introduction 3

43
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degenaratif yang menduduki peringkat ke-4 berdasarkan prioritas penelitian nasional. Terdapat empat kelompok besar penyakit yang banyak terjadi di rumah sakit diantaranya DM, hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung (Tjokoprawiro, 2003). DM merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan ketidaknormalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh adanya kekurangan sekresi insulin, kurangnya sensitivitas insulin, atau keduanya (Craig et al., 2009). Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat diabetes tersebut. DM tipe 2 mempunyai angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 90% dari seluruh kasus. Jumlah pasien DM tipe 2 akan semakin meningkat seiring dengan perubahan pola hidup, makanan yang dikomsumsi, dan kegiatan fisik (Triplitt et al., 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2013), sebaran penderita DM sebesar 2,1% di Seluruh Indonesia dengan prevalensi diabetes tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%). Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer karena penyakit ini seringkali asimtomatik dan terdeteksi setelah terjadi kerusakan organ. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan menigkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau diastolik ≥90mmHg (Susalit et al., 2001).

description

intro 3

Transcript of introduction 3

Page 1: introduction 3

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degenaratif yang menduduki

peringkat ke-4 berdasarkan prioritas penelitian nasional. Terdapat empat

kelompok besar penyakit yang banyak terjadi di rumah sakit diantaranya DM,

hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung (Tjokoprawiro, 2003).

DM merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia

dan ketidaknormalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

disebabkan oleh adanya kekurangan sekresi insulin, kurangnya sensitivitas

insulin, atau keduanya (Craig et al., 2009).

Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat

diabetes tersebut. DM tipe 2 mempunyai angka kejadian yang lebih tinggi

yaitu 90% dari seluruh kasus. Jumlah pasien DM tipe 2 akan semakin

meningkat seiring dengan perubahan pola hidup, makanan yang dikomsumsi,

dan kegiatan fisik (Triplitt et al., 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar

(2013), sebaran penderita DM sebesar 2,1% di Seluruh Indonesia dengan

prevalensi diabetes tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%).

Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent

killer karena penyakit ini seringkali asimtomatik dan terdeteksi setelah terjadi

kerusakan organ. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang

ditandai dengan menigkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau

diastolik ≥90mmHg (Susalit et al., 2001).

Page 2: introduction 3

2

Hipertensi dan DM yang terjadi secara bersamaan dapat meningkatkan

risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Hipertensi pada pasien

DM dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,

atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila

penderita diabetes juga terkena hipertensi.

Tujuan penatalaksanaan pasien DM tipe 2 adalah menurunkan kadar

glukosa darah menjadi normal atau mendekati normal, sehingga mencegah

terjadinya komplikasi. Menurut Perkeni 2011, penatalaksaan dan pengelolaan

DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi

gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Tatalaksana terapi

hipertensi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien dimana target

tekanan darah untuk pasien DM dengan hipertensi ≤130/80 mmHg. Obat

antihipertensi yang ideal adalah yang dapat mengontrol tekanan darah, tidak

mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun lipid (Haffner et

al., 1998).

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik,

artinya tidak sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat,

cara dan lama pemberian yang keliru hingga kurang tepatnya pemberian

informasi sehubungan dengan pengobatan yang diberikan. Dampak negatif

yang dapat dialami oleh pasien yaitu berupa peningkatan risiko efek samping

yang tidak diharapkan, dan biaya yang mahal. Selain itu, penggunaan obat

yang tidak rasional oleh populasi yang lebih luas dapat memberikan dampak

Page 3: introduction 3

3

berupa resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik tertentu dan mutu

pelayanan pengobatan secara umum (Kemenkes, 2011).

Tingginya kasus komplikasi yang terjadi dan pentingnya penanganan pada

pasien DM tipe 2 yang mengalami hipertensi maka perlu dilakukan terapi

farmakologi dan nonfarmakologi secara rasional. Untuk dapat mencapai

pengobatan yang rasional perlu dilakukan identifikasi pola penyakit maupun

pola penggunaan obat di suatu lokasi. Hasil identifikasi ini kemudian akan

dibandingkan dengan standar tertentu dan dilihat ketepatannya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan obat antidiabetika

dan antihipertensi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada

pasien DM dengan hipertensi pada tahun 2014, kemudian akan dievaluasi

dalam hal tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis. Penelitian ini

terbatas hanya pada pasien rawat jalan yang melakukan check-up pada tahun

2014. RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang merupakan rumah sakit

swasta tipe B (madya) di Yogyakarta yang mempunyai poli penyakit dalam

dan merupakan salah satu rumah sakit rujukan di kota Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pola penggunaan obat antidiabetik dan obat antihipertensi

pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipertensi di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2014?

2. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat antidiabetik dan obat

antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, tepat obat, tepat dosis,

tepat pasien pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipertensi di

Page 4: introduction 3

4

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-

Desember 2014 berdasarkan standar The Seventh Report of Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High

Blood Pressure (JNC 7), Standards of Medical Care in Diabetes-2015,

Drug Information Handbook dan Standar Perkeni 2011.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi dan antidiabetik pada

pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta periode Januari-Desember 2014.

2. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat antihipertensi dan antidiabetik

pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta periode Januari-Desember 2014 yang meliputi ketepatan

indikasi, tepat obat, pasien dan dosis berdasarkan guideline.

D. MANFAAT

1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan untuk meningkatkan pengembangan standar penggunaan

obat antidiabetik dan antihipertensi untuk pasien DM tipe 2.

2. Bagi Pemerintah

Dapat menjadi masukan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan dan

evaluasi dalam penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi untuk

pasien DM tipe 2.

Page 5: introduction 3

5

3. Bagi Peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan informasi mengenai pola penggunaan obat

pada pasien DM tipe 2.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes mellitus

Menurut World Health Organization (WHO), DM merupakan

kelainan metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik sebagai

akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan aksi insulin, atau

keduanya (Craig et al., 2009). Gangguan metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein yang terjadi pada penderita DM diakibatkan oleh

penurunan aksi insulin pada jaringan target (Craig et al., 2009).

Jenis-jenis DM :

a. Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes tipe 1 atau disebut juga Insulin-Dependent Diabetes

Mellitus (IDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan kenaikan kadar

gula darah yang diakibatkan oleh defisiensi insulin secara absolut

karena kerusakan sel β pankreas yang disebabkan oleh reaksi

autoimun (Sacks et al., 2011). Pada pulau Langerhans kelenjar

pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel

β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan

sel-sel σ memproduksi hormon somastatin, namun demikian serangan

autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β (Rodbard et al.,

2007).

Page 6: introduction 3

6

Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar

pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin.

Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme

yang menyertai DM tipe 1. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan

sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans.

Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi

hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan

tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini

memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari

keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami

ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin

(Rodbard et al., 2007).

b. Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 atau disebut juga Non-Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan

kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin dan/atau

fungsi insulin yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Sacks

et al., 2011). Sekitar 90%-95% terjadi dari semua kasus diabetes.

Selain resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik

yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi kerusakan pada sel-

sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1.

Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2

Page 7: introduction 3

7

hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas, diet tinggi lemak dan

sedikit serat, serta kurang aktifitas badan dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi munculnya DM tipe 2 (Rodbard et al., 2007).

c. Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah diabetes yang terjadi selama

masa kehamilan dan pada umumnya dapat kembali normal setelah

melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang

dikandung,antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan

bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Selain

itu, wanita yang pernah mengalami diabetes gestational akan berisiko

untuk menderita diabetes lagi di masa depan. (Sacks et al., 2011).

Diagnosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dan hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa ≥126 mg/dL.

Tabel I Kriteria penegakan diagnosa DM (ADA, 2015)

Glukosa plasma puasa Glukosa plasma 2 jam setelah makan

Normal <100 mg/dL <140 mg/dL

Diabetes ≥126 mg/dL ≥200 mg/dL

2. Penatalaksanaan DM

Pada penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan

adalah terapi nonfarmakologis yaitu penatalaksanaan tanpa obat namun

berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini

tujuan penatalaksanaan belum tercapai maka dapat dikombinasi dengan

Page 8: introduction 3

8

langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik

oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Terapi nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi pada pasien DM berupa intervensi gaya

hidup. Intervensi gaya hidup yang paling sering dilakukan adalah

menjaga berat badan agar tetap pada body mass index (BMI) normal

dengn diet dan olahraga secara teratur. Hal ini dapat dilakukan

individu yang mengalami impaired glucose tolerance (IGT) agar

tidak berkembang menjadi DM dan individu yang mempunyai faktor

risiko DM atau menjadi terapi tambahan selain terapi farmokologi.

Diet yang direkomendasikan yaitu mengurangi konsumsi lemak dan

meningkatkan konsumsi sayuran dan buah-buahan. Olahraga ringan

secara teratur minimal 30-40 menit per hari akan bermanfaat dalam

mengurangi risiko terkena DM. Peningkatan level HDL dan

penurunan insidensi hipertensi merupakan hasil yang positif dari

terapi nonfarmakologi ini terutama untuk penderita IGT dan IFG

(Alberti et al., 2007).

b. Terapi farmakologi

1) Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam

merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari

51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21

asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin

Page 9: introduction 3

9

mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolism, efek kerja insulin adalah membantu

transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjay & Rahardja,

2002).

Macam-macam sediaan insulin (Tjay & Rahardja, 2002):

a) Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya

baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh:

Actrapid, Velosulin, Humulin regular.

b) Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini berkerja dengan cara mempersulit daya

larutnya di cairan jaringan dan menghambat reabsorbsinya

dari tempat injeksi ke dalam darah. Metode yang digunakan

adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau

mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human .

c) Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan

dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama

kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM.

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2

kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar

glukosa darahnya. Pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan

kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan

Page 10: introduction 3

10

sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah

insulin.

2) Obat antidiabetik oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral

dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau

kombinasi dari dua jenis obat (Rodbard et al., 2007).

a) Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin

dikelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-

sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi.

Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian

senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan

sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini

merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat

badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketasidosis sebelumnya (Soegondo, 2004).

b) Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin

menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap

kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi

gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat

Page 11: introduction 3

11

badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada

penderita yang overweight (Soegondo, 2004).

c) Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang

luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan

jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan

lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam

jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolindindion

diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan

yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan

juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh :

Pioglitazone, Troglitazon.

d) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim

glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat

menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di

lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga

tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh : Acarbose

(Tjay&Rahardja, 2002).

Page 12: introduction 3

12

Gambar 1 Skema terapi antidiabetika pada DM tipe 2 (ADA, 2015)

3. Hipertensi

a. Definisi

Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan

meningkatnya tekanan darah seseorang. Pengukuran tekanan darah

dilakukan pada dua atau lebih pengukuran pada posisi duduk.

Seseorang dikatakan terkena hipertensi jika rata-rata pada pengukuran

dua kali atau lebih tekanan darah sistolik ≥140mmHg atau tekanan

darah diastolic ≥90mmHg pada dua kali atau lebih kunjungan pada

waktu yang berbeda (Susalit et al., 2001).

Page 13: introduction 3

13

Tabel II Klasifikasi Hipertensi untuk pasien dewasa (usia >18 tahun)

(Chobanian et al., 2004)

Klasifikasi tekanandarah

Tekanan darah sistolik(mmHg)

Tekanan darah diastolik(mmHg)

NormalPrehipertensi

Hipertensi tingkat 1Hipertensi tingkat 2

<120120-139140-159

≥160

Dan <80Atau 80-89Atau 90-99Atau ≥100

Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat

mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu

kelainan klinis ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu

tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan diastolik >120 mmHg yang

kemungkinan dapat menimbulkan atau tanda telah terjadi kerusakan

organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergensi dan hipertensi

urgensi. Hipertensi emergensi yaitu tekanan darah meningkat ekstrim

disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan darah

harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah

kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya

tekanan darah tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga

tekanan darah diturunkan dalam waktu beberapa jam hingga hari pada

nilai tekanan darah tingkat I (ADA, 2003).

b. Etiologi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi

sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer merupakan

hipertensi idiopatik, artinya tidak diketahui secara jelas penyebabnya,

sedangkan hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh adanya

penyakit atau patofisiologis lain.

Page 14: introduction 3

14

1) Hipertensi primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi

essensial (primer). Penyebab hipertensi essensial ini masih belum

diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini

mempunyai peran penting dalam menyebabkan hipertensi essensial

(Weber et al., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan

aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf

simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Faktor

lingkungan seperti konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang

tidak sehat juga dapat mempengaruhi.

Penurunan ekskresi natrium pada keadaan arteri normal

merupakan peristiwa awal dalam hipertensi essensial. Penurunan

ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan,

curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah

meningkat (Robbin et al., 2007).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid

atau penggunaan obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan

darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,

dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi.

Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi

komorbid yang menyertai merupakan tahap pertama dalam

Page 15: introduction 3

15

penanganan hipertensi sekunder (Dosh, 2001). Beberapa penyebab

hipertensi sekunder dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Oparil et al., 2006)

Penyakit ObatPenyakit ginjal kronisHiperaldosteronisme primerPenyakit renovaskularSindroma CushingPhaeochromocytomaKoarktasi aortaPenyakit tiroid atau paratiroid

Kortikosteroid, ACTHEstrogen (biasanya pil KB dengan kadar estrogen tinggi)NSAID, COX-inhibitorFenilpropanolamin dan analogSiklisforin dan takromilusEritropoetinSibutraminAntidepressan (terutama venlafaxine)

c. Patofisiologi

Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang dipengaruhi

oleh dua variable hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi

perifer total (Robbin et al., 2007). Curah jantung merupakan faktor

yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer

menentukan nilai tekanan darah diastolik (Saseen & Maclaughlin,

2008).

Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah

melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Renin yang dihasilkan

oleh sel justaglomerulus ginjal mengubah angiotensinogen menjadi

angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi angiotensin-2

oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat

berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor

angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat

meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah.

Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi

Page 16: introduction 3

16

pelepasan katekolamin, dan meningkatkan aktivitas saraf simpatik

dan volume darah. Angiotensin-2 juga menstimulasi sintesis

aldosterone dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium

dan air yang akan menyebabkan kenaikan volume darah, kenaikan

resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen

& Maclaughlin, 2008).

d. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah, antara lain :

1) Usia (pria di atas 55 tahun, wanita di atas 65 tahun),

2) Profil kolesterol tinggi, LDL tinggi, HDL rendah

3) Merokok

Rokok mengandung nikotin. Nikotin merupakan vasokonstriktor

sehingga dapat menaikkan tekanan darah.

4) Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular

5) Aktivitas fisik kurang aktif

6) Garam

Ion natrium pada garam dapat mengakibatkan retensi air sehingga

meningkatkan volume darah dan tahanan vaskuler perifer. Ion

natrium juga dapat meningkatkan efek vasokonstriksi noradrenalin

(Tjay & Raharja, 2002).

7) Stress

Peningkatan TD pada kondisi stress diperantarai dilepaskannya

neurotransmitter adrenalin dan noradrenalin.

Page 17: introduction 3

17

8) Pil Kontasepsi

Estrogen dalam pil kontrasepsi memiliki sifat meretensi air dan

garam. Dengan adanya retensi tersebut, volume cairan akan

meningkat dan dapat meningkatkan TD.

9) Kehamilan

Kenaikan TD dapat terjadi selama kehamilan. Apabila uterus

meregang karena perkembangan janin, maka aliran darah ke

daerah tersebut akan berkurang sehingga memicu dilepaskannya

zat-zat yang dapat memicu kenaikan TD (Tjay & Raharja, 2002).

10) Diabetes Melitus (DM)

Penderita hipertensi primer memiliki kaitan erat dengan hormon

insulin. Orang yang mengalami obesitas ataupun memiliki DM

tipe II mengalami gangguan terhadap transport glukosa ke

jaringan perifer (biasa disebut resistensi insulin). Akibatnya, level

serum glukosa meningkat seihngga menstimulasi pankreas untuk

mensekresikan insulin dalam jumlah besar. Seperti halnya

hiperinsulinemia, secara teoritis dapat menaikkan tekanan arteri

dengan 4 mekanisme :

a) Insulin menstimulasi reabsorpsi natrium di ginjal,

b) Insulin meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan

konsentrasi katekolamin,

c) Insulin merupakan mitogen yang menstimulasi hipertrofi

pembuluh arteri otot polos,

Page 18: introduction 3

18

d) insulin mempengaruhi transport ion yang mengarah pada

meningkatnya ion kalsium intraselular (Maholtra et al, 2003).

e. Gejala klinis hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala

penyakit. Ada kesalahpahaman yang sering terjadi pada masyarakat

bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit.

Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak

merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang

menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri

dada, palpitasi, dan epitaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika

diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit

hipertensi (WHO, 2013).

f. Komplikasi hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak

endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari

hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata,

ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor

resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient

ischemic attack), penyakit arteri coroner (infark miokard, angina),

gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Peningkatan morbiditas

dan mortalitas akibat gangguan kardiovaskular akan terjadi bila

penderita hipertensi memiliki faktor-faktor risiko (Dosh, 2001).

Page 19: introduction 3

19

g. Diagnosa

Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer karena pasien

dengan hipertensi essesial biasanya tidak mengalami gejala

(asimtomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya

tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu

dua kali control ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan

darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan

sesuai dengan tingkatnya (Depkes, 2006).

4. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan

kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan

penyakit ginjal) (Chobanian et al., 2004).

Target nilai tekanan darah yang direkomendasikan dalam JNC VII :

a. Kebanyakan pasien < 140/90 mmHg

b. Pasien dengan diabetes <130/80 mmHg

c. Pasien dengan penyakit ginjal kronis <130/80 mmHg

Beberapa prinsip pengobatan hipertensi, yaitu (Susalit et al., 2001):

a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan

kausal (penyebab),

b. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan

darah dengan harapan dapat memperpanjang umur dan mengurangi

timbulnya risiko,

Page 20: introduction 3

20

c. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat digunakan obat selain

perubahan gaya hidup,

d. Pengobatan hipertensi primer merupakan pengobatan jangka panjang,

bahkan dapat sampai seumur hidup.

Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien hipertensi dapat

dibagi menjadi 2, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.

a. Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi biasa diterapkan pada pasien prehipertensi

agar tidak terjadi perburukan kondisi. Terapi nonfarmakologi

dilakukan dengan melakukan penurunan berat badan, aktivitas fisik

dan pengaturan pola makan. Terapi nonfarmakologi dapat menunjang

turunnya tekanan darah pasien yang menjalani terapi secara

farmakologi seperti yang ditunjukkan pada Tabel IV.

Tabel IV Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi

(Chobanian et al., 2004)

Modifikasi Rekomendasi Penurunantekanan darah

Penurunanberat badan

Menjaga berat badan normal (indeks massa tubuh18,5-24,9 kg/m2)

5-20mmHg/10kg

Diet makanmenurutDASH

Mengkonsumsi makanan berupa buah, sayur danproduk susu rendah lemak dan mengurangi jumlahmakanan yang mengandung lemak jenuh dan total

lemak.

4-18 mmHg

Diet rendahgaram

Mengurangi asupan garam menjadi kurang dari100 mmol/hari (2,4g natrium dan 6g natrium

klorida)

2-8 mmHg

Aktivitasfisik

Rutin melakukan aktivitas fisik aerobic sepertijalan cepat (minimal 30 menit per hari, setiap hari)

4-9 mmHg

Membatasikonsumsialkohol

Membatasi konsumsi menjadi tidak lebih dari 2kali porsi minum per hari untuk laki-laki dan 1 kaliper hari untuk perempuan dan yang memiliki berat

badan kurang

2-4 mmHg

Page 21: introduction 3

21

Pasien juga disarankan untuk mengentikan kebiasaan merokok

(Weber et al., 2014). Modifikasi pola hidup dapat menurunkan

tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi

risiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian et al., 2004).

b. Terapi Farmakologi

Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada

tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat

yang digunakan memiliki mekanisme dan tempat aksi yang berbeda

dalam menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi dapat diberikan

secara tunggal maupun kombinasi. Obat antihipertensi diuretik, β-

blocker, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),

penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kanal kalsium

(CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi morbiditas

dan mortalitas. Obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2 agonis

central, dan vasodilator merupakan alternative yang digunakan

penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian et al.,

2004).

`Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi antihipertensi :

1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat

secara langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan

menghalangi konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi

ini akan mengurangi angiotensin-2 yang dapat menimbulkan

Page 22: introduction 3

22

vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya jalur lain yang

menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak

menghalangi secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI

tidak menyebabkan efek pada metabolism. Bradikinin

terakumulasi pada sebagian pasien karena penghambatan ACE

mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat

mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida,

tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk.

Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan

lisinopril (Saseen, 2009).

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus

dihindari pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena berisiko

menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga

dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil

(Barranger et al., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek

samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering, ruam, dan

pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit

ginjal atau diabetes (Barranger et al., 2006).

2) Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Angiotesin-2 diproduksi dengan melibatkan dua jalur enzim

yaitu RAAS (rennin angiotensin aldosteron system) yang

melibatkan ACE dan jalur alternatif yang menggunakan enzim

kinase (Carter et al., 2003). Angiotensin converting enzyme

Page 23: introduction 3

23

inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang

menghasilkan RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2

dari semua jalur. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

menghambat secara langsung reseptor agiotensin-2 tipe 1 (AT1)

yang memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi,

pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon

antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. ARB

tidak memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini

menyebabkan efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2

seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan

pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Depkes,

2006). Contoh ARB adalah valsartan, kandesartan, irbesartan, dan

losartan (Chobanian et al., 2004).

Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik,

karena tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan

angioedema (Weber et al., 2014). ARB harus digunakan secara

hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta

dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi

pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger et al.,

2006).

3) Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan

mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik

Page 24: introduction 3

24

menurunkan tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan

curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu maka curah jantung

kembali normal sedangkan resistensi vaskular menurun. Natrium

diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan

meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal

ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran

natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium

intraselular (Benowitz, 2009).

Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati

hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis

aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini

pertama pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki

efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek

aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop.

Antagonis aldosteron memiliki efek yang lebih poten dengan mula

kerja yang lambat (Depkes, 2006). Contoh diuretik tiazid yaitu

hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu

bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium

yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu

eplerenon dan spironolakton (Chobanian et al., 2004).

Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada

hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria,

kehamilan, hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout,

Page 25: introduction 3

25

hipokalemia yang persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison,

gangguan hati berat, dan gangguan ginjal berat (kreatinin klirens

<30 ml/ menit) sedangkan golongan diuretik loop yaitu furosemid

dikontraindikasikan pada hipersensitivitas tehadapa diuretik loop

atau sulfonilurea, gout, anuria, dan pasien koma hepatic akibat

sirosis (NFKDOQL, 2004; Lacy et al., 2006; BPOM RI, 2008;

WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan

hiperkalemia terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis

atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB,

NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat

menimbulkan hiperkalemia (Depkes, 2006).

4) Β-blocker (penyekat beta)

Reseptor beta terdiri dari respetor beta-1 dan reseptor beta-2.

Reseptor beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi

dalam mengatur denyut jantung, pelepasan rennin, dan

kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru,

hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam mengatur

bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta menurunkan

tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi

pelepasan rennin dari ginjal (Weber et al., 2014).

Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat

kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak

menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam

Page 26: introduction 3

26

penyekat beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol,

asebutolol, dan bisoprolol lebih aman pada pasien asma, penyakit

paru-paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada dosis

tinggi, penyekat beta selektif kehilangan kardioselektifitasnya

(Barranger et al., 2006). Beberapa penyekat beta mempunyai

aktivitas simpatomimetik intstrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol,

penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja

secara agonis pada beta resptor parsial (Depkes, 2006). Penyekat

beta ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang

lebih lemah dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada

pasien dengan denyut jantung lemah, maka penyekat beta ISA

dapat meningkatkan denyut jantung. Hal yang sebaliknya terjadi

pada pasien dalam keadaan istirahat atau melakukan aktivitas

yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada pasien-pasien ini

penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung karena

adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009).

Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan

hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi,

blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta

gagal jantung dekompesasi kecuali pada penggunaan karvedilol,

metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQL, 2004;

Barranger et al., 2006; Lacy et al., 2006). Efek samping paling

Page 27: introduction 3

27

sering dari penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing,

bronkospasme, mual, dan muntah (Barranger et al., 2006).

5) Calcium Channel Blocker (CCB)

Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah

dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel

otot polos arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti

amlodipin dan nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta

nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil yang bekerja

mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihiropiridin,

tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan

kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan

diltiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart

failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan

CCB generasi pertama harus dihindari kecuali untuk terapi pada

pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger et al., 2006;

Weber et al., 2014). Diltiazem dan verapamil harus dihindari pada

pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung kongesif

karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi

(NFKDOQL, 2004; Barranger et al., 2006; BPOM RI, 2008;

WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien

hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan

darah diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger et al., 2006).

Page 28: introduction 3

28

Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer

yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat

dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau

ARB. CCB dihidropiridin menunjukkan efek yang

menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan

stroke. CCB nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada

pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak

jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada

pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransi penyekat

beta. CCB nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria.

CCB memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika

dikombinasi dengan ACEI atau ARB (Weber et al., 2014).

6) Penyekat alfa-1

Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan

menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,

menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah

(ALLHAT, 2003) tanpa menyebabkan penurunan curah jantung

dan takikardi (Cross, 2006). Contoh penyekat alfa-1 yaitu

prazosin, doksazosin, dan terazosin (Chobanian et al., 2004).

Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular karena dapat meningkatkan risiko kematian

(Barranger et al., 2006). Penyekat alfa melewati hambatan otak-

Page 29: introduction 3

29

darah dan dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf

pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes, 2006).

7) Agonis alfa-2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama

dengan merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak.

Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat

vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan perifer (Berringer

et al., 2006). Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara

tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini

diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin.

Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik,

tetapi efek ini jarang terjadi.metildopa harus dihentikan segera

apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase

liver yang menetap (Oparil et al., 2003).

8) Vasodilator arteri langsung

Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan

oleh relaksasi langsung otot polos arteriola tetapi tidak

menyebabkan vasodilatasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat

juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi kuat yang

mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor

menyebabkan meningkatnya aliran simpatik, sehingga

meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin

(Depkes, 2006). Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien

Page 30: introduction 3

30

dengan penyakit arteri koroner dan mitral valvular rheumatic

heart disease. Minoksidil dikontraindikasikan pada pasien dengan

pheochromocytoma, acute myocardial infraction, dan dissecting

aortic aneurysm. Efek samping dari hidralazin yaitu terjadinya

sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari), dermatitis, demam,

dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan hirsutism

(Barranger et al., 2006)

Terapi kombinasi dapat diberikan dengan menggunakan dua

antihipertensi dari kelas yang berbeda. Terdapat 6 alasan

dianjurkannya pengobatan kombinasi pada hipertensi, yaitu :

1) Mempunyai efek aditif,

2) Mempunyai efek sinergisme,

3) Mempunyai sifat saling mengisi,

4) Penurunan efek samping masing-masing obat,

5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target

tertentu,

6) Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan

pasien (adherence).

Menurut JNC 7, hipertensi tingkat 2 sudah membutuhkan terapi

kombinasi. Beberapa kombinasi yang dapat diberikan dapat dilihat

pada Gambar 2. Kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal

adalah kombinasi yang paling efektif.

Page 31: introduction 3

31

Gambar 2 Kombinasi antar kelas hipertensi

The seventh report of Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) menyatakan obat antihipertensi pada kebanyakan pasien hipertensi

sebaiknya adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk

pasien yang tanpa indikasi penyulit dengan hipertensi tingkat I, tetapi

tidak menutup kemungkinan digunakan pula obat antihipertensi lain

seperti beta blocker, ACEI, ARB, CCB, atau kombinasi. Pasien

dengan hipertensi tingkat II sebaiknya memulai terapi dengan

kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda

(Chobanian et al., 2004). Algoritma terapi hipertensi dapat dilihat

pada Gambar 3.

Diuretik

Beta Blocker

ACEI

Alpha BlockerCCB

ARB

Page 32: introduction 3

32

Gambar 3 Algoritma terapi pada Hipertensi (Chobanian et al., 2004)

Berdasarkan JNC 7, adanya penyakit penyulit membutuhkan obat-

obat antihipertensi tertentu sebagai lini pertama. Golongan obat yang

direkomendasikan merupakan hasil pertimbangan dari berbagai uji

klinis tentang penggunaan kelas obat tertentu pada hipertensi dengan

penyakit penyulit (Chobanian et al., 2004). Pemilihan terapi

hipertensi dengan penyakit penyulit dapat dilihat dari Tabel V.

Page 33: introduction 3

33

Tabel V Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit

(Chobanian et al., 2004).

Penyakit penyulit Rekomendasi obatDiuretik BB ACEI ARB CCB ALDO

ANTGagal jantung Pasca infarkmiokard

Risiko penyakitkoroner tinggi

Diabetes Penyakit ginjalkronis

Pencegahan stroke Ket : ACEI : Angiotensin Converting Enzyme, ARB : Angiotensin Receptor Blocker,

CCB : Calcium Channel Blocker, BB : Beta Blocker, ALDO ANT : Aldosterone

antagonist

5. Pemilihan Anti Hipertensi pada Diabetes Mellitus tipe 2

Obat antihipertensi yang ideal dan diharapkan adalah yang dapat

mengontrol tekanan darah, tidak mengganggu terhadap metabolisme baik

glukosa maupun lipid, bahkan lebih menguntungkan dapat berperan

sebagai renoprotektif, serta dapat menguntungkan secara maksimal adalah

respon terhadap kematian akibat kardiovaskular (Haffner et al., 1998).

Berdasarkan hasil penelitian UPKDS, dengan penurunan rata-rata 10

mmHg tekanan sistolik dapat menurunkan risiko komplikasi sebesar 12%

, kematian 15%, Infark miokard 11%, dan komplikasi mikrovaskuler 13%

(Haffner et al., 1998).

Penghambat ACE dan ARB menurunkan tekanan darah melalui

mekanisme tidak terjadinya vasokonstriksi. Penghambat ACE

menghambat pembentukan angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor,

sedangkan ARB bertindak antagonis reseptor AT1. Perbedaannya

Page 34: introduction 3

34

bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis

reseptor AT1 seperti Valsartan, telmisartan, Irbesartan, ataupun Losartan

akan memblokade secara kompleks pada reseptor sistem rennin

angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada sistem

kardiovaskular. Dengan demikian ARB selain bersifat nefroproktektif

juga bersifat kardioprotektif.

Renoprotektif ini dapat tercapai dengan baik pada penderita

diabetes selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah

protein juga pengelolaan hipertensi yang mencapai target tekanan darah

kurang 135/80 mmHg dengan menggunakan ACEI ataupun ARB. ARB

bersifat renoprotektif ini dibuktikan pada banyak penelitian. Losartan

lebih besar pengaruhnya dalam penurunan ekskresi mikroalbuminuria

dibandingkan dengan kalsium antagonis, demikian juga Ibesartan yang

dibandingkan dengan amlodipin.

Pada penelitian meta-analisis dengan populasi penderita diabetes

didapatkan ACEI, Calcium antagonis, dan β-blockers, mempunyai efek

menurunkan ekskresi mikroalbuminuria. Secara berurutan efek tersebut

paling besar terdapat pada ACEI, calcium antagonist, dan yang paling

rendah adalah β-blockers.

Penggunaan ARB dan ACEI pada pengelolaan hipertensi, CHF,

infark miokard, serta nefropati diabetika memberikan efektifitas yang

baik. Walaupun demikian ARB lebih selektif pada proliferasi sel endotel,

Page 35: introduction 3

35

vasokonstriksi dan remodeling tanpa efek samping seperti batuk dan

edem angioneurotik.

Dengan demikian pada penderita nefropati diabetika ACEI, ARB,

dan β-blockers merupakan pilihan pertama untuk control hipertensi,

sedangkan rekomendasi ADA dalam pengelolaan hipertensi pada

penderita diabetes adalah ACEI dan ARB untuk mikroalbuminuria.

Apabila disertai faktor risiko kardiovaskular dengan ada ataupun tidak

ada hipertensi pilihannya adalah ACEI. Untuk diabetes dengan infark

miokard akut pilihannya adalah β-blockers. ACEI, ARB, β-blockers dan

diuretika dapat dikombinasi satu sama lain yang tidak segolongan,

sedangkan calcium antagonis merupakan pilihan yang sangat tepat

sebagai terapi kombinasi tetapi bukan pengganti ACEI dan β-blockers

(Haffner et al., 1998)

6. Rasionalitas Pengobatan

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat

yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan

dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO

memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia

diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh

dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Penggunaan obat yang

rasional diperlukan untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan

yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat

dengan harga terjangkau (Kemenkes, 2011).

Page 36: introduction 3

36

Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (MSH, 2012):

a) Tepat diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis

yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka

pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru

tersebut, akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai

dengan indikasi yang seharusnya.

b) Tepat Indikasi

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,

misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian,

pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi

gejala adanya infeksi bakteri.

c) Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus

yang memiliki efek terapi yang sesuai dengan spektrum penyakit.

d) Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap

efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khusunya untuk

obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan berisiko

timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak

akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

Page 37: introduction 3

37

e) Tepat cara pemberian

Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan

membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan

menurunkan efektivitasnya.

f) Tepat interval waktu pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan

praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi

pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), makin rendah

tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 kali sehari

harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval

setiap 8 jam.

g) Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.

Untuk tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah

6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah

10-14 hari. Pemberian obat terlalu singkat dan terlalu lama dari yang

seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h) Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek

tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis

terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan

alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah

Page 38: introduction 3

38

di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak

kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan

tulang yang sedang tumbuh.

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam

praktek sehari-hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan

dosis, cara, dan lama pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang

mahal merupakan sebagian contoh dari ketidakrasionalan peresepan.

Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan

dampak negatif yang diterima pasien lebih besar dibanding manfaatnya.

Dampak negatif ketidakrasionalan penggunaan obat dapat meliputi

(MSH, 2012):

a.) Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan

Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contoh

kasus: pemberian oralit pada anak yang mengalami diare akut non

spesifik tidak dilakukan padahal dapat membahayakan keselamatan

jiwa anak yang bersangkutan.

b.) Dampak negatif pengobatan

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat

untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas

merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien. Di sini

termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat

yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga yang

Page 39: introduction 3

39

lebih terjangkau telah tersedia. Peresepan antibiotika bukannya

keliru, tetapi pemberiannya diprioritaskan untuk penyakit-penyakit

yang memang memerlukannya. Dengan begitu, pemborosan

anggaran dapat dicegah dan direalokasikan untuk penyakit atau

intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu

pelayanan kesehatan dapat dijamin.

c.) Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang

tidak diharapkan

Ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan risiko

terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik

untuk pasien maupun masyarakat. Contoh kasus : Kebiasaan

memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan risiko

terjadinya syok anafilaksis. Terjadinya resistensi kuman terhadap

antibiotika merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotika

yang berlebih (overprescribing), kurang (underprecribing), maupun

pemberian pada kondisi yang bukan merupakan indikasi(misalnya

infeksi yang disebabkan oleh virus).

d.) Dampak terhadap mutu ketersediaan obat

Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi

pengaruh buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini

dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi obat maupun

persepsi yang keliru terhadap pengobatan. Contoh yang banyak

dijumpai dalam praktek sehari-hari : kebiasaan dokter atau petugas

Page 40: introduction 3

40

kesehatan untuk memberikan injeksi kepada pasien. Jika tujuannya

adalah untuk memuaskan pasien, maka hal ini harus dikaji ulang

secara mendalam karena pemberian obat per injeksi selalu

memberikan risiko yang lebih besar dibandingkan per oral.

Dampak berikutnya adalah tertanamnya keyakinan pada masyarakat

bahwa injeksi adalah bentuk pengobatan yang paling baik, karena

selalu dianjurkan atau ditawarkan oleh dokter atau petugas.

Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional

diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat

provider yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan

pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional

(Kemenkes, 2011).

7. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah awalnya didirikan berupa

klinik sederhana pada tanggal 15 Februari 1923 di kampung Jagang

Notoprajan Yogyakarta. Awalnya bernama PKO (Penolong

Kesengsaraan Oemoem) dengan maksud menyediakan pelayanan

kesehatan bagi kaum dhuafa’. Didirikan atas inisiatif H.M. Sudjak yang

didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan

perkembangan jaman, pada sekitar era tahun 1980-an nama PKO berubah

menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat).

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini mempunya visi ‘Menjadi

rumah sakit Islam yang berdasar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah

Page 41: introduction 3

41

SAW, dan sebagai rujukan terpercaya di Daerah Istimewa Yogyakarta

dan Jawa Tengah dengan kualitas pelayanan kesehatan yang Islami,

profesional, cepat, nyaman dan bermutu, setara dengan kualitas pelayanan

rumah sakit - rumah sakit terkemuka di Indonesia dan Asia’ yang

didukung dengan misi :

a. Mewujudkan derajad kesehatan yang optimal bagi semua lapisan

masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, pencegahan,

pengobatan, pemulihan kesehatan secara menyeluruh sesuai dengan

peraturan/ketentuan perundang-undangan.

b. Mewujudkan peningkatan mutu bagi tenaga kesehatan melalui sarana

pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan secara profesional dan

sesuai tuntunan ajaran Islam

c. Mewujudkan da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar di bidang

kesehatan dengan senantiasa menjaga tali silaturrahim, sebagai bagian

dari da’wah Muhammadiyah.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dikelola berdasarkan manajemen

entrepreneural yang bertumpu pada nilai-nilai yang bersumber dari Al

Qur’an yaitu :

a. Amanah

b. Sidiq

c. Fathonah

d. Tabligh

e. Inovatif

Page 42: introduction 3

42

f. Silaturrahim

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini telah mendapatkan piagam

penghargaan sebagai Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB) Terbaik

Tingkat Provinsi pada tahun 2014.

F. LANDASAN TEORI

Penelitian mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien Diabetes

Mellitus pernah dilakukan oleh Ansa et al (2011) di Instalasi Rawat Inap

BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yang mendapatkan hasil pola

penggunaan antihipertensi pada pasien DM tipe 2, terdiri atas terapi tunggal

(60,98%) dan kombinasi (39,02%). Evaluasi penggunaan obat pada pasien

DM juga pernah dilakukan oleh Puspita (2013) pada instalasi rawat inap di

RSU Queen Latifa Yogyakarta, yang hasilnya menunjukkan antidiabetika

yang digunakan antara lain insulin, sulfonilurea, biguanid, dan

tiazolindindion dan hasil evaluasi terapi menunjukkan 68,42% tepat

indikasi, 100% tepat pasien, dan 42,11% kadar gula darah sewaktu akhir

terapi mencapai target yang diinginkan. Evaluasi penggunaan obat

antihipertensi pada pasien hipertensi di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta pernah dilakukan oleh Ilma (2014), yang memberikan hasil

evaluasi penggunaan obat antihipertensi 90,63% pasien termasuk tepat

indikasi, 89,66% pasien termasuk tepat obat, 100% pasien termasuk

tepat pasien, dan 100% pasien termasuk tepat dosis.

Page 43: introduction 3

43

G. KETERANGAN EMPIRIS

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien Diabetes

Melitus tipe 2 dengan Hipertensi, pola pengobatan, dan rasionalitas

penggunaan obat antidiabetik dan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan

indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien dan ketepatan dosis pada pasien

DM tipe 2 dengan hipertensi rawat jalan di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2014.