S1-2015-319243-introduction (1)

46
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Teknologi foto udara saat ini sudah berkembang sangat pesat, yaitu dari analog menjadi digital. Hal itu merupakan upaya untuk mendapatkan gambaran permukaan bumi secara cepat, akurat dan efisien. Gambaran permukaan bumi yang diperoleh melalui pemotretan udara dipelajari secara mendalam dalam ilmu fotogrametri. Menurut jenisnya, foto udara terbagi menjadi 2 jenis yaitu foto udara format metrik dan non metrik. Foto udara metrik merupakan foto udara yang diambil menggunakan kamera metrik dan memiliki ketelitian yang sangat tinggi karena dibuat untuk keperluan pemetaan. Jenis foto lainnya adalah foto non metrik yang dihasilkan dari kamera non metrik dan dibuat untuk pengambilan foto secara umum sehingga tidak memiliki ketelitian sebaik kamera metrik. Gularso (2013) mengungkapkan bahwa jenis kamera dan wahana yang digunakan pada foto udara mempengaruhi efisiensi biaya untuk pemetaan. Pada luas area yang relatif lebih kecil (±100 ha) pemotretan menggunakan kamera metrik menjadi tidak optimal karena biaya operasional tidak sebanding dengan volume pekerjaan. Hal tersebut memacu para ahli fotogrametri untuk mengembangkan metode alternatif pemotretan dengan biaya

description

fotogrametri jarak dekat landasan teori

Transcript of S1-2015-319243-introduction (1)

Page 1: S1-2015-319243-introduction (1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Teknologi foto udara saat ini sudah berkembang sangat pesat, yaitu dari analog

menjadi digital. Hal itu merupakan upaya untuk mendapatkan gambaran permukaan

bumi secara cepat, akurat dan efisien. Gambaran permukaan bumi yang diperoleh

melalui pemotretan udara dipelajari secara mendalam dalam ilmu fotogrametri.

Menurut jenisnya, foto udara terbagi menjadi 2 jenis yaitu foto udara format

metrik dan non metrik. Foto udara metrik merupakan foto udara yang diambil

menggunakan kamera metrik dan memiliki ketelitian yang sangat tinggi karena

dibuat untuk keperluan pemetaan. Jenis foto lainnya adalah foto non metrik yang

dihasilkan dari kamera non metrik dan dibuat untuk pengambilan foto secara umum

sehingga tidak memiliki ketelitian sebaik kamera metrik.

Gularso (2013) mengungkapkan bahwa jenis kamera dan wahana yang

digunakan pada foto udara mempengaruhi efisiensi biaya untuk pemetaan. Pada luas

area yang relatif lebih kecil (±100 ha) pemotretan menggunakan kamera metrik

menjadi tidak optimal karena biaya operasional tidak sebanding dengan volume

pekerjaan. Hal tersebut memacu para ahli fotogrametri untuk mengembangkan

metode alternatif pemotretan dengan biaya relatif murah dan cukup akurat. Salah

satu metode alternatif adalah penggunaan kamera non metrik berformat kecil sebagai

instrumen pemotretan udara, metode ini dikenal dengan Small Format Aerial

Photography (SFAP).

Beberapa penelitian dan aplikasi mengenai foto udara format kecil telah

dilaksanakan. Prijono dkk (2004) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan foto

udara format kecil untuk pendataan obyek pajak bumi dan bangunan. Penggunaan

pesawat terbang dengan kamera format kecil (non metrik) merupakan salah satu

metode alternatif di dalam pengambilan data rupa bumi melalui pemotretan udara.

Page 2: S1-2015-319243-introduction (1)

Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa foto udara format kecil dapat

dimanfaatkan untuk pengukuran luas bidang tanah dan pembuatan peta bidang tanah.

Puspita (2013) meneliti mengenai pembuatan Digital Elevation Model (DEM)

menggunakan foto udara format kecil untuk estimasi sedimen lahar dingin di

sebagian Kali Gendol Gunung Merapi. DEM FUFK memiliki resolusi 5 m, akurasi

horisontal sebesar 12,9 m dan akurasi vertikal sebesar 17,51 m. Perhitungan volume

sedimen menggunakan metode cut and fill pada DEM LIDAR. Total volume

sedimen yang bertambah ialah 5,27 juta m3, untuk volume yang berkurang sebesar

4,96 juta m3, dan selisih untuk volume akhir ialah 0,31 juta m3 sepanjang sungai

penelitian. Contoh penelitian tersebut menunjukkan peluang pemanfaatan foto udara

format kecil. Pemanfaatan tersebut berupa pengolahan foto udara format kecil

menjadi Digital Elevation Model (DEM).

Stereoplotting merupakan salah satu alternatif pembuatan DEM dimana dalam

pelaksanaannya diperlukan nilai Exterior Orientation Parameter (EOP) melalui

tahapan Aerial Triangulation (AT) atau Relative Orientation (RO). Nilai EOP dari

AT merupakan hasil model perhitungan bundle adjustment, sedangkan nilai EOP

yang diperoleh dari hasil RO dilanjutkan dengan proses absolute orientation.

Beberapa metode yang digunakan untuk membentuk DEM tentunya perlu

dipastikan terlebih dahulu tingkat ketelitian yang dihasilkan, sehingga pengguna

dapat mempertimbangkan metode yang tepat untuk membuat DEM sesuai dengan

tingkat akurasi yang diperlukan. Penelitian ini mengkaji akurasi DEM hasil

stereoplotting pada foto udara format kecil dengan menggunakan acuan SNI dan

ketelitian yang pernah dilakukan Lee (2008). Software yang digunakan untuk

melakukan penelitian ini adalah DAT/EM Summit Evolution.

I.2. Rumusan Masalah

Kebutuhan akan pengambilan data rupa bumi dalam skala besar semakin besar.

Foto udara format kecil merupakan salah satu metode alternatif dalam pengambilan

data rupa bumi skala besar yang murah namun memiliki kelemahan pada sistem

lensanya. Untuk penggambaran peta rupa bumi skala besar, foto udara format kecil

Page 3: S1-2015-319243-introduction (1)

diolah menjadi DEM dengan metode stereoplotting interaktif. Beberapa penelitian

sudah mengkaji akurasi pembuatan DEM menggunakan foto udara format kecil.

Namun belum ada yang mengkaji akurasi pembuatan DEM tersebut dengan metode

stereoplotting interaktif dengan memanfaatkan data pengukuran terestris sebagai

pembanding.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan penelitian yang sesuai adalah :

1. Berapa akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting interaktif

foto udara format kecil menurut SNI 19-6502.1-2000 ?

2. Berapa akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting interaktif

berdasarkan perbandingan nilai standar deviasi dan ketelitian maksimal rata-

rata mengacu pada penelitian oleh Lee (2008)?

I.4. Cakupan Penelitian

Cakupan penelitian ini adalah :

1. Lokasi penelitian berada di sebagian wilayah Desa Banyuripan, Kecamatan

Bayat, Kabupaten Klaten.

2. Data ketinggian yang dihasilkan dari pengukuran terestris digunakan

sebagai data pembanding dalam perhitungan akurasi DEM hasil

stereoplotting interaktif.

3. Kajian akurasi mengacu pada SNI 19-6502.1-2000 tentang spesifikasi

teknis peta rupa bumi skala 1:10000 dan perbandingan antara standar

deviasi dan nilai ketelitian rata-rata sebagaimana penelitian yang pernah

dilakukan oleh Lee (2008).

4. Kalibrasi kamera sudah standar dan memiliki hasil yang akurat.

Page 4: S1-2015-319243-introduction (1)

I.5. Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu :

1. Teridentifikasinya tingkat akurasi DEM hasil proses stereoplotting

interaktif pada foto udara format kecil menurut SNI 19-6502.1-2000.

2. Teridentifikasinya tingkat akurasi DEM hasil stereoplotting interaktif

berdasarkan perbandingan nilai standar deviasi dan ketelitian maksimal

rata-rata mengacu pada penelitian oleh Lee (2008).

I.6. Manfaat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai

keakuratan DEM dari proses stereoplotting foto udara. Selain itu juga sebagai

referensi dalam pengambilan keputusan mengenai metode yang sesuai untuk

pembuatan DEM dari FUFK.

I.7. Tinjauan Pustaka

Melasari (2014) melakukan penelitian mengenai kajian akurasi DEM hasil

stereoplotting pada foto udara format medium di kawasan lembah Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah

stereoplotting interaktif. Hasil yang diperoleh yaitu nilai standar deviasi sebesar

0,434 m dan lebih kecil dari nilai ketelitian maksimal rata-rata yaitu 0,456 m.

Pranadita (2013) membuat DEM dari foto udara format format medium

menggunakan kamera DigiCAM di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah stereoplotting interaktif. Kesimpulan

yang dapat diambil adalah nilai standar deviasi dari DEM hasil stereoplotting foto

udara format sedang sebesar 0,628 m.

Abdullah (2010) dalam sebuah artikel ilmiah Mapping Matters mengemukakan

bahwa ketelitian vertikal seringkali lebih baik dari ketelitian horisontal menurut

standar ASPRS. Hal tersebut dapat disebabkan karena cara penentuan standar untuk

Page 5: S1-2015-319243-introduction (1)

vertikal berbeda dengan horisontal. Apabila standar horisontal mempertimbangkan

GSD dan skala produk/enlargement ratio yang dihasilkan berdasarkan skala

penerbangan, maka standar vertikal menggunakan mempertimbangkan GSD dan

interval kontur.

Lee (2008) meneliti mengenai kesesuaian airborne video data untuk

fotogrametri. Video diperoleh menggunakan kamera non metrik dengan

menggunakan skala 1:45.000. IOP dan distorsi foto diselesaikan menggunakan

model parameter distorsi Jacobsen. Penelitian ini memperoleh hasil RMSE 0,5 m

untuk horisontal dan 0,6 s.d 0,8 meter untuk vertikal.

Tanjung (2006) menerapkan bundle block adjustment pada foto udara format

kecil untuk menghasilkan data digital terrain model di kawasan lembah kampus

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hasil yang diperoleh yaitu DEM hasil

ekstraksi yang sudah terikat absolut pada sistem koordinat tanah. DEM tersebut tidak

menunjukkan kenyataan yang ada di lapangan karena DEM diekstrak berdasarkan

kesamaan nilai derajat keabuan yang dapat juga tidak terletak di permukaan tanah.

Sudiyatmoko (1999) membuat DEM menggunakan foto udara format kecil di

daerah Madiun. Metode yang digunakan adalah image matching dan teknik korelasi

silang antar kedua foto. Adapun hasil yang diperoleh adalah kenampakan anaglyph

(kenampakan 3D) dan kenampakan kontur DEM. Setelah dibandingkan dengan peta

1:1000, diperoleh rata-rata selisih untuk arah x yaitu 5,966 m, untuk arah y yaitu

10,738 m dan untuk arah z sebesar 2,989 m.

Penelitian-penelitian tersebut meninjau ketelitian DEM dari beberapa sumber

data dan metode yang berbeda. Penelitian ini mengkaji akurasi DEM dihasilkan dari

foto udara format kecil dan menggunakan metode stereoplotting interaktif

menggunakan dua buah tinjauan.

Tinjauan pertama menggunakan metode perbandingan standar deviasi dan

ketelitian maksimal rata-rata. Sebelumnya, metode perbandingan standar deviasi dan

ketelitian maksimal rata-rata ini pernah dilakukan oleh Lee (2008) dan Melasari

Page 6: S1-2015-319243-introduction (1)

(2014). Apabila nilai standar deviasi kurang dari nilai ketelitian maksimal rata-rata,

maka hasil stereoplotting sudah mendekati ground.

Tinjauan kedua adalah tinjauan akurasi menggunakan SNI 19-6502.1-2000

yaitu dilakukan perhitungan terhadap selisih antara beda tinggi pada hasil

stereoplotting dan data terestris. Setelah diperoleh penyimpangan beda tinggi untuk

keseluruhan data, maka data tersebut dibandingkan dengan kriteria SNI sehingga

diperoleh presentase data yang masuk kriteria SNI dan yang tidak masuk kriteria

SNI.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Foto Udara Format Kecil

Teknologi FUFK pada dasarnya adalah menghasilkan foto udara dengan

menggunakan kamera non metrik/kamera amatir (kamera yang tidak didesain untuk

keperluan pemotretan udara) dan menggunakan pesawat ringan (ultralight). Kamera

format kecil memiliki sistem lensa yang tidak didesain untuk keperluan pemetaan

sehingga disebut kamera non metrik dan harganya relatif murah, tetapi sangat

potensial memiliki distorsi geometri (Belinda, 2013).

Foto udara yang dibuat dari pesawat terbang dengan arah sumbu optik kamera

tegak lurus atau sangat mendekati tegak lurus disebut foto udara tegak. Meskipun

telah diusahakan dengan hati-hati agar sumbu kamera tetap tegak lurus, tetapi adanya

kesendengan (tilt) kecil masih dapat terjadi. Bagaimanapun juga, foto udara yang

dianggap tegak lurus tersebut, biasanya mempunyai kesendengan kurang dari 1o dan

jarang yang melebihi 3o. Foto udara yang mengandung kesendengan kecil tak

tersengaja semacam ini disebut foto udara sendeng (tilted photograph). Geometri

foto udara format kecil pada dasarnya memiliki geometri foto udara tegak seperti

yang diilustrasikan pada Gambar I.1 berikut.

Page 7: S1-2015-319243-introduction (1)

Negatif

Positif

b c'

a' d

b L c

a d

Titik Pemotretan

Sumbu optik

B CP

A DGambar I.1 Geometri sebuah foto udara tegak (Wolf, 1983)

I.8.1.1 Ground Spati al Distance (GSD )

Salah satu unsur sensor kamera adalah resolusi spasial sensor atau resolusi

spasial kamera. Resolusi spasial kamera adalah ukuran dari sebuah piksel dalam

mikron sedangkan ukuran satu piksel pada objek yang dipotret disebut Ground

Spatial Distance (GSD). Soeta’at (2011) menyatakan bahwa besarnya nilai GSD

dapat dihitung menggunakan rumus (1.1) dan skala pada rumus (1.2) berikut.

GSD = angka skala * resolusi spasial..........................................(1.1)

Skala = ...................................................................(1.2)

Teknologi FUFK, pada dasarnya adalah menghasilkan foto udara dengan

menggunakan kamera non metrik/kamera amatir (kamera yang tidak didesain untuk

keperluan pemotretan udara) dan menggunakan pesawat ringan (ultralight) atau

pesawat model. Apabila jenis kamera diklasifikasikan berdasarkan ukuran film

(frame) dan panjang fokus kamera, terdapat tiga golongan yaitu : kamera format

standar, format medium dan format kecil (Belinda 2013).

Harintaka (2003) menyebutkan bahwa FUFK pada awalnya menggunakan

kamera non metrik dengan ukuran frame sekitar 24 x 36 mm dengan fokus antara 24

Page 8: S1-2015-319243-introduction (1)

s.d 36 mm dan dimensi CCD antara 5 s.d 10 mikron, tinggi terbang 800 s.d 1000 m

di atas permukaan tanah, sehingga skala empirik sekitar 1:20.000 s.d 1:40.000

dengan nilai GSD antara 10 s.d 20 cm. Namun saat ini penggunaan teknologi UAV

dengan berbagai variasi jenis lensa dapat diklasifikasikan dalam jenis FUFK.

I.8.2. Parameter Orientasi Luar (Exterior Orientation Parameter)

EOP dapat diperoleh menggunakan dua buah cara, yaitu pertama melalui

proses IO, RO dan AO. Cara kedua adalah dengan melakukan bundle adjustment

atau triangulasi udara.

I.8.3.1 Orientasi pad a Fot o Udara

Kraus (2007) menyebutkan bahwa proses orientasi meliputi :

1. Model stereo dalam sistem koordinat 3D dibuat dari dua buah foto

2. Setelah itu, model ditransformasikan ke dalam sistem koordinat 3D (XYZ)

dalam sistem koordinat tanah

Hubungan antara koordinat model (x,y,z) dengan koordinat tanah (X,Y,Z) dapat

dijelaskan dalam persamaan (1.3) berikut.

................................................................................(1.3)

Proses pembentukan model melalui dua buah foto dan transformasi ke dalam

sistem koordinat tanah dijelaskan dalam Gambar I.2 berikut.

Page 9: S1-2015-319243-introduction (1)

Ob

O

zi

yixi

Pz

P

y P

Ω x

Z P2

P3

P4

Y P1

XGambar I.2 Proses Orientasi (Krauss, 2007)

Keterangan Gambar I.2 :

: koordinat pusat proyeksi kamera

: koordinat obyek pada sistem koordinat model

: koordinat obyek pada sistem koordinat tanah

skala pada sistem xyz

matriks rotasi 3D dalam sistem xyz ke sistem XYZ yang didefinisikan

dalam ,φ, κ

P1, P2,..P4 : obyek di permukaan bumi

b : basis foto/jarak pemotretan antara dua pusat foto yang bersebelahan

O1, O2 : pusat proyeksi kamera

ω : rotasi pada sumbu x foto

: rotasi pada sumbu y foto

Page 10: S1-2015-319243-introduction (1)

κ : rotasi pada sumbu z foto

Santoso (2004) menyatakan bahwa IO, RO dan AO merupakan tahapan

pembentukan model 3D dari pasangan foto atau disebut dengan restitusi foto.

Restitusi dapat diartikan sebagai pengembalian sesuatu yang hilang, atau

rekonstruksi model (3D) dari pasangan foto (2D). Model ini kemudian digunakan

sebagai panduan penurunan peta. Proses orientasi adalah sebagai berikut.

a. Dalam konteks fotogrametri, dikenal beberapa sistem koordinat yang

berhubungan dengan foto udara, yaitu : sistem koordinat foto, sistem

koordinat model, dan sistem koordinat peta/tanah. Sistem koordinat foto

adalah sistem koordinat dua dimensi sebuah foto dengan titik originnya

adalah titik perpotongan garis tepi (fiducial mark). Foto yang diperoleh dari

pemotretan udara, baik yang menggunakan kamera digital maupun analog

yang kemudian disiam, memiliki sistem koordinat piksel, sehingga peerlu

ditransformasi ke sistem koordinat foto. Transformasi dari sistem koordinat

piksel ke sistem koordinat foto disebut sebagai orientasi dalam. Model

matematis untuk orientasi dalam adalah Affine 2D (Mensah, 1999 dalam

Harintaka, 2008). Transformasi Affine 2D dirumuskan dalam persamaan

(1.4) dan (1.5) berikut

x = a1 + a2u + a3v………………………………………………………(1.4) y

= a4 + a5u + a6v………………………………………………………(1.5)

dalam hal ini a1 , a2 , a3 , a4 , a5 , a6 merupakan parameter transformasi yang

terlebih dahulu ditentukan dengan menggunakan hasil pengukuran minimal

3 buah tanda tepi hasil kalibrasi kamera dengan posisinya dalam sistem

koordinat piksel. Jika diketahui 4 atau lebih tanda tepi maka dengan

persamaan (1.4) dan (1.5) dilakukan estimasi kuadrat terkecil.

b. Orientasi relatif yaitu dua berkas sinar yang sepadan/berpasangan dari

proyektor kiri dan kanan. Bila minimal 5 pasang sinar berpotongan, maka

seluruh pasangan sinar dari kedua berkas membentuk model 3D. Dengan

cara digital, orientasi relatif menggunakan syarat kesebidangan

(coplanarity).

Page 11: S1-2015-319243-introduction (1)

c. Dalam orientasi absolut, model 3D relatif yang masih dalam sistem

koordinat instrumen (sembarang) ditransformasikan ke dalam sistem

definitif. Pada tahap ini diperlukan minimal 3 titik kontrol model. Secara

analog, terhadap model relatif dilakukan penyekalaan dan pendataran. Bila

dilakukan secara numerik, maka yang digunakan rumus yang digunakan

adalah transformasi sebangun 3D.

I.8.3.2 Bundl e Adjust men t

Bundle Adjustment merupakan persamaan baku yang dapat diaplikasikan untuk

beberapa orientasi fotogrametri dan masalah penentuan titik. (Konecny, 2003 dalam

Tanjung, 2006). Hubungan antara sistem koordinat foto dengan sistem koordinat

tanah dapat dilihat melalui Gambar I.3 berikut.

Gambar I.3 Hubungan koordinat foto dengan koordinat tanah (Harintaka

dkk 2008 dalam Pranadita 2013)

Prinsip bundle adalah menggunakan inverse persamaan (1.3) yang dimodifikasi

untuk menunjukkan koordinat foto merupakan fungsi dari koordinat peta,

sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan (1.6), dengan r11,….,r33 merupakan fungsi

rotasi terhadap sumbu X,Y,Z. Pembentukan matrik R atau RT (transpose matrik R)

dapat dilihat secara mendetail pada Krauss (1994), Morgan (2004), dan Wolf(1983).

Persamaan konform tiga dimensi yang terbentuk tertuang dalam rumus (1.6) :

Page 12: S1-2015-319243-introduction (1)

(1.6)

Untuk menunjukkan bahwa posisi sebuah obyek yang berada di foto, di

permukaan tanah dan pusat proyeksi berada dalam satu garis lurus maka dapat

dibangun sebuah persamaan kolinier atau persamaan kesegarisan, yaitu dengan cara

membagi baris ke-1 dan baris ke-2 dengan baris ke-3, sehingga diperoleh persamaan

(1.7) dan (1.8) :

...............................................................(1.7)

...............................................................(1.8)

Persamaan (1.7) dan (1.8) merupakan persamaan non linear dan masih

memiliki enam parameter yang belum diketahui nilainya . Karena

persamaan (1.7) dan (1.8) bukan merupakan persamaan linear, maka dilakukan

proses linearisasi dengan menggunakan deret Taylor yaitu dengan menurunkan

persamaan ke masing-masing parameter, sehingga diperoleh persamaan (1.9) dan

(1.10) :

………..(1.9)

Proses pembentukan persamaan normal untuk menyelesaikan persamaan (1.9)

dan (1.10) dapat dilihat lebih lanjut pada Kraus (1993), Morgan (2004) dan Wolf

(1983). Dalam proyek pemetaan udara, untuk keperluan efisiensi biaya dan

mempercepat proses, dipergunakan jumlah titik kontrol tanah (GCP) seminimum

mungkin. Umumnya GCP ditempatkan pada setiap interval 4 s.d 6 basis foto

(Koneckny, 2003 dalam Harintaka, 2008). Untuk perapatan GCP tersebut

dipergunakan Triangulasi Udara (TU), dimana secara matematis menggunakan

teknik hitungan BBA. Perapatan GCP ini menggunakan titik sekutu (umumnya

Page 13: S1-2015-319243-introduction (1)

berjumlah 6 buah) antar foto yang bertampalan, yang disebut sebagai tie point atau

titik von Gruber. Keseluruhan TKT dan tie point tersebut dilakukan perataan

(adjustment) secara serempak dengan menggunakan persamaan (1.9) dan (1.10)

dengan ditambah koordinat titik (P) sehingga persamaan (1.9) dan (1.10) dapat

diperluas menjadi persamaan (1.11) dan (1.12) berikut.

. ........................................................................................(1.11)

..........................................................................................(1.12)

I.8.3. Stereoplotting

Stereoplotting merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara digitasi titik obyek dari foto stereo secara 3D, sehingga dapat diperoleh data

vektor yang memiliki nilai ketinggian. Secara umum plotting dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu, plotting interaktif dan plotting otomatis. Plotting otomatis dilakukan

dengan cara memperoleh posisi titik-titik obyek pada foto secara matematis, proses

penentuan titik-titik obyek dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan

intersection (Habib 2007 dalam Pranadita 2013).

Melasari (2014) berpendapat bahwa stereoplotting adalah metode

pengumpulan data vektor yang memiliki nilai ketinggian (z) yang data dilakukan

secara otomatis atau interaktif. Stereoplotting interaktif dilakukan dengan cara

digitasi 3D pada foto udara stereo. Adapun faktor yang mempengaruhi stereoplotting

adalah kemampuan operator dalam menentukan posisi kursor plotter diatas ground

apabila di daerah terbuka.

Menurut Moffit (1980), apabila sepasang foto udara yang bertampalan benar-

benar tegak dan memiliki ketinggian yang sama, maka seseorang dengan penglihatan

normal mampu melihat foto secara stereoskopik melalui area yang bertampalan.

Namun apabila foto yang terjadi adalah tidak tegak (tilted photograph) dan memiliki

Page 14: S1-2015-319243-introduction (1)

l2

a2

tinggi terbang yang berbeda maka pada bidang terlihat dua buah stasiun yaitu L1 dan

L2 sebagaimana diilustrasikan pada Gambar I.4 berikut.

L L

EpipolarA

l1Epipolar lines

a1

Gambar I.4 Epipolar plane dan epipolar lines (Moffit, 1980)

Keterangan Gambar I.4 :

L1 , L2 : pusat proyeksi foto 1 dan 2

l1, l2 : segmen garis obyek A yang memotong dua buah foto (epipolar

lines)

L1, L2 dan A : bidang yang memuat L1, L2 dan A (epipolar plane)

Selain kondisi saat pemotretan yang tidak tegak, beberapa faktor dapat

mempengaruhi proses stereoskopik. Faktor-faktor tersebut adalah tinggi terbang yang

tidak sama, misalignment dari jalur penerbangan, misalignment dari stereoskop dan

beda paralaks yang besar diantara foto yang bertampalan.

Tinggi terbang yang tidak sama menyebabkan perbedaan skala antara dua buah

foto yang bertampalan. Walaupun tidak terdapat tilt pada saat pemotretan dan jalur

terbang sudah selaras, perbedaan skala antar foto menyebabkan jarak antara satu

gambar konjugasi dan jalur penerbangan berbeda dengan jarak antara gambar yang

sesuai dan jalur penerbangan. Perbedaan tersebut dijelaskan pada Gambar I.5

berikut.

Page 15: S1-2015-319243-introduction (1)

a a'

yao2

ya'

Δya

o1 cyb

o1’ c' o2’

yb’

Δyb

Gambar I.5 Penyebab paralaks Y (Moffit 1980)

Foto kiri memiliki skala yang lebih kecil daripada foto kanan. Hal ini

disebabkan karena perbedaan tinggi yang besar. Apabila jalur terbang diasumsikan

sebagai sumbu x, maka koordinat y pada a lebih kecil daripada koordinat y pada a’.

Perbedaan tersebut dinotasikan dengan Δya. Δya dan Δyb disebut paralaks Y.

I.8.4. Paralaks

Paralaks stereoskopis merupakan perbedaan posisi bayangan sebuah titik pada

dua buah foto yang bertampalan karena perubahan posisi kamera (Zorn 1984 dalam

Pranadita 2013) dengan melihat obyek secara stereo maka suatu obyek dapat dilihat

secara simultan dari dua perspektif yang berbeda, seperti foto udara yang diambil

dari kedudukan kamera yang berbeda untuk memperoleh kesan 3D. Untuk dapat

menghasilkan ketinggian tepat pada permukaan obyek maka syarat yang harus

dipenuhi ialah besarnya paralaks X dan paralaks Y sama dengan nol atau mendekati

nol. Besar paralaks dapat dieliminir dengan mengetahui parameter orientasi luar

untuk masing-masing foto. Perbedaan paralaks diilustrasikan dalam Gambar I.6

berikutP1

a1

cO

P2 a1

B

Pb2 a2

O

H

AT1

C

ΔH BT2Gambar I.6 Perbedaan paralaks dan tinggi relatif (Sosrodarsono, 2005)

Gambar I.6 adalah sebagian pandangan untuk menunjukkan keadaan

pengambilan set foto-foto nadir pada tinggi terbang yang sama. Jarak antara pusat

Page 16: S1-2015-319243-introduction (1)

persepektif O1 dan O2 disebut panjang basis udara. Paralaks titik A dinyatakan

dengan persamaan (I.13) sebagai berikut.

………………..……………………………………………………...(1.13)

…………………………………………………………………….……...(1.14)

………………………………………………………………………….(1.15)

Persamaan (1.15) memberikan hubungan antara paralaks dan jarak H dari kamera

ke permukaan tanah.

Menurut Wolf (1980), paralaks titik dapat diukur pada saat mengamati secara

stereoskopik. Pengukuran stereoskopik paralaks menggunakan asas floating mark

atau tanda apung. Bila model stereo diamati dengan stereoskop, dua tanda titik yang

digoreskan pada kaca bening disebut tanda tengahan (half marks) dapat diletakkan di

atas foto, satu di atas foto kiri dan lainnya di atas foto kanan.

Tanda kiri diamati dengan mata kiri dan tanda kanan diamati dengan mata

kanan. Tanda tengahan dapat digeser posisinya hingga keduanya menyatu menjadi

satu yang tampak pada model stereo dan terletak pada ketinggian tertentu. Bila dua

tanda tengahan diletakkan saling mendekat, paralaks tanda tengahan bertambah besar

dan tanda yang menyatu tampak lebih tinggi. Sebaliknya, kalau dua tanda digeser

menjauh maka paralaksnya menjadi semakin kecil, dua tanda yang menyatu tampak

menurun. Perbedaan tampak ketinggian tanda sesuai dengan jarak tengahan yang

berbeda-beda merupakan dasar bagi istilah “tanda apung/floating mark”.

Gambar I.7 merupakan ilustrasi posisi floating mark pada software secara

digital (Melasari 2014), sebagai berikut.

Page 17: S1-2015-319243-introduction (1)

Foto1 Foto2 Foto1 Foto2 Foto1 Foto2

posisi kursor tepat di permukaan ground

posisi kursor mengambang

posisi kursor tenggelam

Gambar I.7 Ilustrasi posisi kursor saat stereoplotting (Melasari, 2014)

I.8.5. Digital Elevation Model (DEM)

Mogal (1993) dalam Purwanto (2013) menyatakan bahwa DEM khususnya

digunakan untuk menggambarkan relief medan. Gambaran model relief rupabumi 3D

yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world) divisualisasikan

dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality. Sedangkan

Doyle (1991) dalam Purwanto (2013) berpendapat bahwa DEM merupakan suatu

sistem, model, metode dan alat dalam pengumpulan, pengolahan dan penyajian

informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari

karakteristik medan, distribusi spasial diwakili oleh nilai-nilai pada sistem koordinat

X Y dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat

Z.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa DEM adalah

suatu gambaran permukaan bumi 3D (X,Y,Z) yang mewakili karakteristik medan

dan disajikan secara visual menggunakan bantuan teknologi komputer grafis.

Sebelum meninjau akurasi DEM terlebih dahulu memahami pengertian akurasi dan

presisi. Soe’taat (2011) mengemukakan bahwa akurasi merupakan besar kedekatan

(penyimpangan) dari hasil ukuran terhadap true value (nilai yang betul). Sedangkan

presisi adalah derajat konsistensi dari set pengukuran. Adapun perbedaan akurasi dan

presisi diilustrasikan pada Gambar I.8 berikut ,

Page 18: S1-2015-319243-introduction (1)

a b c dGambar I.8 Ilustrasi presisi dan akurasi (Soe’taat, 2011)

Gambar I.8 menunjukkan ilustrasi presisi dan akurasi, yaitu Gambar I.8 (a)

menunjukkan hasil yang presisi dan akurat. Gambar I.8 (b) menunjukkan hasil yang

akurat namun tidak presisi. Gambar I.8 (c) menunjukkan hasil yang presisi namun

tidak akurat. Gambar I.8 (d) menunjukkan hasil yang tidak akurat dan tidak presisi.

Sehubungan dengan ketelitian DEM yang digunakan dalam penelitian ini terdapat

beberapa tinjauan pustaka yaitu,

I.8.6.1 Be rdasa rkan r ata - rata dan stand ar devi asi

Purwanto (2013) berpendapat bahwa akurasi DEM ditunjukkan dengan nilai

rata-rata absolut dan standar deviasi. Ketelitian DEM dapat dilihat dari besarnya nilai

rata-rata dalam rumus (1.16), varian dalam rumus (1.17) dan standar deviasi dalam

rumus (1.18), yaitu :

.........................................................................................................(1.16)

σ2 = ...................................................................................................(1.17)

σ = ................................................................................................(1.18)

Keterangan rumus :

: rata-rata beda tinggi

σ2 : varian

σ : standar deviasi

: titik sample ke-i

: jumlah data sample

Page 19: S1-2015-319243-introduction (1)

I.8.6.2 Be rdasa rkan nil ai ketelit ian maksim al rata- rata

Lee (2008) menyatakan bahwa presisi pengukuran 3D dalam model stereo

didasarkan pada skala dan basis sebagaimana dihitung dengan rumus (1.19), (1.20)

dan (1.21) berikut.

Sz = ......................................................................................(1.19)

Sx = ...............................................................................................(1.20)

Sy = ...............................................................................................(1.21)

Keterangan rumus :

Sx, Sy, Sz : ketelitian maksimal koordinat x,y,z pada DEM

b : panjang basis foto (m)

h : tinggi terbang pesawat saat memotret (m)

f : panjang fokus kamera (mm)

Sp : precision of image measurement (m)

Dalam penelitiannya mengenai kamera non metrik, Lee mengungkapkan

bahwa apabila nilai standar deviasi dari lebih kecil dari nilai ketelitian

maksimal rata-rata maka akurasi dapat diterima untuk model 3D.

I.8.6.3 Be rdasa rkan nil ai GSD (Ground Spatial Distance) dan sk ala

Abdullah (2010) dalam artikel Mapping Matters mengungkapkan bahwa

menurut standar ASPRS, GSD yang digunakan menyesuaikan dengan skala peta dan

interval kontur. Misal, skala 1:7.200 didesain untuk mendukung produk peta skala

1:1.200 atau 6 kali enlargement ratio. CCD yang dimiliki adalah 0,125 mm sehingga

dengan skala 1:1.1200, GSD yang dihasilkan adalah 15 cm.

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah 1:43000 yang didapatkan

dari perbandingan antara fokus pemotretan dan tinggi terbang. Adapun CCD yang

Page 20: S1-2015-319243-introduction (1)

dihasilkan dari kalibrasi kamera adalah 0,005 mm dengan asumsi kalibrasi kamera

sudah baik. Melalui nilai CCD dan skala tersebut, dihasilkan nilai GSD sebesar 21,5

cm. Menurut standar ASPRS yang dikemukakan Abdullah (2010), produk yang

dihasilkan dari pemotretan skala 1:43000 ini adalah 1:4300 hingga 1:7000 sesuai

dengan 6 s.d 10 kali enlargement ratio.

I.8.6.4 Be rdasa rkan S N I

SNI 19-6502.1-2000 tentang spesifikasi teknis peta rupa bumi skala 1:10000

memiliki peraturan mengenai ketelitian horisontal dan vertikal sebagai berikut.

a. Ketelitian horisontal : seluruh detil yang diteliti, diplot sedemikian rupa

sehingga posisinya di skala tersebut memiliki nilai = 0,3 mm RMSE yang

merupakan nilai koordinat masing-masing detail diskalakan terhadap garis grid

terdekat dibandingkan dengan hasil hitungan koordinat yang diteliti di

lapangan yang diikatkan terhadap titik kontrol planimetris terdekat.

b. Ketelitian vertikal peta rupa bumi skala 1:10000 dinyatakan dengan kriteria

sebagai berikut.

1. Bila dilakukan uji ketelitian, maka tidak lebih dari 10% titik yang diuji

memiliki kesalahan horisontal lebih dari 0,5 mm kali skala peta.

2. Tidak lebih dari 10% titik tinggi yang diuji memiliki kesalahan vertikal

lebih dari setengah selang kontur.

3. Akurasi diuji dengan perbandingan ketelitian di atas peta dan data survey

berketelitian lebih tinggi.

4. Jika peta yang telah diuji memenuhi standar ini, suatu pernyataan perlu

dibuat pada legenda.

5. Jika peta yang telah diuji tidak memenuhi standar ini, tidak perlu ada

pernyataan apapun pada legenda.

Dengan demikian, analisis akurasi DEM pada penelitian ini mengacu pada pustaka

tersebut dengan penjelasan sebagai berikut.

Page 21: S1-2015-319243-introduction (1)

1. Ditinjau berdasarkan nilai GSD dan SNI

Kriteria data yang digunakan mengikuti kriteria SNI yaitu 0,3 mm

dikalikan skala peta. Adapun penentuan produk skala peta yang digunakan

adalah hasil enlargement ratio dari skala penerbangan yaitu sebesar 6 s.d

10 kali GSD yaitu sebesar 1,29 m s.d 2,15 m atau dalam skala 1:4300

hingga 1:7000 untuk horisontal. Dengan skala 1:4300 hingga 1:7000, maka

toleransi penyimpangan vertikalnya sebesar 1,075 m hingga 1,75 m.

2. Ditinjau berdasarkan standar deviasi dan ketelitian maksimal rata-rata

Rumus yang digunakan adalah rumus rata-rata (1.16), varian (1.17), standar

deviasi (1.18), rumus Sx (1.19), Sy (1.20) dan Sz (1.21). Dalam keadaan

ideal, seharusnya nilai Sx sama dengan Sy. Namun pada kenyataannya

dalam pemotretan sangat sulit didapatkan kondisi nilai Sx dan Sy yang

sama, karena ketidakstabilan pesawat saat pemotretan. Adapun teknis

perhitungan dijelaskan lebih rinci dalam bagian II.2.8.

I.8.6. Derajat Kepercayaan

Widjajanti (2011) mengemukakan bahwa umumnya setelah diperoleh estimasi

titik, yaitu nilai rata-rata ( , varian (σ2) dan standar deviasi (σ) dari suatu sampel,

maka timbul pertanyaan seberapa jauh nilai statistik yang diperoleh menyimpang

terhadap populasi. Mengingat statistik sampel merupakan estimasi untuk parameter

populasi, maka jika ingin tahu seberapa baik estimasi nilai-nilai statistik tersebut

hanya didapatkan perkiraan kemungkinan.

Di samping estimasi titik dapat juga ditentukan estimasi interval dari parameter

yaitu menentukan interval konfidensi (selang kepercayaan) parameter sampel.

Interval konfidensi suatu parameter p, dimana nilai estimasinya dinyatakan dalam

persamaan (1.22) berikut.

…………………………………………………(1.22)

(1-α) disebut interval konfidensi, umumnya dinyatakan dalam prosentase 90%,

95%, (99%, dsb. Nilai dan masing-masing adalah batas atas dan batas bawah

Page 22: S1-2015-319243-introduction (1)

untuk parameter p. Sedangkan disebut level of significance (tingkat kepercayaan).

Apabila dari data sampel diperoleh nilai rata-rata dan varian dan berditribusi normal,

maka nilai parameter populasi terletak pada interval sebagai berikut.

68,26%, dipercayai bahwa terletak antara nilai dan

dan

95,44%, dipercayai bahwa terletak antara nilai

dan

99,74%, dipercayai bahwa terletak antara nilai

I.8.7. Pengukuran Poligon

Prosedur analisis fotogrametri tidak bisa lepas dari pengukuran jarak dan

elevasi dengan menerapkan prosedur pengukuran terestris. Pengukuran terestris

tersebut banyak dilakukan saat penentuan premark pada foto udara. Menurut Basuki

(2011), dalam bidang pengukuran tanah atau plane surveying, cara poligon umumnya

lebih disukai daripada cara yang lain, karena kerangka ini memiliki banyak

keuntungan, antara lain bentuknya mudah disesuaikan dengan daerah yang

dipetakan, pengukurannya sederhana, peralatannya mudah didapat dan

perhitungannya mudah. Adapun alat ukur total station yang umum digunakan untuk

pemetaan terestris diilustrasikan pada Gambar I.9 berikut.

Gambar I.9.Alat ukur total station yang umum digunakan untuk pengukuran

terestris (Leica_FlexLine_UserManual.pdf)

Page 23: S1-2015-319243-introduction (1)

Poligon berasal dari kata poly yang berarti banyak dan gonos yang berarti sudut

(Basuki, 2006). Secara harfiah artinya “sudut banyak”. Namun arti yang sebenarnya

adalah rangkaian titik-titik secara berurutan, sebagai kerangka dasar pemetaan.

Penentuan koordinat suatu titik misal titik 2 yang diikat pada titik 1 yang diketahui

koordinatnya digunakan rumus (1.22) dan (1.23) :

...............................................................................................(1.23)

...............................................................................................(1.24)

Keterangan rumus :

X1,Y1 : absis dan ordinat titik 1 (ikatan).

X2,Y2 : absis dan ordinat titik 2 (ditentukan).

d : jarak antara titik 1 dan 2.

α : azimut dari titik 1 ke titik 2.

I.8.1.1 P oli gon Terbuk a

Poligon terbuka adalah poligon yang titik awal dan akhirnya terpisah. Poligon

Terbuka Terikat Sempurna adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya

diikatkan terhadap titik-titik yang telah diketahui koordinatnya.

I.8.1.2 P oli gon Tertutup

Poligon tertutup adalah poligon yang titik awal dan akhirnya menjadi satu.

Poligon ini banyak digunakan karena tidak membutuhkan titik ikat yang banyak.

Pada dasarnya, poligon tertutup sama dengan poligon terbuka, hanya perbedaannya

adalah pada bentuk geometrinya yaitu titik awal dan titik akhir pada poligon terbuka

tidak berimpit, sedangkan pada poligon tertutup berimpit

I.9. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian yang telah dilaksanakan

sebelumnya, maka penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut.

Page 24: S1-2015-319243-introduction (1)

Data DEM yang dihasilkan dari teknik stereoplotting interaktif foto udara format

kecil memiliki nilai standar deviasi pada sumbu z (σz) pada titik sampel 6 s.d 10 kali

GSD mengacu pada penelitian Lee (2008) dan Abdullah (2010).