S1-2015-297963-introduction

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi kelompok nonstreoidal. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Ketoprofen termasuk kedalam BCS (Biopharmaceutics Classification System) kelas II, yaitu obat yang memiliki kelarutan yang rendah namun memiliki permeabilitas yang tinggi (Shohin dkk., 2011). Kelarutan ketoprofen yang rendah dalam air menyebabkan laju disolusinya rendah sehingga memperlambat penyerapan pada gastrointestinal (Martin dkk., 1993). Untuk mengatasi masalah tersebut maka ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS. SNEDDS adalah metode penghantaran obat dengan pembuatan campuran isotropic minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang mampu membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam saluran cerna dan menghasilkan ukuran tetesan yang berukuran nanometer. (Patel dkk., 2011; Han dkk., 2011 ; Makadia dkk., 2013). Formulasi SNEDDS ketoprofen pada penelitian ini dibuat menggunakan VCO (Virgin Coconut Oil) sebagai fase minyak, kombinasi tween 20/ tween 80 sebagai surfaktan, serta PEG 400 sebagai ko-surfaktan. VCO merupakan minyak nabati yang terdiri dari asam lemak trigliserida dan senyawa fenolik, sehingga akan membentuk nanoemulsi yang stabil (Maharini, 2013). Tween 20 dan tween 80 merupakan jenis surfaktan non-ionik memiliki nilai HLB 16,7 untuk tween 20

description

11

Transcript of S1-2015-297963-introduction

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi kelompok nonstreoidal.

    Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid,

    osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih

    dkk., 2010). Ketoprofen termasuk kedalam BCS (Biopharmaceutics Classification

    System) kelas II, yaitu obat yang memiliki kelarutan yang rendah namun

    memiliki permeabilitas yang tinggi (Shohin dkk., 2011). Kelarutan ketoprofen

    yang rendah dalam air menyebabkan laju disolusinya rendah sehingga

    memperlambat penyerapan pada gastrointestinal (Martin dkk., 1993). Untuk

    mengatasi masalah tersebut maka ketoprofen diformulasikan dalam bentuk

    SNEDDS. SNEDDS adalah metode penghantaran obat dengan pembuatan

    campuran isotropic minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang mampu

    membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam saluran cerna dan menghasilkan

    ukuran tetesan yang berukuran nanometer. (Patel dkk., 2011; Han dkk., 2011 ;

    Makadia dkk., 2013).

    Formulasi SNEDDS ketoprofen pada penelitian ini dibuat menggunakan

    VCO (Virgin Coconut Oil) sebagai fase minyak, kombinasi tween 20/ tween 80

    sebagai surfaktan, serta PEG 400 sebagai ko-surfaktan. VCO merupakan minyak

    nabati yang terdiri dari asam lemak trigliserida dan senyawa fenolik, sehingga

    akan membentuk nanoemulsi yang stabil (Maharini, 2013). Tween 20 dan tween

    80 merupakan jenis surfaktan non-ionik memiliki nilai HLB 16,7 untuk tween 20

  • 2

    dan 15 untuk tween 80. Tween 20 dan tween 80 memiliki gugus hidroksil dan

    oksigen bebas yang memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen dengan

    ketoprofen lebih banyak, karena semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk

    maka akan mempercepat proses pelarutan. PEG 400 dipilih sebagai ko-surfaktan

    pada formulasi SNEDDS karena memiliki nilai HLB yang tinggi (>10) yaitu

    sebesar 11,6 sehingga dapat membantu surfaktan dalam meningkatkan

    pembentukan nanoemulsi secara spontan (Rowe dkk., 2009)

    Ketoprofen dibuat dalam formulasi SNEDDS agar mampu menyelesaikan

    permasalahan yang ada pada ketoprofen yaitu untuk meningkatkan kelarutan.

    Namun diharapkan komponen penyusun SNEDDS ketoprofen yakni tween 20 dan

    tween 80 tidak mengganggu atau menurunkan permeabilitas dari ketoprofen yang

    sudah baik, sehingga dalam penelitiaan ini dilakukan pengujian difusi

    menggunakan using chamber tipe horizontal dengan metode side by side pada

    usus tikus secara in vitro untuk melihat pengaruh tween 20 dan tween 80 terhadap

    permeasi serta uji disolusi untuk melihat pelepasan ketoprofen dalam cairan

    lambung buatan secara in vitro. Membran usus merupakan barrier utama bagi

    obat dengan rute penggunaan oral. Air, molekul dengan ukuran kecil, dan molekul

    lipofil dapat dengan mudah melewati membran usus (Shargel dkk., 2005).

  • 3

    B. Rumusan Masalah

    Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

    1. Bagaimana pengaruh komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS

    ketoprofen dengan VCO sebagai fase minyak terhadap kecepatan difusi dan

    jumlah ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro?

    2. Bagaimana profil disolusi dan kinetika orde disolusi formula optimum

    SNEDDS ketoprofen?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

    1. Mengetahui pengaruh komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS

    ketoprofen dengan VCO sebagai fase minyak terhadap kecepatan difusi dan

    jumlah ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro.

    2. Mengetahui profil disolusi dan kinetika orde disolusi formula optimum

    SNEDDS ketoprofen

    D. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

    penggunaan komposisi tween 20 dan tween 80 dengan VCO sebagai fase minyak

    yang optimal dalam SNEDDS ketoprofen yang efektif meningkatkan disolusi dan

    permeabilitas ketoprofen sehingga menjadi alternatif baru untuk penggunaan

    ketoprofen secara oral.

  • 4

    E. Tinjauan Pustaka

    1. Ketoprofen

    Gambar 1 . Struktur kimia ketoprofen

    Nama kimia ketoprofen adalah asam 2-(3-benzoilfenil) propionat dengan

    bobot molekul 254,3. Ketoprofen mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter,

    praktis tidak larut dalam air (Depkes., 1995). Ketoprofen memiliki jarak lebur 93-

    96oC. Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi non-steroid. Ketoprofen biasa

    digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai

    penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010).

    Ketoprofen merupakan obat yang pada sistem pengelompokkan

    Biopharmaceutical Classification System (BCS) tergolong kelas II yang memiliki

    permeabilitas baik namun memiliki kelarutan yang rendah (Sheng dkk., 2006).

    Ketoprofen memiliki waktu paruh eliminasi dalam plasma darah sekitar 1.52

    jam. Konsentrasi ketoprofen yang bertahan dalam plasma darah setelah 24 jam

    hanya sekitar 0.07 mg/L. Ketoprofen tergolong obat yang memiliki permeabilitas

    tinggi dengan nilai bioavailabilitas absolut 90% (Shohin dkk., 2011). Ketoprofen

    memiliki kelarutan dalam air yang rendah (0,13 mg mL-1 pada suhu 25C),

    sehingga menjadi masalah pada formulasi dan membatasi aplikasi terapeutik

    (Khaleel dkk., 2011). Ketoprofen merupakan asam lemah dengan pKa 4,39-4,76

  • 5

    (Shohin dkk., 2012). Kelarutan ketoprofen dipengaruhi oleh pKa, semakin tinggi

    nilai pH media maka kelarutan ketoprofen dalam media tersebut akan semakin

    meningkat, karena ketoprofen banyak dalam bentuk terion. Obat dalam bentuk

    terion akan meningkat kelarutannya dalam air.

    2. SNEDDS

    SNEDDS adalah metode penghantaran obat yang memiliki komponen

    berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke

    dalam air melalui pembentukan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka,

    ko-surfaktan untuk membantu kerja dari surfaktan sebagai emulgator, dan obat

    yang secara spontan membentuk nanoemulsi ketika bercampur dengan air dengan

    adanya pengadukan ringan motilitas saluran cerna (Date dkk., 2010; Dewan dkk.,

    2012; Patel dkk., 2011). SNEDDS menghasilkan ukuran tetesan yang berukuran

    kurang dari 100 nm dan meningkatkan kelarutan obat yang tidak larut dalam air

    sehingga dapat membantu absorpsi obat pada saluran cerna (Doh dkk., 2013; Han

    dkk., 2011 ; Makadia dkk., 2013).

    SNEDDS memiliki keunggulan yaitu lebih stabil dibandingkan dengan

    emulsi, dapat meningkatkan jumlah obat terdisolusi untuk obat yang absorbsinya

    dipengaruhi oleh kecepatan disolusinya serta meningkatkan permeasi antar

    membran saluran pencernaan (Rane dan Anderson, 2008; Wasan dkk., 2009;

    Wang dkk., 2010). Formulasi SNEDDS memiliki syarat, yaitu harus kompatibel,

    aman, memiliki kapasitas pelarut yang baik serta memiliki kemampuan self

    emulsifying yang baik (Han dkk., 2011).

  • 6

    Komponen utama SNEDDS adalah:

    a. Minyak

    Fase minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS karena

    dapat menentukan spontanitas emulsifikasi, kelarutan obat, dan ukuran tetesan

    emulsi. Selain membantu self-emulsification dari SNEDDS juga mampu

    meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal

    limfatik sehingga meningkatkan absorbsi pada saluran gastrointestinal (Gursoy

    dan Benita, 2004). Minyak yang biasa digunakan dalam membuat formulasi

    SNEDDS adalah minyak yang dapat melarutkan obat dengan maksimal serta

    harus mampu menghasilkan ukuran tetesan yang kecil sehingga dapat terbentuk

    nanoemulsi. Minyak yang banyak mengandung komponen rantai hidrokarbon

    seperti minyak nabati atau trigliserida rantai panjang susah teremulsi

    dibandingkan dengan trigliserida rantai menengah, monogliserida rantai

    menengah atau ester asam lemak. (Anton dan Vandamme, 2009; Sadurni dkk.,

    2005). Fase minyak yang digunakan pada penelitian ini adalah VCO.

    VCO merupakan sumber triasilgliserol rantai sedang (Medium Chain

    Triglycerides, MCTs), mencapai 60% dari total kandungan minyak (Norulaini

    dkk., 2009). Kandungan fenolik dalam VCO berupa asam protoketakuat, asam

    vanilat, asam kafeat, asam siringat, asam ferulat, dan asam p-kumarat. Asam-asam

    tersebut merupakan komponen yang bermanfaat sebagai antioksidan (Marina

    dkk., 2009). Struktur asam laurat adalah sebagai berikut:

    Gambar 2 . Struktur asam laurat

  • 7

    b. Surfaktan

    Surfaktan adalah zat yang dalam struktur molekulnya memiliki bagian

    lipofil dan hidrofil (Fudholi, 2013). Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang

    suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka dengan minyak/lemak

    (lipofilik). Surfaktan dalam SNEDDS berperan dalam pembentukan tetesan

    berukuran nanometer (Dixit and Nagarsenker, 2008). Surfaktan nonionik lebih

    sering digunakan dibandingkan dengan surfaktan ionik karena tidak terlalu

    dipengaruhi oleh pH media, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan secara

    oral (Azeem dkk., 2009; Patel dkk., 2011). Penambahan surfaktan dapat

    mengurangi tegangan antarmuka sehingga dapat menghasilkan tetesan nanoemulsi

    yang stabil (Costa dkk., 2012). Secara umum, surfaktan untuk SNEDDS memiliki

    nilai HLB berkisar antara 15-21. Surfaktan dalam SNEDDS dapat berupa sebagai

    surfaktan tunggal atau kombinasi beberapa surfaktan (Date dkk., 2010). Dalam

    penelitian ini digunakan kombinasi beberapa surfaktan yaitu tween 20 dan tween

    80.

    Tweeen 20 (Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate) adalah ester dari

    polioksietilen sorbitan yang memiliki nilai HLB 16,7 (Sigma, 2014). Tween 20

    yang tampak pada gambar 4 merupakan surfaktan nonionik hidrofilik yang secara

    luas digunakan sebagai pengemulsi dalam sediaan farmasetik emulsi stabil

    minyak dalam air (Rowe dkk., 2009).

  • 8

    HO

    O

    O

    O

    OH

    O

    OH

    O

    O

    O

    z y

    x

    w

    w+x+y+z=20

    Gambar 3. Struktur kimia tween 20

    Tween 80 atau polyoxyethylene 20 sorbitan monooleate (C64H124O26)

    memiliki HLB 15 dan dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and

    Nonirritant (Rowe dkk., 2009). Struktur rantai alkil surfaktan memiliki efek

    dalam penetrasi minyak ke lapisan surfaktan yang memungkinkan pembentukan

    nanoemulsi seperti yang dimiliki oleh tween 80 (Rao dan Shao, 2008). Struktur

    dari tween 80 adalah sebagai berikut :

    Gambar 4. Struktur kimia tween 80

    c. Ko-surfaktan

    Ko-surfaktan digunakan dalam formulasi SNEDDS untuk meningkatkan

    drug loading, mempercepat waktu emulsifikasi, dan mengatur ukuran tetesan

    emulsi (Biradar dkk., 2009; Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan yang dipilih

    umumnya yaitu berupa alkohol yang memiliki rantai pendek karena dapat

    mengurangi tegangan antarmuka. Pada penelitian ini ko-surfaktan yang digunakan

    adalah PEG 400 karena termasuk ke dalam alkohol rantai pendek. PEG berupa

  • 9

    cairan kental, tidak berwarna dan transparan. Struktur PEG 400 adalah sebagai

    berikut:

    Gambar 5. Sturtur kimia PEG 400

    PEG 400 merupakan kosurfaktan yang dapat digunakan dalam formulasi

    SNEDDS dengan konsentrasi optimal 30% v/v yang menghasilkan SNEDDS

    yang jernih dan stabil serta nanoemulsi dengan ukuran droplet sebesar 29,53 nm

    (Chavda dkk., 2013).

    3. Disolusi dan Difusi

    a) Disolusi

    Disolusi merupakan salah satu faktor penentu proses absorbsi obat dalam

    tubuh manusia, terutama bila zat aktif tersebut memiliki kelarutan yang kecil

    dalam medium gastrik intestinal. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan

    alat, medium disolusi dan kondisi percobaan sedemikian rupa sehingga

    menghasilkan hasil yang reprodusibel (Fudholi, 2013).

    Pada penelitian ini dilakukan uji disolusi menggunakan alat apparatus II

    (Paddle). Paddle apparatus berupa labu silindris denga alas agak melengkung

    dari gelas borosilikat, dengan kapasitas 1000 ml, dilengkapi dengan pengaduk

    berbentuk dayung yang berputar dengan kecepatan sesuai tersebut dalam

  • 10

    monograf dengan batas rentang 4%. Alat ini dipakai untuk sediaan tablet atau

    kapsul.

    Menurut (Fudholi, 2013) kecepatan obat larut kedalam medium

    dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

    a. Sifat fisika kimia obat

    b. Jenis alat yang digunakan

    c. Kondisi percobaan, seperti: intensitas pengadukan, macam komposisi

    medium, temperatur percobaan.

    d. Formulasi dan metode fabrikasi.

    b) Difusi

    Mekanisme transport dibutuhkan untuk dapat melewati barier absorpsi.

    Salah satu mekanisme transport absorbsi adalah difusi pasif yang digunakan untuk

    melukiskan lewatnya molekul-molekul obat melalui suatu membran yang bersifat

    inert dan tidak berpartisipasi aktif dalam proses tersebut. Difusi pasif

    dikendalikan oleh perbedaan konsentrasi yang ada di seberang membran, dengan

    perjalanan obat terjadi dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang

    berkonsentrasi rendah (Ansel, 1985).

    Permeabilitas membran biologis terhadap suatu obat dapat digambarkan

    oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linier dengan kecepatan

    absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan (1) (Shargel & Yu, 1999):

  • 11

    = . . . ( ).

    1

    (1)

    dimana:

    = kecepatan transport obat ke kompartemen dalam,

    = tetapan difusi obat melalui membran, = luas membran yang digunakan untuk berdifusi, = koefisien partisi obat dalam membran pelarut, = ketebalan membran, = kadar obat kompartemen luar pada waktu t,

    = kadar obat kompartemen dalam pada waktu t.

    Untuk obat-obat yang struktur dan tempat absorpsinya tertentu, kecepatan

    absorpsinya hanya ditentukan oleh gradient kadar obat di antara kedua permukaan

    membran, yang memisahkan lumen saluran pencernaan dengan darah, sehingga

    persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi (Shargel & Yu, 1999):

    = ( ) (2)

    dimana :

    = . . .1

    . (3)

    P disebut sebagai permeabilitas membran.

    Jika Cb dapat diabaikan karena Cb

  • 12

    Kurva hubungan jumlah obat yang ditransport sebagai fungsi waktu akan

    memberikan garis linier dengan angka arah Va = P.Cg (6) dan lag time yaitu harga

    perpotongan garis dengan sumbu X. Bahan obat yang memiliki lag time kurang

    dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada proses transport melalui

    membran biologi karena obat cepat dilepaskan dari sediaan dan segera mengalami

    absorpsi (Shargel & Yu, 1999).

    4. Uji difusi side by side (Ussing chamber)

    Uji difusi dilakukan untuk memperoleh parameter kinetik transport obat

    melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh bahan terhadap profil

    transport obat (Deferme dkk., 2008). Membran yang dipakai dalam uji difusi

    dapat berupa membran buatan dan organ terisolasi. Usus tikus digunakan sebagai

    sel difusi pada Ussing chamber tipe horizontal yang terdiri dari dua kompartemen

    yaitu kompartemen mukosal (donor) dan kompartemen serosal (aseptor).

    Penggunaan tikus dengan ras dan jenis kelamin yang sama, serta usia yang kurang

    lebih sama pada uji difusi bertujuan untuk mengendalikan variasi absorbsi melalui

    membran usus.

    Pengujian terhadap daya absorbsi obat dengan usus tikus terisolasi dilakukan

    sebagai studi pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi

    level first pass metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus.

    Mekanisme transpor obat menggunakan Ussing chamber tipe horizontal terlihat

    pada gambar 6.

  • 13

    Gambar 6. Mekanisme kerja Ussing chamber tipe horizontal (dimodifikasi dari Sari, 2012)

    5. WinSAAM

    Metode pendekatan berbasis kompartemen memandang transport obat

    melalui membran usus sebagai serangkaian proses perpindahan obat dari fase

    donor (kondisi in vitro) menuju membran usus, selanjutnya obat dari membran

    mengalami berpindah menuju fase akseptor (kondisi in vitro) atau ke dalam darah

    (kondisi in vivo). Untuk memudahkan penggambaran proses transport obat dalam

    sistem kompartemen, dapat digunakan piranti lunak WinSAAM (Maharini, 2013).

    WinSAAM merupakan permodelan sistem biologi yang berbasis Windows

    dengan menggunakan model matematis. Keunggulan WinSAAM antara lain:

    mudah dioperasikan, untuk sistem linear dan nonlinear dikerjakan dengan perintah

    umum, otomatis fitting data tanpa perlu menerjemahkan model konstruksi, secara

    otomatis menentukan parameter linear atau nonlinear sesuai model konstruksi,

    fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet memungkinkan output hasil

  • 14

    pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke excel atau sistem spreadsheet

    lainnya (Linares dan Boston, 2010).

    Analisis data dengan WinSAAM dimulai dengan listing meliputi estimasi

    nilai awal, batas minimum dan maksimum, serta penulisan parameter-parameter

    model yang disusun secara sistematis sesuai dengan konvensi yang ada. Proses

    selanjutnya merupakan proses penerjemahan listing program ke dalam bahasa

    WinSAAM atau proses decking yang dilakukan dengan mengetikkan kode deck

    pada jendela utama (terminal window). Pemecahan model dan persamaan

    diferensial terkait dilakukan dengan mengetikkan solve pada jendela utama.

    Proses pencarian parameter model terbaik dilakukan dengan proses pencarian

    berulang (iteration) yang dapat diinisiasi dengan mengetikkan iter pada jendela

    utama (Maharini, 2013).

    6. SLD (Simplex Lattice Design)

    Berbagai penelitian menyebutkan, perubahan satu atau lebih variabel proses

    dalam pengamatan efek dapat merubah variabel respon. Desain penelitian

    bertujuan untuk meningkatkan efisiensi prosedur dalam rencana penelitian yang

    berisi data yang dapat dianalisis, sehingga diperoleh hasil yang valid dan

    kesimpulan yang objektif. Selain itu, desain penelitian yang dipilih dengan baik,

    akan dapat memberikan informasi yang cukup sehingga dapat menjelaskan hasil

    penelitian dengan baik, dalam mempelajari efek pada faktor yang berbeda, kondisi

    dan respon interaksi pengamatan dalam penelitian (Patel dkk., 2010).

    Beberapa keuntungan ketika mengggunakan desain penelitian antara lain

    seperti, penafsiran faktor dan interaksi lebih efektif, dapat memprediksi efek yang

  • 15

    diinginkan ketika tidak terjadi interaksi sehingga memberikan efisiensi yang

    maksimal, namun jika ada interaksi maka perlu untuk mengungkapkan dan

    mengidentifikasi interaksi tersebut (Patel dkk., 2010).

    Suatu formula merupakan campuran yang terdiri dari beberapa komponen

    atau bahan yang apabila terdapat perubahan fraksi salah satu komponennya, maka

    akan mengubah satu atau lebih komponen lain (Rachmawati, 2012). Permasalahan

    umum dalam studi formulasi terjadi, bila komponen-komponen formula diubah-

    ubah dalam upaya untuk mengoptimalkan hasil. Setiap perubahan fraksi salah satu

    komponen dari campuran akan merubah sedikitnya satu variabel atau bahkan

    lebih fraksi komponen lain. Salah satu contoh desain penelitian yang dipakai

    dalam formulasi obat adalah SLD.

    Simplex lattice design merupakan suatu metode untuk menentukan

    optimasi pada berbagai komposisi bahan yang berbeda. Metode simplex lattice

    design dapat digunakan untuk menentukan proporsi relatif bahan-bahan yang

    digunakan dalam suatu formula, sehingga diharapkan akan dapat dihasilkan suatu

    formula yang paling baik (dari campuran tersebut) sesuai kriteria yang ditentukan

    Jika Xi adalah fraksi komponen I dalam campuran fraksi, maka:

    0 Xi 1, I = 1,2,q (7)

    Campuran akan mengandung sedikitnya i komponen dan jumlah fraksi dari

    semua komponen adalah tetap (= 1), ini berarti:

    X1+X2+.+Xq = 1 (8)

    Ada beberapa model persamaan matematika yang cocok untuk masing-

    masing desain, yaitu model linear, kuadratik, dan spesial kubik (Bolton, 1997)

  • 16

    a. Linear

    y= 1X1+2X2+ 3X3 (9)

    b. Kuadratik

    y= 1X1+ 2X2+ 3X3+ 12X1X2+ 13X1X3+ 23X2X3 (10)

    c. Spesial kubik

    Y= b1X1+b2X2+b3X3 b12X1X2+b23X2 X3+b13X1X3+b123X1 X2 X3 (11)

    Ket:

    Y = respon

    X1, X2, X3 = fraksi dari tiap komponen

    b1, b2, b3 = koefisien interaksi dari X1, X2, X3 b12, b13, b23 = koefisien interaksi dari X1-X2, X1-X3, X2-X3

    b123 = koefisien interaksi dari X1-X2-X3

    Desain eksperimen kombinasi proporsi dengan metode SLD dapat

    menggunakan bantuan piranti lunak Design Expert versi 7.1.5. Piranti lunak

    tersebut menawarkan berbagai macam desain diantaranya faktorial, faktorial

    fraksional, dan desain gabungan. Kelebihan dari piranti lunak ini yaitu dapat

    digunakan untuk kedua variabel proses dan variabel campuran, menghasilkan

    desain optimal untuk desain standard yang tidak applicable, dan dapat

    meningkatkan desain yang sudah ada (Buxton, 2007).

  • 17

    F. Landasan Teori

    Absorbsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

    ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sistem

    biologis. Absopsi obat memiliki peran penting untuk menentukan efektivitas obat,

    selain itu dapat mempengaruhi jumlah obat yang dapat di distribusikan dan

    sampai ke tempat kerja. Hal yang dapat mempengaruhi absorpsi antara lain

    kelarutan dan permeabilitas. Kelarutan zat aktif sangat mempengaruhi kecepatan

    disolusi nyasedangkan permeabilitas akan mempengaruhi waktu absorpsi dan

    jumlah obat yang terabsorpsi. Ketoprofen termasuk kedalam BCS kelas II yaitu

    obat yang memiliki permeabilitas yang baik namun memiliki kelarutan yang

    buruk sehingga diperlukan waktu yang lebih lama bagi obat terabsorpsi karena

    jumlah ketersediaan untuk diabsorpsi kecil, sehingga dalam penelitian ini

    ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS. SNEDDS adalah bentuk

    sediaan yang mengandung minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan bersama obat

    yang akan membentuk suatu nanoemulsi secara spontan dengan pengadukan

    ringan. SNEDDS dapat meningkatkan kelarutan obat serta mempengaruhi

    permeabilitas suatu obat.

    Minyak berperan sebagai pembawa obat hidrofobik dan meningkatkan fraksi

    obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik sehingga

    meningkatkan absorpsi pada saluran gastrointestinal. Surfaktan berperan dalam

    pembentukan tetesan berukuran nanometer dengan menurunkan tegangan

    permukaan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga

    dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan yang

  • 18

    lebih sering digunakan yaitu surfaktan nonionik dibandingkan surfaktan ionik

    karena sifatnya yang kurang terpengaruh oleh pH, aman, dan biokompatibel untuk

    penggunaan melalui rute oral. Untuk formulasi SNEDDS surfaktan harus sangat

    hidrofilik yaitu memiliki HLB antara 15-20. SNEDDS ketoprofen dibuat

    menggunakan kombinasi surfaktan yaitu tween 20 yang memiliki nilai HLB 16,7

    dan tween 80 yang memiliki nilai HLB 15. Tween 80 dapat meningkatkan

    permeabilitas membran dengan melonggarkan tightjunction. Tween 20 dan tween

    80 dapat meningkatkan absorbsi pada intestinal. Penambahan campuran surfaktan

    tween 20 dan tween 80 mampu menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air.

    Kombinasi tween 20 dan tween 80 diharapkan dapat meningkatkan absorbsi dan

    disolusi ketoprofen sehingga perlu dilakukan uji difusi dan uji disolusi terhadap

    formula optimum SNEDDS ketoprofen.

    G. Hipotesis

    1. Komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS ketoprofen dengan VCO

    sebagai fase minyak dapat meningkatkan kecepatan difusi dan jumlah

    ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro.

    2. Formula SNEDDS ketoprofen optimum mengikuti kinetika pelepasan orde ke

    satu.

    BAB IA. Latar Belakang MasalahB. Rumusan MasalahC. Tujuan PenelitianD. Manfaat PenelitianE. Tinjauan Pustaka1. Ketoprofen2. SNEDDS3. Disolusi dan Difusi4. Uji difusi side by side (Ussing chamber)5. WinSAAM6. SLD (Simplex Lattice Design)

    F. Landasan TeoriG. Hipotesis