Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

8
Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus Meratus merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan. Membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi dari arah Tenggara dan membelok ke Utara, hingga perbatasan Kalimantan Timur. Meratus menjadi bagian dari sembilan kabupaten di Kalsel, yakni Kabupaten Kota Baru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, dan Balangan. Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan beberapa vegetasi dominan, seperti Meranti Putih, Meranti Merah, Agathis, Kanari, Nyatoh, Medang, Durian, Gerunggang, Kempas, dan Belatung. Kawasan hutan Meratus yang menjadi hulu sebagian besar daerah aliran sungai (DAS), menjadikan kawasan ini sangat penting bagi Kalsel sebagai wilayah resapan air. Selain itu, juga menggambarkan tipe ekosistem hutan pegunungan yang lengkap. Sepanjang kawasan Meratus, berdiam kelompok masyarakat adat Dayak yang dikenal dengan sebutan Dayak Meratus atau suku Bukit. Sejak beratus-ratus tahun lampau, etnis inilah yang melakukan pengelolaan terhadap kawasan Meratus. Asal-usul Suku Dayak Meratus Suku Dayak Bukit atau Suku Dayak Meratus atau Dayak Banjar yaitu kumpulan sub- suku Dayak yang mendiami sepanjang kawasan pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Selato menduga, suku Bukit termasuk golongan Suku Punan. Tetapi Tjilik Riwut membaginya ke dalam kelompok-kelompok kecil seperti Dayak Alai (Labuhan), Dayak Amandit (Loksado), Dayak Tapin (Harakit), Dayak Kayu Tangi, dan sebagainya, selanjutnya ia menggolongkannya ke dalam Rumpun Ngaju. Namun penelitian terakhir dari segi bahasa yang digunakan sub suku Dayak ini tergolong berbahasa Melayik (bahasa Melayu Lokal). Orang Banjar Hulu sering menamakannya Urang Bukit, sedangkan orang Banjar Kuala sering menamakannya Urang Biaju. Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah terlanjur dimaknai sebagai orang gunung. Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau

Transcript of Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Page 1: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Meratus merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan

Selatan. Membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi dari arah Tenggara dan

membelok ke Utara, hingga perbatasan Kalimantan Timur.

Meratus menjadi bagian dari sembilan kabupaten di Kalsel, yakni Kabupaten Kota

Baru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai

Utara, Tabalong, dan Balangan.

Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan beberapa vegetasi

dominan, seperti Meranti Putih, Meranti Merah, Agathis, Kanari, Nyatoh, Medang, Durian,

Gerunggang, Kempas, dan Belatung.

Kawasan hutan Meratus yang menjadi hulu sebagian besar daerah aliran sungai

(DAS), menjadikan kawasan ini sangat penting bagi Kalsel sebagai wilayah resapan air.

Selain itu, juga menggambarkan tipe ekosistem hutan pegunungan yang lengkap.

Sepanjang kawasan Meratus, berdiam kelompok masyarakat adat Dayak yang dikenal

dengan sebutan Dayak Meratus atau suku Bukit. Sejak beratus-ratus tahun lampau, etnis

inilah yang melakukan pengelolaan terhadap kawasan Meratus.

Asal-usul Suku Dayak Meratus

Suku Dayak Bukit atau Suku Dayak Meratus atau Dayak Banjar yaitu kumpulan sub-

suku Dayak yang mendiami sepanjang kawasan pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan.

Selato menduga, suku Bukit termasuk golongan Suku Punan. Tetapi Tjilik Riwut

membaginya ke dalam kelompok-kelompok kecil seperti Dayak Alai (Labuhan), Dayak

Amandit (Loksado), Dayak Tapin (Harakit), Dayak Kayu Tangi, dan sebagainya, selanjutnya

ia menggolongkannya ke dalam Rumpun Ngaju. Namun penelitian terakhir dari segi bahasa

yang digunakan sub suku Dayak ini tergolong berbahasa Melayik (bahasa Melayu Lokal).

Orang Banjar Hulu sering menamakannya Urang Bukit, sedangkan orang Banjar Kuala sering

menamakannya Urang Biaju.

Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang

disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah terlanjur

dimaknai sebagai orang gunung. Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah

tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau

Page 2: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal

masyarakat lainnya.

Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku

Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada

kabupaten Banjar, kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan,

kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.

Jadi Suku Dayak Meratus, adalah suatu komunitas adat yang ada di pegunungan

Meratus, sebelumnya lebih di kenal dengan sebutan sebagai Dayak Bukit. Dayak Meratus

adalah salah satu dari sekian banyak sub suku Dayak, yang bertempat tinggal di sekitar

pegunungan Meratus.

Beberapa sub etnis suku Dayak Meratus yaitu :

Dayak Pitap, di desa Dayak Pitap dan sekitarnya.

Dayak Alai terdiri atas Dayak Labuhan, Dayak Atiran dan Dayak Kiyu

Dayak Hantakan (Dayak Bukit), di desa Haruyan Dayak.

Dayak Labuan Amas

Dayak Loksado (Dayak Amandit), di kecamatan Loksado.

Dayak Harakit (Dayak Tapin), di desa Harakit dan sekitarnya.

Dayak Paramasan, di kecamatan Paramasan.

Dayak Kayu Tangi (mendiami kawasan Riam Kanan sebelum dijadikan waduk)

Dayak Bangkalaan, di desa Bangkalan Dayak.

Dayak Sampanahan, di kecamatan Sampanahan, Kotabaru.

Dayak Riam Adungan, di desa Riam Adungan.

Dayak Bajuin, di desa Bajuin.

dan lain-lain

Terdapat silang pendapat tentang asal-usul suku Dayak Meratus, menurut Tjilik Riwut

(1979) Dayak Meratus termasuk dalam kelompok Dayak Ngaju, namun masih diragukan

karena dari segi bahasa dan kepercayaan ada perbedaan, sedangkan Idwar Saleh (1984)

mempunyai pendapat bahwa Dayak Meratus merupakan penduduk asli Kalimantan Selatan

yang dahulunya mendiami daerah pesisir dan pinggiran aliran sungai Tabalong, namun

karena datangnya imigran Melayu pada abad 400-500 M penduduk asli ini tersisih ke daerah

pegunungan. Orang Dayak Meratus mempunyai kebudayaan dan kepercayaan sendiri yang

dinamai dengan Balian.

Page 3: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Kepercayaan Balian orang Meratus bersifat lisan (oral), hampir tidak ditemui berupa

buku (kitab) tertentu yang mengatur umat menjalankan ajaran-Nya. Kepercayaan Orang

Meratus dapat dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat “Huma” terkait dengan

penghormatan terhadap “Padi” secara sakral yang terwujud dalam upacara-upacara ritual.

Tuhan bagi orang Meratus pantang disebut-sebut, karena merupakan hal yang tabu.

Mereka mempercayai adanya Tuhan nama “Ilah” (sang pencipta) berikut kekuatan

supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya Tuhan mereka tidak meninggalkan

adanya sejumlah nama Ilahiyat yang harus dipuja-puji dan dihormati misalnya (1) Arwah

nenek moyang (Datu-Nini); (2) Arwah yang masih gentayangan di sekitar tempat tinggal

(Pidara); dan (3) Roh para penguasa yang berjasa (Kariau), serta roh-roh alam (Penguasa dan

pemelihara hutan, lading, pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya).

Bumi dipercayai sebagai Ibu (Indung-Pangasihan), Langit disebut Bapak Penguasa

(Bapak Kuwasa), Diri manusia (Limbagan) mempunyai saudara empat (Dangsanak empat)

ada yang baik, ada yang buruk sehingga mempengaruhi diri manusia. Padi diagungkan

sebagai buah Langit (sebut = rezeki, buah tahun, buah pohon, kembang musim) diberi gelar

“Diyang”.

Orang meratus secara umum mempercayai adanya 3 (tiga) Ilah Utama, adalah sebagai

berikut:

1. Suwara, adalah Ilah pencipta alam raya, Manusia pertama, serta tujuh tumbuhan

pelindung;

2. Nining Bahatara, adalah Ilah Pengatur (Pencatu) rezeki, nasib manusia berikut,

dan

3. Sangkawanang, adalah Ilah yang memberi dan menentukan kewenangan terhadap

Padi.

Religi orang Meratus dinamakan “religi Balian”, namun harus dipisahkan dengan

pimpinan keagamaan mereka juga diberi nama “Balian”, ialah orang yang memimpin

seluruh aspek upacara ritual kehidupan orang Meratus. Balian bertingkat-tingkat. Pertama,

Guru Jaya; yakni orang yang berwenang penuh memimpin semua upacara, membuka

upacara, seorang guru keagamaan tradisional dan merangkap sebagai dukun (ahli pengobatan

penyakit) dan dipandang sebagai symbol pemersatu bubuhan.

Page 4: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Kedua, urutan Balian adalah Balian Tuha; orang yang berwenang penuh memimpin

upacara religius adat bubuhan tertentu, lebih rendah dari guru Jaya, tetapi berpengaruh kuat

dalam adat, ia cikal bakal guru Jaya. Ketiga Balian Tengah dan Balian Anum, orang yang

sementara waktu bisa menggantikan peran Guru Jaya dan Balian Tuha, apabila diperlukan,

iapun masih dalam tahap yang belum tinggi dan masih belajar.\

Semua aspek upacara tidak bisa dipisahkan dari tarian “Tandik” atau “Batandik” dan

kerasukan (in-trance), dibantu Juru Patati (orang yang menjawab pertanyaan, menjelaskan

dan menterjemahkan kemauan Balian) saat kesurupan. Di samping itu peran tukang tabuh

gendang sangat berperan dalam upacara yang dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan, di

mana pukulan gendang harus sesuai dengan gerak Ilah yang dijadikan komunikasi untuk

dipanggil.

Orang Dayak Meratus juga mengenal Kepercayaan (Agama) Kaharingan dan Buddha,

Agama Kaharingan akibat pengaruh masuknya orang Dayak Maanyan ke Pegunungan

Meratus. Sedangkan Religi Buddha pengaruh dari Kerajaan Melayu bernama Tanjungpuri

ketika pengaruh Kerajaan Negaradipa mulai kuat sehingga sebagian orang-orang Tanjungpuri

menyingkir ke Pegunungan Meratus, sebagai contoh pengaruh Buddha ada di daerah Halong

yg sebagian penduduknya menganut ajaran Buddha, juga adanya sebuah kampung di kab.

Balangan bernama Bihara yang berasal dari istilah Vihara.

Hubungan dengan Orang Banjar pun tidak bisa dipisahkan karena orang Banjar itu

sendiri kemungkinan berasal dari keturunan Orang Dayak baik berasal dari Ngaju, Maanyan

maupun Bukit (Meratus).

Jadi masalah bahasa kenapa lebih mirip bahasa Melayu, itu dikarenakan interaksi

dengan orang-orang Melayu selama berabad-abad, namun untuk bahasa asli orang Meratus

masih bisa dijumpai ketika digelarnya upacara-upacara adat.Para penghuni pertama

Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar di kawasan pantai kaki

pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki

hubungan perdagangan laut dengan India dan Cina, di samping hubungan dagang

interinsuler.

Selanjutnya konsentrasi populasi terjadi di aliran Sungai Tabalong sebagai daerah

yang terpadat penduduknya. Kemungkinan pada abad ke-5 Masehi telah berdiri Kerajaan

Tanjungpuri sebagai pusat kolonisasi orang-orang Melayu yang berasal dari Kerajaan

Sriwijaya. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang dan

Page 5: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

kemudian berasimilasi dengan penduduk sekitarnya yang terdiri dari suku-suku Maanyan,

Lawangan, dan Bukit (Dayak Meratus)

Bahasa

Bahasa Bukit/Meratus atau Bahasa melayu Dayak Bukit atau Bahasa melayu Dayak

Meratus (bvu) adalah suatu bahasa Austronesia yang dituturkan suku Dayak Bukit di

sepanjang pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Bahasa Bukit dapat pula disebut Bahasa

Melayu Bukit. Bahasa Bukit merupakan bentuk arkhais dari bahasa Banjar sebelum bahasa

Banjar terpengaruh bahasa Jawa.[1] Misalnya bahasa bukit mempertahankan kosa kata ayying

(artinya air) seperti bahasa serumpunnya bahasa Brunei, sedangkan dalam bahasa Banjar kosa

kata tersebut telah punah digantikan dengan kata pinjaman banyu yang berasal dari bahasa

Jawa selain itu budaya Banjar juga telah mendapat pengaruh budaya Jawa.

Budaya Bukit

Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang

kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku

Dayak di Kalimantan Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual upacara

kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara

pada proses penanaman padi atau panen, sebagaimana halnya dengan suku Kanayatn di

Kalimantan Barat. Kepercayaan Orang Meratus dapat dikatakan sebagai kepercayaan

masyarakat “Huma” terkait dengan penghormatan terhadap “Padi” secara sakral yang

terwujud dalam upacara-upacara ritual.

BEBERAPA KEARIFAN DI SUKU DAYAK MERATUS

Kearifan pembagian wilayah hutan

Kedekatan masyarakat adat Dayak Meratus dengan alam membuat mereka sangat

mengenal lingkungannya. Dalam hal pengelolaan lahan, tanah dan hutan dikelompokkan

dalam beberapa bentuk berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di tiap-tiap Balai

meski kadang dengan istilah yang berbeda.

Masih berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo Selatan, masyarakat adat

Dayak Meratus memberlakukan wilayah katuan larangan (hutan larangan). Dalam wilayah

Page 6: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan, seperti bahuma atau manugal (bertani atau berladang)

tidak diperbolehkan.

Katuan larangan diperuntukkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah

leluhur. Pohon di wilayah itu tidak boleh ditebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil

hutan nonkayu. , tujuan dari semua itu agar bisa berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi

habitatnya dan penyedia sumber air.

Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak

Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Karena itulah,

mereka memberlakukan wilayah katuan karamat (hutan keramat) di wilayah Balai masing-

masing.

Wilayah itu diperuntukkan khusus untuk kawasan pemakaman dan sama sekali tidak

boleh dimanfaatkan selain untuk pemakaman para leluhur. Wilayah itu biasanya terletak di

perbukitan atau disebut munjal.

Masyarakat adat Meratus selain bahuma, juga berkebun. Karena itulah, diberlakukan

wilayah khusus untuk bakabun gatah (berkebun karet).

Wilayah ini berbeda dengan pahumaan. Di wilayah ini khusus ditanami pohon gatah

atau para (karet) untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sedangkan pahumaan adalah

kawasan yang ditanami tanaman jangka pendek, seperti padi dan palawija. Sementara untuk

kawasan pemukiman atau Balai, masyarakat adat Meratus hanya mengambil sebagian kecil

dengan luasan kurang dari 2 hektar. Kawasan pemukiman biasanya terletak di daerah datar

(lembah) atau taniti (perbukitan kecil) yang relatif landai dan dekat sungai. Dipercaya pula

jika ketentuan adat yang berlaku tersebut di langgar, yang bersangkutan akan katulahan

(kualat) yang berujung pada terjadinya kesialan, petaka, dan karma.

Kearifan pemanfaatan lahan

Pahumaan atau ladang bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sumber pangan

yang sangat penting. Penentuan wilayah pahumaan terkadang melalui proses yang lama.

Banyak hal yang harus diperhitungkan. Seperti kemiringan dan ciri-ciri tumbuhan yang ada

untuk mengukur tingkat kesuburan tanah.

"Lokasi yang baik biasanya berada di daerah dengan ketinggian hingga 700 meter dari

permukaan laut, di bawah wilayah katuan larangan dan katuan karamat. Dengan begitu, para

leluhur mudah untuk mengawasi dan menjaga wilayah.

Page 7: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Aktivitas manugal (menanam padi) tidak boleh dipandang remeh. Padi bagi

masyarakat adat Dayak Meratus adalah suci sehingga prosesinya pun harus dilakukan dengan

kesungguhan dan penghayatan serta melalui serangkaian ritual adat yang disebut Aruh

(upacara).

Bahkan, alat pertanian yang akan digunakan untuk bahuma tak luput dari ritual adat.

Sebelum membuka ladang dilakukan pemujaan terhadap alat pertanian yang disebut mamuja

tampa agar pengerjaannya nanti lancar.

Ada banyak rangkaian ritual adat yang dilakukan saat memulai aktivitas pembukaan

lahan hingga panen. Semua ritual itu dilakukan oleh masing-masing Balai dengan istilah yang

berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama.

Puncak dari segala ritual dalam bahuma adalah Aruh Ganal (upacara besar) atau

disebut juga Aruh Bawanang atau Aruh Balangatan, saat perayaan panen raya.

upacara Aruh ganal ini dirayakan secara besar-besaran selama lima, tujuh, dan atau

12 hari oleh seluRohwarga kampung; dengan mengundang warga dari kampung-kampung

lainnya.

Aruh Ganal disebut juga bawanang banih halin atau upacara mahanyari banih barat,

yaitu upacara yang dilaksanakan karena mendapat hasil panen padi yang banyak dan selama

bahuma tidak mendapat musibah. Padi yang diikutkan dalam upacara ini adalah padi yang

terakhir kali dipanen atau disebut juga hasil panen yang kedua. Beras dari hasil panen

tersebut belum boleh dimakan sebelum diupacarai. Dengan kata lain, masyarakat Dayak baru

akan menikmati hasil dari bahuma setelah mereka mengucapkan syukur kepada Sang Maha

Pemberi Rizqi.

Oleh karena Aruh Ganal merupakan upacara sakral dan bernuansa magis, maka

pelaksanaan upacara Aruh Ganal dipimpin oleh Balian. Balian adalah tokoh (pimpinan) adat

yang mempunyai pengetahuan luas mengenai seluk beluk adat dan tradisi masyarakat Dayak

Harmonisasi tingkat tinggi

Hutan bagi masyarakat adat Dayak Meratus menjadi landasan ideologi, sosial, selain

sebagai penunjang keberlangsungan hidup dan perekonomian. Sangat diyakini, Tuhan akan

menurunkan bala apabila dilakukan perusakan. Karena itulah, terjadi harmonisasi tingkat

tinggi antara mereka dan hutan, dengan saling melindungi,"

Page 8: Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus

Kesimpulan

masyarakat adat Dayak Meratus meyakini kearifan lokal mereka sebagai bentuk

komunikasi kepada sesama manusia, alam, dan Tuhan.

Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh manusia sekarang ini,

di mana pemanfaatan sumber daya alam lebih banyak berorientasi pada kekinian dan hanya

untuk saat ini. Tak peduli apa yang akan ditinggalkan untuk anak cucu kelak.

Pola pikir yang sederhana melalui kearifan lokal yang dianut masyarakat adat Dayak

Meratus, ternyata memberikan efek luar biasa. Kesederhanaan dari kearifan lokal itulah yang

kini terbukti mampu menyelamatkan dan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia

sekarang.

Nilai-nilai kekeramatan yang terkandung dalam kearifan lokal mereka terbukti

memberikan dampak bagus pada lingkungan. Pengelolaan dilakukan secara bersama-sama

untuk pemenuhan kebutuhan bersama sehingga menciptakan keteraturan sosial