sastra klasik

download sastra klasik

of 46

Transcript of sastra klasik

Berikut adalah rangkuman definisi istilah - istilah yang sering kita jumpai dalam karya sastra Jawa. 1. babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah [Sunda], hikayat, silsilah, sejarah waridjan [Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia] warung kopi waridjan 2. bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung (saresehan perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih budaya) tangan. gancaran: wacana berbentuk prosa. Gabung di Grup 3. gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional. ini! Laporkan 4. gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] Pelanggaran yang merupakan isi atau inti. 5. guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang macapat]. 6. guru lagu: [disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa. 7.guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa. 8.janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan. 8.japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan. 9.kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,bebasan, saloka, isbat, dan panyandra. 10. kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsure pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek [guru dan laghu]. 11. kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum. 12. macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah

baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung,jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa. 13. manggala: "kata pengantar" yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta--meskipun tak selalu ada--penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru. 14. pada: bait parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun [Melayu]. 15. parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan. 16.parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan. 17. pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup. 18.pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa. 19. panambang: sufiks/akhiran 20. panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi). 21.Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. 22. pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.

23. pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam). 24. saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel. 25.saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo),Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).

26. sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya. 27. sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya. 28. sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturanaturan ketat seperti--terutama--pembaitan secara ketat. 29.sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,terutama moral. 30. sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional. 31. singir: syair dalam tradisi sastra Jawa. 32. sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya. 33. suluk: [1] jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi

ajaran-ajaran gaib yang bersumber pada ajaran Islam; [2] wacana yang 'dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan 'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan. 34.supata: kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah. 35. tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.

36. wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat. 37. wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. 38. weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang. 39. wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawu. SASMITANING TEMBANG

CARI Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha Tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, Pangrasane sampun udani, tur durung weruh ing rasa, Rasa kang satuhu, Rasaning rasa punika, Upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira Syair diatas adalah petikan tembang dhandhanggula dari serat wulang reh bait yang kedua. "Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha..." Tanda hidup ini apabila tidak dimengerti tidak akan bermakna hidupnya. Jagat raya yang membujur ini, bagaimana mulanya dan bagaimana pula akhirnya..? Bagaimana angkasa ini berputar dan menampakkan keindahannya bagaikan hiasan emas..? Bagaimana cakrawala ini dibangun..? Apakah rahasia hidup dan mati..? Semua itu bukanlah suatu kebetulan belaka, kehadiran kita kedunia debu ini bukanlah suatu keterpaksaan, semua telah menjadi ketentuanNYA (Qada' dan Qodar). Kehadirannya penuh hikmah yang tinggi, yaitu untuk Ibadah. Bukankah sebuah penghargaan cinta tertinggi hanya bagi kita , Manusia dan

para Jin karena telah diperintahkan olehNYA, seperti dalam surat Qs Adz Dzariyat: 56-58. Kalau timbul pertanyaan kenapa Malaikat tak termasuk didalamnya..? Ya, Disana memang tak disebutkan yang wajib beribadah adalah juga termasuk Malaikat, karena Malaikat pada hakikatnya Makhluk Allah yang setia setiap saat, nggak ada kemauan untuk menyeleweng dari tugasNYA. He wong-wong kang padha iman ! Sira padha ngreksa'a awakiradhewe, lan ahlinira saka siksa neraka kang urub-urube manungsa lan watu. Kang dijaga dening para Malaikat kang kereng lan buteg. Ora tau padha nyulayani dhawuhing Allah, ananging padha ngestokake apa kang di dhawohake. Hai orang-orang yang beeriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNYA kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. QS. At-Tahrim: 6 Dengan diberikan kesempatan beribadah berarti diberikan pula kesempatan untuk dapat mencintai dan di cintai. Dua suku kata sebagai 'subyek' dan 'obyek', yang keduanya nggak ada yang dirugikan, nggak ada yang merasa dikurangi atau digerogoti baik yang 'dicintai' maupun yang 'mencintai'. Dengan cinta inilah seseorang yang dicintai menjadi tidak lagi melihat sesuatu kecuali wajah yang mencintaiNYA. Ukuran cinta seseorang terhadap TuhanNya sesuai kualitas ilmunya tentang rahasia-rahasia Tuhan itu sendiri. Cinta adalah celak, adalah eyebross yang dipakai oleh mata hati, sehingga hati dapat melihat dengan jelas. Begitulah seperti yang diungkapkan oleh Jalaludin Ar-Rumi, seorang penyair sufi besar. Cinta menurut Jalaludin Ar-Rumi mampu menjadikan sesuatu yang buruk menjadi baik, atau setidaknya keburukan menjadi syarat timbulnya kebaikan karena tidak ada yang buruk secara mutlak. Tidak ada keburukan yang sunyi dari hikmah. Timbulnya keburukan menjadi syarat untuk kemudian tumbuh kebaikan dengan cara memeranginya. Keburukan adalah cara untuk dapat mengaku hina dihadapan Sang Penguasa, sehingga muncul upaya menuju kebaikan. Termasuk untuk kesempurnaan cinta, adalah adanya kesatuan kehendak antara yang dicintai dan yang mencintai. Dengan demikian akan terciptalah satu usaha dan upaya (Ikhtiar). Bukan kah telah diajarkan oleh para Nabi & Rasul kita dalam pengucapan do'a, bahwa kita manusia ini hanyalah makhluk yang hina, Robbana dholamna.... Dari sinilah semoga dapat kita temukan arti dari tanda hidup ini, hidup yang pada akhirnya akan menemui kematian, kerusakan (Al-Fana), dimana setelahnya nanti akan berganti baju yang kita kenakan berujud "jasad Fana" ini menjadi mengenakan baju baru bermerk "Al Baqa - Al Khalid" (keabadian) guna bertandang nge'date' kerumah yang kita cintai sewaktu didunia yaitu Allah Swt. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pemberi dan Mutlak, dimana

Dia tidak akan menarik sebuah kenikmatan cintaNYA, melainkan Dia akan mengganti kenikmatan lain yang lebih besar. Bila Allah menarik kehidupan yang lemah dan penuh penderitaan ini, maka Dia akan memberi kehidupan yang lebih luas, lebih kekal, lebih indah, dan lebih tinggi. Dengan telah mencerna pemahaman ini, semoga kita semua tidak akan pernah takut lagi dalam menghadapi kematian. Semoga pula kita masih diberi nikmat cintaNYA agar bisa memaknai tanda kebesaranNYA melalui segala ujian duniawi ini. Jabatan, kekayaan, gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, dan berbagai macam bencana lainnya adalah hal yang kecil bagiNYA sebagai ujian ketulusan cinta kita kepadaNYA. Masih cintakah kita manusia ini kepadaNYA atau lebih cintakah kita kepada setan-setan duniawi ini..? Sehingga yang terjadi adalah "tan jumeneng uripe", tidak akan bermakna hidupnya. Kenyataan yang sekarang ini sering kita lihat dan saksikan adalah pertunjukan sikap para tokoh yang merasa bisa dengan dalih dua suku kata ampuh 'percaya diri'. Bagaimana mereka akan tahu tentang rasa kalau yang digunakan hanyalah pikiran saja, bisa mencalonkan diri karena ada dana pencalonan atau karena "trah", keturunan priyayi gung, namun berani sesumbar mempropagandakan "mau mengentaskan wong cilik" . Bagaimana mau mengentaskan wong cilik kalau dia saja tidak pernah mau mencoba mengecap asin, asem dan pahitnya kehidupan jadi wong cilik..?, dari bayi saja sudah terlanjur dibesarkan oleh 'orang besar'. Pada akhirnya pertunjukan itu oleh orang kampung yang tak pernah mengenyam pendidikan sekalipun di tanggapi dengan reaksi yang agak bahkan sangat sinis, serasa menonton "dagelan" diatas mimbar, mengolok-olok dan mentertawakannya. Bahkan simbok saya yang tidak lulus dari Sekolah Rakyat meledeknya "Wong kok ora nduwe isin - Orang koq tidak tahu malu". Inilah kekhawatiran Paku Buwono IV lewat

tembang dhandhanggula 2 ini, "akeh kang ngakuaku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa"...banyak yang merasa sudah tahu atau paham , tahu tentang 'rasa', padahal belum mengetahui benar tentang rasa sejati. Rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, Rasa sejati berada pada lubuk hati itu sendiri. Urat nadi letaknya menempel pada badan, namun Tahta Tuhan masih lebih dekat lagi dari sesuatu yang menempel itu. Tuhan ada dimana-mana namun hakekatnya Dia adalah Satu, Dia ada didalam tetapi tetap ada pula diluar diri kita, karena yang diluar itu masih berada didalam alam semesta, yang tak bisa didefinisiakan. Lalu bagaimanakah memahami rasa sejati itu sendiri..? Upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira Berjalanlah, berusahalah, beribadatlah sesuai dengan yang kau yakini, tidak perlu pindah agama, tak perlu saling menjelekan. Tak ada pemaksaan kehendak. Tuhan Maha Kuasa, Maha Besar, yakinilah itu, maka bisa saja Dia Maujud namun bisa juga tidak Maujud. Terserah MauNYA apa. Kita harus berikhtiar, bukan hanya duduk, diam menunggu

datangnya 'rasa sejati', jangan 'ngaku-aku' bahwa sudah "udani", sudah mengetahui tentang rasa. Harus tetap berusaha untuk mencapai keterkaitan dengan Yang Satu. Hidup dalam ruh kekasihNYA. Tujuan manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini sekali lagi adalah menyembahNYa, apapun keyakian yang dianut. Menyembah dengan penuh cinta. Mencintai Allah yang berarti mencintai kholifah sebagai MandatarisNYA. Jroning kuran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang uninga Kejaba lawan tuduhe, nora kena den awur Ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah sasar susur Yen sira ayun waskita, sampurnane badanira puniki, sira anggegurua Dalam Al Qur'an terdapat kebenaran sejati, tetapi hanya yang terpilih yang tahu, Dan juga yang mendapatkan petunjuk, hal itu tidak bisa sembarangan. pada bagian yang tersirat jangan kebablasan, jangan sampai kesasar, apabila engkau ingin bijaksana, mencapai kesempurnaan dalam hidup, maka bergurulah. Dhandhanggula - 3 Jroning kuran nggoning

rasa yekti. Kebenaran sejati adanya adalah dalam kitab suci (Al Qur'an), bukan hanya sekedar membacanya. Kembali kekitab suci berarti kembali pada ajaran hati, berjalan kedalam diri. Namung dhumateng Paduka kawula manembah ngibadah, saha namung dhumateng Paduka kawula anyenyadhong pitulungan Hanya kepadaMU kami menyembah beribadah, Dan hanya kepadaMU pula kami memohon pertolongan Al fatihah - 5 Nanging ta pilih ingkang uninga, kajaba lawan tuduhe, Hanya mereka yang terpilih yang akan mendapatkan petunjuk. Gusti Allah nora sare, Gusti Allah maha Adil. Tuhan memberi kesempatan sama pada semua orang. Tetapi orang pilihan Tuhan sekali lagi adalah yang selalu berupaya, selalu berusaha menempuh kesempurnaan."Upayanen darapon Sampurna ugi". Mereka yang selalu berupaya sudah barang tentu telah mempersiapkan "lahan petunjuknya" itu. Mereka terpilih karena memang mau dan telah siap untuk terpilih. Nora kena denawur ing satemah nora pinanggih,

mundhak ketelanjukan, temah sasar susur. dalam upaya mempersiapkan lahan petunjuk itu tidak bisa sembarangan dan dengan cara yang asalasalan, apalagi terlalu di telan mentah-mentah bagian-bagian yang tersirat dalam al Kitab tersebut, maka bukan tidak mungkin perjalanan dan usaha yang ditempuh akan kebablasan bahkan sampai bisa kesasar tak ada peta untuk memandu pulang ke RahmatNYA. Yen sira ayun waskitha, sampurna ing badanira, sira anggegurua. Ibarat seorang bayi kita wajib belajar (diajari) berjalan, berbicara dari (oleh) orang tua kita. Begitu pula dalam kehidupan ini begitu bermakananya sosok seorang guru yang mengajari kita, kehadirannya bagaikan pelita dalam diri, mampu menerangi sisi gelap batin kita. Semoga kita semua termasuk golongan yang diberikan petunjukNYA. Guna pencerahan di hari kemudian... Kang Gajah nang negorone 'Ngarep Sayidi' kono... Berribu-ribu terimakasih saya ucapkan untuk rasa penasaran kalian, hingga mampu bangkitkan pikiran 'ndeso' saya ini untuk berusaha menjawab rasa penasaran

kuatan cintaNYA kepada kita umat manusia, jadi buktikanlah, sambutlah rasa cinta itu dengan lebih mengenalNYA.

PARIKAN

Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak pravestri, dan pemain ludruk yang, dalam perspektif kritik sastra marxis Zima, tergolong kelas proletar. Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah (proletar) maupun pemimpin masyarakat/negara (borjuis). Fungsi sosial parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang, dalam perspektif marxis Zima, diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama parodi. Puisi Parikan & Kritik Sastra Marxis Zima Parikan termasuk ke dalam genre puisi (terikat, tak bebas). Sebagai puisi terikat, parikan dapat berbentuk pantun yang empat baris dan pantun kilat atau pantun dua baris (karmina) (Jupriono, 2001). Baik yang 4 baris maupun yang 2 baris, sebagai pantun, keduanya samasama mengandung sampiran dan isi. Pada parikan 4 baris, 2 baris pertama dan 2 baris terakhir serta pada pada parikan 2 baris, 1 baris pertama dan 1 baris kedua, masing-masing adalah sampiran dan isi. Selanjutnya, dalam tulisan ini, parikan akan dilihat dari perspektif Kritik Sastra Marxis versi Zima. Berikut ini disajikan sari pandangan sosiologis sastra Peter Zima. Dalam pembahasan terhadap fokus tersebut, sengaja dipilih teori sastra marxis versi Peter V. Zima. Pemilihan teori sastra marxis Zima dilatarbelakangi oleh dua alasan. Pertama, versi Zima paling cocok di antara versi-versi lainnya (cf. Jupriono, 2004) justru karena moderatnya pandangan Zima, yang ternyata sangat sesuai dengan karakter sastra parikan. Kedua, teori versi Zima termasuk sangat langka dipilih orang dalam pengkajian sosiologi sastra. Memang, teori-teori sastra marxis juga jarang dipilih orang, tetapi sastra marxis versi Zima lebih langka lagi. Dalam kelompok teori sastra marxis terdapat bermacam-macam versi dengan sekian banyak tokoh. Misalnya Karl Marx, Vladimir Lenin, Georg Lukacs, Bertolt Breht, Zima, Plekanov, Trotsky, Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dll. (Soetomo, 2001). Pandangan antartokoh terhadap karya sastra menunjukkan kesamaan dan perbedaan, dari yang radikal hingga moderat. Pandangan Zima tergolong moderat.

Berbeda dengan Lukacs dan Lenin, misalnya, Zima bersikap lebih moderat. Memang, sebagai versi sastra marxis, pandangan Zima juga menggariskan pentingnya karya sastra berfungsi secara sosial. Setiap pengarang mempunyai tanggung jawab sosial. Akan tetapi, tidak seperti tokoh marxis lain, Zima kurang menyetujui kalau pengarang aktif terlibat dalam praksis sosial politik dan masalah-masalah masyarakat yang lain. Setiap sastrawan hanya berkewajiban menyuarakan reaksinya terhadap keadaan dan ketimpangan sosial (Zima, 1999). Bagi pakar sastra berkebangsaan Prancis ini, politik praktis bukan panggung yang tepat bagi sastrawan. Pikiran Zima dalam memandang sastra dapat dideskripsikan ke dalam empat butir berikut. (1) Setiap kelompok sosial (proletar maupun borjuis) selalu menampilkan karya sastra dengan gaya bahasa khas yang disebut sosiolect (Zima, 2003). (2) Teks sastra lebih merupakan reaksi terhadap konteks sosial ketimbang sebagai cerminan kenyataan masyarakat. (3) Dalam teks (lisan maupun tulis) reaksi tersebut ditampilkan dalam wujud ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan) (Zima, 1999). Pendukung Aktif Sastra Lisan Parikan dalam Ludruk Parikan mempunyai kedudukan penting dalam setiap kesenian rakyat ludruk, baik pentas di panggung rakyat, media elektronik televisi, maupun dalam rekaman kaset. Dalam setiap penggelaran ludruk, parikan muncul dalam nyanyian penari remo sebagai pembuka pentas ludruk, muncul deras dalam nyanyian gending jula-juli para pelawak, baik gaya jombangan, surabayan, maupun malangan, serta hadir dalam nyanyian para tandhak pavestri. Bahkan, dalam dalog dagelan atau adegan cerita inti pun, parikan biasa muncul, tidak hanya dari bibir pelawak, tetapi juga dari para pemeran lainnya. (Suprianto, 1992). Dengan demikian, dapat dirangkumkan bahwa pendukung aktif parikanyang aktif menyuarakandari awak drama rakyat ludruk ada empat kelompok: (1) penari remo, (2) pelawak (dagelan), (3) tandhak pavestri, dan (4) pemain. Dalam cara pandang kritik sastra marxis versi Zima, parikan merupakan gaya bahasa khas kelompok sosial rakyat bawah kelompok proletar. Sebab, menurut Zima, setiap kelompok sosial selalu menampilkan karya sastra dengan gaya bahasa khas yang disebut sosiolect (Zima, 2003), yang langsung, lugas, ceplas-ceplos, vulgar, rada-rada porno, dan blak-blakan khas jawa timuran (Supriyanto, 2005; Jupriono, 1995). Maka, parikan sesungguhnya merupakan sosiolek kelompok pemain ludruk yang, dalam perspektif Marxian Zima, merupakan golongan proletar. James. Peacock (1968), dalam hal ini, menyebut ludruk sebagai drama proletar (proletarian drama) Indonesia. Dalam hal ini cara ekspresi yang tidak langsung, misalnya memakai sampiran dan isi, merupakan kekhasan sosiolek pendukung kesenian ludruk. Kelompok Sosial Sasaran Parikan menurut Perspektif Marxis Zima Yang dimaksud sasaran di sini adalah pihak-pihak yang dituju dengan dilantunkannya parikan atau tentang siapakah yang dilukiskan dalam lantunan parikan itu. Siapakah yang menjadi sasaran parikan ludruk? Sasaran parikan ludruk ternyata mengarah pada berbagai kelompok. Jadi, tidak hanya penonton yang rata-rata golongan menengah ke bawah (Peacock, 1968), tetapi juga para pemimpin negara (eksekutif dan legislatif). Perhatikan contoh parikan berikut ini:

parikan 1 : Nang Jombang kampunge Sengon Lemah geneng akeh wedhine Ke Jombang di Kampung Sengon Dataran tinggi banyak pasirnya Najan gak sambang, nek kirim ingon Nek pancen gak seneng, apa mesthine Meski tak dating, kirimilah belanja Jika memang bosan, apa mestinya Kelompok sasaran yang dituju parikan (1) jelas golongan rakyat kebanyakangolongan yang menjadi pendukung terbesar kesenian ludruk. Umumnya adalah para petani, buruh pabrik, nelayan, tukang becak, kuli bangunan dan kuli angkut pelabuhan, dll. Pendeknya, orangorang kecil yang sering termarginalisasikan dari putaran nasib. Bagi kelompok ini, dalam perspektif Zima (1999), parikan adalah sosiolek khas ekspresi sastra. Parikan (1)meski juga bisatidak cocok untuk dirujukkan ke kelompok konglomerat, misalnya. Ternyata, sasaran parikan tidak hanya orang-orang kebanyakan kelas menengah ke bawah. Kalangan pelajar-mahasiswa pun menjadi kelompok sasaran genre ini (Jupriono, 1995; 2001). Perhatikan kutipan (2), (3), dan (4) berikut : parikan 2 : Jare bolah, kok ireng. Jare sekolah, kok meteng Katanya benang, kok hitam Katanya bersekolah, kok hamil parikan 3 : Jare dawet srabi, kok es legen Pamite arep diskusi, kok ndik losmen Katanya dawet srabi, kok es legen Pamitnya mau diskusi, kok di losmen parikan 4 : Jarene nang sawah, jebul nang tegalan Jarene kuliah, jebul kok patang wulan Katanya ke sawah, ternyata ke lading Katanya kuliah, ternyata (hamil) 4 bulan Parikan (2) menyorot perilaku para pelajar (SLTP, SMU); parikan (4) menyindir perilaku

mahasiswa; parikan (3) menohok baik pelajar maupun mahasiswa. Ketiga parikan merepresentasikan perilaku tidak positif kelompok masyarakat calon-calon intelektual cendikia. Implisit di sini bahwa ada juga kelompok pelajar dan mahasiswa yang menggemari parikan. Sebagai ekspresi gagasan, parikan sesungguhnya merupakan sebentuk komunikasi antara pelawak dan mayarakat pelajar serta mahasiswa. Lebih serius, bahkan, parikan juga menyorot kelompok elit politisi penguasa. Perhatikan parikan (5) dan (6)! parikan 5 : Piring biyen tipis-tipis Piring saiki saka porselen Maling biyen nggawa linggis Maling saiki nggawa pulpen Piring dahulu tipis-tipis Piring sekarang dari porselen Pencuri dahulu membawa linggis Pencuri sekarang membawa pulpen

Parikan 6 : Bekupon omahe dara Masiya wis gak dijajah Nipon, pancet sara Bekupon nama sangkar merpati Biar sudah tak dijajah Jepang, tetap sengsara Sasaran parikan (5) dan (6) pastilah bukan orang-orang sembarangan. Yang dituju parikan ini adalah para pemimpin negara, mulai presiden, anggota DPR, DPRD, menteri, gubernur, bupati, dll. Pencuri yang membawa pulpen pastilah ditujukan kepada para koruptor, pelaku kejahatan korupsi. Setelah memasuki era Reformasi pun, sejak 1998, ternyata Indonesia belum bebas korupsi. Karena uang rakyat banyak dikorupsi oleh para pejabat, rakyat tetap dan bahkan makin menderita. Maka, jika parikan (5) memparodi para anggota dewan, menteri, bupati, dan eksekutif lainnya, parikan (6) langsung menohok RI-1: Presiden Republik Indonesia. Parikan (6) merupakan kritik sosial-politik terhadap kegagalan elite kekuasaan menyejahterakan rakyatnya. Sebagai bagian dari masyarakat, pelantun jula-juli ini juga turut merasakan penderitaan, kemiskinan, keterpurukan nasib. Akan tetapi, sebagai seniman ludruk, sebagai sastrawan lisan, dalam perspektif Zima (1999), ia hanya berkewajiban menyuarakan reaksinya terhadap keadaan dan ketimpangan sosial. Oleh karenanya, sebagai teks sastra, parikan dalam jula-juli (5) dan (6), menurut Zima (2003), lebih merupakan reaksi terhadap konteks sosial ketimbang sebagai cerminan realitas sosial. Reaksi tersebut ditampilkan dalam wujud parodi. Menarik dicatat di sini bahwa parikan (6) sebenarnya merupakan modifikasi dari parikan alm. Cak Durasim, pelawak legendaris ludruk Jombang, sbb. parikan 7 :

Bekupon omahe dara Sakjege melu Nippon, uripku tambah sara Bekupon sangkarnya burung dara Semenjak ikut Jepang, hidupku tambah sengsara Parikan (6) sudah dilantunkan saat Indonesia masih dijajah Jepang (19421943) (Supriyanto, 1992). Seluruh seniman ludruk senantiasa membanggakan heroisme Cak Durasim putra Jombang ini. Gara-gara parikan (6) itu pulalah, Cak Durasim dianggap orang yang berbahaya yang harus diawasi, diwaspadai, dan memang akhirnya dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang. Maka, penggunaan kembali sampiran parikan Cak Durasim pada parikan (7)dengan isi yang bertentangansesungguhnya juga bermaksud menyamakan perilaku-menindas dari penguasa saat Indonesia sudah merdeka dengan perilaku penjajah Jepang. Dengan kata lain, dalam perspektif Marxian Zima (1999), parikan (6) merupakan parodi sekaligus imitasi. Parikan (6) menyindir (mem-parodi) perilaku pejabat dan penguasa dan parodi tersebut mengimitasi bentuk-bentuk ekspresi terdahulu yang pernah ada (Bekupon omahe dara). Dalam perspektif kritik sastra marxis versi Zima (1999; 2003), kelompok-kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan ini menyentuh baik golongan proletar (rakyat bawah) maupun borjuis (penguasa, pemimpin negara) yang memang mempunyai kepentingan yang berbedabeda, bahkan bertentangan (cf. Peacock, 1968). Terhadap kelompok pemimpin, parikan dilantunkan sebagai reaksi sosial atas perilaku pemimpin masyarakat (negara). Dalam hal demikian, parikan lebih merupakan bentuk reaksi terhadap perilaku pemimpin daripada sekadar menggambarkan perilakunya. Parikan (8) dari pelawak ludruk berikut memberikan contoh betapa teks sastra merupakan reaksi terhadap kondisi ketimpangan sosial dan kesewenangan elit penguasa. Reaksi ini kebetulan cukup keras, kentara, vulgar, geregetan. parikan 8 : Tuku kupat nang Banyuwangi Jelas iku kadohan Dadi pejabat, kok korupsi Iku ngono jenenge bajingan Beli ketupat di Banyuwangi Jelas itu terlalu jauh Menjadi pejabat kok korupsi Itu namanya bajingan Kata bajingan merujuk arti penjahat, pencuri, perampok. Jika pejabat diberi label bajingan, hal ini berarti bahwa kegeraman sosial sudah melewati batas-batasnya. Zima (2003) menyarankan bahwa tugas sastrawan bukan menghabisi korupsi. Menurutnya, itu di luar kompetensi sastrawan. Sementara, seniman sebagai anggota masyarakat marah, tidak tahan, menyaksikan ketidakadilan sosial akibat kejahatan penguasa. Memisahkan peran antara sebagai anggota masyarakat dan sebagai sastrawan tidaklah mudah. Meskipun demikian, menyebut penguasa sebagai bajingan tetaplah belum memasuki wilayah politik praktis. Label ini adalah sebentuk ekspresi sastrawi belakatidak lebih! Fungsi Sosial Parikan Ludruk dalam Perspektif Marxis versi Zima

Sebagai produk tradisi sastra lisan, parikan mempunyai beberapa fungsi sosial. Fungsi sosial yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: (a) menggambarkan realitas perilaku anggota masyarakat dan pemimpin negara, (b) mengkritik perilaku anggota masyarakat dan para pemimpin negara, dan fungsi lainnnya (c) menggambarkan buruknya realitas kehidupan masyarakat dan negara. Setidaknya, ini disesuaikan dengan pandangan estetik Zima (1999; 2002; 2003). Parikan (1) berfungsi mengkritik perilaku anggota masyarakat bawah. Parikan (2), (3), dan (4) berfungsi menggambarkan realitas perilaku pelajar dan mahasiswa. Parikan (5) menjalankan fungsi menggambarkan realitas perilaku pemimpin negara yang diduga kuat banyak mempraktikkan korupsi, kolusi, menggerogoti keuangan negara yang juga berasal dari rakyat. Parikan (6) dan (7) berfungsi menggambarkan keadaan buruk penderitaan kehidupan masyarakat. Parikan (8) dengan sangat berani dan terus terang mengemban fungsi mengkritik perilaku nista para elite kekuasaan. Seluruh fungsi ini, dalam perspektif Zima, merupakan reaksi sosial pelantun parikan terhadap keadaan sosial dan perilaku anggota dan pemimpin masyarakat (Zima, 2003). Reaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk: (a) ironi (mempertentangkan keadaan dan perilaku anggota masyarakat dan para elite penguasa), (b) parodi (sindiran, sebagai ekspresi tak langsung), atau (c) imitasi (peniruan, penggambaran realitas). Menentukan fungsi mana yang diemban sebuah parikan bukan soal mudah. Antarfungsi bisa saling berkelindan. Perhatikan parikan (9), (10), (11), dan (12)! parikan 9 : Dina Minggu ora prei Ditunggu-tunggu kok gak diwehi Hari Minggu tidak libur Ditunggu-tunggu kok tidak diberi parikan 10 : Rita thok, gak Elvi, ya Rhoma Irama Cinta thok, gak dirabi, ya percuma Rita saja, tanpa Elvi, ya Rhoma Irama Cinta saja, tidak dinikahi, ya percuma parikan 11 : Terong kok diuntir, ya biru Bojone wong kok dipikir, ya kuru Terong kok diperas putar, ya biru Istri orang kok dipikirkan, ya (bisa) kurus parikan 12 :

Tembok ting celoneh Jare kapok, kok njaluk maneh Tembok banyak coretan Katanya kapok (tobat), kok minta lagi Ironi, imitasi, ataukah parodi, bentuk reaksi parikan-parikan ini dalam menjalankan fungsinya? Dalam sudut pandang Zima (2003), reaksi sosial yang ditunjukkan dalam parikan (9) diwujudkan dalam bentuk ironi, sebagai pertentangan dari yang menunggu dengan yang tidak memberi. Mudah diduga bahwa isi parikan ini adalah komunikasi seksual suami-istri dalam urusan ranjang. Kesenian rakyat, terutama ludruk, memang tidak dapat menghindari percakapan dan parikan yang menyerempet-nyerempet porno seperti ini (Supriyanto, 1992). Wujud reaksi sosial dalam parikan (10) adalah parodi (sindiran). Siapa yang disindir? Pertama, penonton yang umumnya kalangan rakyat bawah. Kedua, para artris yang diparodikan, sebab sebagai artis, ketiga artis dangdut tersebut (Rita Sugiarta, Elvi Sukesih, dan Rhoma Irama)setidaknya menurut isujuga sering gonta-ganti pasangan. Jika artis boleh dikelompokkan ke dalam kelas borjuis, dalam perspektif Zima dapat dikatakan bahwa golongan borjuis dijadikan pokok persoalan (subject matter) parikan; jadi tidak hanya menjadi sasaran belaka. Fungsi parikan (11) jelas melancarkan kritik sosial terhadap perilaku masyarakat awam (jelata). Akan tetapi, soal janganlah membayangkan, memfantasikan, apalagi mengharapkan wanita yang sudah menjadi istri pria lain sesungguhnya dapat pula ditujukan kepada lelaki mana pun (Jawa, Madura, Ambon, Aceh, Flores, dll.), dalam kelas apa pun (proletar atau pun borjuis), pemeluk agama apa pun (Islam, Kristen, Hindu, dll.), golongan apa pun (jelata, penguasa, preman, dll.). Bukankah seorang suami yang kedapatan berselingkuh dengan istri orang lain dapat terjadi di kalangan mana pun? Fungsi parikan (12) lebih sulit lagi dideskripsikan secara tegas. Bukankah katanya sudah kapok, tetapi ternyata minta lagi bisa ditujukan kepada siapa saja dan untuk maksud apa saja? Parikan ini dapat saja bersangkutan dengan hal-hal sepele, misalnyalagi-lagi!soal hubungan seksual suami istri, soal korupsi, soal perilaku maksiat, selingkuh, dll. Kepada siapa pun ditujukan dan apa pun maksud yang ditafsirkan sepertinya cocok-cocok saja. Tentu saja, ini tidak bersangkutan dengan pemilihan perspektif kritik sastra (Marxian Zima), tetapi semata-mata lebih merupakan tantangan interpretasi rasional-kreatif pengamat sastra lisan terhadap sastra lisan ini. Lain halnya jika orang menemui parikan (13) dan (14) berikut. Siapa pun langsung sepakat bahwa keduanya sedang melancarkan kritik sosial. parikan 13 : Kupat aja digawe bubur Nek digawe bubur, rasane sepa Dadi pejabat kudu sing jujur Nek gak jujur, dadi intipe neraka Ketupat jangan dibuat menjadi bubur Kalau dibuat bubur, rasanya hambar Menjadi pejabat harus jujur

Kalau tak jujur, jadi keraknya neraka parikan 14 : Kang Parmin gak nggawe katok Katok suwek kecantol pager Dadi pemimpin aja senang medok Nek wis tuwek manuke mungker Kang Parmin tak pakai celana pendek Celana robek tersangkut pagar Jadi pemimpin jangan suka main perempuan Kalau sudah tua, burungnya bengkok Dari perspektif Marxian Zima (1999; 2003), kedua puisi merupakan bentuk khas sosiolek rakyat jelata. Sebagai sosiolek, parikan (13) dan (14) diciptakan sebagai bentuk representasi atas kekuasaan yang korup dan ketimpangan sosial di masyarakat. Di sini sangat jelas fungsi kritik sosialnya. Penggunaan intipe neraka kaeraknya neraka dan manuke mungker penisnya bengkok terasa kontras: yang kesatu dari sudut pandang sakralitas agama, yang kedua dari sudut pandang profanitas dunia. Akan tetapi, keduanya bertemu saat berhadapan dengan kesewenangan kekuasaan. Inilah cara khas wong cilik melancarkan kritik lewat ekspresi artistiknya (cf. Sutomo, 2001). Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah dan pembahasan di muka, dapat ditarik beberapa poin simpulan berikut. (1) Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak pravestri, dan pemain ludruk, yang dalam perspektif marxis Zima, semuanya tergolong proletar. (2) Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah (proletar) maupun pemimpin masyarakat/negara (borjuis). (3) Fungsi sosial parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang dalam perspektif marxis Zima (2003) diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama parodi. Beberapa saran layak diajukan kepada pihak-pihak tertentu, khususnya para peneliti berikutnya, sehubungan dengan beberapa kelemahan yang melekat dalam kajian sosisologis sastra ini. Pertama, data dalam kajian ini jelas amat terbatas, sehingga kurang memadai untuk segera ditarik kesimpulannya. Agak mengherankan, memang, mengapa reaksi sosial parikan berbentuk imitasi amat jarang ditemukan dalam kumpulan data kajian ini. Berarti, peneliti berikutnya harus menambah data parikan. Kedua, akan lebih baik lagi kalau kajian ini mencoba menukikkan kajiannya sampai pada perbedaan parikan dua baris (karmina) dan parikan empat baris (pantun), yang dihubungkan dengan dua aspek, yaitu perbedaan kelompok sosial yang menjadi sasaran dan bentuk reaksi sosial parikan (ironi, parodi, imitasi). Ketiga, parikan pelesetan yang memang riil ada dalam pentas ludruk belum dimasukkan sebagai data dalam kajian ini. Misalnya:

parikan 15 : Sandal japit, suwek pucuke ya tuku maneh rek Sandal jepit, robek ujungnya Ya beli lagi rek atau yang hampir jorok, begini: parikan 16 : Bakso sak penthole Bapak ngaso ketok kon- njaba. Bakso sekalian pentolnya Ayah tidur kelihatan dari luar

Realitas baru ini akan sangat baik bila dipertimbangkan sebagai data dalam penelitian berikutnya. Parikan (16), misalnya, jelas menggiring orang untuk berimajinasi (melengkapi) larik Bapak ngaso keton kon- dengan kata-kata vulgar, jorok, porno, yakni perkakas pistol gombyok seorang lelaki (Jupriono, 1995). Sekaligus, fakta (15) dan (16) memperlihatkan adanya dinamika yang di luar kerangka analisis biasanya. Teori kritik sastra klasik-konvensional yang ada selama ini jelas tak bisa lagi menjangkaunya (cf. Peacock, 1968). Maka, diperlukan pendekatan dan perspektif baru.

SASTRA JAWA sastra klasik merupakan karya sastra yang jarang dibaca karena keindahan dan dihayati sesuai keadaan. WANGSALAN Wangsalan merupakan salah satu bagian kebudayaan masyarakat Jawa. Wangsalan adalah kata-kata yang jawabannya sudah ada pada sukukata katakata nya. Wangsalan ada yang mudah adapula yang sulit dalam memahaminya. Pada saat sekarang wangsalan sudah banyak yang tidak mengetahuinya. Salah satu wangsalan adalah wangsalan nama-nama buah. Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti masalah ini. Dalam makalah ini akan dibahas bentuk-bentuk wangsalan nama-nama buah di Jawa. Adapun kebanyakan resensi kajian dari penyusunan makalah sederhana ini adalah berasal dari Serat Centhini jilid V karya Sunan Paku Buwana V (penyunting: Marsono).

Bentuk Wangsalan

(1). Buah gedhang pisang dari wangsalan pangebanging basa janji dalam bahasa: digadhang direncana/diharap-harapkan. (2). Buah duren durian dari wangsalan kang aso ing margi beristirahat di jalan: ngaso/leren beristirahat. (3). Buah pakel mangga muda dari wangsalan kang ambekicik yang dalam bertengkar tidak mau mengalah: ngengkel atau ngeyel. (4). Buah kuweni kweni dari wangsalan tinantang purun ditantang berani: wani. (5). Buah rambutan dari wangsalan sobrah sirah akar/tetumbuhan kepala: rambut. (6). Buah kepundhung dari wangsalan kang tumpang tindhih yang bertumpang tindih: tumpuk udhung. (7). Buah manggis dari wangsalan kang luntur ing siti jatuh di tanah: tlutuh. (8). Buah nangka dari wangsalan kang turangga buntal kuda berwarna-warni: plangka. (9). Buah balimbing dari wangsalan wangsul ing margi kembali di jalan: bali. (10). Buah jirak dari wangsalan saranging mangsi tinta yang kering: ngerak. (11). Buah sawo dari wangsalan tansah kebrawuk selalu diaku padahal milik orang lain: digabro. (12). Buah kokosan dari wangsalan tanpa basa tanpa bahasa hormat: ngoko/koko. (13). Buah dhuku dari wangsalan kang trapsila ajrih sopan santun takut/hormat: ndheku. (14). Buah kecapi dari wangsalan ciri pratandha nawala tanda surat sah: cap. (15). Buah srikaya dari wangsalan asung pekah memberi nafkah: kaya. (16). Buah jeruk dari wangsalan dedalaning bayi jalan lahir bayi: turuk. (17). Buah waresah dari wangsalan nora tata yang tidak berkata/teratur: rusuh/resah. (18). Buah kepel dari wangsalan pamuluking bukti menyuap makan: makan dengan tangan kepel. (19). Buah nanas dari wangsalan rasaning geni rasa api: panas. (20). Buah dalima delima dari wangsalan paroning puluh paroan sepuluh: lima. (21). Buah malowa dari wangsalan tegal bangka ladang tiada terurus/tiada tanaman: mluwa. Buah jambu dari wangsalan kang munggeng peragi/pragen yang berda pada tempat peragi: jambu/bambu. (22). Buah dhuwet dari wangsalan jalma busana rikatan orang berdandan cepat-cepat: uwat-uwet. (23). Buah gayam dari wangsalan kang ingancam-ancam yang diancam-ancam: ngayam. (24). Buah kelayu dari wangsalan rare nututi anak ingin ikut pergi: klayu. (25). Buah pijetan dari wangsalan padha gininda saling memijat: pijetan. (26). Buah pelem dari wangslan wismane priyayi rumah priyayi (bangsawan): dalem. (27). Buah malinjo dari wangsalan anggung tilik selalu bertandang: tinjo. (28). Buah cereme dari wangsalan penganten wus atut pengantin telah rukun: carem. (29). Buah galembak dari wangsalan siti andhap tanah rendah: lebak. (30). Buah salak dari wangsalan kang kasusu aglis yang tergesa-gesa cepet: selak. (31). Buah mundhu dari wangsalan tomboking janma totohan uang taruhan dari seseorang: undhu. (32). Buah keluwih dari wangsalan punjul wilangan berlebih hitungan/bilangannya: luwih. (33). Buah sukun dari wangsalan kang wis kaki-kaki yang telah (menjadi) kakek-kakek: pikun.

(34). Buah sentul dari wangsalan walesan pikat pegangan/tempat bertengger yang membingkas/memantul untuk bertengger burung sebagai umpan: mentul. (35). Buah elo dari wangsalan ingkang pendhok warni logam sarung keris berwarna (merah): kemalo. (36). Buah maja dari wangasalan jalma pepenging orang melarang: (dengan kata) aja. (37). Buah bulu dari wangsalan sandhang manuk pakaian burung: wulu. (38). Buah kawista dari wangsalan aken luwar menyuruh keluar: wis ta. (39). Buah gowok dari wangsalan erong munggeng kitri lubang di/berada di pohon: gowok. (40). Buah wuni dari wangsalan panatape ing gamelan membunyikan gamelan: uni. (41). Buah jagung dari wangsalan rare ugungan anak manja: ugungan. (42). Buah semangka dari wangsalan munggah ngardi mendaki di gunung: sumengka. (43). Buah timun dari wangsalan menawa andulu kalau melihat: lamun andulu. (44). Buah krai dari wangsalan kepala ngarsa kepala bagian depan: rai. (45). Buah waluh dari wangsalan toyaning tangis air tangi: eluh air mata. (46). Buah bestru dari wangsalan anggung dadya memungsuhan selalu menjadi bermusuhan: satru musuh. (47). Buah otek dari wangsalan telasing pemanagan habis makannya: entek. (48). Buah pare dari wangsalan pamudharing weni mengurai rambut: ngore mengurai. (49). Buah lombok dari wangsalan bojoning bapa istri bapak/ayah: simbok/embok. (50). Buah terong dari wangsalan talang kendhi talang kendhi: torong. (51). Buah cipir dari wangsalan nimpang ningali menyimpang melihat: sumingkir, mlipir. (52). Buah kara dari wangsalan wewinih padu benih pertengkaran: perkara. (53). Buah gedhe dari wangsalan pengepe raga berjemur diri: dhedhe. (54). Buah kumangi/kemangi dari wangsalan kumudu amrik sangat ingi harum mewangi: wangi. (55). Buah ranti deri wangsalan ingkang praptane nora barengan yang kedatangannya tidak bersama-sama: sarenti. (56). Buah kimpul dari wangsalan ingkang kelumpukan yang berkumpul: kumpul. (57). Buah ketela dari wangsalan cetha ing uni jelas pada ucapan/bunyi: tela. (58). Buah kenthang dari wangsalan kasuwen memeyan jemuran terlalu lama: diklanthang. (59). Buah uwi berasa dari wangsalan bangsa krama adi bahasa krama/hormat bagus: awi silakan, mari. (60). Buah gadhung dari wangsalan kekemben wilis kemban/penutup dada wanita berwarna hijau: kemben gadhung. (61). Buah gembili dari wangsalan gring pipi lemu sakit pipi gemuk: gembil. (62). Buah walur dari wangsalan pangudhal benang mengurai/ulur benang: ngulur. (63). Buah seweg dari wangsalan basa lagi-lagi bahasa/kata sedang: saweg. (64). Buah besusu dari wangsalan parang jaja ing wanudya karang dada wanita: susu. (65). Buah kacang dari wangsalan panguger turangga mengikat kuda: nyancang. (66). Buah kedhele dari wangsalan sindheting tali ikatan tali: sindhet. (67). Buah wijen dari wangsalan maju pring priyangga maju hanya seorang diri: ijen. (68). Buah pete dari wangsalan marga binuntu jalan buntu: bumpet. (69). Buah jengkol dari wangsalan sinjang kepelag kain bagus (meski meliuk coraknya): mengko.

(70). Buah kemlandhingan dari wangsalan kembar jurit dilawan dalam perang: ditandhingi. (71). Buah kaluwak dari wangsalan trenggalung kang tanpa boga sebangsa binatang rase tanpa makan: luwak. (72). Buah kemiri dari wangsalan pangembet karya menyangkut pekerjaan: meri. (73). Buah pucung dari wangsalan selaning marga menuju berjalanke...: mucung. (74). Buah pace dari wangsalan poyok ngisin-isin mengolok-olok membuat malu: ngece. Cumapitbusiness. INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG SASTRA INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG SASTRA 1. Perkembangan Sastra pada masa Hindu Budha Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan macapat. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra. Mantra-mantra ini dianggap mengandung daya sakral/daya linuwih, sehingga tidak sembarangan orang dapat mengucapkannya. Hanya orang-orang tertentu (terpilih karena memiliki daya linuwih) sajalah yang diperbolehkan mengucapkannya, seperti seorang dukun, orang pinter (memiliki daya linuwih), dan sebagainya. Pengucapan mantra biasanya dibarengi dengan upacara ritual dengan sesaji dan dengan sikap tertentu yang menunjukan sikap hormat terhadap sasaran permintaan/permohonan (Tuhan) atau makhluk ghaib lainnya. Pengucapan mantra yang dibarengi dengan sikap tertentu dan dengan upacara ritual, dan sesaji akan melahirkan/mendatangkan kekuatan (power) gaib. Mantra mengandung kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, tetapi terlebih dari struktur batinnya. Jika dilihat dari sifat sakralnya, maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat/bisa memiliki hak mewarisi kepandaian bermantra sekaligus dapat memiliki dan menggunakannya. Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal yang gaib (suprantural) seperti mantra. Mantra pada prinsipnya untuk permohonan, baik permohonan yang mengandung (niat/kehendak) positif maupun negativf. Mantra untuk keperluan kebaikan (nilai positif) seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan, dan sebagainya. Mantra untuk keperluan jahat (negatif) seperti mantra untuk menjalankan pencurian, ilmu untuk mencederai seseorang dengan santet, tenung, teluh dan sebagainya. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan

sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair. Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa: dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya. Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang. Contohnya : Sinom Jamang wakul Kamandaka, kawengku ing jinem wangi, kayu malang munggeng wangan, sun wota sabudineki, roning kacang wak mami, yen tan panggih sira nglayung, toya mijil sing wiyat, roning pisang leash ing wit, edanira tan waras dening usada. Sedangkan untuk parikan contohnya adalah : Tjengkir wungu, wungune ketiban ndaru. Wis pestimu, kowe pisah karo aku. Perbedaan yang mendasar antara wangsalan dan parikan, terletak pada maksud. Jika wangsalan mengandung maksud, parikan tidak mengandung maksud. 2. Perkembangan Sastra Hasil Interrelasi Islam dan Jawa Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu. Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk

tembang/sekar Macapat. Istilah interelasi (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu : 1. Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa) 2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).

Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad, masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya. 4. Periodesasi Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram Periodisasi Sastra jawa karya Padmosiekotjo a) Pada zaman hindu ( Sebelum zaman Majapahit ) itu sebagai berikut :

Nama pujangga dan hasil karyanya pada periode ini misalanya Resi Adiyasa dengan karyanya Mahabarata, Empu Kanwa dengan Arjunawiwaha dan Empu Tan Akkung dengan Karyanya Lubdaka. b) Pada Zaman Majapahit Nama pujangga pada periode ini misalnya Empu Prapanca Nagarakertagama dan Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma. c) Pada Zaman Islam ( Zaman Demak Dan Pajang ) Nama pujangga pada periode ini misalnya Sunan Bonang dengan karyanya Suluk Wijil, Sunan Panggung dengan karyanya Malangsumirang dan Pangeran Karanggayam dengan karyanya Nitisruti. d) Pada Zaman Mataram Nama pujangga pada periode ini misalnya Sultan Agung dengan karyanya Sastra Gending, Pangeran Adilangu dengan karyanya Babad Majapahit, Sunan Pakubuwan V dengan karyanya Serat Centhini, dan R. Ng Renggawarsita dengan karyanya Sabdajati. e) Pada Zaman Sekarang ( Mulai Abad XX ) Nama pujangga pada periode ini misalnya Ki Padmasusastra dengan karyanya Tatacara, R. M. Sulardi dengan karyanya Sera Riyanta dan M. Sukir dengan karyanya Abimanyu KeremSastra pada masa Kerajaan Pajang memiliki identitas yang khas, yakni budaya yang dengan karyanya

bercorak ortodoks jika dibandingkan dengan budaya yang ada di dalam pedalaman, yang dalam banyak hal masih kental bercampur dengan elemen-elemen Hinduisme. Hal ini tampak dari karya sastra yang dihasilkan oleh ulama yang di samping posisinya sebagai juru dakwah juga membuat karya tulis. Sastra ini juga memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat dilepaskan dari kerangka agama. Nah, kemudian proses islamisasi yang mulai masuk kepedalaman, maka terjadi pula proses islamisasi sastra pedalaman yang semula bercorak hindu sentries menjadi berbau keisalaman, meskipun pada akhirnya coraknya merupakan perpaduan antara ajasan Islam dengan elemen-elemen mistik yang juga berlaku dikalangan Hindu. Ajaran-ajaran budi luhur yang terdapat dalam sastra Jawa kemudian mengkristal menjadi suatu pandangan hidup kejawen yang bercorak sinkretis, dengan penampilan yang lebih menekankan pada substansi ajaran mistik, tetapi dalam banyak hal kurang suka pada unsur yang legalistik semacam syariat.

Silakan baca: permohonan pribadi dari pendiri Wikipedia Jimmy Wales. Baca sekarang

Majapahit Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

.

Majapahit adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3] Daftar isi [sembunyikan]y y

y y y

y y

y

y y y

1 Historiografi 2 Sejarah o 2.1 Berdirinya Majapahit o 2.2 Kejayaan Majapahit o 2.3 Jatuhnya Majapahit 3 Kebudayaan 4 Ekonomi 5 Struktur pemerintahan o 5.1 Aparat birokrasi o 5.2 Pembagian wilayah 6 Raja-raja Majapahit 7 Warisan sejarah o 7.1 Legitimasi politik o 7.2 Arsitektur o 7.3 Persenjataan 8 Kesenian modern o 8.1 Puisi lama o 8.2 Komik dan strip komik o 8.3 Roman/novel sejarah o 8.4 Film/Sinetron 9 Referensi 10 Lihat pula 11 Pranala luar

[sunting] Historiografi Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.

Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8] Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.[5] [sunting] Sejarah [sunting] Berdirinya Majapahit

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia. Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[10] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[10][11] Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya

diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing.[12][13] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing. Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[13] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

[sunting] Kejayaan Majapahit

Bidadari Majapahit yang anggun, ukiran emas apsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" di kepulauan nusantara.

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik ( Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina[14]. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[15]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[15][2] Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[16] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[17] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[18] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama. Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[19] Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2] Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadangkadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

[sunting] Jatuhnya Majapahit Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 14051406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang. Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa. Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[8]. Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[20]. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[21]) hingga tahun 1527. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah sirna hilanglah kemakmuran bumi. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[22]. Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [22] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[23] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit[24]. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[22]. Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru

[sunting] Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan. "Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya". Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama. Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[25] Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2] Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[26]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai

perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. ".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya." Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[27] Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330. Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara. [sunting] Ekonomi

Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[15]. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[28] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[25] Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[25] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit. Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga[29]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [30] Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[25] Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa[31].

[sunting] Struktur pemerintahan

Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk. Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya [32]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. [sunting] Aparat birokrasi Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:y y y y

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

[sunting] Pembagian wilayah Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[13], terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin. Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut: 1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja 2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan) 3. Watek: dikelola oleh wiyasa, 4. Kuwu: dikelola oleh lurah, 5. Wanua: dikelola oleh thani, 6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral. Hubungan dengan Raja

No

Provinsi

Gelar

Penguasa

1

Kahuripan (atau Janggala, Bhre Kahuripan sekarang Surabaya) Daha (bekas ibukota dari Kediri)

Tribhuwanatunggadewi ibu suri

2

Bhre Daha Rajadewi Maharajasa

bibi sekaligus ibu mertua

3

Tumapel (bekas Bhre ibukota dari Tumapel Singhasari) Wengker (sekarang Ponorogo) Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Wengker

Kertawardhana

ayah

4

Wijayarajasa

paman sekaligus ayah mertua suami dari Putri Lasem, sepupu raja

5

Bhre Matahun

Rajasawardhana

6

Wirabhumi (Blambangan) Paguhan

Bhre Bhre Wirabhumi1 Wirabhumi Bhre Paguhan Bhre Kabalan Bhre Pawanuan Singhawardhana

anak saudara lakilaki ipar anak perempuan keponakan perempuan

7

8

Kabalan

Kusumawardhani2

9

Pawanuan

Surawardhani

Lasem (kota 10 pesisir di Jawa Tengah) 11

Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi

sepupu

Pajang (sekarang Bhre Pajang Surakarta) Bhre Mataram

Rajasaduhita Iswari

saudara perempuan keponakan laku-laki

Mataram 12 (sekarang Yogyakarta)

Wikramawardhana2

Catatan: 1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja. 2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta. Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[33] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:y y y

Daha Jagaraga Kabalan

y y y

Kahuripan Keling Kelinggapur a

y y y

Kembang Jenar Matahun Pajang

y y y

Singhapura Tanjungpur a Tumapel

y y

Wengker Wirabum i

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

y

y

y

Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja. Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh budaya Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, areaarea tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup penting. Termasuk didalamnya daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra. Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam Majapahit akan menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:y

Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya dari Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[34] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.

[sunting] Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[35] Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8]. Nama Raja Raden Wijaya Kalagamet Sri Gitarja Hayam Wuruk Wikramawardhana Gelar Kertarajasa Jayawardhana Sri Jayanagara Tahun 1293 - 1309 1309 - 1328

Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350 Sri Rajasanagara 1350 - 1389 1389 - 1429

Suhita Kertawijaya Rajasawardhana Purwawisesa atau Girishawardhana

Dyah Ayu Kencana Wungu Brawijaya I Brawijaya II Brawijaya III

1429 - 1447 1447 - 1451 1451 - 1453 1456 - 1466 1466 - 1468 1468 - 1478 1478 - 1498 1498 - 1518

Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV Bhre Kertabumi Girindrawardhana Patih Udara [sunting] Warisan sejarah Brawijaya V Brawijaya VI

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum fr Indische Kunst, BerlinDahlem, Jerman. Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya. [sunting] Legitimasi politik Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar

istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[26] Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[15] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[36]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[37] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa. Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit. [sunting] Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco) Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. [sunting] Persenjataan

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat. Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak. [sunting] Kesenian modern Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut. [sunting] Puisi lamay

Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

[sunting] Komik dan strip komiky

y y y

y

Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani. Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga. Komik Majapahit karya R.A. Kosasih Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming. Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.

[sunting] Roman/novel sejarahy y y

Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane. Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.

y

y

y

Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto. Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat. Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.

[sunting] Film/Sinetrony

y

y y

Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara. Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang populer pada awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula. Walisongo, sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit di masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana. Puteri Gunung Ledang, sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film ini mencerit