SEJARAH PERKEMBANGAN PABRIK GULA GENDING,...
Transcript of SEJARAH PERKEMBANGAN PABRIK GULA GENDING,...
SEJARAH PERKEMBANGAN PABRIK GULA GENDING, KABUPATEN
PROBOLINGGO, JAWA TIMUR (1830-2010)
Achmad Taufik
Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) Untuk
mengetahui tentang latar belakang berdirinya pabrik gula Gending;
(2) Untuk mengetahui tentang perkembangan industri pabrik gula
Gending tahun 1830-2010 dalam aspek area, modal, sarana
prasarana, tenaga kerja, serta manejemen. Data dikumpulkan
dengan metode penelitian sejarah yang meliputi lima tahap yaitu
(1) Pemilihan topik; (2) Heuristik ; (3) Verifikasi; (4) Interpretasi;
(5) Historiografi. Hasil penelitian adalah: (1) Probolinggo memiliki
letak astronomis dan ketinggian tanah yang berpotensi pada
perkembangan perkebunan dan pertanian. Selain kondisi geografis
infratruktur yang baik juga menjadi pertimbangan pendirian PG
Gending; (2) Perkembangan PG Gending tahun 1830-1942 tidak
ditemukan data yang mencukupi. Pada masa pendudukan Jepang
PG Gending berhenti beroperasi dikarenakan imbas dari kebijakan
Jepang. Perkembangan PG Gending tahun 1955-2010
menunjukkan perkembangan yang siknifikan dalam hal pembaruan
mesin dan kapasitas giling, namun dalam hal areal penanaman tebu
justru cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Kata kunci: sejarah, perkembangan, pabrik gula, Gending
Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu bagian dari Provinsi Jawa
Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan
Tengger dengan batas astronomis antara 112˚51’-113˚30’ bujur timur dan 7˚40’-8˚10’
lintang selatan. Wilayahnya berada pada ketinggian 0-2500 m di atas permukaan laut
dengan temperatur rata-rata 27˚ Celcius disebelah utara, sedangkan bagian selatan
udaranya relatif bertemperatur rendah (www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_
Probolinggo). Daerah ini berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, di sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Jember, di sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan di sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang (www.kabProbolinggo.go.id).
Daerahnya merupakan dataran rendah ditepi Selat Madura. Meskipun kotanya
merupakan dataran rendah tetapi latar belakang kota tersebut merupakan dataran
tinggi yaitu pegunungan Tengger dan Gunung Bromo. Itulah sebabnya Probolinggo
mempunyai daerah ’hinterland’ yang subur.
Keadaan geografis di daerah Probolinggo sangatlah berpotensi untuk
pengembangan perkebunan dan pertanian. Perkebunan yang tercatat pernah
dikembangkan di daerah ini adalah perkebunan tebu. Hal ini dapat diketahui dengan
keberadaan beberapa pabrik gula yang berdiri sebelum tahun 1900, antara lain pabrik
Soember Kareng (1838), Wonoaseh (1882), Ombul (1883) dan Bodjong (1894)
(Rosyid, Ikhsan. 2007: 267-296). Pertanian yang pernah berkembang di daerah ini
adalah pertanian padi. Pertanian padi di Probolinggo berkembang jauh sebelum masa
pemerintahan Hindia Belanda. Probolinggo juga merupakan titik temu yang penting
serta pelabuhan regional untuk produk pertanian daerah pedalaman seperti gula,
tembakau dan kopi.
Sudah sejak jaman Daendels (1808-1811) Probolinggo mempunyai hubungan
infrastruktur yang baik dengan kota-kota lain di Jawa Timur. Probolinggo dilalui oleh
Grotepostweg (jalan raya pos), jalan raya yang menghubungkan kota-kota di Pantai
Utara Jawa mulai dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jatim (Handinoto,
1997: 5). Untuk mempermudah hubungan dengan kota-kota lain di Jawa Timur maka
pemerintah membangun jaringan rel kereta api. Jaringan rel kereta api dari Surabaya
ke Pasuruan sepanjang 63 km selesai dibangun oleh Stadspoorwegen (SS) pada tahun
1878, kemudian diperpanjang sampai Probolinggo sampai 40 km pada tahun 1884.
Setelah itu pada tahun 1895 rel kereta api disambung lagi dari Probolinggo-Klakah.
Pada tahun 1896 menyusul cabang-cabang ke Lumajang, selanjutnya diteruskan lewat
Jember ke Bondowoso, Situbondo dan diteruskan ke pelabuhan Panarukan dengan
jarak 151 km, semua ini selesai pada tahun 1897 (Handinoto, 1997: 6). Dengan
demikian hubungan dengan rel kereta api dari Probolinggo ke kota-kota lain terutama
dengan kota-kota perkebunan Jatim, antara tahun 1900 sudah terealisir dengan baik.
Berbagai potensi tersebut menjadi pertimbangan bagi pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan perkebunan tebu di daerah Probolinggo. Pada tahun 1830
pemerintah Hindia Belanda mendirikan pabrik gula di Kecamatan Gending
Kabupaten Probolinggo yang berada di bawah naungan Cultur Bank Maatschappij
dengan nama pabrik gula Gending yang masih beroperasi sampai sekarang. Pada
tahun 1957 dengan adanya perkembangan politik Indonesia, maka perusahaan
tersebut diambil alih dari Pemerintah Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Indonesia
yang berlangsung sampai tahun 1962. Pada tahun 1962-1968 PG Gending berada
dibawah naungan Daerah VII. Kemudian tahun 1968-1975 semua Pabrik Gula yang
dulunya bernaung dibawah inspeksi VII dirubah dan bernaung di bawah Perusahaan
Negara Perkebunan XXIV.
Setelah melalui beberapa pertimbangan maka peneliti mengambil topik
tentang perkembangan industri gula khususnya di Kabupaten Probolinggo.
Kabupaten Probolinggo dipilih sebagai lokasi penelitian karena kedekatan emosional
peneliti sebab peneliti berdomisili di Probolinggo sehingga secara tidak langsung
akan memudahkan peneliti dalam melakukan pengamatan dan penelitian awal.
Peneliti semakin tertarik untuk membahas tentang perkembangan industri gula setelah
membaca buku “Kapitalisme Bumi Putera, Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran”. Peneliti berharap dengan melakukan penelitian ini dapat
menambah pengetahuan peneliti tentang sejarah lokal Kabupaten Probolinggo
khususnya mengenai perkembangan industri gula di Probolinggo.
Akhirnya peneliti memilih pabrik yang berlokasi di Jl. Raya Sebaung Gending
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur sebagai tempat penelitian. Pabrik ini dipilih
karena di antara tiga pabrik gula yang beroperasi di wilayah Probolinggo saat ini,
yaitu PG Wonolangan, PG Gending dan PG Pajarakan, PG Gendinglah satu-satunya
pabrik gula yang telah ada sejak masa kolonial. Selain itu kapasitas produksi PG
Gending lebih besar dari kapasitas produksi dua pabrik gula lain yang beropersi di
wilayah Probolinggo sehingga peneliti menganggap pabrik tersebut paling sesuai
untuk mengetahui perkembangan industri gula di Kabupaten Probolinggo sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tadi, maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah: (1) Bagaimana latar belakang berdirinya pabrik gula
Gending?; (2) Bagaimana perkembangan industri pabrik gula Gending tahun 1830-
2010 dalam aspek area, modal, sarana prasarana, tenaga kerja serta manajemen?.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui tentang latar belakang
berdirinya pabrik gula Gending; (2) Untuk mengetahui tentang perkembangan
industri pabrik gula Gending tahun 1830-2010 dalam aspek area, modal, sarana
prasarana, tenaga kerja, serta manejemen.
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah penelitian ini menjadi aplikasi teori
yang diperoleh peneliti di bangku perkuliahan selama menjadi mahasiswa jurusan
Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus untuk menambah wawasan tentang
sejarah perekonomian daerah Probolinggo khusunya yang berkaitan dengan pabrik
gula Gending. Bagi Jurusan Sejarah penelitian ini akan menjadi sumber informasi dan
bahan kepustakaan bagi segenap mahasiswa khususnya bagi jurusan sejarah dalam
mempelajari sejarah ekonomi di Indonesia dan sebagai contoh peristiwa untuk mata
kuliah sejarah lokal maupun sejarah Indonesia kontemporer. Penelitian ini juga akan
memberikan gambaran tentang kontribusi sejarah teknologi dan sejarah industri
terhadap kehidupan masyarakat. Sedangkan bagi mahasiswa Sejarah pada umumnya
penelitian ini akan memberikan pengetahuan awal tentang sejarah perkembangan
suatu industri, terutama tentang industri gula untuk diteliti lebih lanjut dan juga
merupakan tema yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa dalam mempelajari
sejarah lokal Probolinggo.
Untuk lebih memudahkan penelitian ini agar lebih terarah maka di perlukan
perangkat pembatas baik temporal, spasial dan keilmuan. Karena itu penulis memakai
tiga ruang lingkup yaitu lingkup temporal, spasial dan keilmuan. Lingkup temporal
adalah hal-hal yang berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa itu, dalam hal ini
lingkup temporal penelitian ini adalah tahun 1830 sampai dengan tahun 2010.
Lingkup spasial dalam penelitian ini adalah daerah Kabupaten Probolinggo. Lebih
khusus lagi penelitian ini dilaksanakan di PG Gending, Jl Sebaung Gending
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Sedangkan lingkup keilmuan penelitian ini
digolongkan ke dalam disiplin ilmu sejarah, karena disiplin ilmu sejarah mempelajari
dinamika dan perkembangan kehidupan manusia pada masa lampau (Abdullah, 1985:
321). Mengingat fokus penelitian yang dikaji dalam penelitian ini merupakan sejarah
perkembangan PG Gending yang mencakup area pabrik, sarana prasarana yang
dimiliki, produksi, tenaga kerja, menejemen serta modal yang dipakai dalam
memproduksi gula, maka lingkup keilmuan penelitian ini termasuk dalam kategori
sejarah perekonomian.
METODE
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif
dengan menggunakan metode sejarah. Penelitian yang menggunakan metode sejarah
mengharuskan peneliti mengumpulkan dan menafsirkan gejala dan peristiwa ataupun
gagasan yang timbul di masa lampau untuk menemukan generalisasi yang bermanfaat
untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah. Penelitian sejarah menurut
Kuntowijoyo (2005: 90) mempunyai lima tahap yaitu: (1) pemilihan topik; (2)
pengumpulan sumber (heuristik); (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber);
(4) interpretasi (analisis dan sintesis) dan; (5) penulisan (historiografi). Adapun lebih
jelasnya, akan dipaparkan dibawah ini :
Pemilihan Topik
Pemilihan topik penelitian merupakan langkah awal dalam melakukan sebuah
penelitian, tanpa adanya topik penelitian maka sebuah penelitian tidak mungkin
dilaksanakan. Pemilihan topik dapat diawali dengan penemuan sebuah fakta atau
bukti dari sebuah peristiwa. Menurut Kuntowijoyo (1995: 90) dalam memilih topik
sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.
Kedekatan emosional: Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Probolinggo
dikarenakan kedekatan emosional peneliti terhadap kota tersebut karena peneliti lahir
dan berdomisili di Probolinggo sehingga secara tidak langsung peneliti paham
tentang kondisi daerah ini.
Kedekatan intelektual: Sebelum memastikan topik yang akan dibahas peneliti telah
membaca beberapa buku tentang sejarah perkembangan industri gula di Indonesia
serta melakukan penelitian awal mengenai topik ini. Dalam hal ini peneliti memilih
topik tentang sejarah perkembangan pabrik gula setelah membaca buku “Kapitalisme
Bumi Putra,Perubahan Masyarakat Mangkunegaran”. Kemudian peneliti menggali
informasi lebih lanjut melalui pencarian informasi lewat skripsi maupun website
perusahaan dan menemukan fakta tentang PG Gending yang telah ada sejak jaman
kolonial tepatnya sejak tahun 1830.
Pengumpulan Sumber (heuristik)
Sjamsudin (1996: 99) berpendapat bahwa heuristik adalah pengumpulan
sumber-sumber sejarah. Menurut Hariyono (1995: 109) heuristik merupakan suatu
langkah untuk mengumpulkan berbagai sumber data yang terkait dengan masalah
yang sedang diteliti. Tahap ini merupakan usaha untuk mencari dan mengumpulkan
bahan atau jejak sejarah yang digunakan untuk menceritakan kembali peristiwa
sejarah. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pertama, sumber
tertulis atau dokumen. Sumber data tertulis yang dapat dipakai dalam penelitian ini
adalah arsip-arsip pemerintah yaitu arsip pendirian PG Gending dan arsip Staad
Contrinende de Suiker Kultuur . Kedua, sumber tidak tertulis atau artefak. Dalam
penelitian ini sumber artefak yaitu PG Gending itu sendiri beserta beberapa mesin
yang digunakan untuk memproduksi gula.
Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber)
Tahap ketiga dari penelitian ini adalah kritik terhadap sumber. Langkah ini
dapat dilakukan setelah sumber-sumber yang terkait dengan tema penelitian dapat
terkumpul. Dalam hal ini kritik sumber digunakan untuk menilai, menguji serta
menyelidiki kebenaran sumber sejarah, sebab kekeliruan dalam sejarah masih sering
dijumpai. Menurut Sjamsudin (1996: 104) kritik sumber umumnya dilakukan
terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu
pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber itu. Kritik sumber dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Kritik ekstern: adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek
luar dari sumber sejarah. Tujuan utama dari tahap ini ialah mengetahui keaslian dan
keintegralan dari sumber, termasuk juga saksi yang harus kredibel. Kritik ekstern
dilakukan peneliti terhadap sumber primer berupa arsip yaitu dengan cara melihat
bentuk penulisannya dalam arsip yang menggunakan tulisan latin berupa tlisan tangan
dan keadaan kertas yang sudah lapuk, sedangkan untuk arsip pemerintah tentang
pendirian pabrik gula Gending keabsahannya dapat dilihat dari adanya tanda tangan
dan stempel dari notaris yang berkekuatan hukum.
Kritik intern: Sjamsudin (1996: 111) menyatakan bahwa kritik intern adalah kritik
yang menekankan pada aspek “dalam” yaitu isi dari sumber kesaksian atau testimoni.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menerapkan kritik intern untuk
mengukur tingkat kredibilitas sumber yang digunakan oleh peneliti. Kritik terhadap
kesahihan atau kredibilitas dilakukan dengan mengecek apakah isi yang terdapat
dalam sumber data tersebut valid atau tidak. Dalam tahap ini kritik internal akan
dilakukan melalui dua langkah, yaitu melalui penilaian dari dalam dan perbandingan
antara sumber yang satu dengan yang lain.
Interpretasi
Langkah keempat yang dilakukan adalah interpretasi. Interpretasi atau
penafsiran sering disebut sebagai subyektifitas (Kuntowijoyo. 2001: 102). Dalam
interpretasi ini penulis berupaya untuk tidak memihak baik yang bersifat akademik
maupun pribadi. Dalam penelitian ini peneliti menerapkan interpretasi melalui dua
cara yaitu analisis dan sintesis. Dalam tahapan pertama setelah mengumpulkan fakta-
fakta dan sumber tentang pabrik gula Gending, maka peneliti menguraikan fakta-
fakta yang didapat dalam penelitian menjadi beberapa hal yaitu berdirinya pabrik gula
Gending pada tahun 1830 karena pemerintah Hindia Belanda melihat kondisi
geografis daerah Kabupaten Probolinggo khususnya Gending sangat berpotensi untuk
pengembangan perkebunan tebu dikarenakan memiliki daerah hinterland yang subur.
Sedangkan tahap kedua yaitu menyatukan fakta-fakta yang didapat tentang pabrik
gula Gending kedalam suatu rangkaian tulisan yang bersifat sistematis dan berurutan
secara kronologis.
Penulisan
Menulis sejarah merupakan kegiatan intelektual. Tahap ini merupakan tahap
penentu, sebab dalam setiap tahap ini peneliti harus mengerahkan segala daya
pikirnya, bukan saja ketrampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-
catatan, tetapi yang utama adalah penggunaan pemikiran kritis dan analisisnya.
Karena itu pada akhirnya harus menghasilkan suatu penulisan yang utuh yaitu
historiografi (Sjamsudin. 1996: 153).
Dalam historiografi, peneliti akan memperhatikan aspek spasial (tempat) dan
temporal (waktu) yang kronologis serta sistematis. Kronologis diperlukan dalam
penulisan sejarah dalam merangkaikan fakta-fakta dalam sebuah tulisan, aspek urutan
waktu menjadi fokus utama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dan
menghasilkan suatu kisah yang dapat dipahami berdasarkan urutan peristiwa. Aspek
sistematis sangat ditekankan dalam penyusunan rangkaian fakta. Hal ini juga akan
memudahkan pemahaman terutama agar tidak tejadi pengulangan dalam pembahasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Geografis Kabupaten Probolinggo
Berdasarkan letak geografis Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu
bagian dari Provinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung
Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan batas astronomis antara 112˚51’-113˚30’
bujur timur dan 7˚40’-8˚10’ lintang selatan. Wilayahnya berada pada ketinggian 0-
2500 m di atas permukaan laut dengan temperatur rata-rata 27˚ celcius di sebelah
utara, sedangkan bagian selatan udaranya relatif bertemperatur rendah
(www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Probolinggo).
Daerah ini berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Jember, di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan di sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Luas wilayah Kabupaten Probolinggo
adalah 1.696,17 km². Sedangkan jumlah penduduknya 1.162.217 menurut sensus
Biro Pusat Statistik tahun 2008 (www.kabProbolinggo.go.id).
Letak astronomis dan ketinggian Probolinggo berpotensi pada pengembangan
perkebunan dan pertanian karena memiliki daerah hinterland yang subur. Perkebunan
yang pernah dikembangkan di daerah ini adalah perkebunan tebu. Pertimbangan
kondisi geografis tersebut kemudian menjadi alasan bagi pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan pabrik gula di daerah Probolinggo. Maka pada tahun 1830
didirikanlah pabrik gula Gending oleh pemerintah Hindia Belanda yang berada
dibawah naungan Cultur Bank Maatschappij dan berlokasi di Desa Sebaung
Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo. Pertimbangan lainnya adalah
kemudahan transportasi bahan baku serta pemasaran karena pada masa itu
Probolinggo sudah memiliki pelabuhan yang dilengkapi dengan gudang-gudang
penyimpanan.
Latar Belakang Ekonomi Kabupaten Probolinggo
Pada umumnya wilayah pemerintahan Hindia belanda di daerah Jawa Timur
bagian timur seperti Pasuruan, Lumajang, Situbondo, Jember dan Probolinggo
merupakan wilayah yang berpotensi sebagai daerah tujuan migrasi penduduk.
Pembauran penduduk dari berbagai daerah dan etnis tidak dapat dihindari.
Dalam penelitian ini diketahui jumlah penduduk Probolinggo pada tahun 1905
sekitar 15.000 orang yang terdiri dari 600 orang Eropa (Belanda), 1200 orang Cina,
350 orang Arab sedangkan sisanya merupakan penduduk pribumi asli yang sebagian
merupakan orang Madura (Handinoto, 1997: 13). Peneliti kesulitan untuk
memproyeksikan potensi penduduk yang terserap sebagai tenaga kerja sehingga
Gending dipilih sebagai lokasi pabrik gula, namun dengan jumlah penduduk yang
disebutkan di atas maka hal tersebut dapat menjadi gambaran bahwa perkebunan tebu
dalam hal ini pabrik gula Gending tidak akan kekurangan tenaga kerja baik sebagai
buruh perkebunan maupun sebagai buruh pabrik gula.
Aspek lain yang perlu di perhatikan sebagai latar belakang ekonomi adalah
riwayat daerah Probolinggo sebagai daerah pertanian. Probolinggo dan daerah lain di
wilayah Jawa Timur bagian timur baru menjadi perhatian setelah pada pertengahan
dan akhir abad ke 19 daerah ujung timur Jawa Timur berkembang menjadi daerah
perkebunan besar. Pada perkembangan selanjutnya daerah-daerah seperti Pasuruan,
Probolinggo, Besuki dan Situbondo yang kesemuanya terletak di sudut bagian timur
Jawa Timur berkembang menjadi sentra produksi gula. Sedangkan daerah pedalaman
seperti Lumajang, Jember dan Bondowoso menjadi sentra produksi tembakau.
Selanjutnya Pasuruan yang juga menjadi terkenal karena menjadi stasiun percobaan
gula sedangkan Probolinggo menjadi sentra distribusi dan pengapalan produk-produk
untuk gula, tembakau dan beras.
Sebagai Sentra distribusi dan perdagangan perantara, probolinggo mempunyai
letak yang strategis yang dilengkapi dengan dermaga dan gudang-gudang pengiriman
barang. Ditambah lagi sudah sejak jaman Daendels (1808-1811) Probolinggo
mempunyai hubungan infrastruktur yang baik dengan kota-kota lain di JawaTimur.
Probolinggo dilalui oleh Grotepostweg (jalan raya pos), jalan raya yang
menghubungkan kota-kota di Pantai Utara Jawa mulai dari Anyer di Jawa Barat
sampai Panarukan di Jatim.
PG Gending Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada mulanya persekutuan dagang Belanda yakni VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie) tidak mencampuri urusan pertanian dan industri gula. Namun
dengan semakin meningkatnya permintaan gula di Eropa, gula menjadi komoditi
dagang yang semakin banyak mendatangkan keuntungan bagi VOC. Hal ini
mendorong VOC untuk melakukan campur tangan dalam pengembangan industri
gula di Jawa sehingga pada tahun 1710, jumlah pabrik gula di Jawa telah berkembang
pesat menjadi dari 62 pabrik gula menjadi 130 pabrik gula, dengan produksi rata-rata
2470 ton gula per tahun (Sapuan, 1985: 3).
Dalam perkembangan berikutnya terjadi kemunduran dalami ndustri gula,
masalah yang menjadi penyebab mundurnya industri gula pada saat itu adalah karena
tanaman tebu banyak diusahakan di Jawa Barat yang memiliki curah hujan yang
banyak. Padahal tanaman tebu membutuhkan musim kering untuk mencapai tingkat
masak. Oleh sebab itu kemudian perkembangan tebu dialihkan ke bagian timur pulau
Jawa.
Salah satu lokasi yang dipilih oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk
mengembangkan perkebunan tebu adalah adalah daerah probolinggo. Hal itu
dikarenakan kondisi geografis di daerah Probolinggo sangat berpotensi untuk
pengembangan perkebunan karena memiliki daerah hinterland yang subur. Selain
pertimbangan geografis Probolinggo mempunyai keuntungan lain untuk dijadikan
lokasi pengembangan perkebunan tebu, yaitu masalah infrastruktur.
Akhirnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah pabrik gula yang
berlokasi di desa Sebaung, Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo yang resmi
beroperasi mulai tahun 1830 dengan kepala pabrik bernama Goldman. Pabrik ini
berada dibawah naungan dan pengelolaan Culture Bank Maatschappij, hanya saja
dalam penelitian ini peneliti tidak diperoleh data susunan organisasi pabrik dibawah
kepala pabrik.
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 1835 PG Gending mampu
mengolah tebu sebanyak 2515 ton tebu dan menghasilkan gula sebanyak 899 ton,
dilihat dari jumlah tebu yang mampu digiling dan jumlah gula yang dihasilkan maka
pabrik gula Gending termasuk dalam pabrik yang kapasitas produksinya menengah.
Tidak ditemukan data mengenai luas areal tanam tebu dan jumlah tenaga kerja yang
dimiliki PG Gending saat itu pada penelitian. Teknologi penggilingan tebu yang
digunakan bisa dikatakan sudah modern pada waktu itu karena pada masa-masa
sebelumnya penggilingan tebu masih menggunakan mesin pengepres dua silinder
yang digerakkan oleh tenaga hewan (sapi atau kerbau) . Sedangkan PG Gending pada
waktu itu sudah menggunakan mesin pengepres tebu tiga silinder yang digerakkan
dengan mesin tenaga uap untuk memutar silinder tersebut kemudian hasil perasan
tebu (nira) dimasukkan kedalam pan masakan untuk pembentukan kristal gula.
PG Gending Masa Pendudukan Jepang
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman.
Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan pada bulan Juli mengalihkan
ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang
bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941,
dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di
bulan yang sama. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret
1942. Kemenangan Jepang menjadikannya penguasa tunggal atas Indonesia
menggantikan Hindia Belanda.
Di Indonesia pemerintah militer Jepang kemudian menguasai sekaligus
mengelola titik-titik strategis seperti pertambangan dan industri terutama minyak
bumi guna mendukung keperluan perang Jepang. Jepang menerapkan sistem
pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat.
Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan
barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang.
Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu dan sekaligus memonopoli
penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan
dengan kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula, pemaksaan menanam pohon jarak
dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah. Hal ini menyebabkan
hanya sedikit pabrik gula yang terus beroperasi dan banyak pabrik gula yang ditutup.
Salah satu pabrik gula yang terkena imbas kebijakan pemerintahan pendudukan
Jepang yaitu PG Gending. Pabrik gula Gending menjadi terbengkalai dan lahan-lahan
penanaman tebu milik PG Gending banyak yang beralih fungsi untuk penanaman
tanaman pangan demi kepentingan perang. Selain itu pemaksaan penanaman pohon
jarak dan kapas di lahan yang dulunya untuk penanaman tebu telah merusak
kesuburan tanah. Terbengkalainya PG Gending pada masa pemerintahan Jepang juga
membuat banyak mesin mesin pabrik mengalami kerusakan karena tidak pernah
dioperasikan dan tidak pernah mengalami perbaikan sama sekali. Kondisi ini
membuat PG Gending mengalami nasib yang mengenaskan dan berhenti beroperasi.
Perkembangan PG Gending Tahun 1945-2010
Perkembangan industri gula di Indonesia pada tahun 1945 sampai 1950 tidak
terdapat kemajuan yang berarti. Orang-orang Belanda tetap menjadi pemilik pabrik
gula, sedangkan petani di Jawa adalah pihak yang menyewakan tanahnya untuk
ditanami tebu (Sapuan, 1985:6). Pada saat terjadinya clash I dan II (1947 dan 1948),
banyak pabrik gula yang dibumi hanguskan oleh gerilyawan Republik Indonesia agar
tidak jatuh ke tangan musuh (Belanda). Oleh karena itu produksi gula merosot.
Produktivitas gula juga merosot karena digunakannya bungkil kacang/kapuk sebagai
ganti pupuk ZA yang impornya terhenti.
PG Gending sendiri tidak dapat beroperasi dikarenakan keadaan yang tidak
memungkinkan karena tanaman-tanaman tebu milik PG Gending banyak yang
dibakar oleh gerilyawan sehingga PG Gending menghentikan seluruh operasionalnya.
Baru pada tahun 1957 setelah pabrik ini diambil alih oleh pemerintahan Indonesia,
maka PG Gending dapat beroperasi kembali.dalam perkembangannya setelah
kepemilikan diambil alih oleh pemerintah Indonesia PG Gending mengalami
beberapa perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi dalam beberapa aspek.
Adapun perkembangan PG Gending selama tahun 1957-2010 dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama adalah perkembangan area: luas area lahan yang dimiliki oleh PG
Gending dalam penelitian ini pada awal berdirinya adalah seluas 14, 65 ha. Luas area
tersebut kemudian bertambah menjadi 36, 12 ha setelah dilaksanakan proyek
pembangunan tahun 1977. Penambahan ini dilaksanakan terkait rehabilitasi mesin
giling tebu, pembangunan gudang penyimpanan (storage), perkantoran, perumahan
pegawai dan sarana lainnya. Sedangkan luas area tanam tebu PG Gending pada
tahun-tahun awal beroperasinya kembali tidak ditemukan data. Baru pada tahun 2000
peneliti menemukan data tentang luas areal tanam tebu PG Gending. Adapun luas
area tanam PG Gending secara beurutan mulai tahun 2000 sampai tahun 2009 yaitu:
79.699 ha, 82.304 ha, 80.450 ha, 60.268 ha, 53.981ha , 34.750ha, 37.088ha, 37.865
ha, 2.756 ha, 2.717 ha. Secara umum jika ditarik kesimpulan maka luas area tanam
PG Gending dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang mengakibatkan PG
Gending Kesulitan bahan baku tebu.
Kedua adalah modal: dalam penelitian ini, peneliti tidak dapat menemukan
jumlah modal awal yang dimiliki perusahaan saat pabrik di dirikan oleh Culture Bank
Maatschappij. Keterangan tentang jumlah modal perusahaan baru ditemukan ketika
perusahaan telah dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara XI seperti yang
tercantum dalam akte pendirian Notaris Harun Kamil, SH No. 44 tanggal 11 maret
1996. Modal dasar perusahaan ditetapkan sebesar Rp. 300 milyar, dalam
perkembangannya sesuai dengan akte Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo, SH, tanggal
2 oktober 2002 yang telah disahkan berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C 21048 HT.01.04 TH 2002, modal
dasar perseroan berubah menjadi Rp. 650 Milyar dimana sumber dana semuanya
diperoleh dari pemerintah RI.
Ketiga adalah sarana prasarana: sarana prasarana yang dimiliki oleh PG
Gending antara lain mesin-mesin pabrik kilang (stasiun gilingan, stasiun pemurnian,
stasiun penguapan (evaporator), stasiun masakan, stasiun putaran, stasiun ketel uap
(boiler), dan stasiun listrik) dan gudang penyimpanan. Sarana tersebut masih
ditambah dengan perkantoran, perumahan, mess (guest house), ruang workshop,
poliklinik, komplek sekolah (TK) dan sarana olahraga yang dibangun untuk
menjamin keseahteraan para buruh pabrik beserta keluarganya. Sarana prasarana
tersebut dibangun tidak serta merta, tetapi melalui beberapa tahapan. Pada tahun 1977
PG merevitalisasi crusher dan stasiun gilingan, menambah pan masak dari 5 buah
menjadi 7, dan memodernisasi stasiun putaran merek BMA dengan type terbaru high
grade semi automatic maupun yang full automatic merek western state. Pada tahun
1978 menambah dua unit boiler (ketel uap) Borsig dengan kapasitas masing-masing
13 ton/jam. Stasiun listrik direvitalisasi dimana sebelumnya (1967-1970)
menggunakan dua generator diesel dengan kapasitas masing-masing 275 kw dan 350
kw menjadi menjadi dua buah generator turbin merek Siemens dengan kapasitas
listrik masing-masing 1200 kw.
Keempat adalah tenaga kerja: jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh PG
Gending pada awal berdirinya tidak ditemukan data, tetapi pada tahun 1959 tercatat
450 orang. Antara tahun 1960-1970 dengan adanya sistem serikat buruh dan sistem
politik yang ada jumlah tenaga kerja menjadi 573. Jumlah tenaga kerja tahun 1970
tercatat 600 orang dan berkurang menjadi 572 pada tahun 1979 karena banyak yang
diberhentikan karena faktor usia dan kurang terampil. Pada tahun1986 jumlah pekerja
tercatat 537 orang namun sampai tahun 1990 tidak ditemukan data yang akurat
mengenai jumlah tenaga kerja PG Gending. Jumlah tenaga kerja tahun 1992-1997
adalah 615 orang, pada tahun 2004 jumlah tenaga kerja PG Gending adalah 609
orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja tahun 2005-2009 adalah 673 orang. Adapun
klasifikasi dan pengangkatan karyawan atau tenaga kerja di PG Gending berdasarkan
status kepegawaian terdiri atas: karyawan tetap, karyawan kampaye, karyawan
honorer, karyawan boronga. Adapun komposisi tenaga kerja adalah sebagai berikut:
karyawan tetap sebanyak 264, karyawan kampaye sebanyak 187, karyawan honorer
1, dan karyawan borongan sebanyak 196 orang.
Kelima adalah manajemen: PG Gending mengalami beberapa kali pergantian
pengurus dijajaran direksi, pemegang kebijakan ditingkat atas. Adapun tahun 1955-
1964 administratur PG Gending dijabat oleh R.P Soenjoto RD dan digantikan oleh
Mochtar Effendi pada tahun 1964 sampai dengan tahun 1969. Pada tahun 1969 PG
Gending berubah status menjadi perusahaan Negara perkebunan (PNP). Hal tersebut
menyebabkan pergantian ditingkat administratur dari Mochtar Effendi kepada
Soewojo Karno Winarto sampai dengan tahun 1976.Pada perkembangan selanjutnya
PNP berubah bentuk menjadi perseroan terbatas perkebunan (PTP). Maka pada bulan
juni 1975 pabrik ini bernaung dibawah PT Perkebunan XXIV-XXV. Adapun
administratur yang menjabat di PG Gending dari tahun 1976-1996 dapat dijabarkan
sebagai berikut: R. Ibnu Hidayat (1976-1982), HR Soenarto Soedjono (1982-1985),
Richardus Hidayat. Bsc (1985-1989), Ir. Soemadi (1989-1996). Selanjutnya mulai 14
februari 1996 PG Gending berada dibawah naungan PTPN XI. Adapun administratur
yang menjabat di PG Gending tahun 1997-2003 adalah sebagai berikut: Ir. Tari
Kartodiharjo (1997-1998), H. Faried Ma’roef (februari 1999-januari 2000), Ir. H.
Herry SS (januari 2000-desember 2002), Bambang W.Bsc (januari 2003-agustus
2003). Adapun yang menjabat administratur PG Gending tahun 2004-2010 adalah Ir.
H Sumedi Budihardjo MM. Pada tanggal 27 februari 2006 Ir. H Sumedi Budihardjo
MM di mutasi sebagai administratur PG Asembagus, sebagai gantinya diangkat Ir. H
Joko Winarno yang menjabat sampai tahun 2008. Pada 1 april 2008 diangkat Ir. Joko
Purnomo yang menjabat sebagai administratur sampai 2009. Pada 15 april 2009 Ir.
Joko Purnomo dimutasikan sebagai administratur PG Pajarakan dan digantikan oleh
Ir. Agus Iswahyudi.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan, hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut. Probolinggo memiliki letak astronomis dan ketinggian
tanah yang berpotensi pada perkembangan perkebunan dan pertanian. Selain
pertimbangan kondisi geografis keberadaan infratruktur jalan yang baik juga menjadi
pertimbangan lain dalam pendirian PG Gending. Perkembangan PG Gending pada
tahun 1830-1942 tidak ditemukan data yang mencukupi, pada masa pendudukan
Jepang PG Gending berhenti beroperasi dikarenakan imbas dari kebijakan Jepang.
Sedangkan perkembangan PG Gending tahun 1955-2010 dalam hal sarana prasarana,
modal, tenaga kerja juga manajeman menunjukkan perkembangan yang cukup
siknifikan terutama dalam hal pembaruan mesin dan kapasitas giling, namun dalam
hal areal penanaman tebu justru cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga
produktifitas gula menurun karena sulitnya mendapatkan bahan baku tebu
Saran
Penelitian ini patut untuk dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut
terutama dalam hal peran serta buruh pabrik dan petani tebu dalam upaya
pengembangan PG Gending. Perkembangan social budaya serta ekonomi masyarakat
sekitar pabrik selama indistri ini berdiri juga dapat menjadi kajian yang menarik
untuk diteliti lebih lanjut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2010. (online), (http//www.kabProbolinggo.go.id), diakses 20 mei 2010).
Anonim. 2010. (online), (http// www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Probolinggo),
diakses 20 mei 2010).
Handinoto. 1997. Bentuk dan struktur kota probolinggo tipologi sebuah Kota
administratif belanda. (http//[email protected]), diakses 20 mei
2010)
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Rosyid, Ikhsan. 2007. Industri Mesin Surabaya: Fungsi Dan Peran Dalam
Industrialisasi Dan Pembangunan Kota Abad XIX Dan Awal Abad XX. Dalam
Purnawan Basundoro (Eds), Tempo Doeloe Selaloe Aktoel (hlm. 267-296).
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sapuan, 1998. Kebijaksanaan Pergulaan dan Perkembangan Tata Niaga Gula di
Indonesia,(online at www.bulog.go.id\papers\k_001gula. Html diakses 20 mei
2010)
Sjamsudin, Helius. 1996. Metodelogi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.