Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut...

135
Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawutPagi selalu menjadi saat sibuk bagi Mira, dan dia sadar betul hal itu. maka"nya dla selalu mengisi kegiatan pagi dengan bersenandungdung. Selain untuk menyamarkan suara bising disekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetapriang. Mlra biasa ke sekolah berjalan kaki. Sesekali ia selingi bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan global. Mira memang peduli kelestarian lingkungan Lagi pula sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat. Dari rumah Mira tidak langsung ke sekolah. Dia Mampir ke rumah Kelly, sahabatnya, yang hanya jarak tiga ratus meter dari rumahnya. Kadang Mira ikut sarapan bersama keluarga Kelly yang hangat. Tak heran bila Mira betah meluangkan waktu bersama mereka, bahkan kadang mampir hanya untuk menyapa adik Kelly yang tueu. Selanjutnya Mira dan Kelly akan berlari- lari kedl di trotaar sambil bereanda ria menuju sekolah."Wah, siapa yang mendandani rambutmu, Kel? Oikepang satu di atas begitu jadi sangat eantik Iho," puji Mira. Kelly tersipu. "Ah, kamu bisa aja." "Betul. Pita pink yang kamu pakai membuat penampilanmu semakin manis," lanjut Mira. Tanpa sadar dia meraba rambutnya yang pendek dan keriting.

Transcript of Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut...

Page 1: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Runner-Up Girl

MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi

berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang.

Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap

kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawutPagi selalu

menjadi saat sibuk bagi Mira, dan dia sadar betul hal itu.

maka"nya dla selalu mengisi kegiatan pagi dengan

bersenandungdung. Selain untuk menyamarkan suara bising

disekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetapriang.

Mlra biasa ke sekolah berjalan kaki. Sesekali ia selingi

bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan

global. Mira memang peduli kelestarian lingkungan Lagi pula

sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat.

Dari rumah Mira tidak langsung ke sekolah. Dia Mampir ke

rumah Kelly, sahabatnya, yang hanya jarak tiga ratus meter dari

rumahnya. Kadang Mira ikut sarapan bersama keluarga Kelly

yang hangat. Tak heran bila Mira betah meluangkan waktu

bersama mereka, bahkan kadang mampir hanya untuk menyapa

adik Kelly yang tueu. Selanjutnya Mira dan Kelly akan berlari-

lari kedl di trotaar sambil bereanda ria menuju sekolah."Wah,

siapa yang mendandani rambutmu, Kel? Oikepang satu di atas

begitu jadi sangat eantik Iho," puji Mira.

Kelly tersipu. "Ah, kamu bisa aja." "Betul. Pita pink yang kamu

pakai membuat penampilanmu semakin manis," lanjut Mira.

Tanpa sadar dia meraba rambutnya yang pendek dan keriting.

Page 2: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Sudah pasti tak bisa diikat.~ Bahkan tidak eoeok diberi aksesori

apa

pun. Bukannya bertambah eantik, hiasan rambut justru

membuatnya kelihatan konyo!. Maklum, Mira tomboi abis.

"Kamu juga cantik! Aku memang memiliki rambut panjang, tapi

tidak punya mata lebar, berbinar, dan bening seperti matamu,

Mir!"

"Mmm... t api kamu memiliki adik lucu!"

"Kamu punya rumah megah dengan segala macam fasilita s

kamplet," sahut Kelly tak mau kalah.

"Kamu punya ibu yang pintar memasak dan sangat

baik!"

"Kamu punya ibu dan ayah kaya raya!" sahut Kelly

lagi.

"Ah, sudahlah, kita memang nggak sarna, dan karena itulah

persahabatan kita langgeng. Iya, kan?" Mira tidak ingin

melanjutkan perdebatan. Kelly tidak menyahut. Oia justru

menghentikan langkahnya. Matanya melotot ke satu arah. Mira

ikut berhenti

dan memandang Kelly dengan heran. Karena Kelly bergeming,

Mira segera mengalihkan pandangan ke arah yang sarna dengan

tatapan Kelly. Oi depan rumah megah di tepi jalan searang

cowok tengah memperhatikanmereka. Gelagatnya seolah

Page 3: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

menunggu Kelly dan Mira lewat. Tanpa dikomanda, jantung

Kelly dan

Mira beradu cepat.

Kelly jadi grogi. "5epertinya dia menunggu kita deh."

"Udah, cuek aja!" sahut Mira sambil menggamit pergelangan

tangan Kelly. "Yuk jalan!"

Langkah Kelly mendadak canggung. Walau menunduk, Dia

masih mencuri pandang ke arah cowok bertubuh jangkung yang

masih berdiri di depan mereka. Semakin mendekat kearah

cowok itu, Kelly semakin salah tingkah. " hai”' sapa cowok itu

begitu Mira dan Kelly berada

dalamjarak satu meter dari tempat dia menjejakan kaki

Mira dan Kelly menghentikan langkah, menatap cowok itu

penuh penasaran"Boleh bergabung? tanya si cowok berkulit

hitam dan berhidung mancung itu sambil tersenyum ramah.

Mira mengangkat bahu. la menoleh pada Kelly. Yang

ditoleh tersenyum malu-malu. Tangan Kelly meremas rok, tanda

grogi.

"Tiap pagi kulihat kalian ke sekolah jalan kaki, kayaknya asyik

banget. Makanya pagi ini aku mau ikutan.

Boleh, kan? Lagian seragam kita sama, berarti kita satu sekolah

dong!" cerocos cowok itu.

"Mmm.. . boleh saja, asal kamu nggak lebih cerewet daripada

Kelly, sahabatku ini," balas Mira sambil tertawa

Page 4: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

ked l, lalu sedetik kemudian dibalas cubitan Kelly di lengannya.

Si cowok hitam manis tertawa renyah. Kemudian dia

mengulurkan tangan. "Aku Riku," ujarya memperkenalkandiri. "

Kalian?"

"Aha! Riku!" Kelly memekik. "Iya... aku tahu kamu. Kamu yang

jago main sepak bola itu, kan? Wah, aku senang sekali bisa

berkenalan denganmu. Namaku Kelly." Kelly tersenyum riang,

kemudian menjabat tangan

Riku lama.

Mira melirik Kelly. Rupanya sahabatnya sudah mampu

menguasai diri. Bahkan terkesan sok akrab pada Riku.

"Aduh, t angan kalian ada lemnya ya?" tegur Mira karena Kelly

tak juga menarik tangannya dan genggaman Riku.

Kelly dan Riku langsung melepas tangan mereka. Wajah Kelly

memerah. Dia melirik jutek pada Mira.

"Udah yuk, berangkat! Keburu telat nih!" Mira mengandeng

Kelly, lalu kedua cewek itu berjalan dengan langkah cepat.

Riku berjalan di belakang kedua gadis itu. "Namamu siapa?"

tanya Riku pada Mira.

"Aku Mira," balas Mira tanpa menoleh pada Riku.Riku

tersenyum. Dia mempercepat langkah agar tidaktertinggal dua

gadis yang berjalan supercepat itu.hampir saja mereka telat .

Begitu melewati gerbang sekolah, bel berbunyi. Riku beda

angkatan-kelas beda setahun di atas Mira dan Kelly.

Page 5: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

" Dadaaah, Riku!" seru Kelly saat mereka berpisah menuju kelas

masing-masing. .

"ih... kegenit an deh, Kel!" tegur Mira pelan.

"Aduh, Mir. Riku cakep banget! Kulit cokelat, sorot Mata tajam,

hidung mancung, dan tubuhnya atletis banget !" Kelly mulai

nyerocos. Anak itu memang nggak pernah lihat cowok ganteng.

Bawaannya suka histeris, kayak melihat aktor-aktor Korea di

film Korea kegemanranya.

“papamu juga berkulit cokelat, bermata tajam, dan Hidung

mancung. Tubuhnya atletis!" kata Mira yang sekarang duduk di

bangkunya dan sedang memasukkan tas ke atas meja.

"lh, Mira!" sungut Kelly sewot.

"Mmm, apa kelak aku juga akan menyukai cowok seperti

papaku? Tinggi, kalem,berkacamata, rapi, dan...punya otak?"

ucap Mira, nyaris bergumam.

"Emang Riku nggak punya otak?"

"Vee, sewot amat. Aku kan tidak sedang membandingkan

papaku dengan Riku. Lagian, kamu udah lupa ya. ada tujuh

kecerdasan majemuk. Nah, pada Riku jelas kecerdasan

kinestetiknya yang dominan dan kayaknya interpersonalnya juga

bagus tuh!"

Kelly mengangguk-angguk. Kelly sadar betul bahwa Mira anak

yang sangat cerdas, suka berpikir, dan gemar membaca.

Sedangkan Kelly lebih suka mengurus rumah, melakukan hal-

hal yang berhubungan dengan keterampilan tangan dan

Page 6: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

ketekunan. Va, sifat Kelly dan Mira bertolak belakang. Namun

itu bukan halangan bagi mereka untuk bersahabat. Mereka justru

saling melengkapi.

***

Saat istirahat, Kelly dan Mira bertemu kembali dengan Riku di

pinggir lapangan sepak bola. Kali ilu Riku lidak sendirian. Dia

bersama seorang cowok.

"Hai, Mira, Kelly!" sapa Riku ketika mereka berpapasan.

"Mau menyantap bekal, ya? Kita barengan yuk!" ajak Riku.

Mereka duduk di sebangku semen di tepi lapangan.

"Kenalkan,ini Aoi, teman sekelasku," Riku memperkenalkan

cowok yang sedari tadi diam membisu di sampingnya.

Kelly dan Mira segera menjabat tangan Aoi. Wajah Aoi tak

berhias senyum sama sekali. Jabatan tangannya pun terasa kaku,

seolah dia tidak tulus melakukannya.

Mata Aoi sipit. Kacamata minus bertengger di hidungnya yang

mungil. Rambut Aoi lurus dan dipangkas sangat pendek,

memberi kesan rapi. Sebenamya Aoi ' tampan. Sayang, raut

wajahnya yang kaku memberi kesan tidak ramah. Juga bibimya

yang mungil tanpa senyum menambah ekspresi sinis cowok itu.

"Wah, untung aku nggak seangkatan dan sekelas denganmu.

Kalau sampai sekelas, aku lebih baik pindah kelas," kata Mira

pada Aoi saat mereka tengah menikmati bekal.

Aoi menoleh pada Mira sambil mengerutkan dahi

Page 7: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

"Wajahmu mengganggu pemandangan. Memang kalau

tersenyum, bibirmu bisa gatal-gatal ya?" tanya Mira cuek

dengan mulut penuh makanan.

Aoi diam saja, sementara Kelly dan Riku terbahak. MIra

memang suka ceplas-ceplos. Apa saja yang ada di plklrannya

sering keluar tanpa pertimbangan.

"oi memang pendiam, Mir. Tapi otaknya encer banget .Dia

mencalonkan diri jadi ketua osis tahun ini,"ucap riku

"Apa peduliku, " balas Mira sambi! Menggigit sandwich tuna

kesukaannya.

"Mmm... oyam...." Riku cuma bisa geleng-geleng.

Sementara itu, Kelly segera memuji Aoi karena merasa tidak

enak dengan sikap Mira.

'Wah, Aoi hebat. Semoga kamu terpilih jadi ketua osis, ya."

Kelly tersenyum sambil menatap Aoi. Tapi Aoi diam saja seraya

menikmati snack-nya, tak menanggapi sedikit pun ucapan

simpatik Kelly. Aoi seolah hanya sendirian di tepi lapangan.

Kelly terlihat agak kecewa karena tak mendapatkan respons.

gadis manis itu

mendesah lirih ketika memalingkan wajah dan Aoi. Suasana

seketika menjadi kaku.

"Eh, nanti pulangnya kita bareng, kan?" tanya Riku pada Mira,

mencoba mencairkan suasana.

"Mmm, aku dan Kelly mau mampir ke apatek dulu," balas Mira

tanpa ekspresi sambil mengernasi wadah bekalnya.

Page 8: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

"Ada yang sakit dan butuh obat, ya?" Riku ·bertanya lagi.

"Iya. Ternan di sebelah kamu itu kan butuh obat khusus.Siapa

tahu aku bisa nemuin obat yang bisa membuat wajahnya lebih

enak dilihat. Krim anticemberut, mungkin. Atau kalau mau

cepat sih aku bisa beliin puyer dosis tinggi sekalian!"Riku dan

Kelly lagi-Iagi terbahak.

Kini aoi menatap tajam mata Mira. Namun, bukan Mira

namanya kalau dia lantas rikuh atau gentar. Gadis tombai itu

justru membalas tatapan Aai dengan lebih tajam. Mereka berdua

bertatapan bagai dua musuh Padahal, mereka baru saja

berkenalan.

"Apa sih maumu?cari perhatian, ya?" tanya Aoi ketus. Sontak

Mira ternganga mendengar suara yang akhirnya keluar dari

mulut Aoi. "Aha! Akhimya aku berhasil memancingmu

mengeluarkan suara. Wah... suara kamu cocok tuh untuk cari

receh di perempatan!" ejek Mira.Aoi menatap Mira kesal.

Sebenamya emosi Aoi sudah tersulut sedari tadi. Rasa·rasanya

dia ingin menonjok wajah Mira. Tapi itu tak mungkin

dHakukannya karena MIra cewek. Hanya cowak tak bermartabat

yang bisa melakukan hal serendah itu. Untuk melampiaskan

kesalannya, Aoi menyepak kerikil yang menempel digulung

sepatunya.

"Hei... hei! Biasanya cowak dan cewek yang saling membenci

lama-lama jadi saling cinta Ioh!" goda Kelly, Mira dan Aoi

masih bertatapan dengan ekspresi tidak bersahabat.

Page 9: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

" Ih, mana mungkin aku jatuh cinta sarna cowok robot kayak

gitu!" sambar Mira sambil pura-pura bergidik.

"Apalagi aku, balas Aoi. "Mending aku jomblo daripada punya

cewek .cabe rawit kayak kamu! Mulut kamupedes, tau!"

"Mending cabe rawit," Mira tak mau kalah.

" Biarpunpedes, banyak orang butuh dan suka cabe rawit.

Rumah makan yang banyak menu sambalnya malah lagi musim

dan laris manis. Nggak kayak robot, yang cuma bisa

menjalankan perintah, kaku kayak benda mati, dan nggak semua

orang butuh!"

Aoi makin kesal pada Mira. Dia ingin membalas katakata Mira,

tapi Riku keburu berdiri dan melerai pertikaian mereka. "Hei,

sudah... sudah! Kok malah bertengkar sih?" Riku geleng-geleng

melihat kelakuan dua temannya. "Sebentar lagi bel. Yuk kita ke

kelas!"

Kelly segera berdiri, lalu menarik tangan Mira. Sebenamya Mira

belum puas. Dia masih ingin berbalas kata-kata pedas dengan

Aoi. Namun bel istirahat berakhir bakal terdengar sebentar lagi.

Pelajaran berikutnya biologi. Guru biologi mereka t idak

memberikan toleransi

sedikit pun kepada anak yang terlambat masuk pelajarannya.

Mau takmau Mira mengikuti langkah Kelly yang bergegas

menuju kelas.

"Ih... aku nggak nyangka kamu punya teman seperti Lucifer

gitu!" kata Aoi pada Riku sepeninggal keduacewek itu.

Page 10: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Riku hanya tertawa sambil merangkul bahu Aoi. Kemudian

mereka juga berjalan menuju kelas.

MIRA duduk di tepi kolam renang sambi! Mendengarkan musik

dan menatap langit.

langit terlihat cerah. Wrna biru dan awan-awan putih yang

menghiasinya terlihat begitu serasi. Indah sekali. Sayang, hati

Mira tengah mendung. Dia kesepian.

Di rumahnya yang besar dan megah hanya ada dia dan beberapa

pembantu rumah tangga. Kadang rumahnya ramai kala para

pembantu bekerja sambil bersenda gurau. Sesekali Mira terlibat

dalam canda mereka, tapi di lubuk hati, tetap ia merasa

kesepian. la menginginkan

kehadiran mama-papanya. Orangtuanya kerap ke luar kota.

Kalaupun ada di rumah, sedikit sekali waktu yang di luangkan

mereka untuk Mira. Papa terlalu sibuk mengurus perusahaan,

sementara Mama lebih suka mengatur dan menekan Mira untuk

selalu berprestasi optimal.

Mengapa Mama tak seperti ibu Kelly ya? Ibu Kelly baik,

lembut, selalu di rumah untuk memasak, merawat tanaman, dan

mendengarkan apa pun kisah yang diceritakan

Kelly. Beruntung banget Kelly punya ibu seperti itu, batin Mira.

Jika berada di tengah keluarga Kelly, Mira merasa senang

sekaligus iri. dia rindu berada

dalam keluarga yang hangat dan saling mempematikan seperti

keluarga Kelly.

Page 11: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Huh... mengapa aku melamun saja han ini?! Mama

bisa marah kalau tahu aku di rumah hanya melamun.

Bisa habis telinga terbakar amarah Mama!” keluh Mira dalam

hati. Dia pun bangkit dan menuju kamamya. Ada sesuatu yang

harus dikerjakannya segera.

Mira menyalakan laptop. Dia memeriksa ulang karya ilmiah

yang sudah dia kirimkan ke Kementerian lingkungan Hidup. dua

minggu lalu gadis itu mengirimkan

tulisannya untuk lomba tersebut. Walau naskahnya sudah

terkirim, Mira selalu membaca ulang karyanya.ditelitinya lagi

setiap kata yang ia tulis. Jangan-jangan ada kesalahan. Sedikit

saja kekeliruan membuat hatinya tak tenang.

Kali itu Mira sangat yakin akan kesempurnaan tulisannya.

Banyak waktu yang sudah dia korbankan untuk meneliti dan

menyusun subjek pilihannya menjadi karya ilmiah yang benar-

benar valid. Kalimat demi kalimat yang dituangkan berkali-kali

dia baca dan perbaiki hingga menjadi kalimat yang baik dan

enak dibaca. Mira yakin karyanya bakal menang. dia sudah

membayangkan, betapa senang mamanya bila dia menjadi juara

lomba tersebut. Hal itu memang dia lakukan demi mamanya.

“Tolong aku, Tuhan. Karyaku sangat bagus dan aku

berjuang keras membuatnya. Besok hari istimewa ka·

rena koran mengumumkan pemenangnya. Tuhan, aku

sungguh berharap, akulah juaranya. Bantu aku, Tuhan,

Page 12: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

pliiis,” Mira berdoa khusyuk. Setelah capek memelototi layar

laptop, Mira rebah di kasur. Terbayang di otaknya senyum

Mama yang akan mengembang lebar jika ia jadi juara nanti.

Mama pasti sangat bangga dengan prestasinya. Mama memang

perfeksionis dan sangat gila prestasi. Mira-Iah yang jadi sasaran

obsesi Mama. Mira dituntut berprestasi setinggi mungkin dalam

segala bidang. Sejak Mira kenyang mengikuti berbagai

perlombaan. di rumah sampai ada ruang khusus untuk

menyimpan piala dan piagam hasil

perlombaan yang diikuti Mira. Terkadang Mira tertekan

mengingat hal itu.

Semalaman Mira tak bisa terpejam. la terus memikirkan hari

esok. Berita baik atau berita burukkah yang di terimanya besok?

Baik bila dia menjuarai lomba itu,atau buruk bila namanya

sama sekali tak tercantum pada deretan pemenang.

“Duh, aku menyesal telah memberitahu Mama dan

Papa bahwa aku ikut lomba. Kalau aku kalah, mereka

pasti san

gat kecewa. Harusnya kuberitahu kalau sudah

jelas aku menang! “Mira mendadak gugup.

“Duh, ada mesin waktu nggak sih? Teknologi sudah

begitu maju, tetapi mengapa nggak ada mesin waktu

ya?” Saking gelisah, pikiran Mira mulai melantur. Kayaknya

aku harus jadi ilmuwan deh. Aku ingin membuat alat canggih

Page 13: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

yang bisa membawa manusia ke masa lalu. Jadi, semua orang

bisa memperbaiki kesalahan masa lalunya. Ah, pasti

menyenangkan bila ada alat semacam

itu. Mira ngikik membayangkan ada alat secanggih itu.

Hampir tengah malam saat Mira baru saja terpejam, sebuah

ketukan halus di pintu kamar membuatnya urung tidur. Ternyata

Mama, yang baru pulang dari luar kota.

"Hai, Sayang," sapa Mama sambi! mengecup kening Mira

sekilas.

"Lho, kok pulang, Ma? Tengah malam begini?" tanya Mira

heran. "Mira kirain masih beberapa hari lagi."

"Besok pengumuman lomba karya tulis yang kamu ikuti, bukan?

Mama yakin kamu juaranya,Mir!"kataMama.

"Mama khusus pulang untuk menyiapkanmu pada acara

penerimaan hadiah bagi pemenang. Kita harus belanja baju baru

untuk han istimewamu itu."

"Jangan berharap tertalu banyak, Ma. Saingan Mira juga banyak,

kan?"

"Mir, jadi orang optirnis dong! Mau jadi apa kamu kalau sedikit-

sedikit berpikiran negatif dan menyerah begitu? Kamu hidup

dalam generasi yang kejam dan penuh persaingan. Kalau lembek

dan santai, kamu akan terlindas kehidupan. Kamu mati sia-sia

dan tak punya apa-apa Camkan itu baik-baik! Besok kamulah

juaranya!" tegas mama Mira.

Page 14: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kata-kata Mama yang tajam menohok bagaikan pesawat tempur

yang menembaki Mira bertubi-tubi. Hati Mira jadi tak menentu.

Dia sungguh takut menghadapi esok.

MIRA bangun dengan wajah sembap karena kurang tidur. Dia

mencoba bemyanyi untuk menenteramk an hati. Tapi bibirnya

tak mampu mengeluarkan suara apa pun. Hatinya betul-betul

gentar. Keberadaan Mama dan pengumuman lomba betul-betul

kombinasi sempurna yang membuat nyalinya ciut.

Setelah mandi, sarapan, dan siap berangkat ke sekolah, Mira

berjalan tanpa semangat. Sesampainya di rumah Kelly, ía hanya

mematung di depan pagar, menunggu sahabatnya ke luar.

“Mira... masuk dulu, Sayang!” terlak mama Kelly dan pintu

rumah. “Tante bikin roti bakar enak Iho!”

“Saya masih kenyang, Tante,” sahut Mira. Karena ada Mama,

mau tak mau Mira harus sarapan di rumah. Jika tidak, Mama

pasti mengomel. Mira terpaksa menyantap nasi goreng walau

lidah dan perutnya belum kepingin makan. Masih lebih baiklah,

daripada dia sarapan nasihat Mama. Bisa pusing sepanjang han

kalau pagi-pagi telinganya sudah disembur omelan.

Kelly berlari kecil menghampiri Mira. “Hai, Mir” sapa Kelly

riang. “Ya ampun... tampangmu kusut benar pagi ni. Sudah

mandi belurn sih?”

Mira memonyongkan bibir. “lh, enak saja! Sudah man- di dong.

Tapi lupa sabunan,” ujarnya cuek sambil mel angkah.

Kelly menjejeri langkah Mira. Pandangan Mira tidak fokus.

Beberapa kali dia hampir menabrak orang yang herpapasan

Page 15: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

dengannya. Bukannya minta maaf pada orang yang hampir

ditabraknya, Mira malah cemberut (Ian membisu.

“Hei, kamu kenapa sih? Butuh obat ketawa? Puyer dosis tinggi

barangkali?” Kelly menggoda Mira.

Mira melotot, kemudian menunduk lagi. Entah berapa kdli ujung

sepatunya menyepak kenikil yang dia temui di jalan.

“Lama-lama kamu mulai kayak Aol,” gumam Kelly.

“ldih... sembarangan!” Mira sewot mendengar perk ataan

sahabatnya itu.

Mira nyengir. “Son... aku kan hanya bercanda. Soaln ya pagi ini

tampangmu masam banget. Trus, kerikil nggak salah kok

disepak-sepak. Kasihan, kan?” Kelly lagi-lagi mencoba melucu.

Mira menghela napas. “Aku takut sekali, takut gagal hari ini.”

“Oh... han mi pengumuman lomba, ya? Wah, aku yakin kamu

menang, Mir! Kamu pinter, teliti, pandai merangkai kata. Jadi

aku yakin kamulah pemenaflgflYa. Kalau kamu nggak menang,

pasti jurinya salah baca tuh! Atau jangan.iaflgan ada peserta

yang lebih pintar daripada kamu? Ah, tapi itu nggak mungkin,

kan?” cerocos Kelly.

Mira berhenti, kemudian menatap Kelly sehingga sahabatnya itu

jadi salah tingkah.

“Hehe, memangnya ada yang salab dengan kata-kataku ya?”

tanya Kelly sambil nyengir cemas.

Page 16: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Nggak usah ikut-ikutan menuntut kayak mamaku deh!” balas

Mira, lalu Ia kembali berjalan.

Kelly terpaku sesaat, kemudiar mengelar sahabatflYa. Saat

sampai di depan rumah Riku, terlihat cowok itu tersenyum di

depan gerbang sambil memegang koran pagi.

“Pagi, Mira! Ada kabar bagus untukmu!” kata Riku. Mira

berusaha merebut koran di tangan Riku, tapi cowok itu menang

cepat menghmndari gerakan gesit Mira.

“Please deh!” seru Mira tak sabar.

“Eits, janji dulu, kamu akan mentraktir kami kalau kamu jadi

salah satu juaranya.”

“Yang namanya juara itu cuma satu! Aku tidak mengenal istilah

juara dua atau tiga. Kalau aku di urutan kedua atau ketiga,

bagiku itu bukan juara!”

Riku tercengang. “Sungguh? Tapi... yang kedua dan ketiga suatu

saat bisa menjadi yang pertama, Mir! Kegagalan adalah sukses

yang tertunda.”

“Katakan itu pada mamaku!” bentak Mira. Kemudian i merebut

koran dan tangan Riku. Cowok itu menyerah.

Mata Mira melotot, tangannya bergetar hebat hingga koran di

tangannya terjatuh. Sesaat kemudian, air mata mengalir di kedua

pipinya. Mira berlari. Dadanya sesak.

Kelly bengong melihat reaksi sahabatnya. Dia tidak mengira

Mira bisa sangat terpukul seperti itu. Kelly menatap Riku penuh

tanya.

Page 17: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Dia juara dua,” kata Riku pelan, lebih menyerupai gumaman.

“Oh my God! Dunia bakal kiamat!” seru Kelly, kemudian

berlari mengejar Mira.

Mau tak mau Riku ikut berlari. Mereka bagaikan orang yang

tengah berkejaran sehingga membuat penasaran orang-orang di

sekitar mereka. Apalagi sesampainya di sekolah Mira tak juga

mengurangi kecepatan larinya. Ditambah dengan air mata yang

bercucuran di pipi Mira, adegan lari tiga kawanan itu semakin

mencuri perhatian. Tapi Mira tak peduli. Hatinya benar-benar

kalut.

Akhirnya Mira berhenti dan duduk di bangku semen di pinggir

lapangan sepak bola, tempat dia dan Kelly biasa menghabiskan

bekal makanan. Mira termenung. Air mata yang tadi mengucur

deras kini telah kering. Riku dan Kelly duduk mengapit Mira.

“Mengapa harus bersedih, Mir? Ratusan karya masuk ke meja

juri dan menjadi pesaingmu. Bahkan, mereka tidak masuk

menjadi pemenang urutan berapa pun. Kamu di urutan kedua.

Kedua dan ratusan karya!” Riku memberi penekanan pada

kalimat terakhir. “Kamu hebat! Wajar bila Aoi juara satu, karena

sejak kelas tiga SMP dia mengikuti lomba ini, meskipun belum

pernah menang sebelumnya. Namun hari ini, setelah berkali-kali

ikut, dia jadi pemenangnya. Aku yakin kamu baru pertama kali

ml ikut lomba tersebut, dan langsung juara dua. Kamu sangat

hebat, Mm!” hibur Riku penuh sem angat.

Mira menatap tajam pada Riku. “Jadi... juara satunya Aoi? Si

robot yang menyebalkan itu? Tadi aku hanya melihat namaku,

tidak baca nama lain.”

Page 18: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Namanya ada kok. Kamu aja yang nggak memperhatikan.”

Riku mengangguk. “Yang penting, ini prestasi besar bagi

sekolah kita karena dua siswanya mengharumkan nama

sekolah.”

“Aku ikut lomba bukan untuk sekolah, tapi untuk Mama!” balas

Mira ketus. Dengan kasar dientakkannya tubuhnya ketika

berdiri, kemudian dia beranjak pergi ,tanpa berkata-kata.

Riku dan Kelly bengong kayak kepompong. Bahkan Riku tak

habis pikir, bagaimana bisa seseorang tidak berbahagia saat

dinmnya dinyatakan jadi juara, hanya karena jadi juara kedua?

Riku menggeleng-geleng bingung.

“Kenapa sih dia begitu? Dapat juara dua kok justru kayak orang

depresi gitu?”

“Mamanya menuntut dia menjadi yang pertama, cIilam hal apa

pun. Di kamus mama Mira, nggak ada kilah kedua. Mira teman

yang sangat balk dan men yenangkan, tapi di rumah dia

tertekan,” balas Kelly.

“Kasihan... apalagi yang jadi juara satu Aol, Mira pisti tambah

kesal. Terlebih dia selalu bersikap buruk pida Aoi karena tidak

menyukai cowok itu,” Riku mendesah sedih.

“Hmm, pasti akan ada pertempuran sengit nih. Mira lalu ingin

jadi yang pertama, terbaik, dan terdepan. Dia begitu terobsesi

menjadi nomor satu, makanya dia ..sampai kurang gaul gitu.

Heran deh, padahal dia pintar. Kurang apa lagi, coba? Aku aja

yang rada o‟on gini inasih nyantai... ,” cerocos Kelly.

Page 19: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Riku tersenyum mendengar ocehan Kelly. Benar kata Mira,

ternyata Kelly memang terlalu banyak bicara alias cerewet!

Jantung Mira berdebar kencang. Kakinya gemetar ketika

melewati pintu masuk rumah. Benar saja, yang dia takutkan jadi

kenyataan.

“Kenapa bisa begini, Mira?” tanya sebuah suara. Tegas dan

begitu mengintimidasi.

Mira berhenti. Bahkan dia tidak berani menatap mata orang

yang barusan menyapanya.

Mama berdiri tegak di depan Mira. Tangannya mengacungkan

sehelai koran. Mira sudah tahu, Mama pasti memburu koran han

itu demi melihat pengumuman hasil lomba. Begitu tahu Mira

hanya juara kedua, pasti Mama marah.

“Siapa Aoi? Dia satu sekolah denganmu, tapi kenapa dia yang

menang? Bukankah Mama sudah menekankan padamu untuk

selalu jadi yang terbaik? Pasti kamu tidak berusaha sungguh-

sungguh sampai bisa kalah dan anak bernama Aoi itu!”

Mira membisu. Mendengar marnanya menyebut nama Aoi, hati

Mira geram. Kalau sebelumnya dia hanya sebatas kesal melihat

wajah Aoi yang masam, kali itu dia betul-betul marah pada

cowok itu. Awas saja, akan kubalas sakit hatiku ini!. Jangan

harap kamu bisa hidup tenang, Aoi! batin Mira menyumpah-

nyumpah.

“Ingat, Mira, Mama sungguh kecewa padamu. Pokoknya tahun

ini Mama ingin melihat karnu jadi pemenang. Ikut sebanyak-

banyaknya lomba, dan jadilah juara. Tidak ada artinya jika kamu

Page 20: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

hanya jadi yang kedua. Buktikan pada Mama kamu memang

anak Mama yang hebat!”

Kepala Mira semakin tertunduk. Kata-kata dan suara Mama

menusuk-nusuk gendang telinganya. Kepalanya pusing seketika.

Obsesi Mama untuk menjadikan dirinya juara betul-betul

meneror mentalnya. Ah, Mira sungguh capek!

BERJAM-JAM membenamkan wajah di bantal sambil menangis

betul-betul menguras energi. Dada sesak, mata pedas, dan

suasana hati panas. Menyebalkan!

“Aku nggak boleh cengeng!” gumam Mira. “Daripada suntuk di

rumah, mendingan aku ke rumah Kelly saja.”

Mira bangkit dan tempat tidur dan bersiap-siap mandi. Ia

memilih baju berwama ceria: T-shirt garis-garis merah dan

krem, serta celana jins selutut. Sepatu kanvas merah melengkapi

penampilannya. Sporty dan nyaman.

Walau pikiran masih ruwet, Mira bersenandung saat mandi dan

berdandan. Lumayan mengurangi kesedihan. Ah, kalau boleh

jujur, hati Mira masih mendung. Namun, cewek itu tak mau

larut dalam kesedihan.

Mira bergegas ke luar kamar, ingin cepat-cepat sarnpai di rumah

Kelly. Namun, betapa kaget Mira saat membuka pintu rumah.

Kelly dan Riku tengah duduk di bangku teras.

“Kalian... ?”

“Aih... kok segitu kagetnya sih, Mir? Biasa aja, kali!” celetuk

Kelly nyengir.

Page 21: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Kami mau mengajakmu jalan-jalan,” kata Riku seraya hangkit

dan duduk. “Mau, kan?” Mira tersenyum lebar. Dia memeluk

Kelly. “Kelly, kamu sungguh pengertian. Aku baru saja mau ke

rumahmu, eh kalian justru ke sini.”

“Oh, ya? Kebetulan banget dong kalau gitu. Yuk buruan,

sopirku menunggu!” ajak Riku.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol banyak hal. Rupanya

Kelly dan Riku memang berniat menghibur Mira. Tak henti-

henti keduanya melemparkan lelucon. Mira benar-benar

merasakan hangatnya persahabatan. Apalagi sekarang ada Riku

yang sangat baik dan perh atian pada Mira. Walau baru kenal,

Riku cepat mengakrabinya tanpa canggung. Riku terkesan

dewasa di mata Mira.

“Eh... omong-omong, kita mau ke mana?” tanya Mira.

“Jalan-jalan ke mal, sekalian makan malam, biar kamu nggak

bete dan nggak perlu minum obat pembuat tawa!” balas Riku

sambil menoleh pada Mira yang duduk di belakangnya. Mira

tersenyum. “Terima kasih ya, Ri!”

“Yap!” balas Riku tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena

dapat kesempatan jalan-jalan bersama Mira.

“Tuh, Riku baik banget kan, Mir?” bisik Kelly. “He-eh,” balas

Mira.

Kelly tersenyum-senyum sendiri, kemudian mengajak Riku

ngobrol tentang hobi masing-masing. Mira mencoba jadi

pendengar yang balk. Dalam hati ia bersyukur punya sahabat

yang menopangnya saat ia jatuh. Mira tak lagi merasa sendirian.

Page 22: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Walau mungkin hanya sesaat saja dia bersenang-senang dan

harus kembali berhadapan dengan Mama sepulangnya dari

jalan-jalan, setidaknya Mira terhibur.

Sesampainya di mal, mereka main di game center. Mira tidak

begitu berselera bermain. Temyata tidak mudah membuang

gundah. Mira seperti linglung. Kepalanya celingukan mengamati

tingkah remaja-remaja yang tengah bermain, namun tatapannya

nyaris kosong. Mira merasa sepi di tengah keramaian.

“Ayo, Mir, gantian kamu yang main!” ajak Riku begitu game

over.

Mira menggeleng. “Aku lagi nggak kepingin main, Ri. Aku mau

keliling-keliling dulu, ya. Kamu main lagi aja sama Kelly.”

Riku mendesah kecewa, tapi dia mengerti suasana hati Mira.

Maka diberikannya senyum termanisnya buat Mira. “Oke, tapi

jangan sampai nyasar, ya. Kalau setengah jam lagi kamu nggak

balik ke sini, aku lapor ke bagian informasi Iho. Namamu bakal

berkumandang ke seantero mal ini. Hihihi.”

“Ah, biar saja. Biar kondang sekalian!” balas Mira sambil

melengos dan berlalu, meninggalkan Riku yang bengong

melihat tingkah cuek Mira.

Mira berjalan-jalan di sekitar arena game center. Pikirannya

masih digelayuti peristiwa seharian tadi: kalah lomba dan

kemarahan Mama. Tak ada hal yang lebih menarik bagi Mira

selain menjadi juara dan kebanggaan Mama. Mira selalu

berpikir, Mama sibuk bekerja di luar kota karena Mira kurang

bisa dibanggakan. Mungkin Mira tak cukup berarti bagi Mama.

Page 23: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Seseorang yang tidak cukup berarti mudah ditinggalkan dan

dilupakan.

Sungguh Mira sangat menyayangi Mama. Makanya dia mati-

matian mencoba menyenangkan hati Mama. Memang terselip

juga perasaan takut pada Mama. Mama keras dalam mendidik

putrinya sehingga Mira sering tertekan. Namun entah mengapa,

Iama-kelamaan obsesi Mama menjadi obsesinya juga. Jauh di

lubuk hati, Mira pun tergila.gila menjadi yang pertama dalam

segala hal. Mungkin itu yang dinamakan faktor genetik. Mira

mewarisi sifat mamanya.

Mira mengangkat bahu. Terus-terusan berpikir tentang hal itu

membuat kepalanya pusing. Baiklah, aku harus mencoba santai.

Mumpung di mal, mendingan aku belanja barang yang kusukai.

Daripada stres tidak jelas, tak ada salahnya bersenang-senang,

pikir Mira. Ia menuju bagian fashion remaja. T-shirt dan jins

pakalan kebangsaan Mira, tapi kali itu dia ingin mencoba

sesuatu yang baru untuk mengusir jenuh.

Kalau aku pakai gaun, bagus nggak ya? batin Mira sambil

tertawa kecil. Hihihi, tak ada salahnya kucoba!

Mira menyambangi bagian gaun remaja. Lucu juga rasanya.

Sebelumnya, jika menemani Kelly membeli baju, Mira dibuat

mati bosan saat sahabatnya itu berulang kali minta pendapatnya.

Bagus yang polkadot atau yang gambar hati? Manis yang pink

atau hijau muda? Aduuuh... cute banget! Jadi pengen beli

semuanya! Seperti itu ocehan Kelly ketika memilih baju. Lebay!

Biasanya Mira geleng-geleng atau malah merutuk gemas.

Page 24: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kini Mira kebingungan sendiri. Koleksi baju yang kecewek-

cewekan itu lucu-lucu. Variasi model, motif, dan warna sungguh

menarik. Seperti apa penampilan Mira saat mengenakan gaun?

Haha, pasti aneh. Rambut Mira kan cepak. Ditambah

pembawaannya yang tomboi, sudah pasti Mira bakal terlihat

ajaib.

Apa aku coba dulu aja ya? Siapa tahu cocok.

Mira geli sendiri. Namun dibawanya juga dua gaun ke kamar

pas. Satu gaun kerut di bagian dada dan memakai tali bahu, satu

lagi gaun bergaya vintage tanpa lengan dan berkerah runcing.

Mira agak ragu saat berjalan menuju kamar pas. Sesekali ia

menoleh ke sekeliling, takut kepergok Riku dan Kelly, atau

kenalan yang mungkin sedang berkeliaran di mal ini. Maklum,

Mira menganggap dirinya sedang bersikap konyol. Tapi tak

apalah, buat variasi hidup, pikir Mira. Mira mematut diri di

depan cermin. Hahaha, aneh sekali! Ingin rasanya dia tertawa

sampai puas, tapi takut didatangi pramuniaga atau satpam.

Terpaksa dia menahan tawa dengan menggigit bibir. Mumpung

sendirian di kamar ganti, Mira bergaya bak foto model yang

tengah berpose untuk pemotretan sampul majalah. Lagi-lagi,

tawa Mira hampir meledak.

Bertingkah konyol ternyata kadang diperlukan untuk membuat

rileks pikiran. Karena itu, Mira tak ragu-ragu membawa dua

gaun yang telah dicobanya ke meja kasir. Dia bisa mencobanya

lagi di rumah sepulang nanti. Bahkan komplet sambil

berlenggak-lenggok Seperti peragawati di catwalk. Mira

tersenyum sendini memikirkan hal itu.

“Hai!” Seseorang menepuk punggung Mira.

Page 25: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira terlonjak kaget. Kelly dan Riku berdiri di belakangnya.

Ups... buru-buru Mira menyembunyikan tas belanjaan ke

belakang tubuhnya. Usaha yang sia-sia, tentu saja. Untunglah

dua temannya itu datang setelah kasir selesai memasukkan

belanjaan. “Eh, belanja apa tuh?” Kelly melongok ingin tahu.

“Cuma kaus kaki,” jawab Mira asal saja.

“Beli berapa pasang? Perasaan kok isinya tebal amat?” Kelly

menyelidik.

“Ah, mau tahu aja!” Mira melengos, lalu berjalan cepat.

Mau tak mau Kelly dan Riku ikut berjalan cepat menyusul

Mira.

“Eh, jangan lupa, kita makan dulu,” kata Riku.

“lya, Mir. Udah lapar nih!” kata Kelly sambil menjejeri langkah

Mira. “Kamu sih, tadi nggak ikutan ngegame. Tumben nggak

menggunakan otakmu untuk mengalahkan lawan dalam

permainan, hehehe. Kamu pasti bosan ya, selalu jadi pemenang

kalau lawan aku?” cerocos Kelly.

Mira manyun dan berjalan makin cepat.

“lh... sensi amat sih?” Kelly heran.

Riku menepuk punggung Kelly. “Mira masih kalut. Saat ini dia

tidak butuh kata-kata. Sebaliknya, dia butuh telinga yang siap

mendengarkan jeritan hatinya. Yuk, kita susul dia. Kita beri dia

kesempatan curhat biar hatinya plong.”

Page 26: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kelly mengangguk, lalu buru-buru menyusul Mira. Mereka

menuju food court dan mengambil tempat di pojokan.

Untunglah food court tidak terlalu ramai karena bukan malam

Minggu. Seandainya tadi Mama tidak berangkat lagi ke luar

kota, mana mungkin Mira berani keluar malam sementara

besoknya harus sekolah.

“Ayo, pesen yuk!” ajak Kelly tidak sabar.

“Nanti dulu. Ada teman yang akan bergabung sebentar lagi,”

kata Riku. “Dia yang akan traktir kita.”

“Wah, asyiiik!” pekik Kelly, sementara Mira hanya mengangkat

bahu dan kembali melamun. “Sudah lama menunggu?”

Sebuah suara membuyarkan lamunan Mira. Dia mendongak,

menatap si empunya suara. Raut wajahnya langsung berubah

marah begitu melihat siapa yang datang. Aoi. Cowok congkak

itu berdiri tanpa senyum dan tak sedikit pun melihat pada Mira.

Dia langsung menarik kursi kosong dan mendudukmnya. Kursi

itu tepat berada di hadapan Mira.

Aoi tidak sendiri. Dia datang bersama Mei, teman sekelas Aoi

dan Riku. Mei yang cantik dan kerap jadi model sampul majalah

itu sangat ramah. Dengan hangat dia menyapa Mira dan Kelly

sambil menebar senyum.

“Nah, ini dia orang yang akan mentraktir kita!” seru Riku.

“lya, kalian boleh makan apa saja Iho!” balas Aoi.

“Apa-apaan nih?” tanya Mira bingung bercampur geram.

Page 27: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Hmm... ternyata ada kamu di sini.” Komentar Aoi jelas

menampakkan ketidaksukaannya. “Tapi nggak apa-apa kok,

itung-itung bagi rezeki. Aku mentraktir kalian karena hari ini

aku menang lomba karya ilmiah,” jelas Aoi sambil melirik Mira,

seolah menyindir cewek itu.

“Aku akan bayar sendiri makananku! Aku nggak mau ditraktir

dia!” balas Mira ketus.

“Oh, silakan saja. Aku juga malas mengeluarkan uang untuk

cewek ketus kayak kamu!” balas Aoi tak kalah sengit.

“Lho, Mira kan juga juara. Harusnya kita makan dua kali nih

karena ada dua juara!” seru Mei mencoba mencairkan suasana.

Tawanya yang renyah ikut memamerkan sederetan gigi putih

dan rapi. Ah, Mei memang cantik sekali.

“Tahun depan aku akan traktir kalian semua di restoran mahal.

Karena saat itu akulah juaranya,” balas Mira tak mau kalah.

“Heh! Sudah-sudah! Kita berkumpul di sini kan untuk makan!”

lerai Riku sambil bangkit. “Aoi, kupesankan sekalian ya?”

Kelly juga beranjak mengikuti Riku sambil berkata ringan,

“Akan kupesankan untukmu juga, Mir!”

“Aku juga mau cari-cari makanan yang lezat, mumpung ditraktir

Aoi!” seru Mei, kemudian ngacir.

Mira dan Aoi tidak berkutik. Mereka duduk berhadapan, namun

sama-sama membuang muka ke arah lain. Keduanya diam dan

cemberut. Suasana jadi dingin dan kaku. Mira menyesal diajak

jalan-jalan oleh Riku dan Kelly. Kalau tahu dia bakal

Page 28: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

dipertemukan dengan Aoi, Iebih baik dia di rumah saja. Mira

benar-benar kesal. Maksud hati menghibur diri, kok justru jadi

melihat Aoi merayakan kemenangan? Aaargh... sebal!

“Kamu nggak ngasih selamat buat aku?” akhimya Aoi buka

suara.

Mira pura-pura tak mendengar, dia sok konsentrasi melihat

pengunjung food court yang lalu-lalang. Aoi tampak bersungut-

sungut, tapi tak mau menyerah.

“Memang, jadi pecundang nggak enak. Kalau memang kalah,

kita harus tetap sportif dan mengakui keunggulan lawan,

bukannya jadi pengecut.”

Mira menatap tajam Aoi. “Kamu menyebalkan!”

“Yah... aku sadar, bagimu aku menyebalkan. Tapi aku punya

otak yang lebih cerdas daripada otakmu, yang isinya hanya satu,

r, satu, alias IRI.” Aoi mencibir.

“Lihat saja nanti, saat aku seusiamu, aku akan jauh lebih

berprestasi dibandingkan kamu! Bahkan, sekarang saja aku

sudah satu tingkat di bawahmu. Padahal kita beda angkatan!”

balas Mira sombong.

Aoi tersenyum mengejek. Matanya menyipit. “Tahu nggak?

Usia kita tuh sama. Aku masuk sekolah kemudaan setahun.

Kamu tahu kenapa? Karena aku terlalu cerdas!”

Mira kehabisan kata-kata. Wajahnya pucat pasi, seolah ada yang

menampamya dengan keras di depan umum. Dia hendak

beranjak pergi, tapi Riku dan Kelly keburu datang. Mereka

Page 29: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

mencegah Mira. Setengah hati Mira kembali duduk. Walau kesal

tak terkira, dia menghargai usaha Riku dan Kelly yang sudah

mengajaknya jalan-jalan untuk menghiburnya.

“Mira, kami sudah pesan makanan. Kalian berbaikan dong. Kita

kan satu sekolah, jadi siapa pun yang menang tidak masalah.

Kalian sudah mengharumkan nama sekolah. Aoi bukan

pesaingmu, Mira,” Kelly mencoba menasihati.

“Aku menyesal satu sekolah dengan dia!” seru Mira ketus.

“Kalau aku senang banget satu sekolah denganmu,” balas Aoi.

“Kini jelas, aku bukan satu-satunya orang yang punya wajah

tanpa senyum. Dengan tampangmu yang seperti itu, jelas-jelas

kamu mengganggu pem andangan orang,” sindir Aoi pada Mira.

Kesal bukan kepalang, Mira pergi begitu saja tanpa

memedulikan Kelly yang berusaha mencegahnya. Kelly hampir

saja mengikuti Mira, tapi Riku mencekal lengannya. “Sudahlah,

Kel. Biar dia tenang dulu. Biar dia belajar menghadapi

kegagalan dan mengendalikan perasaannya sendiri.”

“Tapi dia sahabatku!”

“Sahabat yang baik nggak menjadi beban bagi sahabatnya, tapi

menjadi pendukung,” balas Riku. Kelly duduk kembali. Hatinya

tak bisa kesal karena wajah Riku begitu menawan. Yah, Kelly

sangat menyukai Riku. Ia tak ingin wajahnya terlihat jelek di

hadapan Riku.

“Memangnya kamu ngomong apa sama Mira tadi?” tanya Kelly

pada Aoi.

Page 30: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi mengangkat bahu. “Dasar cewek sensi! Ikutan lomba baru

pertama kali bisa langsung juara dua, kok masih merasa kurang?

Kalau mau jadi juara satu, ya harus berjuang lebih keras! Tapi

tetap saja butuh waktu. Aku memulainya jauh lebih awal

daripada dia, wajar kalau aku menang. Di luaran sana, bahkan

ada yang ikut berkali-kali tapi jadi juara harapan pun tidak.

Namanya perlombaan, pasti ada yang menang dan kalah. Kalau

dia nggak siap menerima kekalahan, mendingan nggak usah ikut

lomba deh”

Kelly merengut mendengar ceramah Aoi. Bagaimanapun Mira

sahabatnya. Kelly tidak rela Aoi mengatan gatai Mira, walaupun

perkataan Aoi benar. “Ada yang kamu nggak tahu, Aoi,” desah

Kelly. “Mira sebenarnya bisa menerima kekalahan. Tapi tidak

dengan mamanya. Itu makanya dia kalut.”

Aoi tersenyum masam. Dalam hati timbul rasa kasihan pada

Mira. Tapi ia telanjur kesal pada kelakuan Mira saat di lapangan

sepak bola waktu itu. Cewek itu menyepelekannya.

“Lho, mana Mira?” Mei datang dan langsung mengambil tempat

duduk.

“Kabur. Nggak usah mikirin dia deh. Dasar cewek bete!” balas

Aoi bersungut-sungut.

“Ehem... kamu apa-apain dia ya?”

Aoi mendelik pada Mei. “lya. Aku kerokin punggungnya pakai

palu!” jawabnya ketus. Riku dan Kelly ngikik. Mei mengerutkan

kening, bingung karena belum paham apa yang terjadi antara

Mira dan Aoi.

Page 31: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Jadi, bagaimana nih? Nggak apa-apa, Mira kita biarkan pergi?”

Tak urung Kelly khawatir juga. “Sudahlah, dia kan sudah besar.

Nggak bakalan nyasar. Nanti kita cari Mira setelah kita makan.

Laper banget nih!” kata Riku.

Kelly mengangkat bahu dan mulai menyuap makanan ke mulut.

Namun suasana telanjur kaku. Mereka makan tanpa mengobrol

sedikit pun. Mei tidak bertanya lagi, walau sesekali matanya

menyelidiki raut wajah teman-temannya. Mungkin Mei sungkan

pada Aoi. Cowok itu benar-benar bermuka masam. Kalau tidak

kelewat lapar seperti saat itu, mungkin Kelly tidak berselera

makan sama sekali.

Usai makan, Kelly melihat arloji. “Hampir jam sembilan nih.

Sebentar lagi mal tutup. Terus, Mira gimana? Kasihan kan dia

kalau harus pulang sendirian?”

“Halah, susah amat sih! Kamu kan bawa HP. Tinggal ditelepon

aja tuh anak, pastiin ada di mana sekarang,” kata Aoi ketus.

“Lagian, pulang sendiri juga apa susahnya. Taksi banyak kok.”

“lh, kamu kok gitu sih?” Kelly rada emosi. “Kasihan dia kalau

pulang naik taksi sendirian malam-malam. Kalau di jalan

dirampok bagaimana? Atau di.. di... huh!” Kelly bergidik

sendiri.

“Huss... jangan mikir yang nggak-nggak ah!” Mei ikutan

bergidik. “Betul kata Aoi, kamu telepon dulu aja. Dia ada di

mana sekarang. Supaya kita nggak susah nyarinya. Mal ini kan

luas. Atau jangan-jangan tadi dia langsung pulang naik taksi.”

“Oke deh, aku telepon sekarang.”

Page 32: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Tangan Kelly merogoh isi tas. Dahinya berkerut. Dia berhenti

sejenak. Wajahnya tampak berpikir. Lalu, kembali dirogohnya

tas cangklong kecil itu. Kelly menggigit bibir. Dia meringis.

“HP-ku temyata ketinggalan di rumah, hehehe.”

“Nggak hafal nomornya?” tanya Mei.

“Nomor HP-ku sendiri saja aku nggak hafal,” jawab Kelly lugu,

membuat Mei dan Riku tertawa. Sementara Aoi hanya

tersenyum sinis.

“Terus gimana dong? Riku, kamu punya nomor Mira, kan?”

tanya Mei.

“Nggak.”

“Jadi, sekarang kita harus cari Mira dulu nih?” tanya Mei

bingung. “Masalahnya, aku belum ngerjain PR!”

“Ya ampun! PR!” pekik Kelly panik. “Aku juga belum ngerjain

PR matematika! Aduh, bagaimana nih? Aku kan lemot kalau

ngerjain matematika. Satu soal aja mesti mikir setengah jam

lebih. Alamat nggak tidur sampai besok dong!” rengek Kelly.

Riku tertawa. “Hahaha, ada-ada aja kamu, Kelly. Ya sudah.

Kamu pulang duluan sama Aoi dan Mei aja deh. Biar aku sendiri

yang cari Mira. Tapi ingat, begitu sampai rumah, kamu telepon

Mira untuk memastikan. Siapa tahu dia memang betul sudah di

rumah. Lalu, segera telepon aku, ya. Aku nggak akan berhenti

mencari Mira sebelum dapat konfirmasi darimu. Tapi semoga

saja aku bisa menemukan Mira sebelum kamu sampai di

rumah.”

Page 33: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Oke. Aku minta nomor HP-mu dong,” pinta Kelly.

Riku menuliskan nomor HP-nya di tisu, lalu menyodorkannya

pada Kelly. “Jangan dipakai buat ngelap ingus, ya,” selorohnya.

Kelly tertawa kecil. Bagaimana mungkin buat ngelap ingus?

kata Kelly dalam hati. Tisu ini bakal disimpan di bawah bantal,

siapa tahu bisa mimpiin Riku. Kelly senyum-senyum sendiri

memikirkan hal itu.

“Hai, malah cengengesan!” tegur Mei. “Yuk, pulang. Kudu

cepat-cepat ngerjain PR biar besok bisa bangun pagi nih!”

“Oke deh!”

Akhirnya Kelly, Aoi, dan Mei memisahkan diri dan Riku. Riku

sebenarnya bingung mau mencari Mira ke mana. Tapi karena

mal sudah mau tutup, cowok itu memutuskan untuk berdiri di

depan pintu utama. Dia mengamati orang-orang yang mulai

berbondong keluar. Lama Riku mematung dengan mata

jelalatan, namun sosok yang dicarinya tak juga muncul. Hingga

rombongan pegawai mal keluar, Mira belum juga nongol.

Oh, apa aku langsung ke parkiran saja? Jangan-jangan Mira

menunggu di dekat mobil, pikir Riku.

Riku memarkir mobil di luar mal, jadi dia tidak perlu masuk

kembali untuk menuju tempat parkir. Suasana di jalan masih

ramai. Para pegawai bergerombol sambil bercanda ria selagi

menunggu angkutan umum atau jemputan pacar. Begitu juga

para keluarga yang habis berbelanja kebutuhan sehari-hari atau

sekadar refreshing, dan para remaja yang sedang hang-out atau

pacaran. Riku tersenyum melihat sepasang remaja yang tengah

Page 34: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

duduk di taman. Mereka asyik ngobrol sambil ngemil kentang

goreng. Sesekali tawa meledak, dan si cewek menghujani tubuh

cowoknya dengan cubitan mesra.

Riku tertegun. Di bangku di sebelah sepasang muda-mudi itu,

seorang gadis berambut pendek tampak duduk melamun.

Mira.

Dengan hati-hati Riku menyapa gadis itu. “Mira? Untunglah aku

menemukanmu di sini,” sapanya sambil duduk di samping Mira.

Mira menoleh sejenak pada Riku, kemudian kembali berpaling

ke arah semula. Dia masih sedih dan kesal.

“Kami mengkhawatirkanmu, tapi sengaja nggak mengikutimu

tadi. Soalnya kamu pasti ingin sendirian.”

“Kelly mana?”

“Dia pulang duluan sama Aoi dan Mei. Katanya dia belum

mengerjakan PR matematika.”

“Anak itu,” desis Mira, “selalu saja menunda mengerjakan PR

sampai malam terakhir. Ujung-ujungnya, tengah malam atau

dini hari dia kerap meneleponku, meminta jawaban yang benar.”

“Hah? Sampai segitunya?”

Mira tertawa kecil. Ketegangan di wajahnya mulai cair. “Benar.

Kelly memang sering bersikap konyol. Tapi, dia baik dan lugu.

Aku senang bersahabat dengannya. Keluarganya pun hangat dan

ramah. Apalagi mamanya, baik sekali. Masakan mama Kelly tak

ada duanya deh!” Mira berbicara berapi-api.

Page 35: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Riku tersenyum lebar. Dia senang melihat wajah Mira cerah

kembali. Tapi tak lama kemudian Mira kembali muram.

“Seandainya mamaku seperti mama Kelly,” gumam Mira.

“Ssstt... nggak balk membanding-bandingkan orangtua. Semua

orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Begitu

juga mamamu. Hanya mungkin saja caranya tidak sesuai dengan

keinginanmu.”

Mira mengangkat bahu. “Aku capek harus selalu jadi yang

nomor satu.”

“Kalau begitu, ya berhenti aja. Kamu nggak harus selalu

menuruti orangtuamu jika memang membuat jiwamu lelah.

Pelan-pelan, berilah pengertian pada mamamu. Aku yakin

mamamu akan mengerti.”

Mira menggeleng sedih. “Kamu nggak mengerti mamaku, Ri.

Dia sangat ambisius. Keras. Dan kamu tahu, yang membuat

segalanya menjadi sulit karena...,” Mira berhenti sejenak,

menghela napas berat, “di dalam diriku ada sifat mamaku.

Walau Ielah, temyata aku menginginkannya, Ri. Menjadi juara,

menjadi nomor satu, menjadi pemimpin. Hal-hal tersebut

menguasal pikiranku. Saat ini aku memikirkan untuk...”

“Apa yang kamu pikirkan, Mir?” Riku tidak sabar ingin tahu.

“Menjadi ketua OSIS.”

Riku mendesah.” Itu tujuanmu murni atau sekadar menjegal Aoi

yang juga mencalonkan diri?”

Page 36: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Aoi mencalonkan din jadi ketua OSIS?” Mira mendelik

jengkel. “Dia lagi... dia lagi...”

Riku mengangguk. “Kukira kamu sudah tahu. Tapi kamu

mencalonkan diri memang kepingin atau karena mamamu? Atau

lebih konyol lagi, untuk balas dendam pada Aoi?” Riku menatap

tajam mata Mira.

Mira mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi kurasa Mama akan

bangga kalau aku terpilih jadi ketua OSIS.”

“Jadi, kamu melakukan semua hal karena mamamu? Kapan

kamu melakukan untuk dirimu sendiri? Motivasim u hanya agar

dibanggakan mamamu, bukan karena kamu ingin belajar

berorganisasi dan mengembangkan din. Dangkal sekali, Mira.”

“Biar saja. Dan sekarang, setelah tahu Aoi mencalonkan diri,

hmm... mungkin kamu benar. Aku ingin balas dendam pada

cowok masam itu!”

“Itu konyol, Mira!”

Mira menunduk. Kata-kata Riku benar dan kebenaran itu sangat

menyakitkan Mira. Tiba-tiba Mira malu pada Riku yang begitu

dewasa dan bijaksana. Tidak seperti remaja pada umumnya,

pemikiran dan sikap Riku jauh lebih dewasa.

“Terima kasih, Riku. Aku tahu kata-katamu benar. Tapi aku

belum bisa menerima kekalahan dari Aoi. Aku ingin

membuktikan bahwa aku lebih hebat daripada dia.”

Riku mendesah, “Kamu ambisius, Mira. Cobalah melakukan

sesuatu karena dirimu, bukan harena hal-hal di luar dirimu.

Page 37: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kalah atau menang, kamu tetap puas, karena kamu belajar dan

prosesnya, bukan mencari hasil semata.”

Mira menerawang jauh, bagaimanapun dia belum bisa menerima

saran Riku. Tidak kali ini. Mira akan berjuang mati-matian

untuk menjadi ketua OSIS. Dia berjanji melakukan itu untuk

kepuasan dirinya, bukan untuk mamanya.

“Oke, kita ke mobilku yuk! Sopirku menunggu. Oh iya, ada

baiknya kamu telepon Kelly, supaya dia nggak cemas. Tadi HP-

nya ketinggalan, dan aku memintanya untuk menghubungimu

setibanya di rumah.”

Mira mengangguk, kemudian mencoba tersenyum pada Riku,

meski belum berani menatap mata cowok itu yang selalu teduh.

Mira masih malu, karena dininya begitu lemah. Dikeluarkannya

HP dan kantong celana dan dicarinya nomor Kelly. Namun, HP

Mira keburu berbunyi.

“Kelly,” kata Mira pada Riku. “Halo, Kel...”

“Mira, kamu di mana? Baik-baik saja, kan? Aku khawatir sekali.

Kalo kamu hilang bagaimana? Nanti aku dimarahin mamamu

deh! Eh, kamu sudah sampai wmah keliling-keliling di mal?

Riku belum sih? Atau masih nyariin kamu tuh...”

“Stop, cereweeet! Aku sudah sama Riku nih!” potong Mira.

Mira dan Riku terbahak-bahak Ah, untunglah malam itu

berakhir dengan tawa.

BEBERAPA hari kemudian Mira sudah ceria kembali. Ia

bernyanyi riang dalam perjalanan ke sekolah. Kaki jenjangnya

Page 38: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Iincah melompat dan berlan kecil. Saat mampir ke rumah Kelly,

ia meluangkan waktu untuk mencicipi masakan ibu Kelly. Ia

pun kembali pada kebiasaan lama: mencium pipi tembam

Morati, adik Kelly.

“Wah, Tante senang sekali kamu kembali ceria, Mir! Kamu

cantiiik banget kalau tidak cemberut.” Ibu Kelly mencubit

gemas pipi Mira sambil tertawa renyah. Wajah Mira bersemu

merah.

“Terima kasih, Tante. Emang saya aslinya cantik sih!” Mira

mengerling.

“lh, genit!” Kelly pura-pura mencibir.

“Hahaha!” Mira tertawa senang. “Kami berangkat dulu ya,

Tante. Dah, Morati sayang!”

“Hati-hati!”Mira dan Kelly berlari kecil sambil tertawa-tawa.

Seperti biasa, Riku menanti mereka di jalan.

“Pagi semua!” sapa Riku.

“Pagi, Riku!” balas Mira dan Kelly bersamaan. Kemudian

mereka meneruskan perjalanan sambil bersenda gurau. Kelly

berjalan di sisi Riku, sedangkan Mira berjalan sendirian di depan

mereka. Langkah Mira terlalu cepat untuk diimbangi langkah

Kelly. Namun, untuk menjejeri Mira, Riku tak tega pada Kelly,

sekalipun Riku ingin sekali berdampingan dengan Mira.

Terpaksalah posisi jalan ketiganya tetap seperti itu hingga di

sekolah.

“Mir...,” bisik Kelly saat mereka sampai di kelas.

Page 39: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Hm?” Mira duduk bersandar di kursi sambil meluruskan kedua

kaki.

“Riku cakep banget ya! Baik, lagi. Rasanya aku jatuh cinta deh

sama dia,” kata Kelly sambil menatap langit-langit kelas.

Senyumnya mengembang. Sepertinya dia tengah

membayangkan sesuatu. Mira menatap sahabatnya dengan

perasaan aneh. Mendadak lidahnya kelu. Ia tak tahu harus

berkata apa. Kelly jatuh cinta pada Riku? Kenapa hati Mira jadi

tak keruan rasanya? Apa Mira cemburu? Ah, tapi Mira tidak

mencintai Riku. Mira yakin dirinya hanya mengagumi Riku.

Atau... atau Mira merasa dirinya ditendang keluar dan hati

Kelly, kemudian digantikan sosok Riku? Atau... atau karena

Mira belum pernah merasakan jatuh cinta pada siapa pun dan tak

rela sahabatnya punya pacar duluan? Jadi, siapa yang

dicemburui Mira sebenarnya?

“Mir, kok kamu melamun sih? Jangan-jangan...” Kelly menatap

curiga pada Mira. Kemudian dia melotot. “Oh, Mira! Jangan

bilang kamu juga suka Riku ya!” Mira membulatkan mata.

Tangannya berkacak pinggang. Ditatapnya Kelly dengan galak,

lalu disemburkann ya kata-kata, “Ck ck ck... sembarangan!

Makan tuh Riku!” Kelly nyengir.

“Serius, kamu nggak naksir dia?” tanyanya memelas. Mira

berdecak sekali lagi.

Lalu, dengan overacting dia berkata, “Kelly-ku yang baik, aku

mengagumi Riku. Dia sahabat yang baik bagi kita, bukan? Tapi

itu bukan naksir. Kalau kamu suka dia, tembak secepatnya

sebelum Riku disambar sahabatmu yang cantik dan baik ini!”

Mira memeletkan lidah, menggoda Kelly. Kelly ngikik. Mira

Page 40: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

tersenyum, kemudian menepuk punggung Kelly. “Tenang aja

deh, sobat. Riku milikmu, hehehe.”

“Tapi, bagaimana cara menembaknya ya?” Kelly garuk-garuk

dahi tak jelas.

“Ambil senapan. Taruh moncongnya di dada Riku, kemudian

tank pelatuknya. Gampang, kan?”

“Ah, Miraaaa!” Kelly kesal. “Aku serius, tauuu!”

“Yah, mana aku tahu. Aku kan belum pemah nembak cowok!”

“Hehe, iya ya...” Lagi-lagi Kelly menggaruk dahi yang tidak

gatal. Hari itu Kelly menjadi sangat aneh. Saat pelajaran tengah

berlangsung dia sering tersenyum sendiri dan tidak

berkonsentrasi pada materi yang diajarkan guru. Begitu ada

kesempatan bicara dengan Mira, yang dibicarakan Kelly

hanyalah Riku. Riku, Riku, dan Riku, nggak ada yang lain.

Sampai-sampai Mira sesak napas karena udara seakan terpolusi

nama Riku. Huh, menyebalkan kalo sahabat sedang jatuh cinta!

rutuk Mira dalam hati.

***

“Kamu sadar nggak sih bahwa kamu beda banget sekarang,”

kata Mira saat dia dan Kelly sedang bersantai di kamar Mira

yang luas.

“Masa sih? Beda bagaimana?” Kelly penasaran.

Page 41: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Sejak kamu jatuh cinta pada Riku, setiap hari kerjamu

melamun terus. Sambil senyum-senyum sendiri, lagi. Kayak

orang nggak waras. Hiiy!” Mira mengedikkan bahu, pura-pura

jijik.

“lh, yang benar?” Kelly meringis.

“Iya. Aku sampai mau meledak nih, karena kebanyakan

mendengar nama Riku. Tiap hari sampai berapa juta kali nama

Riku keluar dan mulutmu? Kayak di dunia ini nggak ada nama

lain aja,” omel Mira.

“Ih, lebay!” seru Kelly manyun. “Di dunia ini memang banyak

nama lain. Cowok ganteng juga banyak. Tapi yang terganteng

dan terkeren cuma Riku. Riku is the best deh!” Kelly ikutan

lebay.

“liiihh!” Mira terbawa gemes. Kelly terbahak-bahak melihat

tingkah sahabatnya.

“Tenang, pren. Aku masih waras kok.”

“By the way busway, serius nih, kamu suka Riku? Apa sih yang

kamu sukai dan dia?” selidik Mira.

“lya. Aku jatuh cinta betulan kali ini. Semua yang ada pada dia

aku suka. Aku suka matanya, hidungnya, kulitnya, tubuhnya,

senyumnya, tingkah lakunya, bahasa tubuhnya, cara berpikirnya,

caranya memandang dunia, caranya berpakaian, gerakan alisnya

saat bicara, giginya yang putih, hidungnya yang mancung...”

“Suka bulu hidungnya sekalian nggak?” potong Mira. Kalau

dibiarkan, Kelly bisa nyerocos sampai satu jam penuh.

Page 42: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Oh... iya! Aku juga suka bulu hidungnya yang radar ada nongol

ke luar. Menurutku seksi, tau! Trus kalau dia sedang nyanyi,

badannya rada goyang-goyang gitu deh. lh, keren sekali. Aku

juga suka cara berjalannya. Tiap berangkat sekolah dia berjalan

di sampingku.”

Mira buru-buru menutup telinga dengan headset dan

mendengarkan musik. Sepertinya tidak bisa dicegah lagi, Kelly

tak akan berhenti bicara tentang Riku sampai tenggorokannya

serak. “Mira! Kamu nggak dengar ya?!” Kelly sewot begitu

menyadari sahabatnya itu memakai headset. Tangannya

mencabut headset di telinga Mira.

“Habis, kamu ngomongnya nyerocos kayak kereta api sih.

Telingaku sakit dan kepalaku hampir meledak mendengar nama

Riku.”

“Trus, gimana dong? Aku berbunga-bunga nih. Kayaknya aku

nggak bakalan bisa deh hidup tanpa dia. Aduh... menurutmu dia

akan menerimaku nggak?” Mira sampai bengong melihat

kelakuan Kelly.

“Ya ampuuun! Sampai segitunya!” seru Mira sambil geleng-

geleng.

“Yah, mana kita tahu kalau kamu nggak ngomong ke dia?

Makanya buruan tembak! Jadi kamu akan segera tahu dia suka

sama kamu apa nggak!”

“Kalau aku ditolak gimana? Kan tengsin!” Kelly menggigit

bibir.

Page 43: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Ya, terimalah penolakan itu dan tetap bersahabat seperti

sekarang. Gampang, kan?”

“Gampang menurutmu. Kamu nggak ngerasain sih! Kamu

belum pemah jatuh cinta, kan?”

“Udah. Aku jatuh cinta pada kucing, dan langsung patah hati

karena Mama nggak ngizinin aku piara kucing!” jawab Mira

asal.

“Mira! Serius nih!” Kelly mulai merajuk. Dia melemparkan

bantal ke arah Mira. “Jangan godain mulu, kenapa? Aku

sungguh-sungguh sangat serius sekali banget-banget.”

“Lebay!” sambar Mira sambil menjulurkan lidah.

“Aaah!” Satu bantal kembali dilempar ke tubuh Mira. “Ya udah,

tembak aja kalo udah nggak tahan!” Kelly tiba-tiba merenung.

Dia sedang menimbang-nimbang. Mira mendengus kesal. Tiba-

tiba hatinya khawatir. Kalau Kelly jadian sama Riku, nanti dia

kesepian dong?!

***

Di luar dugaan Mira, hari berikutnya sepulang sekolah Kelly

mengajak Riku untuk bertemu di pojok lapangan. Wow! Mira

tidak menyangka Kelly seberani itu. Selama ini dia kira

sarannya pada Kelly untuk nembak Riku hanyalah pepesan

kosong. Mira pikir Kelly tak akan berani. Mira gelisah. Apakah

itu artinya Mira takut kehilangan Kelly? Benarkah Mira belum

Page 44: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

sanggup berbagi dengan Riku, karena menjadi nomor dua di hati

Kelly? Atau...? Ah, Mira tidak tahu. Harusnya dia senang bila

Kelly senang. Mengapa perasaannya jadi nggak kewan kayak

begini sih? Duh, sungguh Mira bingung bukan kepalang.

Mira menunggu Kelly di taman sekolah dekat gerbang. Kelly

tentu saja sedang nembak Riku di bawah pohon beringin di

pojok lapangan bola. Apa yang sedang terjadi ya? Kira-kira

Kelly gugup nggak? Terus, Riku nerima atau nolak? Ah... Kelly

memang nekat! Kepala Mira penuh pertanyaan. Dia nggak sabar

ingin segera tahu.

“Ngelamun aja!” Mira tersentak, tapi tak ingin segera menoleh

ke asal suara, walaupun jelas-jelas suara itu menyapa dirinya.

Mira tahu itu suara Aoi. Cewek itu hanya melirik malas. Terlihat

Aoi tengah berdiri santai sambil menyenderkan sisi tubuhnya

pada tiang lampu taman. “Mikirin apa sih?” tanya Aoi. Nadanya

terkesan menyindir, bukan bertanya.

“Bukan urusanmu!”

“Kamu nggak rela ya Riku jadi pacar sahabatmu?” Aoi

tersenyum sinis. “Jangan-jangan, kamu juga suka pada Riku.”

Kini Aoi mencibir.

“lh! Apa sih maumu? Kamu senang banget ya, bikin aku kesal!”

Mira mengentakkan kaki kanannya. Matanya memelototi

Aoi. “Kamu juga udah membuatku kesal dengan pencalonanmu

itu!” desis Riku sambil menatap tajam Mira. Mira gugup ditatap

seperti itu. Tetapi ia tak ingin terlihat lemah di mata Aoi.

Disingkirkannya segenap perasaan aneh itu. Dia mendongak,

menatap Aoi dengan congkak.

Page 45: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Kenapa? Kamu takut kalah? Kamu nggak mau melihatku jadi

ketua OSIS ya? Hmm... berarti kamu takut bersaing denganku

dong!” Mira memasang senyum meremehkan. Aoi mencibir.

“Lihat saja nanti, kamu akan menjadi nomor dua lagi, Nona

Jutek!” Aoi kemudian pergi. Apa? Nona jutek? Grrhh! Mira

kesal sekali dengan julukan yang diberikan Aoi. Enak saja aku

dipanggil Nona jutek. Huh, dasar Tuan Muka Masarn! Eh, tuan?

Mira meralat pikirannya sendiri. Enak saja dipanggil tuan.

Cowok Muka Masam mungkin tepat bagi cowok menyebalkan

itu. Menyebalkan... yah, julukan yang lebih pas buat dia.

“Aku akan jadi ketua, Mister M!” teriak Mira. “Lihat saja

nanti!” Aoi menghentikan langkah. Dia menoleh pada Mira

dengan dahi berkerut.

“Apa kamu bilang tadi?”

“Mister M, alias me-nye-bal-kan!” Mira memberi penekanan

pada setiap suku kata. Wajahnya nyengir puas. Aoi melipat

muka sebelum berpaling dan pergi. Bibimya ngedumel nggak

jelas. Mira ngakak. Sungguh puas dan senang hatinya karena

berhasil membuat Aoi kesal. Rasain! Cowok sombong! rutuk

Mira dalam hati. Tawa Mira terhenti saat dia melihat

pemandangan di parkiran. Aoi memasuki mobil Mei. Ooh... jadi

Mei pacar Aoi? Perasaan aneh mampir di hati Mira. Apakah

semua temannya punya pacar? Apakah hanya dia seorang yang

belum punya pacar? Dan sebentar lagi, apakah sahabatnya juga

pacaran dengan Riku? Jika mereka pacaran, pasti mereka lebih

suka berduaan ketimbang bersama dirinya. Hati Mira tiba-tiba

kecut.

Page 46: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“ADA apa, Kel?” Riku masih tak mengerti, mengapa Kelly

menyeretnya ke lapangan sekolah. Ingin berdua pula, sedangkan

Mira menunggu di taman. “Kamu mau minta diajarin main bola,

ya?” seloroh Riku.

Kelly menggeleng kaku. Wajahnya tegang sekali. Diseretnya

Riku ke bangku di pinggir lapangan. “Duduk di sini yuk, Rik.”

Riku menurut. Hatinya mulai dag dig dug, merasa ada yang

tidak beres. Tapi dia memilih tidak mengatakan apa-apa

sebelum Kelly mengucapkan sesuatu.

“Rik... aku... aku...” Kelly sangat gugup. Wajahnya sudah

semerah udang rebus. Keringat bercucuran di kening, bahkan

telapak tangannya dingin. Duh, kok kakiku gemetar ya? keluh

Kelly dalam hati. Untung saja dia duduk. Kalau berdiri,

mungkin sudah ambruk ke tanah.

Riku menunggu. Ia menatap Kelly penuh perhatian. Riku

prihatin, mengira Kelly sakit.

“Ng... Ri, jangan ketawa, dulu ya...” Kelly berhenti lagi.

Batinnya merutuk. Sialan! Mau ngomong cinta ternyata rasanya

kayak disidang di depan guru BP dan kepala sekolah!

“Apa kamu lihat aku sedang tertawa?” tanya Riku karena Kelly

tak juga mengeluarkan kata-kata lanjutan.

Kelly menggeleng. Kemudian dihelanya napas panjang,

dikumpulkannya segenap keberanian, dan dikeluarkannya kata-

kata itu. Begitu cepat meluncur dan bibir Kelly sebelum

kemudian Kelly menutup wajah dengan kedua telapak

tangannya.

Page 47: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Aku cinta kamu.”

Diam.

Riku tercengang. Dia mendengar Kelly mengucapkan kata itu,

tapi tak begitu yakin. Selain ucapan Kelly tak jelas, juga karena

sesudahnya Kelly menutupi wajah. Itu tadi betulan tidak? Kelly

menembakku? pikir Riku.

“Bagaimana, Ri?” tanya Kelly, masih dengan wajah tertutup

telapak tangan.

“Ha? Bagaimana apanya?” tanya Riku polos.

“Perkataanku barusan...” Suara Kelly semakin lemah.

“Tadi kamu ngomong apa sebenamya?” Riku tidak bermaksud

apa-apa, selain ingin mendengar kata-kata itu lebih jelas. Dia

takut tadi salah dengar.

Kelly jadi sebal. Riku tahu nggak sih, tidak mudah

mengucapkan kata-kata keramat itu, kok malah disuruh

ngucapin sekali lagi? Kelly menurunkan tangan dan terlihatlah

wajahnya yang memerah. Dia melirik sebal pada Riku. “Masa

nggak dengar sih? Tadi kan aku bicaranya jelas. Kamu pura-

pura nggak dengar, ya?” semprotnya.

Riku garuk-garuk kepala. Waduh, keluar galaknya deh! “Bukan

begitu, Kel. Aku cuma mau memastikan. Habisnya, begitu

ngomong, kamu langsung tutup mulut. Kan nggak jelas banget

tuh!”

“Ya udah, yang tadi kamu dengar itu benar. Jawabanmu apa?”

Page 48: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Riku bengong. “Oh, harus dijawab ya? Perasaan kamu tadi

nggak nanya.”

“lh... Rikuuuu Aku serius. Kamu harus jawab, mau nggak kamu

jadi pacarku...” Kelly terdiam. Wajahnya yang sudah merah

semakin membara. Mendadak dia malu sekali.

Riku menghela napas panjang. Hatinya galau. Dia takut

menyakiti hati Kelly. Tapi bagaimanapun, Riku harus menjawab

sekarang. Dia tidak ingin menggantung Kelly dalam status

nggak jelas. Cewek sering kebanyakan harapan. Makanya Riku

harus tegas. “Kel, maaf. Aku dan kamu lebih baik bersahabat

saja seperti sekarang. Aku rasa itu hubungan yang paling indah

dan paling tepat bagi kita,” kata Riku lembut.

Kelly terenyak. Rasa sakit menjalar di hatinya. Dia ingin nangis,

tapi gengsi dilihat Riku. Karena itu, dia hanya mengangguk

lemah.

“Pulang yuk, Ri,” ajak Kelly sedetik kemudian, walau

sebenarnya kakinya berat untuk melangkah. Ternyata, begini

rasanya ditolak cowok. Sakit!

***

Kelly tidak langsung pulang. Dia malu pada mama dan adiknya

karena bisa dipastikan dia tidak bisa menahan tangis

sesampainya di rumah. Dia memilih ke rumah Mira dulu. Di

rumah Mira sepi, jadi Kelly bisa nangis jejeritan sesuka hati.

Page 49: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Di kamar Mira, Kelly telungkup di ranjang. Wajahnya

dibenamkan di bantal. Dadanya naik-turun karena menangis

sesenggukan.

Mira menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Kelly terus saja

menangis sehingga Mira tidak tahu harus berkata apa. Segala hal

yang dikatakan Mira pada Kelly seakan tak berarti sama sekali.

Namanya juga orang patah hati. Pasti perasaan sakit hatinya

lebih dominan ketimbang logika. Hingga akhimya tubuh Kelly

bergerak lebih teratur. Gadis itu berbalik, menatap Mira.

Matanya sembap dan merah. Kelly menghapus air mata.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Mira khawatir.

Kelly mengangguk. “Rasanya aku nggak mau lagi bertemu Riku

karena malu.”

“Sudahlah. Kan tadi waktu kita pulang bareng, sikap Riku biasa-

biasa saja, kan? Dia tetap mengajak kita bercanda seperti biasa.

Jadi, nggak akan ada masalah. Kamu dan Riku tetap bisa

berteman seperti sebelumnya.”

“Tapi, aku takut Riku jijik melihat tingkahku tadi. Huhuhu...”

Kelly kembali menangis.

“Tingkah yang mana?”

Wajah Kelly merona malu. “Tadi aku sempat ngomelin dia saat

dia pura-pura nggak dengar waktu kutembak.” Mira ingin

tertawa, tapi ditahannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya

makin malu.

Page 50: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Oh, Riku pasti mengerti. Itu reaksi wajar kok. Kamu harus

ingat, dia sangat dewasa dan tidak berpikiran sempit seperti kita.

Kan kamu sendiri yang bilang ke aku bahwa Riku dewasa,

bijaksana, blablabla...” Mira memerot-merotkan bibir. Tapi dia

menahan diri untuk tidak terus menggoda Kelly karena Kelly

kembali mew ek. “Besok kamu harus sekolah, dan lihatlah

betapa dunia masih baik-baik saja. Riku akan tetap menunggu

kita di depan pintu gerbang rumahnya, sambil tersenyum tentu.”

“Tapi jangan singgung-singgung masalah ini, ya?” pinta Kelly

memelas. “Aku malu. Hiks!”

“He hem.” Mira mengangguk sambil tersenyum.

Kelly tersenyum, lalu memeluk Mira erat.

Mira lega, Kelly akhirnya bisa tersenyum kembali. Mira yakin

Kelly bakal mampu mengatasi masalah itu sendiri.

***

Ternyata esok harinya Kelly demam. Mungkin karena dia tidak

nafsu makan sementara tenaganya habis untuk menangis. Mira

berangkat ke sekolah sendirian. Pikirannya melayang pada

Kelly. Ah, jatuh cinta ternyata tidak selalu indah. Jatuh cinta

bisa bikin demam!

“Lho, sendirian? Mana Kelly?”

Page 51: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Suara Riku menyentakkan Mira dan lamunan. Ternyata

langkahnya telah sampal di depan rumah Riku. Untunglah ada

teman jalan. Kalau tidak, Mira bisa jatuh karena berjalan sambil

melamun. “Dia demam, mungkin karena kurang istirahat dan

kurang makan. Maklum, setelah kamu tolak, dia susah tidur dan

nggak mau makan.” Mira melirik Riku.

„Ya ampun, cinta ditolak kan bukan akhir segala“

“Ya, dan dia bisa terima penolakanmu kok. Kemarin aku sudah

bicara dengannya. Tapi, Riku, kenapa sih kamu menolak Kelly?

Kelly kan manis, riang, dan menyenangkan. Dia cocok buat

kamu Iho.”

Sesaat Riku mendesah, kemudian menoleh pada gadis di sisinya.

“Aku nggak tertarik padanya. Aku lebih tertarik pada

sahabatnya.”

Langkah Mira terhenti. Spontan Riku juga berhenti. Mereka

berdiri berhadapan dan bertatapan. “Maksudmu?” tanya Mira.

“Hem, aku suka kamu, Mir,” ucap Riku lembut. Ekspresinya

serius. Tatapannya semakin tajam saja, seolah menagih jawaban

segera dan Mira.

Di luar dugaan Riku, Mira justru ngakak. Gadis berambut

pendek itu melanjutkan langkah panjang-panjang. Riku

terheran-heran dan menyusul pujaan hatinya.

“Memangnya kenapa kalau aku suka kamu? Nggak boleh?”

Page 52: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Ya nggak boleh dong! Aku kan sahabat Kelly. Nggak mungkin

aku menyukai orang yang disukainya. Itu namanya teman

makan teman!”

“Kamu benar-benar nggak tertarik padaku sama sekali, Mir?”

Riku tetap mengejar Mira dengan pertanyaan. Dia penasaran.

Mira terdiam. Dia berhenti sejenak, kemudian menatap jalanan

yang ramai. “Itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,”

gumam Mira.

“Yang jelas dong jawabanmu,” pinta Riku.

“Ah, sudahlah. Kita harus buru-buru. Hari ini aku kampanye

nih. Kamu pilih aku jadi ketua OSIS, kan?”

“Mmm, itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,” balas Riku

menirukan Mira.

Mira manyun, lalu berlari kecil.

INI menyebalkan. Lagi-lagi saingan terkuat Mira di ajang

pemilihan ketua OSIS adalah Aoi. Walau termasuk anak yang

kurang populer karena tidak supel, Aoi mampu memikat teman-

teman di sekolah dengan gaya pidatonya yang karismatik.

Penampilannya cool sekali.

Mira kebalikannya. Dia berpidato dan berdebat dengan penuh

energi. Orasinya berapi-api. Setiap Mira pidato, penonton

berteriak heboh. Terutama yang cowok-cowok. Hihi, sejak jadi

kandidat ketua OSIS, Mira mendadak jadi idola baru. Wajah dan

penampilannya boleh saja pas-pasan, tapi cowok-cowok

Page 53: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

menyukai cewek cerdas. Ya, penampilan bukanlah yang utama.

Yang penting apa yang ada di dalam hati dan otak.

Pada musim kampanye ini reaksi Mira kian sengit saja bila

bertemu Aoi. Pun sebaliknya. Aoi pasti mengejek Mira saat

mereka berpapasan. Dua anak itu bagai musuh bebuyutan, tak

sekali pun saling melempar senyum.

Akhirnya tiba juga saat penghitungan suara. Kali ini Mira dan

Aoi terpaksa duduk bersebelahan. Jantung Mira rasanya tak

keruan, berloncatan, dan berdetak kencang. Mira takut kalah.

Menjadi wakil Aoi jelas musibah. Dia tak akan sudi menjadi

orang kedua setelah Aoi. Lagi pula, kalau dia jadi wakil Aoi,

jangan-jangan cowok itu akan semakin mempermainkannya.

Pasti Aoi nyuruh-nyuruh melulu. Huh, nggak sudi deh!

Aoi melirik Mira. “Selamat jadi wakil ketua OSIS, Nona Jutek,”

bisik Aoi, membuat Mira terjaga dan Iamunan.

“Lihat saja nanti, kamu yang bakal jadi wakilku, Mister M!”

balas Mira sengit.

Aoi hanya tersenyum simpul. “Belum pernah anak kelas 10 jadi

ketua OSIS. Anak kelas 10 selalu jadi wakil, jadi jangan terlalu

pede.”

Upf! Perkataan Aoi menohok tepat di ulu hati Mira. Mira

tercekat. Benarkah yang Aoi katakan? Mingkinkah dia menjadi

nomor dua? Lagi? Setelah Aoi? Argh... Mira mana mungkin

menerima kenyataan itu.

Perhitungan suara masih berlangsung. Perolehan suara Mira dan

Aoi kejar-kejaran, sementara tiga calon lain jauh tertinggal. Sulit

Page 54: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

memprediksi siapa yang bakal bertengger paling atas. Hingga

akhirnya perolehan suara Mira dan Aoi berada persis pada angka

yang sama.

“Wah, tinggal satu suara yang tersisa,” kata Ferdy, si penghitung

suara sambil mengangkat satu lintingan kertas.

Penonton ramai. Belum pemah ada calon yang sama kuat dalarn

kancah pemilihan ketua OSIS di sekolah mereka. Kini satu suara

itu akan menentukan nama sang ketua: Mira atau Aoi?

Mira sangat tegang, berbeda dengan Aoi yang terkesan cuek.

Mira mengetuk-ngetukkan sepatu di Iantai. Berulang kali dia

menelan ludah. Sementara itu Ferdy memperlambat gerakan

membuka lintingan kertas, itu pun sambil sengaja melirik Mira

dan Aoi secara bergantian. “Mmm... semakin tegang dua

kandidat kita ini,” seru Ferdy bergaya bak MC profesional. Dia

berlagak mengintip tulisan di kertas.

Mira manyun, Aoi tersenyum basa-basi. Di barisan penonton,

Kelly komat-kamit berdoa. Sekelompok anak tak berhenti

menyebut nama Aoi, iramanya seperti yel-yel. Kubu Mira tak

mau katah, mengumandangkan nama Mira berulang-ulang

dengan nada ritmis.

“Baiklah, saya umumkan saja saat ini...” Ferdy menghela napas.

“Ketua OSIS terpilih adalah... AOI!”

Jegerrr! Petir seolah menyambar kepala Mira. Badannya lemas

dan gemetar. Dadanya seolah meledak. Sementara itu, suara

tepukan tangan dan suit-suit membahana. Kontras dengan

kondisi Mira, Aoi tersenyum lebar merayakan kemenangan. Dia

mengangkat kedua tangan.

Page 55: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Sudah kubilang, kamu jadi wakilku, Nona Jutek,” bisik Aoi

sarnbil tertawa kecil. Mira meradang. Dia kehilangan kendali

diri. Tak dipedulikannya teman-teman yang ramai di depannya.

Mira berlari ke luar aula. Semua terperangah. Aoi tersentak.

Ferdy memanggil nama Mira menggunakan pengeras suara.

Mira terus berlari sepanjang koridor sekolah. Air matanya

bercucuran deras.

“Mir! Mira!” Seseorang mengejar Mira sambil meneriakkan

namanya. Ternyata Kelly.

“Tinggalkan aku, Kel!” Mira menampik tangan Kelly ketika

Kelly hendak menenangkannya. Mira bergegas masuk ke toilet,

membanting pintu, dan mengunci dari dalarn.

Mira menangis di toilet. Dia benar-benar kesal. Lagi-lagi dia

harus menerima kenyataan pahit. Nasib baik tak pernah berpihak

padanya. Mira malu pada diri sendini, pada Aoi, dan pada Riku.

Mira malu pada teman-teman yang selama ini mendukungnya.

Juga pada seisi sekolah yang tadi tumpah ruah di aula untuk

menyaksikan perhitungan suara.

Bayangan Mama kembali datang di pikirannya. Mira takut

Mama akan marah lagi. Mira takut Mama tak lagi

membanggakan dirinya di hadapan teman-teman dan keluarga

besar. Mira ingin sekali lenyap dari dunia. Sungguh, Mira tak

sanggup menerima kegagalannya kali ini. Terlebih, lagi-lagi dia

dikalahkan Aoi.

Dengan setia Kelly menunggu Mira di luar toilet. Biarlah Mira

meluapkan kekesalannya hingga puas.

Page 56: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Akhimya Mira keluar dengan mata merah dan sembap. Tanpa

suara Kelly membimbing Mira ke wastafel dan memutar keran.

“Kacau benar aku saat ini,” gumam Mira saat melihat

bayangannya di cermin.

“Mira, sudahlah... kamu tetap hebat kok. Kamu menjadi wakil

ketua OSIS, mengalahkan puluhan teman seangkatan yang juga

menginginkan jabatan itu. Kamu hebat, Mir! Tahun depan

kamulah ketuanya. Pasti!” Kelly mencoba menghibur Mira.

“Aku maunya tahun ini. Tapi Aoi... Cowok itu selalu

mengganggu langkahku!” teriak Mira gemas.

“Usia Aoi setahun lebih tua daripada kita. Wajar saja kalau dia

selangkah lebih maju...”

“Dia seusia kita,” potong Mira. “Itu yang membuatku semakin

kesal!”

Kelly mendesah sedih. Dia menatap sahabatnya melalui cermin

di atas wastafel. Wajah Mira tampak begitu kecewa. Matanya

yang lebar dan selalu berbinar kini kelihatan redup tak

bercahaya.

“Aku mau sendinian,” desis Mira.

Kelly mendesah lagi. Dengan berat hati ia tinggalkan sahabatnya

itu. Mira selalu begitu, selalu ingin menyendiri bila punya

masalah. Berbeda dengan Kelly, yang selalu ingin

menumpahkan isi hati lewat kata-kata, secepatnya begitu

masalah menghampirinya.

“Aku tunggu di depan pintu, ya,” kata Kelly.

Page 57: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira tidak menjawab. Dia masih nanar memandang cerrnin.

Sore harinya Riku dan Kelly mengunjungi Mira di rumahnya.

Mira tampak tegar dan ceria. “Wah, aku senang sekali melihat

kamu sudah tersenyum kembali, Mir,” ucap Kelly lega.

Mira tersenyum masam. “Mama pulang. Kalau wajahku ketekuk

kayak remasan kertas, bisa-bisa aku diinterogasi. Kamu jangan

cerita dulu ke Mama tentang kekalahanku ya, Kel. Aku belum

siap menerima omelan Mama.”

Kelly mengangguk. Dia iba pada sahabatnya. Mama Mira

memang sangat berbeda dengan mama Kelly. Mama Kelly tak

pernah menuntut apa pun dan Kelly. Apa adanya Kelly sudah

membuat mamanya bangga dan bahagia. Yang penting putrinya

menjadi anak baik, begitu selalu mamanya berpesan.

“Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Mir?” ajak Riku.

“Nggak ah! Paling nanti ada Aoi lagi. Sori ya, aku nggak mau

merayakan kemenangan dia!” Mira merengut.

“Ya ampun, Mir!” seru Kelly gemas. “Terima kekalahan dong!

Contoh nih, aku yang bisa berteman lagi dengan Riku. Aku

menerima kenyataan dia memang nggak menyukaiku. Ayolah,

Mir!” bujuk Kelly.

“Aku kesal. Kenapa harus Aoi lagi? Mungkin kalau ketuanya

Riku, aku nggak akan merasa sesakit ini. Aoi gitu Iho!

Tampangnya saja menyebalkan kayak gitu. Bagaimana mungkin

aku bisa kerja sama dengan dia?”

Page 58: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Mir, jangan salah sangka. Aoi baik banget Iho. Dia bisa bekerja

sama dengan siapa pun, termasuk kamu,” jelas Riku sabar.

Mira mendesah. Hatinya masih kesal. Tapi dia mau juga jalan-

jalan ke taman kota bersama Riku dan Kelly. Tentu saja setelah

Riku meyakinkan Mira bahwa Aoi nggak akan ada di sana.

“Gimana, udaranya segar, kan? Jadi pikiranmu ikut segar dan

hatimu terbawa nyaman,” kata Riku.

Mereka duduk di tepi danau kecil di tengah taman. Untuk sesaat

mereka hanya diam dan menikmati pemandangan asri. Air

danau beriak lembut, angin berembus sepoi-sepoi. Benar kata

Riku, pikiran Mira menjadi lebih tenang, hatinya pun berangsur

senang.

“Aku punya cerita,” Riku membuka suara. “Dulu waktu kelas

10, aku kalah telak saat adu gol dengan anak kelas 11. Anak itu

berhasil mencetak lima gol, sedangkan aku hanya mampu satu.

Kemudian selama di kelas 10 aku menjadi pesuruhnya. Sakit

banget rasanya. Tapi aku tetap menjalaninya. Hanya saja aku

bersumpah, aku akan menjadi pemain terbaik di kelas 11. Rasa

sakit itu menyemangatiku untuk berjuang dan berlatih lebih

keras. Lihatlah, sekarang aku berhasil. Aku menjadi bintang

lapangan hijau. Tiap bertanding selalu ada gol-gol indah dan

kakiku.”

“Idiih, kenapa kamu mau menjadi pesuruhnya?” tanya Kelly

heran.

“Waktu itu kami taruhan. Yang kalah jadi pesuruh yang

menang. Bagaimanapun aku harus konsisten dengan

perkataanku sendiri. Permainan bola butuh sportivitas tinggi.

Page 59: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kalah ya kalah saja. Harus ditenima dengan lapang dada. Akan

ada saat bagi kemenangan. Maka, aku jalani hukuman

kekalahanku itu. Ada hikmah yang bisa dipetik kok.”

“Memangnya kamu disuruh ngapain aja?” tanya Mira

penasaran.

“Apa pun yang dia inginkan. Membawakan pakaian bolanya,

membelikan minuman, rnengambilkan handuk, sampai disuruh

mengerjakan PR. Tapi tiap dia berlatih, aku selalu mengamati

teknik bermainnya. Kuamati dengan saksama. Aku rnempelajari

cara membawa bola dan menendang, posisi kaki, dan gerakan

badan.”

“Hebat sekali, Riku! Kamu berhasil mengubah masa

hukumanmu menjadi ajang belajar, yang membawamu menjadi

pemain terbaik di sekolah!” Kelly menatap Riku kagum.

“Ya. Sekarang dia sudah di kelas 12. Dia menjadi sahabat dan

teman bermain bola yang luar biasa untukku.”

“Kini kalian bersahabat?” tanya Mira tak percaya.

“lya. Kalian kenal Ruto, kan?”

“Ya ampun!” pekik Kelly. “Jadi Ruto, pemain top yang dulu

menghukummu? ldih, aku mau dong kenalan sama Ruto! lya,

aku sering banget lihat kamu dan Ruto berlatih bersama!”

Mendadak Kelly kumat gaya lebaynya.

“Huh, dasar kamu tergila-gila pemain bola melulu!” canda Riku.

Tawanya berderai, membuat wajah Kelly bersemu merah.

Page 60: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Maksudmu... aku juga harus belajar dan Aoi, gitu?” tanya Mira

dengan nada datar.

“Yap! Kalau kamu mau belajar darinya, tahun depan aku yakin

kamulah yang jadi ketua OSIS. Aoi pasti mengajarimu banyak

hal. Tentu saja kalau kamu mau bersikap rendah hati sedikit,”

imbuh Riku.

Mira mengangguk-angguk. Kata-kata Riku benar-benar tepat

mengenai sasaran. Mira semakin mengagumi Riku. Benar kata

Kelly, Riku sangat bijaksana dan dewasa. Mira bertekad menjadi

pribadi yang lebih baik lagi. Tapi benarkah Aoi sebaik yang

dikatakan Riku? Maukah Aoi bekerja sama dengan Mira yang

sejak awal tidak menyukainya? Mira menelan ludah. Dia takut

dirinya bakal menjadi bulan-bulanan Aoi seperti yang dilakukan

Ruto pada Riku.

Mira takut Aoi mengejek dan menyuruhnya ini-itu.

Dirinya bakalan tampak seperti pelayan, bukan wakil OSIS.

Mira dan Aoi telanjur saling benci. Mungkinkah Aoi bisa

menerima Mira?

Ah, Mira sungguh tak bisa menebak.

PELANTIKAN pengurus OSIS berjalan lancar, walau ketua dan

wakilnya tak bertegur sapa sama sekali. Sebetulnya sudah

banyak yang curiga pada ketidakharmonisan Aoi dan Mira. Tapi

gosip belum berkembang. Belum ada yang menanyakan hal

tersebut langsung kepada Mira. Seusai pelantikan, Mira buru-

buru kembali ke kelasnya.

Page 61: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Beberapa hari setelah pelantikan, suatu sore tiba-tiba Aoi

muncul di ambang pintu rumah Mira. Sudah pasti Mira kaget

bukan main. Tapi tampang Aoi tetap sedingin es. Ditambah

dengan kacamata kotak yang bertengger kaku di hidung, wajah

Aoi terlihat seram di mata Mira.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mira tak ramah.

Aoi tidak langsung menjawab. Dia melenggang ke bangku teras

dan mendudukinya. “Ini kerjaan buat kamu, wakil ketua OSIS,”

kata Aoi sambil meletakkan setumpuk kertas di meja.

“Kerjaan apa?”

“Baca aja sendiri. Tapi, tolong kamu jangan pelit. Minta minum

dong. Aku haus banget nih!” Mira bengong sesaat, lalu tertawa

dalam hati. Tapi diambilkannya juga minuman dingin untuk

Aoi.

“Terima kasih,” kata Aoi sambil tersenyum. Setelah menerima

segelas air dingin dari tangan Mira, Aoi meneguknya hingga

tandas.

Tumben senyum, batin Mira. Tapi Mira tak membahas. Dia

sedang malas bertengkar. Tangannya meraih kertas-kertas yang

dibawa Aoi dan membacanya sekilas. “Oh, ini kerjaan OSIS

juga?”

“Ya iyalah! Emang kamu kira kerjaan wakil hanya ngeceng di

mal?” Aoi kembali ketus.

Mira mendelik kesal. “Ngeceng di mal tapi bareng ketua OSIS

sambil ngerjain tugas sih boleh juga.”

Page 62: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi menatap Mira. Yang ditatap pura-pura sibuk membaca.

“Oh... jadi kamu sebenarnya kepingin jalan-jalan sama aku?

Naksir aku, ya? Kok nggak bilang dan dulu-dulu sih, Non?” Aoi

menggoda Mira.

“Naksir otakmu doang. Nggak naksir tampangmu yang

menyebalkan itu. Boro-boro!” balas Mira tanpa menatap Aoi.

Aoi mendengus kesal. Kemudian dia menjelaskan tugas-tugas

Mira di OSIS sebagai wakil ketua.

“Duh, sibuk juga ya, jadi wakil,” keluh Mira.

“Emang!” sambar Aoi. “Kamu baru jadi wakil aja sudah

mengeluh, apalagi kalau jadi ketua. Bisa mati berdiri!”

“lya... iya. Galak amat sih?” Mira mendelik kesal. “Trus,

bagaimana cara mengoordmnir teman-teman ini?”

Aoi menepuk dahi. “Ya ampuuun! Nggak nyangka, ternyata

kamu lemot. Masa kayak gitu aja nggak tahu caranya? Lalu,

kemarin ngotot mau jadi ketua, memang pikirmu kerja ketua

OSIS seperti apa?” Aoi geleng-geleng.

Mira cemberut. “Ya sudah kalau nggak mau ngajarin. Aku bisa

belajar sendiri kok!”

Sekali lagi Aoi geleng-geleng. Akhirnya dia mau juga

menjelaskan kepada Mira mengenai cara kerja, berbicara efektif,

mengevaluasi, serta banyak hal lain yang menyangkut tugas-

tugas Mira di OSIS. Aoi menjelaskannya dengan sabar dan

telaten.

Page 63: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira mengangguk-angguk. Kalau masih kurang jelas, Aoi

menjelaskan lagi secara lebih rinci sampai Mira benar-benar

mengerti. Benar kata Riku, sebenarnya Aoi sangat balk. Mira

jadi merasa bersalah karena selama ini galak pada Aoi.

“Kerja pertama kita mulai besok, dan itu nggak ada dalam

catatan kita tadi. Kita mengumpulkan dana buat korban Merapi.

Kita akan keliling bersama seksi dana pada jam istirahat pertama

di sekolah,” kata Aoi sambil menatap lekat Mira.

“Lalu kita ke Yogyakarta menyerahkan bantuan, gitu?”

“Ya nggak lah! Kita kan bisa transfer ke salah satu stasiun

televisi. Bisa juga lewat PMI, atau lewat lembaga nonprofit.

Banyak cara, Non! Nggak perlu ke Yogya. Ketimbang ngeluarin

uang transpor dan akomodasi di Yogya, mending uangnya

disumbangin aja buat para korban.”

“Hehe, kok aku jadi o‟on gini ya?” Mira garuk-garuk kepala.

“Kalau pintar, kamu udah jadi ketua OSIS.”

Aoi tert awa. “lya... iya!” Mira cemberut.

“Besok, berapa pun hasilnya, kita umumkan pada teman-teman

dan guru. Oh iya, khusus untuk anak orang kaya kayak kamu,

minimal nyumbang lima ratus ribu.”

“Apa?! Senus nih?” Mira membelalak.

“Nggak usah melotot! Lagian kamu kan wakil ketua OSIS.

Kasih contoh dong ke teman-teman bahwa kamu dermawan.”

Page 64: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Heh! Ini bukan rnelotot. Emang dari sononya mataku besar,

tahu!” Mira sewot. “Yang punya uang kan ortuku. Uang sakuku

tetap aja standar, nggak jauh beda sama remaja kebanyakan.

Lagian, amal kok dipaksa. Suka-suka aku dong, mau nyumbang

berapa!” cerocos Mira.

“lya... iya, aku cuma bercanda. Gimana soal sumbangan tadi?”

“Boleh deh. Besok aku nyumbang lima babi!”

Aoi membelalak. Lucu sekali tampangnya, sampai-sampai Mira

tertawa geli.

“Aku punya beberapa celengen bentuk babi. Gemuk-gemuk

gitu, dan semua penuh karena nggak pernah kubuka. Nah, besok

kita bisa hitung sama-sama isinya. Siapa tahu jumlahnya

lumayan.”

“Sip! Tapi isinya bukan koin seratusan, kan?”

“lh, menghina amat sih! lsinya lebih dan satu juta tiap celengen,

tau! Itu celengan gede banget, dan isinya koin seribuan semua!”

“Serius?” Aoi tampak tak percaya. “Lima celengan belum

dipecah sama sekali?” Aoi terheran-heran. Dia tidak pernah

membiarkan celengannya penuh dan hanya menjadi pajangan.

Aoi selalu memecah celengannya, bahkan sebelum sempat

penuh. Selalu ada kebutuhan mendesak yang membuatnya harus

memakai uang celengan.

Mira mengangguk sekilas. Dia enggan membahas isi

celengannya lagi. “Oh ya, rumahmu di mana?” tanya Mira

mengalihkan topik.

Page 65: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Jauh banget dan sini. Aku tadi naik bus sampal dekat rumah

Riku, kemudian jalan ke sini.”

“Lho, kok Riku nggak ikut sekalian ke sini?”

“Riku mau nganterin mamanya belanja,” balas Aoi. “Oh, begitu.

Pulangnya bagaimana dong? Kalau balik dulu ke rumah Riku,

dia kan nggak ada?”

Aoi tersenyum. “Kan aku bisa naik bus dan sini. Tadi aku

mampir di rumah Riku karena aku nggak tahu rumahnu.”

“Hehe, iya ya. Duh, aku kok mendadak jadi bego begini sih!”

Mira garuk-garuk kepala.

“Karena berhadapan denganku?” Aoi menjulurkan lidah.

“ldih! Pede banget sih kamu!” pekik Mira sebal. “Karena

otakmu dipenuhi ambisi, Non. Makanya jadi orang jangan

terlalu jutek. Nanti cepat tua!”

Mira merengut lagi. Aoi memang pintar dan sabar kalau sedang

menjelaskan sesuatu. Tapi kalau sudah menyangkut diriinya

sendiri dan Mira, cowok itu lagi-lagi bersikap judes.

Menyebalkan!

“Eh, minta minum lagi dong,” pinta Aoi. “Mulutku sampai

kering nih, gara-gara harus menjelaskan panjang lebar tugas-

tugasmu tadi.”

Mira baru akan mengambilkan minuman ketika terdengar suara

jeritan dan arah dapur. Mira dan Aoi segera berlari ke dapur.

Mbak Nunuk, pembantu rumah tangga Mira, tengah duduk di

Page 66: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

lantai. Tangannya memegang telapak kaki kanannya. Wajahnya

terlihat kesakitan.

“Kenapa, Mbak?” tanya Mira panik.

“Tersiram air panas, Non.”

“Aduh, gimana ini?” Mira bingung.

“Panggil sopirmu. Kita ke rumah sakit sekarang!” kata Aoi

tenang.

“Sopirku lagi cuti. Bagaimana ini?”

“Oke. Tapi mobilmu tidak dibawa sopirmu, kan?”

Mira segera mengambil kunci mobil dan menyerahkannya pada

Aoi. Kemudian keduanya memapah Mbak Nunuk berjalan ke

mobil. Mbak Nunuk meningis kesakitan. Mira kian panik.

“Ayo, cepet, Aoi!”

“Sabar. Kalau terburu-buru malah kacau semua. Tenangkan

pikiranmu. Kaki tersiram air panas nggak bakalan menewaskan

Mbak Nunuk!” balas Aoi.

Mobil meluncur ke luar rumah. Sepanjang perjalanan Mira

berusaha menenangkan Mbak Nunuk. Tapi dia sendiri justru

berurai air mata. Dia tak tega melihat penderitaan Mbak Nunuk

yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Aoi tersenyum melihat Mira yang menangis tapi mulutnya tak

henti menghibur Mbak Nunuk.

Page 67: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Heh! Mira cengeng! Kamu sendiri nangis gitu kok menghibur

orang lain!”

“Makanya buruan dong!” balas Mira.

Aoi tertawa. Lewat kaca spion, ia melihat wajah Mira yang jelek

karena menangis. “lh, kamu jelek banget kalau menangis!

Nyesel banget aku punya wakil cengeng dan jelek kayak gitu!”

ledek Aoi.

Mau nggak mau Mira menghapus air matanya. Ia merasa malu

karena ketahuan lemah dan cengeng. Aoi benar-benar tenang

menghadapi kejadian itu. Cowok itu bahkan masih bisa

bercanda dan menggoda Mira agar tidak terlalu tegang.

Begitu sampai di rumah sakit, Mbak Nunuk Iangsung masuk dan

diperiksa di UGD. Mira duduk menunggu dengan gelisah. Aoi

datang membawakan air mineral untuknya.

“Maaf banget ya. Aku merepotkanmu,” kata Mira tulus.

“Daripada bilang maaf, lebih baik bilang terima kasih.”

“E-hem, terima kasih, Aoi. Kamu telah membantuku. Aku

nggak tahu apa jadinya andai tadi nggak ada kamu.” “Aku tahu

apa jadinya...”

Mira menoleh. Aoi tertawa ringan.

“Kamu pasti akan lari ke jalan dan berteriak-teriak minta

tolong.”

Mira tersenyum kecut. “Hehe, mungkin. ltu yang paling mudah

kulakukan.”

Page 68: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi menatap Mira serius. “Orangtuamu selalu pergi tiap hari?”

“Iya. Mereka sangat sibuk. Kadang berhari-hari mereka nggak

pulang karena ke luar kota. Sekalinya pulang, sehari doang. Itu

pun dihabiskan untuk istirahat. Aku sudah biasa menjalaninya

sejak kecil. Makanya aku dekat sekali sama Mbak Nunuk.”

“Kamu bahagia?”

Mira menatap Aoi. “Bahagia yang seperti apa maksudmu?”

“Yah, apakah kamu senang menjalani hidupmu?” Pandangan

Aoi menusuk mata Mira, seolah ingin menyelidik lebih jauh.

“Mmm... bagaimana ya?” Mira bingung sendiri. “Senang nggak

senang, mereka bekerja demi aku juga, kan? Selebihnya sih

memang untuk kebanggaan dan kepuasan hidup mereka sendiri.

Aku paham, suatu saat mungkin aku juga seperti mereka. Lagi

pula aku sudah terbiasa. Jadi nggak masalah.”

Aoi tersenyum. “Hmm... ternyata kamu cukup dewasa ya?

Kupikir selama ini kamu kolokan, doyannya ngambek dan jutek

ke orang.”

Mira tertawa kecil. Aneh. Tiba-tiba saja seluruh tumpukan

kekesalan Mira pada Aoi musnah seketika. Apakah karena Aoi

telah menolongnya? Entahlah. Mira merasa lebih baik berdamai

dengan sang ketua OSIS itu daripada terus-menerus

menganggapnya musuh. Ya, mereka kan harus bekerja sama

mernajukan OSIS. Kalau ketua dan wakilnya saja musuhan,

bagaimana program OSIS bisa berjalan dengan baik?

Page 69: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Setelah diobati, Mbak Nunuk diperbolehkan pulang. Jalanan

macet parah. Mobil Mira maju sedikit demi sedikit, sementara

hari mulal gelap.

“Orangtuamu nggak nyariin kamu, Aoi? Biar aku telepon

orangtuamu ya, supaya mereka nggak khawatir?”

“Nggak usah. Nggak apa-apa kok. Ayah ngasih kepercayaan

penuh ke aku. Jadi nggak apa-apa,” kata Aoi sambil terus

konsentrasi mengemudi.

“Ibu kamu? Ibu-ibu biasanya panik kalau anaknya nggak

pulang-pulang.”

“Aku nggak punya ibu. Jadi jangan khawatir,” balas Aoi. Air

muka Aoi berubah kaku sehingga Mira tak berani bertanya lagi

tentang keluarga Aoi.

Hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak

ada yang membuka mulut hingga mereka sampai di rurnah Mira.

Hari telah gelap ketika Mira melepas kepergian Aoi. Mereka

saling melempar senyum sebelum Aoi masuk ke taksi. Ah, telah

terjadi gencatan senjata rupanya!

SEMINGGU telah berlalu. Siang itu Mira duduk dengan tegang

di sofa cokelat yang terasa dingin. Jantungnya jumpalitan saking

takutnya. Sementara itu di dekat jendela Aoi menelepon

seseorang. Seorang polisi berkumis tebal mengamati mereka

dari meja kerjanya. Ya, kini mereka berada di kantor polisi.

Rupanya Aoi menyetir sambil melamun sehingga salah jalur.

Mereka ditilang. Celakanya, ternyata Aoi tidak mempunyai

SIM.

Page 70: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Sejam lalu mereka baru saja pulang dan rumah Mei. Cewek

cantik itu didaulat menjadi ketua panitia pentas seni sekolah

yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Berhubung hujan,

Mira berinisiatif membawa mobil untuk menjemput Aoi yang

sedang berada di rumah Riku. Dan situ keduanya menuju rumah

Mei. Eh, pulang dan rumah Mei, mereka malah kena tilang.

Kalau mamanya tahu, Mira pasti disemprot habis-habisan. Itu

yang membuat Mira gemetar. Dibandingkan pada pak polisi,

Mira lebih takut pada mamanya.

Aoi mengempaskan tubuh di sisi Mira. Dia mendesah panjang,

lalu menatap Mira penuh belas kasihan. “Maaf ya, Mir.

Masalahnya malah jadi runyam begini.”

“Ini salahku kok.” Mira berbesar hati mengakui kesalahan.

“Tapi... siapa yang akan mengeluarkan kita dari sini?

Orangtuaku lagi di luar kota. Kalaupun orangtuaku ada di sini,

aku takut dirnarahi Mama.” Mira kian sedih.

“Ayahku sedang dalam perjalanan kemari. Tenanglah.” Aoi

mencoba tersenyum. Dia merangkul bahu Mira dan menepuk-

nepuk lengan Mira supaya gadis itu merasa tenang.

Mira memang merasa lebih tenang. Perhatian Aoi

menghangatkan hatinya. Mira tidak menyangka Aoi begitu tegar

dan mandiri. Tak tampak sedikit pun ketakutan di wajah Aoi.

“Kamu nggak takut, Aoi?” tanya Mira.

“Aku nggak takut apa pun, Mira,” desis Aoi. “Hidupku nggak

semulus hidupmu. Aku terbiasa dengan situasi yang nggak

nyaman. Hal seperti ini akan segera berlalu. Jadi, kenapa harus

takut?”

Page 71: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira tersenyum. “Memangnya ayahmu nggak marah?”

“Tadi juga sudah marah-marah sewaktu aku menelepon. Tapi

dia tetap ayahku, kan? Jadi tentu saja ayahku akan datang

menjemput kita. Lagi pula, aku akan mengganti semua uang

yang Ayah keluarkan untuk menebus kita nanti.”

“Tapi, bagaimana caranya? Berapa lama kamu harus menabung

uang sakumu sampai bisa membayar uang yang telah

dikeluarkan ayahmu?”

“Oh, kamu belum tahu ya?”

Mira menggeleng. “Tahu apa, maksudmu?”

“Aku mendesain kaus. Pelanggan tetapnya tim sepak bola dan

tim basket sekolah kita. Kaus olahraga tahun lalu juga

karyaku.”

“Oh ya? Wah... hebat banget! Sungguh, aku sama sekali nggak

tahu kamu berbakat seni.”

“Aku juga menjual kaus pada teman-teman sekolah lain, para

tetangga, dan kenalan-kenalanku. Semua desainku sendiri,”

lanjut Aoi bangga.

“Wow! Kamu juga berbakat dagang, ya? Hebat deh, Aoi. Jarang

ada anak seumuran kita yang sudah pintar cari uang,” puji Mira

tulus.

Temyata selama ini Mira benar-benar salah menilai Aoi. Mira

jadi menyesal telah memusuhi Aoi. Cowok itu ternyata kreatif

dan gigih.

Page 72: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Makanya kamu harus bersyukur punya orangtua lengkap dan

memberimu semua fasilitas, sehingga nggak susah payah

mencari uang saku sendiri seperti aku.” Aoi menatap Mira

dengan pancaran mata bersungguh-sungguh.

Mira tak berani menatap mata Aoi. Ia hanya menunduk sambil

berkata, “lya, aku patut bersyukur. Meski mereka jarang sekali

berada di rumah, mereka tetap saja milikku yang sangat

berharga.”

“Oh, iya. Babi-babimu temyata benar-benar gemuk. Kurasa

kamulah penyumbang terbanyak. Kamu benar-benar tidak

sayang menyerahkan semua tabunganmu?”

“Ah, sudahlah. Aku nggak pernah memecahkan celengan karena

malas menghitung koinnya, itu saja. Kemarin aku jadi punya

kesempatan mengetahul isi babi-babi itu.” Mira tertawa

kecil. “Aku ikhlas kok menyerahkan semua tabunganku.

Saudara-saudara kita yang menjadi korban letusan Merapi Iebih

membutuhkannya ketimbang aku.”

Aoi tersenyum lebar pada Mira, membuat Mira jadi salah

tingkah.

Menjelang sore, seorang lelaki berambut gondrong dan beruban

memasuki ruangan. Topi kulit bertengger di kepalanya,

sementara tubuhnya terbungkus jaket kulit. Dia menyandang

sebuah tas besar hitam. Dilihat dan tulisan yang tertera di tas

tersebut, sepertinya berisi kamera. Dia ayah Aoi.

Sejenak ayah Aoi menatap Mira dengan pandangan menakutkan.

Mata itu agak merah. Bibir kakunya yang tanpa senyum seakan

Page 73: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

melengkapi penampilannya yang tidak bersahabat. Bahkan

terkesan galak. Mira gentar.

Setelah berbicara dengan petugas polisi dan menandatangani

beberapa surat, ayah Aoi menghampiri Mira dan Aoi yang

duduk menunggu di sofa.

“Kalian bebas,” kata ayah Aoi. Sikap tubuhnya tetap kaku. Dia

berdiri tegak dan tak terllhat tanda-tanda hendak menyapa Mira

dengan lebih ramah.

“Terima kasih, Oom.” Mira berdiri dan memberanikan diri

mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

Ayah Aoi tak menggubris Mira. Beliau justru memalingkan

wajah, menatap anaknya yang masih duduk di sofa. “Aoi, cukup

sekali kamu melakukan kesalahan seperti ini. Kalau sampai

terulang, tanggunglah sendiri. Ayah tidak mau bantu lagi. Kamu

sudah besar. Ingat yang selalu Ayah ajarkan: jangan bergantung

pada orang lain, kamu harus mandiri, apalagi untuk kesalahan

yang kamu lakukan sendiri!”

“Terima kasih, Yah.” Aoi berdiri lalu mengangguk patuh. “Aoi

janji, ini yang pertama dan terakhir.”

Kini Ayah Aoi menatap Mira. Pandangannya tajam menusuk.

“Jangan ajak anak saya mengikuti gaya hidupmu! Dia biasa

hidup sederhana,” desisnya.

Mira tersentak. Walau pelan, ucapan ayah Aoi menohok

hatmnya. Tiba-tiba Mira menjadi gentar.

Page 74: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Yah...” Aoi terperangah. Dia mencoba menghentikan omongan

ayahnya, tapi mulut lelaki beruban itu tak dapat ditahan.

“Jangan jatuh karena perempuan!”

Mira pucat pasi. Ia tidak mengerti alasan ayah Aoi

memusuhinya, bahkan pada saat pertama pertemuan mereka.

“Please deh, Yah... .“

“Sudahlah, ayo kita pulang setelah mengantar Nona Kaya ini,”

kata ayah Aoi sambil berlalu. Nada bicaranya sangat sinis ketika

menyebut kata “Nona Kaya”.

Aoi menarik tangan Mira. Mereka mengikuti langkah cepat ayah

Aoi.

Setelah meminta izin pada Mira untuk mengambil alih kemudi,

ayah Aoi menyetir mobil Mira. Aoi menemani ayahnya di

depan, sementara Mira duduk sendirian di belakang. Mira tak

berani berbicara sedikit pun. Dia membeku.

“Kalian masih SMA, seharusnya berempati pada jutaan orang

miskin di negeri kita, bukan gaya-gayaan memakai mobil

pemberian orangtua. Kalian bisa memakai angkutan umum atau

naik sepeda. Itu lebih membumi. Apa kalian juga nyaman

terjebak macet di jalanan seperti ini? Ada cara yang sederhana

kok malah cari kerepotan!” omel ayah Aoi sambil sesekali

melirik Mira dan spion.

“Aoi minta maaf, Yah. Tadi hujan, dan sudah telanjur janji

dengan Mei. Jadi Mira berinisiatif membawa mobil.”

Page 75: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Mei lagi... Mei lagi! Mei yang mirip cemara angin yang habis

terbakar itu, kan? Kurus kering, tinggi, sampai ngomong saja

nggak becus karena kehabisan energi.”

Sebenarnya Mira ingin tertawa mendengar komentar ayah Aoi

tentang Mel, si foto model itu, tapi ditahannya sekuat tenaga.

Mira jadi tahu ayah Aoi tidak menyukai Mei dan mungkmn

gadis lain yang seperti Mei. Entahlah, mungkin ayah Aoi tidak

menyukai gadis macam apa pun. Buktinya, kepada Mira yang

sangat berbeda tipe dengan Mei, ayah Aoi pun bersikap antipati.

“Yah, Mei kan teman Aoi. Biarpun seperti itu, Mei baik kok!”

Aoi membela Mei.

“Cari teman yang sepadan. Jangan cari teman kaya. Bisa hancur

kamu nanti. Orang kaya hidupnya di awing-awang, tidak seperti

kita,” cetus ayah Aoi. Tegas dan dingin.

Deg! Mira makin mengerut di tempat. Seolah tubuhnya

mengecil begitu saja hingga tak kelihatan. Sepertin ya ayah Aoi

tidak menyukai orang kaya, padahal tak semua orang kaya

seperti yang ada dalam pikirannya.

Mobil berhenti di carport rumah Mira yang megah. Aoi dan

ayahnya segera turun, lalu menyerahkan kunci mobil pada Mira.

“Saya sudah mengantarmu pulang dengan selamat. Sekarang

kami pulang. Tenma kasih. Salam untuk orangtuamu,” kata ayah

Aoi, tetap tanpa senyum.

“Saya mohon mampirlah dulu, Oom. Minum teh hangat dulu

dan makan malam. Mbak Nunuk bisa menyiapkannya untuk

Page 76: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Oom dan Aoi. Orangtua saya sedang di luar kota,” balas Mira

takut-takut.

“Terima kasih. Tapi maaf, kami harus segera pulang. Selamat

malam,” kata ayah Aoi, kemudian berlalu.

Aoi tak sempat berkata apa-apa pada Mira, dia langsung

mengejar ayahnya.

Mira masih termangu di sisi mobil, menatap dua punggung yang

kini tak tampak lagi. Mira mendesah sedih, kemudian berbalik,

lalu duduk di teras.

Kenapa ayah Aoi seperti itu? tanya Mira pada dirinya sendiri.

Mira menggeleng-geleng bingung. Sedih juga ada orang yang

sebegitu bencinya pada orang kaya tanpa sebab. Menurut Mira,

ayah Aoi picik sekali karena menyamaratakan semua orang kaya

sebagai orang yang nggak baik. Mira tak mengerti apa yang

dimaksud ayah Aoi, tapi sungguh, dia gelisah setelah bertemu

ayah Aoi yang kaku dan menyeramkan.

***

“Aoi!”

Mira berlari kecil menghampiri Aoi yang sedang duduk

sendirian di pinggir lapangan sepak bola. Aoi sedang membuka

bekal dan bersiap makan.

Page 77: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Oh... hal, Mira.” Aoi menengadah sambil tersenyum. Dia urung

menyuapkan nasi ke dalam mulut.

Mira tersenyum hangat. Entah mengapa, hatinya tenang melihat

Aoi tersenyum. Segera gadis tombol itu menjejeri Aoi.

“Kok nggak bawa bekal?” tanya Aoi melihat Mira tak membawa

apa pun di tangannya. “Aku masih kenyang. Tadi waktu jemput

Kelly, aku ikut sarapan nasi goreng.”

“Wah, enak ya. Besok ikutan dong!” seloroh Aoi. “Hehe,

boleeeh. Ibu Kelly pasti senang kalau banyak yang memuji

masakannya. Emang enak banget lho masakan ibu Kelly,” Mira

berpromosi.

“Baiklah, sekali-sekali aku jemput kamu, trus kita bareng-

bareng jemput Kelly,” kata Aoi sambil tertawa.

Mira tersenyum lebar. Temyata, kalau sudah kenal dekat, Aoi

menyenangkan, tidak seperti waktu pertama kali bertemu.

Kebetulan, ada yang ingin Mira tanyakan pada Aoi: tentang

insiden semalam.

“Aoi, aku minta maaf tentang kejadian kemarin. Gara-gara pakai

mobilku, kamu dimarahi ayahmu. Dan... ng... ayahmu sepertinya

marah sama aku.” Mira meringis. Wajahnya memelas sekali

ketika menatap Aoi.

“Ah, itu kesalahanku. Nggak ada hubungannya sama kamu atau

mobilmu. Jadi jangan merasa bersalah begitu. Justru aku yang

harus minta maaf karena kata-kata ayahku semalam.” Aoi

menenangkan Mira.

Page 78: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira mengangguk. Tiba-tiba dia ingin sekali ke rumah Aoi.

“Aoi, boleh nggak sepulang sekolah nanti aku main ke

rumahmu?”

Aoi berhenti mengunyah. Dahinya mengernyit memandang

Mira.

Mira menelan ludah dan buru-buru meralat, “Eh, nggak. Aku

cuma bercanda. Kalo kamu keberatan, nggak apa-apa kok.”

“Kamu yakin?” potong Aoi. “Rumahku di gang kecil perumahan

padat. Di sana panas sekali. Kamu nggak akan betah di

rumahku,” balas Aoi.

Mira tersenyum. “Nggak apa-apa. Lagi pula ada tugas OSIS

yang harus kita kerjakan bersama, kan? Kita kerjakan di

rumahmu aja, ya?”

Aoi mengangguk, meski ragu. Dia memandang mata Mira yang

berbinar senang. Ah, bagaimana pendapat Mira nanti?

Rumahnya dan rumah Mira sangat jauh berbeda. Rumah Aoi

mungkin hanya seluas kamar tidur Mira. Itu pun kamar Mira

sudah pasti lebih bagus.

Setelah makan siang dan istirahat sebentar di rumah, Mira

mengajak Kelly ke rumah Aoi naik angkutan umum. Sepanjang

jalan Kelly terus-terusan mengomel.

“lih... gerah banget sih?” bisik Kelly di dalam angkot.

“Keringatan nih, kalau desak-desakan kayak gini. Lagi pula,”

Kelly mendekatkan mulut ke telinga Mira, “bapak di sebelahku

bau keringat. Hii...”

Page 79: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira tertawa kecil. “Itu rezekimu, haha.”

Kelly cemberut. “lh! Kapok deh naik angkot kayak gini. Kamu

sih aneh banget, Mir. Untuk apa di garasimu ada mobil? Untuk

apa punya sopir? Untuk apa kalau nggak kamu gunakan?

Huhuhu...” Kelly mulai lebay.

“Ssst... diam ah! Nggak enak sama penumpang lain. Kesannya

sombong amat,” bisik Mira.

“Ah, biarin!” Kelly masih merajuk. “Kepalaku pusing, tau!

Angkotnya ngerem-ngerem mulu.” Mira pura-pura nggak

peduli. Dia sibuk melihat jalanan dari jendela angkot.

Dicocokkannya jalanan dengan denah rumah yang tadi diberi

Aoi. “Stop!” pekik Mira tiba-tiba.

Ciiittt! Angkot mengerem mendadak, membuat penumpangnya

terguncang. Seisi angkot langsung menatap sebal pada Mira.

Kelly apalagi, dia langsung menyenggol lengan Mira.

“Memang rumahnya di sini?” tanya Kelly jengkel.

“Kayaknya sih,” balas Mira sambil buru-buru turun. Kelly

mengikuti di belakang sambil mengomel.

Setelah membayar ongkos angkot, Mira melihat kernbali denah

yang dibuat Aoi untuknya. Aoi yakin Mira tidak akan bisa

menemukan rumahnya, meski denahnya sangat jelas. Tapi Mira

yakin bisa menemukan rumah Aoi tanpa hams menelepon

cowok itu terlebih dahulu. Bagi Mira, anggap saja ini permainan

mencari jejak seperti dalam eskul pramuka.

Page 80: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“lya, aku bingung melihat denah ini. Rumit. Banyak sekali

petunjuk gang di sini. Tapi kayaknya kita masuk gang yang itu

aja deh” Mira menunjuk salah satu gang di samping pos ronda.

“Ya udah. Kalau kamu yakin, kita cepetan ke sana. Panas sekali

di sini nih, Mir. Kulitku bisa gosong!” rengek Kelly.

Mereka memasuki gang kecil itu sambil mencari-cari penjual

bensin eceran. Kata Aoi, rumahnya hanya selisih beberapa

rumah saja dari kios bensin eceran itu. Tapi Mira tidak

menemukannya. Ia kebingungan. Berulang kali ia melihat

denah.

“Aduh, Mir. Panas. Pusing. Haus. Lengket. Pulang saja yuk!”

keluh Kelly sambil mengipasi wajah menggunakan buku.

“Aku sudah janji mau ke rumah Aoi kan, Kel!” jawab Mira

sambil mendelik sebal. Dia sengaja minta Kelly menemaninya

supaya bisa bekerja sama menemukan rumah Aoi, temyata

keberadaan Kelly justru membuatnya repot.

“Yang janji kan kamu, bukan aku!” tukas Kelly. “Kalau kita

muter-muter terus kayak gini, pasti ada orang yang

memperhatikan. Kalau kita diincar orang jahat lalu diculik,

bagaimana? Aduh... ini kan daerah yang nggak aman, Mir.

Banyak orang jahat!” Kelly mulal panik.

Mira semakin kesal. “Kamu nakut-nakutin aja sih? Ah, biarin!

Aku nggak mau menyerah. Kita pasti menemukan rumah Aoi!”

“Kita? Huh, aku mau pulang! Aku nggak tahan dengan

panasnya!” kata Kelly, kemudian berbalik dan berjalan tergesa.

Page 81: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Kok kamu gitu sih, Kel?”

“Aku mau pulang naik taksi. Kalau kamu mau ikut pulang ya

ayo. Tapi kalau masih mau terus mencari rumah Aoi, aku

menyerah!” teriak Kelly tanpa menoleh ke belakang. Ia terus

saja berjalan menuju jalan besar.

Mira mendesah sedih sambil memandangi denah. “Kelly... kok

nggak setia sih... ,“ gumamnya.

Sudah telanjur pergi jauh, Mira memutuskan akan terus mencari

rumah Aoi. Lingkungan itu asing sekali. Seumur-umur dia

belum pernah berada di gang Sesempit ini, dengan rumah-rumah

kecil yang berdempetan rapat. Sesekali Mira bertanya pada

beberapa orang yang lewat atau berada di depan rumah, tapi tak

ada satu pun yang mengenal Aoi. Mira putus asa. Kulitnya mulal

berkilat banjir keringat. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat

Mira.

Sontak Mira menoleh dan seketika memucat. Pengendara motor

adalah ayah Aoi!

“Tersesat di hutan rimba?” sapa ayah Aoi sinis.

Cleguk... Mira menelan ludah. “lya, Oom,” Mira tersenyum

rikuh. “Saya mencari rumah Oom.” Ayah Mira menghela napas

berat sambil menatap Mira tajam. Mira memperlihatkan

senyumnya yang paling memelas.

“Yuk, naik!” Ayah Aoi memberi kode pada Mira untuk naik di

boncengannya, namun kentara sekali, ekspresi wajahnya kurang

senang.

Page 82: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Hati Mira bersorak. Ia langsung nangkring di boncengan motor

ayah Aoi sarnbil mengucapkan terima kasih. Entah berapa kali

motor itu berbelok memasuki gang-gang kecil. Wah... temyata

rumah Aoi masih jauh sekali dan jalan tempat Mira turun angkot

tadi. Berarti setiap hari Aoi jalan kaki beberapa ratus meter saat

pergi dan pulang sekolah. Wow!

Akhirnya tibalah mereka di sebuah rumah kecil.

Mendengar suara motor berhenti, Aoi ke luar rumah. Betapa

terkejutnya Aoi saat melihat Mira datang bersama ayahnya.

Penampilan Mira benar-benar kucel dan lelah.

“Ya ampun, Mira! Masuk yuk!” ajak Aoi kemudian buru-buru

mengambil air putih untuk Mira. Dalam sekali tenggak, air putih

di gelas tandas. Aoi sampal geleng-geleng.

“Lho, katanya sama Kelly?” tanya Aoi dengan suara keras. Dia

sengaja melakukan itu supaya ayahnya mendengar.

“Kelly pulang karena kepanasan waktu nyari-nyari rumah

kamu,” balas Mira, juga dengan suara keras. Ia tahu maksud

Aoi.

Mungkin Aoi nggak enak hati sama ayahnya karena teman

cewek sekolahnya datang sendirian menemuinya. Mira takut

ayah Aoi mengira ia dan Aoi pacaran.

Mira dan Aoi kemudian berdiskusi soal beberapa program kerja

OSIS yang harus segera dijalankan. Mira sesekali mengamati

ayah Aoi yang duduk menghadap laptop di ruang makan. Tak

ada sekat antara ruang makan dengan ruang tamu yang sempit.

Rumah Aoi yang kecil terdiri atas ruang tamu yang dijejali

Page 83: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

koleksi buku dan berbagal foto di dinding, dua kamar tidur

bersebelahan, serta ruang makan, dapur, dan kamar mandi di

bagian belakang. Ada sedikit sisa tanah di belakang dapur untuk

menjemur pakalan. Teras depan yang hanya berukuran 2X4

meter disesaki tanaman hias dan tanaman gantung. Tidak ada

ruang keluarga untuk menonton televisi. Bahkan, Mira tidak

menemukan televisi di rumah itu.

“Sudah sore, Aoi. Ingat tugasmu!” seru ayah Aoi dan ruang

makan. Tatapan ayah Aoi tetap ke layar laptop, tak sedikit pun

dia memandang Aoi dan Mira.

“Tugas apa?” bisik Mira pada Aoi.

“Mmm... masak untuk makan malam. Eh, diskusinya besok lagi

aja, ya? Kan kita juga perlu pendapat teman-teman lain,” kata

Aoi agak canggung. Sepertinya dia malu ketahuan harus masak.

“Boleh. Mmm... aku bisa bantu kamu masak lho. Aku biasa

masak. Serius!” kata Mira sungguh-sungguh.

Aoi menoleh pada ayahnya. “Mira boleh membantu kan, Yah?”

“Mmm...” Ayah Aoi hanya berdeham.

Aoi tersenyum. Sepertinya dehaman itu berarti boleh. Aoi

mengajak Mira ke dapur. Saat melewati ayah Aoi, Mira sempat

melihat layar monitor laptopnya. Temyata pria itu sedang

mengedit foto.

“Tapi dapumya kecil lho, Mir. Yang kami masak juga bahan-

bahan sederhana. Maklumlah...” Ucapan Aoi menggantung. Dia

Page 84: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

sibuk mengeluarkan sayuran dari kulkas dan meletakkannya ke

meja keramik di sebelah kompor.

Mira tersenyum. “lya, nggak apa-apa. Sini, biar aku yang potong

sayurannya. Sudah dicuci, kan?” kata Mira sambil mengambil

pisau dari rak piring.

Sambil memotong-motong sayuran, Mira sesekali melirik ayah

Aoi. Tampang ayah Aoi serius sekali. Merasa sedang

diperhatikan, tiba-tiba ayah Aoi menoleh pada Mira. Gadis itu

tentu kaget, kemudian buru-buru menunduk, bergegas

mengambil sayuran.

Suasana mendadak hening. Tak ada yang membuka mulut.

“Mmm...” Aoi berdeham. “Kamu sering masak, ya?” tanya Aoi,

heran melihat betapa cekatannya Mira mengaduk sayuran dalam

wajan di kompor.

“lya. Aku suka bantuin Mbak Nunuk kalau teman-teman Mama

datang. Kan kami harus menyiapkan banyak makanan,” kata

Mira sambil mematikan api. Tanda masakannya matang.

“Wah, kayaknya enak nih!” Aoi mengambil sedikit masakan

dengan sendok, lalu mencicipi. Matanya melebar.

“Enak?”

“Jauh Iebih enak daripada tumis buatanku,” puji Aoi.

Mira senang sekali. Kemudian dia juga menggoreng tempe.

Setelah selesai, dia menyajikan masakan buatann ya di meja.

Page 85: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Sudah siap nih, Oom,” kata Mira takut-takut. Ayah Aoi

menutup laptop. Kemudian dia menatap Mira dengan tajam.

Mira ketakutan. Akankah ia diusir, atau masakannya dicemooh?

“Baik. Mari kita makan bersama. Duduklah.” Hati Mira

melonjak girang. “Terima kasih, Oom.” Mira mengambilkan

nasi, yang tampaknya sudah dimasak sejak pagi, untuk Aoi dan

ayahnya dengan riang.

Dia bahagia luar biasa. Perasaan yang sangat aneh menyelusup

ke hatinya. Tahu-tahu Mira merasa dirinya sungguh berharga.

“Enak kan, masakan Mira, Yah?” tanya Aoi begitu mel ihat

ayahnya makan dengan lahap.

“lya, enak sekali. Seperti masakan... mmm... masakan...” Ayah

Aoi seolah berusaha mengingat seseorang.

“Masakan Ibu seperti ini, Yah?”

“Bukan... bukan masakan ibumu. Ini rasanya seperti masakan

seseorang dari masa lalu Ayah.”

Ayah Aoi termenung beberapa saat. “Tapi sudahlah... nggak

penting!” katanya buru-buru begitu melihat Aoi dan Mira

menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ayah Aoi melanjutkan

makan, hanya kali ini dengan gerakan canggung.

Selesai makan, ayah Aoi menatap wajah Mira. Tapi dia tidak

mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya, dia tengah

mengingat sesuatu.

SEMUA orang dapat melihat betapa ramah dan cerianya Mira

akhir-akhir ini. Mata bulatnya selalu berbinar-binar. Wajah Mira

Page 86: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

yang manis terlihat semringah dan ramah karena bibirnya selalu

menyunggingkan senyum. Sungguh, Mira cantik sekali, seakan

hatinya tengah berbung-bunga.

“Wah, belakangan ini kamu ceria sekali!” seru ibu Kelly ketika

Mira menjemput Kelly.

“Terima kasih, Tante,” jawab Mira memberikan Senyum manis.

“Lagi jatuh cinta, ya?” goda ibu Kelly.

“Ah, Tante. Nggak kok, Tan!” Mira tersipu.

Kelly keluar dari kamar, berseragam rapi. “lya tuh, Mira

kayaknya lagi jatuh cinta,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke

arah ibunya. “Jangan-jangan... aha! Jangan-jangan Mira jatuh

cinta pada Aoi deh! Betul kan tebakanku, Mir?” Kelly nyengir

pada Mira.

Pikiran Mira melayang. Ia mengingat kembali kebersamaannya

bersama Aoi di rumah sakit, di kantor polisi, dan yang paling

berkesan tentu saja di rumah Aoi saat mereka memasak

bersama. Sekarang Mira dan Aoi sering mengerjakan tugas

OSIS berdua. Mira akui, setiap bersama Aoi, hatinya senang dan

nyaman.

“Nah, kamu melamun, kan? Idih... benar nih, kamu jatuh cinta

pada Aol?” Mata Kelly melebar. Ekspresinya lucu sekali.

“Udah, ah. Yuk berangkat!” Mira bangkit, kemudian melakukan

ritual. Dia mencium tangan ibu Kelly, kemudian mencium pipi

Morati. “Dah, Tante... Dah, Morati sayang...”

Page 87: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Mira, Aoi kan miskin... ,“ kata Kelly hati-hati, saat mereka

bejalan di trotoar.

“Memang kenapa kalau miskin?” tanya Mira.

“Mmm... apa cocok denganmu? Walau gaya hidupmu tidak

mewah, kamu kaya, banyak perbedaan, kan?”

Mira mengangkat bahu. “Nggak kerasa tuh. Aoi asyik-asyik aja

orangnya. Aku toh bukan tipe orang yang senang

menghamburkan uang. Lagi pula, Aoi mandiri. Pada usia

semuda kita, dia sudah punya penghasilan sendiri.”

“Tapi katamu, ayahnya galak?”

“Memang iya sih, tapi nggak masalah juga. Yang penting

buatku, Aoi baik dan otaknya pintar. Aku selalu mengagumi

cowok pintar.”

“Aiiih... yang lagi jatuh cinta!” Kelly geleng-geleng geli.

“Akhirnya kamu mengalami sendiri rasanya jatuh cinta. Semoga

kamu nggak ngerasain patah hati jugaseperti aku.” Kelly

menggigit bibir. Rupanya dia masih terkenang penolakan Riku.

“Hai, Mira... Hai, Kelly...” Seperti biasa Riku menunggu mereka

setiap berangkat sekolah. “Kamu cerah sekali, Mir.”

Riku tersenyum pada Mira. Namun ada yang aneh dengan

senyum Riku. Ya, Riku tahu Mira tengah jatuh cinta pada Aoi.

Aoi sering cerita pada Riku tentang kedekatannya dengan Mira

sekarang. Riku cemburu. Dia menyayangi Mira lebih dan

sekadar sahabat. Dia ingin Mira jadi pacarnya.

Page 88: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Di gerbang sekolah ternyata ada yang menanti kedatangan

mereka. Aoi bersender di pagar besi. Senyumnya mengembang

begitu melihat Mira. Ya, tatapannya fokus pada Mira sebelum

kemudian ia menyapa Kelly dan Riku.

Mira semakin berbunga-bunga. Ah, jatuh cinta memang indah!

***

Mira kembali bertandang ke rumah Aoi pada hari Sabtu.

Biasanya Mira melewatkan akhir pekan di rumah Kelly.

Namun kini dia lebih suka memasak bersama Aoi. Mira senang

Aoi dan ayahnya menyukai masakannya. Sebaliknya, Mira

bahagia bisa menghabiskan waktu bersama cowok pujaannya.

“Tumben ayahmu belum pulang jam segini?” tanya Mira ketika

sedang menggoreng udang.

“Jam kera Ayah nggak teratur. Kebetulan saja waktu itu Ayah

pulang sore. Kerja jadi juru kamera TV sering sampai larut

malam. Itu pun, sehabis kerja, kadang ayah masih hunting

pemandangan bagus atau ngumpul dengan teman-temannya di

bengkel fotografi.”

“Ayahmu hobi fotografi juga?”

“lya. Ayah sering memboroskan uangnya untuk hobi yang satu

itu. Salah satunya untuk jalan-jalan mencari gambar bagus.”

Page 89: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Oh!” Mira manggut-manggut. “Eh, kamu kok nggak pernah

cerita tentang ibumu?”

Aoi diam sejenak. “Ibu berpisah dan Ayah waktu aku masih

bayi. Ibu kuliah lagi di luar negeri atas biaya orangtuanya yang

kaya raya. Pernikahan Ayah dan Ibu memang tidak direstui

keluarga Ibu.”

“Oh, pantas ayahmu alergi sama orang kaya,” sambung Mira

sambil tersenyum kecut.

“Oh, itu ceritanya lain. Sebelum menikah dengan Ibu, ayahku

pernah tergila-gila pada seorang perempuan kaya raya. Mereka

pacaran beberapa tahun. Ayah sangat mencintai perempuan itu.

Tapi setelah lulus kuliah, perempuan itu mencampakkan Ayah

dan berpaling pada cowok kaya. Sakit hati Ayah terbawa sampai

Sekarang,” terang Aoi. “Padahal Ayah sudah menyiapkan

tabungan untuk pernikahan mereka. Ayah stres berat. Hingga

akhirnya Ayah bertemu dengan ibuku dan dalam waktu cepat

mereka menikah. Tapi apa boleh buat, mereka berpisah juga.

Ayah punya kehidupan aneh. Dia suka bepergian dalam waktu

lama, berburu gambar bagus di hutan dan daerah pedalaman,

bahkan pernah sampai ke luar negeri. Sebenarnya penghasilan

Ayah lumayan, tapi uangnya habis untuk hobinya itu. Juga

untuk anak-anak asuhnya...”

“Anak asuh?”

“Iya. Sejak kecil aku punya saudara-saudara asuh. Ayah

penyumbang tetap di beberapa panti asuhan. Kami berusaha

nggak egois, Mir. Bagi kami, hidup Sederhana seperti ini cukup.

Page 90: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Ada kelebihan uang kami sumbangkan untuk orang yang masih

kekurangan.”

Mira mendesah, rnerasa tak enak hati rnendengar cerita Aoi.

Walau sekarang sikap ayah Aoi sudah mencair, tetap saja Mira

cemas ayah Aoi mendadak tidak menyukainya. Mira terdiam

cukup lama sampai akhirnya dikagetkan kedatangan ayah Aoi.

“Eh, ada Mira di sini. Lagi masak apa, Mir?” sapa ayah Aoi.

“Udang goreng tepung, Oom.”

“Wow! Aromanya tercium dan luar. Tapi kayaknya Oom nggak

belanja udang deh.” Ayah Aoi mengerutkan dahi.

“Tadi saya mampir ke supermarket sebelum ke sini.”

“Oh...” Ayah Aoi duduk di wang makan. Dia memperhatikan

gerak-gerik Mira. Ekspresinya lagi-lagi seperti sedang

mengingat-ingat sesuatu atau seseorang.

“Ayah mau minum apa?” tanya Aoi.

“Mmm... Mir, yang segar dan menghangatkan saat udara dingin

begini apa ya?” Ayah Aoi malah bertanya pada Mira.

“Mmm, apa ya?” Mira berpikir sejenak. “Aha! Saya akan

buatkan minuman hangat untuk Oom! Tunggu lima belas menit

ya!”

Ayah Aoi menganggu-angguk sambil tersenyum samar. Lagi-

lagi dia terlihat seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri atas

sesuatu. Lima belas menit kemudian, saat Aoi menyiapkan

Page 91: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

makan malam di meja, Mira menyajikan minuman istimewa

untuk ayah Aoi.

“Ini terdiri dari...”

“Jahe, sereh, sedikit asam, madu, dan gula merah,” kata ayah

Aoi memotong keterangan Mira.

Mira kaget, tak menyangka ayah Aoi tahu racikan minuman

yang dibuatnya. Padahal seingat Mira, Mama bilang, minuman

itu memakai resep khusus keluarga Mama.

Ayah Aoi mengambil sendok kecil untuk mencicipi minuman

buatan Mira.

“Mmm... persis!” desis ayah Aoi sambil menatap Mira.

Mira duduk termangu. Dia heran, dan mana ayah Aoi tahu resep

minuman keluarganya itu? Minuman itu kesukaan Mama dan

Mama selalu membuat sendiri, tidak pemah minta tolong Mbak

Nunuk. Aneh!

Ayah Aoi manyantap makan malam tanpa bicara Sepatah kata

pun. Bahkan dia tidak mengomentari lagi udang tepung yang

dibuat Mira. Aoi ikut diam. Yang terdengar hanya denting

sendok dan pining. Tak ada yang bennisiatif memulai

pembicaraan. Mira merasa tak nyaman dengan situasi tegang

seperti itu.

Usai makan, saat Mira dan Aoi mencuci pining, ayah Aoi tetap

bergeming di kursi makan, menikmati minuman hangatnya

sambil melamun.

“Ayahmu kenapa?” bisik Mira.

Page 92: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Nggak tahu,” jawab Aol, menggeleng.

“Abis ini aku Iangsung pulang aja ya.”

“Aku antar sampai halte.”

Mira mengangguk.

Usai mencuci piring dan membersihkan dapur, Mira pamit pada

ayah Aoi. Lelaki itu tak menjawab, hanya mengibaskan tangan.

Sikapnya kembali dingin, seperti pertama kali berjumpa Mira.

Dengan perasaan tak keruan, Mira beringsut undur diri.

“Ayahmu kenapa?” tanya Mira lagi saat dia dan Aoi sudah di

luar rumah.

“Entahlah.” Aoi mengangkat bahu. “Ayahku memang aneh.”

“Ada apa dengan minuman buatanku? Ayahmu menikmatinya

sambil melamun. Sepertinya sejak kuberi minuman itu ayahmu

jadi aneh.”

“Entahlah. Mungkin Ayah teringat seseorang. Aku juga nggak

tahu, Mira.”

Mira mendesah sedih. “Sepertinya ayahmu betu-lbetul nggak

menyukaiku. Padahal aku senang sekali tadi ayahmu menyapaku

ramah, saat mencium udang masakanku. Ternyata sebentar saja

ayahmu berubah.”

“Sudahlah, Mir. Sifat ayahku memang unik. Mmm... maaf ya.

Aku mengantarmu sampal halte aja, nggak bisa mengajakmu

jalan-jalan malam Minggu begini.”

Page 93: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira berhenti sambil menatap Aoi. “Kebersamaan kita di

rumahmu itu lebih berarti daripada seribu kali jalan-jalan ke

mal. Aku senang bersamamu, memasak, dan berbincang

denganmu,” kata Mira sungguh-sungguh.

Aoi tersenyum lembut. Dia berdiri di hadapan Mira, lalu meraih

kedua tangan cewek itu.

Tanpa Mira duga, Aoi mencium punggung tangan Mira dengan

sepenuh hati. Jantung Mira berdegup kencang. Rasanya bagai

terbang ke langit ketujuh. Selain itu, Mira juga rikuh. Mereka

ada di gang sempit dan bagai sedang melakukan adegan film

romantis. Wajah Mira merona merah. Senang, sekaligus malu.

Aoi menatap wajah Mira yang kemerahan. “Terima kasih ya,

Mir. Hidupku jadi berwarna karena kehadiranmu. Aku juga

nggak merasa kesepian lagi karena ada kamu yang bisa

kulamunkan. Kamu mengisi hidupku yang kering dengan

senyum dan kecenaanmu. Kini hidupku betul-betul indah.

Semua karena kamu, Mir.”

Mira tersenyum. “Aku juga sangat bahagia. Aku senang bisa

bersamamu.”

Keduanya tersenyum, kemudian melanjutkan perjalanan sambil

bergandengan tangan. Mira merasa sedih saat sampai di halte.

Itu berarti dia harus segera berpisah dan Aoi. Begitu pun Aoi,

berat sekali melepas Mira pulang. Ingin rasanya Aoi memeluk

Mira dan tak melepaskannya lagi.

“Mira...”

“Mmm... hati-hati, ya... ,“ kata Aoi akhirnya.

Page 94: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira mengangguk. Dengan berat hati dia melepas tangan Aoi

saat bus datang. Dengan enggan Mira memasuki bus, duduk di

sisi jendela, kemudian memandang Aoi yang melambaikan

tangan ke arahnya. Entahlah, ada perasaan aneh merayapi

hatinya. Perpisahan yang seharusnya menjadi peristiwa biasa

kali itu terasa menyedihkan.

Sepanjang perjalanan pulang Mira melamun. Hatinya sedih

karena tak sempat bermalam mingguan dengan Aoi dan ngobrol

banyak hal.Begitu pun Aoi. Ia berjalan lesu pulang ke rumah.

Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, entah apa.

***

Hingga larut malam Mira masih gelisah, tak mampu terpejam

sekejap pun. Jantungnya berdebar kencang, sekalipun posisinya

terbaring. Yang ada di otaknya hanya Aoi. Ingin rasanya dia

berlari kembali ke rumah Aoi, memeluknya, dan mengatakan

betapa dia sangat mencintai cowok itu. Yah, Mira yakin dia

jatuh cinta pada Aoi.

Mira menghubungi nomor HP Aol, tapi HP Aol tidak aktif.

Akhirnya Mira memberanikan diii menelepon rumah Aol.

“Halo...” Suara di seberang jelas suara ayah Aoi.

“Oom, Aoi sudah tidur atau belum?”

“Ini sudah hampir tengah malam!”

Page 95: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Telepon di seberang ditutup dengan kasar, Mira terperangah.

Dia menyesal teiah bertindak bodoh.

Aduh! Mengapa aku nekat nelepon Aoi ya? Ayah Aoi pasti

marah besar! Duh, apa yang salah sih dengan sore tadi? Kok

ayah Aoi bisa berubah seperti itu? Duh... bagaimana dong? Aku

mengacaukan segalanya, keluh Mira. Dia membanting tubuh ke

ranjang, memeluk guling, dan mulal menangis. Hatinya kesal

dan semakin gelisah.

Mira baru pulas setelah jam dua dini hari. Padahal pagi-pagi

sekali Mira janji menjemput Mama di bandara. Sekarang jelas

tidak mungkin. Mira bangun kesiangan. Begitu melihat jam,

waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Mira takut mamanya marah padanya. Buru-buru dia mandi. Dia

tidak sarapan karena nggak keburu. Mama pasti sedang

menunggu di bandara sambil ngomel-ngomel. Mira turun ke

ruang makan untuk pamit pada Mbak Nunuk. Namun, ternyata

mamanya sudah duduk manis di ruang makan sambil membaca

koran.

“Mama!” pekik Mira.

“Mmm, tumben kamu malas? Matahari sudah tinggi baru

bangun, sampai nggak menjemput Mama di bandara,” tegur

Mama sambil menurunkan koran. Diageleng-geleng memandang

anaknya.

Mira meringis. “Maaf, Ma. Semalam Mira belajar sampal larut

malam,” katanya berbohong.

Page 96: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Ya sudah. Sekarang kita sarapan dulu yuk!” ajak Mama.

“Mbak Nunuk bikin telur dadar kesukaanmu nih.”

Mira menghela napas lega. Tumben, mamanya nggak marah-

marah seperti biasa. Sebetulnya Mira heran dengan kebiasaan

mamanya marah-marah di rumah. Emosi Mama berada pada

posisi tegangan tinggi melulu. Mama tak pernah menghabiskan

waktu di rumah untuk santai.

“Kapan Papa pulang, Ma?”

“Wah, Mama juga belum tahu. Mungkin Selasa. Bagaimana

sekolahmu, Mir? Tidak ada kesulitan, kan?”

“Mmm... menyenangkan kok, Ma.” Mira tersenyum.

Mendadak sosok Aoi menghiasi pikirannya. Ya, Aoi yang

membuat sekolah menjadi sangat menyenangkan baginya kini.

Mama menatap Mira curiga. “Menyenangkan?”

Mira menelan ludah. Glek. Salah jawab deh!

“Maksud Mira... ngg... penuh tantangan! Ya, semua siswanya

pintar, jadi Mira harus menyiapkan diri untuk bersaing,” ralat

Mira sambil menunjuk kepala.

Mama tersenyuni samar, kemudian meneruskan sarapan.

Mira menghela napas lega. Untunglah Mama tak

memperpanjang. Jantung Mira sempat melompat. Dia takut

mamanya tahu dirinya sedang jatuh cinta. Bisa marah besar deh

Mama, lalu Mama bakal tinggal lama nih untuk mengawasi

semua gerak-gerik Mira.

Page 97: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Bisa jadi Mama ngotot mengantar dan inenjemput Mira sekolah.

Mira tak akan leluasa bergerak bebas, apalagi untuk main

bersama Aoi.

“Ma, Mira boleh nggak sore nanti main ke rumah teman?”

“Siapa? Kelly?”

“Bukan, teman cowok. Dia ketua OSIS, ada beberapa hal yang

ingin Mira bicarakan dengannya.”

Ups. Mira langsung menutup mulut. Kenapa dia kelepasan

ngomong mau ke rumah cowok sih?

“Orangtuanya kerja apa?” tanya Mama menyelidik.

“Mmm...” Mira bingung mau menjawab apa.

“Dan kelas atas seperti kita?” lanjut Mama tanpa menunggu

Mira menjawab pertanyaannya yang pertama.

“Mmm...” Sekarang Mira garuk-garuk kepala.

“Kalau nggak, nggak usah. Jangan bergaul sama kaum bawah.

Hidupmu akan susah. Bagaimanapun uang tetap berperan besar

dalam menciptakan kebahagiaan.Makanya kamu sekolah yang

pintar, supaya kamu bisa kuliah di luar negeri dan kelak jadi

orang sukses.”

Mira menatap mamanya dengan sedih. “Ma... Mama kok gitu

sih? Mira ingin bergaul dengan semua orang tanpa membedakan

status sosialnya, Ma.”

Page 98: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Bergaul boleh. Tapi ingat, kamu tidak boleh jatuh cinta pada

cowok yang tidak jelas status sosialnya. Tidak baik buat masa

depanmu!”

Mira mematung, nanar menatap Mama yang masih asyik

sarapan sambil niembaca koran. Kata-kata yang meluncur

dengan nada datar dan mulut mamanya begitu menohok hati

Mira.

Mama mendongak, menatap Mira. “Kok malah melamun? SI

ketua OSIS apamu? Bukan pacarrnu, kan?”

Kali ini Mama menatap Mira dengan penuh selidik, rnembuat

Mira salah tingkah.

“Dia hanya teman kok,” jawab Mira lirih.

Mamanya menatapnya tajam. “Benar?”

Mira mengangguk.

“Tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Sore nanti Mama

akan ajak kamu belanja. Kamu boleh membeli apa saja yang

kamu inginkan. Sekarang Mama mauistirahat sebentar, lalu ke

salon. Mau ikut?”

Mira melipat wajah. Mamanya selalu mengimingi minginya

barang mewah. Mira sudah hafal hal itu dan dia tidak tertarik.

Tapi Mama juga pantang ditolak. Mira harus selalu menuruti

kemauannya, bahkan dalam hal memberi hadiah pun, Mira

dipaksa menerimanya. Tapi kali mi dada Mira sesak karena

mengingat Aoi. Seandainya Mama tahu keadaan Aoi. Jika saja

Mama melihat rumah Aoi. Kalau Mama kenal ayah Aoi. Sudah

Page 99: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

pasti...ya, sudah pasti hubungannya dengan Aoi akan ditentang

habis-habisan.

“Gimana? Mau ikut ke salon?” desak Mama.

“Nggak, Ma,” sahut Mira, kemudian berjalan Setengah berlari

naik ke kamarnya. Gadis manis itu melempar tubuh ke kasur dan

menangis sedih.

Ternyata jatuh cinta rasanya sangat nggak enak. Hati selalu

gelisah, rindu, dan ingin bertemu orang yang dicintai. Kalau

jatuh cinta rasanya nggak enak begini!, kenapa semua orang

mau mengalaminya? Jatuh cinta sungguh membuatku aneh,

tertawa sendiri, melamun, berkhayal, dan jantungku selalu

berdebar. Aku sulit tidur dan susah makan. Aku tiba-tiba

menjadi pemalas. Auhhh! Begini ya rasanya jatuh cinta. Lantas,

apakah Aoi juga mengalaminya? Oh God, aku bisa gila kalau

Aoi nggak mencintaiku.

Mira menuliskan rasa hatinya dalarn buku biru. Dia hanya bisa

menulis dan menulis. Dia tak mau berbagi pada siapa pun saat

itu, bahkan pada Kelly sekalipun.

Mira kemudian duduk di balkon kamar, mendengarkan lagu

First Love sambil tersenyum-senyum sendini. Mira merasa link

lagu itu persis dengan yang dialaminya saat itu. Seorang gadis

yang sedang jatuh cinta, tingkahnya mendadak aneh sehingga

semua orang dapat melihat perubahannya. Sepanjang hari hanya

melamun, namun malu untuk menceritakannya.

Mira tersenyum sendiri. Mmm... aku nggak sabar menanti han

esok untuk menyatakan cintaku pada Aoi. Ya ampun, Aoi, aku

harap kamu juga merasakan apa yangkurasakan.

Page 100: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Mira!” panggil Mama dan lantai bawah. “Mau ikut ke salon

nggak? Kalau mau, buruan slap-slap!”

“Nggak, Ma!” seru Mira kesal karena lamunan indahnya

terputus begitu saja.

Ya, untuk saat ini Mira tidak menginginkan apa pun.

Dia hanya ingin mengkhayalkan Aoi. Rasanya mengasyikkan

merangkai cerita tentang kedekatan mereka, walaupun cuma di

pikiran.

Mira tersenyum. Dia teringat saat Kelly jatuh cinta pada Riku.

Mira menertawakan kekonyolan Kelly, namun sekarang Mira

kena batunya.

Ah, mumpung Mama ke salon, kenapa aku nggak ke rumah Aoi

saja? pikir Mira.

SEORANG bapak berumur enam puluhan menginjak kaki Mira

sehingga Mira yang saat itu hanya memakai sandal meringis.

Namun sebelum bapak tersebut minta maaf, Mira sudah

tersenyum terlebih dahulu padanya. ltulah hebatnya orang jatuh

cinta. Rasa sakit terkalahkan rasa bahagia di hati yang begitu

indah.

Siang itu Mira sedang dalam perjalanan ke rumah Aoi. Udara

panas dan keharusan berdini berdesakan di bus yang penuh

sesak tidak dipedulikannya. Mira rela berkeringat dan

merasakan ketidaknyamanan sesaat demi bertemu pujaan

hatinya. Jantung Mira semakin berdebar begitu mendekati

rumah Aoi. Perasaannya tak keruan, antara takut bertemu ayah

Aoi dan keinginan yang kuat untuk berjumpa Aoi.

Page 101: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Aoi!” panggil Mira sambil mengetuk pintu rumah Aoi.

Sunyi. Tak ada sahutan dan dalam.

“Aoi!” seru Mira sambil mengintip dari sela-sela jendela kaca.

Di dalam terlihat gelap.

Mira mendesah, kemudian duduk di bangku teras untuk melepas

lelah. Aoi tidak di rumah. Bodohnya Mira, karena tak

menghubungi Aoi Iebih dahulu sebelum bertandang. Oh iya...

HP! Mira mengeluarkan HP, lalu mulal menghubungi nomor

Aoi. Berkali-kali Mira mencoba menelepon Aoi, tapi nomor

tersebut tak bisa dihubungi.

Aoi... kamu di mana? Aku kangen sekali, gumam Mira sambil

menatap langit yang baru disadarinya sangat mendung.

Mira mempemiainkan HP di tangannya. Dia gelisah tiada tara.

Dadanya sesak oleh rindu dan kecewa. Seandainya sedang

berada di dalam kamarnya, mungkin Mira sudah menangis

sesenggukan. Apa boleh buat, cairan bening di kelopak mata

harus ditahan sekuatnya. Dia berada di halaman rumah orang.

Malu kalau sampai ada yang melihatnya menangis di situ.

Tiba-tiba bulir-bulir air turun dari langit. Pertama-tama berupa

gerimis, namun menderas dengan cepat. Mira terjebak di teras

Aoi. Dia tak mungkin pulang karena tidak membawa payung.

Terlebih hujan turun disertai angin yang bertiup kencang. Mira

sampai harus berdiri merapat pada pintu agar tidak terkena

semburan air yang terbawa angin.

Page 102: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi, pulang dong, keluh Mira sambil menggosok-gosok kedua

lengan yang terasa dingin. Masih untung dia memakai celana

panjang sehingga kakinya terasa lebih hangat.

Duh, kenapa harus hujan sih? Tadi kan matahari terik sekali,

keluh Mira seraya mendesah sedih. Hujan tak kunjung berhenti.

Berkali-kali Mira melihat arlojinya. Sepuluh menit, setengah

jam, satu jam, satu jam lima belas menit...

Kalau Mama pulang dan tahu aku nggak ada di rumah,

bagaimana? Mira kian gelisah. Meski kedinginan dan dihantui

rasa takut pada mamanya, Mira tetap tak menyesali pilihannya

untuk pergi ke rumah Aoi. Mira bahkan bertekad akan

menunggu sampai Aoi pulang. Mira berjanji akan melupakan

penderitaannya slang itu bila dia berhasil bertemu Aoi dan

melihat wajah tenang serta menatap mata teduhnya. Mira

tersenyum. Membayangkan wajah Aoi menghibur hatinya. Ah,

cinta memang aneh!

Hujan tetap deras, teras Aoi mulal digenangi air. Mira duduk

kembali di bangku sambil mengangkat kedua kaki. Dia tak

menyangka teras tersebut bisa banjir. Ternyata teras Aoi Iebih

rendah daripada jalanan. Air mulal masuk, meski dihalangi

tanggul seadanya. Mira termenung. Dia duduk sambil memeluk

lutut. Hatinya berharap Aoi atau ayahnya segera pulang.

Berkali-kali Mira mencoba menghubungi Aol lagi, namun

teleponnya tak pemah tersambung.

Kira-kira Aoi ke mana ya? Ke pasar? Ke mal? Mengunjungi

saudara? Mengapa belum pulang juga? Ah, Mira, kenapa kamu

jadi bodoh? Ini kan hujan. Aoi pasti menunda pulang! Huh...

Mira mendengus kesal.

Page 103: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik dan

HP. Namun, yang terjadi Mira justru menangis saat musik

syahdu menyentuh hatinya. Lama Mira berurai air mata sambil

terisak-isak karena terh anyut lagu-lagu Lawas bertema cinta.

Uh... Aoi, pulang dan hibur aku dong! batin Mira merengek.

Tuuut...!

Hp Mira mati karena kehabisan baterai. Mira. terpaku. Dia tak

tahu harus bagaimana lagi menghibur dirinya sendiri.

Aku benci jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku begitu bodoh.

Mengapa aku harus ke rumah Aoi? Mengapa harus mau

menunggu begitu lama dalam kedinginan dan tapar? Jatuh cinta

rnembuatku begitu tolol! Mira merutuki kesialannya. Tapi tak

ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan menunggu hujan

reda.

Hujan baru berhenti menjelang sore. Mira betul-betul lapar dan

haus. Dia nekat menurunkan kakinya yang pegal ke dalam air

keruh yang menggenang di teras. Lalu kedua kakinya diayun-

ayunkan.

Kalau pulang sekarang, nanggung. Sebentar lagi pasti Aoi

pulang. Ya, Aoi akan segera pulang. Aku harus sabar menunggu

dan nggak boleh putus asa, Mira menguatkan hati. Huh, kenapa

sih nggak ada penjual makanan yang lewat? Aku lapar sekali.

Ah, aku memang bodoh. Jalanan tergenang banjir begini, siapa

yang mau jualan? Sabaaar. Aoi pasti dalam perjalanan pulang,

lagi-lagi Mira menghibur diri.

Mira mendesah sedih. Kakinya terus bermain air, tak peduli

ujung-ujung jarinya mulai keriput. Akhirnya hati Mira sampal

Page 104: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

juga pada titik yang menunjukkan perjuangannya menunggu Aoi

sia-sia belaka. Mira menyerah dan memutuskan pulang. Petang

menjelang. Malam siap memayungi Jakarta dengan kegetapan.

Mira menggigil kedinginan. Sebelum meninggalkan rumah Aoi,

dia menuliskan sebuah pesan, lalu meletakkannya di bangku.

Kemudian Mira melangkah pelan, menerjang banjir yang masih

menggenangi jalan. Hatinya pilu. Air mata deras mengalir di

pipi. Beberapa kali Mira hampir jatuh. Tubuhnya lemah dan

sempoyongan karena lapar. Dia berhasil sampal di pinggir jalan

raya, namun sama sekali tidak berpapasan dengan Aoi di gang.

Pupus sudah harapannya bertemu Aoi saat itu. Mira mencegat

taksi. Dia meringkuk di kursi belakang sambil terus menangis

dan menggigil.

“Saya antar Mbak ke dokter saja ya?” Sopir taksi terlihat cemas.

Berkali-kali dia melihat Mira dan kaca spion.

“Tidak usah, Pak. Terima kasih,” balas Mira pelan.

“Mbak yakin baik-baik saja?”

“Iya. Saya cuma kedinginan. Tolong kecilkan AC-nya.” Sopir

taksi menuruti permintaan penumpangnya. Kalau bisa dia ingin

memacu taksinya kencang, tapi jalanan macet. Tak ada yang

bisa diperbuat. Mira mencoba bertahan. Dia tak mau kalah oleh

rasa dingin dan lapar. Mira meyakinkan din sendiri bahwa dia

baik-baik saja, hanya hatinya yang sakit. Dia memb ayangkan

pengungsi korban bencana yang jauh Iebih menderita.

Kehilangan keluarga, kehilangan harta, dan tak ada yang bisa

dimakan. Tubuh Mira menjadi Iebih hangat saat membayangkan

betapa beruntungnya dia karena tak kehilangan apa pun.

Bahkan, Mira masih dianugerahi perasaan cinta.

Page 105: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Begitu tiba di rumah, Mira disambut wajah cemas Mama dan

Mbak Nunuk. Belum sernpat menjawab satu pertanyaan pun,

Mira pingsan.

“Mira!” seru Mama kaget. Segera ía menangkap tubuh Mira

yang basah kuyup.

Mbak Nunuk menangis melihat Mira yang ambruk bagai pohon

layu diterjang angin. Berdua Mama, Mbak Nunuk membopong

tubuh ningkih Mira menuju sofa.

Mama mengganti baju Mira, melap dengan handuk bersih, dan

menghangatkan tubuhnya dengan minyak kayu putih. Dokter

keluarga segera dipanggil.

Dokter bilang, Mira hanya kedinginan dan akan segera pulih.

Mama sampai geleng-geleng. Dia begitu ingin menanyai Mira

kenapa bisa seperti itu, tapi masih belum tega melihat kondisi

lemah anaknya.

Begitu Mira siuman, Mbak Nunuk senang bukan main. Dia

memijiti tangan Mira. Melihat itu, Mira tersenyum haru.

“Mama mana, Mbak?” tanya Mira.

“Sedang makan malam dengan Dokter Awan. Non kenapa bisa

sampai kelaparan sih? Non kan bawa uang. Kenapa nggak

jajan?”

Mira menghela napas panjang. Dadanya kembali sesak dan

matanya berkaca-kaca. Namun dia tak ingin menangis lagi.

Mbak Nunuk menatapnya, menunggu jawaban dan mulut Mira.

“Mama Non tadi khawatir sekali. HP Non nggak bisa dihubungi.

Page 106: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mbak Kelly dan Mas Riku juga nggak tahu Non pergi ke

mana.”

“Sudahlah, Mbak. Nggak penting lagi sekarang.”

“Non, ini Jakarta. Mbak khawatir Non diculik. Lain kali kalau

pergi HP-nya diaktifkan. Hampir saja tadi mama Non lapor

polisi saking cemasnya.”

Mira termenung.

Tiba-tiba Mama memasuki kamar dengan wajah datar,

kemudian duduk di tepi ranjang. “Mir, ke mana kamu seharian?

Mama hampir mati ketakutan. Mama takut kamu kenapa-napa.

Tolong jawab Mama sejujurnya. Mama janji nggak akan

marah,” pinta mamanya.

Mira memiringkan tubuh, kemudian menarik selimut hingga

menutup kepala. Mira menangis tertahan. Dia belum siap

berbicara pada mamanya. Mira tahu mamanya pasti marah.

Nggak mungkin nggak marah kalau tahu Mira jadi seperti itu

gara-gara seorang cowok.

Mama mendesah panjang. “Mama janji nggak akan marah, asal

kamu bercerita jujur. Kamu ke mana tadi?”

Tubuh Mira berguncang. Tangisnya meledak. Dia tetap menutup

mulut rapat-rapat karena betul-betul tidak mau membagi

kisahnya tentang Aoi.

Mama menyerah, dan tidak lagi membujuk Mira bicara. Dia

meninggalkan Mira dan Mbak Nunuk yang ikut menangis.

Page 107: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mbak Nunuk tak pernah tahan melihat Mira menangis. Apalagi

kali ini Mira menangis begitu hebat.

“Mira mau sendirian, Mbak!” pinta Mira dengan suara serak.

“Tapi Non makan dulu ya?”

“Mira mau bobo.”

“Tapi, Non...”

“Tinggalkan Mira sekarang, Mbak. Mira kepingin sendiri,” kali

itu Mira betul-betul memohon.

Mbak Nunuk tak berdaya. Nasi dan lauk di meja samping

ranjang ditutupnya dengan tudung saji kecil. “Nanti makan ya,

Non. Teh angetnya juga diminum biar Non kuat kembali. Mbak

keluar dulu. Kalau ada apa-apa, panggil Mbak aja. Ntar Mbak ke

sini.”

Mira tidak menjawab. Dia semakin membenamkan kepala ke

bawah selimut dan kembali menangis.

* * *

Pagi-pagi sekali, meski tubuhnya masih panas dan suaranya

serak, Mira nekat berangkat ke sekolah diantar Pak Bardi, sopir

keluarga Mira. Mama dan Mbak Nunuk tak bisa menahan Mira.

Gadis manis itu tetap keukeuh menganggap dirinya baik-baik

Page 108: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

saja. Mira memaksakan diri ke sekolah untuk bertemu Aoi. Dia

sampal lupa menjemput Kelly seperti biasanya.

“Nanti saya jemput ya, Non,” kata pak Bardi saat Mira turun dan

mobil.

“lya, terima kasih, Pak,” balas Mira, kemudian berlari tak sabar

untuk menemui Aoi.

Aoi belum datang, Mira menunggu di depan kelas Aoi dengan

sabar, meski terselip kegelisahan di hatinya. “Mira!”

Sebuah suara mengagetkan Mira. Kelly berdiri di hadapan Mira.

Wajahnya cemas campur dongkol.

“Ya ampun, Mira! Kemarin mamamu lebih dan sepuluh kali

meneleponku, nanyain kamu. Kamu ke mana saja?”

“Nanti aku cerita. Sekarang aku menunggu Aoi.”

“Memangnya Aoi kenapa?”

Mira mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu untuk apa

menunggu Aoi: ingin menyatakan perasaannya atau ingin marah

karena sampal pagi ini Aoi tidak juga menghubunginya. Padahal

kemarin Mira meninggalkan pesan di bangku teras Aoi.

Seharusnya Aoi melihat pesan Mira ketika pulang ke rumah.

“Mir, kok kamu pucat?” kata Kelly sambil meletakkan tangan di

dahi Mira. “Ya ampun, kamu panas sekali! Kamu pulang saja

deh, Mir. Aku teleponkan sopirmu ya? Atau mau langsung

pulang sekarang? Aku antar pakal taksi.”

Mira menggeleng. “Aku mau ketemu Aoi dulu.”

Page 109: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Hei, kalian berdua kok ada di sini?” Riku datang dan menyapa.

“Aku menunggu kalian di jalan, kok nggak lewat-lewat.

Temyata sudah sampai di sini. Ada apa? Mau bertemu siapa di

kelasku?”

Mira dan Kelly tidak menjawab. Dua cewek itu terlihat bingung.

Riku merasa ada yang tidak beres saat dia menatap Mira.

“Mira? Kamu pucat banget! Oh iya, ke mana seharian kemarin?

Kami ikut cemas karena nggak mendengar kabarmu.”

Mira hanya mengangkat bahu dengan lesu. Riku menatap Kelly

dengan pandangan bertanya. Kelly menggeleng. Dia juga tidak

tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. “Mira menunggu

Aoi,” sahut Kelly.

“Biasanya Aoi sudah datang jam segini,” kata Riku, kemudian

melongok ke kelas. “Aneh. Biasanya dia datang paling awal Iho.

Sungguh!”

Riku kemudian mengambil HP dan dalam tas. Dia beru saha

menghubungi Aoi. “Aneh. HP.nya nggak aktif tuh! Memangnya

ada masalah apa antara kamu dengan Aoi, Mir?”

Mira menggeleng. Matanya yang kemerahan terus menatap

lorong depan kelas, berharap Aoi muncul dari kejauhan.

Kelly mendesah. Dia menemani sahabatnya itu menanti Aoi.

Namun hingga bel masuk berbunyl, Aoi tak juga muncul.

“Mir, aku masuk kelas dulu, ya. Mungkmn Aoi terlambat. Atau

kalau hari ini dia nggak datang, nanti sepulang sekolah aku antar

kamu ke rumahnya,” kata Riku sebelum masuk kelas.

Page 110: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“lya... terima kasih,” balas Mira.

Mira berjalan lunglai ke kelasnya bagai macan kalah tarung.

Macan yang luka parah dan berdarah-darah, hingga tak mampu

merasakan sakitnya lagi. Di dalam kelas Mira bengong kayak

macan ompong.

“Sudahlah, Mir. Aku antar kamu pulang, ya?” Kelly prihatin

melihat Mira. Wajah Mira semakin pucat.

Akhirnya Mira mengangguk. Tubuhnya semakin lemah dan

kepalanya berat. Mira butuh tidur. Guru mengizinkan Mira

pulang. Namun sebelum pulang, Mira sengaja melewati kelas

Aoi. Mira melongok ke kelas Aoi. Ternyata orang yang

dicarinya ada di dalam kelas!

“Aoi,” gumam Mira seraya menuju pintu kelas Aoi.

“Mir, mau ngapain?” bisik Kelly cemas.

Mira nekat mengetuk pintu kelas Aoi. Lalu Ia minta izin pada

guru kelas Aoi, agar Aoi boleh keluar kelas sebentar. Mira

berbohong pada bu guru bahwa ada tugas OSIS yang harus

dibicarakan dengan Aoi segera.

Aoi keluar kelas dengan wajah tak ramah. “Ada apa ya?

“tanyanya dengan nada datar.

“Kita bicara di ruang OSIS, ya?” pinta Mira memelas.

Tanpa menjawab, Aoi berjalan mendahulul menuju ruang OSIS,

dilkuti Mira dan Kelly. Tiba di ruang OSIS, Kelly duduk di

bangku kayu di koridor, sementara Mira dan Aoi masuk ke

ruangan.

Page 111: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Kamu menerima pesanku kemarin?”

“Pesan? Nggak tuh!” balas Aoi tak bersahabat. Sikapnya

mendadak kembali seperti dulu waktu mereka baru kenal.

“Oh...,” desah Mira kecewa. Melihat sikap Aoi, rasanya Mira

tak sanggup lagi bicara. Tubuhnya terasa lemas dan demamnya

nieninggi.

Aoi diam saja, tak menanyakan keadaan Mira yang tampak

payah. Aoi bahkan tak menatap Mira sedikit pun. Dia

memandangi deretan poster di dinding.

“Seharian kemarin aku menunggumu dalam hujan. Dingin,

lapar, dan kakiku terendam banjir. Kamu ke mana saja, Aoi?

Aku mencoba menghubungimu, tapi HP-mu nggak aktif.”

“Ya salahmu sendiri!” desis Aoi.

Mira tak percaya Aoi mengatakan hal itu. Dada Mira begitu

sesak, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya kelu. Ada apa

dengan Aoi? Mira tak habis pikir. Hanya dalam waktu kurang

dan 24 jam, sikap cowok itu berubah 180 derajat.

Mira menelan ludah. Matanya basah saat Ia menatap Aoi dengan

hati hancur berkeping-keping. Namun, Aoi terus menatap ke

dinding, tak mau berpaling untuk memandang wajah Mira

barang sebentar.

“Aoi... aku sayang banget sama kamu. Kemarin aku datang

untuk mengatakan betapa aku menyukaimu,” kata Mira lemah.

Aoi tetap membeku. Mira berdiri susah payah sambil

berpegangan pada meja. Ia melangkah sempoyongan

Page 112: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

meninggalkan Aoi. Kelly menyambutnya di luar, kemudian

membantu Mira berjalan.

Aoi membeku di tempatnya, tatapan matanya kosong, namun

matanya basah oleh air mata. Aku juga sangat menyayangimu,

Mira, gumam Aoi pilu.

MIRA tergolek lemah di rumah sakit. Ia terserang tifus. Tapi

bagi Mira, yang paling sakit adalah hatin ya, bukan tubuhnya.

Dia terus berurai air mata. Namun gadis itu tak mau berbicara

pada siapa pun untuk men gurangi bebannya. Tiap kali ditanya,

Mira hanya men angis. Bahkan saat Kelly menjenguknya, belum

sempat sahabatnya itu bertanya, Mira sudah menangis. Mama

Mira sangat mengkhawatirkan kondisi putri tunggalnya itu. Papa

Mira juga tak bisa membujuk anakn ya untuk bercerita. Mira

seolah menyimpan sendiri isi hatinya yang meluap-luap, hingga

meluber dalam bentuk air mata.

“Ini tentang Aoi, kan? Kemarin kamu hampir pingsan saat

keluar ruang OSIS. Aku akan menemui Aoi sekarang juga,” kata

Kelly geram.

“Tolong tanyakan kenapa dia seperti memusuhiku kemarin,”

pinta Mira memelas.

“Pasti. Aku akan mengorek apa pun yang bisa ku apat darinya,”

balas Kelly sebelum pergi.

Di depan rumah sakit Kelly bertemu Riku yang hendak

menjenguk Mira. Kelly menceritakan keadaan Mira.

“Mmm... kalau gitu aku antar kamu ke rumah Aoi saja. Mungkin

aku bisa membujuk Aoi bicara,” kata Riku.

Page 113: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kelly tersenyum senang. Terus terang, sebenarnya Kelly tidak

suka harus ke rumah Aoi seorang din. Tapi demi sahabatnya, dia

rela. Untung ada Riku yang menemaninya. Mereka berdua naik

taksi menuju rumah Aoi.

Kelly tak habis pikir, mengapa Mira, si tegar dan tombol itu,

tiba-tiba bisa menjadi sangat lemah dan sensitif.

“Menurutmu apa yang terjadi?” tanya Riku penasaran.

“Entahlah. Kemarin mereka bicara dl ruang OSIS hanya

sebentar. Saat keluar ruangan, Mira tampak begitu terpukul. Dia

terus menangis sampai tiba di rumahnya.”

Riku mendesah panjang. “Kemarin Aoi bahkan tak masuk kelas

lagi setelah bicara dengan Mira. Aoi cuma mengambil tas saat

istirahat pertama, lalu kabur entah ke mana.”

“Ada apa kira-kira ya?”

“Kita akan segera tahu. Nanti, saat kita bertemu Aoi.”

Aoi sedang membantu ayahnya mengedit foto sewaktu Kelly

dan Riku datang. Riku mengajak Aoi ke luar supaya mereka

leluasa mengobrol. Aoi terlihat salah tingkah. Dia tahu teman-

temanya datang karena Mira.

“Mira diopname,” kata Kelly. “Apa yang terjadi, Aoi? Kamu

pasti tahu kenapa Mira tiba-tiba ambruk begitu.”

“Sungguh aku tidak tahu,” sahut Aoi, tak berani menatap mata

Kelly.

“Kamu bohong. Kamu tahu semuanya!”

Page 114: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi mendesah. “Aku nggak tahu, Kelly. Kamulah sahabat

dekatnya. Seharusnya kamu tahu apa yang terjadi dengannya.”

“Tapi akhir-akhir ini kalian sangat dekat. Aku rasa Mira jatuh

cinta sama kamu. Apakah kamu menolak cintanya?” tanya Kelly

tegas.

“Kamu menolak cinta Mira?” Riku ikutan bertanya dengan nada

bingung.

“Mira nggak ngomong apa-apa padaku. Jadi aku nggak tahu apa

masalahnya sekarang,” jawab Aoi.

“Kamu tahu! Kamu tahu, Aoi! Kenapa kamu bohong?” teriak

Kelly kehilangan kendali. Dia gemas melihat sikap Aoi.

Ayah Aoi keluar karena suara ribut-ribut itu. “Ada apa ini?”

“Oom!” seru Kelly. “Mira sakit. Sekarang dia di rumah sakit.

Saya yakin Aoi tahu apa yang terjadi pada Mira! Tapi dia nggak

mau mengatakannya!” Air mata Kelly mulai mengalir.

Ayah Aoi mendesah. Dia menatap sedih putra semata

wayangnya. Sementara itu Aoi menunduk dalam-dalam. Hatinya

pilu.

“Minggu depan Aoi ikut ibu kandungnya. Dia akan meneruskan

sekolah di luar negeri,” terang ayah Aoi.

Kelly dan Riku terpana.

Aoi bergegas masuk. Terdengar suara pintu dibanting dan dalam

rumah. Kelly dan Riku tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Sepertinya Aoi marah.

Page 115: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Mira kehilangan Aoi. Apakah karena itu dia sakit?”

“Entahlah,” balas ayah Aoi sedih, kemudian berbalik dan masuk

ke rumah, meninggalkan Kelly dan Riku di teras.

Riku dan Kelly bengong. Mereka merasa ditolak sehingga

memutuskan pulang. Sepanjang jalan Kelly marah-marah.

Menurut dia, sikap Aoi dan ayahnya san gat tidak bersahabat.

“Ada sesuatu yang terjadi pada Aoi dan Mira. Wajah Aoi sangat

sedih. Dan ketika ayahnya bilang Aoi akan pergi jauh, wajah

Aoi bukan hanya sedih, tapi bercampur kecewa. Dia marah

dengan keadaan yang tak diinginkannya, lalu membanting pintu

kamar. Kurasa Aoi juga terluka seperti Mira,” Riku

menganalisis kejadian barusan dengan panjang lebar.

“Menurutmu begitu?”

“Ya, aku teman balk Aoi. Dia berhati lembut dan penyayang.

Dia nggak mungkin menyakiti Mira kalau bukan keadaan yang

memaksanya.”

Kelly mendesah sedih. “Mira begitu terluka. Tapi sebaiknya kita

rahasiakan dulu kepergian Aoi ke luar negeri sampal Mira

sehat.”

“lya. Sebaiknya dia nggak tahu Aoi akan pergi jauh. Kalau dia

tahu, sakitnya bisa semakin parah.”

“Kita kembali ke rumah sakit sekarang?” tanya Kelly.

Riku mengangguk.

Page 116: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mereka segera mencari taksi. Dalam perjalanan menuju rumah

sakit kedua sahabat itu hanya membisu. Kisah Mira dan Aoi

memenuhi benak mereka dan membangkitkan rasa iba.

AOI mengemasi beberapa barang ke dalam koper. Dia membuka

buku hariannya, lalu mengeluarkan pesan dari Mira yang dia

temukan hari Minggu lalu. Hatinya bagai tersayat ketika

membuka kertas itu.

Aoi, aku menunggumu sepanjang hari. HP-mu nggak bisa

kuhubungi. Aku bertekad menunggumu hingga kamu pulang,

tapi aku menggigil kedinginan. Aku lapar sekali. Aku nggak mau

membuatmu repot, maka kuberanikan diri pulang menerjang

banjir. Aoi, kumohon, bila kamu telah membaca pesan ini,

hubungi aku, ya. Mira.

Aoi kembali melipat kertas itu, kemudian menyelipkannya ke

dalam buku harian. Sejenak dia mendesah.

“Memang sakit sekali, Nak. Tapi Ayah yakin seiring berjalannya

waktu, kimu bisa melupakan Mira. Raihlah dulu masa depanmu.

Mungkin kelak kalian bisa bersatu,” kata ayahnya yang telah

berdiri di ambang pintu.

Dengan mata sembap Aoi menatap ayahnya. “Bolehkah Aoi

mengucapkan salam terakhir pada Mira, Yah? Aoi ingin

menjenguk Mira. Dia sakit karena Aoi.”

“Kalau kamu bertemu Mira dan melihat kesedihannya, kamu

akan terikat dengannya dan semakin sulit melupakannya. Tapi

Itu pilihanmu. Ayah tak akan melarangmu.”

Page 117: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Aoi mengangguk. “Aoi yakin bisa mengatasinya. Besok Aoi

menjenguk Mira.”

***

Aoi bangun pagi-pagi sekali. Dia berencana masak. Hanya

bubur, tapi tentu bukan sembarang bubur. Aoi memasak bubur

dengan penuh cinta. Setiap membubuhkan bumbu, Aoi

membarenginya dengan doa. Setiap mengaduk bubur yang

mengepul di panci, Aoi menyertainya dengan harapan. Aoi

berharap Mira segera sembuh, sehat, dan kembati ceria,

walaupun Aoi mungkin takkan melihat wajah ceria Mira selepas

Mira sembuh. Karena Aoi harus segera berangkat...

Aoi mendesah sedih. Sungguh dia sangat sedih.

Aoi memasukkan bubur ayam buatannya ke rantang kecil. Dia

juga menata nugget jamur yang dibuatnya semalarn di rantang

satunya. Selesai sudah. Dua rantang masakan sederhana namun

spesial itu siap diantar untuk gadis yang sedang sakit. Aoi

berharap Mira senang melihatnya datang dan mau menyantap

masakan buatannya dengan lahap.

Aoi gugup sekali saat melangkah di lorong rumah sakit.

Tangannya dingin, dan jantungnya bagai meloncat-loncat. Aoi

sangat mencintai Mira. Pada Mira-lah Aoi merasakan jatuh cinta

pertama kali.

Page 118: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Langkah kaki Aoi terhenti di depan pintu kamar tempat Mira

dirawat. Pintu tidak tertutup rapat. Ada celah sehingga dia bisa

mengintip. Di kamar ada seseorang yang tengah membujuk Mira

makan. Aoi memastikan penglihatannya. Bukan, wanita itu

bukan Mbak Nunuk. Wajahnya cantik dan penampilannya

berkelas. Mama Mira? Ya, itu pasti dia. Wajahnya mirip Mira.

Hanya saja, penampilannya begitu feminin dan rapi, beda

dengan Mira yang tomboi dan sporty.

Tiba-tiba kebencian menerjang dada Aoi. Dia teringat cerita

ayahnya tentang mama Mira. Waktu dia kembali ke rumah

sehabis mengantar Mira menunggu bus pada Sabtu lalu, ayah

Aoi berbagi rahasia, sekaligus ultimatum. Hal itulah yang

membuat Aoi harus pergi meninggalkan Indonesia.

Meninggalkan Mira. Ya, Aoi harus melupakan pujaan hatinya

hanya gara-gara wanita yang telah melahirkan Mira.

Karena peristiwa pahit pada masa lalu, ayah Aoi nekat

menghubungi ibu Aoi yang telah lama putus hubungan karena

tinggal di luar negeri bersama keluarga barunya. Ayah

memutuskan untuk menyerahkan Aoi pada ibunya. Padahal Aoi

sudah lupa rupa ibunya. Dia tak bertemu ibunya sejak umur dua

tahun. Sampai remaja sekarang ini dia tak pernah lagi

berhubungan dengan ibunya. Kini, tiba-tiba saja Aoi harus

tinggal bersama ibunya di tempat yang jauh dan asing.

Aoi berbalik. Dia tidak ingin bertemu mama Mira. Perasaannya

sungguh tak keruan. Aoi rindu Mira, namun benci mama Mira.

Apa boleh buat, Aoi memilih pulang. Sebelum meninggalkan

rumah sakit, Aoi meminta tolong perawat untuk menyerahkan

masakan istimewa yang dibawanya kepada Mira.

Page 119: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Sementara itu mama Mira mulai kehilangan kesabaran karena

Mira tidak mau makan.

“Mira, terserah apa maumu! Tapi kalau kamu terus-terusan

begini, kamu bisa kurus kering dan menjadi gila!” kata mama

Mira kesal sambil meletakkan piring di meja. Wajah wanita itu

merah penuh amarah.

Tepat pada saat itu, seorang perawat datang membawa rantang.

“Bu, ini tadi ada titipan dari teman Mira untuk Mira.”

“Oh, terima kasih,” sahut mama Mira sambil menerima rantang

tersebut.

Mira mengenali rantang khas itu sehingga menjadi bersemangat.

Dengan susah payah dia berusaha duduk.

Lehernya dipanjangkan untuk melongok isi rantang saat

mamanya mulai membukanya. “Bubur ayam, dan... masakan apa

ini?” gumam Mama. Hati Mira melonjak kegirangan. “Itu pasti

nugget jamur. Sini, Ma, biar Mira makan!”

Mama Mira meletakkan rantang itu di meja di sisi Mira. Karena

tidak ada mangkuk kosong, maka Mira tidak keberatan makan

langsung dari rantang itu. Dengan lahap dia mulai memakan

bubur ayam. Mamanya sampai terheran-heran.

Mira bahagia sekali. Sekarang dia tahu Aoi sayang padanya. Dia

tahu Aoi peduli padanya, sampai-sampai mau bersusah payah

memasak dan mengantarkan makanan untuk dirinya ke rumah

sakit.

Page 120: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Tanpa Mira ketahul, Aoi sedang mengintipnya diam-diam dan

balik pintu. Aoi tidak jadi pulang. Dia berbalik kembali ke

depan kamar Mira. Kalau saja ada keberanian, ingin rasanya Aoi

menyerbu masuk dan menyuapi Mira. Tapi tidak. Kaki Aoi

seolah lumpuh. Dia hanya sanggup mengintip gadis yang

dicintainya. Itu pun hanya sesaat, sekadar memastikan Mira

menyukai masakannya, kemudian dia pergi.

Mira meletakkan rantang bubur yang sudah licin tandas.

Kemudian, dia mencomot satu nugget jamur. Hmm... enak! Mira

menikmatinya sambil membayangkan kesibukan Aoi saat

membuatnya. Ah, saat-saat berdua di dapur bersama Aoi

sungguh indah dikenang. Mira ingin cepat sembuh dan memasak

kembali dl rumah Aoi. Mulut Mira seolah tak berhenti

mengunyah. Habis nugget pertama, diambilnya nugget kedua

dan dimakanya dengan semangat.

“Siapa yang mengirim makanan itu?” tanya Mama heran.

“Aoi, Ma!” sahut Mira. Namun buru-buru ia menutup mulut.

Saking gembira dan enak makan, Mira sampai keceplosan.

“Aoi? Pesaingmu itu?” tanya Mama heran dengan dahi

berkerut.

“Aoi... mmm... Aoi teman dekat Mira kok. Dia baik, Ma.”

Dahi Mama kian berkerut. “Anak mana sih dia?”

“Maksud Mama, anak siapa dan berapa banyak kekayaannya,

bukan?” tanya Mira sinis. Entah mengapa, tiba-tiba timbul

keberanian pada diri Mira untuk mendebat mamanya. “Aoi

bukan orang kaya, tapi dia punya daya juang. Dia juga cerdas

Page 121: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

dan kreatif. Ayahnya juru kamera televisi. Hidup mereka

sederhana dan hemat agar mereka dapat menabung untuk

berlibur ke daerah-daerah terpencil di Indonesia setiap tahun,”

terang Mira bangga.

“Mmm... pasti hidup mereka berantakan.”

“Nggak, Ma. Mereka sangat bahagia,” sindir Mira.

“Huh!” dengus Mama. “Dulu Mama punya ternan seperti itu.

Sukanya berlibur ke daerah pedalaman dan memotret. Aneh.

Hidup kok nggak mikirin uang, tapi hanya memburu kepuasan

dan kesenangan pribadi.”

Mira terkejut. “Mama pemah bergaul dengan orang macam itu?

Bukannya Mama berteman dengan kalangan atas saja?”

Mama menghela napas panjang. Matanya menerawang. “Pemah.

Bahkan selama kuliah Mama pacaran dengan orang macam itu,”

ujamya Iirih. “Tapi, Mama pikir nggak ada gunanya buat Mama

selain Mama jadi ikutan tampil saat dia menggelar pameran

foto.” Nada suara Mama berubah sinis.

“Oh, ya? Mama nggak pemah bercerita soal pacaran dengan

fotografer. Kok bisa sih? Bukannya selera Mama cowok kaya?”

Mira terheran-heran. Dia tidak tahu Mama punya masa lalu

bersama pria selain papanya.

“Itu kan masa lalu, Mir. Mama membukanya lagi hanya sekadar

pengingat agar kamu melupakan Aoi. Aoi... siapa nama lengkap

Aoi?” Dahi Mama lagi-lagi berkerut, seperti ada yang

berkecamuk di otaknya. Ekspresi wajah Mama sulit ditebak.

Page 122: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Aoi Lucios,” Mira menyebut nama panjang Aoi.

Mama terpaku. Wajahnya memucat. Sesaat wanita keras hati itu

terlihat gugup.

Mira terpana. Dia mengamati raut wajah mamanya yang salah

tingkah dan gelisah..

“Ma, Mama kenapa?”

Mama menggeleng gugup. “Ah, nggak. Mama...”

“Mama kenal Aoi? Ma, kita baru saja menjalin hubungan yang

lebih baik antara ibu dan anak. Mira telah jujur tentang Aoi.

Mira harap Mama juga jujur pada Mira,” Mira berkata tegas.

“Mmm...” Mama Mira terdiam, terlihat seperti menimbang-

nimbang. Namun akhimya dia menyerah. Dia memilih bercerita

tentang masa lalunya pada Mira. “Begini... ini sudah lama sekali

kejadiannya. Teman yang Mama ceritakan tadi namanya Oscar.

Dia punya sanggar fotografi yang diberi nama Aku Orang

Indonesia, yang biasa disingkat AOl. Ya, persis seperti nama

temanmu. Dan Mama rasa... Lucios adalah sebuah akronim.”

“Maksud Mama?” Mira mengernyit. “Oh... auw!” Mira

memekik. Otaknya bekerja cepat hingga menemukan akronim

yang dimaksud. “Lucios. Lu untuk Lulu dan Os untuk Oscar?”

tebak Mira. Lulu adalah nama mama Mira. “Lalu, siapa Ci?”

Mama kembali gugup. “Tapi, jangan cerita sama Papa, ya?”

bisik Mama.

Mira mengangguk. “Cl adalah cinta. Mama yang bikin akronim

itu. Lucios adalah panggilan sayang Mama untuk Oscar.”

Page 123: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira pucat. “Jadi... Aoi putra mantan pacar Mama? Mama gadis

kaya raya yang mencampakkan Oom Oscar setamat kuliah itu?

Mama orang yang membuat Oom Oscar terpuruk bertahun-

tahun hingga dia membenci orang kaya?” Mira nyerocos

membabi buta. Air matanya berlinang.

Mama menatap Mira dengan pandangan heran. “Maksudmu?”

“Mira heran ketika Oom Oscar tahu resep minuman jahe sereh

itu. Kini Mira mengerti mengapa Oom Oscar melamun saat

menikmati minuman yang Mira buat. Sekaligus Mira paham,

mengapa Oom Oscar sering menatap Mira dengan pandangan

aneh. Karena Mira mengingatkan dirinya pada Mama!” seru

Mira, nyaris histeris.

“Mir? Mira... Katakan pada Mama, benarkah ayah Aoi adalah

Oscar?”

Mira menangis keras-keras. “Mira mengerti sekarang, mengapa

Aoi nggak rnau menemui Mira lagi. Pasti ayahnya sudah tahu

lama mengenai Mira, lalu melarang Aoi berhubungan dengan

anak mantan pacarnya.”

Mama Mira sesenggukan. Ia merasa bersalah sekali pada Mira.

Semua penderitaan Mira ternyata disebabkan perbuatannya, ibu

kandungnya sendiri. Mama Mira menangis sedih. Bagaimana

mungkin masa lalunya kembali muncul dan terkait dengan kisah

cinta anaknya saat ini?

“Mira, tenanglah. Mungkin ada hal lain yang membuat Aoi tidak

bisa menemuimu,” hibur Mama.

Page 124: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira terus menangis. “Mama! Oom Oscar nggak akan pernah

menerima Mira lagi di rumahnya. Aoi mungkin nggak akan mau

bertemu Mira lagi. Mira bisa hancur karena dibenci orang-orang

yang Mira cintai!”

“Maafkan Mama, Mir.” Kata-kata Mama berhenti di situ.

Dengan penuh iba, dia memandangi anak semata wayangnya

yang terus menangis.

Mira tak peduli apa yang dikatakan mamanya. Dia menangis

karena kasihan pada dirinya sendiri, juga pada ayah Aoi dan

Aoi. Pasti Aoi terluka harus pura-pura membenci Mira. Ingin

rasanya saat itu juga Mira berlari ke rumah Aoi, tapi tubuhnya

belum mampu melakukannya.

Aoi... aku rindu kamu! jerit batin Mira dalam tangisnya.

PERAWATAN beberapa hari di rumah sakit memulihkan

kesehatan Mira. Matanya kembali berbinar dan pipinya

memerah segar. Hari itu ia boleh pulang. Kelly dan Riku ikut

menjemput Mira.

Mira memang bertekad cepat sembuh agar bisa segera menemui

Aoi dan ayahnya. Dia berjanji memasak makanan kesukaan

ayah Aoi. Istirahat satu-dua hari di rumah membuat gadis itu

sehat sempurna sehingga bisa kembali ke rutinitasnya, termasuk

ke sekolah.

Mira sangat bersemangat menjalankan idenya. “Riku, Kelly,

besok antar aku ke rumah Aoi, ya!” pinta Mira saat mereka

sedang bersantai di tepi kolam renang rumah Mira. Dua sahabat

itu sengaja datang menjenguk Mira.

Page 125: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Kelly dan Riku saling pandang. Wajah mereka resah.

“Mmm... tunggu tubuhmu benar-benar sehat dulu, Mir.

Bukannya aku nggak mau mengantarmu, tapi aku nggak mau

disalahkan mamamu kalau kamu sakit lagi,” Riku memberi

alasan.

“lya, Mir. Kalau kamu sudah pulih seperti sediakala, aku akan

mengantarmu ke mana pun kamu mau,” imbuh Kelly.

Mira tampak kecewa. Tapi dia bertekad tetap akan ke rumah Aoi

besok pagi. Mira tak peduli badannya masih lemah. Bahkan,

larangan Mama sekalipun akan dia terj ang. Toh besok

mamanya sudah keluar kota lagi. Mira bebas!

“Mir, sebenamya apa yang terjadi padamu hari Minggu itu, saat

kamu rnenghilang?” tanya Kelly takut-takut.

“Aku di rumah Aoi, terjebak hujan lebat. Aoi dan ayahnya

nggak ada, jadi aku menunggunya sampai sore. Kakiku

terendam banjir, tubuhku basah kuyup tersiram hujan. Aku pun

harus menahan lapar karena nggak ada penjual makanan lewat.”

Kelly menatap Mira tak percaya. “Jadi, saat hujan yang luar

biasa lebat itu, kamu sedang menunggu Aoi di teras rumahnya

sampal malam?”

Mira mengangguk.

“Ya ampun!” Kelly geleng-geleng tak percaya.

Riku mendesah. Dia mencoba mengatasi perasaannya sendiri.

Andai waktu itu Riku yang ditunggu Mira, alangkah bahagia

dirinya. Seketika Rik merasa cemburu.

Page 126: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Yah, perasaan khusus Riku pada Mira belum berubah. Dia

masih menyayangi Mira dan berharap gadis itu mau menjadi

pacarnya.

“Jadi kamu demam dan akhimya terserang tifus gara-gara

menunggu Aoi?” tanya Riku.

“lya,” Mira tersenyum kecut. “Tapi, setelah kejadian itu Aoi

malah bersikap ketus waktu di sekolah. Padahal sengaja kubela-

belain berangkat ke sekolah untuk menemuinya, meski aku

demam dan pusing tak terkira.”

Riku menelan ludah kecewa. “Kamu sangat mencintai Aoi,

ya?”

“lya,” jawab Mira mantap. “Aku mencintainya, dan baru kali ini

aku jatuh cinta,” lanjut Mira sambil tersenyum manis.

Riku dan Kelly saling pandang lagi. Mereka tampak bersedih

melihat Mira begitu bahagia. Sebentar lagi Mira pasti patah hati

bila tahu Aoi akan sekolah di luar negeri.

“Mamamu nggak melarangmu berhubungan dengan Aoi?

Maksudku, Aoi kan nggak setara denganmu,” kata Kelly.

“Nggak. Andal dilarang pun, aku akan nekat. Apa pun yang

terjadi, aku tetap mempertahankan hubunganku dengan Aoi.”

Kelly. dan Riku menatap nanar Mira. Terutama Riku. Bagai ada

peluru yang menembus dadanya. Riku dibakar cemburu.

* * *

Page 127: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Semalaman Mira sulit tidur. Benaknya dipenuhi khayalan

tentang pertemuannya dengan Aoi esok hari. Ya, apa pun yang

terjadi, Mira tetap akan ke rumah Aoi. Mira berharap ayah Aoi

akan menerimanya. Mira sibuk merangkai kata-kata indah untuk

mengambil hati ayah Aoi.

Pintu kamar Mira diketuk seseorang. Pasti Mama mau pamitan

karena besok pagi-pagi harus ke luar kota.

Benar saja. Mama yang masuk.

“Kamu belum tidur?” tanya Mama sambil memegang dahi

Mira.

“Belum,” sahut Mira tak bersahabat.

“Mama minta maaf, Mir.”

Mira diam saja.

Mama mendesah sedih. “Kamu boleh menjalin hubungan

dengan Aoi bila mereka memaafkan Mama. Kamu boleh

berteman dengan siapa pun, Mama tidak akan menuntut apa pun

padamu. Mama sadar selama ini Mama terlalu keras padamu.”

“Eh?” Mira tak percaya.

Mama menghela napas. “Mama menyesal selama ini tidak

menjadi mama yang baik bagimu. Mama hanya pergi sebentar,

lusa Mama pulang.”

Mira tak menggubris perkataan mamanya.

Page 128: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mama mengecup dahi Mira sebelum meninggalkan kamar. Mira

makin tak bisa tidur. Sebenarnya Mira senang sekali mamanya

telah berubah. Namun, Mira masih gelisah mernbayangkan

sikap ayah Aoi padanya. Apakah ayah Aoi bisa memafkan

Mama kemudian merestui hubungannya dengan Aoi?

* * *

Esoknya Mira membakar ikan dan memasak masakan aneh yang

pernah ia buat bersama Aoi. Itu rnasakan kesukaan ayah Aoi,

yang dimakan pertama kali di Timor Leste waktu negeri itu

masih menjadi bagian NKRI. Mbak Nunuk sengaja mencarikan

bahan-bahan tersebut di pasar tradisional.

Bahannya daun singkong dan jantung pisang. Keduanya direbus,

lalu diperas hingga airnya tak bersisa. Bumbunya, kalau Mira

nggak salah ingat, cabai, bawang merah, bawang putih, terasi,

dan kemiri. Mira tak sepenuhnya hafal, tapi semoga saja rasanya

nanti enak.

Mira puas bisa memasak lauk tersebut. Saat mencicipinya, dia

makin senang karena pedasnya sesuai selera ayah Aoi. Untuk

Aoi, Mira sengaja minta Mbak Nunuk membuatkan puding

pandan. Harum sekali.

“Nanti saya antar ya, Non. Non masih lemah begitu.”

Page 129: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Nggak usah, Mbak. Nanti Mira diantar Pak Bardi kok. Jangan

khawatir. Mobilnya bisa parkir di ujung gang. Mira jalannya

dekat saja.”

“Ya sudah. Tapi Pak Bardi disuruh menunggu ya, Non. Jadi

pulangnya sama-sama lagi.”

“Iya, Mbak,” sahut Mira sambil menata masakan dan puding di

rantang Aoi, yang dulu dipakai untuk makanan Mira sewaktu di

rumah sakit.

Mira berdandan rapi. Dia ingin tampil cantik, meski badannya

agak kurus dan matanya masih terlihat cekung. Sepanjang

perjalanan Mira tersenyum. Hatinya semarak membayangkan

pertemuannya dengan Aoi. Mira sungguh berharap Aoi akan

senang bertemu dengannya.

“Tunggu ya, Pak,” kata Mira saat dia turun di ujung gang.

Pak Bardi mengangguk. “Hati-hati, Non.”

Mira tersenyum, kemudian berlalu pergi. Dia girang dan lega

saat melihat pintu rumah Aoi terbuka.

“Permisi... ,“ kata Mira sambil melongok ke dalam.

“Hei, Mira!” Ayah Aoi yang sedang membaca koran Iangsung

berdiri. Dia menyambut Mira dengan ramah. “Ayo masuk!”

Mira duduk di ruang makan sambil meletakkan rantang. “Ini

saya yang masak, buat Oom dan Aoi.”

“Wah Terima kasih ya. Apa ini?” tanya ayah Aoi sambil

membuka rantang. Matanya berbinar begitu melihat masakan

Page 130: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira. “Wah, terima kasih, Mira! Sepertinya nikrnat nih!” seru

ayah Aoi bersemangat. Dicoleknya sedikit masakan Mira

dengan jari, lalu dicicipinya. “Hm... enak sekali!”

“Aoi mana, Oom?” kepala Mira melongok ke dapur. Ayah Aoi

menatap Mira sejenak, kemudian beranjak ke dapur. Ayah Aoi

meminum segelas air putih, lalu kembali ke hadapan Mira. Dia

duduk dengan sikap kaku. Dipandangnya Mira dengan jengah.

“Mira... mmm... begini...” Lelaki itu diam sejenak. Setelah

menghela napas panjang, dia mulai membuka suara. “Aoi

meneruskan sekolah di luar negeri. Dia ikut ibunya.”

“Apa, Oom?” Mira tidak yakin dengan pendengarannya.

“Aoi ke luar negeri. Sekolah.” Ayah Aoi berkata dengan nada

dingin.

Seolah ada petir menyambar kepala Mira, gadis itu terdiam dan

tubuhnya gemetar. Dia mencoba memproses kalimat yang baru

saja didengarnya dan dadanya terasa sesak karenanya. Ayah Aoi

menatap Mira prihatin.

“Tapi... tapi... bukahkah Aoi berpisah dengan ibunya sejak dia

masih kecil? Oom bohong, kan?” tanya Mira di tengah isaknya.

Ayah Aoi rnenggeleng.

“Oom...” Mira kehabisan kata-kata. Dia ingin tak percaya, tapi

ayah Aoi tampak bersungguh-sungguh. “Tapi kenapa, Oom?

Kenapa dia pergi?” tanya Mira lagi setelah bisa menata

emosinya.

Page 131: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Dia akan meraih masa depan yang lebih baik bila bersama

ibunya. Oorn bukan ayah yang baik buat dia. Oom terlalu sibuk

dengan pekerjaan Oom.”

“Tapi, tapi... Aoi nggak pemah mengeluh. Aoi sayang Oom.

Bahkan, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga saat

berada di sini. Mengapa, Oom? Mengapa Aoi pergi?” “Itu yang

terbaik, Mira.”

Air mata Mira semakin deras mengalir di pipinya. “Oom, semua

ini karena saya, kan? Oom nggak mau Aoi dicampakkan orang

kaya? Oom nggak mau putra Oom berhubungan dengan putri

Lulu, perempuan yang telah menyakiti hati Oom. Begitu, kan?”

Sejenak ayah Aoi terkejut. Dia tak rnenyangka Mira telah

rnengetahui masa Ialunya bersama rnarnanya.

“Mira, tolong mengertilah. Bukan itu alasan Oom mengirim Aoi

pada ibunya. Oom hanya ingin Aoi bersekolah di tempat yang

lebih baik. Oom ingin Aoi jadi orang sukses, tidak seperti

Oom.”

Mira terisak. “Saya nggak bersalah, Oom. Saya nggak harus

menebus dosa-dosa Mama pada masa lalu. Saya bahkan ingin

sekali menunjukkan pada Oom bahwa saya sayang banget sama

Aoi. Saya nggak akan pernah meninggalkan Aoi seperti Mama

dulu ninggalin Oom. Saya sayang sekali sama Aoi!”

“Mira, itu hanyalah emosi sesaat. Cinta monyet yang menggebu,

tapi kelak bila terbentur ganasnya hidup, cinta itu akan luntur.

Kamu terlalu muda untuk mengerti kehidupan, Mira.”

Page 132: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

Mira tak bisa berkata apa-apa lagi. Prasangkanya terbukti: Aoi

tidak boleh menjalin hubungan dengannya karena masa lalu

ayah Aoi dengan mama Mira. Mira menunduk, mencoba

menguasai diri. Matanya tertumbuk pada puding pandan yang

tidak keburu dilihat Aoi. Hati Mira kembali tersayat. Dia

menangis tersedu.

“Mira, kamu bisa segera melupakan Aoi. Aoi bukan cowok yang

tepat buatmu, Mir. Kamu gadis yang baik dan pintar. Jadi, mulai

sekarang fokuslah belajar dan lupakan Aoi.”

“Terima kasih, Oom. Tapi rasanya melupakan seseorang butuh

waktu seumur hidup. Saya akan menyusul Aoi kelak, setelah

lulus SMA. Saya akan kuliah di Australia juga. Oom akan

menariknya kembali ke Indonesia kalau saya menyusul?”

tantang Mira. Mata Mira melebar, menatap Ayah Aoi.

Ayah Aoi hanya mendesah panjang. “Mira... kamu benar. Oom

memang tidak menyetujui hubungan kalian.”

Mira menatap lekat wajah ayah Aoi. “Kenapa Oom belum bisa

berdamai dengan masa lalu? Oom masih saja belum bisa

menerima kenyataan. Padahal Oom sudah punya Aoi dan wanita

lain.”

“Oom tidak mau menjadi besan ibumu. Oom tidak mau bertemu

ibumu. Oom sudah bersumpah bahwa Oom tidak akan pernah

menjalin pertemanan, apalagi persaudaraan, dengan ibumu,”

balas ayah Aoi tegas.

“Oom egois!”

Page 133: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

“Kamu terlalu muda untuk dapat memahami semuan ya, Mira.

Ibumu bukan hanya mencampakkan Oom, tapi lebih daripada

itu, dia menginjak-injak harga diri Oom. Dia memupus harapan

dan cita-cita Oom. Dia menghancurkan hidup Oom.”

Hening.

Mira mencoba memahami rasa sakit yang pernah dirasakan ayah

Aoi. Mungkin kejadian puluhan tahun silam itu begitu buruk dan

membuat ayah Aoi terpuruk. Mira menyeka air mata. “Oom,

maafkan kesalahan mama saya. Tapi saya nggak seperti Mama,”

ucap Mira berat. Ayah Aoi menatap Mira prihatin, seolah

hatinya sendiri juga teriris sakit. “Oom yang minta maaf, karena

Oom begitu egois. Kemarin mamamu menghubungi Oom dan

meminta maaf. Mamamu berharap Oom mengizinkan kamu dan

Aoi bersama-sama. Tapi, luka itu rnasih menganga, Mira.”

“Saya dan Aoi akan rnenyembuhkannya, Oom. Percayalah. Saya

sangat mencintai putra Oom. Semua ini sudah diatur alam

semesta, supaya Oom berdamai dengan masa lalu Oom dan juga

Mama. Please, izinkan kami tetap bersama, Oom.”

Ayah Mira menggeleng. Meski sebenarnya dia juga merasa

bersalah karena telah memisahkan cinta Mira dan Aoi, tapi

baginya, lebih baik menderita sekarang daripada sakit nanti,

ketika cinta Aoi dan Mira telanjur dalam.

“Pulanglah, Mira, dan jangan pernah menginjakkan kaki di

rumah Oom lagi,” kata ayah Aoi tegas.

Mira menghapus air mata, kemudian beranjak pergi. Dia tahu

ayah Aoi rnelakukan itu untuk menyakiti hatinya. Ayah Aoi

Page 134: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

ingmn Mira mernbencinya. Mungkin ayah Aoi menganggap,

rasa benci bisa membantu Mira rnelupakan Aoi.

Tapi tidak! Mira tak rnau dikalahkan rasa benci!

* * *

Berhari-hari Mira dirundung kesedihan dan rasa kecewa yang

mendalam atas keputusan ayah Aoi. Dia juga kesal pada Aoi

yang sarna sekali tidak meninggalkan pesan untuknya. Tapi

pada hari ketujuh, Mira bangkit. Dia bertekad untuk berprestasi

setinggi mungkin hingga bisa kuliah di luar negeri dan bertemu

Aoi.

Harapan untuk bertemu Aoi itulah yang membuat Mira

bersemangat. Waktu pasti akan mempertemukan dan

menyatukan cinta mereka. Mira percaya itu. Mira akan

rnenciptakan kehidupan menyenangkan, yang dulu pernah

diangankan ayah Aoi dan mama Mira, bersama Aoi.

Mira juga memiliki hubungan lebih baik dengan mamanya, yang

kini mengurangi kesibukan hingga bisa mendarnpingi putrinya.

Ternyata selalu hadir keindahan di balik peristiwa pahit. Andai

saja Mira tidak mengalami semua penderitaan akibat cintanya,

dia tak akan mengerti betapa berartinya memiliki cinta yang

tulus.

Mira optimistis takdir akan memperternukannya kernbali dengan

Aoi. Mira tak tahu mengapa bisa seyakin itu. Tapi keyakinan

Page 135: Runner-Up Girl · Runner-Up Girl MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi

itulah yang membuatnya mampu menjalani hari-harinya. Dalam

setiap desah napas, tak henti Mira merapal rnantra yang

membuatnya tetap bersemangat: Aoi, I will come to love you.