Seminar Aspek Penalaran
-
Upload
fatkkhur-rokhman -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of Seminar Aspek Penalaran
MAKALAH SEMINAR PENDIDIKAN MATEMATIKA
ASPEK KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS PADA FUNGSI
KOGNITIF RMT (Rigorous Mathematical Thinking)
Oleh:
DENI FATKHUR ROKHMAN
NIM 12030174061
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN MATEMATIKA
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Survei yang dilakukan oleh IMSTEP-JICA (2000) menghasilkan
kesimpulan yaitu salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman
siswa terhadap matematika dikarenakan guru terlalu berkonsentrasi pada hal-
hal yang prosedural dan mekanistik. Hal itu sering kita jumpai di kelas,
misalnya penyampaian konsep matematika hanya secara informatif dan siswa
dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman. Sehingga kurangnya
pemahaman terhadap matematika praktis dan pembelajaran kurang bermakna.
Akibatnya kemampuan penalaran dan kompetensi strategis siswa kurang
berkembang.
Padahal salah satu kompetensi inti pada kurikulum 2013 (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2013) adalah siswa diharapkan mengolah,
menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan
mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan. Pentingnya
kemampuan penalaran juga dijelaskan oleh NCTM (dalam O’Connell, 2007),
karena kemampuan penalaran dapat membantu siswa untuk memperluas
pemikiran mereka, memperkuat pemahaman tentang konsep dan keterampilan
matematika, serta belajar untuk berpikir melalui cara yang berbeda dengan
teman sekelasnya tentang mengemukakan pendapat dan memecahkan suatu
masalah.
Sehingga berdasarkan pada kompetensi inti kurikulum 2013,
terbentuknya kemampuan penalaran siswa merupakan salah satu tujuan
pembelajaran matematika. Dari kemampuan penalaran yang ada dalam diri
siswa, dapat diketahui sejauh mana siswa telah memahami, menyelesaikan
masalah, mengetahui manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Priatna, melaluli kegiatan bernalar dalam matematika siswa
diharapkan dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian yang masuk
akal dan logis. Dengan demikian siswa merasa yakin bahwa matematika
dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi.
Di samping itu menurut Widdiharto, kemampuan penalaran siswa
tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis,sistematis, dan memiliki
sifat objektif, jujur ,dan disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
penalaran siswa sangat penting, sehingga perlu dikembangkan.
Pengembangan kemampuan matematis siswa berhubungan dengan
pendekatan pembelajaran yang diterapkan. Pengembangan kemampuan
penalaran memerlukan pembelajaran yang mampu mengakomodasi proses
kognitif, proses bernalar, sikap kritis bertanya siswa. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang dapat mewadahi proses dan aktivitas di atas adalah
pendekatan RMT (Rigorous Mathematical Thinking). Karena dalam
pendekatan RMT (Rigorous Mathematical Thinking) siswa dimedasi untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada, tanpa diberitahukan langsung.
Jadi dalam hal ini terjadi proses kognitif untuk menemukan jawaban tersebut.
RMT (Rigorous Mathematical Thinking) memiliki beberapa kelebihan
jika diterapkan dalam pembelajaran matematika (dalam Sofa, 2013).
Kelebihan tersebut diantaranya adalah : (1) Dapat mengembangkan fungsi
kognitif, operasi mental, dan konseptualisasi siswa. (2) Dapat melatih
ketajaman siswa dalam f okus, persepsi, dan daya kritisnya. (3) Siswa dapat
memperoleh dan mengonstruksi konsep matematika secara cermat, sehingga
konsep benar-benar tertanam dalam pikiran siswa.
Dapat dilihat dari manfaat RMT (Rigorous Mathematical Thinking)
diatas, bahwa RMT (Rigorous Mathematical Thinking) sudah sesuai dengan
apa yang dibutuhkan untuk mengakomodir kemampuan penalaran siswa.
Menurut Budiarto, dkk. (2012) dalam pemahaman konsep dengan intervensi
RMT (Rigorous Mathematical Thinking) terjadi dengan baik apabila siswa
memanfaatkan peralatan psikologis yang dimiliki sebelumnya.
Pemanfaatan peralatan psikologis matematis merupakan salah satu hal
yang ditekankan dalam teori RMT (Rigorous Mathematical Thinking). Kinard
& Kozulin (2008:86—88) mengatakan bahwa untuk berpikir matematis
secara Rigorous diperlukan tiga level fungsi kognitif. Level 1 merupakan
fungsi kognitif umum untuk berpikir kualitatif, level 2 merupakan fungsi
kognitif untuk berpikir kuantitatif dengan ketelitian, dan level 3 merupakan
fungsi kognitif untuk menyamaratakan berpikir logis relasional abstrak dalam
budaya matematika.
Level 1 adalah level fungsi kognitif umum untuk berpikir kualiatif yang
meliputi lima fungsi kognitif, yaitu pelabelan-visualisasi, pembandingan,
pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi,
penggunaan lebih dari satu sumber informasi, dan penyandian-pemecahan
kode. Level 2 adalah level fungsi kognitif untuk berpikir kuantitatif dengan
ketelitian yang meliputi enam fungsi kognitif, yaitu pengawetan ketetapan,
pengukuran ruang dan hubungan spasial, pengukuran waktu dan hubungan
temporal, penganalisisan-pengintegrasian, penggeneralisasian, dan ketepatan.
Level 3 adalah level fungsi kognitif untuk menyamaratakan, berpikir logis,
relasional abstrak dalam budaya matematika yang meliputi enam fungsi
kognitif, yaitu pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya, penyediaan
dan pengartikulasian kejadian matematis logis, pendefinisan masalah, berpikir
hipotesis-inferensial, pemroyeksian dan perestrukturisasian hubungan, dan
pembentukan hubungan kuantitatif proporsional.
Berdasarkan penjelasan komponen dalam setiap level fungsi kognitif,
dapat dikatakan bahwa kemampuan penalaran saling berkaitan dengan fungsi
kognitif RMT (Rigorous Mathematical Thinking) dalam hal pembentukan
konsep dan penyelesaian masalah.
Untuk mengetahui lebih lanjut keterkaitan dan hubungan antara
kemampuan penalaran siswa dan fungsi kongnitf dalam RMT (Rigorous
Mathematical Thinking). Untuk itu, penulis mengusulkan judul makalah
seminar pendidikan matematika yaitu “Aspek Kemampuan Penalaran
Matematis Pada Fungsi Kognitif RMT (Rigorous Mathematical Thinking) ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis mengambil
suatu rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakan aspek penalaran yang ada di dalam fungsi kognitif RMT
(Rigorous Mathematical Thinking) ?”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penalaran
Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran, demikian dinyatakan oleh
Soekadijo (1985:3). Adapun Suhartoyo dan Endang (1979: 10) memberikan
definisi penalaran sebagai berikut,
“Penalaran adalah proses dari budi manusia yang berusaha tiba pada suatu keterangan baru dari sesuatu atau beberapa keterangan lain yang telah diketahui dan keterangan yang baru itu mestilah merupakan urutan kelanjutan dari sesuatu atau beberapa keterangan yang semula itu.
Soekadijo membuat kronologi mengenai terjadinya penalaran. Proses
berpikir dimulai dari pengamatan indera atau observasi empirik. Proses itu di
dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan proporsi sekaligus.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan indera yang sejenis, pikiran menyusun
proporsi yang sejenis pula. Proses inilah yang disebut dengan penalaran ,yaitu
bahwa berdasarkan sejumlah proporsi yang diketahui atau dianggap benar
kemudian digunakan untuk menyimpulkan sebuah proporsi baru yang
sebelumnya tidak diketahui (Soekadijo,1985: 6).
Masih mengenai definisi penalaran, Keraf (1982:5) menjelaskan
penalaran (jalan pikiran atau reasoning), sebagai : “proses berpikir yang
berusaha mengubung-hubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada
suatu kesimpulan”.
Adapun Copi dalam Shadiq menyatakan “reasoning is a special kind of
thinking in which inference take place, in which conclusions are drawn from
premise”. Berdasarkan definisi tersebut dapat diterjemahkan menjadi
penalaran merupakan kegiatan, proses, atau aktivitas berpikir untuk menarik
suatu kesimpulan atau membuat suatu pertanyaan baru berdasar pada
beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang
disebut premis. Dari definisi yang dinyatakan Copi tersebut dapat diketahui
bahwa kegiatan penalaran terfokus pada upaya merumuskan kesimpulan
berdasarkan beberapa pernyataan yang dianggap benar.
B. Kemampuan Penalaran Matematika
Matematika pada hakekatnya merupakan suatu ilmu yang cara
bernalarnya deduktif formal dan abstrak. Objek kajian matematika tidak
hanya terfokus pada kuantitas berupa bilangan dan operasinya namun lebih
dititikberatkan kepada hubungan, pola, bentuk, dan struktur.
Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan
mathematical reasoning. Brodie (2010:7) menyatakan bahwa “Mathematical
reasoning is reasoning about and with the object of mathematics”.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis adalah
penalaran mengenai dan dengan objek matematika. Objek matematika dalam
hal ini adalah cabang-cabang matematika yang dipelajari seperti statistika,
aljabar, geometri dan sebagainya.
Selain itu Math Glosary menyatakan definisi penalaran matematis
sebagai berikut , “Mathematical reasoning : thinking through math problem
logically in order to arrive at solutions. It involves being able to identify what
is important and unimportant in solving a problem and to explain ot justify a
solution”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis
adalah berpikir mengenai permasalahan-permasalahan matematika secara
logis untuk memperoleh penyelesaian dan bahwa penalaran matematis
mensyaratkan kemampuan untuk memilah apa yang penting dan tidak penting
dalam menyelesaikan sebuah permasalahan serta untuk menjelaskan atau
memberikan alasan atas sebuah penyelesaian.
Penalaran merupakan tahapan berpikir matematika tingkat tinggi,
mencakup kapasitas berpikir secara logis dan sistematis. Terdapat dua jenis
penalaran matematika, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.
1. Penalaran Induktif
Penalaran induktif merupakan suatu kegiatan,suatu proses ,atau
suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat
suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasarkan
beberapa pernyataan khusus yang diketahui kebenarannya. Dalam hal
ini telah terjadi proses berpikir yang berusaha menghubung-
hubungkan fakta yang sudah diketahui menuju kepada suatu
kesimpulan yang bersifat umum.
2. Penalaran Deduktif.
Deduksi didefinisikan sebagai proses penalaran yang
menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya
dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus. Pada penalaran
deduktif proses penalaran konklusinya diturunkan secara mutlak dari
premis-premisnya. Pada deduksi yang valid atau sahih, kesimpulan
yang didapat dinyatakan tidak akan pernah salah jika premis-
premisnya bernilai benar. Melalui penalaran deduktif dapat
menyimpulkan informasi lebih banyak daripada penalaran induktif.
Artinya, dari keterangan tertentu dapat ditarik kesimpulan tentang hal-
hal lain tanpa perlu memeriksanya secara langsung
C. Indikator Penalaran Matematika
Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran matematika bila ia mampu
menggunakan penalaran pada pola,dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika. Departemen Pendidikan Nasional dalam
Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 november
2004, diuraikan bahwa indikator siswa yang memiliki kemampuan dalam
penalaran matematika adalah:
1. Mengajukan dugaan (conjectures)
2. Melakukan manipulasi matematika
3. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti
terhadap beberapa solusi
4. Menarik kesimpulan dari pernyataan
5. Memeriksa kesahihan suatu argumen
6. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi.
Sedangkan menurut Sumarmo, indikator penalaran matematika pada
pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat :
1. Menarik kesimpulan logis
2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat, dan
hubungan
3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi
4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik
5. Menyusun dan menguji konjektur
6. Merumuskan lawan contoh (counter example)
7. Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen
8. Menyusun argumen yang valid
9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan
induksi matematika.
D. Rigorous Mathematical Thinking (RMT)
Paradigma RMT (Rigorous Mathematical Thinking) dikembangkan oleh
James T. Kinard berdasarkan pada dua teori belajar, yaitu teori sosio-kultural
Vygotsky dan teori MLE (Mediated Learning Experience) Reuven Feuerstein
(Kinard & Kozulin, 2005).
Kinard (2007) mendefinisikan berpikir matematis rigor sebagai
perpaduan dan pemanfaatan operasi mental untuk: (1) Memperoleh
pengetahuan tentang pola dan hubungan, (2) Menerapkan peralatan dan
skema yang diperoleh secara kultural untuk menguraikan pengetahuan
tersebut dan representasi abstraknya untuk membentuk pemahaman dan
pengertian, (3) Mentransformasi dan menggeneralisasi munculnya
konseptualisasi dan pemahaman tersebut ke dalam gagasan koheren, logis,
dan jaringan ide, (4) Merencanakan penggunaan ide-ide tersebut untuk
memfasilitasi penyelesaian masalah dan penurunan pengetahuan baru dalam
berbagai konteks dan bidang aktivitas manusia, (5) Melakukan pemeriksaan
kritis, analisis, instropeksi dan pemantauan struktur, operasi dan proses
berpikirnya untuk pemahaman dirinya dan integritas intrinsiknya.
Dalam paradigma RMT, proses kognitif yang didefinisikan dengan baik
akan menggerakkan prosedur dan operasi matematis. Melalui struktur
hubungan alat kognitif matematis tertentu, penggunaan proses kognitif dan
operasi matematis diorganisasikan dan diintegrasikan secara sistematis untuk
membangun pemahaman terhadap konsep matematika tertentu. Praktek yang
ketat dalam pembentukan konsep tersebut akan membangun kebiasaan
pemikiran siswa untuk berpikir teoritis matematis dan metakognisi. Kualitas
inilah yang akan membawa siswa kepada level refleksi yang lebih tinggi
mengenai pola dan hubungan serta membentuk wawasan mendalam pada
matematika.
Kedua teori yang menjadi landasan paradigma RMT (Rigorous
Mathematical Thinking) diatas diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Sosio-Kultural Vygotsky
Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli psikologi dari Rusia, Lev
Semionovich Vygotsky (1896-1934). Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan proses mental anak yang lebih tinggi tergantung pada
hadirnya perantara mediasi dalam interaksi anak dengan lingkungan.
Teori Sosio-Kultural Vygotsky (dalam Budiarto, 2012)
mengidentifikasi adanya tiga kelompok mediator antara siswa dan
lingkungannya, yaitu :
a. Mediator Fisik
Mediator fisik meliputi peralatan materiil dan teknologi.
Peralatan materiil hanya mempunyai pengaruh tidak langsung pada
proses psikologis manusia, karena mereka diarahkan pada proses
natural dari manusia. Meskipun demikian, penggunaan peralatan
materiil telah membantu pada proses mental manusia. Peralatan
materiil tidak hadir sebagai implementasi individual. Peralatan
materiil mengisyaratkan penggunaaan kolektif, komunikasi
interpersonal, dan representasi simbolis. (Kozulin & Pressesien,
1995).
b. Mediator Alat Simbolis
Mediator alat simbolis dapat ditunjukkan melalui isyarat,
bahasa, dan grafik. Peralatan psikologis termasuk dalam mediator
alat simbolis (Kinard & Kozulin, 2008)
c. Mediator Manusia
Mediator manusia meliputi orang tua, guru, teman sebaya dan
mentor lainnya (Kinard & Kozulin, 2008)
2. Teori MLE (Mediated Learning Experience)
Mediated Learning Experience pertama kali digagas oleh Reuven
Feuerstein (Kinard & Kozulin, 2008:74). Sama halnya dengan
Vygotsky, Feuerstein juga tak sepaham dengan pemikiran Piaget. Dari
gagasan Feuerstein tentang belajar termediasi ini kemudian Feuerstein
mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan teori Mediated
Learning Experience (MLE). Feuerstein (Kinard, 2001)
mendefinisikan MLE sebagai kualitas belajar yang menuntut mediator
manusia yang membimbing dan memelihara mediasi menggunakan
tiga kriteria pokok diantaranya intensionalitas, transendensi, dan
makna. Parameter MLE dapat dikelompokan dalam tiga kriteria yang
merupakan kriteria terpenting untuk menggambarkan MLE, yaitu :
a. Mediasi intensionalitas dan timbal balik (intentionality and
reciprocity mediation),
Dalam mediasi intensionalitas dan timbal balik perantara
(Mediator) menyampaikan tujuan dan arah interaksi, dengan
perhatian dan aktivitas yang terfokus pada tujuan suatu pertemuan,
dan mengandung fokus perhatian dan komunikasi yang jelas dan
terarah. Di dalam interaksi intensionalitas mengimplikasikan
bahwa mediator harus terus menerus membiasakan perilaku mereka
dengan tujuan untuk menarik dan mempertahankan perilaku anak
serta membuat tugas dapat dijangkau oleh anak.
b. Mediasi makna (meaning mediation).
Dalam mediasi makna, perantara (Mediator) menanamkan
pertemuan dengan pentingnya dan relevansinya perasaan dan
aktivitas, mengidentifikasi dan menetapkan nilai-nilai, dukungan
dan validasi perasaan dan alasan interaksi.
c. Mediasi transendensi (transcedence mediation)
Dalam mediasi transendensi ini, perantara (mediator)
menjembatani pertemuan dengan isu-isu yang lebih luas tentang
pengalaman dan makna masa depan, mengidentifikasi aturan dan
tema terulang, mengarahkan “disini dan sekarang” untuk
mengantisipasi pengalaman masa depan.
E. Fungsi Kognitif RMT (Rigorous Mathematical Thinking)
Fungi kognitif merupakan sebuah proses mental yang memiliki makna
khusus. (Kinard, 2007).
Dalam teori Rigorous Mathematical Thinking (RMT). Kinard & Kozulin
(2008:86—88) mengatakan bahwa untuk berpikir matematis secara rigorous
diperlukan tiga level fungsi kognitif. Level 1 merupakan fungsi kognitif
umum untuk berpikir kualitatif, level 2 merupakan fungsi kognitif untuk
berpikir kuantitatif dengan ketelitian, dan level 3 merupakan fungsi kognitif
untuk menyamaratakan berpikir logis relasional abstrak dalam budaya
matematika.
Sebelum siswa terlibat dalam penalaran konseptual secara rigor, proses
kognitifnya terjadi pada level konkret dan didominasi oleh fungsi psikologis
alami yang sudah ada. Hal inilah yang terjadi pada level pertama yaitu
berpikir kualitatif. Kemudian, pada level kedua, berpikir kuantitatif dengan
ketelitian, fungsi-fungsi kognitif yang digunakan sudah lebih terstruktur
daripada fungsi kognitif umum pada level pertama. Dan yang terakhir, pada
level ketiga yaitu berpikir logis relasional abstrak, terjadi fungsi kognitif yang
mengintegrasikan proses yang berkaitan dengan kuantitas dan ketepatan
kedalam struktur unik dan digeneralisasikan. Ketiga level tersebut
mendefinisikan proses mental yang meluas mulai dari keterampilan kognitif
umum ke fungsi matematis khusus yang lebih tinggi. Berikut adalah uraian
ketiga level fungsi kognitif yang diuraikan oleh Kinard dan kozulin (2008):
1. Level 1 adalah level fungsi kognitif umum untuk berpikir kualiatif yang
meliputi lima fungsi kognitif, yaitu pelabelan-visualisasi, pembandingan,
pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan dan melengkapi
informasi, penggunaan lebih dari satu sumber informasi, dan penyandian-
pemecahan kode.
2. Level 2 adalah level fungsi kognitif untuk berpikir kuantitatif dengan
ketelitian yang meliputi enam fungsi kognitif, yaitu pengawetan
ketetapan, pengukuran ruang dan hubungan spasial, pengukuran waktu
dan hubungan temporal, penganalisisan-pengintegrasian,
penggeneralisasian, dan ketepatan.
3. Level 3 adalah level fungsi kognitif untuk menyamaratakan, berpikir
logis, relasional abstrak dalam budaya matematika yang meliputi enam
fungsi kognitif, yaitu pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya,
penyediaan dan pengartikulasian kejadian matematis logis, pendefinisan
masalah, berpikir hipotesis-inferensial, pemroyeksian dan
perestrukturisasian hubungan, dan pembentukan hubungan kuantitatif
proporsional.
Tabel 1: Level Fungsi Kognitif RMTLevel Fungsi
Kognitif Fungsi Kognitif Keterangan
Level 1: Berpikir Kualitatif
Pelabelan (Labelling) Memberi suatu nama bangun berdasarkan atribut kritisnya (misalnya simbol sejajar, sama panjang, siku-siku)
Visualisasi (Visualizing)
Mengonstruk gambar (bangun) dalam pikiran atau menghasilkan konstruk yang terinternalisasi dari sebuah objek yang namanya diberikan
Pembandingan (Comparing)
Mencari persamaan dan perbedaan (dalam hal ciri atau atribut kritisnya) antara dua atau lebih objek
Pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi (Searching systematically to gather clear and complete information)
Memperhatikan (misal gambar) dengan seksama, terorganisir, dan penuh rencana untuk menumpulkan dan melengkapi informasi
Penggunaan lebih dari satu sumber informasi (Using more than one
Bekerja secara mental dengan lebih dari satu konsep pada saat yang sama (warna, ukuran, bentuk atau situasi dari berbagai
Level Fungsi Kognitif Fungsi Kognitif Keterangan
source of information) sudut pandnag)Penyandian (Encoding) Memaknai (objek) ke dalam kode/simbol Pemecahan kode (Decoding)
Mengartikan suatu kode/simbol suatu objek
Level 2: Berpikir Kuantitatif dengan Ketelitian
Pengawetan ketetapan (Conserving constancy)
Mengidentifikasi apa yang tetap sama dalam hal atribut, konsep atau hubungan sementara beberapa lainnya berubah
Pengukuran ruang dan hubungan spasial (Quantifying space and spatial relationships)
Menggunakan referensi internal/eksternal sebagai panduan untuk mengatur, menganalisis hubungan spasial berdasarkan hubungan keseluruhan ke sebagian
Penganalisisan (Analyzing)
Memecahkan keseluruhan atau menguraikan kuantitas ke dalam atribut kritis atau susunannya
Pengintegrasian (Integrating)
Membangun keseluruhan dengan menggabungkan bagian-bagian dari atribut kritisnya
Penggeneralisasian (Generalizing)
Mengamati dan menggambarkan sifat suatu objek tanpa merujuk ke rincian khusus ataupun atribut kritisnya
Ketelitian (Being Precise)
Menyimpulkan atau memutuskan dengan fokus tepat
Level 3: Berpikir relasional abstrak
Pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya (Activating prior mathematically related knowledge)
Menghimpun pengetahuan sebelumnya untuk menghubungkan dan menyesuaikan aspek yang sedang dipikirkan dengan aspek pengalaman sebelumnya
Penyediaan bukti matematika logis (Providing mathematical logical evidence)
Memberikan rincian pendukung, petunjuk, dan bukti yang masuk akal untuk membuktikan kebenaran suatu pernyataan
Pengartikulasian (pelafalan) kejadian matematika logis (Articulating mathematical logical evidence)
Membangun dugaan, pertanyaan, pencarian jawaban, dan mengomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika
Pendefinisian masalah (Defining the problem)
Mencermati masalah dengan menganalisis dan melihat hubungan untuk mengetahui
Level Fungsi Kognitif Fungsi Kognitif Keterangan
secara tepat apa yang harus dilakukan secara matematis
Berpikir hipotesis (Hypothetical thinking)
Membentuk proposisi matematika atau dugaan dan mencari bukti matematis untuk mendukung atau menyangkal proposisi atau dugaannya tersebut
Berpikir inferensial (Inferential thinking)
Mengembangkan generalisasi dan bukti yang valid berdasarkan sejumlah kejadian matematika
Pemroyeksian dan perestrukturisasian hubungan (Projecting and restucturing relationship)
Membuat hubungan antara objek atau kejadian yang tampak dan membangun kembali keberadaan hubungan antara objek atau kejadian untuk memecahkan masalah baru
Pembentukan hubungan kuantitatif proporsional (Forming proportional quantitative relationships)
Menetapkan hubungan kuantitatif yang menghubungkan konsep A dan konsep B dengan menentukan beberapa banyaknya konsep A dan hubungannya dengan konsep B
Berpikir induktif matematis (Mathematical inductif thinking)
Mengambil aspek dari berbagai rincian matematis yang diberikan untuk membentuk pola, mengkategorikan ke dalam hubungan umum dan mengatur hasilnya untuk membentuk aturan matematika umum, prinsip, panduan
Berpikir deduktif matematis (Mathematical deductive thinking)
Menerapkan aturan umum atau rumus untuk situasi khusus
Berpikir relasional matematis (Mathematical rational thinking)
Mempertimbangkan proposisi matematika yang menyajikan hubungan antara dua objek matematika, A dan B, dengan proposisi matematika kedua yang menyajikan hubungan antara konsep A dan C dan kemudian menyimpulkan hubungan antara B dan C
Penjabaran aktivitas matematika melalui kategori kognitif (Elaborating mathematical activity through cognitive categories)
Merefleksikan dan menganalisis aktivitas matematika
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
F. Aspek Kemampuan Penalaran dalam Fungsi Kognitif RMT (Rigorous
Mathematical)
Jika kita berpedoman pada pendapat Sumarmo, indikator penalaran
matematika pada pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat :
1. Menarik kesimpulan logis
2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat, dan
hubungan
3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi
4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik
5. Menyusun dan menguji konjektur
6. Merumuskan lawan contoh (counter example)
7. Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen
8. Menyusun argumen yang valid
9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan
induksi matematika.
Dari kesembilan indikator tersebut dapat di deskripsikan masing-masing
ke dalam level fungsi kognitif RMT (Rigorous Mathematical Thinking),
1. Menarik kesimpulan logis
Jika kita lihat pada tabel 1, menarik kesimpulan logis sesuai
dengan fungsi kognitif ketelitian (being precise) yang terdapat pada
level dua: berpikir kuantitatif dengan ketelitian.
Tabel 2: Fungsi Kognitif KetelitianFungsi Kognitif Keterangan
Ketelitian (Being Precise)
Menyimpulkan atau memutuskan dengan fokus tepat
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat, dan
hubungan
Pada level tiga (Berpikir Relasional Abstrak) terdapat fungsi
kognitif penyediaan bukti matematika logis (Providing mathematical
logical evidence) yang isinya sesuai dengan indikator memberikan
penjelasan dengan model, fakta,sifat-sifat, dan hubungan
Tabel 3: Fungsi Kognitif Penyediaan Bukti Matematika logisFungsi Kognitif Keterangan
Penyediaan bukti matematika logis (Providing mathematical logical evidence)
Memberikan rincian pendukung, petunjuk, dan bukti yang masuk akal untuk membuktikan kebenaran suatu pernyataan
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi
Indikator memperkirakan jawaban dan proses solusi sesuai
dengan fungsi kognitif pengartikulasian (pelafalan) kejadian
matematika logis (Articulating mathematical logical evidence) pada
level tiga (Berpikir Relasional Abstrak). Selain itu pada level tiga ini
juga terdapat fungsi kognitif pendefinisian masalah yang juga sesuai
dengan indikator memperkirakan jawaban dan proses solusi.
Tabel 4: Fungsi Kognitif pengartikulasian kejadian matematika logis dan pendefinisian masalah
Fungsi Kognitif KeteranganPengartikulasian (pelafalan) kejadian matematika logis (Articulating mathematical logical evidence)
Membangun dugaan, pertanyaan, pencarian jawaban, dan mengomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika
Pendefinisian masalah (Defining the problem)
Mencermati masalah dengan menganalisis dan melihat hubungan untuk mengetahui secara tepat apa yang harus dilakukan secara matematis
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik
Kegiatan yang ada pada fungsi kognitif pendefinisian masalah
adalah mencermati masalah dengan menganalisis dan melihat
hubungan untuk mengetahui secara tepat apa yang harus dilakukan
secara matematis. Pada kegiatan tersebut sesuai dengan indikator
menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik.
Tabel 5: Fungsi Kognitif Pendefinisian MasalahFungsi Kognitif Keterangan
Pendefinisian masalah (Defining the problem)
Mencermati masalah dengan menganalisis dan melihat hubungan untuk mengetahui secara tepat apa yang harus dilakukan secara matematis
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
5. Menyusun dan menguji konjektur
Dapat dilihat bahwa menyusun dan menguji konjektur terletak
pada fungsi kognitif berpikir hipotesis. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa kegiatan pada fungsi kognitif ini adalah membentuk proposisi
matematika atau dugaan dan mencari bukti matematis untuk
mendukung atau menyangkal proposisi atau dugaan tersebut.
Tabel 6: Fungsi Kognitif Menyusun dan Menguji KonjekturFungsi Kognitif Keterangan
Berpikir hipotesis (Hypothetical thinking)
Membentuk proposisi matematika atau dugaan dan mencari bukti matematis untuk mendukung atau menyangkal proposisi atau dugaannya tersebut
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
6. Merumuskan lawan contoh (counter example)
Merumuskan lawan contoh (counter example) merupakan salah
satu cara untuk mendukung atau menyangkal suatu porposisi atau
dugaan, sehingga sesuai dengan apa yang dilakukan pada fungsi
kognitif berpikir hipotesis.
Tabel 7: Fungsi Kognitif berpikir hipotesisFungsi Kognitif Keterangan
Berpikir hipotesis (Hypothetical thinking)
Membentuk proposisi matematika atau dugaan dan mencari bukti matematis untuk mendukung atau menyangkal proposisi atau dugaannya tersebut
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
7. Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen
Untuk indikator mngikuti aturan inferensi,sedangkan memeriksa
validitas argumen dapat dilakukan pada saat refleksi dan analisis
aktivitas matematika yang terdapat pada fungsi kognitif penjabaran
aktivitas matematika melalui kategori kognitif.
Tabel 8: Fungsi Kognitif Menyusun dan Menguji KonjekturFungsi Kognitif Keterangan
Berpikir inferensial (Inferential thinking)
Mengembangkan generalisasi dan bukti yang valid berdasarkan sejumlah kejadian matematika
Penjabaran aktivitas matematika melalui kategori kognitif (Elaborating mathematical activity through cognitive categories)
Merefleksikan dan menganalisis aktivitas matematika
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
8. Menyusun argumen yang valid
Indikator menyusun argumen yang valid terdapat pada
keterangan fungsi kognitif yaitu mengembangkan generalisasi dan
bukti yang valid berdasarkan sejumlah kejadian matematika.
Tabel 9: Fungsi Kognitif Menyusun dan Menguji KonjekturFungsi Kognitif Keterangan
Berpikir inferensial (Inferential thinking)
Mengembangkan generalisasi dan bukti yang valid berdasarkan sejumlah kejadian matematika
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan
induksi matematika
Menurut Wikipedia, induksi matematika merupakan pembuktian
deduktif, meski namanya induksi. Sesuai dengan penjalasan tersebut
dapat dikatakan bahwa indikator diatas sesuai dengan fungsi kognitif
berpikir deduktif matematis.
Tabel 9: Fungsi Kognitif Menyusun dan Menguji KonjekturFungsi Kognitif Keterangan
Berpikir deduktif matematis (Mathematical deductive thinking)
Menerapkan aturan umum atau rumus untuk situasi khusus
Sumber : Kinard dan Kozulin (2008:86-88)
BAB III
PENUTUP
Jika kita hubungakan beberapa indikator menurut Sumarmo dengan
fungsi kognitif RMT dapat disimpulkan bahwa menarik kesimpulan logis
sesuai dengan fungsi kognitif ketelitian (being precise). Memberikan
penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan sesuai dengan
fungsi kognitif penyediaan bukti matematika logis (providing mathematical
logical evidence). Memperkirakan jawaban dan proses solusi sesuai dengan
fungsi kognitif pengartikulasian (pelafalan) kejadian matematika logis
(Articulating mathematical logical evidence) pada level tiga (Berpikir
Relasional Abstrak). Selain itu pada level tiga ini juga terdapat fungsi
kognitif pendefinisian masalah yang juga sesuai dengan indikator
memperkirakan jawaban dan proses solusi.
Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik
sesuai dengan fungsi kognitif pendefinisian masalah (defining the problem).
Menyusun dan menguji konjektur dan merumuskan lawan contoh (counter
example) sesuai dengan fungsi kognitif berpikir hipotesis (hypothetical
thinking). Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen sesuai
dengan fungsi kognitif berpikir inferensial (Inferential thinking) dan
penjabaran aktivitas matematika melalui kategori kognitif (elaborating
mathematical activity through cognitive categories).
Menyusun argumen yang valid sesuai dengan berpikir inferensial
(inferential thinking).Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan
menggunakan induksi matematika sesuai dengan berrpikir deduktif matematis
(mathematical deductive thinking)
Daftar Pustaka
Brodie, Karin. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom. New York:
Budiarto, Mega Teguh dkk.2012.Rigorous Mathematical Thinking dalam Pembelajaran Geometri.Penelitian tidak dipublikasikan: Unesa Surabaya.
Fitriyani, Harina. 2011. Identifikasi Kemampuan Berpikir Matematis Rigor Siswa SMP Berkemampuan Matematika Sedang dalam Menyelesaikan Soal Matematika. Makalah dipresentasikan pada seminar nasional UNY pada 3 Desember 2011
IMSTEP-JICA. 2000. Monitoring Report dan Carried practice on Mathematics and sciences Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP-JICA
Keraf, Gorys. 1987. Argumentasi dan Narasi.Komposisi Lanjutan III. Jakarta: PT Gramedia
Kinard, J.T..2006. Creating Rigorous Mathemaical Thinking: A Dynamic that Drives Mathematical and Science Concptual Development. Diakses tanggal 25 Mei 2013 dari http://scholar.google.co.id/scholar?q=Creating+Rigorous+Mathematical+Thinkin 0058 g %3A+A+Dynamic+that+Drives+Mathematics+and+Science+Conceptual+Development&btnG=&hl=id&as_sdt=0%2C5.
Kinard, J.T.2007.Method of Apparatus for Creating Rigorous Mathematical Thinking.Retrieved on 24 2013 from: http://www.freepatentsonline.com/y2007/0111172.html
Kinard, J.T & Kozulin, A.2005.Rigorous Mathematical Thinking: Mediated Learning and Psychological Tools.Focus on Learning Problem in Mathematics 27.3 (Summer, 2005): 1(29).Academic OneFile.Gale.Universitas Negeri Surabaya.Retrieved on 20 Oct 2009 from http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodld=AONE
Kinard, J.T & Kozulin, A.2008.Rigorous Mathematical Thinking: Conceptual Formation in the Mathematics Classroom.New York: Cambridge University Press
Kozulin, A. 1998. Psychological Tools : A Sociocultural Approach to education. London : Harvard University Press.
Priatna, N. 2003. Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota bandung. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung Press
Shadiq, Fadjar. 2007. Penalaran atau Reasoning. Perlu Dipelajari Para Siswa di Sekolah?. http://prabu.telkom.us/2007/08/29/penalaran-atau-reasoning/
Soekadijo, R.G. Logika Dasar. Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: PT. Gramedia.1985.
Suhartoyo Hardjosatoto dan Endang Daruni Asdi. Pengantar Logika Modern Jilid I. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.1979.
UNESA. 2007. Pedoman Penulisan Artikel Jurnal, Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.