Seng Dan Tembaga

10
Kadar Seng dan Tembaga dalam Serum pada Anak Usia Pra-Sekolah yang Kurang Gizi di Jos, Nigeria Pusat Utara Pendahuluan Laporan pada nutrisi global menunjukkan bahwa lingkup malnutrisi masih tidak dapat diterima dan usaha untuk memperbaikinya pada sebagian besar wilayah di dunia telah menjadi tantangan selama beberapa dekade (ACC/ SCN, 2000; Kwena dkk, 2003; De-Onis dkk, 2004). Didefinisikan sebagai ketidakseimbangan seluler antara suplai nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk nutrisi tersebut untuk tumbuh, pemeliharaan dan fungsi spesifik (WHO, 2000), malnutrisi dikenal secara global sebagai faktor resiko terpenting untuk menyebabkan penyakit dan kematian, menyebabkan lebih dari setengah kematian pada anak-anak di seluruh dunia (Grigsby dan Shashidar, 2006). Sekitar 300.000 kematian terjadi pertahun sebagai akibat dari konsekuensi malnutrsi secara langsung dan sekitar setengah dari seluruh kematian pada anak usia muda disebabkan oleh malnutrisi (Nemer dkk, 2001; Muller dkk, 2003; Black dkk, 2003). Pada tahun 200, diperkirakan 182 juta anak-anak pra-sekolah berusia kurang dari lima tahun di negara berkembang menjadi 1

description

fk unib

Transcript of Seng Dan Tembaga

Kadar Seng dan Tembaga dalam Serum pada Anak Usia Pra-Sekolah yang Kurang Gizi di Jos, Nigeria Pusat Utara

Pendahuluan

Laporan pada nutrisi global menunjukkan bahwa lingkup malnutrisi masih tidak dapat diterima dan usaha untuk memperbaikinya pada sebagian besar wilayah di dunia telah menjadi tantangan selama beberapa dekade (ACC/ SCN, 2000; Kwena dkk, 2003; De-Onis dkk, 2004). Didefinisikan sebagai ketidakseimbangan seluler antara suplai nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk nutrisi tersebut untuk tumbuh, pemeliharaan dan fungsi spesifik (WHO, 2000), malnutrisi dikenal secara global sebagai faktor resiko terpenting untuk menyebabkan penyakit dan kematian, menyebabkan lebih dari setengah kematian pada anak-anak di seluruh dunia (Grigsby dan Shashidar, 2006). Sekitar 300.000 kematian terjadi pertahun sebagai akibat dari konsekuensi malnutrsi secara langsung dan sekitar setengah dari seluruh kematian pada anak usia muda disebabkan oleh malnutrisi (Nemer dkk, 2001; Muller dkk, 2003; Black dkk, 2003).

Pada tahun 200, diperkirakan 182 juta anak-anak pra-sekolah berusia kurang dari lima tahun di negara berkembang menjadi kerdil, mencerminkan inadekuasi kesehatan dan nutrisi kumultaif jangka panjang (WHO, 1995; De-Onis, 2000). Pada anak-anak dengan KEP didefinisikan dengan pengukuran yang berada dibawah 2 standar deviasi di bawah berat terhadap umur (underweight), tinggi terhadap umur (stunting), dan berat terhadap tinggi (wasting). Telah ditunjukkan bahwa seluruh anak-anak dibawah umur lima tahun di negara berkembang, sekitar 31% mengalami kekurusan, 38% mengalami pertumbuhan kerdil dan 9% mengalami wasting (Brabin dan Coulter, 2003). Di Nigeria, prevalensi dari kerdil berkisar dari 34.9% di utara (Zoakah dkk, 2000) hingga sekitar 60.8% di selatan (Adelaken dkk., 1997).Sebagai tambahan terhadap defisiensi dari energi dan protein, anak-anak dengan kurang energi protein (KEP) telah ditemukan mengalami defisiensi mikromutrisi (Bryan dkk, 2004; Malouf dan Grimley, 2003; Muller dan Krawinkel, 2005; Singla dkk, 1996; Thakur dkk., 2004). Malnutrisi, terutama yang berkaitan dengan mikronutrisi (vitamin, mineral mikro, asam amino esensial, asam lemah tak jenuh), merupakan salah satu penyebab kecacatan dan kematian yang dapat dengan mudah dihindari (Pelletier dkk., 1995). Penyebab dari malnutrisi meliputi intak yang inadekuat sebagai akibat dari suplai makanan yang inadekuat dan insufisiensi, penghentian ASI yang terlalu dini, kepercayaan menurut agama dan tradisi, sanitasi yang buruk, meningkatanya konflik dan penyakit kronis (Brabin dan Coulter, 2003; FAO., 2004; De Waal dan Whiteside, 2003; Salama dkk., 2004; Young dkk., 2004). Efek samping dari malnutrisi meliputi manifestasi perkembangan dan fisik seperti penambahan berat badan yang rendah (Doherty dkk., 1998; Ninh dkk, 1996), kelemahan faktor imunologis (Ambrus dan Ambrus, 2004), iritabilitas, apatis, keterlambatan hingga defisit kognitif permanen (Grantham-Mc-Greggor dan Ani, 1999; Malouf dan Grimley, 2003) tergantung pada keparahan durasi dari nutrisi dan umur dimana malnutrisi terjadi. Fungsi biokemikal dan fisiologikal dari beberapa mikronutrisi telah digambarkan dalam kesehatan dan penyakit (Baylin dkk., 2005; Villamor dkk., 2005; Jaimton dkk., 2003).Seng, besi dan vitamin A memegang peranan penting dalam kompetensi imun (Beard, 2001; Shankar dan Prasad, 1998) dan pertumbuhan linier (Bahl dkk., 1997; Brown dkk., 1998). tembaga diketahui terlibat dalam berbagai metalloprotein dan cuproenzim, sebagai contoh superoksida dismutase (SOD), sebuah enzim antioksidan penting yang digunakan dalam melawan efek dari spesies reaktif oksigen. Beberapa penelitian mengenai seng dan tembaga dalam serum pada anak kurang gizi (Singla dkk., 1996; Thakur dkk., 2004) dilakukan di negara Asia dan menunjukkan penurunan dalam nilai mean tembaga dan seng dalam serum. Walaupun defisiensi mikronutrien umumnya terjadi di negara berkembang (Muller dkk., 2001), kadar mikronutrisi ini jarang ditentukan pada anak gizi buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kadar seng dan tembaga dalam serum pada anak kurang gizi usia pra-sekolah di Jos, ibukota Plateau, Nigeria pusat Utara.Diskusi

Penelitian telah menghubungkan kurang energi protein dengan defisiensi mikronutrien (Sommer dan West, 1996; Kjolhede dan Beisel, 1996). Pada penelitian baru-baru ini, terdapat mean konsentrasi serum tembaga dan besi yang lebih rendah pada anak kurang gizi dibandingkan dengan anak-anak pada kelompok kontrol yang sehat. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Singla dkk, 1996; Thakur dkk, 2004). Peneliti juga mengobservasi bahwa kadar terendah dari tembaga ditemukan pada anak-anak dengan kwashiorkor dalam bukti-bukti yang sesuai dengan penemuan Ambrus dan Ambrus (2004). Defisiensi tembaga dan seng seperti defisiensi mikronutrisi lainnya telah menyebabkan peningkatan kehilangan, intak yang inadekuat dan/atau bioavailabilitas yang rendah (Aggett dan Comerfold, 1995; Sandstead, 1995). Sebagai contoh, defisiesni tembaga telah ditemukan pada anak-anak dengan diare (Ambrus dan Ambrus, 2004), pada pasien yang menerima nutrsi parenteral (Ito dkk, 2005), selama pencernaan kelebihan besi dan pada populasi dengan intak sereal yang tinggi. Fitat dalam sereal, yang membentuk sumber energi terpenting dari nutrisi pada anak-anak di lingkungan peneliti, bertanggung jawab untuk defisiensi tembaga dan seng sebagai akibat dari bioavailabilitas yang rendah (Dijkhuizen dkk., 2004). Mekanisme dimana kadar tembaga dan seng yang lebih rendah terjadi secara bersamaan masih tidak diketahui, saat dua elemen menunjukkan hubungan antagonis (Smith dkk., 1998). Kelebihan kadar seng menginduksi sintesis ligan intraseluler metallothionine (MTO) pada enterosit, dimana kemudina mengikat seng. Kelebihan seng yang berikatan dengan MTO kemudian diekskresikan dalam feses melalui enterosit. Namun, tembaga dengan afinitasnya yang kuat terhadap MTO, menggantikan seng dan juga diekskresikan, meurunkan jumlah tembaga yang dikirimkan ke enterosit (Webb dan Cain, 1982). Dengan kata lain, tembaga dengan afinitasnya yang kuat terhadap ikatan metallothionine membuatnya tidak mampu diabsorpsi (Ajayi, 2005). Konsentrasi dari dua elemen tersebut lebih rendah pada anak kurang gizi dalam penelitian ini yang dapat merupakan indikasi bahwa keduanya terdapat dalam kadar yang lebih rendah dalam diet dari subyek peneliti atau keduanya mungkin tersedia dalam jumlah sedikit. Telah dinyatakan bahwa isi zat tembaga dan seng dari diet subyek penelitian tergantung pada isi minyak dari elemen tersebut (Milne, 1999). Sebagai tambahan, derajat dan distribusi dari kurang energi protein (KEP) dan defisiensi mikronutrisi pada populasi tergantung pada faktor lainnya, yang meliputi situasi politik dan ekonomis, pendidikan dan sanitasi, musim dan iklim, produksi makanan, kultural dan kenbiasaan makanan menurut agama, kebiasaan menyusui, eksistensi dan kefektifan program nutrisi dan ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan (De Waal dan Whiteside, 2003; Salama dkk, 2004; Younfg dkk, 2004). Pada penelitian ini, sebagian besar dari subyek peneliti berumur 0-24 bulan. Setelah disapih, anak-anak mendapatkan nutrisi dari diet tunggal, tergantung beratnya sereal dengan nutrsi yang sedikit (Cohen dan Atieno-Odhiambo, 1989). Penyakit infeksi dan malnutrisi juga cenderung berinteraksi selama periode ini, kemudian menghasilkan status nutrisi yang menjanjikan (Kwen dkk, 2003). Jumlah faktor yang menginduksi infeksi diketahui melemahkan status nutrisi lebih jauh.(Kinney, 1995; Blackburn, 1997). Hal ini meliputi peningkatan metabolisme protein dan negative nitrogen balance, berkurangnya simpanan karbohidrat, peningkatan konsumsi energi, peningkatan glukoneogenesis, resistensi insulin, terhambatnya metabolisme lemak dan terjadinya redistribusi mineral pada kompartemen nutrient (termasuk besi, seng, dan tembaga), faktor-faktor ini akan menjadi lingkaran setan pada malnutrisi dan infeksi. Infeksi meskipun dalam batas ringan, memiliki pengaruh terhadap status gizi dan juga sebaliknya, hampir seluruh defisiensi nutrien, jika infeksi tersebut berat dapat menimbulkan kerusakan (Scrimshaw dan San Giovanni,1997). Meskipun penjelasan terhadap penyebab malnutrisi tidak tercakup pada penelitian ini, penemuan kami menunjukkan adanya intake yang tidak adekuat atau peningkatan kehilangan zat gizi atau keduanya sebagai penyebab yang paling mungkin dalam lingkungan ini.

Telah lama diperkirakan bahwa malabsorpsi intestinal dapat terjadi pada penderita dengan defisiensi tembaga dan sepatutnya disadari dalam diferensial diagnosis pada anemia berat dan neutropenia (Hayton,1995).

Seng dan tembaga merupakan komponen yang penting pada enzim dan metalloprotein, yang terlibat dalam berbagai macam proses metabolik yang ada pada tubuh (Shankar dan Prasad, 1998). Seng merupakan komponen esensial pada enzim yang terlibat dalam sintesis RNA dan DNA. Kemudian telah dapat disimpulkan bahwa defisiensi seng menyebabkan terjadinya penurunan kadar total serum protein dan albumin, yang ditemukan pada penelitian ini. Dengan kata lain, kadar seng dan tembaga pada sirkulasi berhubungan erat dengan major carrier protein, albumin. Rendahnya konsentrasi elemen seng dan tembaga pada penelitian ini dapat disebabkan adanya penurunan pengikatannya pada plasma (Vulpe dan Packman,1995). Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati dalam mengintepretasikan rendahnya kadar tembaga dalam serum pada penderita protein energy malnutrition, dimana rendahnya konsentrasi tembaga di sirkulasi tidak selalu merefleksikan adanya defisiensi tembaga, tetapi defisiensi protein akan menyebabkan terjadinya penurunan tembaga pada serum yang berakibat terjadinya penurunan sintesis seruloplasmin pada hati (Besgetoor dan Hambidge, 1998)

Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar protein total pada marasmus dan kuarsiorkor, ternyata albumin serum lebih rendah yang terdapat pada penderita kuarsiorkor yang telah dikonfirmasi (Fongwo et al, 1999). Hal ini menjelaskan bahwa pada kuarsiorkor kehilangan protein lebih besar disamping indaekuatnya asupan dibandingkan dengan marasmus dan hal inilah yang menjelaskan terjadinya edema pada kuarsiorkor (Brabin dan Coulter, 2003)

Seng juga dikenal memainkan peran yang sentral dalam imunitas nosn spesifik yang dimediasi sel, seperti netrofil dan sel NK yang diperlukan untuk proses imun spesifik, seperti menyeimbangkan fungsi sel T helper. Pengurangan seng pada serum menyebabkan terjadinya penurunan jumlah leukosit pada penelitian ini. Meskipun mekanisme terjadinya neutropenia pada defisiensi tembaga belumlah diketahui, neutropenia telah ditunjukkan secara eksperimental pada tikus yang mengalami defisiensi tembaga yang dihubungkan dengan keterlambatan pematangan. Leukosit juga dilaporkan 4 kali lebih banyak daripada eritrosit dan TWBC juga berkurang pada defisiensi tembaga.

Pengurangan leukosit ini terjadi pada seluruh subtipe sel leukosit terutama neutrofil, dimana akan memperlihatkan kelainan pada fungsi fagositosis dari netrofil dan sebagai predisposisi terhadap infeksi.

Pnelitian ni menunjukkan bahwa tembaga diperlukan untuk pertumbuhan bayi, mekanisme pertahanan tubuh, kepadatan tulang, pematangan leukosit dan eritrosit (Hirase et al 1992).tembaga juga berperan penting pada beberapa reaksi enzimatik pada eritrosit, dan defisiensi tembaga akan menganggu transport zat besi dan fungsinya terutama sintesa heme. Secara spesifik, seruloplasmin merupakan feroksidase yang mengubah ferro menjadi ferri dimana akan mengikat tranferin dan dapat ditransportasikan. Enzim sitokrom oksidase yang dependen dengan tembaga juga diperlukan untuk reduksi ferri (zat besi) kemudian memisahkannya dengan molekul heme, diperkirakan terjadi reduksi sekitar 85% aktivitas superoksida dismutase pada membran eritrosit pada defisiensi tembaga dimana akan menurunkan umur eritrosit. Dengan kata lain, tembaga sangat dpelrlukan dalam pembentukkan sum-sum tulang yang juga diperlukan dalam pembentukan eritrosit

Kami menyimpukan bahwa malnutrisi pada anak pre school pada lingkungan kami adalah defisiensi tembaga dan seng yang dihubungkan dengan terjadinya leukopenia dan netropenia. Suplementasi seng dan tembaga harus dilakukan dalam rehabilitasi malnutrisi untuk memperoleh hasil yang optimal dan menghindari komplikai klinis yag disebabkan defisiensi seng dan tembaga. Bagaimanapun juga, fortifikasi makanan dengan senng dan tembaga meruapakan cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya defisiensi terutama pada yang beresiko.

1