Semiotika

15
SEMIOTIKA: Pengantar Singkat AG. Eka Wenats Wuryanta TIU: Mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mampu memahami definisi, prinsip sejarah, pandangan dan metode dalam pembahasan semiotika, terutama yang berkaitan dengan praktik komunikasi TIK: Mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan ini: 1. Mampu menceritakan prinsip awali dalam konteks semiotika 2. Mampu membedakan semiotika dan semiologi 3. Mampu menjelaskan sejarah semiotika 4. Mampu menjelaskan peran dan posisi tokoh kunci semiotika Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia). Semiotika adalah ILMU TENTANG TANDA, atau Semiotika adalah sebuah cabang filsafat yang mempelajari "tanda", biasa disebut FILSAFAT PENANDA. Berasal dari kata Yunani semeion tanda dimana sesuatu dikenal. Setiap tindakan komunikasi dianggap sebagai pesan yang dikirim dan diterima melalui beragam tanda berbeda. Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini ditentukan oleh berbagai KODE SOSIAL. Seluruh bentuk ekspresi – musik, seni, film, fashion, makanan, kesusasteraan- dapat dianalisis sebagai sebuah SISTEM TANDA.

Transcript of Semiotika

Page 1: Semiotika

SEMIOTIKA: Pengantar SingkatAG. Eka Wenats Wuryanta

TIU:Mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mampu memahami definisi, prinsip sejarah, pandangan dan metode dalam pembahasan semiotika, terutama yang berkaitan dengan praktik komunikasi

TIK:Mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan ini:

1. Mampu menceritakan prinsip awali dalam konteks semiotika2. Mampu membedakan semiotika dan semiologi3. Mampu menjelaskan sejarah semiotika4. Mampu menjelaskan peran dan posisi tokoh kunci semiotika

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Semiotika adalah ILMU TENTANG TANDA, atau Semiotika adalah sebuah cabang filsafat yang mempelajari "tanda", biasa disebut FILSAFAT PENANDA. Berasal dari kata Yunani semeion tanda dimana sesuatu dikenal.

Setiap tindakan komunikasi dianggap sebagai pesan yang dikirim dan diterima melalui beragam tanda berbeda. Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini ditentukan oleh berbagai KODE SOSIAL. Seluruh bentuk ekspresi – musik, seni, film, fashion, makanan, kesusasteraan- dapat dianalisis sebagai sebuah SISTEM TANDA.

Page 2: Semiotika

TOKOH SEMIOTIKA

2.1 Pragmatisme Charles Sanders Pierce

Bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu:

1. Signifier (penanda) à Materi2. Signified (petanda) à Makna

(1) Qualisign, yakni kualitas sejarah yang dimiliki tanda. Kata keras menunjukan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah Atau ada sesuatu yang diinginkan.

(2) Iconic Sinsign, yakni tanda yang mempelihatkan kemiripan. Contoh : foto, diagram, peta dan tanda baca.

(3) Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh pantai yang sering merengut nyawa orang yang mandi disitu akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini.

(4) Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat dipintu masuk sebuah kantor.

(5) Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.

(6) Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, ”mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

(7) Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk sabjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar diatas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang tengah dilarikan ke rumah sakit.

(8) Rhematic Syimbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat harimau. Lantas kita katakana, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan bendaa atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau.

(9) Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, ”Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sementara kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengar hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.

(10) Argument, yakni tanda yang merupakan inferns seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alas an tertentu. Seseorang berkata, Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai bahwa ruangan itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argument merupakan tanda yang berisi penilaian atau alas an, mengapa seseorang bergata begitu. Tentu saja penilaian tersebut mengandung kenenaran.

Page 3: Semiotika

2.2 Teori Tanda Ferdinand De Saussure

Signifier dan Signified. Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure adalah prinsip yang mangatakan bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda, dan setiap tanda itu tersusun dalam dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu system tanda (sign). Suara-suara baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai bahsa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-pengertian tertentu. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bernakna” atau “coretan yang bernakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa : apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180) “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

Jadi meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001:35). Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah patanda (signified). Dua unsure ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut. Ambil saja, misalnya, sebuah kata apa saja, maka kata tersebut pasti menunjukan tidak hanya suatu konsep yang berbeda (distinct concept), namun juga suara yang berbeda (distinc sound).

Form dan Content. Istilah farm (bentuk) dan content (materi, isi) ini oleh Gleason (Pateda, 1994:35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunya dan yang lain berwujud ide. Memang demikianlah wujudnya. Saussure membandingkan farm dan content atau substance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji catur itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi system nilai, bukan koleksi unsure yang ditentukan oleh materi, tetapi system itu ditentukan oleh perbedaannya.

Untuk membedakan antara farm (bentuk, wadah) dan content (isi) ini Saussure (Ahimsa-Putra, 2001:39) memberikan contoh lain yang kini sangat popular, yakni kereta api. Umpamanya saja, kita tahu bahwa di Stasiun Bandung ada kereta api Parahyangan Bandung-Jakarta yang berangkat dari Bandung pukul 05.00 dan sampai di Jakarta pukul 07.50 (kalau tidak telat). Pada hari senin, kita naik kereta ini ke Jakarta. Hari selasa berikutnya kita

Page 4: Semiotika

naik lagi kereta ini ke Jakarta, dan kita katakana kita naik “kereta api yang sama” walaupun gerbong dan lokomotifnya boleh jadi sama sekali sudah berbeda, karena kereta api tersebut bisa saja berganti setiap harinya, baik gerbong maupun lokomotifnya. Juga susunan gerbong dan jumlahnya. Apa yang “tetap” disini-sehingga kita lalu mengatakan “kita naik kereta api yang sama” tidak lain adalah “wadah” kereta api tersebut, sementara isinya berubah.

Begitupula halnya dengan kata-kata . kata “sinkronisasi,” misalnya dapat diucapkan secara belainan oleh individu-individu yang berbeda, dan mungkin juga diberi makna yang berbeda. Walaupun demikian, kata tersebut tetaplah satu dan sama. Yang bervariasi kata Saussure, adalah “the phonic and psychological ‘matter”’, sedangkan wadahnya – yaitu kata sinkronisasi sebagai bagian dari sebuah system bahasa –tetap sama (Ahimsa-Putra 2001:40)

Lalu persoalaanya adalah, apa sebenarnya yang membuat suatu kata berbeda dalam phonic dan conceptual form-nya? Dengan kata lain, bagimana suatu kata itu memperoleh ‘makna’-nya? Atas pertanyaan ini Saussure memberikan jawaban yang lain yang biasa diberikan pada masa itu. Menurut Saussure, yang memberikan pada suatu kata distinctive form-nya, atau bentuk khasnya, tidak lain adalah differensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata yang lain. Kata kalam, misalnya, dibedakan menurut suaranya dengan kata salam dan malam, namun secara konseptual kata tersebut dibedakan dengan buku, pena, kertas, tinta, dan sebagainya.

Langue dan Parole. Saussure dianggap cukup penting oleh Racoeur karena ia-lah yang meletakan dasar perbedaan antara langue dan parole (Recoeur, 1976:2-3) sebagai dua pendekatan lnguistik yang pada gilirannya nanti dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori wacana. Hal ini pun diakui Roland Barthes (1996:80) yang menyatakan bahwa “konsep (dikotomis) langue/parole sangat penting dalam pemikiran Saussure dan pasti telah membawa suatu pembaruan besar pada linguistik sebelumnya.”

Ketika itu, tutur Barthes, lingustik disibukkan oleh usaha mencari sebab-sebab perkembangan bersejarah dalam perubahan ucapan, asosiasi spontan, dan tindakan yang sejalan dengan itu, yang dengan sendirinya merupakan linguistik individual. Untuk mengembangkan dikotomi yang terkenal itu, Saussure mulai dengan sifat bahasa yang “ berbentuk jamak dan beragam”, yang pada pandangan pertama tampak bagaikan suatu relita yang tak dapat dikelompokan-kelompokan. “kita seakan-akan tidak akan menemukan kesatuan didalamnya, karena relita itu sekaligus bersifat fisik, fisikologos, psikis, individual, dan juga social,” kata Barthes. Padahal, katanya lagi, kekacauan itu dapat hilang bila semua keragaman tersebut dapat dicarikan suatu objek sosial yang murni, suatu kesatuan sistematis dari konvensi yang memang perlu untuk komunikasi objek itu tidak tergantung dari materi tanda yang membentuknya, dan disebut langue. Disamping itu, terdapat parole yang mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realiasi aturan-aturan, dan kombinasi tanda-tanda yang terjadi sewaktu-waktu).

Page 5: Semiotika

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis :langage, langue (system bahasa) dan parole (kegiatan ujaran) terpaksa kita mengambil alih istilah-istilah yang diberikan oleh buku Saussure sendiri, sebab dibidang ini kekhususan bahasa perancis tidak mudah diterjemahkan oleh bahasa-bahasa lain. Langage mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parole (Bertens, 2001:181-182); Alwasilah, 1993:77).

Language adalah suatu kemampuan bahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langage adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langage ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis pada bagian tertentu maka dia tidak bisa bicara secara normal.

Dalam pandangan Barthes (1996:81) apa yang disebut langue itu adalah langage dikurangi parole : “Itu adalah suatu institusi sosial dan sekaligus juga suatu sistem nilai,” katanya. Sebagai sistem sosial, langue, menurut Barthes, sama sekali bukan tindakan, tidak direncanakan sendiri : itulah sisi sosial dari Langage. Individu tidak dapat membuarnya sendiri, tidak juga dapat mengubahnya; hal itu harus merupakan perjanjian bersama. “apabila orang ingin berkomunikasi, ia harus mengikuti keseluruhan perjanjian itu,” katanya. Selain itu, produksi masyarakat itu bersifat otonom, seperti permainan yang mempunyai aturan-aturan sendiri: orang tidak dapat menggunakannya kecuali setelah mempelajarinya.

Dalam pengertian umum, langue adalahabstraksi dan artikilasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu (Hidayat, 1996:23). Alwasilah (1993:77) menyebut lanuge sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik berasama dari satu golongan bahasa tertentu. Akibatnya langue melebihi semua individu yang berbicara bahasa itu, seperti juga sebuah simponi yang tidak sama dengan cara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes tertentu (dengan segala kekurangannya seumpamanya) . Jika ahli-ahli linguistik menyelidiki bahasa, mereka membatasi diri pada langue saja (Bertens, 2001:182).

Langue ini ada dalam benak orang, bukan hanya abstraksi-abstraksi saja. Langue adalah sesuatu yang berkadar individual dan juga sosial universal. Langue dimaksudkan sebagai cabang linguistik yang menaruh perhatian pada tanda-tanda (sign) bahasa atau ada pula yang menyebutnya sebagai kode-kode (code) bahasa (Kleden-Probonegoro, 1998: 107). Yang termasuk dalam tanda bahasa atau kode ini adalah apa yang oleh para ahli disebut fonem, yaitu “satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukka kontras makna” (Kridalaksana, 2001:55-56) atau “satuan bunyi terkecil yang berfungsi untuk membedakan arti” (Muliono, 1988:243)

Apa yang dinamakan Langue itu, menurut Saussure, harus dianggap sebgai system (Bartens, 2001:182), guna menjelaskan hal tersebut, ia mengemukan perandingan yang lalu menjadi terkenal, yakni bahasa sebagai langue dapat dibandingkan dengan main catur, untuk mengerti permainan catur, tidak

Page 6: Semiotika

perlu dikaetahui bahwa permainan itu berasal dari parsi, asal usulnya permainan catur itu tidak relevan untuk memahami permainan itu sendiri. Juga dari mana buah-buah catur itu dibikin (kayu, gading, plastik), tidak memberikan kontribusi sedikitpun untuk pengertiannya. Permainan catur merupakan suatu sistem relasi-relasi dimana setiap buah catur mempunyai fungsinya. Dan system itu dikontribusikan oleh aturan-aturannya. Menambah atau mengurangi jumlah buah catur berarti mengurangi system secara esential. Atau merubah aturan untuk menggerakan kuda, umpamanya, berarti mengubah seluruh sistem. Demikian pula bahasa. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja, kata Saussure. Maksudnya, bahan dari mana bahasa itu terdiri, tidak mempunyai peranan. Yang pening dalam bahasa adalah aturan-aturan yang mengkonstitusikannya. Yang penting ialah unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain. Yang penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk system itu. Orang bilang, dalam bahasa Tionghoa sebagai bahasa, melainkan aturan-aturan yang berlaku bagi nada-nada tersebut.

Jika langue mempunyai objek studi sistem, atau tanda atau kode, maka parole adalah living dpeech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaanya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan factor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dfdasar parole adalah kalimat. Kalau langue bersifat sinkronik dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai suatu system, maka parole boleh dianggap bersifat diakronik dalam arti sangat terikat oleh dimensi waku pada saat terjadi pembicaraan.

Sebaliknya, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual (Budiman, 1999a:89). Pertama-tama parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjuk (pnutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk menggungkapkan pikiran pribadinya. Selai itu, parole juga dapat dipandang sebagai subjek menampilkan kombinasi-kombinasi tadi. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena adanya keberulangan inilah, setiap tanda bias menjadi elemen dari langue. Juga, karena merupakan aktivitas kombinatif ini pula, maka parole terkait dengan tindakan individual dan bukan semata-mata sebentuk kreasi.

Menurut Barthes, dalam jalur seniologis itu ada kemungkinan bahwa perbedaan yang dbuat Saussure diubah. Dan, “justru hal itu dapat dicatat,” kata Barthes. Barthes mencontohkan busana. Tentunya, kata dia, disini perlu dibedakan tiga system yang berbeda, sesuai dengan realita yang digunakan dalam komunikasi . dalam busana yang tertulis artinya digambarkan oleh suatu majalah mode dengan bantuan bahasa yang diucapkan-dapat dikatakan bahwa disini tidak ada parole: busana yang “digambarkan” tidak pernah sesuai dengan realisasi individu aturan-aturan dalam mode. Itu, menurutnya, merupakan suatu kesatuan sistemik tanda dan aturan : itu adalah langue dalam keadaan yang murni.

Page 7: Semiotika

Berkaitan dengan ini, menurut saussure, seperti ang dikutip Barthes (1996:82), tidak mungkin ada Langue tanpa parole; yang memungkinkan hal tersebut (adanya langue sebelumperwujudan parole) kali ini terterima, adalah diastu pihak bahasa mode tidak datang dari “masa yang berbicara,” melainkan dari kelompok pengambil keputusan yang dengan sadar mengembangkan kode, dan dilain pihak abstraksi yang menyatu pada setiap langue dikonkretkan disini dalam bentk bahasa tertulis: mode pakaian (tertulis) adalah langue pada tataran komunikasi pakaian, dan parole pada tartan komunikasi dengan kata-kata.

Synchronic dan Dichronic. Menurut Saussure, linguistik harus memperhaikan sinkronis sebelum menghirukan diakronis. Kedua istilah ini berasal dari kata Yunani khonos (waktu) dan dua awalan syn dan dia masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”. Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalam linguistik oleh Saussure adalah perbedaan antara studi bahasa sinkronis dan diakronis (perbedaan itu kadang-kadang digambarakan dengan membandinkan “deskriptif “ dan “historis”. Yang dimaksud dengan sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang “keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu “masa”) (Lyoans, 1995:46). Bartens (2001:184) menyebut “sinkronis” sebagai “bertepatan menurut waktu”. Dengan demikian linguistik sinkronis mempelajari bahas tanpa mempersoalkan urutan waktu. Perhatian ditujukan pada bahasa sezaman yang bersifat horizontal, misalnya menyelidiki bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun 1965. penting untuk disadari bahwa deskripsi sinkronis pada dasarnya tidak terbatas pada analisis bahasa-bahasa “mati” (usang), asalkan ada cukup ketrangan yang dilestarikan dalam naskah-naskah yang telah sampai kepada kita.

Yang dimaksud dengan diakronis adalah “menelusuri waktu” (Bertens, 2001:184). Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah (melalaui waktu); misalnya, studi diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan dimasa catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini, atau mungkin meliputi jangka waktu tertentu yang lebih terbatas. Atau dengan kata lain, linguistik diakronis ialah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perklembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Dapatlah kita katakana bahwa studi ini bersifat vertical. Misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia (dulu bahasa Melayu) yang dimulai dengan adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai sekarang.

Linguistik tidak saja mengesampingkan semua unsure ekstra lingual, linguistik melepaskan juga objek studinya dari dimensi waktu. Dengan demikian telah dibuka jalan untuk studi yang kemudian disebut “strukural”. Menurut Bertens, itu tidak berarti bahwa Saussure menolak penyelidikan diakronis tentang bahasa (Bartens, 2001:184-185). Saussure berpendapat bahwa penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis. Linguistik komparatif-historis harus membandingkan bahasa-bahasa sebagai system-sistem. Oleh sebab itu, system terlebih dahulu mesti dilukiskan tersendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau perkembangan salah satu unsure bahasa, terlepas dari system-sistem dimana unsur itu berpfungsi.

Page 8: Semiotika

Syntagmatic dan Associattive. (paradigmatic), atau antara sintagmatik dan paradigmatic. Hubungan-hubungan ini terdapat pada ata-kata sebagai rangakaian buinyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep.

Cobley dan jansz (1999:16-17) memberi contoh sederhana. Jika kita mengambil sekumpulan tanda “seekor kucing berbaring diatas karpet”. Maka satu elemen tertentu-kata “kucing”, misalnya menajdi bermakna sebab ia memeang bias dibedakan dengan “seekor”, “berbariong”, atau “karpet”. Sekaranga kita lihat bagaimana seekor kucing dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Kini digabungakan dengan kata “seekor”, berbaring”, “di”, “atas”, dan “karpet” – kata “kucing” menghasilkan rangkaian yang membentuk sintagma (kumpulan tanda yang beurut secara logis), melalui cara ini “kucing” bias dikatakan memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan “singa” dan “anjing”/

Hubungan paradigmatic terssebut, menurut cobley dan Jansz, haruis selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya, bagaimana garis x dan garis y dalam sebuah sistem koordiant. Sejauh tetap memenuhi syarat hubungan sintagmatik, penggantian tersebut bersifat fleksibel. Misalnya, bias saja kata “kucing” diganti dengan “anjing” karena keduanya memiliki hubungan paradigmatic. Pengubahan ini terbukti tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, selain pertukaran dua kata benda.

2.3 Linguistik Struktural Roman Jakobson

Roman Jakobson adalajh salah satu dari beberapa ahli linguistik abad kedua puluh yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bias hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001:108). Pemikiran awalnya yang penting, seperti dipaparkan John Lechte, adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metator retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan).

Memahami bagaiman berbagai bentuk afasia mempengaruhi fungsi bahasa, berarti memahami bagiamana kerussakan pada bagian pemilihan dan substansi-kutub metaforis-atau dalam gabungan dan kontektualisasi –kutub metonimia. Yang pertama memperlihatkan ketidakmampuan pada tingkat metalinguistik; sedangakan yang kedua berarti adanya masalah dalam upaya menjaga hierarki satuan-satuan linguistik. Pada yang pertama, yang hilang adalah hubungan kesamaan, sedangkan pada yang kedua adalah kesinambungannya.

Menurut Jakobson, bahasa itu memiliki enam macam fungsi (Sudaryanto, 1990:12) yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan.

Page 9: Semiotika

Setiap fungsi bersejajar dengan factor pundamental tertentu ynng memungkinklan bekerjanya bahasa. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen; fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar dengan faktor pendengar yang diajak berbicara; fungsi metalingual (4) sejajar dengan faktor sandi atau kode; fungsi fatis (5) sejajar dengan faktor kontak (awal komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan.

Langkah-langkah analisis structural atas fonem yang dilakukan oleh Jakobson antara lain (Ahimsa-Putra, 2001:56): (a) mencari distinctive features (cirri pembeda yang membedakan tanda-tanda kebahasaaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada tidaknya cirri pembeda dalam tanda-tanda tersebut; (b) memberikan suatu cirri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain; (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana-dengan distinctive features yang mana-yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya; (d) menentukan perbedaan antar tanda yang penting secara pragmatis, yakni perbedaan-perbedaan antar tanda yang masih dapat saling menggantikan (petit, 1977, dalam Ahimsa-Putra, 2001:56).

Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui cirri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan cirri-ciri suara yang lain. Misalnya saja /c/ dan /j/ dalam pancang dan panjang. Keduanya adalah konsonan yang diartikulasikan dengan meletakan bagiantengah lidah pada langit.-langit mulut. Keduanya bukan huruf hidup, bukan bunyi sengau (nazal), bukan bilabial, bkan pula dental, keduanya memiliki cirri-ciri positif dan negatif tersebut. Meskipun begitu, meskipun cirri-ciri itu tidak ditangkap atau diketahui, cirri-ciri itu tidaklah menjelaskan perbedaan diantara keduanya (Ahimsa Putra, 2001:56). Cirri pembeda yang penting disitu adalah suara (voice). Fonem /c/ tidak bersuara (-voiced) sedang fonem /j/ bersuara (+voiced).

Lewat pemaparan Lecthe (2001:107), disebutkan pada tahun 1914 Jakobson memasuki fakultas historiko-fisiologis di Universitas Moskow dan masuk bagian bahasa di Jurusan Slavia dan Rusia. Telaah bahasa menjadi kunci dalam upaya memahami sastra dan folklore (cerita rakyat). Pada 1915, Jakobson menidrikian lingkungan linguistic ddi Moskow dan terpengaruh oleh Huseserel, sehingga akibatnya, fenomenologi Husserl cukup penting dalam membentuk pemikirannya saat ia berusaha melihat hubungan antara “bagian” dengan “keseluruhan” dalam bahasa dan kultur.Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan proses komunikasi teks sastra. Dalam artikelnya yang terkenal Linguistiuk and Poetics, Jakobson menerangkan adanya adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan factor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal (Segers, 2000:15) Adresser (pengirim) mengirimkan suatu message (pesan) kepada seorang adresseyang dikirim). Agar operatif, pesantersebut memerlukan context (konteks) yang yang

Page 10: Semiotika

menunjukan pada (…), sehingga dipahami oleh yang dikirim dan dapat diverbalisasikan, suatu code kode) secara penuh atau paling tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirim (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu contact (kontak), suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara penmgirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1990, dalam Segers, 2000:16).fungsi puitik bsertumpu pada orientasi spesifik pembaca kearah pesan, yang dirangsang oleh kualitas0kualitas tertentu pesan itu. Fungsi puitik itu kerap didefinisikan oleh Jakobson sebagain “seperangkat (einstellung) yang menrah pada pesan secaraa terpusat(Segers, 2000:16), atau dikatakan juga “merupakan fungsi dari ekspresi pemikiran bahasa puitik” (Berger, 2000a:208). Pada pesan itu sendiri merupakan fungsi puitik bahasa (Sergers, 2000:16). Menurut Jakobson (Berger, 2000a:208), salah satu fungsi dari pesan-pesan adalah penggunaaan alat-alat literature sebagai metafora dan metonimi . pesan-pesan juga memiliki fungsi-fungsi emotif dan refeernsial.

Disebutkan, strata emotif yang paling murni dalam bahasa dapat terlihat dalam bentuk kata seru. Bentuk ini berbeda dengan sarana referensial bahasa. Baik melalui pola bunyi (skuen bunyi aneh atau bahkan bunyi-bunyi yang tidak biasa),maupun melalui peran sintaksis (kata-kata itu bukan komponen, tetapi padanan kalimat-kalimat). Jakobson memberi contoh : “Tut! Tut!” kata McGinty: ucapan yang lengkap dari tokoh conan Doyle ini terdiri dari dua kata onomatope suara orang mengisap sesuatu. Fungsi emotif dibentang secara nyata dengan tanda seru dan teasa pada seluruh ucapan : baik pada tataran bunyi, gramatikal, maupun leksikal. Apabila kita menganalisis bahasa dan segi keterangan yang dianutnya kita tak dapat membatasi pengertian informasi pada aspek kognitif untuk menunjukan kemarahan atau sikap ironisnya, menurut Jakobson, dengan jelas memberi tambahan informasi dan tentu saja perilaku verbal ini tak bisa disamakan dengan kegiatan non semiotic nutritive seperti “makan jeruk”, misalnya. (Jakobson, 1996:71).

Fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, jika perhatian hanya diarahkan pada pesan itu sendiri. Rien UT. Sgers melihat, sesungghnya Jakobson telah ,menunjukan pada 1935 bahwa fungsi puitik atau estetik, tidak terbatas pada teks sastra khususnya dan pada karya seni umumnya, tetapi muncul juga pada dalam artikel surat kabar, ceramah, dan sebagainya (Jakobson, 1935; dikutip Segers, 2000:16). Seseorang dapat mengimajinasikan bahwa dalam bacaan, misalnya dalam studi sejarah, fungsi puitik dengan fungsi referensial (suatu deskripsi tentang situasi-situasi tertentu dalam sejarah).

Analisa jakobson atas bahasa mengambil ide dari Sussure yang mengatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat differensial (differential) atau membedakan. Pembbedaan atau differensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu sintagmatis dan paradigamatis (ahimsa-Putra, 2001:54). Memang didalam linguistic pasca-Saussure, itilah sintagmatik selalu diperlawankan dengan paragmatik. Sebuah sintagma merujuk kepada hubungan inpraesentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau

Page 11: Semiotika

antara suatu satuan garmatikal dengan satuan-satan yang lain, didalam ujaran atau tindak tutur tertentu. Karena tuturan selalu diekspresikan sebagai suatu rangakai tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang kala disebutkan juga sebagai relasi-relasi linear (Budiman, 1999a:110-111).

2.4 Metasemiotika Louis Hjelmeslev

Louis Hjemslev dikenal sebagai penerus yang berpengaruh (Masinambow, 2000d:iii) ini, misalnya, juga diakui lanigan yang mengatakan “seperti halnya Jakobson, Hjemslev adalah salah satu tokioh linguistic yang berperan dalam pengembangan smiologi pasca-Saussure” (lanigan, 1988:124-128; Kurniawan, 2001:17). Pakar linguistic dan semiotika ini lahir di Denmark pada tahun 1899, dan meninggal pada tahun 1966, pemikiran pokoknya ia tuangkan dalam beberapa karya tulis, antara lain lewat dua karyanya yang terbaik, Prolegomena to Theory of Language (1943), yang kemudian diterjemahkan oleh francis J. Whitfield (1963); dan language: As Introduction (1970).

Hjemslev mengembangkan system dwipihak (dyadic system) yang merupakan cirri system Saussure (Masinambow, 2001:4). Ia membagi tanda kedalam expression dan content dua istilang yang sejajar dengan signifier dan signified dan Saussure. Namun konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan penambahan, bahwa baik expression maupun content mempunyai komponen form pada substance sehingga terdapat expression form dan content form pada satu pihak, dan expression substance dan content substance pada pihak lain. Maka, dengan perluasan ini, diperoleh gambaran bahwa sebelum expression form terbentuk, terdapat bahan tanpa bentuk (amorphous matter atau purpot)

2.5 Semiologi dan Mitodologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol memprakkan model linguistic dan semiologi Saussure. Ia juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama; eksponen penerpan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens (2001;208) menyebutkan sebagai tokoh yang memainkan peran sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an.

Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakattertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zeeo (1953; terj. Inggris 1977) dan Critical Essays (1964; terj. Inggris 1972).

Setelah mengajar bahasa dan sastra Prancis di Bukares (Rumania) dan Kairo (Mesir, tempat pertemuannya algirdas Julien Greimas, ia mengajar di Ecole des Hautes Etudes en Sciences socials. Setelah kembali ke perancis, ia bekerja untuk Centre Nasional de RecherceSchientifique (pusat nasional untuk penelitian ilmiah). Dari seksi keenam Ecole Practique des Hautes Etudes, sambil mengajar tentang sosiologi tanda, symbol dan representasi

Page 12: Semiotika

kolektif serta kritik semiotika. Pada 1976, Barthes diangkat sebgai professor untuk “semiologi literer” di College de france. Tahun 1980 ia meninggal pada usia 64 tahun, akibat ditabrak mobil di jalanan Paris sebulan sebelumnya.

Dalam bukunya yang terkenal, S/Z (1970), yang oleh bartens (2001:210) pantas disebut sebuah buku dengan judul cukup aneh, buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja Barthes. Disini ia menganalisis sebuah novel kecil yang relative kurang dikenal, berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke -19, Honorte de Balzac. Dalam penilaian John Kecthe (2001:198), buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah (Lechte, 2001:196; lihat pula indriani, 2000:145-149): kode hermeneutic (Kode tekai-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode ghomik atau kode cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.

Kode Hermeneutik atau kode tekai-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang mencul dalam teks. Kode tekai-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesauiannya didalam cerita.

Kode semik atau kode konotif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pemmbaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tetentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.

2.6 The Name - Umberto Eco – of the Rose

Dalam pendekatan sistem tanda, Umberto Eco sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf (2003), mengatakan semiotika adalah berkutat pada segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Bahwa pada prinsipnya satu bentuk representasi (fakta) adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan.

Contoh: Representasi tatanan rambut seorang artis yang tampil di panggung adalah mungkin bentuk kesadaran, mungkin juga kebohongan.

2.7 Semiotika Revolusioner dan Semanalisis Julia Kristeva

Julia Kristeva menggunakan istilah intertekstualitas (intertextuality) untuk menjelaskan hubungan semantik dan dialog di antara dua ucapan, dua ungkapan, dua karya, dua teks, dua budaya, dua konteks waktu ini.

Page 13: Semiotika

Intertekstualitas, menurut Kristeva adalah sebuah ruang tekstual (textual space), yang di dalamnya “...berbagai ucapan (utterance) yang berasal teks-teks lain saling silang-menyilang dan menetralisir satu sama lainnya (Julia Kristeva, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, Basil Blackwell, London, 1989, hlm. 36.).

Tidak ada sebuah ungkapan atau karya pun yang kosong dari dimensi intertekstual ini. Ruang tekstual adalah sebuah ruang tiga dimensi atau kordinat yang abstrak, yang di dalamnya terjadi dialog antara subjek penulis, pembaca dan teks-teks lain yang berasal dari luar (eksterior) sebuah teks. Di dalam ruang tekstual itulah terjadi semacam pertukaran tanda (exchange of signs) (Ibid., hlm. 68). Tanda-tanda yang berasal dari konteks masa lalu (Abad Pertengahan) berinteraksi dengan tanda-tanda yang berkembang dalam konteks masa kini (pengarang lain), di dalam sebuah wacana pertukaran semiotis.

2.8 “Superreader” Michael Riffaterre

Semiotika adalah yang disebut para ahli: “a dialectic between text and reader”, dialektik antara tatatan mimetik (istilah Pierce: tataran kebahasaan, makna denotatif) dan tataran semiotik (istilah Pierce: tataran mitis, makna konotatif) serta pada pihak lain dialektik antara teks dan pembaca.

Superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain diluar teks (Taum, 1997:62)

Dalam bukunya Semiotic of Poetry (1978), Riffaterre mendeklarasikan bahwa sebuah puisi mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang dikandungnya.

2.9 Dekonstruksi dan “Semiotics of Chaos“ Jacques Derrida

Pemikiran Derrida dalam menjawab kegelisahan tentang perlunya sebuah pemikiran alternatif, gagasan yang membela perbedaan di dunia yang tengah dihantui ancaman penyeragaman seperti yang terjadi saat ini. Derrida menawarkan teori dekonstruksi yang begitu identik dengan filsafat posmodernisme. Kemunculan teori dekonstruksi yang anti-metode ini mendapat tanggapan serius dari berbagai ilmuwan.

Mereka yang berkeberatan dengan teori dekonstruksi sebagai bentuk intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi selain permainan kata-kata. Di sisi lain, dekonstruksi diartikan sebagai sebuah pembelaan kepada the other, atau kepada makna 'lain' dari teks dan logika. Dengan kata lain, sebuah pembebasan.

Page 14: Semiotika

Terapan Singkat Semiotika Komunikasi

Ada sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :

1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)3. Komunikasi rabaan (tactile communication)4. Kode – kode cecapan (code of taste)5. Paralinguistik (paralinguistics)6. Semiotika medis (medical semiotics)7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)8. Kode – kode musik (musical codes)9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written

languages, unknown alphabets, secret codes)11. Bahasa alam (natural languages)12. Komunikasi visual (visual communication)13. Sistem objek (system of objects)14. Struktur alur (plot structure)15. Teori teks (text theory)16. Kode – kode budaya (culture codes)17. Teks estetik (aesthetic texts)18. Komunikasi Massa (mass comunication)19. Retorika (rhetoric)

Page 15: Semiotika

Daftar Pustaka

Sobur, Alex, 2004. Semiotika Komunikasi. Rosda Karya:Bandung

Nort, Winfried. 1999. Handbook of Semiotics. Indiana University Press:Indiana