Sang Whistleblower yang Dilupakanmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/10/cATATAN-hUKUM... · Web...

58
MENGADILI WHISTLEBLOWER Catatan Hukum terhadap Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Terdakwa Vincentius Amin Sutanto JARINGAN ADVOKASI UNTUK WHISTLEBLOWER The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Indonesian Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Canter for Legal Information (Celi) Sekretariat : Gedung Bor Lt. 3 Komplek Megaria Jl. Pegangsaan No. 23 Menteng Jakarta Pusat

Transcript of Sang Whistleblower yang Dilupakanmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/10/cATATAN-hUKUM... · Web...

MENGADILI WHISTLEBLOWER Catatan Hukum terhadap Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang

dengan Terdakwa Vincentius Amin Sutanto

JARINGAN ADVOKASI UNTUK WHISTLEBLOWERThe Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Indonesian Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi

Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Canter for Legal Information (Celi)

Sekretariat : Gedung Bor Lt. 3 Komplek Megaria Jl. Pegangsaan No. 23

Menteng Jakarta Pusat

Mengadili Whistleblower 2008

LEGAL ANOTASI INI DISUSUN OLEH:

Uli Parulian SihombingFulthoni. AM

ArsilPurnomo

Hasril HertantoWahyu Wagiman

Supriyadi Widodo EddyonoEmerson JuntoHermawanto

Iwa KRonal N

Syahrial Martanto WiryawanZainal Abidin

2 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

PENGANTAR

Legal Anotasi ini disusun sebagai wujud kepeduliaan terhadap para Whistleblower yang sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Padahal, perlakukan tidak adil kepada Whislteblower merupakan tindakan kontradiktif dengan upaya dan proses penegakan hukum itu sendiri. Keberadaan Whistleblower sangat penting dan diperlukan, terutama untuk mengungkap kasus-kasus luar biasa yang sulit pembuktiannya. Whistleblower yang biasanya berasal dari orang dalam, dapat membantu dan mempermudah bagi aparat penegak hukum mengungkap secara tuntas kasus-kasus yang ditanganinya.

Vincentius Amin Sutanto adalah orang yang banyak mengetahui tindak pidana yang sedang diproses oleh Dirjen Pajak, yang diduga merugikan keuangan Negara sangat besar. Dan hanya dengan kesaksiannya, akan dapat diungkap kasus tersebut, dan uang negara diselamatkan. Peran besar Vincent dalam mengungkap kasus tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Vincent pada akhirnya harus meringkuk dalam penjara, dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang. Oleh Pengadilan, Vincent diganjar 11 tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Berdasarkan kenyataan diatas, beberapa NGO yang tergabung dalam Jaringan Advokasi untuk Whistleblower menyusun Legal Anotasi ini untuk melihat secara objektif dan mendalam terhadap proses hukum perkara tindak pidana pencucian uang dengan terdakwa Vincent. Legal Anotasi ini disusun berdasarkan pendapat maupun pandangan yang ditulis oleh Prof. Dr. Romly Atmasasmita, Dr. Rudi Satrio, Nono Anwar Makarim, Ktut Sudiharsa, Arsil, Uli Parulian Sihombing, Supriyadi Widodo Eddyono, serta hasil dari bebarapa putaran diskusi terbatas.

Demikian Legal Anotasi ini disusun, mudah-mudahan dapat memberikan kontribusi bagi upaya penegakan hukum di Indonesia yang lebih adil, khususnya bagi para Whistleblower.

Jakarta, April 2008

Jaringan Advokasi untuk Whistleblower

3 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

SISTEMATIKA

PENGANTAR

I. PENDAHULUAN

II. KRONOLOGI KASUS

III. ANALISA KASUS

A. Kasus Posisi dan Dakwaan Dakwaan

B. Dakwaan Penuntut Umum Obscur Libel

1. Penyusunan Dakwaan Keliru

2. Dakwaan tidak Memasukkan unsur “dengan maksud

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan”

3. Uraian Peristiwa tidak Sinkron dengan Dakwaan

4. Dakwaan tidak Menyebut Predicat Crime (Tindak Pidana Asal)

dengan Jelas

C. Keterangan Saksi-Saksi Meragukan

1. Saksi tidak memenuhi Syarat sebagai Saksi

2. Pelanggaran Fair Trial dalam Persidangan

D. Tuntutan Penuntut Umum

E. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mejelis Hakim

1. Catatan terhadap Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

2. Catatan terhadap Putusan Majelis Hakim PN

IV. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WHISTLEBLOWER

V. KESIMPULAN

4 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

BAB IPENDAHULUAN

Salah satu aspek penting dalam proses peradilan yang fair adalah perlindungan terhadap saksi, terlebih untuk kasus-kasus khusus yang sulit pembuktiannya. Keberadaan saksi sangat penting guna mengungkap persekongkolan jahat, yang sulit ditembus dengan pendekatan formal. Dalam konteks Indonesia, perlindungan hukum bagi saksi tampaknya belum memperoleh perhatian serius, khususnya oleh penyelenggara negara. Bahkan, seringkali para saksi yang seharusnya memperoleh perlindungan malah mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari aparat penegak hukum. Ada kasus Endin Wahyudin, Khoiryansyah Salman, dan yang paling mutakhir adalah kasus Vincentius Amin Sutanto.

Lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya pengaturan mengenai perlindungan saksi pada gilirannya membuat saksi enggan memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Kekhawatiran tersebut dapatlah dimaklumi ketika saksi telah nyata-nyata melaksanakan kewajibannya namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah ancaman, baik ancaman karena sanksi hukum maupun fisik dan mental. Terlebih lagi apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan terorganisir, sudah tentu ancaman yang mungkin muncul akan semakin besar bukan hanya terhadap saksi saja tetapi juga bisa melebar terhadap harta dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam wujud ancaman fisik maupun teror/mental.

Ancaman sanksi hukum berupa tuntutan pidana atas kesaksian atau laporan yang diberikannya, dan pada akhirnya saksi menjadi tersangka bahkan terpidana. Dalam hal ini, persoalan inti adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindungan ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak kejahatan.

Kasus mutaakhir terkait dengan perlindungan bagi saksi, adalah kasus Vincentius Amin Sutanto. Vincent adalah mantan Financial controller Asian Agri dan melaporkan manipulasi pajak yang dilakukan oleh Asian Agri, tempat dimana Vincent bekerja. Setidaknya ada tiga hal yang menarik dari kasus Vincent; Pertama, Vincent membobol uang Asian Agri sebesar Rp. 28 Milyar, dengan terlebih dahulu memalsukan tanda tangan salah seorang petinggi Asian Agri, namun oleh pengadilan Vincent dinyatakan bersalah telah melakukan

5 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

tindak pidana pencucian uang; Kedua, dugaan kerugian Negara karena manipulasi pajak ini sangat fantastic + Rp. 1,3 triliun. Nilai ini adalah nilai terbesar yang pernah terungkap di Indonesia.; Ketiga, perlindungan hukum terhadap Vincent. Vincent adalah pelaku tindak pidana, tapi pada sisi yang lain Vincent juga pelapor dalam manipulasi pajak yang merugikan keuangan Negara, meskipun laporan tersebut disampaikan setelah Vincent dinyatakan DPO oleh Kepolisian.

Berdasarkan pertimbangan diatas, penting untuk mengkaji secara objektif proses hukum kasus Vincent, untuk mendapatkan gambaran tentang tindak pidana yang didakwakan kepada Vincent dan bagaimana seharusnya Vincent diberlakukan, khususnya terkait dengan perannya yang telah mengungkap manipulasi pajak.

6 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

BAB IIKRONOLOGI KASUS

A. Vincent : Membobol Uang dengan Memalsukan Tanda TanganVincentius Amin Sutanto adalah mantan Financial Controller Asian Agri Group, salah satu anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas. Asian Agri Group bergerak dalam bidang minyak mentah kelapa sawit (CPO), perkebunan, dan lain-lain, dan membawahi 16 (enam belas) perusahaan di dalam negeri (Indonesia) dan 6 (enam) perusahaan di luar negeri, diantaranya Asian Agri Oils & Fats Ltd. yang berkedudukan di Singapura.

Vincent membobol uang PT Asian Agri Oil and Fats di Singapura US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) dengan cara memalsukan tanda tangan petinggi perusahaan tersebut. Pembobolan ini berjalan mulus berkat posisi Vincent yang cukup tinggi di Asian Agri Group. Jabatan terakhirnya adalah Gorup Financial Controller dengan kewenangan sangat luas mencakup kontrol dan pengelolaan keuangan, akunting, perpajakan, bahkan urusan legal.

Pada awal bulan Nopember 2006 Vincent bertemu dengan Hendri Susilo di Jakarta dan memberikan uang sebesar Rp. 12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) untuk biaya sewa kantor di gedung Sampurna Strategic Square Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, biaya pembuatan 3 (tiga) stempel perusahaan masing-masing PT. Asian Agri Jaya, PT. Asian Agri Utama, dan Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd., serta  menyuruh Hendri Susilo membuka dua buah rekening di Bank Panin Cabang Lindeteves masing-masing:

- atas nama PT. Asian Agri Jaya dengan nomor rekening 0915000738

- atas nama PT. Asian Agri Utama dengan nomor rekening 0915000568

Kedua rekening tersebut dibuka pada tanggal 7 Nopember 2006 dengan setoran pertama masing-masing Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pada tanggal 9 Nopember 2006 bertemu dengan Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto di Hotel Ciputra Jakarta membicarakan pembagian tugas pencairan dana yang akan masuk ke rekening PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama.

Pada tanggal 10 Nopember 2006 Vincent bertemu dengan Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto di Citraland Grogol Jakarta. Hendri Susilo menyerahkan

7 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/cap perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah masuk rekening.

Selanjutnya Vincent pada tanggal 13 Nopember 2006 membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore, menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore pada tanggal 14 Nopember 2006 melalui jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. Bahwa atas pengiriman 2 (dua) aplikasi transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47.

Pada 16 November, Hendri menarik Rp 200 juta dari Panin Bank Cabang Lindeteves, Jakarta Barat. Sebagian dibawanya dan Rp 150 juta diberikan kepada Vincent. Pada hari yang sama, Hendri sempat mencairkan jumlah yang sama di Panin Bank Cabang Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saat uang sedang dihitung kasir, tiba-tiba Vincent menelepon. Vincent memberi perintah: uang itu jangan diambil karena bermasalah. Hendri segera meninggalkan bank tanpa membawa uang tersebut.

Setelah mengetahui adanya pembobolan uang ini, pihak PT Asian Agri Oil pada 16 November 2006 melapor ke polisi. Tak berselang lama, Hendri ditangkap polisi dan dari tangannya disita Rp 23 juta. Vincent kabur ke Singapura dan ”menyerah” pada 12 Desember 2006. Tapi, sebelum urusan sampai ke polisi, Vincent melapor terlebih dahulu ke Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan penggelapan pajak yang dilakukan anak perusahaan Raja Garuda Mas tersebut.

Setelah Vincent dan kawan-kawan ditahan, polisi meminta Panin Bank memblokir dua rekening perusahaan mereka. Sekitar dua bulan kemudian, Ranto Simanjuntak dari Divisi Hukum Raja Garuda Mas mengirim surat ke polisi. Ranto meminta uang yang dibobol itu dititipkan ke rekening Panin Bank atas nama pengacara Asian Agri, Andi Kelana. Pada 23 Februari 2007, polisi pun menggelandang Hendri ke Panin Bank Cabang Utama di Senayan. Polisi minta rekeningnya ditutup. Uangnya, seperti permintaan Ranto, dimasukkan ke rekening Andi Kelana.

B. Vincent Membuat dua Perusahaan

8 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Sekitar bulan Mei 2004 Vincent bertemu dengan Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie di Hotel Mercury Jalan Hayam Wuruk Taman Sari Jakarta Barat. Pada bulan Agustus 2004 Vincent memberikan uang kepada Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie untuk membuat Kartu Tanda Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan mengaburkan nama aslinya supaya sulit untuk dilacak.

Selanjutnya Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie membuat Kartu Tanda Penduduk melalui kawannya bernama Dian Rostiana Dewi alias Didi dengan biaya Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dengan nama Hendri Susilo dan alamat di Kelurahan Mekar Jaya Depok Jawa Barat.

Pada awal September 2004 Vincent mengirimkan uang kepada Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie melalui rekening isteri Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie bernama Po Diana Velia untuk membiayai pendirian dua perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama dengan Akta Pendirian yang dibuat oleh Notaris Syafril Lubuk, SH dan melengkapi persyaratan-persyaratan pendirian Badan Hukum/Perseroan Terbatas yang berlaku di Indonesia antara lain SIUP, NPWP, TDP, SK Menteri Kehakiman dan yang menjadi direktur kedua perusahaan tersebut adalah Hendri Susilo alias Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie.

9 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

BAB IIIANALISA KASUS

A. Posisi Kasus dan Dakwaan Penuntut UmumTerdakwa VINCENTIUS AMIN SUTANTO alias VICTOR SETIAWAN alias VICTOR SUSANTO bekerja di PT. Indosawit Subur (Asian Agri Group) sejak tahun 1999 berkantor di Gedung Uni Plaza Lantai 7 Jalan M.T. Haryono No. A.1. Medan dan menjabat sebagai Group Financial Controller dengan tugas mengawasi masalah keuangan pajak khusus Medan, legal Medan, dan informasi teknologi Medan. Asian Agri Group bergerak dalam bidang minyak mentah kelapa sawit (CPO), perkebunan, dan lain-lain, membawahi 16 (enam belas) perusahaan di dalam negeri (Indonesia) dan 6 (enam) perusahaan di luar negeri, diantaranya Asian Agri Oils & Fats Ltd. yang berkedudukan di Singapura.

Sekitar bulan Mei 2004 Terdakwa bertemu dengan Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie di Hotel Mercury Jalan Hayam Wuruk Taman Sari Jakarta Barat dan dalam perbincangan mereka timbul berniat untuk membobol uang milik perusahaan tempat Terdakwa bekerja (Asian Agri Group). Pada bulan Agustus 2004 Terdakwa memberikan uang kepada Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie untuk membuat Kartu Tanda Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan mengaburkan nama aslinya supaya sulit untuk dilacak. Selanjutnya Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie membuat Kartu Tanda Penduduk melalui kawannya bernama Dian Rostiana Dewi alias Didi dengan biaya Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dengan nama Hendri Susilo dan alamat di Kelurahan Mekar Jaya Depok Jawa Barat.

Pada awal September 2004 Terdakwa mengirimkan uang kepada Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie melalui rekening isteri Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie bernama Po Diana Velia untuk membiayai pendirian dua perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama dengan Akta Pendirian yang dibuat oleh Notaris Syafril Lubuk, SH dan melengkapi persyaratan-persyaratan pendirian Badan Hukum / Perseroan Terbatas yang berlaku di Indonesia antara lain SIUP, NPWP, TDP, SK Menteri Kehakiman dan yang menjadi direktur kedua perusahaan tersebut adalah Hendri Susilo alias Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie.

Pada awal bulan Nopember 2006 Terdakwa bertemu dengan Hendri Susilo di jakarta dan memberikan uang sebesar Rp. 12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) untuk biaya sewa kantor di gedung Sampurna Strategic 10 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Square Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, biaya pembuatan 3 (tiga) stempel perusahaan masing-masing PT. Asian Agri Jaya, PT. Asian Agri Utama, dan Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd., serta  menyuruh Hendri Susilo membuka dua buah rekening di Bank Panin Cabang Lindeteves masing-masing:

- atas nama PT. Asian Agri Jaya dengan nomor rekening 0915000738

- atas nama PT. Asian Agri Utama dengan nomor rekening 0915000568

Kedua rekening tersebut dibuka pada tanggal 7 Nopember 2006 dengan setoran pertama masing-masing Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pada tanggal 9 Nopember 2006 bertemu dengan Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto di Hotel Ciputra Jakarta membicarakan pembagian tugas pencairan dana yang akan masuk ke rekening PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama.

Pada tanggal 10 Nopember 2006 Terdakwa bertemu dengan Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto di Citraland Grogol Jakarta. Hendri Susilo menyerahkan nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/cap perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah masuk rekening.

Selanjutnya Terdakwa pada tanggal 13 Nopember 2006 membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore, menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore pada tanggal 14 Nopember 2006 melalui jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. (Siapa yang menerima aplikasi transfer tersebut di Fortis Bank SA/NV Singapore? Apakah tidak ada konfirmasi terlebih dahulu? Atau apakah konfirmasi tersebut biasanya memang dilakukan terhadap Terdakwa berdasarkan perintah Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa!)

Bahwa atas pengiriman 2 (dua) aplikasi transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47.

Berdasarkan kronologi yang disusun diatas, Penuntut Umum mengajukan dakwaan, sebagai berikut :

1. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah dirubah

11 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

dengan UURI No. 25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat huruf c Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang pencucian uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

3. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

B. Dakwaan Penuntut Umum Obscur Libel 1. Penyusunan Dakwaan KeliruBerdasarkan persitiwa hukum yang terjadi setidaknya dapat diuraikan secara sederhana sebagai berikut:

1. Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie membuat 1 buah KTP Palsu. Perbuatan ini melanggar pasal 263 (1) KUHP jo. 55 (1) angka 1 (doen pleger).

2. Terdakwa Menyuruh Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie membuat 2 buah PT dengan menggunakan KTP Palsu. Perbuatan ini melanggar pasal 263 (2) KUHP jo. 55 (1) angka 1 (doen pleger)

3. Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya Oen alias Oen Kiang Tjik alias Akie untuk membuat stempel palsu PT AAFO.

4. Terdakwa memalsukan tanda tangan untuk 2 afiliasi transfer. Perbuatan ini melangar ketentuan pasal 263 (1) KUHP jo. 55 (1) angka 1 (dader).

Dari beberapa perbuatan di atas walaupun perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan, namun mengingat perbuatan tersebut pada dasarnya adalah satu rangkaian perbuatan maka berlaku pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan berlanjut. Jika melihat tujuan utama dari pelaku adalah untuk mengambil uang milik PT AAFO maka pada dasarnya perbuatan yang dilakukan adalah pencurian pasal 362 KUHP. Namun mengingat perbuatan ini adalah perbuatan berlanjut/rangkaian perbuatan (pasal 64 KUHP) serta mengingat ancaman hukuman pasal 263 lebih berat dari pasal 362 KUHP maka pasal utama yang didakwakan adalah pasal 263.

12 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Selain itu, penyusunan dakwaan alternatif oleh Penuntut Umum telah disusun secara keliru karena Posisi Kasus yang identik antara Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua, serta mengingat dakwaan kesatu dan kedua merupakan tindak pidana yang berbeda. Untuk itu harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

- Penyusunan Posisi Kasus harus disesuaikan dengan pasal yang dikenakan. Karena Dakwaan Kedua diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU, maka Posisi Kasus harus menjelaskan/menguraikan proses terdakwa, menerima/menguasai, pembayaran, Harta Kekayaan yang diketahui/patut diduga hasil tindak pidana.

- Melihat pada point 1, seharusnya Posisi Kasus identik tidak terjadi pada dakwaan kesatu dan kedua, karena unsur-unsur tindak pidananya ada beberapa perbedaan pokok, yaitu untuk dakwaan kesatu dilakukan oleh pelaku predicate crime atau kejahatan asal, sedang untuk dakwaan kedua terhadap mereka yang hanya menerima hasil kejahatan saja tanpa melakukan kejahatan asalnya.

Penyebutan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi kabur apabila dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU, karena tidak merinci secara tegas terdakwa dikenakan dakwaan bentuk penyertaan yang mana dalam melakukan TPPU. Sebagaimana diketahui, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP merinci menjadi 3 bentuk setiap orang yang dipidana sebagai pelaku, yaitu: 1) mereka yang melakukan; 2) yang menyuruh melakukan; dan 3) turut serta melakukan. Dikaitkan dengan pengenaan pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU, maka haruslah harta kekayaan tersebut diterima oleh terdakwa secara  bersama-sama dengan kawan-kawannya, dan masing-masing harus jelas bentuk kegiatannya.

2. Dakwaan tidak memasukkan unsur “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan”.

Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Ketentuan lebih rinci mengenai definisi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 1 nomor 1 UU No.15 Tahun 2002 diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang:

13 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.”

Pasal 3 ayat (1) huruf a.:

“Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama diri sendiri atau atas nama pihak lain; . . . . dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling sinbgkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”

Adapaun modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu mengalamai perkembangan dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan integration. 

Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam sistem  keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

14 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate  explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Ketiga tahapan pencucian uang tersebut pada dasarnya dilakukan untuk menciptakan ”disassociation” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat serta tindak pidananya, sehingga proses hukum konvensional akan mengalami kesulitan dalam melacak si penjahat dan menemukan jenis tindak pidananya.

Seperti sudah dijelaskan diatas, bahwa salah satu unsur penting dalam tindak pidana pencucian uang adalah “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan”. Dalam Dakwaan Kesatu yang dibuat Penuntut Umum sama sekali tidak mencantumkan unsur penting dari Tindak Pidana Pencucian Uang ini. Dengan demikian, dakwaan yang disusun penuntut umum menjadi tidak sinkron dengan aturan dan ancaman pidana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pada hal. 7 Putusan PN berbunyi:

“...mereka yang melakukan perbuatan, menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara antara lain...”

Begitu juga pada hal. 2 paragraf 1 Surat Dakwaan JPU berbunyi:

15 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

“...mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara antara lain...”

3. Uraian Peristiwa tidak Singkron dengan Dakwaan. Uraian perbuatan merupakan bagian penting dalam sebuah dakwaan. Karena melalui uraian ini akan terlihat peristiwa hukum yang terjadi dan relevansinya dengan dakwaan yang disusun. Dalam kasus Vincent, Penuntut Umum telah menguraikan suatu perbuatan pidana yang sama untuk dua tindak pidana yang berbeda. Salah satu dakwaan Penuntut Umum adalah pemalsuan.

Pasal 263 ayat (1) KUHP, antara lain menyatakan ;

“Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Dalam menguraikan dakwaan melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Penuntut Umum menggunakan uraian yang sama dengan perbuatan yang melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Seharusnya dalam posisi kasus diuraikan unsur pasal pemalsuan surat: 1) terdakwa; 2) membuat secara tidak benar atau memalsu surat; 3) yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal; 4) dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu; 5) pemakaian tersebut menimbulkan kerugian. Keadaan ini menunjukkan, Penuntut Umum melakukan tindakan yang tidak cermat sehingga seharusnya dakwaan ini dinyatakan obscur libel.

16 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Bahkan, dengan Posisi Kasus seperti itu, akan menyebabkan terdakwa lolos dari jeratan hukum karena diawal uraian dikatakan telah melakukan TPPU tetapi uraian Posisi Kasus menyinggung TPPU dan pemalsuan surat, akhirnya diancam pidana sesuai ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHP.

Penyebutan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi kabur, karena tidak merinci secara tegas terdakwa dikenakan dakwaan unsur pasal bentuk yang mana. Sebagaimana diketahui, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP merinci menjadi 3 bentuk setiap orang yang dipidana sebagai pelaku, yaitu: 1) mereka yang melakukan; 2) yang menyuruh melakukan; dan 3) turut serta melakukan. Bentuk ini memberikan konsekuensi terhadap pembuktian dan ancaman pidana yang bisa berbeda. Selain itu, bentuk ini harus tergambarkan dalam posisi kasus sehingga jelas Terdakwa akan dipidana dengan bentuk apa.

Dalam dakwaan inipun jaksa tidak dengan tegas dimaksudkan untuk pemalsuan KTP dalam rangka pembuatan 2 PT dengan kategori penyertaan sesuai dengan pasal 55 KUHP, tapi untuk ayat (1) ke-2 KUHP, yaitu sebagai pelaku penganjuran, yang pasti sangat berbeda dengan perbuatan terdakwa memalsukan tanda tangan dalam rangka pencairan dana di Singapura yang bersifat perbuatan sendiri, sehingga tidak dapat di junctokan dengan pasal 55 ayat (1) KUHP, baik yang ke-1 maupun yang ke-2. Dengan demikian wajar saja dakwaan jaksa tidak bisa menampilkan posisi kasus yang spesifik, tetapi kembali ke posisi kasus sebagaimana dakwaan kesatu dan kedua untuk pengenaan pasal yang sangat berbeda ini.

Setiap dakwaan harus diawali dengan uraian yang menjelaskan rangkaian peristiwa terjadinya suatu tindak pidana. Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan dalam dakwaannya unsur Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian uang “dengan sengaja”. Selain itu penyebutan UU dalam ancaman pidana terhadap terdakwa kurang tepat, seharusnya Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penyebutan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi kabur, karena tidak disesuaikan dengan pasal yang dikenakan, dimana Dakwaan Kesatu diancam pidana sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU, maka Posisi kasus harus menjelaskan/menguraikan proses terdakwa, sengaja, menempatkan Harta Kekayaan yang diketahui/patut diduga hasil tindak pidana, ke dalam PJK, atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, dengan maksud menyembunyikan/menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan tersebut, apakah sebagai pelaku, bentuk: 1) mereka yang melakukan; 2) yang menyuruh melakukan; dan 3) turut serta melakukan. Bentuk ini memberikan konsekuensi

17 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

terhadap pembuktian dan ancaman pidana yang bisa berbeda. Selain itu, bentuk ini harus tergambarkan dalam Posisi Kasus sehingga jelas Terdakwa akan dipidana dengan bentuk apa. 

Dengan demikian dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum sebenarnya tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan ….. dst.” Konsekuensinya dakwaan ini dapat dianggap kabur (obscur libel) dan menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

4. Dakwaan tidak Menyebut Predicat Crime (Tindak Pidana Asal) Secara Jelas

Salah satu ciri dari Tindak Pidana Pencucian uang adalah adanya predicat crime (tindak pidana asal). Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Dengan demikian, tidak akan ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”).

Penjelasan Pasal 3 UU No. 25/2003 dinyatakan, “Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang“. Dari ketentuan pasal tersebut, tindak pidana pencucian terjadi jika ada kejahatan asal (predicate crime) walaupun kejahatan asal tidak harus dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian adanya kejahatan asal merupakan hal penting walaupun tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, artinya ada pemisahan antara perbuatan asal dengan pencucian uang, atau tindak pidana pencucian uang tidak berasal dari satu tindak pidana.

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya tidak memasukkan predicate crime (tindak pidana asal) sehingga terjadi tindak pidana pencucian uang. Seharusnya predicat crime (tindak pidana asal) dinyatakan secara tegas-tegas dalam dakwaan maupun tuntutan Jaksa, sekalipun tidak diwajibkan kepada Jaksa untuk membuktikannya, karena menjadi kewajiban terdakwa untuk membuktikan. Pasal pemalsuan surat yang dimasukkan sebagai dakwaan ketiga bukanlah

18 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

sebagai predicate crime (kejahatan asalnya), melainkan tindak pidana tersendiri yang terpisah dari tindak pidana pencucian uang.

C. Keterangan Saksi-Saksi Meragukan

1. Saksi tidak Memenuhi Syarat sebagai SaksiBerikut adalah uraian keterangan saksi secara singkat:

a. Ranto P Simanjuntak (legal): sebagai pihak pelapor, saksi banyak memberikan opini (pendapat pribadi), hal ini menjadi bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 Angka 27 KUHAP yang menyatakan bahwa saksi adalah orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Dari kesaksiannya, tidak mencakup salah satu unsur pasal dimaksud.

b. Hadi Susanto (lega)l: mendengar (langsung atau tidak langsung) proses peniruan tanda tangan yang dilakukan Vincentius. Hal ini perlu dipertegas, karena bila saksi mendengar tidak langsung atau diberitahu seseorang tentang hal yang dinyatakan sebagai kesaksian, disebut sebagai Testimonium de Auditu, sehingga tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim untuk penjatuhan pidana.

c. Ricky Tjandra (teman) : Saksi tidak memberikan keterangan berkaitan tindak pidana/bukan saksi tindak pidana.

d. Heriyono (security): Saksi tidak memberikan keterangan berkaitan tindak pidana/bukan saksi tindak pidana.

e. Lusyana, Zurneli, Ratih Dian, Diene (bank): adalah saksi yang hanya terkait formalitas perbankan, namun bisa dianggap mengalami salah satu unsur pidana dalam proses TPPU, melayani pencairan cek yang dilakukan oleh Hendri Susilo dan/atau sempurnanya tindak pidana penggelapan dan/atau pemalsuan tanda tangan aplikasi perbankan.

f. Ellya Viera (pemilik gedung PT palsu), Lina Rachmawati (pekerja PT): kesaksian tidak ada hubungan dengan tindak pidana, hanya petunjuk belaka.

g. Hendri Susilo (terdakwa dengan surat dakwaan terpisah/splitzing): tidak hadir di persidangan tanpa alasan, keterangannya yang dibawah sumpah pada saat penyidikan, dibacakan di pengadilan.

19 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

h. Ferry Susanto (terdakwa dengan surat dakwaan terpisah/splitzing): kesaksian terkait tindak pidana.

Ada beberapa saksi dihadapkan di persidangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pendapat saksi (berupa opini) dicatat sebagai keterangan saksi, padahal hal ini tidak boleh dilakukan mengingat saksi hanya dibolehkan memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri tentang terjadinya suatu peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 27 KUHAP.

Selain itu, ada saksi yang seharusnya menjadi saksi kunci karena keterlibatannya dengan terdakwa dalam hal terjadinya tindak pidana tidak dapat dihadirkan di persidangan tanpa keterangan ketidakhadirannya, sehingga berita acara dipenyidikanlah yang dibacakan keterangannya. Walaupun BAP tersebut dilakukan dibawah sumpah, seperti kita ketahui, sebenarnya BAP bisa menjadi berbeda keterangannya dengan yang di depan sidang pengadilan, karena berbagai faktor, misalnya saksi tidak dapat memberikan keterangan secara bebas atau dibawah ancaman ketika diperiksa di penyidikan, sehingga KUHAP dengan tegas mengatur keterangan saksi yang diakui adalah yang disampaikan didepan persidangan, bukan yang di BAP.

Selain itu, salah satu pihak yang cukup penting dalam suatu perbuatan terkait dengan tindak pidana pencucian uang adalah Pusat Transaksi dan Analisis Pelaporan Keuangan (PPATK). Pembela terdakwa dalam persidangan mengajukan usul untuk menghadapkan ahli dari PPATK karena dianggap relevan dengan tindak pidana pencucian uang dan mengetahui bagaimana praktek pencucian uang dilakukan. Namun mejelis menolak usul ini dengan alasan, akan mengesankan hakim ini bodoh. Penolakan ini menyebabkan tidak utuhnya pemahaman tentang kasus pencucian uang yang sedang digelar.

2. Pelanggaran Prinsip Fair Trial dalam Persidangan

Pasal 160 ayat (1) c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No.18/1981 dinyatakan, bahwa hakim wajib mendengar keterangan saksi yang memberatkan atau menguntungkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau JPU selama berlangsung persidangan atau sebelum dijatuhkan putusan. Pasal 159 ayat (2) KUHAP, pengadilan memanggil saksi secara sah, dan upaya paksa terhadap saksi yang tidak mau hadir di persidangan dengan alasan yang cukup. Pasal 14 ayat 3 e UU No.12/2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol) hak terdakwa/tersangka untuk menguji saksi yang memberatkannya dan hak untuk menghadirkan dan menguji saksi-saksi yang menguntungkannya dengan syarat-syarat sama terhadap saksi-

20 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

saksi yang memberatkannya. Pasal 14 ayat 3 g UU No.12/2005 hak untuk tidak dipaksa bersaksi atau mengaku bersalah.

Bahwa di persidangan di PN Jakbar, telah didengar keterangan 13 orang saksi (termasuk dua orang saksi mahkota yaitu Hendri Susilo dan Agustinus Fery Susanto). Bahwa JPU membacakan keterangan 3 orang saksi yang tidak bisa hadir. Namun di dalam putusan tidak dijelaskan alasan ketidakhadiran saksi-saksi tersebut.

Di dalam putusan tidak dijelaskan adanya saksi yang meringankan terdakwa. Dari analisis substansi kesaksian hampir semuanya memberatkan terdakwa. Selain itu dalam putusan tidak dijelaskan apakah ketika JPU atas persetujuan hakim ketika menghadirkan saksi-saksi mahkota tersebut dengan persetujuan dari saksi-saksi mahkota tersebut atau tidak ada paksaan.

Di dalam putusan tidak dijelaskan apakah 3 orang saksi yang tidak hadir dan kemudian keterangannya dibacakan oleh JPU, sudah dipanggil secara sah oleh pengadilan. Jika terdakwa/penasehat hukum benar tidak mempunyai kesempatan untuk menghadirkan saksi yang meringankan maka ini merupakan pelanggaran atas pasal 160 ayat (1) c KUHAP jo. Pasal 14 ayat (3) e UU No.12/2005;

Bahwa jika saksi-saksi mahkota dipaksa untuk bersaksi maka ini merupakan pelanggaran atas pasal 14 ayat (3) g UU No.12/2005. Bahwa jika 3 orang saksi, yang keterangannya dibacakan di depan persidangan, yang tidak dipanggil secara sah oleh pengadilan, maka ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 159 ayat (2) KUHAP.

Dengan demikian, terdapat pelanggaran atas prinsip-prinsip fair trial di dalam kasus ini yaitu; hak untuk mengadirkan saksi yang meringankan, hak untuk tidak dipaksa bersaksi, pemanggilan saksi-saksi yang sah oleh pengadilan.

D. Tuntutan Penuntut Umum

Penuntut Umum mengajukan tuntutan kepada terdakwa sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Vincentius Amin Sutanto al. Victor Susanto al. Victor Setiawan al. Vincentius secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pencucian Uang ”dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan dalam suatu rekening dengan memalsu surat” sebagaimana dalam dakwaan kesatu Pasal 3 ayat (1) huruf c UU RI No. 15/2002 yang dirubah dengan UU RI No. 25/2003 tentang

21 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

pencucian uang jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dan dakwaan ketiga Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Vincentius Amin Sutanto al. Victor Susanto al. Victor Setiawan als. Vincentius dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun potong tahanan dan denda Rp. 150.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;

3. Menyatakan barang bukti berupa:1.  6 (enam) lembar kartu nama dst...2.  2 (dua) lembar fotokopi KTP dst...3.  4 (empat) buku tabungan dst...4.  satu lembar Pasport BCA/Kartu ATM dst...dst...31. 1 (satu) bundel fotokopi legalisir dokumen PT. Asian Agri Jaya dst...32. 3 (tiga) buah handphone merk Nokia; dirampas untuk Negara33. Uang tunai sebesar 23 (dua puluh tiga dollar Singapore dst..34. Uang tunai sebesar Rp. 28.337.052.054,- (dua puluh delapan milyar tiga ratus tiga puluh tujuh juta lima puluh dua ribu lima puluh empat rupiah); dikembalikan kepada Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd.;

4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);

JPU menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti menempatkan harta kekayaan adalah sebagaimana dakwaan JPU pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU, tetapi dalam tuntutan JPU mengenakan pasal 3 ayat (1) huruf c UU TPPU dengan salah satu unsurnya adalah membayarkan harta kekayaan.

Menurut JPU dalam tuntutannya TPPU tersebut dilakukan dengan memalsu surat sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHP. Dengan tanpa penjelasan, pemalsuan surat yang mana yang dimaksud oleh KUHP tersebut mengingat ada 3 pemalsuan, yaitu 1) pemalsuan tanda tangan untuk aplikasi yang dilakukan disingapura (perbuatan sendiri); 2) menganjurkan untuk pembuatan KTP palsu; dan 3) menganjurkan memasukkan surat palsu ke dalam akta pendirian 2 PT.

Menghubungkan Pasal TPPU dengan pasal penyertaan (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) mengandung konsekuensi kepada JPU untuk membuktikan bahwa disamping terdakwa Vincentius, ada terdakwa lain yang melakukan TPPU secara bersama-sama dengan membuktikan bentuk penyertaan dari masing-masing secara tegas, yang pada kenyataan tidak ada pembuktian.

Demikian juga menghubungkan Pemalsuan Surat dengan pasal penyertaan KUHP, harus ada kepastian apakah tindak pidana yang dilakukan sebagai bentuk Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dader, mededader, uitlokken) atau Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP (penganjuran). 22 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Hal ini penting terkait dengan proses pemeriksaan saksi-saksi maupun terdakwa dan barang bukti yang diajukan dalam rangka pembuktian unsur-unsur pasal. Selain itu, dikaitkan pula dengan besarnya pidana yang diajukan oleh JPU. 

E. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mejelis Hakim

Majelis Hakim mengemukakan pertimbangan sebagai berikut:

- Menimbang, bahwa dakwaan kesatu melanggar Pasal 3 (1) huruf a UU RI No. 15 Tahun 2002 yang dirubah dengan UU RI No. 25 Tahun 2003 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:1. Setiap orang;2. Dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;3. Kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama

pihak lain;- Menimbang, bahwa tentang unsur pertama ”setiap orang”.

Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah sama dengan barang siapa, adalah merupakan subyek hukum dst...Bahwa dalam perkara ini yang diajukan sebagai terdakwa di persidangan adalah Vincentius Amin Sutanto alias Victor Setiawan alias VictorSusanto dst...

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka unsur kesatu ”Setiap orang” telah terpenuhi;

- Menimbang, bahwa tentang unsur ”kedua”;- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan telah nyata:

Terdakwa berniat membobol/mengambil uang milik perusahaan tempat ia bekerja (Asian Agri Group) sejak tahun 2004, dst...Bahwa pada awal September 2004 Terdakwa dan Hendri Susilo mendirikan dua perusahaan Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama dst...Bahwa setelah itu pada awal bulan Nopember 2006 Terdakwa menyuruh Hendri Susilo membuka rekening untuk kedua perusahaan tersebut di Bank Panin Cabang Lindeteves masing-masing: PT. Asian Agri Jaya dengan Nomor Rekening 0915000738; PT. Asian Agri Utama dengan Nomor Rekening 0915000568;Bahwa pada tanggal 10 Nopember 2006 Terdakwa bertemu dengan Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto di Citraland Grogol Jakarta dst.... Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah masuk rekening;

23 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Bahwa selanjutnya Terdakwa pada tanggal 13 Nopember 2006 membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore, menandatangani dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa dan mengirim ke Singapore;Bahwa atas pengiriman 2 (dua) aplikasi transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama.

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka unsur kedua dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ”telah terpenuhi”.

- Menimbang, bahwa tentang unsur Ketiga ”Kedalam Penyedia Jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;Bahwa Hendri Susilo pada tanggal 7 Nopember 2006 telah membuka 2 (dua) rekening pada Bank Panin Cabang Lindeteves dst...Bahwa setelah Terdakwa mengirim 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer kepada Fortis bank SA/NV Singapore, maka pada tanggal 15 Nopember 2006 Fortis Bank SA/NV Singapore telah mentransfer dana dan masuk ke rekening dst...

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka unsur ketiga telah terpenuhi pula;

- Menimbang, bahwa Pasal 3 (1) huruf a UU RI No. 15 tahun 2002 yang dirubah dengan UU RI No. 25 tahun 2003 dihubungkan dengan Pasal 55 (1) ke-1 KUHP;

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka terdakwa adalah sebagai pelaku (pleger) sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 (1) ke-1 KUHP;

- Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur telah terpenuhi, maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu, dan karena dakwaan kesatu telah terpenuhi, maka dakwaan kedua tidak perlu dipertimbangkan lagi;

- Menimbang, bahwa tentang dakwaan ”Ketiga”:- Menimbang, bahwa dakwaan ketiga melanggar Pasal 263 (1) jo. Pasal 55 (1)

ke-1 KUHP;- Menimbang, bahwa Pasal 263 (1) KUHP mempunyai unsur sebagai berikut:- Bahwa sebagaimana telah diuraikan dan dipertimbangkan dalam dakwaan

kesatu unsur ”barang siapa” telah terpenuhi dan terbukti, dst...- Menimbang, bahwa unsur kedua ”membuat surat palsu atau memalsukan

surat”;- Bahwa yang dimaksud dengan surat adalah segala surat baik yang ditulis

dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesik ketik dan komputer;

24 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

- Bahwa yang dimaksud ”membuat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) termasuk meniru atau memalsu tanda tangan;

- Bahwa berdasarkan fakta persidangan terdakwa Vincentius Amin Sutanto telah membuat dan menandatangani 2 (dua) lembar aplikasi perintah pengiriman uang via jasa pengiriman barang atau surat DHL ke Fortis Bank SA/NV Singapore Branch dst... dengan cara meniru/memalsu tanda tangan Kueh Chin Poh dan tanda tangan Ong Chan Hwa, serta membubuhkan stempel palsu Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd.;

- Bahwa stempel/cap Agri Abadi Oils & Fats Ltd. telah dibuat Hendri Susilo di Jakarta;

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka unsur kedua telah terpenuhi;

- Menimbang bahwa tentang unsur ketiga;Bahwa maksud terdakwa membuat 2 (dua) lembar aplikasi perintah pengiriman uang tersebut dengan meniru/memalsu tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa adalah agar pihak Fortis Bank SA/NV Singapore Branch mentransfer uang milik perusahaan Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd. Dari A/C 8004330101 ke rekening penampung atas nama PT. Asian Agri Utama dan PT. Asian Agri Jaya yang ada di Panin Bank Lindeteves Jakarta yang dibuka Hendri Susilo;Bahwa berdasarkan 2 (dua) lembar aplikasi perintah pengiriman uang yang dibuat terdakwa tersebut, pihak Fortis Bank SA/NV Singapore Branch percaya dan selanjutya mengirimkan/mentransfer uang dst...

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka unsur ketiga ”yang dapat menimbulkan sesuatu hak atau yang diperintahkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar, ”tidak palsu”, telah terpenuhi pula;

- Menimbang, bahwa tentang unsur keempat ”kalau menggunakan surat itu dapat mendatangkan suatu kerugian“ dst...,

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas, maka terdakwa adalah sebagai pelaku (pleger) sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 (1) ke-1 KUHP;

- Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 263 (1) jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi, maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan ketiga;

Berdasarkan pertimbangan diatas, Mejelis memutuskan sebagai berikut :

25 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

1. Menyatakan terdakwa: Vincentius Amin Sutanto alias Victor Susanto alias Victor Setiawan, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana kejahatan ”PENCUCIAN UANG DAN PEMALSUAN SURAT”;

2. Menghukum ia terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan);

3. Memerintahkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan; 5. Memerintahkan barang bukti berupa:

- 6 (enam) lembar kartu nama dst...- 2 (dua) lembar fotokopi KTP dst...- 4 (empat) buku tabungan dst...- satu lembar Pasport BCA/Kartu ATM dst...

dst...- 1 (satu) bundel fotokopi legalisir dokumen PT. Asian Agri Jaya dst...

tetap terlampir dalam berkas perkara;- 3 (tiga) buah handphone merk Nokia dirampas untuk dimusnahkan- Uang tunai sebesar 23 (dua puluh tiga) dollar Singapore dst..- Uang tunai sebesar Rp. 28.337.052.054,- (dua puluh delapan milyar

tiga ratus tiga puluh tujuh juta lima puluh dua ribu lima puluh empat rupiah);dikembalikan kepada Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd.

6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);

1. Catatan terhadap Pertimbangan Hukum Mejelis HakimMajelis Hakim dalam pertimbangannya (hal. 40 Putusan), tidak mencantumkan/menguraikan kembali alasan pengajuan tuntutan Jaksa Penuntut Umum serta isi Pembelaan maupun alasan mengapa menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana oleh Tim Penasehat Hukum terdakwa. Hal itu penting untuk dijadikan pertimbangan oleh hakim majelis sebelum mengajukan pertimbangan-pertimbangan hukum sendiri. Selain itu, menjadi tidak lazim, mengingat dalam mempertimbangkan untuk memutuskan perkara, hakim harus memahami dan mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya, sebagaimana juga Penuntut Umum dalam Dakwaannya, tidak memasukkan unsur ”dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang

26 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” sebagai salah satu unsur Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU, padahal unsur ini merupakan hal yang paling penting dalam pasal ini dan harus dibuktikan baik di dalam analisis yuridis tuntutan penuntut umum maupun pertimbangan hukum oleh hakim. Tidak dicantumkannya unsur ini di dalam dakwaan juga jelas-jelas tidak memenuhi syarat dakwaan yang diharuskan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP sehingga seharusnya Dakwaan dan Putusan dinyatakan batal demi hukum.

Majelis Hakim hanya menguraikan unsur pasal yaitu 1) Setiap orang; 2) Dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; 3) Ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain. Dengan tanpa memasukkan dan membuktikan unsur pokok dalam TPPU yaitu ”dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” sebagai salah satu unsur Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU, padahal unsur ini merupakan hal yang paling penting dalam pasal ini dan harus dibuktikan baik di dalam analisis yuridis tuntutan penuntut umum maupun pertimbangan hukum oleh hakim. Tanpa unsur pokok tersebut maka setiap orang yang menempatkan uangnya di bank hasil transaksi dengan orang yang termasuk dalam kategori PEPs (high risk) akan langsung dapat memenuhi ketiga unsur pasal yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.

Majelis hakim hanya membuktikan kata sengaja dengan mengaitkan keterangan-keterangan saksi tanpa menjelaskan kesengajaan itu menurut teori kesengajaan sebagai suatu kehendak, kesengajaan sebagai suatu pengetahuan, dan kesengajaan sebagai suatu kemungkinan. Hal ini menjadi penting karena ilmu pengetahuan hukum secara tegas membedakan antara ketiga bentuk tersebut. Bentuk-bentuk tersebut dibuat untuk pembuktian dan menentukan kadar kesalahan seseorang. Cara pembuktian hakim dengan pertimbangan tersebut akan mengaburkan antara pengertian niat dan kesengajaan, sebab pertimbangan hakim tersebut hanya menunjukkan suatu niat dari terdakwa untuk melakukan tindak pidana apabila dikaitkan dengan TPPU. Tetapi menjadi tindak pidana selesai untuk pemalsuan surat dan/atau menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta. Niat tidak sama dengan kesengajaan, tetapi niat berpotensi menimbulkan kesengajaan.

Hakim menyatakan unsur ”dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” telah terpenuhi tanpa menggali fakta-fakta hukum tentang tindak pidana asal apa yang dimaksud dalam perkara ini. Jika yang dimaksudkan dalam perkara ini adalah uang hasil tindak pidana penggelapan atau penipuan; kenyataannya tidak ada dakwaan untuk tindak pidana penggelapan atau penipuan. Disamping

27 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

membuktikan unsur sengaja, hakim juga harus membuktikan dalam pertimbangannya tentang harta kekayaan yang di ketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, karena untuk menentukan obyek dari harta kekayaan tersebut dilihat dan dihitung sejak kapan, apakah saat berpindah atau pada saat masuk ke rekening 2 PT yang dibuat oleh terdakwa tersebut, atau apakah sejak ditarik oleh terdakwa senilai Rp. 200 juta atau percobaan penarikan Rp. 200 Juta. Hal ini berhubungan dengan penentuan harta kekayaan tersebut berasal dari dugaan tindak pidana apa, pemalsuan atau penggelapan atau penipuan. Keyataannya, pertimbangan hakim tidak memuat uraian hal tersebut.

Majelis Hakim dalam pertimbangan (hal. 43 putusan) menyatakan bahwa karena terdakwa telah melakukan sendiri pembuatan dua lembar perintah aplikasi transfer, maka terdakwa adalah sebagai pelaku (pleger) sebagaimana dimaksud pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pertimbangan ini nyata-nyata telah menyalahi teori hukum yang menyatakan bahwa syarat seseorang dapat dikenakan delik penyertaan sebagaimana ditentukan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, adalah dilakukan oleh dua orang atau lebih, bukan dilakukan sendiri. Artinya, dalan pertimbangan hakim harus menyatakan dengan tegas adanya kerja sama antara terdakwa dengan orang lain namun masing-masing mempunyai bentuk perbuatan yang berbeda dan terdakwa dalam kapasitas sebagai pelaku.

Pertimbangan majelis hakim untuk membuktikan dakwaan ketiga terkait pemalsuan surat adalah fakta hukum yang dipakai untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang dalam pertimbangan sebelumnya menjadi tidak relevan. Dalam hal ini, yang perlu dipertimbangkan adalah pembuktian proses pembuatan surat palsu tersebut, sehingga jelas posisi kasusnya, apakah Pasal 263 ayat (1) atau 263 ayat (2) KUHP, dan apakah perlu dijunctokan pasal 55 ayat (1) ke-1 atau ke-2 atau tanpa dijunctokan sama sekali.

Pertimbangan Majelis Hakim mengenai hal-hal yang memberatkan tidak menunjukkan penilaian yang sangat subyektif dan tidak kepada proses pemeriksaan terdakwa di peradilan serta tidak menggambarkan suatu alasan penentuan penjatuhan pidana. Sedangkan pertimbangan mengenai hal-hal yang meringankan cukup obyektif dan relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam penjatuhan pidana.

2. Catatan Terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeria. Hakim Salah dalam Menerapkan HukumTerdapat kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Mejelis Hakim ketika menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan kejahatan yang diatur dalam

28 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

pasal 3 (1) huruf a UU 25 Tahun 2003. Pengadilan tidak membuktikan apakah terdakwa memenuhi unsur “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”. Kesalahan ini sebenarnya sudah terlihat sejak pengadilan menguraikan unsur-unsur pasal tersebut. Pada halaman 40 pengadilan menguraikan:

Menimbang, bahwa dakwaan kesatu melanggar pasal 3 (1) huruf a UURI No. 15 tahun 2002 yang dirubah dengan UURI No. 25 tahun 2003 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. setiap orang;

2. Dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;

3. kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

Dari sini terlihat bahwa pengadilan sama sekali tidak mencantumkan unsur “dengan maksud menyembunyikan...” tersebut, sehingga sangat wajar ketika pengadilan tidak menyatakan apakah terdakwa memenuhi unsur tersebut atau tidak.

Selain itu, telah terjadi kesalahan fatal dalam paragraf Putusan (hal. 47 Putusan) sebelum Majelis Hakim mencantumkan kata MENGADILI, yaitu: mendasarkan Putusan pada Pasal 3 ayat (1) huruf c UU TPPU. Hal ini menjadi tidak sinkron dengan pertimbangan Majelis Hakim sebelumnya yang memutuskan terdakwa telah secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan TPPU berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU dan sesuai dengan surat dakwaan JPU tetapi tidak sinkron dengan tuntutan JPU yang menuntut Pasal 3 ayat (1) huruf c UU TPPU.

Harus dilihat bahwa Pasal 3 ayat (1) Huruf c UU TPPU mengatur mengenai pidana terhadap ”setiap orang yang dengan sengaja membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan tersebut atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.”

Terlepas dari terbukti atau tidak terbukti, apabila terdakwa harus dijatuhi pidana, maka pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun merupakan penjatuhan pidana yang tidak sesuai dengan teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan.

29 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

b. Kejahatan asal dan unsur “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan..” tidak terbukti.

Berdasarkan uraian fakta persidangan, walaupun unsur barang siapa, perintah palsu, tanda tangan palsu mampu menghasilkan transfer harta kekayaan bukan miliknya kedalam penyedia jasa keuangan terbukti, namun unsur penting adanya perbuatan yang merupakan kejahatan asal ( predicate crime ) dan menyembunyikan hasil kejahatan dengan maksud menghilangkan asal usulnya/menyamarkan tidak terbukti.

Terdakwa dengan tipu-muslihat memalsukan surat berhasil mengeluarkan dana dari rekening suatu Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) di luar negeri, dan memasukkannya ke rekening lain yang dikuasainya di dalam negeri. Asal-usulnya dana, alur jalannya dana, dan tujuan akhir dana tampak dengan jelas dan teratur. Tiada satu halpun yang tampak sebagai upaya penyembunyian atau penyamaran.

Secara hukum tindakan Terdakwa baru dalam tahap rangkaian perbuatan untuk penguasaan uang secara melawan hukum, sedangkan pencucian uang adalah rangkaian perbuatan menyamarkan hasil kejahatan melalui instrumen perbankan. Hal ini terlihat dari fakta perbuatan ; membuat KTP palsu, membuat PT dengan nama hampir sama dengan PT pelapor di Singapore dan membuka rekening penampungan hasil kejahatan, adalah merupakan satu rangkaian perbuatan untuk dapat menguasai uang tanpa hak dengan cara agar petugas bank di Singapore khilaf dan mau mentransfer kedalam rekening yang seolah-olah benar yang telah disiapkan terdakwa dengan memalsukan tanda tangan, KTP dsb, Untuk mencairkan uang transfer dari PT Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd Singapore yang ada dalam PT Asian Agri Utama dan PT Asian Agri Jaya otoritas ada pada direktur Utama saksi Hendri Susilo. Secara fisik Terdakwa baru menguasai hasil kejahatan sebesar Rp 150 juta dan uang tersebut tidak ditranfer melalui bank tetapi hilang ditengah jalan. Dengan demikian dalam kasus ini dakwaan Kesatu dan Kedua tidak terbukti karena tidak ada kejahatan asal, yang ada dan terbukti kejahatan melanggar pasal 263 (1) KUHP, terkecuali dapat dibuktikan uang yang diambil Terdakwa kemudian ditransfer Terdakwa lagi ke fihak ketiga, sehingga dengan demikian menurut pendapat penulis tidak cukup bukti adanhya kejahatan pencucian uang.

c. Putusan tidak sesuai dengan Asas Penerapan Hukum PidanaDoktrin hukum pidana menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus memenuhi 2 (dua) asas pokok, yaitu, asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (lihat Remmelink). Asas pertama merujuk kepada suatu pertimbangan bahwa penerapan hukum pidana (termasuk hukumannya) harus

30 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

mempertimbangkan sisi ”kepatutan” atau ”kewajaran” antara sifat/kualifikasi perbuatan dengan ancaman hukuman-nya. Prinsip proporsionalitas memerlukan penegak hukum yang cerdik dan bijaksana serta memahami visi penegakan hukum dalam konteks kepentingan negara (yang lebih luas). Visi penegakan hukum yang cerdik dan bijaksana adalah suatu cara pandang bahwa hukum bukan semata-mata normatif/kalimat mati tanpa roh, melainkan merupakan ”seni” mengatur kehidupan manusia agar dicegah untuk melakukan kejahatan atau menimbulkan jera kepada pelakunya. Prinsip ini menghendaki agar hukum pidana digunakan sehingga, ”membakar lumbung padi hanya untuk membunuh seekor tikus”.

Asas kedua, asas susbsidiaritas, merujuk kepada suatu keadaan di mana penerapan hukum pidana (sanksinya) dilakukan dengan tepat guna jika ancaman sanksi lainnya (administrasi dan keperdataan) sudah tidak tepat lagi untuk mencegah suatu tindak pidana. Asas ini dikenal dengan asas, ”ultimum remedium”;sarana terakhir dan ”alat pemukul ampuh” untuk memberantas kejahatan. Pola penerapan hukum pidana berdasarkan kedua asas hukum pidana tersebut di atas bertujuan agar hukum pidana dengan ancaman sanksi yang bersifat memaksa tidak menimbulkan dampak negatif yang dapat mengganggu keseimbangan (harmonisasi) dalam kehidupan masyarakat.

Bertitik tolak dari uraian kedua asas penerapan hukum pidana tersebut maka terdapat 3 (tiga) pilar utama penerapan hukum pidana, yaitu kepastian hukum harus dijadikan landasan; keadilan harus dijadikan pertimbangan; dan kemanfaatan bagi masyarakat/negara harus dijadikan ukuran keberhasilan. Ketiga pilar penerapan hukum pidana tersebut harus dapat berjalan beriringan dan seimbang sehingga menimbulkan ”kesejukan” dan ”keharmonisan” dalam kehidupan masyarakat luas.

Pilar kepastian hukum, menjunjung tinggi asas legalitas, termasuk asas non-retroaktif, di mana kepentingan tersangka/terdakwa harus dilindungi dari kekuasaan yang cenderung koruptif dan bersifat salah kelola; pilar Keadilan, menjunjung tinggi keseimbangan antara sifat dan kualifikasi tindak pidana dan perlindungan atas korban tindak pidana; pilar kemanfaatan, menjunjung tinggi daya kerja maksimal hukum pidana (sanksi) bagi kepentingan masyarakat/negara.

Dalam konteks penerapan hukum pidana dalam Kasus Vincent, terbukti telah bertentangan baik dengan asas proporsionalitas maupun asas subsidiaritas. Penerapan hukum pidana kasus vincent bertentangan dengan asas proporsionalitas karena telah menempatkan perbuatan penggelapan oleh Vincet disamakan dengan tindak pidana pencucian uang sehingga pendakwaan Vincent atas tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang, dan bukan dakwaan

31 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

penggelapan, merupakan langkah hukum yang telah melampaui batas kepatutan hukum (legal indecency).

Pendakwaan terhadap Vincent membuat jera siapa saja untuk mengungkapkan kebenaran materiel dari suatu kasus kejahatan yang lebih besar sekalipun yang bersangkutan mengetahuinya, apalagi yang bersangkutan turut terlibat di dalam kejahatan tersebut. Pola pendakwaan tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 karena ketentuan pasal tersebut mewajibkan setiap Negara Pihak dalam Konvensi untuk melaksanakan dua kewajiban yang bersifat ”mandatory” (keharusan), yaitu: memberikan imunitas dari penuntutan atau membebaskan tersangka yang memberikan bantuan substansial (sangat kooperatif) dari dakwaan korupsi.

Merujuk kepada Pasal 37 Konvensi PBB tersebut jelas dan tegas bahwa pengertian ”perlindungan” (Protection) telah diartikan sangat luas, yaitu termasuk, ”membebaskan dari penuntutan” atau ”Mengurangi hukuman”. Pengertian ini melebihi apa yang dimaksud dengan isitlah, ”whistleblower” bagi saksi/pelapor yang hanya sebatas ”perlindungan fisik” saja, bukan perlindungan hukum nyata.

Keterangan Vincent yang dapat mengungkapkan kasus penggelapan pajak oleh PT Asian Agri dengan jumlah yang fantastis dan merugikan secara nyata terhadap keuangan negara termasuk tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999, merupakan perbuatan kooperatif dan seharusnya telah diketahui dan disadari manfaatnya bagi negara sehingga seharusnya sejak awal memperoleh perlindungan hukum (bukan hanya perlindungan fisik) dari kepolisian atau kejaksaan.

Pendakwaan terhadap kasus Vincent dengan tindak pidana pencucian uang juga telah bertentangan dengan asas subsidiaritas karena perbuatan penggelapan uang perusahaan oleh Vincent telah ditafsirkan melampaui batas keperluannya karena dua jenis tindak pidana tersebut memiliki kualifikasi berbeda, penggelapan merupakan kejahatan biasa, dan pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa dan ditujukan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan atau kejahatan dalam kelompok. Vincent melakukan penggelapan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan PT Asian Agri di sisi lainnya.

Kejanggalan pendakwaan tindak pidana pencucian uang terhadap Vincent terletak pada bahwa, tindak pidana pencucian uang bukan domain untuk kepentingan sektor swasta melainkan domain untuk kepentingan sektor publik (kepentingan negara) semata-mata karena tindak pencucian uang telah diakui sangat merugikan kepentingan alur lalu lintas keuangan dan kegiatan perbankan

32 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

internasional sehingga kepentingan negara sangat diutamakan disamping kewajiban negara untuk mengkriminalisasi perbuatan pencucian uang, jika dibandingkan dengan kepentingan suatu badan usaha semata-mata. Dilihat dari sisi ini, justru pendakwaan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana pajak seharusnya ditujukan terhadap Direksi PT Asian Agri karena dakwaan ini sesuai dan sejalan dengan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas sebagiamana telah diraikan di atas. Bahkan dakwaan tindak pidana pajak dan pencucian uang secara kumulatif lebih signfikan ditujukan terhadap PT Asian Agri sebagai suatu korporasi karena perusahaan tsb telah memperoleh fasilitas yang besar dari pemerintah dan memperoleh keuntungan perusahaan karenanya, akan tetapi justru telah melakukan perbuatan yang ”sangat merugikan kepentingan negara secara luar biasa”. Tindak pidana pajak yang telah dilakukan oleh PT Asian Agri merupakan ”kejahatan korporasi” atau ”Corporate Crime” yang telah memenuhi ketentuan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasioal Terorganisasi (Palermo 2000), dan Konvensi PBB Anti Korupsi (Merida, 2003).

Bertitik tolak kepada kedua pilar tersebut di atas, maka pilar kemanfaatan dalam penerapan hukum pidana khusus terhadap kasus Vincent sangat penting untuk dipertimbangkan oleh penegak hukum. Dari sisi ini maka pendakwaan terhadap PT Asian Agri, tindak pidana pajak dan pencucian uang secara kumulaltif akan memberikan hasil manfaat yang besar dibandingkan dengan hanya mendakwa Vincent dengan pencucian uang. Hal ini disebabkan secara nominal harta kekayaan Vincent pasti jauh lebih kecil dibandingkan dengan PT Asian Agri sehingga negara tidak memperoleh manfaat besar dengan mendakwa Vincent sedangkan terhadap PT Asian Agri tidak dilakukan pendakwaan yang sama beratnya. Penyelesaian secara ”win-win solution” atau di luar proses pengadilan akan mencederai perasaan keadilan masyarakat luas bahkan cenderung merupakan perlakuan diskriminatif serta mereflksikan bahwa, hukum hanya ”berlaku bagi si kecil, tidak bagi si kaya”.

33 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

BAB IVPERLINDUNGAN HUKUM BAGI

WHISTLEBLOWER

A. Terminologi Umumnya dalam istilah bahasa Inggris, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malapraktik atau korupsi disebut sebagai whistleblower. Orang yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta terjadinya kejahatan, kekerasan atau pelanggaran disebut sebagai whistleblower atau seorang pengungkap fakta.

Beberapa negara yang dianggap sudah mapan dalam mengatur whistlebower ini adalah Inggris (United Kingdom Model), Australia (Quensland: Australia Scheme), dan Amerika Serikat (United States Model). Walaupun beberapa negara lainnya juga sudah mempraktekkan perlindungan whistleblower tersebut. Untuk untuk contoh dibawah akan diberikan paparan dari Quensland: Australia Scheme.

Pengungkap fakta adalah orang-orang yang mengungkapkan perbuatan yang melanggar hukum, yang tidak pantas dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum; bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum; bahaya terhadap lingkungan (skema yang, demi kepentingan umum, memberi perlindungan khusus jika ada pengungkapan-pengungkapan tentang suatu perbuatan di sektor publik yang melanggar hukum, termasuk kelalaian, dan tidak pantas, atau suatu bahaya terhadap kesehatan atau keselamatan umum, atau bahaya terhadap lingkungan).

Seseorang memiliki informasi tentang perbuatan atau bahaya jika orang tersebut dengan alasan-alasan yang masuk akal sungguh-sungguh yakin bahwa dia memiliki informasi yang akan memperlihatkan perbuatan atau bahaya tersebut. Jika informasi itu menyangkut suatu peristiwa, maka boleh mengenai sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi. Jika informasi itu menyangkut perbuatan seseorang, maka boleh mengenai perbuatan dimana orang tersebut telah atau mungkin telah terlibat, sedang atau mungkin sedang terlibat, atau sedang atau sedang bermaksud akan terlibat. Informasi tersebut tidak perlu dalam bentuk yang akan memungkinkannya dipakai sebagai bukti dalam suatu proses persidangan. Misalnya – informasi itu dapat berbentuk desas-desus yang belum pasti.

Pengungkapan demi kepentingan umum dapat dilakukan oleh “pejabat publik” yang meliputi setiap pejabat dari suatu lembaga public(mandatory report) dan

34 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

atau oleh Siapapun (voluntary report). Seseorang dinyatakan tidak dapat dituntut secara perdata, pidana atau secara administratif karena melakukan pengungkapan demi kepentingan umum. Siapapun yang merugikan atau mencoba atau bersekutu untuk merugikan seseorang karena suatu pengungkapan demi kepentingan umum dinyatakan sebagai suatu balas dendam dan melanggar hukum menurut hukum perdata maupun hukum pidana.

B. Saksi dari Orang Dalam dan Saksi pelakuAparat penegak hukum seringkali menghadapi halangan tambahan dalam menyelidiki dan menuntut kasus besar yang sensitif. Selain itu, kejahatan besar yang kerap terjadi ini seringkali nampak diatur secara vertikal, dengan partisipasi dari para pejabat di tingkat yang lebih tinggi yang mempunyai posisi cukup kuat untuk membujuk pejabat yang berada di tingkat yang lebih rendah agar tidak bekerjasama, atau sebaliknya untuk menghalangi penyidikan.

Dikarenakan masalah-masalah yang melekat pada kasus-kasus seperti inilah maka, aparat investigasi di beberapa negara juga bergantung setidaknya sebagian pada kerjasama dari mereka yang memiliki pengetahuan langsung mengenai kejahatan ini dan keterlibatan mereka didalamnya. Selain dari kasus korupsi, penanganan kasus kejahatan terorganisir, kasus penipuan akuntansi korporat, dan juga banyak tipe dari kejahatan kompleks lainnya yang rnelibatkan banyak terdakwa sangat bergantung pada bukti yang disediakan oleh mereka yang memiliki pengetahuan langsung atas kejahatan ini.

Kadangkala "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Orang dalam dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Selain dari memberikan petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi dalam penyidikan dengan menyamar, merekam bukti suara atau video sebagai bukti penting dalam penuntutan. Akhimya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang sangat penting sewaktu persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dari kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa. Untuk membujuk para orang dalam agar mau bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan dari pelaku lairtnya dalam tindak kriminal ini, para penuntut di berbagai negara menggunakan beberapa jenis perangkat hukum.

Sebagai contoh khas, Di Amerika Serikat misalnya Tidak ada statuta tunggal yang mergatur mengenai seluruh mekanisme kekebalan dan kerjasama yang digunakan oleh penuntut dalam pertempurannya melawan korupsi dan kejahatan kompleks lainnya. Prosedur ini diambil dari beberapa otoritas hukum: hukum prosedur kriminal, panduan pemberian hukuman federal, dan prosedur

35 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

dan kebijakan Departemen Kehakiman. Beberapa dari mekanisme ini ditetapkan sebagian karena faktor-faktor yang unik dalam sistem hukum Amerika Serikat.

Bisa dengan penggunaan surat "non-target" yakni surat yang disediakan oleh jaksa bagi para saksi mata potensial (atau pengacara dari para saksi mata yang bersangkutan), untuk meyakinkan si saksi bahwa, berdasarkan informasi yang tengah dimiliki oleh jaksa saat ini, saksi tersebut tidak dianggap sebagai "sasaran" penyidikan. Seorang "sasaran" adalah mereka yang diyakini oleh jaksa telah melakukan tindak pidana dan mereka dapat dituntut oleh jaksa atas tindak pidana itu karena bukti yang sudah cukup.Sebuah surat "non-target" biasanya digunakan di awal penyidikan, dan hanya untuk mereka yang memiliki keterlibatan minimal dalam tindak krimal itu. Terutama sekali dalam kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak, para saksi yang mengetahui beberapa hal mengenai kejahatan itu, meskipun kecil atau bahkan tidak bersalah, mungkin saja enggan bekerja sama dengan aparat karena takut mcnjadi tcrlibat dalam penuntutan.

Surat "nontarget" sangatlah menolong dalam mendorong para saksi untuk memberikan informasi. Surat "non-target" tidak berisikan janji dari jaksa, dengan demikian surat itu hanya memberikan perlindungan yang terbatas bagi saksi-saksi yang potensial. Tujuan dari surat ini adalah untuk meyakinkan saksi-saksi yang potensial tadi bahwa mereka bukanlah sasaran penyidikan, dan bahwa aparat penegak hukum meminta pernyataan mereka untuk tujuan pengumpulan bukti dalam menuntut pelaku lain, bukan untuk mencoba melibatkan para saksi.

Penggunaan kesepakatan tidak ada tuntutan yakni kesepakatan untuk tidak menuntut seorang saksi atas tindak kriminal tertentu yang terjadi, sebagai imbalan dari kedasama yang penuh dan jujur dari saksi yang bersangkutan. Kesepakatan "tidak ada tuntutan" biasanya digunakan dalam situasi dimana keterlibatan si saksi dalam tindak kriminal itu kecil, dan kerjasamanya dibutuhkan terhadap pihak-pihak lain yang memiliki porsi kejahatan lebih besar dalam tindak kriminal itu.

Pengunaan kekebalan dalam keadaankeadaan tertentu, sebagai imbalan dari kesaksiah saksi dibawah sumpah, baik di depan juri penyidik, yang disebut dewan juri, atau dalam persidangan. Seorang pelaku dapat diminta untuk bersaksi, tetapi setelah itu, kesaksiannya tidak dapat digunakan untuk menuntut dia untuk sebuah kejahatan. Biasanya digunakan pada saksi-saksi yang enggan bersaksi yang sepertinya memiliki informasi berharga mengenai kejahatan yang sedang diselidiki, namun juga terlibat sedikit dengan tingkat tanggung jawab yang rendah atau dianggap sebagai pemain kecil dalam kejahatan tersebut.

36 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Perangkat yang paling umum digunakan oleh jaksa untuk mendapatkan kesaksian dari "orang dalam" dalam kasus-kasus korupsi publik dan kasus-kasus kompleks lainnya adalah kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama biasanya dinegosiasikan sebagai bagian dari tawar-menawar (plea bargain), dimana si terdakwa harus terlebih dahulu mengaku bersalah atas satu atau lebih tindak kriminal, dan untuk mengambil semua pertanggungjawaban pidana. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, si terdakwa setuju untuk bekerjasama secara penuh dan sejujurnya dengan jaksa, termasuk mengungkapkan informasi dan menyediakan kesaksian di pengadilan. Jika terdakwa memberikan kerjasama yang jujur dan penting, jaksa setuju untuk memasukkan mosi sewaktu penjatuhan hukuman yang meminta hakim mengurangi hukuman terdakwa sebagai penghargaan atas kerjasama si terdakwa.

C. Perlindungan dalam Konteks Hukum di IndonesiaHukum Indonesia tidak mengenal terminologi Whistleblower seperti yang dimaknai dalam berbagai peraturan di beberapa negara. Hukum Indonesia dalam konteks tersebut menggunakan istilah “pelapor” yang terbatas.

Dalam konteks saksi orang dalam, saksi pelaku, UU Indenesia menyebutkanya sebagai seorang saksi yang berstatus tersangka dalam perkara tindak pidana. Dan UU PSK (Pasal 10) hanya memberikan aturan yakni: “seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan” Aturan dari UU ini hanya memberikan hak atau reward bagi saksi yang berstatus tersangka berupa keringanan hukuman pidana, jika kasusnya diteruskan dalam pengadilan. Namun perlindungan yang ada dalam UU masih tetap diberikan kepada saksi yang berstatus pelaku sama seperti saksi lainnya sesuai dengan keputusan LPSK.

UU hanya memberikan reward hanya bagi saksi yang berstatus tersangka (pelaku) hanya dalam kasus yang sama. Apa maksud “kasus yang sama” ini adalah bila saksi (pelaku atau berstatus tersangka) memberikan kesaksian terhadap tersangka lainnya hanya dalam perkara dimana ia terlibat di dalamnya. Jika saksi tidak masuk dalam kategori tersangka kasus yang sama maka saksi tersebut tidak akan dikurangi hukumannya, namun hanya masuk kategori yang dilindungi sesuai dengan keputusan LPSK. Oleh karena itu maka aturan dari UU PSK terhadap saksi yang berstatus tersangka ini memang masih terbatas.

Disamping itu pula ada pula klausul yakni Ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.UU tidak menjelaskan maksud dari itikad baik tersebut.

37 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Namun dalam tradisi program perlindungan saksi yang di maksud dengan itikad baik ialah: informasi yang diberikan bukanlah informasi palsu dan tidak berniat merusak program perlindungan saksi. Disamping itu pula ada beberapa kriteria umum yang dijadikan dasar untuk memberikan hak pengurangan hukuman ini yakni (1) tingkat kepentingan dan kegunaan dari informasi yang diberikan terdakwa yang bekerjasama, (2) kejujuran, kelengkapan, dan kehandalan (dapat dipercayanya) informasi atau kesaksian yang diberikan oleh terdakwa; (3) sifat dan keluasan informasi yang diberikan; ketepatan waktu dari pertolongannya tersebut

Disamping hal itu perlu juga di perhatikan hak yang dimiliki Jaksa Agung yakni hak oportunitas yakni hak mengeyampingkan perkara pidana berdasarkan kepentingan umum.

D. Perlindungan Hukum bagi VincentKasus Vincent termasuk kasus yang khusus dan sangat unik; Pertama, Vincent memberikan keterangan/informasi yang sangat penting terkait dengan kasus besar (penggelapan pajak yang dilakukan oleh AA). Kedua, kasus penggelapan pajak tersebut masih dalam proses penanganan penyelidikan dan penyidikan di Dirjen pajak, dan belum masuk ke tahap penuntutan. Ketiga, ditemukan fakta bahwa vincent memberikan informasi penggelapan pajak setelah menjadi buronan dalam kasus pemalsuan perusahaan dan kemudian Vincent telah terkena pidana dengan dakwaan berdasarkan UU Pencucian Uang dan saat ini menjadi terpidana. Keempat, ada kemungkinan vincent masih menjadi sasaran balas dendam dengan cara dijadikan tersangka dalam kasus lainnya (kasus penggelapan pajak karena digunakan sebagai operator atau kasus pidana lainnya).

Vincent telah memberikan kontribusi yang besar bagi pengungkapan kasus Penggelapan pajak, sehingga selayaknya Vincent mendapat reward perlindungan hukum berupa keringanan hukuman pidana, karena yang bersangkutan telah berani memberikan kesaksian dan membongkar kejahatan yang lebih besar. Hal ini penting untuk di berikan agar mengajak para pelaku kejahatan minor lainnya untuk berbuat hal yang sama seperti Vincent.

Faktanya, aparat penegak hukum sama sekali tidak memperhitungkan peran penting Vincent sebagai Whislteblower. Sebaliknya, Vincent didakwa secara komulatif melakukan tindakan pidana pencucian uang dan pemalsuan.

38 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

BAB VKESIMPULAN

A. Dakwaan1. Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum obscur libel, karena dakwaan

tidak memasukkan unsur penting dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan”. Selain itu dakwaan juga tidak menguraikan rangkaian perbuatan yang terkait dengan “unsur kesengajaan” dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebaliknya, Penuntut Umum menguraikan peristiwa yang sama untuk Tindak Pidana yang berbeda yaitu uraian dakwaan melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan perbuatan yang melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP).

2. Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum obscur liber, karena dakwaan tidak menyebutkan predicat crime (tindak pidana asal). Tindak pidana asal, merupakan keharusan dalam tindak pidana pencucian uang, meskipun Penuntut Umum tidak harus membuktikannya terlebih dahulu.

B. Keterangan Saksi1. Saksi-saksi yang dihadirkan tidak memenuhi syarat sebagai saksi (saksi

hanya dibolehkan memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri tentang terjadinya suatu peristiwa pidana). Sebaliknya Majelis Hakim menolak menghadirkan PPATK sebagai lembaga yang kompeten untuk memberikan keterangan di Pengadilan.

2. Selama persidangan berlangsung, terjadi pelanggaran atas prinsip-prinsip fair trial yaitu: hak untuk mengadirkan saksi yang meringankan, hak untuk tidak dipaksa bersaksi, dan pemanggilan saksi-saksi yang sah oleh pengadilan.

C. Tuntutan Penuntut Umum1. Ada kesalahan dalam menyusun tuntutan, yaitu menurut dakwaan,

terdakwaa secara sah dan meyakinkan terbukti menempatkan harta kekayaan sebagaimana pasal 3 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana

39 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

Pencucian Uang. Tetapi dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mengenakan pasal 3 ayat (1) huruf c UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan salah satu unsurnya adalah membayarkan harta kekayaan.

2. Menurut Jaksa Penuntut Umum, Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut dilakukan dengan memalsu surat sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHP. Namun Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan pemalsuan surat yang mana yang dimaksud oleh KUHP tersebut. Mengingat ada 3 pemalsuan, yaitu 1) pemalsuan tanda tangan untuk aplikasi yang dilakukan disingapura (perbuatan sendiri); 2) menganjurkan untuk pembuatan KTP palsu; dan 3) menganjurkan memasukkan surat palsu ke dalam akta pendirian 2 PT.

D. Pertimbangan Majelis Hakim1. Majelis Hakim dalam pertimbangannya tidak mencantumkan/

menguraikan kembali alasan pengajuan tuntutan JPU serta isi Pembelaan Tim Penasehat Hukum terdakwa.

2. Majelis Hakim dalam pertimbangannya, sebagaimana juga Penuntut Umum dalam Dakwaannya, tidak memasukkan unsur ”dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” sebagai salah satu unsur Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU.

3. Majelis Hakim hanya menguraikan unsur pasal yaitu 1) Setiap orang; 2) Dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; 3) Ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain.

4. Hakim menyatakan unsur ”dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” telah terpenuhi tanpa menggali fakta-fakta hukum tentang tindak pidana asal apa yang dimaksud dalam perkara ini. Jika yang dimaksudkan dalam perkara ini adalah uang hasil tindak pidana penggelapan atau penipuan; kenyataannya tidak ada dakwaan untuk tindak pidana penggelapan atau penipuan.

5. Pertimbangan majelis hakim untuk membuktikan dakwaan ketiga terkait pemalsuan surat adalah fakta hukum yang dipakai untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang dalam pertimbangan sebelumnya menjadi tidak relevan. Dalam hal ini, yang perlu dipertimbangkan adalah pembuktian proses pembuatan surat palsu tersebut, sehingga jelas posisi kasusnya, apakah Pasal 263 ayat (1) atau 263 ayat (2) KUHP, dan apakah

40 | P a g e

Mengadili Whistleblower 2008

perlu dijunctokan pasal 55 ayat (1) ke-1 atau ke-2 atau tanpa dijunctokan sama sekali.

E. Putusan Majelis Hakim1. Terdapat kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Mejelis Hakim

ketika menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 3 (1) huruf a UU 25 Tahun 2003. Pengadilan tidak membuktikan apakah terdakwa memenuhi unsur “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”.

2. Putusan Majelis hakim tidak menerapkan asas penerapan hukum pidana, yaitu asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat/negara. Ketiga pilar penerapan hukum pidana tersebut harus dapat berjalan beriringan dan seimbang sehingga menimbulkan ”kesejukan” dan ”keharmonisan” dalam kehidupan masyarakat luas.

F. Perlindungan Hukum bagi Vincent

Vincentius Amin Sutanto memang melakukan tindak pidana, tetapi yang bersangkutan adalah orang yang sangat berperan dalam mengungkap tindak pidana yang lebih besar yang dapat merugikan keuangan Negara lebih besar. Untuk itu selayaknya, yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik secara fisik, mental, maupun dalam proses peradilan.

41 | P a g e