Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

20
1 Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang FOR REFERENCE: Sagala, S., Dodon, Wimbardana, R., Lutfiana, D. (2013) Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang, dalam Anwar, H. (2013) Perencanaan Tata Ruang dan Kebencanaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saut Sagala, Dodon, Ramanditya Wimbardana, Dian Lutfiana Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Jl. Ganesha 10, Bandung. 40132. Jawa Barat. Kontak: [email protected] Abstrak Tulisan ini mengangkat isu alih fungsi lahan basah pada kota-kota di Indonesia dan akibatnya terhadap bencana banjir. Walaupun banjir termasuk bencana yang sering terjadi di Indonesia, pengurangan risiko bencana yang sistematis, masih terbatas jumlahnya. Salah satu pendekatan yang sistematis di dalam pengurangan risiko bencana adalah melalui penerapan tata guna lahan yang baik. Tulisan ini menggunakan fokus studi kasus di Kota Palembang, salah satu kota yang memiliki lahan basah (rawa) yang banyak dengan menganalisis dampak pembangunan terhadap persoalan banjir. Alih fungsi lahan yang tinggi di Kota Palembang, mengancam terjadinya banjir secara rutin. Tulisan ini melakukan kajian spasial dengan menganalisis hubungan antara lokasi-lokasi lahan basah dan lokasi terjadinya bencana banjir. Upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat baik juga dibahas di dalam tulisan ini. Selanjutnya tingkat peningkatan jumlah banjir dihubungkan dengan peningkatan kejadian banjir. Beberapa rekomendasi diberikan untuk meningkatan ketahanan kota di dalam mengurangi risiko bencana banjir dalam konteks perencanaan tata ruang. 1. Pendahuluan Dalam beberapa dekade terakhir, kejadian atau peristiwa banjir mengalami peningkatan secara global (IFRC, 2010; Jha et al., 2012a). Sebagai konsekuensinya, peningkatan kejadian banjir ini tidak dapat dilepaskan pula dengan risiko yang harus diterima masyarakat dari segi fisik, sosial, dan ekonomi, seperti hancurnya infrastruktur, terhambatnya kegiatan perekonomian, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya korban jiwa yang tidak sedikit. International Federation of Red Cross (IFRC) (2010) mencatat diantara jenis bencana alam lainnya, banjir merupakan bencana yang menimbulkan kerugian dan kerusakan paling parah. Banjir memberikan dampak langsung kepada rata-rata 99 juta jiwa per tahun di seluruh dunia dari tahun 2000 hingga 2008. Bahkan, Jha et al. (2012a) mencatat terdapat 178 juta jiwa yang terkena dampak langsung bencana banjir di tahun 2010. Total kerugian yang diakibatkan banjir dari tahun 1998 hingga tahun 2008 mencapai US$ 40 triliun (Jha et al., 2012a).

description

Salah satu jurnal dalam mata kuliah manajemen resiko dan bencana

Transcript of Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

Page 1: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

1

Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi

Kasus Kota Palembang

FOR REFERENCE: Sagala, S., Dodon, Wimbardana, R., Lutfiana, D. (2013) Alih Fungsi Lahan Rawa dan

Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang, dalam Anwar, H. (2013)

Perencanaan Tata Ruang dan Kebencanaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Saut Sagala, Dodon, Ramanditya Wimbardana, Dian Lutfiana

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

Jl. Ganesha 10, Bandung. 40132. Jawa Barat.

Kontak: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini mengangkat isu alih fungsi lahan basah pada kota-kota di Indonesia dan akibatnya terhadap

bencana banjir. Walaupun banjir termasuk bencana yang sering terjadi di Indonesia, pengurangan risiko

bencana yang sistematis, masih terbatas jumlahnya. Salah satu pendekatan yang sistematis di dalam

pengurangan risiko bencana adalah melalui penerapan tata guna lahan yang baik. Tulisan ini

menggunakan fokus studi kasus di Kota Palembang, salah satu kota yang memiliki lahan basah (rawa)

yang banyak dengan menganalisis dampak pembangunan terhadap persoalan banjir. Alih fungsi lahan

yang tinggi di Kota Palembang, mengancam terjadinya banjir secara rutin. Tulisan ini melakukan kajian

spasial dengan menganalisis hubungan antara lokasi-lokasi lahan basah dan lokasi terjadinya bencana

banjir. Upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat baik juga dibahas di dalam tulisan ini.

Selanjutnya tingkat peningkatan jumlah banjir dihubungkan dengan peningkatan kejadian banjir.

Beberapa rekomendasi diberikan untuk meningkatan ketahanan kota di dalam mengurangi risiko

bencana banjir dalam konteks perencanaan tata ruang.

1. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, kejadian atau peristiwa banjir mengalami peningkatan secara global

(IFRC, 2010; Jha et al., 2012a). Sebagai konsekuensinya, peningkatan kejadian banjir ini tidak dapat

dilepaskan pula dengan risiko yang harus diterima masyarakat dari segi fisik, sosial, dan ekonomi, seperti

hancurnya infrastruktur, terhambatnya kegiatan perekonomian, hilangnya mata pencaharian, dan

hilangnya korban jiwa yang tidak sedikit. International Federation of Red Cross (IFRC) (2010) mencatat

diantara jenis bencana alam lainnya, banjir merupakan bencana yang menimbulkan kerugian dan

kerusakan paling parah. Banjir memberikan dampak langsung kepada rata-rata 99 juta jiwa per tahun di

seluruh dunia dari tahun 2000 hingga 2008. Bahkan, Jha et al. (2012a) mencatat terdapat 178 juta jiwa

yang terkena dampak langsung bencana banjir di tahun 2010. Total kerugian yang diakibatkan banjir dari

tahun 1998 hingga tahun 2008 mencapai US$ 40 triliun (Jha et al., 2012a).

Page 2: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

2

Sebagai pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi dari tingkat lokal hingga global, kawasan perkotaan

adalah salah satu wilayah di permukaan bumi yang rentan terhadap bencana banjir. Besarnya derajat

kerentanan kawasan perkotaan terhadap bencana banjir sebagai hasil dari proses yang diakibatkan oleh

kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat, seperti cepatnya pertumbuhan populasi, pertumbuhan

kegiatan ekonomi, degradasi lingkungan, dan proses urbanisasi di kawasan perkotaan yang tidak

didukung dengan perencanaan dan pengelolaan perkotaan yang memadai (Adelekan, 2011; Birkmann et

al., 2010; Mekvichai, 2008; Razafindrabe et al., 2012). Munculnya permukiman kumuh di dataran banjir

perkotaan, padatnya permukiman penduduk tanpa kawasan resapan, dan kapasitas drainase perkotaan

yang tidak memadai adalah contoh faktor kerentanan yang dapat meningkatkan risiko banjir. Di sisi lain,

faktor perubahan lingkungan dalam skala global (contoh: meningkatnya curah hujan yang ekstrim,

periode musim hujan yang tidak menentu, meningkatnya frekuensi badai ekstrim, dan lainnya) juga

turut menyumbangkan besarnya risiko banjir di kawasan perkotaan (Coumou and Rahmstorf, 2012;

Guhathakurta et al., 2011; Rowe and Villarini, 2013; Trenberth, 2012; Wang et al., 2013).

Dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki kota-kota besar dengan tren urbanisasi

yang lebih dinamis, bertambahnya macam kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan proporsi penduduk

yang cepat, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya (Jones, 2002). Sebagai dampaknya,

perkembangan kota-kota tersebut diiringi dengan kebutuhan lahan dan ruang. Namun, terbatasnya

lahan dan ruang yang dapat dibangun di kawasan perkotaan mengakibatkan perkembangan kota-kota

diiringi upaya alih fungsi lahan, terutama perubahan kawasan yang memiliki fungsi lindung menjadi

kawasan terbangun (Firman, 2009; Partoyo and Shrestha, 2013). Sebagai contoh, banjir yang terjadi di

Jakarta tahun 2002, 2007 dan 2013, merupakan sebuah dampak dari pemanfaatan lahan yang berubah

dari kawasan hutan lindung ke kawasan terbangun (seperti perumahan dan industri) di kawasan hulu

Bogor, Puncak, dan CIanjur (Bopuncur) hampir dua dekade terakhir (Firman, 2009). Ketidakseimbangan

antara jumlah air yang turun oleh hujan dengan berkurangnya kapasitas kawasan resapan menyebabkan

air yang tidak terserap mengalir ke bagian hilir dan bermuara pada bagian kawasan yang lebih rendah di

bagian utara, yaitu Jakarta. Selain itu, keterbatasan kapasitas drainase alami dan buatan yang tersedia di

Jakarta menyebabkan tidak dapat dihindarinya banjir besar di sebagian besar wilayah Jakarta (Sagala et

al 2013).

Di beberapa kota di Indonesia, upaya alih fungsi lahan dilakukan juga dengan menimbun lahan basah,

seperti rawa dan gambut, dengan tanah kering untuk memperluas area terbangun, seperti perumahan,

komersial, infrastruktur, dan/atau lahan pertanian. Upaya penimbunan atau reklamasi lahan basah lazim

ditemukan pada kota-kota di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, seperti Pekanbaru, Jambi,

Palembang, Pontianak dan Banjarmasin (Dahliani, 2012; Khaliesh et al., 2012; Murod and Hanum, 2012;

Pulungan, 2009; Sa'ad et al., 2010). Padahal, beberapa penelitian membuktikan keberadaan lahan basah

dapat menjadi fungsi retensi dan filterisasi air, pengatur iklim lokal, habitat keanekaragaman hayati kota

dan pencegah terjadinya banjir (Jia et al., 2011; Kim et al., 2010; Lantz et al., 2013). Sebagai pengendali

banjir, vegetasi di dalam ekosistem lahan basah dapat menangkap dan melepas air permukaan dan air

hujan. Vegetasi ini juga dapat mengurangi kecepatan air banjir di daerah banjir. Berkurangnya lahan

basah di dataran banjir kota Lagos (Nigeria) karena perubahan fungsi lahan menjadi permukiman kumuh

dari tahun 1986 – 2006 mengakibatkan munculnya bencana banjir di daerah ini, seperti di tahun 2002

dan 2006 (Adelekan, 2010).

Page 3: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

3

Untuk mengurangi risiko banjir di masa depan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perlu

dilakukan berbagai strategi pengurangan risiko bencana banjir. Hingga saat ini, masih sedikit literatur

dan penelitian membahas tentang perubahan pemanfaatan lahan basah dan hubungannya dengan

timbulnya potensi dan bencana banjir di kota-kota Indonesia. Selain itu, kebijakan pengurangan risiko

bencana di kota-kota di Indonesia terkait perubahan alih fungsi lahan basah belum banyak dikaji.

Mengambil studi kasus di Kota Palembang, tulisan ini ditunjukkan untuk mengkaji hubungan perubahan

alih fungsi lahan basah dan bencana banjir serta peninjauan kebijakan terkait dengan pengurangan

risiko bencana banjir.

Tulisan ini selanjutnya terbagi ke dalam beberapa bagian, diantaranya: tinjauan literatur terkait

pengelolaan risiko banjir dan tata guna lahan. Selanjutnya diberikan penjelasan terkait metodologi dan

sumber-sumber data yang digunakan di dalam tulisan ini. Pada bagian studi kasus, dibahas bagaimana

alih fungsi guna lahan yang terjadi di Kota Palembang dan dikaitkan dengan aspek teoretis terkait

pengurangan risiko banjir dan tata guna lahan.

2. Tinjauan Literatur

Pengelolaan Risiko Banjir

Untuk mengatasi persoalan banjir, setiap perencana dan pembuat kebijakan harus memahami terlebih

dahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya risiko banjir. Terjadinya banjir di

kawasan perkotaan dapat disebabkan oleh sungai, pesisir pantai, curah hujan, luapan air tanah maupun

kegagalan sistem artifisial (Jha et al., 2012a). Penyebab banjir di wilayah perkotaan adalah hasil dari

kombinasi kejadian meteorologis dan hidrologis, seperti pengendapan di dasar permukaan sungai dan

aliran yang ekstrim. Akan tetapi, faktor dari sisi bahaya (hazard) ini bukan satu-satunya penyebab utama

terjadinya bencana banjir. Risiko bencana adalah hubungan dan interaksi antara faktor bahaya dan

faktor kerentanan (vulnerability) yang terdapat pada kehidupan dan kegiatan-kegiatan manusia (Wisner

et al., 2004). Pertumbuhan dan perkembangan kota yang tidak terencana atau tidak terkontrol dapat

menjadi meningkatkan risiko banjir karena proses tersebut dapat menempatkan aspek-aspek kehidupan

manusia yang berpotensi untuk terpapar pada suatu potensi bahaya di suatu wilayah (Jha et al., 2012a).

Pemahaman ini sangat penting dalam merumuskan pendekatan dan solusi untuk mengurangi kerusakan

dan kerugian akibat banjir, sehingga nantinya para pembuat kebijakan dan perencana mampu

mengatasi kebutuhan, urgensi dan prioritas dalam menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan risiko

banjir.

Pengelolaan risiko bencana adalah salah satu proses dan cara-cara untuk mengatasi dan mengendalikan

permasalahan mengenai risiko-risiko yang dapat diakibatkan oleh kejadian banjir. Pengelolaan risiko

banjir dalam perspektif yang sempit dapat dilihat sebagai suatu proses penanggulangan pada risiko-

risiko yang terjadi di saat banjir sedang terjadi. Namun, Plate (2002) berpendapat manajemen risiko

banjir perlu dilihat pada perspektif yang lebih luas, yaitu adanya peran perencana dan pembuat

kebijakan untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana banjir di dalam sistem perencanaan

dimana terdiri dari tahapan-tahapan yang berkelanjutan. Hal ini didasari oleh besaran faktor bahaya dan

kerentanan yang dapat berubah dari waktu ke waktu yang menghasilkan bertambahnya permasalahan

risiko banjir sebagai akibat dari proses pembangunan, seperti intensitas dan volume air hujan yang

semakin tinggi karena perubahan iklim dan perubahan guna lahan yang mengurangi kapasitas kawasan

Page 4: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

4

resapan (catchment area) dalam meresap air hujan (Jha et al., 2012a; Nicholls et al., 1999). Bahkan,

Plate (2002) mengatakan sistem dan aksi-aksi dalam pengelolaan risiko banjir yang telah diterapkan

dapat berpotensi tidak mampu lagi mengatasi bertambahnya besaran faktor bahaya dan kerentanan,

sehingga diperlukan aspek perencanaan untuk mengatasi permasalahan risiko banjir dalam jangka

waktu yang panjang.

Pendekatan terintegrasi untuk mengelola risiko banjir perkotaan merupakan kombinasi dari tindakan-

tindakan pengeloan risiko banjir baik yang bersifat struktural maupun non-struktural (Brody et al.,

2009). Tindakan struktural bertujuan untuk mengurangi risiko banjir dengan mengendalikan aliran air

dari luar maupun dari dalam tempat tinggal di perkotaan. Brody et al. (2009) dan Correia et al. (1999)

menjelaskan pendekatan struktural merujuk kepada pembangunan fisik untuk mengendalikan banjir

atau melindungi tempat tinggal manusia, seperti membangun dinding dan tangguldi laut dan sepanjang

aliran sungai, sumur resapan, saluran air dan revetment. Selain itu, dalam mengurangi risiko banjir,

pendekatan struktural dapat dilakukan dengan memodifikasi struktur lingkungan melalui pembangunan

tanggul di bantaran sungai; perbaikan saluran (bandul, saluran pematang, waduk dan metode untuk

mempercepat atau melambatkan arus air, memperdalam dan meluruskan atau melebarkan saluran);

perbaikan tanah (pengendalian selokan, memodifikasi praktik tanam, konservasi tanah, revegetasi dan

stabilisasi lereng). Berbagai teknik tersebut akan menjadi sangat efektif apabila dimanfaatkan secara

tepat, seperti yang telah didokumentasikan melalui keberhasilan pencegahan sungai Thames,

perlindungan laut di Belanda dan sistem perairan sungai di Jepang.

Beberapa solusi pengurangan risiko banjir yang diterapkan di wilayah perkotaan masih menggunakan

pendekatan struktural untuk mengelola dan mengendalikan faktor bahaya banjir (Correia et al., 1999;

Nicholls et al., 1999; Plate, 2002). Solusi pengurangan risiko bencana tersebut dilakukan dengan

pendekatan secara teknis klasik dan struktural dimana masalah banjir dapat diselesaikan dengan

metode-metode hidrologis, seperti studi hidrologi tentang bahaya banjir dan penyelesaian

pembangunan infrastruktur (contoh: pembuatan kanal, saluran air, pembuatan tanggul raksasa dan lain-

lain) (Plate, 2002). Akan tetapi, Jha et al. (2012a) dan Holway and Burby (1993) berpendapat pendekatan

struktural pun masih memiliki keterbatasan, diantaranya: (1) Banjir dengan kapasitasmelebihi kapasitas

desain struktur yang dibuat dapat meluap dan merusak secara signifikan dapat lebih tinggi; (2) Struktur

seperti saluran atau tanggul dapat meningkatkan level sungai, meningkatkan banjir di hilir dan

kecepatan air dengan membatasi jalur air dan dataran banjir alami sehingga memperpendek waktu

banjir di hulu dan mengakibatkan banjir di hilir yang lebih besar; (3) Solusi struktural dapat memberikan

rasa aman yang sementara kepada publik; (4) Tindakan struktural seringkali menghabiskan biaya

finansial yang tidak sedikit; dan (5) Pembangunan bendungan dan struktur pengontrolan banjir lainnya

berkontribusi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Bencana banjir di Jakarta tahun 2013

memperlihatkan bahwa pendekatan struktural, seperti normalisasi sungai dan pembuatan kanal besar,

yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta belum dapat menyelesaikan permasalahan risiko

(Sagala et al., 2013).

Sesempurna apapun tindakan strukturalyang dilakukan,pendekatan yang terintegrasi dengan peran

tindakan non-struktural tetap dibutuhkan untuk mengurangi risiko banjir. Tindakan-tindakan non-

struktural mencakup berbagai langkah-langkah pencegahan atau penyesuaian untuk mengurangi risiko

Page 5: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

5

banjir melalui memodifikasi kerentanan dari aktivitas pembangunan yang mengakibatkan kerusakan di

dataran banjir. Hal ini dapat meliputi memprediksi kejadian banjir, sistem peringatan dini, asuransi

terhadap bencana banjir, kesiapsiagaan bencana dan rencana tanggap darurat serta peraturan

penggunaan lahan untuk pengendalian pembangunan (Correia et al., 1999; Hansson et al., 2008).

Biasanya tindakan non-struktural tidak memerlukan investasi yang besar di muka, namun sering

bergantung pada pemahaman manusia mengenai ancaman banjir dan sistem ramalan yang dapat

diandalkan, seperti rencana evakuasi gawat darurat tidak akan berfungsi bila tidak ada peringatan di

awal. Selain itu, perwujudan upaya ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dengan dukungan

dari kapasitas institusi dan partisipasi publik, khususnya di dalam tatanan sosial masyarakat dan

permasalahan lingkungan perkotaan yang kompleks (Pearce, 2003).

Perencanaan Guna Lahan Untuk Pengurangan Risiko Banjir

Pentingnya peran pengaturan guna lahan untuk mengurangi risiko banjir ke dalam proses perencanaan

telah dikemukan oleh beberapa peneliti (Burby and French, 1981; Correia et al., 1999; Gilard and

Givone, 1997; Highfield and Brody, 2006; Wheater and Evans, 2009). Upaya ini perlu dilakukan karena

semakin berkembangnya peradaban manusia kebutuhan manusia mengakibatkan perubahan guna

lahan yang tidak terkendali, khususnya di kawasan perkotaan (Wheater and Evans, 2009).

Kecenderungan penggantian fungsi lahan dari kawasan lindung dan resapan menjadi kawasan

terbangun adalah salah satu contoh permasalahan pembangunan perkotaan dan pengelolaan banjir.

Banyaknya wilayah tangkapan air (catchment area) dan aliran air (run-off) yang beralih fungsi menjadi

area terbangun mengakibatkan peningkatan risiko banjir di dataran banjir (floodplain) di kawasan

perkotaan. Akibatnya, terdapat aliran air yang tidak tertangkap dari air hujan yang turun di daerah

resapan sehingga ini meningkatkan risiko banjir di dataran banjir. Sebagai contoh, kawasan resapan di

Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, dan Cianjur) mengalami perubahan guna

lahan menjadi kawasan terbangun dalam lima dekade terakhir di wilayah ini. Fenomena ini menjadi

salah satu pemicu terjadinya banjir besar di kawasan yang lebih rendah pada tahun 2002, 2007, dan

2013, terutama di wilayah Provinsi DKI Jakarta (Firman, 2009; Sagala et al., 2013).

Pengarusutamaan pengaturan guna lahan berbasis risiko banjir di dalam proses perencanaan pada

tingkat kota (contoh: rencana tata ruang, rencana pembangunan, dan lainnya) adalah salah satu cara

mengatur dan mengontrol pemanfaatan lahan berdasarkan ruang, desain, tipe, dan waktu

pembangunan untuk mengurangi risiko banjir di dataran banjir di kawasan perkotaan (Beatley, 2009; Jha

et al., 2012b). Beberapa cara pengaturan guna lahan yang dapat mengurangi kerugian akibat banjir dan

meningkatkan kualitas lingkungan diantaranya melestarikan lahan basah, merestorasi habitat untuk

ekosistem di kawasan resapan, pengaturan lahan terbangun dengan kepadatan rendah, penyediaan

ruang terbuka hijau dan kawasan resapan,pembebasan wilayah dataran sungai dari bangunan, dan

membuka lahan pertanian dengan intensitas rendah (Birkland et al., 2003). Bentuk pengeloalan banjir

lainnya dapat berupa perlindungan dan pembatasan pembangunan fisik pada area tangkapan air,

seperti pusat ekonomi kota maupun industri yang memiliki potensi kerusakan yang tinggi.

Page 6: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

6

Gambar 1 Ilustrasi Zonasi Dataran Banjir

Untuk mengimplementasikan strategi-strategi di atas, hubungan perencanaan guna lahan dan kapasitas

institusi pemerintah daerah sangatlah diperlukan. Salah satu kapasitas pemerintah daerah adalah

sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengintegrasikan dan melaksanakan perencanaan

tersebut ke dalam regulasi. Perencanaan tata ruang adalah salah satu produk perencanaan yang dapat

digunakan sebagai dasar pembuatan regulasi (Jha et al., 2012b). Regulasi yang dibuat berdasarkan

rencana tata ruang tersebut menjadi alat untuk menentukan guna lahan yang tepat dalam kondisi

tersebut. Regulasi tersebut dapat berupa peraturan lahan terbangun, desain bangunan, izin

pembangunan, hingga kode bangunan. Selanjutnya, hal tersebut digunakan untuk penentuan

pembangunan di suatu wilayah. Selain itu, regulasi perlu juga dikombinasikan dengan kebijakan

pemberlakuan intensif seperti keringanan pajak bangunan kepada pemilik lahan yang mengikuti regulasi

yang dibuat dan pemberian edukasi publik terkait regulasi (Beatley, 2009; Jha et al., 2012b).

Kapasitas institusi pemerintah daerah juga diperlukan untuk mengumpulkan informasi risiko banjir,

mengkomunikasikan strategi perencanaan dengan seluruh pemangku kepentingan pembangunan

(swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal), mengawasi pelaksanaan perencanaan dan

merevisi kembali perencanaan yang telah dibuat (Jha et al., 2012b). Namun, peran pemerintah daerah

saja tidak cukup untuk menyukseskan pelaksanaan pengurangan risiko banjir dengan pemerintah

memiliki keterbatasan dalam pengawasan, koordinasi dan pendanaan yang lemah. Diperlukan peran

aktor lainnya untuk mendukung proses perencanaan ini, salah satunya partisipasi masyarakat menjadi

salah satu kunci penting untuk mendukung dan menyepakati tujuan dari perencanaan yang dibuat.

Namun, strategi-strategi dalam perencanaan dan kebijakan guna lahan tidaklah mudah untuk

diimplementasikan. Terdapat beberapa hambatan yang sering dijumpai dalam praktek implementasi

perencanaan dan kebijakan guna lahan untuk mengurangi risiko banjir (Birkland et al., 2003; Jha et al.,

2012b), diantaranya: (1) lemahnya mekanisme pelaksanaan regulasi perencanaan guna lahan, (2)

perbedaan batas yuridiksi antar pemerintahan lokal dan batas wilayah daerah aliran sungai atau dataran

banjir mempersulit pelaksanaan dan integrasi, (3) tekanan kebutuhan pemanfaatan lahan untuk

kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, (4) kemauan politik pemerintah lokal dan aktor

pembangunan lainnya untuk melaksanakan mekanisme regulasi, dan (5) hak pemilik lahan untuk

memanfaatkan lahan yang cenderung tidak melindungi kapasitas lahan untuk resapan air hujan.

Penggunaan Hanya Untuk Ruang Terbuka

Page 7: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

7

3. Metodologi

Penelitian ini dibuat berdasarkan kajian terhadap alih fungsi guna lahan di Kota Palembang. Kajian tata

guna lahan dilakukan dengan mengidentifikasi dokumen peraturan daerah dari periode 1980an – 2012

terkait perencanaan perkotaan dan peraturan pemanfaatan lahan di Kota Palembang. Dokumen-

dokumen yang diperoleh, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Bappeda, 2012), Status

Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) (BLHD, 2012) dan master plan drainase. Selain itu, dilakukan interview

terhadap para pengelola perkotaan, yaitu Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Kota

Palembang, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang, Dinas Pekerjaan

Umum (PU) Bidang Sumber Daya Air Kota Palembang, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota

Palembang, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang. Selain itu, observasi juga dilakukan

oleh penulis, termasuk di kunjungan Kota Palembang pada bulan April 2013. Dengan menggunakan

timeline analysis, dilakukan kajian terkait perubahan guna lahan pada dua tempat di Palembang, untuk

menunjukkan perubahan guna lahan dan kejadian bencana banjir. Kajian juga dilakukan dengan menilai,

perkembangan dan sumber bencana banjir, dampak yang terjadi dan juga potensi intervensi yang dapat

dilakukan. Metode analisis dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dengan membahas temuan-

temuan tentang perubahan guna lahan dan kejadian bencana banjir di Kota Palembang dengan

mengacu pada tinjauan literatur yang dibahas pada bagian dua.Analisis spasial dilakukan untuk

mengidentifikasi hubungan antara lahan basah dengan bahaya banjir yang terjadi di Kota Palembang.

4. Studi Kasus

Alih Fungsi Rawa di Kota Palembang

Proses perubahan guna lahan di Palembang tidak terlepas dari pengaruh urbanisasi dan kebijakan

perkotaannya. Jumlah penduduk Kota Palembang pada tahun 2011 berjumlah 1.676.544 jiwa dari

1.396.823 jiwa di tahun 2007 atau rata-rata pertumbuhan sekitar 5% setiap tahunnya (Hapsoro and

Gunanto, 2013; Murod and Hanum, 2012). Hal ini disebabkan adanya peran dan fungsi Kota Palembang

sebagai kota jasa dan pusat pertumbuhan ekonomi regional di Sumatera Selatan. Kebijakan ini di mulai

dari ditetapkannya kota Palembang sebagai kota perdagangan, industri, pendidikan, pemerintahan dan

wisata di Rencana Induk Kota (RIK) Palembang 1974-1994. Pada saat kebijakan pembangunan kota

mengacu RIK ini, kegiatan ekonomi Kota Palembang didominasi oleh kegiatan perdagangan terutama

sebagai pusat distribusi hasil pertanian yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan RTRW Kota

Palembang 2012-2032, kegiatan ekonomi utama dari Kota Palembang tetap berupa perdagangan dan

industri manufaktur.

Pembangunan Kota Palembang terpusat di pusat kota dengan jumlah lahan terbangun sekitar 4,5%

(tahun 1919) dimana saat itu sebagian besar Kota Palembang berupa rawa dan sungai. Kondisi saat ini

Kota Palembang memiliki luas lahan terbangun 34,5%, peningkatan jumlah lahan terbangun ini

disebabkan oleh pertumbuhan berbagai kegiatan ekonomi di Kota Palembang seperti ekonomi

pariwisata, perdagangan dan jasa, serta pembangunan berbagai fasilitas penting lainnya yang

mendorong masyarakat untuk bertempat tinggal di Kota Palembang. Perubahan pemanfaatan lahan di

Kota Palembang menyebabkan tertariknya kegiatan dari luar kota untuk berlokasi di Kota Palembang.

Page 8: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

8

Sebagai konsekuensinya, kebijakan ini mendorong peningkatan kebutuhan ruang dan lahan terhadap

area yang dapat terbangun, sebagaimana dibuktikkan pada (Gambar 2).

Gambar 2 Peningkatan Lahan terbangun di Kota Palembang (%)

(Sumber : Bappeda Kota Palembang, 2010)

Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan ruang dalam dinamika perkotaan, upaya pengalihan fungsi lahan

yang tidak produktif secara ekonomis menjadi lahan terbangun yang lebih produktif lazim dilakukan

(Lantz et al., 2013). Di Kota Palembang, upaya menambah ruang dan lahan terbangun untuk mendukung

perkembangan kota terlihat pada tren perubahan lahan terbangun dari lahan basah yang kini luasnya

hanya sekitar 37% luas kota dimana 25% diantaranya rawa (Gambar 3). Mengacu pada kebijakan

perkotaan Kota Palembang, pertumbuhan kegiatan perdagangan dan ekonomi memiliki peran penting

dalam meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun di Kota Palembang, khususnya upaya reklamasi

kawasan rawa menjadi lahan terbangun. Hal ini didorong kebijakan oleh pemerintah Kota Palembang

yang mengizinkan para investor untuk mereklamasi rawa untuk mendapatkan lahan yang dapat

dibangun yang semakin sedikit di daerah perkotaan (Perda No. 11 Tahun 2012). Hasilnya, investor dapat

membuka kegiatan perdagangan dan pemerintah Kota Palembang mendapatkan pendapatan daerah.

0

10

20

30

40

1919 1978 1989 2001 2010

Lah

an T

erb

angu

n (

%)

Tahun

Page 9: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

9

Gambar 3 Peta Sebaran Rawa di Kota Palembang

(Sumber : RTRW Kota Palembang 2012 - 2032)

Akibatnya, pemanfaatan lahan basah, khususnya rawa, untuk menjadi lahan terbangun tidak dapat

dihindari. Jumlah rawa ini terus berkurang seiring dengan upaya reklamasi setiap tahunnya. Dari total

lahan rawa sebesar hampir 80% pada tahun 1919, lahan rawa yang tersisa adalah sekitar 25% pada

tahun 2010 (Gambar 4). Alih fungsi lahan rawa besar-besaran terjadi di beberapa kawasan seperti

kawasan Jakabaring dan di sekitar jembatan Musi II. Sebagian besar Kota Palembang merupakan lahan

rawa; saat ini rawa di Kota Palembang berjumlah 5.438 Ha, dengan komposisi rawa konservasi luasnya

mencapai 2.106 Ha, budidaya 2.811 Ha dan reklamasi 917 Ha. Jumlah ini jauh berkurang. Pada tahun

1989 jumlah rawa di Kota Palembang tidak kurang dari 40.000 Ha, sedangkan pada tahun 2001 jumlah

luasan rawa tidak kurang dari 22.000 Ha.

Page 10: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

10

Gambar 4 Penurunan Jumlah Rawa di Kota Palembang (%)

(Sumber : Bappeda Kota Palembang, 2010)

Reklamasi dilakukan untuk pembangunan perumahan, pusat komersial, pabrik, dan pusat pemerintahan.

Beberapa contoh kawasan yang mengalami perubahan atau reklamasi dari rawa menjadi lahan

terbangun, dua diantaranya, adalah: Kawasan Perumahan Bukit Sejahtera atau Poligon dan Kawasan

Pengembangan Jakabaring. Kawasan Perumahan Polygon merupakan sebuah komplek perumahan yang

berdiri sejak tahun 1990. Konstruksi perumahan yang di mulai tahun 1986 ini pada awalnya memiliki

topografi sebagai lahan rawa yang kemudian direklamasi menjadi kawasan perumahan dan

menyebabkan berkurangnya daerah resapan air (Gambar 6). Pembangunan yang semakin luas

menyebabkan sedimentasi semakin tinggi dibeberapa sungai yang dekat dengan kawasan perumahan

seperti Sungai Musi. Sedangkan, Kawasan Jakabaring Sport City merupakan kawasan pengembangan

baru dan pada mulanya merupakan rawa yang direklamasi menjadi perumahan (Gambar 5).

Gambar 5 Perubahan Lahan Rawa menjadi Pusat Prasarana Olahraga di Kawasan Jakabaring

(Sumber : Observasi, 2013)

Sebagai akibatnya, perubahan rawa menjadi lahan terbangun berdampak negatif karena perubahan

tersebut mengkibatkan fungsi rawa sebagai penampung air tidak dapat dilakukan secara maksimal.

0

20

40

60

80

1919 1978 1989 2001 2007 2010

Page 11: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

11

Banyaknya rawa yang ditimbun menyebabkan air yang seharusnya ditampung oleh rawa akan beralih ke

bagian perkotaan lainnya (seperti jalan, drainase, permukiman, dan lainnya) yang lebih rendah, sehingga

menyebabkan banjir di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini juga diperburuk dengan karakteristik topografi Kota

Palembang yang relatif rendah, yaitu sekitar 0-20 mdpl. Kota Palembang sebagian besar terdiri dari

daerah berawa yang rentan terhadap bencana banjir terutama ketika musim hujan datang. Sebagai

contoh, berkurangnya kawasan berkurangnya daerah resapan di sekitar perumahan Polygon

mengakibatkan daerah ini menjadi daerah genangan air dan bahkan terdampak bencana banjir dengan

ketinggian 40-50 cm di tahun 2005 (Gambar 6). Oleh karena itu, kondisi ini membuat Kota Palembang

sangat berpotensi terkena dan terancam bencana banjir.

Gambar 6 Time line Analysis Kawasan Perumahan Poligon

(Sumber : Analisis, 2013)

Kejadian Bencana Banjir di Kota Palembang

Bencana banjir pada awalnya mengenangi daerah pinggiran Kota Palembang yang sebagian besar

wilayahnya berupa rawa. Namun, perkembangan pembangunan Kota Palembang yang mereklamasi

lahan wilayah rawa ini mengakibatkan peningkatan intensitas bencana banjir yang terjadi. Hal ini

membuat daerah ini rentan terhadap bencana banjir dan menjadi dataran banjir yang baru. Kejadian

banjir mengalami peningkatan dari 18 kejadian pada tahun 2007 menjadi 46 kejadian pada tahun 2012.

Peningkatan kejadian bencana banjir juga diikuti dengan peningkatan ketinggian genangan yaitudari

semula 30-100 cm, bahkan di beberapa lokasi genangan mencapai 1 meter. Lamanya genangan juga

menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dimana pada tahun 2007 ketika bencana banjir melanda

Kota Palembang lama genangan sekitar 1-2 jam di beberapa ruas jalan protokol dan lokasi. Pada tahun

2013 lama genangan banjir di beberapa lokasi meningkat dari hitungan jam menjadi beberapa hari.

Peningkatan bencana banjir ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti alih fungsi lahan di daerah

resapan air dan peningkatan intensitas hujan. Selain itu peningkatan ketinggian genangan dan luas

genangan diakibatkan belum tersedianya sistem drainase yang terpadu. Hingga saat ini, belum ada

dokumen master plan pembangunan drainase yang terintegrasi dengan aliran air limpasan dan DAS

(Daerah Aliran Sungai) Sungai Musi dan DAS anak Sungai Musi.

Ada beberapa lokasi yang hampir selalu digenangi air ketika musim hujan seperti Ilir Timur I sebanyak

enam lokasi, Ilir Timur II sebanyak 12 lokasi, Kalidoni sebanyak tiga lokasi, Sako satu lokasi, Seberang

Ulu II dua lokasi dan Kemuning 3 lokasi (PSDA PU, 2008). Selain itu, ada beberapa lokasi yang selalu

banjir sebagai akibat topografi yang landai seperti daerah Pakjo dan Demang Lebar Daun dengan volume

Page 12: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

12

143.000 m2. Sedangkan di sekitar daerah tengah Sungai Sekanak dengan volume 105.780 m2, sekitar

Simpang Polda 105.780 m2, sekitar sungai Bendung 16.800 m2, dan sekitar Patal 18.500 m2.

Selain itu, faktor eksternal yang perlu diperhatikan adalah persoalan terkait dampak perubahan iklim.

Berdasarkan skenario yang dilakukan di dalam Kajian Risiko Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI),

Palembang memiliki kerentanan yang sedang terhadap dampak kenaikan muka air laut. Kenaikan muka

air laut, juga akan mengakibatkan perubahan pasang tinggi dan juga tingginya air permukaan. Akibatnya,

jika terjadi peningkatan air di Kota Palembang akibat hujan, maka air dapat tertahan akibat pasang

tinggi, yang berakibat pada banjirnya beberapa bagian di Kota Palembang. Ini terbukti pada Februari

2013, di mana banjir terjadi akibat tertahannya air hujan di drainase karena tingginya pasang.

Gambar 7 Peta Bahaya Banjir di Kota Palembang

(Sumber: Hasil Analisis, 2013)

Intervensi Pengendalian Banjir

Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Palembang dalam mengintervensi

perubahan guna lahan dan mengurangi risiko bencana banjir, di antaranya: pengendalian rawa,

pembangunan kolam retensi, membangun turap, normalisasi sungai, dan membangun daerah resapan

air dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau. Di dalam bagian ini, masing-masing intervensi tersebut

di atas akan dijelaskan.

Page 13: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

13

Pemerintah Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan pengurangan risiko bencana banjir

dilakukan dengan upaya kebijakan non struktural. Pemerintah Kota Palembang menerbitkan peraturan

daerah terkait pengendalian dan pemanfaatan rawa, yaitu Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 2012.

Dalam perda ini, sekitar 2.106,13 Ha merupakan rawa konservasi yang dilarang untuk dialihfungsikan

peruntukannya. Sedangkan terdapat rawa budidaya seluas 2.811,21 Ha yang dimanfaatkan sebagai

lahan pertanian, perikanan, perkebunan dan permukiman dengan rumah bertiang tanpa melakukan

penimbunan. Sementara itu, terdapat kebijakan terkait dengan DAS, yaitu Perda Gubernur Sumatera

Selatan no. 5 Tahun 2013, yang berisi cara mengatasi pencemaran, membatasi penerbangan liar

terutama di daerah hulu karena akan berdampak di daerah hulu, dan mengatur pemanfaatan lahan

disekitar DAS.

Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana secara struktural juga dilakukan oleh pemerintah. Kota

Palembang memiliki 19 kolam retensi yang dibangun untuk mengendalikan genangan air. Jumlah ini

masih jauh dari yang dibutuhkan Kota Palembang, yaitu sekitar 48 kolam retensi (PU PSDA Kota

Palembang, 2013). Kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan sementara waktu dengan

memberikan kesempatan untuk dapat meresap kedalam tanah yang operasionalnya dapat

dikombinasikan dengan pompa atau pintu air. Pemerintah juga melakukan pembangunan turap yang

dibangun disekitar sungai Musi untuk mengatasi bencana banjir. Saat ini Kota Palembang memiliki 2

turap, yaitu di kelurahaan 11-12 Ulu dan di sekitar kawasan pasar 16 Ilir Kota Palembang. Turap ini

berfungsi untuk mengurangi genangan yang ada disekitar dan menahan sampah dari Sungai Musi.

Kebijakan rutin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang adalah normalisasi sungai dan saluran

drainase. Setiap tahun pemerintah mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

kota melalui Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA) Kota Palembang untuk melakukan

normalisasi. Normalisasi ini untuk mengurangi sedimentasi di sungai-sungai yang ada di Kota Palembang

yang mencapai 1 meter. Untuk ruang terbuka hijau, pemerintah mengintegrasikan ruang terbuka hijau

dengan kolam dan tumbuhan yang dapat menyerap air (Gambar 9).

Gambar 8 Kolam Retensi Kambang Iwak Palembang

Page 14: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

14

(Sumber : Observasi, 2013)

Gambar 9 Perkembangan luasan Ruang Terbuka Hijau (2005-2011)

(Sumber: Dinas Kebersihan Kota Palembang, 2012)

Gambar 10 Overlay Peta Bahaya Banjir dan Peta Rawa

(Sumber: Hasil Analisis, 2013)

5. Adaptasi Banjir oleh Penduduk

Pertambahan penduduk di Kota Palembang mengakibatkan permintaan lahan semakin tinggi. Hal ini

ditunjukkan dengan alih fungsi lahan basah (rawa) menjadi lahan terbangun, seperti perumahan,

perdagangan, industri dan jasa semakin meningkat sejak tahun 1985 hingga saat ini. Pada tahun 1985,

pemerintah Kota Palembang mengeluarkan izin reklamasi rawa untuk dijadikan perumahan, yaitu

Perumahan Elit Bukit Sejahtera atau Poligon dan kawasan Jakabaring Sport City, pada tahun 2004, yang

difungsikan sebagai kawasan Olahraga untuk menunjang kegiatan PON (Pekan Olahraga Nasional) di

0

500

1000

1500

2000

2500

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Luas

(H

a)

Tahun

Page 15: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

15

Palembang. Dampak yang ditimbulkan dari penimbunan rawa ini adalah banjir. Sebenarnya, kedua

pembangunan tersebut telah diatur oleh pemerintah sehingga diharapkan dampak dari pembangunan

tersebut tidak menimbulkan banjir. Akan tetapi, adanya kecenderungan pembangunan perumahan

disekitar lokasi tersebut dan pembangunan di bagian hulu sungai musi yang tidak terkendali

memperparah kejadian banjir di Kota Palembang. Umumnya, cara masyarakat mengatasi persoalan

tersebut adalah dengan meninggikan lantai bangunan dan akses menuju bangunan (Gambar 11)

Gambar 11 Adaptasi Masyarakat di Perumahan Bukit Sejahtera (Poligon) Terhadap Banjir

(Sumber: Observasi, 2013)

Menanggapi persoalan tersebut, Pemerintah Kota Palembang maupun Provinsi Sumatera Selatan

mengeluarkan kebijakan dalam mengendalikan perubahan guna lahan basah dan mengurangi risiko

bencana banjir. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya: Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun

2012 mengenai rawa dan Perda yang dikeluarkan oleh Gubernur Nomor 5 tahun 2013 mengenai

pengendalian aktivitas di daerah hulu. Kebijakan ini merupakan bentuk pendekatan non-struktural

dalam mengelola risiko banjir (Correia et al., 1999; Hansson et al., 2008). Selain itu, pemerintah pun

mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan struktural melalui pembangunan kolam retensi sebagai

pengendali banjir pada lahan terbangun, pembangunan turap (perkuatan tebing atau dinding penahan

tanah) di Sungai Musi, normalisasi Sungai Musi dan membangun daerah resapan air dengan

memanfaatkan RTH. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tampaknya telah

sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Brody et al., (2009), yaitu dengan mengintegrasikan

pendekatan struktural dan non-struktural dalam pengelolaan risiko banjir di kawasan perkotaan. Selain

itu beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah menunjukkan adanya upaya

pengarusutamaan pengaturan guna lahan berbasis risiko banjir dalam proses perencanaan

pembangunan di tingkat kota (Beatley, 2009; Jha et al., 2012b).

Page 16: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

16

Gambar 12 Adaptasi Masyarakat di Perumahan Komplek Griya Asri (Kel. Pulo Kerto) Terhadap Banjir

(Sumber: Observasi, 2013)

Gambar 13 Adaptasi Masyarakat di sekitar Sungai Kel. Pulo Kerto) Terhadap Banjir

(Sumber: Observasi, 2013)

Walaupun pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan terkait pengendalian alih fungsi lahan,

namun upaya pemerintah masih memiliki kendala yang signifikan dalam upaya pengendalian dan

pengawasan implementasi kebijakan. Hal ini ditunjukkan dengan peraturan daerah yang dikeluarkan

untuk mengendalikan alih fungsi lahan basah baru dilakukan pada tahun 2012 - 2013. Tindakan ini

dianggap terlambat karena pengalih-fungsian lahan basah menjadi perumahan dan fasilitas lainnya telah

Page 17: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

17

terlanjur berkembang pesat dan tidak terkendali. Sejauh ini, RTRW Kota Palembang 2012-2032 belum

disahkan atau dilegalkan dalam bentuk peraturan daerah. Hal ini mengakibatkan minimnya acuan dalam

pengendalian pembangunan dan kontrol dari pemerintah pasca dikeluarkannya izin reklamasi rawa

menjadi lahan terbangun dibeberapa lokasi. Implikasinya adalah tidak terkendalinya alih fungsi lahan

basah menjadi lahan terbangun di Kota Palembang. Kendala-kendala tersebut menunjukkan kapasitas

pemerintah Kota Palembang dalam menghadapi dan mengendalikan alih fungsi lahan masih rendah.

Untuk mengatasi persoalan dan kendala memang tidak mudah apabila dilakukan oleh pemerintah

daerah sendiri tanpa dukungan pihak lain. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi

persoalan dan kendala dalam mengendalikan alih fungsi lahan basah, yaitu dengan cara

memaksimalkan kebijakan struktural yang sedang berlangsung maupun penegasan pengendalian alih

fungsi lahan dalam bentuk pengesahan RTRW Kota Palembang 2012-2032 sebagai acuan pembangunan

wilayah. Disamping itu, pengadaan peta rawan banjir pun penting sebagai dasar penetapan kebijakan

untuk minimalisir potensi kerusakan banjir (WMO, 2007). Upaya mengintegrasikan pendekatan

struktural dan non-struktural menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Palembang dan para aktor

lainnya dalam mengelola risiko banjir melalui peningatan kapasitas dan komitmen Pemerintah Daerah

Kota Palembang.

6. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, studi ini menyimpulkan bahwa perubahan fungsi lahan basah

menjadi lahan terbangun menjadi pemicu peningkatan kejadian bencana banjir di Kota Palembang. Hal

ini didukung oleh berkurangnya luasan lahan basah dan menigkatnya lahan terbangun di Kota

Palembang. Sebagai akibatnya, beberapa kawasan bekas rawa yang direklamasi menjadi dataran banjir

dan seringkali dilanda bencana banjir karena berkurangnya fungsi resapan dan retensi air alami

tersebut. Untuk mengurangi risiko banjir yang diakibatkan oleh bencana banjiir ini, pemerintah Kota

Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan sudah melakukan berbagai upaya dan strategi pengurangan

risiko bencana. Sayangnya, upaya pengaturan guna lahan dan pengelolaan DAS belum signifikan dalam

hal pengawasan dan pengendalian pemanfaatan lahan basah, baik yang konservasi ataupun yang

ditunjukkan untuk lahan terbangun, sehingga praktek alih fungsi lahan masih dapat ditemui hingga ini.

Upaya struktural, seperti pembangunan turap, kolam retensi, drainase, dan lainnya, yang telah

dilakukan dan yang akan dilakukan akan sangat tidak efektif mengurangi risiko banjir apabila upaya

pengendalian guna lahan basah dan pengelolaan DAS tidak dilakukan secara maksimal.

Studi ini mengusulkan bahwa integrasi pembangunan, penataan ruang dan kebencanaan sangat penting

untuk mengurangi risiko yang akan muncul di kemudian hari. Bahwa kebijakan yang telah ada, sejauh ini

telah berkontribusi. Akan tetapi, untuk lebih efektif, kebijakan pengurangan risiko bencana banjir maka

diperlukan integrasi terhadap program pembangunan yang ada tanpa menghilangkan fungsi dari salah

satu elemen yang menopang dinamika pembangunan perkotaan. Salah satunya adalah perlu adanya

proporsi yang ditetapkan dalam regulasi kota tentang luasan kawasan terbangun dan kawasan lindung

dan disertai kebijakan insentif dan dis-insentif dalam pemanfaatannya. Kebijakan ini dapat

diintegrasikan dalam produk dari perencanaan guna lahan, perencanaan sumber daya air dan pengairan,

perencanaan kontingensi bencana banjir, dan lainnya. Sebagai contoh, memanfaatkan lahan rawa

sebagai kawasan konservasi dan kawasan wisata alam, sehingga terhindar dari pengalihan fungsi lahan.

Page 18: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

18

Selain itu, peran aktif masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui edukasi kesiapsiagaan masyarakat.

Kesiapan masyarakat menghadapi bencana banjir akan menimimalkan risikonya.

Ucapan Terima kasih.

Penulis mengucapkan bantuan data-data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia (2013) dan pada

waktu kunjungan ke Kota Palembang melalui program “National Urban Development Programme” yang

digunakan di dalam tulisan ini. Akan tetapi, segala tanggung jawab atas penulisan ini terdapat pada

penulis.

Referensi

Adelekan, I.O., 2010. Vulnerability of poor urban coastal communities to flooding in Lagos, Nigeria. Environment and Urbanization, 22(2): 433-450.

Adelekan, I.O., 2011. Vulnerability assessment of an urban flood in Nigeria: Abeokuta flood 2007. Natural Hazards, 56(1): 215-231.

Beatley, T., 2009. Planning for coastal resilience: Best practices for calamitous times. Island Press. Birkland, T.A., Burby, R.J., Conrad, D., Cortner, H. and Michener, W.K., 2003. River ecology and flood

hazard mitigation. Natural Hazards Review, 4(1): 46-54. Birkmann, J., Garschagen, M., Kraas, F. and Quang, N., 2010. Adaptive urban governance: new

challenges for the second generation of urban adaptation strategies to climate change. Sustainability Science, 5(2): 185-206.

Brody, S.D., Zahran, S., Highfield, W.E., Bernhardt, S.P. and Vedlitz, A., 2009. Policy learning for flood mitigation: A longitudinal assessment of the community rating system in Florida. Risk Analysis, 29(6): 912-929.

Burby, R.J. and French, S.P., 1981. Coping with floods: the land use management paradox. Journal of the American Planning Association, 47(3): 289-300.

Correia, F.N., Da Silva, F.N. and Ramos, I., 1999. Floodplain management in urban developing areas. Part I. Urban growth scenarios and land-use controls. Water Resources Management, 13(1): 1-21.

Coumou, D. and Rahmstorf, S., 2012. A decade of weather extremes. Nature Climate Change, 2(7): 491-496.

Dahliani, D., 2012. Konsep Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa, Banjarmasin. Lanting Journal of Architecture, 1(2): 96 - 105.

Firman, T., 2009. The continuity and change in mega-urbanization in Indonesia: A survey of Jakarta–Bandung Region (JBR) development. Habitat International, 33(4): 327-339.

Gilard, O. and Givone, P., 1997. Flood risk management: new concepts and methods for objective negotiations. IAHS Publications-Series of Proceedings and Reports-Intern Assoc Hydrological Sciences, 239: 145-158.

Guhathakurta, P., Sreejith, O. and Menon, P., 2011. Impact of climate change on extreme rainfall events and flood risk in India. Journal of Earth System Science, 120(3): 359-373.

Hansson, K., Danielson, M. and Ekenberg, L., 2008. A framework for evaluation of flood management strategies. Journal of Environmental Management, 86(3): 465-480.

Hapsoro, D.N.Y. and Gunanto, G., 2013. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Regional Terhadap Tingkat Kemiskinan. Diponegoro Journal of Economics, 2(2): 1-12.

Page 19: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

19

Highfield, W.E. and Brody, S.D., 2006. Price of permits: Measuring the economic impacts of wetland development on flood damages in Florida. Natural Hazards Review, 7(3): 123-130.

Holway, J.M. and Burby, R.J., 1993. Reducing Flood Losses Local Planning and Land Use Controls. Journal of the American Planning Association, 59(2): 205-216.

IFRC, 2010. World Disaster Report 2010: Focus On Urban Risk, International Federation of Red Cross and Red Crescent Socities, Geneva.

Jha, A.K., Bloch, R. and Lamond, J., 2012a. Cities and flooding: a guide to integrated urban flood risk management for the 21st century. World Bank Publications.

Jha, A.K., Minner, T. and Stanton-Geddes, Z., 2012b. Building Urban Resilience: Principles, Tools and Practice, The World Bank.

Jia, H., Ma, H. and Wei, M., 2011. Urban wetland planning: A case study in the Beijing central region. Ecological Complexity, 8(2): 213-221.

Jones, G.W., 2002. Southeast Asian Urbanization and The Growth of Mega-Urban Region. Journal of Population Research, 19(2): 119 -136.

Khaliesh, H., Widiastuti, I. and Budi, S.B., 2012. Karakteristik Permukiman Tepian Sungai Kampung Beting di Pontianak: Dari Rumah Lanting ke Rumah Tiang. In: A.S. Wibowo, I. Widiastuti, H.E. Kusuma and D. Larasati (Editors), Temu Ilmiah IPLBI 2012. Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, Bandung, 3 - 4 November 2012.

Kim, D.G., Kim, S.J. and Ahn, T.J., 2010. Wetland Construction: Flood Control and Water Balance Analysis. Environmental Engineering Research (EER), 15(4): 197-205.

Lantz, V., Boxall, P.C., Kennedy, M. and Wilson, J., 2013. The valuation of wetland conservation in an urban/peri urban watershed. Regional Environmental Change: 1-15.

Mekvichai, B., 2008. Vulnerable Cities: Realities, Innovations, and Strategies. In: T. Kidokoro (Editor), The Vulnerable City: Coping with Disasters. Springer, Tokyo.

Murod, C. and Hanum, M., 2012. Evaluasi Citra Kota Palembang Sebagai Kota Air Tempo Doeloe dan Masa Kini. In: J. Adiyanto, T. Lusetyowati, A. Siswanto and W. Fransiska (Editors), Palembang: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. Program Arsitektur Universitas Sriwijaya, Palembang, 17 November.

Nicholls, R.J., Hoozemans, F.M. and Marchand, M., 1999. Increasing flood risk and wetland losses due to global sea-level rise: regional and global analyses. Global Environmental Change, 9: S69-S87.

Partoyo and Shrestha, R.P., 2013. Monitoring farmland loss and projecting the future land use of an urbanized watershed in Yogyakarta, Indonesia. Journal of Land Use Science, 8(1): 59-84.

Pearce, L., 2003. Disaster management and community planning, and public participation: how to achieve sustainable hazard mitigation. Natural hazards, 28(2-3): 211-228.

Plate, E.J., 2002. Flood risk and flood management. Journal of Hydrology, 267(1): 2-11. Pulungan, C., 2009. Fauna Ikan dari Sungai Tenayan, Anak Sungai Siak, dan Rawa di Sekitarnya, Riau.

Berkala Perikanan Terubuk, 37(2): 78-90. Razafindrabe, B.H., Kada, R., Arima, M. and Inoue, S., 2012. Analyzing flood risk and related impacts to

urban communities in central Vietnam. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change: 1-22.

Rowe, S.T. and Villarini, G., 2013. Flooding associated with predecessor rain events over the Midwest United States. Environmental Research Letters, 8(2): 024007.

Sa'ad, A., Sabiham, S., Sutandi, A., Sumawinata, B. and Ardiansyah, M., 2010. Perubahan Penggunaan Lahan Pasang SUrut Setelah Reklamasi di Delta Berbak, Jambi. Jurnal Hidrolitan, 1(3): 37 - 46.

Sagala, S., Lassa, J., Yasaditama, H. and Hudalah, D., 2013. The evolution of risk and vulnerability in Greater Jakarta: contesting government policy in dealing with a megacity’s exposure to flooding. IRGSC Reseach Working Paper, 2.

Page 20: Sagala -- Alih Fungsi Lahan Rawa Palembang

20

Trenberth, K.E., 2012. Framing the way to relate climate extremes to climate change. Climatic Change, 115(2): 283-290.

Wang, H.-W., Kuo, P.-H. and Shiau, J.-T., 2013. Assessment of climate change impacts on flooding vulnerability for lowland management in southwestern Taiwan. Natural Hazards, 68(2): 1001-1019.

Wheater, H. and Evans, E., 2009. Land use, water management and future flood risk. Land Use Policy, 26: S251-S264.

Wisner, B., Blakilie, P., Canon, T. and Davis, I., 2004. At Risk: Natural Hazards, People's Vulnerability and Disasters. Routledge, New York.