BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Semantik (Semantics) Semantik ...
SEMANTIK - · PDF fileSistem bahasa ini terdiri ... subsistem fonologi, subsistem...
Click here to load reader
Transcript of SEMANTIK - · PDF fileSistem bahasa ini terdiri ... subsistem fonologi, subsistem...
BAB 7
TATARAN LINGUISTIK (4) : SEMANTIK
Makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Semantik, dengan
objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun
membangun ini: makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan
sintaksis. oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat,
sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih
besar, melainkan merupazkan unsur yang berada pada semua tataran itu,
meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama.
Hockett (1954) misalnya, salah seorang tokoh strukturalis menyatakan
bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaankebiasaan.
Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem gramatika,
subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem
fonetik. Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral.
Sedangkan subsistem semantik dan fonemik bersifat periferal. Objek semantik
adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem
gramatika (morfologi dan sintaksis). semantik adalah tiak ada artinya, sebab
kedua komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
7.1. HAKIKAT MAKNA
Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari
dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang
Nama : Setyaningyan
NIM : 1402408232
wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan”
yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian).
7.2. JENIS MAKNA
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacammacam
bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.
7.2.1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adlaah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis
binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’. Dengan contoh itu dapat juga
dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang
sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi
proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi.
Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber dengan dasar baju melahirkan
makna gramatikan ‘mengenakan atau memakai baju’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di
dalam satu konteks.
7.2.2. Makna Referensial dan Non Referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada
referensnya, atau acuannya. Katakata seperti kuda, merah, dan gambar adalah
termasuk katakata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia
nyata. Sebaliknya katakata seperti dan, atau, dan karena adalah termasuk kata
kata yang tidak bermakna ferensial, karena katakata itu tidak mempunyai
referens.
7.2.3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif
‘sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’.
Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna
denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok
orang yang menggunakan kata tersebut.
7.2.4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas
dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif adalah karena katakata
tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Kata babi, misalnya,
berasosiasi dengan rasa jijik, haram, dan kotor (bagi yang beragama Islam).
7.2.5. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu
baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya.
Yang disebut dengan istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang
tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. oleh karena itu, sering
dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah
istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
7.2.6. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satu ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari
makna unsurunsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual
menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’.
Dua macam idiom, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian.
Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsurunsurnya
sudah melebuh menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari
seluruh kesatuan itu. Bentukbentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan
meja hijau termasuk contoh idiom penuh. Idiom sebagian adalah idiom yang salah
satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. misalnya buku putih
yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’.
Yang disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsurunsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa ‘seperti anjing
dengan kucing’ yang bermakna dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur.
7.3. RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Dalam pembicaraan tentang relasi makna
ini biasanya dibicarakan masalahmasalah yang disebut sinonim, antonim,
polisemi, homonimi, hiponimi, ambiquiti, dan redundansi.
7.3.1. Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Misalnya, antara kata betul dengan kata benar.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
Pertama, faktor waktu. Umpamanya kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan.
Kedua, faktor tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta adalah dua
buah kata yang bersinonim.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata
yang bersinonim.
Keempat, faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan aku adalah dua buah kata
yang bersinonim.
Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua
buah kata yang bersinonim.
Keenam, faktor nuansa makna. Umpamanya katakata melihat, melirik,
menonton, meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim.
Dari keenam faktor yang dibicarakan di atas, bisa disimpulkan bahwa dua
buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau
disubstitusikan.
7.3.2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara
yang satu dengan yang lain. Misalnya, kata buruk berantonim dengan kata baik.
Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan atas
beberapa jenis, antara lain:
Pertama, antonimi yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim
secara mutlak dengan kata mati.
Kedua, antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar
dan kecil berantonimi secara relatif.
Ketiga, antonimi yang bersifat relasional. Umpamanya antara kata membeli
dan menjual, antara kata suami dan istri, dan antara kata guru dan murid.
Antonimi jenis ini disebut relasional karena munculnya yang satu harus
disertai dengan yang lain.
Keempat, antonimi yang bersifat hierarkial. Umpamanya kata tamtama dan
bintara berantonim secara hierarkial; juga antara kata gam dan kilogram.
7.3.3. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai
makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala yang setidaknya mempunyai
makna bagian tubuh manusia.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di
dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya,
atau makna konseptualnya.
7.3.4. Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satu ujaran yang bentuknya
“kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masingmasing
merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata
pacar yang bermakna “inai” dan kata pacar yang bermakna “kekasih”.
Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu
homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah kesamaan
bunyi (fon) antara dua satuan ujaran tanpa memperhatian ejaannya, apakah
ejaannya sama ataukah berbeda.
Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau
ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dalam bahasa Indonesia
bentukbentuk homografi hanya terjadi karena ortografi untuk fonem /e/ dan
fonem /ә/ sama lambangnya yaitu huruf <e>.
Patokan pertama yang harus dipegang adalah bahwa homonimi adalah dua
buah bentuk ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan maknanya
tentu saja berbeda. Sedangkan polisemi adalah sebuah bentuk ujaran yang
memiliki makna lebih dari satu.
7.3.5. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara
kata merpati dan kata burung. Di sini kita lihat makna kata merpati tercakup
dalam makna kata burung. Merpati adalah burung; tetapi burung bukan hanya
merpati.
7.3.6. Ambiquiti atau Ketaksaan
Ambiquiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna
akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini
umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur
suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku
sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi (1) buku sejarah itu baru terbit,
atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.
Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan
dalam menyusun konstruksi beranaforis. Yang perlu diingat adalah konsep bahwa
homonimi adalah dua buah bentuk atau lebih yang kebetulan bentuknya sama,
sedangkan, ambiquiti adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna atau lebih.
7.3.7. Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebihlebihannya
penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat
bola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu
ditendang Dika.
7.4. PERUBAHAN MAKNA
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi
secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang
relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam
waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah.
Faktor penyebab perubahan makna
Pertama, perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
Kedua, perkembangan sosial budaya
Ketiga, perkembangan pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan keilmuan
biasanya mempunyai sejumlah kosakata yang berkenaan dengan bidangnya
itu.
Keempat, pertukaran tanggapan indra. Misalnya, rasa getir, panas, dan asin
ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah.
Kelima, adanya asosiasi. Yang dimaksud dengan adanya asosiasi di sini adalah
adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang
berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut
ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan
dengan ujaran itu.
Perubahan makna kata atau satuan ujaran itu ada beberapa macam. Ada
perubahan yang meluas, ada yang menyempit, ada juga yang berubah total.
Perubahan yang meluas, artinya kalau tadinya sebuah kata bermakna “A”, maka
kemudian menjadi bermakna “B”.
Perubahan makna yang menyempit, artinya kalau tadinya sebuah kata atau
satuan ujaran itu memiliki makna yang sangat umum tetapi kini maknanya
menjadi khusus atau sangat khusus.
Perubahan makna secara total, artinya makna yang dimiliki sekarang sudah
jauh berbeda dengan makna aslinya. Umpamanya, kata ceramah dulu bermakna
‘cerewet, banyak cakap’, sekarang bermakna ‘uraian mengenai suatu hal di muka
orang banyak’.
7.5. MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA
Katakata atau leksemleksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan
atas kelompokkelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang
dimiliki katakata itu. Umpamanya, katakata kuning, merah, hijau, biru, dan ungu
berada dalam satu kelompok, yaitu kelompok warna.
Katakata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai katakata yang
berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal.
7.5.1. Medan Makna
Yang dimaksud dengan medan makna (semantic domain, semantic field)
atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling
berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas
dalam alam semesta tertentu. Misalnya, namanama warna, namanama perabot
rumah tangga.
Katakata atau leksemleksem yang mengelompokkan dalam satu medan
makna, bedasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok
medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik
yang terdapat antara katakata atau unsurunsur leksikal itu.
Kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena katakata
yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan. Sekelompok
kata yang merupakan satu set biasnya mempunyai kelas yang sama, dan
tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Umpamanya, kata remaja merupakan
tahap perkembangan dari kanakkanak menjadi dewasa.
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dalam
memahami konsepkonsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa.
7.5.2. Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen
(yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu.
Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu,
berdasarkan “pengertianpengertian” yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah
memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, dan /
+punya anak.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan
dari bentukbentuk yang bersinonim. Kegunaan analisis komponen yang lain ialah
untuk membuat prediksi maknamakna gramatikal afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi dalam bahasa Indonesia.
Kemudian, oleh Chomsky (1965) prinsipprinsip analisis yang dilakukan
Roman Jacobson dan para ahli antropologi itu digunakan untuk memberi ciriciri
gramatikal dan ciriciri semantik terhadap semua morfem dalam daftar morfem
yang melengkapi tata bahasa generatif transformasinya.
7.5.3. Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
pada 7.5.2. telah disebutkan bahwa berterima tidaknya sebuah kalimat
bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik.
Contoh:
Kambing yang Pak Udin terlepas lagi
Segelas kambing minum setumpuk air
Kambing itu membaca komik
Penduduk DKI Jakarta sekarang ada 50 juta orang
Ketidakberterimaan kalimat Kambing yang Pak Udin terlepas lagi adalah
karena kesalahan gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan
Pak Udin.
Kalimat Segelas kambing minum setumpuk air tidak berterima bukan karena
kesalahan gamatikal tetapi karena kesalahan persesuaian leksikal.
Ketidakberterimaan kalimat Kambing itu membaca komik adalah karena
tidak ada persesuaian antara kata kambing sebagai pelaku dengan kata membaca
sebagai perbuatan yang dilakukan kambing itu.
Mari kita melihat kembali kalimat ‘segelas kambing minum setumpuk air’
dan kalimat ‘kambing itu membaca komik’. Kedua kalimat itu tidak berterima,
bukanlah karena kesalahan gramatikal maupun informasi, melainkan karena
kesalahan semantik. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik di
antara konstituenkonstituen yang membangun kalimat itu.