Sampah Tut Faringitis
-
Upload
reza-satria-nugraha -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
description
Transcript of Sampah Tut Faringitis
SKENARIO 3: Tonsilitis KronikDD : Tonsilitis, Pharyngitis, Hipertrofi Adenoid, Laryngitis
PENDAHULUAN
Skenario
Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun mengeluh badan panas, nyeri menelan dan
disertai pembesaran kelenjar leher. Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3
tahun. Penderita sudah berobat ke puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan
dan diantara 2 periode terakhir masih terasa sakit waktu menelan, pembesaran kelenjar leher
tidak menghilang, bahkan disertai suara serak. Pada pemeriksaan:
Hidung : mukosa edem, hiperemi, beringus
Telinga : membrana timpani retraksi
Pharynx : pembesaran tonsil T2-T2 fibrosis, cripte melebar terdapat detritus, adenoid
tampak menonjol, hiperemi, plika tonsilaris anterior hiperemeis, mukosa faring
hiperemis
Larynx : plika vokalis oedem dan hiperemis
Leher : terdapat pembesaran kelenkar limfe leher, nyeri tekan.
Pemeriksaan ASTO= +, lekositosis, LED meningkat
Pemeriksaan rontgen nasofaring terlihat adenoid membesar
Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pasien?2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari pasien
dalam kasus?3. Apa saja diagnosis banding dari keluhan pasien dalam kasus?4. Bagaimanakah penatalaksanaan dari pasien dalam kasus?
Hipotesis
Pasien mengalami tonsillitis kronik.
TINJAUAN PUSTAKA
Pemeriksaan ASTO
Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi infeksi oleh
Streptokokus. Streptolisin O bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan ASTO umumnya
berdasarkan sifat ini (Soetarto & Latu, 1981).
Sistem Aliran Limfe Leher
Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang berasal dari daerah
palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis, dan supraglotik laring.
Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius,
parotis, servikalis superficial, dan kelenjar limfa submandibula (Roezin, 2007).
Kelenjar limfa subamndibula, terletak di sekitar kelenjar liur submandibula dan didalam
kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur
submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga
mulut, bagian medial kelopak mata, palatum molle, dan 2/3 depan lidah. Pembuluh limfe
mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior (Roezin, 2007).
Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Akut
Proses patologis tonsillitis akut (Adams, 1997):
1. Peradangan biasa daerah tonsila saja.2. Pembentukan eksudat.3. Selulitis tonsilla dan daerah sekitarnya.4. Pembentukan abses peritonsilar.5. Nekrosis jaringan.
Tonsillitis Viral
Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab
paling sering adalah virus Epstein-Barr (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Bakterial
Etiologi
Kuman grup A Streptococcus β haemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumokokus, Streptokokus viridian, dan Streptococcus pyogenes (Rusmardjono & Soepardi,
2007).
Patofisiologi
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan
epitel yang terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak
detritus juga dapat melebar membentuk pseudomembran yang menutup tonsil (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan,
demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena nyeri
alih melalui N. IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar submandibula bengkak dan nyeri
tekan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang
mengandung desinfektan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy
throat), abses parafaring, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, arthritis serta septikemia
akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil mengakibatkan
pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena sleep apnea
(Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Kronik
Patologi
Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga kripti melebar,
yang kemudian diisi dengan detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan melekat dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembengkakan
kelenjar submandibula (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar, diisi oleh detritus. Rasa
tenggorok mengganjal, kering, napas berbau (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini (Adams, 1997):
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronik.2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta.4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah dibawah ini (Adams, 1997):
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.2. Infeksi sistemik atau kronis.3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.5. Rhinitis alergika.6. Asma7. Diskrasia darah8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.9. Tonus otot yang lemah.10. Sinusitis
Komplikasi
Komplikasi pada daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh secara hematogen atau limfogen berupa endokarditis, artritis,
miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis
(Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Hipertrofi Adenoid
Secara fisiologis adenoid membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan
hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering infeksi saluran napas atas maka terjadi
hipertrofi adenoid, sehingga timbul sumbatan koana dan tuba Eustachius (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi a) fasies
adenoid, b) faringitis dan bronkitis, c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut
berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Selain itu
hipertrofi adenoid dapat menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental, dan
pertumbuhan fisik berkurang (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Diagnosis
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat tertahannya gerakan velum palatum molle
saat fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior, pemeriksaan digital untuk meraba adenoid dan
pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Indikasi adenoidektomi berdasarkan satu atau lebih keadaan dibawah ini (Adams, 1997):
1. Obstruksi jalan napas bagian atas kronis dengan akibat gangguan tidur, kor pulmonale, atau sindrom apnea waktu tidur.
2. Nasofaringitis purulen kronis walaupun penatalaksanaan medik adekuat.3. Adenoiditis kronis atau hipertrofi adenoid berhubungan dengan produksi dan persistensi
cairan telinga tengah (otitis media serosa atau otitis media mukosa).4. Otitis media supuratif akut recuren yang tidak mempunyai respons terhadap
penatalaksanaan medic dengan antibiotik profilaksis.5. Kasus-kasus otitis media supuratif kronis tertentu pada anak-anak dengan hipertrofi
adenoid penyerta.6. Curiga keganasan nasofaring (hanya biopsi).
Komplikasi Adenoidektomi
Perdarahan, kerusakan dinding belakang faring jika terlalu belakang, kerusakan torus
tubarius jika terlalu lateral, dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli
konduktif (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Pharyngitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakeri, alergi,
trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Akut
Faringitis Viral
Gejala dan Tanda
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan tonsil
hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat.
Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak
selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak,
pembesaran kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher, dan
pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perludan tablet
isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Bakterial
Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis akut pada dewasa (15%)
dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil tampak
membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada
palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada
penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid dexamethason,
analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Laryngitis
Laringitis Akut
Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis, yang disebabkan
oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus (menyebabkan peradangan sistemik)
(Hermani et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
Terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala lokal seperti suara
parau sampai afoni, nyeri menelan atau bicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat
batuk kering dan kemudian disertai dengan dahak kental (Hermani et.al, 2007).
Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama diatas dan dibawah
pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru
(Hermani et.al, 2007).
Terapi
Istirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara lembab dan iritasi pada faring
dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring
dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi (Hermani et.al, 2007).
Laringitis Kronis
Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau berbicara keras (Hermani
et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
Seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis,
dan terkadang terdapat metaplasi skuamosa. Terdapat gejala suara parau menetap, rasa
tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena
mukosa yang menebal (Hermani et.al, 2007).
Terapi
Mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab
laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vocal rest) (Hermani et.al,
2007).
PEMBAHASAN
Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil
dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 8 tahun, menjadi predisposisi kejadian
hipertrofi adenoid (tonsilla pharyngea). Pada mulanya anak tersebut mengalami infeksi saluran
nafas atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi. Kemudian
sitokin proinflamasi yang dirilis oleh tubuh mengakibatkan terjadinya badan panas, nyeri
menelan disebabkan oleh edema mukosa tonsilla palatina dan pharynx, dan pembesaran
kelenjar leher terjadi akibat penjalaran infeksi melalui jalur limfogen ke kelenjar limfe terdekat.
Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 th, berarti radang tonsil
dan pharynx tersebut termasuk proses radang kronis. Penderita sudah berobat ke puskesmas
setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan mungkin dikarenakan ISPA yang berulang
sehingga inflamasi pada tonsil dan pharynx juga kembali terjadi secara berulang. Suara serak
yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis yang hiperemis dan edema terjadi
sebagai akibat penjalaran proses inflamasi yang telah sampai pada larynx.
Mukosa edem, hiperemi, beringus pada hidung merupakan tanda inflamasi pada
hidung yang terjadi akibat ISPA berulang. Membrana timpani retraksi pada telinga terjadi
akibat tekanan negative pada cavum tympani sebagai konsekuensi dari obstruksi tuba akibat
pembesaran adenoid yang menutup OPTAE di nasopharynx.
Pembesaran tonsil T2-T2 fibrosis menandakan tonsillitis yang berulang sehingga dalam
proses penyembuhan jaringan berubah menjadi jaringan parut. Tonsilla palatine yang terdapat
banyak cripte menyebabkan sisa makanan mudah tersangkut sehingga menjadi predisposisi
terjadinya infeksi. Cripte melebar terdapat detritus menjadi penanda sisa-sisa infeksi.
Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang kemudian menutup
OPTAE, selain itu terdapat kemungkinan inflamasi akibat penjalaran infeksi yang ditandai oleh
hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda terjadinya penjalaran infeksi dan
inflamasi ke pharynx.
Pemeriksaan ASTO= +, menunjukkan bahwa infeksi terjadi akibat bakteri
Streptococcus beta haemolyticus yang sering menyebabkan tonsillitis. Lekositosis, LED
meningkat menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium yang merujuk kepada proses infeksi.
Adanya infeksi meningkatkan system pertahanan tubuh, sehingga terjadi peningkatan leukosit,
sehingga kemudian juga meningkatkan jumlah komponen sel darah dalam plasma, sehingga
darah lebih cepat mengendap. Dugaan terjadinya hipertrofi adenoid juga semakin kuat karena
pada pemeriksaan rontgen nasofaring terlihat adenoid membesar.
Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif, simtomatik, dan suportif atau
rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab dan
tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik dan antipiretik, serta terapi suportif berupa
obat kumur untuk menjaga kebersihan oral.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Adams, George L. Boies,
Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan Laring dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Roezin, Averdi. 2007. Sistem Aliran Limfa Leher dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rusmarjono. Soepardi, Efiaty A. 2007. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetarto. Latu, Jean. 1981. Pemeriksaan Laboratorium pada Beberapa Jenis Penyakit Sendi Menahun dalam Cermin Dunia Kedokteran No.23, Akses di http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05PemeriksaanLaboratorium023.pdf/05PemeriksaanLaboratorium023.html