Sejarah Dan Peranan NU
-
Upload
hendri-wijaya -
Category
Documents
-
view
9.540 -
download
4
Transcript of Sejarah Dan Peranan NU
SEJARAH DAN PERANAN NU DALAM PEROLEHAN SUARA PPP PADA TAHUN 1973-1984 DI KABUPATEN PEMALANG
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Sejarah
Oleh:
MAOLANA SYARIF H 3101402021
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang
panitia ujian skripsi pada:
Hari :
Tanggal :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Subagyo, M. Pd. Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum. NIP. 130818771 NIP. 131813677
Mengetahui, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Drs. Jayusman, M. Hum. NIP. 131764053
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:
Hari :
Tanggal :
Penguji Skripsi
Drs. Ba’in, M. Hum.
NIP. 131876207 Anggota I Anggota II Drs. Subagyo, M. Pd. Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum. NIP. 130818771 NIP. 131813677
Mengetahui,
Dekan
Drs. Sunardi, M.M NIP. 130367998
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
keseluruhan, pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Agustus 2007
Maolana Syarif H NIM. 3101402021
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
“Keindahan hidup akan tercipta bila ada sebuah kejujuran, ketulusan kasih sayang dan hati
untuk mencapai ridhlo Sang Khaliq”
(Penulis)
“Hidup akan lebih bermakna ketika hati kita kaya akan rasa syukur atas segala rahmat dan
hidayahNya,,,”
(Penulis)
PERSEMBAHAN:
Abah dan umi tercinta yang selalu berdo’a, berusaha, dan tulus mencurahkan segala kasih
sayangnya serta kedua kakakku “mba’ dan Agus” yang selalu mendorong semangatku
Keponakan-keponakanku tersayang;Nauval, Zidane, dan Nana yang selalu mengisi hari-hari
dan setiap langkahku
“seseorang” yang paling kusayangi, thanks for all,,,
Teman-teman seperjuangan di wisma Musyafir, kapan kita bertemu lagi,,,
Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah’ 02
Almamaterku
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak terlepas dari bentuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan
hati penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmojo, M. Si, Rektor Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimba ilmu dengan segala kebijakannya.
2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang yang dengan kebijakannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
3. Drs. Jayusman, M. Hum, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang yang telah mengarahkan penulis dalam
melakukan studi.
4. Drs. Subagyo, M. Pd, Pembimbing I atas bimbingan, arahan, masukan , da
waktunya dalam membantu penyusunan skripsi ini hingga selesai.
vi
5. Drs. Ibnu Sodiq, M.Hum, Pembimbing II atas bimbingan, arahan,
masukan, dan waktunya dalam membantu penyusunan skripsi ini.
6. Drs. Ba’in, M.Hum, Penguji skripsi atas bimbingan, arahan, masukan, dan
waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Segenap Pengurus NU Pemalang periode 2006-2012 dan para sesepuh NU
di Kabupaten Pemalang yang telah membantu penulis dalam memberikan
informasi.
8. Abah dan Umi serta kakak-kakakku yang selalu memberi dorongan dan
semangat.
9. De’ Ipung, Damai, Judan, Ummu, Koko dan mimih tercinta, dan teman-
temanku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberi dorongan dan semangat pada penulis sehingga skripsi ini dapat
selesai.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelasaikan penulisan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan
penulisan selanjutnya. Akhir kata penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Semarang,
Penulis
vii
ABSTRAK
Maolana Syarif H. 2007. Sejarah dan Peranan NU Dalam Perolehan Suara PPP Pada Tahun 1973-1984 di Kabupaten Pemalang. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. 101 halaman. Kata Kunci: Nahdlatul Ulama, Perolehan suara, Partai Persatuan
Pembangunan Nahdlatul Ulama (NU) Pemalang pada tahun 1973-1984 berfusi bersama
unsur-unsur Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai unsur yang palig dominan dalam fusi tersebut keberadaan NU sangat berpengaruh terhadap setiap gerak PPP di Pemalang dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit, terutama peranannya dalam perolehan suara PPP di Pemalang. Menghadapi Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 bersama unsur lain NU berusaha untuk memenangkan PPP dengan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Berkaitan dengan peranan NU tersebut diatas terutama pada masa bergabung di dalam PPP dalam penelitian ini, muncul beberapa permasalahan, yaitu (1) Bagaimana sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang dan perkembangannya dalam politik (2) Bagaimana strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP (3) Bagaimana hasil perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU berfusi di dalam PPP. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang dan perkembangannya dalam bidang politik.(2) Mengetahui strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP. (3) Mengetahui hasil perolehan suara PPP di Pemalang pada saat NU berfusi di dalam PPP.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiogafi. Lingkup spasial dalam penelitian ini adalah kabupaten Pemalang, sedangkan lingkup temporal penulis mengambil tahun 1973-1984 karena pada tahun tersebut NU Pemalang bersama unsur Islam lainnya melakukan fusi ke dalam PPP. Dengan berbagai strategi yang dilakukan NU Pemalang berusaha untuk memperoleh suara PPP sebanyak-banyaknya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa NU di Pemalang berdiri pada tahun 1934 setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU di Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH Kholil, dan H Husni. Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk mendukung berdirinya NU secara nasional. Dalam perjalanan politiknya, NU pernah bergabung dalam MIAI, menjadi anggota istimewa Masyumi, dan mendirikan Partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan, dan terakhir mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa.
viii
Secara politis pada tahun 1973-1984 kekuatan NU tergabung dalam Partai Persatuan Pembagunan (PPP). Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru meyederhanakan partai menjadi dua partai dan satu golongan ini memaksa NU Pemalang bersama Syarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, Parmusi (yang kemudian berubah menjadi Muslimin Indonesia) untuk berfusi ke dalam PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Dalam upaya untuk memenangkan PPP di Pemalang, NU melakukan berbagai strategi yaitu dengan mamanfaatkan keberadaan NU sebagai organisasi massa yang memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik di tingkat nasional maupun lokal yang dalam hal ini adalah Pemalang, mengerahkan ulama-ulama NU Pemalang untuk terlibat langsung dalam proses kampanye yang dilakukan di beberapa daerah di kaabupaten Pemalang, dalam kegiatan kampanye PPP para ulama NU di Pemalang berusaha untuk memikat hati masyarakat agar menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP dengan berbagai cara termasuk menggunakan tema perjuangan Islam, dan melakukan kerjasama di berbagai bidang dengan DPC PPP Pemalang.
Sebagai hasilnya PPP di Pemalang mampu menjadi kekuatan terbesar kedua setelah Golkar dan menjadi tandingan Golkar yang cukup berarti dalam Pemilihan Umum 1977 sampai pada Pemilu 1982. Hasil yang diperoleh PPP di Pemalang diluar dugaan baik PPP sendiri maupun Golkar atau PDI. Walaupun pada dasarnya angka suara yang diraih jauh berada di bawah Golkar, yaitu dengan memperoleh suara sebanyak 138.251 (31,42 %) dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %) dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1982. Secara umum perolehan suara PPP di Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 stabil dan penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah kecamatan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
PERNYATAAN................................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xiiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian........................................................................ 9
E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 9
F. Tinjauan Pustaka........................................................................... 11
G. Metode Penelitian ......................................................................... 18
H. Sistematika Skripsi ....................................................................... 22
BAB II SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BERDIRINYA NAHDLATUL
ULAMA DI PEMALANG
A. Latar Belakang Berdirinya NU di Indonesia............................... 23
B. NU Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan................................. 24
1. Paham Keagamaan NU......................................................... 30
2. Anggaran Dasar NU.............................................................. 32
3. Orientasi Gerakan NU........................................................... 33
x
C. Latar Belakang Berdirinya NU di Pemalang............................... 35
D. Kehidupan Politik NU................................................................. 38
1. NU dan MIAI....................................................................... 39
2. NU dan Masyumi.................................................................. 41
3. NU Sebagai Partai Independen............................................. 42
4. NU Berfusi ke dalam PPP.................................................... 46
BAB III STRATEGI NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA
MEMENANGKAN PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DI
PEMALANG
A. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Pemalang ....................... 52
B. Kiprah Politik NU Pemalang di PPP.......................................... 54
C. Strategi NU Dalam Perolehan Suara PPP di Pemalang ............. 59
1. NU Sebagai Kekuatan Utama PPP........................................ 59
2. Hadirnya Figur Kyai Sebagai Pemimpin............................... 62
3. Tema Islam Sebagai Alat Perjuangan.................................... 66
4. Hubungan Kerjasama antara NU dengan PPP...................... 67
BAB IV HASIL PEROLEHAN SUARA PARTAI PERSATUAN
PEMBANGUNAN PADA PEMILU 1977 DAN 1982 DI PEMALANG
A. Pemilu 1977 dan 1982 di Pemalang............................................ 70
B. Perolehan Suara PPP di Pemalang .............................................. 73
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82
LAMPIRAN....................................................................................................... 84
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jumlah Perolehan Suara Pemilu 1977-1987 Kabupaten Pemalang
……………………………………………………………………….. 72
Tabel 2. Hasil Perolehan Suara PPP Kabupaten Pemalang Pada Pemilu 1977,
1982, dan 1987………………………………………………………. 73
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bapak KH. Asrori Saleh, B.A ......................................................... 84 Gambar 2. Bapak KH. Slamet Zaeny................................................................ 84 Gambar 3. Bapak KH. Noor Effendy................................................................ 85
Gambar 4. Bapak KH. Zainal Abidin Noory .................................................... 85 Gambar 5. Bapak KH. Asrori Saleh, BA Dalam Acara Rapat Bersama
Pengurus PPP dengan Muslimat NU Pemalang Pada Persiapan
Menghadapi Pemilu 1977................................................................ 86
Gambar 6. Bapak KH. Noor Effendy Pada Sebuah Rapat Muslimat NU
Pemalang dalam Mempersiapkan Kampanye 1977 ........................ 86
Gambar 7. Kantor Pengurus Cabang NU Pemalang pada Awal Berdirinya
NU di Pemalang Tahun 1934 di m Pelutan (Kota) ......................... 87
Gambar 8. Kantor Pengurus Cabang NU Pemalang Sekarang ......................... 87
Gambar 9. Lambang PPP setelah NU Keluar dari Fusi ....................................88
Gambar 10. Lambang PPP Pada saat NU masuk ke dalam Fusi ........................88
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Peta Wilayah Kabupaten Pemalang Dalam Angka Tahun 1973-1984................................................................................................. 89
Lampiran 2. Peta Perolehan Suara PPP Pemalang Pada Pemilu 1977 dan
1982................................................................................................. 90
Lampiran 3. Deklarasi PPP.................................................................................. 91 Lampiran 4. Data Informan ................................................................................. 92
Lampiran 5. Pedoman Wawancara ...................................................................... 96
Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian......................................................................... 97
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) merupakan salah satu organisasi
keagamaan di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh
ulama yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah atas prakarsa KH Hasyim
Asy’ari, oleh pendirinya organisasi ini disingkat NU. NU didirikan sebagai
wadah untuk mempersatukan diri dan langkah didalam tugas memelihara,
melestarikan, mengemban, dan mengamalkan ajaran Islam yang mengikuti
salah satu empat mazhab dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat
bagi semesta alam (PBNU, 2000 : 21).
Khoiro Ummatin dalam tulisannya yang berjudul Perilaku Politik Kyai
menyebutkan bahwa latar belakang pendirian organisasi NU dapat dikaitkan
dengan peristiwa penting perkembangan modernisme Islam dan adanya tarik
menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika
gerakan Islam di tanah air (Ummatin, 2002 : 50). Gerakan pembaharuan
radikal yang dimotori Wahabi melahirkan kekhawatiran kalangan ulama
penganut Ahlussunah wal Jama’ah, karena wahabi tidak memberikan
kebebasan bagi masyarakat beribadah sesuai dengan tradisi atau ajaran dari
salah satu mazhab empat (Bruinessen, 1997 : 17). Berdirinya organisasi NU
juga berkaitan dengan kondisi gerakan sosial politik dan pembaharuan
1
2
keagamaan di Indonesia yang dipelopori organisasi-organisasi Islam lainnya
seperti al Irsyad dan Muhammadiyah (Ummatin, 2002 : 51).
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan berlakunya
ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupan
didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan
Pancasila. Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya.
Di bidang keagamaan organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam
menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat dengan
melaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
Islam). Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, NU
mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta
pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusia
muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil,
berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Di bidang
sosial NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum di
segala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di dunia
dan dan keselamatan di akhirat. Di bidang ekonomi NU mengusahakan
terciptanya pembangunan ekonomi yang meliputi berbagai sektor dengan
mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.
Organisasi NU ini sejak awal diproklamirkan diposisikan sebagai
organisasi sosial keagamaan, namun dalam perjalanan sejarahnya hingga
sekarang NU tidak pernah terlepas dari persoalan politik praktis. Motivasi non
3
politis tidak dapat bertahan lama, bahkan secara jujur harus diakui kelahiran
NU itu merupakan langkah politis, baik untuk mempertahankan paham
keagamaan, sebagai bentuk reaksi terhadap gerakan reformasi, modernisasi,
terutama Muhammadiyah maupun untuk menumbuhkan nasionalisme umat
Islam (Shobron, 2003 : 47).
Dalam memahami keterkaitan NU dengan politik perlu dikemukakan
lebih dahulu pengertian politik yang dapat dijadikan pijakan untuk melihat
keterlibatan politik NU. Miriam Budiharjo mengatakan bahwa politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau (negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi
seseorang (private goals) (Shobron, 2003 : 48).
Sudarno Shobron mengatakan bahwa politik adalah kekuasaan yang
digunakan untuk mempengaruhi hal-hal pokok yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan pemerintah. Ruang lingkup politik tidak hanya menyangkut
berbagai hal seputar pemerintah, tetapi juga berkenaan dengan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dan individu-individu.
Berbagai kegiatan tersebut merupakan cara bagi rakyat yang berada di luar
pemerintah untuk mempengaruhi proses politik dalam pemerintahan. Deliar
Noer menyebutkan bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi
dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan
masyarakat.
4
Dari beberapa definisi tersebut di atas bahwa ternyata pengertian politik
itu sangat luas dan komplek, semua kegiatan yang berhubungan dengan
negara, pemerintah, kekuasaan, kebijakan-kebijakan umum merupakan
kegiatan politik.
NU sebagai organisasi sosial sejak awal berhimpitan dengan pemerintah
dan state, baik pada masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, maupun
pada masa pasca orde baru yang sering disebut orde reformasi. Dalam
perjalanan politiknya, NU pernah bergabung dengan MIAI, menjadi anggota
istimewa Masyumi. Pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan
menjadikan dirinya sebagai partai Islam yang baru. Dasar pertimbangannya
adalah karena partai tersebut dianggap tidak lagi dapat menyalurkan aspirasi
politiknya. Sebagai partai yang baru, NU dengan cepat merebut banyak
pendukung. Dengan basis pendukung di pedesaan melalui jaringan Kyai dan
ulama tradisional dalam Pemilu pertama tahun 1955, tiga tahun setelah NU
berdiri, NU telah menempatkan diri sebagai partai Islam terbesar kedua
setelah Masyumi, dan ketiga secara nasional setelah PNI dan masyumi
(Mulkhan, 1989 : 115). Pemilu kedua tahun 1971 merupakan keikutsertaan
NU yang terakhir dalam kedudukannya sebagai partai, dimana pada pemilu ini
partai NU keluar sebagai pemenang pertama diantara sembilan kontestan
partai politik. Pemilu waktu itu diikuti 10 organisasi politik (sembilan parpol
dan satu Golkar). Dari ke-10 kontestan Pemilu Golkar yang untuk pertama
kalinya terjun dalam pemilu menjadi pemenang pertama (Sinansari, 1994 :
31).
5
Stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi yang
dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru, membawa pada pemikiran
restrukturisasi partai politik yaitu dengan melakukan penyederhanaan partai.
NU bersama Partai Syarekat Islam (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti), dan Partai Muslimin Indonesia-Parmusi (yang kemudian berubah
menjadi Muslimin Indonesia-MI) pada tanggal 5 Januari 1973 difusikan dalam
satu wadah politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fusi
ini merupakan sejarah baru bagi NU dan partai Islam lainnya, karena
ketidakberdayaannya menghadapi kebijakan pemimpin Orde Baru. Soeharto
dengan kekuatan yang ada dalam genggamannya mengarahkan partai-partai
politik tidak lagi berorientasi pada ideologi, melainkan pada program kerja.
Orientasi ideologi dalam sejarahnya tidak pernah dapat menciptakan
kedamaian, baik internal maupun eksternal, melainkan selalu menimbulkan
konflik yang mengarah pada perpecahan (Shobron, 2003 : 95).
Posisi NU di PPP relatif cukup strategis dan kuat, bahkan sangat
dominan dan mewarnai kebijakan-kebijakan PPP, terutama bila berhadapan
dengan pemerintah. Dalam personalia pengurus, banyak unsur NU misalnya,
Rais’Am dan wakilnya, dipegang KH. Bisri Syamsuri dan KHM Dahlan.
Majelis Pertimbangan Pusat dipegang KH Masykur sebagai ketuanya, dan
Presiden Partai dipegang KH Idham Khalid. Ini menunjukkan bahwa peran
NU sangat strategis, namun peran para kyai tidak banyak beranjak, lebih
banyak yang duduk di Majelis Syuro (Sujuthi, 2001 : 100). Meskipun posisi
NU di PPP dan lembaga legislatif sangat kuat dan diperhitungkan, tetapi
6
dalam pembentukan Kabinet Pembangunan II tahun 1973 tidak seorang pun
dari NU yang masuk dalam kabinet. Jabatan Menteri Agama yang telah lama
dianggap sebagai “jatah” untuk NU, diberikan kepada Prof. Dr. HA Mukti Ali,
seorang “teknokrat agama” dari IAIN. Dalam Kabinet Pembangunan II ini dari
politisi non Golkar yang menjadi menteri hanya dua orang yaitu HMS
Mintareja sebagai Menteri Sosial dan Sunawar Sukowati sebagai Menteri
Negara-dua jabatan menteri yang tidak strategis (Sujuthi, 2001 : 100). Dari
kenyataan itu NU melihat bahwa untuk selanjutnya pemerintah Orde Baru
tidak akan memberi tempat bagi politisi non Golkar untuk duduk dalam
pemerintahan. Karena itu, satu-satunya alternatif adalah memperbanyak
anggota legislatif (DPR/MPR) agar dapat mempengaruhi proses pengambilan
keputusan politik. Untuk mencapai tujuan itu, tidak ada jalan lain kecuali
memperkuat dan membesarkan PPP, sehingga memperoleh kursi sebanyak-
banyaknya dalam Pemilu 1977, dan Pemilu-pemilu berikutnya.
Tahun-tahun pertama kelahiran PPP sebagai fusi partai-partai Islam telah
menunjukkan kekompakan yang sangat mengesankan. Dalam menghadapi
Pemilu 1977, PPP tampil dengan kompak, solid dan bersatu padu serta
mendapatkan dukungan yang amat luas di kalangan umat Islam. Dengan
membawa bendera Ka’bah para juru kampanye (jurkam) PPP membawakan
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist-hadist Nabi agar memilih bahkan mewajibkan
umat Islam untuk memilih PPP. Satu-satunya partai Islam yang paling tepat
untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sebagai contoh, KH Bisri Syansuri
yang berfatwa bahwa memilih PPP pada Pemilu 1977 adalah “wajib”
7
hukumnya di mata Syari’at Islam. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk
memperoleh suara PPP sebanyak-banyaknya. Berbagai upaya dilakukan
sehingga pada Pemilu 1977 PPP memperoleh lima tambahan kursi di DPR,
menjadi 99 kursi dibandingkan 94 kursi pada Pemilu 1971 yang diperoleh
partai-partai Islam sebelum fusi (Sujuthi, 2001 : 103). Posisi fusi partai Islam
mampu memperoleh suara 29,9 % lebih besar daripada perolehan tahun 1971
(Mulkhan, 1989 : 134).
Peningkatan ini tentunya tidak terlepas dari peranan partai-partai Islam
yang tergabung dalam fusi, tidak terkecuali NU. NU memberikan kontribusi
yang tidak sedikit bagi perolehan suara PPP pada waktu itu, menimbang
bahwa NU sendiri merupakan organisasi yang mempunyai pengikut dalam
jumlah yang sangat besar baik di tingkat nasional maupun lokal. Dengan
masuknya NU kedalam fusi, secara formal terikat dengan PPP sehingga warga
NU menyalurkan aspirasi politiknya melalui PPP. Warga NU menyalurkan
aspirasinya kepada partai fusi ini sampai pada tahun 1984, dimana PBNU
mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan fusi partai, kebijakan ini
terkenal dengan nama kembali ke Khittah 1926. Dengan keluarnya NU dari
keanggotaan ini secara organisatoris NU tidak terikat dengan organisasi sosial
politik manapun, NU telah kembali pada jati dirinya sebagai lembaga sosial
keagamaan seperti pada awal pembentukannya.
Pemalang sebagai salah satu daerah basis NU di Jawa Tengah juga
berperan aktif dalam mengikuti Pemilu 1977 dan Pemilu-pemilu berikutnya.
NU kabupaten Pemalang telah berperan serta dalam upaya untuk
8
memenangkan PPP dalam Pemilu 1977 sampai pada tahun 1984. Berbagai
upaya yang dilakukan oleh NU Pemalang mampu membawa PPP menjadi
kekuatan terbesar kedua setelah Golkar di kabupaten Pemalang, yaitu dengan
memperoleh suara sebanyak 138.251 (31,42 %) dengan mendapat 10 kursi
pada pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %) dengan mendapat 10 kursi pada
pemilu 1982 (Badan Arsip daerah Pemalang).
Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas peneliti ingin meneliti
lebih mendalam tentang bagaimana NU kota Pemalang memberikan
kontribusinya dalam usaha untuk memenangkan PPP pada saat tergabung
dalam fusi bersama partai-partai Islam lainnya. Oleh karena itu peneliti
mengambil judul skripsi “Sejarah dan Peranan NU Dalam Perolehan
Suara PPP Pada Tahun 1973-1984 di Kabupaten Pemalang”.
B. Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang
dan perkembangannya dalam politik?
2. Bagaimana strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan
PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP?
3. Bagaimana hasil perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU
berfusi di dalam PPP?
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang
dan perkembangannya dalam bidang politik.
2. Mengetahui strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan
PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP.
3. Mengetahui hasil perolehan suara PPP pada saat NU berfusi didalam PPP.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperkaya khasanah penelitian sejarah lokal serta sumbangannya
terhadap sejarah nasional khususnya tentang peranan NU dalam dunia
politik dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian sejenis..
2. Dapat mengetahui perkembangan sejarah sosial politik di kota Pemalang.
3. Dapat menambah pengetahuan dan masukan dalam kehidupan berpolitik
bagi masyarakat luas sehingga bisa lebih arif dan bijaksana dalam
menghadapi masalah-masalah politik.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi
pembahasan pada pokok permasalahan saja. Ruang lingkup menentukan
konsep utama dari permasalahan sehingga masalah-masalah dalam penelitian
10
ini dapat dimengerti dengan mudah dan baik. Ruang lingkup penelitian sangat
penting dalam mendekatkan pada pokok permasalahan yang akan dibahas,
sehingga tidak terjadi kerancuan ataupun kesimpangsiuran dalam
menginterpretasikan hasil penelitian.
Ruang lingkup penelitian dimaksudkan sebagai penegasan mengenai
batasan-batasan objek penelitian yang mencakup lingkup wilayah (spatial
scope) dan lingkup waktu (temporal scope).
Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup wilayah (spatial scope)
adalah kota Pemalang. Kota Pemalang merupakan daerah yang terletak di
Jawa Tengah bagian pesisir utara. Sebelah barat berbatasan dengan kota
Tegal, sebelah timur berbatasan dengan kota Pekalongan, sebelah selatan
berbatasan dengan kota Purbalingga, dan sebelah utara berbatasan dengan
Laut Jawa. Pengambilan kota Pemalang sebagai objek penelitian karena kota
Pemalang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjadi salah satu
basis NU.
Sedangkan ruang lingkup waktu (temporal scope) adalah batasan waktu
terjadinya peristiwa sejarah yang menjadi objek penelitian. Yaitu tahun 1973,
dimana NU secara formal tergabung dalam fusi dengan partai-partai Islam
lainnya sampai tahun 1984 yaitu ketika NU secara formal keluar dari
keanggotaan fusi.
11
F. Tinjauan Pustaka
Dalam mengkaji tentang peranan NU pada perolehan suara PPP pada
tahun 1973-1984, peneliti menggunakan beberapa referensi yang dapat
dijadikan sebagai sumber pustaka dalam mengkaji permasalahan yang
dibahas. Beberapa buku yang peneliti gunakan antara lain:
Karya Dr. Martin Van Bruinessen yang berjudul NU; Tradisi, Relasi-
relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru yang diterbitkan oleh LKIS
Yogyakarta tahun 1994. dalam tulisannya, Bruinessen mengatakan bahwa NU
adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di
seluruh Dunia Muslim. NU adalah sebuah sebuah organisasi ulama
tradisionalis yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, organisasi non
pemerintah yang paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan
bawah. Ia mewakili paling tidak dua puluh juta muslim yang mesti tidak selalu
terdaftar sebagai anggota resmi namun mereka merasa terikat kepada NU
melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial.
Buku ini mengkaji lebih mendalam tentang perkembangan yang terjadi
pada NU di Indonesia baik di dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik
mulai sejak awal berdirinya NU bahkan jauh sebelum NU lahir sampai
perkembangan yang terjadi pada tahun 1980-an. Dalam bidang politik,
Bruinessen menyebutkan bahwa NU dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu
biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah, dan para
pemimpinnya seringkali dituduh sebagai orang-orang yang sangat oportunis.
Namun selama tahun 1970-an, ketika kebijakan-kebijakan khas Orde Baru
12
secara bertahap berjalan menurut arahnya sendiri, NU menjelma menjadi
pengkritik yang terus terang dan konsisten terhadap berbagai kebijakan
tersebut. Suara-suara protes terhadap berbagai ketetapan pemerintah yang
tidak populer yang terdengar di DPR ternyata berasal dari para utusan NU.
Dua kali utusan NU melanggar prinsip politik konsensual yang sangat
dijunjung tinggi dengan melakukan walk out dari DPR, tindakan tesebut tidak
hanya merupakan protes terhadap undang-undang yang sedang disidangkan
pada saat itu (salah satunya berkaitan dengan indroktinasi ideologi resmi,
Pancasila) tetapi juga menantang landasan pokok politik Orde Baru.
Penolakan NU inilah yang mendorong pemerintah pada awal 1980-an sangat
menuntut adanya kesepekatan ideologis yang lebih jauh lagi dan mewajibkan
semua organisasi kemasyarakatan dan partai politik menerima Pancasila
sebagai asas tunggal, dengan melepaskan semua asas lain, termasuk Islam. NU
merupakan organisasi sosial yang pertama kali menerima asas Pancasila.
Muktamar 1984 yang terkenal dengan nama Muktamar Situbondo melakukan
perubahan anggaran dasar sebagaimana yang diminta oleh pemerintah. Pada
saat itu juga NU menyatakan diri meninggalkan politik praktis dan kembali
pada jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan, langkah ini lebih
dikenal dengan kembali ke khittah 1926-sebuah keputusan yang umumnya
disebabkan oleh frustasi terhadap fraksi lain di PPP pada saat NU melakukan
fusi pada tahun 1973 (Bruinessen, 1994 : 5).
Buku yang memiliki jumlah halaman 311 ini merupakan kajian yang
sangat bermanfaat dalam memperoleh data tentang NU. Pembahasan tentang
13
NU dibahas lebih mendalam serta mudah dipahami isinya, karena disajikan
dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Dalam menulis
buku ini, Bruinessen langsung terjun kedalam aktifitas-aktifitas orang-orang
NU, ia mengadakan hubungan langsung dengan orang-orang NU sehingga
informasi yang didapat lebih mendalam.
Buku yang kedua adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam
Pentas Politik Nasional karya dari Sudarno Shobron yang diterbitkan oleh
Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammaditah Surakarta
tahun 2003. Dalam bukunya Shobron mengatakan bahwa Muhammadiyah dan
NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang penuh dengan dinamika
seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan
beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam persoalan politik misalnya, kedua
organisasi ini memiliki “langgam” sendiri dalam menyikapi sehingga kadang-
kadang terkesan kontradiksi.
Muhammadiyah dan NU sebagai lembaga sosial keagamaan, memiliki
keterkaitan dengan persoalan kebangsaan, maka kedua organisasi ini selalu
terlibat dalam masalah-masalah politik, baik dalam pergerakan nasional
maupun dalam partai politik. Di dalam buku ini membahas tentang perjalanan
kedua organisasi ini sebagai lembaga sosial keagamaan maupun lembaga
politik. Keterlibatan Muhammadiyah dan NU dalam politik dibahas pada bab
ketiga dengan judul “Muhammadiyah dan NU dalam Sejarah Politik Islam
Indonesia”. Dalam bab ini dibahas tentang Muhammadiyah dan Politik sejak
Belanda sampai Orde Baru, yakni hubungan Muhammadiyah dan MIAI,
14
Masyumi, Parmusi, diakhiri dengan lepasnya Muhammadiyah dari partai
politik. Tentang NU dan politik juga dibahas dalam bab ini yaitu tentang
keterlibatan NU dalam MIAI, Masyumi, NU menjadi partai politik yang
independent, serta NU pada saat berfusi dalam PPP, dan diakhiri dengan
kembalinya NU ke khittah 1926.
Buku ini sangat mendukung dalam membahas tentang peranan NU
dalam perolehan suara PPP pada saat berfusi dengan partai Islam lainnya.
Peneliti mengkaji secara terperinci tentang keterlibatan NU dalam pentas
politik nasional. Penyajiannya disertai dengan tabel-tabel sehingga dapat
mempermudah pembaca untuk lebih memahami isi dari buku ini. Pendekatan
yang digunakan dalam buku ini adalah historis (sejarah kritis), yakni berusaha
melihat sejarah masa lampau secara kritis, dari perspektif keagamaan dan
politik karena Muhammadiyah dan NU tidak terlepas dari paham keagamaan
yang dianut dan dikembangkan.
Buku lain yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian skripsi
ini adalah hasil karya dari M. Ali Haidar yang berjudul Nahdlatul Ulama dan
Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik yang diterbitkan oleh
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 1994. Buku ini mengkaji tentang
keterlibatan NU dalam bidang politik yang ditinjau dari perspektif fikih
(hukum Islam). Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan
hukum, sebab salah satu yang penting dalam hukum Islam mengharuskan
adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut. Atas dasar
konsep tersebut maka orientasi NU untuk memperjuangkan berlakunya hukum
15
Islam di tanah air tidak bisa dilepaskan dengan orientasi lembaga kekuasaan
politik, sebab dengan lembaga itu maka hukum Islam lebih dimungkinkan
dapat difungsikan. Dengan alasan konsep seperti inilah yang menjadi daya
tarik bagi NU untuk terjun dalam politik praktis (Haidar, 1998 : 98). Orientasi
politik NU dapat dilihat sejak NU terlibat dalam politik, baik pada waktu
kedudukannya sebagai organisasi sosial keagamaan maupun sebagai partai
politik.
Dalam bidang politik, NU turut serta memberi sumbangan bagi
pemecahan problematik yang dihadapi bangsa dan Negara. Terlebih-lebih
pendekatan keagamaan yang dilakukan telah mempersubur pengembangan
budaya Islam di tengah masyarakat. Menurut Haidar, banyak pemikir Barat
yang meneliti tentang NU, namun mereka belum maksimal kajiannya tentang
NU, misalnya Herbert Feith dan Lance Casues yang mencoba untuk merekam
pemikiran politik di Indonesia tetapi hanya memberi porsi yang sedikit
mengenai NU dan ternyata belum memahami pemikiran politik NU
dibandingkan dengan peran yang pernah dimainkannya. Buku ini berusaha
untuk mengisi kekosongan itu sebagai langkah awal untuk memberi gambaran
yang agak utuh mengenai NU khususnya dengan analisis menurut sumber-
sumber yang diacu oleh NU sendiri. Dengan pendekatan ini diharapkan agar
kita dapat memehami NU menurut visi NU sendiri.
Di dalam buku ini diuraikan tentang peristiwa-peristiwa sejarah politik
yang dilalui NU dan bagaimana NU memecahkan problematik yang terjadi,
khususnya dalam soal pembentukan kabinet. Konflik dengan Masyumi,
16
selama NU tergabung di dalamnya maupun sesudah NU keluar, pada saat
kedudukan NU sebagai partai politik maupun pada saat ketika tergabung
dalam fusi bersama partai Islam lainnya dalam PPP. Visi keagamaan NU juga
terlihat ketika NU menghadapi pemilihan umum dengan sikap yang lebih
toleran, akomodatif, dan rekonsiliatif. Dengan sikap-sikap politik NU itu tidak
lantas berhasil diperankan dengan baik. Kelemahan-kelemahan manajerial dan
organisasi seringkali mengesankan NU terbawa arus terus menerus tanpa
mampu mengubahnya menjadi terobosan yang menguntungkan. Buku ini juga
menguraikan tentang refleksi diri yang dilakukan NU terhadap eksistensi
politiknya. NU mengoreksi langkah yang selama ini dijalani untuk menjadi
jam’iyah sebagai organisasi non politik tahun 1983. Proses menuju arah ini
bukannya tanpa pergulatan internal yang menegangkan, karena begitu
kentalnya kehidupan politik sebelumnya. Di samping itu ketegangan juga
terjadi antar berbagai unsur, termasuk NU, yang berfusi kedalam PPP.
Di dalam buku NU, Gusdurisme dan Politik Kiai tulisan DR. Faisal
Ismail, MA. pada salah satu artikelnya yang berjudul Dilema Politik Islam:
Idealisme Versus Realisme diuraikan tentang perkembangan politik umat
Islam ditinjau dari perspektif idealisme dan kenyataan yang terjadi pada
pergerakan politik umat Islam. Idealisme politik Islam terwujud Partai
Masyumi dibentuk di Yogyakarta pada tanggal 8 November 1945. Para tokoh
Muslim yang mewakili berbagai organisasi Islam (seperti Muhammadiyah,
NU, Sarekat Islam dan Perti) dalam kongresnya sepakat untuk menjadikan
Masyumi sebagai satu-satunya partai dalam menyalurkan aspirasi politik umat
17
Islam. Cita-cita dan idealisme politik Islam diharapkan dapat disalurkan dan
diperjuangkan oleh para pemimpin Islam dan umatnya lewat Masyumi dalam
menghadapi Pemilu yang akan diselenggarakan tahun 1955. Akan tetapi
sebelum Pemilu 1955 dilaksanakan, idealisme politik Islam pecah berkeping-
keping. Perceraian politik Islam di tubuh Masyumi terjadi akibat konflik
internal yang sulit teratasi. Sarekat Islam keluar dari Masyumi tahun 1947 dan
disusul oleh NU pada tahun 1952. keduanya mendeklarasikan sebagai partai
politik sendiri. Pertikaian Islam berlanjut dengan hengkangnya Perti dan
organisasi-organisasi Islam yang lain dari Masyumi, kondisi semacam ini
berpengaruh terhadap perolehan suara dari partai-partai Islam, yaitu 45 % (jadi
masih kurang dari 50 apalagi 70 persen), cita-cita dan idealisme politik Islam
tidak mungkin dicapai secara maksimal oleh partai-partai Islam dalam
perjuangan konstitusionalnya di Majelis Konstituante (1956-1959). Di
samping itu dilihat dari sudut realisme politik, orang-orang Islam tidak selalu
menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai-partai berbasis Islam dalam
pemilu 55 (Ismail, 1999 : 121).
Kebijakan restrukturisasi politik yang diterapkan Orde Baru memaksa
partai-partai Islam melakukan fusi kedalam PPP. Oleh karena fusi ini tidak
datang dari arus bawah dan tidak terjadi berdasarkan kesadaran yang bersifat
alamiah-batiniah, PPP selalu mengalami dilema politik yang terus berlanjut
sehingga fusinya tidak pernah tuntas.
Unsur-unsur kelompok politik yang ada di tubuh PPP kerap kali
menguat dengan kepentingan politiknya sendiri. Hal ini sering terjadi antara
18
Muslimin Indonesia dan NU sehingga terjadi sering terjadi konflik politik di
tubuh PPP. Ketua umum PPP J. Naro pernah mencoret sederet nama calon
dari tokoh-tokoh NU yang diajukan untuk duduk di DPR (Pemilu 1982)
karena tokoh-tokoh tersebut dipandang sebagai penganut garis keras, dan
menggantinya dengan tokoh-tokoh pilihannya sendiri.
Melihat kenyataan semacam itu, NU melakukan aksi penggembosan
terhadap PPP sehingga perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987 menurun
secara drastis. Ini menunjukkan bahwa idealisme politik Islam di tubuh PPP
hampir, atau bahkan tidak ada. PPP dihadapkan pada realisme politik yang
ditandai oleh perselisihan dan perpecahan politik karena kepentingan-
kepentingan politik dari unsur-unsur politik dalam partai itu.
Dalam Pemilu 1982, misalnya, PPP masih sempat meraup suara
sebanyak 27,78 persen (94 kursi). Namun pada Pemilu 1987, PPP hanya
meraih suara sebanyak 18,8 persen (61 kursi) yang berarti kehilangan
sebanyak 33 kursi dibandingkan dengan perolehan suara dalam Pemilu 82.
Dari sini dapat dilihat bahwa keberadaan NU dalam PPP sangat berpengaruh
terhadap perolehan suara PPP itu sendiri.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.
Dengan metode sejarah, peneliti berusaha menguji dan menganalisa kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau. Oleh sebab itu, penelitian ini akan
peneliti tempuh dengan melakukan prosedur penelitian sejarah menurut Louist
19
Gottschalk (1975 : 32) yang terdiri dari empat langkah bagian yang saling
berurutan, sehingga yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
Adapun keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Heuristik (Pencarian sumber)
Heuristik merupakan kegiatan untuk mencari atau menghimpun data
dan sumber-sumber sejarah atau bahan untuk bukti sejarah, seperti:
dokumen, arsip, naskah, surat kabar maupun buku-buku referensi lain
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.
Pada tahap heuristik ini peneliti mencari literatur-literatur kepustakaan
yaitu buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sumber-
sumber yang diperoleh dengan riset kepustakaan berguna sebagai bahan
pembanding, pelengkap, dan penganalisa guna memperdalam
permasalahan yang dibahas. Dalam penelitian ini peneliti mendapat
literatur-literatur tersebut dari perpustakaan-perpustakaan diantaranya
adalah perpustakaan jurusan Sejarah UNNES, perpustakaan pusat
UNNES, perpustakaan wilayah propinsi Jawa Tengah dan perpustakaan
daerah Pemalang.
Dalam mengumpulkan data yang berupa sumber-sumber sejarah,
peneliti juga melakukan kegiatan wawancara, terutama dengan saksi
sejarah yang mengetahui dan terlibat langsung dalam sejarah ke NU-an
yaitu para sesepuh atau tokoh NU, dan tokoh masyarakat di Pemalang.
Wawancara dilakukan dengan tokoh yang terkait dengan sejarah politik
dan ke NU-an di Pemalang pada tahun 1973-1984 antara lain dengan
20
Bapak H Asrori Saleh, BA, Bapak KH. Slamet Zaeny, Bapak Zaenal
Abidin Noory, KH. Bapak KH. Noor Effendy, dan tokoh-tokoh lainnya.
Peneliti mengalami kesulitan pada saat wawancara karena para informan
sudah lanjut usia sehingga mengakibatkan wawancara agak terhambat
dengan keterbatasan daya ingat dan kesulitan yang lain adalah waktu yang
terbatas dalam mengadakan wawancara karena kesehatan para informan
yang telah menurun. Peneliti juga mengalami kesulitan dalam menemui
para informan karena ada sebagian informan yang masih aktif dalam
kegiatan ke NU-an disamping itu peneliti juga melakukan kajian terhadap
sumber-sumber sejarah yang ada, hal ini dimaksudkan untuk mencari
jejak-jejak sejarah. Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang dikaji,
antara lain kondisi sosial politik masyarakat Pemalang pada tahun 1973-
1984 melalui studi terhadap dokumen, arsip, naskah, foto dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat.
2. Kritik Sumber
Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melihat
kembali apakah sumber itu sesuai atau tidak, apakah sumber itu asli atau
turunan. Kritik sumber itu merupakan penerapan dari sejumlah aturan-
aturan atau prinsip-prinsip untuk menguji kebenaran atau keaslian dari
sumber-sumber sejarah. Kritik sumber yang digunakan adalah kritik intern
dan kritik ekstern. Dalam kritik intern yang peneliti lakukan adalah dengan
mengadakan penilaian berdasarkan sumber itu sendiri, mambandingkan
kesaksian dari berbagai sumber. Sedangkan dalam kritik ekstern yang
21
peneliti lakukan adalah dengan melihat kembali beberapa sumber
misalnya dokumen apakah asli atau tidak, misalnya dengan melihat jenis
kata.
3. Interpretasi
Interpretasi merupakan usaha untuk mewujudkan rangkaian data-data
yang mempunyai kesesuaian satu sama lain dan bermakna (Widja, 1989 :
13). Interpretasi ini dilakukan untuk menentukan makna yang saling
berhubungan antara data-data yang diperoleh, seperti yang dikemukakan
oleh I Gde Widja tersebut.
Pada tahap ini data yang diperoleh diseleksi, dimana peneliti
berusaha menentukan data mana yang harus ditinggalkan dalam penelitian
sejarah dan dipilih data mana yang relevan atau tidak. Faktor-faktor
sejarah yang telah melalui tahap kritik sumber dihubungkan atau saling
dikaitkan sehingga pada akhirnya akan menjadi suatu rangkaian yang
bermakna.
4. Historiografi (Penelitian Sejarah)
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode penelitian
sejarah, dimana peneliti sudah menyusun ide-ide tentang hubungan satu
fakta dengan fakta yang lain melalui tahap interpretasi maka langkah akhir
dari penelitian ini adalah penelitian sejarah. Bentuk dari rekaman dan
peninggalan masa lampau ini akan disusun secara sistematis dengan topik
yang jelas sehingga akan mudah untuk dimengerti dan dengan tujuan agar
pembaca dapat mudah memahaminya.
22
H. Sistematika Skripsi
Secara garis besar sistematika skripsi adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II Membahas tantang Sejarah dan Latar belakang Berdirinya NU di
Indonesia dan Pemalang meliputi sejarah dan latar belakang berdirinya NU di
kota Pemalang dan peranannya dalam bidang politik.
BAB III Membahas tentang Strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam
perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU tergabung dalam fusi.
BAB IV Menjelaskan tentang analisa hasil Pemilu PPP di kota Pemalang pada
saat NU melakukan fusi maupun sesudah keluar dari fusi.
BAB V Penutup meliputi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dibahas
dalam bab sebelumnya. Bagian akhir berisi tentang daftar pustaka dan
lampiran-lampiran.
BAB II
SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BERIDIRINYA
NAHDLATUL ULAMA DI PEMALANG
A. Latar belakang berdirinya NU di Indonesia
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami
bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul
1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan
memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial
keagamaan di Indonesia yang pembentukannya merupakan kelanjutan
perjuangan kalangan pesantren dalam melawan kolonialisme di Indonesia. NU
didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama
tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi ini
berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Kalangan pesantren
yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan
Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan
23
24
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan
kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum
saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain
tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota
(www.wikipedia.org).
Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke-
20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul
Wahab dengan ajarannya yang terkenal “Aliran Wahabi”, yakni berubahnya
sistem pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah
pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta
berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja
Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud ini
berkuasa, ia melakukan gerakan-gerakan modernisme Islam secara radikal
terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk
adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap kuburan empat imam
(Sayafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang terletak di sekitar Ka’bah. Selain
itu reaksi para ulama penganut Ahlussunah wal Jama’ah terhadap
pemerintahan kaum Wahabi saat itu, adalah karena dikahawatirkan kaum
Wahabi tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan ibadah
sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 :
2).
25
Gerakan itu diwariskan oleh seseorang yang bernama Abd Al-Wahab
(1073-1787), yang berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam, karena ia
menganggapnya bahwa ajaran Sufisme telah menciptakan kemerosotan di
kalangan umat Islam, telah menyelewengkan ajaran Islam, termasuk
serangannya terhadap ajaran-ajaran dari empat imam mazhab. Menurut
kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah
ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist, seperti masalah taqlid
dan ijtihad, ziarah kuburan, bacaan barzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah
yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang telah
meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap
tingkat masalah keimanan dan masalah-masalah keduniaan. Sebagai akibatnya
umat Islam menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia
Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme.
Gerakan Wahabi dapat bertahan, berkembang dan merasuki ideologi
kenegaraan, bahkan kemudian memenangkan percaturan politik di Timur
Tengah, dengan tokoh penyebar misi gerakan itu yang terkenal pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Muhammad Abduh. Ajaran
Wahabiyah melalui tokoh tersebut cukup berpengaruh di kalangan orang-
orang Indonesia yang berkesempatan belajar Islam di Timur Tengah, ditambah
dengan pengaruh kemenangan golongan Wahabiyah di bawah kepemimpinan
Raja Sa’ud di Arab Saudi (Laode, 1996 : 3). Deliar Noer, misalnya mencatat
paling tidak ada tujuh orang penyebar Islam ternama dari Sumatera Barat yang
terpengaruh kuat dengan ajaran-ajaran modernisme Islam ala Wahabiyah dan
26
Muhammad Abduh yang hidup di penghujung abad ke-19 dan pada awa abad
ke-20, yaitu Syaikh Muhammad Khatib, Syaikh Taher Djalaludin, Syaikh
Muhammad Djamil Djambek, Abdul Karim Amirullah, Haji Abdullah Ahmad,
Syaikh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai Al-Junusi, dimana mereka
melakukan syiar Islam baik secara langsung maupun melalui pertemuan tatap
muka, lembaga-lembaga pendidikan, maupun secara tidak langsung melalui
tulisan mereka di dalam majalah. Sehingga di daerah itu terjadi ketegangan
antara kalangan penganut penganut Islam tradisional atau kalangan pesantren
dan kalangan tokoh-tokoh adat dengan kalangan pembaharu.
Sementara itu di Pulau Jawa, pada awal abad ke-20 mulai pula terjadi
ketegangan karena munculnya gerakan Islam pembaharu yang bisa disebut
sebagai perpanjangan gerakan Wahabiyah dari Timur Tengah. Adalah
organisasi Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, dimana ia didorong oleh kalangan
murid-muridnya untuk mendirikan organisasi lembaga pendidikan permanen
dalam rangka menyebarkan misi pembaruannya itu, yang merupakan
organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial dalam rangka
pembaruan Islam.
Pada dekade yang sama di awal abad ke-20, muncul pula organisasi-
organisasi yang berorientasi politis, yaitu Budi Utomo (BU) dan Syarekat
Islam (SI). Dua organisasi ini sama-sama menentang pemerintahan kolonial,
hanya saja berbeda orientasi. Kalau Budi Utomo bersifat nasionalis dan
menentang Belanda karena pemerintahan orang asing (penolakan terhadap
27
orang-orang asing), maka Syarekat Islam menentang Belanda karena dianggap
sebagai pemerintahan orang-orang kafir (penolakan terhadap agama yang
dianut oleh para aktor pemerintahannya). Tetapi walaupun para fungsionaris
kedua organisasi itu sama-sama Islam, namun mereka terdiri dari kalangan
modernis atau pembaru (khususnya Budi Utomo).
Pandangan kaum modernisme Islam nampaknya lebih akomodatif
terhadap modernisasi yang berkembang pesat di Barat, apalagi kalangan
penggeraknya, selain yang terpengaruh langsung dengan ajaran Wahabi, juga
adalah kalangan intelektual beragama Islam yang ditempah dalam system
pendidikan ala Barat. Sehingga kecuali menentang tradisi kalangan
tradisionalis, juga merubah atau memperbarui metodologi pendidikan bagi
orang-orang Islam. Walupun begitu nilai-nilai moral Islam tetap dipegang
teguh, sementara misi terhadap revitalisasi Islam yang bisa menjadi dinamis
dan mampu bersaing dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan modern
tanpa menghilangkan moral dan sandaran-sandaran agama masa lalunya.
Gelombang reformisme pada awal abad ke-20 ini dicatat sebagai mewakili
perkembangan intelektual Islam Islam Indonesia tahap pertama.
Perkembangan berbagai organisasi Islam yang berideologi pembaruan itu,
tampaknya dianggap oleh NU secara khusus sebagai suatu ancaman akan
eksistensi model pendidikan yang dilakukan melalui pondok-pondok dan
pesantren-pesantren, dan atau secara umum mengancam eksistensi gerakan
penganut salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 6).
28
Meskipun terdapat kerjasama antara tokoh-tokoh Islam dalam suatu
organisasi yang bernama Kongres Al Islam tetapi tampaknya wadah para
ulama tokoh Islam baik dari kalangan tradisi maupun pembaru ini tak mampu
mengakomodasi kepentingan semua kalangan, karena didominasi oleh
kalangan pembaru. Misalnya pada saat memenuhi undangan Raja Ibnu Sa’ud
menghadiri Kongres Al Islam di Mekkah, dengan melalui Kongres Al Islam
keempat di Yogyakarta pada tanggal 21-27 Agustus 1925 telah diputuskan
delegasi yang hadir yaitu H. O. S Tjokroaminoto (dari Syarekat Islam) dan
KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah). Ini menimbulkan kekecewaan dari
kalangan tradisi yang berdampak pada beberapa tindakan yang dilakukan oleh
kalangan tradisi dalam rangka mempertahankan dan mempertahankan yang
mereka anut (penganut salah satu dari empat mazhab). Salah satunya kalangan
tradisi mengambil inisiatif untuk membangun kelompok yang bertugas khusus
untuk berkunjung di Arab Saudi menemui Raja Sa’ud, penguasa Arab
(Mekkah dan Madina, penganut aliran Wahabi) dalam rangka menyampaikan
paling tidak dua masalah penting. Pertama, himbauan umat Islam Indonesia
(khususnya penganut Ahlusunnah wal Jama’ah atau penganut dari salah satu
empat mazhab) agar memberi kebebasan beribadah kepada masyarakat Arab
penganut faham yang sama. Kedua, tidak melarang orang-orang Islam yang
berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta para
sahabatnya, terutama yang mengandung sejarah Islam (Laode, 1996 : 8).
Perjuangan itu memang berhasil yang ditandai dengan adanya kebijakan baru
Raja Sa’ud tentang kedua himbauan tersebut ditambah dengan upaya
29
memberikan pelayanan kepada jamaah haji dari Indonesia. Kelompok ini
semula merupakan Komite Hijaz, yang sesuai dengan kesepakatan awal
memang akan berakhir namun bisa juga dianggap sebagai cikal bakal
terbentuknya NU di Indonesia (Laode, 1996 : 9). Komite Hijaz ini dibentuk di
rumah Kiai Wahab Chasbullah di Surabaya pada 31 Januari 1926, ia
merupakan juru bicara kalangan tradisi yang paling vokal pada Kongres Al
Islam. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan
megubah diri menjadi sebuah organisasi dan menggunakan nama Nahdlatoel
‘Oelama. Pada tahun-tahun awal berdirinya, pertimbangan mengenai status
Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya (Bruinessen,
1994 : 34).
Pembentukan NU merupakan reaksi satu sisi terhadap berbagai
aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah dan kelompok modernis
moderat yang aktif dalam gerakan politik, Syarekat Islam (SI), sisi lain
terhadap perkembangan politik dan paham keagamaan internasional (Shobron,
2003 : 38). Muhammadiyah yang dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1912
dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah di
Indonesia. Muhammadiyah sangat menekankan kegiatannya pada kepada
pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-sekolah
bergaya Eropa, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan, namun ia juga
merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan akidah.
Muhammadiyah bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta
berbagai prakteknya dan menentang otoritas ulama tradisional. Syarekat Islam
30
didirikan pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan-
kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina.
Pada awal 1920-an, sayap paling radikal dari Syarekat Islam memisahkan diri
dan bergabung dengan partai Komunis. Sebagai organisasi modern yang
dipimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili
kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, Syarekat Islam merupakan
ancaman serius terhadap posisi para pemimpin tradisional umat, Kyai
(Bruinessen, 1994 : 18).
B. NU sebagai Organisasi Sosial Keagamaan
1. Paham Keagamaan NU
Sejak awal berdirinya, NU telah menentukan pilihan paham
keagamaan yang akan dianut, dikembangkan, dan dijadikan sebagai
rujukan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Paham
keagamaannya adalah Ahlussunah wal Jama’ah, dapat diartikan “para
pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ ulama”. Kata Ahlussunah wal
Jama’ah berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata ahlu berarti
keluarga, sunnah artinya jalan, tabiat, perilaku, dan jama’ah berarti
sekumpulan. Kemudian dipandang dari istilah adalah kaum yang
menganut jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat-
sahabatnya. Jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat-
sahabatnya masih terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur,
kemudian dikumpulkan dan dirumuskan oleh Syeih Abu Hasan Al-
31
Asy’ari. Hasil rumusan tersebut berupa ketauhidan, yang dijadikan
pedoman bagi kaum Ahlussunah wal Jama’ah.sehingga wajar kaum
Ahlussunah wal Jama’ah disebut juga kaum Asy’ariyah. Dalam bidang
fiqih kaum Ahlussunah wal Jama’ah menganut salah satu mazhab empat,
yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali (Darojat, 2006 : 15). Bertolak
dari berbagai pengertian diatas, maka pengertian Ahlussunah wal Jama’ah
adalah golongan umat Islam yang dalam bidang tauhid mengikuti ajaran
Imam Al-Asy’ari, sedangkan dalam bidang fiqih mengikuti salah satu
mazhab empat.
Dalam kata pengantar Anggaran Dasar NU tahun 1947. KH. Hasyim
Asy’ari menegaskan paham keagamaan NU, yaitu:
“Wahai para ulama dan para sahabat sekalian yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, yah! Dari golongan yang menganut mazhab imam yang empat. Engkau sekalian orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya dengan tidak gegabah dengan memilih seorang guru dan dengan penuh ketelitian pula kalian memandang seorang guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka oleh karena menuntut ilmu pengetahuan dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang memegang kunci bahkan juga menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karenanya, apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya, maka barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan pencuri” (Shobron, 2003 : 53).
Pengantar dari KH. Hasyim Asy’ari itu dijadikan landasan bagi NU
untuk menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, pada suatu sisi, sisi lain
pengantar diatas juga menjelaskan alur transformasi keilmuan di
lingkungan NU. Sosok guru atau Kyai diibaratkan sebuah pintu sekaligus
kunci dari pintu itu sehingga kalau seorang akan mencari ilmu harus
melalui pintu, yaitu Kyai.
32
Paham yang dianut NU inilah yang menjadi dasar bagi setiap
langkah kalangan ulama tradisional. Namun paham Ahlussunah wal
Jama’ah yang dianut NU ini berbeda dengan paham kelompok modernis
yang juga mengaku penganut Ahl al sunnah wa al-jama’ah. Perbedaannya
terletak pada beberapa hal, antara lain kalangan tradisional dalam bidang
hukum-hukum Islam menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat
sedangkan kalangan modernis tidak mengikuti ajaran-ajaran imam
mazhab. Dalam memahami Islam kalangan modernis langsung langsung
bersumber pada Al Qur’an dan hadis yang sahih, ijma dan qiyas tidak
dijadikan sebagai sumber ajaran. Sedangkan bagi kalangan tradisionalis
penganut Imam mazhab, ijma’ dan qiyas dijadikan sebagai sumber ajaran
Islam (Shobron, 2003 : 54).
2. Anggaran Dasar NU
Anggaran dasar formal NU yang pertama dibuat pada Muktamarnya
yang ketiga pada tahun 1928. Anggaran dasar ini dibuat dengan tujuan
mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda yang pembuatannya
sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Atas dasar anggaran
dasar ini, NU diberi status berbadan hukum pada Februari 1930
(Bruinessen, 1994 : 42).
Anggaran dasar ini tidak menyebutkan dengan sangat eksplisit
bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam
Ahlussunah wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum
pembaharu dan modernis. Sebagai contoh dalam pasal 2 anggaran dasar
33
NU disebutkan bahwa “Adapun maksud perkumpulan ini yaitu:
Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya imam ampat,
yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyj-Syafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan
mengerjdakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan Agama Islam”
(Bruinessen : 1994 : 44).
Dalam pasal 2 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa sikap
berpegang teguh kepada salah satu dari emat mazhab merupakan ciri yang
secara tegas membedakan kaum tradisionalis dengan kaum pembaharu.
Dapat dikatakan bahwa anggaran dasar NU menekankan pada upaya
melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek
keagamaan kaum pembaharu. Namun dalam prakteknya anggaran dasar
NU ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap semua
pendirian kaum pembaharu dan modernis. Sebagai contoh di dalam
angaran dasar NU disebutkan bahwa masyarakat NU didorong malakukan
pembaruan di bidang pendidikan yang coraknya tidak jauh berbeda dari
kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh kaum pembaharu dan modernis.
Madrasah, yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada
waktu itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan
merupakan pembaruan penting dari pesantren tradisional.
3. Orientasi Gerakan NU
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memeperjuangkan berlakunya
ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah
34
kehidupan didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berasaskan Pancasila. Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi,
kiprahnya dibidang pendidikan melalui pondok-pondok, pesantren-
pesantren, madrasah-madrasah tetap digalakkan. Misi utamanya adalah
mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah
satu dari empat mazhab. NU yang semula berkedudukan di Surabaya, pada
awalnya hanya memiliki pendukung atau jama’ah dari Jawa dan Madura.
Tapi tampaknya NU berupaya memperoleh simpati dari masyarakat Islam,
yang memang sempat diraihnya setelah perjuangannya melalui Komite
Hijaz berhasil ditanggapi secara positif oleh Raja Sa’ud.
Orientasi gerakan NU pada tahap perkembangannya tidak hanya
terbatas pada bidang pendidikan kemasyarakatan dan politik saja,
melainkan sudah mulai berusaha mengembangkan kegiatan di bidang
ekonomi. Secara formal organisatoris program di bidang ekonomi pertama
kali diputuskan pada tahun 1930 dengan mendirikan Lajnah Waqfiyah
(panitia wakaf) pada setiap cabang NU untuk bertugas mengurus masalah
wakaf, dimana kegiatan berorientasi profit, tetapi keuntungannya adalah
dalam rangka mendukung kegiatan sosial keagamaan (Laode, 1996 : 12).
Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya. Di
bidang keagamaan organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran
Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat dengan
melaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah
35
(persaudaraan Islam). Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan,
NU mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam
untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas, terampil, berkepribadian, serta berguna bagi agama,
bangsa, dan negara. Di bidang sosial NU mengusahakan terwujudnya
keadilan sosial dan keadilan hukum di segala lapangan bagi seluruh rakyat
untuk menuju kesejahteraan umat di dunia dan keselamatan di akhirat. Di
bidang ekonomi NU mengusahakan terciptanya pembangunan ekonomi
yang meliputi berbagai sektor dengan mengutamakan tumbuh dan
berkembangnya koperasi.
C. Latar Belakang Berdirinya NU di Pemalang
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU di Pemalang tidak bisa
terlepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU secara nasional.
Pendirian NU di Pemalang tidak bersamaan dengan berdirinya NU di tingkat
nasional, yaitu tanggal 31 Januari 1926. Ini terjadi karena meskipun sudah
banyak tokoh dan para ulama menyatakan masuk kedalam NU akan tetapi
pada tahun 1926 mereka belum mengetahui anggaran dasar NU sebagai
pedoman untuk melangkah kedepan, sehingga aktifitas NU pada waktu itu
belum sesuai yang diharapkan. NU di Pemalang berdiri pada tahun 1934
setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya
Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU
36
di Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH
Kholil, dan H Husni (Wawancara dengan Bapak KH Noor Effendy, 20 April
2007).
Kepengurusan NU di Pemalang pada awal berdirinya sebagian besar
terdiri dari para tokoh pendirinya dan masih bersifat sederhana. Sebagai ketua
dipilih H Ma’ful dan Suriahnya Kyai Suyad dengan sekretariat pengurus NU
Pemalang bertempat di Pelutan (Pemalang kota). Semua gerak dan langkah
NU pada waktu itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, yaitu masih dalam
cengkraman penjajah. Namun garis pokok perjuangan tetap bersifat non
koperatif.
Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk mendukung
berdirinya NU secara nasional. Hal ini diawali dengan adanya surat dari KH
Hayim Asy’ari yang disampaikan oleh para tokoh ulama di Pemalang
diantaranya Kyai Abdul Hamid mengenai gagasan mendirikan NU yang isinya
tentang permintaan agar Kyai Abdul Hamid membantunya untuk mendirikan
serta mengembangkan organisasi NU di wilayah Kabupaten Pemalang.
Dengan harapan agar NU mampu mengakomodasi semua aspirasi masyarakat
yang paham Ahlusunnah wal Jama’ah Dengan adanya hubungan batin yang
erat antara Kyai dan pondok pesantren dapat mempercepat pendirian NU di
Pemalang, tokoh-tokoh ulama di Pemalang merasa terpanggil untuk turut
mendirikan dan mengembangkan NU (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal
Abidin Noory, 20 April 2007).
37
Kehadiran NU di Pemalang ternyata mendapat sambutan positif oleh
masyarakat Pemalang. Organisasi NU dapat dengan mudah dikenal oleh
masyarakat pada umumnya dan dijadikan sebagai alat perjuangan bagi warga
NU khusunya. Ini terjadi karena faktor besarnya karisma para ulama yang
mendirikan dan didorong oleh kondisi sebagian besar masyarakat Pemalang
yang telah menerima dan menganut ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Terbentuknya NU di Pemalang dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan
ajaran Islam pengaruh mazhab Ahlussunah wal Jam’ah yang bertujuan untuk
menjawab tuduhan atas perilaku Bid’ah dari kalangan modern (Wawancara
dengan Bapak KH Slamet Zaeny, 20 April 2007).
Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi, langkah utama yang
dilakukan adalah berusaha untuk mengembangkan pendidikan agama Islam
terutama melalui pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah.
Misi utamanya adalah mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam
yang menganut salah satu dari empat mazhab. Kehadiran NU di Pemalang
dijadikan sebagai media untuk menegakkan ajaran Islam Ahlussunah wal
Jama’ah dalam kehidupan masyarakat Pemalang pada umumnya. Dengan
bantuan para ulama NU Pemalang NU mengalami perkembangan yang cukup
pesat terutama ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952. dengan
kharisma yang dimilik oleh ulama NU, masyarakat Pemalang mengikuti apa
yang diajarkan oleh para ulama, termasuk ajakan untuk menegakkan ajaran
Ahlussunah wal Jama’ah.
38
D. Kehidupan Politik NU di Pemalang
Dalam perjalanan sejarahnya, meskipun NU semula didirikan sebagai
lembaga sosial keagamaan, NU tidak pernah terlepas dari persoalan politik
praktis. Motivasi non politis tidak dapat bertahan lama, bahkan secara jujur
harus diakui bahwa kelahiran NU itu merupakan langkah politis, baik untuk
mempertahankan paham keagamaan, sebagai bentuk reaksi terhadap gerakan
reformasi, modernisasi, terutama Muhammadiyah dan Sarekat Islam, maupun
untuk menumbuhkan nasionalisme umat Islam (Sobron, 2003 : 47).
NU sebagai organisasi sosial sejak awal berhimpitan dengan
pemerintah dan negara, baik pada masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde
Baru, maupun pada masa reformasi. Dalam perjalanan politiknya NU pernah
bergabung dengan MIAI, menjadi anggota istimewa Masyumi, mendirikan
partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan,
dan terakhir mendeklarasikan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa.
Sejak awal berdirinya, NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis,
namun ini hanya bertahan kurang lebih 11 tahun (1926-1937). Sebab setelah
tahun 1937, NU terus terlibat dalam pendirian partai politik Islam, bahkan ikut
terjun didalamnya sampai mendirikan partai politik sendiri. Keterlibatan NU
dalam politik ini membawa keuntungan bagi NU cabang Pemalang, yaitu
masyarakat lebih mengenal apa yang diperjuangkan NU dan keberadaan NU
sendiri di lingkungan Masyarakat Pemalang pada umumnya (Wawancara
dengan Bapak Noor Effendy, 20 April 2007).
39
Keterlibatan NU dalam politik di Pemalang sama seperti halnya seperti
yang terjadi di tingkat nasional yaitu mengalami pasang surut baik pada saat
NU tergabung bersama organisasi sosial politik lainnya maupun pada saat NU
menjadi partai politik sendiri. Sejak awal berdirinya NU di Pemalang
berfungsi sebagai lembaga sosial keagamaan namun dalam perkembangannya
NU pernah bergabung ke dalam MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) pada
tahun 1937, bergabung ke dalam Masyumi pada tahun 1945, menjadi partai
politik sendiri pada tahun 1952, menjadi anggota fusi bersama partai Islam
dalam PPP pada tahun 1973-1984 dan yang terakhir pada masa reformasi
dimana NU membidani lahirnya PKB tahun 1998. Hingga sampai sekarang
NU masih berhubungan baik dengan DPC PKB Pemalang, namun hubungan
ini bukan didasarkan pada hubungan organisatoris kedua lembaga melainkan
hanya didasarkan pada hubungan secara batin dan sosiologis para pengurus
dan tokoh NU Pemalang saja, sehingga terkesan ada hubungan organisatoris
antara NU dengan DPC PKB (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin
Noory, 20 April 2007).
1. NU dan MIAI
MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) didirikan di Surabaya pada
tanggal 21 September 1937 atas prakarsa ulama-ulama dari
Muhammadiyah, NU dan Sarekat Islam, yaitu KH. Mas Mansur
(Muhammadiyah), KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Chasbullah
(NU), dan W. Wondoamiseno (Sarekat Islam). Tujuan didirikannya MIAI
40
adalah sebagai wadah pemersatu umat Islam, sekaligus sebagai wadah
perjuangan politik (Sobron, 2003 : 83).
MIAI pada masa Belanda ini dapat mengadakan tiga kali kongres,
yaitu tahun 1938, 1939, dan 1941. topik yang dibicarakan dalam kongres
pada umumnya adalah tentang masalah-masalah agama dalam pengertian
yang ketat, tetapi pada tahun-tahun terakhir pembahasannya meluas ke
masalah-masalah politik. Perjuangan politik MIAI dilakukan semata-mata
dengan tujuan untuk menegakkan ajaran agama Islam di Indonesia pada
masa pemerintahan Belanda.
Perjuangan di bidang politik masih dilakukan sejak jaman Jepang.
MIAI yang sempat vakum, diperbolehkan hidup kembali oleh Jepang,
sesuai dengan strategi politik Jepang yang merangkul kekuatan-kekuatan
islam melalui ulama atau kyai. Pada tahun 1944 Jepang mengembangkan
latihan militer khusus untuk guru-guru agama dan kyai, hal ini dilakukan
dengan tujuan menambah wawasan tentang situasi dunia dan
meningkatkan semangat peserta untuk memberikan dukungan yang
sebesar-besarnya kepada pemerintah yang pada waktu itu adalah Jepang.
Latihan militer juga dilakukan oleh kalangan pemuda atau santri, yaitu
dengan mendirikan Hizbullah yang merupakan organisasi khusus pemuda
Islam.
Untuk menggembleng tokoh dan ulama-ulama Islam agar menjadi
prajurit yang tangguh dan mampu memimpin Bangsa untuk berperang
melawan dan mengusir penjajah, maka pada tanggal 28 Februari 1945
41
diselenggarakan latihan Kemiliteran yang dipusatkan di Cibarusa Bogor,
dibawah pimpinan seorag perwira Inteligen Jepang bernama Yanagawa
dibantu Syudanco-syudanco PETA dimana pembukaannya disaksikan oleh
KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdulkahar Mudzakir. Dalam hal ini ulama
Pemalang mengirim H. Busaeri dan Ahmad Chaeron Hadipranoto untuk
mengikuti latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor selama 4 bulan,
sedangkan Noor Effendy dan Makkawi dikirim latihan ke DAIDAN
Pekalongan selama 2 bulan dimana pelatihnya terdiri dari syudanco-
syudanco PETA (Wawancara dengan Bapak Noor Effendy, 20 April
2007).
2. NU dan Masyumi
Kongres umat Islam se-Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945
yang berlangsung di gedung Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta telah
melahirkan berdirinya partai Islam Masyumi. Pembentukan partai ini
mendapat dukungan besar dari para ulama dan tokoh kelompok
tradisionalis dan modernis. Dukungan yang terbesar diberikan oleh
Muhammadiyah, NU, dan PSII. Dalam kongres itu menghasilkan dua
keputusan penting, selain menyepakati pendirian Masyumi, juga
memposisikan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat
Islam di Indonesia. Posisi dan keinginan Masyumi menjadi satu-satunya
partai politik Islam di Indonesia tidak bertahan lama, karena di dalam
tubuh partai itu terjadi perpecahan, yang ditandai dengan keluarnya PSII
42
pada tahun 1947. Pertentangan juga terjadi antara NU dengan
Muhammadiyah yang menjadi salah satu penyebab NU dari Masyumi.
Keluarnya NU dari Masyumi disebabkan oleh: (1) keinginan NU
sendiri untuk mandiri dalam berpolitik; (2) Masyumi didominasi oleh
kelompok modernis; dan (3) perbedaan visi karena tradisi berpolitik yang
dikembangkan kelompok tradisonalis dengan modernis; (4) NU dalam
Masyumi tidak pernah menduduki posisi strategis (Shobron, 2003 : 88).
Dalam politik terdapat istilah “tidak ada kawan atau teman dan
musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri”.
Kalau kepentingannya terakomodasi akan terus memberikan dukungan,
tetapi kalau kepentingannya ternyata tidak terakomodasi dukungannya
akan dicabut. Karena sering terjadi konflik kepentingan dalam tubuh
partai, maka NU keluar dari Masyumi pada 8 April 1952 dan mendirikan
partai sendiri yang diberi nama sesuai dengan nama jam’iyahnya, yaitu
Partai Nahdlatul Ulama (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin
Noory, 20 April 2007).
Kiprah politik NU di dalam Masyumi tidak bertahan lama, konflik
antara Muhammadiyah dan NU merupakan salah satu bentuk konflik
antara dua aliran, yakni tradisonalis dan modernis. Ibarat sebuah sayap,
tradisionalis sayap kanan, modernis sayap kiri. Untuk mencapai tujuan
yang diharapkan yaitu Masyumi dapat dijadikan sebagai satu-satunya
Partai yang mewakili umat islam, kedua sayap tersebut harus berkibar
sesuai dengan irama dan fungsinya masing-masing, kalau salah satu
43
sayapnya patah, maka terbangnya akan miring dan membutuhkan waktu
yang lama untuk mencapai tujuan itu.
3. NU Sebagai Partai Independen
Dengan bermodal jumlah massa yang cukup besar, NU berusaha
untuk memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya dalam pemilihan
umum. Pemilihan umum pertama tahun 1955 sebagai wujud konkret bagi
kekuatan NU dan dapat dikatakan sebagai pukulan yang besar bagi
Masyumi. Pada pemilu tahun 1955, NU menempatkan diri pada urutan
ketiga perolehan suara dari 29 partai yang memperoleh kursi di DPR. Di
Pemalang pada pemilu yang pertama ini juga mampu menempatkan NU
pada tiga besar kekuatan politik. Yaitu dengan mendapatkan 10 kursi di
tingkat kabupaten, hal ini terjadi karena NU dan PSII akur, sehingga
banyak suara PSII yang memilih partai NU (Wawancara dengan Bapak
KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).
Keberhasilan NU menjadi empat besar dipengaruhi oleh dukungan
basis massa pesantren dan kyai. Selain itu juga didukung oleh tema-tema
kampanye, misalnya; siapa yang memilih NU akan masuk syurga, NU
partainya santri dan kyai, Masyumi terlibat dalam pemberontakan DI/TII.
Tema-tema ini memberikan andil perolehan suara NU pada waktu itu,
karena disampaikan oleh juru kampanye yang sebagian besar adalah
kalangan ulama atau kyai, sementara ucapan kyai adalah “kebenaran”,
sehingga masyarakat pedesaan dan kalangan pesantren mengikuti apa kata
kyainya.
44
Keberhasilan NU dalam menempatkan diri dalam empat kelompok
besar, mengantarkan NU masuk ke lingkaran eksekutif dalam bentuk
koalisi pemerintahan baru. NU memperoleh empat jabatan kementrian,
yaitu Mr. Sunarjo (Menteri Dalam Negeri), Mr. Burhanudin (Menteri
Perekonomian), KH. Fatah Yasin (Menteri Sosial), KH. M. Ilyas (Menteri
Agama)sedangkan KH. Idham Chalid menduduki jabatan Wakil Perdana
Menteri II (Shobron, 2003 : 91).
Pada Pemilihan Umum yang kedua diselenggarakan tahun 1971. NU
masih menunjukkan sebagai partai besar dengan menduduki peringkat
kedua setelah Golkar dan diatas Parmusi di tingkat nasional. Golkar
memperoleh suara 62,8 %, NU mendapatkan 18,6 %, dan Parmusi 7,37 %.
Sedangkan partai Islam dan partai lainnya memperoleh suara tidak lebih
dari 7 % dari keseluruhan jumlah pemilih. Sebagai contoh PNI hanya
memperoleh 3.793.266 atau sekitar 6,94 % suara, PSII memperoleh
1.308.237 atau sekitar 2,39 %, Parkindo 745.359 suara atau 1,34 %, dan
Perti 381.309 yaitu 0,70 % saja (Shobron, 2003 : 93).
Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwa walaupun NU menempati
urutan kedua, namun terpaut cukup besar dibandingkan dengan Golkar,
selisih 169 kursi. Kondisi semacam ini sangat menguntungkan bagi Golkar
yang nantinya dijadikan sebagai alat kekuasaan bagi Orde Baru untuk
menerapkan kebijaksanaannya politiknya yang berorientasi kepada
pembangunan ekonomi dan dapat dengan mudah untuk mempertahankan
kekuasaannya.
45
Sedangkan di tingkat lokal terutama di Pemalang perolehan suara
NU di tingkat kabupaten (DPRD II) juga menempatkan NU sebagai
kekuatan politik terbesar kedua setelah Golkar. Yaitu dengan memperoleh
12 kursi, sedangkan Golkar mendapat 13 kursi (Badan Arsip daerah
Pemalang tahun 1991).
4. NU Berfusi ke dalam PPP
Upaya restrukturisasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru pada awal kelahirannya menjadi faktor pendorong utama
pembentukan PPP. Hal ini dianggap sebagai perubahan politik di tingkat
nasional. Pengalaman traumatik dengan kehidupan kepartaian pada sistem-
sistem politik sebelumnya, dan obsesi terhadap suatu sistem politik yang
dapat menjamin perbaikan ekonomi adalah bagian dari tuntutan perubahan
itu. Untuk merealisasikan tujuan itu, pemerintah Orde Baru berupaya
menerapkan kebijaksanaan ganda. Pertama, melakukan stabilisasi dan
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Kedua,
sekaligus mendukung yang pertama lalu melakukan penataan politik
dengan harapan terbentuknya suatu sistem politik yang kondusif bagi
pilihan kebijakan ekonomi (Haris, 1991 : 34).
Selama diberlakukannya sistem politik Demokrasi Parlementer,
kehidupan politik di tanah air yang didominasi oleh partai-partai dengan
ideologi yang berbeda-beda menghasilkan konflik dan ketidakstabilan
politik yang berkepanjangan. Hal ini yang mendasari langkah pemerintah
Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya. Penataan politik yang
46
dilakukan oleh Presiden Soeharto pada pemerintahannya adalah
menyederhanakan struktur kepartaian, baik dari segi jumlah, pola
dukungan, basis massa, maupun aliran serta ideologi yang dianut oleh
partai-partai. Sehingga pemerintah Orde baru dituntut untuk menciptakan
suatu sistem politik yang relatif bebas dari pengaruh partai, berikut
ideologi yang dibawanya. Menurut pemerintah Orde Baru tampaknya
berlaku pandangan bahwa jumlah partai dan jumlah ideologi yang
dibawanya identik dengan jumlah konflik dan ketidakstabilan politik yang
dihasilkannya. Sedangkan kestabilan ekonomi bergantung pada kestabilan
perpolitikan nasional. Pertumbuhan ekonomi dianggap dapat dicapai
dengan mengeliminasikan kemungkinan konflik yang muncul dan
kestabilan politik itu sendiri.
Dalam hal mencapai maksud tersebut pemerintah Orde Baru
setidaknya melakukan empat upaya. Pertama, menciptakan
pengelompokan politik yang baru di DPR. Hal itu yang akan mengatasi
dominasi partai-partai, dan dapat menjadi “perpanjangan tangan”
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru memperkuat
organisasi Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), yang
semula dibentuk atas prakarsa Angkatan Darat untuk menampung aspirasi
golongan fungsional dan kekaryaan. Kedua, membangun suatu birokrasi
yang bebas dari pengaruh partai politik (parpol) sehingga program
pembangunan yang yang dicanangkan pemerintah dapat terlaksana dengan
baik. Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, lalu pemerintah menciptakan
47
“jarak” antara partai dengan birokrasi. Selain itu, juga membiarkan
kerjasama yang erat antara birokrasi dengan Golkar. Ketiga, mendorong
pembentukan kelompok kepentingan korporatis yang bertujuan ganda.
Upaya ini untuk mengeliminasikan konflik-konflik sosial yang muncul
dari perbedaan kepentingan. Kecuali itu, sebagai upaya dimaksudkan
untuk mengambil alih peran artikulatif dari partai-partai politik. Keempat,
menyederhanakan jumlah partai dan ideologi yang dianut sehingga konflik
dan ketidakstabilan diharapkan akan berkurang (Haris, 1991 : 35).
Makna yang tersurat dari uraian di atas adalah feomena partai dan
ideologi yang dibawa serta mencerminkan “fenomena kepolitikan lama”,
yang akan menjadi arus pinggir dari tatanan politik yang baru. Selain itu,
menurut pemerintah Orde Baru partai dengan basis ideologis hanya
menghasilkan pertentangan-pertentangan sehingga cenderung dianggap
sebagai “masa lalu yang buruk”. Oleh karena itu, partai-partai dengan
basis ideologis perlu “dikuburkan” karena dianggap tidak sesuai lagi
dengan kecenderungan Orde Baru yang berorientasi kepada program. Ini
terlihat pada penolakan terhadap upaya rehabilitasi Masyumi yang
dilakukan oleh kalangan reformis Islam, dan hanya mengizinkan
pembentukan Parmusi dengan susunan kepemimpinan yang sebagian
ditentukan oleh pemerintah. Penggarapan dan pelumpuhan atas partai-
partai juga tampak ketika pada 1969 Mendagri Amirmachmud
mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 1969, yang populer
dengan sebutan “Permen 12”. Ketentuan itu dimaksudkan untuk
48
memurnikan Golkar di DPRD Tingkat I dan II. Selanjutnya, menyusul
Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1970 yang mewajibkan atas
pegawai negeri hanya memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah.
Dalam upaya pelumpuhan terhadap partai-partai ideologis pemerintah
Orde Baru juga membentuk wadah tunggal Korps Pegawai Negeri
(Korpri) bagi seluruh negeri. Tujuan pembetukan Korpri untuk menggiring
pegawai negeri dan keluarganya agar memberikan suara bagi Golkar
(Haris, 1991 : 35).
Di kalangan partai-partai Islam, “pembersihan” terhadap para politisi
yang berhaluan keras berlangsung di dalam tubuh Parmusi dan PSII.
Pemerintah menolak kehadiran kembali tokoh-tokoh Masyumi di dalam
kepemimpinan Parmusi, yaitu Muhammad Roem yang terpilih dalam
Muktamar I Parmusi di Malang. Pemerintah hanya merestui Parmusi di
bawah H.M.S. Mintareja, yang dianggap lebih moderat. Setelah Pemilu
1971, “pembersihan” dialami pula oleh PSII yang menyelenggarakan
muktamar di Majalaya, Jawa Barat, dan memilih pemimpin seperti Ch.
Ibrahim, presiden Lajnah Tanfidziah, H. Wartomo Dwidjojuwono, Sekjen,
dan H. Bustaman SH, ketua Dewan Pusat. Akan tetapi mereka dianggap
berhaluan keras dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Ini menjadi
alasan bagi pemerintah untuk melakukan “pembersihan” bagi politisi-
politisi yang berhaluan pada ideologis. Partai-partai yang mengalami
“pembersihan” semacam inilah yang pada awal 1973 bergabung kepada
PPP (Haris, 1991 : 36).
49
Hasil Pemilu 1971 secara mutlak dimenangkan oleh Golkar.
Kemenangan dengan perolehan suara 62,8 persen bukan saja mempertebal
keyakinan pemerintah terhadap upaya restrukturisasi politik yang
dilakukannya, tetapi juga kian menipisnya kepercayaan diri di kalangan
partai terhadap kemampuan mereka untuk lebih lama
mempertahankannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila gagasan
penyederhanaan partai yang mejadi komitmen pemerintah Orde baru tidak
dapat ditolak oleh kalangan partai, termasuk partai-partai Islam, seperti
NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Pada Pemilu 1971 mereka secara total hanya
memperoleh 27,1 persen, dan pada akhirnya menandatangani deklarasi
pembentukan PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi itu dilakukan
oleh tokoh-tokoh dari beberapa partai Islam antara lain; K.H. Dr. Idham
Chalid (NU), H.M.S. Mintaredja S.H.(Parmusi), H. Anwar Tjokro
Aminoto (PSII), Rusli Khalil (Perti), dan K.H. Masykur (Ketua Kelompok
Pembangunan di Fraksi DPR).
Proses pendeklarasian PPP juga menyebar ke beberapa daerah di
Indonesia terutama bagi daerah yang memiliki basis massa NU. Pemalang
sebagai salah satu daerah yang berbasis massa NU juga tidak terkecuali.
Para ulama NU dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang berasal dari organisasi
sosial politik lainnya seperti Muhammadiyah, PSII, Perti juga
mendeklarasikan PPP di Pemalang sehari setelah pendeklarsian PPP di
tingkat pusat. Pada awal pembentukannya DPC PPP Pemalang dibawah
pimpinan H Solikhin Kohar yang berasal dari NU, kepemimpinannya
50
berlangsung sampai pada tahun 1982. Pada tahun 1982 sampai 1992 DPC
PPP juga dipimpin oleh tokoh dari NU yaitu KH Asrori Saleh, BA (yang
mengalami dua masa periode kepemimpinan).
Penyatuan partai-partai Islam ke dalam PPP sebetulnya merupakan
upaya dari pemerintah atau Golkar yang merugikan partai-partai Islam
sendiri. Sebab sejarah keberadaan partai-partai Islam, sejak semula hanya
bersifat organisasi sosial keagamaan seperti halnya NU, Muhammadiyah,
Syarekat Islam, Perti selalu diwarnai dengan ketegangan diantara tokoh-
tokohnya. Ini artinya usaha pemerintah dalam menyatukan partai dibalik
obsesinya untuk menyederhanakan pembinaan, sebenarnya sudah
mengabaikan latar belakang sejarah organisasi dengan latar belakang
“ideologi gerakan” yang berbeda. Memang organisasi Islam itu pernah
bersatu, seperti halnya pada masa penjajahan Belanda dengan didirikannya
MIAI, Masyumi pada zaman Jepang. Namun stabilitas organisasi itu
hanya bersifat sementara, pada saat mereka sama-sama merasakan
tantangan dari luar yang harus dihadapi dengan kesatuan islam. Namun
setelah berjalan beberapa lama, benih-benih konflik lama kembali muncul
menjadi pemicu konflik. Salah satu penyebab timbulnya konflik itu adalah
mempertahankan ideologi gerakan (defensif), dan perebutan status dan
kekuasaan di dalam organisasi pemersatu. Dengan demikian, yang semula
diharapkan menjadi pemersatu, kemudian menjadi wadah dimana tokoh-
tokohnya memperuncing konflik. Sebagai jawaban dari munculnya
berbagai konflik yang terjadi di dalam tubuh PPP, beberapa unsur
51
melpaskan diri dari ikata politik yang ada seperti yang terjadi pada NU
yang keluar dari keanggotaan fusi pada tahun 1984. Dapat dikatakan
bahwa penyatuan partai-partai Islam ke dalam satu partai (PPP)
merupakan strategi pemerintah dan Golkar untuk melanggengkan konflik
internal, yang secara politis tidak menguntungkan untuk merebut simpati
dari luar (massa pendukung), sehingga pada saat yang bersamaan simpati
massa akan lari ke Golkar dengan kepemimpinan yang matang dan kondisi
internal organisasi yang stabil (Wawancara dengan Bapak KH Slamet
Zaeny, 20 April 2007).
BAB III
STRATEGI NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA MEMENANGKAN
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DI PEMALANG
A. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Pemalang
Kehidupan politik di Pemalang pada tahun 1973-1984 pada umumnya
masih cukup dikatakan stabil dalam arti kata tidak sampai mempengaruhi
jalannya roda pemerintahan, peredaran perekonomian, perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan maupun terhadap sendi-sendi kehidupan
masyarakat pada umumnya. Aspirasi politik masyarakat tersalurkan melalui
partai politik yang ada yaitu Golongan Karya (Golkar) yang sebagian besar
terdiri dari mereka yang bekerja di bidang pemerintahan, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sebagian besar terdiri dari kalangan agamis, dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sebagian besar berasal dari kalangan
Nasionalis. Persaingan antara kekuatan politik satu dengan yang lain terlihat
dinamis, tidak terjadi ketegangan-ketegangan yang bersifat fisik. Namun
kehidupan partai politik dalam proses kiprah perjuangannya juga pernah
mengalami pasang surut. Misalnya pada saat selesainya Pemilu 1977, yaitu
pada awal tahun 1978 partai-partai politik di Pemalang mengalami sedikit
kendala dalam upaya untuk memperjuangkan aspirasi politik pendukungnya.
Hal tersebut terjadi akibat logis dari suatu langkah kearah konsolidasi dalam
tubuh mereka masing-masing, namun demikian kondisi semacam ini masih
dalam batas-batas pada tubuh pimpinannya yang belum menjalar pada
52
53
masyarakat pada umumnya, pengikut atau pendukung-pendukungnya pada
khususnya.
Dalam kepengurusan Golkar di Kabupaten Pemalang setelah
meninggalnya Soetopo sebagai ketua Golkar wilayah Pemalang mengalami
kekosongan dalam kepemimpinan yang cukup lama. Keadaan semacam ini
memaksa Golkar untuk melakukan aktivitas keluar, salah satunya dengan
membentuk kepengurusan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
dan Majelis Da’wah Indonesia (MDI).
Dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak bulan
Maret 1978 terjadi keretakan diantara sesama tokoh-tokoh mereka. Keretakan
itu diawali adanya keinginan tokoh muda dari unsur NU untuk meduduki
jabatan atau kedudukan fungsionaris. Hal tersebut semula ditimbulkan oleh
kurang adanya rasa kepercayaan antar tokoh, dan berakhir dengan usul
penarikan kembali KH. Asrori Saleh, BA dari keanggotaan DPRD Kabupaten
Pemalang.
Sedangkan dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Kabupaten Pemalang tidak terlepas dari kemelut yang terjadi di kepengurusan
tingkat nasional, yaitu adanya kepengurusan kembar antara Toni
Brotoharyanto Cs yang mendapatkan SK No. 79/IN/Org/DPP/XII/1977 dari
pengurus pusat PDI pada tanggal 27 Desember 1977 dengan Soeharsono yang
berdasarkan SK No. 89/IN/A/III/DPP/1978 dari pengurus pusat PDI tanggal
18 Agustus 1978. Kemelut kepengurusan kembar ini berkembang terus
sampai akhirnya kedua tokoh PDI ini membuat pernyataan bersama dan
54
menyerahkan permasalahannya kepada DPD PDI Jawa Tengah. Sehingga
pada tanggal 10 Juli 1978 DPP PDI Jawa Tengah mengeluarkan SK Nomor:
058/DPD/SK/Sek/VII/78, yang isinya tentang penyusunan pengurus
sementara untuk melaksanakan Konferensi Cabang dan selanjutnya pemilihan
pengurus baru. Dengan keluarnya Surat Keputusan ini, pihak Toni
Brotoharyanto megajak kepada Soeharsono agar segera dilaksanakannya
Konferensi Cabang namun upaya itu ditolak (Arsip Kabupaten Pemalang,
1978 : 5 ).
Kemelut yang terjadi di dalam tubuh parpol tidak mempengaruhi
aktivitas masyarakat secara umum sehingga tidak menimbulkan permasalahan
dapat mengganggu jalannya proses demokrasi. Dalam bidang pemerintahan,
pembangunan, maupun usaha peningkatan pelayanan terhadap masyarakat
dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan-hambatan yang cukup
berarti.
B. Kiprah Politik NU Pemalang di PPP
Sebagai sebuah kelompok sosial politik, umur NU terhitung tua dalam
sejarah politik Indonesia. Organisasi yang berhaluan Islam Ahlussunah wal
Jama’ah ini resmi menjadi partai politik pada tahun 1952 dan merupakan
organisasi massa yang sangat kuat dan berakar pada masyarakat pedesaan di
Jawa dan beberapa tempat di luar Jawa. Keberadaan NU di Pemalang semakin
dikenal oleh masyarakat pada umumnya setelah NU terjun dalam politik yaitu
55
tahun 1952, dimana kekuatan politik NU berasal hampir dari seluruh wilayah
Kabupaten Pemalang, terutama di daerah pedesaan.
Sejak awal berdirinya NU di Pemalang, yaitu tahun 1934, kepengurusan
NU masih bersifat sederhana dan orientasi gerakan NU waktu itu hanya
bergerak di bidang sosial dan keagamaan, meskipun ada sebagian kecil
pengurus NU yang terlibat dalam politik praktis, terutama pada masa
Masyumi. Namun setelah NU menjadi partai politik tahun 1952, arah
perjuangan NU juga merambah ke masalah-masalah politik. Sebagian besar
pengurus NU di Pemalang terlibat langsung dalam politik praktis, baik itu
mewakili individu maupun organisasi (Wawancara dengan Bapak Noor
Effendy, 20 April 2007).
Keterlibatan NU Pemalang dalam politik terus berlangsung sampai
bahkan sekarang ini, meskipun sudah ada keputusan Muktamar NU untuk
lepas dari kehidupan politik dan kembali menjadi lembaga sosial keagamaan.
Dalam perjalanan politiknya, NU Pemalang pernah Bergabung dengan MIAI
dan Masyumi, serta menjadi partai politik sendiri pada tahun 1952.
Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru meyederhanakan partai menjadi
dua partai dan satu golongan ini memaksa NU Pemalang bersama Syarekat
Islam Indonesia (PSII), Perti, Parmusi (yang kemudian berubah menjadi
Muslimin Indonesia) untuk berfusi ke dalam PPP pada tanggal 5 Januari 1973.
posisi NU di dalam kepengurusan PPP relatif cukup strategis, ini disebabkan
oleh banyaknya Kyai NU yang menempati posisi-posisi penting dalam
kepengurusan NU Pemalang seperti KH. Solikhin Kohar sebagai Ketua
56
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP, dan KH. Asrosri Saleh sebagai Wakil
Ketua DPC PPP Pemalang, bahkan dapat dikatakan hampir sebagian besar
pengurus PPP waktu itu berasal dari kalangan NU. Dengan komposisi yang
paling dominan dalam kepengurusan PPP, posisi NU sangat kuat dan
mewarnai kebijakan-kebijakan PPP. Ulama-ulama NU, baik yang berada
dalam kepengurusan PPP maupun di luar pengurus saling bekerjasama dalam
rangka memenangkan PPP.
Sikap kritis NU yang ditunjukkan pada Pemilu 1971 sangat
mempengaruhi perilaku dan sikap politik PPP dalam menghadapi persoalan
penting seperti Rancangan-rancangan Ketetapan (Rantap) yang dibahas dalam
Sidang Umum MPR 1973 dan kebijakan Flaoting mass (pengapungan massa)
yang dipandang merugikannya, mengingat massa pendukungnya
pendukungnya banyak berada di pedesaan. Hal yang sangat menarik pada
awal berdirinya PPP adalah mengenai RUU Perkawinan yang diajukan
pemerintah ke DPR tanggal 3 Juli 1973 (kurang lebih tujuh bulan setelah
berdirinya PPP). Karena RUU ini dinilai bertentangan dengan ajaran Islam,
PPP mengadakan reaksi yang keras dan menolak RUU tersebut, didukung
oleh demontrasi para pelajar dan mahasiswa Islam ke gedung DPR RI.
Akhirnya pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar,
dan RUU itu kemudian disahkan menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (Sujuthi, 2001 : 100).
Sikap kritis ini juga ditunjukkan oleh NU Pemalang dan DPC PPP
Pemalang, yang juga menolak kebijaksanaan pemerintah mengenai RUU
57
Perkawinan. Para ulama dan masyarakat NU, yang sebagian besar juga
merupakan pendukung PPP sangat kompak dalam menentang kebijaksanaan
pemerintah itu dengan melakukan aksi protes kepada pemerintah kabupaten
melalui jalur demontrasi dan diplomasi ke DPRD setelah pemerintah pusat
mengajukan RUU ini ke DPR RI. Hal ini dapat disebut sebagai salah satu
wujud kerjasama yang baik antara NU, masyarakat NU, dan PPP dalam
menentang kebijaksanaan pemerintah (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh,
20 April 2007).
Kiprah politik NU di PPP berakhir sampai tahun 1984 yang dikenal
dengan kembali ke Khittah 1962 dimana NU kembali sepenuhnya menjadi
organisasi sosial keagamaan. Meskipun pemikiran-pemikiran NU pada awal-
awal berdirinya lebih banyak mewarnai keputusan PPP, terutama bila
berhadapan dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Floating mass dan
soal RUU Perkawinan PPP cukup kritis menghadapi kebijakan-kebijakan
lembaga ekskutif yang merugikan partai khususnya dan umat Islam pada
umumnya namun tidak berarti bisa terhindar dari konflik internal. Konflik
yang timbul antara lain disebabkan oleh adanya ketidakpuasan dari NU
mengenai kepemimpinan PPP, Kyai NU tidak banyak beranjak dari posisinya
sebagai Majelis Syura, ekskutif partai diduduki oleh tokoh MI, HMS.
Mintaredja. Ketidakpuasan ini didasari oleh hasil yang tidak seimbang
mengingat NU merupakan komposisi yang dominan di PPP yaitu dengan
memiliki basis massa yang kuat. Kalau pada Pemilu 1971 NU mendapatkan
58 kursi, pada Pemilu 1977 (setelah fusi menjadi PPP) mendapatkan 56 kursi,
58
dan tahun 1982 mendapatkan 45 kursi, disisi lain MI mengalami kenaikan dari
24 kursi pada tahun 1971 menjadi 25 kursi pada tahun 1977, naik lagi pada
Pemilu 1982 menjadi 34 kursi (Shobron, 2003 : 96).
Ketidakpuasan NU ditambah lagi oleh sikap MI melalui J. Naro yang
melakukan ”de-NU-nisasi” dalam penyusunan Daftar Calon Sementara
(DCS), yang menempatkan kyai NU pada urutan nomor bawah, misalnya KH.
Yusuf Hasyim, KH. Syaefudin Zuhri, Mahbub Junaidi, KH. Masykur, KH.
ImronRosyadi, Rahmat Mulyomiseno. Komposisi yang diusulkan Naro adalah
NU = 49 kursi, MI = 30 kursi, SI = 15 kursi, dan Perti = 5 kursi. Tetapi
kenyataannya berbeda, akibat dari sikap MI ini menjadikan sebab
kemerosotan peolehan suara pada Pemilu 1982, karena PPP kehilangan 5
kursi, sedangkan NU ternyata dikurangi 9 kursi, dengan komposisi menjadi
NU = 40, MI = 28, SI = 11, dan Peti 6 kursi (Shobron 2003 : 96).
Ketidakpuasan demi ketidakpuasan yang dialami NU dalam bidang
politik memberi pemikiran-pemikiran bagi NU untuk kembali ke Khittah
1926. Pemikiran ini mendapat tanggapan serius dalam Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, 18-21 Desember 1983, dengan
dihasilkannya dua keputusan yakni: (1) pemulihan Khittah 1926, dan (2)
pemantapan Pancasila sebagai Asas Tunggal. Hasil Munas ini dikuatkan
dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang menghasilkan
keputusan bahwa NU menyatakan keluar dari PPP. Ini adalah pernyataan
kedua bagi NU dalam panggung politik, setelah pernyataannya keluar dari
59
Masyumi. Hanya saja sewaktu keluar dari Masyumi NU mendirikan partai
politik sendiri, paling tidak sampai masa akhir Orde Baru.
C. Strategi NU Dalam Perolehan Suara PPP di Pemalang
1. NU Sebagai Kekuatan Utama PPP
Secara nasional masyarakat NU diperkirakan mencapai lebih dari
40 juta jiwa yang sebagian besar tinggal di pulau Jawa, mereka sebagian
besar adalah rakyat jelata, baik di kota maupun desa. Dalam kehidupan
sehari-harinya mereka sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pada umumnya mereka memiliki ikatan yang cukup kuat dengan dunia
Pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU
(www. wikipedia.org).
Tahun 1973-1984 penduduk Kabupaten Pemalang berjumlah
sekitar 810.000 jiwa termasuk Warga Negara Asing (Arsip Kabupaten
Pemalang, 1973 : 3), sebagian besar memeluk agama Islam sehingga
dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Pemalang tercermin ajaran-
ajaran Islam. Pemeluk Islam yang taat pada ajarannya disebut golongan
santri, santri sendiri artinya pelajar Al Quran, mereka ini yang tinggal di
kampung Kauman yang terletak di sebelah timur alun-alun Pemalang.
Disamping golongan santri terdapat juga golongan abangan, yaitu mereka
yang dalam menjalankan ajaran agama Islam juga masih menjalankan
kepercayaan nenek moyang. Kebanyakan mereka bermukim di pedesaan
Pemalang. Islam yang berkembang di Pemalang sebagian besar menganut
60
ajaran Ahlussunah wal jama’ah sehingga Pemalang sebagian besar
penduduknya sebagai jama’ah NU. Pemalang sebagai bagian dari jawa
Tengah juga merupakan salah satu basis NU. Jumlah masyarakat NU pada
tahun 1973-1984 mencapai 80% dari jumlah keseluruhan umat Islam di
Pemalang, mereka tersebar di seluruh wilayah baik kota maupun desa.
Mereka yang tinggal di pedesaan sebagian besar bermata pencaharian di
bidang pertanian sedangkan mereka yang tinggal di perkotaan lebih
beragam mata pencahariannya, misalnya di bidang pemerintahan,
perekonomian dan perindustrian (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh,
20 April 2007).
Secara historis-sosiologis, pesantren pada umumnya menjadi basis
dan konsentrasi NU. Paham Ahlusunnah wal Jama’ah yang diformalkan
sebagai paham keagamaan NU sebenarnya bersumber dari tradisi
pesantren. Hal ini secara mudah dapat dimengerti karena para pendiri NU
berasal dari pesantren. Terdapat jalinan hubungan kultural, edukasional,
emosional dan spiritual-keagamaan yang sangat signifikan antara
pesantren dan NU tidak mudah dipisahkan. Dengan adanya ikatan
teologis-idelogis-keagamaan yang mewujud dalam kristalisasi paham
Ahlusunnah wal Jama’ah semakin memperkuat ikatan hubungan antara
pesantren dan NU. Dalam kaitannya dengan politik, basis kekuatan NU
itu berawal dan berpangkal dari pesantren-pesantren di Indonesia. Dilihat
dari perspektif ilmu komunikasi, pesantren berperan secara signifikan
sebagai jaringan komunikasi politik bagi NU (Faisal Isma’il, 2004 : 46).
Pesantren sebagai jaringan komunikasi politik masih bisa dikendalikan
oleh NU, ini terjadi karena adanya ikatan batin yang kuat antara NU
61
dengan kyai-kyai di pesantren, mereka dipersatukan oleh ikatan ajaran
Islam ala Ahlusunnah wal Jama’ah. NU dapat melakukan komunikasi
politik dengan mudah dan lancar sehingga dengan mudah pula dapat
memobilisasi para simpatisan dan para pendukungnya untuk memilih atau
memberikan suara mereka kepada PPP. Besarnya jumlah pendukung baik
dari masyarakat maupun kalangan pesantren serta kuatnya peranan ulama
atau kyai merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan
politik PPP di Pemalang.
Sebagai organisasi yang berbasis massa, peranan NU dalam
perolehan suara PPP terlihat dari jumlah jamaah NU (termasuk dari
pesantren-pesantren sebagai basis kekuatannya) yang hampir tersebar
merata di setiap daerah di Pemalang. Sebagai organisasi yang memiliki
massa yang besar, NU mampu memberikan sumbangan yang besar bagi
perolehan suara PPP. NU menarik massa pengikut yang sebagian besar
berasal dari keluarga-keluarga para ulama, santrinya dan masyarakat
umum. Penyebaran kekuatan politik NU hampir merata di seluruh
wilayah kabupaten Pemalang baik di pedesaan maupun perkotaan. Karena
sebagian besar para pendukung PPP berasal dari NU dan terdapat
keterikatan yang erat antara kedua lembaga ini maka pada saat itu muncul
anggapan bahwa membicarakan NU sama dengan membicarakan PPP
Dengan panutan para ulama mereka berbondong-bondong untuk
memberikan aspirasi politiknya kepada PPP pada saat Pemilu, terutama
pada Pemilu tahun 1977 dan 1982.
Secara politis, selain dari unsur-unsur kekuatan Islam lainnya
hampir seluruh masyarakat NU di Pemalang menyalurkan aspirasinya
kepada PPP, mereka pada waktu itu menyebut PPP sebagai ”ingon-ingon
62
NU”. Mereka sangat kompak dan solid dalam upaya untuk memenangkan
PPP, yaitu dengan menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Dengan
komposisi yang paling dominan dalam PPP maka suara NU sangat
diperhitungkan dalam setiap gerak politik PPP dan di lingkungan legislatif
NU mampu berpengaruh terhadap setiap keputusan internal fraksi
Persatuan Pembangunan. Sebagai contoh dalam pemilihan Bupati tahun
1978, dimana Bupati yang terpilih berasal dari kalangan NU yaitu Slamet
Daryanto. Ini didasarkan pada jumlah unsur NU yang lebih dominan
dalam fraksi Persatuan Pembangunan yaitu bila dibandingkan dengan
unsur lainnya 80:20 (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh, 20 April
2007).
2. Hadirnya Figur Kyai Sebagai Pemimpin
Selama NU berada di PPP, sepak terjang NU memang sangat
menggigit. Bersama anggota dari unsur lain, tahap awal keberadaan PPP
telah mengagetkan pemerintah yang ditunjukkan dengan melancarkan
kritik tentang RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tahun
1973. Langkah ini merupakan salah satu bentuk penentangan terbesar
terhadap pemerintah yang dilakukan oleh PPP, ini diperkuat lagi oleh
dukungan yang berasal dari kalangan masyarakat luar dengan adanya
demontrasi-demontrasi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun
masyarakat umum, yang membuat pihak pemerintah mengalah dan
merevisi RUU itu. RUU itu dianggap sangat sekuler bahkan bertentangan
63
dengan ajaran Islam, dimana berupaya mengeluarkan perkawinan dari
pengadilan agama ke kantor catatan sipil.
Sikap PPP memang tidak selalu akomodatif terhadap gagasan-
gagasan yang ditelorkan oleh kepemimpinan Golkar. Pada Sidang Umum
MPR tahun 1978, misalnya, fraksi PPP yang dimotori oleh unsur NU (KH.
Yusuf Hasyim, dkk) mengambil sikap “walk out” dari sidang karena
ketidaksetujuannya dengan Rancangan Ketetapan (Rantap) tentang P-4,
yang di dalamnya memasukkan materi aliran kepercayaan. Namun
tindakan PPP ini tidak merubah sikap pemerintah atau fraksi-fraksi lain,
karena rancangan ketetapan itu tetap disahkan, ini berarti PPP atau aspirasi
Islam terkalahkan oleh kekuatan priyayi dan abangan sebagai kelompok
sekuler yang mendominasi Golkar, ABRI, dan PDI (Shobron, 2003 : 44).
Dari beberapa peristiwa diatas dapat diakui bahwa NU memegang
peranan penting dalam PPP. Selain itu NU sebagai organisasi yang
mempunyai massa terbesar tentunya juga mempunyai andil yang cukup
besar di dalam perolehan suara PPP.
Peranan NU dalam PPP terlihat pada hadirnya figur kyai sebagai
pemimpin organisasi ke dalam masyarakat dengan menimbang bahwa kyai
memegang peranan sentral dalam NU. Sesuai dengan namanya, NU adalah
suatu organisasi yang menghimpun para kyai atau ulama, mereka
mempunyai kedudukan atau posisi yang strategis di tubuh NU. Mereka
dipilih dan ditempatkan di jajaran Dewan Konsultatif (Syuriyah) yang
mengawal dan mengendalikan NU agar tetap berjalan sesuai dengan garis
64
besar kebijakan yang dibuatnya. Sejauh menyangkut persoalan politik,
para kyai inilah yang telah “berjasa” kepada NU dalam setiap Pemilu yang
diselenggarakan. Sehingga masyarakat bisa lebih menerima keberadaan
PPP, apalagi didasari dengan figur kyai sebagai salah satu figur
kharismatik di mata masyarakat. Tradisi yang sangat ditekankan dalam
paham keagamaan dalam arti pengetahuan dan ajaran-ajaran agama sebisa
mungkin diperoleh dari warisan turun-temurun kaum ulama atau kyai
sebagai pewaris Nabi-tidak saja menjadi sumber pengikat “emosi-religius”
bagi kalangan bawah, tetapi juga kalangan NU yang relatif telah megalami
dan menyerap berbagai kebudayaan luar ke dalam dirinya. Tradisi dan
kepatuhan yang hampir-hampir tanpa syarat terhadap kaum ulama ini
sangat besar pengaruhnya terhadap penampilan politik anggota-anggota
NU. Tradisi dan kharisma para kyai ini pulalah yang menyebabkan
besarnya jumlah suara yang mampu yang mampu dikumpulkan PPP.
Dengan dukungan para kyai atau ulama, NU mampu membawa
PPP menjadi besar baik di Pemalang maupun di Indonesia, bahkan NU
dapat disebut sebagai “pondok besar” yang mempunyai pengikut yang
hampir menyebar ke seluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali Kabupaten
Pemalang. Distribusi geografis para pendukung ini terlihat dari jumlah
pimpinan ranting PPP di Pemalang yang hampir rata-rata dari unsur NU.
Seperti misalnya KH. Tosim Hanafi (Pemalang), KH. Asrori Saleh
(Taman), KH. Mas’ud (Moga), dan Kyai Chambali (Ampel Gading), serta
ulama-ulama NU lainnya. Sebagian besar ulama-ulama NU tersebut
65
biasanya memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik dari
kalangan pesantren (santri) maupun masyarakat umum (Wawancara
dengan Bapak KH Slamet Zaeny, 20 April 2007).
Keterlibatan ulama-ulama NU dalam berbagai persoalan, termasuk
persoalan politik dapat mencapai posisi strategis, karena adanya tiga pilar
penting yang menjadi penopang, yaitu potensi internal ulama (kemampuan
dan garis keturunan), kuatnya jaringan sosial organisasi NU dan jaringan
sosial yang dibangun tradisi pesantren (Ummatin, 2002 : 116).
Keterlibatan ulama-ulama di Pemalang ini tidak hanya terbatas
dalam perkembangan keagamaan, sosial, dan kultural saja, diluar itu para
ulama juga ikut terlibat dalam perkembangan proses politik, terutama
kaitannya dengan PPP. Mereka secara langsung terlibat dalam proses
kampanye dalam rangka untuk memenangkan PPP. Di dalam kampanye,
para juru kampanye (Jurkam) bahkan membawakan ayat-ayat Al Qur’an
dan Hadist-hadist Nabi agar memilih bahkan mewajibkan umat Islam
untuk memilih PPP: satu-satunya partai Islam yang paling tepat untuk
menyalurkan aspirasi politiknya.
Melalui fatwa-fatwa politik mereka dapat meyakinkan jama’ah NU
sehingga para jama’ah secara meyakinkan pula mengikuti fatwa politik
para ulama. Dalam upaya memenangkan PPP ada beberapa ulama NU di
Pemalang dalam proses kampanye mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh
KH. Bisri Syansuri (Rais Aam PPP) yang isinya mewajibkan kepada
seluruh umat Islam, khusunya seluruh warga PPP, untuk memilih PPP
66
dalam Pemilu. Fatwa itu menyerukan secara tegas bahwa barangsiapa
yang tidak mencoblos PPP karena takut kehilangan kedudukan, jabatan,
gaji, atau mata pencaharian, atau karena alasan-alasan lain, maka ia
termasuk orang yang meninggalkan hukum Allah.
Fenomena semacam ini merupakan suatu proses politik dimana
apabila para ulama telah memutuskan untuk menyalurkan aspirasi
politiknya ke OPP tertentu, maka bisa dipastikan para jamaahnya
(keluarga ulama, santri dan komunitas di lingkungannya) juga akan
menyalurkan aspirasi politik mereka ke OPP pilihan ulama tersebut
(Ismail Faisal, 1999 : 29).
3. Tema Islam Sebagai Alat Perjuangan
Menghadapi Pemilu 1977 dan 1982, agama (Islam) memiliki
beberapa peran penting dalam perjuangan PPP. Pertama ia telah
memberikan landasan identifikasi diri bagi PPP. Kedua, ia telah pula
berfungsi sebagai tema sentral perjuangan PPP. Ketiga, dalam masa
Pemilihan Umum, ia bukan saja berfungsi sebagai “pengikat” massa
secara emosi keagamaan, tetapi juga telah menjadi alat untuk memberikan
legitimasi keagamaan bagi kemenangan PPP (Prisma, 1981 : 36).
Dalam upaya untuk memenangkan PPP, NU Pemalang melakukan
beberapa strategi, antara lain dengan mengerahkan ulama-ulama NU untuk
melakukan da’wah. Dengan melalui kegiatan pengajian, para ulama NU
melakukan da’wah ke berbagai daerah yang di dalamnya juga
mambicarakan tentang masalah politik yaitu dengan mengajak jama’ah
67
NU untuk berbondong-bondong memilih PPP sebagai satu-satunya partai
Islam. Ini menunjukkan bahwa fungsi ulama sebagai pemimpin agama
telah dicampuri dengan kepentingan politik. Pengajian ini dilakukan secara
rutin sehingga masyarakat bisa mengenal lebih dekat bagaimana
perjuangan NU dalam upaya memenangkan PPP. Pemanfaatan dari segi
agama juga terlihat dalam kampanye dengan tujuan untuk memikat massa
di berbagai wilayah kecamatan. Bahkan ada pelaksanaan kampanye PPP
yang dilakukan di berbagai wilayah kecamatan selalu dimulai dengan
pembacaan ayat suci Al Qur’an, setelah pembacaan ayat suci Al Qur’an
lalu dilanjutkan dengan nyanyian kasidah seperti yang terjadi di Jombang,
Jawa Timur. Bentuk lain penciptaan suasana itu terlihat ketika ada
beberapa jurkam yang mengucapkan yel-yel “Allahu Akbar”.
4. Hubungan Kerjasama antara NU dengan PPP
Keterikatan yang erat antara PPP dengan NU melahirkan kerjasama
yang baik antara kedua lembaga ini, kerjasama ini tidak hanya terlihat
dalam bidang politik tetapi terlihat juga dalam bidang agama yang
kaitannya untuk menegakkan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah dalam
kehidupan sehari-hari. Hubungan ini didasarkan pada kesamaan tujuan
bersama yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir
batin dan demokratis yang diridloi oleh Allah SWT spirituil dan materiil
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Atas dasar itulah berarti secara formal PPP tidak
berhadapan dengan negara kendati Islam dipakai sebagai azas atau
ideologi (Syamsudin Haris, 1991 : 12).
68
NU Pemalang juga melakukan kerjasama dengan DPC PPP di
berbagai bidang terutama yang berkaitan dengan kepentingan politik.
Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk adanya kegiatan rutin pertemuan
antara pengurus NU dengan DPC PPP yang di dalamnya membahas
tentang kebutuhan masing-masing organisasi. Hubungan kerjasama ini
menggambarkan adanya hubungan yang sangat dekat antara sikap politik
organisasi NU dengan DPC PPP Pemalang. Karena terlalu dekatnya
hubungan antara NU dengan DPC PPP Pemalang, interaksi sosial politik
keduanya sama-sama memberi sumbangan positif secara timbal balik
(Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).
Kerjasama antara NU dengan DPC PPP Pemalang terlihat dalam
berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan pengembangan
organisasi. Misalnya yang berkaitan dengan konsolidasi dan
pengembangan partai. Dalam upaya pengembangan PPP dan NU ini
menekankan pada konsolidasi organisasi yang meliputi antara lain:
1. Rekrutmen anggota dan pembinaan keanggotaan
Memasyarakatkan pentingnya pendaftaran anggota kepada masyarakat
umum khususnya kepada jama’ah NU, memelihara daftar anggota,
serta memantapkan keanggotaan Partai yang bersifat perorangan.
Memantapkan kebersamaan, kesetiaan, dan persaudaraan di antara
anggota, pimpinan dan kader Partai.
2. Usaha pengadaan sarana, prasarana, dan penertiban administrasi
69
Mengusahakan agar pimpinan partai di semua tingkatan mengusahakan
kelengkapan organisasi, antara lain: kantor sekretariat, alat-alat
administrasi perkantoran, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk
kelancaran tugas-tugas organisasi ataupun Partai.
3. Pengembangan organisasi dan kelembagaan
NU dan PPP akan terus meningkatkan dan memantapkan mekanisme
kerja kepemimpinan organisasi di setiap tingkatan dengan prinsip
kekeluargaan. Pengembangan organisasi juga dilakukan dengan
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja pembinaan kader Partai
yang sebagian besar berasal dari NU (Arsip sekretariat DPC PPP
Pemalang tahun 1991).
Langkah politis yang dilakukan oleh NU Pemalang tersebut diatas
menunjukkan bahwa jumlah pengikut yang besar dan kemampuan ulama
dalam memimpin masyarakat baik dalam masalah keagamaan maupun sosial
sangat berperan dalam setiap langkah PPP di pentas perpolitikan baik tingkat
nasional maupun lokal yang dalam hal ini adalah Pemalang. Hadirnya figur
kyai yang didasari dengan ilmu keagamaan dan kharisma dapat mempermudah
untuk mengajak warga atau jama’ah NU untuk menyalurkan aspirasi
politiknya ke PPP, dengan menggunakan berbagai dalih termasuk dalih agama
diharapkan mampu meggiring sebanyak-banyaknya suara jama’ah NU
maupun masyarakat umum untuk memilih PPP pada Pemilu tahun 1977 dan
1982. Dengan kata lain agama memainkan peranan penting dalam upaya untuk
perolehan suara sebanyak-banyaknya.
BAB IV
HASIL PEROLEHAN SUARA PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
PADA PEMILU 1977 DAN 1982 DI PEMALANG
A. Pemilu 1977 dan 1982 di Pemalang
Pemilu 1977 merupakan Pemilu yang pertama setelah fusi partai-partai
Islam ke dalam PPP. Pada saat itu PPP tampil atraktif dengan membawa
bendera Ka’bah untuk memenangkan Pemilu. Dengan semangat dan
kekompakan yang terjalin di antara unsur-unsur Islam yang tergabung di
dalamnya PPP berusaha tampil kritis terhadap Pemerintah. Pada saat yang
sama upaya sekularisasi politik mulai dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru
secara terus menerus. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila R. William
Liddle melukiskan susasan Pemilu 1977 sebagai pertarungan dua kekuatan,
“The Goverment versus Islam” (Haris, 1991 : 1).
PPP berjuang sekeras mungkin untuk memenangkan Pemilu dengan
berbagai strategi politik yang dilakukan. Guna memanfaatkan emosi pemeluk
Islam, PPP tampil dengan isu-isu agama. Terutama terlihat dari munculnya
lambang Ka’bah sebagai lambang partai dan fatwa KH. Bisri Syansuri, PPP
tampil sepenuhnya sebagai partai Islam. Segenap kekuatan telah dikerahkan,
bahkan seruan “Allahu Akbar” (Tuhan Maha Besar) telah bergema di mana-
mana selama kampanye.
70
71
Bersama unsur lain yang tergabung di dalam PPP, NU Pemalang
bekerjasama dan tampil kompak serta solid dalam rangka memenangkan PPP,
dengan harapan PPP mampu mewakili aspirasi umat Islam seutuhnya dan
menjadi satu-satunya tempat untuk menyalurkan aspirasi mereka. Disamping
itu PPP juga dapat dijadikan sebagai media untuk mencapai cita-cita politik
umat Islam dan media untuk menciptakan suatu masyarakat madani yang adil
dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemilu 1982 merupakan Pemilu kedua pada Pemerintahan Orde baru,
dimana PPP masih menjadi rival berat bagi Golkar. Dengan kekuatan yang
tergabung di dalamnya PPP mampu menjadi kekuatan terbesar kedua setelah
Golkar. Pemilu ini sekaligus merupakan keikutsertaan NU dalam politik
praktis karena setelah tahun 1984 NU menyatakan diri keluar dari
keanggotaan fusi PPP. Sedangkan Pemilu 1987 merupakan Pemilu dimana
NU tidak lagi masuk ke dalam fusi bersama partai Islam lainnya di PPP. Pada
pemilu 1987 perolehan suara PPP mengalami penurunan yang sangat drastis
ini disebabkan oleh keluarnya NU dari keanggotaan fusi. Hal ini merupakan
fenomena yang wajar dalam politik, mengingat NU merupakan komposisi
yang paling dominan dalam PPP (Wawancara dengan Bapak KH. Zaenal
Abidin Noory, 20 April 2007).
Perolehan suara pada Pemilu 1977, Pemilu 1982 dan Pemilu 1987 di
Pemalang dapat dilihat lebih jelas sebagai berikut:
72
Tabel 1.
Jumlah Perolehan Suara Pemilu 1977-1987 Kabupaten Pemalang
Pemilu PPP Golkar PDI
1977 132.251 202.351 86.215
1982 148.650 203.226 47.948
1987 119.714 332.658 72.184
(Sumber: Badan Arsip Daerah Kabupaten Pemalang, 1991).
Dari tabel 1 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa pada Pemilu tahun
1977 PPP mampu menjadi kekuatan terbesar kedua setelah Golkar yaitu
dengan memperoleh suara 132.251 suara atau 31,42 % dari jumlah
keseluruhan. Pada perolehan suara Pemilu 1982 PPP masih menjadi rival bagi
Golkar dengan memperoleh suara 148.650 atau 30,98 % dari jumlah
keseluruhan. Namun pada Pemilu 1987 perolehan suara PPP di Kabupaten
Pemalang mengalami penurunan yang sangat drastis, ini disebabkan karena
NU menyatakan diri untuk keluar dari keanggotaan fusi, yang terkenal dengan
sebutan kembali ke Khittah 1926I. Langkah NU ini disebabkan oleh salah
satunya adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan pusat dibawah
pimpinan DJ Naro sehingga tokoh-tokoh NU melakukan aksi penggembosan
suara PPP di tingkat nasional pada Pemilu 1987. Aksi ini mempengaruhi
perolehan suara PPP di tingkat lokal, termasuk dalam hal ini adalah Pemalang.
Warga NU bebas menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik atau
organisasi sosial politik manapun (PPP, Golkar, atau PDI).
73
B. Perolehan Suara PPP Di Pemalang
Kiprah politik NU selama di PPP telah memberikan kontribusi yang
besar terhadap gerak politik PPP di Pemalang terutama kaitannya dengan
kedudukan NU sebagai organisasi yang berbasis massa sehingga keberadaan
NU berpengaruh terhadap perolehan suara di Kabupaten Pemalang. Dengan
berbagai strategi yang dilakukan oleh NU Pemalang termasuk di dalamnya
dengan mengerahkan ulama-ulama NU untuk terlibat langsung dalam proses
kampanye PPP di seluruh wilayah Kabupaten Pemalang, serta strategi lainnya
yang dilakukan untuk memenangkan PPP mampu menjadikan PPP menjadi
kekuatan terbesar kedua setelah Golkar.
Perolehan suara PPP pada Pemilu 1977 dan 1982 di kabupaten Pemalang
menunjukkan bahwa PPP mampu menjadi rival bagi Golkar. Penyebaran
perolehan suara PPP hampir merata di semua wilayah kecamatan. Pada setiap
kecamatan terdapat persaingan dalam perolehan suara antara PPP dengan
Golkar. Bahkan pada saat itu Pemilu di Pemalang dikatakan sebagai
pertempuran tunggal antara PPP dengan Golkar. Namun demikian Partai lain
yaitu PDI, meskipun perolehan suaranya merupakan jumlah yang terkecil
namun keberadaannya diakui oleh masyarakat secara umum termasuk bagi
warga NU. Perolehan suara PDI di beberapa daerah kecamatan sangat minim,
tetapi juga ada beberapa daerah dengan perolehan suara PDI yang besar.
Hasil perolehan suara PPP di kabupaten Pemalang dapat dilihat lebih
jelas pada tabel berikut ini:
74
Tabel 2.
Hasil perolehan Suara PPP Kabupaten Pemalang
Pada Pemilu 1977, 1982, dan 1987
Pemilu No. Kecamatan
1977 1982 1987
1. Pemalang 20.115 22.199 18.814
2. Taman 16.660 18.463 16.871
3. Petarukan 16.185 16.362 14.444
4. Ampelgading 5.650 6.232 4.817
5. Comal 10.101 11.611 8.443
6. Ulujami 9.013 9.354 6.100
7. Bodeh 4.228 5.228 4.214
8. Bantarbolang 8.293 10.364 9.356
9. Randudongkal 12.143 13.803 9.630
10. Moga 17.763 20.742 15.212
11. Belik 4.965 6.168 4.296
12. Watukumpul 5.149 5.793 6.093
13. Pulosari 847 990 1.051
Jumlah 131.172 147.829 119.341
(Sumber: Sekretariat DPC PPP Kabupaten Pemalang).
Dari tabel tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa perolehan suara PPP di
Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 cukup stabil dan penyebarannya hampir
merata di seluruh wilayah kecamatan. Dari ke 13 wilayah kecamatan yang
terdapat di Pemalang, hanya sebagian kecil saja yang perolehan suaranya
minim. Sebagai contoh di Kecamatan Pulosari, PPP hanya memperoleh 847
75
suara. Ini terjadi karena kondisi geografis yang kurang mendukung, yaitu
wilayah ini merupakan salah satu daerah yang terpencil yaitu terletak di
bagian Pemalang paling ujung selatan yang berbatasan dengan Kabupaten
Purbalingga. Letak dan kondisi alam yang sulit dijangkau dapat mempersulit
proses pelaksanaan sosialisasi dan kampanye PPP. Faktor lain yang
menentukan dalam perolehan suara PPP di Pemalang selain faktor geografis
juga dipengaruhi oleh adanya pergeseran perilaku politik kyai NU.
Menjelang Pemilu 1977 dan 1982, solidaritas dan supremasi kekuatan
para kyai dan ulama NU mulai goyah. Dalam periode ini dilaporkan ada
beberapa kyai NU sudah menyeberang ke Golkar karena pertimbangan dan
godaan politik. Hal ini merupakan fenomena yang wajar-wajar saja dalam
kehidupan politik, karena kyai dan ulama itu adalah juga manusia biasa yang
mempunyai kecenderungan, minat dan suka berpolitik. Disamping karena
terdorong oleh godaan-godaan politik untuk bergabung dengan Golkar, kyai-
kyai NU terkesan tidak “kerasan”untuk selalu mendukung PPP karena faktor
ketersisihan unsur-unsur NU oleh unsur lain dalam partai tersebut. Ini
menyebabkan beberapa kyai NU mencari saluran politik baru yang mereka
rasakan lebih leluasa dan lebih segar dalam Golkar yang terkenal memiliki
program-program yang lebih menarik di bidang pembangunan, ekonomi, dan
sosial, sosial dan politik. Salah seorang kyai NU yang dikenal sebagai perintis
dan pelopor untuk bergabung dengan Golkar adalah Kyai Musta’in Ramli, dari
Jombang, Jawa Timur. Langkah kyai Musta’in Ramli ini pada gilirannya
diikuti oleh kyai-kyai NU lainnya yang menyebabkan sayap kekuatan Golkar
76
semakin kuat. Sebagai contoh di Pemalang juga terdapat kyai NU yang
mengikuti langkah kyai Musta’in Ramli yaitu kyai Masy’ari dari
Bantarbolang. Sebagai seorang kyai yang berpengaruh di lingkungan dimana
ia tinggal, tentunya langkah yang dilakukannya itu dapat dengan mudah
diikuti oleh pengikutnya baik dari keluarga, santrinya, maupun masyarakat
umum (Wawancara dengan KH Asrori Saleh, 20 April 2007).
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pergeseran perilaku kyai-
kyai NU yang terjadi di lingkup nasional maupun daerah dapat mempengaruhi
perolehan suara PPP. Apabila seorang kyai telah memutuskan untuk
menyalurkan aspirasi politiknya ke OPP tertentu, maka bisa dipastikan para
jamaahnya (keluarga ulama, santri dan komunitas di lingkungannya) juga akan
menyalurkan aspirasi politik mereka ke OPP pilihan ulama tersebut. Langkah
politik yang dilakukan oleh kyai Masy’ari ini merupakan fenomena politik
yang wajar-wajar saja sebagai seorang individu. Namun kalau dilihat dari
kedudukannya di mata masyarakat tentunya akan berdampak lain. Masyarakat
akan mengikuti apa yang dilakukan oleh panutannya itu, sehingga secara tidak
langsung dapat mempengaruhi perolehan PPP.
Adanya berbagai macam konflik internal di tubuh PPP juga
mempengaruhi gerak politik Partai. Keretakan yang terjadi di antara sesama
tokoh di tubuh PPP Pemalang yang terjadi pada bulan Maret 1978 secara tidak
langsung mempengaruhi kekompakan unsur-unsur yang tergabung di dalam
fusi. Hal tersebut merupakan akibat logis dari suatu langkah kearah
konsolidasi dalam tubuh Partai, namun demikian konflik internal itu masih
77
dalam batas-batas pada tubuh pimpinannya yang belum menjalar pada
masyarakat pada umumnya, pengikut atau pendukung-pendukungnya pada
khususnya.
Pemilu 1987 PPP mengalami kemerosotan suara hampir di semua
wilayah kecamatan di Pemalang. Perolehan suara itu merupakan kemerosotan
terbesar yang di alami PPP, ini disebabkan karena adanya berbagai masalah
intern partai seperti misalnya ketidakpuasan NU atas kepemimpinan J Naro,
sehingga bayak kalangan ulama NU maupun warga NU yang menyalurkan
aspirasi politiknya ke Golkar dan PDI, hal ini diawali dengan adanya
Muktamar NU pada akhir 1984 di Situbondo NU menyatakan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan atau kembali ke Khittah 1926. Para
ulama dan tokoh-tokoh NU setelah melakukan koreksi, introspeksi dan
refleksi terhadap perjalanan NU selama ini, terutama pergumulan NU dalam
bidang politik praktis dan setelah dievaluasi untung-ruginya, akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa NU harus kembali ke jati dirinya, kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan seperti pada saat berdirinya pada tahun 1926.
Dengan kembalinya NU ke Khittah 1926 secara politis NU tidak terikat
dengan semua organisasi politik manapun.
Keputusan itu secara tegas berarti menyatakan NU keluar dari PPP. Ini
merupakan pernyataan kedua bagi NU dalam panggung politik, setelah
pernyataannya keluar dari Masyumi. Hanya saja, sewaktu keluar dari
Masyumi NU mendirikan partai politik sendiri, sementara setelah keluar dari
PPP NU tidak mendirikan partai politik sendiri. Kiprah politik NU secara
organisatoris sudah akan terputus. Dalam hal ini NU memberi kebebasan
78
sepenuhnya anggota dan tokoh NU untuk menentukan pilihan politiknya
sendiri, tanpa perlu mengaitkannya dengan NU. Namun tidak menutup
kemungkinan bagi kyai-kyai NU tetap berkhidmat di PPP. Semenjak
kembalinya NU ke Khittah 1926 aspirasi politik NU disalurkan ke partai
politik yang ada, baik di Golkar, PPP, dan PDI.
Kembalinya NU ke Khittah 1926, ada harapan baru bagi generasi muda
NU yang akan melihat NU dalam wajah baru, yakni wajah sosial keagamaan,
tidak lagi berwajah politik sebagaimana yang selama ini ditampilkan. Dengan
wajah baru diharapkan NU mempunyai waktu yang cukup untuk
memperhatikan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan.
Sebagai unsur pendukung PPP yang terbesar, NU mempunyai pengaruh
paling kuat dalam perolehan suara PPP. Dengan kembalinya NU ke Khittah
1926 berarti bahwa NU kembali kepada eksistensinya sebagai organisasi
sosial keagamaan, dan melepaskan ikatan politiknya dengan partai politik
manapun, termasuk PPP sendiri. Hubungan NU Pemalang dengan DPC PPP
Pemalang secara politis menjadi tidak komunikatif lagi. Langkah NU ini
membawa dampak besar terhadap perolehan suara PPP di Pemalang.
Perolehan suara PPP di beberapa wilayah kecamatan megalami penurunan
yang drastis. Alasan mengapa NU menyatakan keluar dari partai ini karena
tidak lain adanya kekecewaan terhadap perimbangan kursi unsur dalam DCS
yang diajukan oleh Naro pada Pemilu 1982, dan tergesernya orang-orang NU
dalam kepengurusan partai di tingkat pusat. Disamping itu terjadinya konflik
dan kemelut internal yang terjadi di tubuh partai (Wawancara dengan Bapak
KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).
79
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan permasalahan, hasil penelitian, dan pembahasan tentang
Peranan NU Pemalang dalam perolehan suara PPP (Suatu Kajian Historis Tahun
1973-1984), maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan
di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh
sejumlah ulama tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi
ini berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Pembentukan NU
merupakan reaksi dari ulama tradisional dalam menjawab tuduhan yang datang
dari kalangan pembaharu atau modernis. Kalangan Pembaharu atau modernis
beranggapan bahwa ajaran Islam yang terdapat di Indonesia telah manyimpang
dari sumber utama Al Qur’an dan Hadist dan menyatakan bahwa belajar agama
Islam, tidak seharusnya bersumber dari kitab-kitab imam mazhab, tetapi
hendaklah dilihat dari sumber aslinya Al Qur’an dan Hadist. Sementara kalangan
tradisional mempertahankan metode mazhab dalam memahami ajaran Islam,
bahkan mengikuti salah satu dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali) adalah wajib. Melalui NU, kalangan tradisional berusaha untuk
menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah
dan menganut salah satu dari empat mazhab. NU di Pemalang berdiri pada tahun
1934 setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya
Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU di
79
80
Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH
Kholil, dan H Husni. Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk
mendukung berdirinya NU secara nasional. Dalam perjalanan politiknya, NU
pernah bergabung dalam MIAI, menjadi anggota istimewa Masyumi, dan
mendirikan Partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai Persatuan
Pembangunan, dan terakhir mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa. Secara
politis pada tahun 1973-1984 kekuatan NU tergabung dalam Partai Persatuan
Pembagunan (PPP). Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru meyederhanakan partai
menjadi dua partai dan satu golongan ini memaksa NU Pemalang bersama
Syarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Muslimin Indonesia (MI) untuk
berfusi ke dalam PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Menghadapi Pemilu 1977 dan
1982 bersama unsur lainnya NU berusaha untuk memenangkan PPP.
Strategi yang dilakukan NU untuk memenangkan PPP di Pemalang, yaitu
dengan mamanfaatkan keberadaan NU sebagai organisasi massa yang memiliki
pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik di tingkat nasional maupun lokal yang
dalam hal ini adalah Pemalang, mengerahkan ulama-ulama NU Pemalang untuk
terlibat langsung dalam proses kampanye yang dilakukan di beberapa daerah di
kabupaten Pemalang, dalam kegiatan kampanye PPP para ulama NU di Pemalang
berusaha untuk memikat hati masyarakat agar menyalurkan aspirasi politiknya ke
PPP dengan berbagai cara termasuk menggunakan tema perjuangan Islam, dan
melakukan kerjasama di berbagai bidang antara NU dengan DPC PPP Pemalang.
Sebagai hasilnya perolehan suara PPP di Pemalang mampu menjadikan
PPP sebagai kekuatan terbesar kedua setelah Golkar dan menjadi tandingan
81
Golkar yang cukup berarti dalam Pemilihan Umum 1977 sampai pada Pemilu
1982. Hasil yang diperoleh PPP di Pemalang diluar dugaan baik PPP sendiri
maupun Golkar atau PDI. Walaupun pada dasarnya angka suara yang diraih jauh
berada di bawah Golkar, yaitu dengan memperoleh suara sebanyak 138.251
(31,42 %) dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %)
dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1982. Secara umum perolehan suara PPP
di Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 stabil dan penyebarannya hampir merata
di seluruh wilayah kecamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku: Badan Pusat Statistik. Kabupaten Pemalang Tahun 1970. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Pemalang Tahun 1980. Budiharjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Darojat, Aliyud. 2006. Kenahdlatul Ulamaan. Semarang: CV. Widya Karya. Ecip, Sinansari S. 1994. NU; Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah dan Pengantar Metode Sejarah,
Terjemahan Nugroho Notosutanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI. Haidar, Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haris, Syamsudin.1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia
Widiasarana. Ida, Laode. 1996. Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara
Wacana. --------------- 2004. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta:
Departemen Agama Mulkhan, Munir Abdul. 1989. Perubahan Perilaku dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987; Dalam Perspektif Sosiolog. Jakarta: Rajawali. Noer, Deliar. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali. Rahardjo, Dawam, M. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun Dari
Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyaratakat (P3M).
Shobron, Sudarno. 2003. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Dalam Pentas
Politik Nasional. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat Qadariyah wa Nasyabandiyah Jombang; Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Galang Printika.
Ummatin, Khoiro. 2002. Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Van Bruinessen, Martin. 1994. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru. Yogyakarta: LKIS. Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbud. ARSIP:
1. Naskah Pidato Sambutan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pemalang dalam rangka Kunjungan Kerja Anggota-Anggota DPR RI Komisi APBN di Pemalang tanggal 29-30 Juli 1973.
2. Laporan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pemalang dalam rangka Rapat Kerja para Bupati/Walikota Kepala dati II se-wilayah Kerja Pembantu Gubernur Kepala Dati I Jateng di Pekalongan tanggal 26 September.
3. Perkembangan potensi Golkar pada Pemilu 1971-1987 di Kabupaten Dati II Pemalang.
INTERNET: http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama/30 Februari 2007. http://www.ppp.or.id/Sejarah PPP/30 Februari 2007.