sambungan konjungtivitis alergi
-
Upload
noval-liady -
Category
Documents
-
view
246 -
download
12
description
Transcript of sambungan konjungtivitis alergi
3. keratokonjungtivitis Atopik
Pasien dermatitis atopik (eksim) sering kali juga menderita keratokonjungtivitis
atopik Tanda dan gejalanya adalah sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan
fotofobia. Tepian palpebranya eritematosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papila-papila halus, tetapi papila raksasa kurang nyata dibandingkan pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior-berbeda dengan papila
raksasa keratokonjungtivitis vernal, yang ada di tarsus superior (Gambar 5-12). Tanda-tanda
kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis
terjadi berulang kali. Timbul keratitis perifer superfisial yang diikuti dengan vaskularisasi.
Pada kasus yang berat, seluruh kornea tampak kabur dan mengalami vaskularisasi, ketajaman
penglihatan pun menurun. Penyakit ini mungkin disertai keratokonus.
Biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma, atau eksim) pada pasien atau
keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopik sejak bayi. Parut pada
lipatan fleksura, lipat siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopik berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami
eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang
aktif saat pasien telah berusia 50 tahun.
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meskipun tidak sebanyak yang terlihat
pada keratokonjungvitis vernal. Sering timbul parut pada konjungtiva maupun kornea, dan
terbentuk katarak atopik plak subkapsular posterior, atau katarak mirip perisai anterior.
Keratokonus, ablatio retinae, dan keratitis herpes simpleks cukup banyak dijumpai pada
pasien dengan keratokonjungtivitis atopik; dan terdapat banyak kasus blefaritis dan
koniungtivitis bakterial sekunder, umumnya oleh stafilokokus.
Penanganan keratokonjungtivitis atopik sering mengecewakan. Setiap infeksi
sekunder harus diobati Harus diusahakan kontrol lingkungan. Terapi topikal jangka panjang
dengan obat penstabil sel mast adalah hal yang terpenting. Antihistamin oral juga bermanfaat.
Obat-obat anti-inflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan lodoxamide, dapat
mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Steroid topikal jangka pendek dapat meredakan
gejala. Pada kasus-kasus berat, plasmaferesis atau imunosupresan sistemik bisa menjadi
terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk memperbaiki ketajaman penglihatannya.
4. Konjungtivitis Papilar Raksasa
Konjungtivitis papilar raksasa dengan tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis
vernal dapat dijumpai pada pasien pengguna lensa kontak atau mata buatan dari plastik. Ini
kemungkinan suatu penyakit hipersensitivitas tipe lambat yang kaya basofil (hipersivitas
Jones-Motel), dengan komponen IgE humoral. Mengganti prostesis mata plastik dengan kaca
dan memakai kaca mata bukan lensa kontak dapat menyembuhkan. Jika lensa kontak tetap
harus dipakai, diperlukan tindakan tambahan. Perawatan lensa kontak yang baik, termasuk
dengan zat bebas pengawet, sangat penting. Disinfeksi dengan hidrogen peroksida dan
pembersihan lensa kontak secara enzimatik juga menolong Penggantian lensa kontak ke jenis
weekly-diposable atau daily disposable mungkin diperlukan jika cara-cara lain tidak
menolong. Bila semua ini gagal, pemakaian lensa kontak harus dihentikan.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT
1. Fliktenulosis
Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah respons hipersensitivitas lambat terhadap
protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemoplilus aegyptius, dan Chlamydia trachomatis serotipe L1, L2,
dan L3. Dulu fliktenulosis di USA paling sering terjadi akibat hipersensitivitas lambat
terhadap protein basil tuberkel manusia. Basil ini masih menjadi penyebab paling umum di
daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Namun, sekarang kebanyakan
kasus yang berhubungan dengan hipersensitivitas tipe lambat di USA disebabkan oleh S
aureus.
Fliktenula konjungtiva timbul sebagai lesi kecil (umumnya berdiameter 1-3 mm) yang
keras, merah, meninggi, dan dikelilingi zona hiperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga,
dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih-kelabu, yang segera menjadi
ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Lesi awal fliktenula dan pada kebanyakan kasus kambuh
(biasanya) terjadi di limbus, tetapi juga yang di kornea, dan, sangat jarang, di tarsus.
Berbeda dengan fliktenula konjungtiva, yang tidak meninggalkan parut, fliktenula
kornea berkembang sebagai infiltrat kelabu amorf dan selalu meninggalkan parut. Sejalan
dengan perbedaan ini, terbentuk parut pada sisi kornea lesi limbus dan tidak pada sisi
konjungtivanya. Hasilnya adalah suatu parut bentuk segi tiga dengan dasar limbus
suatu tanda penting fliktenulosis lama yang mengenai limbus.
Fliktenula konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air mata, tetapi
fliktenula di kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia hebat. Fliktenulosis sering dipicu
oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet. Parut fliktenular, yang
mungkin minimal atau luas, sering kali diikuti dengan degenerasi nodular Salzmann.
Secara histologis, fliktenula adalah infiltrasi sel-sel bulat kecil ke perivaskular dan
subepitel setempat, yang diikuti oleh sejumlah besar sel polimorfonuklear saat epitel di
atasnya mengalami nekrosis dan terkelupas-serangkaian peristiwa yang merupakan ciri khas
reaksi hipersensitivitas tipe tuberkulin lambat.
Fliktenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari infeksi sistemik
lain berespons secara dramatis terhadap kortikosteroid topikal. Terjadi pengurangan sebagian
besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Fliktenulosis oleh protein
statilokokus berespons agak lebih lambat. Antibiotik topikal hendaknya ditambahkan pada
blefarokonjungtivitis stafilokokal aktif. Pengobatan harus ditujukan terhadap penyakit
pencetus; steroid, bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan
parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan transplantasi kornea.
2. Konjungtivitis Ringan Sekunder Akibat Blefaritis Kontak
Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin, antibiotik spektrum-luas,
dan obat topikal lain sering diikuti oleh konjungtivitis infiltratif ringan yang menimbulkan
hiperemia, hipertrofi papilar ringan, sekret mukoid ringan dan sedikit iritasi. Pemeriksaan
kerokan berpulas-Giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel yang berdegenerasi,
sedikit sel polimorfonuklear dan mononuklear, tanpa eosinofil.
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan menghilangkannya.
Blefaritis kontak cepat membaik dengan kortikosteroid topikal, tetapi pemakaiannya harus
dibatasi. Penggunaan steroid jangka-panjang di palpebra dapat menimbulkan glaukoma
steroid dan atrofi kulit dengan telangiektasis yang memperburuk penampilan.