Senin Selasa oRabu Kamis 0Jumat Sabtu Minggu 123 4 5 6 7 9...

2
e Kamis 0 Jumat o Selasa o Rabu o Minggu o Senin o Sabtu 45 20 67 21 22 ONov ODes 123 17 18 19 o Mar OApr OMei OJan ePeb 8 9 10 11 23 24 25 26 14 15 @ 29 30 31 12 13 27 28 OJun 0 Jul 0 Ags OSep OOkt IDING 'RHASAN P ersoalan kekerasan yang kerap dikait- kan dengan organisasi kemasyarakat- an (orrnas) tertentu kembali menjadi pemberitaan hampir seluruh media di Indo- nesia. Hal ini diawali dengan aksi penolakan sejumlah besar kelompok masyarakat di Ka- limantan Tengah (Kalteng) terhadap delegasi Front Pembela Islam (FPI). Sebagairnana di- ketahui bahwa rombongan FPI tersebut akan menghadiri acara pelantikan pengurus FPI di beberapa tempat di Kalteng. Tidak lama se- telah itu di Bundaran Hotel Indonesia, Jakar- ta,-rnaaeul-pula aksi yang juga menyuarakan penolakan terhadap FP!. -" ~ . Sayangnya, res pons FPI terhadap aksi tersebut agak berlebihan. Alih-alih melaku- kan instrospeksi, FPI justru tanpa segan-se- gan menuding bahwa aksi tersebut .d.itung- gangi oleh kelompok-kelompok pohtik ter- tentu. Padahal sudah bukan rahasia lagi bah- wa dalam banyak kasus, orrnas ini sangat akrab dengan aksi kekerasan ketika melan- carkan misi dakwahnya. Dengan kejadian tersebut seharusnya FPI lebih menyadari bahwa ada banyak kelompok di dalam ma- syarakat, kalau bukan keseluruhan, yan~ sebenarnya tidak suka dengan model aksi mereka. Pembiaran Negara Di republik ini, kekerasan tampaknya k~- rap menemukan lahan empuknya. Pa?ahall- ni sebuah paradoks, negara Indonesia y~g terkenal dengan penduduknya yang agarrus dan ramah justru acap menghadirkan wajah kekerasan yang menyerarnkan. Ce~akany~ lagi berbagai tindakan kekerasan dI negen ini seringkali dilakukan dengan mengatasna- makan agama. Hanya karena kelompok ter- tentu dianggap "tidak sejalan" dengan pan- dangan keagamaan mayoritas, rnisalnya, lalu dianiaya sedemikian rupa. . Kecenderungan ini terjadi tidak saja pada lingkup internal agama, tetap~ juga tidak ja~ rang terjadi antar agama. Sehingga tolerans~ yang kerap didengung-dengungk~ sebagai budaya hidup penduduk Indonesia, seolah terlindas begitu saja dan digantikan oleh intoleransi, primordialisme dan sebagairIya. Banyak kasus yang bisa diangkat d.al~ ko~- teks ini, seperti tragedi berdarah di Cik~usik (internal agama) atau tragedi yang merumpa Jamaat GKI Yasmin Bogor (antar agama). Tentu masih sederet kasus kekerasan lainnya yang bisa didaftar di sini. . Ironisnya, sejumlah kekerasan yang dila- kukan orrnas tertentu seolah-olah "dibiar- kan" oleh negara, atau ada kesan bahwa ne- gara seperti "melindungi" tindakan mereka. Ke!?urigaan tersebut semakin kuat ketika pe- KlIping Humas Onpad 2013,.

Transcript of Senin Selasa oRabu Kamis 0Jumat Sabtu Minggu 123 4 5 6 7 9...

e Kamis 0 Jumato Selasa o Rabu o Mingguo Senin o Sabtu4 520

6 721 22

ONov ODes

12317 18 19

oMar OApr OMeiOJan ePeb

8 9 10 1123 24 25 26

14 15 @29 30 31

12 1327 28

OJun 0Jul 0 Ags OSep OOkt

IDING'RHASAN

Persoalan kekerasan yang kerap dikait-kan dengan organisasi kemasyarakat-an (orrnas) tertentu kembali menjadi

pemberitaan hampir seluruh media di Indo-nesia. Hal ini diawali dengan aksi penolakansejumlah besar kelompok masyarakat di Ka-limantan Tengah (Kalteng) terhadap delegasiFront Pembela Islam (FPI). Sebagairnana di-ketahui bahwa rombongan FPI tersebut akanmenghadiri acara pelantikan pengurus FPI dibeberapa tempat di Kalteng. Tidak lama se-telah itu di Bundaran Hotel Indonesia, Jakar-ta,-rnaaeul-pula aksi yang juga menyuarakanpenolakan terhadap FP!. -" ~. Sayangnya, res pons FPI terhadap aksitersebut agak berlebihan. Alih-alih melaku-kan instrospeksi, FPI justru tanpa segan-se-gan menuding bahwa aksi tersebut .d.itung-gangi oleh kelompok-kelompok pohtik ter-tentu. Padahal sudah bukan rahasia lagi bah-wa dalam banyak kasus, orrnas ini sangatakrab dengan aksi kekerasan ketika melan-carkan misi dakwahnya. Dengan kejadiantersebut seharusnya FPI lebih menyadaribahwa ada banyak kelompok di dalam ma-

syarakat, kalau bukan keseluruhan, yan~sebenarnya tidak suka dengan model aksimereka.

Pembiaran NegaraDi republik ini, kekerasan tampaknya k~-

rap menemukan lahan empuknya. Pa?ahall-ni sebuah paradoks, negara Indonesia y~gterkenal dengan penduduknya yang agarrusdan ramah justru acap menghadirkan wajahkekerasan yang menyerarnkan. Ce~akany~lagi berbagai tindakan kekerasan dI negenini seringkali dilakukan dengan mengatasna-makan agama. Hanya karena kelompok ter-tentu dianggap "tidak sejalan" dengan pan-dangan keagamaan mayoritas, rnisalnya, laludianiaya sedemikian rupa. .

Kecenderungan ini terjadi tidak saja padalingkup internal agama, tetap~ juga tidak ja~rang terjadi antar agama. Sehingga tolerans~yang kerap didengung-dengungk~ sebagaibudaya hidup penduduk Indonesia, seolahterlindas begitu saja dan digantikan olehintoleransi, primordialisme dan sebagairIya.Banyak kasus yang bisa diangkat d.al~ ko~-teks ini, seperti tragedi berdarah di Cik~usik(internal agama) atau tragedi yang merumpaJamaat GKI Yasmin Bogor (antar agama).Tentu masih sederet kasus kekerasan lainnyayang bisa didaftar di sini. .

Ironisnya, sejumlah kekerasan yang dila-kukan orrnas tertentu seolah-olah "dibiar-kan" oleh negara, atau ada kesan bahwa ne-gara seperti "melindungi" tindakan mereka.Ke!?urigaan tersebut semakin kuat ketika pe-

KlIping Humas Onpad 2013,.

laku-pelaku tindakan kekerasan tersebut ti-dak segera ditindak. Pemerintah justru ber-lindung di balik undang-undang yang ada,padahal sesungguhnya berbagai kasus terse-but bisa dimejahijaukan karena jelas-jelasmerupakan tindakan kriminal. .

Bukan hanya membiarkan, bahkan dalamderajat tertentu negara sesungguhnya telah"menciptakan" kelompok yang seakan-akandibebaskan untuk melakukan tindakan keke-rasan. Inilah pembacaan dari fenomena ter-bentuknya Pamswakarsa, sebuah organisasisipil yang diberikan pelatihan kemiliterandan dibiarkan bertindak seolah-olah militer.Celakanya, hal ini menyelusup terhadap ber-bagai ranah kehidupan termasuk kebebasanberagama atau berkeyakinan.

Diduga bahwa FPI sebenarnya juga me-rupakan "ciptaan" dari kelornpok-kelompokelite politik tertentu yang mencoba ingin me-langgengkan kekuasaannya. Dalam praktik-nya ormas ini memang hampir tidak me-nyuarakan kritik keras terhadap isu-isu yangbersinggungan .dengan kekuasaan, epertikorupsi, politik uang dan sebagainya. Tentusaja sikap ini sangat mengherankan, padahalkorupsi jelas-jelas merupakan musuh nomorsatu bagi semua orang dari kelompokmanapun.

"Satu hal yang selama iniseolah dlabalkan oleh

pemerintah adalah bahwaberbagai tindakan kekerasandi republik ini sejatinya telahmendegradasikan pencitraan

negarainikhususnyadi kalangan dunia

internasional.

Realitas tersebut tentu tidak dapat dibiar-kan terus-menerus, tetapi harus segera diata-si oleh pihak yang paling otoritatif, dalamhal ini pemerintah. Salah satu solusinya ada-lah dengan merevisi Undang UndangOrganisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).Pernyataan Menteri Dalam Negeri Gama-wan Fauzi terkait dengan hal tersebut patutdiapresiasi.

Bahkan pernyataan serupa pernah ia ke-mukakan dalam diskusi bertajuk : "ForumPenguatan Penghayatan Ideologi Pancasila",pada November tahun lalu. Revisi tersebutmenegaskan bahwa setiap ormas yang keda-patan melakukan tindakan kekerasan akanlangsung dibekukan tanpa melalui prosesyang panjang dan berlapis. Pembekuan ter-sebut bakal dilakukan berbarengan denganproses hukum kasus kekerasan yang dilaku-kan ormas tersebut.

Sementara itu dalam undang undangtentang Ormas yang digunakan selama ini,yaitu UU No. 85 Tahun 1985 disebutkanbahwa sebuah ormas hanya dapat dibekukan

atau dibubarkan bila telah melakukan bebe-rapa kali pelanggaran. Persyaratan seperti inidinilai terlalu lama sebingga membuat aparatnegara kesulitan untuk mengeksekusinya se-cara segera, sementara kekerasan yang dila-kukannya demikian terang benderang.

Perubahan pasal tentang pembekuanormas yang melakukan tindakan kekerasansecara lebih sederhana prosesnya dibanding-kan undang undang terdahulu jelas merupa-kan langkah maju. Namun demikian, bukanberarti hal tersebut sudah cukup. Masih adalangkah lain yang justru lebih penting darisekadar perubahan, yaitu komitmen peme-rintah. Perubahan undang undang tanpa di-sertai komitmen pelaksanaannya tentu akanmuspro saja seperti yang terjadi pada sejum-lah undang undang di negeri ini.

Komitmen tersebut setidaknya harus die-jawantahkan negara dalam sejumlah hal.Pertama, tindakan kekerasan apapun ben-tuknya dan siapapun pelakunya merupakantindakan yang bertentangan dengan nilai-ni-lai kemanusiaan dan ketuhanan dalam per-spektif agama manapun. Maka, jika ada pi-hak yang membiarkan apalagi melindungitindakan kekerasan tersebut jelas harus di-maknai pula sebagai pihak yang turut mela-kukan tindakan kekerasan.

Kedua, pelaksanaan hukuman atau sank-si pembekuan terhadap ormas yang melaku-kan tindakan kekerasan harus dilakukan se-cara adil dan tidak pandang bulu, apalagi ka-lau hanya didasarkan pada kepentingan poli-tik pemerintah. Selama ini, pemerintah ter-kesan membiarkan tindakan kekerasan se-buah ormas karena seolah mendapatkan"keuntungan" politik di baliknya. Kecende-rungan seperti ini tentu harus dibuang jauh-jauh jika ingin undang undang ini berjalanefektif.

Menaikkan CitraSatu hal yang selama ini seolah diabai-

• kan oleh pemerintah adalah bahwa berbagaitindakan kekerasan di republik ini sejatinyatelah mendegradasikan pencitraan negara inikhususnya di kalangan dunia internasional.Beberapa negara bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan bahwa negaraIndonesia sebagai negara yang menakutkandan sebagainya. Tidak heran kalau citra tole-ransi keagamaan di negara ini kian buruk,bahkan kebebasan beragama atau keyakinansemakin hari semakin memperlihatkanwajah yang menyedihkan.

Oleh karena itu, kalau pemerintah inginmenaikkan kembali pencitraan yang baikten tang negeri ini, maka perubahan undangundang ten tang ormas terkait pasal pembe-kuan tersebut mesti benar-benar dijalankandisertai komitmen yang kuat. Jika itu yangdilakukan, sangat mungkin kehidupan yangtoleran dan harmonis antar para pemelukagama (koeksistensi damai) yang sejatinyamemang sudah menjadi ciri khas negeri iniakan kembali menemukan rumahnya.

PENUUS ADALAH DEPUTI DIREKTUR BIDANG POLITIK

THE POUTICAL LITERACY INSTITUTE, KANDIDAT

DOKTOR KOMUNIKASI UNPAD BANDUNG