan tanaman; berkonsultasi dengan tetangga; dll. Masalah utama justru memungkinkan petani untuk menegaskan kembali langkah pengendalian terhadap tanaman dan lahan milik mereka. Di Sekolah Lapangan, para petani belajar untuk melakukan percobaan secara mandiri, merekam dan menganalisa pengamatan,membuat bahan pembelajaran mereka sendiri, dan mengelola 'laboratorium lapangan'.

Hal ini lebih diperdalam dan diperluas dalam ranah interaksi dan aksi komunikatif

praktis, di mana para petani bekerja sama dalam kelompok untuk mengumpulkan data,membuat analisis, melakukan eksperimen, dan membuat keputusan kelompok untuk pengolahan lahan. Petani tidak bekerja dalam kekosongan. Sikap, keputusan, perspektif,dan praktek mereka sangat dipengaruhi melalui interaksi mereka dengan teman

375.5.1. RANAH PEMBELAJARAN

64

36Habermas (1971)

37Diadaptasi dari Dilts (2001)

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 80: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

mereka dan warga masyarakat. Sekolah Lapangan Petani mencakup proses dan metode yang mengenali dan mempromosikan interaksi tersebut. Proses ini dimulai bahkan sebelum Sekolah Lapangan dimulai, melalui metode partisipatif dalam analisis masalah dan pemilihan peserta seperti analisis tenaga kerja perempuan dan laki-laki di pertanian, pemetaan, dan pembentukan 'kontrak belajar' bersama. Bagi banyak petani,yang tidak terbiasa berbicara di depan kelompok, pengembangan kepercayaan diri dan penguasaan proses ini menjadi hasil yang paling penting dari pengalaman Sekolah Lapangan mereka. Hal yang melampaui pengalaman Sekolah Lapangan itu sendiri adalah saat petani mulai merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan khusus seperti Hari Temu Lapangan ataupun Teater Rakyat.

Setelah menguasai ladang mereka sendiri, petani segera beralih ke kekuasaan dan sistem di luar kendali langsung mereka yang harus diatasi melalui berbagai aksi lainnya,yaitu, yang ketiga dari Habermas yakni ranah tindakan emansipatoris untuk

pemberdayaan. Pembelajaran emansipatoris terjadi saat petani menelaah kendala maupun opsi internal yang mereka maupun kelompok miliki yang berkaitan dengan lingkungan sosial politik, ekonomi, dan ekologi yang lebih luas. Sekolah Lapangan Petani yang pertama berdiri dan kegiatan tindak lanjut seperti pelatihan dari petani ke petani,riset aksi dan studi lapangan oleh petani, dan Hari Temu Lapangan PHT hanyalah 'tombol awal' untuk pemberdayaan dan pembangunan institusi lokal lebih lanjut.Dengan dukungan minimal, ini selanjutnya dapat berkembang menjadi perencanaan strategi dan pengorganisasian yang dilakukan oleh petani, dan pengambilan keputusan oleh petani. Dalam prakteknya, hal ini didukung melalui pembentukan jejaring Sekolah Lapangan, hubungan dan dukungan daya dongkrak maupun perubahan kebijakan dari pemerintah lokal, dan partisipasi alumni Sekolah Lapangan dalam program dan lembaga lainnya untuk mempengaruhi hasil pembangunan di komunitas mereka.

Inilah bagaimana Sekolah Lapangan berusaha untuk memastikan 'kehidupan sesudah proyek', dengan berlatih melalui sebuah proses pembelajaran yang berkelanjutan sehingga memungkinkan peserta untuk mengatasi tantangan dan peluang-peluang baru yang muncul, dan membangun kapasitas individu-individu dan kelompok-kelompok yang mereka bentuk untuk mengartikulasikan kebutuhan, keinginan, rencana dan keberatan mereka -- dan untuk mengambil tindakan kolektif untuk memastikan bahwa persoalan ini telah teratasi. Keberlangsungan hidup yang terus-menerus dari IPPHTI sebagai Asosiasi Petani PHT, lebih dari satu dasawarsa setelah penghentian Program Nasional PHT untuk Tanaman Padi, maka agendanya menyebar luas dan telah berkembang meliputi beragam isu seperti kebijakan air, pemuliaan tanaman petani dan sertifikasi benih, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan reformasi tata pemerintahan daerah.Itu semua menjadi saksi efektivitas pendekatan sekolah lapangan ini.

Sekolah Lapangan Pengelolaan DAS ESP yang pertama dilakukan pada bulan-bulan setelah kegiatan ToT diselenggarakan di Solok, September 2006. Kurang dari tiga tahun,program ini telah menunjukkan hasil yang luar biasa. ESP telah memenuhi atau melampaui semua sasaran pengelolaan daerah aliran sungai dan pengembangan Pertanian berbasis kehutanan. Kelompok desa telah melakukan sejumlah kegiatan inovatif yang tidak termasuk dalam dokumen projek yang asli. Sebagian besar kelompok ini telah berhasil mengumpulkan dan memobilisasi dukungan yang signifikan dari pemerintah daerah dan pusat serta sumber-sumber sektor swasta, misalnya, lah

65

FIELD Indonesia

Page 81: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

seperti yang telah disebutkan sebelumnya, banyak donor dan LSM yang beroperasi di Aceh secara terang-terangan mencari kelompok komunitas ESP, dalam rangka menjamin keberhasilan yang lebih besar dari program mereka sendiri. Beberapa alumni Sekolah Lapangan pun bertugas sebagai pelatih dan penasihat bagi program pemerintah dan LSM lainnya di daerah mereka. Juga masih banyak yang melakukan penyebaran inovasi untuk desa-desa tetangga, dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri maupun pihak-pihak dari masyarakat yang mengundang mereka. Pemulihan hutan terjadi, ladang di lereng bukit menghasilkan berbagai tanaman, sungai-sungai mengalir lebih bersih dan deras, pemukiman pedesaan telah memeroleh peningkatan akses air,dan pendapatan rumah tangga pun meningkat. Dan ini semua baru awal...

Pemenang Hadiah Nobel ekonom Amartya Sen mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan: yakni, kebebasan memilih, dan kebebasan untuk bertindak berdasarkan

38pilihan-pilihan ini. Yang dialami di Sekolah Lapangan, kebebasan ini dimulai di lahan sawah petani, saat sang petani (kembali) mengembangkan keterampilan pengamatan dan analisis yang telah diabaikan dan direndahkan selama puluhan tahun oleh penyuluhan pertanian yang dikelola secara terpusat dan skema pembangunan ekonomi nasional.Petani mendapatkan kembali kewenangan mengelola lahan mereka sendiri. Dari sanalah dinamika ini kian berkembang, karena analisis dan aksi oleh petani mulai mengatasi masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama dalam konteks yang lebih luas dan padat.

Meskipun tanpa mengatakan bahwa Sekolah Lapangan Petani merupakan puncak perkembangan logis ataupun kronologis dari pendekatan pembangunan partisipatif,yang mereka lakukan terbukti berhasil memadukan cita-cita inti pembangunan berkelanjutan, partisipasi, dan pendidikan non-formal orang dewasa. Tak satu pun dari teknik atau kegiatan yang sama sekali baru yang diterapkan di Sekolah Lapangan Petani,beberapa di antaranya justru yang berasal dari setengah abad lampau atau lebih.Penerapan teknik-teknik ini yang dilakukan secara menyeluruh dan sistematis di Sekolah Lapangan -- namun pada akhirnya cukup fleksibel -- yang membuatnya menjadi berbeda.

Seseorang hanya perlu melihat wajah seorang petani yang tidak dapat memahami mengapa dia baru saja kehilangan hasil panen, kendati telah bekerja keras, untuk belajar memahami pemberdayaan yang berprinsip pada mengumpulkan kembali kewenangan di sawah petani, berdasarkan pemahaman secara langsung. Hal ini merupakan sumber pendekatan 'Petani sebagai ahli' yang mendukung kesuksesan luar biasa Sekolah Lapangan Petani. Analisis agro-ekosistem, analisis Perikehidupan Berkelanjutan, prinsip 'Apa Ini?', Hari Temu Lapangan... semua ini merupakan keseluruhan komponen, yang

5.5.2. …ATAU, BAGAIMANA (DAN MENGAPA) SEKOLAHLAPANGAN PHT BERJALAN SUKSES

66

38Sen (2001)

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 82: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

bergabung bersama dalam sebuah proses yang dinamis dan mandiri tentang proses akan penemuan, pengembangan kepercayaan diri dan penguasaan proses yang dapat mengubah persepsi, sikap dan pendekatan petani terhadap persoalan hari demi hari dalam memperjuangkan kehidupannya.

Ini bukanlah 'ilmu roket’, juga bukan 'memutar ulang roda penemuan'. Ini merupakan pengalaman belajar, dan proses meninggikan derajat pengetahuan, kemampuan, dan kreativitas yang dimiliki petani. Meskipun tanpa mengklaim bahwa Sekolah Lapangan PHT adalah puncak dari perkembangan logis atau kronologis akan pendekatan pembangunan partisipatif, yang mereka lakukan justru berhasil memadukan banyak hal dari cita-cita inti pembangunan berkelanjutan, partisipasi, dan pendidikan non-formalorang dewasa. Tak ada satu pun teknik atau kegiatan baru yang memenuhi Sekolah Lapangan Petani, beberapa teknik maupun kegiatan justru berasal dari yang sudah diterapkan setengah abad lampau bahkan lebih. Adalah penerapan teknik-teknik di Sekolah Lapangan yang dilakukan secara menyeluruh dan sistematis -- namun pada akhirnya cukup fleksibel -- yang menjadikannya berbeda.

Program Jasa Lingkungan memilih pendekatan yang sudah terbukti berhasil dalam memampukan petani untuk meningkatkan budidaya padi sekaligus mengurangi ketergantungan mereka terhadap input eksternal yang mahal (dan berbahaya), dan berhasil pula menerapkannya pada serangkaian keadaan yang sama sekali berbeda:pengelolaan daerah aliran sungai dan pertanian berbasis kehutanan. Kemungkinan adaptasi dan penerapan pendekatan Sekolah Lapangan Petani kelak kemudian hari hanya dibatasi oleh imajinasi kita, tapi tidak, tentunya, oleh imajinasi para petani.

67

FIELD Indonesia

Page 83: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

68

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 84: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

Walaupun terletak hanya empat kilometer dari sumber mata air besar, kaum perempuan di desa Sukadamai dan Sukamulya, di daerah Saree, Nanggroe AcehDarussalam, terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam mengantri air dari keran kecil di masjid desa. Daerah ini merupakan pusat bentrokan bersenjata antara GAM dan tentara Indonesia selama lebih dari 30 tahun konflik Aceh; sehingga memang tidak aman bagi penduduk desa untuk melakukan perjalanan jarak pendek ke mata air di dekat hutan Alur Mancang.

Pada tahun 2006, ESP bergabung bersama dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang didanai Bank Dunia untuk membangun instalasi penyaluran air minum dengan sistem gravitasi yang melayani dua desa, yakni

EPILOG:SEBUAH MONUMEN KERAN DI SUKAMULYA

6

Pembangunan Monumen Keran Air, Desa Sukamulya, Aceh

69

FIELD Indonesia

Page 85: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

dengan menopang dinding tanggul pada mata air, menyediakan batang pipa dua inci dari mata air ke desa, sebuah tandon besar, dan empat keran komunal yang dibagikan di dua desa. ESP memadukan kegiatan ini dengan Sekolah Lapangan konservasi daerah tangkapan air dan sumber air, yang diikuti oleh warga desa dari kedua komunitas. Hasil akhirnya yaitu diundangkannya peraturan daerah tentang perlindungan dan regenerasi hutan di wilayah tangkapan sumber mata air; dicanangkannya patroli rutin;pembentukan Forum Masyarakat Alur Mancang (FMAS) untuk mengawasi pengelolaan daerah aliran sungai serta program-program konservasi dan pembangunan terpadu di komunitas mereka; dan persemaian bibit pohon untuk mendukung pengayaan tanaman dan reboisasi di daerah tangkapan air, serta pertanian berbasis kehutanan di atas lahan milik desa.

Kaum perempuan desa telah mampu memulai sejumlah industri rumah tangga, seperti produksi tahu dan tape (singkong yang difermentasi), dengan memanfaatkan waktu yang dahulu mereka gunakan untuk mengantri air. Kesehatan anak-anak menunjukkan peningkatan, berkaitan langsung sebagai akibat ketersediaan air yang cukup untuk mandi, mencuci dan memasak. Baru-baru ini, ESP menyediakan bantuan tambahan untuk membantu memenuhi keinginan penduduk desa akan pipa air yang langsung menuju ke rumah tangga masing-masing.

Alih-alih membongkar keran masyarakat yang asli, penduduk desa di Sukamulya memilih untuk mengubah salah satu dari keran tersebut menjadi monumen yang memperingati peristiwa ini, lengkap dengan plakat pualam yang diukir dengan kata-kata berikut:

‘Keran ini dulunya digunakan oleh masyarakat secara bergantian untuk mendapatkan air bersih. 2006’

70

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 86: KAMI BISA!

Yayasan FIELD Indonesia (Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy - Prakarsa Petani untuk Perikehidupanyang Ekologis dan Demokratis) adalah sebuah organisasi yang mendukung kelompok masyarakat marginal melalui pola pendidikan pemberdayaan.

FIELD membantu ESP dan mitra dalam pengembangan metodologi dan pelaksanaan Sekolah Lapangan ESP, yang terkait dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pertanian berbasis kehutanan,konservasi keanekaragaman hayati, dan komponen program lainnya.

FIELD didirikan pada 1 Juni 2001(www.FIELD-Indonesia.org). Staf senior FIELD adalah alumni dari tim FAO untuk program Masyarakat PHT (Pengendalian Hama Terpadu) di Asia (www.CommunityIPM.org) di tahun 1998-2002, dan tim bantuan teknis FAO pada Program Nasional PHT Indonesia selama tahun 1990-an, yang mendukung jaringan organisasi tani lokal dan Ikatan Petani PHT Indonesia. Pola kegiatan FIELD meliputi berbagai pendekatan belajar, termasuk Sekolah Lapangan dan Studi Petani, Riset AksiMasyarakat, Perikehidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods Framework), dan Advokasi Masyarakat.

? Visi FIELD adalah masyarakat marginal di Indonesia mampu 'merebut' dan mengelola kembali ruang publik mereka dan memperbaiki perikehidupannya.

? Misinya adalah memfasilitasi masyarakat marginal agar mampu untuk:

! Menganalisis dan memahami keadaan ekosistem yang merupakan basis perikehidupannya secara teknis, sosial dan politis.

! Mengorganisir diri dalam melakukan aksi untuk memperbaiki kondisi kehidupannya yang selaras dan adil dengan alam dan lingkungannya (ekologis) dan adil dengan orang lain (demokratis).

FIELD juga bekerja dalam program-program, antara lain sekolah lapangan konservasi keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat (www.Alivefp3.org), sekolah lapangan pengembangan sumber daya genetik petani di tanaman padi, sayuran dan ternak (www.Pedigrea.org), Sistem pangan lokal dan keanekaragaman hayati pertanian,Riset aksi masyarakat untuk advokasi dan perubahan kebijakan lokal, Pertanian ekologis-organis di padi dg sistem hemat air (SRI), sayuran. FIELD merupakan anggota jaringan FIELD Alliance (www.thefieldalliance.org).

FIELD Indonesia

FIELD Indonesia

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan71

Page 87: KAMI BISA!

ESP bekerja sama dengan pemerintah, sektor swasta, LSM,kelompok masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air dan memperluas distribusi air yang aman untuk penduduk perkotaan dengan cara perbaikan pengelolaan daerah aliran air sungai dan penyediaan jasa lingkungan penting, termasuk pasokan air bersih,

penampungan serta pengolahan air limbah dan pengelolaan limbah padat di Indonesia. ESP dikembangkan USAID/Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air secara lestari berkelanjutan dan memperbaiki akses terhadap air bersih. Kegiatan-kegiatan ESP difokuskan pada provinsi-provinsi utama yakni Sumatra Utara, Jawa Timur,JawaTengah/Yogyakarta, Jawa Barat/Banten, DKI Jakarta dan Papua dengan menjalankan berbagai bantuan teknis dan kegiatan terpadu yang menangani tiga bidang utama berikut ini:

? Meningkatkan kesehatan dengan memperluas jangkauan layanan sanitasi dan air bersih;

? Memperbaiki pengelolaan daerah aliran sungai dan perlindungan sumber daya air, khususnya di daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi.

? Meningkatkan produksi dan distribusi air bersih.

ESP juga melaksanakan tambahan program khusus di Aceh dan Papua yaitu di Aceh, ESP membantu strategi pembangunan hijau gubernur Aceh, terutama pengembangan mata pencaharian untuk mantan gerilyawan berdasarkan konservasi hutan dan pengelolaan sumber daya alam lestari berkelanjutan. Di Papua, ESP bekerja bersama gubernur dan Bappeda dalam pengembangan rencana tata ruang provinsi yang memenuhi ketentuanperaturan Pemerintah Republik Indonesia sekaligus pembangunan yang ditentukan oleh kebutuhan rak alam konservasi hutan dan pengelolaan sumber daya alam yang lestari berkelanjutan.Tambahan program khusus lainnya adalah perliasan kegiatan ke wilayah kota-kota di Indonesia Timur yakni Ambon, Jayapura dan Manado.Kegiatan-kegiatan baru ini difokuskan terutama pada perluasan akses air bersih dan layanan sanitasi, dan juga termasuk perlindungan sumber daya air dan juga komunikasi penyuluhan kesehatan dan kebersihan.

Sasaran Program

ESP membina kerja sama dengan Pemerintah Indonesia, sektor swasta, LSM, kelompok masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memperbaiki pengelolaan

yat (people-driven) d

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

ESPENVIRONMENTAL SERVICES PROGRAM

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

72

Page 88: KAMI BISA!

daerah aliran sungai dan layanan pokok lingkungan melalui empat tujuan yang saling berhubungan:

1. Memperkuat kapasitas masyarakat, pemerintah, sektor sawasta, institusi lokal dan LSM dalam mendukung perluasan layanan pokok lingkungan melalui peningkatan pengelolaan sumber daya air dan kawasan yang dilindungi;

2. Memperluas kesempatan bagi masyarakat, LSM, sektor swasta dan universitas untuk berperan serta secara lebih efektif dalam pengelolaan sumber daya air lokal dan pemenuhan layanan pokok lingkungan;

3. Memperkokoh pelestarian keanekaragaman hayati melalui peningkatan pemahaman dan penghargaan terhadap keterkaitan antara kawasan lindung dan kawasan hutan serta pemenuhan layanan pokok lingkungan; dan

4. Meningkatkan kesehatan dan mata pencaharian penduduk Indonesia melalui perbaikan serta perluasan akses terhadap layanan pokok lingkungan (yakni air,penampungan dan pengolahan air limbah, serta pengolahan limbah padat) dengan memanfaatkan teknologi yang tepat, pendanaan yang inovatif, praktek-praktek terbaik yang berkelanjutan secara lingkungan dan kegiatan berorientasi pasar yang berkelanjutan.

ESP mengambil pendekatan berbasis masyarakat, bertindak sebagai katalis untuk meningkatkan perubahan perilaku kesehatan dan kebersihan, mendorong pengelolaan lahan yang lebih baik, dan memperbaiki penyediaan layanan dasar untuk air dan sanitasi.Yang menjadi inti pengikat bagi program-program di atas adalah pendekatan terkoordinasi, kolaboratif dan terpadu dengan melibatkan semua program dari Basic Human Services Offices (Kantor Layanan Kebutuhan Dasar Manusia) USAID.

FIELD Indonesia

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan73

Page 89: KAMI BISA!

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

74

Page 90: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untuk

Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan75

Adams, W.M. (2006) The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in st

the 21 Century. Report of the IUCN Renowned Thinkers Meeting, 2931 January,2006

Blaikie, P. dan H. Brookfield, eds. (1987) Land Degradation and Society. London: Methuen.

Braun,A. J. Jiggins, N. Röling, H. van den Berg dan P. Snijders (2004) A Global Survey dan Review of Farmer Field School Experiences. Wageningen: International Livestock Research Institute.

Bryant, C. dan C. White (1980) Managing Rural Development: Peasant Partisipation in Rural Development. Sterling VA: Kumarian Press.

Chambers, R. (1983) Rural Development: Putting the Last First. London: Longman Scientific and Technical.

_____(1997) Whose Reality Counts? Putting the First Last. London: Intermediate TechnologyPublications.

Chambers, R. dan G. Conway (1992) Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts for the st

21 Century. IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS.

Concern Worldwide (1995) 'Guidelines in the Production of Project Proposals',Typescript.

Cooke, B. dan U. Kothari, eds. (2001) Partisipation: The New Tyranny? London: Zed Books.

DFID (1997) EliminatingWorld Poverty: A Challenge for the 21st Century.White Paper on International Development, Cm 3789. London: Stationery Office.

_____(1999) Sustainable Livelihood Guidance Sheets. London: Department for International Development. Http://www.nssd.net/References/SustLiveli/DFIDapproach.htm

Dilts, R. (2001) 'From Farmers' File Schools to Community IPM: Scaling Up the IPM Movement', LEISA Magazine 3(3): 18-21.

Djajanti, D. (2006) 'Managing Forest with Community (PHBM) in Central Java: Promoting Equity in Access to NTFPs' in S. Mahanti, J. Fox, M. Nurse, P. Stephen dan L. McLees, eds. Hanging in the Balance: Equity in Community-Based Natural Resource Management in Asia. Honolulu: East-West Center. Pp. 63-82.

FAO (1988) 'Integrated Pest Management in Rice in Indonesia: Status after Three Crop Seasons'. Jakarta: FAO.

_____(1993) 'The impact of IPM training on Farmers' Behavior: A Summary of Results from the Second Field School Cycle'. IPM National Program. Jakarta: FAO.

_____(2007) Getting Started! Running a Junior Farmer Field dan Life School. Rome: FAO.

Freire, P. (1970) The Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

RUJUKAN

FIELD Indonesia

Page 91: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapangan untukKetahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan

76

Gallagher, K.D (1999) 'Farmers Field Schools (FFS):A Group Extension Process Based on Adult Non-Formal Education Methods' Typescript. Rome: FAO Global IPM Facility.

Gaud,W.S. (1968) 'The Green Revolution:Accomplishments dan Apprehensions',Addressto the Society for International Development,Washington D.C., 8 March 1968.Http://www.agbioworld.org/biotech-info/topics/borlaug/borlaug-green.html

Habermas, J. (1971) Knowledge and Human Interests. Boston: Beacon Press.

Kiritani, K. (1979) 'Pest management in rice', Annual Review of Entomology 24: 279-312.

Kothari, U. (2001) 'Power, Knowledge and Social Control in Participatory Development', in B. Cooke dan U. Kothari, eds., Partisipation: The New Tyranny? London: Zed Books. Pp.139-52.

Leal, P.A. (2007) 'Partisipation:The Ascendancy of a Buzzword in the Neo-Liberal Era',Development in Practice 17(4-5): 539-48.

Matteson, P.C. (2000) 'Insect pest management in tropical Asian irrigated rice', AnnualReview of Entomology 45: 54974.

NORAD (1999) The Logical Framework Approach (LFA) - Handbook for Objectives-oriented Planning. Oslo, Norwegian Agency for Development Cooperation.

Peluso, N. (1992) Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley:University of California Press.

Pingali, P.L. dan R.V. Gerpachio (1997) 'Living with Reduced Pesticide Use in Tropical Rice',Food Policy 22: 107-118.

Pontius, J., R. Dilts dan A. Bartlett (2002) From Farmer Field School to Community IPM:TenYears of IPM Training in Asia. Bangkok: Food dan Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia dan the Pacific.

Rist, G. (2007) 'Development as a Buzzword',Development in Practice 17(4-5): 485-91.

Röling, N. dan E. van de Fliert (1994) 'Transforming Extension for Sustainable Agriculture:The Case of Integrated Pest Management in Indonesia', Agriculture and Human Values11(2-3): 96-108.

_____(1998) 'Introducing Integrated Pest Management in Rice in Indonesia:A Pioneering Attempt to Facilitate Large-scale Change', in N. Röling, dan M.A.E.Wagemakers, eds.,Facilitating Sustainable Agriculture. London: Cambridge University Press.

Sen, A. (2001) Development as Freedom. New York: Alfred A. Knopf.

Scoones, I. (2007) 'Sustainability', Development in Practice 17(4-5): 589-96.

Thorburn (2009) 'Farmer Field School dan Integrated Pest Management in Rice:TheIndonesian Experience'.Technical Paper. IFPRI 'Millions Fed' Proven Successes in Agricultural Development. Http://www.ifpri.org/millionsfed/

UNDP (1994) Annual Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security.New York: UNDP.

WCED (1987a) Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Development. Oxford: Oxford University Press.

_____(1987b) Food 2000: Global Policies for Sustainable Agriculture. Report of the Advisory Panel on Food Security,Agriculture, Forestry dan Environment. London: Zed Books.

Farmers’ Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy

Page 92: KAMI BISA!

Kami Bisa!Sekolah Lapanganuntuk Ketahanan

Daerah Aliran Sungaidan Kesehatan

Program Jasa Lingkungan (Environmental Service Program - ESP) USAID mempromosikan tingkat kesehatan yang lebih baik dengan memperbaiki pengelolaan sumber daya air dan meningkatkan akses air bersih dan layanan sanitasi. ESP melakukan pendekatan 'Dari Hulu ke Hilir, untuk memastikan ketersediaan air bersih dengan melindungi sumber-sumber air yang rentan di dataran tinggi; bekerja sama dengan para pihak penyedia dan pengguna sumber daya air di dataran rendah.Tiga komponen dalam program ESP meliputi: Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Konservasi Keanekaragaman Hayati; Kegiatan Jasa Lingkungan; dan Pendanaan Jasa Lingkungan.Ekosistem DAS di dataran tinggi yang dikeloladengan baik menentukan keberhasilan seluruh program ESP; tanpa pengelolaan DAS yang baik,hanya akan sedikit perbaikan terjadi dalam penyaluran air ke daerah hilir maupun sanitasi lingkungan di daerah hilir. Satu pendekatan yang dikenal sebagai Sekolah Lapangan (SL) telah diadaptasi sebagai strategi utama dalam komponen program kunci ini, yang dilaksanakan bersama masyarakat, yang mendiami maupun berdekatan dengan wilayah resapan DAS yang vital.

Buku ini menjabarkan adaptasi ESP dan aplikasi model SL untuk mempromosikan pertanian berbasis kehutanan berkelanjutan dan pengelolaan DAS terpadu di sejumlah provinsi, yaitu Aceh,Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. SL-ESP fokus pada siklus hidrologis sebagai konsep dasar pengorganisasian,yang dipadukan dengan Kerangka PerikehidupanBerkelanjutan (sustainable livelihoods framework)sebuah model konseptual yang membantu para peserta menggali hubungan antara sumber daya,struktur, aksi, kemampuan, dan dampak yang memuat unsur sosial, ekonomi serta lingkungan hidup. Model dasar SL-ESP telah diadaptasi ke sejumlah kondisi dan konteks tertentu yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di masing-masing wilayah yang berada di dalam wilayah kerjaESP, sehingga melahirkan berbagai rencana aksi dan aktivitas tindak lanjut.

ISBN 979-98088-10-2