Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dan Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)...

33
Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dan Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Oleh: Rocky Marbun, S.H., M.H. 1 Abstract That there is a wrong perception of understanding of the term whistleblower and justice collaborator in Indonesia. As a result of the errors of meaning so that the arrangement was legal policy be comprehensive and effective. If you already know the real meaning of the term whistleblower and justice collaborator, it is associated with the cases that have occurred, both Agus Condro and M. Nazaruddin, not at all appropriate for the term whistleblower pinned to them. However, quite a bit different in the case of Commissioner General Susno Duadji, where he was the tax mafia case, just to be called a whistleblwoer. But in the case of embezzlement of elections in West Java is purely criminal, however, due to arrangements that are not clear, there are legal rights of the Commissioner General Susno Duadji that has been violated. Despite the presence of irregularities in legal drafting, it is actually the study of the Integrated Criminal Justice System (Integrated Criminal Justice System), there are any discrepancies and disharmony in building performance-institus law enforcement institutions. It appears once full of the arrogance sectoral which has been entrenched in the bureaucracy system in Indonesia. Keyword: whistleblower, justice collaborator, A. Pendahuluan Di dalam proses peradilan pidana, peranan saksi menjadi sangat penting dalam mengungkap suatu tindak pidana yang telah terjadi. Sehingga sangat wajar jika kemudian opini bahwa perlindungan terhadap seorang saksi menjadi sangat penting, khususnya pada perkara-perkara tertentu yang menyedot perhatian publik ataupun yang merugikan keuangan negara. 1 Ketua Umum Pusat Studi Litigasi dan Kajian Ilmu Hukum (PUSLIKUM) Indonesia, Jakarta. Email: [email protected]

description

Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dan Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia -- Artikel Jurnal S2 UTA 45

Transcript of Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dan Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)...

Eksistensi Peranan Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dan Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana di IndonesiaOleh:

Rocky Marbun, S.H., M.H.

AbstractThat there is a wrong perception of understanding of the term whistleblower and justice collaborator in Indonesia. As a result of the errors of meaning so that the arrangement was legal policy be comprehensive and effective.

If you already know the real meaning of the term whistleblower and justice collaborator, it is associated with the cases that have occurred, both Agus Condro and M. Nazaruddin, not at all appropriate for the term whistleblower pinned to them. However, quite a bit different in the case of Commissioner General Susno Duadji, where he was the tax mafia case, just to be called a whistleblwoer. But in the case of embezzlement of elections in West Java is purely criminal, however, due to arrangements that are not clear, there are legal rights of the Commissioner General Susno Duadji that has been violated.

Despite the presence of irregularities in legal drafting, it is actually the study of the Integrated Criminal Justice System (Integrated Criminal Justice System), there are any discrepancies and disharmony in building performance-institus law enforcement institutions. It appears once full of the arrogance sectoral which has been entrenched in the bureaucracy system in Indonesia.Keyword: whistleblower, justice collaborator, A. PendahuluanDi dalam proses peradilan pidana, peranan saksi menjadi sangat penting dalam mengungkap suatu tindak pidana yang telah terjadi. Sehingga sangat wajar jika kemudian opini bahwa perlindungan terhadap seorang saksi menjadi sangat penting, khususnya pada perkara-perkara tertentu yang menyedot perhatian publik ataupun yang merugikan keuangan negara.

Guna memunculkan rasa aman dan nyaman dari seorang saksi dalam proses pemeriksaan baik di dalam pemeriksaan pendahuluan/pra-ajudikasi, pemeriksaan ajudikasi dan pasca ajudikasi. Dimana dalam sistem hukum pembuktian pidana berdasarkan Pasal 184 KUHAP, saksi menempati sebagai alat bukti utama tanpa menafiqkan alat bukti lainnya, namun di dalam praktek keberadaan seorang saksi sangat dibutuhkan. Pada kasus-kasus tertentu, rasa aman dan nyaman bagi seorang saksi akan sangat mempengaruhi bagaimana ia dalam menyampaikan kesaksiannya.

Sehingga menjadi suatu kebanggaan tersendiri, manakala pada tahun 1981, Pemerintah bersama DPR mampu melakukan legal reform dalam Hukum Acara Pidana yang semula masih mengacu kepada HIR/RBg dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Euforia pada saat itu sempat mengutarakan bahwa KUHAP merupakan karya agung Bangsa Indonesia dan produk asli Indonesia. Yang merupakan langkah maju, setelah semenjak tahun 1963 pada Seminat Hukum Nasional I diutarakan bahwa perlunya pembaharuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih merupakan turunan dari produk kolonial, yang hingga saat ini masih dalam bentuk draft RUU KUHP.

Di dalam KUHAP, tersebar ke dalam berbagai pasal, mengatur perlindungan hak-hak hukum yang dimiliki oleh seorang saksi. Walaupun jika kita telaah lebih dalam bahwa hak-hak saksi selalu berbanding lurus dengan hak-hak seorang tersangka/terdakwa. Artinya penyebutan hak seorang saksi selalu berada dalam satu redaksional dengan hak seorang tersangka/terdakwa.

Hal ini sudah barangtentu merupakan pengaturan yang bersifat jangka pendek, dimana sejalan dengan perkembangan masyarakat, jenis dan model tindak pidana menjadi sangat variatif, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari tindak pidana tersebut.

Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk "mengoreksi" pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR/RBg, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang kita mendengar rintihan pengalaman di masa HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan. Demikian juga dengan "pemerasan" pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant).

KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada saksi, korban dan tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang.

Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah, dalam praktek perkara pidana kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam persidangan merupakan satu-satunya saksi. Padahal dalam peradilan pidana berlaku prinsip unus testis nulus testis, yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi, sehingga apabila tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan berwujud putusan lepas dari segala tuntutan.

Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Berhubungan dengan hal tersebut, saksi merupakan salah satu faktor penting dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan dijadikan acuan dalam menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan sebuah penyelidikan, penyidikan, dan bahkan pembuktian di pengadilan.

Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan hukum terutama hokum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana.

Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakkannya tidak semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan keterangan saksi. Hal ini terbukti bahwa masih banyak korban kejahatan, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan terhadap anak, kejahatan terhadap perempuan dan kejahatan kejahatan lain dimana saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan kejahatan yang dilakukan terhadap diri korban itu sendiri.

Posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini memang sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak secara khusus memberikan perlindungan, kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi termasuk saksi korban, hanya ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang memberikan hak pada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Jadi hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa.

Kepentingan atau hak saksi yang dilindungi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana hanya satu pasal yakni Pasal 229, sehingga dalam prakteknya dijumpai hal yang mengecewakan yaitu dimana hak saksi untuk menggantikan biaya setelah hadir memenuhi panggilan dalam proses peradilan tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan alasan klasik yaitu tidak ada dana.

Kondisi saksi termasuk korban yang berada pada posisi yang lemah, justru Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahkan mengancam dengan pidana apabila saksi tidak datang untuk memberikan keterangan setelah menerima panggilan dari penegak hukum. Selanjutnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mewajibkan saksi untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan keterangan tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan keterangan dengan sungguh-sungguh dengan apa yang diketehaui, baik yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi. Berbicara tentang kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-undang memberikan hak bagi saksi berupa perlindungan bagi saksi itu sendiri.

Praktek Internasional, statuta pengadilan-pengadilan dan persidangan (tribunal) pidana internasional mengakui pentingnya kesaksian ini sebelum jurisdiksi ini dilindungi olehnya. Mereka telah mengembangkan langkah-langkah perlindungan yang akan dijamin untuk kesaksian sebelum, selama dan setelah proses pengadilan, dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk melindungi hak atas pengadilan yang fair bagi terdakwa. Jurisprudensi ini merupakan sumber yang penting bagi pengadilan pidana internasional dan prosedur tentang perlindungan saksi.

Hukum Acara dan Pembuktian (Rules and Procedure of Evidence) mengakui hak-hak saksi seperti berikut : tidak mempublikasikan identitas mereka, perlindungan kerahasiaan saksi, prosedur menetapkan langkah-langkah untuk perlindungan saksi, melakukan sesi-sesi khusus (close hearing), membeberkan bukti-bukti yang tidak membahayakan keselamatan saksi, diskresi luas pengadilan untuk mengakui bukti-bukti, keadaan kesaksian, tata cara pembuktian dalam kasus kekerasan seksual.

Keputusan untuk mengijinkan, dalam kondisi tertentu, identitas saksi dan korban untuk dirahasiakan di depan terdakwa bahkan di tingkat pengadilan telah menjadi tantangan, dan hal tersebut melanggar hak-hak terdakwa atas pengadilan yang fair, yang meliputi antara lain, akses penuh terdakwa serta pengacaranya terhadap seluruh bukti-bukti di pengadilan.

Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara wajib diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini diperkuat oleh Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (bersama dengan hak atas hidup) Pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi Amerika.

Di Indonesia, jaminan perlindungan hukum terhadap Saksi diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor (whistleblower) yang sebelumnya terserak-serak dalam beberapa peraturan.

Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh pemerintah merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini dalam kerangka penegakan hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip Good Governance yakni tegaknya supremasi hukum.

Tentunya kita masih ingat dengan jelas, atraksi sirkus dari Komjen Pol Susno Duadji yang membongkar keberadaan mafia hukum di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kemudian beliau juga terjerat kasus mafia hukum pada perkara lainnya. Peristiwa hukum kedua, atraksi tes mental dari Bapak Agus Condro yang bernyanyi tentang kasus suap cek perjalanan terkait pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI (DGS BI).

Dan pemain sirkus satu lagi adalah M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang tersangkut kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Yang akhirnya Beliau juga mengikuti jejak senior nya melakukan senandung merdu mengenai oknum-oknum yang di-klaim olehnya juga turut terlibat.

Walaupun sebenarnya masih terdapat beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana akhirnya berketetapan hati tidak akan jatu sendiri kecuali secara berjamaah di-bui, namun ketiga orang ini sangat menarik perhatian publik.

Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) serta LSM-LSM pegiat anti korupsi, berebut menyematkan gelar whistleblower kepada mereka. Sehingga muncullah opini publik, bahwa ketidakadilan telah terjadi dan menimpa kepada mereka.

Secara pribadi, Penulis sepakat, bahwa mereka adalah orang-orang yang berani dalam mengungkapkan kasus, terlepas adanya dendam pribadi ataupun karena panggilan hati nurani. Namun, disini Penulis mencoba meluruskan beberapa hal sesuai dengan kapasitas dan kompetensi diri Penulis.

B. Rumusan MasalahKekecewaan dari berbagai kalangan terhadap putusan pada kasus Agus Condro, yang menempatkan beliau sebagai seorang whistleblower, menuntut agar dibebaskannya Agus Condro sebagai terdakwa. Hal ini dilandaskan kepada peranannya dalam membongkar perilaku suap di kalangan DPR kala itu. Demikian pula kriminalisasi kepada Komjen Susno Duadji, merupakan perilaku yang sarat dengan politis, dimana beliau merupakan orang yang pertama membongkar betapa bobroknya dunia perpajakan di Indonesia.

Sehingga pada karya ilmiah ini, Penulis mencoba untuk melakukan kajian singkat, berkaitan dengan pertanyaan:

Benarkah mereka (Susno Duadji, Agus Condro, & M. Nazaruddin) pantas disebut sebagai whistleblower?

C. Pembahasan/Analisis1. Pengertian Saksi, Korban, Pelapor, Dan Pengungkap Fakta (Whistleblower)Sebelum membahas lebih jauh, maka perlu Penulis sampaikan mengenai istilah-istilah yang akan menjadi entry point dalam pembahasan ini, yaitu:

a. SaksiKitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan ketentuan yang mengatur mengenai Hukum Acara Pidana, dimana di dalamnya juga mengatur tentang eksistensi Saksi.

Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan sebagai berikut:Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 1 juga menyatakan sebagai berikut:Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

Secara makna tidak ada yang berbeda hanya saja ada sedikit penyempurnaan bahasa saja.

Saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka sidang pengadilan, yang mendapat tugas membantu pengadilan yang sedang perkara.

Di dalam praktek juga dikenal dengan istilah Saksi a charge dan saksi a decharge. Dimana Saksi a Charge merupakan Saksi yang memberatkan/memberikan keterangan di dalam pemeriksaan sidang yang memberatkan Terdakwa/Tersangka, sedangkan Saksi a Decharge adalah Saksi yang meringankan/memberikan keterangan di dalam pemeriksaan sidang yang meringankan Terdakwa/Tersangka.

Namun pendefinisian Pasal 1 angka 26 KUHAP tersebut kemudian diperluas kembali oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut:

Menyatakan Pasal 1 angka 26 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi, tidak dimaknai termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Menyatakan Pasal 1 angka 26 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi, tidak dimaknai termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP karena arti penting saksi berdasarkan relevansi kesaksiannya

Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP bertentangan satu dengan yang lain. Akibatnya, berpotensi melanggar prinsip negara hukum, pengakuan jaminan kepastian hukum yang adil, dan persamaan di depan hukum. Kecuali, jika Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP ditafsirkan tidak terbatas pada saksi yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri, tetapi juga saksi itu berhubungan dengan suatu perkara yang bersifat menguntungkan/meringankan tersangka/terdakwa.

Pendapat itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum UGM Edi OS Hiariej saat memberikan keterangan dalam pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan Yusril Ihza Mahendra di Gedung MK Jakarta, Selasa (18/1). Yusril mengujiPasal 1 angka 26 dan 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP terkaithak tersangka/terdakwa untuk menghadirkan saksi yang menguntungkan (saksi/saksi ahli) di semua tingkat pemeriksaan.

b. KorbanDi dalam KUHAP tidak ditemukan pendefinisian mengenai istilah Korban, karena di dalam KUHAP lebih terkonsentrasi untuk membahas Saksi dan Tersangka/Terdakwa semata.

Berdasarkan literatur perundang-undangan di Indonesia, istilah Korban ditemui dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Pada Pasal 1 angka 2 PP No. 2/2002 ditegaskan sebagai berikut:Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Setelah Tahun 2006, baru ditemui kembali definisi mengenai Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, dimana pada Pasal 1 angka 2, menegaskan sebagai berikut:Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian korban kejahatan adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system).

Kemudian pengertian korban berdasarkan ketentuan angka 1 Declaration Of Basic Principles Of Justice For Victims Of Crime And Abuse Of Power pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa:Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.

Kemudian, lebih jauh pengertian korban ini oleh Arif Gosita diartikan sebagai, mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.

Lebih lanjut maka dapat diklasifikasikan korban kejahatan ada yang sifatnya individual (individual victims) dan kolektif (collective victims), korban kejahatan bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan tidak langsung (korban semu/abstrak) yaitu masyarakat, seseorang, kelompok masyarakat maupun masyarakat luas dan selain itu kerugian korban juga dapat bersifat materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.

c. PelaporDi dalam KUHAP tidak diatur secara tegas definisi istilah Pelapor, namun KUHAP mendefinisikan istilah Laporan, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP adalah sebagi berikut:Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Melihat definisi tersebut, sebenarnya sudah menyebutkan secara tersirat mengenai pengertian dari Pelapor, hanya saja tidak secara tegas dinyatakan sebagai pengertian dari Pelapor.

Istilah Pelapor dapat ditemui di dalam KUHAP pada Pasal 103 KUHAP yang menegaskan sebagai berikut:

Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.

Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur adalah Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, pada Pasal 1 angka 2 menegaskan sebagai berikut:

Pelapor adalah setiap orang yang:a.Karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang; atau

b.Secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.

Istilah Pelapor juga di temui di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana ditegaskan di dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) adalah sebagai berikut:Pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.

Dari mulai KUHAP, PP No. 57/2003 dan UU No. 13/2006 mengalami pergeseran makna dari kata Pelapor. Baik KUHAP maupun PP No. 57/2003 memiliki makna yang sama, yaitu seseorang yang melakukan pemberitahuan atau melaporkan adanya suatu tindak pidana, sedangkan pada UU No. 13/2006 memberikan pengertian dengan menggunakan frase kalimat ........memberikan informasi.......

Menurut Penulis, memberikan laporan/pemberitahuan adalah berbeda dengan memberikan informasi. Dalam memberikan laporan/pemberitahuan ada kewajiban hukum untuk melengkapi laporannya dengan bukti-bukti yang mendukung, sedangkan memberikan informasi tidak menimbulkan kewajiban hukum bagi yang memberikan informasi tersebut. Sehingga makna Pelapor tidak ada bedanya dengan fungsi yang dimiliki oleh insan Pers atau media massa.

d. WhistleblowerIstilah whistleblower secara yuridis tidak ada dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga tidak akan ditemui di dalam UU manapun juga di Indonesia ini yang mengatur dan mendefiniskan kata whistleblower.

Sehingga bisa dipastikan bahwa konsepwhistleblowerlebih banyak diusung oleh Negara-Negara Anglo Saxon, khususnya Amerika, dan Negara-Negara Commonwhealth (Negara-negara Jajahan Inggris).

Menurut Whistleblower Protection Act 1989 United States menjelaskan sebagai berikut:A whistleblower is a present or former employee or member of an organization who reports misconduct.

Dan menurut UU di Negara Bagian Amerika Michigan, disebutkan sebagai berikut:

Employees who report a violation or suspected violation of state, local, or federal law.

Sedangkan di Indonesia, hanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengeluarkan pengertian mengenai whistleblower. Dimana dalam KPK Whistleblowers System (KWS) ditegaskan sebagai berikut:

Seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.

Namun setelah diadakan pertemuan antar institusi Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung dan LPSK) pada tanggal 19 Juli 2011, maka dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dengan jelas menggunakan istilah whistleblower kepada Pelapor Tindak Pidana.

2. Kesalahan Konsep Whistleblower (Pengungkap Fakta) Dalam Sistem Hukum Pembuktian di IndonesiaIstilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai peniup peluit, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola ataui olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah peluit peluit diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.

Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban yang ternyata tidak memberikan pengertian tentang pengungkap fakta (whistleblower), dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi dan pengertian korban.Untuk dapat memahami makna dari whistleblower, maka perlulah Penulis ungkapkan definisi yang diambil berdasarkan sumber aslinya, yaitu dari negara-negara sistem hukum common law, pada umumnya. Dimana istilah Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah :

a. Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Protection Act (WPA) of 1989

Whistleblower Protection Actyang pertama di AS dibuat pada 1912 dan dikenal sebagaiLloyd-Lafollette Actdi mana seorang pegawai federal mendapat perlindungan hukum untuk memberikan Kongres keterangan ada kriminalitas yang merugikan negara. Pada tahun sembilan belas tujuh puluhan dan selanjutnya banyak lagi undang-undang yang sama dibuat oleh Kongres di berbagai bidang untuk mencegah pelanggaran hukum dan melindungi seperti air bersih, bahan-bahan beracun, limbah, nuklir sampaicorporate fraud.

Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.Berdasarkan WPA 1989 ditentukan sebagai berikut:

"Bahwa setiap pengungkapan informasi dari seorang karyawan dirahasiakan jika "cukup yakin" adanya bukti "pelanggaran hukum, aturan, atau peraturan" atau bukti "mismanagament, pemborosan keuangan, suatu penyalahgunaan wewenang, atau bahaya substansial dan spesifik terhadap kesehatan masyarakat atau keselamatan "yang dilindungi, maka pengungkapan tersebut tidak dilarang oleh hukum atau jika dibutuhkan harus dirahasiakan oleh Orde Eksekutif.

Bahkan saat ini di Amerika terdapat pengaturan whistleblower untuk pihak swasta, contohnya seperti Pharmacy whistleblower. Pharmacy Whistleblower adalah istilah yang sudah dikenal di AS, diperuntukkan bagi farmasis atau apoteker yang berani mengungkapkan tindakan perusahaannya yang melanggar hukum (biasanya perusahaan farmasi raksasa) kepada pihak yang berwenang. Jika tidak diungkapkan, niscaya pemerintah AS akan mengalami kerugian material yang besar, di samping juga bisa membahayakan masyarakat pengguna obat dan alat kesehatan.

Selama ini, peranPharmacy Whistleblowerdi AS sangat signifikan. Sudah banyak perusahaan farmasi yang ditindak berkat jasa Pharmacy Whistleblower, karena perusahaan tersebut terbukti melakukan kecurangan, mengambil jutaan dolar uang bukan haknya - ataupun melakukan kegiatan yang tidak diperbolehkan menurut undang-undang AS.

b. Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Disclosures Act Nomor 26 Tahun 2000

Whistleblower di Afika Selatan tidak termasuk ke dalam Witness Protecting Act, namun masuk ke dalam Protected Disclosures Act. Yang dimaksud dengan disclosure (pengungkapan) adalah setiap pengungkapan informasi mengenai segala perbuatan majikan, atau pegawai dari majikan itu yang dibuat olehsetiap karyawan yangmemiliki alasan untuk percaya bahwa informasiyang bersangkutanmenunjukkan ataucenderung untuk menunjukkansatu atau5lebih dari berikut ini:

(1). Adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan, sedang dilakukan atau kemungkinan besar akan dilakukan.

(2). Adanya tindakan hukum yang telah dilakukan atau akan dilakukan yang melanggar ketentuan hukum yang mengikat atas dirinya;

(3). Adanya pelanggaran atas rasa keadilan;

(4). Adanya kegiatan yang dilakukan mengakibatkan kerusakan atas kesehatan ataupun keamanan seseorang;

(5). Adanya tindakan yang merusak lingkungan ataupun mungkin dapat merusak;

(6). Adanya perilaku tidak adil sebagaimana diatur dalam UU Promosi Keseteraan dan Pencegahan Tindakan Diskriminasi Yang Tidak Sehat (UU No. 4 Tahun 2000); atau

(7). Adanya perilaku yang menyembunyikan atau sedang menyembunyikan perilaku mulai point (a) hingga point (f) tersebut diatas.Adapun obyek yang dimaksud di dalam UU ini adalah:

(1). Untuk melindungikaryawan,baik diswasta atausektor publik, menjadi subyek dari suatu merugikan pekerjaan karena telah melakukan pengungkapanyang dilindungi;(2). Untuk menyediakan solusi tertentu sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh pekerja karena telah melakukan pengungkapan yang dilindungi; dan

(3). Untuk menyedian prosedur dimana seseorang pengungkap dapat memberikan keterangan secara bertanggung jawab berkaitan dengan informasi mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh majikannya.

Ada beberapa subyek hukum yang dilindungi oleh UU Afrika selatan dalam masalah pengungkapan fakta, yaitu:

(1). Karyawan atau mantan karyawan;

(2). Penasehat Hukum;

(3). Pemilik Usaha atau Majikan;

(4). Anggota Kabinet atau Dewan Ekslusif; dan

(5). Orang atau Badan tertentu.c. The States of Michigan, Whistleblower diatur dalam The Whistleblower Protection Act 469 of 1980. Di dalam UU Whistleblower No 469 Tahun 1980 pada Negara Bagian Michigan, dimana UU tersebut memberikan batasan ruang lingkup sebagai berikut:

An Act to provide protection to employees who report a violation or suspected violation of state, local, or federal law; to provide protection to employees who participate in hearings, investigations, legislative inquiries, or court actions; and to prescribe remedies and penalties.

(Terjemahan bebas ( sebuah UU yang memberikan perlindungan kepada karyawan yang melaporkan adanya pelanggaran atau dugaan pelanggaran terhadap Hukum Negara, Lokal (daerah) atau Hukum Federal; untuk memberikan perlindungan kepada karyawan-karyawan yang berpasrtispasi dalam dengar pendapat, investigasi, untuk kepentingan Legislatif dan tindakan pemeriksaan Pengadilan; dan untuk menentukan upaya hukum dan pemidanaannya).

Adapun yang dimaksud dengan employee dalam UU tersebut adalah sebagaimana ditegaskan dalam Section 1 (a) sebagai berikut:

Orang yang memperoleh upah atau imbalan lainnya sebagaimana tertuang di dalam kontrak, baik secara tertulis maupun lisan, tersurat maupun tersirat. Karyawan termasuk di dalamnya seseorang yang dipekerjakan oleh Negara atau Lembaga Negara lainnya kecuali yang diklasifikasikan sebagai layanan sipil.

Seorang Whistleblower dilindungi dari tindakan pemecatan dan diskriminasi lainnya oleh Majikan/Pemilik Usaha, hanya karena karyawan tersebut melakukan pelaporan atas dugaan adanya pelanggaran hukum, atau ketika seorang karyawan diminta oleh Badan Publik untuk berpartisipasi dalam penyelidikan, mendengar atau menjawab pertanyaan baik dari Badan Publik atau dari Pengadilan.

d. Australia, Whistleblower diatur dalam The Public Interest Disclosures Act 92 of 1994 The State of New South Wales of Australia Undang-Undang ini memberikan perlindungan bagi pejabat publik mengungkapkan perilaku korup, maladministrasi, limbah dan perilaku pemerintah bertentangan informasi di sektor publik, dan untuk tujuan yang terkait.Adapun tujuan dari UU ini adalah sebagai berikut:

Untuk mendorong dan memfasilitasi pengungkapan, dalam kepentingan publik, perilaku korup, maladministrasi, limbah yang serius dan substansial dan pemerintah bertentangan informasi di sektor publik dengan:

(1). Meningkatkan dan menambah prosedur yang ditetapkan untuk membuat pengungkapan mengenai hal-hal seperti itu, dan(2). Melindungi orang dari pembalasan yang mungkin akanmenimpa mereka karena mereka mengungkapan, dan

(3). Untuk kepentingan pengungkapan, maka harus diselidiki dan ditangani dengan seimbang.Perlindungan terhadap Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 The Public Interest Disclosures Act 92 of 1994, dimana telah ditentukan bahwa identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggung jawaban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.

e. Inggris, Whistleblower diatur Public Interest Disclouse Act 1998.

Tujuan dari dibentuknya UU ini adalah sebagai berikut:An Act to protect individuals who make certain disclosures of information in the public interest; to allow such individuals to bring action in respect of victimisation; and for connected purposes.

(Terjemahan bebas ( Undang-undang untuk melindungi individu yang membuat pengungkapan informasi tertentu dalam kepentingan publik, untuk memungkinkan orang tersebut untuk membawa berkenaan dengan korban, dan untuk tujuan terkait).

Sedangkan hal-hal yang dikualifikasikan ke dalam suatu pengungkapan menurut UU ini adalah sebagai berikut:

(1). Bahwa tindak pidana telah dilakukan, sedang dilakukan atau kemungkinan besar akan dilakukan;

(2). Bahwa seseorang telah gagal, gagal atau mungkin gagal untuk mematuhi kewajiban hukum yang dia tunduk;

(3). Bahwa kesalahan keadilan telah terjadi, terjadi atau mungkin terjadi;

(4). Bahwa kesehatan atau keselamatan dari setiap individu telah, sedang atau mungkin akan terancam punah;

(5). Bahwa lingkungan telah, sedang atau mungkin rusak, atau(6). Bahwa informasi yang cenderung menunjukkan setiap masalah yang berada dalam salah satu dari ayat-ayat sebelumnya telah, sedang atau mungkin sengaja disembunyikan.

Berdasarkan UU ini, maka diketahui bahwa seorang Whistleblower tidak boleh dipecat dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.

3. Pengaturan Whistleblower Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011

Dengan ditolaknya rekomendasi LPSK akan implementasi dari disetujuinya permohonan perlindungan dari Komjen Pol Susno Duadji dan ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU PSK, maka pada tanggal 19 Juli 2011 lalu diadakanlah pertemuan antar institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, LPSK dan Mahkamah Agung. Dimana MA berjanji akan mengeluarkan pengaturan lebih lanjut, maka pada tanggal 10 Agustus 2011 dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Tindak PidanaTertentu.

Di dalam SEMA No. 4/2011 tersebut sudah mengadopsi definisi mengenai whistleblower sebagaimana umumnya. Dimana pada point 8 (a) SEMA No. 4/2011 menegaskan sebagai berikut:

Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum di Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower. Namun keberadaan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU PSK itu sendiri dengan dimasukannya point 8 (b) yang menegaskan sebagai berikut:

Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan oleh Terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari Terlapor.

Mari kita dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU PSK, yang menegaskan sebagai berikut:

Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Jika di dalam UU PSK telah tertutup bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata, namun SEMA No. 4/2011 justru peluang untuk dituntut oleh Terlapor kembali dibuka. Hal ini Penulis simpulkan berdasarkan kalimat ...........penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari Terlapor.

Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara yang dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka kemudian perkara yang dilaporkan oleh Terlapor akan dapat di proses. Sehingga seorang whistleblower akan menghadapai tuntutan pidana dan/atau perdata atas perkara yang ia laporkan.

Jelas didalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat bersayap yang dapat ditarik ulur penafsirannya. Mengapa tidak ditegaskan saja bahwa seorang whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa dilaporkan kembali karena laporannya. Penulis berpendapat bahwa SEMA ini justru bertentangan dengan UU PSK.

Dari penelusuran Penulis ke berbagai peraturan perundang-undangan di berbagai negara, hanya di Indonesia pengaturan mengenai whistleblower diatur di dalam SEMA. Sedangkan di negara-negara lain, whistleblower diatur di dalam UU tersendiri. Bahkan tidak dijadikan satu dengan UU Perlindungan Saksi. Untuk perlindungan saksi biasanya disebut dengan Witness Protection Act, sedangkan untuk whistleblower biasanya diatur dalam Public Interest Disclousure Act atau Public Disclousure Act.

Istilah whistleblower merupakan istilah baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Namun, di Indonesia terdapat istilah saksi mahkota atau Crown Witness. Dimana salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman. Sistem ini di negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Prancis dan Italia sudah lama diterapkan dengan menggunakan konsep protection of cooperating person. Sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea bargaining yang pada intinya sama dengan konsep protection of cooperating person.Namun, konsep whistleblower lebih banyak diusung oleh Negara-Negara Anglo Saxon, khususnya Amerika, dan Negara-Negara Commonwhealth (Negara-negara Jajahan Inggris).Konsep whistleblower dengan konsep protection of cooperating person adalah dua hal yang sangat berbeda. Pada konsep whistleblower, si pengungkap fakta sama sekali tidak dipidana sedangkan pada konsep protection of cooperating person, si pengungkap fakta tetap bisa dipidana namun mendapat keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada Pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (Justice Collaborators) dalam mengungkap kerumitan kasus.

Di Indonesia, konsep whistleblower tidak diatur secara tegas. Jika melihat definisi pada Penjelasan Pasal 10, maka ada kemiripan antara istilah whistleblower dengan Pelapor. Bahkan di dalam wacana yang berkembang, konsep whistleblower juga dikaitkan dengan saksi yang berasal dari kelompok Pelaku, misalnya Kasus Agus Condro dan Kasus M. Nazaruddin. Sehingga di Indonesia sebenarnya lebih cenderung mengadopsi konsep protection of cooperating person dibandingkan konsep whistleblower.Tabel Perbandingan

Whistleblower Dan Protection Of Cooperating PersonWhistleblowerProtection Of Cooperating Person

SubyekMantan atau Masih sebagai Pegawai suatu instansi1. Bagian dari kelompok pelaku tindak pidana

2. Mantan atau Masih sebagai Pegawai suatu instansi

MotivasiKesadaran Diri & Hukum1. Balas Dendam

2. Mengharapkan Keringanan Pidana

3. Keinsyafan

PemidanaanTidak Dapat DipidanaDipidana dengan keringanan

KoneksitasTidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsungTerlibat dugaan Tindak Pidana

Hukum AcaraMemberikan Keterangan diluar SidangMemberikan Keterangan diluar Sidang, jika dipandang perlu

Jaminan Perlindungan1. Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

2. Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

3. Tertutup oleh Media

4. Jaminan Pekerjaan1. Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

2. Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

Sehingga Pasal 10 UU PSK tersebut lebih cenderung memiliki kesamaan kepada asas plea bargaining yang dimiliki oleh United States of America (USA), dimana asas plea bargaining tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut.

Dari pencarian Penulis mengenai makna dan fungsi dari suatu Surat Edaran, akhirnya Penulis menemukan referensi yang mendefinisikan makna dan fungsi dari Surat Edaran, yaitu:

Surat Edaran adalah jenis surat dinas yang berisi penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu ketentuan atau peraturan dari pejabat tertentu kepada bawahan atau karyawan.

Sehingga SEMA atau Surat Edaran Mahkamah Agung adalah merupakan surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya. Nah, anehnya SEMA No 4/2011 ini masih membutuhkan petunjuk lebih lanjut.

Dalam banyak hal SEMA tersebut justru tidak memberikan petunjuk pelaksanaannya, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Di dalam UU PSK, Pelapor hanya diberikan imunitas terhadap tuntutan baik pidana maupun perdata. Berhak kah Pelapor untuk menikmati Pasal 5 UU PSK, karena Pasal 5 UU PSK hanya ditujukan kepada Saksi dan Korban?

2. Bila terjadi conflict of interest, seperti pada kasus Komjen Pol Susno Duadji, institusi mana yang berwenang memberikan perlindungan hukum? Karena SEMA ini hanya berlaku pada ruang lingkup penuntutan dan pemeriksaan di dalam sidang. Sedangkan pada tahap Kepolisian hanya sebagai tembusan artinya tidak mengikat kepada POLRI.

3. SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan diberikan kepada justice collaborators ? Karena di USA, keringanan hukuman ditegaskan sekitar 35% dari ancaman pidana atau penurunan pelanggaran dua atau tiga tingkat. Berkaca kepada Kasus Agus Condro yang dituntut 1 tahun 6 bulan oleh JPU dan mendapat keringanan oleh Majelis Hakim karena Agus Condro sebagai pelapor hanya 3 bulan, menjadi 1 tahun 3 bulan. Sebegitu besarnya kasus yang diungkap oleh Agus Condro, namun hanya mendapat keringanan 3 bulan.

4. Digolongkan sebagai apakah ketika seseorang melaporkan dugaan tindak pidana dan ternyata ia juga sebagai salah satu pelaku? Saksi Pelaku ataukah Pelapor?

5. Bagaimana jika seorang Pelapor kehilangan imunitasnya karena ada itikad tidak baik? Apakah laporannya secara otomatis ditolak atau bagaimana?

6. LPSK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah seseorang layak mendapat perlindungan hukum atau tidak. Jika dianggap layak, maka seseorang akan berada di dalam salah satu status, saksi kah, saksi pelaku kah, korban kah atau Pelapor kah? Persetujuan atas suatu permohonan dituangkan ke dalam sebuah perjanjian. Apakah kemudian Perjanjian tersebut kemudian dijadikan acuan oleh Jaksa untuk menyusun tuntutannya ataukah Perjanjian itu dijadikan salah satu alat bukti yang meringankan oleh Hakim? Karena di dalam SEMA, ditegaskan agar Hakim tetap wajib mempertimbangkan.

7. Di dalam point 7 SEMA No 4/2011, ditegaskan agar Hakim memberikan keringanan pidana bagi justice collaborators atau bentuk perlindungan lainnya. Ini juga point yang menyesatkan, karena kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum yang diberikan oleh UU PSK adalah kepada LPSK bukan kepada Hakim. Kecuali ditegaskan atas permintaan Hakim kepada LPSK untuk memberikan perlindungan hukum, karena di dalam proses pemeriksaan saksi pelaku pantas untuk dilindungi.

8. Terkait dengan point 7 SEMA No 4/2011, apakah bisa seorang saksi pelaku yang mengajukan permohonan kepada Hakim untuk diberikan perlindungan hukum, terkait dengan Pasal 29 point (a) jo Pasal 32 ayat (1) huruf (b) UU PSK. Dimana disebutkan bahwa ......atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan.Inilah keanehan-keanehan SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana dari Pasal 10 UU PSK, justri semakin menambah panjang permasalahan. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai definisi whitleblower yang berbeda dengan hukum asalnya, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4/2011 justru semakin menampakkan kejanggalan dalam pola pikir hukum nya.

D. KesimpulanBerdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sudah dapat disimpulkan bahwa telah terjadi salah persepsi dalam memaknai istilah whistleblower dan justice collaborator di Indonesia. Akibat dari kesalahan pemaknaan tersebut sehingga legal policy atas pengaturannya pun menjadi tidak komprehensif dan efektif.Jika telah mengetahui makna sesungguhnya dari istilah whistleblower dan justice collaborator, maka dikaitkan dengan kasus-kasus yang pernah terjadi, baik Agus Condro maupun M. Nazaruddin, sama sekali tidak tepat jika disematkan istilah whistleblower kepada mereka. Akan tetapi agak sedikit berbeda pada perkara dari Komjen Susno Duadji, dimana beliau dalam perkara mafia pajak, tepat untuk disebut sebagai whistleblwoer. Namun dalam perkara penggelapan dana pemilu di Jawa Barat adalah murni sebagai pelaku tindak pidana, walaupun demikian, akibat pengaturan yang tidak jelas, terdapat hak hukum dari Komjen Susno Duadji yang telah dilanggar.

Terlepas dari adanya kesemerawutan dalam legal drafting, maka sebenarnya dalam kajian Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), terdapat adanya ketidaksinkronan dan ketidakharmonisan dalam membangun kinerja institusi-institus penegak hukum. Nampak sekali betapa kentalnya arogansi sektoral yang telah membudaya dalam sistem birokrasi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku-Buku:

Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Pedoman Perlindungan Terhadap Saksi dan Pekerja HAM, Jakarta : Elsam, 2006. Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004.

Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung : PT. Grafitri, 2006.

Kasim, Ifdhal, Hak Sipil dan Politik (Esai-esai pilihan), Buku 1, Jakarta : Eslam.2001.

Marbun, Rocky, dkk, Kamus Hukum Lengkap, Jakarta: Visimedia, 2012.Mulyadi, Lilik, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban Kejahatan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007.Artikel/Makalah/Jurnal:

Seminar Hukum Nasional I, di Jakarta, di Aula Universitas Indonesia, Salemba pada tanggal 11 Maret 1963, Sumber : http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693A. Samson Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM, http://hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham, tanggal 16 Oktober 2006.

Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil, http://pemantauperadilan.org/perlindungan-saksi-dan-korban-surastini-fitriasih, di download tanggal 1 Agustus 2011.

Perubahan Definisi Saksi Dalam KUHAP, Sumber: http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.htmlAturan Saksi Dalam KUHAP Dinilai Saling Bertentangan, Sumber: http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.htmlRocky Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk Pelaksana Yang ButaArah, Sumber: http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/, tanggal 21 September 2011

http://kws.kpk.go.id/

Whistleblower Dan Perkembangan Demokrasi, Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371183/, tanggal 22 Desember 2010

L. Paige Whitaker, The Whistleblower Protection Act: An Overview, Congressional Research Service: Order Code RL33918, March 12, 2007.

Eddy O.S. Hiariej, Legal Opini:Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Newsletter Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No. 6 Tahun 2010Undang-Undang:

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945

________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

United States of Michigan, The Whistleblowers Protection Act 469 of 1980 South of Africa, Protected Disclosure Act 26 of 2000

The State of New South Wales of Australia, The Public Interest Disclosures Act 92 of 1994

United Kingdom of England, Public Interest Disclosure Act 1998

Ketua Umum Pusat Studi Litigasi dan Kajian Ilmu Hukum (PUSLIKUM) Indonesia, Jakarta. Email: [email protected]

Seminar Hukum Nasional yang pertama di Jakarta, yaitu bertempat di Aula Universitas Indonesia di Salemba pada tanggal 11 Maret 1963, dimana Prof. Oemar Seno Adji, S.H., dalam pemaparannya menyatakan: Menyerukan dengan sangat agar supaya rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan. Lihat : HYPERLINK "http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693" http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693

A. Samson Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM, http://hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham, tanggal 16 Oktober 2006.

Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil, http://pemantauperadilan.org/perlindungan-saksi-dan-korban-surastini-fitriasih, di download tanggal 1 Agustus 2011.

Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Pedoman Perlindungan Terhadap Saksi dan Pekerja HAM, (Jakarta : Elsam, 2006), hlm. 12.

Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-esai pilihan), Buku 1, (Jakarta : Eslam.2001), hlm. 60.

Krisna Harahap,Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : PT.Grafitri, 2006), hlm. 24.

Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta: Visimedia, 2012), hlm. 298.

Lihat Pasal 160 KUHAP

Lihat Pasal 65 KUHAP

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

Perubahan Definisi Saksi Dalam KUHAP, Sumber: HYPERLINK "http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.html" http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.html

Aturan Saksi Dalam KUHAP Dinilai Saling Bertentangan, Sumber: HYPERLINK "http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.html" http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.html

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), hlm. 97.

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban Kejahatan, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), hlm. 12

Rocky Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk Pelaksana Yang ButaArah, Sumber: http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/, tanggal 21 September 2011

The Whistleblowers Protection Act 469 of 1980 United States of Michigan

http://kws.kpk.go.id/

Eddy O.S. Hiariej, Legal Opini:Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Newsletter Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No. 6 Tahun 2010, hlm. 23

Whistleblower Dan Perkembangan Demokrasi, Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371183/, tanggal 22 Desember 2010

L. Paige Whitaker, The Whistleblower Protection Act: An Overview, Congressional Research Service: Order Code RL33918, March 12, 2007, hlm. 6.

Article 1 Protected Disclosure Act 26 of 2000, South of Africa

Section 2 The Whistleblower Protection Act 469 of 1980 The State of Michigan

Section 1 Article 3 The Public Interest Disclosures Act 92 of 1994 The State of New South Wales of Australia

Part IVA Article 43B Public Interest Disclosure Act 1998 United Kingdom of England

Hasil Musyawarah Pimpinan LPSK menetapkan bahwa Komjen Susno Duadji, berdasarkan permohonannya, disetujui untuk memperoleh perlindungan dan akan ditempatkan di Rumah Aman (safe house). Sedangkan pada saat itu, Komjen Susno Duadji merupakan tahanan Penyidik Mabes Polri.

Rocky Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk Pelaksana Yang Buta Arah, Sumber: http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/