SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Membaca … fileDesa-desanya meliputi Cibangkong di...

1
SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Nusantara | 7 Liliek Dharmawan B ANYAK faktor yang membuat warga te- tap bertahan meski harus berkawan de- ngan bencana. Perkawanan itu diejawantahkan dalam bentuk bagaimana mengenal secara dini ciri-ciri bencana, meski dengan teknologi se- derhana. Sejumlah desa di tiga keca- matan di Banyumas, Jawa Tengah, yakni Pekuncen, Ajiba- rang, dan Gumelar merupakan segitiga rawan longsor dan gerakan tanah. Desa-desanya meliputi Cibangkong di Pekuncen, Kra- cak di Ajibarang, serta Samudra Kulon dan Kedungurang di Gumelar. Desa-desa tersebut memang berada pada daerah pegunungan. Sudah sejak dekade 1980, tanahnya terus bergerak dan sering terjadi longsor. Dari kondisi seperti itu, mun- cul inisiatif masyarakat untuk lebih mengenali tanda-tanda bencana. Satu lembaga swa- daya masyarakat mendampingi mereka. Koordinator Program Pengu- rangan Risiko Bencana (PRB) di Lembaga Penelitian dan Pe- ngembangan Sumber Daya Lingkungan Hidup Purwo- kerto Alam Wijaya mengatakan warga setempat ternyata ter- tarik dengan alat yang sebe- lumnya dipasang Balai Sabo Yogyakarta yang digunakan untuk memantau retakan ta- nah. “Muncul ide dari warga, yaitu bersama-sama mencipta- kan alat pemantau gerakan ta- nah. Jelas, kalau dibandingkan dengan alat yang diperbantu- kan Balai Sabo Yogyakarta ka- lah kualitas. Namun, alat buat- an warga itu cukup untuk pe- mantauan,” kata Alam. Bahan baku kayu dirangkai menjadi semacam alat dengan bagian-bagian berupa tiang kiri dan kanan yang ditanam ke tanah. Selanjutnya, ada bahan kayu yang secara horizontal terhubung dengan kayu yang ditanam tersebut. Namun, bagian tengahnya tidak me- nyatu. Di bagian tengah yang tidak menyatu itu dipasang peng- garis untuk menentukan retak- an tanah. Jadi, logikanya, kalau ada gerakan tanah, setiap kayu yang menjadi tiang itu bakal bergerak dan membuat celah pada kayu yang dipasang hori- zontal. Koordinator PRB Cibang- kong Slamet menambahkan, alat tersebut memang sangat sederhana dan diletakkan di wilayah yang rawan terjadinya tanah bergerak. “Karena alatnya masih sa- ngat sederhana, kami melaku- kan pemantauan secara bergan- tian. Apalagi kalau musim hu- jan seperti sekarang. Kami terus mencatat berapa geseran ge- rakan tanah yang terjadi,” ujarnya. Jika pergeserannya sekitar 5 cm, warga harus siap siaga. Adapun alat ini selanjutnya dinamakan ‘tengara’, yang be- rarti tanda. Organisasi kebencanaan Selain pemantauan dengan tengara, desa telah memiliki perangkat organisasi kebenca- naan. Misalnya ada bagian ke- siapsiagaan, respons darurat, logistik, dan keamanan. “Ketiga bagian ini termasuk organisasi PRB Cibangkong. Mereka yang masuk berasal dari pemerintahan desa, tokoh masyarakat, PKK, dan Karang Taruna,” ujarnya. Setelah pengembangan alat sederhana itu, masyarakat ber- sama dengan pendamping ke- mudian memodikasi alat su- paya lebih modern dan dikem- bangkan di tiga desa, yakni Samudra Kulon, Kedungurang, dan Kracak. Menurut koordinator lapang- an PRB Samudra Kulon, Kar- yono, alat deteksi dini gerakan tanah berasal dari besi. Ada dua besi yang ditancapkan ke da- lam tanah. Kemudian antarbesi disambung menggunakan ka- wat yang di bagian tengah ada pegas. “Di tengahnya itulah kemu- dian diberi alat ukur panjang dan diberi warna. Kalau war- nanya hijau diameternya 3 cm, kuning 5 cm, dan merah 7 cm. Kalau merah, berarti warga harus siaga, bahkan di tempat yang rawan harus diungsikan,” kata Karyono. Memang cara kerjanya masih sangat manual sehingga setiap hari terutama setelah hujan ada petugas yang naik dan meman- tau pergerakan tanah. Karyono mengatakan saat ini ada dua dusun yang dipasangi alat tersebut, yakni Sawangan dan Cikadu. Sebetulnya masih banyak dusun lain yang mem- butuhkan alat seperti itu, tetapi masih belum bisa karena belum ada dana. “Dengan alat ini, kami jadi terbiasa untuk terus memantau gerakan tanah guna mengu- rangi risiko bencana. Kami sa- dar bahwa wilayah yang kami diami merupakan daerah yang rawan longsor dan tanah berge- rak,” sambungnya. Sebetulnya alat semacam ini sebelumnya dipasang juga di Kedungurang dan Kracak, tetapi sejak beberapa bulan ter- akhir tidak ada lagi karena be- sinya dicuri orang. (N-3) [email protected] Membaca Tanda dengan Tengara Tentu tidak ada yang mau hidup di wilayah yang rawan bencana. Namun, jika sudah telanjur, haruskah serta-merta meninggalkan daerah setempat dan berpindah ke lokasi yang aman? DETEKSI DINI: Seorang aktivis Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup (LPPSLH) Purwokerto, Jawa Tengah, tengah menyiapkan alat deteksi dini gerakan tanah yang dipasang di sejumlah lokasi rawan bencana, beberapa waktu lalu. Dengan alat ini, warga dapat memantau gerakan tanah yang terjadi di wilayah mereka. Karena alatnya masih sangat sederhana, kami melakukan pemantauan secara bergantian. Apalagi kalau musim hujan seperti sekarang. Kami terus mencatat berapa geseran ge- rakan tanah yang terjadi.” Slamet Koordinator PRB Cibangkong MI/LILIEK DHARMAWAN BAGAN ALAT DETEKSI: Bagan alat dari Program Pengurangan Risiko Bencana hasil temuan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup Purwokerto, Jawa Tengah.

Transcript of SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Membaca … fileDesa-desanya meliputi Cibangkong di...

Page 1: SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Membaca … fileDesa-desanya meliputi Cibangkong di Pekuncen, Kra-cak di Ajibarang, serta Samudra Kulon dan Kedungurang di Gumelar. Desa-desa

SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Nusantara | 7

Liliek Dharmawan

BANYAK faktor yang membuat warga te-tap bertahan meski harus berkawan de-

ngan bencana. Perkawanan itu diejawantahkan dalam bentuk bagaimana mengenal secara dini ciri-ciri bencana, meski dengan teknologi se-derhana.

Sejumlah desa di tiga keca-matan di Banyumas, Jawa Tengah, yakni Pekuncen, Ajiba-rang, dan Gumelar merupakan segitiga rawan longsor dan gerakan tanah.

Desa-desanya mel iput i Cibangkong di Pekuncen, Kra-cak di Ajibarang, serta Samudra Kulon dan Kedungurang di Gumelar. Desa-desa tersebut memang berada pada daerah pegunungan. Sudah sejak dekade 1980, tanahnya terus bergerak dan sering terjadi longsor.

Dari kondisi seperti itu, mun-cul inisiatif masyarakat untuk lebih mengenali tanda-tanda bencana. Satu lembaga swa-daya masyarakat mendampingi mereka.

Koordinator Program Pengu-rangan Risiko Bencana (PRB) di Lembaga Penelitian dan Pe-ngembangan Sumber Daya Lingkungan Hidup Purwo-kerto Alam Wijaya mengatakan warga setempat ternyata ter-tarik dengan alat yang sebe-lumnya dipasang Balai Sabo Yogyakarta yang digunakan untuk memantau retakan ta-nah.

“Muncul ide dari warga, yaitu bersama-sama mencipta-kan alat pemantau gerakan ta-

nah. Jelas, kalau dibandingkan dengan alat yang diperbantu-kan Balai Sabo Yogyakarta ka-lah kualitas. Namun, alat buat-an warga itu cukup untuk pe-mantauan,” kata Alam.

Bahan baku kayu dirangkai menjadi semacam alat dengan bagian-bagian berupa tiang kiri dan kanan yang ditanam ke tanah. Selanjutnya, ada bahan

kayu yang secara horizontal terhubung dengan kayu yang ditanam tersebut. Namun, bagian tengahnya tidak me-nyatu.

Di bagian tengah yang tidak menyatu itu dipasang peng-garis untuk menentukan retak-an tanah.

Jadi, logikanya, kalau ada gerakan tanah, setiap kayu

yang menjadi tiang itu bakal bergerak dan membuat celah pada kayu yang dipasang hori-zontal.

Koordinator PRB Cibang-kong Slamet menambahkan, alat tersebut memang sangat sederhana dan diletakkan di wilayah yang rawan terjadinya tanah bergerak.

“Karena alatnya masih sa-ngat sederhana, kami melaku-kan pemantauan secara bergan-tian. Apalagi kalau musim hu-jan seperti sekarang. Kami terus mencatat berapa geseran ge-rakan tanah yang terjadi,” ujarnya.

Jika pergeserannya sekitar 5 cm, warga harus siap siaga. Adapun alat ini selanjutnya dinamakan ‘tengara’, yang be-rarti tanda.

Organisasi kebencanaanSelain pemantauan dengan

tengara, desa telah memiliki perangkat organisasi kebenca-naan. Misalnya ada bagian ke-siapsiagaan, respons darurat, logistik, dan keamanan.

“Ketiga bagian ini termasuk organisasi PRB Cibangkong. Mereka yang masuk berasal dari pemerintahan desa, tokoh masyarakat, PKK, dan Karang Taruna,” ujarnya.

Setelah pengembangan alat sederhana itu, masyarakat ber-sama dengan pendamping ke-mudian memodifi kasi alat su-paya lebih modern dan dikem-bangkan di tiga desa, yakni Samudra Kulon, Kedungurang, dan Kracak.

Menurut koordinator lapang-

an PRB Samudra Kulon, Kar-yono, alat deteksi dini gerakan tanah berasal dari besi. Ada dua besi yang ditancapkan ke da-lam tanah. Kemudian antarbesi disambung menggunakan ka-wat yang di bagian tengah ada pegas.

“Di tengahnya itulah kemu-dian diberi alat ukur panjang dan diberi warna. Kalau war-nanya hijau diameternya 3 cm, kuning 5 cm, dan merah 7 cm. Kalau merah, berarti warga harus siaga, bahkan di tempat yang rawan harus diungsikan,” kata Karyono.

Memang cara kerjanya masih sangat manual sehingga setiap hari terutama setelah hujan ada petugas yang naik dan meman-tau pergerakan tanah.

Karyono mengatakan saat ini ada dua dusun yang dipasangi alat tersebut, yakni Sawangan dan Cikadu. Sebetulnya masih banyak dusun lain yang mem-butuhkan alat seperti itu, tetapi masih belum bisa karena belum ada dana.

“Dengan alat ini, kami jadi terbiasa untuk terus memantau gerakan tanah guna mengu-rangi risiko bencana. Kami sa-dar bahwa wilayah yang kami diami merupakan daerah yang rawan longsor dan tanah berge-rak,” sambungnya.

Sebetulnya alat semacam ini sebelumnya dipasang juga di Kedungurang dan Kracak, tetapi sejak beberapa bulan ter-akhir tidak ada lagi karena be-sinya dicuri orang. (N-3)

[email protected]

Membaca Tanda dengan TengaraTentu tidak ada yang mau hidup di wilayah yang rawan bencana. Namun, jika sudah telanjur, haruskah

serta-merta meninggalkan daerah setempat dan berpindah ke lokasi yang aman?

DETEKSI DINI: Seorang aktivis Program

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup (LPPSLH)

Purwokerto, Jawa Tengah, tengah menyiapkan alat deteksi

dini gerakan tanah yang dipasang di sejumlah lokasi

rawan bencana, beberapa waktu lalu. Dengan alat ini, warga dapat

memantau gerakan tanah yang terjadi di wilayah mereka.

Karena alatnya masih sangat sederhana, kami melakukan pemantauan secara bergantian. Apalagi kalau musim hujan seperti sekarang. Kami terus mencatat berapa geseran ge-rakan tanah yang terjadi.”

SlametKoordinator PRB Cibangkong

MI/LILIEK DHARMAWAN

BAGAN ALAT DETEKSI: Bagan alat dari Program Pengurangan Risiko Bencana hasil temuan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup Purwokerto, Jawa Tengah.