Seminar Pajak Kelompok 6 - SUBJEK PPH - DONE

download Seminar Pajak Kelompok 6 - SUBJEK PPH - DONE

of 27

description

Subjeck PPH

Transcript of Seminar Pajak Kelompok 6 - SUBJEK PPH - DONE

  • 2014

    SUBYEK PAJAK

    PENGHASILAN Seminar Perpajakan

    D IV AKUNTANSI KURIKULUM KHUSUS Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

    KELOMPOK 6 :

    Dela Farhana (10)

    Indra Ahmad Wijaya (17)

    Risca Dessyanty (24)

    Tesalonika Broery A (28)

    Wahyu Hidayat (29)

  • 1 | P a g e

    A.PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan

    yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak penghasilan merupakan jenis pajak

    subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya

    kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.

    Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, saat muali dan berakhirnya

    kewajiban pajak harus ditentukan.

    Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax

    (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka

    yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode

    sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi

    dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak

    perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak

    yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax

    atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916

    dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan

    tanah.

    Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan

    badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang

    sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun

    barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan

    pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria

    tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang

    selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak

    pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene

    Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk

    pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah

    diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.

    Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia

    seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak

    perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan

    tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah

    mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang

    Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak

    Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck

    lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8

    tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs

    1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).

    Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat

    diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya

  • 2 | P a g e

    Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri

    Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni

    dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de

    Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi

    (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk

    Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang

    dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

    Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan

    mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935

    ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada

    majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0%

    sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang)

    menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama

    Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama

    Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.

    PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.

    Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun

    1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan

    Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925,

    yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9

    tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya

    reformasi pajak di Indonesia.

    2. DASAR HUKUM

    Dasar hukum dii dalam pengenaan PPh adalah :

    Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983

    Undang Undang Nomor 7 Tahun 1991

    Undang Undang Nomor 10 Tahun 1994

    Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000

    UU No 36 tahun 2008 (terakhir) Tentang Pajak Penghasilan

    3. Definisi Pajak Penghasilan

    Pajak penghasilan memegang peranan sangat penting dalam porsi APBN saat ini. Tercatat pada

    realisasi APBN 2014 (per tanggal 29 Agustus 2014) sebagaimana dilansir oleh Kementerian

    Keuangan, pendapatan dari sektor ini telah mencapai Rp 347,2 triliun, atau sekitar 49,23% dari

    total realisasi pendapatan perpajakan secara keseluruhan. Mengingat kontribusinya yang sangat

    besar tersebut, maka Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak telah mengatur tata

    laksana pemajakannya melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

    sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

    Di dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek

    Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal ini dapat juga

    menjelaskan tentang definisi pajak penghasilan, dikarenakan memang tidak ada ketentuan lain

    yang menyebutkan mengenai definisi dari pajak tersebut. Beberapa sumber menyatakan

    definisi pajak penghasilan yang hampir serupa:

  • 3 | P a g e

    a. Soebakir, dkk (1999:41)

    Pajak penghasilan adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas

    penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

    b. L. Y. Hari SIH Advianto (2011).

    Pajak Penghasilan adalah pengenaan pajak yang berbasis pada penghasilan, yang

    dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya pada suatu

    periode pemajakan.

    Dengan melihat praktek dan sifat-sifatnya, pajak penghasilan dapat diidentifikasikan memiliki

    karakterisktik sebagai berikut :

    a. Pajak penghasilan sebagai pajak subjektif

    Sebagai pajak subjektif, pengenaan pajak penghasilan dititikberatkan pada keadaan dan

    kondisi subjek pajak.

    b. Pajak penghasilan sebagai pajak langsung

    Sebagai Pajak langsung, Pajak Penghasilan dibebankan secara langsung kepada Subjek

    Pajak. Pajak langsung adalah pajak yang dibayarkan langsung oleh penanggung pajak

    kepada Pemerintah dengan tidak menggeser beban pajak tersebut kepada pihak lain.

    c. Pajak penghasilan sebagai pajak pusat atau pajak negara

    Dilihat dari otoritas yang berwenang mengadministrasikan pemungutan pajak, maka pajak

    Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat atau pajak negara.

    4. Definisi Subjek Pajak Penghasilan

    Di dalam penjelasan pasal 1 UU PPh disebutkan bahwa subjek pajak yang menerima atau

    memperoleh penghasilan dapat dikenakan pajak, dan selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak.

    Baik Undang-undang Pajak penghasilan maupun Undang-undang Ketentuan Umum dan tata

    cara perpajakan (KUP) tidak memberikan definisi terkait subjek pajak. Beda halnya dengan wajib

    pajak yang didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong

    pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.

    L. Y. Hari SIH Advianto (2011) mendefinisikan subjek pajak pajak sebagai pihak-pihak yang

    secara hukum pajak mempunyai kewajiban melaksanakan kewajiban perpajakan dan memiliki

    hak-hak dibidang perpajakan yang dijamin oleh undang-undang perpajakan. Kondisi subjek

    pajak yang menjadi pertimbangan adalah kemampuan dalam menjalankan kewajiban

    perpajakan yang dikenakan atas dirinya, atau dengan kata lain daya pikul subjek pajak itu

    sendiri.

    5. Klasifikasi Subjek Pajak Penghasilan

    Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Pajak

    Penghasilan yaitu

    Orang pribadi

    Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

    Badan, dan

    Bentuk Usaha Tetap (BUT)

  • 4 | P a g e

    Penggolongan Subjek Pajak Penghasilan juga dapat dilihat dari status kependudukannya

    (origin), yakni subjek pajak dalam negeri dan luar negeri.

    a. Subjek PPh Orang Pribadi

    Ketentuan tentang subjek pajak orang pribadi merujuk pada pengertian subjek hukum

    orang pribadi sebagaimana diatur dalam hukum perdata (natruliijk persoon). Menurut

    Pasal 2A Undang-Undang PPh, orang pribadi menjadi subjek pajak dimulai pada saat

    dilahirkan di Indonesia, berada, atau berniat bertempat tinggal di Indonesia sampai dengan

    meninggal dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek pajak orang pribadi dapat

    bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Perbedaan lokasi dan

    status kependudukannya yang nanti akan menggolongkan orang pribadi tersebut apakah

    termasuk sebagai subjek pajak orang pribadi dalam negeri atau luar negeri.

    b. Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

    Telah disebutkan bahwa ketika subjek pajak orang pribadi meninggal dunia maka kewajiban

    subjektif perpajakannya menjadi berakhir. Penetapan warisan sebagai satu kesatuan

    sebagai subjek pajak dimaksudkan agar kewajiban perpajakan dari si orang pribadi yang

    meninggal tersebut tidak menjadi terhenti, hanya karena warisan tersebut belum beralih

    kepada pihak lainnya, yang menjadi pewarisnya.

    Warisan belum terbagi, karena sesuatu sebab misalnya para ahli warisnya tidak diketahui

    dimana mereka berada, atau belum ada kesepakatan antara para ahli warisnya mengenai

    harta warisan yang mana yang menjadi haknya, maka warisan itu dianggap sebagai satu

    kesatuan dan dikenakan pajak sebagai ganti mereka yang berhak.

    Untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, dilakukan oleh salah seorang ahli warisnya,

    pelaksana wasiatnya atau pihak yang mengurus harta peninggalannya. Ketentuan tersebut

    tercantum dalam pasal 32 ayat (1) huruf e Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata cara

    Perpajakan yang berbunyi:

  • 5 | P a g e

    Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan

    perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal suatu warisan yang

    belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus

    harta peninggalannya

    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 10/PJ.41/1996 tentang PTKP bagi subjek

    pajak dalam negeri berbentuk warisan yang belum terbagi sebagai berikut :

    Subjek Pajak adalah Warisan yang belum terbagi sebagai satu-kesatuan, menggantikan

    yang berhak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh Orang Pribadi Subjek

    Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-

    undang mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban

    perpajakannya, Warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Warisan

    yang belum terbagi tidak dapat diberikan pengurangan berupa PTKP, karena PTKP tersebut

    pada prinsipnya telah tergabung dengan PTKP ahli waris yang berhak.

    Mengenai kewajiban subjektifnya, warisan yang belum terbagi dimulai pada saat

    meninggalnya pewaris dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris.

    c. Badan

    Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan

    Tatacara Perpajakan dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) b Undang-undang Pajak Penghasilan

    menjelaskan definisi Badan yaitu

    Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha

    maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,

    perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama

    dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

    perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,

    lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha

    tetap.

    Pengertian badan sejalan dengan yang diatur dalam pengertian badan hukum sebagaimana

    diatur dalam Undang-undang Perdata, bahwa badan hukum (recht persoon/legal person),

    merupakan personifikasi dari kumpulan orang-orang ata kepentingan untuk mencapai suatu

    tujuan. Frasa badan hukum mengandung dua dimensi, yakni badan hukum publik dan

    badan hukum perdata. Badan hukum publik diatur tersendiri penetapannya sebagai subjek

    pajak. Hal yang membedakan adalah kegiatan badan-badan tersebut apakah untuk

    memperoleh penghasilan atau tidak.

    Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b :

    Badan usaha milik negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan

    subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari

    badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan

    kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian

  • 6 | P a g e

    perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak

    yang mempunyai kepentingan yang sama.

    Badan atau Instansi Pemerintah yang bertugas menjalankan kegiatan layanan publik

    dikecualikan dari penetapan sebagai subjek pajak. Dalam Penjelasan penjelasan pasal 2 ayat

    (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, badan yang didirikan atau bertempat

    kedudukan di Indonesia merupakan subjek pajak, kecuali unit tertentu dari badan

    pemerintah yang memenuhi kriteria:

    1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

    undangan;

    2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

    3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah

    Daerah; dan

    4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara;

    d. Bentuk Usaha Tetap ( BUT)

    Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek

    Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya

    dipersamakan dengan Subjek Pajak Badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, Bentuk

    Usaha Tetap mempunyai aturannyaa sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

    Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang dimaksud

    dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi

    yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183

    (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang

    tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha dan

    melakukan kegiatan di Indonesia.

    Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan , suatu bentuk usaha tetap

    mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang

    dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan

    computer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang

    dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan

    aktivitas usaha melalui internet.

    6. Kelompok Subjek Pajak

    Subjek Pajak Penghasilan dilihat dari pemenuhan kewajiban perpajakannya kelompokkan

    menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Subjek pajak dalam negeri

    menjadi wajib pajak apabila telah memenuhi peresyaratan objektif yaitu menerima atau

    memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak,

    sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau

    diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

    a. Subjek Pajak Dalam Negeri

    Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri berdasarkan Undang- undang Pajak

    Penghasilan adalah :

  • 7 | P a g e

    1) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di

    Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua

    belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

    mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

    2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

    3) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

    b. Subjek Pajak Luar Negeri

    Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau

    bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh

    penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.

    Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang dikelompokkan

    sebagai subjek pajak luar negeri adalah

    a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak

    lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan

    tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan

    kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

    b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak

    lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan

    tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan yang dapat menerima atau memperoleh

    penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

    melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

    7. Perbedaan perlakuan PPh WP dalam negeri dengan WP luar negeri.

    Perbedaan yang penting antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri terletak

    dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain dapat terlihat pada table dibawah ini :

    No Uraian WP Dalam Negeri WP Luar Negeri

    1 Ruang lingkup penghasilan yang dapat dikenakan pajak

    Penghasilan yang diterima di Indonesia maupun di luar Indonesia (world wide income)

    Penghasilan yang berasal dari penghasilan di Indonesia (atau dinyatakan lain dalam tax treaty)

    2 Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Neto Penghasilan Bruto

    3 PTKP (bagi Orang Pribadi) Mendapat PTKP Tidak mendapat PTKP

    4 Tarif Tarif Umum Tarif Sepadan

    5 SPT Tahunan Wajib menyampaikan SPT Tahunan

    Tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan

    Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk

    usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan

    pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam

  • 8 | P a g e

    Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum

    dan Tata Cara Perpajakan.

    8. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif

    Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif diatur dalam pasal 2A Undang-undang

    Pajak Penghasilan :

    Subjek Pajak Mulai Berakhir Dalam Negeri Orang Pribadi Bertempat tinggal di Indonesia

    Berada di Indonesia lebih dari

    183 hari / Berada di Indonesia dan punya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia

    Warisan yang belum terbagi Badan

    Saat dilahirkan Sejak hari pertama berada di Indonesia

    Saat meninggal pewaris

    Pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

    Saat meninggal dunia Saat meninggal kan Indonesia untuk selama- lamanya

    Saat warisan dibagikan

    Pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

    Luar Negeri Orang Pribadi tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Menjalankan usaha/

    melakukan kegiatan melalui BUT

    Tidak menjalankan usaha/ melakukan kegiatan melalui BUT

    Saat berada di Indonesia Saat adanya hubungan ekonomis dengan Indonesia

    Saat ditiadakannya BUT Saat putusnya hubungan ekonomis dengan Indonesia

    9. Dikecualikan dari Subjek Pajak Penghasilan

    Dalam pasal 3 diatur bahwa yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah:

    a. Kantor perwakilan negara asing;

    b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara

    asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

    bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia

    dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan dan

    pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal

    balik;

  • 9 | P a g e

    c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,

    dengan syarat :

    1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut ;

    2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

    Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari

    iuran para anggota;

    d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan

    oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak

    menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari

    Indonesia.

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang

    diangkat langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan

    tugas atau jabatan dalam organisasi internasional tersebut di Indonesia.

    Penetapan pengecualian subjek pajak dalam pasal ini didasarkan pada kelaziman internasional,

    sehingga terjadi perlakuan yang sama terhadap kepentingan Republik Indonesia. Organisasi

    internasional dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk

    subjek pajak ditetapkan dengan PMK Nomor 215/PMK.03/2008, tanggal 16 Desember 2008

    sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 15/PMK.03/2010. Dalam Peraturan Menteri ini

    Organisasi internasional yang dimaksud terdiri dari 13 Badan Internasional dari Perserikatan

    Bangsa-Bangsa, 12 Organisasi Kerjasama Teknik, 4 Organisasi Kerjasama Kebudayaan, dan

    63 Organisasi-Organisasi Internasional Lainnya.

  • 10 | P a g e

    B.SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

    1. Orang Pribadi

    Pembahasan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi ini dilakukan dengan membandingkan

    Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan perubahan-perubahannya.

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi menurut perkembangan Undang-Undang

    Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

    a. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983

    Pasal 2 ayat (1):

    Yang menjadi Subyek Pajak adalah:

    a. 1) orang pribadi atau perseorangan;

    Sedangkan dalam penjelasannya tertulis:

    Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat

    tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.

    Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir

    di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan

    puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak

    pada saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga)

    hari tersebut tidaklah harus berturut-turut.

    Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi

    SubyekPajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-

    lamanya. Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak

    di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari

    Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin

    lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 26.

    b. Undang-Undang nomor 7 tahun 1991

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada

    undang-undang ini.

    c. Undang-Undang nomor 10 tahun 1994

    Pada undang-undang ini terjadi beberapa perubahan terkait dengan pengaturan Subjek

    Pajak Orang Pribadi PPh.

    Pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) ditambah beberapa keterangan sebagai berikut:

    1) Wajib Pajakadalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif

    dan objektif.

    2) Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau

    memperolehpenghasilan, dan

    3) Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak,sehubungan dengan

    penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia

    Yang kedua adalah perubahan redaksi dari undang-undang sebelumnya: orang pribadi

    atau perseorangan menjadi orang pribadi saja, sebagaimana terlihat dari pasal

    berikut:

    Pasal 2 ayat (1):

  • 11 | P a g e

    Yang menjadi Subyek Pajak adalah:

    b. 1) orang pribadi;

    Selain itu dalam undang-undang ini subjek pajak luar negeri dibagi menjadi 2 (dua)

    yaitu yang menjalankan usaha dan yang tidak menjalankan usaha tapi memperoleh

    penghasilan dari Indonesia.

    Kemudian terdapat beberapa pengaturan yang sebelumnya dituliskan dalam

    penjelasan Pasal 2 mengenai saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif,

    pada undang-undang ini dimasukan dalam batang tubuh yaitu:

    1) Pasal 2A ayat (1) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Dalam Negeri

    Kewajiban pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a

    dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,berada, atau berniat untuk

    bertempat tinggal di Indonesia dan berakhirpada saat meninggal dunia atau

    meninggalkan Indonesia untukselama-lamanya.

    2) Pasal 2A ayat (3) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Luar Negeri yang

    menjalankan usaha di Indonesia

    Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orangpribadi atau badan tersebut

    menjalankan usaha atau melakukankegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

    ayat (5) dan berakhirpada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan

    kegiatanmelalui bentuk usaha tetap.

    3) Pasal 2A ayat (4) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Luar Negeri yang tidak

    menjalankan usaha di Indonesia

    Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orangpribadi atau badan tersebut menerima

    atau memperoleh penghasilandari Indonesia dan berakhir padasaat tidak lagi

    menerima ataumemperoleh penghasilan tersebut.

    4) Pasal 2A ayat (6) mengenai bagian tahun pajak

    Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempattinggal atau yang

    berada di Indonesia hanya meliputi sebagian daritahun pajak, maka bagian tahun

    pajak tersebut menggantikan tahunpajak"

    Pada penjelasan Pasal 2A ayat (1) tertulis:

    Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya hanya dikaitkan dengan hal-

    hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat

    ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk

    meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi

    Subjek Pajak dalam negeri.

    Selain itu pada penjelasan Pasal 2A ayat (6) tertulis

    Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun

    pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan

    tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan

    tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian

    tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

  • 12 | P a g e

    d. Undang-Undang nomor 17 tahun 2000

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada

    undang-undang ini.

    e. Undang-Undang nomor 36 tahun 2008

    Sebagian besar pengaturan untuk Subjek Pajak PPh OP dalam undang-undang ini sama

    dengan undang-undang sebelumnya.

    Pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) ditambah keteranganWajib Pajak orang pribadi yang

    menerimapenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)tidak wajib

    mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

    2. Warisan yang Belum Terbagi

    a. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983

    Pasal 2 ayat (1):

    Yang menjadi Subyek Pajak adalah:

    a. 1)

    2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak

    Sedangkan dalam penjelasannya tertulis:

    Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang

    berhak. Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat

    timbulnyawarisan termaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat

    warisantersebut dibagi kepada mereka yang berhak(ahli waris).

    Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan

    penghasilan.

    b. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1991

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Warisan yang belum terbagi tidak mengalami

    perubahan pada undang-undang ini.

    c. Undang-Undang nomor 10 Tahun 1994

    1) Penjelasan Pasal 2 ayat (1) terkait warisan yang belum terbagi dirubah menjadi:

    Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,

    menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum terbagi

    sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkanagar pengenaan pajak atas penghasilan yang

    berasal dari warisan tersebut tetap dapatdilaksanakan.

    2) Selain itu dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) huruf c tertulis:

    Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak

    dalam negeri dianggap Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang

    inimengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan

    kewajibanperpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang

    berhak.Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih

    kepadaahli waris.

    Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar

    negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentukusaha

    tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karenapengenaan pajak

  • 13 | P a g e

    atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksudmelekat pada

    objeknya.

    3) Pada pasal 2A ayat (5) tertulis:

    Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya

    warisan yang belum terbagi tersebut yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat

    itupemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban

    pajaksubjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris.

    Sejaksaat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.

    d. Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada

    undang-undang ini.

    e. Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008

    Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada

    undang-undang ini.

    Sehubungan dengan dikenakannya PPh pada warisan yang belum terbagi maka pada Pasal 3 PP

    Nomor 74 Tahun 2011 diberi penegasan tentang warisan yang belum terbagi sebagai satu

    kesatuan menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak harus

    menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang pribadi yang meninggalkan warisan

    tersebut dan diwakili oleh pihak-pihak berikut untuk melaporkan pajaknya :

    Salah seorang ahli waris;

    pelaksana wasiat; atau

    pihak yang mengurus harta peninggalan.

    Berdasarkan penjelasan PP Nomor 74 Tahun 2011, khususnya mengenai penghapusan NPWP

    dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, pelaksanaannya dilakukan

    berdasarkan hasil pemeriksaan. Namun demikian, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi

    kriteria tertentu, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan

    Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan berdasarkan Verifikasi, sebagaimana diatur pada Pasal 3

    ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah Wajib Pajak

    benar-benar tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Wajib Pajak yang memenuhi

    kriteria tertentu pada ayat tersebut, salah satunya adalah :

    Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi

    Penambahan dua ketentuan mengenai NPWP pada PP Nomor 74 tahun 2011 menegaskan

    relevansi antara ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan peraturan

    pelaksanaannya. Penambahan pasal tentang warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

    menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak dan penghapusan Nomor

    Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diharapkan dapat

    menjembatani perbedaan persepsi di dalam penerapan kewajiban ber-NPWP.

    Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila wajib pajak Orang Pribadi

    meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum

    terbagi tersebut berkedudukan sebagai Subyek Pajak Pengganti dan kewajiban perpajakannya

    tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak yang meninggal dunia yang dilaksanakan oleh

    ahli warisnya.

  • 14 | P a g e

    Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang

    sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, sementara dalam kasus warisan yang

    belum terbagi adalah Subjek Pajak Pengganti yang mengindasikan masih memenuhi syarat

    subjektif dan objektif sehingga belum bisa dihapuskan. Baru setelah warisan tersebut dibagikan

    yang menyebabkan hilangnya subjek pajak pengganti dan objek pajak baru boleh dihapuskan

    dengan didukung suratketerangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang

    berwenang dan surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan

    bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris, untuk orang pribadi yang

    meninggal dunia.

    Perlakuan PTKP atas warisan yang belum terbagi

    Penghasilan dari Warisan yang belum terbagi pada prinsipnya merupakan hak dan dapat

    dibagikan kepada para ahli Waris yang berhak, dan penghasilan tersebut harus digunggungkan

    dengan penghasilan lainnya yang diterima atau diperoleh masing-masing ahli Waris.

    Oleh karena dalam menghitung penghasilan Kena Pajak masing-masing ahli Waris telah

    memperoleh pengurangan berupa PTKP, maka dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak atas

    penghasilan yang berasal dari Warisan yang belum terbagi tidak diberikan pengurangan berupa

    PTKP. Hal ini sebagai mana ditegaskan dalam SE-10/PJ.41/1996 tentang Penghasilan Tidak Kena

    Pajak Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Berbentuk Warisan Yang Belum Terbagi.

    3. Badan

    Dalam Undang- Undang KUP dijelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan sebagai subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

    a. Subjek pajak dalam negeri b. Subjek pajak luar negeri

    Badan yang termasuk dalam subjek pajak dalam negeri yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

    o pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan o pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; o penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

    dan o pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

    Badan yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri yaitu :

    o badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

  • 15 | P a g e

    o badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

    Bentuk Usaha Tetap Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

    a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, n. sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)

    bulan; o. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; p. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat

    kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

    q. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

    Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

    Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia

  • 16 | P a g e

    dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

    Contoh Kasus

    Apakah perusahaan perseorangan termasuk subjek pajak badan?

    Perusahaan perseorangan adalah badan usaha kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Pemilik perusahaan perseorangan memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan. Artinya tidak ada pemisahan antara harta perusahaan dan harta pribadi. Apabila bisnis mengalami kerugian, pemilik lah yang harus menanggung seluruh kerugian itu. Selain itu, keuntungan dari perusahaan tersebut otomatis merupakan keuntungan dari pemilik perusahaan.

    Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa definisi perusahaan perseoragan tidak memenuhi definisi badan yang disebutkan pada Undang-undang KUP. Dalam Undang- Undang KUP dijelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan sedangkan perusahaan perseorangan kepemilikannya hanya dimiliki oleh satu orang. Dari penjelasan berikutnya dapat disimpulkan bahwa perusahaan perseorangan termasuk dalam subjek pajak orang pribadi karena harta pribadi pemilik dan harta perusahaan merupakan satu kesatuan.

  • 17 | P a g e

    C. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN DI NEGARA SINGAPURA

    Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya di

    Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau,

    Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di

    dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan

    dan keuangan internasional. Kesuksesan perekonomian Singapura tentu tidak terlepas dari

    peranan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara dan penentu kebijakan fiscal negara

    tersebut. Sistem dan administrasi perpajakan di Singapura dijalankan oleh Inland Revenue

    Authority of Singapore (IRAS) sedangkan kebijakannya menjadi sepenuhnya tanggungjawab

    pemerintah.

    Singapura merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia sehingga memiliki

    hubungan yang sangat erat dalam kegiatan perekonomian, perdagangan, kebudayaan dan

    kemasyarakatan. Kebijakan perpajakan yang diterapkan singapura tentu secara langsung dapat

    memberi dampak yang besar kepada Indonesia terutama terkait Singapura yang menganut

    kebijakan Tax Haven. Pada dasarnya ,tax haven adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan

    sengaja memberikan fasilitas pajak berupa penetapan tarif pajak yang rendah kepada wajib pajak(

    WP) negara lain. Sampai dengan tahun 2009 Singapura dikenal sebagai negara penganut tax haven

    karena pengenaan tarif pajak yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di

    sekitarnya. Namun pada November 2009 OECD mengeluarkan Singapura dari daftar negara Tax

    Haven setelah menandatangani perjanjian pembagian informasi perpajakan dengan 12 negara.

    Singapura juga termasuk negara yang menerapkan kebijakan ring fencing dalam pengenaan pajak

    penghasilan berdasarkan residensial pembayar pajak.

    Melihat keterkaitan yang begitu erat antara Indonesia dan Singapura kami merasa perlu untuk

    memaparkan lebih lanjut kebijakan perpajakan Singapura terutama terkait Subyek Pajak

    Penghasilan dimana terdapat kebijakan tarif rendah dan ring fencing yang bisa saja dimanfaatkan

    untuk melakukan penghindaran pajak dari Indonesia.

    1. Dasar Hukum

    Dasar hukum awal atas pemberlakuan pajak penghasilan di Singapura telah ditetapkan pada

    masa Kolonial Inggris yaitu Income Tax Ordinance (No. 39 tahun 1947). The 1947 Ordinance

    ini sebagian besar didasarkan pada Model Pajak Pendapatan Teritorial tahun 1922, dengan

    dimasukkannya beberapa ketentuan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan Inggris, Tahun

    1945. Oleh karena itu, banyak keputusan pengadilan Inggris dan pengadilan yurisdiksi

    persemakmuran lain memberi pengaruh yang signifikan meski tidak benar-benar mengikat

    untuk diterapkan pada pengadilan Singapura.

    Saat ini ketentuan Pajak Penghasilan di Singapura diatur dalam Cap. 134 Income Tax Act (ITA)

    atau Undang-Undang Pajak Penghasilan Cap. 134 dengan perubahan terakhir pada Maret 2014.

    Undang-undang pajak ini berasal dari Income Tax Ordinance 1947 dengan perubahan-

    perubahan sebagai penyesuaian atas perkembangan yang terjadi.

  • 18 | P a g e

    2. Klasifikasi Subjek Pajak Penghasilan

    Di Indonesia Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan

    untuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan perundang-

    undangan perpajakan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, Indonesia

    menggunakan Istilah Subjek pajak penghasilan untuk orang pribadi dan badan yang atas

    penghasilan yang diterima atau diperolehnya dikenakan pajak penghasilan. Singapura

    menggunakan istilah Tax Payer untuk Wajib Pajak dan tidak membedakan antara wajib pajak

    dan subyek pajak dalam ketentuan perpajakannya termasuk dalam ketentuan pajak

    penghasilan.

    Di Negara Singapura, klasifikasi wajib pajak atau Tax Payer di dasarkan pada jenis wajib pajak

    dan residensialnya. pajak penghasilan terbagi menjadi dua, yaitu :

    a. Personal Income Tax (Pajak Penghasilan Individu)

    Personal income tax serupa dengan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi di Indonesia. Wajib

    Pajak orang pribadi (baik resident dan non-resident) dikenakan pajak penghasilan atas

    penghasilan yang diperoleh di atau berasal dari Singapura, dengan pengecualian tertentu.

    Pendapatan dari luar singapura yang diterima atau dianggap telah diterima wajib pajak individu

    resident Singapura dibebaskan dari pajak penghasilan di Singapura, kecuali penghasilan

    tersebut diterima melalui kemitraan di Singapura. Pendapatan dari luar singapura diterima atau

    dianggap telah diterima oleh wajib pajak individu non resident dibebaskan dari pajak

    penghasilan di Singapura. Beberapa sumber pendapatan investasi tertentu yang diterima oleh

    individu juga dibebaskan dari pajak penghasilan di Singapura.

    Klasifikasi Individual tax payer di singapura di bagi menjadi dua berdasarkan Residency atau

    kependudukan wajib pajak tersebut. Klasifikasi ini serupa dengan klasifikasi subyek pajak dalam

    negeri dan subyek pajak luar negeri di Indonesia namun dengan ketentuan yang berbeda.

    Resident Individual Tax Payer (Tax Resident)

    Pada Section 2 Income Tax Act, disebutkan pengertian resident of Singapore terkait

    individu.

    Dalam hal individu, Resident means a person who, in the year preceding the year of

    assessment, resides in Singapore except for such temporary absences therefrom as may be

    reasonable and not inconsistent with a claim by such person to be resident in Singapore, and

    includes a person who is physically present or who exercises an employment (other than as a

    director of a company) in Singapore for 183 days or more during the year preceding the year of

    assessment.

    Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa yang termasuk resident adalah seseorang yang :

    1. Permanen Resident , Penduduk permanen merupakan warga negara Singapura.

    2. Telah berada di Singapura minimal 183 hari dalam satu tahun kalender.

    3. Hadir secara fisik atau bekerja (bukan sebagai direktur perusahaan) di singapura dalam 3

    tahun berturut-turut meski pada tahun pertama dan ketiga tinggal di singapura kurang dari

    183 hari.

  • 19 | P a g e

    Secara luas, ada tes kualitatif, serta dua tes kuantitatif yaitu uji kehadiran fisik dan uji lapangan

    kerja, yang terkandung dalam definisi Resident atau "penduduk", dan penilaian atas semua

    itu akan cukup untuk menetapkan seseorang sebagai penduduk. Uji kualitatif tergantung pada

    arti dari kata-kata "Resides" dan "temporary absences" dan bagaimana pemenuhan wajib pajak

    atas hal tersebut.

    Ketentuan perpajakan terkait Tax Resident antara lain:

    1. Tax Resident dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang dihasilkan di Singapura

    2. Penghasilan akan dikurangi keringanan (Tax reliefs) kemudian dikenakan tariff progresif .

    3. Penghasilan yang bersumber dari luar negeri yang dibawa ke singapura dikecualikan dari

    pengenaan pajak penghasilan.

    4. Wajib mengisi form B1, Laporan pajak penghasilan untuk Tax resident.

    Non-Resident Individual Tax payer

    Non Resident merupakan pengecualian dari keseluruhan kriteria Resident tax payer. Non

    resident tinggal atau berada di Singapura kurang dari 183 hari.

    Ketentuan perpajakan terkait Non-Resident Tax Payer antara lain:

    1. Non Resident hanya dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima di

    Singapura

    2. Non Resident tidak berhak atas keringanan pajak (Tax Reliefs).

    3. Atas penghasilan dari pekerjaan non resident dikenakan tariff flat sebesar 15% atau

    sesuai dengan tariff progresif untuk Tax Resident tergantung mana yang lebih tinggi.

    Honor bagi direktur akan dikenakan tarif yang berlaku yaitu sebesar 20%.

    4. Wajib mengisi form M, Laporan pajak penghasilan untuk Non Resident.

    b. Corporate Income Tax (Pajak Penghasilan Badan)

    Corporate Income Tax atau pajak penghasilan badan di Singapura memiliki dua klasifikasi wajib

    pajak yaitu Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer dan Non-Singapore Tax Resident

    Corporate Taxpayer.

    Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer (Wajib Pajak Badan Resident)

    Pada Section 2 Income Tax Act, disebutkan pengertian resident of Singapore terkait Badan

    serta pengertian terminology lainnya.

    Dalam hal Badan atau corporate,

    in relation to a company or body of persons, Residents means a company or body of persons

    the control and management of whose business is exercised in Singapore.

    company means any company incorporated or registered under any law in force in Singapore

    or elsewhere.

    body of persons means any body politic, corporate or collegiate, any corporation sole and any

    fraternity, fellowship or society of persons whether corporate or unincorporate but does not

    include a company or a partnership

  • 20 | P a g e

    Dari definisi resident terkait badan diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah perusahaan

    ditetapkan sebagai Tax resident company apabila pengawasan atau kontrol dan manajemen

    bisnisnya dilakukan di Singapura. Wajarnya control pengawasan dan manajerial perusahaan

    ditetapkan oleh dewan direksi sehingga residensial atau kedudukan perusahaan adalah dimana

    dilakukan kegiatan yaitu pertemuan para dewan direksi

    Wajib pajak badan Resident dikenakan pajak penghasilan pada penghasilan yang diperoleh

    atau berasal dari Singapura dan penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di luar

    Singapura (yaitu penghasilan bersumber asing) yang diterima atau dianggap telah diterima di

    Singapura berdasarkan hukum, dengan pengecualian tertentu. Penghasilan dari luar singapura

    dalam bentuk dividen, keuntungan cabang dan pendapatan jasa yang diterima atau dianggap

    telah diterima di Singapura oleh wajib pajak badan - Resident dibebaskan dari pajak penghasilan

    jika kondisi berikut terpenuhi:

    - Penghasilan dikenakan pajak yang bersifat mirip dengan pajak penghasilan berdasarkan

    hukum yurisdiksi dimana penghasilan tersebut diterima;

    - pada saat penghasilan tersebut diterima di Singapura, tariff tertinggi atas pajak dengan

    karakter yang mirip dengan pajak penghasilan pada yurisdiksi dari mana pendapatan

    tersebut diterima setidaknya 15,0%;

    - Pengawas Pajak Penghasilan yakin bahwa pembebasan pajak akan bermanfaat bagi

    penerima penghasilan dari luar singapura tersebut.

    Non-Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer (Wajib pajak badan Non Resident)

    Non-Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer adalah pengecualian dari Singapore Tax

    Resident Corporate Taxpayer. Apabila control dan manajemen perusahaan tidak berkedudukan

    di Singapura maka perusahaan tersebut termasuk Non resident. Sebagai contoh, cabang

    perusahaan luar negeri yang berlokasi di Singapura termasuk kategori Non Resident karena

    control dan manajemen nya dilakukan di luar Singapura.

    Pada dasarnya Resident dan Non Resident Corporate Tax Payers dikenakan pajak terhadap

    penghasilan yang sama yaitu atas penghasilan yang diperoleh di atau berasal dari Singapura,

    dan atas penghasilan dari luar Singapura yang diterima atau dianggap telah diterima di

    Singapura.

    Ketentuan perpajakan lainnya terkait Resident dan Non Resident Corporate Tax Payers juga

    serupa namun Resident corporate tax payers memiliki keuntungan:

    1. Perlindungan dari pengenaan pajak berganda dibawah kesepakatan Singapura dan dengan

    negara tertentu.

    2. pengecualian pajak atas dividen dari luar negeri, keuntungan dari cabang luar negeri,

    penghasilan atas jasa pelayanan dari luar negeri.

    3. pengecualian pajak untuk perusahaan yang baru berdiri sampai dengan angka waktu 3 (tiga)

    tahun.

  • 21 | P a g e

    3. Ikhtisar Perlakuan Perpajakan per Klasifikasi Individual Tax Payer

    a. Resident Individual Tax Payer

    If your period of stay (including work) in Singapore

    Resident status Tax implications

    Is at least 183 days in a year Resident for that year

    All your income will be taxed at progressive resident rates. You may claim tax reliefs.

    Is at least 183 days for a continuous period over two years

    Resident for both years

    As above

    Covers three consecutive years Resident for all three years

    As above

    Under Singapore tax residency rules, you will be regarded as a tax resident if you stay or

    work in Singapore for at least 183 days in a calendar year. The number of days in

    Singapore includes weekends and public holidays.

    Under the two-year administrative concession, you will be regarded as a tax resident for

    the two years if you stay or work in Singapore for a continuous period of at least 183

    days. The number of days in Singapore includes weekends and public holidays.

    Under the three-year administrative concession, if you stay or work in Singapore

    continuously for three consecutive years, you will be regarded as a tax resident for all

    the three years even though the number of days you are in Singapore is less than 183

    days in the first and third year.

    Sumber : Inland Revenue Authority of Singapore ( IRAS )

    b. Non Resident Individual Tax Payer

    If your period of stay (including work) in

    Singapore Resident status Tax implications

    If you are in Singapore for 61 to 182 days

    Non-Resident -Your employment income is taxed at 15% or progressive resident rates, whichever gives rise to a higher tax amount.

    - Director's fees and other income are taxed at the prevailing rate of 20%.

    - You are not entitled to tax reliefs.

    If you are employed for 60 days or less

    Non-Resident Your short term employment income is exempt from tax.

    This rule does not apply if you are a director of a company.

  • 22 | P a g e

    If you are in Singapore for 61 to 182 days You will be regarded as a non-resident. The

    number of days in Singapore includes weekends and public holidays.

    If you are employed for 60 days or less You will be regarded as a non-resident. Your

    employment income is exempt from tax if you are here on short term employment for not

    more than 60 days in a year. The number of days in Singapore includes weekends and public

    holidays.

    Sumber : Inland Revenue Authority of Singapore ( IRAS )

    4. Tax Treaty atas Pengenaan Pajak Berganda Indonesia Singapura

    Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)/tax treaty adalah perjanjian yang dilakukan oleh

    dua/lebih negara/yurisdiksi pajak yang mengatur perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan

    yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dari dua/lebih negara/yurisdiksi pajak yang

    berbeda. Perjanjian ini terkait dengan passive income atas beneficial owner. Terdapat dua

    otoritas yang memiliki kepentingan dalam pengenaan pajak yang terkait dengan beneficial

    owner, yaitu negara asal wajib pajak/beneficial owner (asas domisili) dan negara tempat wajib

    pajak mendapatkan penghasilan (asas sumber). Permasalahan perpajakan muncul ketika kedua

    negara tersebut hendak mengenakan pajak atas jenis pendapatan yang sama (passive income).

    Inilah yang kemudian menimbulkan international double taxation, yaitu wajib pajak dikenakan

    pajak berganda atas income yang sama dalam periode yang sama oleh negara yang berbeda.

    Hal yang diatur di dalam persetujuan P3B tidak hanya terkait penghasilan sebagai objek pajak

    tapi juga individu dan badan terkait sebagai subjek pajak terutama terkait domisili individu dan

    Badan Usaha Tetap sebagai suatu perwakilan perusahaan lintas negara.

    P3B atau Tax Treaty ini dibuat dengan tujuan :

    1. Menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama yang diterima oleh

    wajib pajak yang sama oleh dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang berbeda.

    2. Menghilangkan adanya penyelundupan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang

    mendapatkan penghasilan di dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang berbeda sehingga

    wajib pajak tidak membayar pajak di kedua/lebih yurisdiksi pajak (negara) dimana wajib

    pajak tersebut menjalankan usahanya.

    3. Pembagian wilayah perpajakan, keputusan bersama atas isu-isu perpajakan internasional

    dan kerja sama ekonomi untuk pembangunan.

    Pada Mei 1990 Indonesia dan Singapura telah menandatangani PERSETUJUAN TENTANG

    PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS

    PENGHASILAN yang di cetak dalam Bahasa Inggris.

  • 23 | P a g e

    Persetujuan ini memuat diantaranya ketentuan terkait Subjek pajak diantaranya Domisili Fiskal

    terkait kependudukan atau residensial perpajakan. Pasal 4, P3B Indonesia Singapura memuat

    antara lain,

    1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan

    Berarti setiap orang dan badan, yang merupakan penduduk dari suatu Negara pihak pada

    Persetujuan untuk kepentingan pajak Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Istilah ini tidak

    mencakup bentuk usaha tetap dari perusahaan asing yang diperlakukan sebagai penduduk bagi

    kepentingan pajak.

    2. Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk di kedua Negara

    pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan menurut ketentuan-ketentuan berikut :

    (a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia mempunyai

    tempat tinggal tetap yang tersedia baginya. Apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang

    tersedia di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana terdapat

    hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan

    pokok);

    (b) jika Negara pihak pada Persetujuan di mana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak

    dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya

    di salah satu Negara, maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia biasanya

    berdiam;

    (c) jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara pihak pada Persetujuan atau

    sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara pihak pada Persetujuan tersebut maka

    pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan

    masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

    3. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1, suatu badan mempunyai tempat

    kedudukan di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari

    Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

    Pasal 5 P3B Indonesia Singapura memuat ketentuan tentang Badan Usaha Tetap (BUT), antara

    lain:

    1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap berarti suatu tempat usaha tetap

    di mana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan.

    2. Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi :

    (a) suatu tempat kedudukan manajemen;

    (b) suatu cabang;

    (c) suatu kantor;

    (d) suatu pabrik;

    (e) suatu bengkel;

    (f) suatu pertanian atau perkebunan;

    (g) suatu tambang, suatu sumur minyak atau gas, suatu penggalian sumber daya alam;

    (h) suatu lokasi bangunan konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang berlangsung

    untuk suatu masa yang melebihi 183 hari;

    (i) pemberian jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu perusahaan melalui seorang

    pegawai atau pegawai-pegawai lain (selain daripada seorang agen yang bertindak bebas

  • 24 | P a g e

    sebagaimana dimaksud dalam ayat 7) dimana kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di

    suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam suatu masa yang melebihi 90 hari dalam dua

    belas bulan.

    3. Istilah bentuk usaha tetap tidak dianggap meliputi :

    a. penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau

    memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

    b. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan

    semata- mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

    c. pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan

    semata- mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

    d. pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pembelian

    barang - barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan

    perusahaan;

    e. pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan

    periklanan, atau untuk memberikan keterangan-keterangan, untuk penelitian ilmiah atau

    untuk kegiatan yang sejenis yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan;

    4. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dianggap mempunyai suatu bentuk

    usaha tetap di Negara pihak lain pada Persetujuan apabila perusahaan tersebut menjalankan

    kegiatan pengawasan di Negara pihak lain tersebut untuk suatu masa lebih dari 6 bulan yang

    berhubungan dengan suatu proyek konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang

    dilakukan di Negara pihak lain tersebut.

    5. Orang atau badan yang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk atau atas nama

    perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak lain pada Persetujuan kecuali agen yang

    bertindak bebas sebagaimana berlaku ayat 6, dianggap sebagai bentuk usaha tetap di Negara

    pihak pada Perjanjian yang disebut pertama, apabila :

    a. mempunyai, dan biasa melakukan dalam Negara pihak yang disebut pertama itu, wewenang

    untuk menutup kontrak-kontrak atas nama perusahaan, kecuali kegiatannya dibatasi untuk

    pembelian barang atau barang dagangan bagi perusahaan; atau

    b. ia biasa mengurus dalam Negara yang disebut pertama suatu persediaan barang atau barang

    dagangan milik perusahaan dimana ia secara teratur menyerahkan barang atau barang

    dagangan untuk atau atas nama perusahaan.

    6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, suatu perusahaan asuransi dari

    suatu Negara pihak pada Persetujuan kecuali yang berhubungan dengan re-asuransi, dianggap

    mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak lain pada Persetujuan jika perusahaan asuransi

    tersebut memungut premi di wilayah Negara pihak lain tersebut atau menanggung resiko-resiko

    yang terjadi di sana melalui seorang pegawai atau perwakilan yang bukan merupakan agen yang

    bertindak bebas seperti dimaksud pada ayat 7.

    7. Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap

    di Negara pihak lain pada Persetujuan hanya karena perusahaan tersebut menjalankan usahanya

    melalui seorang makelar, komisioner atau setiap agen lainnya yang bertindak bebas, selama

    orang orang itu bertindak dalam rangka usahanya. Namun, bila kegiatan-kegiatan agen tersebut

    secara keseluruhan atau hampir secara keseluruhan diperuntukkan bagi kepentingan perusahaan

    itu, ia tidak akan merupakan suatu agen yang berdiri sendiri seperti yang diartikan oleh ayat ini.

  • 25 | P a g e

    8. Bila suatu perseroan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan

    mengawasi atau diawasi oleh suatu perseroan yang merupakan penduduk dari Negara pihak lain

    pada Persetujuan, atau yang menjalankan usahanya di Negara pihak lain tersebut (baik melalui

    suatu bentuk usaha tetap atau cara lain), tidak akan dengan sendirinya menjadikan salah satu

    perseroan tersebut bentuk usaha tetap dari yang lainnya.

  • 26 | P a g e

    DAFTAR REFERENSI

    http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan

    L. Y. Hari SIH Advianto. Pajak Penghasilan. BPPK Pusdiklat Pajak, 2011.

    Jannatun, F. 2012. Nn. Available at http://eprints.uny.ac.id/7889/3/BAB%202-09409134015.pdf

    diakses pada tanggal 18 Oktober 2014 .

    Data Realisasi APBN Tahun Anggaran 2014 (Tanggal 1 Januari 2014 sd 29 Agustus 2014). Available at

    http://www.kemenkeu.go.id/Data/realisasi-apbn-ta-2014-29-agustus-2014-i-account diakses pada

    tanggal 18 Oktober 2014.

    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir

    dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

    sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009

    Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir

    dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008

    Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

    sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009

    Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan

    Kewajiban Perpajakan

    Taripar Doly, SE, MM. 2014. Sekilas Tentang Subjek Pajak Pengganti

    http://www.nusahati.com/2014/07/sekilas-tentang-subjek-pajak-pengganti/. (diakses pada tanggal

    18 Oktober 2014)

    www.wikipedia.com, diakses pada 16 Oktober 2014.

    www.iras.gov.sg, diakses pada 16 Oktober 2014.

    www.singaporelaw.sg/Ch.28 Singapore Income Taxation, diakses pada 16 Oktober 2014.

    www.ortax.org, diakses pada 16 Oktober 2014.

    Income Tax Act Chapter 134 2014 Singapore

    Badan Kebijakan Fiskal.2012. Tax Treaty dan pengaruhnya terhadap arus investasi antara Indonesia

    dan negara-negara mitra. Jakarta