Sejarah

12
SOSIAL DAN BUDAYA JORONG SUNGAI GUNTUNG NAGARI PASIA LAWEH KECAMATAN PALUPUH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Endang Lastri IC Dosen Pembimbing Dr. Silfia Hanani, M. Si PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

Transcript of Sejarah

Page 1: Sejarah

SOSIAL DAN BUDAYA JORONG SUNGAI GUNTUNG NAGARI

PASIA LAWEH KECAMATAN PALUPUH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar

Endang Lastri

IC

Dosen Pembimbing

Dr. Silfia Hanani, M. Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

Page 2: Sejarah

SOSIAL DAN BUDAYA JORONG SUNGAI GUNTUNG NAGARI

PASIA LAWEH KECAMATAN PALUPUH

A. Sejarah Jorong Sungai Guntung

Menurut rangkaian sejarah yang bersumber dari cerita orang yang tertua Nagari

dan buku-buku yang berisikan Tambo asal usul Nagari dalam wilayah Minangkabau,

dimana Nenek Moyang Nagari Pasia Laweh berasal dari Kenagarian Kamang Mudiak

Agam. Yang pertama kali turun adalah Awa gelar Dt, Rajo Nagari seorang Penghulu

Pucuak basuku koto, disertai sejumlah karib kirabat beliau yang diperkirakan datang

sekitar tahun 1842, persisnya 5 tahun sejak berakhirnya perang Paderi di sebuah

perbukitan Limau Abung Sungai Guntung.

Karena kekurangan sumber Air, maka beliau meneruskan perjalanan melalui

Rimbo Pakan Selasa dan Bateh Kambuih yang akhirnya menetap disebuah pemukiman

baru bernama Koto Banau, artinya penghuni kampung tersebut kebanyakan basuku Koto

dan hutannya banyak ditumbuhi pohon enau. Berawal dari perkembangan inilah Sang

Datuk mulai menata kehidupan bakorong – bakampuang. Baadat – Bagaamo dan

bermusyawarah mencari kata mufakat di lingkungan kaum dan kirabatnya.

Seiringan berjalannya kehidupan dari masa kemasa, sesuai dengan kewenangan

Belanda selaku penguasa tunggal waktu itu yang memperlakukan sistem pemerintahan

Nagari yang dikenal dengan Priode PASCA PLAKAT PANJANG KOLONIAL, dimana

Belanda saat itu berhak menetapkan dan menunjuk seseorang untuk diangkat sebagai

penghulu kepala atau kepala Laras yang pada prinsipnya bertugas sebagai penghubung

nagari-nagari yang telah terbentuk untuk kepentingan Belanda semata. Dan waktu itu

ditetapkanlah Dt. Rajo Nagari sebagai Angku Lareh pertama yang pemerintahannya

berpusat disebuah Pasia nan laweh tempat berdirinya bangunan Mesjid Nurul Falah

Jorong Pasia Laweh sekarang yang akhirnya nama Pasia Laweh tersebut dikukuhkan

sebagai nama sebuah Nagari yang sampai sekarang tetap utuh adanya di Kabupaten Agam

Propinsi Sumatera Barat.

Page 3: Sejarah

Sesuai dengan kondisi Datuak Rajo Nagari pertama di Nagari yang semakin tua.

Maka jabatan beliau digatikan oleh anak pertama dari pasangannya dengan SITI

FATIMAH suku Tanjuang kampuang tangah Pasia Laweh yang bernama KILEK gelar

DT. BAGINDO sekitar tahun 1869, mengingat waktu itu belum ada satupun kemenakan

beliau yang memenuhi syarat sebagai Angku Lareh. Sedangkan untuk jabatan Kapalo

Nagari pertama di Pasia Laweh adalah GANJIA DT. BAGINDO kemenakan Kilek Angku

Bagindo anak dari GUNUN yang menjabat sekitar tahun 1876 sampai dengan tahun 1891

( 15 ) tahun begitulah seterus nya sampai sekarang. Dimana Nagari Pasia Laweh tetap

berdiri kokoh yang meliputi 7 jorong yakni Jorong Pasia Laweh, Palupuh, Angge,

Palimbatan, Sungai Guntung, Aur Kuniang, Lurah Dalam. Yang terdiri dari 7 pasukuan

yaitu: Koto, Jambak, Caniago, Tanjuang, Pili, Malayu dan Sikumbang. Dengan jumlah

niniak mamak yang dikenal dengan sebutan Niniak Mamak Nan 100 Dikato yang pada

saat sekarang ini jumlah niniak mamak sudah mencapai sebanyak 113 orang Niniak

Mamak.

B. Morfoligi

Jorong Sungai Guntung terletak 7 Km dari pusat kenagarian Pasia Laweh.

Persisnya ditengah deretan Bukit Barisan, yang mendaki dan menurun diantara lembah

hijau ditengah punggung Sumatera. Jalan ke Sarasah Guntuang cukup bagus dan mulus,

tapi memiliki beberapa tanjakan dan turunan tajam yang cukup menggigilkan telapak

kaki. Jorong Sungai Guntung merupakan dataran tinggi dan sedang dengan

ketinggian dari permukaan laut antara 500 – 850 m, yang berbatasan dengan:

Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Pauah, Nagari Kamang Mudiak

Sebelah selatan berbatasan dengan kenagarin Pagadih

Sebelah timur berbatasan dengan bukit Barisan

Sebelah barat berbatasan dengan Jorong Pagadih Mudiak, Nagari Pagadih

Topografi Sungai Guntung berbukit dan bergelombang menghiasi lembah dengan

kemiringan hampir terjal dan terjal (15 – ), yang ditutupi oleh kawasan hutan berupa

Page 4: Sejarah

kayuan dan tanaman perkebunan yang cukup subur. Sedangkan areal pemukiman lebih

cendrung berada didekat persawahan yang dikelilingi oleh tebing perbukitan.

C. Jumlah Penduduk

Menurut data yang dipeloreh dari kantor jorong Sungai Guntung terdapat 38 KK

dengan jumlah penduduk lebih kurang 821 orang,

D. Mata Pencarian Penduduk

Masyarakat Jorong Sungai Guntung bermata pencarian sebagai petani. Salah satu

hasil pertaniannya adalah ambiar yang berkomoditi ekspor.

Sekitar 145 ha kebun gambir masyarakat di Jorong Sungai Guntung Kenagarian

Pasia Laweh Kecamatan Kecamatan Palupuh sedah mulai panen. Dengan panennya

gambir bukan masyarakat saja yang merasa gembira tetapi koperindag Provinsi yang rajin

membina petani gambir itu juga merasa bangga. Potensi gambir di Kenagarian itu

membuat salah seorang Kabid Koperindag Propinsi, Drs. Gustaf sering melakukan

pembinaan. Bahkan setiap tahun memberikan bantuan berupa sarana untuk pengolahan

gambir tersebut. Gustaf mantan Koperindag Bukittinggi tidak asing bagi masyarakat

Palupuh.

Hamparan kebun gambir masyarakat Jorong Sungai Guntung terlihat semakin luas

karena Jorong Sungai Guntung yang selama ini merupakan daerah terisolasi mempunyai

potensi yang luar biasa untuk gambir. Dan sekarang Kenagarian tersebut menjadi

Kenagarian Primadona di Kabupaten Agam.

Sampai saat ini berpedoman kepada data luas tanaman jeruk telah mencapai 67 Ha,

yang dimulai semenjak tahun 2006 sampai tahun 2010, dengan jenis jeruk madu dan

dipopulerkan dengan nama jeruk Sungai Guntung. Kelompok Tani yang terlibat yaitu 5

kelompok tani Sungai Guntung yakni ; Kelompok Tani Karya Lestari, Kelompok Tani

Koto Rantang Jaya, Kelompok Tani Muaro Baru, Kelompok Tani Tunas Harapan dan

Kelompok Tani Tunas Baru.

Tanaman jeruk tersebut telah mulai berbuah dan menghasilkan atau telah panen,

berdasarkan pendataan petani yang telah menikmati manis jeruk madu koto rantang

Page 5: Sejarah

berkisar 10 – 12 orang dengan luas panen diperkirakan 15 Ha dan sampai akhir Desember

2011 ini total produksi bisa mencapai 30 ton. Dengan klasifikasi berdasarkan pandangan

visual grad A sekitar 25 % (4 – 5 ) buah/Kg, grad B sekitar 55 % ( 6 – 8 ) buah/Kg dan

grad C sekitar 20 % (8 – 11) buah /Kg.

Untuk mendukung program pengembangan tanaman Jeruk Madu di Sungai

Guntung beberapa kegiatan telah dilaksanakan oleh anggota Kelompok Tani, baik dalam

hal budidaya, dengan kegiatan budidaya tanaman yang sehat, dengan berpedoman kepada

penerapan SL PHT yakni bagaimana cara bertanam, pengendalian hama dan penyakit

dengan konsep ramah lingkungan.

Pelatihan untuk menambah wawasan dan pengetahuan petani dilaksanakan

berawal dari lahan kebun jeruk dengan sistim SL dan sampai pada pertemuan yang

bertemakan komoditi jeruk yang diadakan oleh Dinas Pertanian baik Kabupaten Maupun

Provinsi Sumatera Barat, Nara sumber juga ada dari Balai Penelitian Buah Tropika

(Balitbu tropika) Aripan Solok. Untuk sebagai bertukar pikiran petani Jeruk di Koto

Rantang diajak study banding yang didampingi oleh petugas BP4K2P Kecamatan

Palupuh keluar daerah seperti yang terkenal saat ini Jeruk Gunuang Omeh di

Kecamatan Gunung oMas Kabupaten 50 Kota.

Bila melirik lahan kebun jeruk di daerah lain yang pernah dikunjungi potensi lahan

yang ada di Sungai Gungtung tidaklah mengecewakan bahkan bisa dikatakan

kesuburannya cukup bagus. Namun kemauan dan tekad bulat untuk sebuah keberhasilan

perlu dibangkitkan dan dukungan, sehingga petani bisa mewujudkan kesejahteraannya

Page 6: Sejarah

E. Pariwasata

Salah objek wisata yang terkenal di Jorong Sungai Guntung adalah Sarasah Indah

Sungai Guntung. Objek Wisata ini berupa air terjun yang berada di Jorong Sungai

Guntung, Nagari Pasia Laweh, lebih kurang 40 KM dari kota Bukittinggi. Air terjun ini

amat unik karena terdiri dari 3 tingkat. keunikan ini menjadi nilai tambah tersendiri yang

tidak banyak dimiliki air terjun lainya. Tak kalah menariknya adalah bahwa objek wisata

ini juga dikelilingi oleh pemandangan yang indah dan asri. Setiap hari libur air terjun ini

banyak dikunjungi oleh para wisatawan.

Air Terjun Sarasah Gantuang atau dikenal dengan nama Air Terjun Tiga Tingkat

terletak antara dua lembah raksasa, yang airnya terus mengalir ke tengah nagari Palupuah.

Air terjun ini terdiri dari tiga tingkatan dimana tingkat pertama paling atas sarasah ini

memiliki ketinggian terjunan air sekitar 10 m dengan sebuah telaga batu yang kerap

memancarkan kilauan pelangi jika terkena sinar matahari.

Untuk tingkat kedua dan ketiga diperkirakan masing-masing memiliki ketinggian

antara 12 hingga 14 meter, juga dengan telaga seukuran diameter lima meter. Dari kedua

air terjun itulah tersembul uap air dan embun yang mengepul seperti cendawan raksasa.

Bahkan dari tingkat itu pula selalu terdengar gemuruh hempasan air.

Page 7: Sejarah

Untuk menuju ketingkat dua, masih mudah untuk ditempuh dengan jalan kaki.

Tapi untuk ketingkat terakhir, terpaksa harus merangkak dikarenakan medan terjal dan

licin.

Penduduk di sekitar kawasan air terjun mengkeramatkan sarasah ini. Mereka

percaya setiap ada musibah yang akan menimpa, air sarasah akan bergemuruh atau akan

keluar ikan bersirip emas dari dasar telaga. Karena kepercayaan itu pula penduduk tidak

berani menebang pohon dekat sarasah.

Terletak di Jorong Sungai Guntuang, Kanagarian Pasia Laweh, Kecamatan

Palupuh, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Berjarak sekitar 7 km dari pusat

Nagari Pasia Laweh, menuju Nagari Pagadih, Palupuh. Persisnya ditengah deretan Bukit

Barisan, yang mendaki dan menurun diantara lembah hijau ditengah punggung Sumatera.

Jalan ke Sarasah Guntuang cukup bagus dan mulus, tapi memiliki beberapa tanjakan dan

turunan tajam yang cukup menggigilkan telapak kaki

F. RUMAH GADANG

Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu

suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera

bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di

atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan

arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis

katulistiwa itu.

Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga,

dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya

yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat. Bunyinya ialah sebagai berikut :

Rumah gadang sambilan ruang, salanja kudo balari, sapakiak budak

maimbau, sajariah kubin malayang.

Gonjongnyo rabuang mambasuik, antiang-antiangnyo disemba alang.

Parabuangnyo si ula gerang, batatah timah putiah, barasuak tareh limpato,

Cucurannyo alang babega, saga tasusun bak bada mudiak.

Page 8: Sejarah

Parannyo si ula gerang batata aia ameh, salo-manyalo aia perak. Jariaunyo

puyuah balari, indah sungguah dipandang mato, tagamba dalam sanubari. Dindiang

ari dilanja paneh.

Tiang panjang si maharajo lelo, tiang pangiriang mantari dalapan, tiang

dalapan, tiang tapi panagua jamu, tiang dalam puti bakabuang. Ukiran tonggak jadi

ukuran, batatah aia ameh, disapuah jo tanah kawi, kamilau mato mamandang. Dama

tirih bintang kemarau.

Batu tala pakan camin talayang. Cibuak mariau baru sudah. Pananjua parian

bapantua. Halaman kasiak tabantang, pasia lumek bagai ditintiang. Pakarangan

bapaga hiduik, pudiang ameh paga lua, pudiang perak paga dalam, batang

kamuniang pautan kudo, Lasuangnyo batu balariak, alunyo linpato bulek, limau

manih sandarannyo.

Gadih manumbuak jolong gadang, ayam mancangkua jolong turun, lah

kanyang baru disiuahkan, Jo panggalan sirantiah dolai, ujuangnyo dibari bajambua

suto. Ado pulo bakolam ikan, aianyo bagai mato kuciang, lumpua tido lumuikpun tido,

ikan sapek babayangan, ikan gariang jinak-jinak, ikan puyu barandai ameh.

Rangkiangnyo tujuah sajaja, di tangah si tinjau lauik, panjapuik dagang lalu,

paninjau pancalang masuak, di kanan si bayau bayau, lumbuang makan patang pagi,

di kiri si tangguang lapa, tampek si miskin salang tenggang, panolong urang

kampuang di musim lapa gantuang tungku, lumbuang kaciak salo nanyalo, tampek

manyimpan padi abuan.

Arsitektur

Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam

takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis

tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut

“bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan

dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun

mengandung rumusan falsafah itu.

Page 9: Sejarah

Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang

mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan

lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal.

Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium

terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika

merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan

(penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang

juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan

estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka.

Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah

gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya

bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung

dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan

dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi

yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah

gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis.

Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang

berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat

pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek,

membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar,

terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah

mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan

angin.

Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-

syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai

kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Page 10: Sejarah

Ragam Rumah Gadang

Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta

gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah

gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong

runcing menjulang.

Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari

depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah

yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai

dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya

bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam).

Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.

Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik.

Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi.

Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan

rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak

beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang

terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.

BODI CANIAGO SURAMBI PAPEK (RAGAM LUHAK AGAM)

Page 11: Sejarah

Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian

depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di

belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri

antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto

Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang

yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.

Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.

Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah

gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga

rumah.

Fungsi Rumah Gadang

Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan

karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang

antara lain sebagai berikut:

Rumah gadang basa batuah,

Tiang banamo kato hakikaik,

Pintunyo basamo dalia kiasannya,

Banduanyo sambah-manyambah

Bajanjang naiak batanggo turun,

Dindiangnyo panutuik malu,

Biliaknyo aluang bunian.

Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang

kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat

bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat

anggota keluarga yang sakit.

Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan

tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang

Page 12: Sejarah

termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika

seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di

kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang

lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-

masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana

mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua

dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan

untuk turun naik rumah pada malam hari.

Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh

anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.

Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam

meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan

penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan

dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.

Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit

setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya

akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah

itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat

berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah

perseng ketaan antara istri-istrinya.

Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah

itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan

dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan

dengan rumah gadang.