Sejarah Konflik Aceh

12
Sejarah Konflik Aceh Pada dasarnya, konflik yang terjadi di Aceh mepunyai akar sejarah yang cukup panjang dimana konflik ini erat kaitannya dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian besar masyarakat Aceh pada umumnya. Masalah-masalah yang muncul di Aceh sendiri lebih bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik. Sejarah konflik ini sendiri terbagi menjadi dua tahap yakni: 1. Periode Daud Beureuh Setelah menyerahnya Jepang pada tahun 1945, Aceh secara wilayah hanya dikuasai oleh Belanda tanpa ada keinginan untuk menaklukan kembali Aceh seperti dulu. Hal ini dikarenakan pada saat itu, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Daud Beure’uh melakukan gerakan solidaritas kepada rakyat Aceh dibawah payung Ulama yang ditakuti oleh Belanda. Geakan ini berupaya menggalang kontrol politik di Aceh terlepas dari adanya Ulebalang (Bangsawan) yang cenderung tidak disukai oleh rakyat Aceh karena keberpihakannya kepada Belanda dan Jepang pada era kolonialisasi. Revolusi di Aceh pun pecah dimana banyak Ulebalang yang pergi maupun tewas dan revolusi ini sendiri merupakan sebuah revolusi sosial yang mana pada

Transcript of Sejarah Konflik Aceh

Page 1: Sejarah Konflik Aceh

Sejarah Konflik Aceh

Pada dasarnya, konflik yang terjadi di Aceh mepunyai akar sejarah yang

cukup panjang dimana konflik ini erat kaitannya dengan relasi kekuasaan antara

pemerintah pusat dengan sebagian besar masyarakat Aceh pada umumnya.

Masalah-masalah yang muncul di Aceh sendiri lebih bersifat ekonomi-politik dan

sosiologi-politik. Sejarah konflik ini sendiri terbagi menjadi dua tahap yakni:

1. Periode Daud Beureuh

Setelah menyerahnya Jepang pada tahun 1945, Aceh secara

wilayah hanya dikuasai oleh Belanda tanpa ada keinginan untuk

menaklukan kembali Aceh seperti dulu. Hal ini dikarenakan pada saat itu,

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Daud Beure’uh

melakukan gerakan solidaritas kepada rakyat Aceh dibawah payung

Ulama yang ditakuti oleh Belanda. Geakan ini berupaya menggalang

kontrol politik di Aceh terlepas dari adanya Ulebalang (Bangsawan) yang

cenderung tidak disukai oleh rakyat Aceh karena keberpihakannya kepada

Belanda dan Jepang pada era kolonialisasi. Revolusi di Aceh pun pecah

dimana banyak Ulebalang yang pergi maupun tewas dan revolusi ini

sendiri merupakan sebuah revolusi sosial yang mana pada era tersebut juga

dilakukan secara nasional (revolusi kemerdekaan).

Pada era kemerdekaan, Daud Beure’uh turut serta membantu dan

mendukung pemerintah Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajah

Belanda. Hal ini terkait dengan kunjungan Presiden Soekarno pada tahun

1948 yang menyatakan bahwa Republik Indonesia masih seumur jagung,

masih banyak kesulitan yang dihadapi terlebih saat itu baru saja terjadi

Agresi Militer I oleh Belanda. Pada saat itu Soekarno menyatakan bahwa

Republik Indonesia tinggal setangkai payung, tangkainya ada di Aceh, dan

payungnya ada di Yogyakarta dan Aceh dapat dijadikan modal untuk

merebut kembali wilayah Indonesia yang diduduki Belanda. Atas dasar

bantuan tersebut, antara Daud Beure’uh dengan pemerintah pusat

bernegosasi agar wilayah Aceh diberikan suatu otonomi khusus secara

politik agar dapat menyelenggarakan syariat Islam secara utuh, hal ini

Page 2: Sejarah Konflik Aceh

terkait penduduk Aceh yang mayoritas atau 1953sekitar 90% beragama

Islam.

Namun, setelah merdeka, Aceh tidak diberi otonomi dan justru

diintegrasikan kedalam Provinsi Sumatera Utara, dimana Aceh hanya

merupakan wilayah karesidenan di Provinsi tersebut. Hal tersebut

mengundang kekecewaan dari Daud Beure’uh yang pada akhirnya

membentuk tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh

pada tahun 1953. Pada dasarnya, Daud Beure’uh pada saat itu masih

enggan untuk melakukan pemberontakan, namun muncul sebuah dokumen

rahasia yang disebut “les hitam” atau daftar hitam. Isi dari dokumen

tersebut menyatakan bahwa Jakarta (pemerintah pusat) akan melancarkan

operasi militer untuk menghabisi 300 orang yang disinyalir sebagai

anggota DI/TII. Hal ini menjadi sebuah momentum bagi Daud Beure’uh

untuk melakukan pemberontakan. Terkait dengan ada maupun tidak

adanya dokumen tersebut, menurut B.J Boland, seorang sejarawan

Belanda menerangkan bahwa dokumen tersebut pada dasarnya tidak

pernah ada. Pemberontakan tersebut akhirnya selesai pada tanggal 26 Mei

1959 dimana pada akhirnya Aceh diberi status Daerah Istimewa Aceh

yang merupakan otonomi khusus dengan cakupan dalam bidang agama,

adat, dan pendidikan.

Selain kekecawaan terhadap pemerintah pusat, konflik yang timbul

di Aceh sendiri muncul akibat adanya suatu peminggiran identitas budaya

masyarakat Aceh yang telah mapan sebelumnya (budaya berbasis syariat

Islam). Hal ini tidak lepas dari budaya pendahulu dimana pada era

kerajaan Samudra Pasai, Aceh merupakan pusat kajian Islam di tanah

Sumatera. Dengan basis Islam yang cukup kuat tersebut mendorong

negosiasi politik antara pemimpin Aceh dengan pemerintahan awal

merdeka Indonesia terkait dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Selain itu ada anggapan bahwa DI/TII sendiri mucul karena

rivalitas masa lalu antara kaum Ulama dengan Ulebalang. Kaum Uleblang

yang dulu tersingkir berusaha balas dendam terhadap Ulamayang telah

menyingkirkan mereka dari kancah politik di Aceh. Melihat hal tersebu,

Page 3: Sejarah Konflik Aceh

para Ulama meminta bantuan ke pemerintah pusat namun permintaan

tersebut ditolak. Hal ini memicu kaum Ulama untuk meminta otonomi

khusus di Aceh. Oleh pemerintah pusat, permintaan tersebut bukan

dianggap sebagai sebuah peluang untuk menerapkan syariat Islam, namun

lebih kepada upaya kaum Ulama untuk kembali menyingkirkan Ulebalang.

2. Periode Hasan Tiro dan Pembentukan Gerakan Aceh Merdeka

Pemberontakan yang terjadi pada era berikutnya, pada dasarnya

merupakan gerakan baah tanah yang kecewa terhadap proses dan model

pembangunan yang terdapat di Aceh. Gerakan ini dipelopori oleh kaum

intelektual Aceh yang dipimpin oleh Hasan Tiro dimana pada tanggal 4

Desember 1976 memproklamirkan kemerdekaan Aceh dan membentuk

Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ide-ide yang menjadi pendorong gerakan

ini muncul terkait dengan sejarah Aceh dimana tidak pernah ikut dalam

aturan pada era kolonial Belanda serta tidak pernah menjadi bagian dari

kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Pemberontakan GAM sendiri semakin membesar kala

pemerintahan Orde Baru berupaya mengeksplorasi minyak dan gas alam

yang terdapat di Aceh Utara pada era 1970an. Hal ini dipicu karena adanya

ketimpangan ekonomi yang terjadi di Aceh serta masalah yang muncul

akbat adanya eksploitasi. Pada era Orde Baru sendiri lebih menekankan

pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada eksploitasi besar-besaran

pada sumber gas di Arun dan pupuk Iskandar Muda. Hal tersebut

menjadikan Indonesia sebagai eksportir LNG terbesar dan hampir 90%

hasil pabrik pupuk di Aceh dikirim ke luar.

Dengan eksploitasi besar-besaran tersebut, maka industri gas dan

pupuk di Aceh mendatangkan tenaga kerja terutama dari Jawa yang lebih

profesional dan berpengalaman dibandingkan dengan penduduk lokal. Hal

ini memicu ketimpangan etnis di Aceh dan GAM sendiri mendapat

dukungan dari adanya ketimpangan tersebut. masyarakat Aceh sendiri

mulai menyadari bahwa hasil tambang yang diambil dari Aceh lebih

banyak dikirim ke Jakarta daripada dikembalikan ke Aceh.

Page 4: Sejarah Konflik Aceh

Konflik ini juga timbul karena adanya anggapan bahwa terjadi

kolonialisasi Jawa di Aceh oleh masyarakat Aceh sendiri. Hal ini

didasarkan atas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang didominasi

oleh orang-orang Jawa dibandingkan dengan orang asli Aceh sendiri.

Munculnya gerakan ini sendiri ditanggapi oleh pemerintahan Orde

Baru secara represif. Konflik yang berlangsung antara GAM dengan

pemerintah Orde Baru (Orba) sendiri berlansung secara berlarut-larut

membuat pemerintah Orba mengirimkan ribuan pasukan TNI untuk

menumpas separatisme yang dilakukan oleh GAM. Penyerangan-

penyerangan yang dilakukan oleh GAM dianggap sebagai sebuah

penghalang atau gangguan bagi proses pembangunan yang terjadi di Aceh

oleh pemerintah Orba pada saat itu.

Pada tahun 1980 Hasan Tiro dan sejumlah pemimpin GAM lainnya

pindah ke Swedia, namun konflik yang terjadi masih tetap berlangsung.

Soeharto dalam masa pemerintahan Orba kemudian menggelar operasi

gabungan pada tahun 1989 berupa operasi militer dan operasi bakti untuk

menumpas GAM. Pendekatan militer ini lebih terkenal dengan istilah

Daerah Operasi Militer (DOM) padahal operasi militer ini sendiri bernama

Operasi Jaring Merah (OJM). Operasi militer ini sendiri dilakukan dengan

tujuan untuk menjaga pembangunan tidak mengalami gangguan. Di masa

Orba sendiri, pendekatan militer seringkali digunakan terutama terkait

dengan pemberontakan-pemborantakan yang muncul. Pendekatan militer

di Aceh sendiri banyak menimbulkan kekerasaan terutama pada periode

DOM 1989 hingga 1995 dimana banyak kasus pelanggaran hak asasi

manusia terjadi di sana.

Dengan kegagalan pendekatan militer yang diberlakukan di Aceh,

dilain sisi justru semakin menyuburkan GAM sendiri. Kelompok GAM

sendiri pada periode DOM tersebut mampu eksodus keluar Aceh dan

memberikan perlawanan dari luar Aceh melalui Malaysia, Libya, dan

Jenewa. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah terkait

dengan penanganan separatisme sebelum perundingan Helsinski secara

Page 5: Sejarah Konflik Aceh

umum tidak lepas dari pendekatan militeristik yang mengedepankan

kekerasan dalam mewujudkan keamanan di Aceh.

Antara DI/TII dengan GAM

Jika dilihat dari aspek tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya, maka data

dikatakan bahwa GAM merupakan kelanjutan dari gerakan DI/TII yang

sebelumnya ada. tokoh-tokoh yang terlibat dalam DI/TII ternyata masih terlibat

pula di GAM seperti Hasan Tiro, yang pada saat berada di Amerika sempat

menyatakan kritiknya kepada pemerintah RI yang dinilai terlalu kejam dalam

upayanya memberantas DI/TII. Hasan Tiro menyebut bahwa upaya

pemberantasan tersebut lebih kepada upaya “genocid” atau pembantaian sewenan-

wenang terhadap rakyat Aceh.

Keterkaitan antara tokoh DI/TII dengan GAM sendiri terlihat pada

pertengahan 1971, dimana Daud Beure’uh singgah di Amerika Serikat dan

bertemu dengan Hasan Tiro untuk mendiskusikan nasib bangsa Aceh –Sumatera.

Dalam diskusi tersebut, Daud Beure’uh mengharapkan bahwa Hasan Tiro

bergerak untuk merealisasikan ide yang kemudian menjadi cita-cita GAM

mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatera pada tahun 1976.

Jika dilihat dari aspek sosio-politik, baik gerakan DI/TII maupun GAM

lebih kepada upaya perlawanan akibat adanya kekecewaan terhadap pemerintah

pusat pada saat itu. Jika dilihat pada era DI/TII, tokoh-tokoh yang terlibat

didalamnya pada dasarnya tidak ingin melepaskan diri dari NKRI, namun lebih

kepada keinginan agar pemimpin RI pasca kemerdekaan menjalankan

pemerintahan sesuai dengan kondisi masyarakat yang majemuk. Hal ini berarti

bahwa keinginan adanya otonomi-otonomi sesuai karakter masayrakat yang

didasarkan pada sosio-kultur yang ada di wilayah tersebut. Misalnya, Aceh

sebagai wilayah yang dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat agar diberi

keleluasaan untuk memberlakukan syariat Islam disana.

Berbeda dengan DI/TII, GAM sendiri sesuai dengan namanya dari awal

bertujuan untuk memerdekakan diri dari NKRI. Penggagas dan tokoh-tokohnya

menginginkan agar Aceh terlepas dari Republik Indonesia dan membentuk negara

Page 6: Sejarah Konflik Aceh

tersendiri. Hal ini terlihat dari kutipan yang diucapkan oleh Hasan Tiro pada saat

mendeklarasikan GAM dimana adanya keinginan untuk memisahkan diri dan

merdeka secara utuh.

Fase Pertumbuhan GAM dan Daerah Penyebaran

Secara geografis penyebaran serta pertumbuhan dari GAM sendiri dapat

dilihat dari gambar di bawah ini:

Page 7: Sejarah Konflik Aceh

Sedangkan berdasarkan waktu dan karakeristiknya, maka penyebaran dan

pertumbuhan dari GAM sendiri dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Fase Pertumbuhan Karakteristik Lokasi Penyebaran dan

Perkiraan Jumlah

Personil

1976 - 1982 Periode kelahiran dan

konsolidasi kekuatan

yang ditandai oleh

bentuk-bentuk

propaganda GAM kepada

masyarakat

Pidie, Aceh Utara, dan

Aceh Timur.

Diperkirakan jumlah

personil lebih dari 500

orang

1982 - 1989 Periode rekonsiliasi

kekuatan yang ditandai

oleh aksi-aksi kekerasan

dan kekacauan

(sasarannya adalah aparat

keamanan (ABRI) pada

saat itu)

Terbatas di pegunungan

dan perjuangan dilakukan

melalui luar Aceh dari

Libya, Malaysia,

Singapura, dan Swedia

1989 - 2003 Periode pengembangan

sayap militer, konflik

bersenjata, dan

perjuangan diplomatic di

luar negeri terutama

tahun 2003

Khususnya pasca

jatuhnya Soeharto GAM

mengalami perluasan

wilayah ke kabupaten-

kabupaten lain hampir 17

kabupaten dengan

estimasi pasukan

Page 8: Sejarah Konflik Aceh

berjumlah 5.000 hingga

15.000 pasukan.

Berakhirnya Konflik Aceh

Konflik yang terjadi antara pemerintah dengan pihak GAm sendiri

berakhir dengan diadakannya mediasi oleh mantan Presiden Finlandia yakni

Martti Ahtisaari. Pertemuan antara kedua belah pihak tersebut dilangsungkan di

Helsinki, Finlandia antara bulan Januari dan Agustus 2005. Pertemuan atau

negosiasi tersebut menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) antara

GAM dengan pemerintah Indonesia. Perjanjian tersebut berisi enam pokok

bahasan berkenaan dengan Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan Undang-

undanh tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Partisipasi Politik,

Ekonomi, Peraturan Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, Amnesti dan

Reintegrasi ke dalam masyarakat, Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi

Monitoring Aceh, dan Penyelesaian perselisihan.